Anda di halaman 1dari 11

Consumer Culture Theory (CCT) : Konsep Teori dan Penerapannya

dalam penelitian Keputusan dan Perilaku Konsumen

Amirudin
amirudin.amin@lecturer.pelitaindonesia.ac.id

Abstrak
Artikel ini membahas tentang konsep teoritis dan penerapan Teori Budaya Konsumen dalam
Penelitian keputusan dan Perilaku Konsumen yang intinya membahas aspek sosiokultural,
eksperiensial, simbolis, dan ideologis dari konsumsi. Tujuan dari artikel ini adalah untuk
memberikan gambaran tentang konsep dan teori budaya konsumen (CCT) dan bagaimana
penerapannya dalam penelitian keputusan dan perilaku konsumen. Disini akan diuraikan
bagaimana perkembangan dan tokoh dari teori budaya konsumen (CCT) untuk dikembangkan
dalam pengetahuan teoritis dan aplikatif yang khas tentang konsumsi dan perilaku pasar. Dalam
mengembangkan argumen ini, selain memaparkan tentang perkembangan teori ini juga
melakukan sintesa terhadap perkembangan teori ini, juga memaparkan tentang koreksi
kesalahpahaman yang bertahan lama tentang sifat dan orientasi analitik teori budaya konsumen
(CCT), kemudian penilaian terhadap bagaimana teori budaya konsumen (CCT) telah
berkontribusi pada penelitian keputusan dan perilaku konsumen dengan menjelaskan dimensi
budaya dari siklus konsumsi dan dengan mengembangkan teori baru mengenai empat domain
tematik yang menjadi minat penelitian yang disertai dengan beberapa penelitian yang berpijak
pada konsep dan teori budaya konsumen (CCT).

Kata Kunci : Teori Budaya Konsumen, Keputusan Pembelian dan Perilaku Konsumen

1. Pendahuluan
Teori budaya konsumen (CCT) adalah aliran penelitian yang berfokus pada pola
konsumsi sebagai praktik sosial dan budaya. Para ahli yang mendukung Teori budaya konsumen
(CCT) sebagian besar, meskipun tidak secara eksklusif, bekerja di departemen pemasaran atau
manajemen di universitas dan sekolah bisnis di Eropa dan Amerika Utara, meskipun ada minat
yang berkembang dalam jenis penelitian ini di Amerika Latin, misalnya. Berdasarkan warisan
pendekatan psikologis sosial sebelumnya terhadap sifat simbolis dari perilaku konsumen seperti
yang diekspresikan dalam, misalnya, karya Sidney Levy dari tahun 1950-an, Teori budaya
konsumen (CCT) perlahan-lahan tumbuh dari awal 1980-an dan seterusnya sebagai tambahan
yang semakin signifikan pada ekonometrik tradisional dan pendekatan psikologis kognitif untuk
mempelajari pengambilan keputusan konsumen dan perilaku konsumen.
Teori budaya konsumen (CCT) mengeksplorasi penyebaran heretogen dari pemaknaan
dan multiplikasi grup-grup yang saling tumpang tindih yang ada dalam kerangka sosiohistorik
globalisasi dan kapitalisme pasar yang lebih luas. Dengan demikian budaya konsumen
menunjukkan suatu pengaturan sosial di mana hubungan antara budaya yang hidup dengan
sumber daya sosial dan hubungan antara cara hidup yang bermakna dengan sumber daya
material dan simbolik diperantarai oleh pasar. Akibatnya, fenomena konsumsi hanya dapat

