Anda di halaman 1dari 59

BAB II

SKENARIO

2.1 Skenario

Seorang laki laki bekerja sebagai manajer perusahaan mobil berusia 38 tahun datang
ke RSGMP Unair dengan keluhan gigi terasa sakit dan gusi mudah berdarah. Keadaan umum
pasien baik dengan tekanan darah 160/90 dan pasien mengalami obesitas.

Berdasarkan anamnesis gigi tersebut pernah ditambal kurang lebih 1 tahun lalu
karena berlubang kemudian terasa sakit, gusi berdarah disekitar tumpatan, dan gusi pernah
bengkak. Dokter gigi sebelumnya melakukan perawatan dengan membongkar tumpatan
kemudian ditumpat ulang, tetapi setiap kali ditumpat gigi tersebut masih sakit dan gusi
mudah berdarah, hal ini sudah berlangsung 4 kali penumpatan.

Pasien selalu diminta membayar biaya perawatan setiap kali datang, walaupun rasa
sakit tersebut tidak teratasi, sehingga pasien berencana meneruskan masalah ini ke jalur
hukum.

Gambar 2.1. Gambaran intra oral kondisi gigi pasien.

9
2.2 Learning Issue

1. Bagaimana etiopatogenesa terjadinya karies?

2. Bagaimana cara penentuan diagnosa yang tepat terkait kasus tersebut?

3. Bagaimana rencana perawatan yang tepat terkait kasus tersebut?

4. Bagaimana pemberian KIE (Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) yang tepat?

5. Bagaimana etika hukum kedokteran terkait kasus tersebut?

10
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Karies
3.1.1 Definisi Karies
Karies merupakan suatu keadaan/disease yang merupakan hasil dari
ketidakseimbangan proses mineralisasi dan demineralisasi dari jaringan keras gigi.
Karies ini bersifat multifaktorial, dinamis, dengan media biofilm, dan sangat
tergantung pada jumlah gula. Karies dapat terjadi pada usia berapapun, baik pada gigi
sulung maupun gigi permanen. Lokasi kejadian karies, bisa terjadi pada mahkota gigi,
ataupun pada pasien dengan usia lanjut, dapat terjadi pada akar yang terekspos.
Karies merupakan kejadian yang dapat dicegah, salah satunya dengan pemakaian
rutin pasta gigi ber-fluoride.

3.1.2 Etiologi Karies


Karies merupakan kejadian multifaktorial yang dapat disebabkan banyak hal.
Namun utamanya adalah karena adanya perubahan suasana rongga mulut yang
menyebabkan mikrobiota flora normal bereaksi dengan host dan menyebabkan
keadaan abnormal. Beberapa contoh hal yang dapat meningkatkan resiko karies
dengan merubah suasana rongga mulut adalah adanya konsumsi karbohidrat
(terutama sukrosa) dan/atau berkurangnya flow saliva.

3.1.3 Etiopatogenesa Karies


Proses terjadinya karies diawali oleh kondisi lingkungan rongga mulut yang
tidak seimbang. Target dari proses terjadinya karies merupakan jaringan keras gigi
yang terekspos pada rongga mulut. Karies dapat terjadi karena adanya unsur
cariogenic dental biofilm dan paparan karbohidrat yang frekuentif, maka dari itu,
karies juga dianggap sebagai dietary-microbial disease.

11
Gambar 3.1. Struktur gigi terhadap bakteri penyebab karies

Karies gigi dimulai dari lapisan permukaan enamel atau dibawahnya


(demineralisasi awal terjadi di bawah permukaan) yang merupakan hasil dari proses
dimana krital mineral yang merupakan struktur gigi ter demineralisasi oleh asam
organic yang dihasilkan oleh biofilm bakteri dari metabolisme fermentasi
karbohidrat, utamanya gula. Meskipun hasil dari metabolisme gula banyak
macamnya, namun asam laktat dianggap sebagai end-product asam utama yang
berperan pada pembentukan karies. Saat terjadi peningkatan asam pada fase fluid dari
biofilm, pH menurun sampai taraf dimana pertemuan/ interface dari biofilm dan gigi
menjadi undersaturated dan asam mendemineralisasi sebagian dari permukaan gigi.
Adanya kehilangan mineral gigi, mengarah pada meningkatnya porositas gigi,
sehingga melebarkan jarak antara kristal enamel dan melunakkan permukaan. Hal ini
menyebabkan asam dapat masuk ke bagian struktur gigi yang lebih dalam dan
menyebabkan demineralisasi dibawah permukaan terluar gigi (disebut subsurface
demineralization). Akibat adanya dissolusi lapisan permukaan gigi, maka saturasi
produk reaksi meningkat, yaitu diantaranya kalsium dan fosfat. Hal ini sebagian
berfungsi sebagai pelindungan lapisan gigi untuk menekan demineralisasi. Sebagai

12
tambahan, adanya fluoride juga juga dapat menghambat demineralisasi pada lapisan
permukaan gigi. Setelah rongga mulut sudah bersih dari gula karena proses menelan
dan adanya saliva, maka biofilm yang asam dapat ter netralisasi oleh proses buffer
dari saliva. Pada keadaan ini, pH dari biofilm meningkat menuju netral dan daerah
tersebut tersaturasi cukup oleh kalsium, fosfat, dan ion fluoride, sehingga proses
demineralisasi terhenti dan re-deposisi mineral (remineralisasi) terjadi kembali.
Karena adanya pergerakan yang dinamis antara remineralisasi dan demineralisasi
pada proses pembentukan karies, maka early stage dari karies dapat berbalik arah
tidak menjadi karies, namun menjadi arrested ditambah dengan adanya fluoride.
Namun, karies dapat terjadi apabila keadaan remineralisasi tidak dapat
menanggulangi demineralisasi yang terjadi. Berikut merupakan Ilustrasi dari proses
dinamis yang terjadi pada pembentukan karies.
Gambar 3.2. Etiopatogenesa terjadinya karies

3.1.4 Klasifikasi Karies


Karies pada gigi di golongkan menurut lokasinya menjadi beberapa klasifikasi.
Klasifikasi karies yang umum digunakan yaitu klasifikasi karies oleh G.V Black dan
G.J. Mount. Berikut ini adalah Klasifikasi Karies Gigi menurut G.V. Black dan GJ
Mount:

13
Gambar 3.3. Klasifikasi karies menurut G.V. Black

1. Klasifikasi Karies Gigi menurut G.V. Black


 Kelas I
Karies pada permukaan occlusal yaitu pada 2/3 occlusal, baik pada
permukaanlabial/lingual/palatal dari gigi-geligi dan juga karies yang terdapat pada
permukaan lingualgigi-geligi depan.
 Kelas II
Karies yang terdapat pada permukaan proximal dari gigi-geligi belakang temasuk
karies yangmenjalar ke permukan occlusalnya
 Kelas III
Karies yang terdapat pada permukaan proximal dari gigi-geligi depan dan belum
mengenai incisa ledge
 Kelas IV
Karies pada permukaan proximal gigi-geligi depan dan telah mengenai incisal
edge
 Kelas V
Karies yang terdapat pada 1/3 cervical dari permukaan buccal/labial atau lingual
palatinal dariseluruh gigi-geligi
 Kelas VI
Karies yang terdapat pada daerah incisal edge gigi depan atau pada ujung cups dari
gigi belakang

14
2. Klasifikasi Karies Gigi menurut G.J. Mount

Tabel 3.1. Klasifikasi karies menurut G.J. Mount

Site

 Site 1
Defek pada pit, fisur dan email pada permukaan oklusal gigi posterior atau
permukaan halus lainnya (aku artiin mungkin bisa jadi restorasinya)
 Site 2
Area proksimal email gigi.
 Site 3
Bagian sepertiga servikal email, atau jika terjadi resesi, bagian akar yang tampak
tersebut

Size

 Size 0
Merupakan lesi awal demineralisasi. Perawatannya dengan mengeliminasi
penyebab dan tidak memerlukan perawatan lanjutan
 Size 1
Kavitas pada permukaan yang minimal, tidak melibatkan dentin. Perawatan
dengan remineralisasi, dan dapat digunakan bahan restorasi untuk mencegah
akumulasi plak lanjutan

15
 Size 2
Adanya keterlibatan dentin. Perawatan dengan preparasi kavitas dimana gigi
tersebut masih kuat untuk mendukung restorasi
 Size 3
Lesi yang lebih besar dimana cusp atau tepi insisal terbelah. Perawatan dengan
preparasi kavitas yang besar sehingga restorasi dapat menyediakan dukungan
yang cukup untuk struktur gigi yang tersisa..
 Size 4
Karies yang luas dengan kehilangan struktur gigi yang sangan besar (seperti
kehilangan satu cusp).

3.2 Terminologi Diagnosa menurut American Association of Endodontists


(AAE)
Setiap perawatan atau tindakan kedokteran gigi membutuhkan diagnosa yang
tepat untuk menentukan tindakan perawatan. Pada perawatan konservasi gigi,
American Association of Endodontists menentukan Terminologi diagnosa menjadi 2,
yaitu diagnosa pulpa dan diagnosa apikal.
1. Diagnosa Pulpa
 Pulpa Normal
Pada pemeriksaan klinis, tidak didapatkan keluhan dan hasil pemeriksaan
menunjukkan pulpa dalam keadaan vital dan reaksi gigi normal
 Pulpitis Reversible
Keradangan pada pulpa tanpa keluhan nyeri spontan. Pemeriksaaan
vitalitas pulpa didapatkan pulpa dalam keadaan vital
 Pulpitis Irreversible Simptomatik

16
Keradangan pada pulpa dimana gigi tidak mempunyai kemampuan untuk
healing. Cirinya adalah adanya nyeri atas rangsangan ringan, terdapat
nyeri spontan, gigi dalam keadaan vital

 Pulpitis Irreversible Asimptomatik


Keradangan pada pulpa dimana gigi tidak mempunyai kemampuan untuk
healing. Tidak disertai nyeri spontan, gigi dalam keadaan vital. Biasanya
dalam keadaan gigi dengan karies profunda dan perforasi ruang pulpa saat
ekskavasi.
 Nekrosis Pulpa

Gigi dalam keadaan non vital

 Previously Treated
Gigi dalam keadaan pernah dirawat endodontik sampai selesai (akar sudah
dalam keadaan terobturasi).
 Previously Initiated Therapy
Gigi dalam keadaan pernah dirawat perawatan saluran akar sebagian
seperti pulpotomi atau pulpektomi

2. Diagnosa Apikal
 Jaringan apikal normal
Tidak ditemukan keluhan pada pemeriksaan bite test, perkusi, maupun
palpasi. Tidak didapatkan kelainan pada pemeriksaan klinis dan
pemeriksaan radiografi
 Periodontitis apikalis simptomatik
Terjadinya inflamasi pada jaringan apikal gigi, disertai dengan keluhan
saat pemeriksaan bite test, perkusi, dan palpasi. Bisa jadi tidak disertai
oleh perubahan/ kelainana pada pemeriksaan radiografi
 Periodontitis apikalis asimptomatik

17
Tidak didapatkan keluhan klinis pada bite test, perkusi, maupun palpasi.
Terjadi kerusakan pada jaringan apikal yang didahului oleh keradangan
pulpa. Pada pemeriksaan radiografi terdapat gambaran radiolusen pada
bagian apikal

 Abses apikalis kronis


Keadaan inflamasi dengan gradual onset, bisa disertai dengan rasa tidak
nyaman, dan disertai pus yang muncul berkala
 Abses apikalis akut
Kejadian inflamasi dengan onset cepat, disertai dengan nyeri spontan,
pembentukan nanah, dan pembengkakan gusi. Beberapa pasien mungkin
disertai dengan gejala prodromal. Pada pemeriksaan penunjang bisa saja
tidak terlihat tanda-tanda destruksinya.
 Condensing Osteitis
Pada foto radiografi ditemukan lesi radiopak berbatas difus yang
menunjukkan reaksi tulang yang terlokalisasi sebagai respon inflamasi
ringan. Terletak pada periapikal. Tanpa disertai keluhan klinis.

3.3 Rencana Perawatan


3.3.1 Pada Pulpitis Reversible Klas II (Black)
a. Rencana Perawatan Direct Restorasi

Rencana perawatan restorasi direct dengan menggunakan bahan tumpatan


komposit, tentu harus mempertimbangkan kondisi klinis dari gigi geligi yang
bersangkutan. Beberapa keuntungan yang didapat dalam penggunaan bahan resin
komposit berupa warna yang serupa dengan warna natural gigi, harga yang murah,
bisa diadaptasikan dengan mudah pada gigi yang bersangkutan (Ferracane JL, 2011).
Meskipun ada beberapa kerugian dari penggunaan bahan komposit yaitu,
bertambahnya marginal discoloration dan berkurangnya adaptasi marginal pada

18
beberapa kasus yang telah dilaporkan. Rusaknya ikatan perekat resin komposit seiring
bertambahnya waktu atau yang disebut microleakge kemungkinan juga bisa terjadi
yang menimbulkan karies sekunder .(Cramer NB, 2011).

