Anda di halaman 1dari 25

BAB 1

PENDAHULUAN

Semenjak kehidupan manusia ada di muka bumi, pada saat itulah praktik konsumsi mulai
dilakukan. Oleh karena itu, bila muncul sebuah pertanyaan “mengapa manusia mengonsumsi?”
Jawabannya hampir pasti bahwa manusia memang harus mengonsumsi karena konsumsi
menjamin kelangsungan hidup manusia. Namun tidak dapat dipungkiri upaya memahami
konsumsi diperlukan, setidaknya dapat membuka jalan menuju sedikit pemahaman tentang
konsumerisme.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia konsumsi didefinisikan sebagai “pemakaian


barang hasil produksi” (www.kbbi.web.id). Sebagai sebuah usaha menghabiskan nilai guna
barang dan jasa, konsumsi adalah sebuah tindakan. Menurut Mankiw (2013) konsumsi
mempunyai arti sebagai pembelanjaan barang dan jasa oleh rumah tangga. Arti dari barang disini
mencakup pembelanjaan rumah tangga untuk barang yang bertahan lama, seperti kendaraan dan
perlengkapan rumah tangga, dan untuk barang yang tidak tahan lama contohnya seperti makanan
dan pakaian. Sedangkan untuk arti dari jasa disini mencakup barang yang tidak berwujud
konkert, misalnya seperti potong rambut dan perawatan kesehatan. Selain itu pembelanjaan
rumah tangga untuk pendidikan juga termasuk ke dalam konsumsi jasa. Menurut Samuelson dan
Nordhaus (2001), arti dari konsumsi yaitu pengeluaran yang dilakukan untuk memenuhi
pembelian barang-barang dan jasa akhir guna untuk mendapatkan kepuasan ataupun memenuhi
kebutuhannya.

Konsumsi dapat diartikan sebagai bagian pendapatan rumah tangga yang digunakan
untuk membiayai pembelian aneka jasa dan kebutuhan lain. Besarnya konsumsi selalu berubah-
ubah sesuai dengan naik turunnya pendapatan, apabila pendapatan meningkat maka konsumsi
akan meningkat. Sebaliknya, apabila pendapatan turun maka konsumsi akan turun (Partadireja,
1990).

Konsumen adalah salah satu unit pengambil keputusan dalam ekonomi yang bertujuan
untuk memaksimumkan keputusan dari berbagai barang atau jasa yang dikonsumsi. Konsumen
adalah pemakai barang atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, bagi kepentingan diri sendiri
atau keluarganya atau orang lain yang tidak untuk diperdagangkan kembali.

Menurut James F. Engel Perilaku konsumen didefinisikan sebagai tindakan-tindakan


individu yang secara langsung terlibat dalam usaha memperoleh dan menggunakan barang-
barang jasa ekonomis termasuk proses pengambilan keputusan yang mendahului dan
menentukan tindakan-tindakan tersebut. David L. Loudon dan Albert J. Della Bitta
mengatakan Perilaku konsumen dapat didefinisikan sebagai proses pengambilan keputusan dan
aktivitas individu secara fisik yang dilibatkan dalam proses mengevaluasi, memperoleh,
menggunakan atau dapat mempergunakan barang-barang dan jasa. Menurut Gerald Zaltman
dan Melanie Wallendorf Perilaku konsumen adalah tindakan-tindakan, proses, dan hubungan
sosial yang dilakukan individu, kelompok dan organisasi dalam mendapatkan, menggunakan
suatu produk atau lainnya sebagai suatu akibat dari pengalamannya dengan produk, pelayanan,
dan sumber-sumber lainnya.

Dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumen adalah tindakan-tindakan yang dilakukan


oleh individu, kelompok yang berhubungan dengan proses pengambilan keputusan dalam
mendapatkan, menggunakan barang atau jasa ekonomis yang dapat dipengaruhi lingkungan.

Cara terbaik untuk memamahi perilaku konsumen adalah dengan tiga langkah yang
berbeda:

a. Preferensi konsumen; langkah pertama adalah menemukan cara yang praktis untuk
menggambarkan alasan-alasan mengapa orang lebih suka satu barang dari pada barang
yang lain.
b. Keterbatasan anggaran, sudah pasti konsumen juga mempertimbangkan harga.
c. Pilihan-pilihan konsumen, dengan mengetahui preferensi dan keterbatasan pendapatan
mereka, konsumen memilih untuk membeli kombinasi barang-barang yang
memaksimalkan kepuasan mereka.

Ada dua kekuatan dari faktor yang mempengaruhi perilaku konsumen yaitu:

a. Kekuatan Sosial Budaya

1) Faktor Budaya
Budaya adalah sebagai hasil kreativitas manusia dari satu generasi ke generasi
berikutnya yang sangat menentukan bentuk perilaku dalam kehidupannya sebagai
anggota masyarakat. Contohnya seperti pergeseran budaya yang begitu cepat menuntut
masyarakat untuk mengikutinya.

2) Faktor Kelas Sosial

Kelas sosial didefinisikan sebagai suatu kelompok yang terdiri dari sejumlah orang
yang mempunyai kedudukan yang seimbang dalam masyarakat. Dimana setiap
masyarakat memiliki kelas sosial yang berbeda-beda, sehingga perilaku mereka
berbeda.

3) Faktor Pengaruh Kelompok

Kelompok anutan adalah suatu kelompok orang yang dapat mempengaruhi sikap,
pendapat, norma dan perilaku konsumen. Pengaruh kelompok anutan terhadap
perilaku konsumen antara lain dalam menentukan produk dan merek yang mereka
gunakan yang sesuai dengan aspirasi kelompok.

4) Faktor Keluarga Keluarga

Suatu unit masyarakat terkecil yang perilakunya sangat mempengaruhi dan


menentukan dalam pengambilan keputusan membeli. Keluarga merupakan pengaruh
terbesar dalam perilaku konsumen karena biasanya untuk membeli suatu barang
seseorang akan bertanya dulu kepada keluarganya.

b. Kekuatan Faktor Psikologis

1) Faktor Pengalaman Belajar

Belajar adalah suatu perubahan perilaku akibat pengalaman sebelumnya. Perilaku


konsumen dapat dipelajari karena sangat dipengaruhi oleh pengalaman belajarnya.
Pengalaman belajar konsumen akan menentukan tindakan dan pengambilan keputusan
membeli.
2) Faktor Kepribadian

Kepribadian adalah suatu bentuk dari sifat-sifat yang ada pada diri individu yang
sangat menentukan perilakunya. Kepribadian konsumen akan mempengaruhi persepsi
dan pengambilan keputusan dalam membeli. Kepribadian konsumen biasanya
ditentukan oleh faktor internal yang ada pada dirinya (motif, IQ, emosi, cara berfikir,
persepsi) dan faktor eksternal dirinya ( keluarga, masyarakat, sekolah, dll)

3) Faktor Sikap dan Keyakinan Sikap

Adalah sebagai suatu penilaian kognitif seseorang terhadap suka atau tidak suka,
perasaan emosional yang tindakannya cenderung kearah bebagai objek atau ide.
Dalam hubungannya dengan perilaku konsumen, sikap dan keyakinan sangat
berpengaruh dalam menentukan suatu produk, merek dan pelayanan.

4) Konsep Diri atau Self Concept

Konsep diri adalah sebagai cara kita melihat diri sendiri dan dalam waktu tertentu
sebagai gambaran tentang apa yang kita pikirkan. Dalam hubungannya dengan
perilaku konsumen, pedagang harus mampu menciptakan situasi yang sesuai dengan
yang diharapkan oleh konsumen. Agar konsumen dapat menentukan keputusan untuk
membeli.