1
dipahami dalam konteks sosial budaya di mana mereka ada. Selanjutnya fenomena konsumsi
harus dilihat dalam kaitannya dengan siklus konsumsi lengkap termasuk akuisisi, kepemilikan,
konsumsi, dan disposisi. Tujuannya untuk membuat teori tentang kekuatan dinamik seperti siklus
konsumsi dan logika sosial pada tingkat mikro dan makro. Konteks yang demikian sama
pentingnya dengan bidang di mana fenomena konsumsi terungkap sebagai pengalaman yang
nyata dan hidup. Unsur sentral dalam budaya konsumen adalah konsumsi komoditas yang dibuat
oleh pasar serta simbol pemasaran yang dipengaruhi oleh keinginan. Dalam konsep Teori budaya
konsumen (CCT), bagian teori perspektif yang membahas hubungan dinamis antara
tindakan konsumen, pasar, dan budaya (Arnould dan Thompson, 2005)
Teori budaya konsumen (CCT) sekarang telah diformalkan menjadi asosiasi ilmiah yang
menyelenggarakan konferensi tahunan sejak tahun 2006. Mereka mempunyai publikasi ilmiah
signifikan dan bergengsi yaitu Journal of Consumer Research, walaupun jurnal ini digunakan
bersama dengan peneliti konsumen dari perspektif yang lebih dominan psikologi kognitif / teori
keputusan behavioral dan pemodelan ekonometrik perilaku konsumen. Publikasi lain yang tak
kalah penting adalah jurnal- jurnal Konsumsi, Pasar dan Kebudayaan, Journal of Consumer
Culture, Journal of Macromarketing, Journal of Marketing, Jurnal of Marketing Management,
Journal of Ritelling, dan Teori Marketing. Begitu pula Volume yang telah diedit seperti seri buku
"Research in Consumer Behavior" dan "Interpretive" dari Routledge Marketing Research” dari
Routledge. (Askegaard, 2015)
Tabel 1 menunjukkan contoh-contoh konteks penelitian dalam Teori budaya konsumen
(CCT) dan kepentingan teoritis yang sesuai seperti yang terlihat dibawah ini :

2
2. Konsep Teori dan Pengembangan Penelitian Teori Budaya Konsumen (CCT)
Budaya konsumen menurut definisi artikel oleh Arnould dan Thompson (2005),
"menunjukkan tatanan sosial di mana hubungan antara budaya yang hidup dan sumber daya
sosial, dan antara cara hidup yang bermakna dan sumber daya simbolis dan material di mana
mereka bergantung yang dimediasi melalui pasar ”. Oleh karenanya fenomena konsumsi hanya
dapat dipahami melalui pemahaman dalam konteks sosiokultural di mana mereka berada dan,
lebih jauh, harus dilihat dalam hubungannya dengan siklus konsumsi penuh termasuk perolehan,
kepemilikan, konsumsi, dan disposisi. Sementara pentingnya konteks sosiokultural membuat
para ahli Teori budaya konsumen (CCT) terutama berorientasi pada metode yang
memungkinkan konsepsi yang mendalam (paling sering pendekatan etnografis dan / atau
fenomenologis), ada keterbukaan terhadap keragaman metode dan representasi, termasuk yang
didasarkan pada survei atau data percobaan (Arnould dan Thompson 2005).
Teori budaya konsumen (CCT) adalah aliran penelitian berfokus pada pola konsumsi
sebagai praktik sosial dan budaya. Teori budaya konsumen (CCT) telah memajukan
pengetahuan perilaku konsumen dengan menjelaskan proses sosiokultural dan struktur
yang terkait dengan identifikasi empat program penelitian sebagai dasar pembangunan Teori
budaya konsumen (CCT) seperti yang diungkapkan oleh Arnould dan Thompson (2005), yaitu :
a. Proyek Indentitas konsumen
b. Kultur pasar
c. Pola sosiohistorik konsumsi
d. Ideologi pasar yang mass-mediated dan strategi interpretif konsumen

