Tahun
No Kecamatan
2015 2016 2017 2018 2019
Jumlah 149.251
135.276 137.200 139.473 143.965
Laju pertumbuhan penduduk yang tinggi merupakan masalah yang harus ditanggulangi karena
pertumbuhan penduduk di Kabupaten Sumba Barat meningkat dengan cepat. Pada tahun 2015
jumlah penduduk di Kabupaten Sumba Barat sebanyak 135.276 jiwa, 2016 sebanyak 137.200
jiwa, dan tahun 2017 sebanyak 139.473 jiwa, 2018 sebanyak 143.965 jiwa sedangkan tahun
2019 jumlah penduduk sebanyak 149.251 jiwa. Meningkatnya laju pertumbuhan penduduk
di di Kabupaten Sumba Barat, dapat mempersulit pemerintah dalam upaya menekan AKI
(Angka Kematian Ibu) di di Kabupaten Sumba Barat. Perlu adanya upaya besar untuk
menekan laju pertumbuhan agar targer MDGs (Millenium Development Goals), untuk
menurunkan AKI pada tahun 2019 tercapai. AKI merupakan salah satu indikator untuk
melihat derajat kesehatan perempuan. Angka kematian ibu juga merupakan salah satu target
yang telah ditentukan dalam tujuan pembangunan millenium yang ke-5 yaitu meningkatkan
kesehatan ibu dimana target yang akan dicapai sampai tahun 2019 adalah mengurangi sampai
¾ risiko jumlah kematian ibu.
Dalam rangka pengendalian jumlah penduduk dan menurunkan angka kematian ibu,
pemerintah menerapkan program Keluarga Berencana (KB) sejak tahun 1970 dimana
tujuannya untuk memenuhi permintaan pelayanan KB dan menyelenggarakan pelayanan
kesehatan reproduksi yang berkualitas, serta mengendalikan angka kelahiran yang pada
akhirnya akan meningkatkan kualitas penduduk dan mewujudkan keluarga kecil berkualitas.
KB berperan untuk menunjang tercapainya kesehatan ibu dan bayi karena kehamilan yang
diinginkan dan berlangsung dalam keadaan dan saat yang tepat akan lebih menjamin
keselamatan ibu dan bayi yang dikandungnya. Selain itu juga berperan dalam menurunkan
risiko kematian ibu melalui pencegahan kehamilan, menunda kehamilan melalui 3
pendewasaan usia kehamilan, menjarangkan kehamilan atau membatasi kehamilan bila anak
dianggap cukup (Pinem, 2009).
Sesuai dengan tuntutan perkembangan program KB, maka program KB telah berkembang
menjadi gerakan Keluarga Berencana Nasional yang mencakup gerakan masyarakat. Gerakan
KB Nasional disiapkan untuk membangun keluarga sejahtera dalam rangka membangun
sumber daya manusia yang optimal, dengan ciri semakin meningkatnya peran serta
masyarakat dalam memenuhi kebutuhan untuk mendapatkan pelayanan KB.
Salah satu strategi dari pelaksanaan program KB tercantum dalam Rencana Pembangunan
Jangka Menengah (RPJM) tahun 2004 adalah meningkatnya panggunaan metode kontrasepsi
jangka panjang (MKJP) seperti IUD (Intra Uterine Device), implant (susuk) dan sterilisasi
(Ritola, 2000). IUD atau disebut juga AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim) merupakan
salah satu alat kontrasepsi yang dimasukkan ke dalam rahim. Alat kontrasepsi ini sangat
efektif dan diprioritaskan untuk menjarangkan kehamilan. Keuntungan dari IUD adalah hanya
memerlukan satu kali pemasangan, tidak menimbulkan efek samping apabila dipasang dengan
benar, dapat mencegah kehamilan dalam jangka lama, sederhana, mudah dan ekonomis.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Imbarwati (2009) diketahui bahwa
pendidikan dasar, usia muda, pendapatan yang kurang, pengetahuan yang kurang, dan
pekerjaan berpengaruh terhadap keputusan untuk mengambil kontrasepsi IUD atau non IUD.