Menurut Suparmoko terdapat beberapa variabel yang mempengaruhi konsumsi selain


dari pendapatan, meliputi :

a. Selera Konsumsi
Masing-masing individu berbeda meskipun individu tersebut mempunyai umur dan
pendapatan yang sama, hal ini disebabkan karena adanya perbedaan selera pada tiap
individu.
b. Faktor Sosial Ekonomi
Faktor sosial ekonomi misalnya umur, pendidikan, dan keadaan keluarga juga
mempunyai pengaruh terhadap pengaluaran konsumsi. Pendapatan akan tinggi pada
kelompok umur muda dan mencapai puncaknya pada umur pertengahan dan akhirnya
turun pada umur tua.
c. Kekayaan
Kekayaan secara eksplisit maupun implisit sering dimasukan dalam fungsi agregat
sebagai faktor yang menentukan konsumsi. Seperti dalam pendapatan permanen yang
dikemukakan oleh Friedman, Albert Ando dan Franco Modigliani menyatakan bahwa
hasil bersih dari suatu kekayaan merupakan faktor penting dalam menetukan
konsumsi. Beberapa ahli ekonomi yang lain memasukan aktiva lancar sebagai
komponen kekayaan sehingga aktiva lancar memainkan peranan yang penting pula
dalam menentukan konsumsi.
d. Keuntungan atau Kerugian Capital
Keuntungan capital yaitu dengan naiknya hasil bersih dari kapital akan mendorong
tambahnya konsumsi, selebihnya dengan adanya kerugian kapital akan mengurangi
konsumsi.
e. Tingkat Bunga
Ahli-ahli ekonomi klasik menganggap bahwa konsumsi merupakan fungsi dari
tingkat bunga. Khususnya mereka percaya bahwa tingkat bunga mendorong tabungan
dan mengurangi konsumsi.
f. Tingat Harga
Sejauh ini dianggap konsumsi riil merupakan fungsi dari pendapatan riil. Oleh karena
itu naiknya pendapatan nominal yang disertai dengan naiknya tingkat harga dengan
proposi yang sama tidak akan merubah konsumsi riil.

Di Indonesia sendiri merupakan sebuah negara yang memiliki masyarakat dengan jumlah
konsumsi yang cukup tinggi. Masyarakat Indonesia itu sendiri merupakan masyarakat yang
tergolong dalam masyarakat modern sehingga mereka dapat menghabiskan kebanyakan waktu
yang mereka miliki di pusat perbelanjaan. Mereka menikmati kehidupan yang mewah dan
tergolong rakus dalam mengonsumsi komoditas sebagai alat penunjang life style-nya. Gambaran
dari pola konsumsi yang dibahas di atas menunjukkan bahwa mereka cenderung mengonsumsi
barang guna untuk mewakili identitas dan gaya hidup semata.

Istilah konsumtif biasanya digunakan pada masalah yang berkaitan perilaku konsumen
dalam kehidupan manusia. Dewasa ini salah satu gaya hidup konsumen yang cenderung terjadi
di dalam masyarakat adalah gaya hidup yang menganggap materi sebagai sesuatu yang dapat
mendatangkan kepuasan tersendiri, gaya hidup seperti ini dapat menimbulkan adanya gejala
konsumtifisme, sedangkan konsumtifisme dapat didefinisikan sebagai pola hidup individu atau
masyarakat yang mempunyai keinginan untuk membeli atau menggunakan barang dan jasa yang
kurang atau tidak dibutuhkan (Lestari, 2006).

Fromm (1995) mengatakan bahwa keinginan masyarakat dalam era kehidupan yang
modern untuk mengkonsumsi sesuatu tampaknya telah kehilangan hubungan dengan kebutuhan
yang sesungguhnya. Membeli saat ini sering kali dilakukan secara berlebihan sebagai usaha
seseorang untuk memperoleh kesenangan atau kebahagiaan, meskipun sebenarnya kebahagiaan
yang diperoleh hanya bersifat semu.

Lebih jauh Kartodiharjo (1995) menjelaskan bahwa perilaku konsumtif sebagai social
ekonomi perkembangannya dipengaruhi oleh faktor kultural, pentingnya peran mode yang
mudah menular atau menyebabkan produk-produk tertentu. Di samping itu sikap seseorang
seperti orang tidak mau ketinggalan dari temannya atau penyakit kultural yang disebut “gengsi”
sering menjadi motivasi dalam memperoleh produk. Di jumpai juga gejala sosiopsikologis
berupa keinginan meniru sehingga remaja berlomba-lomba yang satu ingin lebih baik dari yang
lain. Perilaku konsumtif menciptakan kebiasaan pembelian produk untuk konsumsi tetapi ada
motivasi lain. Konsumtifisme jenis ini cukup banyak contohnya, misalnya berbagai produk
dengan merk terkenal sangat disukai meskipun mahal, seperti kemeja “Arrow atau tas Gucci”.
Produk bukan sesuatu yang dapat memenuhi kebutuhan dasar manusia, akan tetapi lebih
berfungsi sebagai lambang yang disebut “Simbol Status”.

Pendapat yang lain dikemukakan Setiaji (1995) menyatakan bahwa perilaku konsumtif
adalah kecenderungan seseorang berperilaku berlebihan dalam membeli sesuatu atau membeli
secara tidak terencana. Sebagai akibatnya mereka kemudian membelanjakan uangnya dengan
membabi buta dan tidak rasional, sekedar untuk mendapatkan barang-barang yang menurut
anggapan mereka dapat menjadi simbol keistimewaan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa perilaku konsumtif adalah perilaku
individu yang ditujukan untuk konsumsi atau membeli secara berlebihan terhadap barang atau
jasa, tidak rasional, secara ekonomis menimbulkan pemborosan, lebih mengutamakan
kesenangan daripada kebutuhan dan secara psikologis menimbulkan kecemasan dan rasa tidak
aman.

Terdapat sebuah ideologi mengenai konsumerisme, yakni berupa sugesti yang memaknai
kehidupan manusia yang dilihat dari apa yang dikonsumsi bukan apa yang dihasilkan. Ideologi
dari konsumerisme tersebut merupakan suatu bentuk pengalihan dimana setiap masyarakat akan
mengalami hasrat dalam berkonsumsi yang tidak ada habisnya. Dengan mengonsumsi komoditi,
bagi masyarakat konsumer dapat memberikan suatu identitas sosial. Jika tidak mengonsumsi
suatu barang atau jasa, maka akan merasa ketidakbutuhan diri. Sedangkan dengan mengonsumsi
barang maupun jasa maka akan memberikan efek yang utuh dan juga kebahagiaan yang
dirasakan dalam setiap individu.

Budaya konsumerisme dianggap sebagai budaya yang harus melekat pada masyarakat
seolah-olah untuk memperoleh sebuah identitas maka mereka harus memilih sebuah gaya hidup
yang menganut kepada budaya konsumerisme. Sebuah gengsi menjadi panutan utama dalam pola
konsumsi sehingga akan menghasilkan konsumerisme. Sehingga gaya hidup yang seperti itu
menjadi bagian dari manusia yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupannya.
BAB 2

KONSUMERISME

2.1 Perubahan Sosial

Perubahan sosial adalah proses sosial yang dialami oleh anggota masyarakat serta
semua unsur budaya dan sistem sosial, dimana semua tingkat kehidupan masyarakat
secara sukarela akan dipengaruhi oleh unsur-unsur eksternal meninggalkan pola-pola
kehidupan budaya dan sistem sosial yang baru. Hal penting dalam perubahan sosial
masyarakat menyangkut aspek-aspek berikut, yaitu perubahan pola pikir
masyarakat, perubahan perilaku masyarakat, dan perubahan buadaya materi.
Problem atau masalah sosial muncul akibat terjadinnya perbedaan yang mencolok
antar nilai dalam masyarakat dengan realita yang ada. Yang dapat menjadi sumber
masalah sosial yaitu seperti proses perubahan sosial. Adanya masalah sosial dalam
masyarakat ditetapkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan khusus seperti tokoh
masyarakat, pemerintah, organisasi sosial, musyawarah masyarakat dan lain sebagainya.

