Anda di halaman 1dari 5

Pengertian Pusat Pertumbuhan

Pusat pertumbuhan dapat diartikan sebagai suatu wilayah atau kawasan yang
pertumbuhannya sangat pesat sehingga dapat dijadikan sebagai pusat pembangunan yang
memengaruhi atau memberikan imbas terhadap kawasan-kawasan lain di sekitarnya. Melalui
pengembangan kawasan pusat-pusat pertumbuhan ini, diharapkan terjadi proses interaksi
dengan wilayah-wilayah lain di sekitarnya. Sebagai contoh, kota Jakarta sebagai ibukota
negara Indonesia yang memiliki akselerasi perkembangan dan pembangunan sangat cepat,
secara langsung maupun tidak telah memengaruhi kota-kota satelit yang ada di sekitarnya,
yaitu Bogor, Bekasi, dan Tangerang.

Pengembangan kawasan-kawasan yang menjadi pusat pertumbuhan sudah tentu memiliki


skala perkembangan wilayah (regional development) yang berbeda-beda. Ada yang berskala
nasional, seperti pusat-pusat pertumbuhan di Indonesia tetapi ada pula yang berskala
regional, seperti pusat pertumbuhan Jabotabek (Jakarta - Bogor - Tangerang - Bekasi),
Segitiga Sijori (Singapura - Johor - Riau), dan Bopunjur (Bogor - Puncak - Cianjur).

Teori-Teori Pusat Pertumbuhan

1. Teori Tempat yang Sentral

Teori Tempat yang Sentral (Central Place Theory) kali pertama dikemukakan oleh tokoh
geografi berkebangsaan Jerman, Walter Christaller (1933). Christaller mengadakan studi pola
persebaran permukiman, desa, dan kota-kota yang berbeda ukuran serta luasnya. Teori
Christaller ini kemudian diperkuat oleh seorang ahli ekonomi berkebangsaan Jerman, August
Losch (1945).
Christaller mengemukakan Teori Tempat yang Sentral ini didasari oleh keinginannya untuk
menjawab tiga pertanyaan yang berhubungan dengan kota atau wilayah, yaitu sebagai
berikut.
1) Apakah yang menentukan banyaknya kota?
2) Apakah yang menentukan besarnya kota?
3) Apakah yang menentukan persebaran kota?

Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, menge mukakan konsep yang disebut


jangkauan (range) dan ambang (threshold). Range adalah jarak yang harus ditempuh
seseorang untuk mendapatkan barang atau pelayanan jasa dalam memenuhi kebutuhan
hidupnya, sedangkan threshold adalah jumlah minimal penduduk yang diperlukan untuk
kelancaran dan kesinambungan suplai barang. Christaller membayangkan suatu wilayah
dataran yang dihuni oleh sejumlah penduduk yang persebarannya merata. Dalam kehidupan
sehari-hari, penduduk tersebut memerlukan sejumlah barang dan jasa, antara lain makanan,
minuman, aneka barang-barang rumah tangga, keperluan pendidikan, dan pelayanan
kesehatan.

Untuk memenuhi kebutuhan hidup tersebut, penduduk harus pergi ke tempat-tempat yang
dapat menyediakan barang dan jasa tersebut. Oleh karena itu, perlu menempuh jarak tertentu
dari tempat tinggalnya ke pusat pelayanan yang memenuhi kebutuhan tersebut. Jarak dikenal
dengan istilah range. Di lain pihak, pusatpusat pertokoan atau pelayanan jasa (produsen) yang
menyediakan kebutuhan masyarakat sudah barang tentu tidak memiliki keinginan untuk
merugi. Mereka harus benar-benar paham, berapa banyak jumlah minimal penduduk
(konsumen) yang dibutuhkan bagi kelancaran dan kesinambungan suplai barang atau jasa
sehingga tidak mengalami kerugian apalagi sampai mengalami kebangkrutan. Jumlah
minimal penduduk ini dikenal dengan istilah threshold.

