Anda di halaman 1dari 125

BAB I

PERKEMBANGAN BAHASA INDONESIA

1.1 Kedudukan dan Fungsi Bahasa Indonesia


1.1.1 Kedudukan Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia mempunyai kedudukan yang sangat penting, seperti tercantum
pada ikrar ketiga Sumpah Pemuda 1928 yang berbunyi Kami Putra dan Putri Indonesia
Menjunjung Tinggi Bahasa Persatuan, Bahasa Indonesia. Ini berarti bahwa bahasa
Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional, kedudukannya berada di atas bahasa-
bahasa daerah. Selain itu, di dalam Undang-Undang Dasar 1945 tercantum pasal khusus
(Bab XV, pasal 36) mengenai kedudukan bahasa Indonesia yang menyatakan bahwa
bahasa negara ialah bahasa Indonesia. Dengan kata lain, ada dua macam kedudukan
bahasa Indonesia, pertama bahasa Indonesia berkedudukan sebagai bahasa nasional
sesuai dengan Sumpah Pemuda 1928, kedua, bahasa Indonesia berkedudukan sebagai
bahasa negara sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Di dalam kedudukannya sebagai bahasa nasional, bahasa Indonesia berfungsi
sebagai (1) lambang kebanggaan kebangsaan, (2) lambang identitas nasional, (3) alat
perhubungan antarwarga, antardaerah, dan antarbudaya, dan (4) alat yang memungkinkan
penyatuan berbagai-bagai suku bangsa dengan latar belakang sosial budaya dan
bahasanya masing-masing ke dalam kesatuan kebangsaan Indonesia.
Sebagai lambang identitas nasional, bahasa Indonesia kita junjung di samping
bendera dan lambang negara kita. Di dalam melaksanakan fungsi ini bahasa Indonesia
tentulah harus memiliki identitasnya sendiri pula sehingga ia serasi dengan lambang
kebangsaan kita yang lain. Bahasa Indonesia dapat memiliki identitasnya hanya apabila
masyarakat pemakainya membina dan mengembangkan sedemikian rupa sehingga bersih
dari unsur-unsur bahasa lain.
Fungsi bahasa Indonesia yang ketiga sebagai bahasa nasional adalah sebagai alat
perhubungan antarwarga, antara daerah, dan antarsuku bangsa. Berkat adanya bahasa
nasional kita dapat berhubungan satu dengan yang lain sedemikian rupa sehingga
kesalahpahaman sebagai akibat perbedaan latar belakang sosial budaya dan bahasa tidak
perlu dikhawatirkan. Kita dapat bepergian dari pelosok yang satu ke pelosok yang lain di
tanah air kita dengan hanya memanfaatkan bahasa Indonesia sebagai satu-satunya alat
komunikasi.
Fungsi bahasa Indonesia yang keempat dalam kedudukannya sebagai bahasa
nasional adalah sebagai alat yang memungkinkan terlaksananya penyatuan berbagai suku
bangs yang memiliki latar belakang sosial budaya dan bahasa yang berbeda-beda ke
dalam satu kestuan kebangsaan yang bulat. Di dalam hubungan ini, bahasa Indonesia
memungkinkan berbagai suku bangsa itu mencapai keserasian hidup sebagai bangsa yang
bersatu dengan tidak perlu meninggalkan identitas kesukuan dan kesetiaan kepada nilai-
nilai sosial budaya serta latar belakang bahasa daerah yang

1
bersangkutan. Lebih dari itu, dengan bahasa nasional itu kita meletakkan
kepentingan nasional jauh di atas kepentingan daerah atau golongan.
Di dalam kedudukan sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia berfungsi sebagai
(1) bahasa resmi kenegaraan, (2) bahasa pengantar di dalam dunia pendidikan, (3) alat
perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan, serta (4) alat pengembangan kebudayaan, ilmu pengetahuan, dan
teknologi.
Sebagai bahasa kenegaraan, bahasa Indonesia dipakai di dalam segala upacara,
peristiwa, dan kegiatan kenegaraan, baik dalam bentuk lisan maupun dalam bentuk
tulisan. Termasuk ke dalam kegiatan-kegiatan itu adalah penulisan dokumen oleh
pemerintah dan badan-badan kenegaraan lainnya, serta pidato-pidato kenegaraan.
Sebagai fungsinya yang kedua di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara,
bahasa Indonesia merupakan bahasa pengantar di lembaga-lembaga pendidikan mulai
taman kanak-kanak sampai dengan perguruan tinggi di seluruh Indonesia, kecuali di
daerah-daerah, seperti Aceh, Batak, Sunda, Jawa, Madura, Bali, dan Makasar yang
menggunakan bahasa daerahnya sebagai bahasa pengantar sampai dengan tahun ketiga
pendidikan dasar.
Sebagai fungsinya yang ketiga di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara,
bahasa Indonesia adalah alat perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan nasional dan untuk kepentingan pelaksanaan
pemerintah. Di dalam hubungan dengan fungsi ini, bahasa Indonesia dipakai bukan saja
sebagai alat komunikasi timbal-balik antara pemerintah dan masayarakat luas, dan bukan
sebagai alat perhubungan antardaerah dan antarsuku, melainkan juga sebagai alat
perhubungan di dalam masayarakat yang sama latar belakang sosial budaya dan
bahasanya.
Akhirnya, di dalam kedudukannya sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia
berfungsi sebagai alat pengembangan kebudayaan nasional, ilmu pengetahuan, dan
teknologi. Di dalam hubungan ini, bahasa indonesi adalah satu-satunya alat yang
memungkinkan kita membina dan mengembangkan kebudayaan nasional sedemikian
rupa sehingga ia memimiliki ciri-ciri dan identitasnya satu yang sama, bahasa Indonesia
kita pergunakan sebagai alat untuk menyatakan nilai-nilai sosial budaya nasional kita
(Halim 1976:4 -56; Moeliono:15-31).
BAB II
BAHASA INDONESIA DENGAN BERBAGAI RAGAMNYA

2.1 Ragam Lisan dan Ragam Tulis


Bahasa Indonesia yang amat luas wilayah pemakaiannya ini dan bermacam-
macam pula latar belakang penuturannya mau tidak mau akan melahirkan sejumlah
ragam bahasa. Adanya bermacam-macam ragam bahasa ini sesuai dengan fungsi,
kedudukan, serta lingkungan yang berbeda-beda. Ragam bahasa ini pada pokoknya dapat
dibagi dalam dua bagian, yaitu ragam lisan dan ragam tulis.
Tidak dapat kita pungkiri, bahasa Indonesia ragam lisan sangat berbeda dengan
bahasa Indonesia ragam tulis. Ada pendapat yang mengatakan bahwa ragam tulis adalah
pengalihan ragam lisan ke dalam ragam tulis (huruf). Pendapat ini tidak dapat dibenarkan
seratus persen sebab tidak semua ragam lisan dapat dituliskan, sebaliknya, tidak semua
ragam tulis dapat dilisankan. Kaidah yang berlaku bagi ragam lisan belum tentu berlaku
bagai ragam tulis. Kedua ragam itu berbeda. Perbedaannya adalah sebagai berikut:
1) Ragam lisan menghendaki adanya orang kedua, teman berbicara yang berada di
depan pembicara, sedangkan ragam tulis tidak mengharuskan adanya teman bicara
berada di depan.
2) Di dalam ragam lisan unsur-unsur fungsi gramatikal, seperti subjek, predikat, dan
objek tidak selalu dinyatakan. Unsur-unsur itu kadang-kadang dapat ditinggalkan.
Hal ini disebabkan oleh bahasa yang digunakan itu dapat dibantu oleh gerak, mimik,
pandangan, anggukan, atau intonasi. Contoh:
Orang yang berbelanja di pasar
“Bu, berapa cabenya?”
“Tiga puluh.”
“Bisa kurang?”
“Dua lima saja, Nak.”
Ragam tulis perlu lebih terang dan lebih lengkap daripada ragam lisan. Fungsi-
fungsi gramatikal harus nyata karena ragam tulis tidak mengharuskan orang kedua
berada di depan pembicara. Kelengkapan ragam tulis menghendaki agar orang yang
“diajak bicara” mengerti isi tulisan itu. Contoh ragam tulis adalah tulisan-tulisan
dalam buku, majalah dan surat kabar.
3) Ragam lisan sangat terikat pada kondisi, situasi, ruang dan waktu. Apa yang
dibicarakan secara lisan di dalam sebuah ruang kuliah, hanya akan berarti dan
berlaku untuk waktu itu saja. Apa yang diperbincangkan dalam suatu ruang diskusi
susastra belum tentu dapat dimengerti oleh orang yang berada di luar ruang itu.
Ragam tulis tidak terikat oleh situasi, kondisi, ruang dan waktu. Suatu tulisan dalam
sebuah buku yang ditulis oleh seorang penulis di Indonesia dapat dipahami oleh
orang yang berada di Amerika atau Inggris. Sebuah buku yang ditulis pada tahun
1985 akan dapat dipahami dan dibaca oleh orang yang hidup tahun 2000 dan
seterusnya. Hal itu dimungkinkan oleh kelengkapan unsur-unsur dalam ragam tulis.
Contoh ragam lisan lainnya:
Seorang direktur berkata kepada sekretarisnya.
“Kenapa dia, San?”
“Tahu, Tuan, miring kali.”
Kalau kita tidak berada dalam suasana itu, jelas kita tidak mengerti apa yang
diperbincangkannya itu.
4) Ragam lisan dipengaruhi oleh tinggi rendah dan panjang pendeknya suara,
sedangkan ragam tulis dilengkapi dengan tanda baca, huruf besar, dan huruf miring.
Berikut ini dapat kita bandingkan wujud bahasa Indonesia ragam lisan dan ragam
tulis. Perbandingan ini didasarkan atas perbedaan penggunaan bentuk kata, kosakata, dan
struktur kalimat.
Ragam Lisan
a. Penggunaan Bentuk Kata
1) Kendaraan yang ditumpanginya nabrak pohon mahoni.
2) Bila enggak sanggup, enggak perlu lanjutkan kerjaan itu.
3) Fotokopi ijazah harus dilegalisir dulu oleh pimpinan akademi.
b. Penggunaan Kosakata
4) Saya sudah kasih tau mereka tentang hal itu.
5) Mereka lagi bikin denah buat pameran entar.
6) Pekerjaan itu agak macet disebabkan karena keterlambatan dana yang diterima.
c. Penggunaan Struktur Kalimat
7) Rencana ini saya sudah sampaikan kepada Direktur.
8) Dalam “Asah Terampil” ini dihadiri juga oleh Gubernur Daerah Istimewa Aceh.
9) Karena terlalu banyak saran berbeda-beda sehingga makin bingung untuk
menyelesaikan pekerjaan itu.
Ragam Tulis
a. Penggunaan Bentuk Kata
(1) Kendaraan yang ditumpanginya menabrak pohon mahoni.
(2) Apabila tidak sanggup, engkau tidak perlu melanjutkan pekerjaan itu.
(3) Fotokopi ijazah harus dilegalisasi dahulu oleh pimpinan akademi.
b. Penggunaan Kosakata
(4) Saya sudah memberi tahu mereka tentang hal itu.
(5) Mereka sedang membuat denah untuk pameran nanti.
(6) Pekerjaan itu agak macet disebabkan oleh keterlambatan dana yang diterima.
c. Penggunaan Struktur Kalimat
(7) Rencana ini sudah saya sampaikan kepada Direktur.
(8) “Asah Terampil” ini dihadiri juga oleh Gubernur Daerah Istimewa Aceh.
(9) Karena terlalu banyak saran yang berbeda-beda, ia makin bingung untuk
menyelesaikan pekerjaan itu.

2.2 Ragam Baku dan Tidak Baku


Pada dasarnya ragam tulis dan ragam lisan terdiri pula atas ragam baku dan ragam
tidak baku. Ragam baku adalah ragam yang dilembagakan dan diakui oleh sebagian besar
warga masyarakat pemakainya sebagai bahasa resmi dan sebagai kerangka rujukan norma
bahasa dalam penggunaannya. Ragam tidak baku adalah ragam yang tidak dilembagakan
dan ditandai oleh ciri-ciri yang menyimpang dari norma ragam baku.
Ragam baku itu mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
a) Kemantapan Dinamis
Mantap artinya sesuai dengan kaidah bahasa. Kalau kata rasa dibubuhi awalan pe-
akan terbentuk kata perasa. Kata raba di bubuhi pe- akan terbentuk kata peraba. Oleh
karena itu, menurut kemantapan bahasa, kata rajin dibubuhi pe- akan menjadi perajin,
bukan pengrajin. Kalau kita berpegang pada sifat mantap, kata pengrajin tidak dapat kita
terima. Bentuk-bentuk lepas tangan lepas pantai, dan lepas landas merupakan contoh
kemantapan kaidah bahasa baku. Dinamis artinya tidak statis, tidak kaku. Bahasa buku
tidak menghendaki adanya bentuk mati. Kata langganan mempunyai makna ganda, yaitu
orang yang berlangganan dan toko tempat berlangganan. Dalam hal ini, tokonya
langganan dan orang yang berlangganan itu disebut pelanggan.
b) Cendekia
Ragam baku bersifat cendekia karena ragam baku dipakai pada tempat-tempat
resmi. Pewujud ragam baku ini adalah orang-orang yang terpelajar. Hal ini dimungkinkan
oleh pembinaan dan pengembangan bahasa yang lebih banyak melalui jalur pendidikan
formal (sekolah). Disamping itu, ragam baku dapat dengan tepat memberikan gambaran
apa yang ada dalam otak pembicara atau penulis. Selanjutnya, ragam baku dapat
memberikan gambaran yang jelas dalam otak pendengar atau pembaca. Contoh kalimat
yang tidak cendeka adalah sebagai berikut.
Rumah sang jutawan yang aneh akan dijual
Frasa rumah sang jutawan yang aneh mengandung konsep ganda, yaitu rumahnya
yang aneh atau sang jutawan yang aneh. Dengan demikian, kalimat itu tidak memberikan
informasi yang jelas. Agar menjadi cendekia kalimat tersebut harus diperbaiki sebagai
berikut:
Rumah aneh milik sang jutawan akan
dijual Rumah milik sang jutawan aneh
akan dijual
c) Seragam
Ragam baku bersifat seragam. Pada hakikatnya proses pembakuan bahasa ialah
proses penyeragaman bahasa. Dengan kata lain, pembakuan bahasa adalah pencarian
titik-titik keragaman. Pelayan kapal terbang dianjurkan untuk memakai istilah pramugara
dan pramugari. Andaikata ada orang yang mengusulkan bahwa pelayan kapal terbang
disebut steward atau stewardes dan penyerapan itu seragam, maka steward dan stewardes
sampai dengan saat ini tidak disepakati untuk dipakai. Hingga yang timbul dalam
masayarakat ialah pramugara atau pramugari.
Ragam tidak baku itu mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
a) Terlalu Dinamis.
b) Tidak Cendekia.
c) Tidak Seragam.

2.3 Ragam Baku Tulis dan Ragam Baku Lisan


Dalam kehidupan berbahasa, kita sudah mengenal ragam lisan dan ragam tulis,
ragam baku dan ragam tidak baku. Oleh sebab itu muncul ragam baku tulis dan ragam
baku lisan. Ragam baku tulis adalah ragam yang dipakai dengan resmi dalam buku-buku
pelajaran atau buku-buku ilmiah lainnya. Pemerintah sekarang mendahulukan ragam
baku tulis secara nasional. Usaha itu dilakukan dengan menerbitkan dan menertibkan
masalah ejaan bahasa Indonesia yang tercantum dalam buku Pedoman Umum Ejaan
Bahasa Indonesia yang Disempurnakan. Demikian pula, pengadaan Pedoman Umum
Pembentukan Istilah dan pengadaan Kamus Besar Bahasa Indonesia merupakan pula
usaha ke arah itu.
Bagaimana dengan masalah ragam baku lisan? Ukuran dan nilai ragam baku lisan
ini bergantung pada besar atau kecilnya ragam daerah yang terdengar dalam ucapan.
Seseorang dapat dikatakan berbahasa lisan yang baku kalau dalam pembicaraannya tidak
terlalu menonjol pengaruh logat atau dialek daerahnya.

2.4 Ragam Sosial dan Ragam Fungsional


Baik ragam lisan maupun ragam tulis bahasa Indonesia ditandai pula oleh adanya
ragam sosial, yaitu ragam bahasa yang sebagian norma dan kaidahnya didasarkan atas
kesepakatan bersama dalam lingkungan sosial yang lebih kecil dalam masayarakat.
Ragam bahasa yang digunakan dalam keluarga atau persahabatan dua orang yang akrab
dapat merupakan ragam sosial tersendiri. Selain itu, ragam sosial tidak jarang
dihubungkan dengan tinggi atau rendahnya status kemasyarakatan lingkungan sosial yang
bersangkutan. Dalam hal ini, ragam baku rasional dapat pula berfungsi sebagai ragam
sosial yang tinggi, sedangkan ragam baku daerah atau ragam sosial yang lain merupakan
ragam sosial dengan nilai kemasayarakatan yang rendah.
Ragam fungsional, yang kadang-kadang disebut juga ragam profesional, adalah
ragam bahasa yang dikaitkan dengan profesi lembaga, lingkungan kerja, atau kegiatan
tetentu lainnya. Ragam fungsional juga dikaitkan dengan keresmian keadaan
penggunaannya. Dalam kenyataan, ragam fungsional menjelma sebagai bahasa negara
dan bahasa teknis keprofesian, seperti bahasa dalam lingkungan keilmuan/teknologi,
kedokteran, dan keagamaan. Perhatikan contoh-contoh berikut:

Ragam Keilmuan/Teknologi
Komputer adalah mesin pengolah informasi. Berjuta-juta fakta dan bagan yang
berbeda dapat disimpan dalam komputer dan dapat dicari kembali apabila diperlukan.
Komputer dapat mengerjakan perhitungan yang rumit dengan kecepatan yang luar biasa.
Hanya dalam waktu beberapa detik komputer dapat melaksanakan pekerjaan yang kalau
dikerjakan oleh tenaga manusia akan memakan waktu berminggu-minggu.
Di jantung komputer terkecil (yang disebut mikrokomputer) terdapat sebuah
komponen elektronik yang dinamakan mikroprosesor. Komponen ini dibuat dari
kepingan silikon yang berukuran tidak lebih besar daripada kuku jari kelingking.
Sebenarnya, mikroprosesor itu sendiri adalah komputer dan dapat dibangun menjadi
berbagai jenis mesin.
Kita mengenal dua macam diabetes, yaitu diabetes inspidus dan diabetes mellitus.
Diabetes inspidus disebabkan oleh kekurangan hormon antidiuretik (antidiuretic hormon
ADH) diproduksi oleh kelenjar pituitaria yang berada di otak sehingga kita mengeluarkan
urine terus atau kencing saja. Pada diabetes mellitus yang kurang adalah hormon sulin
yang dihasilkan oleh kelenjar pankreas yang berada di bawah hati. Dengan kurangnya zat
insulin ini metabolisme gula tergnggu sehingga sebagian tidak bisa diubah menjadi bahan
yang bisa dibakar untuk menghasilkan tenaga, atau perubahan tersebut tidak sempurna.

Ragam Keagamaan
Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, yaitu orang-orang yang
apabila menerima takaran dari orang lain, mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka
menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka menguranginya. Tidaklah orang-
orang itu menyangka bahw sesungguhnya mereka akan dibangkitkan pada suau hari yang
besar, yaitu hari ketika manusia berdiri menghadap Tuhan semesta alam.

