Anda di halaman 1dari 43

Pengembangan Kawasan Permukiman di Desa Lonjoboko Kecamatan

Parangloe Kabupaten Gowa Berdasarkan Pendekatan KLHS

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Mearih Gelar


Sarjana Perencanaan Wilayah Kota Jurusan Teknik Perencanaan Wilayah dan Kota
pada Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Oleh

YULIANA SARI
NIM. 60800116103

JURUSAN TEKNIK PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA


FAKULTAS SAINS DAN TEKNOLOGI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR
2020
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Peningkatan angka pertumbuhan penduduk pada suatu wilayah berdampak kepada
peningkatan kebutuhan lahan untuk kawasan permukiman. Sedangkan lahan yang dapat
dimanfaatkan untuk kawasan permukiman sangat terbatas. Pemukiman sebagai suatu
kebutuhan dasar hidup manusia yang harus dipenuhi, hal ini akan mengakibatkan
semakin luasnya lahan yang dijadikan pemukiman oleh masyarakat pada suatu wilayah.
Perkembangan pemukiman yang terjadi dapat dilihat dari segi kualitas dan kuantitasnya,
dari segi kuantitas perubahan tersebut biasanya ditunjukkan dengan perubahan jumlah
pemukiman baru yang terdapat pada suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu,
jumlahnya akan selalu meningkat seiring dengan pertumbuhan sosial, ekonomi, budaya
masyarakat setempat. Sedangkan perubahan dari segi kualitas dapat ditunjukkan dengan
parameter seperti kualitas fisik rumah dan kualitas lingkungan rumah. (Indaryono, 2015)
Perkembangan pemukiman yang terjadi mengakibatkan pengalihan fungsi lahan
pada suatu wilayah. Lahan adalah sebagian lingkup fisik yang terdiri atas iklim, relief,
tanah, air, dan vegetasi serta benda yang ada diatasnya, sepanjang ada pengaruhnya
terhadap penggunaan lahan, termasuk di dalamnya juga hasil kegiatan manusia di masa
lampau dan sekarang (Sitanala 1989 dalam I Gede Sugiyanta 2006:8).
Kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan permukiman mengakibatkan: 1)
terjadinya perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian dan hutan menjadi
permukiman, dan 2) munculnya rumah-rumah secara tidak teratur membentuk pola
permukiman sporadis dengan tingkat kepadatan yang tinggi. Pola permukiman yang
sporadis menyebabkan menurunnya kualitas permukiman seperti peningkatan jumlah
rumah tidak layak huni mencapai 14.5 juta unit dan kawasan kumuh mencapai 47 500
hektar tersebar di lebih 10 000 lokasi (Kirmanto 2002). Perubahan penggunaan lahan dari
lahan pertanian dan hutan menjadi lahan permukiman di wilayah DAS menyebabkan
terjadi degradasi DAS berupa lahan gundul, tanah kritis, erosi pada lereng-lereng curam
yang digunakan untuk pertanian maupun permukiman (Edi 2007).
Kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari pemanfaatan lahan. Lahan dan tanah
merupakan sumberdaya penting bagi kehidupan manusia. Semakin banyak jumlah
penduduk pada suatu wilayah, maka tekanan terhadap lahan semakin meningkat dan akan
menimbulkan konflik kepentingan dalam pemanfaatan lahan. Sadyohutomo (2008)
mengungkapkan bahwa peningkatan jumlah penduduk akan mendorong peningkatan
kebutuhan penggunaan lahan. Luas lahan yang dapat digunakan untuk mendukung
kehidupan relatif tetap dan bersifat terbatas. Sebagai akibatnya, akan terjadi persaingan
penggunaan lahan dan pada akhirnya akan terjadi konflik antar-pengguna serta penurunan
kualitas lahan. Pertumbuhan penduduk yang tinggi akan menyebabkan manusia
memanfaatkan sumberdaya alam tanpa memperhatikan kemampuan dan daya dukung
lingkungan. Sebagai akibatnya, terjadi penurunan kualitas lingkungan dan bencana alam.
(Muta’ali, 2012)
Penggunaan lahan pada masing-masing daerah merupakan bentuk pemenuhan
kebutuhan untuk masyarakat terutama penggunaan lahan untuk pemukiman. Pemukiman
merupakan kebutuhan utama bagi masyarakat dalam kehidupannya, pemukiman yang
baik akan menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk di suatu wilayah. Selain untuk
pemukiman sebagai kebutuhan utama, lahan juga digunakan untuk membangun
infrastruktur yang akan mempermudah aksesibilitas masyarakat dalam kehidupan
seharihari. Masyarakat akan cenderung memilih lokasi pemukiman pada wilayah yang
dekat dengan daerah perkotaan karena daerah perkotaan memiliki fasilitas yang memadai
untuk mendukung kegiatan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
(Indaryono, 2015)
Desa Lonjoboko merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Parangloe,
Desa Lonjoboko merupakan wilayah daratan yang berbukit. Desa Lonjoboko berada
dalam ketinggian 100 – 600 Meter Diatas Permukaan Laut (MDPL). Desa Lonjoboko
yang dilintasi oleh sungai jeneberang menjadikan desa ini memiliki potensi tambang
batuan. Beberapa potensi tambang batuan yang dimiliki oleh Desa Lonjoboko adalah
pasir, batu kali, tanah, batu gunung, sirtu dan batu pecah. Beberapa tahun belakangan, di
Desa Lonjoboko telah banyak mengalami perubahan lahan yang semula berupa lahan
pertanian, menjadi kawasan pertambangan dan industri pengelolaan hasil tambang.
Terjadinya alih fungsi lahan di desa Lonjoboko menimbulkan dampak langsung maupun
dampak tidak langsung. Dampak langsung yang diakibatkan oleh perubahan penggunaan
lahan berupa hilangnya lahan pertanian subur, hilangnya investasi dalam infrastruktur
irigasi, kerusakan natural lanskap, dan masalah lingkungan. Kemudian dampak tidak
langsung yang ditimbulkan berupa inflasi penduduk dari wilayah perkotaan ke wilayah
tepi kota. Kegiatan perubahan penggunaan lahan pertanian juga berpengaruh terhadap
lingkungan. Perubahan lahan pertanian menjadi lahan non-petanian akan mempengaruhi
keseimbangan ekosistem lahan pertanian. Pola perkembangan dan pembangunan saat ini
mengalami banyak perubahan seiring dengan kemajuan teknologi dan globalisasi yang
mengakibatkan permasalahan serta tantangan baru. Perpaduan pola pembangunan ini
mengakibatkan adanya perubahan pemanfaatan lahan dari kawasan budidaya pertanian
menjadi kawasan budidaya permukiman ataupun industri serta kawasan lindung yang
menjadi kawasan budidaya pertanian ataupun permukiman. Sedangkan sebagian
masyarakat di Desa Lonjoboko masih bermata pencaharia petani sebagai firman Allah
dalam QS. Al-Qashash ayat 77 yaitu sebagai berikut.

Terjemahnya:

Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu,
dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (Departemen Agama RI, 2010).

Asbabun nuzul menurut Quraish Shihab yaitu Orang-orang yang berasal dari
kaum Nabi Musa As melanjutkan nasehatnya untuk Qarun bahwasanya bukan karena
engkau bisa beribadah dengan sempurna dan dilarang memperhatikan hal yang ada di
dunia. Berusahalah sekuat-kuatnya dan pikiranmu dalam catatan yang dibenarkan oleh
Allah agar mendapatkan harta dan hal duniawi dan carilah dengan sungguh-sungguh pada
yaitu melalui apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu dari hasil usahamu dengan
kebahagiaan negeri akhirat, dengan menyumbangkan dan digunakan sesuai petunjuk oleh
Allah dan dalam waktu yang sama janganlah melupakan atau mengacuhkan bagianmu
dari kenikmatan dunia dan berbuat baiklah kepada semuanya, sebagaimana atau
disebabkan oleh Allah telah berbuat baik kepadamu dengan beragam nikmat Allah. Dan
janganlah engkau berbuat kerusakan apapun di bagian manapun di bumi ini .
Sesungguhnya Allah tidak menyukai para pembuat kerusakan (Shibab, 2002)
Pada ayat ini kaitannya dengan penelitian adalah menerangkan secara umum
tentang kesejahteraan manusia dari segi sosial ekonomi masyarakat. Dalam ayat tersebut
Allah SWT menerangkan beberapa nasehat, nasehat tersebut antara lain: (1) orang yang
dianugerahi oleh Allah kekayaan yang berlimpah-limpah, perbendaharaan harta yang
bertumpuk-tumpuk serta nikmat yang banyak, hendaklah ia memanfaatkan seperti
mencari kerja dengan berbagai kakayaan alam yang telah di sediakan sehingga
masyarakat bisa hidup sejahterah; (2) seseorang harus berbuat baik sebagaimana Allah
berbuat baik kepadanya, membantu orang-orang yang berkeperluan, pembangunan
mesjid. madrasah, pembinaan rumah yatim piatu, panti asuhan dengan harta yang
dianugerahkan Allah kepadanya dan dengan kewibawaan yang ada padanya, nasihat ini
berarti bahwa dengan adanya sumber daya alam digunakan dan dimanfaatkan dalam
pembangunan seperti sarana dan prasarana untuk kebutuhan masyarakat akan berpotensi
meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat di daerah sekitarnya; (3) sehingga janganlah
seseorang itu berbuat kerusakan di atas bumi, berbuat jahat kepada sesama makhluk
Allah, karena Allah tidak menyukai orangorang yang berbuat kerusakan. Allah tidak akan
menghormati mereka, bahkan Allah tidak akan memberikan ridha dan rahmat-Nya.
Selain itu ter dapat pula firman Allah dalam QS. Al Mulk ayat 15 yaitu sebagai berikut:
Terjemahnya:

Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala
penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu
(kembali setelah) dibangkitkan (Departemen Agama RI, 2010)
Menurut Quraish Shihab bahwa kelompok ayat-ayat ini menguraikan lebih lanjut
rububiyyat yaitu betapa besarnya wewenang dan kuasa Allah dalam mengatur alam raya
ini. Setelah melalui ayat yang lalu, Allah telah menegaskan luasnya pengetahuan-Nya,
sehingga melalui ayat tersebut ditegaskan sekali lagi kuasa-Nya sekaligus luthf yaitu
kemahalembutan-Nya dalam mengatur makhluk terutama manusia, agar mereka
mensyukuri nikmat yang diberikan. Allah berfirman: dialah yang menjadikan buat
kenyamanan hidup kamu bumi yang kamu huni ini sehingga ia menjadikan mudah untuk
melakukan aneka aktifitas baik itu dengan berjalan, berniaga/berjualan, bertani dan
lainnya, maka silahkan kapan saja kamu mau berjalanlah di pernjurunya bahwa
pegunungan-pegunungannya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya karena tidaklah
mungkin kamu dapat menghabiskannya karena rezeki-Nya melimpah melebihi kebutuhan
kamu, dan mengabdikan kepada-Nya sebagai tanda syukur atas limpahan karunia-Nya
itu. Dan hanya kepada-Nyalah kebangkitan kamu masing-masing untuk
mepertanggungjawabkan amalan-amalan kamu (Shibab, 2003).
Pada ayat ini kaitannya dengan penelitian adalah Allah SWT menggambarkan
bahwa Dia menjadikan bumi tunduk dan patuh untuk dilewati, digali, ditanami, dan
didirikan bangunan di atasnya. Allah tidak menjadikan bumi itu sulit dan tidak mungkin,
bagi siapa yang hendak melakukan semua itu terhadapnya. Artinya Allah menciptakan
bumi untuk dimanfaatkan manusia dalam proses pembangunan yang pada akhirnya akan
dirasakan langsung oleh manusia itu sendiri. Kemudian Allah memerintahkan kepada
mereka untuk memakan rizki yang telah dipersiapkan didalamnya dengan mencari nafkah
serti bertani. Allah telah menjinakkan bumi bagi mereka, sehingga mereka dapat
membuat jalan untuk melintas diatasnya, dipersiapkan diatasnya rizki mereka, sehingga
mereka dapat membangun tempat tinggal untuk datang dan pergi serta mempersiapkan
makanan bagi para penghuninya.
Pilar utama pembangunan adalah aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Keberhasilan pembangunan selain dicirikan oleh peningkatan pertumbuhan dan
pemerataan kesejahteraan, juga mesti ada jaminan keberlanjutan. Untuk konteks
Indonesia, pengarustamaan pembangunan berkelanjutan telah ditetapkan sebagai
landasan operasional pembangunan, sebagaimana tercantum dalam RPJP dan RPJM
Nasional dan Rencana Tata Ruangnya. Setiap proses perencanaan sampai dengan
pelaksanaan pembangunan diharuskan mengandung kepentingan pelestarian lingkungan
hidup. Perhatian terhadap pelestarian lingkungan hidup idealnya sudah muncul dan
ditempatkan sejak proses awal perumusan strategi hingga pelaksanaan pembangunan.
Konsekuensi dari tuntutan ini adalah hadirnya instrument pengkajian terhadap
lingkungan hidup pada tataran strategis setara dengan strategi pembangunan itu sendiri.
Penelitian ini menguraikan sekilas tentang metode baru untuk mengkaji lingkungan hidup
yang disebut Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Sejak tahun 1990-an di dunia
internasional telah berkembang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau
Strategic Environmental Assessment (SEA). KLHS merupakan penyempurnaan dari
AMDAL sebagai instrument lingkungan hidup yang sudah ada sebelumnya. Jika
AMDAL hanya hadir pada tingkat proyek, maka KLHS ada pada Kebijakan, Rencana,
dan atau Program (KRP) pembangunan. Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2007)
memberikan definisi KLHS yang dipandang sesuai untuk Indonesia dengan
memperhatikan kondisi sumberdaya alam, lingkungan hidup, sosial, ekonomi, politik,
serta kapasitas SDM dan institusi di masa mendatang, yaitu “Suatu proses sistematis
untuk mengevaluasi pengaruh lingkungan dan menjamin diintegrasikannya prinsip-
prinsip keberlanjutan dalam pengambilan keputusan yang bersifat strategis”. Definisi dan
praktek KLHS di dunia selama ini mengindikasikan terdapat dua basis pendekatan
KLHS, yaitu KLHS dengan basis pendekatan AMDAL (EIA-based SEA) dan dengan
basis pendekatan keberlanjutan (sustainability-led SEA). KLHS dengan basis pendekatan
AMDAL mengkaji lebih dari sekadar level proyek yakni hingga evaluasi konsekuensi
positif dan negative dari kebijakan, rencana, dan program. KLHS dengan basis
pendekatan keberlanjutan memformulasikan visi, tujuan, dan kerangka kerja
keberlanjutan untuk memandu pengambilan keputusan KRP yang lebih baik, sehingga
harus mengintegrasikan aspek sosial, ekonomi, dan biofisik dalam proses KRP (DEAT,
2004). KLHS dengan basis pendekatan keberlanjutan ini telah berkembang menjadi
KLHS untuk jaminan keberlanjutan lingkungan hidup (SEA for environmental
sustainability assurance, ESA).
Dari uraian tersebut menunjukkan hubungan antara permukiman dengan
lingkungan hidup yang strategis. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “Pengembangan kawasan permukiman di desa Lonjoboko
Kecamatan Parangloe Kabupaten Gowa dengan pendekatan KLHS” adapun fokus
penelitian ini adalah untuk mengetahui pengembangan kawasan permukiman berdasarkan
pendekatan KLHS di desa Lonjoboko.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian, maka rumusan masalah yang di angkat dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perkembangan kawasan permukiman di desa Lonjoboko Kecamatan
Parangloe Kabupaten Gowa pada tahun 2009-2019?
2. Bagaimana Pengembangan Kawasan Permukiman di desa Lonjoboko berdasarkan
pendekatan KLHS?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian


Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan dan manfaat penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah yang dikemukakan maka tujuan dari penelitian ini
yaitu:
a. Mengetahui perkembangan kawasan permukiman di Desa Lonjoboko Kecamatan
Parangloe Kabupaten Gowa pada tahun 2009-2019
b. Mendeskripsikan pengembangan kawasan permukiman di Desa Lonjoboko
Kecamatan Parangloe Kabupaten Gowa dengan pendekatan KLHS.

2. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan acuan
untuk digunakan dan dimanfaatkan sebagai bahan masukan atau dapat menjadi acuan
bagi Pemerintah Daerah dalam membangun desa Lonjoboko berdasarkan pendekatan
Kajian Lingkungan Hidup Strategis.

