Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH

TEORI PUSAT PERTUMBUHAN WILAYAH

Nama : Desrtri Wahyudin

NIM : 1715140001

Kelas : Geografi Sains

JURUSAN GEOGRAFI
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI MAKASSAR
2021
KATA PENGANTAR

Segala puji kami panjatkan kepada Allah SWT. Yang mana telah  memberikan
kami kesehatan dan kesempatan sehingga kami dapat   menyelesaikan makalah ini.
Tak lupa shalawat beriring salam kami  sanjungkan atas nabi besar kita Muhammad
s.a.w.
Rasa hormat juga ingin kami sampaikan kepada dosen yang telah  membimbing
kami sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini yang berjudul “Teori Pusat
Pertumbuhan Wilayah”.  Adapun  makalah  yang  saya   susun  ini, saya sangat
berharap kritik dan saran dari pembaca  untuk  perbaikan  makalah ini agar bisa
menjadi lebih baik.

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................................ii
BAB I......................................................................................................................................1
A. Latar belakang...........................................................................................................1
B. Rumusan Masalah......................................................................................................3
BAB II.....................................................................................................................................4
A. Teori Tempat Sentral.................................................................................................4
B. Teori Kutub Pertumbuhan........................................................................................5
C. Teori Sektoral / Sector Theory..................................................................................6
BAB III...................................................................................................................................7
A. Kesimpulan.................................................................................................................7
B. Saran...........................................................................................................................7
DAFTAR PUSTAKA.............................................................................................................8

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar belakang

Indonesia Merupakan Negara Kepulauan yang sangat luas dan mempunyai


jumlah penduduk terbesar keempat di dunia. Wilayah Indonesia dibagi menjadi
provinsi, kabupaten, dan kota otonom. Secara teknis, kabupaten dan kota
mempunyai level yang sama dalam pemerintahan. Pembagian tersebut
berdasarkan atas apakah administrasi pemerintahan berlokasi di wilayah
pedesaan atau di wilayah perkotaan. Di dalam kabupaten dan kota terdapat
kecamatan yang merupakan unit pemerintahan administrasi yang lebih kecil.
Setiap kecamatan dibagi menjadi desa. Desa di wilayah pedesaan disebut desa,
sedangkan wilayah perkotaan disebut kelurahan (Kuncoro, 2014: 28). Sebagai
sebuah Negara kepulauan yang sangat besar, Indonesia memerlukan sebuah
strategi pembangunan nasional dan regional yang sesuai dengan karakter dan
keunggulan masing-masing wilayah.
Konsep pembangunan desentralisasi adalah konsep pembangunan yang
cocok untuk dikembangkan di Indonesia saat ini melalui otonomi daerah. Dalam
upaya mengoptimalkan pelaksanaan pembangunan yang terdesentralisasi ini,
maka pelaksanaan pembangunan disetiap daerah otonomi perlu dipersiapkan
dengan penyusunan konsep pembangunan yang lebih matang yang sesuai dengan
potensi, kendala dan kesempatan yang dimiliki oleh setiap daerah otonom
tersebut. Maka dari itu setiap daerah akan memiliki prinsip yang berbeda dalam
mengimplementasikan konsep dan strategi pembangunannya. Pada akhirnya
pembangunan yang dilaksanakan di suatu wilayah akan bersifat spesifik dan
diharapkan unggul secara kompetitif (unggul dalam harga) maupun komparatif
(unggul dalam sumberdaya) di bidang-bidang perekonomian tertentu
(Adisasmita, 2011: 32).

