Anda di halaman 1dari 3

Nazrul Anwar: Akar Masalah Krisis Ekologi

April 22, 2008 By sapto 2 Comments

Krisis ekologi bermula dari jumlah manusia yang semakin meningkat, sehingga
terjadi over population, sementara kita memiliki keterbatasan daya dukung alam.
Ditambah lagi, sifat-sifat manusia yang antroposentris, terlalu egois menguras
kekayaan alam.
Bahawa manusia adalah makhluk paling sempurna yang dilengkapi dengan akal, itu
benar. Tapi apakah kemudian kita bisa seenaknya mengeksploitasi sumber daya
alam dengan mengabaikan kehadiran makhluk yang lain? Juga, patutkah kita
mengabaikan kelestariannya? Manusia kadang memilki fikiran segera. Short-term
action. Melakukan sesuatu tanpa berfikir panjang. Padahal, apa yang dilakukannya
ternyata membawa bencana di masa akan datang. Lihat saja, beberapa krisis
ekologi di negeri ini.
Kerosakan hutan, menurut pemberitaan media, Indonesia adalah perosak hutan
tercepat di dunia, sebesar 2 peratus / tahun (1,87 juta hektar), atau 51 km / hari. Itu
bererti, seluas 300 lapangan sepak bola / jam (Kompas, 21 Mac 2007).
Pencemaran akibat perlombongan. Banyak sungai di Pongkor, Jawa Barat dan
Timika, Papua yang tercemari akibat proses perlombongan emas dan tembaga. Di
Kabupaten Mungkur Raya, Kalimantan Tengah, lahan-lahan banyak yang rosak
akibat perlombongan arang batu. Belum lagi bencana yang ditimbulkan akibat
perlombongan, yang paling terkenal adalah letupan telaga minyak dan gas
Sukowati 5, desa Campurejo, Kecamatan Bojonegoro; Desa Ngampel dan
SAMBIROTO di Kecamatan Kapas, Kabupaten Bojonegoro. Kemalangan migas di
tempat ini terjadi hampir setiap tahun dalam tempoh lima tahun terakhir di Jawa
Timur.
Lebih daripada 13 juta penduduk yang sumber hidupnya berada dalam wilayah 16
blok migas (1.796.072,03 Ha) kita menghadapi risiko besar. Sampai saat ini sudah
lebih dari 148 orang warga dirawat di RS Sosodoro Djatikoesoemo, sedang lebih
dari 2000 warga yang lain mengungsi ke daerah aman. Bencana akibat lumpur
Lapindo di Sidoarjo sampai sekarang juga belum terlihat tanda-tanda
penyelesaiannya. Ribuan warga harus kehilangan tempat tinggal dan mata
pencarian akibat keteledoran dalam penerokaan gas alam.
Pencemaran udara yang menyebabkan penipisan lapisan ozon dan pemanasan
global. Selain itu, pencemaran udara juga membuat lebih dari 3 juta orang
meninggal. Penyakit yang disebabkan pencemaran udara menajdi penyumbang 5%
dari angka kematian dunia, iaitu 55 juta orang pada tahun. Ada lebih banyak lagi
pesakit masalah kesihatan yang teruk dari kesan samping pencemaran udara, yakni
kanser paru-paru, asma, penyakit cardio vaskular, penyakit "chronic obstructive
pulmonary". Kehidupan yang produktif pun dipendekkan oleh masalah kesihatan
yang disebabkan oleh menghirup udara yang kotor (WHO, 2003).

Kesan Krisis Ekologi bagi Keseimbangan Ekologi


Krisis ekologi akan mengganggu keseimbangan ekologi, yang akhirnya akan
kembali mengancam eksistensi manusia sebagai pelaku utama dalam ekologi.
Dengan terganggunya keseimbangan ekologi, maka kemampuan alam untuk
pengeluaran akan semakin menurun, sedangkan keperluan manusia akan semakin
meningkat seiring dengan pertumbuhan penduduk. Akibatnya, alam menjadi rosak,
sebab manusia terus memanfaatkannya tanpa adanya usaha pemulihan kembali.
Efek samping dari kerosakan tersebut adalah timbulnya bencana alam yang
menelan banyak korban, baik fizikal ataupun material, bahkan sampai ke mental.
Banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan cukuplah menjadi bukti dan saksi akan
kelalaian manusia menguruskan alam.