3
Gambar 2 : CCT : Struktur umum Peminatan Teoritis
Sumber : Arnaould dan Thompson 2007

Gambar 2 menunjukkan pemetaan heuristik struktur umum Teori Budaya Konsumen


(CCT) yang menghubungkan beberapa studi yang beragam. Keragaman tersebut berupa orientasi
metodologis (yaitu, etnografi, fenomenologi, analisis tekstual, metode sejarah, metode berbasis
web), tradisi teoritis (dari sosiologi, antropologi, kritik sastra, teori kritis, dan studi feminis),
serta isu-isu substantif yang berasal dari konteks penelitian tertentu. (Arnould dan Thompson,
2007)
a. Proyek Indentitas konsumen
Pada aliran penelitian pertama yang disebutkan di atas, berpusat pada visi konsumen
individu sebagai pencari identitas yang diberdayakan yang pilihannya mencerminkan pencarian
identitas yang ditentukan, bersama dengan relevansi budaya konsumsi. Pendekatan ini
meningkatkan fokus analisis dari individu ke tingkat sistemik superior dari sebuah kelompok
yang terdiri dari konsumen individu yang memiliki kepentingan konsumsi yang sama. Aspek ini
telah diteliti dalam beberapa studi Teori budaya konsumen (CCT) yang menganalisis konsumsi
dalam komunitas merek terorganisir (McAlexander et al., 2002; Muniz & O'Guinn, 2001) dan
sebagai subkultur konsumsi (Schouten & McAlexander, 1995) dalam Arnould dan Thompson
(2005).
Pada bagian ini adalah merupakan area riset yang terbesar. Proyek identitas konsumen
pada dasarnya adalah mencari bagaimana konsumen kontemporer yang refleksif menggunakan
sumber daya yang berhubungan dengan pasar untuk membentuk indentitas diri. Misalnya
penelitian pada ruang web pribadi, yang mempelajari bagaimana konsumen membuat diri
koheren melalui bahan yang dibuat oleh pemasar. (Arnould dan Thompson 2005)
4
Benda berperan penting dalam definisi diri, dan secara khusus menjadi ekstensi dari diri.
Konstruksi seperti ini bersifat kompleks, sering penuh dengan ambivalensi, kontradiksi internal
dan bahkan patologi. Konsumen menggunakan pasar untuk membebaskan diri dari kekangan
harapan sosial dan rasa berhutang. Objek dalam rumah tangga menjadi sumber kunci bagi
keluarga dalam membangun identitas individual, keluarga, maupun sosial. (Joy dan Li, 2012)
Sebuah tema yang dominan dalam literatur proyek identitas adalah kelenturan pembuatan
identitas. Ideologi bahwa seseorang bebas untuk memilih cara mempresentasikan diri telah
diterima secara luas. (Joy dan Li, 2012)
Beberapa peneliti bekerja pada proyek identitas konsumen global. Thema ini
mengungkap bagaimana perbedaan identitas konsumen di negara berkembang dan negara maju,
bagaimana pembentukan identitas di antara kaum mingran. Mereka mengungkap sifat dinamis
dan refleksif identitas konsumen dalam konteks transnasional. Terdapat spektrum identitas
hibrida yang dibangun oleh konsumen imigran, di mana salah satunya dipengaruhi oleh faktor
sosio-historis, ideologi politik, dan praktek budaya yang dimediasi pasar. (Joy dan Li, 2012)
Identitas konsumen juga terbagi oleh generasi. Sebuah studi di Turki menunjukkan bahwa
perempuan migran telah menciptakan identitas yang menghargai kehidupan di permukiman
ilegal di kota. Sementara anak perempuan mereka, yang telah terakulturasi dan terhalang oleh
keterbatasan ekonomi, merasa kurang puas dibandingkan dengan ibu mereka. (Joy dan Li, 2012)
Proyek lain mengupas budaya konsumen global dan pembentukan identitas pada tingkat
makro. Mereka membahas bagaimana konsumen Cina menggunakan merek Barat untuk
menegaskan versi bersaing identitas nasional Cina. Konsumen menggunakan pilihan wacana
hubungan Timur-Barat, dengan Barat dilihat sebagai pembebas dan penindas. Merek Barat
merupakan simbol demokratisasi atau dominasi. (Joy dan Li, 2012)
Karaba dan Ger (2011) memberikan sumbangan gemilang dari pembentukan konsumsi
subjek dalam budaya Ottoman awal. Mereka menafsirkan pandangan populer dari konsumen
yang secara aktif mengidentifikasi diri menggunakan pendekatan antropologis-historis untuk
memahami pembentukan subjek konsumen versus kekuatan pasar dan lembaga. Studi mereka
memperluas dua klaim teoritis penting dalam Arnould dan Thompson, 2005 yaitu : (1) konsumsi
menyelesaikan ketegangan antara pengejaran kesenangan dengan moralitas; dan (2) budaya pasar
adalah co-created melalui negosiasi diskursif dan praktek. Riset Karababa dan Ger menunjukkan
bahwa co-created budaya pasar mencakup keseluruhan aktor: negara, lembaga keagamaan, dan
berbagai macan perantara terkait pasar. (Joy dan Li, 2012)
Riset-riset transformatif konsumen merupakan pendekatan yang lumayan baru dalam
memahami identitas konsumen. Periset menyoroti hubungan antara kebijakan publik dan respon
konsumen di antara konsumen yang rentan atau tertinggal seperti konsumen yang kurang melek
huruf, konsumen dengan penyakit kronis, konsumen anak-anak dan remaja, serta konsumen
minoritas. Ada pula yang mengungkap sisi gelap konsumsi yaitu perilaku obsesif kompulsif
seperti hutang tidak terkendali kartu kredit, alkoholisme, dan kecanduan lainnya. (Joy dan Li,
2012)