1
Dengan dikeluarkannya Undang-Undang Otonomi Daerah pada tanggal 1
Januari 2001, Pemerintah Republik Indonesia secara resmi telah menyatakan
dimulainya pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor
22 Tahun 1999 yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
1999, yang kemudian direvisi dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2004
tentang Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah. Untuk mendukung
pelaksanaan otonomi tersebut, beberapa peraturan Pemerintah sudah pula
dikeluarkan. Sejak saat itu, pemerintah dan pembangunan daerah di seluruh
Nusantara telah memasuki era baru yaitu era otonomi daerah dan desentralisasi
fiskal (Sjafrizal, 2014: 14).
Dengan adanya otonomi daerah menimbulkan perubahan yang cukup
mendasar dalam perencanaan pembangunan daerah. Sistem perencanaan
pembangunan yang selama ini cenderung seragam, kemudian mulai berubah dan
cenderung bervariasi tergantung pada potensi dan permasalahan pokok yang
dialami oleh daerah yang bersangkutan dan disesuaikan dengan keinginan
aspirasi yang berkembang di daerah.
Menurut Sjafrizal (2014: 14) Perubahan yang terjadi dengan adanya
otonomi daerah pada dasarnya menyangkut dua hal pokok, yaitu: pertama,
pemerintah daerah diberikan wewenangan lebih besar dalam melakukan
pengelolaan pembangunan (Desentralisasi Pembangunan). Kedua, pemerintah
daerah diberikan sumber keuangan baru dan kewenangan pengelolaan keuangan
yang lebih besar (Desentralisasi Fiskal). Kesemuanya ini dimaksudkan agar
pemerintah daerah dapat lebih diperdayakan dan dapat melakukan kreasi dan
terobosan baru dalam rangka mendorong proses pembangunan di daerah masing-
masing sesuai potensi dan aspirasi masyarakat daerah bersangkutan. Hal ini
berarti daerah harus lebih mampu menetapkan skala prioritas yang tepat untuk
memanfaatkan potensi daerahnya masing-masing.

2
B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana teori pusat pertumbuhan wilayah

3
BAB II
PEMBAHASAN

A. Teori Tempat Sentral

Pada tahun 1933, Walter Christaller mengajukan suatu Teori Tempat


Sentral yang mencoba menganalisis hubungan antara ukuran, jumlah, dan
distribusi geografi dari pusat-pusat kegiatan. Identitas pusat kegiatan dalam hal
ini ditunjukkan dengan adanya layanan kegiatan jasa dan perdagangan. Model
yang dikembangkan, dilandasi oleh suatu keyakinan akan adanya keteraturan
dalam menentukan pusat-pusat kegiatan khususnya yang berkaitan dengan
fungsinya sebagai pasar dan pelayanan sektor jasa.
Teori Tempat Sental dari Christaller pada prinsipnya dibangun berdasarkan
asumsi adanya hubungan fungsional yang bersifat hirarkis antar pusat-pusat
kegiatan. Hubungan fungsional ini dilandasi oleh ukuran dan luasan daerah
pelayanan (sektor jasa) dari masing-masing pusat kegiatan. Sementara itu, ukuran
dan luasan daerah pelayanan ini pada dasarnya dipengaruhi oleh faktor jumlah
penduduk dan atau tingkat pendapatan penduduk (Setiono, 2011: 91).
Dalam mengembangkan Teori Tempat Sentral, Christaller menerapkan
beberapa asumsi sebagai berikut: (Setiono, 2011: 92)
1. Daerah studi merupakan lahan datar (isotropic), homogen, dan tidak terbatas.
2. Penduduk tersebar merata.
3. Sumberdaya tersebar merata.
4. Konsumen memiliki daya beli dan permintaan kebutuhan yang sama.
5. Biaya transportasi sama ke semua arah dan proporsional terhadap jarak.
6. Kondisi persaingan sempurna: tidak ada penjual yang dominan dan atau
melakukan monopoli.
suatu pusat aktivitas yang senantiasa melayani berbagai kebutuhan
penduduk harus terletak pada suatu lokasi yang sentral, yaitu suatu tempat atau
wilayah (kawasan) yang memungkinkan partisipasi manusia dalam jumlah yang

