Anda di halaman 1dari 90

1

I. PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara maritim dengan luas wilayah yang cukup

besar. Indonesia memiliki luas perairan sebesar 5,8 juta km2 dan garis pantai

terpanjang kedua di dunia setelah Kanada yaitu sepanjang 5.181 km atau 14% dari

panjang seluruh pesisir dunia. Wilayah perairan Indonesia yang merupakan 70%

dari wilayah nusantara dengan 13.667 pulau memiliki potensi sumber daya

perikanan yang cukup besar baik dari segi kuantitas maupun kualitas (Sudirman

dan Yusri, 2008).

Rumput laut sebagai salah satu komoditas ekspor merupakan sumber

ekonomi bagi negara dan budidayanya merupakan sumber pendapatan nelayan,

dapat menyerap tenaga kerja, serta mampu memanfaatkan lahan perairan pantai di

kepulauan Indonesia yang sangat potensial. Sebagai negara kepulauan, maka

pengembangan rumput laut di Indonesia dapat dilakukan secara luas oleh para

petani/nelayan. Rumput laut dianggap sebagai komoditas penting yang

memberikan kontribusi untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.

Alasannya ada empat: 1) memberikan kontribusi untuk meningkatkan investasi.

Rumput laut merupakan komoditas tidak hanya menjadi makanan segar yang bisa

langsung dikonsumsi, tetapi juga banyak digunakan oleh berbagai industri sebagai

bahan baku untuk mendapatkan produk-produk tertentu; 2) memberikan

kontribusi terhadap penciptaan lapangan kerja. Rumput laut sebagai produk

akuakultur dalam sektor perikanan merupakan sumber utama penghasilan dan


2

penghidupan bagi jutaan orang di negeri ini; 3) memberikan kontribusi sumber

pendapatan. Komoditas rumput laut memiliki pangsa yang signifikan tidak hanya

dalam produk akuakultur dan produk domestik bruto dari sektor perikanan tetapi

juga sahamnya kontribusi untuk budidaya komoditas ekspor dan meningkatkan

ekspor nasional; dan 4) budidaya rumput laut merupakan bentuk akuakultur yang

memiliki karakteristik unik. Selain itu, siklus pertumbuhan pendek, biasanya

berlangsung kurang dari dua bulan, sehingga dapat dipanen dari enam sampai

delapan kali dalam setahun (Iswahyudi, 2015).

Menurut Kartono et al. (2008), pertumbuhan biomassa rumput laut

dipengaruhi antara lain oleh faktor iklim dan lingkungan perairan, diantaranya

intensitas cahaya, suhu, salinitas, dan gerak air. Pengaruh faktor iklim terhadap

lingkungan perairan sangat erat kaitannya. Oleh karena itu, data iklim

(klimatologi) perlu diperhatikan sejalan dengan kondisi lingkungan perairan di

lokasi penelitian. Keperluan akan pentingnya data iklim (klimatologi dan

meteorologi) juga telah dibahas secara komprehensif oleh Kapetsky (2000)

terutama untuk aplikasinya bagi pengembangan budidaya ikan air tawar.

Kemampuan petani untuk beradaptasi dalam mengatasi dampak perubahan

iklim menjadi semakin penting untuk mengurangi kerugian yang dapat

diakibatkan olehnya. Adaptasi perubahan iklim dapat diartikan sebagai  bentuk

response penyesuaian yang dilakukan untuk mengatasi dampak perubahan iklim

(UNISDR, 2012). Dalam sektor pertanian hal ini antara lain bisa dilakukan

dengan cara pemanfaatan informasi mengenai suhu dan curah hujan dalam

menentukan waktu tanam dan menentukan jenis tanaman yang sesuai,


3

mempergunakan bibit yang toleran (misalnya terhadap kadar garam tinggi, tingkat

ketersediaan air), menggunakan cara pengolahan lahan yang lebih baik, dll. 

Adopsi praktek pertanian ini lebih lanjut dipengaruhi oleh faktor ekternal seperti

kemampuan petani memperoleh akses modal, akses terhadap informasi dan

pelatihan, termasuk persepsi petani mengenai perubahan iklim (Charles and

Rashid, 2008).

Perubahan iklim adalah perubahan jangka panjang dalam distribusi pola

cuaca secara statistik sepanjang periode waktu mulai dasawarsa hingga jutaan

tahun. Efeknya yang paling nyata adalah suhu, curah hujan, hama serangga dan

pathogen, kualitas tanah dan air gulma (IPCC Panel Antar Pemerintah Tetang

Perubahan Iklim, 2014). Kemudian dari efek perubahan iklim tersebut, terjadinya

suatu penurunan pada hasil pertanian (Fosu-Mensah et al., 2012). Selain itu juga,

dapat terjadi penurunan perekonomian dunia yang dapat merugikan petani

terhadap perubahan iklim yang terjadi (Adams. M 1998). Di Negara Afrika sub-

Sahara sangat rentan terhadap perubahan iklim, sehingga pihak pemerintahnya

melakukan beberapa metode yang digunakan untuk menanggulangi dampak dari

perubahan iklim yang terjadi (Blaikie et al., 1994).

Di Kenya, pemerintahannya melakukan sebuah sosialisasi penting tentang

dampak perubahan iklim terhadap hasil produksi pertanian (FAOSTAT, 2010).

Selain itu juga menjelaskan tentang adaptasi yang mengacu pada pengurangan

dampak negatif dari perubahan iklim dengan memodifikasi sistem untuk

memperhitungkan kondisi iklim yang baru atau yang diantisipasi (UNEP, 2009).

Hal ini, setidaknya membantu masyarakat petani dalam pengambilan keputusan


4

dan penilaian resiko serta adaptasi terkait perubahan iklim bila suatu hari akan

terjadi secara tiba-tiba (McSweeny et al., 2010). Kemudian disisi lain, dapat

membuat masyarakat petani saling menyamakan persepsi masing-masing tentang

bagaimana menghadapi dampak dari perubahan iklim secara besama-sama

(Blaikie et al., 1994). Namun, dengan adanya kerjasama antara pemerintah dan

masyarakat petani sedikit demi sedikit telah membantu kebutuhan produktivitas

hasil petani secara lebih baik (IPCC, 2001). Dengan cara memberikan pemahaman

yang lebih baik tentang persepsi petani tentang perubahan iklim, langkah-langkah

mengatasi dan adaptasi yang sedang berlangsung, dan proses pengambilan

keputusan penting untuk menginformasikan kebijakan yang bertujuan

mempromosikan keberhasilan adaptasi sektor pertanian yang akan membutuhkan

keterlibatan berbagai pemangku kepentingan, termasuk pembuat kebijakan, agen

penyuluhan, LSM, peneliti, masyarakat dan petani (UNEP, 2009).

Daerah Sulawesi Tenggara terdiri dari wilayah daratan dan kepulauan yang

cukup luas yaitu seluas 38.140 km², mengandung berbagai hasil tambang yaitu

aspal dan nikel, maupun sejumlah bahan galian lainya. Demikian pula potensi

lahan pertanian cukup potensial untuk dikembangkan. Selain itu terdapat pula

berbagai hasil hutan berupa rotan, damar serta berbagai hasil hutan lainya.

Kabupaten Wakatobi adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi

Tenggara, Indonesia. Ibu kota kabupaten ini terletak di Wangi-Wangi, dibentuk

berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 29 Tahun 2003, tanggal

18 Desember 2003. Luas wilayahnya adalah 823 km² dan pada tahun 2011
5

berpenduduk 94.846 jiwa. Wakatobi juga terdiri dari empat pulau yaitu Wangi-

Wangi, Kaledupa, Tomia Dan Binongko.

Menurut data pada tahun 2018, desa di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan

merupakan wilayah kepulauan yang memiliki keaneka ragaman hayati laut yang

melimpah, salah satunya adalah rumput laut. Budidaya rumput laut dikepulauan

Wangi-wangi telah berjalan dan dikembangkan di beberapa desa seperti pada

Tabel 1.1. berikut:

Tabel 1.1. Produksi Rumput Laut Di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Tahun


2018
Luas Areal Budidaya Jumlah Petani
No. Daerah
Produksi (Km)² (orang)
- -
1 Kapota
2 Kabita - -
3 Liya Mawi 1,50 45

4 Liya Togo 1,42 20

5 Matahora - -

6 Wungka - -

7 Numana - -

8 Mola Selatan - -

9 Mola Utara - -

10 Mandati I - -

11 Komala - -

12 Mandati II - -

13 Kapota Utara - -

14 Kabita Togo - -

15 Mandati III - -

16 Liya One Melangka 1,90 70


6

17 Wisata Kolo - -

18 Mola Samaturu - -

19 Mola Bahari - -

20 Mola Nelayan Bakti - -

21 Liya Bahari Indah 1,84 50


Sumber: Data BPS kecamatan wangi-wangi selatan 2018

Berdasarkan Tabel 1.1. diketahui bahwa Kecamatan Wangi-Wangi Selatan

memiliki kurang lebih empat desa penghasil rumput laut. Keempat desa ini

merupakan desa dengan jumlah petani rumput laut yang terbanyak dan memiliki

luas areal budidaya rumput laut yang lebih luas dibandingkan dengan desa lainnya

di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan. Dalam hal ini, budidaya rumput laut

dilakukan dengan peralatan yang sederhana dan masih dalam skala kecil, namun

cukup berkembang. Soenardjo (2011), menyatakan bahwa budidaya rumput laut

ini mempunyai persyaratan lingkungan tertentu antara lain perairan yang tenang.

Namun penelitian ini dilakukan hanya ditiga desa saja yaitu Desa Liya

Mawi, Liya Togo dan Liya Bahari indah, Kecamatan Wangi-Wangi Selatan,

Kabupaten Wakatobi. Dengan alasan bahwa peneliti belum mengetahui adanya

sumber produksi rumput laut di Desa Liya One Melangka. Kemudian tiga desa ini

telah menjadi sumber pendapatan utama bagi sebagian besar masyarakat yang

berada di tiga desa tersebut. Budidaya rumput laut dilakukan dengan peralatan

yang sederhana dan masih dalam skala kecil, namun cukup berkembang.

Persepsi petani tentang budidaya rumput laut yang selama ini dijalankan

terutama di wilayah Liya, serta persepsi tentang dampak cuaca atau iklim didesa

tersebut. Namun, ada persepsi dari beberapa pembudidaya mengalami


7

pengembangan yang cukup pesat yang dulunya masih dalam skala usaha kecil.

Berdasarkan hasil survei awal, diperoleh fakta lapangan bahwa yang mendorong

perkembangan usaha yang dijalankan oleh salah satu pembudidaya rumput laut

memiliki jaringan diperkotaan sehingga memudahkannya dalam distribusi hasil

panen yang diperolehnya. meski disamping itu, hasil rumput laut yang diperoleh

baik atau buruknya tergantung pada pengaruh iklim atau cuaca yang ada. Untuk

itu, perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui tentang bagaimana persepsi

petani rumput laut terhadap perubahan iklim di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan

Kabupaten Wakatobi.

1.2. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian

ini adalah:

1. Bagaimana persepsi petani terhadap dampak perubahan iklim pada budidaya

rumput laut?

2. Bagaimana strategi adaptasi petani untuk mengatasi dampak perubahan iklim

terhadap budidaya rumput laut?

3. Hambatan-hambatan apa yang dihadapi petani dalam menerapkan strategi

adaptasi terhadap dampak perubahan iklim pada budidaya rumput laut?

1.3. Tujuan dan Kegunaan

Tujuan Penelitian adalah sebagai berikut:

1. Mengetahui persepsi petani terhadap dampak perubahan iklim pada budidaya

rumput laut.
8

2. Mengetahui strategi adaptasi petani untuk mengatasi dampak perubahan iklim

terhadap budidaya rumput laut?

3. Mengidentifikasi hambatan-hambatan apa yang dihadapi petani dalam

menerapkan strategi adaptasi terhadap dampak perubahan iklim pada budidaya

rumput laut.

Kegunaan penelitian yaitu hasil dari penelitian ini diharapkan dapat

berguna;

1. Bagi petani rumput laut, penelitian ini diharapkan dapat memberikan

sumbangan informasi mengenai persepsi petani terhadap perubahan iklim dan

pengaruh produksinya.

2. Sebagai bahan pertimbangan bagi pemerintah atau organisasi social yang

membina dan mengembangkan budidaya rumput laut di liya Kecamatan

Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi.

3. Bagi peneliti dapat di jadikan sebagai tambahan ilmu pengetahuan dan

pengalaman serta sebagai bahan pertimbangan bagi peneliti selanjutnya yang

relevan dengan hasil penelitian ini.


9

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Deskrpsi Teori


2.1.1. Rumput Laut

Indonesia memiliki garis pantai kurang lebih 99.000 km dan termasuk

dalam 10 negara dengan garis pantai terpanjang di dunia. Negara dengan garis

pantai terpanjang memiliki kekayaan jenis jenis sumber daya alam kelautan yang

melimpah. Ini dapat dilihat dari julukan negara megabiodiversitas yang ditujukan

pada Indonesia. Bukan hanya karena keanekaragaman hayati di Indonesia yang

melimpah, biota laut yang dimiliki juga termasuk yang paling kaya jenisnya.

Salah satunya adalah rumput laut. Selama priode tahun (1985-1989) volume

ekspor rumput laut kering di indonesia mengalami kenaikan. Negara pengekspor

lainnya akan berusaha meningkatkan volume produksi untuk di ekspor, yang

bukan saja hanya rumput l;aut kering tetapi juga sampai bentuk siap pakai.

Rumput laut (seaweed) merupakan komoditi yang paling banyak dicari dan

dimanfaatkan oleh manusia. Dalam klasifikasi makhluk hidup, rumput laut

termasuk dalam kelompok algae (ganggang). Rumput laut adalah sebutan umum

untuk kelompok organisme makroskopik dan multiselular berupa algae yang


10

hidup di habitat air laut. Anatomi tubuhnya berbeda dengan tumbuhan tingkat

tinggi karena tidak memiliki akar, batang, dan daun sejati. Sebaliknya, rumput

laut memiliki thallus yang menggantikan fungsi akar pada tumbuhan. Thallus

menyerap zat nutrisi untuk kebutuhan fotosintesis. Proses fotosintesis pada

tumbuhan rumput laut terjadi karena memiliki pigmen warna seperti klorofil.

Algae terdiri dari empat kelas, yaitu Rhodophyceae (ganggang merah),

Phaeophyceae (ganggang coklat), Chlorophyceae (ganggang hijau), dan

Cyanophyceae (ganggang hijau biru). Bila dilihat dari ukurannya, ganggan terdiri

dari kroskopik dan makroskopik (Harry, 1988).

Rumput laut juga adalah tanaman tingkat rendah yang tidak mempunyai

batang, daun dan akar sejati. Tubuhnya menyerupai batang yang disebut dengan

thallus dan hidupnya menempel pada substrat, misalnya karang, lumpur, pasir,

batu, dan benda keras lainnya (Anggadierdja et al., 2006). Bentuk thallus pada

rumput laut bermacam-macam antara lain ada yang berbentuk pipih, tabung,

gepeng, bulat dan sebagainya. Pigmen yang terdapat pada thallus juga bermacam-

macam sehingga dapat digunakan dalam membedakan berbagai kelas rumput laut,

yaitu Chloropyceae, Phaeophyceae, Rhodophyceae, dan Cyanophyceae. Pigmen

yang menentukan warna ini adalah klorofil, karoten, phycoerythin dan

phycocyanin merupakan pigmen-pigmen utama disamping pigmen-pigmen

lainnya (Aslan, 1998).

Menurut Akmal (2008), peningkatan produktivitas dan kualitas rumput laut

dan optimalisasi pemanfaatan laut Indonesia dapat menjadi cara yang efektif

untuk mengembangkan budidaya rumput laut. Rumput laut menjadi komoditas


11

laut yang potensial untuk dikembangkan dalam beberapa hari terakhir. Oleh

karena itu, penelitian ini dilakukan dengan pertimbangan potensi dan kelayakan

kawasan untuk menumbuhkan kesejahteraan masyarakat setempat. Parameter

target area budidaya rumput laut adalah sebagai berikut: Laju Aliran, Gelombang,

Nitrat, Fosfat, Transparansi, Tides, Suhu, pH (Keasaman), DO (Oksigen Terlarut),

Kedalaman.

Rumput laut sudah banyak dibudidayakan dengan tujuan untuk memenuhi

permintaan pasar yang terus meningkat. Eucheuma cottonii merupakan salah satu

jenis algae merah yang menghasilkan karagenan yang banyak dimanfaatkan dalam

bidang industri kimia. di Indonesia budidaya rumput laut umumnya menggunakan

genus Eucheuma dan biasanya metode budidaya yang digunakan adalah metode

dasar dan lepas dasar atau metode terapung (Aslan, 1991). Usaha budidaya

dilakukan secara intensif akan memberikan hasil yang baik, yaitu meningkatnya

produksi dan ekspor rumput laut.

Petani merupakan pemangku kepentingan utama dalam debat tentang

perubahan iklim. Namun demikian, pengetahuan petani mengenai perubahan

iklim masih sangat terbatas. Agar pengambilan keputusan berkaitan dengan

perubahan iklim dapat dibuat berdasarkan informasi yang lengkap, petani

membutuhkan informasi tentang: (a) konsekuensi yang mungkin terjadi akibat

perubahan iklim, (b) persepsi masyarakat tani tentang konsekuensi tersebut, (c)

opsi adaptasi perubahan iklim yang tersedia, dan (d) manfaat memperlambat

akselerasi perubahan iklim (Stringer, 2010). Kepedulian dan persepsi tentang

suatu masalah, misalnya perubahan iklim, akan membentuk aksi atau inaksi
12

terhadap masalah tersebut (Nzeadibe dan Ajaero, 2010). Dengan demikian, pem-

ahaman terhadap persepsi petani tentang dampak perubahan iklim sangat penting

karena persepsi tersebut pada dasarnya membentuk kesiapan petani untuk

melakukan adaptasi dan penyesuaian teknik budidaya.

Menurut Lama dan Devkota (2009), perubahan iklim berdampak pada suhu

yang semakin panas sehingga menyebabkan musuh alami sulit berkembang. Hal

tersebut dipersepsi nyata oleh sebagian besar (67,7%) responden lintas ekosistem

dan pola musim. Perubahan iklim berdampak terhadap peningkatan suhu udara

yang diduga mengakibatkan terjadinya peningkatan serangan hama dan

munculnya hama-hama baru. Sebagian besar petani responden di ekosistem

dataran tinggi dan rendah, maupun di pola musim sektor barat, timur dan

peralihan mempersepsi cukup nyata sampai sangat nyata adanya peningkatan

serangan hama dan timbulnya hama baru sebagai salah satu dampak dari

perubahan iklim.

