Anda di halaman 1dari 8

BAB II

PEMBAHASAN

Definisi

Diabetes insipidus adalah kegagalan tubuh untuk menyimpan air karena kekurangan
hormon antidiuretik (ADH, vasopresin ), yang disekresikan oleh ginjal, atau karena
ketidakmampuan ginjal untuk berespon pada ADH. Diabetes insipidus ditandai oleh polidipsi
dan poliuria . ( Nettina M. Sandra. 2001)

Diabetes insipidus adaah suatu penyakit yang ditandai oleh penurunan produksi sekresi
dan fungsi dari ADH. (Corwin,2000)

Diabetes insipidus merupakan kelainan pada lobus posterior hipofisis yang disebabkan
oleh defisiensi vasopressin yang merupakan hormone anti diuretic (ADH). Kelainan ini ditandai
oleh rasa haus yang sangat tinggi ( polidipsia ) dan pengeluaran urin yang encer dengan jumlah
yang besar. (Suzanne C, 2001).

Epidemiologi

Diabetus insipidus merupakan suatu penyakit langka yang jarang ditemukan. Menurut
sebuah konsorsium Europian Partner, menyatakan ini merupakan penyakit langka yang
terdapat 1 : 2000 orang.

Klasifikasi

Klasifikasi Diabetes Insipidus menurut Buku Ajar Patofisiologi Kedokteran, 2007. Jakarta:EGC
1. Diabetes insipidus sentral

Merupakan bentuk tersering dari diabetes insipidus dan biasanya berakibat fatal.
Diabetes insipidus sentral merupakan manifestasi dari kerusakan hipofisis yang berakibat
terganggunya sintesis dan penyimpanan ADH. Hal ini bisa disebabkan oleh kerusakan
nucleus supraoptik, paraventrikular, dan filiformis hipotalamus yang mensistesis ADH.
Selain itu, diabetes insipidus sentral (DIS) juga timbul karena gangguan pengangkutan
ADH akibat kerusakan pada akson traktus supraoptiko hipofisealis dan akson hipofisis
posterior di mana ADH disimpan untuk sewaktu-waktu dilepaskan ke dalam sirkulasi jika
dibutuhkan.
Penanganan pada keadaan DI sentral adalah dengan pemberian sintetik ADH
(desmopressin) yang tersedia dalam bentuk injeksi, nasal spray, maupun pil. Selama
mengkonsumsi desmopressin, pasien harus minum hanya jika haus. Mekanisme obat ini
yaitu menghambat ekskresi air sehingga ginjal mengekskresikan sedikit urin dan kurang
peka terhadap perubahan keseimbangan cairan dalam tubuh.

2. Diabetes insipidus nefrogenik


Keadaan ini terjadi bila ginjal kurang peka terhadap ADH. Hal ini dapat di
sebabkan oleh konsumsi obat seperti lithium, atau proses kronik ginjal seperti penyakit
ginjal polikistik, gagal ginjal, blok parsial ureter, sickle cell disease, dan kelainan genetik,
maupun idiopatik. Pada keadaan ini, terapi desmopressin tidak akan berpengaruh.
Penderita diterapi dengan hydrochlorothiazide (HCTZ) atau indomethacin. HCTZ kadang
dikombinasikan dengan amiloride. Saat mengkonsumsi obat ini, pasien hanya boleh
minum jika haus untuk mengatasi terjadinya volume overload.

3. Diabetes insipidus dipsogenik


Kelainan ini disebabkan oleh kerusakan dalam mekanisme haus di hipotalamus.
Defek ini mengakibatkan peningkatan rasa haus yang abnormal sehingga terjadi supresi
sekresi ADH dan peningkatan output urin. Desmopressin tidak boleh digunakan untuk
penanganan diabetes insipidus dipsogenik karena akan menurunkan output urin tetapi
tidak menekan rasa haus. Akibatnya, input air akan terus bertambah sehingga terjadi
volume overload yang berakibat intoksikasi air (suatu kondisi dimana konsentrasi Na
dalam darah rendah/hiponatremia) dan dapat berefek fatal pada otak. Belum ditemukan
pengobatan yang tepat untuk diabetes insipidus dipsogenik.