Dalam beberapa studi kasus menyebutkan bahwa penggunaan bahan restorasi


resin komposit dapat bekerja dengan hasil yang memuaskan pada gigi dengan kavitas
yang kecil hingga sedang (Demarco FF,2012). Bahkan performa dari tumpatan resin
komposit dengan management perawatan yang tepat, terlihat lebih memuaskan pada
kasus gigi Premolar di banding Molar, dengan kasus umum yang terjadi berupa
fraktur dan karies sekunder (Ilie N, & Hickel R, 2011).

Prinsip Kerja Kavitas Klas II (MJMC Santos,2015)

1. Restorasi pada kasus penggunakan bahan resin komposit mengandalkan


perlekatan ke jaringan gigi untuk menghasilkan kekuatan yang adequate, karena
itu, isolasi adalah langkah yang penting. Gold Standard untuk mencegah
kontaminasi saliva adalah menggunakan Rubber Dam, dan ini harus
diaplikasikan sebisa mungkin selama prosedur.
2. Jaringan karies dapat dihilangkan menggunakan carbide bur No.245. Bevel
dibentuk pada daerah Facial dan Lingual walls pada proximal Box
menggunakan diamond needle bur. Jaringan-jaringan nekrosis di daerah margin
gingival dihilangkan menggunakan Gingival Margin Trimmers.
3. Preparasi Tunnel adalah design lain dari Class II, dimana preparasi Tunnel dapat
digunakan pada kasus dimana kondisi gigi tidak sampai kehilangan banyak
jaringan sehat disekitarnya karena karies dan tidak ada karies pada daerah
ismus. Design preparasi ini dapat menghindari kebutuhan penghilangan
jaringan enamel dan dentin untuk membentuk proximal box.
4. Tidak seperti preparasi kavitas untuk restorasi amalgam yang memungkinkan
preparasinya harus lebih konservatif dan menghilangkan banyak jaringan sehat
untuk membentuk mekanikal retensi, preparasi untuk bahan resin komposit
tidak boleh ada undercut dan selalu memperhatikan prinsip preparasi. Untuk

19
mencegah stress dan meminimalisir resiko terjadinya kekosongan ruang saat
proses pelekatan bahan tumpatan, semua line angles internal harus dibuat
sedmikian rupa agar tidak terbentuk undercut menggunakan round bur.
Pembentukan bevels dapat menambah area permukaan untuk pengaplikasian
bonding pada enamel. Namun bevel tidak boleh dilakukan pada occlusal
covosurface margin, karena dapat mengakibatkan lapisan yang tipis bahan
tumpatan resin komposit dan dapat berakibat fraktur tumpatan saat fungsi gigi
sudah berjalan.
5. Kavitas hasil preparasi diberi phosphoric acid 37% selama 15 detik ada lapisan
dentin dan 30 detik pada lapisan enamel. Setelah semua lapisan terbilas dan
dikeringkan menggunakan syringe, dimana menghasilkan kondisi yang sedikit
lembab. Kemudian baru dentin bonding diaplikasikan, setelah dikeringkan
kemudian dilakukan curing kembali dengan Light Cure selama 10 detik
menggunakan light-emitting diode lamp.
6. Sectional Matrix, wedge, elastic ring dapat diaplikasikan pada daerah proximal,
burnisher dapat digunakan untuk memverivikasi apakah matrix sudah terpasang
dengan baik dengan gigi sebelahnya.
7. Komposit diaplikasikan secara incremental layer by layer, dengan ketebalan
maksimal per layer nya 2mm, kemudian dilakukan light cure 20 detik. Resin
komposit diaplikasikan dari pinggir ke tengah kavitas dimana dengan tujuan
untuk membentuk Kembali kontak proximal. Setelah kontak proximal terbentuk
dan matrix band dilepas, lanjutkan dengan mengisi kavitas pada bagian oklusal.
8. Finishing dan Polishing adalah prosedur dilakukan dengan menggunakan
diamond bur dan dilanjutkan dengan rubber points. Proximal dan Oklusal
embrasures dihilangkan dengan Fine Disc (Soft lex Polishing/Polishing Kit).

b. Rencana Perawatan Indirect Restorasi

Inlay dan onlay adalah suatu bentuk dari restorasi indirek yang digunakan
jika gigi posterior baik gigi molar maupun premolar mempunyai kavitas yang terlalu

20
besar sehingga struktur gigi yang tersisa tidak dapat mendukung tumpatan direk.
Inlay dibuat diluar mulut pasien, kemudian disementasikan ke pada gigi yang
bersangkutan. Inlay yang dibuat harus memiliki ketepatan seperti potongan puzzle
dan dibuat dengan tujuan untuk membangun ulang area permukaan oklusal yang
besar dari sebuah gigi, dimana tumpatan direk hanya didisain untuk mengisi lubang
yang kecil saja pada permukaan email. Inlay bukan merupakan perawatan yang
extensive seperti crown yang melingkupi seluruh permukaan gigi. Sebuah inlay
biasanya diletakkan pada permukaan oklusal diantara cusp sebuah gigi, sedangkan
onlay menutupi 1 atau lebih permukaan cusp.

Mempersiapkan dan memasang inlay memerlukan beberapa step, antara lain:

1. Membersihkan jaringan karies dan melakukan preparasi pada permukaan gigi


2. Melakukan pencetakan pada area yang akan diberi restorasi
3. Mempersiapkan restorasi pada dental lab baik secara analog maupun dengan
teknologi digital (CAD/CAM)
4. Melakukan sementasi restorasi pada gigi yang bersangkutan

Pemasangan inlay temporary perlu dilakukan pada gigi yang telah dipreparasi
selama pasien menunggu inlay permanen dibuat di dental lab. Material seperti emas,
resin komposit maupun porselen dapat digunakan untuk membuat inlay maupun
onlay. Material yang dipilih dapat didasarkan pada keperluan estetik, kekuatan,
durabilitas, dan biaya. Material yang digunakan memiliki peran yang besar dalam
menentukan berapa lama restorasi tersebut dapat bertahan, karena terdapat beberapa
bahan yang lebih kuat dan memiliki adaptasi yang lebih baik daripada yang lain.
Faktor lain yang dapat mempengaruhi ketahanan dari inlay maupun onlay termasuk
dari kekuatan gigi yang dirawat, kekuatan kunyah pasien serta kemauan pasien dalam
menjaga kebersihan rongga mulut dan melakukan pemeriksaan rutin ke dokter gigi
secara rutin.

Indikasi utama dari inlay porselen dan komposit adalah:

21
a) Pasien yang menuntut estetik yang baik
b) Memiliki oral hygiene yang baik
c) Memiliki alergi terhadap bahan logam
d) Pada gigi posterior yang mengalami kehilangan struktur yang besar. Pada
kasus dimana gigi yang telah dipreparasi dapat memberikan support yang cukup atau
memiliki jumlah email yang cukup agar dapat dicapai daya lekat yang baik,
pembuatan inlay ataupun onlay dapat dilakukan. Keberadaan email sangat penting
karena durabilitas permukaan adhesive pada email sangat terprediksi.
e) Dimensi kavitas yang terlalu besar yang tidak memungkinkan dilakukan
penambalan dengan tehnik direk karena ditakutkan terjadinyua polymerization
shrinkage yang besar
f) Adanya beberapa restorasi yang dikerjakan dalam suatu kuadran, agar
mempermudah pembuatan restorasi

Kontraindikasi utama adalah:

a) Pasien dengan jumlah karies yang banyak


b) Pasien dengan penyakit periodontal dan oral hygiene yang buruk.
c) Pasien dengan lesi erosi pada gigi
d) Pasien dengan kasus kehilangan struktur gigi yang banyak, sehingga
mengakibatkan gigi tersebut tidak cukup adekuat untuk bahan adhesive
e) Pada gigi yang memiliki jaringan gigi yang mengalami diskolorisasi berat
sehingga hasil estetik tidak dapat dicapai
f) Pasien dengan kebiasaan parafungsi

Kelebihan dari inlay berbahan porselen adalah:

a) Biokompatibilitas yang baik


b) Tidak memicu terjadinya penimbunan plak pada permukaan nya. Inlay
porcelain yang dikombinasi dengan tehnik adhesive yang baik dapat
menghasilkan ketahanan pakai yang baik dikarenakan bahan porselen tidak

22
menghantarkan tekanan kunyah pada gigi dibawahnya saat ada beban kunyah
yang diberikan
c) Jika dipadukan dengan tehnik adhesive yang baik serta kerapatan tepi yang
baik, inlay porselen dapat mengurangi resiko terjadinya resiko sensitive pada
dentin dan kebocoran mikro
d) Hasil anatomi serta titik kontak proksimal yang baik dengan gigi tetangganya
e) Stabilitas warna yang baik
f) Koneksi adhesive yang baik antara semen resin dengan permukan porselen.
g) Dapat mencegah terjadinya karies sekunder yang rekuren yang biasa terjadi
pada penambalan tehnik direk
h) Pada studi jangka panjang, telah dibuktikan bahwa meskipun margin restorasi
terletak pada dentin, hal tersebut tidak mengakibatkan terbentuknya karies.
i) Seiring berjalan nya waktu, inlay dari bahan porselen memiliki kontur
anatomi yang tidak mudah berubah
j) Efek akibat dari penyusutan pasca polimerisasi dapat diminimalkan karena
ketebalan semen yang tipis.

Kerugian dari inlay berbahan porselen

a) Biaya yang mahal


b) Tehnik adhesive yang sensitive, sehingga operator harus memahami cara
pemasangan inlay yang baik
c) Tidak dapat direparasi didalam mulut jika terjadi pecah atau rusak

Prinsip preparasi Inlay Porselen:

1. Buang karies hingga didapatkan struktur gigi sehat


2. Bulatkan internal line angle
3. Buatlah beveled chamfer pada bagian margin
4. Pulpal wall dan Cervical wall harus rata dan halus
5. Permukaan oklusal dipreparasi dengan bentuk konkaf

23
6. Jaringan gigi yang sehat diusahakan untuk tidak dibuang untuk retensi,hanya
dibuang jika diperlukan untuk mencapai adaptasi yang baik
7. Ketebalan preparasi sekitar 1,5mm – 2mm
8. Untuk daerah undercut dapat diblok dengan menggunakan komposit resin

9. Ketebalan dinding yang tersisa baik di daerah bukal maupun lingual minimal
1 mm

Tahap Pemasangan Inlay Porselen

Setelah dilakukan percobaan (try in) inlay yang telah dibuat pada gigi yang telah
dipreparasi, maka perlu dilakukan beberapa perlakuan pada permukaan intaglio dari
inlay tersebut:

1. Lekatkan inlay porselen pada microbrush dengan menggunakan gingival dam


2. Permukaan intaglio dari inlay porselen dibersihkan dengan mengoleskan
phosphoric acid 37% dan didiamkan selama 60 detik, lalu cuci bersih dengan
air mengalir selama 10 detik dan keringkan
3. Ulaskan Hydrofluoric Acid 9% dan diamkan selama 30 detik. Cuci bersih
dengan air mengalir selama 10 detik lalu eringkan.
4. Ulaskan Silane pada permukaan intaglio dengan micronbrush dengan gerakan
memutar selama 10 detik, lalu diamkan selama 60 detik. Keringkan dengan 3
way syringe udara, hingga seluruh permukaan intaglio memiliki permukaan
mengkilap.
5. Inlay porselen siap dipasang

Pada permukaan gigi yang telah dipreparasi juga perlu dilakukan beberapa perlakuan,
antara lain:

1. Bersihkan seluruh restorasi temporer yang kita telah taruh sebelumnya, hingga
tidak ada yang tersisa

24
2. Bersihkan permukaan gigi yang akan dilakukan pemasangan inlay dengan
bahan pumice yang tidak mengandung fluoride. Bilas bersih dan keringkan
3. Lakukan isolasi yang adekuat dibantu dengan rubberdam
4. Lakukan etsa pada permukaan enamel selama 30 detik dan dentin selama 15
detik. Bilas bersih lalu keringkan, pastikan permukaan dentin tetap lembab
agar tidak menurunkan kualitas adhesive yang akan diletakkan.
5. Oleskan bahan adhesive pada permukaan email maupun dentin selama 10
detik, lalu diamkan selama 5 detik, dan keringkan dengan 3way syringe
selama 10 detik hingga tidak ada cairan adhesive yang bergerak lagi.
6. Letakkan bahan sementasi resin pada permukaan inlay, lalu letakkan pada
permukaan gigi.
7. Lakukan tack cure dan bersihkan sisa – sisa semen hingga tidak ada yang
tersisa, karena dapat mengakibatkan iritasi pada gingiva
8. Lakukan curing secara sempurna selama 30 detik dari semua sisi gigi
9. Oleskan bahan glycerin pada permukaan gigi yang dilakukan pemasangan
inlay, lalu lakukan penyinaran selama 60 detik untuk menghilangkan oxygen
inhibition layer yang dapat mengganggu polimerisasi dari resin semen.
10. Lakukan pemolesan pada margin gigi dan inlay, agar dipastikan adaptasi
marginal yang sempurna.