Keberadaan rumput laut merupakan salah satu cara menjaga keseimbangan

ekosistem laut. Rumput laut adalah sumber fitoplankton yang menjadi produsen

utama dalam ekosistem perairan. fitoplankton adalah jenis jenis plankton yang

mampu berfotosintesis. Oleh karena itu keberadaan rumput laut sangat penting

dalam menjaga keseimbangan ekosistem perairan. Selain itu manfaat rumput laut

antara lain:

1. Bidang makanan ; rumput laut dipercaya sebagai sumber protein sel tunggal.

Beberapa makanan di dunia juga menggunakan rumput laut sebagai bahan


13

utamanya, misalnya sushi, ramen dan sebagainya. Rumput laut juga dapat

dimanfaatkan sebagai makanan ternak.

2. Bidang kosmetik ; rumput laut dipercaya memiliki kandungan antioksidan

yang tinggi dan mampu mencegah tanda tanda penuaan sehingga banyak

dijadikan campuran bahan kosmetik.

3. Bidang kesehatan ; rumput laut dipercaya memiliki kandungan sebagai

antikanker, antikoagulan darah, serta antibiotik.

4. Bidang ekologi ; rumput laut dipercaya mampu menyerap mineral dan zat

anorganik yang terlarut dalam air untuk proses fotosintesisnya, sehingga dapat

dimanfaatkan sebagai alat filtrasi air dan membuat habitat yang cocok bagi

biota laut lain dengan menyediakan nutrien yang dibutuhkannya.

Banyaknya manfaat yang dimiliki rumput laut menjadikan organisme ini

banyak diambil dari habitatnya. Akibatnya jumlah produsen dalam rantai

makanan di ekosistem laut akan berkurang. Ini menyebabkan terganggunya aliran

energi dalam ekosistem laut. Agar ini tidak terjadi, maka dilakukan budidaya

rumput laut sehingga rumput laut masih bisa dimanfaatkan namun juga tidak

mengganggu ekosistem laut itu sendiri.

2.1.2. Budidaya Rumput Laut

Pembudidayaan rumput laut penting dilakukan agar pemanfaatan rumput

laut untuk memenuhi kebutuhan makhluk hidup semakin optimal namun tidak

mengganggu kondisi homeostasis habitat aslinya. Pembudidayaan rumput laut

tidak lepas kaitannya dengan cara perkembangbiakannya. Tanpa mengetahui cara

perkembangbiakan tumbuhan ini, maka budidaya rumput laut tidak akan berjalan
14

dengan baik. Rumput laut berkembang biak dengan 2 cara yaitu vegetatif dan

generatif.

1. Perkembangbiakan vegetatif rumput laut dilakukan dengan cara vegetasi,

konjungasi, penyetekan atau peleburan dinding sel dan penyebaran spora.

2. Perkembangbiakan generatif dilakukan dengan perkawinan antar gamet.

Menentukan teknik atau metode yang sesuai untuk membudidayakan

rumput laut adalah langkah yang harus diambil oleh petani rumput laut. Kondisi

ekonomi dan lingkungan harus menjadi pertimbangan utama. Metode

pembudidayaan rumput laut dapat dilakukan dengan 3 cara yaitu metode lepas

dasar, metode rakit apung, dan metode tali panjang.

1. Metode Lepas Dasar (Off-bottom Method)

Metode ini dilakukan dengan cara menanamkan pasak atau patok berukuran

panjang 1 – 1,5 meter kedalam dasar perairan. Metode ini cocok digunakan

apabila areal budidaya berpasir atau berlumpur. Sangat tidak direkomendasikan

menggunakan metode ini pada daerah dengan jenis jenis terumbu karang yang

melimpah. Metode lepas dasar merupakan metode yang paling mudah dibuat

namun jarang digunakan karena menghasilkan produksi rumput laut paling

sedikit. Bahan dan cara budidaya dengan metode lepas dasar adalah:

Pasak yang digunakan biasanya berdiameter 5 – 10 cm lalu ditancapkan sedalam

0,5 meter. Jarak antara kedua pasak adalah sejauh 4 – 5 meter.


15

1. Tali polypropylene  3 mm kurang lebih sepanjang 5 meter dikaitkan pada kedua

pasak. Pengikatan dilakukan setinggi 20-30 cm dari dasar laut. Alasannya agar

saat surut, bagian rumput laut masih terendam oleh air laut.

2. Ikatkan tali rafia atau tali lain pada tali polypropylene 3 mm dengan jarak 20

-25 cm. Tali ini digunakan sebagai tempat mengikat bibit rumput laut.

3. Bibit rumput laut diikatkan pada tali rafia yang sudah disediakan.

Kelebihan metode ini adalah mudah dibangun dan diatur, tidak

membutuhkan biaya besar, tali dapat disiapkan saat di pantai, pasak dapat

menggunakan kayu apa saja dan tempat budidaya mudah dijangkau. Sedangkan

kekurangan metode ini adalah sulit menemukan area yang cocok, rentan terhadap

ombak, gangguan biota lain dan tidak bisa dipindahkan.

2. Metode Rakit Apung (Raft/Floating Method)

Metode ini dilakukan dengan bahan yang membuat bibit rumput laut dapat

mengapung baik saat pasang maupun surut. Untuk membudidayakan rumput laut

dengan cara ini dapat menggunakan bambu atau tumbuhan bakau yang dapat

mengapung di permukaan laut. Bambu atau kayu sepanjang 2,5 meter diikat

membentuk persegi lalu ikatkan polypropylene 3 mm dengan jarak 10 – 15 meter.

Dengan metode ini dapat diikatkan 225 bibit rumput laut didalamnya.

Metode rakit apung ini lebih banyak menghasilkan produksi berbagai jenis

jenis rumput laut dibandingkan metode lepas dasar. Keuntungan metode rakit

apung adalah dapat digunakan di perairan dangkal maupun dalam, dapat

digunakan pada perairan dengan dasar yang berkarang, mudah dipindahkan,

pembudidayaan dapat dilakukan saat dipantai, kayu yang digunakan mudah


16

ditemukan dan produksi lebih banyak. Sedangkan kekurangan dari metode ini

adalah membutuhkan bahan yang bisa mengapung, dapat rusak apabila terkena

ombak besar dan membutuhkan banyak tenaga untuk membawanya.

3. Metode Tali Panjang (Longline Method)

Metode ini memiliki banyak kemiripan dengan metode rakit apung.

Perbedaan dari keduanya adalah tali yang digunakan lebih tebal yaitu dengan

diameter ketebalan sebesar 10 – 15 mm. Sama halnya dengan metode rakit apung,

tali ini diikatkan pada bambu atau plastik pengapung lalu diikatkan tali rafia

sebagai tempat untuk mengikat rumput laut. Kelebihan dari metode ini adalah

dapat dibuat dimanapun, bibit rumput laut tumbuh lebih cepat dan mudah untuk

dipindahkan. Sedangkan kekurangan metode ini adalah harga tali tebal dan

pengapung plastik mahal, mudah rusak oleh motor boat dan tidak mudah

memasang dan memanennya.

Selain itu, yang terpenting adalah menjaga rumput laut dari perusaknya.

Perusak rumput laut dapat berupa predator alami (ikan baronang dan buntal, kura

kura, bulu babi), atau faktor lingkungan seperti infeksi jamur dan badai.

Pencegahannya adalah dengan membudidayakan ditempat yang jauh dari

ekosistem terumbu karang, habitat ikan baronang dan predator alami rumput laut

lainnya.

2.1.3. Hama Dan Penyakit Rumput Laut (Eucheuma cottonii)

Hama rumput laut umumnya adalah organisme laut yang memangsa rumput

laut sehingga akan menimbulkan kerusakan fisik terhadap thallus, dimana thallus

akan mudah terkelupas, patah ataupun habis dimakan hama (Sulistiyo, 1988).
17

Menurut Anggadireja (2006), Hama dibedakan berdasarkan ukurannya yaitu hama

mikro (micro grazer) dan hama makro (macro grazer).

1. Hama Mikro

Hama mikro yang menyerang rumput laut, berukuran panjang kurang dari 2

cm dan melekat pada thallus. Menurut Doty (1987), hama mikro yang sering

ditemukan pada rumput laut adalah larva bulu babi (Tripneustus) dan larva

teripang (Holothuria sp). Selanjutnya dijelaskan bahwa larva bulu babi

(Tripneustes sp.) bersifat planktonik, melayang-layang di dalam air dan kemudian

menempel pada tanaman rumput laut, sehingga larva bulu babi menyebabkan

tanaman Eucheuma sp berwarna kuning dan rusak. Sedangkan larva teripang

(Holothuria sp.) yang menempel dan menetap pada thallus rumput laut, kemudian

tumbuh menjadi besar. Larva yang sudah besar akan menjadi hama makro dan

dapat memakan thallus rumput laut secara langsung dengan cara menyisipkan

ujung-ujung cabang rumput laut ke dalam mulutnya (Anggadireja, 2006).

2. Hama Makro

Menurut Anggadireja (2006), tanaman yang biasanya diserang hama makro

adalah tanaman yang berada dekat perairan dengan dasar karang atau karang

berpasir sekitar pantai. Serangan ikan akan berkurang bila rumput laut yang

ditanam pada lokasi agak ditengah. Hama makro adalah hama yang berukuran

lebih besar dari ukuran 2 cm. Hama makro yang paling ganas dan dapat

menghancurkan tanaman Eucheuma sp yaitu ikan beronang (Siganus javus),

penyu hijau (Chelonia mydas), teripang (Holothuria sp) dan bintang laut

(Protoneostes).
18

2.1.4. Persepsi

Menurut Leavit (1978), persepsi dalam arti sempit ialah penglihatan,

bagaimana cara seseorang melihat sesuatu; sedangkan dalam arti luas ialah

pandangan atau pengertian, yaitu cara seseorang memandang atau mengartikan

sesuatu. Persepsi terkait erat dengan masalah sikap, karena persepsi merupakan

komponen kognitif sikap. Dalam psikologi sosial, sikap diartikan sebagai derajat

atau tingkat kesesuaian atau ketidaksesuaian seseorang terhadap objek tertentu.

Kesesuaian atau ketidaksesuaian ini dinyatakan dalam skala yang menunjukkan

sangat setuju atau sangat tidak setuju terhadap objek sikap (Mar’at, 1981).

Persepsi merupakan proses akhir dari pengamatan yang diawali oleh proses

pengindraan, yaitu proses diterimnya stimulus oleh alat indra,  lalu diteruskan ke

otak, dan baru kemudian individu menyadari tentang sesuatu yang dipersepsikan

(Sunaryo, 2004). Sedangkan menurut Rakhmat (2004) persepsi adalah

pengalaman tentang objek, peristiwa, atau hubungan-hubungan yang diperoleh

dengan menyimpulkan informasi dan melampirkan pesan.

Berdasarkan beberapa definisi persepsi tersebut di atas maka penulis

berpendapat bahwa persepsi merupakan pemahaman seseorang terhadap stimulus

(rangsangan) yang diterimanya berdasarkan pada tingkat pengetahuan,

pengalaman, sikap, objek yang dipersepsikan dan situasi atau keadaan saat

mempersepsikan suatu stimulus. Dengan demikian, maka persepsi setiap orang

terhadap suatu objek yang sama bisa saja berbeda, hal ini di sebabkan karena

persepsi sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu pelaku persepsi


19

(perceiver), objek yang dipersepsikan dan konteks dari situasi dimana persepsi itu

dilakukan Robins dalam (Hendrikus, 2012).

2.1.5. Syarat Terjadinya Persepsi

Menurut Sunaryo (2004), syarat terjadinya persepsi yaitu adanya objek,

adanya perhatian sebagai langkah pertama untuk mengadakan persepsi, adanya

alat indera sebagai reseptor penerima stimulus yakni syaraf sensoris sebagai alat

untuk meneruskan stimulus ke otak dan dari otak dibawa melalui syaraf motoris

sebagai alat untuk mengadakan respon. Selanjutnya Baiqhaqi (2005), menyatakan

bahwa persepsi pada umumnya bersifat spontan pada manusia ketika menghadapi

rangsangan. Persepsi tidak berdiri sendiri, tetapi dipengaruhi atau   bergantung

pada konteks dan pengalaman.

Menurut Alport dalam Mar’at (1991), syarat terjadinya persepsi merupakan

suatu proses kognitif yang dipengaruhi oleh pengalaman, cakrawala, dan

pengetahuan individu. Pengalaman dan proses belajar akan memberikan bentuk

dan struktur bagi objek yang ditangkap panca indera, sedangkan pengetahuan dan

cakrawala akan memberikan arti terhadap objek yang ditangkap individu, dan

akhirnya komponen individu akan berperan dalam menentukan tersedianya

jawaban yang berupa sikap dan tingkah laku individu terhadap objek yang ada.

Walgito dalam Hamka (2002), menyatakan bahwa terjadinya persepsi

merupakan suatu yang terjadi dalam tahap-tahap berikut:

1. Tahap pertama, merupakan tahap yang dikenal dengan nama proses kealaman

atau proses fisik, merupakan proses ditangkapnya suatu stimulus oleh alat

indera manusia.
20

2. Tahap kedua, merupakan tahap yang dikenal dengan proses fisiologis,

merupakan proses diteruskannya stimulus yang diterima oleh reseptor (alat

indera) melalui saraf-saraf sensoris.

3. Tahap ketiga, merupakan tahap yang dikenal dengan nama proses psikologik,

merupakan proses timbulnya kesadaran individu tentang stimulus yang

diterima reseptor.

4. Tahap ke empat, merupakan hasil yang diperoleh dari proses persepsi yaitu

berupa tanggapan dan perilaku.

Berdasarkan pendapat para ahli yang telah dikemukakan, bahwa syarat

terjadinya persepsi melalui tiga tahap, yaitu:

1. Tahap penerimaan stimulus, baik stimulus fisik maupun stimulus sosial melalui

alat indera manusia, yang dalam proses ini mencakup pula pengenalan dan

pengumpulan informasi tentang stimulus yang ada.

2. Tahap pengolahan stimulus sosial melalui proses seleksi serta pengorganisasian

informasi.

3. Tahap perubahan stimulus yang diterima individu dalam menanggapi

lingkungan melalui proses kognisi yang dipengaruhi oleh pengalaman,

cakrawala, serta pengetahuan individu.

2.1.6. Jenis-Jenis Persepsi

Terdapat dua jenis persepsi, yaitu External Perception, yaitu persepsi yang

terjadi karena adanya rangsangan yang datang dari luar diri individu dan Self

Perception, yaitu persepsi yang terjadi karena adanya rangsangan yang berasal

dari dalam diri individu. Dalam hal ini yang menjadi objek adalah dirinya sendiri.
21

Dengan persepsi, individu dapat menyadari dan dapat mengerti tentang keadaan

lingkungan yang ada di sekitarnya maupun tentang keadaan diri individu

(Sunaryo, 2004).

2.1.7. Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi

Menurut Siagian (1995) ada beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi

yaitu;

1. Diri orang yang bersangkutan, dalam hal ini orang yang berpengaruh adalah

karakteristik individual meliputi dimana sikap, kepentingan, minat,

pengalaman dan harapan.

2. Sasaran persepsi, yang menjadi sasaran persepsi dapat berupa orang, benda,

peristiwa yang sifat sasaran dari persepsi dapat mempengaruhi persepsi orang

yang melihatnya. Hal-hal lain yang ikut mempengaruhi persepsi seseorang

adalah gerakan, suara, ukuran, tindak tanduk dan lain-lain dari sasaran

persepsi.

3. Faktor situasi, dalam hal ini tinjauan terhadap persepsi harus secara kontekstual

artinya perlu dalam situasi yang mana persepsi itu timbul.

Menurut Krech vs Crutch Field sebagaimana dikutip oleh Rakhmad (1989),

empat faktor yang mempengaruhi persepsi yaitu:

1. Kebutuhan merupakan salah satu dorongan kejiwaan yangmendorong manusia

untuk melakukan suatu tindakan misalnya; keinginan, rangsangan, tuntunan

dan cita-cita.
22

2. Kesiapan mental merupakan kesanggupan penyeseuain dan kesanggupan sosial

atau bahkan keduanya sekaligus untuk menciptakan hubungan-hubungan social

yang berhasil.

3. Suasana emosional merupkan kondisi perasaan yang berkesinambungan,

dicirikan dengan selalu timbulnya perasaan-perasaan yang senang atau tidak

senang latar belakang atau tata nilai yang dianut oleh seseorang.

4. Latar belakang budaya merupakan displin tersendiri dalam psikologi antar

budaya.

Menurut Krench dan Crutchfield (1977), faktor-faktor yang menentukan

persepsi dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Faktor Fungsional, adalah faktor yang berasal dari kebutuhan, pengalaman

masa lalu dan hal-hal yang termasuk apa yang kita sebut sebagai faktor-faktor

personal. Faktor personal yang menentukan persepsi adalah objek-objek yang

memenuhi tujuan individu yang melakukan persepsi.

2. Faktor Struktural, adalah faktor yang berasal semata-mata dari sifat.

Stimulus fisik efek-efek saraf yang ditimbulkan pada system saraf individu.

Faktor struktural yang menentukan persepsi menurut teori Gestalt bila kita

ingin mempersepsi sesuatu, kita mempersepsikannya sebagai suatu

keseluruhan. Bila kita ingin memahami suatu peristiwa kita tidak dapat

meneliti faktor-faktor yang terpisah, kita harus memandangnya dalam

hubungan keseluruhan (Rakhmad, 1989:).

3. Faktor-faktor situasional
23

Faktor ini banyak berkaitan dengan bahasa nonverbal. Petunjuk proksemik,

petunjuk kinesik, petunjuk wajah, petunjuk paralinguistik adalah beberapa dari

faktor situasional yang mempengaruhi persepsi.

4. Faktor personal

Faktor personal ini terdiri atas pengalaman, motivasi dan kepribadian.

Menurut Kenneth, perhatian juga sangat berpengaruh terhadap persepsi.

Dimana perhatian merupakan proses mental ketika stimulus atau rangkaian

stimulus menjadi menonjol dalam kesadaran pada saat stimulus yang lainnya

melemah (Rakhmad, 1989). Tertarik tidaknya individu untuk memperhatikan satu

stimulus dipengaruhi oleh dua faktor yaitu:

1. Faktor internal (kebiasaan, minat, emosi, dan keadaan biologis), dan

2. Faktor eksternal (intensitas,kebaruan, gerakan dan pengulangan stimulus).

Proses terbentuknya persepsi sangat kompleks dan ditentukan oleh dinamika

yang terjadi dalam diri seseorang. Ketika ia mendengar, mencium, melihat,

merasa atau bagaimana ia memandang suatu objek yang melibatkan aspek

psikologis dan panca inderanya. Menurut Walgito (2003), agar stimulus dapat

dipersepsi, maka stimulus harus cukup kuat, stimulus harus melampaui ambang

batas stimulus, yaitu kekuatan stimulus yang minimal tetapi sudah dapat

menimbulkan kesadaran, sudah dapat dipersepsi oleh individu.