Punca Krisis Ekologi


Sudah tidak dapat dinafikan lagi bahawa krisis ekologi yang selama ini terjadi
adalah akibat ulah manusia sendiri sebagai subjeknya. Ulah manusia yang tidak
tahu diri, yang selalu `think to taking not think to giving`, yang inginnya menerima
tapi tak mahu memberi, yang menyebabkan tidak adanya hubungan timbal-balik
sebagai syarat ideal bagi keseimbangan alam. Kita menebang pohon di hutan
secara sembarangan, tapi tak mahu menanam pokok yang baru. Akibatnya, laju
pertumbuhan pokok jauh sekali perbezaannya dari laju penebangannya, yang
selanjutnya akan menyebabkan hutan menjadi gundul, sehingga banjir tak boleh
dielakkan. Kita memanfaatkan alam, tapi tak mau melestarikannya. Kita
mengeksploitasi, tapi tak mau merehabilitasi. Kita menjadi korban atas ulah kita
sendiri. Kita bunuh diri secara perlahan.
Selain hal di atas, permasalahannya adalah kita belum bersedia untuk menghadapi
perubahan. Harus ada konsekuensi untuk setiap tindakan kita. Harus ada
pertanggungjawaban atas keadaan yang kita buat sendiri. Over population sebagai
basis permasalahan krisis ekologi belum bisa kita tanggulangi. Seharusnya, ketika
terjadi peningkatan penduduk, kita menetralkannya dengan meningkatkan
teknologi, organisasi sosial, dan keadaan persekitaran sehingga tidak terjadi
ketimpangan. Sehingga keseimbangan akan tetap terbentuk.

Akar Permasalahan Krisis Ekologi


Permasalahn krisis ekologi secara garis besar meliputi pencemaran, kerosakan
sunber daya alam, simplifikasi ekologi dan kejuruteraan genetik. Semua itu
berkaitan rapat dengan masalah sosial yang lain.
Kemiskinan. Manusia melakukan kerosakan ekologi, kerana keadaan yang
memaksa mereka melakukan itu. Mereka ingin tetap hidup. Mereka butuh makan.
Namun, mereka tak punya harta untuk memenuhi keperluan mereka. Mereka punya
alam di sekitar mereka. Malangnya, kerana kemiskinan, mereka tak tahu
bagaimana cara mengelolanya dengan baik, kerana mereka tidak punya
kesempatan untuk sekolah, untuk tahu bagaimana seharusnya memanfaatkan
alam. Maka, mereka memanfaatkannya tanpa pengetahuan (knowledge), yang
penting bisa hidup (survive), dan terjadilah kerosakan itu.
Gaya hidup. Semua orang ingin kaya, ingin sejahtera. Itu jelas. Maka, mereka
berlumba untuk mendapatkan kekayaan. Alam menyediakan kekayaan tersebut.
Mereka bukan tidak tahu, mereka tahu, sangat tahu. Bahawa tindakannya akan
merosakkan alam, bahawa eksploitasi yang mereka lakukan akan menyengsarakan
generasi akan datang. Tapi, mereka serakah, dan keserakahan tersebut menutup
kemanusiaan mereka.
Pudarnya adat. Setiap adat biasanya punya nilai-nilai dalam menjalankan
kehidupan sehari-harinya. Salah satu nilai tersebut adalah bagaimana boleh hidup
selaras dengan alam, dengan menggunakan, tapi tetap memelihara. Tapi, kini nilai
adat itu kian memudar, ditelan zaman yang semakin moden, walaupun tidak semua
kemodernan tersebut membawa kebaikan.
Jika ditarik benang merahnya, maka kita akan mendapati bahawa semua faktor di
atas disebabkan oleh sifat-sifat manusia yang antroposentris, yang menganggap
bahawa mereka sebagai manusia kedudukannya di atas makhluk hidup dan benda
yang lain. Bahawa mereka punya kuasa yang lebih untuk melakukan apapun
terhadap yang lain. Padahal, Allah mencipta semua makhluk untuk saling
melengkapi, untuk saling memenuhi keperluan. Bukan untuk merosakkan dengan
dalih keperluan. Selain itu, manusia juga bersifat kontemposentris, hanya
memikirkan masa sekarang, saat ini. Kebanyakan manusia tidak berfikir untuk masa
mendatang, untuk generasi penerus mereka. Sehingga, apa yang ada saat ini
dihabiskan semuanya untuk kenikmatan dan kepuasan sesaat. Manusia melupakan
kesejahteraan untuk semua (welfare for all) dan kebahagiaan yang lebih hakiki dan
abadi (the lasting happiness ).***

*) Peserta PPSDMS dari Regional V Bogor, mahasiswa IPB dari Fakulti Ekonomi tahun
2005.

Anda mungkin juga menyukai