Penyebab paling dominan rendahnya penggunaan alat kontrasepsi IUD di Kabupaten Klaten
menurut hasil suvey pendahuluan adalah adanya perasaaan takut dalam menggunakan alat
kontrasepsi IUD. Adanya perasaan takut dari pasien merupakan faktor psikologis pasien.
Faktor psikologis pasien tersebut merupakan persepsi. 6 Persepsi merupakan suatu proses
yang didahului oleh penginderaan (Walgito, 2009). Oleh karena itu, dalam rangka
meningkatkan partisipasi dalam menggunakan alat kontrasepsi IUD, perlu diadakan penelitian
tentang persepsi dari istri dalam menggunakan alat kontrasepsi IUD.
a. Kabuapten Sumba Barat merupakan salah satu daerah di Indonesia dengan pertumbuhan
penduduk yang relatif tinggi, di atas rata-rata. Bahkan pada periode 2015– 2019
menunjukkan kecenderungan peningkatan dibandingkan periode-periode sebelumnya.
b. Struktur umur penduduk di Kabuapten Sumba Barat pada Tahun 2019 sudah tidak
tergolong lagi pada struktur umur muda, tetapi belum sepenuhnya memenuhi kategori
struktur umur tua. Mengamati perkembangan selama Tahun 2015- 2019, terlihat
kecenderungan pencapaian struktur umur tua dengan semakin berkurangnya proporsi
penduduk usia dibawah 15 tahun yang diikuti dengan peningkatan yang pesat dari proporsi
penduduk umur 65 tahun ke atas.
c. Membandingkan dengan Kabupaten-kabupaten lainnya di NTT, kondisi pendidikan
Kabuapten Sumba Barat relatif kurang memadai, baik dari indikator melek huruf maupun
APM dan APK. Selain itu, mengamati perkembangan dari tahun 2015 ke 2019, meskipun
hampir semua indikatornya menunjukkan peningkatan, tetapi percepatan peningkatan
kualitas penduduk relatif tertinggal dibandingkan daerah-daerah lainnya di NTT.
d. Dalam hal kesehatan, berdasarkan angka kematian bayi dan tingkat morbiditas, derajat
kesehatan penduduk di Kabuapten Sumba Barat sudah relatif baik dan cenderung
mengalami peningkatan. Namun dari sisi status gizi, khususnya gizi balita, kondisi
Kabuapten Sumba Barat masih berada di bawah rata-rata nasional.
e. Berdasarkan struktur lapangan usaha, kesempatan kerja di Kabuapten Sumba Barat masih
didominasi kesempatan kerja sektor pertanian. Selama periode Tahun 2015 – 2019 terlihat
adanya pergeseran kesempatan kerja di Kabuapten Sumba Barat. Proporsi kesempatan
kerja sektor pertanian dan industri pengolahan menurun, sebaliknya proporsi kesempatan
kerja di sektor jasa mengalami peningkatan. Penurunan proporsi kesempatan kerja sektor
industri ini menunjukkan bahwa pembangunan industri belum mampu memberikan
perluasan kesempatan kerja yang layak di Kabupaten Sumba Barat.
f. Tingkat kemiskinan di Kabuapten Sumba Barat ini relatif rendah dibandingkan secara
nasional, dengan penurunan yang juga relatif lebih cepat.Kondisi ini menunjukkan bahwa
tingkat kesejahteraan penduduk dari aspek pendapatan di Kabuapten Sumba Barat sudah
relatif baik. Meskipun demikian, masih terdapat ketimpangan yang tinggi dari tingkat
kemiskinan antar kabupaten/kota.