b. Budaya pasar
Pada domain budaya pada intinya adalah melihat bagaimana konsumen membangun
komunitas budaya tertentu melalui kegiatan terkait pasar dan menganalisanya dalam hal
subkultur, komunitas merek, atau jaringan konsumen neo-tribalistik. Misalnya penelitian pada
subkultur Harley-Davidson, yang memandang konsumen sebagai produsen budaya. Program
5
penelitian ini dibangun terutama pada konsep Maffesoli tentang neo-tribal. Studi dari suku
konsumen telah menjadi lebih terfokus, misalnya, pada budaya clubbing dan budaya surfing.
(Arnould dan Thompson, 2005)
Schau, Muñiz, dan Arnould (2009) meneliti proses penciptaan nilai kolektif di dalam
komunitas merek. Mereka mengidentifikasi empat tema dari praktek penciptaan nilai : 1) jejaring
sosial, 2) manajemen pencitraan, 3) keterlibatan masyarakat, dan 4) penggunaan merek. Mereka
mencatat bahwa perusahaan dapat memperoleh manfaat yang signifikan melalui pemanfaatan
secara kreatif kontrol terhadap kesediaan pelanggan yang akan meningkatkan keterikatan
konsumen terhadap merek dan memperkuat komunitas merek. (Joy dan Li 2012)
Manajer branding dan perantara pasar lainnya berkontribusi dalam menciptakan
kesadaran regional, terutama di Asia. Merek dipandang sebagai cerita dalam imajinasi kolektif
konsumen. Dalam pandangan umum tentang globalisasi budaya konsumen, globalisasi lebih luas
dari pada hanya satu jalur orientasi Barat-ke-yang lain, namun banyak jalur, dari Hong Kong,
Beijing, Singapura, dan banyak perkotaan lain dengan budaya yang terjalin bebas. (Joy dan Li
2012)

c. Pola sosio-historis konsumsi


Domain ke tiga dari Teori budaya konsumen (CCT) dialamatkan pada institutional dan
social structure yang secara sistematis mempengaruhi konsumsi seperti kelas, komunitas,
ethnic dan gender. Konsumen diyakinkan dengan aturan sosial dan posisinya (Otnes, Lowrey,
and Kim 1993). Singkatnya problema research yang terjadi disebabkan oleh pertanyaan: apa
itu konsumer society dan bagaimana dia berdiri dan bertahan.
Untuk mengatasi masalah ini, ahli teori budaya konsumen menyelidiki proses dimana
pilihan konsumsi dan perilaku dibentuk oleh hierarki kelas sosial (Allen 2002; Holt 1997,
1998; Wallendorf 2001); jenis kelamin (Bristor dan Fischer 1993; Dobscha dan Ozanne 2001;
Fischer dan Arnold 1990; Thompson 1996; Thompson dan Haytko 1997; Thompson,
Locander, dan Pollio 1990); etnis (Belk 1992; Mehta dan Belk 1991; Reilly dan Wallendorf
1987; Wallendorf dan Reilly 1983); dan keluarga, rumah tangga, dan kelompok formal
lainnya (Moore-Shay, Wilkie, dan Lutz 2002; Wallendorf dan Amould 1991; Ward dan
Reingen 1990). Di cabang pekerjaan ini. Holt (1997, 1998) menunjukkan modal berbudaya
didistribusikan oleh kelas sosial secara sistematis. Wallendorf (2001) menyarankan bahwa
sebuah keahlian membentuk fundamental yang efektif dari sikap konsumen yang
didistribusikan oleh kelas dan ras. Allen (2002) menunjukkan bagaimana pilihan working
class consumer dibentuk oleh modal budaya dasar dimana mereka telah tersosialsasi secara
sistematis untuk tujuan mobilitas sosial mereka.
Secara timbal balik, Teori budaya konsumen (CCT) meneliti hubungan antara
pengalaman konsumen, sistem kepercayaan, dan praktik dan ini struktur kelembagaan dan
sosial yang mendasar. Sebagai contoh, penelitian tentang komunitas brand menunjukkan
bahwa komunitas semacam itu mempertahankan tradisi komunitas, sambil mengurangi
batasan geografi, dan dicirikan oleh upaya eksplisit untuk membangun kepercayaan melalui
konsumsi komersial brand (Mufiiz dan O'Guinn 2000). Dengan kata lain, penelitian konsumen
menyarankan bahwa ethnic identatas memiliki, persamaan rasa menjadi hypercultural dimana
budaya yang asli dibentuk secara sosial sebagai sesuatu yang bisa dikonsumsi (kostum,
makanan, kerajinan, musik) sebagai bagian dari upaya untuk menyarankan menegaskan
identitas dalam konteks sosial (Askegaard, Arnould, dan Kjeldgaard 2005; Oswald 1999).
6
Selanjutnya, penelitian konsumen pasca asimilasi memberikan alternatif yang dinamis dan
agenik untuk menjadi model struktural yang akulturasi (Penaloza, 1994).