3.3.2 Pada Pulpitis Irreversible Klas II (Black)


3.3.2.1 Perawatan Saluran Akar
Terapi yang dilakukan pada gigi dengan diagnosa pulpitis irreversible adalah
perawatan saluran akar atau (root canal treatment). Perawatan saluran akar dilakukan
dengan cara mengangkat jaringan pulpa yang mengalami keradangan atau terinfeksi.
Fungsi dilakukannya perawatan saluran akar adalah untuk mempertahankan gigi asli
selama mungkin dalam rongga mulut. Sesudah perawatan gigi akan menjadi non-vital
(tanpa jaringan pulpa), namun meski demikian masih ada jaringan vital yang
mengelilingi gigi tersebut seperti gusi, jaringan penyangga gigi, dan tulang. Gigi yang

25
telah dirawat saluran akar diharapkan akan tetap berfungsi seperti gigi-gigi vital
lainnya.

Keberhasilan perawatan saluran akar dapat ditentukan oleh pengetahuan


operator terhadap anatomi dan marfologi dari saluran akar. Mengidentifikasi dan
membuat akses menuju saluran akar memerlukan kehati-hatian karena bentuk saluran
akar yang sangat bervariasi. Kurangnya pemahaman operator terhadap hal tersebut
akan menyebabkan kegagalan pada seluruh prosedur dari perawatan saluran akar itu
sendiri, mulai dari akses, cleaning, shaping, dan obturasi dari saluran akar (Theruvil
et al., 2014).

Faktor lain yang berpengaruh terhadap keberhasilan perawatan saluran akar


adalah sedikit atau banyaknya struktur gigi yang terlibat, karena akan berpengaruh
pula terhadap penentuan restorasi akhir. Terutama jika kerusakan telah mencapai
pada daerah proksimal. Jika kerusakan sudah mencapai daerah proksimal, bisa jadi
tidak hanya dalam hal endodontik dan restorasi saja yang perlu diperhatikan, namun
juga pada periodontalnya. Untuk itu pemilihan rencana perawatan yang tepat akan
sangat berpengaruh terhadap tingkat keberhasilan dari perawatan (Blanco et al.,
2017).

Perawatan saluran akar bisa dilakukan dengan satu kali kunjungan (single
visit) maupun dengan beberapa kali kunjungan (multiple visit). Beberapa studi
mengatakan tidak ada perbedaan yang terlalu signifikan terhadap single visit endo
dengan multiple visit endo, namun itu semua tergantung pada preferensi dan
kemahiran masing-masing operator dalam memahami setiap kasus (Dennis, 2017).

Prosedur perawatan saluran akar satu kali kunjungan (single visit) menurut
Dennis (2017), sebagai berikut :

a. Melakukan foto radiografi sebelum tindakan.


b. Pemberian anestesi lokal.
c. Isolasi daerah dengan menggunakan rubber dam.

26
d. Preparasi akses koronal dan membuang jaringan-jaringan karies yang masih
terdapat di dalam kavitas.
e. Masukkan K-file no.10 dan no.15 untuk mendapatkan glidepath.
f. Penentuan panjang kerja dengan menggunakan electronic apex locator.
g. Lakukan shaping dan cleaning menggunakan pathfile dan rotary Niti files hingga
40/0.04 di setiap saluran akar.
h. Irigasi dengan menggunakan Sodium hypochloride 5.2% dan
Ethylenediaminetetraacetic acid 17% secara bergantian.
i. Irigasi terakhir menggunakan Chlorhexidine 3%.
j. Lakukan pencobaan master cone dan dilakukan pengambilan foto radiografi.
k. Lakukan obturasi dengan menggunakan kombinasi kondensasi lateral dan teknik
warm gutta percha menggunakan System B tip dan hot injection.
l. Pengambilan foto radiografi setelah tindakan.
m. Pembuatan restorasi tetap.
n. Lakukan follow-up 1 tahun kedepan dan lakukan pengambilan foto radiografi.

Prosedur perawatan saluran akar dengan dua kali kunjungan (two visits)
menurut Theruvil et al. (2014), sebagai berikut :

a. Melakukan foto radiografi sebelum tindakan.


b. Pemberian anestesi lokal dengan infiltrasi pada daerah bukal.
c. Isolasi daerah kerja menggunakan rubber dam.
d. Preparasi akses koronal menggunakan highspeed bur dan membuang jaringan-
jaringan karies yang masih terdapat di dalam kavitas.
e. Perlahan-lahan mencari orifice dari saluran akar, hati-hati terhadap dasar pulpa
chamber.
f. Eksplorasi saluran akar menggunakan explorer dan file no.10.
g. Penentuan panjang kerja dengan menggunakan electronic apex locator.
h. Konfirmasi ulang dengan foto radiografi.

27
i. Melakukan cleaning and shaping dengan teknik crown down technique
menggunakan protaper rotary instruments.
j. Pemberian lubrikan dengan menggunakan Ethylenediaminetetraacetic acid 17%.
k. Pemberian irigasi menggunakan Sodium hypochloride 5.2%.
l. Setelah dilakukan preparasi terhadap seluruh saluran akar, keringkan
menggunakan paper point.
m. Karena dilakukan dalam dua kali kunjungan, maka diberikan calcium hydroxide
sebagai medikasi intrakanal. Dilanjutkan dengan pemberian tumpatan sementara
pada gigi tersebut.
n. Kemudian saat dikunjungan kedua, saluran akar dibilas dengan menggunakan
Sodium hypochloride 5.2% dan keringkan saluran akar.
o. Percobaan master cone pada saluran akar dan dilakukan foto radiografi apakah
master cone sudah tepat.
p. Melakukan obturasi saluran akan menggunakan protaper gutta percha dan AH
plus resin sealer.
q. Pengambilan foto radiografi setelah tindakan.
r. Pembuatan restorasi tetap.
Lakukan follow up pada kontrol selanjutnya dengan menggunakan foto radiografi.

2.3.2.2 Restorasi Post Perawatan Saluran Akar

Restorasi akhir merupakan komponen penting yang harus dikerjakan


semaksimal mungkin sebagai tahapan akhir dari perawatan saluran akar. Istilah
“coronal seal” merupakan ungkapan yang sering diidentikkan dengan restoasi akhir
karena fungsi utama dari prosedur restorasi akhir adalah untuk mencegah masuknya
kembali bakteri melalui bagian koronal gigi (Prasetia & Abidin, 2016).

Jaringan dentin pada gigi yang telah dilakukan perawatan saluran akar
cenderung lebih rapuh dibandingkan dentin pada gigi vital, hal ini disebabkan oleh
karena dehidrasi pada dentin sehingga berkurangnya kandungan air dan kolagen pada
gigi yang telah dilakukan perawatan saluran akar, serta berubahnya rasio ukuran dari

28
mahkota hingga akar, sehingga diperlukannya pemilihan restorasi yang tepat untuk
menjaga keutuhan dan ketahan struktur gigi yang tersisa (Al-Khaldi, 2020).

Menurut Awwad, 2019, pada gigi posterior berdasarkan keadaan jaringan gigi
yang tersisa setelah dilakukan perawatan saluran akar, terbagi tiga kategori, yaitu

3.1 Kerusakan jaringan gigi minimal


3.2 Kerusakan jaringan gigi sedang
3.3 Kerusakan jaringan gigi berat

Kerusakan jaringan gigi minimal dapat didefinisikan sebagai keadaan gigi


pasca perawatan endodontik yang memiliki karies/kerusakan jaringan gigi yang
mengenai bagian oklusal maupun disto-oklusal/mesio-oklusal, dan masih memiliki
ketebalan dinding axial > 2 mm. Kategori kerusakan gigi ini tidak memerlukan
cuspal coverage untuk mendapatkan ketahanan gigi yang baik, karena gigi tersebut
masih memiliki sisa jaringan sehat yang cukup banyak. Bahan restorasi dengan
ketahanan baik yang bisa digunakan untuk kategori gigi ini adalah resin komposit.
Namun, jika terdapat beberapa faktor yang menyebabkan adanya tekanan oklusal
berlebih, seperti terdapatnya kebiasaan parafungsional, maka pemilihan restorasi
cuspal coverage perlu dipertimbangkan (Awwad, 2019).

Gambar 3.4(a). Kavitas pada gigi premolar dengan kerusakan jaringan gigi minimal,
(b) Gigi premolar setelah direstorasi menggunakan resin komposit (Awwad, 2019)

29
Kerusakan jaringan gigi sedang dapat didefinisikan sebagai keadaan gigi
pasca perawatan endodontik yang memiliki karies/kerusakan jaringan gigi yang
mengenai bagian disto-oklusal/mesio-oklusal dengan ketebalan dinding axial < 2 mm,
maupun terlibatnya bagian mesio-okluso-distal. Restorasi yang tepat untuk
kategori gigi ini adalah restorasi cuspal coverage, karena jaringan gigi yang tersisa
tidak cukup kuat untuk menerima tekanan oklusal. Restorasi cuspal coverage terdiri
dari onlay dan overlay (Awwad, 2019).
Kerusakan jaringan gigi berat dapat didefinisikan sebagai keadaan gigi
pasca perawatan endodontic dengan karies/kerusakan gigi yang melibatkan lebih dari
bagian mesio-okluso-distal. Karies gigi pada kategori ini besar sehingga jaringan
sehat yang tersisa hanya sedikit. Pada kategori ini gigi tidak memiliki ketahanan yang
baik, sehingga diperlukan adanya pasak kemudian dilanjutkan dengan restorasi
cuspal coverage (Awwad, 2019).

Gambar 3.5. Flowchart untuk menentukan jenis restorasi post perawatan endodontik yang
akan digunakan berdasarkan struktur jaringan gigi yang tersisa (Awwad, 2019).

30
Menurut Papalexopoulos, 2019, terdapat kategori berdasarkan struktur
dinding gigi posterior yang tersisa pasca perawatan endodontik.

Gambar 3.6. Diagram pemilihan restorasi gigi berdasarkan struktur dinding gigi posterior
yang tersisa pasca perawatan endodontik (Papalexopoulos, 2019).

Jika struktur dinding dentin gigi masih tersisa 4 sisi, maka restorasi direk
adalah pilihan yang paling tepat untuk kategori gigi ini, karena struktur jaringan sehat
yang tersisa masih banyak (Papalexopoulos, 2019).
Pada kategori dinding dentin yang tersisa adalah 3 sisi, maka jika dinding
dentin masih tersisa > 2 mm, bisa dilakukan restorasi direk. Apabila dinding dentin
yang tersisa < 2 mm, maka diperlukan restorasi onlay atau overlay. Keuntungan
restorasi onlay dan overlay adalah memiliki kekuatan yang baik, sehingga dapat
menghindari terjadinya fraktur (Papalexopoulos, 2019).
Pada kategori dinding dentin yang tersisa hanya 1 atau 2 sisi, maka diperlukan
pasak dan dilanjutkan dengan restorasi mahkota. Keuntungan dari penggunaan pasak

31
adalah meningkatkan ketahanan gigi terhadap fraktur, serta menghindari terjadinya
kegagalan dalam proses endo-resto pada gigi yang terlibat (Papalexopoulos, 2019).