4. Diabetes insipidus gestasional


Diabetes insipidus gestasional terjadi hanya saat hamil jika enzim yang dibuat
plasenta merusak ADH ibu. Kebanyakan kasus diabetes insipidus pada kehamilan
membaik diterapi dengan desmopressin. Pada kasus dimana terdapat abnormalitas dari
mekanisme haus, desmopresin tidak boleh digunakan sebagai terapi.
Etiologi

Penyebab diabetus insipidus mungkin :


1. Sekunder yang berhubungan dengan trauma kepala, tumor otak, atau pembedahan ablasi
atau iradiasi kelenjar hipofisis juga infeksi sistem saraf pusat atau tumor metastasis
(payudara, paru)
2. Nefrologis yang berhubungan dengan kegagalan tubulus renalis untuk berespons
terhadap ADH
3. Nefrogenik yang berhubungan dengan obat yang disebabkan oleh berbagai pengobatan
(mis : litium, demeklosiklin)
4. Primer, hereditas dengan gejala-gejala kemungknan saat lahir (kelainan pada kelenjar
hipofisis)

Penyakit ini tidak dapat dikontrol dengan membatasi masukan cairan, karena kehilangan
volume urine dalam jumlah yang besar berlanjut terus bahkan tanpa penggantian cairan
sekalipun. Upaya membatasi cairan menyebabkan pasien mengalami suatu kebutuhan akan
cairan yang tiada henti-hentinya dan mengalami hipernatrimia serta dehidrasi berat.

Faktor Resiko

1. Trauma kepala
2. Operasi otak
3. Kelainan ginjal  berpengaruh pada proses kerja ADH
4. Obat-obatan , ex lithium
5. Kelebihan berat badan
6. Kurang aktifitas
Manifestasi Klinis

1. Poliuria : haluaran urin harian dalam jumlah yang sangat banyak dengan urin yang sangat
encer, berat jenis urin 1,001 sampai 1,005. Biasanya mempunyai awitan yang mendadak,
tetapi mungkin secara tersamar pada orang dewasa.
2. Polidipsia : rasanya sangat kehausan , 4 sampai 40 liter cairan setiap hari terutama sangat
membutuhkan air yang dingin.
3. Tidur terganggu karena poliuria dan nokturia
4. Penggantian air yang tidak cukup dapat menyebabkan :
a. Hiperosmolalitas dan gangguan SSP ( cepat marah, disorientasi, koma dan
hipertermia )
b. Hipovolemia, hipotensi, takikardia, mukosa kering dan turgor kulit buruk.
5. Dehidrasi
Bila tidak mendapat cairan yang adekuat akan terjadi dehidrasi. Komplikasi dari dehidrasi,
bayi bisa mengalami demam tinggi yang disertai dengan muntah dan kejang-kejang. Jika
tidak segera terdiagnosis dan diobati, bisa terjadi kerusakan otak, sehingga bayi
mengalami keterbelakangan mental. Dehidrasi yang sering berulang juga akan
menghambat perkembangan fisik.

Gejala lain:

1. Penurunan berat badan


2. Bola mata cekung

3. Hipotensi

4. Tidak berkeringat atau keringat sedikit, sehingga kulit kering dan pucat

5. Anoreksia
Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada Diabetes Insipidus adalah : (Talbot, Laura,
dkk.1997)

1. Hickey-Hare atau Carter-Robbins test.

Pemberian infuse larutan garam hipertonis secara cepat pada orang normal akan
menurunkan jumlah urin. Sedangkan pada diabetes insipidus urin akan menetap atau
bertambah. Pemberian pitresin akan menyebabkan turunnya jumlah urin pada pasien DIS
dan menetapnya jumlah urin pada pasien DIN.
2. Fluid deprivation menurut Martin Golberg.

 Sebelum pengujian dimulai, pasien diminta untuk mengosongkan kandung kencingnya

kemudian ditimbah berat badannya, diperiksa volum dan berat jenis atau osmolalitas
urin pertama. Pada saat ini diambil sampel plasma untuk diukur osmolalitasnya.

 Pasien diminta buang air kecil sesering mungkin paling sedikit setiap jam

 Pasien ditimbang setiap jam bila diuresis lebih dari 300 ml/jam atau setiap 3 jam bila

dieresis kurang dari 300 ml/jam.