2.5 Bahasa Indonesia yang Baik dan Benar


Setelah masalah baku dan nonbaku dibicarakan, perlu pula bahasa yang baik dan
yang benar dibicarkaan. Penentuan atau kriteria bahasa Indonesia yang baik dan benar itu
tidak jauh berbeda dari apa yang kita katakan sebagai bahasa baku. Kebakuan suatu kata
sudah menunjukkan masalah “benar” suatu kata itu. Walaupun demikian, masalah “baik”
tentu tidak sampai sifat kebakuan suatu kalimat, tetapi sifat efektifnya suatu kalimat.
Pengertian benar pada suatu kata atau suatu kalimat adalah pandangan yang
diarahkan dari segi kaidah bahasa. Sebuah kalimat atau sebuah pembentukan kata
dianggap benar apabila bentuk itu memathui kaidah-kaidah yang berlaku. Di bawah ini
akan dipaparkan sebuah contoh:
Kuda makan rumput
Kalimat itu benar karena memenuhi kaidah sebuah kalimat secara struktur, yaitu
subjek (kuda), ada predikat (makan), dan ada objek (rumput). Kalimat ini jug amemenuhi
kaidah sebuah kalimat dari segi makan, yaitu mendukung sebuah informasi yang dapat
dimengerti oleh pembaca. Lain halnya dengan kalimat di bawah ini:
Rumput makan kuda
Kalimat ini benar menurut struktur karena ada subjek (rumput), ada predikat
(makan) dan ada objek (kuda). Akan tetapi, dari segi makan, kalimat ini tidak benar
karena tidak mendukung makan yang baik.
Sebuah bentuk kata dikatakan benar kalau memperlihatkan proses pembentukan
yang benar menurut kaidah yang berlaku. Kata aktifitas tidak benar penulisannya karena
pemunculan kata itu tidak mengikuti kaidah penyerapan yang telah ditentukan.
Pembentukan penyeraan yang benar ialah efektivitas karena diserap dari kata activity.
Karena persuratan kabar dan pertanggungan jawab tidak benar karena tidak mengikuti
kaidah yang berlaku. Yang benar menurut kaidah ialah kata persuratkabaran dan
pertanggungjawaban.
Pengertian “baik” pada suatu kata (bentukan) atau kalimat adalah pandangan yang
diarahkan dari pilihan kata (diksi). Dalam suatu pembentukan kita dapat memakai kata
yang sesuai dengan pertemuan itu sehingga kata-kata yang keluar atau dituliskan itu tidak
akan menimbulkan nilai rasa yang tidak pada tempatnya. Pemilihan kata yang akan
dipergunakan dalam suatu untaian kalimat sangat berpengaruh terhadap makan kalimat
yang dipaparkan itu. Pada suatu ketika kita menggunakan kata memerintahkan, meminta
bantuan, mempercayakan dan sebagainya.
Sebagai simpulan, yang dimaksud dengan bahasa yang benar adalah bahasa yang
menerapkan kaidah dengan konsisten, sedangkan yang dimaksud dengan bahasa yang
baik adalah bahasa yang mempunyai nilai rasa yang tepat dan sesuai dengan situasi
pemakaiannya.
BAB III
KALIMAT DALAM BAHASA INDONESIA

3.1 Pengertian Kalimat


Sekurang-kurangnya kalimat dalam ragam resmi, baik lisan maupun tertulis,
harus memiliki subjek (S) dan predikat (P). Kalau tidak memiliki unsur subjek dan
predikat, pernyataan itu bukanlah kalimat. Deretan kata yang seperti itu hanya dapat
disebut sebagai frasa. Inilah yang membedakan kalimat dengan frasa.
Kalimat adalah satuan bahasa terkecil, dalam wujud lisan atau tulisan, yang
mengungkapkan pikiran yang utuh. Dalam wujud lisan kalimat diucapkan dengan suara
naik turun, dan keras lembut, disela jeda, dan diakhiri dengan intonasi akhir. Dalam
wujud tulisan berhuruf latin kalimat dimulai dengan huruf kapital dan diakhiri dengan
tanda titik (.), tanda tanya (?), dan tanda seru (!). Kalau dilihat dari hal predikat, kalimat-
kalimat dalam bahasa Indonesia ada dua macam, yaitu:
a. Kalimat-kalimat yang berpredikat kata kerja, dan
b. Kalimat-kalimat yang berpredikat bukan kata kerja.
Akan tetapi dalam pemakaian sehari-hari kalimat yang berpredikat kata kerja
lebih besar jumlahnya daripada kalimat yang berpredikat bukan kata kerja. Hal itu
membantu kita dengan mudah untuk menentukan predikat sebuah kalimat. Oleh sebab
itu, kalau ada kata kerja dalam suatu untaian kalimat, kata kerja itu dicadangkan sebagai
predikat dalam kalimat itu. Contoh:
Tugas itu dikerjakan oleh para mahasiswa.
Kata kerja dalam kalimat ini adalah dikerjakan. Kata dikerjakan adalah predikat
dalam kalimat ini. Setelah ditemukan predikat dalam kalimat itu, subjek dapat ditemukan
dengan cara bertanya menggunakan predikat sebagai berikut:
Apa yang dikerjakan oleh para mahasiswa?
Jawaban pertanyaan itu ialah tugas itu. Kata tugas itu merupakan subjek kalimat.
Kalau tidak ada kata yang dapat dijadikan jawaban pertanyaan itu, hal itu berarti bahwa
subjek tidak ada. Dengan demikian, pernyataan dalam bentuk deretan kata-kata itu
bukanlah kalimat. Contoh:
Rektor Universitas Indonesia memimpin upacara.
Kata kerja dalam kalimat itu adalah memimpin. Kata memimpin merupakan
predikat kalimat tersebut. Oleh karena itu, cara mencari subjeknya sangat mudah, yaitu
dengan mengajukan pertanyaan.
Siapa yang memimpin upacara?
Jawabannya adalah Rektor Universitas Indonesia (Subjek) coba Anda
bandingkan empat pernyataan di bawah ini:
1) Berdiri aku di senja senyap.
2) Mendirikan pabrik baja di Cilegon.
3) Berenang itu menyehatkan kita.
4) Karena sangat tidak manusiawi.
Kalimatkah itu? Coba jelaskan dengan cara seperti uraian di atas. Ternyata,
pernyataan pertama dan ketiga merupakan kalimat, sedangkan pernyataan kedua dan
keempat bukan kalimat, mengapa?
Marilah kita perhatikan pernyataan di bawah ini.
Dalam ruang itu memerlukan tiga buah kursi.
Untuk menentukan apakah kalimat itu benar atau tidak yang mula-mula dicari
ialah predikat. Hal ini mudah kita lakukan karena ada kata kerja dalam pernyataan itu,
yaitu memerlukan. Kata memerlukan adalah predikat kalimat. Setelah itu, kita mencari
subjek kalimat dengan bertanya apa/siapa yang memerlukan.
Jawabannya ialah ruangan itu.
Akan tetapi, kata ruangan itu tidak mungkin dapat berstatus sebagai subjek karena
di depan kata ruangan itu terdapat kata dalam. Kata dalam menandai kata di belakangnya
itu sebuah keterangan tempat. Dengan demikian, pernyataan itu tidak bersubjek.
Bagaimana dengan pernyataan-pernyataan itu tidak bersubjek:
a) Ruangan itu memerlukan tiga buah kursi.
b) Dalam ruangan itu diperlukan tiga buah kursi.
Sebuah kata kerja dalam sebuah kalimat tidak dapat menduduki status predikat
kalau di depan kata kerja itu terdapat partikel yang, dan sebangsa dengan itu seperti
pernyataan di bawah ini:
1) Singa yang menerkam kambing itu.
2) Mahasiswa yang meninggalkan ruang kuliah.
3) Pertemuan untuk memilih ketua baru.
Seharusnya kata menerkam, meninggalkan, dan memilih berfungsi sebagai
predikat kalimat 1, 2, dan 3 tidak didahului yang atau untuk. Tunjukkan pernyataan yang
tergolong kalimat dan yang bukan kalimat. Kemukakan alasan anda.
1) Perajin yang ulet akan memetik hasil yang memuaskan.
2) Seminar untuk memperoleh masukan tentang konservasi alam.
3) Kesenian Bali yang sudah terkenal di mancanegara.
Kalau dalam suatu pernyataan tidak terdapat kata kerja, kata yang dapat kita
cadangkan sebagai predikat ialah kata sifat. Di samping itu, kata bilangan dan kata benda
pun dapat dijadikan sebagai predikat. Predikat itu dapat pula berupa frasa depan.
Tadi sudah dikatakan bahwa mencari subjek sebuah kalimat adalah dengan cara
bertanya melalui predikat dengan pertanyaan.
Siapa yang atau apa yang + ... predikat
Bagaimana halnya dengan objek? Unsur objek dalam kalimat hanya ditemukan
dalam kalimat yang berpredikat kata kerja. Namun, tidak semua kalimat yang berpredikat
kata kerja harus mempunyai objek. Objek itu hanya muncul pada kalimat yang
berpredikat kata kerja transitif. Objek tidak dapat mendahului predikat karena predikat
dan objek merupakan suatu kesatuan.
Jika dilihat dari segi makna kalimat, objek merupakan unsur yang harus hadir
setelah predikat yang berupa verba transitif. Coba anda perhatikan pernyataan di bawah
ini:
Ekspor nonmigas mendatangkan.
Frasa ekspor nonmigas merupakan subjek kalimat, sedangkan kata mendatangkan
adalah unsur predikat yang berupa verba transitif. Kalimat ini belum memberikan
informasi yang lengkap sebab belum ada kejelasan tentang mendatangkan itu. Oleh sebab
itu, agar kalimat itu dapat memberikan informasi yang jelas, predikatnya harus
dilengkapi, seperti kalimat di bawah ini:
Ekspor nonmigas mendatangkan keuntungan
S P O
Singkatan yang digunakan dalam buku ini adalah sebagai berikut:
S = subjek
P = predikat
O = objek
K = keterangan
Pel = pelengkap
KB = kata benda (nomina)
KK = kata kerja (verba)
KS = kata sifat (adjektiva)
KBil. = kata bilangan (numeralia)
FD = frasa depan (frasa preposisi)
KD = kata depan (preposisi)

Andaikata suatu kalimat sudah mengandung kelengkapan makna dengan hanya


memiliki subjek dan predikat yang berupa verba intransitif, objek tidak diperlukan lagi.
Kalimat di bawah ini tidak memerlukan objek.
Penanaman modal asing berkembang
S P
Kalimat itu sudah lengkap dan jelas. Jadi, unsur subjeknya adalah penanaman
modal asing dan unsur predikatnya adalah berkembang. Kalimat itu telah memberikan
informasi yang jelas. Andaikata di belakang unsur berkembang ditambah dengan sebuah
kata atau beberapa kata, unsur tambahan itu bukan objek, melainkan keterangan.
Misalnya:
Penanaman modal asing berkembang saat ini
S P K
Dalam seminar itu dibicarakan makalah tentang perbankan
K P S
Di bawah ini terdapat beberapa kalimat yang berobjek dan yang tidak berobjek:
Ia memperkaya khazanah musik Indonesia
S P O
Masalah pangan ditangani oleh pemerintah
S P Pel
Obor persahabatan menyala terus sepanjang jalan
S P K

3.2 Pola Kalimat Dasar


Setelah membicarakan unsur yang membentuk sebuah kalimat yang benar, kita
telah dapat menentukan pola kalimat dasar itu sendiri. Berdasarkan penelitian para ahli,
pola kalimat dasar dalam bahasa Indonesia adalah sebagai berikut:
1) KB + KK : Mahasiswa berdiskusi
2) KB + KS : Dosen itu ramah
3) KB + KBil : Harga buku itu sepuluh ribu rupiah
4) KB + (KD + KB) : Tinggalnya di Palembang
5) KB + KK + KB : Mereka menonton film
6) KB + KK + KB + KB : Paman mencarikan saya pekerjaan
7) KB + KB : Rustam peneliti
Ketujuh pola kalimat dasar ini dapat diperluas dengan berbagai keterangan dan
dapat pula pola-pola dasar itu digabung-gabungkan sehingga kalimat menjadi luas dan
kompleks.

3.3 Jenis Kalimat Menurut Struktur Gramatikalnya


Menurut stukturnya, kalimat bahasa Indonesia dapat berupa kalimat tunggal dapat
pula berupa kalimat majemuk. Kalimat majemuk dapat bersifat setara (koordinatif), tidak
setara (subordinatif), ataupun campuran (koordinatif – subordinatif). Gagasan yang
tunggal dinyatakan dalam kalimat tunggal; gagasan yang bersegi-segi diungkapkan
dengan kalimat majemuk.
a. Kalimat Tunggal
Kalimat tunggal terdiri atas satu subjek dan satu predikat. Pada hakikatnya, kalau
dilihat dari unsur-unsurnya, kalimat-kalimat yang panjang-panjang dalam bahasa
Indonesia dapat dikembalikan kepada kalimat-kalimat dasar yang sederhana. Kalimat-
kalimat tunggal yang sederhana itu terdiri atas satu subjek dan satu predikat. Sehubungan
dengan itu, kalimat-kalimat yang panjang itu dapat ditelusuri pola-pola pembentukannya.
Pola-pola itulah yang dimaksud dengan pola kalimat dasar. Mari kita lihat sekali lagi
pola-pola kalimat dasar tersebut:
1) Mahasiswa Berdiskusi
S:KB + P:KK
2) Dosen itu ramah
S:KB + P:KS
3) Harga buku itu sepuluh ribu rupiah
S:KB + P:KBil
4) Tinggalnya di Palembang
S:KB + P:(KD + KB)
5) Mereka menonton film
S:KB + P:KK + O:KB
6) Paman mencarikan saya pekerjaan
S:KB + P:KK + O:KB + Pel:KB
7) Rustam peneliti
S:KB + P:KB
Pola-pola kalimat dasar ini masing-masing hendaklah dibaca sebagai berikut:
Pola 1 adalah pola yang mengandung subjek (S) kata benda (mahasiswa) dan
predikat (P) kata kerja (berdiskusi).
Kalimat itu menjadi mahasiswa berdiskusi
Contoh lain:
1) Pertemuan APEC sudah berlangsung
S P
2) Teori itu dikembangkan
S P
3) Cerita itu sudah tersebar
S P
4) Umur kita bertambah terus
S P
Pola 2 adalah pola kalimat yang bersubjek kata benda (dosen itu) dan berpredikat
kata sifat (ramah). Kalimat itu menjadi:
Dosen itu ramah
S P
Contoh lain:
1) Komputernya rusak
S P
2) Suku bunga bank swasta tinggi
S P
3) Bisnis Kondominium sangat marak
S P
4) Atlet itu cekatan sekali
S P
Pola 3 adalah pola kalimat yang bersubjek kata benda (harga buku itu) dan
berpredikat kata bilangan (sepuluh ribu rupiah). Kalimat selengkapnya ialah:
Harga buku itu sepuluh ribu rupiah
S P
Contoh lain:
1) Panjang jalan tol Cawang – Tanjung Priok tujuh belas kilometer
S P
2) Masalahnya seribu satu
S P
3) Rumahnya dua buah
S P
4) Gedung Bank Bumi Daya Pusat tiga puluh tingkat
S P
Pola 4 adalah pola kalimat yang bersubjek kata benda (tinggalnya) dan
berpredikat frasa depan yang tediri atas kata depan dan kata benda (di Palembang).
Kalimat ini menjadi:
Tinggalnya di Palembang
S P
Contoh lain:
1. Direktur ke ruang kerja
S P
2. Pisau Pemotong dalam laci
S P
3. Kakaknya dari luar negeri
S P
Pola 5 adalah pola kalimat bersubjek kata benda (mereka) berpredikat kata kerja
(menonton) dan berobjek kata benda (film). Kalimat itu menjadi:
Mereka menonton film
S P O
Contoh lain:
1) Pesawat itu menembus angkasa
S P O
2) Setiap Pemilik saham mengharapkan deviden yang memuaskan
S P O
Pola 6 adalah pola kalimat yang terdiri atas subjek kata benda (paman), predikat
kata kerja (mencarikan), objek (O) kata benda (saya), dan pelengkap (Pel). Kata benda
(pekerjaan). Selengkapnya kalimat itu menjadi:
Paman mencarikan saya pekerjaan
S P O Pel
Contoh lain:
1) Dia membuatkan saya lukisan
S P O Pel
2) Ajaran agama menjanjikan pemeluknya keselamatan
S P O Pel
Pola 7 adalah pola kalimat yang bersubjek kata benda (Rustam) dan berpredikat
kata benda (peneliti). Baik subjek maupun predikat, keduanya kata benda. Jadi, kalimat
itu selengkapnya menjadi:
Rustam peneliti
S P
Contoh lain:
1) Soeharto pemasung demokrasi kita
S P
2) Chairil Anwar tokoh penyair kenamaan
S P
Ketujuh pola kalimat di atas masing-masing terdiri atas satu kalimat tunggal.
Setiap kalimat tunggal di atas dapat diperluas dengan menambahkan kata-kata pada
unsur-unsurnya. Dengan menambahkan kata-kata pada unsur-unsurnya itu, kalimat akan
menjadi panjang (lebih panjang daripada kalimat asalnya), tetapi masih dapat dikenali
unsur utamanya.
Kalimat mahasiswa berdiskusi dapat diperluas menjadi kalimat:
Mahasiswa semester III sedang berdiskusi di aula
S P K
Perluasan kalimat itu adalah hasil perluasan objek mahasiswa dengan semester
III. Perluasan predikat berdiskusi dengan sedang, dengan menambah keterangan tempat
di akhir kalimat.
Kalimat 2, yaitu Dosen itu ramah dapat diperluas menjadi:
Dosen itu selalu ramah setiap hari
S P K
Kalimat 3, yaitu harga buku itu sepuluh ribu rupiah dapat diperluas pula dengan
kalimat:
Harga buku gambar besar itu sepuluh ribu rupiah perbuah
S P
Kalimat 4, tinggalnya di Palembang dapat diperluas menjadi kalimat:
Sejak dua tahun yang lalu tinggalnya di Palembang bagian selatan
S P
Kalimat 5, mereka menonton film dapat diperluas menjadi kalimat:
Mereka dengan rombongannya menonton film detektif
S P O
Kalimat 6, yaitu paman mencarikan saya pekerjaan dapat diperluas menjadi:
Paman tidak lama lagi akan mencarikan saya keponakan tunggalnya pekerjaan.
S P O Pel
Kalimat 7, yaitu Rustam peneliti dapat diperluas menjadi:
Rustam, anak pak camat, adalah seorang peneliti
S P
Dalam kalimat pola 7 ini, antar subjek dan predikat dapat disisipkan kata adalah
sebagai pengantar predikat. Memperluas kalimat tunggal tidak hanya terbatas seperti
pada contoh-contoh di atas. Tidak tertutup kemungkinan kalimat tunggal seperti itu
diperluas menjadi dua puluh kata atau lebih. Pemerluas kalimat itu antara lain terdiri atas:
d) Keterangan tempat, seperti di sini, dalam ruangan tertutup, lewat Yogyakarta, dalam
republik itu, dan sekeliling kota.
e) Keterangan waktu, seperti setiap hari, pada pukul 19.00, tahun depan, kemarin sore,
dan minggu kedua bulan ini.
f) Keterangan alat seperti dengan linggis, dengan undang-undang itu, dengan sendok
dan garpu, dengan wesel pos, dan dengan cek.
g) Keterangan modalitas, seperti harus, barangkali, seyogyanya, sesungguhnya, dan
sepatutnya
h) Keterangan cara seperti dengan hati-hati, seenaknya saja, selekas mungkin, dan
dengan tergesa-gesa.
i) Keterangan aspek, seperti akan, sedang, sudah, dan telah.
j) Keterangan tujuan, seperti agar bahagia, supaya tertib, untuk anakya, dan bagi kita.
k) Keterangan sebab seperti karena tekun, sebab berkuasa, dan lantaran panik.
l) Frasa yang, seperti mahasiswa yang IP-nya 3 ke atas, para atlet yang sudah
menyelesaikan latihan, dan pemimpin memperhatikn rakyatnya.
m) Keterangan aposisi, yaitu keterangan yang sifatnya saling menggantikan, seperti
penerima Kalpataru, Abdul Rozak, atau Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso.
Perhatikan perbedaan keterangan alat dan keterangan cara berikut ini:
Dengan + kata benda = keterangan alat
Dengan + kata kerja / kata sifat = keterangan cara
Contoh kemungkinan perluasan kalimat-kalimat tercantum di bawah ini:
1) Gubernur / memberikan / kelonggaran / kepada pedagang /.
2) Gubernur DKI Jakarta / memberikan / kelonggaran / kepada pedagang /.
3) Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso / sudah memberikan / berbagai kelonggaran / kepada
pedagang kaki lima / pinggiran jalan atau di tempat-tempat lain/.
4) Gubernur DKI Jakarta, Sutiyoso / sudah memberikan berbagai kelonggaran / kepada
pedagang kaki lima / pinggiran jalan atau di tempat-tempat lain / di lima wilayah /
pada bulan puasa hingga lebaran nanti /.

b. Kalimat Majemuk Setara


Kalimat majemuk setara terjadi dari dua kalimat tunggal atau lebih. Kalimat
majemuk setara dikelompokkan menjadi empat jenis, sebagai berikut:
1) Dua kalimat tunggal atau lebih dapat dihubungkan oleh kata dan atau serta jika
kedua kalimat tunggal atau lebih itu sejalan, dan hasilnya disebut kalimat majemuk
setara penjumlahan. Contoh:
Kami membaca.
Mereka
menulis.
Kami membaca dan mereka menulis.
Tanda koma dapat digunakan jika kalimat yang digabungkan itu lebih dari dua
kalimat tunggal. Contoh:
Direktur tenang.
Karyawan duduk
teratur. Para nasabah
antre.
Direktur tenang, karyawan duduk teratur, dan para nasabah antre.
2) Kedua kalimat tunggal yang berbentuk kalimat setara itu dapat dihubungkan oleh
kata tetapi, sedangkan, dan melainkan jika kalimat itu menunjukkan pertentangan,
disebut kalimat majemuk setara pertentangan. Contoh:
a. Amerika dan Jepang tergolong negara maju.
Indonesia dan Brunei Darussalam tergolong negara berkembang.
Amerika dan Jepang tergolong negara maju, tetapi Indonesia dan Brunei
Darussalam tergolong negara berkembang.
b. Puspiptek terletak di Serpong, sedangkan Industri Pesawat Terbang Nusantara
terletak di Bandung.
3) Dua kalimat tunggal atau lebih dapat dihubungkan oleh kata lalu dan kemudian jika
kejadian yang dikemukakan berurutan dan hasilnya disebut kalimat majemuk setara
perurutan. Contoh:
Mula-mula disebutkan nama-nama juara MTQ tingkat
remaja. Disebutkan nama-nama juara MTQ tingkat dewasa.
Mula-mula disebutkan nama-nama juara MTQ tingkat remaja, lalu disebutkan
nama-nama juara MTQ tingkat dewasa.
4) Dapat pula dua kalimat tunggal itu dihubungkan oleh kata atau jika kalimat itu
menunjukkan pemilihan, dan hasilnya disebut kalimat majemuk setara pemilihan.
Contoh:
Para pemilik televisi membayar iuran di kantor pos terdekat, atau para
petugas menagihnya ke rumah pemilik televisi langsung.

c. Kalimat Majemuk Setara Rapatan


Dalam kalimat majemuk setara, ada yang berbentuk kalimat rapatan, yaitu suatu
bentuk yang merapatkan dua atau lebih kalimat tunggal. Yang dirapatkan ialah unsur
subjek atau unsur objek yang sama. Dalam hal seperti ini, unsur yang sama cukup
disebutkan satu kali. Contoh kalimat majemuk setara rapatan sebagai berikut:
1) - Kami berlatih.
- Kami bertanding.
- Kami berhasil menang.
- Kami berlatih, bertanding, dan berhasil menang.
2) - Menteri agama tidak membuka seminar tentang zakat.
- Menteri agama menutup seminar tentang zakat.
- Menteri agama tidak membuka, melainkan menutup seminar tentang zakat.

d. Kalimat Majemuk tidak Setara


Kalimat majemuk tidak setara terdiri atas satu suku kalimat yang bebas dan satu
suku kalimat atau lebih yang tidak bebas. Jalinan kalimat ini menggambarkan taraf
kepentingan yang berbeda-beda diantara unsur gagasan yang majemuk. Inti gagasan
dituangkan ke dalam induk kalimat, sedangkan pertaliannya dari sudut pandangan waktu,
sebab, akibat, tujuan, syarat, dan sebagainya dengan aspek gagasan yang lain
diungkapkan dalam anak kalimat. Contoh:
1) a. Komputer itu dilengkapi dengan alat-alat modern. (tunggal)
b. Mereka masih dapat mengacaukan data-data komputer. (tunggal)
c. Walaupun komputer itu dilengkapi dengan alat-alat modern, mereka masih
dapat mengacaukan data-data komputer itu.
2) a. Para pemain sudah lelah.
b. Para pemain boleh beristirahat.
c. Karena para pemain sudah lelah, boleh beristirahat.
d. Karena sudah lelah, para pemain boleh beristirahat.
Sudah dikatakan di atas bahwa kalimat majemuk tak setara terbagi dalam bentuk
anak kalimat dan induk kalimat. Induk kalimat ialah inti gagasan, sedangkan anak
kalimat ialah pertalian gagasan dengan hal-hal ini. Penanda anak kalimat ialah kata
walaupun, meskipun, sungguhpun, karena, apabila, jika, kalau, sebab, agar, supaya,
ketika, sehingga, setelah, sesudah, sebelum, kendatipun, bahwa dan sebagainya.

e. Kalimat Majemuk Tak Setara yang Berunsur Sama/Rapatan


Kalimat majemuk tak setara dapat dirapatkan andaikata unsur-unsur subjeknya
sama. Contoh:
Kami sudah lelah.
Kami ingin
pulang.
Karena sudah lelah, kami ingin pulang.

Pada anak kalimat terdapat kata kami sebagai subjek anak kalimat, dan pada
induk kalimat terdapat pula kata kami sebagai subjek induk kalimat. Dalam hal seperti
ini, subjek itu ditekankan pada induk kalimat sehingga subjek pada anak kalimat boleh
dihilangkan, dan bukan sebaliknya. Perhatikan kalimat ini:
Karena kami sudah lelah, kami ingin pulang.
Perbaikannya:
Karena kami sudah lelah, ingin pulang.
Berdasarkan perbaikan itu diperoleh suatu kaidah sebagai berikut jika dalam anak kalimat
tidak terdapat subjek, itu berarti bahwa subjek anak kalimat sama dengan subjek induk
kalimat. Perapatan kalimat tak setara ini sering keliru. Kekeliruan ini terjadi oleh
kesalahan menalar suatu gagasan sehingga terjadi percampuran perapatan antara subjek
dan objek. Contoh:
a) Usul itu tidak melanggar hukum.
b) Ia menyetujui usul itu.
Jika kedua kalimat itu dijadikan kalimat majemuk tak setara, subjek anak kalimat
dan subjek induk kalimat harus dieksplisitkan karena kedua subjek berbeda sehingga
hasilnya harus menjadi sebagai berikut:
c) Karena usul itu tidak melanggar hukum, ia setuju/menyetujuinya.
Dalam kalimat majemuk tak setara ini terdapat persamaan antara subjek anak
kalimat dan objek induk kalimat, yaitu usul itu. Dengan adanya persamaan ini kadang-
kadang terjadilah perapatan antara subjek anak kalimat dan objek induk kalimat dalam
bentuk yang salah, seperti berikut:
Karena tidak melanggar hukum, ia menyetujui usul itu.
Kalimat ini tidak benar sebab penghilangan subjek pada anak kalimat akan
memberikan makna kesamaan subjek itu dengan subjek pada induk kalimat. Andaikata
kalimat ini dibiarkan seperti itu, kita akan memberikan makna sebagai berikut:
Karena (ia) tidak melanggar hukum, ia menyetujui usul itu.
Hal ini berbeda sekali dengan gagasan pertama, yaitu:
Karena usul itu tidak melanggar hukum, ia menyetujui usul itu.
Perhatikan kalimat berikut ini:
1) Setelah diganti dengan pita baru, mereka tidak mengalami kesukaran
menggunakan mesin ketik itu.
2) Sebelum diletakkan di tengah ruangan, para pengawas terlebih dahulu
memperbaiki kipas angin itu.
Kalimat (1) salah karena subjek anak kalimat yang dilesapkan akan sama dengan
subjek induk kalimat. Jadi, yang diganti pitanya dengan pita baru dalam kalimat (1)
adalah mereka. Padahal yang diganti dengan pita baru adalah pita mesin ketik. Perbaikan
kalimat (1) sebagai berikut:
1a) Setelah mengganti pita mesin ketik dengan pita baru, mereka tidak mengalami
kesukaran dalam mempergunakan mesin ketik itu.
1b) Setelah pita mesin ketik diganti dengan pita baru, mereka tidak mengalami
kesukaran mempergunakan mesin itu.
Kalimat (2) salah karena subjek anak kalimat yang dilesapkan akan sama dengan
subjek induk kalimat, yaitu para pengawas. Padahal, yang diletakkan di tengah ruangan
adalah kipas angin. Agar subjek pada anak kalimat (yang dilesapkan) sama dengan
subjek pada induk kalimat, perbaikannya sebagai berikut:
2a) sebelum diletakkan di tengah ruangan, kipas angin itu terlebih dahulu
diperbaiki para pengawas
2b) Sebelum meletakkan kipas angindi tengah ruangan, para pengawas terlebih
dahulu memperbaiki kipas angin itu.
Perhatikan kalimat salah yang lain:
3) Jika sudah menerima biaya yang direncanakan, pemabngunan gedung itu
akan segera saya mulai.
4) Setelah membaca buku itu berulang kali, isinya dapat dipahami.
Kalimat (3) salah karena subjek yang dilesapkan dalam anak kalimat (seolah-
olah) adalah pembangunan gedung itu. Padahal, yang sudah menerima biaya yang sudah
direncanakan adalah saya. Jadi, kalimat 3) harus diperbaiki sebagai berikut:
3a) Jika sudah menerima biaya yang direncanakan, saya akan segera memulai
pembangunan gedung itu
3b) Jika biaya yang sudah direncanakan diterima, pembangunan gedung itu
akan segera saya mulai.
Kalimat (4) salah karena subjek yang dilesapkan dalam anak kalimat (seolah-
olah) adalah isinya. Padahal, yang membaca buku itu adalah mereka. Kalimat itu akan
bernalar jika diperbaiki sebagai berikut:
4a) Setelah membaca buku itu berulang-ulang, dia dapat memahami isinya.
4b) Setelah buku itu dibacanya berulang-ulang, isinya dapat dipahaminya.

f. Penghilangan Kata Penghubung


Ada beberapa kalimat majemuk tak setara rapatan yang mencoba mengadakan
penghematan dengan menghilangkan penanda anak kalimat sehingga kalimat itu menjadi
salah. Contoh:
Membaca surat itu, saya sangat terkejut.
Anak kalimat:
Membaca surat itu
Induk kalimat:
Saya sangat terkejut
Subjek anak kalimat itu persis sama dengan subjek pada induk kalimat, yaitu
saya. Kalau tidak ada penanda pada anak kalimat, kalimat majemuk itu tidak benar (tidak
baku). Penanda yang dapat dipakai ialah setelah sehingga kalimat akan menjadi:
Setelah (saya) membawa surat itu, saya sangat
terkejut. Setelah membaca surat itu, saya sangat
terkejut.
Beberapa contoh:
a. a. Memasuki masa pensiun, ia merasa mempunyai waktu yang cukup menolong
orang banyak. (salah)
b. Setelah memasuki masa pensiun, ia merasa mempunyai waktu yang cukup untuk
menolong orang banyak. (Benar)
b. a. Menderita penyakit jantung, ia terpaksa berurusan dengan dokter. (Salah)
b. Karena menderita penyakit jantung, ia terpaksa berurusan dengan dokter.
(Benar)
c. a. Memasuki Pulau Bali, para pembawa Obor Persahabatan diterima oleh
pembesar Bali
b. Ketika memasuki Pulau Bali, para pembawa Obor Persahabatan diterima oleh
Pembesar Bali. (Benar)

g. Kalimat Majemuk Campuran


Kalimat jenis ini terdiri atas kalimat majemuk tak setara (bertingkat) dan kalimat
majemuk setara, atau terdiri atas kalimat majemuk setara dan kalimat majemuk tak setara
(bertingkat). Misalnya:
1) Karena hari sudah malam, kami berhenti, dan langsung pulang.
2) Kami pulang, tetapi mereka masih bekerja karena tugasnya belum selesai.
Kalimat pertama terdiri atas anak kalimat karena hari sudah malam dan induk
kalimat yang berupa kalimat majemuk setara, kami berhenti dan langsung pulang. Jadi,
susunan kalimat pertama adalah bertingkat + setara. Kalimat kedua terdiri atas induk
kalimat yang berupa kalimat majemuk setara, kami pulang, tetapi mereka masih bekerja,
dan induk kalimat karena tugasnya belum selesai. Jadi susunan kalimat kedua adalah
setara + bertingkat.

3.4 Jenis Kalimat Menurut Bentuk Retorikanya


Tulisan akan lebih efektif jika disamping kalimat-kalimat yang disusunnya benar,
juga gaya penyajiannya (retorikanya) menarik perhatian pembacanya. Walaupun kalimat-
kalimat yang disusunnya sudah gramatikal, sesuai dengan kaidah, belum tentu tulisan ini
memuaskan pembacanya jika segi retorikanya tidak memikat. Kalimat akan
membosankan pembacanya jika selalu disusun dengan konstruksi yang monoton atau
tidak bervariasi. Misalnya, konstruksi kalimat itu selalu subjek-predikat-objek-
keterangan, atau selalu konstruksi induk kalimat – anak kalimat.
Menurut gaya penyampaiannya atau retorikanya, kalimat majemuk dapat
digolongkan menjadi tiga macam, yaitu 1) kalimat yang melepas (induk-anak), 2) kalimat
yang berklimaks (anak-induk), dan 3) kalimat yang berimbang (setara atau campuran).
a. Kalimat yang Melepas
Jika kalimat itu disusun dengan diawali unsur utama, yaitu induk kalimat dan
diikuti oleh unsur tambahan, yaitu anak kalimat, gaya penyajian kalimat itu disebut
melepas. Unsur anak kalimat ini seakan-akan dilepaskan saja oleh penulisnya dan
kalaupun unsur ini tidak diucapkan kalimat itu sudah bermakna lengkap. Misalnya:
1) Saya akan dibelikan vespa oleh Ayah jika lulus ujian sarjana.
2) Semua warga negara harus menaati segala perundang-undangan yang berlaku
agar kehidupan di negeri ini berjalan dengan tertib dan aman.
b. Kalimat yang Berklimaks
Jika kalimat itu disusun dengan diawali oleh anak kalimat dan diikuti oleh induk
kalimat, gaya penyajian kalimat itu disebut berklimaks. Pembaca belum dapat memahami
kalimat tersebut jika baru membaca anak kalimatnya. Pembaca akan memahami makna
kalimat itu setelah membaca induk kalimatnya. Sebelum kalimat itu selesai, terasa bahwa
ada sesuatu yang masih ditunggu, yaitu induk kalimat. Oleh karena itu, penyajian kalimat
yang konstruksinya anak-induk terasa berklimaks, dan terasa membentuk ketegangan.
Misalnya:
1) Karena sulit kendaraan, ia datang terlambat ke kantornya.
2) Setelah 1.138 hari disekap dalam sebuah ruangan akhirnya tiga sandera warga
negara Prancis itu dibebaskan juga.
c. Kalimat yang Berimbang
Jika kalimat itu disusun dalam bentuk majemuk setara atau majemuk campuran,
gaya penyajian kalimat itu disebut berimbang karena strukturnya memperlihatkan
kesejajaran yang sejalan dan dituangkan ke dalam bangun kalimat yang bersimetri.
Misalnya:
1) Bursa saham tampaknya semakin bergairah, investor asing dan domestik
berlomba melakukan transaksi, dan IHSG naik tajam.
2) Jika stabilitas nasional mantap, masyarakat dapat bekerja dengan tenang dan
dapat beribadah dengan leluasa.
Ketiga gaya penyampaian tadi terdapat pada kalimat majemuk. Adapun kalimat
pada umumnya dapat divariasikan menjadi kalimat yang panjang – pendek, aktif – pasit,
inversi dan pengendapaan keterangan.

3.5 Jenis Kalimat Menurut Fungsinya


Menurut fungsinya, jenis kalimat dapat dirinci menjadi kalimat pernyataan,
kalimat pertanyaan, kalimat perintah, dan kalimat seruan. Semua jenis kalimat itu dapat
disajikan dalam bentuk positif dan negatif. Dalam bahasa lisan, intonasi yang khas
menjelaskan kapan kita berhadapan dengan salah satu jenis itu. Dalam bahasa tulisan,
perbedaan dijelaskan oleh bermacam-macam tanda baca.

a. Kalimat Pernyataan (Deklaratif)


Kalimat pernyataan dipakai jika penutur ingin menyatakan sesuatu dengan
lengkap pada waktu ingin menyampaikan informasi kepada lawan berbahasanya.
(Biasanya intonasi menurun, tanda baca titik). Misalnya:
Positif
1) Presiden Gus Dur mengadakan kunjungan ke luar negeri.
2) Indonesia menggunakan sistem anggaran yang berimbang.
Negatif
1) Tidak semua nasabah bank memperoleh kredit lemah.
2) Dalam pameran tersebut para pengunjung tidak mengapat formasi yang
memuaskan tentang bisnis kondominium di kota-kota besar.
b. Kalimat Pertanyaan (interogatif)
Kalimat pertanyan dipakai jika penutur ingin memeperoleh informasi atau reaksi
(jawaban) yang diharapkan. (Biasanya, intonasi menurun, tanda baca tanda tanya).
Petanyaan sering menggunakan kata seperti bagaimana, dimana, mengapa, berapa dan
kapan. Misalnya:
Positif
1) Kapan Saudara berangkat ke Singapura?
2) Mengapa dia gagal dalam ujian?
Negatif
1) Mengapa gedung ini dibangun tidak sesuai dengan yang disepakati?
2) Mengapa tidak semua fakir miskin di negara kita dapat dijamin penghidupannya
oleh negara?
c. Kalimat Perintah dan Permintaan (Imperatif)
Kalimat perintah dipakai jika penutur ingin “menyuruh” atau “melarang” orang
berbuat sesuatu. (Biasanya, intonasi menurun, tanda baca titik atau tanda seru). Misalnya:
Positif
1) Kamu disuruh mengantarkan buku ini ke Pak Sahluddin!
2) Tolong buatkan dahulu rencana pembiayaannya.
Negatif
1) Sebaiknya kita tidak berpikiran sempit tentang hak asasi manusia.
2) Janganlah kita enggan mengeluarkan zakat jika sudah tergolong orang mampu!
d. Kalimat Seruan
Kalimat seruan dipakai jika penutur ingin mengungkapkan perasaan “yang kuat”
atau yang mendadak. (Biasanya, ditandai oleh naiknya suara pada kalimat lisan dan
dipakainya tanda seru atau tanda titik pada kalimat tulis). Misalnya:
Positif
1) Bukan main, cantiknya!
2) Nah, ini dia yang kita tunggu.
Negatif
1) Aduh, pekerjan rumah saya tidak terbawa.
2) Wah, target KONI di Asian Games XIII tahun 1998 di Bangkok tidak tercapai!

3.6 Kalimat Efektif


Kalimat efektif ialah kalimat yang memiliki kemampuan untuk menimbulkan
kembali gagasan-gagasan pada pikiran pendengar atau pembaca seperti apa yang ada
dalam pikiran pembicara atau penulis. Kalimat sangat mengutamakan keefektifan
informasi itu sehingga kejelasan kalimat itu dapat terjamin. Sebuah kalimat kalimat
efektif mempunyai ciri-ciri khas, yang kesepadanan struktur, keparalelan bentuk,
ketegasan makna, kehematan kata, kecermatan penalaran, kepaduan gagasan, dan
kelogisan bahasa.
a. Kesepadanan
Kesepadanan ialah keseimbangan antara pikiran (gagasan) dan struktur bahasa
yang dipakai. Kesepadanan kalimat ini diperlihatkan oleh kesatuan gagasan yang kompak
dan kepaduan pikiran yang baik. Kesepadanan kalimat itu memiliki beberapa ciri, yaitu:
1) Kalimat itu mempunyai subjek dan predikat dengan jelas. Ketidakpastian subjek atau
predikat suatu kalimat tentu saja membuat kalimat itu tidak efektif. Kejelasan subjek
dan predikat suatu kalimat dapat dilakukan dengan menghindarkan pemakaian kata
depan di, dalam, bagi, pada, sebagai, tentang, mengenai, menurut, dan sebagainya di
depan subjek. Contoh:
a) Bagi semua mahasiswa perguruan tinggi ini harus membayar uang kuliah
(Salah).
b) Semua mahasiswa perguruan tinggi ini harus membayar uang kuliah. (Benar).
2) Tidak terdapat subjek yang ganda. Contoh:
a) Penyusunan laporan itu saya dibantu oleh para dosen.
b) Soal itu saya kurang jelas.
Kalimat-kalimat itu dapat diperbaiki dengan cara berikut:
a) Dalam penyusunan laporan itu, saya dibantu oleh para dosen.
b) Soal itu bagi saya kurang jelas.
3) Kata penghubung intrakalimat tidak dipakai pada kalimat tunggal. Contoh:
a) Kami datang agak terlambat. Sehingga kami tidak dapat mengikuti acara
pertama.
b) Kakaknya membeli sepeda motor Honda. Sedangkan dia membeli sepeda
motor Suzuki.
Perbaikan kalimat-kalimat ini dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, ubahlah
kalimat itu menjadi kalimat majemuk dan kedua gantilah ungkapan penghubung
intrakalimat menjadi ungkapan penghubung antarkalimat sebagai berikut:
a) Kami datang agak terlambat. Oleh karena itu, kami tidak dapat mengikuti
acara pertama.
b) Kakaknya membeli sepeda motor Honda, sedangkan dia membeli sepeda
motor Suzuki.
4) Predikat kalimat tidak didahului oleh kata yang. Contoh:
a) Bahasa Indonesia yang berasal dari bahasa Melayu.
b) Sekolah kami yang terletak di depan bioskop Gunting
Perbaikannya adalah sebagai berikut:
a) Bahasa Indonesia berasal dari bahasa Melayu.
b) Sekolah kami terletak di depan bioskop Gunting.
b. Keparalelan
Keparalelan adalah kesamaan bentuk kata yang digunakan dalam kalimat itu.
Artinya, kalau bentuk pertama menggunakan nomina, bentuk kedua dan seterusnya juga
harus menggunakan nomina. Kalau bentuk pertama menggunakan verba, bentuk kedua
juga menggunakan verba. Contoh:
a) Harga minyak dibekukan atau kenaikan secara luwes.
b) Tahap terakhir penyelesaian gedung itu adalah kegiatan pengecatan tembok,
memasang penerangan, pengujian sistem pembagian air, dan pengaturan
tata ruang.
Kalimat (a) tidak mempunyai kesejajaran karena dua bentuk kata yang mewakili
predikat terjadi dari bentuk yang berbeda, yaitu dibekukan dan kenaikan. Kalimat itu
dapat diperbaiki dengan cara menyejajarkan kedua bentuk itu.
Harga minyak dibekukan atau dinaikkan secara luwes.
Kalimat (b) tidak memiliki kesejajaran karena kata yang menduduki predikat
tidak sama bentuknya, yaitu kata pengecatan, memasang, pengujian, dan pengaturan.
Kalimat itu akan baik kalau diubah menjadi predikat yang nominal, yaitu:
Tahap akhir penyelesaian gedung itu adalah kegiatan pengecatan tembok,
pemasangan penerangan, pengujian sistem pembagian air, dan pengaturan tata
ruang.
c. Ketegasan
Ketegasan atau penekanan ialah suatu perlakuan penonjolan pada ide pokok
kalimat. Dalam sebuah kalimat ada ide yang perlu ditonjolkan. Kalimat itu memberi
penekanan atau penegasan pada penonjolan itu. Ada berbagai cara untuk membentuk
penekanan dalam kalimat.
1) Meletakkan kata yang ditonjolkan itu di depan kalimat (di awal kalimat). Contoh:
Presiden mengharapkan agar rakyat membangun bangsa dan negara inti dengan
kemampuan yang ada pada dirnya. Penekanannya ialah presiden mengharapkan.
Contoh: Harapan Presiden ialah agar rakyat membangun bangsa dan negaranya.
Penekanannya ialah harapan presiden.
Jadi, penekanan kalimat dapat dilakukan dengan mengubah posisi kalimat.
2) Membuat urutan kata yang bertahap. Contoh:
Bukan seribu, sejuta, atau seratus, tetapi berjuta-juta rupiah, telah disumbangkan
kepada anak-anak terlantar. Seharusnya:
Bukan seratus, seribu, atau sejuta, tetapi berjuta-juta rupiah, telah disumbangkan
kepada anak-anak terlantar.
3) Melakukan pengulangan kata (repetisi). Contoh:
Saya suka akan kecantikan mereka, saya suka akan kelembutan mereka.
4) Melakukan pertentangan ide yang ditonjolkan. Contoh:
Anak itu tidak malas dan curang, tetapi rajin dan jujur.
5) Mempergunakan partikel penekanan (penegasan). Contoh:
Saudaralah yang bertanggung jawab.
BAB IV
TAHAP-TAHAP PENYUSUNAN KARYA ILMIAH

4.1 Pengantar
Pada dasarnya, dalam penyusunan karya ilmiah terdapat lima tahap, antara lain
(1) persiapan, (2) pengumpulan data, (3) pengorganisasian dan pengonsepan, (4)
pemeriksaan/penyuntingan konsep, (5) penyajian/pengetikan. Tahap persiapan adalah (a) pemilihan
masalah/topik, (b) penentuan judul, dan (c) pembuatan kerangka karangan/ ragangan. Tahap
pengumpulan data adalah (a) pencarian keterangan dari bahan bacaan, seperti buku, majalah, dan surat
kabar, (b) pengumpulan keterangan dari pihak-pihak yang mengetahui masalah yang akan digarap,
pengamatan langsung ke objek yang akan diteliti, serta (c) percobaan dan pengujian di lapangan atau
laboratorium. Tahap pengorganisasian dan pengonsepan adalah (a) pengelompokan bahan, yaitu bagian-
bagian mana yang akan didahulukan dan bagian-bagian mana yang akan dikemudiankan, dan (b)
pengonsepan. Tahap pemeriksaan atau penyuntingan konsep adalah pembacaan dan pengecekan
kembali naskah; yang kurang lengkap dilengkapi, yang kurang relevan dibuang. Tentu ada penyajian
yang berulang-ulang atau tumpang tindih, pemakaian bahasa yang kurang efektif, baik dari segi
penulisan dan pemilihan kata, penyusunan kalimat, penyusunan paragraf, maupun segi penerapan kaidah
ejaan. Tahap penyajian adalah pengetikan hasil penelitian. Rincian tiap-tiap kegiatan itu adalah sebagai
berikut.