d. Ideologi pasar yang mass-mediated dan strategi interpretif konsumen


Pada domain keempat ini, pengaruh dari teori media dan teori kritis sangat jelas karena
fokusnya adalah pada pembentukan ideologi pada makna budaya konsumen melalui citra
komersial, servicescapes, dan sebagainya. Namun, fokus khusus pada lembaga konsumen tetap
dipertahankan melalui investigasi strategi yang digunakan oleh konsumen untuk mengubah
berbagai teks budaya populer, termasuk pesan komersial, menjadi sumber daya untuk situasi
kehidupan mereka sendiri. Hal-hal yang dipertanyakan dalam domain ini antara lain apa pesan
normatif yang dikirimkan media komersial tentang konsumsi? Bagaimana konsumen memahami
pesan tersebut dan merumuskan tanggapan kritis? Konsumen dipandang sebagai agen
interpretatif yang maknanya aktivitas penciptaan maknanya bervariasi mulai dari diam-diam
merangkul representasi identitas konsumen yang dominan dan ide gaya hidup yang digambarkan
dalam iklan dan media massa, sampai pada orang-orang yang secara sadar menyimpang dari
petunjuk ideologis tersebut. Peneliti Teori budaya konsumen (CCT) membaca teks populer
budaya (iklan, program televisi, film) sebagai gaya hidup dan petunjuk identitas yang
menyampaikan ideologi pasar yang murni (yaitu, terlihat seperti ini, bertindak seperti ini, ingin
hal-hal ini, bercita-cita untuk jenis gaya hidup tertentu) dan jenis konsumen ideal. Dengan
decoding dan dekonstruksi ideologi pasar yang mass-mediated ini, peneliti Teori budaya
konsumen (CCT) mengungkapkan cara bagaimana sistem produksi budaya kapitalis
mengundang konsumen untuk mengingini identitas dan gaya hidup ideal tertentu. (Arnould dan
Thompson 2005)
Studi-studi lain membahas mengenai kompleksitas konsumen yang saling terkait antara
teknologi dan ideologi, misalnya ideologi Techtopian (teknologi sebagai kemajuan, meskipun
dengan nada moral); ideologi green luddite (teknologi sebagai perangsang-ketakutan, tidak
dibutuhkan, dan tidak berkelanjutan); ideologi pekerjaan mesin (teknologi sebagai pusat
pertumbuhan ekonomi), ideologi Techspressive (teknologi sebagai perpanjangan dari identitas
rakyat berdasarkan kesenangan), dan Netnography (etnografi on line). [Joy dan Li 2012]
Lini riset lain meneliti tentang gerakan anti-konsumsi dan ideologi yang
direpresentasikan dalam karya Varman dan Belk (2009). Gerakan sentimen anti Coca-Cola yang
dilakukan oleh penduduk desa di India Utara mencerminkan upaya penduduk setempat untuk
membangkitkan gerakan nasionalis Swadeshi di India yang diperkenalkan oleh Gandhi lima
puluh tahun sebelumnya. Versi revisi dari Swadeshi ini berfokus pada materialisme dan
mengambil taktik yang berbeda yaitu demonstran menggunakan politik spasial untuk
menciptakan perasaan yang kuat "kita" vs "mereka." Perusahaan dan berbagai produknya dicap
negatif (dengan Coca-Cola dijual di India dianggap kalah dengan minuman ringan lokal karena
tinggi kandungan pestisidanya). Nasionalisme baru ini lebih menunjukkan kekuatan konsumen
daripada berperan sebagai pembalikan dari ideologi kebangsaan yang lama. [Joy dan Li 2012]
Media periklanan dapat mencerminkan pergeseran ideologi suatu bangsa. Melalui media
iklan, Zhao dan Belk (2008) menilai evolusi China yang sedang berlangsung dari komunisme ke
masyarakat konsumen. Mereka menilai bagaimana iklan telah disesuaikan dengan ideologi
dominan anti-konsumerisme untuk membenarkan promosi konsumsi, bagaimana iklan telah
menjembatani ketegangan ideologis yang jelas antara komunisme dan konsumerisme, dan pola
struktural representasi apa yang memfasilitas transisi ideologi ini dalam iklan. Penelitian mereka
7
menggarisbawahi gagasan bahwa pasar tidak hanya hidup dengan mitologi budaya, tetapi juga
jenuh dengan ideologi politik. Dan ironisnya, China telah berubah dari sistem kapitalis ke sistem
sosialis dan kemudian bergerak menuju sosialisme pasar, namun iklan-iklan mereka dibuat pada
tradisi yang kaya propaganda politik untuk menyusun kembali China sebagai masyarakat
konsumen. (Joy dan Li 2012)