Sholeh (2009), persepsi lebih bersifat psikologis daripada merupakan proses

penginderaan saja maka ada beberapa faktor yang mempengaruhi:

1. Perhatian yang selektif, individu memusatkan perhatiannya pada rangsang-

rangsang tertentu saja.


24

2. Ciri-ciri rangsang, rangsang yang bergerak di antara rangsang yang diam akan

lebih menarik perhatian.

3. Nilai dan kebutuhan individu

4. Pengalaman dahulu, pengalaman terdahulu sangat mempengaruhi bagaimana

seseorang mempersepsi dunianya.

Faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi dapat berupa suasana hati (mood),

sistem dan pertukaran zat dalam tubuh, pengalaman, nilai-nilai yang dianut oleh

individu yang bersangkutan, serta bentuk-bentuk stimulus yang mempengaruhi

proses selektif terhadap stimulus.

2.1.8. Pengukuran Persepsi

Mengukur persepsi hampir sama dengan mengukur sikap. Walaupun materi

yang diukur bersifat abstrak, tetapi secara ilmiah sikap dan persepsi dapat diukur,

dimana sikap terhadap obyek diterjemahkan dalam sistem angka. Dua metode

pengukuran sikap terdiri dari metode Self Report dan pengukuran Involuntary

Behavior.

1. Self Report merupakan suatu metode dimana jawaban yang diberikan dapat

menjadi indikator sikap seseorang.

2. Involuntary Behaviour  dilakukan jika memang diinginkan atau dapat

dilakukan oleh responden, dalam banyak situasi akurasi pengukuran sikap

dipengaruhi kerelaan responden (Azzahy, 2010).    

Menurut Azwar (2010), pengukuran persepsi dapat dilakukan dengan

menggunakan skala likert, dengan kategori sebagai berikut;

Pernyataan positif/pernyataan negatif:


25

SS = Sangat Setuju

S = Setuju

R = Ragu-Ragu

TS = Tidak Setuju

STS = Sangat Tidak Setuju

Kriteria ini pengukuran persepsi yakni:

a. Persepsi positif jika nilai T skor yang diperoleh responden dari kuesioner > T

mean.

b. Persepsi negatif jika nilai T skor yang diperoleh responden dari kuesioner < T

mean.

Ada sejumlah kesalahan persepsi yang sering terjadi dalam mempersepsikan

suatu Stimulus/objek tertentu. Kesalahan persepsi tersebut antara lain:

1. Stereotyping

Adalah mengkategorikan atau menilai seseorang hany atas dasar satu

atau beberapa sifat dari kelompoknya. Stereotip seringkali didasarkan atas jenis

kelamin, keturunan, umur, agama, kebangsaan, kedudukan atau jabatan.

2. Hallo effect

Adalah kecenderungan menilai seseorang hanya atas dasar salah satu

sifatnya. Misalnya anak yang lincah/banyak bermain dianggap lebih mudah

terkena penyakit daripada anak yang lebih banyak diam atau santai. Padahal

tidak ada hubungannya antara kelincahan dengan suatu penyakit.

3. Projection
26

Merupakan kecenderungan seseorang untuk menilai orang lain atas dasar

perasaan atau sifatnya. Oleh karenanya projection berfungsi sebagai suatu

mekanisme pertahanan dari konsep diri seseorang sehingga lebih mampu

menghadapi yang dilihatnya tidak wajar.

2.1.9. Dampak Perubahan Iklim Dan Strategi Adaptasinya

1. Pengaruh Laut

Laut dan daratan adalah fluida yang berbeda dalam hal kapasitas

menyimpan panas. Peningkatan suhu air (lautan) berlangsung lebih lambat, tetapi

air dapat menyimpan panas lebih lama dibandingkan dengan daratan. Hal ini

terjadi karena air mempunyai panas spesifik yang tinggi. Panas spesifik adalah

jumlah energi yang dibutuhkan untuk meningkatkan suhu 1 gram air sebesar 1˚C.

Angin yang berhembus melewati bentangan permukaan air dapat menghambat

peningkatan atau penurunan suhu udara secara drastis pada wilayah daratan

disekitarnya. Oleh sebab itu, iklim di wilayah kepulauan atau dekat pantai akan

lebih sejuk untuk daerah tropis dan lebih hangat. Lebih lanjut perbedaan

menyimpan dan melepaskan panas tersebut akan berpengaruh terhadap sirkulasi

angin dunia yang akhirnya akan mempengaruhi sirkulasi laut.

Definisi dasar dari arus laut adalah gerakan massa air laut dari satu tempat

ke tempat lain baik secara vertikal (gerak ke atas) maupun secara horizontal

(gerakan ke samping).  Gerakan massa air laut tersebut juga digerakan oleh


27

pengaruh angin. Angin bergerak dari tekanan udara yang tinggi ke tekanan udara

yang lebih rendah. Jadi bisa didefinisikan bahwa arus laut dipengaruhi oleh angin

yang bergerak dari tekanan udara yang tinggi ke tekanan udara yang lebih

rendah.  Faktor-faktor yang mempengaruhi pergerakan arus laut adalah angin,

salinitas, suhu, gravitasi bumi, gerak rotasi bumi, konfigurasi benua, dan topografi

dasar laut.

Laut sejak dulu berperan dalam penyebaran panas melalui sirkulasi air

laut. Sirkulasi laut adalah pergerakan massa air di laut. Sirkulasi laut di

permukaan dibangkitkan oleh stres angin yang bekerja di permukaan laut dan

disebut sebagai sirkulasi laut yang dibangkitkan oleh angin (wind driven ocean

circulation). Selain itu, ada juga sirkulasi yang bukan dibangkitkan oleh angin

yang disebut sebagai sirkulasi termohalin (thermohaline circulation) dan sirkulasi

akibat pasang surut laut. Sirkulasi termohalin dibangkitkan oleh adanya perbedaan

densitas air laut. Istilah termohalin sendiri berasal dari dua kata yaitu thermo yang

berarti temperatur dan haline yang berarti salinitas. Penamaan ini diberikan karena

densitas air laut sangat dipengaruhi oleh temperatur dan salinitas. Sementara itu,

sirkulasi laut akibat pasang surut laut disebabkan oleh adanya perbedaan distribusi

tinggi muka laut akibat adanya interaksi bumi, bulan dan matahari.

Sirkulasi di permukaan membawa massa air laut yang hangat dari daerah

tropis menuju ke daerah kutub. Di sepanjang perjalanannya, energi panas yang

dibawa oleh massa air yang hangat tersebut akan dilepaskan ke atmosfer. Di

daerah kutub, air menjadi lebih dingin pada saat musim dingin sehingga terjadi

proses sinking (turunnnya massa air dengan densitas yang lebih besar ke


28

kedalaman). Hal ini terjadi di Samudera Atlantik Utara dan sepanjang Antartika.

Air laut dari kedalaman secara perlahan-lahan akan kembali ke dekat permukaan

dan dibawa kembali ke daerah tropis, sehingga terbentuklah sebuah siklus

pergerakan massa air yang disebut Sabuk Sirkulasi Laut Global (Global Conveyor

Belt). Semakin efisien siklus yang terjadi, maka akan semakin banyak pula energi

panas yang ditransfer dan iklim di bumi akan semakin hangat.

Menurut penelitian yang dilakukan di University of Bern dengan

menggunakan model iklim dengan perata-rataan ke arah zonal (zonally averaged

climate model), perubahan iklim yang terjadi saat ini akibat adanya efek gas

rumah kaca bisa merubah dan bahkan mematikan sabuk sirkluasi laut global

(Stocker and Schmittner, 1997).

2. Pengaruh IKlim

Secara langsung maupun tidak langsung, angin dan awan di permukaan

bumi terkait dengan matahari. Panas dari matahari memproduksi perbedaan

temperatur, yang mengarahkan pada perbedaan temperatur. Dan angin selalu

bergerak dari tekanan tinggi ke rendah.

Laut menjadi tempat penyimpanan panas matahari, dan arus laut global

menggerakkan energi yang tersimpan tersebut, menyebabkan adanya iklim global,

dari angin sepoi-sepoi sampai adanya badai lautan. Studi mengenai perubahan

kecerlangan matahari, memunculkan dugaan adanya kaitan dengan perubahan

iklim. Meskipun masih lebih dipercaya bahwa perubahan iklim lebih disebabkan

karena peningkatan kadar karbon dioksida di bumi, tetapi tidak tertutup


29

kemungkinan bahwa matahari-pun memberikan sumbangan pada perubahan

iklim.

Cuaca dan iklim merupakan dua kondisi yang hampir sama tetapi berbeda

pengertian khususnya terhadap kurun waktu. Cuaca adalah keadaan atmosfer yang

dinyatakan dengan nilai berbagai parameter, antara lain suhu, tekanan, angin,

kelembaban dan berbagai fenomena hujan, disuatu tempat atau wilayah selama

kurun waktu yang pendek (menit, jam, hari, bulan, musim, tahun). Sementara

iklim didefinisikan sebagai Peluang statistik berbagai keadaan atmosfer, antara

lain suhu, tekanan, angin kelembaban, yang terjadi disuatu daerah selama kurun

waktu yang panjang (Gibbs,1987).

Trewartha and Horn (1995) mengatakan bahwa iklim merupakan suatu

konsep yang abstrak, dimana iklim merupakan komposit dari keadaan cuaca hari

ke hari dan elemen-elemen atmosfer di dalam suatu kawasan tertentu dalam

jangka waktu yang panjang. Iklim bukan hanya sekedar cuaca rata-rata, karena

tidak ada konsep iklim yang cukup memadai tanpa ada apresiasi atas perubahan

cuaca harian dan perubahan cuaca musiman serta suksesi episode cuaca yang

ditimbulkan oleh gangguan atmosfer yang bersifat selalu berubah, meski dalam

studi tentang iklim penekanan diberikan pada nilai rata-rata, namun

penyimpangan, variasi dan keadaan atau nilai-nilai yang ekstrim juga mempunyai

arti penting. Indonesia mempunyai karakteristik khusus, baik dilihat dari posisi,

maupun keberadaanya, sehingga mempunyai karakteristik iklim yang spesifik.

Dalam analisis GIS (Sistem Informasi Geografis), klasifikasi tanah dapat

dilakukan bedasarkan peruntukannya. Klasifikasi kemampuan lahan dapat disebut


30

sebagai pedoman untuk perencanaan penggunaan lahan. Selain itu, ini juga

berguna sebagai alat perencanaan strategis dalam menanggapi masalah perubahan

iklim (Brown et al., 2009). Pemanfaatan sumber daya pesisir yang memiliki

beragam karasteristik hanya bdapat dilakukan secara optimal dan berkelanjutan

dengan perencanaan dan pengelolaan yang terintegrasi dan berkelanjutan (Mukti

Ali, 2015). Hal ini sejalan dengan ide Budiharsono (2001; 16) menyatakan bahwa

peluang pengenbangan sektor maritim dan dampaknya terhadap pengembangan

wilyah pesisir dan lautan di masa depan cukup menjanjikan. Menurut Akmal

(2008), peningkatan produktivitas dan kualitas rumput laut dan optimalisasi

pemanfaatan laut indonesia dapat menjadi cara yang efektif untuk pengembangan

budidaya rumput laut.

3. Pemanasan Global

Perubahan iklim yang ekstrim dapat mengakibatkan hilangnya ciri dari

sebuah daratan. Entah itu naiknya permukaan laut, penggurunan, angin musim

yang deras, gletser meleleh atau pengasaman laut, perubahan iklim dengan cepat

akan mengubah daratan planet kita.

Di indonesia sendiri, tanda-tanda perubahan iklim akibat pemanasan global

telah lama terlihat. Misalnya, sudah beberapa kali terjadi musim kemarau yang

panjang. Tahun 1982-1983, 1987 dan 1991, kemarau panjang menyebabkan

kebakaran hutan yang luas. Hampir 3,6 juta hektar hutan habis di Kalimatan

Timur akibat kebakaran tahun 1983. Musim kemarau tahun 1991 juga

menyebabkan 40.000 hektar sawah dipusokan dan produksi gabah nasional

menurun drastis dari 46,451 juta ton menjadi 44,127 juta ton pada tahun
31

1990. Akibatnya, pemerintah Indonesia yang sudah mencapai swasembada beras

sejak 1984, terpaksa mengimpor beras dari India, Thailand dan Korea Selatan

seharga Rp 200 miliar.

Kemarau panjang yang mulai sering terjadi, menurut beberapa pakar

diakibatkan oleh fenomena El Nino, yaitu naiknya suhu di Samudera Pasifik

sampai 31°C sehingga membawa kekeringan di Indonesia. Para ahli klimatologi

menyatakan bahwa siklus kejadian El Nino berlangsung antara 7 sampai 10 tahun.

Jika kita berasumsi bahwa kemarau pada 1982-83 adalah akibat El Nino, maka

seharusnya kemarau panjang berikutnya terjadi sekitar 1989-90. Namun kita

mengalami kemarau panjang berikutnya di 1987, lima tahun kemudian. Setelah

itu, kemarau panjang kembali terjadi pada 1991, atau empat tahun setelah

kemarau 1987.

Curah hujan yang tinggi disebabkan oleh fenomena kebalikan dari El

Nino yaitu La Nina. La Nina adalah gejala menurunnya suhu permukaan

samudera Pasifik yang membawa angin serta awan hujan ke Australia dan Asia

bagian selatan, termasuk Indonesia. La Nina yang terjadi menyebabkan curah

hujan tinggi disertai angin topan. Apakah kemarau panjang dan curah hujan di

atas normal yang makin sering terjadi merupakan kejadian alam biasa atau

merupakan akibat pemanasan global? Hal ini memang belum dapat dipastikan.

Namun, jika pemanasan global benar-benar terjadi, maka yang akan kita alami

adalah kemarau  panjang dan curah hujan di atas normal dalam  skala yang lebih

besar dan  lebih luas sehingga dapat menimbulkan kerugian yang semakin besar.
32

Tanda-tanda perubahan iklim juga terlihat pada kondisi beberapa pulau di

Kalimantan Timur, khususnya di pulau Tarakan.  Udara yang semakin panas serta

sulitnya mendapatkan air bersih dirasakan oleh seluruh penduduk Tarakan yang

mayoritas bermukim di kawasan pesisir. Tidak hanya itu, kawasan hutan lindung

di Tarakan sudah melebihi dari 30 persen yang diprogramkan pemerintah kota.

Namun hal tersebut baru sebatas luas kawasannya, bukan pada keberadaan

hutannya. Kawasan hutan pantai juga sudah mulai hilang perlahan dan digantikan

sebagai lahan aktifitas manusia sehingga ikut menyebabkan perubahan iklim.

Berdasarkan hasil penelitian organisasi Tim Peduli Lingkungan Tarakan,

pada tahun 2000-2005 lalu, tercatat 100 hektare hutan mangrove terdegradasi dan

yang tersisa saat ini hanya 670 hektare dari sebelumnya seluas 1.250 hektare

hutan mangrove. Selain itu, abrasi di bibir pantai kota Tarakan juga sudah terlihat

dalam beberapa tahun belakangan ini. Berdasarkan pantauan Tim Peduli

Lingkungan sejak 2007 lalu, abrasi tiap tahun mencapai antara 3 hingga 5 meter,

salah satunya di Pantai Amal baru, kelurahan Pantai Amal. Dari data yang ada,

dapat digambarkan bahwa kondisi hutan mangrove di pesisir pantai kota Tarakan

sedang mengalami tekanan yang hebat oleh berbagai bentuk kegiatan sehingga

menyebabkan hilangnya hutan mangrove dalam jumlah besar. Hal ini tentu dapat

menimbulkan kerugian jika tidak diatasi secepatnya. Mengingat hutan mangrove

merupakan pelindung pantai dari terjadinya abrasi, selain itu sumber ekonomi

bagi masyarakat sekitar karena merupakan tempat perkembangbiakan ikan dan

udang serta biota laut lainnya. Hutan mangrove mengandung zat hara yang

dibutuhkan mahluk hidup serta merupakan tempat berlindung dan asuhan fauna.
33

Banyak bencana dan kerugian yang terjadi akibat rusak/hilangnya hutan

mangrove, seperti abrasi pantai, intrusi air laut, banjir, hancurnya pemukiman

penduduk diterpa badai laut, hilangnya sumber perikanan alami, dan hilangnya

kemampuan dalam meredam emisi gas rumah kaca.

4. Strategi Adaptasi Dari Perubahan Iklim Yang Terjadi

Pertanian adalah sektor strategis penyokong ketahanan pangan,

penghidupan mayoritas rakyat dan generator pembangunan pedesaan. Selain

sensitif terhadap perubahan iklim, pertanian juga merupakan penyumbang bagi

emisi gas rumah kaca. Diperlukan perhatian khusus untuk pengembangan

kerangka adaptasi sektor pertanian ditengah tantangan kebutuhan pangan yang

terus meningkat. Ironisnya, yang terjadi justru sebaliknya. Program pertanian

berjalan dengan logika peningkatan produksi dengan pola seperti biasa.

Pemerintah mendorong penggunaan benih padi hibrida yang sebagian besar

diimpor dari Cina dalam rangka peningkatan produksi pangan. Padi hibrida rakus

akan unsur hara, sensitif terhadap serangan hama penyakit serta tidak sesuai

realitas kesulitan petani akan kondisi iklim yang berubah.

Kerangka adaptasi setidaknya memuat beberapa hal: pertama adalah

mengatasi faktor faktor kerentanan. Kerentanan bisa bersifat kejutan (shocks)

seperti bencana alam, kecenderungan (trends) seperti penurunan kesuburan tanah

maupun musiman (seasonilities) seperti ledakan hama dan penyakit. Setiap

karakter kerentanan memerlukan strategi yang berbeda. Kedua adalah

memperkuat kapasitas respon petani. Diperlukan untuk mempersiapkan petani

dalam jangka pendek dan jangka panjang untuk menyesuaikan dengan situasi
34

iklim yang berubah. Strategi adaptasi mencakup pengembangan varietas,

perbaikan kesuburan tanah, pengembangan inovasi teknologi budidaya dan

kelembagaan petani dalam menghadapi tantangan krisis iklim. Ketiga adalah

pengelolaan resiko dalam perubahan iklim. Pengembangan informasi iklim

sampai pada tingkat lokal, skenario dalam menghadapi bencana alam serta

pengembangan best practices sebagai sumber informasi bagi petani adalah upaya

penting dalam mengurangi resiko. Iklim merupakan kebiasaan alam yang

digerakan oleh gabungan beberapa unsur yaitu radiasi matahari,temperatur,

kelembapan, awan, presifikasi, evaporasi, tekanan udara dan angin (Douglas. H.K.