3.4 Periodontitis pada Overhanging Restoration

Restorasi dapat dikatakan overhanging ketika bahan tumpat melebihi outline


form (batas preparasi) yang seharusnya. Lapang pandang dan aksesibilitas yang
terbatas dalam rongga mulut sering kali menjadikan retorasi mengalami overhanging.
Sulitnya adaptasi matriks dan pemulasan pada daerah sempit ini menjadikan
kebersihan mulut yang kurang. Seiring waktu plak akan menumpuk dan
menyebabkan kerusakan jaringan periodontal (Ilday et al., 2016).
Periodontitis adalah penyakit yang multifaktorial. Restorasi interproksimal
yang overhanging ditengarai sebagai faktor yang berkontribusi menyebabkan
gingivitis dan kehilangan perlekatan periodontal. Diawali dengan peradangan gingiva
karena adananya retensi penumpukan plak berlebih (Gilmore et al., 1971).
Patofisiologi kerusakan periodontal pada restorasi overhanging dikaitkan
dengan perubahan lingkungan dan gangguan keseimbangan antara mikroflora dan
periopathogens, sama seperti yang terjadi pada periodontitis kronis. Terjadi
peningkatan proporsi bakteri anaerob gram negatif, khususnya bakteri berpigmen
hitam. Restorasi yang overhanging berisiko lebih tinggi menyebabkan periodontitis,
berbanding lurus dengan banyaknya plak dan kerusakan periodontal (Lang et al.,
1983). Tidak idealnya kondisi restorasi ini menimbulkan perhatian yang signifikan
karena prevalensinya diperkirakan 25-76% pada gigi yang ditumpat (Bjom et al.,
1969). Ketika restorasi overhanging tidak segera ditemukan, maka akan terjadi
kerusakan tulang yang lebih dalam dan resesi gingiva (Padbury, Eber and Wang,
2003).
Penyebab paling umum restorasi overhanging adalah ketidakcakapan operator.
Meskipun begitu dalam beberapa kasus penyesuaian tepi restorasi masih sulit
dilakukan karena adanya ketidakteraturan bentuk akar meskipun sudah dilakukan

32
dengan hati-hati. Oleh karena itu, saat melakukan restorasi maupun penumpatan
ulang perlu dilakukan dengan teliti dan kehati-hatian. (Matthews and Tabesh, 2004)

3.5 Komunikasi, Informasi dan Edukasi

3.5.1 Pengertian Komunikasi, Informasi, Edukasi (KIE)


Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) adalah suatu kegiatan penyampaian
pesan atau informasi untuk meningkatkan pengetahuan, sikap, dan perilaku individu,
keluarga dan masyarakat (Notoatmodjo, 2012).
a. Komunikasi
Komunikasi adalah pertukaran pikiran atau keterangan dalam rangka
menciptakan rasa saling mengerti dan saling percaya, demi terwujudnya hubungan
yang baik antara seseorang dengan orang lain. Komunikasi adalah pertukaran fakta,
gagasan, opini atau emosi antara dua orang atau lebih. Komunikasi kesehatan adalah
usaha yang sistematis untuk mempengaruhi secara positif perilaku kesehatan
masyarakat, dengan menggunakan berbagai prinsip dan metode komunikasi, baik
menggunakan komunikasi antar pribadi maupun komunikasi massa.
b. Informasi
Informasi adalah keterangan, gagasan, maupun kenyataan-kenyataan yang
perlu diketahui oleh masyarakat.
c. Edukasi
Edukasi kesehatan pada hakekatnya adalah suatu kegiatan atau usaha untuk
menyampaikan pesan kesehatan kepada masyarakat, kelompok atau individu. Dengan
harapan bahwa dengan adanya pesan tersebut, masyarakat, kelompok, atau individu
dapat memperolah pengetahuan tentang kesehatan yang lebih baik.

3.5.2 Prinsip KIE


Prinsip yang harus diperhatikan dalam pelaksanaan KIE adalah :

33
a. Memperlakukan klien dengan sopan, baik dan ramah
b. Memahami, menghargai dan menerima keadaan penerima pesan/objek (status
pendidikan, social ekonomi dan emosi) sebagaimana adanya
c. Memberikan penjelasan dengan bahasa yang sederhana dan mudah dipahami
d. Menggunakan alat peraga yang menarik dan mengambil contoh dari kehidupan
sehari-hari
e. Menyesuaikan isi penyuluhan dengan keadaan dan risiko yang dimiliki objek

Peran atau tujuan KIE dalam perawatan kesehatan yaitu diharapkan mampu
meningkatkan pengetahuan, sikap terhadap objek atau penerima informasi serta
mendorong terjadinya perubahan perilaku ke arah yang positif, dan dapat dipraktikan
dalam kehidupan masyarakat sehingga menjadikan perilaku yang sehat dan
bertanggungjawab bagi individu dan msyarakat itu sendiri (Marvelina, 2017).

3.6 Inform to Consent dan Informed Consent


3.6.1 Inform to Consent
Inform to consent adalah proses komunikasi antara penyedia layanan kesehatan
dengan penerima layanan kesehatan yang sering kali mengarah pada persetujuan atau
izin untuk perawatan, pengobatan, atau layanan. Setiap pasien memiliki hak untuk
mendapatkan informasi dan mengajukan pertanyaan sebelum prosedur dan perawatan
(Busro, 2018).

3.6.2 Informed Consent / Persetujuan Tindakan Medis


Secara harfiah Consent artinya persetujuan, atau lebih „tajam‟ lagi, ”izin”.
Jadi Informed consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien atau keluarga yang
berhak kepada dokter untuk melakukan tindakan medis pada pasien, seperti
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan lain-lain untuk menegakkan diagnosis, memberi
obat, melakukan suntikan, menolong bersalin, melakukan pembiusan, melakukan
pembedahan, melakukan tindak-lanjut jika terjadi kesulitan, dsb. Selanjutnya kata
Informed terkait dengan informasi atau penjelasan. Dapat disimpulkan bahwa

34
Informed Consent adalah persetujuan atau izin oleh pasien (atau keluarga yang
berhak) kepada dokter untuk melakukan tindakan medis atas dirinya, setelah
kepadanya oleh dokter yang bersangkutan diberikan informasi atau penjelasan yang
lengkap tentang tindakan itu. Mendapat penjelasan lengkap itu adalah salah satu hak
pasien yang diakui oleh undang-undang sehingga dengan kata lain Informed consent
adalah Persetujuan Setelah Penjelasan (PSP) (Busro, 2018).
Sedangkan menurut Peraturan Menteri Kesehatan No
585/Men.Kes/Per/IX/1989 tentang Persetujuan Medik, Persetujuan Tindakan Medik
adalah Persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarganya atas dasar penjelasan
mengenai tindakan medik yang akan dilakukan terhadap pasien tersebut. Menurut
Peraturan Menteri Kesehatan No. 290/Menkes/Per/III/2008 tentang Persetujuan
Tindakan Kedokteran, Persetujuan tindakan kedokteran adalah persetujuan yang
diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah mendapat penjelasan secara
lengkap mengenai tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan
terhadap pasien.
Persetujuan tindakan Kedokteran telah diatur dalam Pasal 45 Undang –
undang no. 29 tahun 2004 tentang praktek Kedokteran. Sebagaimana dinyatakan
setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang akan dilakukan oleh dokter atau
dokter gigi terhadap pasien harus mendapat persetujuan. Persetujuan sebagaimana
dimaksud diberikan setelah pasien mendapat penjelasan secara lengkap, sekurang-
kurangnya mencakup : diagnosis dan tata cara tindakan medis, tujuan tindakan medis
yang dilakukan, alternatif tindakan lain dan risikonya, risiko dan komplikasi yang
mungkin terjadi, dan prognosis terhadap tindakan yang dilakukan. Persetujuan
tersebut dapat diberikan baik secara tertulis maupun lisan. Disebutkan didalamnya
bahwa setiap tindakan kedokteran atau kedokteran gigi yang mengandung risiko
tinggi harus diberikan dengan persetujuan tertulis yang ditandatangani oleh yang
berhak memberikan persetujuan.

a. Bentuk Informed Consent


Ada 2 bentuk Informed Consent, yaitu :

35
1) Implied Consent (dianggap diberikan)
Umumnya implied consent diberikan dalam keadaan normal, artinya dokter
dapat menangkap persetujuan tindakan medis tersebut dari isyarat yang
diberikan/dilakukan pasien. Demikian pula pada kasus emergency sedangkan
dokter memerlukan tindakan segera sementara pasien dalam keadaan tidak
bisa memberikan persetujuan dan keluarganya tidak ada ditempat, maka
dokter dapat melakukan tindakan medik terbaik menurut dokter.
2) Expressed Consent (dinyatakan)
Dapat dinyatakan secara lisan maupun tertulis. Dalam tindakan medis yang
bersifat invasive dan mengandung risiko, dokter sebaiknya mendapatkan
persetujuan secara tertulis, atau yang secara umum dikenal di rumah sakit
sebagai surat izin operasi.

b. Fungsi dan Tujuan Informed Consent


Fungsi dari Informed Consent, yaitu :
1) Promosi dari hak otonomi perorangan;
2) Proteksi dari pasien dan subyek;
3) Mencegah terjadinya penipuan atau paksaan;
4) Menimbulkan rangsangan kepada profesi medis untuk mengadakan
introspeksi terhadap diri sendiri;
5) Promosi dari keputusan-keputusan rasional;
6) Keterlibatan masyarakat (dalam memajukan prinsip otonomi sebagai suatu
nilai social dan mengadakan pengawasan dalam penyelidikan biomedik.

Informed Consent itu sendiri menurut jenis tindakan/ tujuannya dibagi tiga, yaitu :
a. Yang bertujuan untuk penelitian (pasien diminta untuk menjadi subyek penelitian)
b. Yang bertujuan untuk mencari diagnosis
c. Yang bertujuan untuk terapi

Tujuan dari Informed Consent menurut J. Guwandi adalah :

36
a. Melindungi pasien terhadap segala tindakan medis yang dilakukan tanpa
sepengetahuan pasien
b. Memberikan perlindungan hukum terhadap akibat yang tidak terduga dan bersifat
negatif, misalnya terhadap risk of treatment yang tak mungkin dihindarkan
walaupun dokter sudah mengusahakan semaksimal mungkin dan bertindak
dengan sangat hati-hati dan teliti.

Dalam keadaan gawat darurat Informed consent tetap merupakan hal yang
paling penting walaupun prioritasnya diakui paling bawah. Prioritas yang paling
utama adalah tindakan menyelamatkan nyawa. Walaupun tetap penting, namun
Informed consent tidak boleh menjadi penghalang atau penghambat bagi pelaksanaan
emergency care sebab dalam keadaan kritis dimana dokter berpacu dengan maut, ia
tidak mempunyai cukup waktu untuk menjelaskan sampai pasien benar-benar
menyadari kondisi dan kebutuhannya serta memberikan keputusannya. Dokter juga
tidak mempunyai banyak waktu untuk menunggu kedatangan keluarga pasien.
Kalaupun keluarga pasien telah hadir dan kemudian tidak menyetujui tindakan
dokter, maka berdasarkan doctrine of necessity, dokter tetap harus melakukan
tindakan medik. Hal ini dijabarkan dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
585/Men.kes/Per/IX/1989 Tentang Persetujuan Tindakan Medik, bahwa dalam
keadaan emergency tidak diperlukan Informed consent. Sesuai dengan yang terdapat
dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 290/Menkes/Per/III/2008 Tentang
Persetujuan Tindakan Kedokteran, bahwa dalam keadaan gawat darurat, untuk
menyelamatkan jiwa pasien dan/atau mencegah kecacatan tidak diperlukan
persetujuan tindakan kedokteran.
Ketiadaan informed consent dapat menyebabkan tindakan malpraktek dokter,
khususnya bila terjadi kerugian atau intervensi terhadap tubuh pasiennya. Hukum
yang umum diberbagai Negara menyatakan bahwa akibat dari ketiadaan informed
consent setara dengan kelalaian/keteledoran. Akan tetapi, dalam beberapa hal,
ketiadaan informed consent tersebut setara dengan perbuatan kesengajaan, sehingga

37
derajat kesalahan dokter pelaku tindakan tersebut lebih tinggi. Tindakan malpraktek
dokter yang dianggap setara dengan kesengajaan adalah sebagai berikut:
a. Pasien sebelumnya menyatakan tidak setuju terhadap tindakan dokter, tetapi
dokter tetap melakukan tindakan tersebut
b. Jika dokter dengan sengaja melakukan tindakan misleading tentang risiko dan
akibat dari tindakan medis yang diambilnya
c. Jika dokter dengan sengaja menyembunyikan resiko dan akibat dari tindakan
medis yang diambilnya
d. Informed consent diberikan terhadap prosedur medis yang berbeda secara
substansial dengan yang dilakukan oleh dokter.