2.2 Pengertian Konsumerisme

 Menurut Colin Campbell


Konsumerisme adalah “kondisi sosial yang terjadi saat konsumsi menjadi pusat
kehidupan banyak orang dan bahkan tujuan hidup. Ketika hal ini terjadi, segala
kegiatan hanya akan ditujukan untuk pemenuhan konsumsi saja.
 Menurut Robert G. Dunn
Konsumerisme adalah faham atau ideologi yang menarik masyarakat ke dalam
sistem produksi masal, dan merubah pola pandang terhadap konsumsi, dari
awalnya dipandang sebagai pemenuhan kebutuhan, menjadi kebutuhan yang
harus dipenuhi.
 Menurut Zygmunt Bauman
Konsumerisme adalah situasi dimana orang membeli berbagai barang semata-
mata demi kesenangan membeli, bukan karena memang memerlukan barang itu.
 Menurut Merriam – Webster
Konsumerisme memiliki dua definisi, yang pertama adalah paham yang
mempercayai bahwa menghabiskan banyak uang untuk barang dan jasa adalah
sesuatu yang baik dan yang kedua adalah aksi untuk perwujudan dari paham
pertama.
 Menurut Baudrillard
Konsumerisme hadir berakar pada ide tentang kebahagiaan dan hal inilah yang
menjadi acuan dasar tentang masyarakat konsumsi.

Dari pengertian konsumerisme oleh beberapa para ahli di atas, maka bisa
disimpulkan bahwa pengertian konsumerisme ialah ideologi atau paham yang merubah
individu, kelompok, atau komunitas menjalankan proses konsumsi atau pemakaian
barang-barang hasil produksi secara berlebihan yang hanya melihat melalui nilai simbol
bukan nilai gunanya.

2.3 Tujuan Konsumerisme

Tujuan dari konsumerisme adalah untuk mencapai kepuasan diri dengan


mengonsumsi atau membeli barang-barang (mewah) tanpa melihat nilai guna dari barang
yang dikonsumsi tersebut. Selain daripada itu, konsumerisme juga menjadi tolak ukur
keberadaan individu dalam kelas sosial masyarakat.

2.4 Ciri-Ciri Fenomena Konsumerisme

Karakteristik dalam konsumtif antara lain:

1. Pembeli ingin tanpa berbeda dari yang lain


Hakekatnya sifat konsumtif ini ada lantaran masyarakat pada umumnya
berkeinginan memiliki barang yang tidak dimiliki oleh orang lain atau contoh
kelompok sosial lain. Alhasil, sikap pembeli akan mencari barang-barang
mewah terbaru yang dalam bahasa Inggris dikenal dengan istilah limited
edition yang dikenal sebagai barang berkualitas baik serta mahal.
2. Kebanggaan penampilan
Kebanggaan yang muncul pada diri seseorang sangatlah lekat dengan
kepuasaan yang dimiliki oleh dirinya. Perasaan akan kondisi seperti inilah
menyebabkan seseorang memilih limited edition sebagai fenomena sosial
yang sangat mudah ditemukan.
3. Sekedar ikut-ikutan (pengikut)
Sifat yang dimiliki oleh seseorang dalam kepuasaan dirinya sendiri bisa terjadi
lantaran ada perasaan untuk ikut serta pada gaya penampilan orang lain.
Kondisi inilah kemudian menjadikan teman, saudara, bahkan kakak dan adik
dalam satu keluarga turut serta dalam gaya ikut-ikutan akibat proses mengajak
satu sama lainnya.
4. Menarik perhatian orang lain
Kecenderungan yang pasti dimiliki oleh seseorang dalam prilaku konsumtif
ialah ingin terlihat menarik dihadapan orang lain. Menarik disini bukan lebih
condong pada gaya hidup bukan pada perilakunya. Misalnya saja untuk
potongan rambut, baju, celana, dan lain sebagainya. Sehingga ada sebuah
perumpamaan bahwa kebutuhan primer jauh lebih kecil daripada skunder.

2.5 Dampak Konsumerisme

Dampak dari adanya konsumerisme dalam kehidupan masyarakat secara garis


besarnya terbagi menjadi dua bentuk yaitu dampak positif dan dampak negatif.
1. Dampak Positif
a) Membuka lapangan pekerjaan
b) Mengurangi pengangguran
c) Menciptakan pasar produsen
2. Dampak Negatif
a) Konsumerisme menjadi budaya dalam masyarakat
b) Uang tidak lagi memiliki arti
c) Menimbulkan keresahan
d) Angka kriminalitas meningkat
e) Mengurangi kesempatan untuk menabung
f) Tidak memikirkan masa depan
2.6 Konsumerisme di Dunia Remaja

Konsumerisme dalam dunia remaja dapat dengan mudah dilihat di depan mata.
Kalau dituruti, remaja ingin selalu berganti-ganti handphone (HP) baru, entah dari merek
yang sama atau merek lain. Berapa ribu pulsa (kuota) yang habis untuk biaya ini? Mereka
lebih suka membeli pulsa (kuota) daripada membeli buku untuk tambahan wacana
pengetahuannya. Anak remaja sekarang sangat sedikit yang bepergian (terutama ke
sekolah) dengan naik kendaraan umum, apalagi naik sepeda onthel, atau malahan jalan
kaki seperti pada generasi yang sekarang sudah berusia 50 tahun ke atas. Untuk jarak 300
meter dari rumah, mereka tidak lagi mau berjalan kaki, melainkan harus menumpang
kendaraan pribadinya.

Konsumerisme remaja pada Hari Kasih Sayang (Valentine’s Day). Setiap


tahunnya, tanggal 14 Februari, masyarakat Indonesia, khususnya para remaja,
memperingati Hari Kasih Sayang, yang asal usulnya dari Barat. Kalangan produsen dan
pengusaha yang bergerak di bidang periklanan tidak akan menyia-nyiakan peringatan itu
untuk mendapatkan keuntungan. Seperti biasanya, menjelang hari Kasih Sayang, para
pengusaha memasang iklan bertema sama dalam bentuk spanduk, poster, pajangan di
etalase-etalase toko, dan beragam bentuk lain di media cetak atau media elektronik.

Di pusat-pusat perbelanjaan, para grosir membuka semacam Valentine’s Fair


dengan menawarkan Fancy Gift, Flower, Toys, dsb.nya. Mereka menawarkan ajakan atau
undangan untuk mengikuti Teenager’s Party, lomba karaoke, lomba pemilihan remaja
serasi, dan fashion show. Semua itu demi mengeruk uang remaja, uang hasil rengekan
terhadap orang tuanya (JP, 1995).