4.2 Tahap Persiapan


Dalam tahap persiapan dilakukan (a) pemilihan topik/masalah, (b) penentuan
judul, dan (c) pembuatan kerangka karangan/ragangan (outline).

a. Pemilihan Topik/Masalah
Topik/masalah adalah pokok pembicaraan. Topik tersedia dengan melimpah di sekitar
kita, seperti (1) persoalan kemasyarakatan, (2) perbankan, (3) akuntansi, (4) kedokteran, (5) asuransi, (6)
koperasi, (7) teknik, (8) industri, (9) pertanian, (10) hukum, (11) perhotelan, (12) pariwisata, dan (13)
teknik lingkungan.
Hal-hal berikut patut dipertimbangkan dengan seksama oleh penyusun karya
ilmiah:
1. Topik yang dipilih harus berada di sekitar Anda, baik di sekitar pengalaman maupun
pengetahuan Anda. Hindarilah topik yang jauh dari diri Anda karena hal itu akan menyulitkan Anda
ketika menggarapnya.
2. Topik yang dipilih harus topik yang paling menarik perhatian Anda.
3. Topik yang dipilih terpusat pada suatu segi lingkup yang sempit dan terbatas. Hindari
pokok masalah yang menyeret Anda kepada pengumpulan informasi yang beraneka
ragam.
4. Topik yang dipilih memiliki data dan fakta yang objektif. Hindari topik yang bersifat
subjektif, seperti kesenangan atau angan-angan Anda.
5. Topik yang dipilih harus Anda ketahui prinsip-prinsip ilmiahnya— walaupun serba sedikit. Artinya,
topik yang dipilih itu janganlah terlalu baru bagi Anda.
6. Topik yang dipilih harus memiliki sumber acuan, memiliki bahasa kepustakaan yang akan
memberikan informasi tentang pokok masalah yang akan ditulis. Sumber kepustakaan dapat berupa
buku, majalah, surat kabar, brosur, surat keputusan, situs web atau undang-undang.
b. Pembatasan Topik dan Penentuan Judul
Jika topik sudah ditentukan dengan pasti sesuai dengan petunjuk-petunjuk, tinggal
Anda menguji sekali lagi, apakah topik itu betul-betul cukup sempit dan terbatas atau
masih terlalu umum dan mengambang. Salah satu contoh teknik membatasi
topik/masalah adalah dengan pembuatan bagan pembatasan topik.
Tempatkan topik yang Anda pilih (misalnya masalah reformasi perhotelan) pada puncak bagan.
Kemudian, tariklah garis-garis cabang ke bawah untuk menempatkan nama kota tempat masalah yang
akan digarap, seperti Jakarta, Medan, dan Ujung Pandang. Tarik lagi garis-garis ranting dari nama kota
yang Anda ketahui, seperti Hotel Sahid Jaya, Hotel Mandarin, dan Hotel Sari Pasific. Kalau pilihan Anda
jatuh ke Hotel Mandarin, pikirkan hal apa yang lebih menarik perhatian Anda, apakah segi kualitas dan
kuantitas kamar tidur, resepsionis atau penerima tamu, ataukah segi manajemen hotel. Tariklah garis-
garis anak ranting ke bawah untuk menempatkan hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan Hotel
Mandarin. Jika pilihan Anda difokuskan kepada masalah resepsionis, pikirkan kembali apakah hal itu
cukup spesifik? Jika dianggap masih terlalu umum, rincilah lebih khusus lagi. Jika Anda hanya ingin
menulis segi peranan pelayanan saat ini, bukan segi usaha perbaikan pelayanan pada masa yang akan
datang. Dengan cara bagan itu, kini Anda memiliki suatu topik yang betul-betul khusus, spesifik, dan
sesuai dengan minat dan pengetahuan Anda karena Anda mahasiswa suatu sekolah tinggi perhotelan dan
pariwisata, misalnya. Berdasarkan pembatasan ini, kini Anda memiliki topik, yaitu peranan resepsionis
dalam pelayanan tamu di hotel Mandarin, Jakarta. Topik yang sudah mengkhusus ini dapat langsung
diangkat menjadi judul karya ilmiah.

Jika sudah dilakukan pembatasan topik, judul karya ilmiah bukanlah hal yang
sulit ditentukan karena pada dasarnya, langkah-langkah yang ditempuh dalam
pembatasan topik sama dengan langkah-langkah dalam penentuan judul. Bedanya,
pembatasan topik harus dilakukan sebelum penulisan karya ilmiah, sedangkan penentuan
judul dapat dilakukan sebelum penulisan karya ilmiah atau dapat juga setelah penulisan
karya ilmiah itu selesai. Jika sudah ada topik yang terbatas, karya ilmiah sudah dapat
mulai digarap walaupun judul belum ada. Hal yang harus disiapkan lebih dahulu oleh
penulis karya ilmiah adalah topik yang jelas dan terbatas, bukan judul karya ilmiah.
Tentu judul yang ditentukan sama persis dengan masalah topik yang sudah dibatasi atau
jangan berbeda.
Selain dengan cara bagan pembatasan topik, penentuan judul karya ilmiah dapat
pula ditempuh dengan melontarkan pertanyaan-pertanyaan masalah apa, mengapa,
bagaimana, di mana, dan kapan. Tentu saja, tidak semua pertanyaan itu harus digunakan
pada penentuan judul. Mungkin, pertanyaan itu perlu dikurangi atau ditambah dengan
pertanyaan lain. Perhatikan contoh penentukan judul dengan cara bertanya berikut.
Pertama-tama, Anda bertanya dengan masalah apa. Jawaban yang Anda temukan tentu
bermacam-macam. Anda tentu memilih masalah yang terdekat dengan Anda, yang paling
menarik perhatian Anda. Contoh masalah itu adalah:
a. industri metanol;
b. resepsionis hotel;
c. desain interior.

Setelah masalahnya ditentukan, Anda dapat bertanya dengan mengapa. Jawaban


yang dapat timbul untuk pertanyaan ini ialah:
a. mengembang;
b. melayani;
c. bermanfaat.
Judul karya ilmiah haruslah berbentuk frasa, bukan berbentuk kalimat. Oleh
karena itu, kata-kata di atas dapat Anda jadikan kata benda agar dapat dijadikan judul
karangan, seperti:
a. mengembang menjadi pengembangan;
b. melayani menjadi pelayanan;
c. bermanfaat menjadi manfaat.
Dapat pula kata-kata itu tetap kata kerja asalkan judul yang dibuat tidak berupa
kalimat. Dengan dua pertanyaan itu, Anda memiliki judul sebagai berikut:
a. Pengembangan Industri Metanol atau Mengembangkan
Industri Metanol;
b. Pelayanan Resepsionis Hotel;
c. Manfaat Desain Interior.
Agar karya ilmiah dapat berpijak pada suatu masalah yang terbatas dan ruang
lingkup yang tidak terlalu mengambang, judul karya ilmiah itu harus dibatasi lagi,
misalnya dengan menyebut suatu tempat. Pertanyaan di mana akan memberikan jawaban
tentang tempat objek yang sedang diteliti. Misalnya:
a. di Pulau Bunyu;
b. di Hotel Santika, Jakarta;
c. dalam Mendukung Kegunaan Perkantoran di Jakarta.
Adakalanya pembatasan judul dilakukan dengan memberikan anak judul. Anak
judul itu selain berfungsi membatasi judul juga berfungsi sebagai penjelasan atau
keterangan judul utama. Dalam hal seperti ini, antara judul utama dan anak judul harus
dibubuhkan titik dua, seperti contoh di bawah ini:
1. PENINGKATAN PRODUKSI PUPUK DI KALIMANTAN TIMUR: SEGI KUALITAS DAN KUANTITAS
2. INTONATION: IN RELATION TO SYNTAX IN BAHASA INDONESIA
Judul-judul karya ilmiah berikut dapat digarap oleh seorang mahasiswa dari:
1. Fakultas Pertanian
Topik: Produksi Cengkeh
Judul: "Meningkatkan Produksi Cengkeh di Sulawesi Utara dengan Cara Pemupukan"
2. Fakultas Ekonomi
Topik: Garansi
Bank
Judul: "Manfaat Garansi Bank di Bank BNI Dukuh Atas Jakarta"
3. Fakultas Arsitektur
Lansekap Topik: Polusi Air
Judul: "Pengendalian Polusi Air di Perairan Sungai Musi"
4. Fakultas Sastra
Topik: Tema
Novel
Judul: "Tema Keagamaan dalam Novel-Novel Karya Hamka"
5. Akademi Perhotelan
Topik: Sirkulasi dan Pemakaian Linen
Judul: "Pengawasan terhadap Sirkulasi dan Pemakaian Linen di hotel Santika Jakarta"
6. Fakultas Teknik (Industri)
Topik: Industri Baja
Judul: "Peningkatan Industri Baja di PT Krakatau Steel Cilegon Periode 2005—2010.

c. Pembuatan Kerangka Karangan


Kerangka karangan disebut juga ragangan (outline). Penyusunan ragangan, pada
prinsipnya adalah proses penggolongan dan penataan berbagai fakta yang kadang-kadang
berbeda jenis dan sifatnya, menjadi kesatuan yang berpautan (Moeliono, 1988:1).
Penyusun karya ilmiah dapat membuat ragangan buram, ragangan yang hanya memuat
pokok-pokok gagasan sebagai pecahan dari topik yang sudah dibatasi, dapat juga
membuat ragangan kerja, ragangan yang sudah merupakan perluasan atau penjabaran
dari ragangan buram. Jenis yang kedua yang akan memudahkan penyusun untuk mengembangkan
karya ilmiah.
Penulis karya ilmiah harus menentukan dahulu judul-judul bab dan judul anak bab sebelum
menentukan rangka karangan. Judul bab dan judul anak bab itu merupakan pecahan masalah dari judul
karya ilmiah yang ditentukan. Untuk menentukan judul bab dan judul anak bab, penyusun karya ilmiah
dapat bertanya kepada judul karya ilmiahnya. Pertanyaan yang dapat diajukan ialah "apa yang akan
dilakukan dengan judul itu", "akan diapakan judul itu", atau "masalah apa saja yang dapat dibicarakan di
bawah judul tersebut". Misalnya, judul karya ilmiahnya adalah "Pembuatan dan Penggunaan Papan
Partikel di Jakarta Saat Ini". Hal yang dapat tersangkut-paut dan dapat dibicarakan dalam karya ilmiah itu
adalah
1) "pengenalan papan partikel", 2) "pembuatan papan partikel", dan 3) "penggunaan papan partikel".
Hal- hal tersebut dapat dijadikan tiga judul bab analisis. Jika bagian analisis hanya satu bab, hal-hal itu
dapat dijadikan judul anak bab. Ketiga anak bab itu masih dapat dirinci lagi dengan jalan memecah anak
bab tersebut ke dalam bagian yang sekecil-kecilnya. Misalnya, judul anak bab "pengenalan papan
partikel" dapat dipecah lagi menjadi a) "jenis-jenis papan partikel" dan b) "sifat-sifat papan partikel".
Judul anak bab "pembuatan papan partikel" dapat dipecah menjadi a) "di mana saja penggunaannya"
dan b) "apa keuntungan penggunaannya".

CONTOH RAGANGAN
PEMBUATAN DAN PENGGUNAAN PAPAN PARTIKEL DI JAKARTA SAAT INI
PEMBUATAN DAN PENGGUNAAN PAPAN PARTIKEL
1. Pengenalan Papan Partikel
1.1 Jenis-Jenis Papan Partikel
1.2 Sifat-Sifat Papan Partikel
2. Pembuatan Papan Partikel
2.1 Bahan Baku
2.2 Proses Pembuatan
2.3 Teknik Pembuatan
3. Penggunaan Papan Partikel
3.1 Tempat Penggunaan Papan Partikel
3.2 Keuntungan Penggunaan Papan Partikel

Jika ragangan seperti itu dianggap final, langkah berikutnya adalah


pembuatan rencana daftar isi karya ilmiah. Ragangan masalah yang dianalisis ditempatkan pada bab 2
dalam daftar isi. Untuk membuat daftar isi yang lengkap, analisis masalah yang hanya satu bab (contoh
ragangan 1) dilengkapi dengan tajuk prakata, daftar isi, daftar tabel(jika ada), daftar gambar (jika ada),
dan bab pendahuluan. Bab I Pendahuluan itu terdiri atas latar belakang dan masalah, ruang lingkup,
anggapan
dasar, hipotesis, dan kerangka teori, populasi dan sampel, serta metode dan teknik. Kemudian, pada
bagian akhir daftar isi dicantumkan tajuk bab simpulan dan saran, daftar pustaka, dan lampiran (jika ada).

CONTOH DAFTAR ISI


PEMBUATAN DAN PENGGUNAAN PAPAN
PARTIKEL DI JAKARTA SELATAN
PRAKATA
DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang dan Masalah
1.2 Ruang Lingkup
1.3 Anggapan Dasar, Hipotesis, dan Kerangka Teori
1.4 Populasi dan Sampel
1.5 Metode dan Teknik
BAB II PEMBUATAN DAN PENGGUNAAN PAPAN PARTIKEL
2.1 Pengenalan Papan Partikel
2.1.1 Jenis-Jenis Papan Partikel
2.1.2 Sifat-Sifat Papan Partikel
2.2 Pembuatan Papan Partikel
2.2.1 Bahan Baku
2.2.2 Proses Pembuatan
2.2.3 Teknik Pembuatan
2.3 Penggunaan Papan Partikel
2.3.1 Tempat Penggunaan Papan Partikel
2.3.2Keuntungan Penggunaan Papan Partikel
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN
3.1 Simpulan
3.2 Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN

Contoh ragangan karangan dan contoh daftar isi di atas hanya merupakan kemungkinan
kerangka dasar pola berpikir yang diterapkan dalam menyusun karya ilmiah. Tidak tertutup kemungkinan
adanya pola berpikir lain (yang lebih sempurna). Ada baiknya pola daftar isi itu disamakan. Paling sedikit
sebuah kerangka ilmiah berisi tiga bab, yaitu pendahuluan, isi atau analisis, dan penutup. Kalau
isi/analisis karangan itu agak luas, Anda dapat memecah isi itu menjadi dua atau tiga bab sehingga karya
ilmiah menjadi empat atau lima bab. Berdasarkan garis besar pemikiran itulah Anda bekerja. Anda tinggal
mengembangkan ide pokok tersebut dengan ide penjelasan di dalam paragraf-paragraf. Seandainya
dalam mengembangkan suatu ide Anda mengalami kesulitan Anda tentu harus mencari dahulu
kepustakaan yang berkaitan dengan ide pokok tersebut.

4.3 Pengumpulan Data


Jika judul karya ilmiah dan ragangannya sudah disetujui oleh pembimbing
atau oleh pimpinan lembaga pendidikan tinggi yang bersangkutan, penyusun sudah
dapat mulai mengumpulkan data. Langkah pertama yang harus ditempuh dalam pengumpulan
data adalah mencari informasi dari kepustakaan (buku, koran, majalah, brosur) mengenai hal-hal yang ada
relevansinya dengan judul garapan. Informasi yang relevan diambil sarinya dan dicatat pada kartu hasil
studi. Di samping pencarian informasi dari kepustakaan, penyusun juga dapat memulai terjun ke
lapangan. Akan tetapi, sebelum terjun ke lapangan, penyusun minta izin kepada pemerintah setempat
atau kepada pimpinan perusahaan yang perusahaannya akan diteliti. Data di lapangan dapat dikumpulkan
melalui pengamatan, wawancara atau eksperimen.

4.4 Pengorganisasian/Pengonsepan

Jika data sudah terkumpul, penyusun menyeleksi dan mengorganisasi data


tersebut. Penyusun harus menggolong-golongkan data menurut jenis, sifat atau bentuk.
Penyusun menentukan data mana yang akan dibicarakan kemudian. Jadi, penyusun harus
mengolah dan menganalisis data yang ada dengan teknik-teknik yang ditentukan.
Misalnya jika penelitian bersifat kuantitatif, data diolah dan dianalisis dengan teknik
statistik. Selanjutnya, penyusun dapat mulai mengonsep karya ilmiah itu sesuai dengan
urutan dalam ragangan yang ditetapkan.

4.5 Pemeriksaan/Penyuntingan
Sebelum mengetik konsep, penyusun memeriksa dahulu konsep itu. Tentu ada
bagian yang tumpang tindih atau ada penjelasan yang berulang-ulang. Buanglah
penjelasan yang tidak perlu dan tambahkan penjelasan yang dirasakan sangat
menunjang pembahasan. Secara ringkas, pemeriksaan konsep mencakupi pemeriksaan isi karya ilmiah
dan cara penyajian karya ilmiah, termasuk penyuntingan bahasa yang digunakannya

4.6 Pengetikan/Penyajian
Dalam mengetik naskah, penyusun hendaklah memperhatikan segi kerapian dan
kebersihan. Penyusun memperhatikan tata letak unsur-unsur dalam karya ilmiah.
Misalnya, penyusun menata unsur-unsur yang tercantum dalam kulit luar, unsur-unsur
dalam halaman judul, unsur-unsur dalam daftar isi, dan unsur-unsur dalam daftar pustaka.
BAB V
KONVENSI NASKAH KARYA ILMIAH

5.1 Pengantar
Walaupun tiap-tiap perguruan tinggi memiliki ketentuan masing-masing tentang
prosedur pembuatan karya ilmiah, pada dasarnya konvensi penulisannya sama. Konvensi
penulisan karya ilmiah itu menyangkut (1) bentuk karya ilmiah dan (2) bagian-bagian
karya ilmiah. Pembicaraan bentuk karya ilmiah mencakupi (a) bahan yang digunakan, (b)
perwajahan, dan (c) penomoran halaman. Pembicaraan bagian-bagian karya ilmiah
mencakupi (a) judul karya ilmiah, (b) judul bab-bab dalam karya ilmiah, (c) judul anak
bab, (d) judul tabel, grafik, bagan, gambar, (e) daftar pustaka, dan (f) lampiran.

5.2 Bahan dan Jumlah Halaman


Kertas yang digunakan untuk mengetik karya ilmiah sebaiknya kertas HVS yang
berukuran kuarto (21,5 x 28 cm2), sedangkan untuk kulitnya digunakan kertas yang agak
tebal. Kemudian, komputer yang digunakan hendaknya komputer yang huruf-hurufnya
tegak dan masih jelas, tidak meloncat-loncat. Pemakaian komputer yang hurufnya miring
tidak diizinkan. Jika komputer yang digunakan lebih dari satu, usahakan agar ukuran dan
bentuk hurufnya sama sehingga hanya terdapat satu ukuran dan satu bentuk huruf dalam
suatu karya ilmiah. Dalam hubungan itu, tinta yang digunakan harus berwarna hitam.
Jumlah halaman makalah untuk melengkapi ujian semester dalam mata kuliah tertentu,
misalnya, berkisar antara 10-20 halaman, tidak termasuk prakata, daftar isi, dan daftar pustaka. Jumlah
halaman skripsi untuk memenuhi syarat ujian diploma atau sarjana minimal 30 halaman. Untuk karya
ilmiah yang ditulis dalam rangka mengikuti suatu sayembara, jumlah halaman disesuaikan dengan
ketentuan panitia.

5.3 Perwajahan
Perwajahan adalah tata letak unsur-unsur karya ilmiah serta aturan penulisan
unsur-unsur tersebut yang dikaitkan dengan segi keindahan dan estetika naskah. Tata
letak dan penulisan unsur-unsur karya ilmiah harus diusahakan sebaik-baiknya agar karya
ilmiah tampak rapi dan menarik. Periksalah kulit luar naskah, halaman, judul, daftar isi,
daftar pustaka. Sudah lengkapkah bagian-bagian di dalamnya? Dalam pembicaraan
tentang perwajahan akan dibahas a) kertas pola ukuran dan b) penomoran.

5.3.1 Kertas Pola Ukuran


Supaya setiap halaman ketikan tampak rapi, sebaiknya ketika Anda mengetik,
gunakan kertas pola ukuran. Kertas pola ukuran itu dipasang setiap kali mengganti
halaman dan kertas pola ukuran itu harus ditaati agar hasil ketikan tampak rapi. Namun,
jika Anda menggunakan komputer, program-program tertentu harus dikuasai dahulu agar
format yang dikehendaki terwujud.
Buatlah garis-garis pembatas pada kertas pola ukuran itu dengan ukuran:
a. pias atas 6 cm
b. pias bawah 3 cm
c. pias kiri 4 cm, dan
d. pias kanan 2,5 cm.

Tajuk "Prakata" atau "Ucapan Ter ima Kasih", "Daftar Isi", "Bab I Pendahuluan", "Bab II
Pembahasan, Analisis" atau "Uraian Masalah", "Bab III Penutup, Simpulan", "Daftar Pustaka", dan
"Lampiran" harus dituliskan dengan huruf kapital, terletak di tengah-tengah dan sekitar 7 cm dari pinggir
atas kertas (seperempat) bagian kertas dikosongkan, serta tidak diberi tanda baca apa pun.

5.3.2 Penomoran
a. Angka yang Digunakan
Penomoran yang lazim digunakan dalam karya ilmiah adalah dengan angka
Romawi kecil, angka Romawi besar, dan angka Arab. Angka Romawi kecil (i, ii, iii, iv,
v) dipakai untuk menomori halaman yang bertajuk prakata, daftar isi, daftar tabel, daftar grafik (jika
ada), daftar bagan (jika ada), daftar skema (jika ada), daftar singkatan dan lambang (jika ada). Angka
Romawi besar (I, II, III, IV, V) digunakan untuk menomori tajuk bab pendahuluan, tajuk bab analisis,
dan tajuk bab simpulan. Angka Arab (1, 2, 3, 4, 5) digunakan untuk menomori halaman-halaman naskah
mulai bab pendahuluan sampai dengan halaman terakhir dan untuk menomori nama-nama tabel, grafik,
bagan, dan skema.

b. Letak Penomoran
Halaman judul, daftar isi, daftar tabel, daftar grafik, daftar bagan, daftar skema,
daftar singkatan dan lambang menggunakan angka Romawi kecil yang diletakkan pada bagian bawah,
tepat di tengah-tengah. Halaman yang bertajuk bab pendahuluan, bab analisis, bab simpulan, daftar
pustaka, indeks, dan lampiran menggunakan angka Arab yang diletakkan pada bagian bawah tepat di
tengah-tengah.
Halaman-halaman naskah lanjutan menggunakan angka Arab yang
diletakkan pada bagian kanan atas.

c.Penomoran Anak Bab


Anak bab dan sub anak bab dinomori dengan angka Arab sistem digital. Angka
terakhir dalam digital ini tidak diberi titik (seperti 1.1, 1.2, 2.1, 2.2, 2.2.1, 2.2.2, 3.1, 3.2).
Dalam hubungan ini, angka digital tidak lebih dari tiga angka, sedangkan penomoran
selanjutnya menggunakan a., b., c., kemudian 1), 2), 3), selanjutnya a), b), c), dan seterusnya.
Perhatikan contoh penomoran selengkapnya.

5.4 Penyajian
Dalam bagian ini akan dibicarakan cara-cara pengartuan hasil studi pustaka,
penampilan bahan kutipan, pengintegrasian kutipan ke dalam teks, dan penulisan catatan
kaki.