Pusat pelayanan yang ber-threshold kecil, seperti toko makanan dan minuman tidak
memerlukan konsumen terlalu banyak untuk menjual beraneka barang dagangannya karena
penduduk senantiasa memer lukan barang-barang konsumsi tersebut setiap hari. Oleh karena
itu, lokasinya dapat ditempatkan sampai ke kotakota atau wilayah kecil. Sebaliknya pusat
pelayanan masyarakat yang ber-threshold tinggi seperti pertokoan yang menjual barang-
barang mewah, seperti kendaraan bermotor, barang-barang lux, dan perhiasan. Oleh karena
barang-barang tersebut relatif lebih sulit terjual maka agar barang-barang tersebut dapat laku
dalam jumlah yang cukup banyak perlu dilokasikan di tempat-tempat atau kawasan (wilayah)
yang cukup sentral. Lokasinya di kota besar yang jaraknya relatif terjangkau penduduk di
wilayah sekitarnya dan juga terpenuhi batas minimal jumlah penduduk untuk menjaga
kesinambungan suplai barang.
Dari pemikirannya itu muncullah istilah tempat-tempat yang sentral (central place). Menurut
teori Christaller ini, suatu pusat aktivitas yang senantiasa melayani berbagai kebutuhan
penduduk harus terletak pada suatu lokasi yang sentral, yaitu suatu tempat atau wilayah
(kawasan) yang memungkinkan partisipasi manusia dalam jumlah yang maksimum, baik
mereka yang terlibat dalam aktivitas pelayanan maupun yang menjadi konsumen dari barang-
barang dan jasa tersebut. Selanjutnya dijelaskan bahwa tempat yang sentral merupakan suatu
titik simpul dari suatu bentuk heksagonal (segi enam). Wilayah yang terletak di dalam segi
enam itu merupakan daerah-daerah yang penduduknya mampu terlayani oleh tempat yang
sentral tersebut.
Dalam kenyataan sehari-hari, suatu tempat yang sentral dapat berupa kota-kota besar, rumah sakit,
pusat perbelanjaan (pasar), ibu kota provinsi, ibu kota kabupaten, kecamatan, dan sarana pendidikan.
Setiap tempat yang sentral tersebut memiliki kekuatan pengaruh untuk menarik penduduk yang
tinggal di sekitarnya dengan daya jangkau yang berbeda. Sebagai contoh, ibu kota provinsi mampu
menarik wilayah-wilayah kabupaten dan kota, sedangkan ibu kota kabupaten mampu menarik
wilayah-wilayah kecamatan yang ada di sekelilingnya. Demikian pula ibu kota kecamatan mampu
menarik wilayah-wilayah yang lebih kecil. Hal yang sama juga berlaku bagi pusat pelayanan
masyarakat lainnya.

Keberadaan setiap tempat yang sentral tersebut memiliki pengaruh yang berbeda sesuai dengan
besar-kecilnya suatu wilayah, sehingga terjadilah hierarki atau tingkatan tempat yang sentral. Sebagai
contoh, hierarki kota sebagai pusat pelayanan masyarakat meliputi ibu kota negara, provinsi,
kabupaten atau kota, kecamatan, dan desa (kelurahan). 

Selain berdasarkan besar-kecilnya wilayah atau pusat pelayanan masyarakat, hierarki tempat yang
sentral juga dapat didasarkan atas jenis-jenis pusat pelayanan.

Hierarki tempat yang sentral dibedakan menjadi tiga bagian, yaitu sebagai berikut.
1) Tempat Sentral yang Berhierarki 3 (K=3)
Tempat sentral yang berhierarki 3 adalah pusat pelayanan berupa pasar yang senantiasa
menyediakan barang-barang konsumsi bagi penduduk yang tinggal di daerah sekitarnya. Hierarki 3
sering disebut sebagai kasus pasar optimal yang memiliki pengaruh 1/3 bagian dari wilayah tetangga
di sekitarnya yang berbentuk heksagonal, selain memengaruhi wilayahnya itu sendiri.

2) Tempat Sentral yang Berhierarki 4 (K=4)


Tempat sentral yang berhierarki 4 dinamakan situasi lalu lintas yang optimum, artinya di daerah
tersebut dan daerah-daerah di sekitarnya yang terpengaruh tempat sentral itu senantiasa
memberikan kemungkinan rute lalu lintas yang paling efisien. Situasi lalu lintas optimum ini memiliki
pengaruh ½ bagian dari wilayah-wilayah lain di sekitarnya yang berbentuk segi enam selain
memengaruhi wilayah itu sendiri.

3) Tempat Sentral yang Berhierarki 7 (K=7)


Tempat sentral yang berhierarki 7 dinamakan situasi administrative yang optimum. Tempat sentral ini
memengaruhi seluruh bagian (satu bagian) wilayah-wilayah tetangganya, selain memengaruhi
wilayah itu sendiri. Contoh tempat sentral berhierarki 7 antara lain kota yang berfungsi sebagai pusat
pemerintahan.
Untuk dapat menerapkan teori Christaller dalam suatu wilayah, terdapat dua syarat utama yang harus
terpenuhi, yaitu sebagai berikut.
1) Topografi atau bentuk lahan di wilayah tersebut relatif seragam atau homogen sehingga tidak ada
bagian-bagian wilayah yang mendapat pengaruh lereng atau pengaruh lainnya yang berhubungan
dengan bentuk muka bumi.
2) Kehidupan atau tingkat ekonomi penduduk relatif homogen.

2. Teori Kutub Pertumbuhan

Teori Kutub Pertumbuhan (Growth Poles Theory) sering pula dinamakan sebagai Teori Pusat-Pusat
Pertumbuhan (Growth Centres Theory). Teori ini kali pertama dikembangkan oleh Perroux sekitar
tahun 1955. Ia melakukan pengamatan terhadap proses-proses pembangunan. Menurut Perroux,
pada kenyataannya proses pembangunan di mana pun adanya bukanlah merupakan suatu proses
yang terjadi secara serentak, tetapi muncul di tempat-tempat tertentu dengan kecepatan dan
intensitas yang berbeda satu sama lain. Tempat-tempat atau kawasan yang menjadi pusat
pembangunan ini disebut sebagai pusat atau kutub pertumbuhan. Dari wilayah kutub pertumbuhan
ini, proses pembangunan akan menyebar ke wilayah-wilayah lain di sekitarnya. Dengan kata lain,
kutub pertumbuhan dapat memberikan imbas (trickling down effect) bagi
wilayah atau daerah di sekitarnya.

Anda mungkin juga menyukai