3.7 Kaidah Bioetika

Prinsip bioetika pada dasarnya merupakan penerapan prinsip-prinsip etika


dalam bidang kedokteran dan kesehatan. Etika kedokteran terapan, terbagi atas 2
kategori besar: (1) Principlism: mementingkan prinsip etik dalam bertindak.
Termasuk dalam konteks ini adalah etika normatif, empat basic moral principle,
konsep libertarianism (mengutamakan otonomi) serta beneficence in trust (berbuat
baik dalam suasana kepercayaan) (Jonsen at al, 2002).
Dalam bukunya Beauchamp dan Childress(2001) menguraikan 4 prinsip dasar
bioetik yaitu autonomy, nonmaleficence, beneficence, dan justice.
1. Autonomy
Prinsip autonomy, selanjutnya dikenal sebagai respect for autonomy adalah
kebebasan dan kemampuan untuk bertindak dan memutuskan dari diri sendiri
(tanpa campur tangan pihak lain). Pada bidang kesehatan, menghormati
kebebasan pasien meliputi memberi informed consent pada pasien sebelum
perawatan, mempermudah dan mendukung pilihan pasien terkait opsi perawatan,
memberi kesempatan pasien untuk menolak perawatan, memberi informasi
kepada pasien secara menyeluruh dan dapat dipercaya, mendiagnosa pasien
dengan tepat, memberi pilihan perawatan kepada pasien, dan menjaga kerahasiaan

38
pasien. Prinsip autonomy dapat ditegakan dalam kondisi tenang dan tidak tergesa-
gesa. Prinsip ini tidak berlaku pada kondisi pasien yang menunjukkan potensi
ancaman untuk melukai orang lain, seperti sengaja memaparkan orang lain
dengan penyakit menular atau menunjukkan tindak kekerasan.
2. Beneficence
Prinsip beneficence memiliki arti melakukan tindakan untuk memberi keuntungan
dan meningkatkan kesejahteraan orang lain, meliputi melakukan perbuatan
kemurahan hati, kebaikan, persahabatan, amal, dan sejenisnya. Prinsip
beneficence terdiri dari tiga norma: seseorang seharusnya mencegah kejahatan
atau kerugian, seseorang seharusnya menyingkirkan kejahatan atau kerugian, dan
seseorang seharusnya melakukan dan mendorong melakukan kebaikan. Karena
tuntutan standar profesional, tenaga kesehatan memiliki tanggung jawab untuk
melakukan kebaikan dalam pekerjaan mereka, menempatkan pasien sebagai
perhatian utama.
3. Nonmaleficence
Prinsip nonmaleficence adalah prinsip dimana tenaga kesehatan diwajibkan tidak
melakukan hal yang merugikan pasien. Tenaga kesehatan selama ini dituntut
untuk berbuat kebaikan (beneficence), tetapi jika karena beberapa alasan tidak
dapat berbuat kebaikan, paling tidak, tenaga kesehatan tidak melakukan sesuatu
yang merugikan pasien. Prinsip nonmaleficence adalah suatu norma yang
menuntut seseorang seharusnya tidak melakukan kejahatan atau kerugian untuk
orang lain. Meliputi suatu sikap dengan sengaja menghindari tindakan yang
mendatangkan kerugian.
4. Justice
Sebagai yang utama dalam etika kesehatan, justice merujuk kepada keadilan,
memperlakukan orang lain dengan sama dan tanpa prasangka, distribusi
keuntungan dan beban yang setimpal, termasuk memastikan keadilan dalam
penelitian biomedik. Beuchamp dan Childress menyatakan bahwa teori ini sangat
erat kaitannya dengan sikap adil seseorang kepada orang lain, seperti memutuskan

39
siapa yang membutuhkan pertolongan kesehatan terlebih dahulu dilihat dari
derajat keparahan penyakitnya.

3.8 Kode Etik Kedokteran Gigi


3.8.1 Hak dan Kewajiban Dokter Gigi

Di dalam memberikan layanan kedokteran, dokter mempunyai hak dan


kewajiban sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.
29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Pasal 50 dan 51
Pasal 50
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak:
a) memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan
standar profesi dan standar prosedur operasional;
b) memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur
operasional;
c) memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan
d) menerima imbalan jasa.
Pasal 51
Dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai
kewajiban:
a) memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur
operasional serta kebutuhan medis pasien;
b) merujuk pasien ke dokter atau dokter gigi lain yang mempunyai keahlian atau
kemampuan yang lebih baik, apabila tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan
atau pengobatan;
c) merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang pasien, bahkan juga
setelah pasien itu meninggal dunia;
d) melakukan pertolongan darurat atas dasar perikemanusiaan, kecuali bila ia yakin
ada orang lain yang bertugas dan mampu melakukannya; dan

40
e) menambah ilmu pengetahuan dan mengikuti perkembangan ilmu kedokteran atau
kedokteran gigi.

3.8.2 Hak dan Kewajiban Pasien

Di dalam memperoleh layanan kedokteran, pasien mempunyai hak dan


kewajiban sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia No. 29
Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Pasal 52 dan 53
a. Pasal 52
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai hak:
a) mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 45 ayat (3), yaitu: a. diagnosis dan tata cara tindakan
medis; b. tujuan tindakan medis yang dilakukan; c. alternatif tindakan lain dan
risikonya; d. risiko dan komplikasi yang mungkin terjadi; dan e. prognosis
terhadap tindakan yang dilakukan.
b) meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
c) mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
d) menolak tindakan medis; dan
e) mendapatkan isi rekam medis.
b. Pasal 53
Pasien, dalam menerima pelayanan pada praktik kedokteran, mempunyai
kewajiban:
a) memberikan informasi yang lengkap dan jujur tentang masalah kesehatannya;
b) mematuhi nasihat dan petunjuk dokter atau dokter gigi;
c) mematuhi ketentuan yang berlaku di sarana pelayanan kesehatan; dan
memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.

3.8.3 Hak dan Kewajiban Sesama Sejawat

41
Etik Kedokteran mengharuskan setiap dokter memelihara hubungan baik
dengan teman sejawatnya sesuai makna atau butir dari lafal sumpah dokter yang
mengisyaratkan perlakuan terhadap sejawatnya sebagai berikut : “Saya akan
perlakukan teman sejawat saya sebagai mana saya sendiri ingin diperlakukan”. (IDI,
2002)

Menurut Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) terdapat 4 kewajiban


seorang dokter dalam menjalani profesinya dan salah satunya itu adalah mengenai
kewajiban terhadap teman sejawat. Pasal-pasal dalam KODEKI yang mengatur
mengenai kewajiban terhadap teman sejawat adalah sebagai berikut:

a. Seorang dokter harus bersikap jujur dalam berhubungan dengan pasien dan
sejawatnya, dan berupaya untuk mengingatkan sejawatnya yang dia ketahui
memiliki kekurangan dalam karakter atau kompetensi atau yang melakukan
penipuan atau penggelapan dalam menangani pasien.
b. Seorang dokter harus menghargai hak-hak pasien, hak-hak sejawatnya dan hak
tenaga kesehatan lainnya dan harus menjaga kepercayaan pasien.
c. Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia ingin
diperlakukan.
d. Setiap dokter tidak boleh mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali
dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis.(IDI, 2002)

Berdasarkan surat keputusan nomor: SKEP/034/PB PDGI/V/2008 tentang


kode etik kedokteran gigi Indonesia Pengurus Besar Persatuan Dokter Gigi Indonesia
pada Bab 3 pasal 15 dijelaskan kewajiban dokter gigi terhadap teman sejawat, yang
berbunyi:

Ayat 1 : Dokter Gigi di Indonesia harus memperlakukan teman sejawatnya


sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.

Ayat 2: Sopan santun dan saling menghargai sesama teman sejawat harus
selalu diutamakan. Pembicaraan mengenai teman sejawat yang menyangkut pribadi

42
atau dalam memberi perawatan harus disikapi secara benar, informatif dan dapat
dipertanggung jawabkan tanpa menyalahkan pihak lain

Pasal 16

Dokter Gigi di Indonesia apabila mengetahui pasien sedang dirawat dokter gigi lain
tidak dibenarkan mengambil alih pasien tersebut tanpa persetujuan dokter gigi lain
tersebut kecuali pasien menyatakan pilihan lain.

3.9 Malpraktik

Malpraktek atau malpraktek medis adalah istilah yang sering digunakan orang
untuk tindak pidana yang dilakukan oleh orang-orang yang berprofesi di dalam dunia
kesehatan atau biasa disebut tenaga kesehatan. Banyak persoalan malpraktek, atas
kesadaran hukum pasien diangkat menjadi masalah pidana. Menurut Maryanti, hal
tersebut memberi kesan adanya kesadaran hukum masyarakat terhadap hak-hak
kesehatannya. (Isfandyarie, 2005)
Malpraktek menurut pendapat Jusuf Hanafiah merupakan “kelalaian seorang
dokter untuk mempergunakan tingkat keterampilan dan ilmu pengetahuan yang lazim
dipergunakan dalam mengobati pasien atau orang yang terluka menurut ukuran di
lingkungan yang sama.”

Tindakan malpraktik sendiri merupakan istilah yang sifatnya umum dan tidak
selalu berkonotasi atau memiliki arti yuridis. Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi
ketiga menyebut-kan istilah malpraktik dengan malapraktik yang diartikan dengan:
"praktik kedokteran yang salah, tidak tepat, menyalahi undang-undang atau kode
etik." Secara harafiah “mal” mempunyai arti “salah” sedangkan “praktek”

43
mempunyai arti “pelaksanaan” atau “tindakan”, sehingga mal praktek berarti
“pelaksanaan atau tindakan yang salah”(Rismalinda, 2011)

3.9.1 Jenis-Jenis Malpraktek

Adapun jenis-jenis malpraktek ditinjau dari segi etika profesi dan segi hukum
dapat dibedakan menjadi dua bentuk yaitu malpraktek etik (ethical malpractice) dan
malpraktek yuridis (yuridical malpractice).

1. Malpraktek Etik
Malpraktek etik yaitu tenaga kesehatan melakukan tindakan yang
bertentangan dengan etika profesinya sebagai tenaga kesehatan. Misalnya seorang
dokter gigi yang melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika kedokteran
gigi. Etika kedokteran gigi yang dituangkan dalam Kode Etik Dokter Gigi
merupakan seperangkat standar etis, prinsip, aturan atau norma yang berlaku
untuk seluruh dokter gigi.

2. Malpraktek Yuridis
Soedjatmiko membedakan malpraktek yuridis ini menjadi tiga bentuk,
yaitu malpraktek perdata (civil malpractice), malpraktek pidana (criminal
malpractice) dan malpraktek administratif (administrative malpractice).

a. Malpraktek Perdata (Civil Malpractice)


Malpraktek perdata terjadi apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan
tidak terpenuhinya isi perjanjian (wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh
tenaga kesehatan, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige
daad), sehingga menimbulkan kerugian kepada pasien. Dalam malpraktek perdata

44
yang dijadikan ukuran dalam melpraktek yang disebabkan oleh kelalaian adalah
kelalaian yang bersifat ringan (culpa levis). Karena apabila yang terjadi adalah
kelalaian berat (culpa lata) maka seharusnya perbuatan tersebut termasuk dalam
malpraktek pidana. Contoh dari malpraktek perdata, misalnya seorang dokter
yang melakukan operasi ternyata meninggalkan sisa perban didalam tubuh si
pasien. Setelah diketahui bahwa ada perban yang tertinggal kemudian dilakukan
operasi kedua untuk mengambil perban yang tertinggal tersebut. Dalam hal ini
kesalahan yang dilakukan oleh dokter dapat diperbaiki dan tidak menimbulkan
akibat negatif yang berkepanjangan terhadap pasien.
Menurut Soejatmiko malpraktek perdata (Civil Malpractice) terjadi
apabila terdapat hal-hal yang menyebabkan tidak dipenuhinnya isi perjanjian
(wanprestasi) didalam transaksi terapeutik oleh dokter atau tenaga kesehatan
lainnya, atau terjadinya perbuatan melanggar hukum (onrechtmatige daad)
sehingga menimbulakan kerugian kepada pasien. Sedangkan untuk dapat
menuntut pergantian kerugian karena kelalaian dokter maka pasien harus
membuktikan adanya 4 unsur berikut yaitu :
1. Adanya suatu kewajiban dokter terhadap pasien
2. Dokter telah melanggar pelayanan medic yang telah digunakan
3. Penggugat (pasien) telah menderita kerugian yang dapat dimintakan ganti ruginya
4. Secara faktual tindakan tersebut dapat disebabkan oleh tindakan dibawah standar.

b. Malpraktek Pidana

Malpraktek pidana terjadi apabila pasien meninggal dunia atau mengalami


cacat akibat tenaga kesehatan kurang hati-hati. Atau kurang cermat dalam melakukan
upaya perawatan terhadap pasien yang meninggal dunia atau cacat tersebut.
Malpraktek pidana ada tiga bentuk yaitu:

1. Malpraktek pidana karena kesengajaan (intensional),tenaga medis tidak


melakukan pertolongan pada kasus gawat padahal diketahui bahwa tidak ada

45
orang lain yang bisa menolong, serta memberikan surat keterangan yang tidak
benar.
2. Malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness), misalnya melakukan
tindakan yang tidak lege artis atau tidak sesuai dengan standar profesi serta
melakukan tindakan tanpa disertai persetujuan tindakan medis.
3. Malpraktek pidana karena kealpaan (negligence), misalnya terjadi cacat atau
kematian pada pasien sebagai akibat tindakan tenaga kesehatan yang kurang hati-
hati.

3. Malpraktek Administratif

Malpraktek administrastif terjadi apabila tenaga kesehatan melakukan


pelanggaran terhadap hukum administrasi negara yang berlaku, misalnya
menjalankan praktek dokter gigi tanpa lisensi atau izin praktek, melakukan tindakan
yang tidak sesuai dengan lisensi atau izinnya, menjalankan praktek dengan izin yang
sudah kadaluarsa, dan menjalankan praktek tanpa membuat catatan medik.

Pertanggungjawaban Pidana terhadap Dokter Malpraktek Dikaji dari KUHP.