5.4.1 Pengartuan Hasil Studi Pustaka


Sebelum mulai menulis karya ilmiah, tentu Anda sudah memilih dan menentukan
bahan bacaan yang membahas masalah yang akan Anda tulis atau sekurang-kurangnya
berkaitan dengan masalah tersebut. Sumber bacaan itu dapat berupa buku yang sudah
diterbitkan, naskah yang belum diterbitkan, tabloid, majalah, surat kabar, atau antologi.
Anda akan menemukan isi pernyataan atau keterangan yang menurut Anda sendiri pantas dijadikan
kutipan. Segala keterangan yang relevan dan mendukung karya ilmiah yang akan digarap hendaknya
dicatat pada kartu hasil studi pustaka. Keterangan itu dapat berupa rumus, definisi, atau perincian yang
berhubungan erat dengan pokok garapan dan dituliskan dalam kartu hasil pustaka, yang berukuran
sekitar 14x10 cm2.
Segala isi pernyataan atau keterangan yang menurut pendapat Anda sangat
relevan dengan karya ilmiah yang akan ditulis, isi pernyataan itu segera Anda pindahkan
ke dalam kartu hasil studi pustaka yang sudah Anda siapkan. Tuliskan pokok masalah
pada sudut kanan sebelah atas. Di bawah pokok masalah, Anda mencantumkan data
kepustakaan (pengarang, tahun terbit, judul buku, tempat terbit, nama penerbit, dan
nomor halaman). Data kepustakaan ini akan Anda gunakan nanti pada waktu akan
merujuknya.
5.4.2 Penampilan Kutipan
Isi pernyataan atau keterangan yang tercantum dalam kartu hasil studi pustaka
ditampilkan dalam naskah untuk menunjang dan memperkuat ide-ide yang
dikemukakan dalam karya ilmiah. Penampilan kutipan sebagai pertanggungjawaban moral
penulis dalam hubungannya dengan kelaziman dalam karang-mengarang, mengikuti ketentuan-ketentuan berikut
ini.
a. Istilah-istilah seperti ibid, op cit, dan loc cit tidak perlu digunakan
dalam karya ilmiah karena pembaca tidak akan langsung
mengetahui siapa yang membuat isi pernyataan itu. Dalam karya
ilmiah pada masa lalu istilah-istilah itu digunakan dan berarti
sebagai berikut:
- ibid = ibidem berarti 'kutipan diambil dari sumber yang sama tanpa disela oleh sumber lain.
- op cit = opere citato berarti kutipan diambil dari sumber yang telah disebut sebelumnya pada
halaman yang berbeda dan telah diselingi sumber lain;
- loc cit = loco citato berarti 'kutipan diambil dari sumber dan halaman yang sama yang telah disela
oleh sumber lain.

b. Jika nama pengarang dituliskan sebelum bunyi kutipan,


ketentuannya sebagai berikut, buatlah dahulu—pengantar kalimat yang sesuai dengan
keperluan, kemudian tulislah—nama akhir pengarang, berikutnya— cantumkan tahun
terbit, titik dua, dan nomor halaman di dalam kurung, baru kutipan ditampilkan, baik
dengan kalimat langsung maupun dengan kalimat tidak langsung. Contoh:
Dalam hal pengasapan, Suhadi (2006:34) mengatakan, pengasapan ikan dengan menaikkan suhu
semaksimal mungkin akan mendapatkan ikan yang lebih baik dan lebih enak rasanya. Selain itu,
waktu bisa dihemat.
c. Jika nama pengarang dicantumkan setelah bunyi kutipan,
ketentuannya sebagai berikut, buatlah dahulu—pengantar kalimat yang sesuai dengan. keperluan—
tampilkan kutipan, kemudian—sebutkan nama akhir pengarang, tanda koma, tahun terbit, titik dua,
dan nomor halaman di dalam kurung, dan akhirnya diberi titik. Contoh:
Lebih tegas lagi dikatakan, bahwa amoniak dikirimkan secara kontinu untuk
memenuhi keperluan PT. Petro Kimia Gresik dan diekspor ke Filipina, India,
Thailand, Korea Selatan, dan Jepang (Subandi, 2006:40).
d. Ketentuan b) dan c) berlaku juga bagi kutipan yang berasal dari suatu sumber yang
pengarangnya dua orang. Contoh:
Selanjutnya, Eman dan Fauzi (2007:18) mengatakan bahwa tenaga mesin itu dapat
mengatasi sekian tenaga manusia. Oleh sebab itu, masalah ketenagakerjaan menjadi
masalah yang serius pula. Pilihan lain sebagai berikut:
Dalam bagian lain dikemukakannya bahwa tenaga mesin itu dapat mengatasi sekian tenaga manusia.
Oleh sebab itu, masalah ketenagakerjaan menjadi masalah yang serius pula (Eman dan Fauzi,
2007:18).
e. Pendapat tersebut dan buku-buku itu membicarakan hal yang
sama, penampilan kutipannya sebagai berikut:
Untuk menciptakan bentuk yang harmonis dan estetika diperlukan unsur-unsur yang
menjadi penunjang bentuk-bentuk arsitektur (Ali, 2005:5; Gani, 2006:17; Wawan,
2007:54).
Lihatlah penggunaan titik koma di antara sumber-sumber kutipan tersebut.
f. Jika nama pengarang lebih dari dua orang, yang disebutkan hanya
pengarang pertama dengan memberikan et al atau dkk. (berarti
dan kawan-kawan) di belakang nama tersebut. Contoh:
Jika dirumuskan bagaimana hubungan arsitektur dan arsitek, Sularso dkk. (2007:10-11) mengatakan
bahwa arsitektur adalah perpaduan ilmu dan seni, sedangkan arsitek adalah orang yang menciptakan
ruang sehingga melahirkan bentuk-bentuk arsitektur yang beraneka ragam.

g. Jika kutipan hanya lima baris atau kurang dari lima baris,
penampilannya seperti dicontohkan di atas, yaitu kutipan
dicantumkan di dalam teks dengan jarak dua spasi baik dengan
kutipan langsung atau dengan kutipan tidak langsung, sedangkan
kutipan yang lebih dari lima baris dicantumkan di bawah teks
dengan jarak satu spasi, dan menjorok sekitar lima pukulan mesin
tik, baik di sebelah kiri maupun di sebelah kanan, tanpa diberi
tanda petik. Perhatikan contoh berikut:
Ternyata, ular itu banyak sekali jenisnya serta memiliki ciri yang bermacam-macam,
seperti dikatakan oleh Suhono (2007:43) sebagai berikut:

Di Pulau Jawa dikenal 110 jenis ular, baik yang berbisa maupun yang tidak
berbisa dengan taring di muka berjumlah 30 jenis, 18 jenis di antaranya terdiri
dari ular-ular laut. Hingga kini didapatkan 12 jenis ular berbisa yang hidup di
darat. Ke-12 jenis ular berbisa yang hidup di darat Pulau Jawa ini 4 jenis ular
termasuk ke dalam keluarga viperidae dan 8 jenis ular termasuk ke dalam elapidae. Ular-
ular lainnya (80 jenis) termasuk ular-ular yang tidak berbisa.

h. Jika yang dikutip isi pernyataan dari internet, pencantumannya


sebagai berikut:
Persoalan utang negara sudah menjadi bola panas. Hubungan Departeman
Keuangan dan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) menjadi
sengit karena berbeda pandangan dalam manajemannya. Kepala Bappenas,
Paskah Suzetta, akan membentuk tim khusus yang akan mengelola utang
negara. Sementara koleganyadi kabinet, Menteri Keuangan, Sri Mulyani
Indrawati, malah langsung akan membentuk Direktorat Jenderal Pengelolaan
Utang dan Risiko. (Sumber: www.detik.com)

5.4.3 Pengintegrasian Kutipan ke dalam Teks


Walaupun sudah diberikan dengan jelas cara-cara menampilkan kutipan, bagian
ini akan memberikan petunjuk bagaimana kutipan ini diintegrasikan ke dalam teks. Jika
kutipan dari kartu hasil studi pustaka akan ditampilkan dalam suatu paragraf, usahakan
agar koherensi paragraf tetap utuh tidak sampai timbul kesan, kutipan itu muncul tiba-
tiba yang tidak ada relevansinya dengan pembicaraan dalam paragraf yang bersangkutan.
Contoh pengintegrasian kutipan berikut ke dalam teks cukup memadai.
Amoniak selain digunakan sebagai bahan pembuat urea, juga merupakan barang
komoditas yang sampai saat ini merupakan komoditas dalam negeri dan komoditas
ekspor seperti dikatakan oleh Subandi (2006:40), "Amoniak dikirimkan secara kontinu
untuk memenuhi keperluan PT Petro Kimia Gresik dan diekspor ke Filipina, India,
Thailand, Korea Selatan, dan Jepang."

5.4.4 Catatan Kaki


Catatan kaki adalah suatu keterangan tambahan tentang istilah atau ungkapan
yang tercantum dalam naskah. Catatan kaki dapat juga berupa rujukan kepada sesuatu
yang bukan buku, seperti keterangan wawancara, pidato di televisi, dan yang sejenis
dengan itu. Bagian yang akan diterangkan itu diberi nomor 1, 2, 3, dan seterusnya di
belakangnya. Nomor itu dinaikkan setengah spasi tanpa jarak ketukan.
Catatan kaki diletakkan di bagian bawah halaman dengan dibatasi oleh garis
sepanjang sepuluh pukulan dari pias kiri jarak dari garis pembatas ke catatan kaki dua
spasi. Nomor catatan kaki dinaikkan setengah spasi di depan penjelasannya dan diberi
kurung tutup.

BAB VI
SISTEMATIKA KARYA ILMIAH

Sistematika karya ilmiah adalah aturan meletakkan bagian-bagian


karangan ilmiah, bagian mana yang harus didahulukan dan bagian mana pula
yang harus dikemudiankan. Secara garis besarnya, bagian yang diletakkan di
depan lazim disebut bagian pembuka karya ilmiah, yang terdiri atas 1) kulit luar, 2) halaman judul, 3)
halaman pengesahan (jika diperlukan), 4) halaman penerimaan (jika diperlukan), 5) prakata, 6) daftar isi,
7) daftar tabel (jika ada), 8) daftar grafik, bagan, gambar (jika ada), 9) daftar singkatan dan lambang
(jika ada). Bagian-bagian selanjutnya disebut bagian inti karya ilmiah, yang terdiri atas 1) bab
pendahuluan, 2) bab analisis atau pembahasan, dan 3) bab simpulan. Selanjutnya, bagian yang ada
setelah simpulan disebut bagian penutup karya ilmiah, yang terdiri atas 1) daftar pustaka, 2) indeks (jika
diperlukan), dan 3) lampiran (jika diperlukan).

6.1 Bagian Pembuka


6.1.1 Kulit Luar
Dicantumkan pada kulit luar adalah a) judul karya ilmiah, lengkap dengan anak judul (jika ada),
b) keperluan penyusunan, c) nama penyusun, d) nama lembaga pendidikan tinggi (nama jurusan,
fakultas, dan universitas), e) nama kota tempat lembaga pendidikan tinggi, dan f) tahun penyusunan.

a. Judul Karya llmiah dan Keterangannya


Judul karya ilmiah dicantumkan sekitar empat sentimeter dari pinggir atas kertas.
Judul karya ilmiah dituliskan dengan huruf kapital seluruhnya tanpa diakhiri tanda baca
apa pun. Seperti dikemukakan pada halaman terdahulu, jika judul itu memiliki anak
judul, antara judul dan anak judul dibubuhkan titik dua. Perhatikan penulisan judul karya ilmiah
tanpa anak judul.

PENGEMBANGAN INDUSTRI METANOL DI PULAU


BUNYU TAHUN 2000-AN

Judul karya ilmiah lengkap dengan anak judul.

PENINGKATAN INDUSTRI BAJA DI KRAKATAU


STEEL CILEGON:
SEGI KUALITAS DAN KUANTITAS

b. Maksud Penyusunan
Maksud penyusunan karya ilmiah dicantumkan di bawah judul, yang ditulis
dengan menggunakan huruf kapital pada semua awal kata, kecuali kata tugas, seperti di,
dalam, dan, bagi, untuk, dan dari. Isi pernyataan ini pun tidak diberi tanda baca apa-apa. Misalnya:
a) Skripsi yang Disusun guna Melengkapi Syarat Ujian Sarjana pada Fakultas Ekonomi,
Universitas Trisakti.
b) Skripsi yang Disusun untuk Memperoleh Gelar Sarjana pada Fakultas Teknik,
Universitas Mercu Buana.

Nama penyusun dan nomor induk mahasiswa dicantumkan di bawah


maksud penyusunan dengan didahului kata Oleh dengan huruf awal kapital. Selanjutnya, nama
penyusun juga dituliskan dengan huruf awal kapital. Kemudian, singkatan nomor induk mahasiswa (NIM tidak
diberi titik) dan nomor induk mahasiswa dicantumkan di bawah nama. Misalnya:
a) Oleh Tommyartha NIM 1391605
b) Oleh Nita Usse Nomor 192705

Kemudian, nama jurusan, fakultas, universitas, atau sekolah tinggi tempat


penyusunan dicantumkan di bawah identitas penyusun yang diikuti nama kota tempat
penyusunan dan tahun penyusunan. Keterangan ini dituliskan dengan huruf kapital
semua. Dalam penulisan harus diusahakan agar setiap unsur di atas dituliskan dalam baris
yang berbeda. Misalnya:
a) Jurusan Teknik
Perminyakan Fakultas
Teknologi Mineral
Universitas Trisakti
Jakarta
2006
b) Jurusan Akuntansi
Sekolah Tinggi llmu Ekonomi Perbanas
Jakarta
2007

Harus diperhatikan oleh penyusun karya ilmiah, jarak antar judul, penyusun, nama
lembaga pendidikan tinggi itu diusahakan sama. Selain itu, bagian yang kosong pada pias
atas dan pias bawah serta pias kiri dan pias kanan tidak melampaui batas yang ditentukan
oleh pola ukuran kertas. Dalam menyajikan bagian-bagian yang terdapat pada kulit luar,
dapat digunakan sistem simetris dan dapat pula digunakan sistem lurus.
6.1.2 Halaman Judul
Penulisan halaman judul harus sama persis dengan penulisan kulit luar.
Ukuran hurufnya sama; kapital atau tidak kapitalnya sama, sistem simetris atau sistem lurusnya
sama. Pendeknya, yang tercantum dalam halaman judul merupakan turunan semua hal yang terdapat
dalam kulit luar.

6.1.3 Halaman Pengesahan


Ada atau tidak adanya bagian ini bergantung pada kelaziman perguruan tinggi
masing-masing. Halaman ini disediakan untuk mencantumkan nama-nama dosen pembimbing,
nama ketua jurusan, dan nama dekan yang bertanggung jawab akan kesahihan karya ilmiah. Jenis-jenis
istilah yang tercantum dalam halaman ini berbeda-beda bergantung juga pada kebiasaan yang berlaku di
lingkungan masing-masing. Misalnya, suatu perguruan tinggi menggunakan istilah pembimbing, tetapi
perguruan tinggi yang lain menggunakan istilah pembaca atau penanggung jawab. Penempatan istilah-
istilah pembimbing, pembaca, atau penanggung jawab berbeda-beda pula. Ada perguruan tinggi yang
mencantumkan secara simetris. Pada halaman pengesahan dicantumkan pula tanggal, bulan, dan tahun
persetujuan.
6.1.4 Halaman Penerimaan
Pada perguruan tinggi tertentu, setelah halaman pengesahan , dicantumkan juga
halaman penerimaan oleh panitia ujian sarjana muda/sarjana. Contoh halaman penerimaan adalah
sebagai berikut.

6.1.5 Prakata
Prakata ditulis untuk memberikan gambaran umum kepada pembaca tentang penulisan karya
ilmiah. Dengan membaca prakata, seseorang akan segera mengetahui, antara lain maksud penulis
menyajikan karya ilmiah, hal-hal apa saja yang termuat dalam karya ilmiah, dan pihak-pihak mana saja
yang memberikan keterangan kepada penulis.
Penyajian prakata hendaklah singkat, tetapi jelas. Dalam hubungan itu, unsur-unsur yang
dicantumkan dalam prakata hendaklah dibatasi pada (1) puji syukur kepada Tuhan yang telah
memberikan kekuatan kepada penulis karya ilmiah, (2) penjelasan tentang pelaksanaan penyusunan
karya ilmiah, (3) informasi tentang arahan dan bantuan dari berbagai pihak, (4) ucapan terima kasih
kepada semua pihak yang memungkinkan tersusunnya karya ilmiah, dan (5) penyebutan nama tempat,
tanggal, bulan, dan tahun penyusunan, serta nama penyusun karya ilmiah. Tajuk prakata dituliskan
dengan huruf kapital seluruhnya tanpa diberi tanda baca apa pun dan diletakkan turun sekitar
seperempat bagian (tujuh sentimeter) dari pinggir atas kertas dan persis di tengah-tengah.
6.1.6 Daftar Tabel
Karya ilmiah yang lengkap selain menganalisis data dengan saksama, juga
mencantumkan tabel yang merupakan gambaran nyata analisis masalah. Nama-nama
tabel yang tercantum di dalam karya ilmiah itu dimuat dalam daftar tabel (jika ada).
Cara penulisan daftar itu sebagai berikut. Tajuk daftar tabel dituliskan dengan huruf kapital seluruhnya, tanpa
diberi tanda baca apa pun. Tajuk daftar tabel terletak di tengah-tengah kertas dan turun seperempat
bagian dari pinggir atas kertas. Nama-nama tabel itu diberi nomor dengan angka Arab dan dituliskan
dengan huruf kapital pada semua awal katanya, kecuali partikel seperti di, ke, dan, dari, yang, dan untuk.

6.1.7 Daftar Grafik, Bagan atau Skema


Pada dasarnya, penulisan daftar grafik, daftar bagan, atau daftar skema (jika ada)
hampir sama dengan penulisan daftar tabel. Daftar grafik, daftar bagan, atau daftar skema
itu dibuat jika dalam satu karya ilmiah terdapat lebih dari satu grafik, bagan, atau skema.
Cara menuliskannya adalah sebagai berikut. Di tengah-tengah kertas dituliskan tajuk
DAFTAR GRAFIK, DAFTAR BAGAN, atau DAFTAR SKEMA dengan huruf kapital
semua, tanpa diberi tanda baca apa pun. Tajuk-tajuk ini pun diletakkan di tengah-tengah
kertas dan turun seperempat bagian dari pinggir atas kertas (tujuh sentimeter). Berilah
nomor urut grafik, bagan, atau skema dengan angka Arab, 1, 2, 3, dan seterusnya, seperti
Grafik 1, Bagian 2, atau Skema 5 dengan diikuti nama masing-masing.

6.1.8 Daftar Singkatan dan Lambang


Dalam karya ilmiah, penulis dapat menggunakan singkatan atau lambang istilah
atau nama sesuatu. Hal itu dilakukan agar isi karya ilmiah terasa padat, efisien, dan
efektif.
Singkatan dan lambang yang digunakan dalam bagian analisis harus dimuat dalam
daftar singkatan dan lambang. Perhatikan beberapa contoh pengetikan tabel dan contoh
daftar tabel di bawah ini.
Tidak ada patokan yang pasti dalam pemakaian singkatan dan lambang, apakah
singkatan dan lambang itu dituliskan dengan huruf kapital seluruhnya, huruf kecil
seluruhnya, atau gabungan kapital dan kecil. Patokan yang ada bahwa singkatan dan
lambang itu harus digunakan dan dituliskan secara konsisten atau ajeg dari halaman
pertama sampai dengan halaman terakhir.
Ketentuan yang lain, pada saat pertama kali digunakan, singkatan itu harus
didahului oleh bentuk lengkapnya, singkatannya dituliskan di dalam kurung, seperti
contoh berikut. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), sedangkan pada pemakaian berikutnya, bentuk
lengkapnya tidak perlu dituliskan berulang-ulang, tetapi cukup singkatannya saja, tanpa diberi tanda
kurung.
Masalah lambang yang akan digunakan dalam karya ilmiah bergantung pada keinginan penulis.
Penulis sendirilah yang menciptakan jenis dan bentuk lambang. Seperti penggunaan singkatan,
penggunaan lambang pun harus konsisten/ajeg. Perhatikan contoh daftar singkatan dan lambang berikut

6.2 Bagian Inti Karya llmiah


Dalam bagian inti ini akan terdapat tiga jenis sajian, yakni:
1. Bab pendahuluan;
2. Bab analisis dan pembahasan; serta
3. Bab simpulan dan saran. (saran tidak selalu diperlukan).
Tiap-tiap sajian dalam bagian ini memiliki pula beberapa macam permasalahan,
seperti tercantum di bawah ini.

6.2.1 Bab Pendahuluan


Bab pendahuluan adalah bab yang mengantarkan isi naskah, yaitu bab yang
berisi hal- hal umum yang dijadikan landasan kerja dan arah kerja penyusun. Berikut ini akan dibicarakan
bagian- bagian bab pendahuluan itu.

a. Latar Belakang dan Masalah


Bagian ini harus mencantumkan alasan penulis mengambil judul itu dan manfaat
praktis yang dapat diambil dari karya ilmiah tersebut. Bagian ini mengemukakan juga
beberapa buku yang telah dibaca yang juga memasalahkan topik yang sama atau yang
relevan, dan menyebutkan perbedaannya dengan pembahasan karya ilmiah yang ditulis
sekarang. Bagian ini mencantumkan juga bagian-bagian yang akan dibahas dalam
bab- bab berikutnya agar pembaca segera mengetahuinya secara sepintas lalu.

b. Tujuan Pembahasan
Bagian ini mencantumkan garis besar tujuan pembahasan dengan jelas,
yaitu gambaran hasil yang akan dicapai, seperti ingin memperoleh gambaran umum tentang faktor-
faktor apa saja yang menjadikan warga atau penghuni suatu kompleks perumahan itu merasa tenang,
tenteram, dan puas jika judul karya ilmiahnya adalah "Faktor-faktor Penyebab Rasa Aman bagi Penghuni
Kompleks Puri Kartika Ciledug, Tangerang". Bisa juga ingin memperoleh gambaran yang jelas tentang
peranan penyelia (supervisor) dalam pembangunan proyek-proyek raksasa di Jakarta jika karya ilmiahnya
berjudul "Peranan Penyelia dalam Pembangunan Proyek Raksasa di Jakarta". Tujuan boleh lebih dari satu
asalkan semuanya mempunyai kaitan dan ada relevansinya dengan judul.

c. Ruang Lingkup/Pembatasan Masalah


Ruang lingkup ini menjelaskan pembatasan masalah yang dibahas. Dalam hal
ini, pembatasan masalah itu hendaknya terinci, istilah-istilah yang berhubungan
dengan itu dirumuskan secara tepat. Ruang lingkup ini dijabarkan bersesuaian
dengan tujuan pembahasan. Andaikata judul karya ilmiah itu adalah "Manfaat
Desain Interior bagi Perumahan Tempat Tinggal di Jakarta", ruang lingkupnya,
misalnya adalah sebagai berikut. Ruang lingkup pembahasan ini adalah manfaat desain interior.
Manfaat desain interior adalah kegunaan ruangan dalam rumah tinggal. Hal ini akan dilihat dari segi
penyusunan ruangan, pembagian ruangan, penyinaran matahari, dan penggantian udara. Dengan demikian,
karya ilmiah ini tidak perlu mempermasalahkan hubungan antarwarga dalam suatu kompleks perumahan
dan tidak perlu menguraikan bahan-bahan yang diperlukan untuk suatu bangunan.

d. Anggapan Dasar
Anggapan dasar (yang disebut juga asumsi) adalah isi pernyataan umum yang tidak diragukan
lagi kebenarannya. Anggapan dasar inilah yang akan memberikan arah kepada penulis dalam
mengerjakan penelitiannya dan anggapan dasar ini pula yang akan mewarnai simpulan penelitian yang
diambil. Anggapan dasar dapat juga berupa suatu teori atau prinsip yang berkaitan dengan pokok
masalah yang akan diteliti, yang sudah dapat dipertanggungjawabkan. Isi pernyataan anggapan dasar
harus ringkas, jelas, dan relevan dengan masalah yang dikemukakan.

e. Hipotesis
Jika anggapan dasar sudah ditentukan, kini Anda membuat hipotesis. Hipotesis
tidak sama dengan dugaan. Hipotesis merupakan teori penyamarataan coba-coba dan
merupakan suatu prinsip baru berdasarkan hasil observasi yang sistematis terhadap fakta
yang khas. Hipotesis (disebut juga hipotesis kerja) adalah isi pernyataan yang berupa
generalisasi tentatif (sementara) tentang suatu masalah, yang belum pasti kebenarannya.
Hipotesis inilah yang akan diuji benar atau tidak benarnya dalam penelitian ini. Boleh
jadi, dalam simpulan nanti ternyata hipotesis itu benar atau hipotesis itu tidak benar.
Hipotesis harus dirumuskan secara jelas dan sederhana.

f. Kerangka Teori
Kerangka teori berisi prinsip-prinsip teori yang memengaruhi dalam pembahasan.
Prinsip-prinsip teori itu berguna untuk membantu gambaran langkah dan arah kerja.
Kerangka teori akan membantu penulis dalam membahas masalah yang diteliti. Kerangka
teori itu harus dapat menggambarkan tata kerja teori itu. Misalnya, kerangka teori untuk
hal-hal yang berhubungan dengan desain interior adalah bagaimana seharusnya
penyusunan ruangan, pembagian ruangan, penggantian udara, dan penyinaran matahari
ke dalam ruangan. Semua teori yang menunjang peranan desain interior suatu rumah tinggal
dikemukakan secara jelas di sini. Dalam bab-bab selanjutnya, semua penerapan teori dipakai. Jadi, pada
bagian kerangka teori, semua teori dipasang.

e. Sumber Data/Populasi dan Sampel


Suatu penelitian ilmiah harus pula memaparkan sumber data. Sumber data adalah
tempat penulis bertumpu. Artinya, penelitian bertolak dari sumber data. Kalau penelitian
itu melihat desain interior suatu rumah tinggal, sumber datanya adalah desain interior itu
sendiri, yang ada di kompleks perumahan di Jakarta Pusat, misalnya. Kalau penelitian itu
melihat manajemen suatu perusahaan batik, sumber datanya adalah perusahaan batik itu
sendiri, yaitu Perusahaan Batik Sejahtera dan Perusahaan Batik Maju di Yogyakarta,
misalnya. Sumber data itu boleh lebih dari satu. Jika penelitian meninjau sebuah buku,
seperti banyak dilakukan oleh kelompok sosial, sumber datanya ialah buku itu sendiri.
Umpamanya, "Tema Cerita dalam Buku Racun bagi Para Pemuda karya D.K.
Ardiwinata."
Jika sumber data banyak yang beragam, dalam bagian ini penulis karya ilmiah
dapat pula menggunakan istilah populasi dan sampel. Populasi adalah kumpulan dari
seluruh sumber data yang akan diteliti. Contoh populasi:
Populasi penelitian ini adalah seluruh murid kelas III SMA, negeri dan swasta di Tasikmalaya.