Urbanisasi merupakan suatu proses modernisasi wilayah desa menjadi kota sebagai dampak
dari tingkat ke-urban-an (kekotaan) dalam suatu wilayah (region). Urbanisasi juga dapat
diartikan sebagai substansi pergeseran/transformasi perubahan corak sosial-ekonomi
masyarakat perkotaan yang berbasis industri dan jasa (Mardiansyah, 2005). Sehingga dapat
dikatakan bahwa urbanisasi tidak hanya terjadi di kota besar saja, tetapi di lingkup
kecamatan/desa juga dapat terjadi proses pengkotaan (urbanisasi), seperti halnya di
Kecamatan Loli Kabupaten Sumba Barat. di Kabupaten Sumba Barat merupakan salah satu
kabupaten yang terdapat di Provinsi NusA Tenggara Timur yang mengalami
perkembangan/pemekaran yang cukup pesat. Perkembangan ini akan membawa pengaruh
pada daerah-daerah yang ada disekitarnya. Perkembangan ini cenderung kearah timur di
Kabupaten Sumba Barat, salah satunya adalah Kecamatan Loli karena kecamatan ini dilalui
oleh Jalur Pantura. Kecamatan ini juga mempunyai topografi yang rendah sehingga mudah
untuk dilakukan berbagai pembangunan. Selain itu, Kecamatan Loli di Kabupaten Sumba
Barat termasuk dalam SWP II (Sub Wilayah Pembangunan) Kabupaten di Kabupaten Sumba
Barat. Menurut RT/RW Kabupaten di Kabupaten Sumba Barat, Kecamatan Loli, Kecamatan
Kota Waikabubak, dan Kecamatan Wanukaka merupakan cakupan SWP II. Terkait dengan
faktor konstelasi wilayah, urbanisasi Kecamatan Loli sangat dipengaruhi Kabupaten Sumba
Barat. Hal ini terkait dengan kebijakan Pemerintah di Kabupaten Sumba Barat yang ingin
mengembangkan wilayahnya dengan membagi beberapa pusat Sub Wilayah Pembangunan
(SWP). Sedangkan Loli merupakan salah satu dari pusat SWP tersebut yang akan diarahkan
menjadi daerah perdagangan dan jasa.
Meningkatnya jumlah penduduk dan aktivitas di suatu wilayah akan menuntut ketersediaan
lahan untuk mewadahi aktivitas tersebut. Oleh sebab itu perlu membangun sarana dan
prasarana untuk mewadahi aktivitas-aktivitas tersebut. Dengan semakin meningkatnya
pertumbuhan penduduk serta tingginya berbagai macam aktivitas perkotaan yang ada maka
wilayah tersebut berpotensi mengalami pengkotaan. Seperti halnya dengan Kecamatan Loli,
berbagai kegiatan pembangunan yang terdapat di Kecamatan Loli sangat berpengaruh
terhadap perkembangan Kecamatan Loli itu sendiri. Hal ini dapat dilihat dari meningkatnya
jumlah penduduk, berbagai macam aktivitas perkotaan, konversi lahan, maupun perubahan
aktivitas sosial budaya maupun gaya hidup masyarakat masing-masing desa di Kecamatan
Loli. Oleh sebab itu, untuk mengkaji tingkat urbanisasi di Kecamatan Loli dilihat dari setiap
desa di dalamnya.