Lee, 1960).

Adaptasi perubahan iklim seharusnya menjadi bagian tidak terpisahkan

dalam program pembangunan pertanian, tidak berjalan secara terpisah. Program

pembangunan pertanian dalam berbagai sub-sektor semestinya memuat prinsip

dan strategi adaptasi terhadap perubahan iklim. Adaptasi merupakan sebuah

proses, sehingga pelibatan petani dalam merancang kerangka adaptasi pada

tingkat lokal menjadi sangat penting. Jadi, adaptasi terhadap perubahan iklim

adalah kebutuhan, bukan sebuah pilihan.

Menurut Mhor (2016) penggolongan iklim terlihat bahwa yang menjadi

dasar penggolongannya adalah bulan basah dan bulan kering. Klarifikasi

berdasarkan pada curah hujan, temperatur, dan vegetasi yang khusus pada suatu

daerah (koppen, 2016). Karena apabila penguapan melebihi dari curah hujan yang

jatuh maka keadaan seperti ini tidak berguna bagi tumbuhan (Thornthwaite,

2016). Kemudian menurut Douglas H.K. Lee (2016) merupakan potential evapo-
35

transpiration yang digunakan sebagai suatu sistem unutk menggolongkan suatu

iklim berdasarkan termal dengan mengingat kenyataan bahwa keduanya

tergantung pada panjangnya hari maupun suhu.

2.2. Penelitian Terdahulu

Hasil-hasil penelitian terdahulu digunakan sebagai dasar dalam menjalankan

penelitian ini agar penelitian dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan

kaidahnya. Penelitian terdahulu juga sebagai alasan kuat dalam mengangkat

sebuah judul penelitian yang baru.

Abdullah (2014) melakukan penelitian mengenai kompetensi Petani

Terhadap Usaha Tani Rumput Laut di bagian perairan Numana Kecamatan

Wangi-Wangi Kabupaten Wakatobi, guna memperoleh hasil bahwa kompetensi

petani dalam usaha budidaya rumput laut memiliki hubungan dengan kemajuan

usaha rumput laut. Kompetensi petani ini meliputi pengetahuan, kemampuan,

pengalaman, kerjasama, jaringan, dan keuletan kerja.

Abraham (2017) di Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi Gorontalo.

melakukan penelitian mengenai kemitraan dan jaringan sosial pembudidaya

rumput laut di Kabupaten Bone bahwa keterkaitan pola kemitraan sistem produksi

dan pemasaran masih didominasi oleh konstruksi jaringan sosial secara tradisional

yang masih kental dengan hubungan relasi patron-klien yang berbasis tradisi.

Selain itu, peranan jaringan sangat menentukan perannya dalam keberhasilan

usaha rumput laut dengan kemudahan akses ditribusi produk/pemasaran. modal

sosial sangat berperan dalam penjaminan kepastian distirbusi dan pemasaran


36

produk pada usaha budidaya rumput laut di Kabupaten Gorontalo Utara, Provinsi

Gorontalo.

Budias (2018) diperairan Karimun Jawa dalam tesisnya yang berjudul

Adaptasi Perubahan Iklim Terhadap Kelayakan Usaha Budi Daya Rumput Laut

(KappaphycusAlvarezii) dengan Metode Longline dan Strategi Pengembangannya

usaha budi daya rumput laut Kappaphycus alvarezii dengan metode longline di

perairan Karimun Jawa yang paling tepat dilakukan adalah pemberdayaan anggota

dan kelompok usaha bersama untuk meningkatkan 21 usahanya (skor 5.83),

memperluas lahan usaha budi daya (skor nilai 5.65), dan peningkatan

keterampilan teknis budi daya untuk peningkatan mutu produk (skor nilai 5.52).

Ketiga strategi tersebut dapat dilaksanakan secara bersamaan karena saling

mendukung satu dengan yang lain. Selain itu, kepercayaan kelompok usaha dan

luas tidaknya jaringan yang dimiliki kelompok juga menentukan seberapa besar

usaha mampu berkembang.

Simamora (2015) melakukan penelitian mengenai Analisis Produksi dan

Pendapatan Usahatani rumput laut di Kabupaten Tapanuli Utara (Studi Kasus :

Desa Banuaji IV, Kecamatan Adian Koting) Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui sistem usahatani rumput laut, tingkat produksi rumput laut, faktor-

faktor yang mempengaruhi tingkat produksi dan pendapatan usaha rumput laut,

serta layak atau tidaknya usahatani rumput laut dikembangkan di Desa Banuaji

IV, Kecamatan Adiankoting, Kabupaten Tapanuli Utara. Pengambilan sampel

dilakukan secara simple random sampling dengan jumlah sampel 30 KK berasal

dari 255 KK. Metode penelitian yang digunakan adalah: skoring; analisis data
37

deskriptif; Fungsi produksi Cobb-Douglass dan regresi linear berganda ; Analisis

Usahatani rasio R/C. Hasil penelitian menunjukkan sistem usahatani rumput laut

belum sesuai dengan sistem usahatani anjuran, tingkat produksi rumput laut

tergolong rendah, faktor-faktor produksi yang mempengaruhi tingkat produksi

rumput laut adalah pupuk Phonska, TSP dan jumlah tenaga kerja, sementara

faktor biaya produksi yang berpengarh nyata terhadap pendapatan usahatani

rumput laut adalah biaya penyusutan peralatan, usahatani rumput laut layak

dikembangkan di lokasi penelitian.

Susanto (2016) melakukan penelitian di Kecamatan Tanete Riattang Timur

Kabupaten Bone, tentang Strategi Peningkatan Kemandirian Petani Rumput Laut

memperoleh hasil bahwa faktor sosial ekonomi berkontrobusi positif terhadap

kemandirian petani rumput laut. Faktor sosial ekonomi memiliki kontribusi yang

cukup nyata dalam meningkatkan kemandirian petani rumput laut dalam

mengelola usahanya, baik kemandirian finansial, kemandirian pemasaran, hingga

manajemen (tani-nelayan) adalah agen pembangunan yang berhubungan langsung

dengan perairan laut. Persoalan yang dihadapi petani adalah persoalan

kemiskinan. Petani yang miskin umumnya belum tersentuh teknologi, kualitas

sumber daya manusia rendah dan tingkat produktivitas yang masih rendah.

Dalam rangka upaya meningkatkan pendapatan petani dalam berusahatani rumput

laut diperlukan kompetensi petani sebagai pelaku usahatani. Kompetensi yang ada

pada diri petani mempunyai peranan yang sangat penting dan besar dalam

kegiatan-kegiatan yang merupakan latar belakang tindakan-tindakannya. Oleh


38

karena itu upaya petani untuk meningkatkan pendapatan usahatani rumput laut

sangat ditentukan oleh kompetensi petani itu sendiri.

Amri and Arifin (2016) melakukan penelitian mengenai Strategi Adaptasi

Budidaya Rumput Laut untuk Mengatasi Dampak Perubahan Iklim. Penelitian

dilakukan di Teluk Segoro Anakan, Pacitan. Penelitian menggunakan pendekatan

remote sensing, Sistem Informasi Geografis, dan strategi adaptasi. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa perubahan iklim mempengaruhi areal dan produksi rumput

laut dalam bentuk kondisi tektonik yang diperparah oleh pendangkalan di lokasi

budidaya. Untuk mengatasi efek perubahan iklim, scenario adaptasi

diimplementasikan melalui intensifikasi dan ekstensifikasi penggunaan lahan,

mata pencaharian alternatif, dan minawisata.

Hassan and Othman (2019) melakukan penelitian untuk mengidentifikasi

factor-faktor iklim yang mempengaruhi usahatani rumput laut dan strategi

adaptasi yang bias dilakukan oleh petani rumput laut. Penelitian dilakukan di

empat desa di Pulau Unguja di Zanzibar. Survei rumah tangga dilakukan untuk

mengumpulkan data kuantitatif, sedangkan Focus Group Discussion (FGD) and

pengamatan dilakukan untuk mengumpulkan data kualitatif. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa menurut petani rumput laut, budidaya rumput laut sudah

dipengaruhi oleh perubahan faktor-faktor iklim dan non-iklim selama 20 tahun

terakhir. Variabel-variabel iklim yang mempengaruhi rumput laut meliputi

kenaikan suhu air laut, kecepatan angin, gelombang laut, salinitas, dan pola curah

hujan yang tidak menentu. Produksi rumput laut telah berkurang dalam lima tahun

terakhir. Petani melakukan sejumlah strategi untuk mengatasi dampak perubahan


39

iklim, namun perlu dilakukan penelitian-penelitian lanjutan untuk menemukan

teknologi dan cara-cara baru untuk lebin membantu petani mengatasi efek

desikasi dan penyakit terkait yang diperparah oleh variabel-variabel iklim di

lokasi budidaya.

Saediman et al. (2020) melakukan penelitian mengenai persepsi petani

padi sawah mengenai dampak perubahan iklim terhadap usahatani padi sawah.

Penelitian dilakukan di Desa Cialam Jaya, Kecamatan Konda, Kabupaten Konawe

Selatan. Data dikumpulkan dari 67 petani responden melalui wawancara

berdasarkan kuesioner dan Focus Group Discussion (FGD), dan dianalisa dengan

statistik deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebagian besar petani

setuju bahwa telah terjadi kenaikan suhu, curah hujan yang tidak menentu, dan

peningkatan kejadian cuaca ekstrim. Persepsi petani ini didukung dengan data-

data iklim selama 20 tahun terakhir. Sebagian besar petani juga setuju bahwa

perubahan iklim memberi dampak pada usahatani padi sawah. Dampak tersebut

meliputi pergeseran waktu tanam, peningkatan frekuensi banjir, terjadi kesulitan

dalam pemanenan, peningkatan frekuensi serangan hama penyakit, dan lebih

sering terjadi kekeringan. Informasi mengenai persepsi petani ini dapat digunakan

untuk mendisain strategi adaptasi agar sistem produksi padi sawah lebih efisien

dan bisa beradaptasi terhadap perubahan iklim.

2.3. Kerangka Pikir 

Petani rumput laut adalah masyarakat yang bertempat tinggal di Kecamatan

Wangi-Wangi Selatan yang berprofesi sebagai petani rumput laut. Sudah lebih

dari 10 tahun lamanya para petani di desa ini melakukan kegiatan budidaya
40

rumput laut. Tujuan utama yaitu untuk mencukupi segala kebutuhan hidup para

petani.

Persepsi adalah proses yang menyangkut masuknya pesan atau informasi

kedalam otak manusia, melalui persepsi manusia terus-menerus mengadakan

hubungan dengan lingkungannya. Hubungan ini dilakukan lewat inderanya, yaitu

penglihatan, pendengar, peraba, dan pencium. Yang berhubungan dipenelitian ini

adalah persepsi atau pendapat petani rumput laut tentang adanya perubahan iklim

yang terjadi di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi.

Perubahan Iklim adalah berubahnya kondisi fisik atmosfer bumi antara lain

suhu dan distribusi curah hujan yang membawa dampak luas terhadap berbagai

sector kehidupan manusia. Dampak dari perubahan iklim yaitu penurunan

produksi, kualitas rumput laut, kemampuan rumput laut, rumput banyak yang mati

dan rumput laut banyak yang terlepas. Perubahan Iklim adalah berubahnya

kondisi fisik atmosfer bumi antara lain suhu dan distribusi curah hujan yang

membawa dampak luas terhadap berbagai sector kehidupan manusia.

Sebagian Masyarakat di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Kabupaten

Wakatobi berprofesi sebagai petani rumput laut. Di sana masyarakatnya sangat

berantusias dalam membudidayakan rumput laut tersebut. Namun, ada beberapa

kendala yang sering dihadapi oleh mayarakat. Yaitu tentang perubahannya iklim

atau cuaca yang tidak tetap. Tentunya, saja sangat berpengaruh terhadap

pertumbuhannya rumput laut itu sendiri.

Strategi Adaptasi dilakukan oleh petani dari hasil sosialisasi dengan

pemerintah setempat berpengaruh positif terhadap produksi tanaman rumput laut,


41

hal ini mengindifikasikan bahwa strategi yang dilakukan petani sudah tepat dan

bisa dilanjutkan guna mengurangi dampak perubahan iklim yang terjadi.

Adapun strategi adaptasi yang digunakan antara lain : penggunaan tali dan

pelampung yang lebih kuat, budidaya rumput laut ke perairan yang lebih dalam,

panen lebih awal, penggunaan bibit yang lebih tahan terhadap penyakit dll, pindah

ke lokasi budidaya lain, meningkatkan frekuensi pemeliharaan, diversifikasi mata

pencaharian di sektor perikanan, diversifikasi mata pencaharian di luar sektor

perikanan.

Untuk melakukan strategi adaptasi terhadap dampak perubahan iklim, sering

kali ditemukan beberapa kendala atau hambatan. Di antaranya modal, sulit di

temukan bibit unggul, perubahan arus laut dan sulit menemukan lokasi budidaya.
42

Secara sistematis kerangka pemikiran penelitian ini dapat di lihat pada gambar 1.

Perubahan iklim Tidak

Petani Persepsi Ada


rumput laut

Dampak perubahan iklim Tidak

Ada

Hambatan-hambatan Strategi Adaptasi


implementasi dari
strategi adaptasi
43

Gambar 1. Kerangka Pemikiran

III. METODE PENELITIAN

3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai bulan Juni 2019 hingga

selesai, lokasi penelitian ini di Desa Liya Mawi, Liya Togo dan Liya Bahari Indah

Kecamatan Wangi-Wangi Selatan di Kabupaten Wakatobi. Lokasi penelitian

dipilih dengan pertimbangan sebagai berikut: (1) Di ketiga desa tersebut banyak

terdapat usahatani rumput laut, dan menjadi mata pencaharian utama

masyarakatnya. (2) Ketiga desa tersebut merupakan daerah pengembangan rumput

laut di Kabupaten Wakatobi, (3) Potensi adanya dampak perubahan iklim di lokasi

penelitian sangat tinggi karena terletak di wilayah kepulauan.

3.2. Populasi Dan Sampel

1. Populasi
44

Populasi pada penelitian ini adalah seluruh petani rumput laut ada di

Desa Liya Mawi, Liya Togo dan Liya Bahari Indah Kecamatan Wangi-Wangi

Selatan Kabupaten Wakatobi dengan jumlah populasi sebanyak 80 orang.

Tabel 3.1 Sebaran Populasi Petani Rumput Laut Kecamatan Wangi-Wangi


Selatan Selatan Kabupaten Wakatobi
No Nama Desa Total Populasi Populasi Populasi
Peserta ≥ 15 Kriteria Kriteria
Tahun Eksklusi Inklusi
1 Liya Mawi 38 19 12
2 Liya Togo 24 18 11
3 Liya Bahari Indah 18 11 9
Jummlah 80 48 32

Pengertian dari kriteria inklusi adalah kriteria atau ciri-ciri yang harus

dipenuhi setiap masing anggota populasi yang akan di jadikan sampel. Sedangkan

kriteria eksklusi adalah kriteria atau ciri-ciri anggota populasi yang tidak bisa

dijadikan sebagai sampel penelitian (kriteria inklusi dan eksklusi menurut

notoatmodjo 2010).

Jika menggunakan rumus Slovin:

N
n=
1+N(e)²

80
n =
1+80(0,05)²

80
n=
1+80 ( 0,0025 )

80
n=
1+0,2

80
n=
1,2
45

n = 66,66 (dibulatkan 66 orang).

2. Sampel

Penentuan jumlah sampel untuk masing-masing desa dihitung secara

proposional dengan menggunakan rumus sebagai berikut:

n
s= xS
N

Keterangan:

s = Jumlah sampel tiap Desa


S = Jumlah seluruh sampel
N = Jumlah populasi
n = Jumlah populasi masing-masing unit

Berdasarkan rumus di atas, diperoleh sampel masing-masing wilayah

tampak pada tabel 3.2 berikut:

Tabel 3.2. Sampel Masing-Masing Desa


No Nama Desa Total Populasi Sampel Sampel
Peserta ≥ 15 Kriteria Kriteria
Tahun Eksklusi Inklusi
1 Liya Mawi (38/80) x 66 = 32(19/48) x 36 = 14(12/32)x30= 11
2 Liya Togo (24/80) x 66 = 20(18/48) x 36 = 14(11/32)x30= 10
3 Liya Bahari Indah (17/80) x 66 = 14(11/48) x 36 = 8 (9/32)x30 = 9
Jumlah 66 36 30

Berdasarkan tabel di 3.2. maka jumlah sampel yang dapat diambil dalam

penelitian ini adalah sebanyak 66 orang.

3.3. Jenis Dan Sumber Data

Jenis data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder.

Data primer adalah data yang diperoleh dari obyek penelitian melalui wawancara

langsung dengan responden, kuisoner, survey, dan observasi langsung di lokasi


46

penelitian. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari berbagai instansi yang

terkait dengan penelitian ini.

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah sebagai

berikut:

1. Teknik observasi yaitu pengumpulan data awal dengan melakukan pengamatan

secara langsung terhadap keberadaan tempat pembudidayaan rumput laut di

Desa Liya Mawi, Liya Togo dan Liya Bahari, Kecamatan Wangi-Wangi

Selatan Kabupaten Wakatobi.

2. Teknik survey yaitu pengumpulan informasi dari sampel dengan menggunakan

daftar pertanyaan yang telah terstruktur atau kuesioner.

3. Teknik wawancara yaitu melakukan tanya jawab dengan sampel penelitian

yang berkaitan dengan masalah dalam penelitian dengan menggunakan lembar

kuesioner.

4. Teknik pencatatan yaitu pengumpulan informasi dengan melakukan pencatatan

data pendukung dari instansi terkait.

5. Teknik Kepustakaan yaitu pengumpulan data dengan menggunaka literatur-

literatur yang berhubungan dengan penelitian.

3.5. Variabel Penelitian

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Identitas petani

2. Persepsi terhadap perubahan iklim: perubahan suhu, perubahan curah hujan,

ketidak teraturan musim kemarau dan musim hujan, ketidak teraturan musim
47

barat dan timur, ketidak teraturan waktu ombak tenang dan ombak tinggi,

frekuensi dan intensitas angin, perubahan parameter laut (gelombang, suhu air,

salinitas, struktur pantai, kenaikan permukaan air laut).