D. Ruang Lingkup Penelitian


Dalam penelitian ini, menggunakan dua ruang lingkup yang meliputi ruang
lingkup wilayah dan ruang Lingkup Materi. Masing-masing memiliki tujuan, ruang
lingkup wilayah bertujuan untuk memberi batasan terhadap wilayah atau kawasan
penelitian. Sedangkan ruang lingkup materi digunakan dengan tujuan untuk memberi
batasan dalam pembahasan materi terkait penelitian.
1. Ruang Lingkup Wilayah
Ruang lingkup wilayah penelitian ini terletak di Desa Lonjoboko Kecamatan
Parangloe Kabupaten Gowa dengan luas wilayah administratif 1.885,18 Ha.
2. Ruang Lingkup Materi
Ruang lingkup materi dari penelitian ini yakni mengenai pengembangan kawasan
permukiman di Desa Lonjoboko dan mendiskripsikan strategi penataan kawasan
permukiman bagi Desa Lonjoboko. Pembahasan pengembangan kawasan
permukiman disini dalam konteks Kajian Lingkungan Hidup Strategis dimana pada
Desa Lonjoboko terdapat aktivitas pertambangan yang dapat mempengaruhi
permukiman di desa Lonjoboko Kecamatan Parangloe Kabupaten Gowa.
E. Sistematika Laporan
Untuk memberikan gambaran mengenai keseluruhan dari penelitian ini, maka berikut ini
diuraikan secara garis besar.
BAB I PENDAHULUAN
Pada bab ini berisi tentang uraian latar belakang, rumusan masalah, tujuan
dan manfaat penelitian, ruang lingkup pembahasan serta sistematika
laporan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Bab ini menguraikan teori-teori yang digunakan sebagai landasan atau
acuan yang memiliki keterkaitan dengan objek penelitian, terutama teori-
teori yang menjelaskan Administrasi Pembangunan, Permukiman, Elemen
Permukiman, Kawasan Permukiman, Penataan Permukiman, Strategi
Pembangunan, Pengembangan Wilayah Berkelanjutan, strategi
pengembangan permukiman berdasarkan KLHS.
BAB III METODOLOGI PENELITIAN
Pada bab ini akan menggambarkan metodologi yang digunakan dalam
penelitian ini, mencakup Lokasi dan Waktu Penelitian, Jenis Penlitian,
Jenis dan Sumber Data, Metode Pengumpulan Data, Populasi dan Sampel,
Variabel Penelitian, Teknik Analisis Data, Defenisi Kerangka Isi
Penelitian serta Kerangka Pikir Penelitian.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Permukiman
1. Pengertian Permukiman
Pengertian dasar permukiman dalam UU No.1 tahun 2011 adalah bagian dari
lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang
mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan
fungsi lain dikawasan perkotaan atau kawasan perdesaan. Permukiman merupakan
suatu kebutuhan pokok yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dari deretan
lima kebutuhan hidup manusia pangan, sandang, permukiman, pendidikan dan
kesehatan, nampak bahwa permukiman menempati posisi yang sentral, dengan
demikian peningkatan permukiman akan meningkatkan pula kualitas hidup. Menurut
Koestoer (1995) batasan permukiman adalah terkait erat dengan konsep lingkungan
hidup dan penataan ruang. Permukiman adalah area tanah yang digunakan sebagai
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang
mendukung peri kehidupan dan merupakan bagian dari lingkungan hidup di luar
kawasaan lindung baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan. Parwata
(2004) menyatakan bahwa permukiman adalah suatu tempat bermukim manusia yang
telah disiapkan secara matang dan menunjukkan suatu tujuan yang jelas, sehingga
memberikan kenyamanan kepada penghuninya. Permukiman (Settlement) merupakan
suatu proses seseorang mencapai dan menetap pada suatu daerah (Van der Zee 1986).
Kegunaan dari sebuah permukiman adalah tidak hanya untuk menyediakan tempat
tinggal dan melindungi tempat bekerja tetapi juga menyediakan fasilitas untuk
pelayanan, komunikasi, pendidikan dan rekreasi.
Secara spasial permukiman berada di pusat kota yang dekat dengan daerah pusat
usaha dan merupakan permukiman penduduk pribumi pada masa colonial, daerah
bantaran sungai, sepanjang rel kereta api, daerah di sekitar industry dan pergudangan.
Demikian pula di kawasan-kawasan sekitar pelabuhan, terminal dan stasiun kereta
api, juga merupakan lokasi permukiman kumuh. Di bagian tengah kota dan daerah
pinggiran kota, permukiman kumuh pada umumnya dijumpai di bagian belakangan
perumahan kelas menengah atas yang sejajar dengan jalur jalan ke luar kota (dalam
Koestoer, 2001:49).
Saat ini manusia bermukim bukan sekedar sebagai tempat berteduh, namun lebih
dari itu mencakup rumah, segala fasilitasnya seperti persediaan air minum,
penerangan, transportasi, pendidikan, kesehatan dan lainnya. Pengertian ini sesuai
dengan yang dikemukakan oleh (Sumaatmadja, 1998), sebagai berikut:“Permukiman
adalah bagian permukaan bumi yang dihuni manusia meliputi segala sarana dan
prasarana yang menunjang kehidupannya yang menjadi satu kesatuan dengan tempat
tinggal yang bersangkutan”. Awal dibangunnya tempat tinggal semata-mata untuk
memenuhi kebutuhan fisik, selanjutnya pemilikan tempat tinggal berkemban
fungsinya sebagai kebutuhan psikologis, estetika, menandai status sosial, ekonomi
dan sebagainya.
Pemilihan lokasi permukiman di dasarkan pada berbagai faktor antara lain:
a. Faktor Kemudahan
Faktor yang dimaksud adalah kemudahan dalam menjangkau suatu tempat.
Faktor ini perlu diperhatikan, sebab akan berpengaruh terhadap biaya transportasi
dan lamanya perjalanan bagi penghuni untuk bepergian. Faktor kemudahan pada
suatu permukiman dapat berupa jalan penghubung atau masuk, yaitu jalan yang
menghubungkan jalan masuk dengan jaringan jalan umum menuju pusat kota.
b. Utilitas
Utilitas adalah kelengkapan fasilitas yang terdapat pada perumahan, antara lain
listrik, air minum, saluran pembuangan.
c. Faktor Status Tanah dan Penggunaan Tanah
Tanah mempunyai fungsi sosial ekonomi. Dalam pengaturan hak atas tanah dan
ruang pemanfaatanya harus dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat, status
tanah mempunyai peranan penting bagi kelangsungan penghuni karena
memberikan kepastian hukum atas tanah yang menjadi haknya. Daerah
perumahaan sedapat mungkin tidak menggunakan lahan yang produktif dan
menghindari daerah-daerah yang sudah terbangun. Dengan demikian penggunaan
lahan tersebut akan lebih efektif dan saling mendukung dengan kegiatan lainnya.
d. Faktor Kemungkinan Perluasan
Diharapkan daerah perumahan mampu menampung aktivitas-aktivitas yang
sudah sulit sulit dikembangkan di pusat kota, dengan demikian kawasan
permukiman tidak berdiri sendiri dan tidak lepas dari sistem kotanya.
e. Faktor Pusat Pelayanan
Lokasi perumahan yang baik adalah lokasi yang memudahkan atau dapat
menjangkau semua tempat karena tersedia macam-macam pelayanan, baik yang
bersifat sosial maupun bersifat ekonomi.
f. Faktor Efek Samping yang Mungkin Terjadi
Efek samping yang dimaksud adalah efek negatif yang mungkin timbul dengan di
bangunnya permukiman.
Menurut Parwata (2004) permukiman terdiri dari: (1) isi, yaitu manusia sendiri
maupun masyarakat; dan (2) wadah, yaitu fisik hunian yang terdiri dari alam dan
elemen-elemen buatan manusia. Dua elemen permukiman tersebut, selanjutnya dapat
dibagi ke dalam lima elemen yaitu: (1) alam yang meliputi: topografi, geologi, tanah,
air, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan iklim; (2) manusia yang meliputi: kebutuhan
biologi (ruang,udara, temperatur, dsb), perasaan dan persepsi, kebutuhan emosional,
dan nilai moral; (3) masyarakat yang meliputi: kepadatan dan komposisi penduduk,
kelompok sosial, kebudayaan, pengembangan ekonomi, pendidikan, hukum dan
administrasi; (4) fisik bangunan yang meliputi: rumah, pelayanan masyarakat
(sekolah, rumah sakit, dsb), fasilitas rekreasi, pusat perbelanjaan dan pemerintahan,
industri, kesehatan, hukum dan administrasi; dan (5) jaringan (net work) yang
meliputi: sistem jaringan air bersih sistem jaringan listrik, sistem transportasi, sistem
komunikasi, sistem manajemen kepemilikan, drainase dan air kotor, dan tata letak
fisik.
Permukiman merupakan bagian dari lingkungan hidup, yakni lingkungan hidup di
luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat
kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan (Romadona, 2011).
Secara luas permukiman dapat diartikan sebagai tempat tinggal atau segala sesuatu
yang berkaitan dengan tempat tinggal. Permukiman adalah lingkungan tempat
tinggal atau hunian yang merupakan bagian dari lingkungan hidup, yakni lingkungan
hidup di luar kawasan lindung. Dengan demikian, kualitas lingkungan permukiman
sangat bergantung pada kondisi komponenkomponen lingkungan hidup yang
menyusunnya Permukiman kota adalah suatu lingkungan di daerah perkotaan yang
terdiri dari perumahan tempat tinggal manusia yang dilengkapi dengan sarana dan
prasarana sosial, ekonomi, budaya, dan pelayanan. Pertumbuhan penduduk yang
tinggi menyebabkan pertumbuhan permukiman yang tinggi pula. Penataan
perumahan dan pemukiman harus memperhatikan aspek pembangunan berkelanjutan.
Di sektor permukiman hal ini diartikan sebagai pembangunan permukiman secara
berkelanjutan sebagai upaya untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi dan kualitas
lingkungan sebagai tempat hidup. Pembangunan perumahan dan permukiman
sebagai kegiatan yang berkelanjutan memerlukan dukungan sumberdaya pendukung,
baik ruang dan lingkungan, alam, kelembagaan dan finansial, maupun sumberdaya
lainnya secara memadai. Selain hal itu Kesehatan penduduk juga penting dalam
pembangunan berkelanjutan. Kesehatan manusia dan pembangunan berkelanjutan
adalah hubungan yang tidak mungkin terpisahkan. Manusia sebagai pusat perhatian
dari pembangunan berkelanjutan harus dapat hidup secara sehat dan produktif, serta
selaras dengan alam.
2. Elemen Permukiman
Elemen-elemen permukiman, yaitu isi dan wadah, sebenarnya terdiri dari beberapa
unsur, antara lain:
a. Alam
1). Geologi, yaitu kondisi batuan di mana permukiman tersebut berada.
2). Topografi, yaitu kemiringan suatu wilayah yang juga ditentukan oleh letak
dan kondisi geografis suatu wilayah.
3). Tanah, yaitu media untuk meletakkan bangunan (rumah) dan menanam
tanaman yang dapat digunakan untuk menopang kehidupan.
4). Air, sumber kehidupan yang pokok dan vital sepanjang kehidupan masih
berlangsung.
5). Tumbuh-tumbuhan, merupakan elemen yang dapat dijadikan sebagai bahan
makanan guna mempertahankan dan meningkatkan kualitas kehidupan
manusia dan mahkluk hidup lainnya.
6). Hewan, merupakan jenis mahkluk hidup lain yang keberadaannya dapat
mendukung dan menguntungkan kehidupan manusia agar dapat terpenuhi
kebutuhannya.
7). Iklim, merupakan kondisi alam pada suatu wilayah permukiman di mana
antara satu peremukiman yang satu dengan lainnya berbeda,
b. Manusia, merupakan pelaku utama kehidupan.
c. Masyarakat, merupakan kesatuan sekelompok orang (keluarga) dalam suatu
permukiman yang membentuk suatu komunitas tertentu.
1). Kepadatan dan komposisi penduduk
2). Kelompok Sosial
3). Adat dan kebudayaan
4). Pengembangan ekonomi
5). Pendidikan
6). Kesehatan
7). Hukum dan administrasi
d. Bangunan/Rumah, merupakan wadah bagi manusia (keluarga).
1). Rumah pelayanan masyarakat (misalnya sekolah, rumah sakit, dan lainlain)
2). Fasilitas rekreasi
3). Pusat perbelanjaan dan pemerintahan
4). Industri
5). Pusat transportasi
e. Networks, merupakan system buatan maupun alam yang menyediakan fasilitas
untuk operasional suatu wilayah permukiman.
1). Sistem jaringan air bersih
2). Sistem jaringan listrik
3). Sistem transportasi
4). Sistem komunikasi
5). Drainase air kotor
6). Tata letak fisik
3. Kawasan Permukiman
Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan
lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang
mendukung perikehidupan dan penghidupan. Permukiman adalah bagian dari
lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang
mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan
fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan (Undang-Undang No. 1
Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman).
4. Penataan Permukiman
Sadyohutomo (2008:134) menjelaskan bahwa penataan permukiman dapat
dibedakan menjadi dua objek penataan, yaitu penataan permukiman lama dan
penataan permukiman baru.Penataan permukiman lama dilakukan terhadap objek
yang sudah dibangun, sedangkan penataan permukiman baru dilakukan terhadap
objek yang akan dibangun.
1. Penataan permukiman lama, permasalahan utama permukiman lama yang perlu
ditata adalah adanya permukiman kumuh (slums).
2. Penataan Permukiman Baru, yaitu penyediaan rumah baru bagi masyarakat terdiri
dari dua cara, yaitu pembangunan rumah secara individu dan pembangunan
rumah secara massal.

B. Pengembangan
1. Strategi Pengembangan
Strategi Pengembangan merupakan langkah yang sangat perlu dilakukan dalam
upaya memecahkan persoalan-persoalan dan kendala pengembangan. Pada sisi lan
strategi pengembangan dilakukan untuk menggali potensi serta memanfaatkannya
untuk tujuan pembangunan. Dalam strategi pengembangan daerah terdapat aspek
fisik, aspek social, dan aspek ekonomi (dalam Koestoer, 2001:102).
2. Pengembangan Wilayah Berkelanjutan
Ada tiga unsur yang harus ada dalam pengembangan berkelanjutan,yaitu:
a. Perencanaan Tata Ruang, yaitu upaya pemanfaatan sumber daya alam secara
efektif dan efisien.
b. Pemanfaatan Ruang, yaitu setiap kegiatan senantiasa mengacu pada zonazona
pemanfaatan ruang yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang.
c. Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah, dilakukan agar pemanfaatan ruang
sesuai dengan rencana yang disusun. (Sari, 2015)

C. Pertambangan
Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka
penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batuan yang meliputi
penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan
pascatambang (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara).
Kegiatan pertambangan dapat diartikan sebagai suatu tahapan kegiatan yang
diawali dengan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,
penambangan (termasuk bila ada pengolahan dan pemurnian),
pengangkutan/penjualan dan diakhiri dengan rehabilitasi lahan pasca tambang.
Pengelolaan pertambangan adalah suatu upaya yang dilakukan baik secara teknis
maupun non teknis agar kegiatan pertambangan tersebut tidak menimbulkan
permasalahan, baik terhadap kegiatan pertambangan itu sendiri maupun terhadap
lingkungan.
Deposit bahan tambang harus dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
perekonomian dan pendapatan daerah maupun nasional bagi kemakmuran rakyat.
Namun demikian, deposit bahan tambang yang terdapat pada suatu daerah tidak dapat
begitu saja ditambang, tetapi harus dikaji terlebih dahulu apakah deposit tersebut
layak untuk ditambang. Hal ini bertujuan untuk menghindari timbulnya dampak
negatif terhadap lingkungan yang tidak diharapkan maupun terjadinya konflik
kepentingan penggunaan lahan yang sering berlarut-larut dalam pemecahannya.
Untuk menghindari atau menekan sekecil mungkin dampak negatif terhadap
lingkungan akibat kegiatan penambangan, maka hal-hal yang perlu diperhatikan lebih
lanjut adalah :
1) Lokasi penambangan sedapat mungkin tidak terletak pada daerah resapan atau
pada akuifer sehingga tidak akan mengganggu kelestarian air tanah di daerah
sekitarnya.
2) Lokasi penambangan sebaiknya terletak agak jauh dari pemukiman penduduk
sehingga suara bising ataupun debu yang timbul akibat kegiatan penambangan
tidak akan mengganggu penduduk.
3) Lokasi penambangan tidak berdekatan dengan mata air penting sehingga tidak
akan mengganggu kualitas maupun kuantitas air dari mata air tersebut, juga untuk
menghindari hilangnya mata air.
4) Lokasi penambangan sedapat mungkin tidak terletak pada daerah aliran sungai
bagian hulu (terutama tambang batuan) untuk menghindari terjadinya pelumpuran
sungai yang dampaknya bisa sampai ke daerah hilir yang akhirnya dapat
menyebabkan banjir akibat pendangkalan sungai. Hal ini harus lebih diperhatikan
terutama di kota-kota besar dimana banyak sungai yang mengalir dan bermuara di
wilayah kota besar tersebut.
5) Lokasi penambangan tidak terletak di kawasan lindung (cagar alam, taman
nasional, dsb.).
6) Lokasi penambangan hendaknya dekat dengan konsumen untuk menghindari
biaya transportasi yang tinggi sehingga harga jual material tidak menjadi mahal.
7) Lokasi penambangan tidak terletak dekat dengan bangunan infrastruktur penting,
misalnya jembatan dan menara listrik tegangan tinggi. Juga sedapat mungkin
letaknya tidak dekat dengan gedung sekolah sehingga tidak akan mengganggu
proses belajar dan mengajar.

D. Rumah Berwawasan Lingkungan


Pergeseran fungsi rumah yang tidak hanya sekedar sebagai tempat berlindung
tetapi juga sebagai tempat bersosialisasi antar keluarga, istirahat dengan nuansa
kenyamanan, menemukan inspirasi dan berkreasi, dan memperoleh nuasa alami.
Kebutuhan memperoleh nilai dan fungsi lebih dari sebuah rumah, membuat
perkembangan perumahan menuju ke arah pembangunan nuansa ekologis. Guna
mewujudkan pembangunan secara ekologis harus memperhatikan arsitektur dari tiga
tingkatan, yaitu: perencanaan secara ekologis, pembangunan kesehatan manusia dan
lingkungan, dan bahan bangunan yang sehat (Frick dan Suskiyatno 1998).
Pembangunan secara ekologis berarti pemanfaatan prinsip-prinsip ekologis pada
perencanaan lingkungan buatan. Pada pembangunan biasa seluruh gedung berfungsi
sebagai sistem yang memintas, yang mengurangi kualitas lingkungan. Akan tetapi,
baik rumah maupun pedesaan harus dianggap sebagai ekosistem yang berhubungan
erat pada hukum alam.
Pembangunan rumah atau tempat tinggal sebagai kebutuhan kehidupan manusia
dalam hubungan timbal balik dengan lingkungan alamnya dinamakan arsitektur
ekologis atau eko-arsitektur. Eko-arsitektur mengandung dimensi seperti waktu,
lingkungan alam, sosio-kultural, ruang, dan teknik bangunan. Menurut Frick dan
Suskiyatno (1998) perencanaan eko-arsitektur berpedoman pada alam sebagai
polanya, sehingga suatu perencanaan harus memenuhi persyaratan berikut ini:
1) Penyesuaian pada lingkungan alam
2) Menghemat sumber energi yang tidak dapat diperbarui dan mengirit penggunaan
energi.
3) Memelihara sumber lingkungan (udara, tanah, dan air)
4) Memelihara dan memperbaiki peredaran alam
5) Mengurangi ketergantungan pada sistem pusat energi (listrik, air) dan limbah (air
limbah, sampah).
6) Penghuni ikut serta secara aktif pada perencanaan pembangunan dan
pemeliharaan perumahan.
7) Tempat kerja dan permukiman dekat
8) Kemungkinan penghuni menghasilkan sendiri kebutuhannya sehari-hari
9) Menggunakan teknologi sederhana

Reintegrasi kebiasaan kehidupan yang makin lama makin terpisah-pisah


(permukiman, produksi, konsumsi, hiburan, dan peristirahatan) pada permukiman
atau daerah perumahan harus ditingkatkan. Akibat reintegrasi tersebut di atas adalah
perkembangan baru, dalam tata kemasyarakatan maupun dalam perencanaan ruang.
Nuansa ekologis dari sebuah hunian mulai dikembangkan dari mulai unit desain
rumah (ecohousing), kawasan perumahan sampai pada suatu desa berwawasan
lingkungan (ecovillage). Ecohousing atau cohousing merupakan suatu istilah yang
diciptakan oleh dua arsitek Amerika, yaitu Kathryn Mc Camant dan Charles Durret
guna menjelaskan sebuah rencana perumahan yang dikembangkan di Denmark
kurang lebih 30 tahun yang lalu dan sekarang semakin banyak diadopsi di seluruh
Eropa dan Amerika Utara. Pengembangan dan pengelolaan tempat tinggal dilakukan
oleh mereka sendiri yang merupakan kombinasi anatomi dari rumah tinggal pribadi
dengan keuntungan hidup bermasyarakat.

Gambaran nilai dari sebuah cohousing adalah rumah tinggal individu didesain
untuk diisi sendiri, namun demikian selain setiap rumah memiliki dapur, kamar
mandi dan area kehidupan sendiri tetapi juga memiliki fasilitas umum luas dan
khusus untuk makan malam boleh memilih pada rumah umum (Mc Camant and
Durret 2001). Cohousing adalah sebuah bentuk perumahan atas dasar kerjasama atau
semi kolektif. Mereka khas terdiri dari 20 -30 kelompok rumah kota.

Ecovillage pada dasarnya merupakan sebuah usaha modern untuk dapat hidup
dalam suatu keharmonisan dengan alam dan dan dengan lainnya (Gibellini, Juni
2001). Ecovillage adalah gambaran dari permukiman manusia seutuhnya yang mana
tidak membahayakan segala aktivitas manusia yang terintegrasi ke dalam dunia
alami, yang didukung oleh pengembangan kesehatan manusia dan dapat terus
berlanjut sampai masa depan yang tak terbatas (Mc Camant dan Durret 2001).

Ecovillage menggunakan teknologi energi terbaharui, bangunan bernuansa


ekologi dan didesain skala manusia untuk mengurangi eksploitasi sumberdaya alam,
fasilitas kepercayaan masyarakat sendiri dan meningkatkan kualitas hidup. Sebuah
ecovillage didesain dalam keharmonisan dengan bioregion sebagai pengganti teknik
landscape untuk mendesain tanaman yang baik. Didasari pemikiran bioregion,
permukiman berkelanjutan direncanakan terdiri dari ketersediaan air, kemampuan
mengolah limbah, generate power dan kemudahan (akses) ketempat bekerja dan
pelayanan (Gibellini 2001).
Ecovillage, apakah di perkotaan atau di perdesaan merupakan suatu usaha
bersama-sama untuk membawa beberapa alat untuk hidup berkelanjutan yang mana
sekarang sebagian besar tersedia untuk kita. Tantangannya adalah menggabungkan
menjadi sebuah keseluruhan, membangun lingkungan daerah, mata pencaharian,
ekologi, proses pengambilan keputusan pribadi dan kelompok. Ecovillage dalam
lingkungan perkotaan merupakan sebuah blok bangunan alami ke arah eco-cities.

Mc Camant dan Durret (2001) mendeskripsikan sebuah permukiman


berkelanjutan melalui gambaran pada tiga sektor yaitu lingkungan, sosial dan
ekonomi. Gambaran lingkungan dari sebuah permukiman berkelanjutan merupakan
suatu lingkungan ekologi yang berkualitas tinggi dan menarik, yang dapat dilihat dari
penggabungan arsitektur fisik lingkungan berkelanjutan dan teknologi serta desain
lanskap berkelanjutan. Gambaran sosial dari sebuah permukiman berkelanjutan
adalah perencanaan yang melihat kebutuhan dari kelompok umur muda, menengah
dan tua, sehingga tercipta kampung antar generasi. Mencoba untuk menyeimbangkan
kebutuhan individu dan masyarakat dengan cara membuat keduanya tumbuh subur.

Gambaran sektor ekonomi dari sebuah permukiman berkelanjutan, menurut Mc


Camant dan Durret (2001) merupakan penggunaan karakter perkampungan perkotaan
(urban villages). Urban villages adalah konsep perencanaan yang berasal dari kota
bebas mobil. Dasar ide ini adalah untuk penambahan kepadatan di sekitar pusat-pusat
trasportasi, dan untuk menggunakan campuran yang memiliki rumah dekat toko dan
kantor. Ini memperbaiki kemudahan untuk mencapai dan mengurangi penggunaan
mobil. Secara umum mendorong berjalan kaki dan memperbaiki fasilitas pejalan kaki
oleh pembangunan jalur hijau.

Terdapat lima prinsip utama dari konsep perumahan dan permukiman yang
berwawasan lingkungan yang harus dikembangkan sesuai dengan kondisi awal yang
ada, yaitu: (1) mempertahankan dan memperkaya ekosistem yang ada; (2)
penggunaan energi yang minimal; (3) pengendalian limbah dan pencemaran; (4)
menjaga kelanjutan sistem sosial budaya lokal; dan (5) peningkatan pemahaman
konsep lingkungan (Kantor Kementerian Lingkungan Hidup 2004). Menurut Silas
(2001), rumah yang berkelanjutan harus memenuhi lima syarat dasar yang dapat
dinikmati oleh penghuni saat ini dan yang akan datang, yaitu:
1) Mendukung peningkatan mutu produktivitas kehidupan penghuni baik secara
social, ekonomi, dan politik. Artinya setiap anggota penghuni terinpirasi untuk
melakukan tugasnya lebih baik;
2) Tidak menimbulkan gangguan lingkungan dalam bentuk apapun sejak
pembangunan, pemanfaatan dan kelak bila harus dimusnahkan. Ukuran yang
dapat digunakan terhadap gangguan yang terjadi terhadap lingkungan adalah
efektivitas konsumsi energi;
3) Mendukung peningkatan mobilitas kesejahteran penghuninya secara fisik dan
spiritual. Berarti penghuni mengalami terus peningkatan mutu kehidupan fisik dan
spiritual;
4) Menjaga keseimbangan antara perkembangan fisik rumah dengan mobilitas social
ekonomi penghuninya. Pada awalnya keadaan fisik rumah lebih tinggi dari
keadaan non fisik, namun ini berbalik setelah penghuni mapan di rumah tersebut;
dan
5) Membuka peran penghuni atau pemilik yang besar dalam pengambilan keputusan
terhadap proses pengembangan rumah dan rukun warga tempat ia berinteraksi
dengan tetangga.

E. Sistem Informasi Geografis (SIG)


Sistem Informasi Geografis (SIG) menurut Aronoff (1989) dalam Prahasta (2001)
merupakan suatu sistem (berbasiskan komputer) yang digunakan untuk menyimpan
dan memanipulasi informasi-informasi geografis. SIG dirancang untuk
mengumpulkan, menyimpan dan menganalisis obyek-obyek dan fenomena dimana
lokasi geografis merupakan karakteristik yang memiliki empat kemampuan berikut
dalam menangani data yang bersifat rutgeografi: (a) masukan, (b) manajemen data
(penyimpanan dan pengambilan data), (c) analisis dan manipulasi data, (d) keluaran
(Yunianto, 2011). Selain itu, Barus (1999) mengatakan bahwa SIG sebagai sarana
untuk menyimpan, menggali dan memanipulasi data serta menghasilkan produk.
Laju pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan yang semakin meningkat selalu
memberi perubahan, salah satunya adalah perubahan pada tingkat kualitas
lingkungan. Tingginya pertumbuhan penduduk baik yang disebabkan oleh
pertumbuhan alami maupun adanya perpindahan penduduk dari desa ke kota.
Pertumbuhan penduduk yang cepat menyebabkan semakin besarnya kebutuhan ruang
untuk tempat tinggal sehingga menyebabkan berkembangnya permukiman tidak
terkontrol, terutama hunian liar atau permukiman kumuh yang dapat mengakibatkan
menurunnya kualitas permukiman, khususnya didaerah perkotaan. Kota merupakan
pusat dari permukiman yang relatif besar dan menjadi pusat kegiatan manusia dan
menawarkan kesempatan untuk mendapatkan hidup lebih baik dari pada di daerah
pedesaan (Prasetyo et.al, 2013). Oleh sebab itu diperlukan metode yang mampu
mengatasi kendala tersebut. Salah satu teknik yang digunakan adalah dengan
memanfaatkan teknologi penginderaan jauh dalam penentuan kualitas permukiman.
Citra penginderaan Laju pertumbuhan penduduk di daerah perkotaan yang semakin
meningkat selalu memberi perubahan, salah satunya adalah perubahan pada tingkat
kualitas lingkungan. Tingginya pertumbuhan penduduk baik yang disebabkan oleh
pertumbuhan alami maupun adanya perpindahan penduduk dari desa ke kota.
Pertumbuhan penduduk yang cepat menyebabkan semakin besarnya kebutuhan ruang
untuk tempat tinggal sehingga menyebabkan berkembangnya permukiman tidak
terkontrol, terutama hunian liar atau permukiman kumuh yang dapat mengakibatkan
menurunnya kualitas permukiman, khususnya didaerah perkotaan. Kota merupakan
pusat dari permukiman yang relatif besar dan menjadi pusat kegiatan manusia dan
menawarkan kesempatan untuk mendapatkan hidup lebih baik dari pada di daerah
pedesaan (Prasetyo et.al, 2013). Oleh sebab itu diperlukan metode yang mampu
mengatasi kendala tersebut. Salah satu teknik yang digunakan adalah dengan
memanfaatkan teknologi penginderaan jauh dalam penentuan kualitas permukiman.
Citra penginderaan jauh adalah teknologi yang mampu menyediakan data atau
informasi, mempunyai kemampuan dalam pengumpulan data atau informasi secara
cepat, akurat dan mutakhir. Salah satu teknologi yang digunakan adalah dengan
menggunakan Google Earth. (M.Farizki, 2017)
Ada beberapa informasi kualitas permukiman yang dapat diperoleh dengan
mengkaji citra penginderaan jauh yaitu kepadatan permukiman, tata letak bangunan,
lebar jalan masuk, lokasi permukiman, kondisi masuk jalan, dan pohon pelindung.
Proses identifikasi dilakukan dengan interpretasi visual memanfaatkan perangkat
sistem informasi geografi (SIG), sehingga menghasilkan informasi baru yaitu peta
kualitas permukiman (M.Farizki, 2017).

F. Kajian Lingkungan Hidup Strategis


1. Defenisi KLHS
Dalam dua dekade terakhir seiring dengan semakin bertambahnya
pengetahuan di bidang kajian lingkungan, telah berkembang aneka definisi KLHS
yang merefleksikan perbedaan dalam memaknai tujuan KLHS. Sehingga boleh
dikatakan tidak ada definisi KLHS yang secara universal dianut oleh semua pihak.
Namun demikian secara umum dijumpai empat jenis definisi KLHS sebagaimana
contoh berikut ini:
a. Sadler dan Verheem (1996): ”KLHS adalah proses sistematis untuk
mengevaluasi konsekuensi lingkungan hidup dari suatu usulan kebijakan,
rencana, atau program sebagai upaya untuk menjamin bahwa konsekuensi
dimaksud telah dipertimbangkan dan dimasukan sedini mungkin dalam proses
pengambilan keputusan paralel dengan pertimbangan sosial dan ekonomi”
b. Therievel et al (1992): ”KLHS adalah proses yang komprehensif, sistematis
dan formal untuk mengevaluasi efek lingkungan dari kebijakan, rencana, atau
program berikut alternatifnya, termasuk penyusunan dokumen yang memuat
temuan evaluasi tersebut dan menggunakan temuan tersebut untuk
menghasilkan pengambilan keputusan yang memiliki akuntabilitas publik”
c. DEAT dan CSIR (2000): ”KLHS adalah proses mengintegrasikan konsep
keberlanjutan dalam pengambilan keputusan yang bersifat strategis”
d. Brown dan Therievel (2000): “KLHS adalah suatu proses yang diperuntukan
bagi kalangan otoritas yang bertanggung jawab atas pengembangan kebijakan
(pemrakrasa) (saat formulasi kebijakan) dan pengambil keputusan (pada saat
persetujuan kebijakan) dengan maksud untuk memberi pemahaman holistik
perihal implikasi sosial dan lingkungan hidup dari rancangan kebijakan,
dengan fokus telaahan diluar isu-isu yang semula merupakan faktor
pendorong lahirnya kebijakan baru”

Dua definisi KLHS yang pertama boleh dikatakan menggunakan kerangka


fikir AMDAL yakni menelaah implikasi atau efek dari rancangan kebijakan,
rencana atau program terhadap lingkungan hidup. Pendekatan KLHS yang
menyerupai AMDAL ini disebut juga sebagai ”EIA-based” SEA atau KLHS yang
berbasis pendekatan AMDAL (Partidario 1999).

Adapun definisi ketiga dan keempat yang diajukan oleh DEAT dan CSIR
(2000) serta Brown dan Therievel (2000) menunjukkan peran KLHS dalam
memfasilitasi lahirnya KRP yang berorientasi berkelanjutan (sustainability). Di
dalam definisi ini terkandung pengertian bahwa prinsip-prinsip dan tujuan
keberlanjutan dapat diintegrasikan dalam pengambilan keputusan sejak dini.
Melalui pendekatan ini dapat difasilitasi terbentuknya kerangka-kerja
(framework) untuk berkelanjutan yang dapat digunakan sebagai pemandu untuk
rencana dan program dan/atau untuk menelaah rencana atau program yang tengah
berjalan. Pendekatan ini boleh dikatakan merefleksikan apa yang disebut oleh
Therivel et al (1992) sebagai “sustainability-led” SEA atau KLHS yang dipandu
oleh keberlanjutan.

KLHS yang berbasis pendekatan AMDAL (EIA-based SEA) maupun yang


berbasis pendekatan keberlanjutan (sustainability-led SEA) pada dasarnya hadir
sebagai respon terhadap adanya beragam kebutuhan akan KLHS. KLHS berbasis
pendekatan AMDAL muncul untuk mengatasi beberapa kelemahan yang dijumpai
dalam AMDAL yang bersifat spesifik proyek; sementara KLHS berbasis
keberlanjutan muncul sebagai sarana untuk mengimplementasikan konsep
berkelanjutan (Therivel et al 1992). Dalam KLHS yang berbasis pendekatan
AMDAL kajian diperluas hingga melampaui aras (level) proyek, yakni
mengevaluasi konsekuensi positif dan negatif dari kebijakan, rencana dan
program. Sementara dalam KLHS berbasis pendekatan keberlanjutan dapat
diformulasikan visi, tujuan dan kerangkakerja keberlanjutan untuk memandu
pengambilan keputusan KRP yang lebih baik di masa mendatang. Bila KLHS
difungsikan sebagai pemandu untuk keberlanjutan, maka implikasinya KLHS
tersebut harus dapat mengintegrasikan aspek sosial, ekonomi, dan biofisik dalam
proses KRP (DEAT 2004).

Belakangan KLHS yang berbasis pendekatan berkelanjutan ini berkembang


menjadi KLHS untuk Jaminan Keberlanjutan Lingkungan Hidup (SEA for
Environmental Sustainability Assurance, ESA). KLHS ini memang berbasis
pembangunan berkelanjutan namun sangat berorientasi pada perlindungan
lingkungan sehingga diklasifikasikan sebagai dark green. KLHS ini dipromosikan
secara meluas oleh International Association for Impact Assessment (IAIA 2002).
Manfaatnya tergolong cukup besar, diantaranya adalah lebih relevan dan lebih
banyak diterima oleh kalangan pengambil keputusan (Sadler 2005:3).

KLHS ini (ESA atau Environmental Appraisal) muncul sebagai reaksi


terhadap timbulnya Kajian Terpadu untuk Jaminan Keberlanjutan atau Integrated
Assessment for Sustainability Assurance (ISA). Menurut Sadler (2005:3), Kajian
Terpadu (ISA atau Sustainability Appraisal) bukan merupakan KLHS atau SEA.
Kajian ini cenderung memposisikan dirinya sebagai pengganti KLHS. Ia
merupakan pendekatan terpadu ( integrated approach) untuk menelaah aspek
sosial, ekonomi dan lingkungan hidup secara simultan sebagai upaya untuk
tercapainya tujuan dan kriteria pembangunan berkelanjutan. Mereka yang
mengusung ide ini menegaskan bahwa Kajian Terpadu ( ISA atau Sustainability
Appraisal) mampu memberikan telaahan kritis terhadap kepentingan sosial,
ekonomi dan lingkungan hidup yang pada tingkat makro saling berkompetisi atau
bahkan bertolak-belakang.

Dari berbagai perkembangan definisi KLHS tersebut dapat disimpulkan


beberapa hal. Pertama, KLHS lebih tepat dipahami sebagai suatu proses generik
yang di dalamnya terkandung sekelompok instrumen dan peralatan dengan nama,
bentuk dan lingkup aplikasi yang berbeda-beda (Sadler 2005: 2).
Kedua, KLHS untuk Menjamin Keberlanjutan Lingkungan (ESA atau
Environmental Appraisal) telah menggeser paradigma KLHS dari yang semula
berorientasi menanggulangi pengaruh negatif KRP ke arah yang berorientasi
memelihara stok sumber daya alam. Sadler (2005) menggambarkan evolusi
paradigma kajian ini pada Tabel 1. Tabel ini juga dapat ditafsirkan sebagai agenda
jangka panjang riset dan pengembangan KLHS.

Ketiga, integrasi prinsip-prinsip keberlanjutan pada KRP pada dasarnya baru


bermakna bila terlebih dahulu dilakukan evaluasi pengaruh KRP terhadap
lingkungan hidup. Hasil evaluasi ini kemudian menjadi dasar bagi integrasi atau
kedalaman intervensi prinsip-prinsip keberlanjutan ke dalam KRP. Sejauh ini
dapat dikatakan berbagai definisi KLHS yang ada belum secara eksplisit
memadukan kedua analisis tersebut.

Memperhatikan kondisi sumber daya alam, lingkungan hidup, sosial, ekonomi


dan politik, serta kapasitas sumberdaya manusia dan institusi di masa mendatang;
maka konstruksi definisi KLHS yang dipandang sesuai untuk Indonesia adalah:
Suatu proses sistematis untuk mengevaluasi pengaruh lingkungan hidup dan
menjamin diintegrasikannya prinsipprinsip keberlanjutan dalam pengambilan
keputusan yang bersifat strategis.

Dalam definisi di atas terkandung tiga proses penting yang perlu ditempuh
dalam KLHS di Indonesia: i) evaluasi pengaruh kebijakan, rencana dan program
terhadap lingkungan hidup; ii) integrasi prinsip-prinsip keberlanjutan dalam
kebijakan, rencana dan program; dan iii) proses-proses kelembagaan yang harus
ditempuh untuk menjamin prinsip-prinsip keberlanjutan telah diintegrasikan
dalam kebijakan, rencana dan program.

Kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) adalah proses sistematis dalam


evaluasi dampak lingkungan hidup yang diprakirakan akan terjadi akibat
pelaksanaan kebijakan, rencana atau program (KRP) yang dilakukan pada tahap
awal dari suatu proses pengambilan keputusan kegiatan pembangunan selain
pertimbanganpertimbangan ekonomi dan sosial (Asdak, 2012). Sehingga dalam
hal ini dapat diartikan sebagai telaah implikasi atau dampak dari rencana atau
program terhadap lingkungan hidup. Untuk terwujudkan pembangunan
berkelanjutan, implementasi kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) harus
selaras dengan kaidah-kaidah sebagai berikut:

a. Sesuai kebutuhan (fit for the purpose)


b. Berorientasi pada tujuan (objective-led oriented)
c. Didorong motif keberlanjutan (sustainability-driven)
d. Ruang lingkup komprehensif (comprehensive scope)
e. Relevan dengan pengambilan keputusan (decision-relevant)
f. Terpadu (integrated)
g. Transparan (transparent)
h. Partisipatif (participative)
i. Akuntabel (accountable)
j. Efektif dalam pembiayaan (cost-effective)

Implementasi kajian lingkungan hidup strategis (KLHS) diharapkan dapat


mengantisipasi terjadinya dampak lingkungan yang bersifat lintas batas (cross
boundary environmental effects) dan lintas sektor. Penanganan dampak lintas
wilayah dan lintas sektor ini diharapkan dapat menjadi jalan keluar atas
permasalahan lingkungan hidup yang cenderung makin kompleks dengan
dilaksanakannya UndangUndang No. 34 Tahun 2007 tentang Pemerintahan
Daerah. Secara substansial, kajian lingkungan hidup strategis merupakan suatu
upaya sistematis dan logis dalam memberikan landasan bagi terwujudnya
pembangunan berkelanjutan melalui proses pengambilan keputusan yang
berwawasan lingkungan.

KLHS merupakan bagian dari keseluruhan kajian lingkungan hidup


(environmental assessments), dimana dalam konteks proses pengambilan
keputusan pembangunan, dimulai dari perumusan kebijakan, rencana, dan
program. Di dalam penyelenggaraan KLHS tidak hanya elemen partisipasi
masyarakat yang disentuh tetapi juga persoalan transparansi dan akuntabilitas.
Sebab yang dituju KLHS pada hakekatnya adalah lahirnya kebijakan, rencana dan
program yang mempertimbangkan aspek lingkungan hidup dan keberlanjutan.

2. Tujuan dan Manfaat KLHS


Dibanding ketika pertama kali diperkenalkan pada dekade 1970an, kini tujuan
KLHS telah banyak diperkaya. Tujuan KLHS yang banyak dirujuk oleh berbagai
pustaka umumnya seputar hal berikut (modifikasi terhadap UNEP 2002: 496;
Partidário 2007: 12):
a. Memberi kontribusi terhadap proses pengambilan keputusan agar keputusan
yang diambil berorientasi pada keberlanjutan dan lingkungan hidup, melalui:
- Identifikasi efek atau pengaruh lingkungan yang akan timbul
- Mempertimbangkan alternatif-alternatif yang ada, termasuk opsi praktek-
praktek pengelolaan lingkungan hidup yang baik
- Antisipasi dan pencegahan terhadap dampak lingkungan pada sumber
persoalan
- Peringatan dini atas dampak kumulatif dan resiko global yang akan
muncul
- Aplikasi prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan. Resultante dari
berbagai kontribusi KLHS tersebut adalah meningkatnya mutu kebijakan,
rencana dan program (KRP) yang dihasilkan.
b. Memperkuat dan memfasilitasi AMDAL, melalui:
- Identifikasi sejak dini lingkup dan dampak potensial serta kebutuhan
informasi
- Identifikasi isu-isu dan pandangan-pandangan strategis yang berkaitan
dengan justifikasi proyek atau rencana usaha/kegiatan
- Penghematan tenaga dan waktu yang dicurahkan untuk kajian.
c. Mendorong pendekatan atau cara baru untuk pengambilan keputusan, melalui:
- Integrasi pertimbangan lingkungan dan penerapan prinsip-prinsip
keberlanjutan dalam proses pengambilan keputusan
- Dialog dan diskusi dengan para pihak yang berkepentingan dan
penyelenggaraan konsultasi publik
- Akuntabilitas dan transparansi dalam merancang, memformulasikan dan
memutuskan kebijakan, rencana dan program.

Untuk mengaplikasikan KLHS yang bersifat transformatif atau substantif


tidak cukup hanya mengandalkan pada penguasaan prosedur dan metode
KLHS, diperlukan juga kehadiran good governance yang diindikasikan oleh
adanya keterbukaan, transparansi, dan tersedianya aneka pilihan kebijakan,
rencana, atau program. Oleh karena itu, untuk konteks Indonesia, tahuntahun
pertama aplikasi KLHS agaknya akan banyak didominasi oleh KLHS yang
bersifat instrumental, walau tidak tertutup kemungkinan akan berkembang
pula KLHS yang bersifat transformatif atau substantif.

Tabel 2.1 Tiga Macam Sifat dan Tujuan KLHS

Sifat KLHS Tujuan (Generik) KLHS


Instrumental - Mengidentifikasi pengaruh atau konsekuensi dari
kebijakan, rencana, atau program terhadap lingkungan
hidup sebagai upaya untuk mendukung proses
pengambilan keputusan
- Mengintegrasikan pertimbangan lingkungan ke dalam
kebijakan, rencana, atau program.
Transformatif - Memperbaiki mutu dan proses formulasi kebijakan,
rencana, dan program
- Memfasilitasi proses pengambilan keputusan agar dapat
menyeimbangkan tujuan lingkungan hidup, sosial, dan
ekonomi
Substantif - Meminimalisasi potensi dampak penting negatif yang
akan timbul sebagai akibat dari usulan kebijakan,
rencana, atau program (tingkat keberlanjutan lemah)
- Melakukan langkah-langkah perlindungan lingkungan
yang tangguh (tingkat keberlanjutan moderat)
- Memelihara potensi sumberdaya alam dan daya dukung
air, udara, tanah dan ekosistem (tingkat keberlanjutan
moderat sampai tinggi)
Sadler (2005:20)

Ada dua faktor utama yang menyebabkan kehadiran KLHS dibutuhkan saat
ini di berbagai belahan dunia: pertama, KLHS mengatasi kelemahan dan
keterbatasan AMDAL, dan kedua, KLHS merupakan instrumen yang lebih
efektif untuk mendorong pembangunan berkelanjutan (Briffetta et al 2003).
Adapun manfaat yang dapat dipetik dari KLHS adalah (OECD 2006; Fischer
1999; UNEP 2002):

a. Merupakan instrumen proaktif dan sarana pendukung pengambilan


keputusan
b. Mengidentifikasi dan mempertimbangkan peluang-peluang baru melalui
pengkajian secara sistematis dan cermat atas opsi-opsi pembangunan yang
tersedia
c. Mempertimbangkan aspek lingkungan hidup secara lebih sistematis pada
jenjang pengambilan keputusan yang lebih tinggi
d. Mencegah kesalahan investasi dengan mengingatkan para pengambil
keputusan akan adanya peluang pembangunan yang tidak berkelanjutan
sejak tahap awal proses pengambilan keputusan
e. Tata pengaturan (governance) yang lebih baik berkat terbangunnya
keterlibatan para pihak (stakeholders) dalam proses pengambilan
keputusan melalui proses konsultasi dan partisipasi
f. Melindungi asset-asset sumberdaya alam dan lingkungan hidup guna
menjamin berlangsungnya pembangunan berkelanjutan
g. Memfasilitasi kerjasama lintas batas untuk mencegah konflik, berbagi
pemanfaatan sumberdaya alam, dan menangani masalah kumulatif
dampak lingkungan.