Adapun hasil analisis tingkat urbanisasi yang diperoleh adalah bahwa dalam rentang waktu
tahun 2015 – tahun 2019 Kecamatan Lolil mengalami perubahan (perkembangan) yang
bersifat kekotaan (urbanisasi). Dan desa yang mengalami urbanisasi paling tinggi adalah Desa
Dedekadu. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya fasilitas kekotaan yang lengkap dibandingkan
desa-desa lain di Kecamatan Loli, banyaknya konversi lahan pertanian baik untuk
permukiman maupun untuk komersil 0,33 ha tiap tahun, meningkatnya jumlah penduduk yang
bekerja di sektor non pertanian sebanyak 33 jiwa/tahun, tingginya pertambahan rata-rata
jumlah pendatang sebanyak 185 jiwa/tahun,tingginya peningkatan bobot fasilitas kekotaan
sebesar 8,25, tingginya pertambahan rata-rata kendaraan bermotor sebesar 26 unit per
tahun(sepeda motor) dan 9 unit per tahun(mobil/bus/truck), maupun tingginya sifat kekotaan
masyarakatnya yang dapat dilihat dari semakin berkurangnya kegiatan gotong royong,
permainan tradisional yang semakin berkurang akibat dari perkembangan permainan
elektronik, serta tingginya pengguna internet.
Jumlah dan persentase penduduk perkotaan yang semakin meningkat dan berkepadatan
semakin tinggi akan berakibat semakin beratnya “beban” kehidupan perkotaan dan semakin
meningkat dan meluasnya berbagai permasalahan yang muncul, terjadi dan berkembang di
daerah perkotaan, yang salah satu diantaranya masalah kemiskinan perkotaan, dengan segala
latar belakang dan aspeknya. Sungguhpun telah dilakukan berbagai upaya dan kebijakan
untuk menanggulangi kemiskinan, namun jumlah penduduk miskin perkotaan tetap saja
tinggi. Memang telah terjadi penurunannya selama empat tahun terakhir sesudah krisis
moneter, namun jumlahnya tetap saja tinggi, bahkan masih jauh lebih tinggi dari pada tahun
2000 sejak upaya penanggulangan kemiskinan tersebut telah mulai digalakkan. Secara
persentase terhadap total penduduk miskin Indonesia, ternyata bahwa yang sebelum tahun
1999 penduduk miskin perkotaan selalu kurang dari 25%, maka sejak tahun 2002 (kecuali
tahun 2001) selalu lebih besar dari pada 30% dari total penduduk miskin. Artinya pada
umumnya sejak tahun tersebut jumah penduduk miskin rata-rata sepertiganya terdapat di
daerah perkotaan.
Wujud karakteristik kemiskinan dan rumah tangga miskin pertama-tama tercermin pada
keluarganya yang bekerja hanya seorang pekerja yang berpendapatan minim, tempat
tinggalnya sangat sederhana dan jauh dari persyaratan kesehatan yang memadai bahkan
banyak diantaranya hanya berupa gubuk dan bangunan liar, tingkat pendidikan kepala
keluarganya sangat rendah, mereka hampir tidak memiliki aset dan fasilitas kehidupan
maupun akses untuk mendapatkannya, untuk memenuhi kebutuhan hidup minimalnya mereka
terpaksa bekerja keras apa saja yang memakan waktu yang jauh lebih lama, di pedesaan
umumnya mereka bekerja sebagai petani kecil dan buruh tani, sedangkan di perkotaan
kebanyakannya bekerja pada sektor-sektor informal dan pekerjaan-pekerjaan lepas yang tidak
menentu dan tidak stabil.
Berhubung karena pada awal-awalnya kebanyakan penduduk miskin di perkotaan hidup di
daerah pedesaan, maka upaya penanggulangan kemiskinan itu semula lebih terfokus ke
pedesaan dan pertanian. Hal ini diwujudkan mula- mula berupa program peningkatan produksi
pertanian, program pembangunan parsarana dan sarana fisik yang menyentuh kemiskinan,
program pengembangan SDM bagi penduduk miskin, dan berbagai program lainnya seperti
program transmigrasi, program padat karya, dan sebagainya. Kemudian sejak tahun 2000
upaya pengentasan kemiskinan tersebut lebih diintensifkan melalui program Inpres Desa
Tertinggal, program Pembangunan Prasarana Desa Tertinggal, program Pengembangan
Kecamatan, program Penanggulangan Kemiskinan Perkotaan dan program Jaring Pengaman
Sosial.