Bumi tempat kita tinggal adalah salah satu planet kecil di antara 200 milyar galaksi
lain di seluruh alam semesta. Eksistensi manusia di muka bumi adalah untuk memberikan
makna bagi hidup dan kehidupan (Michael, 2003). Jean-Paul Sartre, seorang filsuf
kontemporer dari Perancis dalam esainya yang berjudul “L’existentialisme est un
humanisme” (Eksistensialisme adalah Humanisme) mengatakan bahwa eksistensi
seseorang menentukan esensi dirinya. Ini berarti bahwa tak ada satupun orang yang dapat
mendikte tujuan hidup orang lain. Hanya orang itulah yang dapat membentuk sendiri jalan
hidupnya, dan bertanggung jawab atas perilaku mereka.
Bila kita kembali sebentar pada etimologi, human atau manusia berasal dari bahasa
Latin “Humus” yang berarti tanah atau bumi. Menjadi seorang manusia berarti memahami
bahwa kita berasal dari tanah dan akan kembali menjadi tanah. Manusia mendapat banyak
manfaat dari tanah, di antaranya menyediakan unsur hara untuk tumbuhan yang kita
konsumsi, sebagai sumber mata air dan mineral, bahan baku produksi, serta menjaga
keseimbangan lingkungan. Dalam kesehariannya, manusia hidup dan berpijak di atas tanah.
Dengan pemahaman ini, sudah semestinya kita hidup berkesinambungan dan
berdampingan dengan alam.
Alfred North Whitehead, seorang filsuf dari Inggris mengungkapkan bahwa alam dan
seluruh realitanya terdiri dari satuan aktual yaitu manusia, binatang, tumbuhan, atom,
material, moral, logika, hal psikologis, bahkan Tuhan (Muhibbin, 2010). Seluruh unsur
tersebut diperlakukan sebagai subjek tanpa terkecuali, sehingga tidak boleh ada satu unsur
yang menganggap dirinya subjek, dan menganggap yang lain sebagai objek. Semua
makhluk adalah individu, maka dari itu tidak sepantasnya satu individu sebagai subjek
merusak individu lain dengan memperlakukannya sebagai objek (Muhibbin, 2010). Namun,
sangat disayangkan bahwa realita yang terjadi tidak semanis bayangan maupun ungkapan
Whitehead.
Seperti kata peribahasa “habis manis sepah dibuang”, begitulah kenyataan yang
terjadi pada alam dan lingkungannya. Manusia memanfaatkan segala bentuk sumber daya
alam demi kepentingannya, sampai terkadang lupa harus mengembalikannya ke kondisi
semula. Dalam bukunya yang berjudul Ratusan Bangsa Merusak Satu Bumi, Emil Salim
mengungkapkan bahwa selama 200 tahun lalu, negara-negara di dunia membangun dengan
merusak satu bumi ini. Hal ini terjadi sejak revolusi industri hingga sekarang, di mana
manusia menggunakan minyak bumi dan batu bara yang menghasilkan gas rumah kaca
untuk melakukan pembangunan. Mulai dari tanah, laut, dan udara, tak ada satupun yang
luput dari tangan manusia.
Sebisa mungkin manusia memanfaatkan sebanyak mungkin dari alam untuk
kepentingannya. Awalnya dengan tujuan yang baik, yaitu memajukan peradaban dan
ekonomi, mempermudah kehidupan, dan tujuan tujuan mulia yang lain. Namun tak bisa
dipungkiri, bahwa alam memiliki batasannya, dan seperti pendapat Whitehead, manusia
telah memperlakukan makhluk lain sebagai objek ketimbang subjek. Ada sisi egois dari
manusia yang ingin lebih dan lebih, ingin dilayani alam semesta, sehingga rela melakukan
apa saja demi mendapatkan segala kemudahan dan hidup jauh-jauh dari kesulitan. Contoh
paling sederhana yang mungkin terlihat sepele adalah dengan tidak menghabiskan
makanan.
Sumber: https://environment-indonesia.com/
Masalah-masalah lingkungan hidup di atas mungkin tidak dapat kita rasakan karena
kita tidak mengalami dampak negatifnya secara langsung. Seringkali kita berpikir bahwa
hal-hal tersebut adalah hoaks, karena kita sangat jauh dari tempat kejadiannya. Kenikmatan
perkembangan zaman dan segala kemudahan akses membuat kita sebagai manusia lupa
akan keterbatasan alam. Bila hal ini dibiarkan terus menerus, alam akan rusak. Bila alam
dan lingkungan rusak, ini berarti kehancuran bagi seluruh umat manusia (Rusdina, 2015).
Penyelamatan lingkungan merupakan kerja keras dan besar bagi semua komponen, tanpa
terkecuali. Jumlah populasi sebanyak 7,75 miliar seharusnya bisa menyelamatkan satu
bumi. Upaya ini kembali lagi pada etika dan moral kita sebagai manusia, dan bukan hanya
sebagai semangat menjalankan kebijakan Undang-undang (Rusdina, 2015). Maka dari itu,
sebagai sesama subjek di bumi, dan sebagai sesama makhluk hidup tanpa terkecuali,
manusia harus ramah kepada lingkungan, maka lingkungan juga akan ramah kepada
manusia.
Referensi: