Skripsi
Oleh
YULIANA SARI
NIM. 60800116103
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Peningkatan angka pertumbuhan penduduk pada suatu wilayah berdampak kepada
peningkatan kebutuhan lahan untuk kawasan permukiman. Sedangkan lahan yang dapat
dimanfaatkan untuk kawasan permukiman sangat terbatas. Pemukiman sebagai suatu
kebutuhan dasar hidup manusia yang harus dipenuhi, hal ini akan mengakibatkan
semakin luasnya lahan yang dijadikan pemukiman oleh masyarakat pada suatu wilayah.
Perkembangan pemukiman yang terjadi dapat dilihat dari segi kualitas dan kuantitasnya,
dari segi kuantitas perubahan tersebut biasanya ditunjukkan dengan perubahan jumlah
pemukiman baru yang terdapat pada suatu wilayah dalam jangka waktu tertentu,
jumlahnya akan selalu meningkat seiring dengan pertumbuhan sosial, ekonomi, budaya
masyarakat setempat. Sedangkan perubahan dari segi kualitas dapat ditunjukkan dengan
parameter seperti kualitas fisik rumah dan kualitas lingkungan rumah. (Indaryono, 2015)
Perkembangan pemukiman yang terjadi mengakibatkan pengalihan fungsi lahan
pada suatu wilayah. Lahan adalah sebagian lingkup fisik yang terdiri atas iklim, relief,
tanah, air, dan vegetasi serta benda yang ada diatasnya, sepanjang ada pengaruhnya
terhadap penggunaan lahan, termasuk di dalamnya juga hasil kegiatan manusia di masa
lampau dan sekarang (Sitanala 1989 dalam I Gede Sugiyanta 2006:8).
Kesenjangan antara kebutuhan dan ketersediaan permukiman mengakibatkan: 1)
terjadinya perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian dan hutan menjadi
permukiman, dan 2) munculnya rumah-rumah secara tidak teratur membentuk pola
permukiman sporadis dengan tingkat kepadatan yang tinggi. Pola permukiman yang
sporadis menyebabkan menurunnya kualitas permukiman seperti peningkatan jumlah
rumah tidak layak huni mencapai 14.5 juta unit dan kawasan kumuh mencapai 47 500
hektar tersebar di lebih 10 000 lokasi (Kirmanto 2002). Perubahan penggunaan lahan dari
lahan pertanian dan hutan menjadi lahan permukiman di wilayah DAS menyebabkan
terjadi degradasi DAS berupa lahan gundul, tanah kritis, erosi pada lereng-lereng curam
yang digunakan untuk pertanian maupun permukiman (Edi 2007).
Kehidupan manusia tidak bisa terlepas dari pemanfaatan lahan. Lahan dan tanah
merupakan sumberdaya penting bagi kehidupan manusia. Semakin banyak jumlah
penduduk pada suatu wilayah, maka tekanan terhadap lahan semakin meningkat dan akan
menimbulkan konflik kepentingan dalam pemanfaatan lahan. Sadyohutomo (2008)
mengungkapkan bahwa peningkatan jumlah penduduk akan mendorong peningkatan
kebutuhan penggunaan lahan. Luas lahan yang dapat digunakan untuk mendukung
kehidupan relatif tetap dan bersifat terbatas. Sebagai akibatnya, akan terjadi persaingan
penggunaan lahan dan pada akhirnya akan terjadi konflik antar-pengguna serta penurunan
kualitas lahan. Pertumbuhan penduduk yang tinggi akan menyebabkan manusia
memanfaatkan sumberdaya alam tanpa memperhatikan kemampuan dan daya dukung
lingkungan. Sebagai akibatnya, terjadi penurunan kualitas lingkungan dan bencana alam.
(Muta’ali, 2012)
Penggunaan lahan pada masing-masing daerah merupakan bentuk pemenuhan
kebutuhan untuk masyarakat terutama penggunaan lahan untuk pemukiman. Pemukiman
merupakan kebutuhan utama bagi masyarakat dalam kehidupannya, pemukiman yang
baik akan menunjukkan tingkat kesejahteraan penduduk di suatu wilayah. Selain untuk
pemukiman sebagai kebutuhan utama, lahan juga digunakan untuk membangun
infrastruktur yang akan mempermudah aksesibilitas masyarakat dalam kehidupan
seharihari. Masyarakat akan cenderung memilih lokasi pemukiman pada wilayah yang
dekat dengan daerah perkotaan karena daerah perkotaan memiliki fasilitas yang memadai
untuk mendukung kegiatan masyarakat dalam memenuhi kebutuhan hidupnya.
(Indaryono, 2015)
Desa Lonjoboko merupakan salah satu desa yang ada di Kecamatan Parangloe,
Desa Lonjoboko merupakan wilayah daratan yang berbukit. Desa Lonjoboko berada
dalam ketinggian 100 – 600 Meter Diatas Permukaan Laut (MDPL). Desa Lonjoboko
yang dilintasi oleh sungai jeneberang menjadikan desa ini memiliki potensi tambang
batuan. Beberapa potensi tambang batuan yang dimiliki oleh Desa Lonjoboko adalah
pasir, batu kali, tanah, batu gunung, sirtu dan batu pecah. Beberapa tahun belakangan, di
Desa Lonjoboko telah banyak mengalami perubahan lahan yang semula berupa lahan
pertanian, menjadi kawasan pertambangan dan industri pengelolaan hasil tambang.
Terjadinya alih fungsi lahan di desa Lonjoboko menimbulkan dampak langsung maupun
dampak tidak langsung. Dampak langsung yang diakibatkan oleh perubahan penggunaan
lahan berupa hilangnya lahan pertanian subur, hilangnya investasi dalam infrastruktur
irigasi, kerusakan natural lanskap, dan masalah lingkungan. Kemudian dampak tidak
langsung yang ditimbulkan berupa inflasi penduduk dari wilayah perkotaan ke wilayah
tepi kota. Kegiatan perubahan penggunaan lahan pertanian juga berpengaruh terhadap
lingkungan. Perubahan lahan pertanian menjadi lahan non-petanian akan mempengaruhi
keseimbangan ekosistem lahan pertanian. Pola perkembangan dan pembangunan saat ini
mengalami banyak perubahan seiring dengan kemajuan teknologi dan globalisasi yang
mengakibatkan permasalahan serta tantangan baru. Perpaduan pola pembangunan ini
mengakibatkan adanya perubahan pemanfaatan lahan dari kawasan budidaya pertanian
menjadi kawasan budidaya permukiman ataupun industri serta kawasan lindung yang
menjadi kawasan budidaya pertanian ataupun permukiman. Sedangkan sebagian
masyarakat di Desa Lonjoboko masih bermata pencaharia petani sebagai firman Allah
dalam QS. Al-Qashash ayat 77 yaitu sebagai berikut.
Terjemahnya:
Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri
akhirat, dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan
berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu,
dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak
menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan (Departemen Agama RI, 2010).
Asbabun nuzul menurut Quraish Shihab yaitu Orang-orang yang berasal dari
kaum Nabi Musa As melanjutkan nasehatnya untuk Qarun bahwasanya bukan karena
engkau bisa beribadah dengan sempurna dan dilarang memperhatikan hal yang ada di
dunia. Berusahalah sekuat-kuatnya dan pikiranmu dalam catatan yang dibenarkan oleh
Allah agar mendapatkan harta dan hal duniawi dan carilah dengan sungguh-sungguh pada
yaitu melalui apa yang telah dianugrahkan Allah kepadamu dari hasil usahamu dengan
kebahagiaan negeri akhirat, dengan menyumbangkan dan digunakan sesuai petunjuk oleh
Allah dan dalam waktu yang sama janganlah melupakan atau mengacuhkan bagianmu
dari kenikmatan dunia dan berbuat baiklah kepada semuanya, sebagaimana atau
disebabkan oleh Allah telah berbuat baik kepadamu dengan beragam nikmat Allah. Dan
janganlah engkau berbuat kerusakan apapun di bagian manapun di bumi ini .
Sesungguhnya Allah tidak menyukai para pembuat kerusakan (Shibab, 2002)
Pada ayat ini kaitannya dengan penelitian adalah menerangkan secara umum
tentang kesejahteraan manusia dari segi sosial ekonomi masyarakat. Dalam ayat tersebut
Allah SWT menerangkan beberapa nasehat, nasehat tersebut antara lain: (1) orang yang
dianugerahi oleh Allah kekayaan yang berlimpah-limpah, perbendaharaan harta yang
bertumpuk-tumpuk serta nikmat yang banyak, hendaklah ia memanfaatkan seperti
mencari kerja dengan berbagai kakayaan alam yang telah di sediakan sehingga
masyarakat bisa hidup sejahterah; (2) seseorang harus berbuat baik sebagaimana Allah
berbuat baik kepadanya, membantu orang-orang yang berkeperluan, pembangunan
mesjid. madrasah, pembinaan rumah yatim piatu, panti asuhan dengan harta yang
dianugerahkan Allah kepadanya dan dengan kewibawaan yang ada padanya, nasihat ini
berarti bahwa dengan adanya sumber daya alam digunakan dan dimanfaatkan dalam
pembangunan seperti sarana dan prasarana untuk kebutuhan masyarakat akan berpotensi
meningkatkan kondisi ekonomi masyarakat di daerah sekitarnya; (3) sehingga janganlah
seseorang itu berbuat kerusakan di atas bumi, berbuat jahat kepada sesama makhluk
Allah, karena Allah tidak menyukai orangorang yang berbuat kerusakan. Allah tidak akan
menghormati mereka, bahkan Allah tidak akan memberikan ridha dan rahmat-Nya.
Selain itu ter dapat pula firman Allah dalam QS. Al Mulk ayat 15 yaitu sebagai berikut:
Terjemahnya:
Dialah Yang menjadikan bumi itu mudah bagi kamu, maka berjalanlah di segala
penjurunya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya. Dan hanya kepada-Nya-lah kamu
(kembali setelah) dibangkitkan (Departemen Agama RI, 2010)
Menurut Quraish Shihab bahwa kelompok ayat-ayat ini menguraikan lebih lanjut
rububiyyat yaitu betapa besarnya wewenang dan kuasa Allah dalam mengatur alam raya
ini. Setelah melalui ayat yang lalu, Allah telah menegaskan luasnya pengetahuan-Nya,
sehingga melalui ayat tersebut ditegaskan sekali lagi kuasa-Nya sekaligus luthf yaitu
kemahalembutan-Nya dalam mengatur makhluk terutama manusia, agar mereka
mensyukuri nikmat yang diberikan. Allah berfirman: dialah yang menjadikan buat
kenyamanan hidup kamu bumi yang kamu huni ini sehingga ia menjadikan mudah untuk
melakukan aneka aktifitas baik itu dengan berjalan, berniaga/berjualan, bertani dan
lainnya, maka silahkan kapan saja kamu mau berjalanlah di pernjurunya bahwa
pegunungan-pegunungannya dan makanlah sebahagian dari rezeki-Nya karena tidaklah
mungkin kamu dapat menghabiskannya karena rezeki-Nya melimpah melebihi kebutuhan
kamu, dan mengabdikan kepada-Nya sebagai tanda syukur atas limpahan karunia-Nya
itu. Dan hanya kepada-Nyalah kebangkitan kamu masing-masing untuk
mepertanggungjawabkan amalan-amalan kamu (Shibab, 2003).
Pada ayat ini kaitannya dengan penelitian adalah Allah SWT menggambarkan
bahwa Dia menjadikan bumi tunduk dan patuh untuk dilewati, digali, ditanami, dan
didirikan bangunan di atasnya. Allah tidak menjadikan bumi itu sulit dan tidak mungkin,
bagi siapa yang hendak melakukan semua itu terhadapnya. Artinya Allah menciptakan
bumi untuk dimanfaatkan manusia dalam proses pembangunan yang pada akhirnya akan
dirasakan langsung oleh manusia itu sendiri. Kemudian Allah memerintahkan kepada
mereka untuk memakan rizki yang telah dipersiapkan didalamnya dengan mencari nafkah
serti bertani. Allah telah menjinakkan bumi bagi mereka, sehingga mereka dapat
membuat jalan untuk melintas diatasnya, dipersiapkan diatasnya rizki mereka, sehingga
mereka dapat membangun tempat tinggal untuk datang dan pergi serta mempersiapkan
makanan bagi para penghuninya.
Pilar utama pembangunan adalah aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan.
Keberhasilan pembangunan selain dicirikan oleh peningkatan pertumbuhan dan
pemerataan kesejahteraan, juga mesti ada jaminan keberlanjutan. Untuk konteks
Indonesia, pengarustamaan pembangunan berkelanjutan telah ditetapkan sebagai
landasan operasional pembangunan, sebagaimana tercantum dalam RPJP dan RPJM
Nasional dan Rencana Tata Ruangnya. Setiap proses perencanaan sampai dengan
pelaksanaan pembangunan diharuskan mengandung kepentingan pelestarian lingkungan
hidup. Perhatian terhadap pelestarian lingkungan hidup idealnya sudah muncul dan
ditempatkan sejak proses awal perumusan strategi hingga pelaksanaan pembangunan.
Konsekuensi dari tuntutan ini adalah hadirnya instrument pengkajian terhadap
lingkungan hidup pada tataran strategis setara dengan strategi pembangunan itu sendiri.
Penelitian ini menguraikan sekilas tentang metode baru untuk mengkaji lingkungan hidup
yang disebut Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Sejak tahun 1990-an di dunia
internasional telah berkembang Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau
Strategic Environmental Assessment (SEA). KLHS merupakan penyempurnaan dari
AMDAL sebagai instrument lingkungan hidup yang sudah ada sebelumnya. Jika
AMDAL hanya hadir pada tingkat proyek, maka KLHS ada pada Kebijakan, Rencana,
dan atau Program (KRP) pembangunan. Kementerian Negara Lingkungan Hidup (2007)
memberikan definisi KLHS yang dipandang sesuai untuk Indonesia dengan
memperhatikan kondisi sumberdaya alam, lingkungan hidup, sosial, ekonomi, politik,
serta kapasitas SDM dan institusi di masa mendatang, yaitu “Suatu proses sistematis
untuk mengevaluasi pengaruh lingkungan dan menjamin diintegrasikannya prinsip-
prinsip keberlanjutan dalam pengambilan keputusan yang bersifat strategis”. Definisi dan
praktek KLHS di dunia selama ini mengindikasikan terdapat dua basis pendekatan
KLHS, yaitu KLHS dengan basis pendekatan AMDAL (EIA-based SEA) dan dengan
basis pendekatan keberlanjutan (sustainability-led SEA). KLHS dengan basis pendekatan
AMDAL mengkaji lebih dari sekadar level proyek yakni hingga evaluasi konsekuensi
positif dan negative dari kebijakan, rencana, dan program. KLHS dengan basis
pendekatan keberlanjutan memformulasikan visi, tujuan, dan kerangka kerja
keberlanjutan untuk memandu pengambilan keputusan KRP yang lebih baik, sehingga
harus mengintegrasikan aspek sosial, ekonomi, dan biofisik dalam proses KRP (DEAT,
2004). KLHS dengan basis pendekatan keberlanjutan ini telah berkembang menjadi
KLHS untuk jaminan keberlanjutan lingkungan hidup (SEA for environmental
sustainability assurance, ESA).
Dari uraian tersebut menunjukkan hubungan antara permukiman dengan
lingkungan hidup yang strategis. Oleh karena itu, penulis tertarik untuk melakukan
penelitian dengan judul “Pengembangan kawasan permukiman di desa Lonjoboko
Kecamatan Parangloe Kabupaten Gowa dengan pendekatan KLHS” adapun fokus
penelitian ini adalah untuk mengetahui pengembangan kawasan permukiman berdasarkan
pendekatan KLHS di desa Lonjoboko.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang penelitian, maka rumusan masalah yang di angkat dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Bagaimana perkembangan kawasan permukiman di desa Lonjoboko Kecamatan
Parangloe Kabupaten Gowa pada tahun 2009-2019?
2. Bagaimana Pengembangan Kawasan Permukiman di desa Lonjoboko berdasarkan
pendekatan KLHS?
2. Manfaat Penelitian
Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat menjadi salah satu bahan acuan
untuk digunakan dan dimanfaatkan sebagai bahan masukan atau dapat menjadi acuan
bagi Pemerintah Daerah dalam membangun desa Lonjoboko berdasarkan pendekatan
Kajian Lingkungan Hidup Strategis.
A. Permukiman
1. Pengertian Permukiman
Pengertian dasar permukiman dalam UU No.1 tahun 2011 adalah bagian dari
lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang
mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan
fungsi lain dikawasan perkotaan atau kawasan perdesaan. Permukiman merupakan
suatu kebutuhan pokok yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Dari deretan
lima kebutuhan hidup manusia pangan, sandang, permukiman, pendidikan dan
kesehatan, nampak bahwa permukiman menempati posisi yang sentral, dengan
demikian peningkatan permukiman akan meningkatkan pula kualitas hidup. Menurut
Koestoer (1995) batasan permukiman adalah terkait erat dengan konsep lingkungan
hidup dan penataan ruang. Permukiman adalah area tanah yang digunakan sebagai
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang
mendukung peri kehidupan dan merupakan bagian dari lingkungan hidup di luar
kawasaan lindung baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan. Parwata
(2004) menyatakan bahwa permukiman adalah suatu tempat bermukim manusia yang
telah disiapkan secara matang dan menunjukkan suatu tujuan yang jelas, sehingga
memberikan kenyamanan kepada penghuninya. Permukiman (Settlement) merupakan
suatu proses seseorang mencapai dan menetap pada suatu daerah (Van der Zee 1986).
Kegunaan dari sebuah permukiman adalah tidak hanya untuk menyediakan tempat
tinggal dan melindungi tempat bekerja tetapi juga menyediakan fasilitas untuk
pelayanan, komunikasi, pendidikan dan rekreasi.
Secara spasial permukiman berada di pusat kota yang dekat dengan daerah pusat
usaha dan merupakan permukiman penduduk pribumi pada masa colonial, daerah
bantaran sungai, sepanjang rel kereta api, daerah di sekitar industry dan pergudangan.
Demikian pula di kawasan-kawasan sekitar pelabuhan, terminal dan stasiun kereta
api, juga merupakan lokasi permukiman kumuh. Di bagian tengah kota dan daerah
pinggiran kota, permukiman kumuh pada umumnya dijumpai di bagian belakangan
perumahan kelas menengah atas yang sejajar dengan jalur jalan ke luar kota (dalam
Koestoer, 2001:49).
Saat ini manusia bermukim bukan sekedar sebagai tempat berteduh, namun lebih
dari itu mencakup rumah, segala fasilitasnya seperti persediaan air minum,
penerangan, transportasi, pendidikan, kesehatan dan lainnya. Pengertian ini sesuai
dengan yang dikemukakan oleh (Sumaatmadja, 1998), sebagai berikut:“Permukiman
adalah bagian permukaan bumi yang dihuni manusia meliputi segala sarana dan
prasarana yang menunjang kehidupannya yang menjadi satu kesatuan dengan tempat
tinggal yang bersangkutan”. Awal dibangunnya tempat tinggal semata-mata untuk
memenuhi kebutuhan fisik, selanjutnya pemilikan tempat tinggal berkemban
fungsinya sebagai kebutuhan psikologis, estetika, menandai status sosial, ekonomi
dan sebagainya.
Pemilihan lokasi permukiman di dasarkan pada berbagai faktor antara lain:
a. Faktor Kemudahan
Faktor yang dimaksud adalah kemudahan dalam menjangkau suatu tempat.
Faktor ini perlu diperhatikan, sebab akan berpengaruh terhadap biaya transportasi
dan lamanya perjalanan bagi penghuni untuk bepergian. Faktor kemudahan pada
suatu permukiman dapat berupa jalan penghubung atau masuk, yaitu jalan yang
menghubungkan jalan masuk dengan jaringan jalan umum menuju pusat kota.
b. Utilitas
Utilitas adalah kelengkapan fasilitas yang terdapat pada perumahan, antara lain
listrik, air minum, saluran pembuangan.
c. Faktor Status Tanah dan Penggunaan Tanah
Tanah mempunyai fungsi sosial ekonomi. Dalam pengaturan hak atas tanah dan
ruang pemanfaatanya harus dapat meningkatkan kesejahteraan rakyat, status
tanah mempunyai peranan penting bagi kelangsungan penghuni karena
memberikan kepastian hukum atas tanah yang menjadi haknya. Daerah
perumahaan sedapat mungkin tidak menggunakan lahan yang produktif dan
menghindari daerah-daerah yang sudah terbangun. Dengan demikian penggunaan
lahan tersebut akan lebih efektif dan saling mendukung dengan kegiatan lainnya.
d. Faktor Kemungkinan Perluasan
Diharapkan daerah perumahan mampu menampung aktivitas-aktivitas yang
sudah sulit sulit dikembangkan di pusat kota, dengan demikian kawasan
permukiman tidak berdiri sendiri dan tidak lepas dari sistem kotanya.
e. Faktor Pusat Pelayanan
Lokasi perumahan yang baik adalah lokasi yang memudahkan atau dapat
menjangkau semua tempat karena tersedia macam-macam pelayanan, baik yang
bersifat sosial maupun bersifat ekonomi.
f. Faktor Efek Samping yang Mungkin Terjadi
Efek samping yang dimaksud adalah efek negatif yang mungkin timbul dengan di
bangunnya permukiman.
Menurut Parwata (2004) permukiman terdiri dari: (1) isi, yaitu manusia sendiri
maupun masyarakat; dan (2) wadah, yaitu fisik hunian yang terdiri dari alam dan
elemen-elemen buatan manusia. Dua elemen permukiman tersebut, selanjutnya dapat
dibagi ke dalam lima elemen yaitu: (1) alam yang meliputi: topografi, geologi, tanah,
air, tumbuh-tumbuhan, hewan, dan iklim; (2) manusia yang meliputi: kebutuhan
biologi (ruang,udara, temperatur, dsb), perasaan dan persepsi, kebutuhan emosional,
dan nilai moral; (3) masyarakat yang meliputi: kepadatan dan komposisi penduduk,
kelompok sosial, kebudayaan, pengembangan ekonomi, pendidikan, hukum dan
administrasi; (4) fisik bangunan yang meliputi: rumah, pelayanan masyarakat
(sekolah, rumah sakit, dsb), fasilitas rekreasi, pusat perbelanjaan dan pemerintahan,
industri, kesehatan, hukum dan administrasi; dan (5) jaringan (net work) yang
meliputi: sistem jaringan air bersih sistem jaringan listrik, sistem transportasi, sistem
komunikasi, sistem manajemen kepemilikan, drainase dan air kotor, dan tata letak
fisik.
Permukiman merupakan bagian dari lingkungan hidup, yakni lingkungan hidup di
luar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun pedesaan yang
berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat
kegiatan yang mendukung perikehidupan dan penghidupan (Romadona, 2011).
Secara luas permukiman dapat diartikan sebagai tempat tinggal atau segala sesuatu
yang berkaitan dengan tempat tinggal. Permukiman adalah lingkungan tempat
tinggal atau hunian yang merupakan bagian dari lingkungan hidup, yakni lingkungan
hidup di luar kawasan lindung. Dengan demikian, kualitas lingkungan permukiman
sangat bergantung pada kondisi komponenkomponen lingkungan hidup yang
menyusunnya Permukiman kota adalah suatu lingkungan di daerah perkotaan yang
terdiri dari perumahan tempat tinggal manusia yang dilengkapi dengan sarana dan
prasarana sosial, ekonomi, budaya, dan pelayanan. Pertumbuhan penduduk yang
tinggi menyebabkan pertumbuhan permukiman yang tinggi pula. Penataan
perumahan dan pemukiman harus memperhatikan aspek pembangunan berkelanjutan.
Di sektor permukiman hal ini diartikan sebagai pembangunan permukiman secara
berkelanjutan sebagai upaya untuk memperbaiki kondisi sosial, ekonomi dan kualitas
lingkungan sebagai tempat hidup. Pembangunan perumahan dan permukiman
sebagai kegiatan yang berkelanjutan memerlukan dukungan sumberdaya pendukung,
baik ruang dan lingkungan, alam, kelembagaan dan finansial, maupun sumberdaya
lainnya secara memadai. Selain hal itu Kesehatan penduduk juga penting dalam
pembangunan berkelanjutan. Kesehatan manusia dan pembangunan berkelanjutan
adalah hubungan yang tidak mungkin terpisahkan. Manusia sebagai pusat perhatian
dari pembangunan berkelanjutan harus dapat hidup secara sehat dan produktif, serta
selaras dengan alam.
2. Elemen Permukiman
Elemen-elemen permukiman, yaitu isi dan wadah, sebenarnya terdiri dari beberapa
unsur, antara lain:
a. Alam
1). Geologi, yaitu kondisi batuan di mana permukiman tersebut berada.
2). Topografi, yaitu kemiringan suatu wilayah yang juga ditentukan oleh letak
dan kondisi geografis suatu wilayah.
3). Tanah, yaitu media untuk meletakkan bangunan (rumah) dan menanam
tanaman yang dapat digunakan untuk menopang kehidupan.
4). Air, sumber kehidupan yang pokok dan vital sepanjang kehidupan masih
berlangsung.
5). Tumbuh-tumbuhan, merupakan elemen yang dapat dijadikan sebagai bahan
makanan guna mempertahankan dan meningkatkan kualitas kehidupan
manusia dan mahkluk hidup lainnya.
6). Hewan, merupakan jenis mahkluk hidup lain yang keberadaannya dapat
mendukung dan menguntungkan kehidupan manusia agar dapat terpenuhi
kebutuhannya.
7). Iklim, merupakan kondisi alam pada suatu wilayah permukiman di mana
antara satu peremukiman yang satu dengan lainnya berbeda,
b. Manusia, merupakan pelaku utama kehidupan.
c. Masyarakat, merupakan kesatuan sekelompok orang (keluarga) dalam suatu
permukiman yang membentuk suatu komunitas tertentu.
1). Kepadatan dan komposisi penduduk
2). Kelompok Sosial
3). Adat dan kebudayaan
4). Pengembangan ekonomi
5). Pendidikan
6). Kesehatan
7). Hukum dan administrasi
d. Bangunan/Rumah, merupakan wadah bagi manusia (keluarga).
1). Rumah pelayanan masyarakat (misalnya sekolah, rumah sakit, dan lainlain)
2). Fasilitas rekreasi
3). Pusat perbelanjaan dan pemerintahan
4). Industri
5). Pusat transportasi
e. Networks, merupakan system buatan maupun alam yang menyediakan fasilitas
untuk operasional suatu wilayah permukiman.
1). Sistem jaringan air bersih
2). Sistem jaringan listrik
3). Sistem transportasi
4). Sistem komunikasi
5). Drainase air kotor
6). Tata letak fisik
3. Kawasan Permukiman
Kawasan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup di luar kawasan
lindung, baik berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan, yang berfungsi sebagai
lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang
mendukung perikehidupan dan penghidupan. Permukiman adalah bagian dari
lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang
mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan
fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan (Undang-Undang No. 1
Tahun 2011 Tentang Perumahan Dan Kawasan Permukiman).
4. Penataan Permukiman
Sadyohutomo (2008:134) menjelaskan bahwa penataan permukiman dapat
dibedakan menjadi dua objek penataan, yaitu penataan permukiman lama dan
penataan permukiman baru.Penataan permukiman lama dilakukan terhadap objek
yang sudah dibangun, sedangkan penataan permukiman baru dilakukan terhadap
objek yang akan dibangun.
1. Penataan permukiman lama, permasalahan utama permukiman lama yang perlu
ditata adalah adanya permukiman kumuh (slums).
2. Penataan Permukiman Baru, yaitu penyediaan rumah baru bagi masyarakat terdiri
dari dua cara, yaitu pembangunan rumah secara individu dan pembangunan
rumah secara massal.
B. Pengembangan
1. Strategi Pengembangan
Strategi Pengembangan merupakan langkah yang sangat perlu dilakukan dalam
upaya memecahkan persoalan-persoalan dan kendala pengembangan. Pada sisi lan
strategi pengembangan dilakukan untuk menggali potensi serta memanfaatkannya
untuk tujuan pembangunan. Dalam strategi pengembangan daerah terdapat aspek
fisik, aspek social, dan aspek ekonomi (dalam Koestoer, 2001:102).
2. Pengembangan Wilayah Berkelanjutan
Ada tiga unsur yang harus ada dalam pengembangan berkelanjutan,yaitu:
a. Perencanaan Tata Ruang, yaitu upaya pemanfaatan sumber daya alam secara
efektif dan efisien.
b. Pemanfaatan Ruang, yaitu setiap kegiatan senantiasa mengacu pada zonazona
pemanfaatan ruang yang telah ditetapkan dalam rencana tata ruang.
c. Pengendalian Pemanfaatan Ruang Wilayah, dilakukan agar pemanfaatan ruang
sesuai dengan rencana yang disusun. (Sari, 2015)
C. Pertambangan
Pertambangan adalah sebagian atau seluruh tahapan kegiatan dalam rangka
penelitian, pengelolaan dan pengusahaan mineral atau batuan yang meliputi
penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi, penambangan,
pengolahan dan pemurnian, pengangkutan dan penjualan, serta kegiatan
pascatambang (Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang
Pertambangan Mineral dan Batubara).
Kegiatan pertambangan dapat diartikan sebagai suatu tahapan kegiatan yang
diawali dengan penyelidikan umum, eksplorasi, studi kelayakan, konstruksi,
penambangan (termasuk bila ada pengolahan dan pemurnian),
pengangkutan/penjualan dan diakhiri dengan rehabilitasi lahan pasca tambang.
Pengelolaan pertambangan adalah suatu upaya yang dilakukan baik secara teknis
maupun non teknis agar kegiatan pertambangan tersebut tidak menimbulkan
permasalahan, baik terhadap kegiatan pertambangan itu sendiri maupun terhadap
lingkungan.
Deposit bahan tambang harus dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan
perekonomian dan pendapatan daerah maupun nasional bagi kemakmuran rakyat.
Namun demikian, deposit bahan tambang yang terdapat pada suatu daerah tidak dapat
begitu saja ditambang, tetapi harus dikaji terlebih dahulu apakah deposit tersebut
layak untuk ditambang. Hal ini bertujuan untuk menghindari timbulnya dampak
negatif terhadap lingkungan yang tidak diharapkan maupun terjadinya konflik
kepentingan penggunaan lahan yang sering berlarut-larut dalam pemecahannya.
Untuk menghindari atau menekan sekecil mungkin dampak negatif terhadap
lingkungan akibat kegiatan penambangan, maka hal-hal yang perlu diperhatikan lebih
lanjut adalah :
1) Lokasi penambangan sedapat mungkin tidak terletak pada daerah resapan atau
pada akuifer sehingga tidak akan mengganggu kelestarian air tanah di daerah
sekitarnya.
2) Lokasi penambangan sebaiknya terletak agak jauh dari pemukiman penduduk
sehingga suara bising ataupun debu yang timbul akibat kegiatan penambangan
tidak akan mengganggu penduduk.
3) Lokasi penambangan tidak berdekatan dengan mata air penting sehingga tidak
akan mengganggu kualitas maupun kuantitas air dari mata air tersebut, juga untuk
menghindari hilangnya mata air.
4) Lokasi penambangan sedapat mungkin tidak terletak pada daerah aliran sungai
bagian hulu (terutama tambang batuan) untuk menghindari terjadinya pelumpuran
sungai yang dampaknya bisa sampai ke daerah hilir yang akhirnya dapat
menyebabkan banjir akibat pendangkalan sungai. Hal ini harus lebih diperhatikan
terutama di kota-kota besar dimana banyak sungai yang mengalir dan bermuara di
wilayah kota besar tersebut.
5) Lokasi penambangan tidak terletak di kawasan lindung (cagar alam, taman
nasional, dsb.).
6) Lokasi penambangan hendaknya dekat dengan konsumen untuk menghindari
biaya transportasi yang tinggi sehingga harga jual material tidak menjadi mahal.
7) Lokasi penambangan tidak terletak dekat dengan bangunan infrastruktur penting,
misalnya jembatan dan menara listrik tegangan tinggi. Juga sedapat mungkin
letaknya tidak dekat dengan gedung sekolah sehingga tidak akan mengganggu
proses belajar dan mengajar.
Gambaran nilai dari sebuah cohousing adalah rumah tinggal individu didesain
untuk diisi sendiri, namun demikian selain setiap rumah memiliki dapur, kamar
mandi dan area kehidupan sendiri tetapi juga memiliki fasilitas umum luas dan
khusus untuk makan malam boleh memilih pada rumah umum (Mc Camant and
Durret 2001). Cohousing adalah sebuah bentuk perumahan atas dasar kerjasama atau
semi kolektif. Mereka khas terdiri dari 20 -30 kelompok rumah kota.
Ecovillage pada dasarnya merupakan sebuah usaha modern untuk dapat hidup
dalam suatu keharmonisan dengan alam dan dan dengan lainnya (Gibellini, Juni
2001). Ecovillage adalah gambaran dari permukiman manusia seutuhnya yang mana
tidak membahayakan segala aktivitas manusia yang terintegrasi ke dalam dunia
alami, yang didukung oleh pengembangan kesehatan manusia dan dapat terus
berlanjut sampai masa depan yang tak terbatas (Mc Camant dan Durret 2001).
Terdapat lima prinsip utama dari konsep perumahan dan permukiman yang
berwawasan lingkungan yang harus dikembangkan sesuai dengan kondisi awal yang
ada, yaitu: (1) mempertahankan dan memperkaya ekosistem yang ada; (2)
penggunaan energi yang minimal; (3) pengendalian limbah dan pencemaran; (4)
menjaga kelanjutan sistem sosial budaya lokal; dan (5) peningkatan pemahaman
konsep lingkungan (Kantor Kementerian Lingkungan Hidup 2004). Menurut Silas
(2001), rumah yang berkelanjutan harus memenuhi lima syarat dasar yang dapat
dinikmati oleh penghuni saat ini dan yang akan datang, yaitu:
1) Mendukung peningkatan mutu produktivitas kehidupan penghuni baik secara
social, ekonomi, dan politik. Artinya setiap anggota penghuni terinpirasi untuk
melakukan tugasnya lebih baik;
2) Tidak menimbulkan gangguan lingkungan dalam bentuk apapun sejak
pembangunan, pemanfaatan dan kelak bila harus dimusnahkan. Ukuran yang
dapat digunakan terhadap gangguan yang terjadi terhadap lingkungan adalah
efektivitas konsumsi energi;
3) Mendukung peningkatan mobilitas kesejahteran penghuninya secara fisik dan
spiritual. Berarti penghuni mengalami terus peningkatan mutu kehidupan fisik dan
spiritual;
4) Menjaga keseimbangan antara perkembangan fisik rumah dengan mobilitas social
ekonomi penghuninya. Pada awalnya keadaan fisik rumah lebih tinggi dari
keadaan non fisik, namun ini berbalik setelah penghuni mapan di rumah tersebut;
dan
5) Membuka peran penghuni atau pemilik yang besar dalam pengambilan keputusan
terhadap proses pengembangan rumah dan rukun warga tempat ia berinteraksi
dengan tetangga.
Adapun definisi ketiga dan keempat yang diajukan oleh DEAT dan CSIR
(2000) serta Brown dan Therievel (2000) menunjukkan peran KLHS dalam
memfasilitasi lahirnya KRP yang berorientasi berkelanjutan (sustainability). Di
dalam definisi ini terkandung pengertian bahwa prinsip-prinsip dan tujuan
keberlanjutan dapat diintegrasikan dalam pengambilan keputusan sejak dini.
Melalui pendekatan ini dapat difasilitasi terbentuknya kerangka-kerja
(framework) untuk berkelanjutan yang dapat digunakan sebagai pemandu untuk
rencana dan program dan/atau untuk menelaah rencana atau program yang tengah
berjalan. Pendekatan ini boleh dikatakan merefleksikan apa yang disebut oleh
Therivel et al (1992) sebagai “sustainability-led” SEA atau KLHS yang dipandu
oleh keberlanjutan.
Dalam definisi di atas terkandung tiga proses penting yang perlu ditempuh
dalam KLHS di Indonesia: i) evaluasi pengaruh kebijakan, rencana dan program
terhadap lingkungan hidup; ii) integrasi prinsip-prinsip keberlanjutan dalam
kebijakan, rencana dan program; dan iii) proses-proses kelembagaan yang harus
ditempuh untuk menjamin prinsip-prinsip keberlanjutan telah diintegrasikan
dalam kebijakan, rencana dan program.
Ada dua faktor utama yang menyebabkan kehadiran KLHS dibutuhkan saat
ini di berbagai belahan dunia: pertama, KLHS mengatasi kelemahan dan
keterbatasan AMDAL, dan kedua, KLHS merupakan instrumen yang lebih
efektif untuk mendorong pembangunan berkelanjutan (Briffetta et al 2003).
Adapun manfaat yang dapat dipetik dari KLHS adalah (OECD 2006; Fischer
1999; UNEP 2002):
3. Pendekatan KLHS
Dalam dua dekade tahun terakhir KLHS telah menempuh tiga tahap evolusi,
yakni pertama, tahap formasi (1970-1988); kedua, tahap formalisasi (19892000);
dan, ketiga, tahap pengembangan (2001-sekarang). Setelah berevolusi hampir
empat dekade kini dijumpai empat kategori atau model kelembagaan KLHS.
Empat kategori atau model kelembagaan KLHS ini muncul sebagai refleksi atas
adanya perbedaan dalam menyikapi peraturan perundangan (UNEP 2002; Saddler
2005).
a. KLHS dengan Kerangka Dasar Analisis Mengenai Dampak Lingkungan
Hidup/AMDAL (EIA-Mainframe)
KLHS dilaksanakan menyerupai AMDAL, baik dari segi langkah-langkah
prosedur bekerjanya, maupun metodologi berpikirnya, yaitu mendasarkan
telaah pada efek dan dampak yang ditimbulkan RTRW atau KRP tata
ruang terhadap lingkungan hidup.
b. KLHS sebagai Kajian Penilaian Keberlanjutan Lingkungan Hidup
(Environmental Appraisal)
KLHS yang memiliki pendekatan ini menempatkan posisinya sebagai uji
kebijakan untuk menjamin keberlanjutan lingkungan hidup, sehingga bisa
diterapkan sebagai sebuah telaah khusus yang berpijak dari sudut pandang
aspek lingkungan hidup.
c. KLHS sebagai Kajian Terpadu/Penilaian Keberlanjutan (Integrated
Assessment/ Sustainability Appraisal)
Pendekatan ini menempatkan posisinya sebagai bagian dari uji kebijakan
untuk menjamin keberlanjutan secara holistik, sehingga sudut pandangnya
merupakan paduan kepentingan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan hidup.
d. KLHS sebagai pendekatan Pengelolaan Berkelanjutan Sumberdaya Alam
(Sustainable Natural Resource Management) atau Pengelolaan Berkelanjutan
Sumberdaya (Sustainable Resource Management)
KLHS diaplikasikan dalam kerangka pembangunan berkelanjutan, dan a)
dilaksanakan sebagai bagian yang tidak terlepas dari hirarki sistem
perencanaan penggunaan lahan dan sumberdaya alam, atau b) sebagai bagian
dari strategi spesifik pengelolaan sumberdaya alam. Model a)m enekankan
pertimbanganpertimbangan kondisi sumberdaya alam sebagai dasar dari
substansi RTRW atau KRP tata ruang, sementara model b) menekankan
penegasan fungsi RTRW atau KRP tata ruang sebagai acuan aturan
pemanfaatan dan perlindungan cadangan sumberdaya alam.
Gambar 2.1. Kontinum Kajian KLHS – dari independen ke integrasi (OECD 2006)
Perencanaan tata ruang (RTRW) merupakan salah satu produk KRP yang secara
eksplisit wajib dilakukan KLHS seperti dinyatakan dalam Pasal 15 UU Perlindungan
dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PPLH) No.32/2009. Perencanaan tata ruang
dalam penyusunan struktur dan pola ruang seringkali menjadi sumber persoalan
lingkungan hidup. Oleh karena itu, diperlukan pengkajian tentang persoalan dan
analisis dari sisi tata ruang untuk internalisasi konsep KLHS. Aspek infrastruktur
merupakan kunci dari penyusunan struktur dan pola pemanfaatan ruang ditingkat
nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota.
G. Kerangka Pikir
TUJUAN TUJUAN
Mengetahui perkembangan kawasan permukiman Mendeskripsikan pengembangan kawasan
di Desa Lonjoboko Kecamatan Parangloe permukiman di Desa Lonjoboko Kecamatan
Kabupaten Gowa pada tahun 2009-2019 Parangloe Kabupaten Gowa dengan pendekatan
KLHS
FEED BACK
VARIABEL VARIABEL
- Isu Strategis Kawasan Permukiman
- Permukiman Tahun 2009 - Pertambangan
- Permukiman Tahun 2019 - KLHS
TINJAUAN TEORI
METODE ANALISIS METODE ANALISIS
KESIMPULAN
Gambar 2.2 Kerangka Pikir Penelitian
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini di lakukan di Desa Lonjoboko, Kecamatan Parangloe, Kabupaten Gowa
dengan luas wilayah 1.885,18 Ha yang terdiri dari 4 dusun. Penetapan lokasi
penelitian di dasarkan karena terdapat aktifitas pertambangan yang terletak di Desa
Lonjoboko telah menimbulkan dampak terhadap permukiman sekitar sehingga
penulis ingin mengembangkan permukiman berdasarkan pendekatan Kajian
Lingkungan Hidup Strategis.
2. Waktu Penelitian
Waktu penelitian yang diperlukan bagi peneliti dalam menyusun karya tulis ilmiah
yang meliputi kegiatan-kegiatan yang diperlukan dalam penelitian. Kegiatan tersebut
seperti mencari data baik data primer maupun sekunder, serta observasi lapangan,
maka waktu penelitian dilakukan dalam kurun waktu bulan Maret hingga Juli 2020.
B. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif, menurut Moh. Nazir (1983:63),
metode deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok, manusia, suatu
obyek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa
sekarang. Tujuan penelitian deskriptif adalah untuk membuat deskripsi,
gambarangambaran atau lukisan-lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai
fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Berdasarkan
pengertian metode penelitian deskriptif tersebut penelitian ini bertujuan untuk
mendeskripsikan perkembangan pemukiman di Desa Lonjoboko Kecamatan Parangloe
Kabupaten Gowa sesuai dengan Kajian Lingkungan Hidup Strategis.
Analisis yang dilakukan berupa analisis overlay. Menurut Pambundu Tika
(2005:49), untuk penelitian geografi fisik, peta dan foto udara diperlukan untuk
pengamatan dan pengecekan objek-objek tertentu di lapangan. Perkembangan daerah
pemukiman di desa Lonjoboko Kecamatan Parangloe Kabupaten Gowa 2009-2019
dianalisis dari peta yang merupakan hasil perekaman citra satelit Landsat yang telah
diolah menggunakan software Arcgis 10.3 sehingga diperoleh peta pemukiman tahun
2009 dan tahun 2019 kemudian dilakukan overlay pada kedua peta tersebut untuk
mengetahui perkembangan luas daerah pemukiman yang terjadi di desa Lonjoboko
Kecamatan Parangloe Kabupaten Gowa dan untuk mengetahui pola pemukiman serta
arah perkembangan pemukiman di wilayah penelitian tersebut. (Indaryono1, 2015)
2. Sumber Data
Dalam Penelitian ini, data yang dibutuhkan adalah meliputi data primer dan data
sekunder
a. Data Primer
Data primer adalah data yang diperoleh dari pengamatan di lapangan atau di
kawasan penelitian seperti kondisi eksisting, seperti kondisi lingkungan, tingkat
pendapatan masyarakat melalui kuisioner dan lain sebagainya.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah sumber data penelitian yang diperoleh melalui media
perantara atau secara tidak langsung yang berupa buku, catatan, bukti yang telah
ada, atau arsip baik yang dipublikasikan maupun yang tidak dipublikasikan secara
umum. Dengan kata lain, peneliti mengumpulkan data dengan cara berkunjung ke
perpustakaan, pusat arsip, pusat kajian atau membaca banyak buku yang
berhubungan dengan penelitiannya. Seperti data dari Badan Pusat Statistik (BPS)
Kabupaten Gowa, Kantor Kecamatan Parangloe, data Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten Gowa dan instansi terkait lainnya.