Keterikatan dokter terhadap ketentuan-ketentuan hukum dalam menjalankan
profesinya merupakan tanggung jawab hukum yang harus dipenuhi dokter salah
satunya adalah pertanggungjawaban hukum pidana terhadap dokter diatur dalam
Kitab UndangUndang Hukum Pidana yaitu dalam Pasal 90, Pasal 359, Pasal 360 ayat
(1) dan (2) serta Pasal 361 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.6 Salah satunya
Pasal 360 KUHP menyebutkan : (Isfandyarie,2006)
1. Barangsiapa karena kekhilafan menyebabkan orang luka berat, dipidana dengan
pidana penjara selama-lamanya satu tahun.
2. Barang siapa karena kekhilafan menyebabkan orang luka sedemikian rupa
sehingga orang itu menjadi sakit sementara atau tidak dapat menjalankan jabatan
atau pekerjaannya sementara, dipidana dengan pidana penjara selamalamanya
sembilan bulan atau pidana dengan pidana kurungan selama-lamanya enam bulan

46
atau pidana denda setinggi-tingginya empat ribu lima ratus rupiah. Jika
berdasarkan pasal-pasal tersebut diatas, jika diterapkan pada kasus.

Tidak mudah menentukan tindakan dokter itu suatu malpraktik medik atau
bukan. Untuk mengukur apakah yang dilakukan dokter dalam menjalankan
profesinya itu merupakan suatu malpraktik atau bukan, Leenen menyebutkan lima
kriteria, seperti yang dikutip oleh Fred Ameln, yaitu :
 Berbuat secara teliti/seksama (zorgvuldig hendelen) dikaitkan dengan
kelalaian (culpa). Bila seorang dokter bertindak onvoorzichteg, tidak teliti, tidak
berhati-hati, maka ia memenuhi unsur kelalaian; bila ia sangat tidak berhati-hati,
ia memenuhi unsur culpa lata;
 Yang dilakukan dokter sesuai ukuran ilmu medik (volgens de medische
standaard);
 Kemampuan rata-rata (average) dibanding kategori keahlian medis yang sama
(gemiddelde bewaamheid van gelijke medische categorie);
 Dalam situasi dan kondisi yang sama (gelijke om-standigheden);
 Sarana upaya (middelen) yang sebanding/proporsional (asas proporsionalitas)
dengan tujuan kongkret tindakan/perbuatan medis tersebut (tothet concreet
handelingsdoel). 

Dalam hal ini sesuai dengan pendapat Leenen, menurut Guwandi ada beberapa
pertanyaan yang harus dijawab dalam menentukan suatu tindakan disebut malpraktik:
1. Apakah dokter lain yang setingkat dengannya tidak akan melakukan
demikian?
2. Apakah tindakan dokter itu sedemikian rupa sehingga sebenarnya tidak akan
dilakukan oleh teman sejawatnya yang lain?
3. Apakah tidak ada unsur kesengajaan (opzet, intentional)?
4. Apakah tindakan itu tidak dilarang oleh undang-undang?
5. Apakah tindakan itu dapat digolongkan pada suatu medical error!

47
6. Apakah terdapat unsur kelalaian (negligence)?
7. Apakah akibat yang timbul itu berkaitan langsung dengan kelalaian dari pihak
dokter?
8. Apakah akibat itu tidak bisa dihindarkan atau di-bayangkan (foreseeabilily)
sebelumnya?
9. Apakah akibat itu bukan suatu risiko yang melekat (inherent risk) pada
tindakan medik tersebut?
10. Apakah dokter sudah mengambil tindakan antisipasinya, misalnya jika timbul
reaksi negatif karena obat-obat tertentu? (Sofyan, 2015)

Oleh karena itu setiap kesalahan yang diperbuat oleh seseorang , tentunya
harus ada sanksi yang layak untuk diterima pembuat kesalahan, agar terjadi
keseimbangan dan keserasian didalam kehidupan sosial.

Dimasa pandemi covid 19, dokter gigi, asisten dan pasien memiliki risiko
tinggi terpapar dan menularkan virus ini. Konsekuensinya, dokter gigi harus
mewaspadai implikasi hukum dari tindakan mereka untuk menghindari malpraktek
yang menyebabkan mereka menjadi agen penyebab penularan virus ini. Terdapat
beberapa prosedur keamanan khusus terhadap COVID-19 untuk mencegah
kemungkinan kontaminasi di klinik dan untuk menghindari terjadinya malpraktik
terkait COVID-19 dalam sudut pandang yuridis. (Elzeina et al,2021)

3.10 Sengketa Medis

Sengketa medis adalah sengketa yang terjadi dalam hubungan antara


dokter/dokter gigi dengan pasien, atau rumah sakit dengan pasien dalam hal
pemberian pelayanan kesehatan atau praktek kedokteran / kedokteran gigi karena
adanya kepentingan pasien yang dirugikan. Sengketa medis dapat berupa pelanggaran
etika kedokteran, pelanggaran disiplin kedokteran, pelanggaran hak pasien (aspek
hukum perdata), dan pelanggaran kepentingan masyarakat (aspek hukum pidana)
(Hufron&Rubaei,2020)

48
Pasien yang hendak menempuh jalur hukum dalam menyelesaikan sengketa
medis dalam aspek perdata, harus mengajukan gugatan ke Peradilan Umum
(Pengadilan Negeri) dengan dasar gugatan wanprestasi atau perbuatan melawan
hukum. Pasien sebagai penggugat dibebani kewajiban untuk membuktikan kebenaran
dalil-dalil gugatannya. Dokter/dokter gigi atau Rumah Sakit sebagai tergugat berhak
untuk mematahkan dalil-dalil yang dikemukakan penggugat. Masing-masing pihak
dapat diwakili oleh Pengacara sebagai kuasa hukum. Tujuan akhir gugatan perdata
adalah mendapatkan ganti rugi.
Lain halnya dengan gugatan hukum kasus pidana, pasien harus melaporkan kepada
Kepolisian RI bahwa telah terjadi tindak pidana bidang kesehatan atas dirinya, baik
yang diatur dalam KUHP maupun diluar KUHP. Yang berkewajiban
membuktikanterjadinya tindak pidana adalah Jaksa Penuntut Umum (JPU) dan yang
memutus adalah hakim. Tujuan akhir dari tuntutan pidana adalah dijatuhkannya
sanksi pidana berupa hukuman penjara dan denda. Dapat juga berupa pencabutan izin
praktek atau izin usaha, ataupun pencabutan status badan hukum bagi korporasi.

3.10.1 Penyelesaian Sengketa Medis

Penyelesaian sengketa medis dapat ditempuh dengan 2 cara, yaitu melalui


proses Litigasi maupun Non-Litigasi
1. Litigasi
Litigasi adalah sebuah proses dimana pengadilan menjatuhkan keputusan
yang mengikat para pihak yang berselisih dalam suatu proses hukum yang terdapat
dalam suatu tingkatan. Pengadilan adalah lembaga resmi kenegaraan yang diberi
kewenangan untuk mengadili, yaitu menerima, memeriksa, dan memutus perkara
berdasarkan hukum acara dan ketentuan perundang-undangan yang berlaku. Proses
litigasi dilakukan pada masing-masing tingkatan peradilan, baik peradilan tingkat
pertama, tingkat banding, hingga tingkat kasasi. 
Pengadilan mempunyai mekanisme tersendiri dalam memeriksa, mengadili
dan memutus suatu perkara, yang harus dilalui oleh para pihak. Mekanisme tersebut
telah ditentukan oleh peraturan perundang-undangan, sehingga urut-urutan acara

49
persidangan di Pengadilan secara normatifnya adalah pasti dan baku. Disamping itu,
ketentuan Pasal 4 ayat (2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman telah memberikan suatu jaminan bahwa “Pengadilan membantu pencari
keadilan dan berusaha mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk dapat
tercapainya peradilan yang sederhana, cepat, dan biaya ringan”. Idealnya, dengan
adanya prinsip tercapainya peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan
harusnya menjadi bingkai untuk dapat memberikan jawaban atas permasalahan dari
para pencari keadilan. Namun, sangat disayangkan bahwa pada tataran empirik,
proses litigasi memiliki ciri yang paling menonjol yaitu biaya yang cukup tinggi,
waktu yang lama, beban psikologis yang tinggi, ditambah formalitas dan
kompleksitas dari proses litigasi. (Junaidi, 2011)
2. Nonlitigasi
Nonlitigasi sebagai kebalikan dari litigasi (argumentum analogium) adalah
untuk menyelesaikan sengketa di luar pengadilan melalui perdamaian dan
penangkalan sengketa dengan perancangan-perancangan kontrak yang baik.
Penyelesaian sengketa secara nonlitigasi meliputi bidang yang sangat luas bahkan
mencakup seluruh aspek kehidupan yang dapat diselesaikan secara hukum.
Penyelesaian sengketa secara nonlitigasi adalah penyelesaian sengketa di luar
pengadilan yang didasarkan kepada hukum, dan penyelesaian tersebut dapat
digolongkan kepada penyelesaian yang berkualitas tinggi, karena sengketa yang
diselesaikan secara demikian akan dapat selesai tuntas tanpa meninggalkan sisa
kebencian dan dendam. Dengan demikian, penyelesaian sengketa secara nonlitigasi
adalah penyelesaian masalah hukum secara hukum dan nurani, sehingga hukum dapat
dimenangkan dan nurani orang juga tunduk untuk mentaati kesepakatan/ perdamaian
secara sukarela tanpa ada yang merasa kalah. Penyelesaian sengketa melalui proses di
luar pengadilan menghasilkan kesepakatan yang bersifat “win-win solution”, dijamin
kerahasiaan sengketa para pihak, dihindari kelambatan yang diakibatkan karena hal
prosedural dan administratif, menyelesaikan masalah secara komprehensif dalam
kebersamaan dan tetap menjaga hubungan baik. (Murtati dan Heryanti, 2011)

50
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
Alternatif Penyelesaian sengketa Umum, Pasal 1 angka 10, merumuskan
bahwa:”Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau
beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di
luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian
ahli”

1. Konsultasi
Dari rumusan yang diberikan dalam Black's Law Dictionary tersebut dapat
diketahui, bahwa pada prinsipnya konsultasi merupakan suatu tindakan yang
bersifat personal antara suatu pihak tertentu, yang disebut dengan klien dengan
pihak lain yang merupakan pihak konsultan, yang memberikan pendapatnya
kepada klien tersebut untuk memenuhi keperluan dan kebutuhan kliennya tersbut.
Tidak ada suatu rumusan yang menyatakan sifat keterikatan atau kewajiban untuk
memenuhi dan mengikuti pendapat yang disampaikan oleh pihak konsultan. Ini
berarti klien adalah bebas untuk menentukan sendiri keputusan yang akan ia
ambil untuk kepentingannya sendiri, walau demikian tidak menutup kemungkinan
klien akan dapat mempergunakan pendapat yang disampaikan oleh pihak
konsultan tersebut.
Dalam konsultasi, sebagai suatu bentuk pranata alternatif penyelesaian
sengketa, peran dari konsultan dalam menyelesaikan perselisihan atau sengketa
yang ada tindakan dominan sama sekali, konsultan hanyalah memberikan
pendapat (hukum), sebagaimana diminta oleh kliennya, yang untuk selanjutnya
keputusan mengenai penyelesaian sengketa tersebut akan diambil sendiri oleh
para pihak, meskipun ada kalanya pihak konsultan juga diberikan kesempatan
untuk merumuskan bentuk-bentuk penyelesaian sengketa yang dikehendaki oleh
para pihak yang bersengketa tersebut.

2. Negosiasi dan Mediasi

51
Persetujuan perdamaian ini oleh Kitab Undang-undang Hukum Perdata
diwajibkan untuk dibuat pula secara tertulis, dsengketa tersebut harus dilakukan
dalam bentuk pertemuan langsung oleh dan antara para pihak yang
bersengketa.Selain itu perlu dicatat pula bahwa negoisasi, merupakan salah satu
lembag alternatif penyelesaian sengketa yang dilak sanakan di luar pengadilan,
sedangkan perdamaian dapat dilakukan baik sebelum proses persidangan
pengadilan dilakukan, maupun setelah sidang peradilan dilak sanakan, baik di
dalam maupun di luar sidang pengadilan (Pasal 130 HIR).
Pengaturan mengenai mediasi dapat ditemukan dalam ketentuan Pasal 6 ayat
(3), ayat (4) dan ayat (5) UU No. 30 Tahun 1999, Ketentuan mengenai mediasi yang
diatur dalam Pasal 6 ayat (3) UU No. 30 Tahun 1999 adalah merupakan suatu proses
kegiatan sebagai kelanjutan dari gagalnya negosiasi yang dilakukan oleh para pihak
menurut ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU No. 30 Tahun 1999.
Mediasi, dari pengertian yang diberikan jelas melibatkan keberadaan pihak
ketiga (baik perorangan maupun dalam bentuk suatu lembaga independen) yang
besifat netral dan tidak memihak, yang akan berfungsi sebagai mediator. Sebagai
suatu pihak di luar perkara, yang tidak memiliki kewenangan memaksa, mediator ini
berkewajiban untuk bertemu atau mempertemukan para pihak yang bersengketa guna
mencari masukan mengenai pokok sengketa.