 Setiap sampel urin sebaiknya diperiksa osmolalitasnya dalam keadaan segar atau kalau

hal ini tidak mungkin dilakukan semua sampel harus disimpan dalam botol yang
tertutup rapat serta disimpan dalam lemari es.

 Pengujian dihentikan setelah 16 jam atau berat badan menurun 3-4 % tergantung mana

yang terjadi lebih dahulu. Pengujian ini dilanjutkan dengan :

3. Uji nikotin

 Pasien diminta untuk merokok dan menghisap dalam-dalam sebanyak 3 batang dalam

waktu 15-20 menit.

 Teruskan pengukuran volume, berat jenis dan osmolalitas setiap sampel urine sampai

osmolalitas/berat jenis urin menurun dibandingkan dengan sebelum diberikan nikotin.

4. Uji Vasopresin :

 Berikan pitresin dalam minyak 5 m, intramuscular.

 Ukur volume, berat jenis, dan osmolalitas urin pada dieresis berikutnya atau 1 jam

kemudian.
5. Laboraturium: darah, urinalisis fisis dan kimia.
Jumlah urin biasanya didapatkan lebih dari 4-10 liter dan berat jenis bervariasi dari 1,001-
1,005 dengan urin yang encer. Pada keadaan normal, osmolalitas plasma kurang dari 290
mOsml/l dan osmolalitas urin osmolalitas urin 300-450 mOsmol/l. pada keadaan
dehidrasi, berat jenis urin bisa mencapai 1,010, osmolalitas plasma lebih dari 295
mOsmol/l dan osmolalitas urin 50-150 mOsmol/l. urin pucat atau jernih dan kadar
natrium urin rendah. Pemeriksaan laboraturium menunjukkan kadar natrium yang tinggi
dalam darah. Fungsi ginjal lainnya tampak normal.

6. Tes deprivasi air diperlukan untuk pasien dengan diabetes insipidus dengan defisiensi
ADH parsial dan juga untuk membedakan diabetes insipidus dengan polidipsia primer
pada anak. Pemeriksaan harus dilakukan pagi hari. Hitung berat badan anak dan periksa
kadar osmolalitas plasma urin setiap 2 jam. Pada keadaan normal, osmolalitas akan naik
(<300) namun output urin akan berkurang dengan berat jenis yang baik (800-1200).
7. Radioimunoassay untuk vasopressin
Kadar plasma yang selalu kurang drai 0,5 pg/mL menunjukkan diabetes insipidus
neurogenik berat. Kadar AVP yang subnormal pada hiperosmolalitas yang menyertai
menunjukkan diabetes insipidus neurogenik parsial. Pemeriksaan ini berguna dalam
membedakan diabetes insipidus parsial dengan polidipsia primer.

8. Rontgen cranium
Rontgen cranium dapat menunjukkan adanya bukti tumor intrakranium seperti kalsifikasi,
pembesaran slla tursunika, erosi prosesus klinoid, atau makin melebarnya sutura.

9. MRI
MRI diindikasikan pada pasien yang dicurigai menderita diabetes insipidus. Gambaran
MRI dengan T1 dapat membedakan kelenjar pitutaria anterior dan posterior dengan
isyarat hiperintense atau disebut titik terang atau isyarat terang.

Penatalaksanaan

Manajemen kolaboratif

Obat pilihan untuk pasien dengan diabetes insipidus adalah vasopressin. Diabetes
insipidus transien akibat trauma kapitis atau bedah tranfenoidal juga diberi obat vasopressin
5-10 IU intramuscular (IM) atau subkutan. Vasopresin mempunyai efek antidiuretik.
Pengobatan yang lazim dipakai untuk pasien dengan diabetes insipidus. Nefrogenik
adalah diet rendah natrium, rendah protein, dan obat diuretic (Thiaside). Diet yang rendah
garam dengan obat diuretik diharapkan dapat menyebabkan sedikit pengurangan volume
cairan. Sedikit pengurangan volume cairan dapat meningkatkan reabsorpsi natrium klorida
dan air pada tubula renal sehingga sedikit air yang diekskresikan. Diuretic dapat meningkatkan
osmolaritas pada ruang interstitial medular sehingga lebih banyak air yang diabsorpsi dalam
tubulus koligentes. Terapi yang lain untuk menangani diabetes insipidus nefrogenik adalah
pemberian obat anti-inflamasi nonsteroid. Obat ini mencegah produksi prostaglandin oleh
ginjal dan bisa menambah kemampuan ginjal untuk mengonsentrasi urine.