4
maksimum, baik mereka yang terlibat dalam aktivitas pelayanan maupun yang
menjadi konsumen dari barang-barang dan jasa tersebut
Tempat yang sentral merupakan suatu titik simpul dari suatu bentuk
heksagonal (segi enam). Wilayah yang terletak di dalam segi enam itu merupakan
daerah-daerah yang penduduknya mampu terlayani oleh tempat yang sentral
tersebut.
Dapat dijelaskan model Christaller tentang terjadinya perdagangan
heksagonal sebagai berikut: (Tarigan, 2005: 126)
1. Awalnya terbentuk areal perdagangan satu komoditi berupa
lingkaranlingkaran memiliki pusat dan menggambarkan threshold dari
komoditi tersebut. Lingkaran-lingkaran ini tidak tumpang tindih seperti pada
gambar bagian A.
2. Lalu digambarkan lingkaran-lingkaran berupa range dari komoditi tersebut
yang lingkarannya boleh tumpang tindih seperti terlihat pada gambar bagian
B.
3. Range yang tumpang tindih dibagi antara kedua pusat yang berdekatan
sehingga terbentuk areal yang heksagonal yang menutupi seluruh daratan
yang tidak lagi tumpang tindih, seperti terlihat pada gambar bagian C.
4. Tiap barang pada berdasarkan tingkatan ordenya memiliki heksagonal
sendiri-sendiri. Dengan menggunakan k = 3, barang orde 1 lebar
heksagonalnya adalah 3 kali heksagonal barang orde 2. Barang orde 2 lebar
heksagonalnya adalah 3 kali heksagonal barang orde 3 dan seterusnya. Tiap
heksagonal memiliki pusat yang besar kecilnya sesuai dengan besarnya
heksagonal tersebut. Heksagonal yang sama besarnya tidak saling tumpeng
tindih, tetapi antara heksagonal yang tidak sama besarnya akan terjadi
tumpang tindih, seperti terlihat pada gambar D.

B. Teori Kutub Pertumbuhan

Teori ini menyatakan bahwa pembangunan sebuah kota atau wilayah


merupakan hasil proses dan tidak terjadi secara serentak, melainkan muncul di

5
tempat-tempat tertentu dengan kecepatan dan intensitas yang berbeda. Tempat
atau lokasi yang menjadi pusat pembangunan atau pengembangan dinamakan
kutub pertumbuhan. Dari kutub-kutub tersebut selanjutnya proses pembangunan
akan menyebar ke wilayah-wilayah lain di sekitarnya atau ke pusat-pusat yang
lebih rendah.
Dalam teori ini dikenal istilah yang berkaitan dengan timbulnya dampak
positif atau dampak negatif dari interaksi kutub pertumbuhan dengan daerah
disekitarnya. Dampak positif dari kemajuan pembangunan dari pusat
pembangunan disebut dengan trickle down effect. Dampak negatif yang
dirasakan oleh wilayah pinggirannya disebut dengan backwash polarization.
Konsep ini bertujuan untuk meningkatkan investasi pada satu kota tertentu
yang diharapkan selanjutnya meningkatkan aktivitas kota sehingga akan semakin
lebih banyak lagi melibatkan penduduk dan pada akhirnya semakin banyak
barang dan jasa yang dibutuhkan.

C. Teori Sektoral / Sector Theory

Teori Losch merupakan kelanjutan dari teori tempat sentral Christaller


dengan menggunakan konsep yang sama yaitu ambang dan jangkauan. Untuk
lebih jelasnya lihat gambar berikut.
Gambar di atas mencerminkan progresi wilayah pasaran untuk berbagai
barang dan jasa dengan ambang yang semakin meningkat. Masing-masing barang
dan jasa terdapat di berbagai wilayah pasaran pada bentang lahan yang disusun
dengan penumpukan di atas wilayah pasaran lainnya yang berbentuk heksagonal.
Daerah dengan penduduk padat akan cepat berkembang (gambar A
ditunjukkan dengan titik-titik, B berupa noda hitam serta di C secara mendetail).
Berdasarkan teori sektor oleh Losch dapat disimpulkan bahwa suatu kota akan
lebih cepat berkembang bila penduduknya padat dengan wilayah yang luas..

6
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Pusat pertumbuhan (growth pole) adalah suatu wilayah atau kawasan yang
pertumbuhan pembangunannya sangat pesat jika dibandingkan dengan
wilayah lainnya sehingga dapat dijadikan sebagai pusat pembangunan yang
dapat mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan wilayah lain di
sekitarnya.
2. Teori Pusat pertumbuhan terdiri dari Teori Tempat Sentral (Central Place
Theory), Teori Kutub Pertumbuhan (Growth Poles Theory) dan teori interkasi
keruangan
B. Saran

Masih banyak teori yang belum lengkap dalam makalah ini sehingga masih di
butuhkan pengembangan lebih.

7
DAFTAR PUSTAKA

Endarto, Danang, Dkk, 2009. Geografi 3 Untuk SMA/MA Kelas XII, Jakarta, Pusat
Perbukuan, Departemen Pendidikan Nasional.

Anda mungkin juga menyukai