Majalah-majalah remaja pun ikut-ikutan membuat artikel yang berhubungan


dengan kepentingan mereka untuk meningkatkan oplah, semacam edisi Valentine untuk
dibaca oleh remaja. Di samping itu, para penerbit juga tidak segan-segan mengiklankan
produk-produk sejenis. Misalnya, buku tentang etiket modern pria dan perempuan masa
kini, etiket berkencan, dll.
Hari Kasih Sayang berhasil memikat hati remaja yang merasa berpikir modern,
khususnya golongan menengah ke atas. Mereka sering datang berombongan untuk
berpesta pora yang tentu akan menyuburkan pola hidup konsumtifnya. Pada hari itu,
mereka bersedia mengeluarkan uang yang tidak sedikit. Sebenarnya ungkapan kasih
sayang antar orang tua, antara orang tua dan anaknya atau sebaliknya, dan antar kakak
beradik sudah ada secara alamiah dalam diri manusia dan bisa diungkapkan kapan saja.
Namun, kenyataan menunjukkan bahwa cinta telah bergeser dan berubah. Hubungan
cinta berkembang lebih longgar antara siapa saja dan menjerumus kepada cinta
komersial, cinta yang konsumtif, dengan munculnya cewek/cowok yang
komersial/materialistis pula.

Bentuk konsumerisme lain yang melanda remaja adalah pemakaian narkoba


(meskipun konsumsi jenis ini juga dilakukan oleh orang-orang dewasa). Mereka yang
sudah jatuh dalam konsumsi narkoba atau menjadi pemakai (pengguna), sebagian
disebabkan oleh adanya mitos dan informasi yang minim dan keliru tentang narkoba.
Mitos/informasi tadi mengatakan, ”Ada Narkoba yang berbahaya, ada yang tidak”. Selain
itu, mengonsumsi rokok dan narkoba oleh sebagian orang juga dianggap sebagai gaya
hidup yang tidak ketinggalan jaman. Mitos dan anggapan-anggapan yang salah ini jelas
memicu perilaku konsumeris sebagian orang, termasuk remaja.

Dari sekian banyak kasus, para korban biasanya memiliki alasan yang beragam
untuk menyalahgunakan narkoba. Beberapa faktor yang menjadi alasan awal mereka
menggunakan narkoba misalnya (i) untuk memenuhi rasa ingin tahu yang besar
(penasaran) sehingga berani untuk mencobanya; (ii) dianggap sebagai sesuatu yang
sedang trend untuk dicoba; (iii) sebagai suatu pelarian dari dunia atau lingkungan yang
kerap mengalami perubahan cepat yang membuat mereka merasa tidak nyaman dan
aman, (iv) merupakan suatu bentuk perlawanan terhadap orang tua; (v) akibat komunikasi
yang tidak berjalan dengan baik dalam keluarga sehingga terasa kurangnya
keharmonisan; dan (vi) untuk mencari kesenangan, sekedar iseng, atau untuk
mengurangi/menghilangkan rasa jenuh dan stress dari rutinitas yang dihadapi sehari-hari.

Uraian-uraian di atas menjelaskan bahwa remaja yang konsumeris adalah remaja


yang memiliki karakter lemah dan sungguh-sungguh dibutakan oleh pengaruh iklan, baik
di media massa elektronik maupun berbagai iklan yang dipasang/ditempel di jalan-jalan
umum. Sikap tidak kritis terhadap iklan ini diakibatkan oleh daya nalar yang sempit.
Konsumerisme dianggap sebagai hal yang wajar. Memiliki barang seperti HP model
terbaru, pakaian, motor, laptop, atau mobil baru dianggap sebagai kebutuhan untuk dapat
diterima dalam lingkungan pergaulan mereka. Bahkan, mencandu narkoba pun dianggap
sebagai kebutuhan. Mereka menganggapnya sebagai trend dan tidak mau disebut sebagai
generasi yang ketinggalan jaman.

2.7 Konsumerisme di Dunia Perempuan


Mengamati perilaku perempuan dalam posisinya sebagai konsumen adalah sangat
menarik. Bukan hanya para produsen beserta segenap perangkat pemasarannya yang
heran dan sibuk mempelajari berbagai aspek kegiatan konsumen kaum perempuan,
sesama konsumen perempuan pun kadang merasa heran dengan aneka tingkah laku
kaumnya dalam melakukan kegiatan konsumsi. Yang mengejutkan, arisan sebagai
kegiatan yang positif untuk mengakrabkan hidup bertetangga, ternyata juga sudah mulai
kehilangan fungsi utamanya sebagai wadah solidaritas sosial dalam bentuk tabungan.
Arisan kadang-kadang justru digunakan sebagai wahana untuk dapat memperoleh uang
dalam jumlah besar, yang kemudian digunakan untuk membeli barang-barang konsumsi
(bandingkan Laksono, 1995).
Sudah bukan rahasia lagi bahwa kegiatan arisan sering dimanfaatkan oleh para
sales berbagai produk sebagai media untuk mendemonstrasikan produk mereka dengan
harapan akan dibeli oleh ibu-ibu peserta arisan. Semua produk itu ditawarkan untuk kaum
perempuan, kendati kaum pria juga menggunakannya.
Para produsen rupanya sadar bahwa populasi perempuan tidak saja lebih banyak
dibandingkan pria, tetapi juga karena perkembangan posisi mereka yang semakin
menarik. Misalnya, makin banyaknya profesional perempuan membuat para pakar
pemasaran giat mempelajari perempuan sebagai konsumen untuk perluasan pasar mereka.
Dari sebuah penelitian terungkap bahwa konsumen perempuan pada umumnya pembeli
yang rajin, kendati uang yang dibelanjakan biasanya tidak banyak. Selain itu, konsumen
perempuan memiliki sifat dan perilaku sosial yang unik. Misalnya, mereka suka
berkumpul-kumpul (arisan) dan umumnya lebih mementingkan otoritasnya. Perempuan
biasanya juga tidak loyal pada satu merek tertentu, suka mencari manfaat ekonomi,
gengsi, dan pada tahap berikutnya, kenyamanan.
Sejumlah ciri atau karakter ini kemudian oleh para pakar pemasaran dicoba untuk
diolah menjadi strategi jitu yang menempatkan perempuan sebagai target pasar. Pada
tahap berikutnya, segmentasi pasar yang sudah terbentuk ini makin dipertajam agar
tercipta ”monoloyalitas” terhadap suatu produk, yaitu dengan menciptakan citra (imej)
tertentu yang menempatkan perempuan pemakai produk tersebut berada di posisi yang
secara sosial atau ekonomi lebih baik dan bergengsi.
Pola hidup konsumtif perempuan, terutama bagi ibu-ibu rumah tangga, telah
mengakibatkan anggaran belanja rumah tangga membengkak sementara anggaran
pendapatan belum tentu naik. Ada yang bilang kondisi seperti ini bak ”besar pasak
daripada tiang”. Di samping itu, perempuan akan hilang daya kritisnya (terhadap
berbagai bentuk penawaran). Meskipun sudah besar pasak daripada tiang, seorang istri
akan tetap menuntut kebutuhan-kebutuhan baru menurut versinya sendiri (karena
terpengaruh iklan) kepada sang suami. Jika tuntutannya tidak terpenuhi, istri cenderung
menjadi emosional dan uring-uringan kepada suaminya. Tentu saja situasi seperti ini
dapat menimbulkan masalah-masalah baru yang lebih besar. Suami yang merasa tidak
nyaman menerima kekesalan istrinya akan berusaha untuk mencari uang lebih banyak
demi memenuhi kebutuhan istrinya itu. Seringkali, jalan pintas seperti korupsi pun
ditempuhnya. Tentu ini tidak berarti bahwa perempuan (istri) adalah pendorong utama
terjadinya korupsi pada pegawai laki-laki. Soalnya, banyak juga laki-laki yang
melakukan korupsi demi kebutuhan konsumerisnya sendiri.
Selain menghilangkan daya kritis seorang perempuan, perilaku konsumeris juga
menghilangkan rasa ”malu” dan rasa ”bersalah” pelakunya. Seringkali, seorang
perempuan tidak malu dan tidak merasa bersalah untuk mencari tambahan penghasilan
dengan cara yang ”tidak wajar”. Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa banyak
perempuan, termasuk ibu-ibu muda dan setengah baya, mencari penghasilan tambahan
dengan cara yang bertentangan dengan moral masyarakat. Jika hal ini terjadi dan tidak
disetujui suami, rumah tangga adalah taruhannya, yang bukan saja bisa menjadi retak,
tetapi juga bermuara pada perceraian. Jika perceraian terjadi, jelas yang pertama-tama
menjadi korban adalah anak-anak.
2.8 Konsumerisme di Dunia Laki-Laki
Pada kaum laki-laki (remaja dan dewasa), sikap hidup konsumtif yang menonjol
adalah perilaku mengonsumsi rokok. Meskipun telah mengetahui dampak buruk rokok,
sebagian besar pria tetap menganggap rokok sebagai kebutuhan. Mereka beralasan bahwa
tidak merokok akan menyebabkan perasaan emosional dan tidak nyaman dalam
beraktivitas. Ini didukung pula oleh bahasa iklan yang membangun konsumsi rokok
sebagai ukuran macho atau tidaknya seorang pria.
Sebenarnya, dampak buruk rokok yang begitu kompleks secara ilmiah sudah tak
terbantahkan lagi. Ratusan, bahkan ribuan penelitian dan jurnal ilmiah telah
membuktikan bahwa sebatang rokok mengandung 4.000 racun karsinogenik. Di antara
racun-racun itu, terdapat 1,1 mg nikotin berkadar 1-4% yang merupakan stimulan
susunan pusat. Efek dari nikotin ini akan menimbulkan gangguan terhadap jantung dan
pembuluh darah.
Efek rokok tersebut tidak hanya berlaku si pengguna yang merupakan perokok
aktif saja, tetapi juga berdampak pada orang-orang di sekitarnya yang dianggap sebagai
perokok pasif. Yang memprihatinkan, sakit akibat rokok tersebut tidak cukup
menyurutkan nyali para perokok untuk merokok. Perokok tidak peduli bahwa kebiasaan
buruknya itu merugikan orang sekitar. Padahal, perokok-perokok pasif inilah yang
memiliki resiko lebih besar terhadap bahaya rokok dibandingkan para perokok aktif.