Apabila pasien menunjukkan tand-tanda hipernatremia disertai dengan tanda-tanda


gangguan SSP, misalnya letargi, disorentasi, hipertermia, pasien dapat diberikan dekstrosa
dalam air atau minum air biasa kalau ia bisa minum. Penggantian air yang hilang dilakukan
dalam 48 jam dengan hati-hati karena bisa mengakibatkan edema serebral dan kematian.

Manajemen keperawatan

Fokus intervensi keperawatan adalah mempertahankan keseimbangan cairan dan


elektrolit, istirahat, dan penyuluhan kesehatan mengenai:

1. Pertahankan keseimbangan cairan dan elektrolit.

a. Pantau asupan dan haularan, berat badan setiap hari, berat jenis urine, tanda vital
(ortostatik), turgor kulit, status neurologis setiap 1-2 jam selama fase akut,
kemudian setiap 4-8 jam sampai pasien pulang.

b. Harus selalu ada air yang siap diminum oleh pasien. Letakkan air dekat dengan
pasien.

2. Beri cukup waktu untuk istirahat. Pasien sering terganggu tidurnya karena poliuria dan
nokturia.

3. Penyuluhan pasien:

a. Uji diagnostic: Tujuan, prosedur, dan pemantauan yang diperlukan.

b. Obat : Manajemen mandiri, cara pemakaian, dosis, frekuensi, serta efek samping.
Kesimpulan

Diabetes insipidus merupakan kelainan pada lobus posterior hipofisis yang disebabkan
oleh defisiensi vasopressin yang merupakan hormone anti diuretic (ADH). Kelainan ini ditandai
oleh rasa haus yang sangat tinggi ( polidipsia ) dan pengeluaran urin yang encer dengan jumlah
yang besar. (Suzanne C, 2001). Diabetus insipidus merupakan suatu penyakit langka yang
jarang ditemukan. Menurut sebuah konsorsium Europian Partner, menyatakan ini merupakan
penyakit langka yang terdapat 1 : 2000 orang. Penyebab terjadinya Diabetes Insipidus antara
lain : Defisiensi ADH ( diabetes insipidus sentral) yang mungkin kongenital atau didapat,
disebabkan oleh defek SSP, trauma kepala, infeksi , tumor otak, atau idiopatik. Penurunan
sensitivitas ginjal pada ADH ( diabetes insipidus nefrogenik ) biasanya menyertai penyakit
ginjal kronis , atau supresi ADH sekunder akibat mengkonsumsi cairan berlebihan ( polidipsia
primer).

Klasifikasi diabetes insipidus yaitu ada 4, DI sentral, DI nefrogenik, DI dispogenik, DI


gestasional. Adapun manifestasi klinis pada diabetes insipidus meliputi polidipsia, poliuria,
gangguan pola tidur akibat nokturia dan poliuria, anoreksia, penurunan berat badan, dll.
Pemeriksaan diagnostic untuk menegakkan diabetes insipidus dapat menggunakan uji nikotin,
uji vasopresin, laboraturium: darah, urinalis fisis dan kimia, tes deprivasi air, MRI, dll.
Penatalakasanaan secara kolaboratif yaitu vasopressin sebagai obat pilihan untuk penderita
diabetes insipidus dan penatalaksanaan secara keperawatan dapat memantau status
keseimbangan cairan dan elektrolit untuk memonitor pasien yang beresiko terhadap
dehidrasi.

DAFTAR PUSTAKA

Baradero, Mary, Mary, dan  Yakobus Siswadi. 2005. Klien Gangguan Endokrin:Seri Asuhan
Keperawatan. Jakarta: EGC

Baughman C. Diane & Joann C. Hackley. 2000.  Keperawatan medikal bedah buku saku dari
brunner & suddart. Jakarta; AGC

Corwin, Eizabeth J. 2003. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC.

Nettina M. Sandra. 2001. Pedoman Praktek Keperawatan.Jakarta;EGC

Anda mungkin juga menyukai