Karena data penelitian ini banyak dan tidak mungkin dapat diteliti seluruhnya
mengingat waktu dan dana yang tersedia terbatas, peneliti dapat mengambil hanya
beberapa bagian sebagai sampel (percontoh). Syarat sampel yang baik, sampel itu harus
dapat mewakili seluruh populasi. Berdasarkan sampel yang diteliti itulah, peneliti dapat
membuat suatu generalisasi tentang populasi penelitian. Contoh sampel:
Sampel penelitian ini adalah 200 orang murid, yang diambil dari sebuah SMA negeri dan sebuah SMA
swasta (masing-masing 100 orang) dari 20 kecamatan yang ada di Tasikmalaya.

F. Metode dan Teknik


Penelitian ilmiah harus menggunakan metode dan teknik penelitian. Menurut
Wiradi (1988:9), metode adalah seperangkat langkah (apa yang harus dikerjakan) yang
tersusun secara sistematis (urutannya logis). Sedangkan teknik adalah cara melakukan
setiap langkah tersebut. Dalam masyarakat ilmiah dikenal metode penelitian lapangan
dan bukan penelitian lapangan. Tergolong metode penelitian lapangan adalah sebagai
berikut.
Kalau dalam penelitian itu penulis datang ke sumber data dan menganalisis data
itu apa adanya, metode ini disebut metode deskriptif. Andaikata dalam penelitian itu,
penulis membandingkan dua sumber data, metode yang dipakai adalah metode
komparatif. Selanjutnya, jika penelitian itu menggunakan metode percobaan di lapangan
atau pengujian di laboratorium, metode tersebut dapat dikatakan metode eksperimen.
Selain itu, dalam penelitian sosial digunakan metode lain, seperti metode sensus, metode
survey, metode studi kasus, yang merupakan metode penelitian lapangan, dan metode
penelitian kepustakaan, serta metode analisis isi.
Dalam praktik penelitian, terutama dalam penelitian sosial, kadang-kadang
digunakan kombinasi berbagai metode. Artinya, digunakan dua metode atau lebih dalam
suatu penelitian, terlebih jika penelitian itu dilakukan antar disiplin. Teknik penelitian
yang dapat digunakan adalah teknik wawancara, angket, data kuesioner (daftar tanyaan)
dan observasi.
6.2.2 Bab Analisis atau Bab Pembahasan
Bab analisis atau bab pembahasan ini merupakan bab yang terpenting dalam
penelitian ilmiah. Di dalam bab ini akan dilakukan kegiatan analisis, sintetis pembahasan, interpretasi,
jalan keluar dan beberapa pengolahan data secara tuntas.
Bagian ini dapat dibagi menjadi beberapa bab, setiap bab dibagi menjadi anak bab, sesuai
dengan kebutuhan penelitian. Dengan demikian, segala masalah yang akan dijangkau terbicarakan dalam
bab ini. Bab ini dapat diuji dengan beberapa pertanyaan:
1) Sudahkah keseluruhan tahap pengolahan data (deskripsi, analisis, interpretasi) itu memberikan
keyakinan terhadap pembaca?
2) Sudahkah semua masalah dapat dilaksanakan secara taat asas dan lengkap?
3) Sudahkah keseluruhan gambaran analisis dan interpretasi itu mempunyai korelasi satu dengan
yang lain?
4) Sudahkah teori-teori karya ilmiah diterapkan secara tepat dalam analisis ini?
5) Sudahkah istilah-istilah digunakan secara tepat dan taat asas dalam analisis ini?

6.2.3 Bab Simpulan dan Saran


Bab ini berisi simpulan yang diperoleh dari penelitian yang dilakukan.
Simpulan yang dimaksud adalah gambaran umum seluruh analisis dan
relevansinya dengan hipotesis yang sudah dikemukakan. Simpulan ini diperoleh
dari uraian analisis, interpretasi, dan deskripsi yang tertera pada bab analisis. Dalam
hubungan itu, sering dijumpai simpulan yang menggunakan nomor (1, 2, 3, 4, 5 dan seterusnya) yang seolah-
olah merupakan kalimat yang terlepas-lepas. Simpulan seperti itu kurang baik karena terasa kaku.
Simpulan akan lebih baik dan lebih informatif jika disajikan dalam paragraf-paragraf yang tidak dinomori.
Selanjutnya, saran-saran penulis tentang metodologi penelitian lanjutan,
penerapan hasil penelitian, dan beberapa saran yang mempunyai relevansi dengan
hambatan yang dialami selama penelitian dapat pula dicantumkan dalam bab ini. Akan
tetapi, seperti sudah disinggung di bagian awal pertemuan karya ilmiah, saran tidak selalu
diperlukan dalam karya ilmiah.

6.3 Bagian Penutup


Bagian ini terdiri atas daftar pustaka, indeks, dan lampiran.

6.3.1Daftar Pustaka
Salah satu hal yang mutlak harus ada pada suatu karya ilmiah, baik makalah
maupun skripsi, adalah daftar pustaka. Dengan dicantumkannya daftar pustaka, dosen
pembimbing atau penguji dapat mengetahui secara selintas sumber acuan yang dijadikan
landasan berpijak oleh penulis karangan ilmiah. Penguji juga dapat mengukur kedalaman
pembahasan masalah dalam karya ilmiah tersebut berdasarkan daftar pustaka ini.
Daftar pustaka diletakkan pada halaman tersendiri setelah bab simpulan.
Tajuk daftar pustaka dituliskan dengan huruf kapital semua tanpa diberi tanda baca apa pun dan
dituliskan di tengah-tengah kertas dengan jarak dari pinggir atas sekitar tujuh sentimeter (seperempat
bagian halaman). Dalam daftar pustaka dicantumkan semua kepustakaan, baik yang dijadikan acuan atau
landasan penyusunan karya ilmiah maupun yang hanya dijadikan bahan bacaan, termasuk di dalamnya
artikel (dalam majalah atau dalam surat kabar), makalah, skripsi, disertasi, buku, diktat, antologi.
Semua pustaka acuan yang dicantumkan dalam daftar pustaka itu disusun menurut abjad nama-
nama pengarang atau lembaga yang menerbitkannya, baik ke bawah maupun ke kanan. Jadi, daftar
pustaka tidak diberi nomor urut seperti 1, 2, 3, 4, dan 5 atau diberi huruf a, b, c, d, dan e. Jika nama
pengarang dan nama lembaga yang menerbitkan itu tidak ada, penyusunan daftar pustaka didasarkan
pada judul pustaka acuan tersebut. Urutan penyebutan unsur-unsur pustaka acuan yang disajikan dalam
daftar pustaka adalah sebagai berikut.

a. Buku sebagai Pustaka Acuan


Urutan penyebutan unsur-unsur pustaka acuan untuk buku adalah:
a. nama penulis,
b. tahun terbit,
c. judul pustaka beserta keterangannya,
d. tempat terbit (kota), dan
e. nama penerbit.
Jika tidak terdapat nama penulis dalam buku tersebut, urutan penyebutannya
adalah:
a. nama lembaga yang menerbitkan,
b. tahun terbit,
c. judul pustaka beserta keterangannya,
d. tempat terbit, dan
e. nama penerbit.

Setiap unsur pustaka itu diikuti tanda titik, kecuali unsur tempat terbit, yang
harus diikuti titik dua. Setelah tanda titik atau setelah titik dua ada spasi satu
ketuk. Berikut ini akan dijelaskan cara penulisan tiap unsur pustaka acuan jika sumber acuannya berupa
buku.

1)Nama Penulis
Nama penulis itu ada yang terdiri atas satu unsur, dua unsur, atau lebih dari dua
unsur, yang di antaranya menyatakan nama keluarga atau marga. Ketentuan pencantuman
nama penulis adalah sebagai berikut:
a) Cantumkan nama penulis berdasarkan abjad, tanpa diberi
nomor. Misalnya, jika nama penulis buku yang pertama Prof.
Dr. Sumardjono dan nama penulis buku yang lain Dr. Ir. Baihaki,
pencantuman dalam daftar pustaka adalah:
Baihaki.
Sumardjono.
b) Jika nama penulis buku tersebut terdiri atas dua unsur atau lebih, pencantumannya harus dibalik;
unsur nama yang terakhir dituliskan lebih dahulu. Antara unsur-unsur nama yang dibalik itu diberi tanda
koma. Misalnya, pengarang buku yang pertama Abdul Haki dan pengarang buku kedua Theodorus Albert
Wenas, pencantuman dalam daftar pustaka adalah:
Haki, Abdul.
Wenas, Theodorus Albert.
Jika penulis buku bernama Cina atau bernama Korea, pencantumannya dalam
daftar pustaka tetap seperti nama asli. Nama-nama China atau Korea tidak perlu
dibalik urutannya karena bagi pemakai nama itu nama pertama adalah nama marga.
Nama marga itulah yang ditulis paling awal di dalam daftar pustaka. Misalnya:
1. Tan Joe Hok tetap Tan Joe Hok. Nama pertama Tan ialah nama marga bagi yang
bersangkutan.
2. Liem Swie King tetap Liem Swie King. Nama pertama Liem adalah nama marga
bagi yang bersangkutan.
3. Kim Yong II tetap Kim Yong II. Nama pertama Kim adalah nama marga bagi
yang bersangkutan.

c) Jika penulis buku itu dua orang, nama penulis pertama dibalik,
tetapi nama penulis lainnya tidak dibalik. Misalnya, jika penulis
buku ialah Ahmad Suhana dan Kohar Subarno, penyajiannya
ialah:
Munir, Ahmad dan Ubad Badruzaman.
Suhana, Ahmad dan Kohar Subarno.
d) Jika penulis buku tiga orang atau lebih, penyajiannya ialah nama penulis pertama dibalik dan
diikuti dengan singkatan et al. (et alii) yang berarti dan kawan-kawan atau dan Iain-Iain. Misalnya:
Halian, Baidillah et al.
Idris, Zainuddin Husin et al.
e) Jika penulis tidak ada, yang pertama dicantumkan adalah nama
lembaga yang menerbitkan buku tersebut. Misalnya:
STMIK POTENSI UTAMA
f) Jika ada dua buku atau lebih yang diambil dari pengarang yang sama, penulisan
nama pengarang juga dua kali atau lebih. Misalnya:
Farida, Ida
Farida, Ida

g) Kalau buku disusun oleh seorang editor, di belakang nama


pengarang ditulis kata Editor. Misalnya:
Halim, Amran (Editor).
Koentjaraningrat (Editor).
h) Gelar kesarjanaan tidak dituliskan dalam daftar pustaka.
Namun, gelar keturunan masih dapat dipakai. Misalnya:
Kalau nama pengarang ialah Prof. Dr. Sondang P. Siagian, penulis nama pada daftar pustaka ialah
Siagian, Sondang P. Contoh gelar keturunan: Soegondo, Raden Mas, Teuku, Tengku, Raden Ajeng.

2) Tahun Terbit

a) Tahun terbit dicatat sesudah nama pengarang, dipisahkan oleh titik dan diakhiri
dengan titik. Misalnya:
Mustofa, Z. 2006.
Syahrani, Ridwan. 2006.
b) Kalau dua buku ditulis oleh seorang pengarang, tetapi tahun
terbitnya tidak sama, penyusunan urutannya berdasarkan tahun
terbit terdahulu. Misalnya:
Sutiana, Dadi. 2006.
Sutiana, Dadi. 2007.

c) Kalau dua buku yang diacu ditulis oleh satu orang dalam tahun
yang sama, di belakang tahun itu harus dibubuhkan huruf a
dan b sebagai pembeda. Misalnya:
Suhendi, Moh. 2006a.
Suhendi, Moh. 2006b.
Urutannya diutamakan pada huruf pertama judul buku.
d) Jika buku itu tidak bertahun, di belakang nama pengarang
dicantumkan ungkapan "Tanpa Tahun". Misalnya:
Yusrizal. Tanpa Tahun.

3) Judul Buku
a) Judul buku ditulis sesudah tahun terbit dan digarisbawahi atau cetak miring; awal
setiap kata dituliskan dengan huruf kapital. Misalnya:
Kridalaksana, Harimurti. 2006. Kamus Linguistik.

b) Kalau belum dipublikasikan, seperti skripsi, tesis, disertasi,


judul itu tidak digarisbawahi atau cetak miring, tetapi diletakkan di antara tanda
petik. Misalnya:
Dharma, Lenawati. 2006. "Budi Daya Jeruk Jepara".
Rohim, Abdul. 2007. "Tata Cara Persidangan".

4) Tempat Terbit
Tempat terbit (kota) diletakkan sesudah judul dan diakhiri dengan titik dua. Misalnya:
Suhono, Budi. 2007. Ular-ular Berbisa di Jawa. Jakarta:
Yunus, Ahmad. 2006. Ketenagakerjaan. Bandung:

5) Nama Penerbit
a) Nama penerbit dicantumkan sesudah nama tempat terbit. Misalnya:
Suhono, Budi. 2005. Ular-UlarBerbisa di Jawa. Jakarta: Antarkota.
Yunus, Ahmad. 2007. Ketenagakerjaan. Bandung: Karya Nusantara.
b) Jika lembaga yang menerbitkan buku itu langsung dijadikan
pengganti nama pengarang (karena nama pengarang tidak ada).

b. Majalah
Sumber acuan dapat pula diambil dari majalah. Urutan unsur-unsur dalam
penulisan daftar pustaka adalah nama pengarang, tahun terbit, judul artikel (diberi
tanda petik), nama majalah (digarisbawahi atau cetak miring dan didahulukan kata dalam,
nomor majalah, bulan terbit dan tahun penerbitan keberapa, yang ditempatkan dalam kurung dengan dibatasi
tanda koma, dan tempat terbit). Misalnya:
Semiawan, Cony. 1989. "Perkembangan Sikap Persahabatan Pada Anak-anak". Dalam
Pertiwi 83. (Juni, III). Jakarta.

c. Surat Kabar
Selain majalah surat kabar juga dapat dijadikan sumber pustaka. Urutan yang
dicantumkan pada daftar pustaka adalah nama pengarang, tahun terbit, judul artikel
(diberi tanda petik), nama surat kabar (digarisbawahi) dan didahului kata Dalam, tanggal
terbit, tempat terbit. Misalnya:
Simanungkalit, Tohap. 2006. “Masih Belajar di Tingkat Dua Demokrasi Kita”. Dalam
Prioritas. 4 Mei 2006. Jakarta.

d. Antologi
Jika sumber acuan itu berupa antologi, urutan penulisannya adalah nama
pengarang, tahun terbit, tempat terbit, dan nama penerbit. Misalnya:
Junus, Umar. 2005. ”Kebudayaan Minangkabau”. Dalam Koentjaraningrat (Editor). Manusia dan
Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

e. Terjemahan
Jika sumber acuan itu berupa buku terjemahan, urutan penulisannya adalah sebagai berikut.
Nama penerjemah. Tahun terjemahan. Judul buku terjemahan. Diterjemahkan dari pengarang asli. Tahun
buku asli. Judul buku asli. Kota buku terjemahan. Penerbit buku terjemahan. Misalnya:
Salim, Agus. 2006. Penulisan Makalah Ilmiah dan Laporan. Diterjemahkan dari W.P. Jones. 1960.
Writing Scientific Papers and Reports. Jakarta: Djambatan.

f. Internet
Jika sumber acuannya berupa internet, urutan pencantuman sesuai dengan alamat
internet tersebut. Alamat internet tidak sama, jadi sesuai dengan alamat yang dipakai
yang bersangkutan. Misalnya:
http://johnherf.blogspot.com./
www.presidensby.info
www.zaenal_arifin48@yahoo.com.

6.3.2 Penulisan Lampiran (Jika diperlukan)


Lampiran yang dicantumkan dapat berupa korpus data, tabel, gambar, bagan, peta,
instrumen, transkripsi. Andaikata hal-hal itu tidak disertakan dalam teks. Surat perintah jalan atau riwayat
hidup penulis dapat pula dijadikan lampiran.

6.3.3 Penulisan Indeks (Jika diperlukan)


Indeks ini berupa daftar kata atau istilah yang terdapat dalam karya ilmiah.
Penulisan daftar kata itu harus berkelompok berdasarkan abjad awal kata atau istilah
itu. Setiap kelompok dipisahkan dengan empat spasi. Di belakang kata diberi tanda koma
dan setelah dijarakkan satu spasi (satu ketukan) dicantumkan nomor atau nomor-nomor halaman tempat atau
istilah itu dapat diterjemahkan. Manfaat indeks adalah agar pembaca dapat dengan cepat mencari kata-
kata atau istilah-istilah yang diperlukan dalam karangan ilmiah tersebut.
BAB VII
BAHASA DALAM KARYA ILMIAH
Berbagai ketentuan yang sepatutnya diperhatikan oleh penyusun karya ilmiah agar
karangannya komunikatif, karya ilmiah itu harus memenuhi kriteria logis, sistematis, dan
lugas. Karya ilmiah tersebut logis jika keterangan yang dikemukakannya dapat ditelusuri
alasan-alasannya yang masuk akal. Karya ilmiah disebut sistematis jika keterangan yang
ditulisnya disusun dalam satuan-satuan yang berurutan dan saling berhubungan. Karya
ilmiah disebut lugas jika keterangan yang diuraikannya disajikan dalam bahasa yang
langsung menunjukkan persoalan dan tidak berbunga-bunga. Dalam hubungan dengan
penggunaan bahasa, bab ini akan membicarakan pemakaian ejaan yang disempurnakan
pembentukan kata, pemilihan kata, penyusunan kalimat efektif, dan penyusunan paragraf
dalam karya ilmiah.

7.1 Penerapan Ejaan yang Disempurnakan


a.Penggunaan Spasi
Penggunaan spasi setelah tanda baca sering tidak diindahkan. Menurut
ketentuan yang berlaku, setelah tanda baca (titik, koma, titik koma, titik dua, tanda seru, tanda tanya)
harus ada spasi, jarak satu pukulan ketikan.

b. Penggunaan Garis Bawah Satu


Garis bawah satu dalam karya ilmiah digunakan untuk menandai kata-kata atau
bagian-bagian yang harus dicetak miring apabila karya ilmiah itu diterbitkan. Garis
bawah satu dipakai pada 1) anak bab 2) subanak bab 3) kata asing atau kata daerah, 4)
judul buku, majalah, surat kabar yang dikutip dalam naskah. Perhatikan contoh-contoh
berikut:
1) Anak Bab
Misalnya
1.1 Latar Belakang dan Masalah

2) Subanak Bab
Misalnya:
1.1 Latar Belakang
1.2 Masalah
3) Kata Asing atau Kata Daerah acceptance boundary
'batas penerimaan' papalingpang(Sd.) 'bertentangan'
4) Judul Buku, Majalah atau Surat Kabar yang diterbitkan.
Misalnya: Buku Dasar-Dasar Gizi Kuliner Majalah Intisari
Surat Kabar Kompas

Garis bawah satu itu dibuat terputus-putus kata demi kata, sedangkan spasi (jarak
kata dengan kata) tidak perlu digarisbawahi sebab yang akan dicetak miring adalah kata
itu sendiri.
c. Pemenggalan Kata
Apabila memenggal atau penyukuan sebuah kata dalam penggantian baris, kita
harus membubuhkan tanda hubung (-), dengan tidak didahului spasi dan tidak dibubuhkan di bawah
ujung baris. Tanda hubung itu dibubuhkan di pinggir ujung baris. Dalam kaitan ini, pias kanan karya
ilmiah tidak perlu lurus. Harus diutamakan adalah pemenggalan kata sesuai dengan kaidah penyukuan,
bukan masalah kelurusan atau kerapian pias kanan karya ilmiah. Namun, ' jika pengetikan karangan
menggunakan komputer, kerapian pias kanan dapat diprogram dan penyukuan kata dapat dicegah.
Berikut dicantumkan kaidah penyukuan sesuai dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan:

1) Kalau di tengah kata ada dua vokal yang berurutan, pemenggalan


dilakukan di antara kedua vokal. Misalnya: bi-arkan, mema-lukan, pu-ing.
2) Kalau di tengah kata ada dua vokal yang mengapit sebuah konsonan
(termasuk ng, ny, sy dan kh), pemisahan tersebut dilakukan
sebelum konsonan itu. Misalnya: pu-jangga, terke-nal, meta-nol, muta-khir.
3) Kalau di tengah kata ada dua konsonan atau lebih, pemisahan
tersebut dilakukan di antara konsonan itu. Misalnya: hid-roponik, resep-sionis, lang-sung.
4) Kalau di tengah kata ada tiga konsonan atau lebih, pemisahan
tersebut dilakukan di antara konsonan yang pertama dan konsonan
kedua. Misalnya: indus-trial, kon-struksi, in-stansi, ben-trok.
5) Jika kata berimbuhan atau berpartikel dipenggal, kita harus
memisahkan imbuhan atau partikel itu dari kata dasarnya (termasuk
imbuhan yang mengalami perubahan bentuk). Misalnya: pelapuk-an, me-ngisahkan, bel-
ajar, peng-awetan.