2.9 Konsumerisme di Dunia Usaha


Perilaku konsumtif remaja dan orang dewasa, baik pria maupun wanita, yang
digambarkan di atas telah menyebabkan Indonesia menjadi surga bagi pasar dunia dan
investasi global. Tidak heran jika barang-barang impor yang bernilai ekonomi mulai dari
pesawat, mobil, alat-alat elektronik, pakaian, sepatu, sampai kancing baju dan pangan
membanjiri pasar Indonesia hingga ke desa-desa. Parahnya, ini didukung pula oleh
stereotip yang telah melekat pada bangsa ini sebagai bangsa penikmat. Artinya,
kebanyakan masyarakat Indonesia lebih suka menjadi konsumen daripada menjadi
produsen. Ini adalah konsumerisme (konsumtivisme) yang tidak pernah disadari.
Buktinya, meskipun memiliki orang secerdas B. J. Habibie serta sumber daya manusia
dan sumber daya alam yang melimpah, sampai sekarang Indonesia baru bisa merakit
pesawat, mobil, atau motor saja. Indonesia belum bisa membuat sendiri barang-barang
seperti itu. Tentu saja ini bukan salah sang ilmuwan. Sifat penikmat yang tidak mau
bersusah payah dari bangsa inilah yang menjadikan bangsa ini kurang menghargai aset
yang dimilikinya dan kurang mau bekerja keras untuk memenuhi kebutuhannya sendiri.
Bahkan, sudah menjadi rahasia umum bahwa tidak sedikit ilmuwan bangsa ini yang
justru berjaya menghasilkan karya-karya besar di negeri orang. Sudah jamak jika orang
Indonesia lebih suka membeli barang daripada bersusah payah membuatnya sendiri.
Perilaku yang memicu budaya konsumtif seperti ini bukan hanya menghinggapi
masyarakat perkotaan saja, tetapi sudah jauh merambah ke pedesaan.
Di daerah pedesaan, masih banyak orang yang rela melakukan apa saja untuk
kebutuhan sosialnya. Ada sebagian besar masyarakat yang rela berkorban banyak agar
dapat menyumbang kepada tetangga yang sedang mengadakan hajatan (pernikahan,
sunatan, dll.). Berdalih perasaan ewuh (sungkan), mereka rela menjual beras, hewan
ternak, atau menggadaikan barang-barang rumah tangganya untuk dapat memenuhi
keinginan menyumbang tersebut saat mereka tidak memiliki uang. Kemudian, ketika
kebutuhan makan keluarganya sendiri menjadi terbengkelai, mereka akan sibuk
berhutang ke sana ke mari untuk membeli beras lagi. Ini juga berlaku pada kegiatan ritual
di daerah. Orang cenderung rela menanggung beban hutang jutaan rupiah demi
melaksanakan suatu ritual adat.
Selain secara individual atau kesukuan, konsumerisme bangsa ini juga
berkembang pada skala yang lebih besar. Bangsa ini lebih memilih mengimpor bahan
pangan untuk memenuhi kebutuhannya daripada menanamnya sendiri. Beras dipilih
diimpor. Kedelai dipilih diimpor saja, sayuran dan buah-buahan juga diimpor. Padahal,
Indonesia memiliki tanah pertanian yang luas dan subur, air yang melimpah dengan
pantai yang terpanjang di dunia, iklim yang mendukung, dan sumber daya manusia yang
banyak. Jadi, tidak heran jika bangsa ini menjadi negara paling terbuka untuk pasar bebas
dunia sehingga dibanjiri produk-produk impor karena sikap masyarakatnya yang seperti
itu.
Di bidang usaha kuliner, majunya pariwisata menyebabkan peningkatan minat
kuliner di sekitar daerah wisata. Tentu ini hal yang baik karena pada dasarnya sektor
pariwisata memang dikembangkan untuk meningkatkan pendapatan daerah dan
kemakmuran masyarakat di sekitar tempat wisata. Ini akan menjadi lebih baik lagi jika
pengelolaan industri kuliner dapat dilakukan oleh masyarakat sekitar sendiri atau
setidaknya melibatkan mereka. Masalahnya, lagi-lagi karena konsumerisme, banyak
kasus membuktikan bahwa justru orangorang dari luar daerah lah (dan bahkan orang
asing!) yang mengeruk keuntungan besar-besaran dari industri pariwisata suatu daerah.
Mereka mampu menghasilkan triliunan rupiah per bulan sementara masyarakat di
sekitarnya harus hidup serba pas-pasan. Tidak sedikit orang kampung adat atau
masyarakat di sekitar daerah wisata yang dikembangkan justru mengalami kemiskinan
yang memprihatinkan karena dampak pariwisata. Salah satu contohnya adalah pariwisata
di Jimbaran, Bali (Investigasi Sore, Trans7, Minggu, 4 Juli 2010). Majunya pariwisata di
Jimbaran, Bali, berpengaruh pada industri kuliner. Menikmati alam pantai yang indah
tentu akan menjadi sempurna jika ditemani santapan hasil laut yang lezat. Oleh karena
itu, kafe-kafe yang menyediakan menu masakan laut pun bertumbuh subur seiring dengan
meningkatnya jumlah wisatawan, baik lokal maupun asing, yang berkunjung ke sana.
Seharusnya, industri kafe seperti di Jimbaran tersebut dapat memberikan manfaat
besar dalam meningkatkan kemakmuran masyarakat nelayan yang telah tinggal di
sekitarnya selama puluhan tahun. Tetapi nyatanya, masyarakat nelayan di sana hidup
memprihatinkan. Tidak sedikit orang yang dulunya adalah nelayan handal terpaksa
beralih menjadi buruh nelayan dengan penghasilan Rp10.000,00 sehari. Uang sebanyak
itu tentu tidak mencukupi untuk kehidupan sekeluarga di zaman serba mahal seperti
sekarang. Untung saja para juragan masih berbaik hati memberikan sedikit ikan lembur
untuk lauk pauk keluarganya. Semua ini terjadi karena nelayan di Jimbaran kekurangan
modal sehingga tidak dapat melaut dengan maksimal. Akibatnya, ikan tangkapan yang
dihasilkan pun menjadi sedikit dan kecil-kecil. Hasil ini tidak sesuai dengan yang
diharapkan oleh kebanyakan kafe.
Kemudian, bukannya membantu nelayan sekitar agar dapat bekerja lebih baik dan
mendapatkan ikan seperti yang diharapkan, kebanyakan kafe malah lebih suka
mendatangkan ikan dari luar daerah. Dalihnya, mereka sudah membayar mahal kepada
daerah untuk dapat mendirikan kafe di sana. Dengan kata lain, mereka seperti ingin
mengatakan bahwa bukan tanggung jawab mereka jika keadaan nelayan menjadi semakin
susah. Mereka menganggap bahwa apa yang mereka lakukan adalah hak mereka untuk
sekedar membuat usahanya tetap berjalan dan memberikan keuntungan sebanyak-
banyaknya.
Majunya pariwisata yang disertai dengan berkembangnya investasi asing tentu
merupakan hal yang baik. Tetapi, jika para pengambil kebijakan dan para investor melulu
diliputi sikap konsumeris yang hanya ingin mengambil keuntungan sebanyak-banyaknya,
tentu akan sangat merugikan. Mestinya, kebijakan yang diterapkan harus lebih tegas dan
mewajibkan pelibatan masyarakat sekitar. Dengan demikian, akan ada kerjasama yang
baik dan saling menguntungkan antara pemerintah daerah sebagai pemberi ijin, investor
yang ingin mendapatkan keuntungan pribadi, dan masyarakat sekitar yang berhak hidup
layak di tanahnya sendiri.