3. Pendekatan KLHS
Dalam dua dekade tahun terakhir KLHS telah menempuh tiga tahap evolusi,
yakni pertama, tahap formasi (1970-1988); kedua, tahap formalisasi (19892000);
dan, ketiga, tahap pengembangan (2001-sekarang). Setelah berevolusi hampir
empat dekade kini dijumpai empat kategori atau model kelembagaan KLHS.
Empat kategori atau model kelembagaan KLHS ini muncul sebagai refleksi atas
adanya perbedaan dalam menyikapi peraturan perundangan (UNEP 2002; Saddler
2005).
a. KLHS dengan Kerangka Dasar Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup/AMDAL (EIA-Mainframe)
KLHS dilaksanakan menyerupai AMDAL, baik dari segi langkah-langkah
prosedur bekerjanya, maupun metodologi berpikirnya, yaitu mendasarkan
telaah pada efek dan dampak yang ditimbulkan RTRW atau KRP tata
ruang terhadap lingkungan hidup.
b. KLHS sebagai Kajian Penilaian Keberlanjutan Lingkungan Hidup
(Environmental Appraisal)
KLHS yang memiliki pendekatan ini menempatkan posisinya sebagai uji
kebijakan untuk menjamin keberlanjutan lingkungan hidup, sehingga bisa
diterapkan sebagai sebuah telaah khusus yang berpijak dari sudut pandang
aspek lingkungan hidup.
c. KLHS sebagai Kajian Terpadu/Penilaian Keberlanjutan (Integrated
Assessment/ Sustainability Appraisal)
Pendekatan ini menempatkan posisinya sebagai bagian dari uji kebijakan
untuk menjamin keberlanjutan secara holistik, sehingga sudut pandangnya
merupakan paduan kepentingan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup.
d. KLHS sebagai pendekatan Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya Alam
(Sustainable Natural Resource Management) atau Pengelolaan Berkelanjutan
Sumberdaya (Sustainable Resource Management)
KLHS diaplikasikan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, dan a)
dilaksanakan sebagai bagian yang tidak terlepas dari hirarki sistem
perencanaan penggunaan lahan dan sumberdaya alam, atau b) sebagai bagian
dari strategi spesifik pengelolaan sumberdaya alam. Model a)m enekankan
pertimbanganpertimbangan kondisi sumberdaya alam sebagai dasar dari
substansi RTRW atau KRP tata ruang, sementara model b) menekankan
penegasan fungsi RTRW atau KRP tata ruang sebagai acuan aturan
pemanfaatan dan perlindungan cadangan sumberdaya alam.

Sejalan dengan yang telah diutarakan perkembangan terakhir menunjukkan bahwa


KLHS tidak berpretensi atau diarahkan untuk membuat suatu sistem kelembagaan
dan prosedur yang baru dan terpisah. KLHS justru lebih diarahkan untuk menjamin
bahwa seperangkat prinsip dan nilai dasar KLHS diaplikasikan ke dalam sistem yang
sudah ada agar efektivitas sistem bersangkutan menjadi meningkat. Berangkat dari
pemikiran ini KLHS harus dipandang sebagai suatu proses yang adaptif dan kontinyu
dengan fokus utama terletak pada tata pengaturan (governance) dan penguatan
kelembagaan, tidak sekedar sebagai pendekatan teknis, linier, dan sederhana
sebagaimana dijumpai dalam AMDAL (OECD 2006).

Gambar 2.1. Kontinum Kajian KLHS – dari independen ke integrasi (OECD 2006)

Perencanaan tata ruang (RTRW) merupakan salah satu produk KRP yang secara
eksplisit wajib dilakukan KLHS seperti dinyatakan dalam Pasal 15 UU Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) No.32/2009. Perencanaan tata ruang
dalam penyusunan struktur dan pola ruang seringkali menjadi sumber persoalan
lingkungan hidup. Oleh karena itu, diperlukan pengkajian tentang persoalan dan
analisis dari sisi tata ruang untuk internalisasi konsep KLHS. Aspek infrastruktur
merupakan kunci dari penyusunan struktur dan pola pemanfaatan ruang ditingkat
nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota.

G. Kerangka Pikir

Pengembangan Kawasan Permukiman di Desa Lonjoboko Kecamatan


Parangloe Kabupaten Gowa Berdasarkan Pendekatan KLHS

RUMUSAN PERTAMA RUMUSAN KEDUA


Perkembangan Permukiman di Desa Lonjoboko
tahun 2009-2019 Pengembangan Permukiman di Desa Lonjoboko
Berdasarkan Pendekatan KLHS

TUJUAN TUJUAN
Mengetahui perkembangan kawasan permukiman Mendeskripsikan pengembangan kawasan
di Desa Lonjoboko Kecamatan Parangloe permukiman di Desa Lonjoboko Kecamatan
Kabupaten Gowa pada tahun 2009-2019 Parangloe Kabupaten Gowa dengan pendekatan
KLHS
FEED BACK

VARIABEL VARIABEL
- Isu Strategis Kawasan Permukiman
- Permukiman Tahun 2009 - Pertambangan
- Permukiman Tahun 2019 - KLHS

TINJAUAN TEORI
METODE ANALISIS METODE ANALISIS

- Analisis Superimpose (Overlay) - Analisis Deskriptif/kualitatif

KESIMPULAN
Gambar 2.2 Kerangka Pikir Penelitian
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini di lakukan di Desa Lonjoboko, Kecamatan Parangloe, Kabupaten Gowa
dengan luas wilayah 1.885,18 Ha yang terdiri dari 4 dusun. Penetapan lokasi
penelitian di dasarkan karena terdapat aktifitas pertambangan yang terletak di Desa
Lonjoboko telah menimbulkan dampak terhadap permukiman sekitar sehingga
penulis ingin mengembangkan permukiman berdasarkan pendekatan Kajian
Lingkungan Hidup Strategis.

2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian yang diperlukan bagi peneliti dalam menyusun karya tulis ilmiah
yang meliputi kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam penelitian. Kegiatan tersebut
seperti mencari data baik data primer maupun sekunder, serta observasi lapangan,
maka waktu penelitian dilakukan dalam kurun waktu bulan Maret hingga Juli 2020.

B. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, menurut Moh. Nazir (1983:63),
metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok, manusia, suatu
obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa
sekarang. Tujuan penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi,
gambarangambaran atau lukisan-lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai
fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Berdasarkan
pengertian metode penelitian deskriptif tersebut penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan perkembangan pemukiman di Desa Lonjoboko Kecamatan Parangloe
Kabupaten Gowa sesuai dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis.
Analisis yang dilakukan berupa analisis overlay. Menurut Pambundu Tika
(2005:49), untuk penelitian geografi fisik, peta dan foto udara diperlukan untuk
pengamatan dan pengecekan objek-objek tertentu di lapangan. Perkembangan daerah
pemukiman di desa Lonjoboko Kecamatan Parangloe Kabupaten Gowa 2009-2019
dianalisis dari peta yang merupakan hasil perekaman citra satelit Landsat yang telah
diolah menggunakan software Arcgis 10.3 sehingga diperoleh peta pemukiman tahun
2009 dan tahun 2019 kemudian dilakukan overlay pada kedua peta tersebut untuk
mengetahui perkembangan luas daerah pemukiman yang terjadi di desa Lonjoboko
Kecamatan Parangloe Kabupaten Gowa dan untuk mengetahui pola pemukiman serta
arah perkembangan pemukiman di wilayah penelitian tersebut. (Indaryono1, 2015)

C. Jenis dan Sumber Data


1. Jenis Data
Untuk memperoleh hasil yang maksimal dalam studi ini dibutuhkan data dan informasi
yang relevan dan lengkap. Penelitian ini menggunakan dua metode pendekatan, yaitu:
a. Kualitatif, yaitu metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme,
digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek alamiah, analisis data bersifat
induktif/kualitatif, dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan pada makna dari
generalisasi. Penelitian deskriptif dilakukan untuk menetapkan sifat suatu situasi pada
waktu penyelidikan itu dilakukan, karena tujuan penelitian ini dilakukan untuk
melukiskan variabel atau kondisi dalam suatu situasi. Jenis data kualitatif yang
dibutuhkan dalam penelitian ini adalah data-data terkait kondisi fisik dasar, kondisi
mata pencaharian masyarakat, kondisi lingkungan dan sebagainya
b. Kuantitatif, merupakan metode penelitian ilmiah/scientific karena telah memenuhi
kaidah-kaidah ilmiah yaitu konkrit,/empiris, obyektif terukur, rasional, dan sistematis.
Metode ini disebut kuantitatif karena data penelitian berupa angkaangka dan analisis
menggunakan statistik. Pada penelitian ini, jenis data kuantitatif yang dibutuhkan
seperti data jumlah penduduk dan sebagainya. (Sugiyono, 2017)

2. Sumber Data
Dalam Penelitian ini, data yang dibutuhkan adalah meliputi data primer dan data
sekunder
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari pengamatan di lapangan atau di
kawasan penelitian seperti kondisi eksisting, seperti kondisi lingkungan, tingkat
pendapatan masyarakat melalui kuisioner dan lain sebagainya.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah sumber data penelitian yang diperoleh melalui media
perantara atau secara tidak langsung yang berupa buku, catatan, bukti yang telah
ada, atau arsip baik yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan secara
umum. Dengan kata lain, peneliti mengumpulkan data dengan cara berkunjung ke
perpustakaan, pusat arsip, pusat kajian atau membaca banyak buku yang
berhubungan dengan penelitiannya. Seperti data dari Badan Pusat Statistik (BPS)
Kabupaten Gowa, Kantor Kecamatan Parangloe, data Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Gowa dan instansi terkait lainnya.