3. Konsiliasi
Berbeda dengan negosiasi, konsiliasi, dari pengertian yang diberikan dalam
Black's Law Dictionary, merupakan langkah awal perdamaian sebelum sidang
peradilan (ligitasi) dilaksanakan. Dengan demikian berarti konsiliasi tidak hanya
dapat dilakukan untuk mencegah dilaksanakannya proses ligitasi, melainkan juga
dapat dilakukan oleh para pihak, dalam setiap tingkat peradilan yang sedang
berlangsung, baik di dalam maupun di luar pengadilan, dengan pengecualian untuk
hal-hal atau sengketa di mana telah diperoleh suatu putusan hakim yang telah
mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak dapat dilakukan konsiliasi. (Ariani, 2012)

52
4. Arbitrase 
Secara umum arbitrase adalah suatu proses di mana dua pihak atau lebih
menyerahkan sengketa mereka kepada satu orang atau lebih yang imparsial (disebut
arbiter) untuk memperoleh suatu putusan yang final dan mengikat. Dari pengertian itu
terdapat tiga hal yang harus dipenuhi, yaitu: (1) adanya suatu sengketa; (2)
kesepakatan untuk menyerahkan ke pihak ketiga; dan (3) putusan final dan mengikat
akan dijatuhkan. Dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang No. 30 Tahun 1999 tentang
Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (untuk selanjutnya disingkat UU No.
30 Tahun 1999) disebutkan bahwa: “Sengketa yang dapat diselesaikan melalui
arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan hak yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.”
(Sumartono, 2006)

Selanjutnya perbedaan antara konsiliasi, negosiasi, mediasi, dan arbitrasi dapat


dibedakan dalam bentuk tabel sebagai berikut:

Tabel 3.2. Perbedaan konsiliasi, negoiasi, mediasi, arbitrase

53
3.10.2 Peran Organisasi Profesi dalam Penyelesaian Sengketa Medis

Persatuan Dokter Gigi Indonesia (PDG) adalah organisasi profesi yang


menghimpun dokter gigi di seluruh wilayah Indonesia. Salah satu tugas PDGI adalah
membina profesionalisme, memberikan perlindungan hukum, dan meningkatkan
kesejahteraan anggota. Bentuk perlindungan atau pembelaan yang diberikan oleh
PDGI antara lain pendampingan, pembelaan, saksi ahli yang meringankan, upaya
advokasi, perlindungan administrasi dan upaya mediasi (Panduan PDGI).
Bentuk pelanggaran yang sering terjadi meliputi Pelanggaran Etika,
pelanggaran disiplin, dan pelanggaran hukum. Pelanggaran etika adalah perbuatan
yang dilakukan oleh anggota PDGI yang tidak sesuai dengan Kode Etik Kedokteran
Gigi Indonesia akan diselesaikan melalui sidang Majelis Kehormatan Etik
Kedokteran Gigi Indonesia (MKEKGI). Pelanggaran disiplin adalah perbuatan dalam
pelaksanaan praktik yang tidak sesuai dengan kompetensi yang dimiliki akan
diselesaikan melalui persidangan di Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran
Indonesia (MKDKI). Pelanggaran hukum atau perbuatan yang merugikan pihak lain
yang dilakukan oleh anggota PDGI yang bukan merupakan pelanggaran etik atau
disiplin akan diselesaikan melalui persidangan umum.
Berdasarkan pasal 7 ADRT tahun 2008, PDGI membentuk Badan Pembelaan
dan Pembinaan Anggota (BPPA). Tugas dan wewenangnya, antara lain melaksanakan
tugas pembelaan dan pembinaan pelaksanaan etik kedokteran gigi, disiplin dan
hukum, memberi pertimbangan atau usul kepada yang berwenang atas pelanggaran
etika, disiplin dan hukum, mengadakan konsultasi timbal balik dengan instansi terkait
sehubungan dengan pembelaan dan pembinaan anggota. PDGI menyiapkan BPPA
untuk kepentingan membela anggotanya; namun bilamana seorang dokter gigi
melanggar peraturan dan perundangan yang berlaku tidak akan dilindungi. BPPA
akan melindungi anggotanya yang dituduh melanggar hukum yang berkaitan dengan
dokter gigi dalam melaksanakan tugas profesinya, dilaksanakan sesuai kode etik
kedokteran gigi, lafal sumpah dokter gigi, standar profesi, peraturan dan perundangan
bagi tenaga kesehatan yang berlaku.

54
PDGI telah menyiapkan BPPA untuk kepentingan membela anggotanya;
namun bilamana seorang dokter gigi melanggar peraturan dan perundangan yang
berlaku tidak akan dilindungi. BPPA akan melindungi anggotanya yang dituduh
melanggar hukum yang berkaitan dengan dokter gigi dalam melaksanakan tugas
profesinya, dilaksanakan sesuai kode etik kedokteran gigi, lafal sumpah dokter gigi,
standar profesi, peraturan dan perundangan bagi tenaga kesehatan yang berlaku (PB
PDGI).
Peran organisasi profesi dalam tatalaksana perlindungan atau pembelaan
meliputi, penerimaan permohonan perlindungan anggota PDGI pada PDGI cabang.
Kemudian PDGI akan membentuk tim perlindungan yang diketuai oleh Ketua BPPA.
Anggota tim terdiri dari anggota BPPA, pengurus PDGI Cabang, Drg spesialis / drg
yang dianggap menguasai kasus yang dihadapi. Selanjutnya tim mengkaji dan
mengevaluasi permasalahan kasus / sengketa dengan membagi kategori a) kasus yang
berkaitan dengan etik, b) kasus yang berkaitan dengan etik, c) kasus yang berkaitan
dengan hokum. Tim akan menentukan perlindungan terhadap anggotanya melalui
Mediasi atau pendekatan terhadap berbagai pihak dnegan penyeselaian secara
kekeluargaan. Bilamana mediasi tidak tercapai maka tim akan menjadi suatu tim
pembelaan anggota pada siding MKEKG dan MKDKI serta sebagai tim pendamping
pada penyidikan dan penyelidikan maupun di pengadilan. Bila diperlukan tim
tersebut menjadi saksi ahli yang meringankan.
Pada persidangan KMEKG bila keputusan sudah dijatuhkan maka tim akan
menjadi tim pemenang atau mengusahakan argumentasi banding ke tingkat MKEKG
PDGI Pengwil dan tim bekerjasama atau meminta bantuan BPPA PDGI Pengwil.
Bila tingkat PDGI pengwil tidak tercapai tim mengusahakan dan mencari
argumenttasi Medis Kedokteran Gigi untuk mengajukan penyelesaian di tingkat pusat
(MKEKG PB PDGI) dengan bekerjasama atau meminta bantuan BPPA PB PDGI. 
Pada persidangan MKDKI, BPPA melakukan pendampinan pada persidangan
terbuka, serta memberikan keterangan ahli bila dipelukan pada persidangan tertutup
ataupun terbuka. Sedangkan pada pengadilan umum, peran organisasi profesi yang

55
sudah menjadi tim akan mmeberikan pendampingan dan bila diperlukan memberikan
keterangan ahli yang meringankan.
Penyelesaian tuntutan perkara harus melalui MKDKI terlebih dahulu sebelum
dilaporkan kepada petugas penegak hukum, karena MKDKI merupakan lembaga
peradilan profesi. Berdasarkan Surat Edaran Jaksa Agung no. B 006/R – 31/I/ 1982
tanggal 19 Oktober 1982 Tentang Perkara Profesi Kesehatan, bahwa agar tidak
meneruskan perkara sebelum konsultasi dengan pejabat Dinas Kesehatan atau
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Juga berdasarkan Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 4/PVVV-V/ 2007, bahwa perkara medis diselesaikan terlebih dahulu
melalui peradilan profesi,maka peran PDGI sangat penting guna penyelesaian
tuntutan perkara etik, disiplin dan hukum (Anna, 2010).

56
Dilakukan penumpatan ulang hingga 4 ka
Dugaan diagnosa gigi pa
Reversible Pulpitis
Etika terhadap Kesalahan prosedur
Sejawat perawatan
Pasien
KERANGKA KONSEP

Visit ke drg baru


BAB IV

57
Keluhan:G Pemerik
igi terasa Klinis Intra Oral:Gigi penunja
nyeri dan 15 - Vital (+)- Perkusi Foto Ron
gusi sekitar (+)- Kavitas klas II, Gigi 15 -
tumpatan Profunda perforasi- Terdapat
berdarah. Kemerahan dan penuruna
perdarahan pada gingiva alveolar
proximal sekitar distal gig
tumpatan distal gigi 15
Dx: Symptomatic Irreversible Pulpitis with Periodon
Rencana Perawatan
namun keluhan tetap ada.
a visit 1.
reversible Pulpitis
Kesalahan rencana
perawatan
Dx: Symptomatic Irreversible Pulpitis with Periodontitis

DHE, KIE, Informed to Consent, dan Informed Consent

dak puas atas perawatan


Dugaan Malpraktik

Tatalaksana Perawatan
Rencana Perawatan

58
Menyelesaikan masalah
an melalui jalur hukum.
:
n
est
15
is
BAB V

PEMBAHASAN

Seorang laki laki usia 38 tahun datang ke RSGM Unair dengan keluhan gigi
15 terasa sakit dan gusi mudah berdarah. Berdasarkan anamnesa gigi pernah
ditambal kurang lebih 1 tahun yang lalu oleh dokter gigi, kemudian setelah ditambal
kondisi gigi pasien tiba-tiba sakit dan terdapat darah disekitar tumpatan pada gusinya.
Sehingga harus mengganti tumpatan tersebut hingga 4 kali. Penderita mengeluh
kepada dokter gigi yang merawat, tetapi tidak memperoleh penjelasan yang
memuaskan dan diharuskan membayar disetiap perawatan nya. Penderita hanya ingin
dirawat giginya sehingga aktivitasnya sehari-hari tidak terganggu.

Berdasarkan skenario di atas, pasien merasakan ketidakpuasan dengan


pelayanan yang telah diberikan oleh operator sebelumnya. Mulai dari tambalan yang
4 kali harus diganti karena tidak kunjung sembuhnya keluhan yang dirasakan dan
keputusan operator sebelumnya yang dirasa merugikan pasien secara materi dan
waktu. Bila ditinjau dari segi perawatan yang telah diterima oleh pasien berupa
penumpatan dengan bahan komposit namun berkali-kali harus ditambal kembali
karena pasien merasakan keluhan berupa rasa sakit dan gusi berdarah yang tidak
kunjung mereda, hal ini menunjukkan bahwa ada dua kemungkinan yang terjadi.

59
Pertama, prosedur perawatan medis oleh operator sebelumnya perlu dipertanyakan
kembali. Apabila seluruh tahapan prosedur perawatan sudah dilakukan secara benar
dan teliti maka kegagalan perawatan tersebut akan terminimalisir. Meskipun dalam
beberapa kasus, kegagalan perawatan juga bisa terjadi dimana prosedur perawatan
sudah dilakukan secara benar namun hasilnya yang tidak sesuai harapan. Hal ini yang
dinamakan risiko kerja yang tidak terduga.

Kemungkinan yang kedua adalah ketidak-tepatan rencana perawatan. Rencana


perawatan merupakan cetak biru (Blue Print) bagi penanganan kasusnya. Tidak
tepatnya rencana perawat berpotensi memperburuk prognosa suatu penyakit. Pada
skenario ini, ketidak tepatan rencana perawatan diakibatkan oleh kurang cermatnya
operator dalam menggali kondisi pasien baik secara subjektif maupun objektif, dan
kurang cermatnya operator mengimplementasikan dasar keilmuan dengan kasus yang
dihadapinya. Bila hal ini terjadi maka proses perawatan dengan prioritas kesembuhan
bisa gagal. Kedua kemungkinan tersebut sama-sama dapat merugikan pasien.