2.10 Konsumerisme di Dunia Pendidikan


Bidang lainnya yang terjangkiti konsumerisme adalah pendidikan. Globalisasi
menjadikan konsumerisme menjangkit di lembaga-lembaga pendidikan internasional,
kemudian bergerak hingga lembaga-lembaga pendidikan nasional.
Menurut Sofian Effendi, bagi negara-negara yang siap menjadikan pendidikan
sebagai komoditi yang diperdagangkan secara internasional, Indonesia adalah pasar yang
sangat menggiurkan. Ini dikarenakan Indonesia memiliki jumlah penduduk usia sekolah
sangat besar, yaitu sekitar 102,6 juta. Jumlah tersebut lebih kurang sepadan dengan 28
kali jumlah penduduk Singapura atau hampir enam kali jumlah penduduk Australia.
Penduduk usia pendidikan tinggi (19-24 tahun) saja berjumlah 24,8 juta, sedangkan
angka partisipasi perguruan tinggi hanya sekitar 16 persen. Akibatnya, para penjual jasa
pendidikan tinggi dari luar negeri mengincar pasar besar tersebut, karena di negara
mereka sendiri lembaga-lembaga dasar, menengah, dan tinggi yang bermutu, karena
dibiayai pemerintah, sedang mengalami kelebihan kapasitas akibat berkurangnya calon
mahasiswa.
Dari segi finansial, Indonesia adalah pasar pendidikan yang besar. Pasar
pendidikan akan meningkat dua kali lipat dalam waktu sepuluh tahun ke depan kalau
pendidikan dasar sampai pendidikan tinggi Indonesia mencapai partisipasi atau mutu
pendidikan sama dengan Malaysia, Muangthai, atau Filipina. Indonesia memang pasar
pendidikan yang menggiurkan baik secara demografis maupun finansial (Saksono 2008,
hlm. 119).
Dengan alasan untuk meningkatkan mutu pendidikan yang tertinggal jauh dari
negara-negara lain, dan untuk kapitalisasi modal yang diperlukan guna menyediakan
pendidikan bermutu bagi 103 juta penduduk usia pra-sekolah sampai penduduk usia
pendidikan tinggi, pemerintah Indonesia menetapkan pendidikan sebagai bidang usaha
yang terbuka untuk penanaman modal asing, dan menjadi bagian dari paket kebijakan
liberalisasi yang ditetapkan melalui UU No. 25 tentang Penanaman Modal Asing dan
Perpres No. 77 tahun 2007 tentang penetapan Bidang Usaha yang Tertutup dan Terbuka
untuk penanaman modal asing.
Kebijakan yang menetapkan pendidikan sebagai bidang usaha jasa (komodifikasi)
yang terbuka untuk penanaman modal asing (liberalisasi) jelas merupakan kebijakan yang
menyimpang dari cita-cita luhur bangsa Indonesia sebagaimana tercantum dalam
Pembukaan dan Batang Tubuh UUD 1945. Oleh sebab itu, tidak heran kalau sekarang di
seluruh Indonesia telah muncul beberapa sekolah internasional dan semakin lama
jumlahnya semakin bertambah. Sekolah-sekolah macam ini mahal, tetapi demi ”kualitas”,
gengsi, dan sikap konsumeris siswa dan orang tua mereka, para siswa tetap memilih
sekolah yang mahal yang sebenarnya kualitasnya (kesesuaiannya dengan kebutuhan lokal
maupun nasional) pun masih belum teruji.
Selain melalui lembaga pendidikan komersial yang menuntut bayaran mahal, arus
konsumerisme juga melanda anak didik/orang tua murid. Sambutan atau kesediaan orang
tua murid untuk ”diperas” dengan membayar uang sekolah yang mahal demi citra/gengsi
telah mendorong terjadinya komersialisasi pendidikan. Mereka rela mengeluarkan
banyak uang agar anaknya dapat diterima di sekolah yang telah membangun citra sebagai
sekolah favorit. Padahal, sebetulnya, apa yang membuat sekolah terukur sebagai favorit?
Apa hanya dilihat dari gedung berikut alat peraga yang tersedia? Apa tergantung pada
kualitas gurunya? Lalu, guru yang seperti apa yang disebut berkualitas itu? Ataukah
karena lulusannya mudah ditampung di lapangan kerja atau mudah melanjutkan sekolah
di jenjang berikutnya?
Sebutan sebagai sekolah favorit bisa disandang oleh sekolah swasta dan negeri.
Biasanya, sekolah favorit swasta lebih mahal dibandingkan sekolah favorit negeri.
Namun dalam perkembangan akhir-akhir ini, banyak pula sekolah favorit negeri
(termasuk perguruan-perguruan tinggi negeri favorit) yang mematok biaya pendidikan
lebih mahal daripada sekolah favorit swasta. Citra sekolah/perguruan tinggi negeri
berikut ijasahnya dipandang lebih baik, lebih menjamin untuk melanjutkan sekolah
ketimbang sekolah/perguruan tinggi swasta, terutama bagi mereka yang mau menjadi
pegawai negeri.
Jadi, jelas bahwa sikap konsumeris sekolah telah mendapat sambutan dari
masyarakat (murid dan orang tua murid), seolah-olah mereka saling membutuhkan.
Dengan konsumerisme pendidikan, semakin favorit sebuah lembaga pendidikan, semakin
tinggi pula tarif pendidikan yang dipatok. Ini berarti, akan semakin banyak pula uang
yang dapat disedot dari orang tua siswa. Demikian pula dengan orang tua. Orang tua akan
semakin bangga, merasa semakin tinggi gengsinya, dan semakin yakin bahwa anaknya
akan sukses jika bisa mengenyam pendidikan di lembaga-lembaga yang favorit meskipun
biaya yang harus dikeluarkan sangat mahal.
Dari uraian di atas jelas dapat dilihat siapa yang dirugikan. Berhasilnya
komersialisasi pendidikan sangat memberatkan ekonomi rumah tangga masyarakat
(terutama yang miskin). Pada dasarnya, kebanyakan orang tua akan rela bersusah payah
mencari uang, membanting tulang, menggadaikan, dan menjual barang yang ada agar
anaknya bisa sekolah. Ini terlihat jelas menjelang dan sesudah tahun ajaran baru. Tetapi,
pengorbanan seperti ini akan kehilangan makna jika masyarakat (orang tua dan anak)
telah terjangkiti oleh budaya konsumerisme.
Anak yang konsumeris akan merengek kepada orang tuanya untuk
menyekolahkannya di sekolah-sekolah favorit (yang telah lebih dulu terkena arus
komersialisme). Dia merasa malu, minder, dan ketinggalan jaman jika bersekolah di
sekolah yang tidak berlabel ”favorit”. Jika anak seperti ini memiliki orang tua yang
konsumeris pula, bukan hal mustahil jika dia akan mendapatkan dukungan penuh dari
orang tuanya. Jadi, bagaimanapun mahalnya biaya yang ditawarkan, orang tua akan tetap
menuruti keinginan anaknya dan mengusahakan biayanya.
Hal yang mirip juga akan terjadi jika orang tua lebih dahulu terjangkiti “virus”
konsumerisme. Pandangan yang ”keliru” tentang sekolah telah memicu orang tua untuk
terjangkiti konsumerisme pendidikan ini. Tidak sedikit orang tua yang menganggap
bahwa sekolah adalah satu-satunya lembaga pendidikan yang bisa menyelamatkan
seorang anak melalui ijasahnya. Mereka berpandangan bahwa ijasah yang berkualitas
ditentukan oleh favorit atau tidaknya sebuah sekolah. Oleh karena itu, mereka berusaha
memasukkan anak-anak mereka ke lembaga-lembaga pendidikan yang mencitrakan diri
sebagai ”favorit” tanpa menghitung pengorbanan (biaya) besar yang musti dikeluarkan.
Parahnya, banyak orang tua yang menilai bahwa semakin mahal sebuah sekolah, semakin
favorit pula sekolah itu. Oleh karena itu, semakin besar biaya yang dikeluarkan, mereka
menganggap akan semakin terjamin pula keberhasilan masa depan anaknya. Ada
masyarakat yang anaknya bisa masuk sekolah favorit karena bisa membayar mahal, tetapi
lebih banyak masyarakat yang tidak mampu menembus sekolah favorit karena tidak bisa
membayar mahal. Pada akhirnya, perilaku-perilaku semacam ini akan menimbulkan
kesenjangan sosial.