Selain itu, jangan sampai terjadi pada ujung baris atau pada pangkal baris terdapat
hanya satu huruf walaupun huruf itu merupakan suku kata. Demikian juga, harus
diusahakan (kalau mungkin) agar nama orang tidak dipenggal atas suku-suku katanya.
d.Penulisan di- sebagai Kata Depan
Di- yang berfungsi sebagai kata depan harus dituliskan terpisah dari kata
yang mengiringinya. Biasanya di sebagai kata depan ini berfungsi menyatakan arah atau tempat
dan merupakan jawaban atas pertanyaan di mana. Contoh-contoh penggunaan di sebagai kata depan:
di samping di rumah di persimpangan
di sebelah utara di pasar di sungai
di luar kota di toko di kebun cokelat
di bawah di sekolah di stasiun

e.Penulisan di- sebagai Awalan


Di- yang berfungsi sebagai awalan membentuk kata kerja pasif dan harus
dituliskan serangkai dengan kata yang mengikutinya. Pada umumnya, kata kerja pasif yang
berawalan di- dapat diubah menjadi kata kerja aktif yang berawalan meng- (meN-). Misalnya:
- diubah berlawanan dengan mengubah
- dipahami berlawanan dengan memahami
- dilihat berlawanan dengan melihat
- dimeriahkan berlawanan dengan memeriahkan

Penulisan ke- sebagai Kata Depan


f.
Ke- yang berfungsi sebagai kata depan, biasanya menyatakan arah atau tujuan dan
merupakan jawaban atas pertanyaan ke mana. Misalnya:
ke belakang ke muka ke kecamatan
ke lokasi penelitian ke pinggir ke atas
ke sini ke samping ke bawah
ke dalam ke depan ke kampus
Sebagai patokan kita, ke- yang dituliskan terpisah dari kata yang mengiringinya jika kata-
kata itu dapat dideretkan dengan kata-kata yang didahului kata di dan dari. Misalnya:
ke sana di sana dari sana
ke kecamatan di kecamatan dari kecamatan
ke jalan raya di jalan raya dari jalan raya

g. Penulisan ke- sebagai Awalan


Ke- yang tidak menunjukkan arah atau tujuan harus dituliskan serangkai dengan kata yang
mengiringinya karena ke- seperti itu tergolong imbuhan. Misalnya:
kelima kepagian
kehadiran keterampilan
kekasih kepanasan
kehendak kedinginan
Penulisan ke pada kata kemari, walaupun menunjukkan arah, harus dituliskan serangkai
karena tidak dapat dideretkan dengan di mari dan dari mari. Selain itu, penulisan ke pada kata keluar
harus dituliskan serangkai jika berlawanan dengan kata masuk. Misalnya, Saya keluar dari organisasi itu.
Namun, jika ke luar itu berlawanan dengan ke dalam, ke harus dituliskan terpisah. Misalnya,
Pandangannya diarahkan ke luar ruangan.

h. Penulisan Partikel pun


Pada dasarnya, partikel pun yang mengikuti kata benda, kata kerja, kata sifat, kata
bilangan harus dituliskan terpisah dari kata yang mendahuluinya karena pun di sana merupakan kata
yang lepas. Misalnya:
menangis pun di rumah pun
seratus pun negara pun
apa pun ke mana pun
Akan tetapi, kata-kata yang mengandung pun berikut harus dituliskan serangkai
karena sudah dianggap padu benar. Jumlah kata seperti itu tidak banyak, hanya dua belas kata, yang
dapat dihapal di luar kepala, yaitu adapun, andaipun, bagaimanapun, biarpun, kalaupun, ataupun,
kendatipun, maupun, meskipun, sekalipun (yang berarti walaupun), sungguhpun, dan walaupun.

i. Penulisan Partikel per


Partikel per yang berarti 'mulai', 'demi' atau 'tiap' dituliskan terpisah dari kata yang
mengikutinya. Misalnya:
per meter per kilogram
per orang per Oktober
satu per satu per liter

Akan tetapi, partikel per yang menunjukkan pecahan atau imbuhan harus dituliskan serangkai
dengan kata yang mendahuluinya. Misalnya:
lima tiga perdelapan perempat final
empat pertiga satu perdua
dua pertujuh tujuh persembilan

j. Penggunaan Tanda Hubung (-)


Tanda hubung digunakan untuk merangkaikan kata ulang. Dalam pedoman ejaan,
kata ulang harus dituliskan dengan dirangkaikan oleh tanda hubung. Penggunaan angka
dua pada kata ulang tidak dibenarkan, kecuali dalam tulisan-tulisan cepat, seperti pada
catatan pada waktu mewawancarai seseorang atau catatan rapat. Perhatikan penggunaan
tanda hubung pada kata ulang berikut:
dibesar-besarkan bolak-balik berliku-liku
meloncat-loncat ramah-tamah kait-mengait
gerak-gerik porak-poranda lauk-pauk
sayur-mayur tunggang-langgang centang-perenang
kupu-kupu compang-camping tolong-menolong

Tanda hubung juga harus digunakan antara huruf kecil dengan huruf kapital dalam kata
berimbuhan, baik awalan maupun akhiran, dan antara unsur kata yang tidak dapat berdiri sendiri dan
kata yang mengikutinya yang diawali huruf kapital. Misalnya:
Rahmat-Nya se-Jawa Barat non-RRC
di sisi-Nya se-DKI Jakarta non-Palestina
hamba-Nya se-lndonesia KTP-nya
PBB-lah ber-SIM SK-mu
Antara huruf dengan angka dalam suatu ungkapan juga harus digunakan tanda
hubung. Misalnya:
ke-2 ke-50 uang 500-an
ke-25 ke-100 tahun 90-an
ke-40 ke-500 abad 20-an

Jika dalam tulisan terpaksa digunakan kata-kata asing yang belum diserap,
kemudian kata itu diberi imbuhan bahasa Indonesia, penulisannya tidak langsung
diserangkaikan, tetapi dirangkaikan dengan tanda hubung. Dalam hubungan ini, kata asingnya perlu
digarisbawahi (cetak miring). Misalnya:
men-charter di-recall
di-charter di-calling
di-coach men-tackle

7.2 Pembentukan Kata


a.Peluluhan Bunyi
Jika kata dasar berbunyi awal /k/, /p/, /t/, /s/, ditambah imbuhan meng-, meng-...-
kan, atau meng-...-i, bunyi awal itu harus luluh menjadi (ng), /m/, /n/, dan /ny/. Kaidah itu
berlaku juga bagi kata-kata yang berasal dari bahasa asing yang sekarang sudah menjadi
warga kosakata bahasa Indonesia. Bandingkan dua bentuk di bawah ini, yaitu bentuk
baku dan bentuk tidak baku.

Bentuk Baku Bentuk Tidak Baku


Mengikis Mengkikis
Mengultuskan Mengkultuskan
Mengambinghitamkan Mengkambinghitamkan
Mengalkulasikan Mengkalkulasikan
Memesona Mempesona
Memarkir Memparkir
Menafsirkan Mentafsirkan

b.Penulisan Gabungan Kata


Di dalam Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan terdapat
kaidah yang menyatakan bahwa gabungan kata, termasuk yang lazim disebut kata
majemuk, unsur-unsurnya dituliskan terpisah. Gabungan kata yang harus dituliskan
terpisah, antara lain, sebagai berikut:
duta besar tata bahasa
sebar luas loka karya
Selain gabungan kata itu yang harus dituliskan terpisah terdapat juga gabungan kata yang
harus dituliskan serangkai, yaitu gabungan kata yang sudah dianggap sebagai kata yang padu, sebagai
berikut:

barangkali apabila kacamata


bagaimana daripada
bumiputra matahari
padahal halalbihalal
manakala saputangan
sekaligus segitiga

Ada lagi gabungan kata yang salah satu unsurnya merupakan bentuk yang
tidak berdiri sendiri sebagai suatu kata yang mengandung arti penuh, tetapi bentuk itu
merupakan unsur terikat yang selalu muncul dalam kombinasi. Gabungan kata seperti itu
harus dituliskan serangkai, seperti di bawah ini:

Antarkota Amoral
antarwarga dwiwarna
asusila
caturtunggal
dasawarsa
poligami
kontrarevolusi
monoteisme
ekstrakurikuler
saptakrida
Pancasila subbagian
mahakuasa subpanitia
pascapanen swadaya
pascaperang swasembada
purnawirawan peribahasa
purnasarjana perilaku
semiprofesional tunarungu
nonmigas tunanetra

c.Penulisan Gabungan Kata Berimbuhan


Apabila gabungan kata itu hanya mendapat awalan, awalannya itu harus
dituliskan serangkai dengan kata yang mengikutinya, tetapi kata yang pertama dengan
kata yang kedua tetap dituliskan terpisah. Misalnya:
meng + beri tahu dituliskan menjadi memberi tahu
meng + sebar luas dituliskan menjadi menyebar luas
di + beri tahu dituliskan menjadi diberi tahu
ber + tanda tangan dituliskan menjadi bertanda
tangan ber + lipat ganda dituliskan menjadi berlipat
ganda ber + kerja sama dituliskan menjadi bekerja
sama
ber + tanggung jawab dituliskan menjadi bertanggung jawab
Demikian juga, jika gabungan kata itu memperoleh akhiran, yang dituliskan
serangkai itu hanya akhiran dengan kata kedua, sedangkan kata yang pertama tetap
dituliskan terpisah. Misalnya:
tanda tangan + i dituliskan menjadi tanda tangani
sebar luas + kan dituliskan menjadi sebar luaskan
lipat ganda + kan dituliskan menjadi lipat gandakan
hancur lebur + kan dituliskan menjadi hancur leburkan
Akan tetapi, gabungan kata yang diberi awalan dan akhiran sekaligus, penulisannya harus
diserangkaikan seluruhnya. Misalnya:

di + tanda tangan + i dituliskan menjadi ditandatangani


ke + simpang siur + an dituliskan menjadi kesimpangsiuran
ke + tidak adil + an dituliskan menjadi ketidakadilan
per + tanggung jawab + an dituliskan menjadi pertanggungjawaban
di + hancur lebur + kan dituliskan menjadi dihancurleburkan
meng + kambing hitam + kan dituliskan menjadi mengambinghitamkan
di + sebar luas + kan dituliskan menjadi disebarluaskan

d. Penulisan Kata Penghubung Intrakalimat


Kata penghubung intrakalimat adalah kata penghubung yang terletak di
dalam kalimat, baik dalam kalimat tunggal maupun dalam kalimat majemuk. Penulisan kata penghubung
intrakalimat ini dikaitkan dengan penggunaan tanda koma. Ada kata penghubung intrakalimat yang harus
didahului tanda koma dan ada pula kata penghubung intrakalimat yang tidak boleh didahului tanda koma.
Di samping itu, ada kata penghubung intrakalimat yang pada tempat lain didahului tanda koma.

Kata Penghubung yang Harus Didahului Tanda Koma


tetapi kecuali
sedangkan melainkan
antara lain seperti

Kata Penghubung yang Tidak Boleh Didahului Tanda Koma


jika ketika
agar walaupun
sehingga meskipun
apabila supaya
sebelum sebab
sesudah karena

e.Penulisan Ungkapan Penghubung Antarkalimat


Ungkapan penghubung antarkalimat adalah kata penghubung yang terletak pada
awal kalimat. Jadi, letak ungkapan penghubung ini setelah tanda baca akhir dan dimulai
dengan huruf kapital. Ungkapan penghubung antarkalimat harus selalu diikuti tanda
koma. Misalnya:
Namun,.... Oleh karena itu,...
Pertama,.... Lagi pula,....
Meskipun begitu,.... Selanjutnya,....
Selain itu,.... Kemudian,....
Sebaliknya,.... Akan tetapi,....
Misalnya,....

7.3 Pemilihan Kata (Diksi)


Penggunaan kata-kata dalam ragam tulis resmi (seperti dalam makalah dan
skripsi) tentu harus berbeda dengan penggunaan kata dalam ragam tulis yang tidak resmi,
apalagi dengan pemakaian kata dalam ragam lisan yang tidak resmi. Jika dalam
percakapan anak muda di warung kopi (ragam lisan tidak resmi) mungkin digunakan
bahasa prokem, bahasa dialek, atau bahkan di sana-sini digunakan bahasa daerah, dalam
bahasa tulis resmi hal itu semua harus dijauhi. Bahasa dalam ragam tulis resmi harus serius dan
harus resmi pula.
Untuk bahasa karya ilmiah perlu dipilihkan kata-kata yang memenuhi syarat baku, lazim,
hemat, dan cermat. Penulis karya ilmiah harus memilih kata yang padat isi dan menjauhi pemilihan kata
yang berbunga-bunga dan bersayap. Dalam hubungan itu, ada semboyan; bahasa karya ilmiah adalah
bahasa yang hemat kata dan padat isi.

a.Kata yang Baku


Kata yang baku adalah kata yang baik dan resmi serta dianjurkan
pemakaiannya dalam tulisan resmi. Dengan demikian, kata yang tidak resmi yang
munculnya secara "liar" dalam masyarakat harus dihindari. Kata-kata dialek, seperti bilang, ngasih, dan
bukain tidak digunakan dalam karya ilmiah. Kata itu harus diganti dengan mengatakan, memberi, dan
membukakan. Demikian juga, kata-kata yang menyalahi ejaannya, seperti metoda, analisa, praktek harus
diganti metode, analisis, dan praktik. Berikut ini didaftarkan kata yang sering digunakan dalam karya ilmiah:

Kata yang Baku Kata yang Tidak Baku


Kualitas Kwalitas
Sintesis Sintesa
Koordinasi
Kordinasi
Deskripsi
Diskripsi
Atmosfer
Atmosfir
Risiko
Resiko
Jadwal
Jadual
Mengubah
Merubah
Diorganisasi
Diorganisir
Teknik
Tehnik
Definisi
Difinisi
Manajemen
Managemen
Varietas
Varitas
Hakikat
Hakekat
Teoritas
Simpulan
Teoritis
Putusan
Kesimpulan
Keputusan

b.Kata yang Lazim


Kata yang digunakan dalam karya ilmiah hendaklah kata yang sudah lazim, kata
yang sudah dikenal oleh masyarakat luas, atau kata yang familiar (Sikumbang, 1985:80-
82). Hindarilah penggunaan kata yang tidak dikenal oleh masyarakat umum. Hindarilah menggunakan
kata asing dan kata daerah tertentu karena kata seperti itu tidak dikenal oleh masyarakat luas. Kata asing
dan kata daerah yang tidak dipahami akan membuat pembaca kesal, lesu, dan pusing karena pembaca
tidak mampu menangkap kalimat yang ada secara sempurna. Bagi pembaca yang tidak memahami, kata-
kata seperti itu akan dinilai kurang fungsional, atau bahkan dinilai sebagai pengganggu pikirannya
Kata asing dan kata daerah dapat digunakan jika sudah diserap secara resmi ke dalam bahasa
Indonesia dan telah berkali-kali diperkenalkan oleh berbagai media massa, seperti surat kabar, majalah,
radio, dan televisi sehingga pembaca sudah sedikit akrab dengan kata tersebut.

c.Kata yang Hemat


Bahasa karya ilmiah harus hemat kata, dan padat isi. Oleh karena itu,
kalau gagasan yang diinginkan penulis, dapat diungkapkan dengan singkat, mengapa penulis
harus merentangnya dengan kata yang sebenarnya tidak diperlukan. Hal itu hanya akan menghadirkan "kaum
penganggur" dalam kalimat tersebut karena kata itu tidak fungsional. Penulis karya ilmiah harus cukup
menggunakan satu kata dari dua kata yang bersinonim, misalnya. Bandingkan dua kelompok berikut:

Hemat Boros
1. adalah atau merupakan 1. adalah merupakan
2. sejak atau dari 2. sejak dari
3. demi atau untuk 3. demi untuk
4. agar atau supaya 4. agar supaya
5. seperti atau ... 5. seperti ...dan sebagainya
dan sebagainya
6. antara lain atau ... 6. antara lain ... dan seterusnya
7. tujuan pembangunan 7. tujuan daripada pembangunan

8. mendeskripsikan 8. mendeskripsikan tentang


berbagai hambatan
hambatan
9. berbagai faktor-faktor
9. berbagai faktor
10. mengadakan penelitian
10. meneliti
11. dalam rangka untuk mencapai
11. untuk mencapai tujuan tujuan ini
ini 12. berikhtiar dan berusaha untuk
12. berusaha untuk memberikan pengawasan
mengawasi 13. mempunyai pendirian
13. berpendirian 14. melaksanakan penyiksaan
14. menyiksa 15. menyatakan persetujuan
15. menyetujui

d.Kata yang Cermat


Penulis harus cermat memilih kata yang diinginkan. Kata-kata yang bersinonim,
walaupun artinya sama, pemakaiannya dalam kalimat kadang-kadang tidak dapat
dipertukarkan sebab kata-kata itu memiliki nuansa masing-masing (perbedaan makna
yang sangat halus). Kata-kata menguraikan, menganalisis, membagi-bagi, memilah-
milah, menggolongkan, dan mengelompokkan mungkin bermakna mirip. Namun,
pemakaian dalam kalimat berbeda. Pemilihan kata yang tidak tepat bukan tidak mustahil
ditafsirkan lain oleh pembacanya.
Di samping empat patokan yang sudah dibicarakan, ada patokan lain dalam pemilihan kata
tersebut. Misalnya, patokan pemakaian ungkapan idiomatik, seperti sesuai dengan dan terdiri atas,
pemakaian ungkapan penghubung intrakalimat, seperti baik... m a u p u n a n t a r a ... dan atau dan
tiap- tiap atau seperti dan misalnya.
7.4 Penyusunan Kalimat Efektif
Kalimat yang digunakan dalam karya ilmiah harus berupa kalimat ragam tulis
baku. Kalimat ragam tulis baku hendaknya berupa kalimat yang efektif, yaitu kalimat
yang memenuhi kriteria jelas, sesuai dengan kaidah, ringkas, dan enak dibaca. Beberapa
ketentuan kalimat efektif sebagai berikut:

a.Subjek Tidak Didahului Kata Depan


Kata depan yang terletak sebelum subjek akan menghilangkan kejelasan gagasan
kalimat. Dengan menempatkan kata depan seperti itu subjek kalimat menjadi kabur.
Perhatikan contoh-contoh berikut:
(1) Untuk sistem pertanaman ganda yang akan diteliti ialah kedelai yang
ditumpangsarikan dengan jagung.
(2) Tentang sistem multiple cropping atau pertanaman ganda,
yaitu pergiliran utama dengan tumpang sari.
(3) Dengan penggunaan pupuk secara efisien sangatpenting karena harga
pupuk terus meningkat dan persediaan sangat terbatas.
Kalimat-kalimat itu mempunyai subjek yang didahului kata depan, yaitu untuk
pada kalimat 1, tentang pada kalimat 2, dan dengan pada kalimat 3. Kalimat-kalimat itu
tidak memberikan informasi yang jelas. Agar menjadi kalimat yang efektif kalimat-
kalimat di atas harus diubah dengan menghilangkan kata depan sebelum subjek. Perhatikan
perbaikannya:
(4) Sistem pertanaman ganda yang akan diteliti ialah kedelai yang ditumpangsarikan
dengan jagung.
(5) Sistem multiple cropping atau pertanaman ganda yaitu pergiliran
tanaman utama dengan tumpang sari.
(6) Penggunaan pupuk secara efisien sangat penting karena harga pupuk
terus meningkat dan persediaan sangat terbatas.
Kata depan yang lain yang tidak boleh mengawali subjek adalah di, dari,
dalam, kepada, daripada, sebagai, mengenai, dan menurut. Kata depan boleh mengawali kalimat asalkan
berfungsi sebagai keterangan. Perhatikan penggunaan kata depan yang benar dalam kalimat 7, 8, dan 9:
(7) Mengenai usaha-usaha meningkatkan produktivitas tenaga kerja,
Departeman Tenaga Kerja sudah sering membahasnya dalam
berbagai kesempatan.
(8) Sebagai bahan pertimbangan Bapak, bersama ini dilampirkan berkas-berkas yang mungkin
diperlukan.
(9) Dalam bab ini dibicarakan cara-cara membasmi hama wereng coklat yang akhir-akhir ini
merajalela di negeri kita.

b. Tidak Terdapat Subjek yang Ganda


Kalimat seperti ini tersusun karena penulisnya kurang hati-hati. Subjek yang
ganda dalam sebuah kalimat akan mengaburkan informasi yang ingin disampaikan.
Gagasan yang ada dalam pikiran penulis tidak sejalan dengan kalimat yang dituliskannya.
Perhatikan contoh di bawah ini:
(10) Penyusunan laporan penelitian ini, saya dibantu oleh tenaga-tenaga penyuluh pertanian lapangan.
(11) Penempatan pupuk P dalam alur dibaris tanaman kedelai, produksi kedelai akan tinggi.
Ubahan kalimat-kalimat itu dilakukan dengan jalan membuat salah satu subjeknya menjadi
keterangan. Perhatikan perbaikannya dalam kalimat 12 dan 13.
(12) Dalam menyusun laporan penelitian ini saya dibantu oleh tenaga-tenaga
penyuluh pertanian lapangan.

(13) Dengan menempatkan pupuk P dalam alur dibaris tanaman kedelai, produksi biji kedelai
akan tinggi.

c. Kata Sedangkan dan Sehingga Tidak Digunakan dalam Kalimat Tunggal


Banyak sekali dijumpai kalimat tunggal yang diawali oleh kata sedangkan atau
sehingga yang seolah-olah kalimat tersebut dapat berdiri sendiri. Padahal, menurut
kaidah yang berlaku, kata sedangkan dan sehingga tidak dibenarkan mengawali kalimat
tunggal. Contohnya sebagai berikut:
(14) Kami datang agak terlambat. Sehingga kami tidak dapat mengikuti
acara pertama.

(15) Rumah-rumah dibangun oleh developer.


Sedangkan Bank
Tabungan Negara memberikan KPR kepada penduduk golongan
berpendapatan rendah.