3. Persepsi terhadap dampak perubahan iklim terhadap rumput laut

(produktivitas, kualitas hasil, kemampuan rumput laut tumbuh dan bertahan,

kerentanan terhadap penyakit, rumput laut mati, dan terlepas karena terbawa

arus).

4. Strategi adaptasi terhadap dampak perubahan iklim (penggunaan tali dan

pelampung yang lebih kuat, budidaya rumput laut ke perairan yang lebih

dalam, panen lebih awal, penggunaan bibit yang lebih tahan terhadap penyakit

dll, pindah ke lokasi budidaya lain, meningkatkan frekuensi pemeliharaan,

diversifikasi mata pencaharian di sektor perikanan, diversifikasi mata

pencaharian di luar sektor perikanan)

5. Hambatan-hambatan implementasi strategi adaptasi

6. Stategi adaptasi adalah bagaimana petani rumput laut melakukan tindakan

terhadap berpersepsi dalam merespon berbagai macam bentuk perubahan iklim

yang ada di wilayahnya

3.6. Konsep/Definisi Operasional

Operasional yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Responden adalah usia yang dihitung sejak lahir sampai saat penelitian

dilaksanakan, dinyatakan dalam (tahun).

2. Tingkat pendidikan adalah jenjang pendidikan formal tertinggi yang pernah

diikuti responden pada saat penelitian berlangsung.


48

3. Pengalaman adalah pengalaman responden melakukan kegiatan budidaya

rumput laut (tahun).

4. Jumlah anggota keluarga adalah semua orang yang makan dari satu atap atau

dapur yang sama dan menjadi tanggungan keluarga (orang).

5. Persepsi adalah pendapat responden tentang budidaya rumput laut terhadap

perubahan iklim (orang).

6. Perubahan iklim adalah perubahan jangka panjang dalam distribusi pola

cuaca secara statistik sepanjang periode waktu yang mulai desawarsa hingga

jutaan tahun yang berpengaruh pada budidaya rumput laut (tahun).

7. Rumput laut adalah merupakan salah satu sumber daya hayati yang terdapat

di wilayah pesisir dan laut.

8. Petani rumput laut adalah seseorang yang berkerja atau bermata pencaharian

rumput laut.

9. Dampak perubahan iklim adalah akibat suatu perubahan iklim yang terjadi.

10. Adaptasi adalah cara makhluk hidup untuk menyesuaikan diri dengan

lingkungan hidup dimana mereka tinggal.

3.7. Analisis Data

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis secara

deskriptif kualitatif dan kuantitatif berupa persepsi petani rumput laut tentang

perubahan iklim.

Analisis deskriptif kualitatif yang diperoleh kemudian dianalisis dengan

menggunakan skala Likert menurut Sugiono (2010) bahwa skala Likert adalah
49

skala yang digunakan untuk mengukur persepsi petani tentang dampak perubahan

iklim, strategi adaptasi dan hambatan-hambatan implementasi strategi adaptasi

yaitu dengan menggunakan Skala Likert disajikan sebagaimana pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3 Pengukuran Skala Likert


No Skala likert Pemberian Skor
1 Sangat setuju (SS) 5
2 Setuju (S) 4
3 Netral (N) 3
4 Tidak setuju (TS) 2
5 Sangat tidak setuju (STS) 1

Sedangkan data kuantitatif diperoleh kemudian dianalisis dengan

menggunakan persentase Sugiono (2012), maka dapat dirumuskan sebagai

berikut:

f
P= x 100%
n

Keterangan:

P= persentase (jawaban yang dicari)

f = frekuensi jumlah pernyataan jawaban responden

n = jumlah responden

100% = bilangan tetap

Sedangkan untuk mengkategorikan suatu persepsi tentang dampak

perubahan iklim, strategi adaptasi dan hambatan-hambatan implementasi strategi

adaptasi, maka digunakan rumus interval menurut Slamet (1993) dalam Ramdhani

(2011) yaitu sebagai berikut:

Max −Min
n=
∑k
50

Dimana:
n = batas selang

Max = nilai maksimum yang diperoleh dari jumlah skor

Min = nilai minimum yang diperoleh dari skor

∑k = banyaknya kelas

IV. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Gambaran umum lokasi penelitian merupakan penjelasan mengenai

karakteristik Kecamatan Wangi-Wangi Selatan yang berisi letak dan luas wilayah,

keadaan iklim dan topografi, umur pendidikan, pekerjaan, pengalaman, jumlah

tanggungan, pendapatan, luas lahan, posisi sawah terhadap sumber air serta

kondisi lokasi tempat penelitian. Gambaran umum tersebut lebih rinci dijelaskan

dalam bagian-bagian berikut:

4.1.1. Letak dan Luas Desa


51

Kecamatan Wangi-Wangi Selatan merupakan salah satu Kecamatan di

wilayah administrasi Kabupaten Wakatobi. Secara geografis, Kecamatan Wangi-

Wangi Selatan memiliki batas-batas desa sebagai berikut:

- Sebelah Timur berbatasan dengan Desa Liya Togo

- Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Liya One Melangka

- Sebelah Selatan berbatasan dengan Laut Flores

- Sebelah Utara berbatas dengan Desa Komala

Kabupaten Wakatobi memiliki luas wilayah daratan ± 823 km2 atau hanya

sekitar 4,5 persen dari total wilayah Kabupaten Wakatobi secara keseluruhan.

Sisanya merupakan wilayah perairan laut yang luasnya mencapai ±19.200 km 2.

Kabupaten Wakatobi terdiri dari 8 Kecamatan yaitu Binongko, Togo Binongko,

Tomia, Tomia Timur, Binongko, Binongko Selatan, Wangi-Wangi, dan Wangi-

Wangi Selatan.

4.1.2. Keadaan Iklim

Menurut klasifikasi Schmidt-Fergusson, iklim di Kepulauan Wakatobi

termasuk tipe C, dengan dua musim yaitu musim kemarau (musim timur: April–

Agustus) dan musim hujan (musim barat: September–April). Musim angin barat

berlangsung dari bulan Desember sampai dengan Maret yang ditandai dengan

sering terjadi hujan. Musim angin timur berlangsung bulan Juni sampai dengan

September. Peralihan musim yang biasa disebut musim pancaroba terjadi pada

bulan Oktober-November dan bulan April-Mei.


52

Berdasarkan pencatatan dari Stasiun Meteorologi Kelas III Betoambari,

curah hujan di Kepulauan Wakatobi 10 tahun terakhir berkisar antara 0,4-288,2

mm, curah hujan tertinggi terjadi pada bulan Desember dengan rata-rata mencapai

19,51 mm (Gambar 2.4). Jumlah hari hujan mengikuti pola jumlah curah hujan

dengan kisaran antara 1-19 hari hujan. Suhu udara maksimum berkisar 31,5-

34,40C dan suhu udara minimum berkisar pada 22,3-24,90C, dengan kisaran suhu

rata-rata antara 23,7-32,40C. kelembaban udara antara 71-86%.

Pola curah hujan pada gambar diatas dapat menjadi arahan dalam

perencanaan pola tanaman lahan kering terutama untuk tanaman pangan

(semusim) dan hortikultura (sayur-sayuran). Dalam hal tersebut, musim tanam

(MT) I bisa dilaksanakan pada bulan November dan MT II pada bulan Maret.

Pada tanaman perkebunan, pola curah hujan tersebut dapat dipakai sebagai arahan

penanaman bibit di lapang sehingga tidak diperlukan penyiraman.

Kecepatan angin berkisar antara 2-54 knot/det dengan rata-rata sebesar 4

knot/det. Angin kencang bertiup pada bulan Juli sampai September, kemudian

bulan November, Januari dan Februari (Gambar 2.4). Tiupan angin yang kencang

dapat menimbulkan gelombang yang berpengaruh pada frekuensi melaut para

nelayan dan selanjutnya terhadap jumlah ikan hasil tangkapan. Terkait hal ini,

program pengadaan kapal ikan dengan ukuran yang memadai akan sangat

membantu para nelayan.

4.1.3. Keadaan Demografi

Keadaan penduduk (demografi) merupakan salah satu aspek yang ditelaah

dalam penelitian ini. Keadaan demografi mencakup kondisi keadaan penduduk,


53

mata pencaharian dan pendidikan. Pertumbuhan penduduk dengan segala potensi

yang dimiliki akan sangat mendukung kelancaran pembangunan disegala bidang.

Potensi yang dimaksud adalah sumber daya manusia (SDM). Dukungan sumber

daya manusia yang berkualitas akan sangat menentukan keberhasilan dalam

mencapai tujuan pembangunan. Terlebih adanya dukungan sumberdaya alam dan

sumberdaya lainya yang sangat potensial maka pembangunan akan terlaksana

dengan baik.

Sumber daya manusia yang berkualitas dapat dilihat dari usia produktif.

Produktif atau tidaknya umur seseorang tentunya akan berpengaruh terhadap

kemampuan kerja, cara berpikir dan tingkat respon terhadap suatu inovasi.

Seseorang dengan usia relatif mudah (produktif) biasanya akan lebih terampil dan

dinamis dalam melakukan tindakan, bila dibandingkan dengan orang yang berusia

kurang produktif. Dengan demikian, maka dapat dikatakan bahwa penduduk di

tiga desa Kecamatan Wangi-Wangi Selatan dalam melakukan usahanya relatif

akan lebih berhasil, karena sebagian besar berada pada usia produktif. Lebih

jelasnya keadaan penduduk di Tiga Desa Kecamatan Wangi-Wangi Selatan dapat

dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1. Penduduk Di Tiga Desa Kecamatan Wangi-Wangi Selatan berdasarkan


Kelompok Umur dan Jenis Kelamin Tahun 2019.
Jenis Kelamin
No Nama Desa Laki-Laki Perempuan Jumlah (Jiwa)
1 Desa Liya Mawi 260 293 553
2 Desa Liya Togo 210 262 472
Desa Liya Bahari
3 Indah 204 232 436
Jumlah 674 787 1.461
Data : Profil Di Tiga Desa Kecamatan Wangi-Wangi Selatan 2019
54

Berdasarkan data di atas, maka dapat diketahui bahwa jumlah penduduk di

tiga desa Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi dalam tahun

2018, ini menunjukan jumlah perempuan lebih banyak dari pada jumlah laki-laki.

Penduduk Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi pada umumnya

mempunyai mata pencaharian sebagai petani, nelayan dan pedagang, hanya

sebagian kecil yang bergerak pada sektor-sektor lainnya.

4.1.4. Mata Pencaharian

Penduduk di tiga desa Kecamatan Wangi-Wangi Selatan umumnya

mengandalkan sektor pertanian sebagai mata pencaharian utama, khususnya

usahatani rumput laut. Jumlah penduduk yang bermata pencaharian sebagai petani

rumput laut sangat besar dibandingkan dengan mata pencaharian lainnya. Lebih

jelasnya keadaan penduduk di tiga desa Kecamatan Wangi-wangi Selatan

berdasarkan mata pencaharian dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 4.2. Keadaan Penduduk Berdasarkan Mata Pencaharian Di Tiga Desa


Kecamatan Wangi-Wangi Selatan
No Mata Pencaharian Jumlah (KK) Persentase (%)
1 Petani 204 90,27
2 ABRI/Pegawai Negeri Sipil 3 1,33
3 Industri Rumah Tangga 5 2,21
4 Wiraswasta 2 0,89
5 Pedagang 8 3,53
6 Lain-lain 4 1,77
  Jumlah 226 100,00
Sumber : Kantor Di Tiga Desa Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, 2019
55

Tabel 4.2. terlihat bahwa sebagian besar penduduk di tiga desa Kecamatan

Wangi-Wangi Selatan memiliki mata pencaharian sebagai petani yaitu 204 orang

(90,27%). Jumlah ini lebih banyak bila dibandingkan dengan penduduk yang

memiliki mata pencaharian disektor lain.

4.1.5. Tingkat Pendidikan

Tingkat pendidikan yang dimiliki akan sangat mempengaruhi seseorang

dalam berfikir dan bertindak. Tingkat pendidikan juga sangat mempengaruhi

seorang petani dalam meyerap inovasi baru. Rincian keadaan penduduk menurut

tingkat pendidikan di Desa Liya dapat dilihat pada Tabel 4.3.

Tabel 4.3. Keadaan Penduduk Berdasarkan Tingkat Pendidikan Di Tiga Desa


Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, Tahun 2019.
No Tingkat Pendidikan Jumlah Jiwa Persentase (%)
1 Belum sekolah 199 10,28
2 TK 306 15,82
3 SD 1023 52,87
4 SMP 203 10,49
5 SMA 187 9,66
6 S1 17 0,88
Jumlah 1935 100,00
Data : Profil Di Tiga Desa Kecamatan Wangi-Wangi 2019

Berdasarkan Tabel 4.3 diketahui bahwa masyarakat yang tingkat

pendidikannya tamat SD menempati posisi tertinggi yakni mencapai 1023 orang

atau 52,87%. Sedangkan yang menempati posisi terendah adalah masyarakat yang

tamat perguruan tinggi yakni 17 orang atau 0,88 % jika dilihat dari komposisi

tersebut, pendidikan di tiga desa Kecamatan Wangi-Wangi Selatan masih

didominasi oleh masyarakat yang tingkat pendidikannya tamat SD, maka sangat

diperlukan penerapan sistem pendidikan formal untuk meningkatkan pengetahuan


56

masyarakat serta meningkatan perhatian pemerintah terhadap pendidikan formal

anak-anak dimasa sekarang sebagai generasi penerus bangsa.

4.1.6. Sarana dan Prasarana Ekonomi

Perkembangan suatu daerah tentunya tidak terlepas dari ketersediaan sarana

dan prasarana baik sarana sosial maupun sarana ekonomi pada segala aspek

kehidupan sebagai faktor penunjang yang sangat penting bagi masyarakat dalam

melakukan aktifitasnya. Lebih jelasnya mengenai keadaan sarana dan prasarana

yang dapat dimanfaatkan penduduk di tiga desa Kecamatan Wangi-Wangi Selatan

dilihat pada Tabel 4.4. berikut:

Tabel 4.4. Ketersediaan Sarana dan Prasarana Di Tiga Desa Kecamatan Wangi-
Wangi Selatan 2019
No Jenis Sarana dan Prasarana Jumlah (Unit)
1 Sarana Desa
-Kantor Desa 1
2 Sarana Pendidikan
-TK 1
-SD 1
-Madrasa 1
3 Sarana Kesehatan
-Polindes 1
-Posyandu 1
-Puskesmas 1
4 Sarana Peribadaan 8
Data : Profil Di Tiga Desa Kecamatan Wangi-Wangi Selatan 2019
Sarana pendidikan dapat dimanfaatkan sebagai tempat menimba ilmu bagi

anak-anak usia sekolah di daerah ini. Sarana perekonomian diharapkan mampu

memenuhi dan menyediakan segala kebutuhan yang dibutuhkan masyarakat

khususnya petani. Sarana kesehatan diharapkan dapat meningkatkan kesehatan

masyarakat. Prasarana peribadaan dapat dimanfaatkan sebagai tempat ibadah dan

peningkatan pengetahuan tentang agama bagi masyarakat. Sarana dan prasarana


57

transportasi, digunakan untuk mempermudah petani dalam menjalankan aktivitas

keseharian serta untuk mengangkut hasil pertanian baik pada saat akan diangkut

kerumah ataupun pada saat akan dijual.

4.2. Identitas Responden

Identitas petani responden menggambarkan keadaan petani yang dapat

mempengaruhi pola tindak dan pola pikir dalam mengambil suatu keputusan yang

berkaitan dengan pengeloalaan usahanya, khususnya presepsi strategi dan adaptasi

terhadap dampak perubahan iklim pada budidaya rumput laut. Presepsi tersebut

berbeda-beda didasari oleh beberapa faktor yang kaitannya dengan pelaksanaan

budidaya rumput laut. Faktor-faktor tersebut antara lain meliputi karakteristik

seperti : umur, tingkat pendidikan, jumlah tanggungan keluarga dan pengalaman

berusahatani. Untuk lebih jelasnya akan diuraikan sebagai berikut:

4.2.1. Jenis Kelamin

Jenis kelamin adalah perbedaan ciri fisik antara laki-laki dan perempuan

yang melekat pada diri masing-masing. Variabel jenis kelamin dapat digunakan

sebagai salah satu indikasi apakah jenis pekerjaan yang mereka tekuni merupakan

pekerjaan pokok atau pekerjaan sampingan. Kondisi sosial di Indonesia

mengindikasikan seorang wanita yang berstatus menikah dan bekerja dapat

diindikasikan bahwa pekerjaannya tersebut bersifat sampingan untuk membantu

pekerjaan pokok suami. Meskipun tidak bersifat mutlak, namun hal tersebut

cukup beralasan sehingga dilakukan seorang wanita.

Penduduk yang menjadi responden dalam penelitian terdiri atas jenis

kelamin laki-laki dan perempuan. Jenis kelamin mempengaruhi jenis pekerjaan


58

yang dilakukan pembudidayaan rumput laut. Jenis kelamin laki-laki lebih

diandalkan untuk membudidayakan rumput laut dibandingkan jenis kelamin

perempuan. Secara jelasnya keadaan umur responden dapat dilihat pada Tabel 4.5

berikut:

Tabel 4.5. Keadaan Jenis Kelamin Responden Di Tiga Desa Kecamatan Wangi-
Wangi Selatan Tahun 2019
No Umur (Tahun) Jumlah (Jiwa) Persentase (%)
1 Laki-Laki 59 89,39
2 Perempuan 7 10,61
Jumlah 66 100

Sumber : Data Primer Setelah Diolah, Tahun 2019.

Berdasarkan tabel 4.5. bahwa responden sebanyak 66 orang yang terdiri dari

59 orang atau 89,39% laki-laki dan sebanyak 7 oaran atau sekitar 10,61%

perempuan. Hasil ini mengindikasikan bahwa yang menjadi responden dalam

penelitian ini menunjukkan bahwa lebih banyak yang berjenis kelamin laki-laki

dalam melakakukan aktivitas pekerjaan dibandingan perempuan.

4.2.2. Umur

Salah satu faktor penunjang keberhasilan mengambil keputusan atau menilai

suatu objek adalah kemampuan fisik dalam bekerja dan berpikir. Pada umumnya

yang sehat jasmani dan berumur muda memiliki kemampuan fisik yang lebih

besar dengan pola pikir yang kreatif dan responsif terhadap teknologi sehingga

mereka akan lebih dinamis dalam mengelola usahataninya. Sebaliknya yang

berumur tua cenderung untuk lebih berhati-hati dalam bertindak dan mengambil

keputusan apalagi yang menyangkut perubahan teknologi dalam suatu

usahataninya.
59

Perilaku demikian disebabkan karena telah banyaknya pengalaman yang ia

lalui sehingga mendorongnya untuk mempertahankan kebiasaan lama yang

sifatnya tradisional. Soehardjo (2010), bahwa kelompok umur yang tergolong

produktif yaitu berkisar antara 15 – 54 tahun sedangkan kelompok umur yang

kurang produkitif berada pada kisaran 55 tahun keatas.