2.11 Konsumerisme Dalam Beryadnya (Hindu)


Berkembangnya paham Konsumerisme yang selain berpengaruh pada sosial
ekonomi masyarakat juga berpengaruh pada sosio religius seseorang yang sudah
terpengaruh konsumerisme. Konsumerisme merupakan suatu paham dimana seseorang
atau sekelompok orang melakukan dan menjalankan proses pemakaian barang hasil
produksi secara berlebihan, tidak sadar, dan berkelanjutan.
Dalam proses pelaksanaan upacara yadnya yang sedang berlangsung, tidak
sedikit para wanita Hindu yang berpenampilan sangat mewah sehingga terlihat
modern/modis di lingkungan sosial masyarakat Hindu. Seperti, berlomba-lomba untuk
serempak menggunakan pakaian kebaya terbaru mode sekarang ini. Jelas hal tersebut
mengakibatkan persaingan dalam berpenampilan di lingkungan masyarakat sosial Hindu
terutama bagi kaum wanita yang ingin terlihat berlebihan dalam berbusana adat ke pura
ataupun saat ada upacara agama.
Dari pakaian kebaya, selendang, kain (kamen) sampai aksesoris penghias tubuh
serta make up digunakan untuk menunjang penampilannya. Terkadang dengan
menggunakan pakaian kebaya serta aksesoris yang berlebihan mengakibatkan menjadi
sebuah tontonan di mata masyarakat Hindu yang lain. Hampir setiap mode pakaian
kebaya baik bermotif brokat transparan ataupun dengan bermacam bordiran habis terjual
dan dibeli oleh sebagain besar wanita Hindu. Selain pakaian kebaya dan kain, yang tidak
kalah pentingnya lagi berbagai aksesoris terbaru dan trend zaman sekarang ini juga
banyak diburu oleh kaum wanita Hindu, apapun yang ter-update dengan hitungan hari
habis terjual. Sikap seperti ini akan terus menjadi sebuah budaya/gaya hidup di kalangan
masyarakat Hindu, apabila hal ini tidak segera disadari dari diri sendiri. Sikap yang
terlalu berlebihan dalam berbelanja untuk memenuhi keinginan agar terlihat modis dan
modern di zaman sekarang ini, sebenarnya merupakan sikap yang tidak terlalu penting
untuk terus dikembangkan.
Selain perilaku konsumtif pada produk-produk fashion, makanan, dan kebutuhan
rumah tangga, masyarakat juga konsumtif terhadap sarana upacara yadnya yang sudah
dianggap sebagai salah satu kebutuhan sehari-hari. Kehidupan masyarakat Hindu dalam
melaksanakan upacara ritual tidak terlepas dari tuntutan hidup masa kini. Cenderung
masyarakat Hindu memaksakan kehendaknya untuk dapat mengikuti trend masa kini.
Tidak hanya dalam bidang fashion namun juga dalam bidang sarana upacara yadnya
tersebut. Perilaku masyarakat Hindu mulai bergeser dari yang dahulu membuat sarana
yadnya sendiri kini sudah bisa diperoleh di toko-toko, pasar bahkan di toko online hanya
dengan sentuhan jari saja sarana upacara yadnya sudah siap.
Perilaku konsumtif ini sudah barang tentu keluar dari
hakikat yadnya sesungguhnya dimana mempersembahkan dengan tulus ikhlas. Perilaku
konsumtif ini di dorong oleh banyak faktor yang mempengaruhi psikologi seseorang
untuk melakukan hal tersebut, seperti berbelanja buah-buahan import untuk sarana banten
gebogan hanya demi gengsi antara masyarakat.
Agama Hindu mengenal banyak jenis yajnya (ritual) antara lain ngaben. Ngaben
adalah ritual pembakaran jenazah pada masyarakat Hindu. Tujuannya, tidak saja
mengembalikan badan fisik ke asalnya, tetapi juga mengubah status roh (Atman) orang
yang diaben ke tingkat yang lebih tinggi dan sakral, yaitu menjadi dewa pitara. Dewa
pitara berhak untuk dipuja pada sanggah kemulan – tempat suci milik kuren (keluarga
batih) atau pura keluarga, yaitu sanggah gede – milik beberapa kuren yang berleluhur
sama dilihat dari garis kebapakan atau ke-purusa-an. Pemujaan ini amat penting karena
diyakini dapat memberikan kesejahteraan bagi suatu keluarga.
Ngaben termasuk yajnya besar sehingga penyelenggaraannya membutuhkan
kerja sama antar warga dadia (klen kecil patrilineal) dan atau desa pakraman (komunitas
lokal mengurus masalah adat dan agama) guna mempersiapkan berbagai banten secara
gotong-royong (ngayah). Bahan baku banten berasal dari alam sekitar, misalnya janur,
buah-buahan, bunga-bungaan, dan lain-lain. Begitu pula desa pakraman memiliki banyak
serati (tukang banten). Mereka bekerja sama dengan tukang banten dari geria (pendeta
Hindu) yang memberikan pelayanan keagamaan kepada anak buahnya (sisya) dengan
imbalan berbentuk hormat sosial dan materi, misalnya beras (Atmadja, 2010). Dengan
cara ini, maka penyediaan banten ngaben terbebas dari mekanisme pasar sehingga
pengeluaran modal finansial bagi pelaku ritual menjadi relatif kecil.
Akan tetapi, sejak tahun 2000-an terjadi perubahan pengadaan banten ngaben,
yaitu semakin banyak orang membeli banten daripada membuat banten dengan cara
ngayah sehingga muncul komodifikasi banten. Berita tentang orang membeli banten
ngaben dengan harga puluhan bahkan ratusan juta rupiah sering terdengar pada
masyarakat. Hal ini dikritik oleh berbagai pihak antara lain penganut tattwaisme