D. Metode Pengumpulan Data


Untuk memenuhi kelengkapan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, maka peneliti
melakukan teknik pengumpulan data berupa metode-metode pengumpulan data. Menurut
Widodo, 2019 metode pengumpulan data yaitu sebagai berikut:
a. Metode observasi lapangan yaitu pengumpulan data secara empirik dengan langsung
turun ke lapangan untuk memperoleh data dan informasi mengenai kondisi eksisting
dan melakukan pengamatan terhadap kondisi fisik lingkungan di Desa Lonjoboko
b. Metode interview/wawancara yaitu melakukan tanya jawab secara langsung terhadap
beberapa orang informan yang dianggap layak memberikan informasi mengenai
seberapa berpengaruhnya tambang terhadap lingkungan permukiman di desa
Lonjoboko. Metode wawancara dapat digunakan oleh peneliti untuk mendapatkan
data atau informasi dengan cepat dan lebih meyakinkan responden dalam menafsirkan
pertanyaan
c. Metode Dokumentasi, merupakan kegiatan pengumpulan data yang dilakukan dengan
memanfaatkan dokumen tertulis, foto, ataupun gambar suatu objek yang berkaitan
dengan aspek penelitian.
d. Metode Telaah Pustaka merupakan teknik pengumpulan data dengan membaca,
memperlajari, dan atau memahami serat mengambil literatur yang bersumber dari,
laporan, buku, jurnal, karya tulis yang relevan dengan topik penelitian yang diangkat,
seminar, skripsi, makalah, RTRWN dan RTRW/RDTR serta studi pustaka lainnya.
E. Populasi dan Sampel
1. Populasi
Populasi dapat didefinisikan sebagai keseluruhan aspek tertentu dari ciri, fenomena
atau konsep yang menjadi pusat perhatian. Adapun yang menjadi populasi adalah
masyarakat di desa Lonjoboko dengan jumlah penduduk 2.852 Jiwa.
2. Sampel
Sampel adalah anggota yang dipilih/diambil dari suatu populasi yang diharapkan
mewakili atauu menggambarkan ciri-ciri keberadaan populasi sebenarnya. Teknik
penarikan sampel yang digunakan adalah penarikan sampel acak (sample random).
Dalam penarikan sampel diupayakan sampel yang ditarik dapat merepresentasikan
kondisi secara keseluruhan, walaupun jumlah sampel yang ditarik relatif kecil
dibandingkan populasi. Pemilihan sampel dengan metode yang tepat dapat
menggambarkan kondisi populasi sesungguhnya yang akurat dan dapat menghemat
biaya penelitian secara efektif. Adapun penentuan jumlah sampel digunakan
persamaan Slovin, untuk menggunakan rumus ini, pertama ditentukan berapa batas
toleransi kesalahan (presisi/derajat kebebasan). Semakin kecil toleransi kesalahan,
semakin akurat sampel menggambarkan populasi. Sehingga dalam penggunaan rumus
ini peneliti dapat memilih sendiri tingkat akurasi untuk penelitiannya dengan
perhitungan sebagai berikut:
N
n= 2
N ( d) +1
2852
n=
2852(10 % )2+1
2852
n= 2
2852(10 % ) +1
2852
n=
29,52
n=97 Sampel

Keterangan:
n =Jumlah sampel yang di ambil
N =Jumlah penduduk daerah tersebut
d =Derajat kebebasan (Presisi), presisi yang digunakan ditetapkan 10%
Maka, sampel yang diambil untuk penelitian ini adalah sebanyak 97 sampel
kemudian disebar di desa Lonjoboko. Seseorang yang diambil sebagai sampel karena
peneliti menganggap bahwa seseorang tersebut memiliki informasi yang diperlukan
bagi penelitiannya.

F. Variabel Penelitian
Variabel yang dipakai dalam proses identifikasi, ditentukan berdasarkan kajian teori yang
dipakai. Semakin sederhana suatu rancangan penelitian semakin sedikit variabel yang
digunakan. Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel
3.1 berikut:
Tabel 3.1 Variabel Penelitian

Variabel Teknik
No Tujuan Indikator
Penelitian Analisis
1 Permukiman - Permukiman Tahun Analisis
Mengetahui perkembangan
2009 Superimpose
kawasan permukiman di Desa
- Permukiman Tahun (Overlay)
Lonjoboko Kecamatan
2019
Parangloe Kabupaten Gowa
pada tahun 2009-2019

2 Mendeskripsikan Isu Strategis -Isu strategis Analisis


pengembangan kawasan kawasan Deskriptif
permukiman di Desa permukiman berdasarkan
Lonjoboko Kecamatan -Pertambangan pendekatan
Parangloe Kabupaten Gowa -KLHS KLHS
dengan pendekatan KLHS

G. Teknik Analisa Data


Teknik Analisis adalah metode-metode yang digunakan dalam memecahkan rumusan
masalah dengan penelitian, sehingga metode analisis data pada penelitian ini diuarikan
berdasarkan rumusan masalah. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada penjelasan
berikut:
1. Untuk menjawab rumusan masalah pertama, yaitu Bagaimana perkembangan
kawasan permukiman di desa Lonjoboko Kecamatan Parangloe Kabupaten Gowa,
menggunakan analisis superimpose (overlay) / spatial analisis. Tumpang susun data
keruangan atau Overlay adalah salah satu prosedur analisis data spasial, dimana pada
proses ini layer dimodifikasi sesuai dengan yang diperlukan. Proses overlay sendiri
terdiri dari beberapa metoda, yaitu identity, intersect, union, update, erase, dan
symmetrical difference. Software yang digunakan dalam teknik penggambaran serta
simulasi tugas akhir ini yaitu menggunakan software ArcGIS (ArcMap10.3) untuk
pengolahan data vector di combine dengan Global Mapper 17 untuk pengolahan data
Raster. Sedangkan untuk memperoleh data citra satelit menggunakan aplikasi Sas
Planet. Dengan overlay peta maka diharapkan akan menghasilkan suatu pola
perubahan permukiman di desa Lonjoboko, Kabupaten Gowa.

Peta Permukiman
tahun 2009

Overlay Peta pola perubahan


permukiman
Peta Permukiman
tahun 2019

Gambar 3.1 Ilustrasi Analisis Overlay menggunakan Arcgis

Adapun variable yang digunakan dalam analisis ini adalah kodisi Permukiman
desa Lonjoboko tahun 2009 dan kondisi permukiman desa Lonjoboko tahun 2019
dengan interval waktu 10 tahun yang diperoleh dari hasil delineasi data citra satelit sas
planet dan survey lapangan. Kedua data deliniasi trsebut kemudian di-overlay pada
aplikasi Arcgis untuk mendeteksi perubahan permukiman.

2. Untuk menjawab rumusan masalah kedua, yaitu Bagaimana strategis pengembangan


kawasan permukiman di desa Lonjoboko berdasarkan pendekatan KLHS
menggunakan penelitian studi kasus, Robert K.Yin menjelaskan studi kasus adalah
pengamatan yang mendalam terhadap suatu fenomena mengapa seseorang, kelompok,
lembaga dan/atau masyarakat bertindak dengan suatu cara tertentu dan bagaimana dia
bertindak dimasa mendatang (K.Yin, 2011) Data yang terkumpul akan dianalisis
dengan menggunakan metode deskriptif analisis menggunakan pendekatan KLHS,
yaitu data yang diperoleh akan di paparkan secara menyeluruh kemudian dilakukan
analisis sehingga dapat disusun suatu kesimpulan untuk menjawab permasalahan
yang ada.

H. Defenisi Operasional
1. Permukiman adalah lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat
kegiatan yang mendukung perikehidupan di desa Lonjoboko Kabupaten Gowa
2. Penggunaan Lahan adalah sebuah pemanfaatan lahan sesuai dengan kondisi exsisting
alam
3. Desa merupakan kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk
pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan
ekonomi
4. Masyarakat yang di maksudkan dalam penelitian ini ialah semua penduduk yang
berada di Desa Lonjoboko Kecamatan Parangloe Kabupaten Gowa
5. Pemetaan adalah Proses pengukuran, perhitungan dan penggambaran permukaan
bumi dengan menggunakan cara dan atau metode tertentu hingga di dapatkan hasil
berupa softcopy maupun hardcopy peta dan berbentuk vektor maupun raster
6. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan
makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.

DAFTAR PUSTAKA

Anonymous. Kajian Lingkungan Hidup Strategis. (KLHS) dalam Perencanaan Tata Ruang.
Asdak, C. (2012). Kajian Lingkungan Hidup Strategis: Jalan Menuju Pembangunan
Berkelanjutan. Yogyakarta: Gajah Mada University.
Gibellini, L. (Juni 2001). The Challenge of Sustainability DZHB44 Subdivision For People &
Environmet : Subdivision Based on the Concepts of Ecovillage & Cohousing. Rotorua. .
Indaryono, I. G. (2015). Analisis Perkembangan Daerah Pemukiman Di Kecamatan Balik Bukit
Tahun 2005-2014.
K.Yin, R. (2011). Case Study Research: Design and Methods. California: Sage Publications.
L., A. R. (2011). Membangun Kembali Kota Secara Berkelanjutan:Mempersiapkan Masa Depan
Dengan Lebih Baik. Yogyakarta.
Nazir, M. (1983). Metode Penelitian. Ghalia Indonesia.
Romadona, A. (2011). Membangun Kembali Kota Secara Berkelanjutan:Mempersiapkan Masa
Depan Dengan Lebih Baik. Yogyakarta.
Sari, R. P. (2015). Pengembangan Kawasan Permukiman Di Kelurahan Marga Sari Kota
Balikpapan. ejournal.an.fisip-unmul.ac.id .
Wahyu Hidayat 1, E. R. (Agustus 2015). Dampak Pertambangan Terhadap Perubahan
Penggunaan Lahan dan Kesesuaian Peruntukan Ruang (Studi Kasus Kabupaten Luwu
Timur, Provinsi Sulawesi Selatan) . Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota .
Makmur (2017). Pengaruh Pertambangan Batuan Terhadap Perubahan Penggunaan Lahan di
Desa Lonjoboko Kecamatan Parangloe Kabupaten Gowa. Jurusan Teknik Perencanaan
Wilayah dan Kota Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Alauddin
Makassar
Departemen Agama RI (2010). Al-Quran dan Terjemahnya. Bandung. CV Penerbit Diponegoro.
Badan Pusat Statistika (2019) Kecamatan Parangloe dalam angka 2019
Undang-Undang RI No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman. Jakarta :
Departemen Kesehatan R.I.
Edi, E. 2007. Kajian Model Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Terpadu. Jakarta:
Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air.
Undang-Undang No.32 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 2009
M.Farizki, W. A. (2017). Pemetaan Kualitas Permukiman dengan Menggunakan Penginderaan
Jauh dan SIG di Kecamatan Batam Kota, Batam. Majalah Geografi Indonesia, Program
Studi Teknik Geomatika, Politeknik Negeri Batam, Batam Kepulauan Riau1.
Yunianto. (2011). Analisis Kerawanan Tanah Longsor dengan Aplikasi Sistem Informasi
Geografis (SIG) dan Penginderaan Jauh Kabupaten Bogor. Bogor.

Anda mungkin juga menyukai