Hasil penelitian diketahui bahwa umur petani bervariasi dari 23 tahun

sampai 67 tahun. Dari struktur nampak bahwa rata-rata petani yang

membudidayakan rumput laut di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan termasuk

golongan usia produktif. Secara jelasnya keadaan umur responden dapat dilihat

pada Tabel 4.6 berikut:

Tabel 4.6. Keadaan Umur Responden Di Tiga Desa Kecamatan Wangi-Wangi


Selatan Tahun 2019
No Umur (Tahun) Jumlah Responden Persentase (%)
1 Usia Produktif (15-54) 61 92,42
2 Usia Non Produktif >55 5 7,57
  Jumlah 66 100
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, Tahun 2019.

Tabel 4.6. menunjukan bahwa 92,42% atau sebanyak 61 orang responden

berada pada usia produktif antara 15-54 tahun, sedangkan responden yang berada

pada usia non produktif diatas 55 tahun sebanyak 5 orang atau 7,57. Melihat

fenomena tersebut hampir keseluruhan responden di tiga desa Kecamatan Wangi-

Wangi Selatan termasuk dalam kategori umur produktif. Hal ini menggambarkan

bahwa responden yang berada dalam umur produktif mampu meningkatkan

kesejahteraan dan peningkatan pendapatan responden melalui adanya kegiatan

budidaya rumput laut.


60

Dengan demikian semakin produktif usia petani biasanya mempunyai

semangat untuk ingin tahu apa yang belum mereka ketahui, sehingga dengan

demikian mereka berusaha lebih cepat untuk menerima inovasi-inovasi baru baik

dari penyuluh maupun dari media massa guna untuk mencapai tujuan dalam suatu

usahanya.

4.2.3. Tingkat Pendidikan

Pendidikan merupakan salah satu faktor penentu dalam pembangunan

pertanian. Hal ini sesuai dengan penjelasan AT. Mosher (2001), bahwa salah satu

syarat yang diperlukan dalam pembangunan pertanian adalah pendidikan.

Pendidikan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pendidikan formal yang

pernah diikuti oleh responden. Petani yang mempunyai tingkat pendidikan relatif

tinggi akan menyebabkan petani tersebut lebih dinamis, rasional dan berani dalam

mengambil suatu keputusan tentang pengelolaan usahanya serta dalam

penerimaan inovasi-inovasi baru. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel

4.7. berikut:

Tabel 4.7. Pendidikan Responden Di Tiga Desa Kecamatan Wangi-Wangi


Selatan Tahun 2019
Pendidikan Jumlah Responden Persentase (%)
Tamat SD 7 10,61
Tamat SMP 17 25,76
Tamat SMA 33 50
S1 9 13,64
Jumlah 66 100
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, Tahun 2019

Tabel 4.7 menunjukkan bahwa responden di tiga desa Kecamatan Wangi-

Wangi Selatan yang tamat Sekolah Dasar/SD sebanyak 7 orang atau 10,61%,

lebih sedikit bila dibandingkan dengan responden yang tamat Sekolah Menengah
61

Pertama (SMP) sebanyak 17 orang atau 25,76%. Sedangkan responden yang lulus

Sekolah Menengah Atas (SMA) sebanyak 33 orang atau 50%, lebih banyak bila

dibandingkan dengan responden yang berpendidikan S1 yakni sebanyak 9 orang

atau 13,64%.

Kondisi pendidikan yang berbeda-beda yang dimiliki responden maka dapat

mempengaruhi baik cara berpikir maupun cara kerja mereka. Tetapi dengan

pendidikan yang berbeda tersebut tidak harus merubah cara kerja mereka dalam

bertani rumput laut, tetapi yang membedakan petani antara tingkat pendidikan

tinggi dan rendah yaitu cara berpikir dan daya tangkap dalam menerima informasi

seperti dalam kegiatan penyuluhan tentang pembudidayaan rumput laut. Penelitian

ini menunjukan bahwa meskipun pendidikan petani rumput laut (responden)

didominasi oleh tamat Sekolah Menengah Atas (SMA) tetapi tidak mempengaruhi

cara kerja mereka dalam bertani karena sangat didukung dengan pengalaman yang

dimiliki sebelumnya sehingga tetap melakukan usahataninya dengan baik.

4.2.4. Pengalaman Berusahatani

Pengalaman adalah pendidikan yang diperoleh seseorang melalui rutinitas

sehari-hari, seperti peristiwa-peristiwa atau kenyataan-kenyataan yang dialaminya

dimana memiliki andil yang cukup besar untuk mencapai kesuksesan pada masa

yang akan datang dalam mengelolah usahanya.

Pengalaman petani dalam berusaha merupakan suatu proses pendidikan

yang diperoleh di luar bangku sekolah yaitu suatu kejadian atau peristiwa yang

pernah dialami yang dapat bersumber dari sesama petani, penyuluh, media

komunikasi (tv/radio) maupun yang pernah dibaca, seperti koran, dan lain-lain.
62

Seseorang yang mempunyai pengalaman yang banyak diharapkan dapat

menentukan alternatif yang lebih baik untuk dapat meningkatkan produksinya

dalam hal ini produksi rumput laut.

Pada penelitian ini yang dimaksud dengan pengalaman berusahatani adalah

lamanya waktu yang dijalani oleh responden mengelola usahataninya. Soehardjo

(2011), pengalaman berusahatani dikatakan cukup apabila telah menggeluti

pekerjaan berusahatani selama 5–10 tahun, sedangkan 10 tahun keatas

dikategorikan berpengalaman dan kurang dari 5 tahun dikategorikan kurang

berpengalaman. Lebih jelasnya mengenai pengalaman berusahatani di Kecamatan

Wangi-Wangi Selatan dapat dilihat pada Tabel 4.8.

Tabel 4.8. Keadaan Pengalaman Berusahatani Responden Di Tiga Desa


Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, 2019
No Pengalaman Berusahatani (Tahun) Jumlah (Jiwa) Persentase (%)
1 Kurang (< 5) 23 34,85
2 Cukup Berpengalaman (5 – 10) 43 65,15
Jumlah 66 100
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, Tahun 2019.

Tabel 4.8 menunjukan bahwa pengalaman yang dimiliki oleh petani rumput

laut di tiga desa Kecamatan Wangi-Wangi Selatan termasuk dalam kategori cukup

berpengalaman sejumlah 43 orang (65,15%) dan kurang berpengalaman sejumlah

23 orang (34,85%). Pengalaman petani dalam berusaha mempengaruhi pikiran

dalam mengambil suatu tindakan tentang pengelolaan usahanya, sehingga makin

lama pengalaman dalam berusaha akan lebih berhati-hati dalam mengambil suatu

keputusan pada kegiatan budidaya rumput laut.

4.2.5. Teknik Budidaya Rumput Laut


63

Ada beberapa teknik dalam membudidayakan rumput laut Eucheumacottonii

yaitu;

1. Pemilihan Lokasi Budidaya

Adapun teknik budidaya rumput laut Eucheumacottoni yang harus kita

ketahui terlebih dahulu adalah pemilihan lokasi budidaya yang tepat. Sebab lokasi

yang baik tentu akan memberi dampak positif pula pada pertumbuhan

Eucheumacottoni kita kelak. Berikut ini adalah persyaratan lokasi budidaya

rumput laut Eucheumacottoni: Substratnya stabil dan terlindung dari hantaman

ombak, umumnya daerah yang paling ideal adalah yang dekat dengan terumbu

karang, Kedalaman air pada saat surut terendah adalah 1 – 30 cm, Perairan dilaui

oleh arus tetap dari laut lepas di sepanjang pantai, Kecepatan rat-rata arus airnya

20 – 40 m / menit, Air jernih, tidak mengandung lumpur. Diutamakan yang jauh

dari muara sungai, Suhu air berkisar antara 27 – 28 derajat celsius, salinitas antara

30 – 37 ppt, dan ph antara 6,5 – 8,5.

2. Metode Budidaya

Ada tiga metode budidaya rumput laut Eucheumacottoni Berikut diantaranya :

- Metode Lepas Dasar, Metode ini digunakan pada dasar perairan berpasir

atau berlumpur pasir. Tujuannya adalah untuk memudahkan menancapkan

patok atau tiang pancang dan patok yang digunakan baiknya berukuran

diameter 5 cm dan panjang 1 m dengan ujung bawah yang meruncing.


64

- Metode rakit apung, dapat diterapkan pada perairan yang berkarang,

karena pergerakannya akan didorong oleh ombak. Maka penanaman rumput

laut Eucheumacottoni menggunakan rakit bambu atau kayu.

- Metode ini memanfaatkan tali sepanjang, 50 – 100 m yang dibentangkan

pada permukaan air. Kedua sisinya dilengkapi dengan jangkar dan juga

pelampung besar. Jarak pelampung yang disarankan adalah setiap 25 cm,

dan usahakan memakai pelampung dari drum plastik.

3. Proses Penanaman Rumput Laut

Untuk mengawali penanaman rumput laut Eucheumacottoni ini, langkah awal

tentu saja dengan memilih bibit yang berkualitas, seperti halnya kita lakukan pada

Cara Budidaya Ikan Black Ghost. Ciri-cirinya adalah sebagai berikut: Memiliki

banyak cabang dan rimbun, Tidak terdapat bercak pada batangnya, Tidak

terkelupas, Warnanya cerah, Berumur sekitar 25 – 35 hari, Sebaiknya

dikumpulkan secara langsung dari lokasi perairan dengan jumlah yang

disesuaikan dengan kebutuhan. Pada saat proses pengangkutan dari habitat

aslinya, bibit rumput laut Eucheumacottoni harus dalam keadaan terendam di

dalam air. Susun bibit-bibit tersebut secara berlapis dan berselang antara pangkal

tallus dan ujung tallus. Antara lapisan satu dengan yang lain diberi lapisan kain

yang telah dibasahi dengan air laut. Hindarkan bibit dari kehujanan, kekeringan

ataupun terkena minyak. Berikut ini proses penanamannya ;

- Siapkan tali Ris polyethylen (PE) untuk menggantung bibit rumput laut

Eucheumacottoni, ikat bibit tersebut pada tali penggantung.


65

- Rentangkan tali Ris yang telah berisi ikatan rumput laut. Pada tali utama,

posisikan tanaman sekitar 30 cm di dasar perairan.

- Tali Ris akan direntangkan pada patok dengan ukuran yang telah kami

sampaikan di atas. Jarak ideal untuk setiap tali Ris yang direntangkan

adalah berkisar 20 – 25 cm.

Perawatan serta Pemeliharaan

Agar budidaya rumput laut Eucheumacottonii kita berjalan dengan baik dan dapat

menghasilkan panen melimpah, ada beberapa langkah perawatan yang wajib

dilakukan.

- Bersihkan talus dari tumbuhan liar dan lumpur yang menempel sehingga

tidak menghalangi tanaman dari sinar matahari yang masuk.

- Bersihkan pula tali penggantung dari sampah atau pun tumbuhan liar

lainnya.

- Periksalah keutuhan tali gantungan. Perbaiki jika ada yang putus atau agak

kendor. Jika perlu, ganti dengan yang baru.

- Periksalah tanaman dari gangguan berbagai penyakit.

- Hama rumput laut yang wajib diwaspadai adalah larva bulu babi, teripang,

ikan baronang, dan ikan herbivora lainnya.

4. Proses Panen
66

Waktu pemanenan tergantung dari tujuan budidaya Eucheumacottonii yang

Anda lakukan. Jika tujuannya adalah untuk pembibitan, maka pemanenan dapat

dilakukan pada umur 25 – 35 hari. Berbeda jauh dari Cara Budidaya Kerang

Mutiara Air Laut. Sementara untuk produksi berkualitas tinggi, dengan

kandungan keragiannya yang banyak, panen baru bisa dilakukan pada saat umur

45 hari. Pemanenan rumput laut dapat dilakukan dengan cara mengangkat seluruh

tanaman beserta tali penggantungnya. Pelepasan tanaman dari tali

penggantungnya langsung saja dilakukan dengan cara pemotongan. Rumput laut

yang sudah selesai dipanen langsung saja dilakukan pengeringan dengan cara

menjemurnya di bawah sinar matahari. Gantungkan rumput laut tersebut pada

para-para agar tidak tercampur dengan pasir. Sambil menjemur, Anda bisa

melakukan pembersihan rumput laut dari benda-benda asing seperti batu atau

sampah lainnya. Jika kondisi cuaca cerah, penjemuran cukup dilakukan selama 3

– 4 hari atau sampai terlihat warna ungu keputihan dilapisi kristal garam.

4.3. Persepsi Petani terhadap Perubahan Iklim pada Budidaya Rumput Laut

Berdasarkan hasil wawancara terhadap responden mengenai persepsinya

terhadap perubahan iklim, semua responden pernah mendengar istilah perubahan

iklim. Mayoritas mendengar istilah perubahan iklim berasal dari informasi media

televisi. Mayoritas responden memahami apa yang dimaksud dengan perubahan

iklim. Hal ini dibuktikan dengan penjelasan yang diberikan oleh mereka

mendekati dengan fenomena-fenomena yang ditimbulkan akibat perubahan iklim.

Menurut mereka perubahan iklim adalah berubahnya cuaca, musim hujan tidak

menentu, dan pasang surut yang tidak menentu lagi serta semakin tinggi. Hal
67

tersebut akan berdampak pada hasil panen yang tidak maksimal kualitas rumput

laut dan harga jual.

4.3.1. Persepsi Petani terhadap Perubahan Iklim

Berdasarkan hasil temuan peneliti terhadap 66 responden, terdapat

keterkaitan antara perubahan iklim yang mengakibatkan terjadinya penurunan

produktivitas rumput laut. Penurunan produktivitas menyebabkan penurunan

produksi budidaya rumput laut di tiga desa Kecamatan Wangi-Wangi Selatan.

Perubahan iklim membuat rumput laut menjadi lebih rentan dengan perubahan

cuaca. Daya tahan rumput laut menurun sehingga mudah terserang penyakit.

Selain itu, perubahan cuaca dan suhu perairan dapat memicu pertumbuhan yang

tidak optimal pada tanaman rumput laut. Adapun hasil analisis presepsi responden

terhadap perubahan iklim Tabel 4.9.

Tabel 4.9.  Persepsi Petani Terhadap Perubahan Iklim Di Tiga Desa Kecamatan


Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi
68

Skor
Skor/Frekuensi rata-rata Kategori
No. Variabel SS S N TS STS

1 Kenaikan suhu 59 4 3 0 0 4,9 Tinggi

Musim hujan dan musim


2 kemarau 55 7 4 0 0 4,9 Tinggi

3 Frekuensi dan intensitas curah 60 4 2 0 0 4,9 Tinggi


hujan

4 Gelombang laut tenang dan 62 3 1 0 0 4,9 Tinggi


gelombang laut tinggi

5 Musim angin barat dan 55 8 3 0 0 4,8 Tinggi


musim angin timur

6 Banjir dan kekeringan 0 0 3 63 0 2 Rendah

7 Terjadi kenaikan ke permukaan 58 4 4 0 0 4,8 Tinggi


Laut

8 Kenaikan suhu dan air laut 53 10 3 0 0 4,8 Tinggi

9 Pengikisan garis pantai / Abrasi 48 5 13 0 0 4,5 Tinggi


               
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, Tahun 2019.

Berdasarkan Tabel 4.9. terlihat bahwa dari 66 responden dapat diketahui

yaitu untuk aspek kenaikan suhu sebanyak 59% responden menyatakan sangat

setuju (SS), 4% setujutu (S) dan 3% ragu-ragu (N). Skor rata-rata 4,9

menunjukkan bahwa sebagian besar para petani rumput laut “sangat setuju” telah

terjadi perubahan iklim. Selanjutnya, dapat diketahui untuk aspek Musim hujan

dan musim kemarau sebanyak 55% responden menyatakan sangat setuju (SS),

7% setuju (S) dan 4% ragu-ragu (N). Skor rata-rata 4,9 menunjukkan bahwa
69

sebagian besar para petani rumput laut “sangat setuju” telah terjadi perubahan

iklim. Selanjutnya, dapat diketahui untuk aspek frekuensi dan intensitas curah

hujan sebanyak 60% responden menyatakan sangat setuju (SS), 4% setuju (S)

dan 2% ragu-ragu (N). Skor rata-rata 4,9 menunjukkan bahwa sebagian besar para

petani rumput laut “sangat setuju” telah terjadi perubahan iklim.

Selanjutnya, dapat diketahui untuk aspek gelombang laut tenang dan

gelombang laut tinggi sebanyak 62% responden menyatakan sangat setuju (SS),

3% setuju (S) dan 1% ragu-ragu (N). Skor rata-rata 4,9 menunjukkan bahwa

sebagian besar para petani rumput laut “sangat setuju” telah terjadi perubahan

iklim. Selanjutnya, dapat diketahui untuk aspek musim angin barat dan musim

angin timur sebanyak 55% responden menyatakan sangat setuju (SS), 8% setuju

(S) dan 3% ragu-ragu (N). Skor rata-rata 4,8 menunjukkan bahwa sebagian besar

para petani rumput laut “sangat setuju” telah terjadi perubahan iklim. Selanjutnya,

dapat diketahui untuk aspek banjir dan kekeringan sebanyak 3% responden

menyatakan ragu-ragu (N) dan, 63% tidak setuju (TS). Skor rata-rata 2,0

menunjukkan bahwa sebagian besar para petani rumput laut “tidak setuju” telah

terjadi perubahan iklim (banjir dan kekeringan pada laut).

Selanjutnya, dapat diketahui untuk aspek terjadi kenaikan permukaan laut

sebanyak 58% responden menyatakan sangat setuju (SS), 4% setuju (S) dan 4%

ragu-ragu (N). Skor rata-rata 4,8 menunjukkan bahwa sebagian besar para petani

rumput laut “sangat setuju” telah terjadi perubahan iklim. Selanjutnya, dapat

diketahui untuk aspek kenaikan suhu dan air laut sebanyak 53% responden

menyatakan sangat setuju (SS), 10% setuju (S) dan 3% ragu-ragu (N). Skor rata-
70

rata 4,8 menunjukkan bahwa sebagian besar para petani rumput laut “sangat

setuju” telah terjadi perubahan iklim. Selanjutnya, dapat diketahui untuk aspek

pengikisan garis pantai/abrasi sebanyak 48% responden menyatakan sangat

setuju (SS), 5% setuju (S) dan 13% ragu-ragu (N). Skor rata-rata 4,5

menunjukkan bahwa sebagian besar para petani rumput laut “sangat setuju” telah

terjadi perubahan iklim. Hal ini disebabkan oleh perubahan iklim yang tidak

menentu sehingga menyebabkan petani susah untuk meperdiksi waktu tanam

yang tepat untuk melakukan usahatani rumput laut.