3. Kritik terhadap Konsep Teori Budaya Konsumen


Teori Budaya Konsumen (CCT) telah menjadi subyek dari kritik internal dan eksternal.
Pertama, sejumlah peneliti, yang merupakan bagian dari komunitas riset konsumen interpretatif
sebelum pembentukan merek Teori Budaya Konsumen (CCT), telah menolak untuk mengadopsi
label tersebut dengan alasan bahwa ia tidak memiliki sikap kritis pada institusi pasar neoliberal
dan ideologi konsumtif. Sebuah kritik yang sama telah diungkapkan oleh ahli yang benar-benar
di luar domain riset konsumen, misalnya dari antropologi ekonomi.
Kritik serupa muncul dari internal komunitas peneliti Teori Budaya Konsumen (CCT)
sendiri yaitu dalam hal kurangnya fokus pada kerangka kelembagaan dan macrosocial budaya
konsumen. Dengan demikian, terdapat pendapat bahwa warisan eksistensial-fenomenologis dari
bidang Teori Budaya Konsumen (CCT), pembentukan wawancara mendalam fenomenologis
sebagai instrumen penelitian utama dan konsekuensi penafsiran terlalu tinggi atas agen
konsumen, telah menyebabkan pengabaian efek kekuatan sosial yang tidak langsung dirasakan
atau diungkapkan oleh subjek konsumen. Dari tanggapan tersebut jelas terlihat bahwa bidang
Teori Budaya Konsumen (CCT) bergerak menuju peningkatan fokus tidak hanya pada konsumen
sebagai aktor pasar tetapi juga pada sistem kelembagaan yang lebih kompleks dari interaksi
pasar sebagai konstitutif budaya konsumen. Dengan demikian, ada kemauan berkembang di
kalangan peneliti/ahli Teori Budaya Konsumen (CCT) untuk mempertimbangkan budaya
konsumen bukan hanya dari perspektif individu dan kolektif konsumen, tetapi sebagai hal yang
terkandung dalam sebuah sistem pasar. Akibatnya, pengaruh dari teori kelembagaan, teori
jaringan aktor, dan teori himpunan menjadi semakin signifikan. (Askegaard, 2015)