Sebenarnya banyak sekali aspek – aspek yang perlu diperhatikan selama


melakukan prosedur perawatan medis oleh tenaga medis dalam hal ini adalah dokter
gigi, baik kesesuaian SOP, diagnosis yang tepat, rencana perawatan yang sesuai
indikasi, melakukan informed to consent, informed consent, maupun penulisan rekam
medis yang lengkap. Dimana aspek-aspek tersebut seharusnya dilakukan dengan
cermat, teliti, dan hati-hati, oleh operator sebelumnya agar tidak menimbulkan
kerugian kepada pasien. Namun perlu diingat bahwa pasien juga harus memberikan
informasi tentang riwayat atau keluhan penyakitnya dengan jelas sehingga dapat
ditentukan tindakan medis yang tepat.
Kurangnya informasi, komunikasi, dan edukasi yang dilakukan oleh dokter
gigi tersebut juga dapat menambah rasa ketidakpuasan. Kesalahan kesalahan rencana
perawatan dan melakukan tindakan yang tidak sesuai dengan prosedur yang diterima
oleh pasien sehingga pasien memutuskan untuk membawa kasus tersebut dengan
dugaan malpraktik, karena menurut definisi malpraktik dalam dunia medis
merupakan istilah yang sering digunakan orang untuk tindak pidana yang dilakukan
oleh orang-orang yang berprofesi di dalam dunia kesehatan atau biasa disebut tenaga

60
kesehatan, hal ini dikarenakan bahwa dokter tersebut telah melanggar kaidah bioetik
yaitu pelanggaran kaidah beneficence, dokter gigi tidak memberikan perawatan yang
terbaik yang sesuai dengan prosedur, sehingga perawatan tidak tercapai secara
maksimal, dan kaidah Nonmalificence, dokter gigi melakukan hal yang dapat
merugikan pasien, sehingga pasien tetap membayar biaya perawatan walaupun
perawatan tidak berhasil. Tidak adanya atau tidak lengkapnya inform to consent dan
informed consent atau persetujuan tindakan medis yang diberikan kepada pasien
sehingga dapat merugikan dokter gigi tersebut. Secara dasar hukum inform consent
sendiri telah diatur dalam PerMenKes no 290/MenKes/Per/III/2008 dan UU no 29 th
2004 Pasal 45. Apabila kasus tersebut dibawa ke jalur hukum maka dapat menjadi
sebuah malpraktek pidana karena kecerobohan (recklessness), misalnya melakukan
tindakan yang tidak sesuai dengan standar profesi serta melakukan tindakan tanpa
disertai persetujuan tindakan medis.
Penderita selain ingin membawa kasus yang dialaminya ke jalur hukum,
penderita juga mencari dokter gigi lain dengan harapan masalah gigi yang dialaminya
segera selesai. Sebagai rekan sejawat sikap kita sebaiknya tetap menjaga etika
terhadap sejawat dan tidak menyalahkan atau menjelek-jelekan dokter gigi
sebelumya. Sesuai dengan kewajiban dokter gigi terhadap teman sejawat yang
tercantum dalam Kode Etik Kedokteran Gigi (KODEKGI) yaitu sopan santun dan
saling menghargai sesama teman sejawat harus selalu diutamakan. Pembicaraan
mengenai teman sejawat yang menyangkut pribadi atau dalam memberi perawatan
harus disikapi secara benar, informatif dan dapat dipertanggung jawabkan tanpa
menyalahkan pihak lain. Oleh karena itu kita sebagai teman sejawat hendaknya
memberikan penjelasan mengenai tindakan yang dilakukan sudah sesuai prosedur dan
sebaiknya menyarankan untuk tidak membawa ke jalur hukum, serta memberikan
perawatan alternatif untuk menyelesaikan keluhan pada masalah gigi pasien dengan
prosedur yang benar-benar sesuai sehingga kejadian tersebut tidak terulang dan tidak
merugikan pasien.
Dalam skenario pasien selain memutuskan untuk membawa kasus tersebut ke
jalur hukum, pasien juga ingin mencari perawatan alternatif ke dokter gigi lain,

61
karena hal tersebut merupakan salah satu hak pasien dalam Undang-undang
Kedokteran no 29 tahun 2004 untuk meminta pendapat dokter gigi lain dan
mendapatkan alternatif perawatan lainnya. Sebagai dokter gigi yang menjadi
alternatif pasien tersebut juga harus mentaati peraturan atau SOP yang berlaku,
menegakkan diagnosa, komunikasi yang baik, memberi informasi dan edukasi yang
baik, tetap melakukan inform to consent serta informed consent, serta menuliskan
secara lengkap tindakan perawatan yang dilakukan pada rekam medis, agar hal yang
serupa tidak terjadi.
Setelah dilakukan pemeriksaan klinis dan radiologi kemungkinan penyebab
keluhan pasien yang tidak tertangani dengan baik sehingga menyebabkan nyeri pada
gigi yang telah ditumpat dan perdarahan pada gusi salah satu kemungkinannya adalah
restorasi/ tumpatan yang overhanging.
Diagnosis yang tepat berdasarkan anamnesa, pemeriksaan klinis, dan
pemeriksaan penunjang pasien tersebut adalah symptomatic irreversible pulpitis(SIP)
dan normal apical tissure(NAT) gigi 15 disertai periodontitis marginalis kronis pada
regio gigi 15 16. Maka rencana perawatan yang tepat adalah melakukan perawatan
saluran akar (PSA) diikuti dengan restorasi yang dibutuhkan serta merujuk pada
rekan sejawat spesialis periodonsia untuk dilakukan kuretase atau bedah flap.
Kondisi diagnosa dan rencana perawatan perlu disampaikan kepada
pasien(inform to consent). Hal ini meliputi tahapan perawatan, resiko yang dapat
terjadi, alternatif perawatan, hingga biaya yang dibutuhkan. Pasien berhak
memutuskan apakah menyetujui (informed consent) atau menolak
perawatan(informed refusal) dengan segala resikonya.
Sisa tumpatan sebelumnya pada gigi 15 perlu dibersihkan termasuk apabila
terdapat karies. Pembuatan dinding distal (rewalling) perlu dilakukan agar menunjang
keberhasilan PSA dengan alasan menyediakan isolasi daerah kerja. Pada pembuatan
dinding distal, perlu diperhatikan adaptasi matrix yang baik sehingga menciptakan
embrasur yang ideal. Hal ini perlu mendapat perhatian lebih mengingat kondisi
periodontal yang masih radang disekitarnya yang disebabkan oleh karena dugaan
overhanging tumpatan sebelumnya. Selanjutnya membuat cavity enterance agak ke

62
mesial berbentuk lonjong. Jumlah saluran akar pada gigi 15 bisa satu (75%),
dua(24%), atau sangat jarang ada tiga (1%). PSA dilakukan dengan memperhatikan
kaidah penting: shaping, cleaning, & obturation.
Kehilangan dinding distal dengan sisa ketiga dinding lainnya masih >2mm,
maka pada kasus ini dapat dikategorikan minimally destructed teeth sehingga
memungkinkan dilakukan penambalan komposit sebagai restorasi pasca PSA. Bahan
yang digunakan dapat berupa fiber reinforced composite (GC EverX) sebagai basis
dan packable composite sebagai lapisan paling atas.
BAB VI

KESIMPULAN

Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam hubungan antara dokter
gigi dengan pasien agar terjalin dengan baik dan perawatan dental berjalan sesuai
dengan yang diharapkan. Pertama-tama seorang dokter gigi harus sadar akan
pentingnya melakukan anamnesa, penggalian riwayat medis, pemeriksaan klinis, dan
pemeriksaan penunjang. Dokter gigi juga harus memahami dengan benar dalam
menegakkan diagnosa dan membuat rencana perawatan yang tepat, melakukan
inform to consent dan informed consent sebelum tindakan, penulisan Rekam Medis
secara lengkap, memberikan DHE (Dental Health Education) serta KIE
(Komunikasi, Informasi, dan Edukasi) yang selengkap-lengkapnya kepada pasien.
Dokter gigi harus berpraktik berdasarkan etika kedokteran gigi dan standart
operasional prosedur serta tetap menjaga etika terhadap teman sejawat pula. Hal-hal
tersebut harus diperhatikan agar terhindar dari tuntutan pasien.

63
DAFTAR PUSTAKA

A. Bjom, H. Bjom, B. Grkovic, Marginal fit of restorations and its relation to


periodontal bone level, OdontologistRevy, 20 (3) (1969), pp. 311-321
Achmad Busro. 2018. Aspek Hukum Persetujuan Tindakan Medis (Inform Consent)
Dalam Pelayanan Kesehatan. Vol 1, No 1 (2018): Law & Justice Journal
Al-Khaldi, FFM. 2020. Post Placement and Restoration of Endodontically Treated
Teeth : A Review. International Journal of Medicine in Developing
Countries, 4(2), 534-537.

Anna HA. Masalah Etik dan Hukum Kedokteran di Rumah Sakit. Sarasehan
Penanganan TerpaduMasalah Etik dan Hukum Kedokteran. 50 tahun IDI.
Surabaya. 23 September 2010

Anny Isfandyarie, 2005, Malpraktik dan Resiko Medik Dalam Kajian Hukum Pidana,
Prestasi Pustaka, Jakarta

Anny Isfandyarie, 2006, Tanggung Jawab Hukum dan Sanksi Bagi Dokter, Prestasi
Pustaka, Jakarta

Ariani, Nevey V. Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis di Luar Pengadilan. Jurnal


Rechts Vinding. Vol. 1. No. 2.

64
Awwad, MA. 2019. A Modern Guide in the Management of Endodontically Treated
Posterior Teeth. European Journal of General Dentistry, 8(3): 63-70

Buku panduan pembelaan dan pembinaan anggota PDGI. PB PDGI. Jakarta : 2014.

Cramer NB, Stansbury JW, & Bowman CN (2011) Recent advances and
developments in composite dental restor- ative materials Journal of Dental
Research 90(4) 402-416

Demarco FF, Correˆa MB, Cenci MS, Moraes RR, & Opdam NJ (2012) Longevity of
posterior composite restorations: not only a matter of materials Dental
Materials 28(1) 87-101.

Ferracane JL (2011) Resin composite-state of the art Dental Materials 27(1) 29-38.

Guwandi, J. (2004).  Hukum Medik (Medical Law). Jakarta : Fakultas Kedokteran


Universitas Indonesia.

Hufron dan Rubaei. Penyelesaian Sengketa Medis dalam Praktek Kedokteran.


advocates.id, 2020

Ilday, N.O., Celik, N., Dilsiz, A., Alp, H.H., Aydin, T., Seven, N. and Kiziltunç, A.
(2016). The effects of overhang amalgam restoration on levels of cytokines,
gingival crevicular fluid volume and some periodontal parameters. American
Journal of Dentistry, [online] 29(5), pp.266–270.

Ilie N, & Hickel R (2011) Resin composite restorative materials Australian Dental
Journal 56(Supplement 1) 59-66.

Junaidi, Eddy. (2011). Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Medik. Jakarta: Raja
Grafindo Persada

Magne P, So WS, Cascione D. Immediate dentin sealing supports delayed restoration


placement. J Prosthet Dent. 2007;98:166-174. 

65
Marvelina, G. O. 2017. Hubungan Manajemen Komunikasi, Informasi, Edukasi
(KIE) Petugas Promosi Kesehatan Dengan Implementasi KIE Untuk
Kelompok Usia Lanjut Di Kenagarian Painan. Stikes Perintis Padang.
Matthews, D.C. and Tabesh, M. (2004). Detection of localized tooth-related factors
that predispose to periodontal infections. Periodontology 2000, [online] 34(1),
pp.136–150.

MJMC Santos (2015) Operative Dentistry cases report, , 40-1, 19-24

Muryati, Dewi T. dan B. Rini Heryanti. (2011).Pengaturan dan Mekanisme


Penyelesaian Sengketa Nonlitigasi di Bidang Perdagangan. J. Dinamika
Sosbud. Vol 13 No 1.

M. Yusuf Hanafiah dan Amri Amir, 1999, Etika Kedokteran dan Hukum
Kesehatan¸Kedokteran EGC, Jakarta, h. 87

N. Gilmore, A. Sheiham, Overhanging dental restorations and periodontal disease, J.


Periodontol., 4 (1971), pp. 8-12

Notoatmodjo, S. 2010. Ilmu Perilaku Kesehatan, Rineka Cipta. Jakarta.


N.P. Lang, R.A. Kiel, Anderhalden, Clinical and microbiological effects of
subgingival restorations with overhanging or clinically perfect margins, J.
Clin. Periodontol., 10 (1983), pp. 563-578
Padbury, A., Eber, R. and Wang, H.-L. (2003). Interactions between the gingiva and
the margin of restorations. Journal of Clinical Periodontology, 30(5), pp.379–
385.

Papalexopoulos, D. 2019. Restoring Endodontically Treated Teeth from Immediate


Restorations to the “Reverse” Preparation Approach. EC Dental Science,
18(9): 2159-2168.

66
PB PDGI. Anggaran Dasar Rumah Tangga. KonggresPDGI XXIII. Surabaya. 2008.

Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 585/Men.Kes/Per/IX/1989


Tentang Persetujuan Tindakan Medik (Informed Consent). Jakarta
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 290/Menkes/Per/III/2008
Tentang Persetujuan Tindakan Kedokteran
Prasetya, W & Abidin, T. 2016. Perawatan Saluran Akar pada Sisa Akar Gigi dengan
Restorasi Direk. Jurnal PDGI, 65(3), 83-89.

Rola Elzeina,*, Bilal Baderb, Achraf Rammalb, Hassan Husseinic, Houssam Jassarc,
Mustapha Al-Haidaryc, Maria Saadehc, Fouad Ayoubc,2021, Legal liability
facing COVID-19 in dentistry: Between malpractice and preventive
recommendations [https://http//www.elsevier.com/locate/yjflm ]

Soedjatmiko, 2001, Masalah Medik dalam Malpraktek Yuridik, Citra Aditya Bakti,
Malang.

Sugandhi, 1981, KUHP dan Penjelasannya, Usaha Nasional, Surabaya.

Undang – Undang no. 29 tahun 2004 Tentang Praktek Kedokteran.

67

Anda mungkin juga menyukai