4.3.2. Persepsi Terhadap Dampak Perubahan Iklim


Berdasarkan hasil temuan peneliti terhadap 66 responden, terdapat

keterkaitan antara dampak perubahan iklim yang mengakibatkan terjadinya

penurunan hasil produktivitas rumput laut. Dampak perubahan iklim membuat

rumput laut menjadi lebih rentan dengan perubahan cuaca. Daya tahan rumput

laut menurun sehingga mudah terserang penyakit. Selain itu, perubahan cuaca dan

suhu perairan dapat memicu pertumbuhan yang tidak optimal pada tanaman

rumput laut. Adapun hasil analisis presepsi responden terhadap perubahan iklim

Tabel 4.10.

Tabel 4.10. Persepsi Petani Terhadap Dampak Perubahan Iklim Di Tiga Desa
Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi
71

Skor/Frekuensi Skor
No rata- Katego
. Variabel SS S N TS STS rata ri

1 Penurunan produksi 57 6 3 0 0 4,8 Tinggi

Penurunan kualitas rumput


2 laut 59 5 2 0 0 4,9 Tinggi

Penurunan kemampuan
3 rumput 47 18 1 0 0 4,7 Tinggi
Laut tumbuh dan bertahan

Lebih rentan terhadap


4 serangan 40 15 11 0 0 4,4 Tinggi
hama penyakit

Rumput laut lebih banyak


5 yang mati 53 9 4 0 0 4,7 Tinggi

Rumput laut lebih banyak


6 yang terlepas 60 4 2 0 0 4,9 Tinggi
Sumber : Data Primer Setelah Diolah, Tahun 2019.

Berdasarkan Tabel 4.10. diketahui bahwa dari 66 responden dapat

diketahui yaitu untuk aspek penurunan produksi sebanyak 57% responden

menyatakan sangat setuju (SS), 6% setuju (S) dan 3% ragu-ragu (N). Skor rata-

rata 4,8 menunjukkan bahwa sebagian besar para petani rumput laut “sangat

setuju” telah terjadi dampak perubahan iklim. Selanjutnya, dapat diketahui untuk

aspek penurunan kualitas rumput laut sebanyak 59% responden menyatakan

sangat setuju (SS), 5% setuju (S) dan 2% ragu-ragu (N). Skor rata-rata 4,9

menunjukkan bahwa sebagian besar para petani rumput laut “sangat setuju” telah

terjadi dampak perubahan iklim. Selanjutnya, dapat diketahui untuk aspek

penurunan kemampuan rumput laut sebanyak 47% responden menyatakan sangat

setuju (SS), 18% setuju (S) dan 1% ragu-ragu (N). Skor rata-rata 4,7
72

menunjukkan bahwa sebagian besar para petani rumput laut “sangat setuju” telah

terjadi dampak perubahan iklim.

Selanjutnya, dapat diketahui untuk aspek rentan terhadap serangan hama

penyakit sebanyak 40% responden menyatakan sangat setuju (SS), 15% setuju

(S) dan 11% ragu-ragu (N). Skor rata-rata 4,4 menunjukkan bahwa sebagian

besar para petani rumput laut “sangat setuju” telah terjadi dampak perubahan

iklim. Selanjutnya, dapat diketahui untuk aspek rumput laut yang mati sebanyak

53% responden menyatakan sangat setuju (SS), 9% setuju (S) dan 4% ragu-ragu

(N). Skor rata-rata 4,7 menunjukkan bahwa sebagian besar para petani rumput

laut “sangat setuju” telah terjadi dampak perubahan iklim. Selanjutnya, dapat

diketahui untuk aspek rumput laut yang terlepas sebanyak 60% responden

menyatakan sangat setuju (SS), 4% setuju (S) dan 2% ragu-ragu (N). Skor rata-

rata 4,9 menunjukkan bahwa sebagian besar para petani rumput laut “sangat

setuju” telah terjadi dampak perubahan iklim. Hal ini disebabkan oleh perubahan

iklim sehingga menyebabkan petani susah untuk menanggulangi dampaknya

tersebut

4.3.3. Strategi Adaptasi Petani Terhadap Dampak Perubahan Iklim


Berdasarkan hasil temuan peneliti terhadap 66 responden, terdapat beberapa

strategi yang telah dilakukan oleh para petani, guna untuk menanggulangi

perubahan iklim yang akan datang. Perubahan iklim membuat rumput laut

menjadi lebih rentan dengan perubahan cuaca. Daya tahan rumput laut menurun

sehingga mudah terserang penyakit. Kemudian dari strategi yang telah dilakukan

oleh para petani ini, tergolong sangat membantu dalam kegiatan budidaya rumput
73

laut tersebut. Adapun hasil analisis presepsi responden terhadap perubahan iklim

Tabel 4.11

Tabel 4.11. Strategi Adaptasi Petani Terhadap Dampak Perubahan Iklim Di Tiga
Desa Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi

Skor
Skor/Frekuensi rata-rata Kategori
No. Variabel M TT TM
1 Penggunaan tali dan pelampung 57 0 9 2,7 Melakukan
lebih kuat

2 Memindahkan lokasi budidaya 55 0 11 2,7 Melakukan

3 Panen lebih awal 45 0 21 2,3 Melakukan

4 Penggunaan bibit unggul 66 0 0 3,0 Melakukan

5 Meningkatkan frekuensi 56 0 10 2,7 Melakukan


Pemeliharaan

6 Melakukan pekerjaan lain di 60 0 6 2,8 Melakukan


dalam sektor perikanan

7 Melakuakn perkerjaan lain 58 0 8 2,7 Melakukan


  di luar sektor perikanan          
Sumber: Data Primer diolah, 2019

1. Penggunaan tali/ pelampung yang lebih kuat

Strategi adaptasi penggunaan ikatan pelampung yang lebih besar/kuat guna

untuk membantu kegiatan para petani rumput laut di tiga desa Kecamatan Wangi-

Wangi Selatan Kegiatan ini, sesudah terjadinya perubahan iklim. Para petani yang

melakukan tindakan ini tidak memiliki kemampuan yang lebih sistematis dan

terencana untuk mendeteksi potensial produksi. berdasarkan hasil analisis dari 66

responden bahwa sebanyak 57% responden telah melakukan (M) penggunaan tali

lebih kuat dan 9% responden tidak melakukan (TM), dan skor rata-rata 2,7
74

menunjukan bahwa sebagian besar para petani rumput laut telah “melakukan”

penggunaan tali pelampung lebih kuat. Pola adaptasi tersebut sebenarnya akan

efektif jika disertai oleh adaptasi yang lebih sistematis, yakni dengan penerapan

teknologi dalam memprediksi lokasi yang lebih produktif dalam pembudidayaan

rumput laut. Hal ini disebabkan karena bentuk-bentuk adaptasi yang dilakukan

oleh para petani masih tergolong sangat sederhana. Mereka hanya mengandalkan

pengalaman dan “insting” mereka sebagai pembudidaya rumput laut. Tingkat

pendidikan yang masih rendah sangat mempengaruhi teknologi adaptasi yang

dilakukan.

2. Pindah Lokasi Budidaya

Berdasarkan hasil analisis penelitian, sebanyak 55% responden telah

melakukan (M), pemindahan lokasi dan 11% responden tidak melakukan (TM),

dan skor rata-rata 2,7 menunjukan bahwa sebagian besar para petani rumput laut

telah “melakukan” pindah lokasi budidaya. adaptasi petani rumput laut di tiga

desa Kecamatan Wangi-Wangi Selatan dengan mengubah atau pandah lokasi

pembudidayaan dapat dikatakan sebagai tindakan penyesuaian (adaptasi) yang

gagal jika tidak diimbangi oleh kemampuan dalam memperkirakan keberadaan

pontensi wilayah, dan peralatan teknologi yang memadai untuk usahatani rumput

laut tersebut. Hal ini dapat berpotensi memunculkan kerawanan sosial di

masyarakat petani, ketika kondisi sumberdaya perairan sudah tidak bisa lagi

diandalkan dan adaptasi yang dilakukan petani dengan mengubah daerah

pembudidayaan rumput laut ternyata gagal. Pola adaptasi tersebut sebenarnya

akan efektif jika disertai oleh adaptasi yang lebih sistematis, yakni dengan
75

penerapan teknologi dalam memprediksi lokasi yang lebih produktif dalam

pembudidayaan rumput laut. Namun demikian, petani rumput laut di tiga desa

Kecamatan Wangi-Wangi, banyak yang tidak mempunyai pengetahuan geografi

ataupun perikanan, dan biasanya hanya mengandalkan pengalaman untuk mencari

atau menentukan lokasi pembuduidayaan rumput laut. Terkadang petani juga

hanya mengandalkan tanda-tanda dari alam seperti keberadaan burung disekitar

laut, atau bahkan hanya mengandalkan peruntungan yang belum pasti terjadi.

Selain itu, dari hasil penelitian diketahui bahwa para petani rumput laut

masih sering berspekulasi dalam menentukan waktu untuk budidaya rumput laut.

Hal ini menyebabkan pertumbuhan rumput laut menjadi kurang baik dan kurang

maksimal bila waktu budidaya rumput laut yang tidak tepat. Hampir sebagian

besar petani rumput laut yang berada di tiga desa Kecamatan Wangi-Wangi

Selatan masih dikelola secara tradisional. Karena dikelola secara tradisional petani

hanya mengandalkan kondisi alam dan iklim untuk mendapatkan hasil rumpt laut

yang lebih baik. Bila alam dan iklim berubah maka hasil rumpt laut yang mereka

dapatkan pun akan berubah.

Pemilihan lokasi merupakan langkah pertama yang sangat penting dalam

menentukan keberhasilan usaha budidaya rumput laut. Pada tahap ini, diperlukan

pertimbangan-pertimbangan mengenai ekologi, teknik, kesehatan, sosial dan

ekonomi serta ketentuan dari peraturan dan perundang-undangan yang berlaku

(Sujatmaka, 1988).

3. Panen Lebih Awal


76

Berdasarkan hasil analisis penelitian, sebanyak 45% responden telah

melakukan (M), panen lebih awal dan 21% responden tidak melakukan (TM), dan

skor rata-rata 2,3 menunjukan bahwa sebagian besar para petani rumput laut telah

“melakukan” panen lebih awal. Sebulan ini, cuaca buruk melanda kawasan pantai

Kecamatan Wangi-Wangi. Curah hujan tinggi dengan kecepatan angin di atas

rata-rata menimbulkan gelombang ekstrim. Akibatnya, petani rumput laut di tiga

desa Kecamatan Wangi-Wangi Selatan memanen rumput laut secara dini. Hal ini

sesuai dengan tanggapan masyarakat petani rumput laut bahwa "Melihat kondisi

cuaca seperti itu, kami petani rumput laut di tiga desa Kecamatan Wangi-Wangi

Selatan sepakat untuk melakukan panen dini. Jika tidak, maka rumput laut kami

malah akan luruh diterjang gelombang," papar La Bangu. Kemudian adapun

sebagian alasan para petani melakukan panen lebih awal yaitu mencukupi

kebutuhan yang mendesak/sangat minim.

4. Penggunaan Bibit Unggul

Berdasarkan hasil analisis penelitian, sebanyak 66% responden telah

melakukan (M) penggunaan bibit dan skor rata-rata 3,0 menunjukan bahwa semua

para petani rumput laut telah “melakukan” penggunaan bibit unggul. Menurut

petani yang menggunakan jenis bibit rumput laut yang yang lebih tahan terhadap

penyakit, ini berdasarkan pada keinginan untuk menghindari resiko kegagalan

tanaman rumput laut. Komoditas rumput laut dan bibit unggul yang lebih tahan

terhadap penyakit banyak dipilih karena tanaman ini dianggap cukup resisten

terhadap cekaman air. Meski menurut sebagian besar para petani bahwa untuk

mendapatkan bibit unggul harus mengeluarkan biaya relatif tergolong mahal.


77

Selain itu, intensitas pembudidayaan juga dapat bertambah karena usia tanam

relatif singkat. Intensitas pembudidayaannya lebih ditujukan pada memanfaatkan

curah hujan, hari hujan serta periode hujan selama musim hujan dengan

komoditas yang cocok yang dapat dibudidayakan.

5. Meningkatkan Frekuensi Pemeliharaan

Berdasarkan hasil analisis penelitian, sebanyak 56% responden telah

melakukan (M), frekuensi pemeliharaan dan 10% responden tidak melakukan

(TM), dan skor rata-rata 2,7 menunjukan bahwa sebagian besar para petani

rumput laut telah “melakukan” peningkatan frekuensi pemeliharaan. Berarti

dengan kegiatan frekuensi pemeliharaan ini, sebagian besar para petani telah

melakukan pengontrolan dengan rutin pada setiap tahap budidaya hingga pasca

panen pada rumput laut tersebut.

6. Melakukan Pekerjaan Lain di Sektor Perikanan

Berdasarkan hasil analisis penelitian, sebanyak 60% responden telah

melakukan (M), perkerjaan lain di sektor perikanan, 6% responden tidak

melakukan (TM), dan skor rata-rata 2,8 menunjukan bahwa sebagian besar para

petani rumput laut telah “melakukan” pekerjaan lain di sektor perikanan. Sebagian

besar para petani telah melakukan perkerjaan lain di sektor perikanan di

karenakan kebutuhan hidup yang semakin tinggi. Misalnya kegiatan

memancing/menangkap dan menjual ikan,udang,gurita, serta biota laut yang

lainnya yang dapat mencukupi kebutuhan hidup para petani.

7. Berkerja di Luar Sektor Perikanan


78

Berdasarkan hasil analisis penelitian, sebanyak 58% responden telah melakukan

(M), perkerjaan di luar sektor perikanan, 8% responden tidak melakukan (TM),

dan skor rata-rata 2,7 menunjukan bahwa sebagian besar para petani rumput laut

telah “melakukan” berkerja di luar sektor perikanan. Hal ini dilakukan karena

sebagian petani berfikir dengan bekerja di luar sektor pertanian maka, akan

memenuhi kebutuhannya dan mampu menyekolahkan ankanya ke jenjang lebih

tinggi lagi. Adapun beberapa petani juga berprofesi sebagai perangkat desa.

4.4. Hambatan-Hambatan Dalam Menerapkan Strategi Adaptasi

Dalam pengembangan budidaya rumput laut di tiga desa Kecamatan Wangi-

Wangi Selatan masih memiliki hambatan pelaksanaan adaptasi terhadap dampak

perubahan iklim. Hal ini ditunjukkan dengan masih banyak petani yang memiliki

idealisme tinggi untuk mengembangkan usahatani rumput laut. Namun masih ada

harapan untuk terus berkembang dengan solusi untuk menangani permasalahan

tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan penulis bahwa hambatan yang

dihadapi petani dalam starategi adaptasi terhadap perubahan iklim budidaya

rumput laut adalah sulitnya ditemukan bibit unggul, perubahan arus laut dan sulit

menemukan lokasi baru budaya rumput laut.

1. Sulitnya Perolehan Dan Mahalnya Harga Bibit Unggul

Hambatan petani rumput laut di tiga desa Kecamatan Wangi-Wangi Selatan

dalam Menerapkan strategi adaptasi terhadap dampak perubahan iklim salah

satunya adalah masalah kurangnya bibit unggul yang akan dibudidayakan. Pada

pembahasan sebelumnya bahwa untuk mengatasi perubahan iklim terhadap


79

pertumbuhan rumput laut yang efektif adalah dengan mengganti jenis komoditas

rumput laut yang lebih tahan terhadap penyakit, namun kondisi tersebut

merupakan tantangan yang cukup serius dan menjadi kendala bagi petani rumput

laut di tiga desa Kecamatan Wangi-Wangi.

Berdasarkan hasil temuan penulis pada lokasi penelitian menunjukkan

bahwa sulitnya menemukan bibit unggul rumput laut akibat dari perubahan musim

adalah kurangnya hasil produksi rumput laut yang dihasilkan petani yang akan

berdampak pada terbatasnya bibit yang disimpan untuk dibudidayakan

selanjutnya, selain dari itu bibit yang dihasilkan akibat dari perubahan iklim

kurang produktif untuk dibudidayakan. Kurangnya ketersediaan bibit unggul

rumput laut di tiga desa Kecamatan Wangi-Wangi Selatan disebabkan tidak

adanya pembibitan yang dikembangkan petani.

2. Perubahan Arus Laut

Perubahan arus laut yang semakin sulit ditebak menjadi salah satu faktor

penghambat bagi petani rumput laut di tiga desa Kecamatan Wangi-Wangi.

Strategi adaptasi pembudidayaan rumput laut harus beradaptasi dengan perubahan

iklim karena terjadinya perubahan iklim berpengaruh terhadap pertumbuhan

rumput laut. Perubahan iklim menjadikan resiko petani budidaya rumput laut

menjadi lebih tinggi.

Berdasarkan hasil temuan penulis pada lokasi penelitian bahwa perubahan

arus laut merupakan faktor penghambat bagi petani budidaya rumput laut di tiga

desa Kecamatan Wangi-Wangi Selatan dalam penerapan strategi adaptasi. Hal ini

terjadi karena kurangnya pengetahuan para petani terhadap perubahan iklim


80

terutama keberadaan arus laut yang tidak menentu. Merujuk kepada Soedjatmoko,

Satria menyatakan sebenarnya dalam industrialisasi perikanan yang terpenting

adalah kesiapan petani rumput laut, bukan semata transformasi teknologi,

melainkan lebih merupakan transformasi sosial (Arif Satria, 2009).

3. Sulit Menemukan Lokasi Budidaya Yang Baru

Kendala yang dihadapi dalam menentukan lokasi baru pembudidayaan

rumput laut di daerah ini disebabkan kurangnya pengetahuan yang yang dimiliki

petani dalam hal penentuan lokasi pembudidayaan rumput laut pada lokasi yang

baru. Keberadaan kendala tersebut dikarenakan para petani yang berada di tiga

desa Kecamatan Wangi-Wangi Selatan membudidayakan rumput laut hanya

mengandalkan naluri dan pengalaman mendeteksi area yang diperkirakan layak

untuk pertumbuhan rumput laut. Para petani yang melakukan tindakan ini tidak

memiliki kemampuan yang lebih sistematis dan terencana untuk mendeteksi

potensial wilayalah yang baik dan cocok untuk membudidayakan rumput laut

yang layak.

Kendala yang dihadapi tersebut sebenarnya akan efektif jika disertai oleh

pola adaptasi yang lebih sistematis, yakni dengan penerapan teknologi dalam

memprediksi lokasi atau tempat yang layak untuk pembudidayaan rumput laut,

Namun demikian, masyarakat nelayan terutama petani tradisional di tiga desa

Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, banyak yang tidak mempunyai pengetahuan

geografi ataupun perikanan, dan biasanya hanya mengandalkan pengalaman untuk

menentukan daerah-daerah pembudidayaan rumput laut. Dengan demikian,


81

kendala yang dihadapi akan berdapak pada kurangnya produktivitas rumput laut

yang dihasilkan.

Hasil penelitian ini sejalan dengan pendapat Bennett (1976) sebagaimana

dikutip Wahyono et al. (2001), adaptasi terhadap lingkungan dibentuk dari

tindakan yang diulang-ulang dan merupakan bentuk penyesuaian terhadap

lingkungan. Tindakan yang diulang-ulang tersebut akan membentuk dua

kemungkinan, yaitu tindakan penyesuaian yang berhasil sebagaimana diharapkan,

atau sebaliknya tindakan yang tidak memenuhi harapan. Gagalnya suatu tindakan

akan menyebabkan frustasi yang berlanjut, yang berpengaruh pada respon atau

tanggapan individu terhadap lingkungan.

4. Modal

Berdasarkan hasil penelitian bahwa kegiatan budidaya rumput laut, pastinya

membutuhkan biaya untuk mendukung hasil produksi yang maksimal. Selain itu

juga, masih minimnya alat/barang yang digunakan dalam tahap-tahap budidaya

serta masih sangat tradisional cara budidayanya. Dikarenakan belum adanya alat-

alat teknologi moderen yang digunakan.


82

V. PENUTUP

5.1. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan di Desa Liya Togo, Liya

Bahari Dan Liya Mawi Kecamatan Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi

“Persepsi dan Strategi Adaptasi Petani Rumput Laut Terhadap Perubahan

Iklim”, maka diperoleh kesimpulan sebagai berikut:

1. Persepsi petani rumput laut terhadap perubahan iklim di tiga desa Kecamatan

Wangi-Wangi Selatan Kabupaten Wakatobi berada pada kategori tinggi. Ini

berarti sebagian besar petani rumput laut setuju bahwa telah terjadi perubahan

iklim yang terlihat dari suhu udara yang semakin panas, waktu dan distribusi

curah hujan yang tidak menentu, waktu musim yang tidak menentu, dan kondisi

cuaca yang tidak tetap. Persepsi petani terhadap dampak perubahan iklim yang

mempengaruhi usaha tani rumput laut berada pada kategori tinggi. Ini berarti

sebagian besar petani setuju bahwa ada dampak perubahan iklim terhadap

usahatani rumput laut, yang terlihat dari, penurunan produksi, kualitas rumput

laut, kemampuan rumput laut untuk tumbuh dan bertahan, rumput banyak yang

mati serta rumput laut banyak yang terlepas.

2. Strategi adaptasi petani rumput laut untuk mengatasi dampak perubahan

iklim berada pada kategori telah (Melakukan). Ini berarti sebagian besar petani

melakukan upaya-upaya adaptasi terhadap perubahan iklim. Sebagian besar

petani melakukan upaya-upaya adaptasi berupa penggunaan tali kuat, pemindahan

lokasi,panen lebih awal, pengunaan bibit unggul, meningkatkan frekuensi


83

pemeliharaan, dan upaya-upaya yang kurang di lakukan yaitu melakukan

perkerjaan lain di sektor perikanan serta melakukan perkerjaan di luar sektor

perikanan.

3. Untuk melakukan strategi adaptasi terhadap dampak perubahan iklim, sering

kali ditemukan beberapa kendala atau hambatan-hambatan yang terjadi. Di

antaranya modal, sulit di temukan bibit unggul, perubahan arus laut dan sulit

menemukan lokasi budidaya.

5.2. Saran

Saran yang dapat diberikan dalam penelitian ini adalah

1. Diharapkan kepada para petani rumput laut agar selalu aktif untuk mencari

informasi tentang perubahan iklim terhadap penyesuaian budidaya rumput laut

baik dalam bentuk kegiatan penyuluhan, maupun mencari informasi dalam bentuk

media.

2. Disarankan kepada pemerintah setempat agar selalu memberikan informasi

kepada petani menegenai perubahan iklim dan kebutuhan petani, apalagi yang

berhubungan dengan penerapan teknologi pembudidayaan rumput laut.

3. Bagi peneliti selanjutnya diharapkan untuk mengkaji lebih banyak sumber

maupun referensi yang terkait dengan persepsi petani rumput laut terhadap

perubahan iklim dan bentuk strategi adaptasinya.


84

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, S. 2014. Kompetensi Petani Terhadap Usaha Tani Rumput Laut.


AGRIPLUS, 23(02):163-170.

Abraham (2017) Kemitraan dan Jaringan social Pembudidayaan Rumput laut.


(studi kasus di Gorontalo utara Provinsi Gorontalo).

Adams. M, 1998. Budidaya rumput laut. Penerbit Kanisius. 4 halaman 120-124

Amri, S.N. and T. Arifin, 2016. Adaptation Strategy of Seaweed Cultivation to


Face the Climate Change (Case Study in Segoro Anakan Bay
Ngadirojo, Pacitan). Forum Geografi, Vol 30 (1) July 2016: 34-44

Anggadierdja et al 2006. Manfaat dan Pengolahan Rumput Laut, Lembaga


Oseanologi Nasional, Jakarta.

Arif Satria, 2009. Perubahan Arus Laut. Cara mengidentifikasi perubahan arus
laut. No, 1 (mei 18) Halaman. 171-180 E-ISSN:2556-6033.154

Aslan, 1998. Budidaya rumput laut. Penerbit Kanisius. 42 hal

Aslan, 1991. Perkembangbiakan rumput laut. Penerbit Kanisius. 95 hal

Ali M. 2015. Analisis Berbasis GIS Untuk Pemetaan Distribusi Daerah Budidaya
rumput laut Di Lombok Timur Perairan. No, 2 (Juli 18) Halaman. 171-
180 E-ISSN:2597-6044.173

Alport, Mara’at, 1991. Persepsi Terhadap Seseorang. No, 2 (Juli 18) Halaman.
171-180 E-ISSN:2597-6044.174

Akmal, 2008. Analisis Berbasis GIS Untuk Pemetaan Distribusi Daerah


Budidaya rumput laut Di Lombok Timur Perairan. No, 2 (Juli 18)
Halaman. 171-180 E-ISSN:2597-6044.174

Azwar, 2010. Pengukuran persepsi pada setiap orang. Universitas Tri sakti,
(Jakarta , Indonesia).

Azzhy, 2010. Cara Pengukuran Persepsi. vol. 4, no. 5, pp. 445-79.

Baihaqi, 2005. Climate change, vulnerability and adaptation experiences of


farmers in Al-Suwayq Wilayat, Sultanate of Oman’, International
85

Journal of Climate Change Strategies and Management, vol. 5, no. 4,


pp. 445-54.

Bennett, 1976. Perubahan Iklim Dan Adaptasinya. Laporan Hasil Penelitian.


Universitas Indonesia. vol. 3, no. 7, pp. 445-79.

Blaikie et al., 1994. Jurnal Afrika Pangan, Pertanian, Nutrisi Dan Pengembangan.
Efek Perubahan Iklim Pada Produksi Tanaman Di Kenya: Persepsi
Petani Dan Strategi Adaptasi. DOL:10.18697 /

Budiharsono, 2001. Perubahan iklim terhadap adaptasi pertanian. Jurnal


Dampak perubahan iklim terhdap penanaman padi.di ebonyil Nigeria
tenggara. DOL:10.15386 /

Budias, 2018. Adaptasi Perubahan Iklim Terhadap Kelayakan Usaha Budi Daya
Rumput Laut. . Jakarta. PT Erlangga.

Brown et. al. 2009. Analisis Berbasis GIS Untuk Pemetaan Distribusi Daerah
Budidaya Rumput Laut Di Lombok Timur Perairan. 4, No 2 (Juli 18)
Halaman. 171-180 E-ISSN:2597-6044.173

Douglas H.K. Lee. 2016. KLIMATOLOGI:Pengaruh Iklim Terhadap Tanah Dan


Tanaman, Revisi. Jakarta. PT Bumi Aksara.

Doty, 1987. Hama Makro Dan Hama Mikro. Hama Dan Penyakit. 171-180 E-
ISSN:2597-6044.298
Charles, Rashid, 2008. Jurnal Pertanian Dunia Dan Iklim. Efek Perubahan Iklim.
4, No 5 (Juli 11) Halaman. 171-180 E-ISSN:2597-6044.227

FOASTAT. 2010. Jurnal Afrika Pangan, Pertanian, Nutrisi Dan Pengembangan.


Efek Perubahan Iklim Pada Produksi Tanaman Di Kenya: Persepsi
Petani Dan Strategi Adaptasi. DOL:10.18697 /

Fosu M, et al. 2012. Jurnal Afrika Pangan, Pertanian, Nutrisi Dan Pengembangan.
Efek Perubahan Iklim Pada Produksi Tanaman Di Kenya: Persepsi
Petani Dan Strategi Adaptasi. DOL:10.18697 /

Gibbs, 1987.Keadaan Cuaca. Cuaca Dan Iklim. Petani Dan Strategi Adaptasi.
DOL:10.18697 /
86

Harry, 1988. Jenis-Jenis Rumput Luat. Beragam Budidaya Rumput


laut.DOL:10.18697 /

Hasan, Othman, 2009, Faktor yang mempengaruhi Pengukuran persepsi‘Farm –


level climate change perception and adaptation in drought prone areas
of Tigray, Northern Ethiopia’, Report Project, no. 093, Ethiopea.

Hendrikus, 2012. Analisis struktur, Perilaku dan Keragaan Perilaku Persepsi:


Kasus di Kecamatan Mangarabombang Kabupaten Takalar Provinsi
Sulawesi Selatan. Tesis. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Bogor.

IPCC, 2014 Perubahan iklim terhadap adaptasi pertanian. Jurnal Dampak


perubahan iklim terhdap penanaman padi.di ebonyil Nigeria tenggara.

Iswahyudi (2005). Komoditas budidaya rumput laut. Cambridge, MA and


London: Harvard University. Coleman, J., 1990. Foundations of Social
Theory. Cambridge Mass: Harvard University Press.

Kartono et al (2008). Perubahan iklim dan Komoditas budidaya rumput laut.


Cambridge, MA and London:Harvard UniversityFoundations of Social
Theory. Cambridge Mass: Harvard University Press.

Kapetsky. 2000. Perubahan Iklim. Perubahan Iklim Dan Adaptasi.4. vol. 23, pp.
1435-53.

Kineth, 1989. Persepsi Yang Mempengaruhi Kehidupan. 4. vol. 23, pp. 1435-24

Kruch, Cruth F, 1989. Persepsi Yang Mempengaruhi Kehidupan. 4. vol. 23, pp.
1435-53

Kruch, Cruth F, 1977. Persepsi Yang Mempengaruhi Kehidupan. 4. vol. 23, pp.
1435-78.

Koppen. 2016. KLIMATOLOGI:Pengaruh Iklim Terhadap Tanah Dan Tanaman,


Revisi. Jakarta. PT Bumi Aksara.

Lama, S & Devkota, B 2009, ‘Vulnerability of mountain communities to climate


change and adaptation strategies’, The Journal of Agriculture and
Environment, vol. 10, pp. 65–71.

Leavit. 1978. Pengukuran Pertumbuhan Tentang Persepsi Gracilaria (Slide


Power Point). Disampaikan pada Kegiatan External Review Draft BMP
Budidaya Gracilaria, 30 Januari 2014 di Semarang.
http://www.dkp.gov.id. (18 Januari 2017).
87

Mar’at 1981, ‘Identification of three dominant rainfall regions within Indonesia


and their relationship to sea surface temperature’, International
Journal of Climatology, vol. 23, pp. 1435-52.
McSweeny et al. 2010. Jurnal Afrika Pangan, Pertanian, Nutrisi Dan
Pengembangan. Efek Perubahan Iklim Pada Produksi Tanaman Di
Kenya: Persepsi Petani Dan Strategi Adaptasi. DOL:10.18697 /

Mhor. 2016. KLIMATOLOGI:Pengaruh Iklim Terhadap Tanah Dan Tanaman,


Revisi. Jakarta. PT Bumi Aksara.

Nzeadibe, TC & Ajaero, CK 2010, ‘Assessment of socioeconomic characteristics


and quality of life expectations of rural communities in Enugu State,
Nigeria’, Applied Research in Quality of Life, vol. 5, no. 4, pp. 353–
371. 22.

Notoatmodjo, 2010. Pengambilan Sampel. Cara Menentukan Sampel


Menggunakan Metode Inklusi Dan Ekslusi. Hasil Penelitian.
Universitas Indonesia.

Rakmad, 1989. Faktor yang mempengaruhi persepsi‘Farm – level climate change


perception and adaptation in drought prone areas of Tigray, Northern
Ethiopia’, Report Project, no. 093, Ethiopea.

Rakmad, 2004, Faktor yang mempengaruhi persepsi‘Farm – level climate change


perception and adaptation in drought prone areas of Tigray, Northern
Ethiopia’, Report Project, no. 093, Ethiopea.

Ramdhani, 2011. Cara Mengategorikan Suatu Persepsi. PT. Sriwijaya II.


Semarang. Jepara.

Saediman, H., L.O. Lasmin, M.A. Limi, U. Rianse, and L. Geo, 2020. Rice
Farmers’ Perception of Climate Variability in Konawe District of
Southeast Sulawesi. International Journal of Scientific & Technology
Research. Vol. 9 No. 2, pp. 3128-3132

Slamet, 1993. Cara Mengategorikan Suatu Persepsi. PT. Sriwijaya II. Semarang.
Jepara.

Sholeh (2009), Faktor setiap persepsi masyarakat ‘Perception of farmers on


climate change and adaptation in Limpopo province of South Africa’, J.
Hum. Ecol., vol. 42, no. 3, pp. 283-8.

Simamora. 2015. Analisis produksi dan pendapatan usaha tani rumputl laut.
(studi kasus Desa Banuaji IV, kecamatan Adia koting)
88

Siagian, 1995. Faktor Yang Mempengaruhi Persepsi. 2 (Juli 18) Halaman. 171-
180 E-ISSN:2597-6044.134

Sugiono 2010. Analisis Berbasis GIS Untuk Pemetaan Distribusi Daerah


Budidaya rumput laut Di Lombok Timur Perairan. No, 2 (Juli 18)
Halaman. 171-180 E-ISSN:2597-6044.175

Sugiono 2012. Metode Kuantitaif No, 2 (Juli 18) Halaman. 171-180 E-


ISSN:2597-6044.175

Soneardjo 2011, Penerapan Budidaya Rumput LautKappaphycus spp. dengan


Sistim dan Musim Tanam Yang Berbeda. LaporanTahunan. Direktorat
Jenderal Perikanan Budidaya. Balai Budidaya Air Payau
Takalar. 2008b. Kajian Beberapa Strain Rumput Laut Kappaphycus
spp. Yan

Stringer, LC, Mkwambisi, DD, Dougill, AJ & Dyer, JC 2010, ‘Adaptation to


climate change and desertification: Perspectives from national policy
and autonomous practice in Malawi’, Climate and Development, vol. 2,
no. 2, pp. 145–160. 30.

Sudirman dan yusri. 2008, Ussaha budi daya rumput laut di indonesia(studi kasus
karimujawa) Shaleh, Abdul Rahman. 2009. Psikologi Suatu Pengantar
Dalam Perspektif dan persepsi masyarakat Jakarta: Kencana.

Sunaryo (2004), persepsi masyarakat tentang budiday rumput laut Climate


change beliefs, concerns, and attitudes toward adaptation and mitigation
among farmers in the Midwestern US’, Climatic Change, vol. 117, pp.
943-50. Aydinalp, C & Cresser, MS 2008, ‘The effects of global
climate change on agriculture’, American-Eurasian J. Agric & Environ.
Sci., vol. 3, no. 5, pp. 672-76.

Susanto (2016) strategi peningkatan kemandirian petani rumput laut. (studi kasus
di Kecamatan Tanete Riatang Timur Kabupaten Bone). Laporan Hasil
Penelitian. Universitas Negeri Makassar.

Sulistyo. 1988, Hama Dan Penyakit Pada Buidaya Rumput Laut. Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Asosiasi Petani dan
Pengelola Rumput Laut Indonesia (ASPPERLI) dan Indonesia Seaweed
Society (ISS).

Sujatmaka, 1988. Syarat Menetapkan Lokasi Untuk Budidaya Rumput Laut.


Nature Climate Change, vol. 4, pp. 237 - 78.
89

Stocker, Samitter, 1997. Ussaha budi daya rumput laut di indonesia(studi kasus
karimujawa) Shaleh, Abdul Rahman. 2006. Psikologi Suatu Pengantar
Dalam Perspektif dan persepsi masyarakat Jakarta: Kencana.

Thornthwaite. 2016. KLIMATOLOGI:Pengaruh Iklim Terhadap Tanah Dan


Tanaman, Revisi. Jakarta. PT Bumi Aksara.

Trewartha, Hurn, 1995. Perubahan Iklim Dan Adaptasinya. Laporan Hasil


Penelitian. Universitas Negeri Bandung.

UNEP. 2009. Jurnal Afrika Pangan, Pertanian, Nutrisi Dan Pengembangan. Efek
Perubahan Iklim Pada Produksi Tanaman Di Kenya: Persepsi Petani
Dan Strategi Adaptasi. DOL:10.18697 /

UNISDR. 2012. Jurnal Afrika Pangan, Pertanian, Nutrisi Dan Pengembangan.


Efek Perubahan Iklim Pada Produksi Tanaman Di Kenya: Persepsi
Petani Dan Strategi Adaptasi. DOL:11.18793 /

Walgito, Hamka, 2003. pengertian dari persepsi dan syarat persepsi A meta-
analysis of crop yield under climate change and adaptation’, Nature
Climate Change, vol. 4, pp. 287 - 91.

Wahyono et al, 2001.Menerapkan Cara Adaptasi Terhadap Lingkungan, Jurnal


Adaptasi Lingkungan vol. 3, pp. 123 - 78.
90

Anda mungkin juga menyukai