4.Penerapan teori dalam penelitian


Berikut ini beberapa penelitian yang berpijak pada konsep Teori Budaya Konsumen
(CCT), yaitu sebagai berikut :
a. Experiential marketing and the changing nature of extraordinary experiences in post-
postmodern consumer culture (Alexandros Skandalisa, John Byromb , Emma Banister),
Journal of Business Research, Vol. 97, April 2019. Permanent link to this document:
https://doi.org/10.1016/j.jbusres.2018.12.056.
Adapun permasalahan dalam penelitian ini adalah berhubungan Etnografi Konsumen
dan implikasinya terhadap perubahan sifat pengalaman konsumen dalam kaitannya dengan
budaya konsumen pasca –postmodern dimana pada intinya adalah untuk mengeksplorasi sifat
dari pengalaman luar biasa, yang meskipun memiliki sekumpulan karakteristik struktural dan
antistruktural, tidak ditempatkan dalam bingkai antistruktural.
Metode Penelitian Kualitatif dengan Pengumpulan data yang menggunakan
pendekatan interpretatif yang terdiri dari data etnografi, termasuk ratusan interaksi informal,
tertulis pada catatan lapangan, bahan artefak, foto dan rekaman video. Keterkaitan Masalah

8
dengan Teori adalah dengan melihat hubungan antara pengalaman luar biasa dalam kontek
budaya konsumen postodern.
Temuan dalam penelitian ini menggambarkan bahwa pengalaman festival yang luar
biasa terungkap melalui konsumen yang merangkul serangkaian ketegangan pasar dalam
Primavera, dengan pengalaman mereka tetap berada dalam keseharian. Penelitian di masa
depan mungkin bertujuan untuk menyelidiki pengalaman luar biasa tersebut dalam konteks
pengalaman lainnya dan menggali lebih dalam karakteristik pengalaman konsumsi tersebut.
Penyelidikan di masa mendatang juga dapat menerapkan pemahaman yang diperbarui
tentang konsep pengalaman luar biasa ini untuk memahami bagaimana konsumen mengalami
aspek duniawi dari kehidupan sehari-hari mereka melalui konsumsi. Selanjutnya dalam
konteks pengembangan strategi pemasaran berdasarkan pengalaman yang membahas dimensi
perilaku konsumsi sehari-hari dan struktural dalam terang budaya konsumen pasca-
postmodern.
b. From Marginalization to Boundary Solidification : CCT and its Implication for Aspiring
Scholars (Shahzeb Jafri) In Consumer Culture Theory. Published online: 26 Jan 2018;
191-205. Permanent link to this document: https://doi.org/10.1108/S0885-
211120180000019011
Adapun permasalahan dalam penelitian ini untuk menelaah Konsep Teori Budaya
Konsumen sebagai tradisi ilmiah dalam perspektif “ The Structure of Scietific Revolution”.
Metode Penelitian Kualitatif melalui literatur dari Jurnal Riset Konsumen dan Teori
Pemasaran untuk menunjukkan masalah metodologis dan praktis dalam disiplin konsep
Teori Budaya Konsumen (CCT). Keterkaitan Masalah dengan Teori adalah dengan
melalukan analisis mendalam berdasarkan pada kajian literatur perubahan akulturasi dalam
konsep Teori Budaya Konsumen (CCT).
Inti dan kesimpulan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis perkembangan
dalam literatur Teori Budaya Konsumen (CCT) tentang akulturasi imigran melalui lensa
Kuhnian yang membahas kritik metodologis dan kontekstual yang dihadapi oleh disiplin
ilmu tersebut. Selain itu, diskusi tentang dasar pemikiran di balik dimulainya temuan dan
tujuan penelitian yang dimilikinya yang menggambarkan Teori budaya konsumen (CCT)
sebagai tradisi ilmiah yang normal. Intinya, yang sebelumnya terpinggirkan. Disiplin
penelitian dengan tanpa batas dan kini bergerak menuju pemantapan batas yang akan
pendukung Teori budaya konsumen (CCT) sebagai tanggapan atas anomali yang ditunjukkan
sekarang dimana lebih fokus pada melakukan analisis tingkat makro dibandingkan dengan
penelitian tingkat individu (mikro). Dari perspektif Kuhnian, pemantapan bidang Teori
budaya konsumen (CCT) akan memberi para peneliti muda pertanyaan yang dapat digunakan
untuk memasuki laboratorium (dunia konsumen) bersama dengan pedoman agar berhasil
diterbitkan. Di sisi lain, pengetatan batas paradigmatik Teori budaya konsumen (CCT)
mungkin membatasi cendekiawan muda untuk tetap berpegang pada prosedur penelitian
tertentu.