Keterangan:
n =Jumlah sampel yang di ambil
N =Jumlah penduduk daerah tersebut
d =Derajat kebebasan (Presisi), presisi yang digunakan ditetapkan 10%
Maka, sampel yang diambil untuk penelitian ini adalah sebanyak 97 sampel
kemudian disebar di desa Lonjoboko. Seseorang yang diambil sebagai sampel karena
peneliti menganggap bahwa seseorang tersebut memiliki informasi yang diperlukan
bagi penelitiannya.
F. Variabel Penelitian
Variabel yang dipakai dalam proses identifikasi, ditentukan berdasarkan kajian teori yang
dipakai. Semakin sederhana suatu rancangan penelitian semakin sedikit variabel yang
digunakan. Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini dapat dilihat pada tabel
3.1 berikut:
Tabel 3.1 Variabel Penelitian
Variabel Teknik
No Tujuan Indikator
Penelitian Analisis
1 Permukiman - Permukiman Tahun Analisis
Mengetahui perkembangan
2009 Superimpose
kawasan permukiman di Desa
- Permukiman Tahun (Overlay)
Lonjoboko Kecamatan
2019
Parangloe Kabupaten Gowa
pada tahun 2009-2019
Peta Permukiman
tahun 2009
Adapun variable yang digunakan dalam analisis ini adalah kodisi Permukiman
desa Lonjoboko tahun 2009 dan kondisi permukiman desa Lonjoboko tahun 2019
dengan interval waktu 10 tahun yang diperoleh dari hasil delineasi data citra satelit sas
planet dan survey lapangan. Kedua data deliniasi trsebut kemudian di-overlay pada
aplikasi Arcgis untuk mendeteksi perubahan permukiman.
H. Defenisi Operasional
1. Permukiman adalah lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat
kegiatan yang mendukung perikehidupan di desa Lonjoboko Kabupaten Gowa
2. Penggunaan Lahan adalah sebuah pemanfaatan lahan sesuai dengan kondisi exsisting
alam
3. Desa merupakan kawasan yang mempunyai kegiatan utama pertanian termasuk
pengelolaan sumber daya alam dengan susunan fungsi kawasan sebagai tempat
permukiman perdesaan, pelayanan jasa pemerintahan, pelayanan sosial dan kegiatan
ekonomi
4. Masyarakat yang di maksudkan dalam penelitian ini ialah semua penduduk yang
berada di Desa Lonjoboko Kecamatan Parangloe Kabupaten Gowa
5. Pemetaan adalah Proses pengukuran, perhitungan dan penggambaran permukaan
bumi dengan menggunakan cara dan atau metode tertentu hingga di dapatkan hasil
berupa softcopy maupun hardcopy peta dan berbentuk vektor maupun raster
6. Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan
makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi
kelangsungan perikehidupan dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain.
DAFTAR PUSTAKA
Anonymous. Kajian Lingkungan Hidup Strategis. (KLHS) dalam Perencanaan Tata Ruang.
Asdak, C. (2012). Kajian Lingkungan Hidup Strategis: Jalan Menuju Pembangunan
Berkelanjutan. Yogyakarta: Gajah Mada University.
Gibellini, L. (Juni 2001). The Challenge of Sustainability DZHB44 Subdivision For People &
Environmet : Subdivision Based on the Concepts of Ecovillage & Cohousing. Rotorua. .
Indaryono, I. G. (2015). Analisis Perkembangan Daerah Pemukiman Di Kecamatan Balik Bukit
Tahun 2005-2014.
K.Yin, R. (2011). Case Study Research: Design and Methods. California: Sage Publications.
L., A. R. (2011). Membangun Kembali Kota Secara Berkelanjutan:Mempersiapkan Masa Depan
Dengan Lebih Baik. Yogyakarta.
Nazir, M. (1983). Metode Penelitian. Ghalia Indonesia.
Romadona, A. (2011). Membangun Kembali Kota Secara Berkelanjutan:Mempersiapkan Masa
Depan Dengan Lebih Baik. Yogyakarta.
Sari, R. P. (2015). Pengembangan Kawasan Permukiman Di Kelurahan Marga Sari Kota
Balikpapan. ejournal.an.fisip-unmul.ac.id .
Wahyu Hidayat 1, E. R. (Agustus 2015). Dampak Pertambangan Terhadap Perubahan
Penggunaan Lahan dan Kesesuaian Peruntukan Ruang (Studi Kasus Kabupaten Luwu
Timur, Provinsi Sulawesi Selatan) . Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota .
Makmur (2017). Pengaruh Pertambangan Batuan Terhadap Perubahan Penggunaan Lahan di
Desa Lonjoboko Kecamatan Parangloe Kabupaten Gowa. Jurusan Teknik Perencanaan
Wilayah dan Kota Fakultas Sains dan Teknologi Universitas Islam Negeri Alauddin
Makassar
Departemen Agama RI (2010). Al-Quran dan Terjemahnya. Bandung. CV Penerbit Diponegoro.
Badan Pusat Statistika (2019) Kecamatan Parangloe dalam angka 2019
Undang-Undang RI No. 4 Tahun 1992 tentang Perumahan dan Pemukiman. Jakarta :
Departemen Kesehatan R.I.
Edi, E. 2007. Kajian Model Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Terpadu. Jakarta:
Direktorat Kehutanan dan Konservasi Sumberdaya Air.
Undang-Undang No.32 Tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. 2009
M.Farizki, W. A. (2017). Pemetaan Kualitas Permukiman dengan Menggunakan Penginderaan
Jauh dan SIG di Kecamatan Batam Kota, Batam. Majalah Geografi Indonesia, Program
Studi Teknik Geomatika, Politeknik Negeri Batam, Batam Kepulauan Riau1.
Yunianto. (2011). Analisis Kerawanan Tanah Longsor dengan Aplikasi Sistem Informasi
Geografis (SIG) dan Penginderaan Jauh Kabupaten Bogor. Bogor.