(beragama menekankan pada filsafat) (Atmadja, 2010). Alasannya, komodifikasi banten
dinilai sebagai penyebab kemiskinan mengingat banyak orang ngaben menjual sawah dan
atau tegalan. Padahal agama Hindu tidak mewajibkan umatnya ngaben secara besar-
besaran. Mereka dapat memilih ngaben tingkatan nista, yaitu ngaben yang lebih
menekankan pada esensinya sehingga kebutuhan akan modal ekonomi menjadi lebih
kecil. Begitu pula agama Hindu mengajarkan bahwa besaran dana ngaben tidak
berkorelasi dengan perolehan surga atau neraka. Surga dan neraka bergantung pada
hukum karma phala (Wiana, 1995: 202-208; Atmadja, 2014; Kobelen dan Kowida, 2010:
2; Jendra, 2004). Walaupun demikian bukti-bukti kancah menunjukkan bahwa pembelian
banten ngaben dengan harga mahal tetap berlangsung sehingga komodifikasi banten
semakin melembaga pada masyarakat Bali.
Komodifikasi banten ngaben dan aneka banten untuk ritual lainnya
memunculkan industri banten di geria (rumah tinggal sulinggih atau pendeta Hindu).
Industri banten dikritik oleh berbagai pihak antara lain Ida Pandita Mpu Jaya Prema
Ananda. Dia menyatakan bahwa pendeta Hindu secara etika tidak boleh berjualan atau
tan wenang adol atuku. Pendeta Hindu dilarang pula berusaha dengan maksud mencari
untung. Sulinggih hendaknya tidak mengejar keduniawian sebab dapat menimbulkan
keresahan dan dirinya pun teragitasi (Suhardana, 2008: 203-287; Wiana, 2004: 237).
Walaupun demikian teks ideal ini tidak sesuai dengan teks sosial karena banyak geria
memiliki pabrik banten dengan mempekerjakan tenaga upahan.
Fenomena ini tidak bisa ditutup-tutupi karena sudah terang benderang. Bahkan
beberapa geria sudah menetapkan tabel banten. Untuk upacara ini sekian juta, untuk
upacara itu sekian juta. Sampai-sampai ada tabel: daksina linggih harganya sekian ribu,
banten prayascita sekian ribu. Mirip super market. Kalau begitu kenapa harus menjadi
sulinggih, kenapa tidak menjadi makelar banten? (Ananda, 2011: 1).
Gejala ini memunculkan masalah, yaitu pertama, mengapa orang Bali (Hindu)
membeli banten ngaben sehingga melahirkan komodifikasi banten? Kedua, mengapa
geria mengembangkan industri banten? Jawaban atas pertanyaan ini amat penting, tidak
saja untuk memahami alasan maknawiah konsumen membeli banten dan berkembangnya
geria sebagai pusat industri banten, tetapi diharapkan pula memberikan sumbangan bagi
pengembangan sosiologi komodifikasi agama. Berkenaan dengan itu maka pemahaman
terhadap ritual ngaben tidak lagi terfokus pada aspek agama sebagaimana yang berlaku
selama ini, tetapi terarah pula pada pemahaman yang bersifat kritis. Dengan cara ini
diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran pada orang Bali (Hindu) tentang hakikat
ritual ngaben dan betapa pentingnya transformasi sosial tentang industri banten yang
mengacu kepada tattwa (filsafat) dan susila (etika) dalam agama Hindu.
Selain itu ditemukan adanya perilaku masyarakat yang konsumtif dalam hal
fashion dalam melaksanakan upacara bahkan hingga sarana dan prasarana untuk
perlengkapan yadnya tersebut. Salah satu contohnya adalah ketika piodalan di Pura
dilaksanakan upacara mepeed, yang dimana ibu-ibu diharuskan memakai pakaian adat ke
pura seragam dengan tinggi gebogan yang seragam untuk menambah keindahan
barisaan peed, namun dibelakang hal tersebut bila ditelaah lebih lanjut mengenai pakaian
dan gebogan yang seragam menuntut masyarakat berbelanja meski sebenarnya tidak
menginginkan atau memerlukannnya, seseorang yang belum membutuhkan pakaian baru,
atau gebogan yang seragam dengan belum tentu semua kalangan mampu untuk
menghaturkan gebogan berukuran sekian.
Upacara ritual, sudah menjadi hal wajib yang dilaksanakan oleh Umat Hindu
sebagai ungkapan rasa syukur kepada Sang Hyang Widhi, atas segala anugerah yang
telah diberikan oleh-Nya. Untuk mencurahkan rasa syukur tersebut, hal apapun boleh
dilakukan oleh setiap Umat Hindu, dari menghaturkan upacara yang sederhana sampai
yang mewah sekalipun. Pada intinya setiap upacara yang dihaturkan tersebut tentu harus
berdasarkan pada rasa tulus iklas. Seperti yang tercantum di dalam kitab Bhagavadgita
XI.26 sebagai berikut :

Pattram puspam phalam to yam

yo me bhaktya prayacchati

tad aham bhaktyupahrtam

asnami prayatatmanah

Artinya :

Siapapun yang dengan kesujudan mempersembahkan pada-Ku berupa daun, bunga,


buah-buahan, atau air, persembahan yang didasari oleh cinta dan keluar dari hati suci,
Aku terima.

Persembahan yang didasarkan dengan hati suci dan kecintaan adalah diterima
oleh Tuhan Yang Maha Esa, meskipun sifatnya sederhana. Bila persembahan itu besar-
besaran, tetapi dengan didasarkan atas keegoisan saja, tidak akan mempunyai arti yang
suci. Jalan menuju ke arah Ida Sang Hyang Widhi Wasa ialah yadnya, pengertian dengan
menyerahkan diri atas dasar cinta-Nya. Upakara-upakara yang serba besar tidak ada
artinya bila tidak disertai dengan jiwa yang tulus ikhlas.

Anda mungkin juga menyukai