9
c. Consumer Culture Theory (CCT) : Hubungan Timbal Balik antar Social Operant
Resources dan Operand Resources dalam Studi Empiris McDonald’s Indonesia (Ricky
Reksoprawiro, Gabriella Scarlett, Alexander Joseph Ibnu Wibowo, Novi Amelia) :
Kajian Branding Indonesia, Volume 2, Nomor 1, 2020
Adapun permasalahan dalam penelitian ini untuk menganalisis Kepuasan dari
perspektif konsumen dengan pendekatan perilaku konsumen dengan menggunakan konsep
Teori Budaya Konsumen (CCT) yang intinya adalah untuk menguji secara empiris secara
garis besar untuk mengetahui hubungan antara konsep social operant resources terhadap
operand resources yang dilandasi oleh Teori Budaya Konsumen (CCT). Secara spesifik,
penelitian ini ingin menguji sebagai berikut: (i) pengaruh social operant resources terhadap
economic operand resources; (ii) pengaruh social operant resources terhadap material
operand resources; (iii) pengaruh economic operand resources terhadap social operant
resources; dan (iv) pengaruh material operand resources terhadap social operant resources;
(v) hubungan timbal balik antara social operant resources dan economic operand resources;
(vi) hubungan timbal balik antara social operant resources dan material operand resources.
Metode Penelitian Kwantitatif dengan Pengumpulan data primer dilakukan
menggunakan kuesioner melalui survei online. Seluruh indikator diukur menggunakan skala
Likert tujuh poin. Penelitian ini berhasil memperoleh data responden sebanyak 358 orang
konsumen restoran McDonald’s. Teknik analisis faktor eksploratori exploratory factor
analysis (EFA) diterapkan untuk melakukan uji validitas konstruk. Selanjutnya, keenam
hipotesis diuji menggunakan teknik Structural Equation Modeling (SEM).
Hasil penelitian ini membuktikan bahwa keenam hipotesis yang diajukan tidak
ditolak. Secara ringkas, social operant resources memengaruhi economic operand resources,
social operant resources memengaruhi material operand resources, economic operand
resources memengaruhi social operant resources, material operand resources memengaruhi
social operant resources, ada hubungan timbal balik antara social operant resources dan
economic material resources, dan ada hubungan timbal balik antara social operant resources
dan material operand resources. Keterkaitan Masalah dengan Teori Bahwa ada hubungan
timbal balik antara social operant resources dan operand resources konsumen, maka
McDonald’s sekarang memiliki kesempatan yang memungkinkan untuk menerapkan Konsep
Teori Budaya Konsumen (CCT).

10
DAFTAR PUSTAKA

Arnould, EJ., Thompson, CJ. 2005. Consumer Culture Theory: Twenty Years of Research.
Journal of Consumer Research Inc. Vol. 31. No. 4: 868-882.

Arnould, E J., Thompson, CJ. 2007. Consumer Culture Theory ( and We Really Mean
Theoretics) : Dilemmas and Opportunities Posed by an Academic Branding Strategy.
Research in Consumer Behavior. Vol. 11 : 3-22.

Askegaard, S. 2015. Consumer Culture Theory (CCT). [Tersedia on-line di


http://onlinelibrary.wiley.com/doi/10.1002/9781118989463.wbeccs054/full, diakses pada
1 Desember 2015]

Joy, A., Li, E. 2012. Studying Consumption Behaviour through Multiple Lenses: An Overview of
Consumer Culture Theory. Journal of Business Anthropology. Vol. 1. No. 1: 141-173.

Jafri, S. From Marginalization to Boundary Solidification: CCT and its Implication for Aspiring
Scholars" In Consumer Culture Theory. Published online: 26 Jan 2018; 191-205

Reksoprawiro, R, dkk. Consumer Culture Theory: Hubungan Timbal Balik antar Social Operant
Resources dan Operand Resources dalam Studi Empiris McDonald’s Indonesia, Kajian
Branding Indonesia, Volume 2, Nomor 1, 2020

Skandalisa, A , Byromb, J , Banister, E. Experiential marketing and the changing nature of


extraordinary experiences in post-postmodern consumer culture, Journal of Business
Research, Vol. 97, April 2019, 43-50

11

Anda mungkin juga menyukai