Kata sehingga dan sedangkan adalah kata yang selalu dipakai dalam kalimat
majemuk. Dengan demikian, kalimat itu harus diubah menjadi sebagai berikut:
(16) Kami datang agak terlambat, sehingga tidak dapat mengikuti acara
pertama.
(17) Rumah-rumah dibangun oleh developer, sedangkan Bank Tabungan Negara memberikan KPR
kepada penduduk golongan berpendapatan rendah.

Kata-kata lain yang tidak boleh mengawali kalimat tunggal adalah agar, ketika,
karena, sebelum, sesudah, walaupun, dan meskipun. Kata-kata seperti itu hanya dapat mengawali anak
kalimat dalam kalimat majemuk bertingkat. Misalnya:

(18) Agar pembangunan berjalan dengan sebaik-baiknya, semua lapisan masyarakat


harus ikut berperan serta sesuai dengan bidangnya masing-masing.
(19) Sebelum melaksanakan suatu penelitian, Anda harus membuat dahulu rancangan
penelitian tersebut.

d.Predikat Kalimat Tidak Didahului Kata yang


Kata yang memang dapat dipakai dalam kalimat, tetapi bukan di depan predikat
kalimat. Jika kata yang diletakkan di depan predikat, kalimat itu akhirnya tidak
mempunyai predikat karena kata yang berfungsi untuk menerangkan suatu benda, baik
subjek maupun objek. Kita lihat contohnya:
(20) Pengembangansistem pertanaman ganda yang perlu
disertai dengan kegiatan penelitian untuk menghasilkan
cara pemupukan yang sesuai dengan sistem tersebut.
(21) Pengapuran yang meningkatkan hasil biji
kedelai atau jagung sebesar 31 % lebih tinggi daripada yang
tidak dikapur.

Perubahannya adalah sebagai berikut:


(22) Pengembangan sistem pertanaman ganda perlu disertai dengan kegiatan penelitian
untuk menghasilkan cara pemupukan yang sesuai dengan sistem tersebut.
(23) Pengapuran meningkatkan hasil biji kedelai atau jagung sebesar 31 % lebih tinggi
daripada yang tidak dikapur
Ternyata, setelah kata yang dibuang, predikat kalimat muncul dengan jelas, yaitu
perlu disertai dalam kalimat 22 dan meningkatkan dalam kalimat 23.

e. Unsur Rincian Sejajar atau Paralel


Rincian sejajar adalah kata-kata yang dirinci, harus menggunakan bentuk yang sama. Jika
rincian pertama menggunakan bentuk meng-, rincian berikutnya juga menggunakan bentuk meng-.
Demikian juga, jika rincian pertama menggunakan bentuk peng-...-an, rincian selanjutnya juga
menggunakan bentuk peng-...-an. Demikian seterusnya. Misalnya:
(24) Tahap terakhir penyelesaian gedung itu adalah kegiatan pengecatan tembok,
memasang penerangan, pengujian sistem pembagian air, dan pengaturan tata
ruang.
(25) Pembangunan sebagai usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
memerlukan kecerdasan, keuletan, dan aparat pelakunya harus sabar.
Perubahannya yang sesuai menjadi seperti berikut ini:
(26) Tahap terakhir penyelesaian gedung itu adalah kegiatan pengecatan tembok,
pemasangan penerangan, pengujian sistem pembagian air, dan pengaturan tata-
ruang.
(27) Pembangunan sebagai usaha untuk meningkatkan kesejahteraan rakyat
memerlukan kecerdasan, keuletan, dan kesabaran aparat pelakunya.

f. Tidak Terjadi Pengulangan Subjek


Kaidah ini berlaku bagi kalimat majemuk bertingkat yang subjek anak kalimatnya
sama dengan subjek induk kalimat. Subjek yang harus dihilangkan adalah subjek anak
kalimat, sedangkan subjek induk kalimat wajib dinyatakan. Mari kita lihat contohnya:
(28) Karena dia tidak diundang, dia tidak datang ke tempat itu.
(29) Hadirin serentak berdiri setelah mereka mengetahui presiden datang.
Perbaikannya adalah sebagai berikut:
(30) Karena tidak diundang, dia tidak datang ke tempat itu.
(31) Hadirin serentak berdiri setelah mengetahui presiden datang.

g. Subjek yang Tidak Sama dalam Induk Kalimat dan dalam Anak Kalimat Harus Eksplisit
Jika dalam kalimat majemuk bertingkat subjek induk kalimat berbeda dengan
subjek anak kalimat, kedua subjek itu harus dinyatakan secara gamblang. Sering kita
jumpai adalah kesalahan menalar dalam kalimat majemuk seperti itu, yaitu dengan
menghilangkan salah satu subjek, padahal subjek-subjek tersebut tidak boleh dihilangkan.
Perhatikan contoh berikut:
(32) Karena sering kebanjiran, pemimpin unit tidak
menyetujui lokasi itu.
(33) Sejak didirikan sampai sekarang, paman saya sudah berkali-kali mengubah bentuk rumahnya.
Kalimat-kalimat itu tidak efektif karena dengan menghilangkan subjek dalam
anak kalimat, dapat ditafsirkan bahwa subjek yang dihilangkan itu sama dengan subjek
pada induk kalimat. Perhatikan ubahannya:
(34a) Pemimpin unit tidak menyetujui lokasi itu karena sering kebanjiran.
(34b) Lokasi itu tidak disetujui pemimpin unit karena sering kebanjiran.
(35) Paman saya sudah berkali-kali mengubah bentuk rumahnya sejak didirikan sampai dengan
sekarang.

h. Kata Penghubung Penanda Anak Kalimat Dinyatakan Secara Eksplisit


Struktur kalimat seperti ini sering dijumpai dalam ragam berita. Tentu saja
kalangan persuratkabaran ingin menghemat kata demi tujuan tertentu. Dalam ragam tulis
ilmiah, hal semacam ini sama sekali tidak dibenarkan. Kata penghubung penanda anak
kalimat, seperti ketika, setelah, dan agar harus jelas dinyatakan.
(36) Menjawab pertanyaan para wartawan, Bambang Subiyanto mengatakan bahwa
APBN yang akan datang diusahakan lebih realistis.
(37) Mendengar vonis hakim, terdakwa menangis menjerit-jerit.
(38) Bambang Subiyanto mengatakan bahwa A P B N yang akan datang diusahakan lebih
realistis, ketika menjawab pertanyaan para wartawan.
(39) Setelah mendengar vonis hakim, terdakwa menangis menjerit-jerit.

i. Pemakaian Kata Hemat


Pemakaian kata sehari-hari penggunaan dua kata yang bersinonim dalam sebuah
kalimat sering dijumpai. Hal itu termasuk pemakaian yang boros. Kata-kata yang
bersinonim yang sering digunakan sekaligus, antara lain, adalah merupakan, demi untuk,
dan agar supaya. Misalnya:
(40) Berbuat baik terhadap orang tua adalah merupakan tindakan yang sangat terpuji.
Perbaikannya:
(41) Berbuat baik terhadap orang tua merupakan tindakan yang sangat terpuji.

j. Urutan Kata Tepat


Dalam kalimat pasif bentuk persona sering terlihat salah urutan dalam
menggunakan keterangan, pelaku, dan perbuatan. Misalnya:
(42) Produksi padi yang sangat mengejutkan itu mereka segera akan
laporkan kepada atasan mereka.

Perbaikan:
(43) Produksi padi yang mengejutkan itu akan segera mereka laporkan
kepada atasan.
Bentuk pasif persona yang lain adalah ingin saya jelaskan, bukan saya ingin jelaskan;
belum kita ketahui, bukan kita belum ketahui; sudah mereka kerjakan, bukan mereka sudah kerjakan;
belum mereka pikirkan, bukan mereka belum pikirkan; pernah saya jelaskan bukan saya pernah jelaskan.

k. Predikat Objek Tidak Tersisipi


Dalam kalimat aktif transitif, antara predikat dan objek tidak disisipkan kata tugas
karena predikat-objek merupakan suatu kesatuan. Misalnya:
(44) Rapat yang diselenggarakan kemarin itu membicarakan
tentang nasib para karyawan.

Perbaikan:
(45) Rapat yang diselenggarakan kemarin itu membicarakan nasib
para karyawan.

Contoh lain: la sering membicarakan tentang rendahnya mutu lulusan sekolah-sekolah tertentu di
kecamatan ini.

Ubahan: la sering membicarakan rendahnya mutu lulusan sekolah-sekolah tertentu di kecamatan ini.
Dengan menghilangkan kata tugas dan mengganti dengan kata soal atau kata
masalah, kalimat-kalimat seperti itu menjadi efektif.

l. Tidak Menggunakan Kata Penghubung yang Bertentangan


Misalnya:
(46) Meskipun penelitian ini telah dilakukan sesuai dengan rancangan,
tetapi hasil yang diperoleh belum memuaskan pihak pimpinan
proyek.
Perbaikan:

(47) Meskipun penelitian ini telah dilakukan sesuai dengan rancangan,


hasil yang diperoleh belum memuaskan pihak pimpinan proyek.

7.5 Penyusunan Paragraf


Paragraf-paragraf dalam karya ilmiah harus memenuhi dua syarat, yaitu
kesatuan (mengacu ke perpautan makna, koherensi) dan kepaduan (mengacu ke
parpautan bentuk; kohesi). Paragraf memiliki syarat kesatuan jika hanya mempunyai
satu topik. Kalimat- kalimat yang membentuk paragraf tersebut tidak menyimpang
dari topik. Paragraf memiliki syarat kepaduan jika kalimat-kalimat yang membangun
paragraf tersebut tidak menyimpang dari topik. Paragraf memiliki syarat kepaduan
jika kalimat-kalimat yang membangun paragraf tersebut dirakit secara logis dan diikat dengan pengait paragraf,
seperti ungkapan penghubung antarkalimat, kata ganti, dan pengulangan kata-kata kunci atau kata yang
dipentingkan.
Paragraf yang berangkat dari kalimat utama yang diikuti kalimat-kalimat penjelas disebut
paragraf deduktif, sedangkan paragraf yang diawali rincian yang berupa kalimat-kalimat penjelas,
kemudian diakhiri dengan suatu simpulan yang berupa kalimat utama disebut paragraf induktif.

Contoh paragraf deduktif:


Pada hakikatnya, semua perusahaan ingin bekerja secara cermat dan teliti. Segala
perincian tentang penawaran, pemesanan, penerimaan, dan pengepakan betul-betul diteliti dan dijamin
keamanannya. Namun, dalam praktiknya, tidak dapat dihindari bahwa sekali waktu terjadi juga
kesalahan, kekurangan, atau kerusakan. Kerusakan peti kemas mungkin disebabkan oleh kekurangtelitian
atau bencana alam, dan sebagainya.
Contoh paragraf induktif:
Dalam perjuangannya, ABRI bukan hanya berjuang di bidang pertahanan keamanan,
melainkan juga di bidang social politik. Pada sat Negara menghadapi kekacauan,
misalnya pada Perang Kemerdekaan II, ABRI mengambil alih pemerintahan sipil. Oleh
karena itu, banyak anggota ABRI yang menjadi Gubernur militer, bupati militer, camat
militer, dan seterusnya. Sebaliknya, pada masa-masa aman, seperti sekarang ini, banyak
pula anggota ABRI yang membantu departemen-departemen atau lembaga lain yang
memerlukan. Gambaran situasi seperti itu menunjukkan bahwa dwifungsi ABRI tidak terlepas dari
seluruh anggota ABRI.

BAB VIII
PARAGRAF DALAM BAHASA INDONESIA

8.1 Pendahuluan
Paragraf adalah seperangkat kalimat yang membicarakan suatu gagasan atau
topik. Kalimat-kalimat dalam paragraf memperlihatkan kesatuan pikiran atau mempunyai
keterkaitan dalam membentuk gagasan atau topik tersebut. Sebuah paragraf minimal
terdiri empat kalimat. Bahkan, sering kita jumpai bahwa suatu paragraf berisi lebih dari
lima kalimat. Walaupun paragraf itu mengandung beberapa kalimat, tidak satupun dari
kalimat-kalimat itu yang memperkatakan soal lain. Seluruhnya memperbincangkan satu
masalah atau sekurang-kurangnya bertalian erat dengan masalah itu. Contoh sebuah
paragraf:
Sampah selamanya selalu memusingkan. Berkali-kali masalahnya
diseminarkan dan berkali-kali pula jalan pemecahannya dirancang. Namun,
keterbatasan-keterbatasan yang kita miliki tetap menjadikan sampah
sebagai masalah yang pelik. Pada waktu seminar-seminar itu berlangsung,
penimbunan sampah masih terjadi. Hal ini sedikit banyaknya mempunyai
kaitan dengan masalah pencemaran air dan banjir. Selama pengumpulan,
pengangkutan, pembuangan akhir, dan pengolahan sampah itu belum dapat
dilaksanakan dengan baik, selama itu pula sampah menjadi masalah.
Paragraf ini terdiri atas enam kalimat. Semua kalimat itu membicarakan soal
sampah. Oleh sebab itu, paragraf itu mempunyai topik “masalah sampah” karena pokok
permasalahan dalam paragraf itu adalah masalah sampah.
Topik paragraf adalah pikiran utama di dalam satu paragraf. Semua pembicaraan
dalam paragraf itu terpusat pada pikiran utama ini. Pikiran utama itulah yang menjadi
topik persoalan atau pokok pembicaraan. Oleh sebab itu, ia kadang-kadang disebut juga
gagasan pokok di dalam sebuah paragraf. Dengan demikian, apa yang menjadi pokok
pembicaraan dalam satu paragraf, itulah topik paragraf.

8.2 Syarat-Syarat Paragraf


Paragraf yang baik harus memiliki dua ketentuan, yaitu kesatuan paragraf dan
kepaduan paragraf, yaitu:
a) Kesatuan Paragraf
Dalam satu paragraf terdapat hanya satu pokok pikiran. Oleh sebab itu, kalimat-
kalimat yang membentuk paragraf perlu ditata secara cermat agar tidak ada satu pun
kalimat yang menyimpang dari ide pokok paragraf itu. Kalau ada kalimat yang
menyimpang dari ide pokok pikiran paragraf itu, paragraf menjadi tidak berpautan, tidak
utuh. Kalimat yang menyimpang itu harus dikeluarkan dari paragraf. Perhatikan paragraf
di bawah ini:
Jateng sukses. Kata-kata ini meluncur gembira dari pelatih regu Jateng
setelah selesai pertandingan final Kejurnas Tinju Amatir, Minggu malam di
Gedung Olahraga Jateng, Semarang. Kota Semarang terdapat di pantai
utara Pulau Jawa, ibu kota provinsi Jateng. Pernyataan itu dianggap wajar
karena apa yang diimpi-impikan selama ini dapat terwujud, yaitu satu
medali emas, satu medali perak, dan satu medali perunggu. Hal itu ditambah
lagi oleh pilihan petinju terbaik yang jatuh ke tangan Jateng. Hasil yang
diperoleh adalah prestasi paling tinggi yang pernah diraih oleh Jateng dalam
arena seperti itu.
Dalam paragraf itu kalimat ketiga tidak menunjukkan keutuhan paragraf. Oleh
sebab itu, kalimat tersebut harus dikeluarkan dari paragraf.
b) Kepaduan Paragraf
Kepaduan paragraf dapat terlihat melalui penyusunan kalimat secara logis dan
melalui ungkapan-ungkapan (kata-kata) pengait antarkalimat. Urutan yang logis akan
terlihat dalam susunan kalimat-kalimat yang sumbang atau keluar dari permasalahan
yang dibicarakan

8.3 Pengait Paragraf


Agar paragraf menjadi padu digunakan pengait paragraf, yaitu berupa 1)
ungkapan penghubung transisi, 2) kata ganti, atau 3) kata kunci (pengulangan kata yang
dipentingkan). Ungkapan pengait antarkalimat dapat berupa ungkapan
penghubung/transisi, yaitu:
1. Hubungan tambahan : lebih lagi, selanjutnya, tambah pula, di samping
itu, berikutnya, demikian pula, begitu juga, di
samping itu, lagi pula.
2. Hubungan pertentangan : akan tetapi, namun, bagaimanapun, walaupun
demikian, sebaliknya, meskipun begitu, lain
halnya.
3. Hubungan perbandingan : sama dengan itu, dalam hal demikian, sehubungan
dengan itu.
4. Hubungan akibat : oleh sebab itu, akibatnya, oleh karena itu, maka.
5. Hubungan tujuan : untuk itu, untuk maksud itu.
6. Hubungan singkatan : singkatnya, pendeknya, akhirnya, pada umumnya,
dengan kata lain, sebagai simpulan.
7. Hubungan waktu : sementara itu, segera setelah itu, beberapa saat
kemudian.
8. Hubungan tempat : berdekatan dengan itu.
Paragraf di bawah ini memperlihatkan pemakaian ungkapan pengait antarkalimat
yang berupa ungkapan penghubung transisi:
Belum ada isyarat jelas bahwa masyarakat sudah menarik tabungan
deposito mereka. Sementara itu, bursa efek Indonesia mulai goncang dalam
menampung serbuan para pemburu saham. Pemilik-pemilik uang berusaha
meraih sebanyak-banyaknya saham yang dijual di bursa. Oleh karena itu,
bursa efek berusaha menampung minat pemilik uang yang menggebu-gebu.
Akibatnya, indeks harga saham gabungan (IHSG) dalam tempo cepat
melampaui angka 100 persen. Bahkan, kemarin IHSG itu meloncat ke
tingkat 101,828 persen.
Dengan dipasangnya pengait antarkalimat sementara itu, oleh karena itu,
akibatnya, dan bahkan dalam paragraf tersebut, kepaduan paragraf terasa sekali. Serta
urutan antarkalimat dalam paragraf itu logis dan kompak.
Ungkapan pengait paragraf dapat juga berupa kata ganti, yaitu:
a. Kata Ganti Orang
Dalam usaha memadu kalimat-kalimat dalam suatu paragraf, kita banyak
menggunakan kata ganti orang. Pemakaian kata ganti ini berguna untuk menghindari
penyebutan nama orang berkali-kali. Kata ganti yang dimaksud adalah saya, aku, ku,
kita, kami (kata ganti orang pertama). Engkau, kau, kamu, mu, kamu sekalian (kata ganti
orang kedua). Dia, ia, beliau, mereka, dan nya (kata ganti orang ketiga).
Rizal, Rustam, dan Cahyo adalah teman sekolah sejak SMA hingga
perguruan tinggi. Kini mereka sudah menyandang gelar dokter dari sebuah
universitas di Jakarta. Mereka merencanakan mendirikan suatu poliklinik
lengkap dengan apoteknya. Mereka menghubungi saya dan mengajak
bekerja sama, yaitu saya diminta menyediakan tempatnya karena kebetulan
saya memilki sebidang tanah yang letaknya strategis. Saya menyetujui
permintaan mereka.
Kata mereka dipakai sebagai pengganti kata Rizal, Rustam, dan Cahyo agar nama
orang tidak sebutkan berkali-kali dalam satu paragraf. Penyebutan nama orang yang
berkali-kali dalam satu paragraf akan menimbulkan kebosanan serta menghilangkan
keutuhan paragraf. Hal ini dapat dilihat dalam kalimat di bawah ini:
Hajjah Utamiwati adalah ketua majelis taklim di desa ini. Rumah Hajjah
Utamiwati terletak dekat mesjid Nurul Ittihad.
Pengulangan kata Hajjah Utamiwati akan menimbulkan kesan kekurangan
paduan dua kalimat itu. Kesannya akan lain jika kalimat itu diubah sebagai berikut:
Hajjah Utamiwati adalah ketua majelis taklim di daerah ini. Rumahnya
terletak terletak dekat masjid Nurul Ittihad.
Bentuknya dalam kalimat di atas adalah bentuk singkat kata ganti orang ketiga,
yaitu Hajjah Utamiwati. Dengan demikian kepaduan kalimat-kalimat itu dapat kita
rasakan. Penggunaan kata ganti orang ketiga tunggal, beliau, dapat dilihat pada kalimat
berikut ini:
Ibu sud adalah pencipta lagu empat zaman yang sangat produktif. Beliau
telah menciptakan tidak kurang dari dua ratus buah lagu.
Semua kata ganti orang hanya dapat menggantikan nama orang dan hal-hal yang
dipersonifikasikan. Kalimat berikut ini memperlihatkan hal yang dipersonifikasikan dari
subjek kalimat. Oleh sebab itu, kalimat ini masih dibenarkan:
Sepatu saya sudah rusak. Saya harus segera menggantinya.
Kain bahan celana ini pas-pasan. Si penjahit harus pandai memotongnya.
Dalam masalah pemakaian kata ganti orang ketiga, kata ganti itu harus digunakan
pada tempatnya yang tepat, yaitu:
1) Buku Sutan Takdir Alisjahbana banyak sekali. Sutan Takdir Alisyahbana
adalah budayawan yang sangat disegani. (salah)
Sutan Takdir Alisjahbana mengarang buku banyak sekali. Beliau adalah
budayawan yang sangat disegani. (Benar)
2) Hutan-hutan di Indonesia habis ditebangi oleh orang yang tidak bertanggung
jawab. Mereka hanya mementingkan diri sendiri. (Benar)
Orang-orang yang tidak bertanggung jawab menebangi hutan-hutan di
Indonesia habis-habisan. Mereka hanya mementingkan diri sendiri. (Benar)

b. Kata Ganti yang Lain


Kata ganti yang lain yang digunakan dalam menciptakan kepaduan paragraf ialah
itu, ini, tadi, begitu, demikian, di situ, begitu, di atas, di sana, di sini dan sebagainya.
Perhatian contoh berikut:
Itu asrama mereka. Mereka tinggal di situ sejak kuliah tingkat satu sampai
dengan meraih gelar sarjana. Orang tua mereka juga sering berkunjung ke
situ.
c. Kata Kunci
Di samping itu, ungkapan pengait dapat pula berupa pengulangan kata-kata kunci,
seperti kata sampah pada contoh paragraf yang pertama. Pengulangan kata-kata kunci ini
perlu dilakukan dengan hati-hati (tidak terlalu sering).

8.4 Pembagian Paragraf Menurut Jenisnya


Dalam satu karangan (komposisi) biasanya terdapat tiga macam paragraf jika
dilihat dari segi jenisnya, yaitu:
1) Paragraf Pembuka
Paragraf ini merupakan pembuka atau pengantar untuk sampai pada segala
pembicaraan yang akan menyusul kemudian. Oleh sebab itu, paragraf pembuka harus
dapat menarik minat dan perhatian pembaca, serta sanggup menghubungkan pikiran
pembaca kepada masalah yang akan disajikan selanjutnya. Salah satu cara untuk menarik
perhatian ini ialah dengan mengutip pernyataan yang memberikan rangsangan dari para
orang terkemuka atau orang yang terkenal.
2) Paragraf Pengembang
Paragraf pengembang ialah paragraf yang terletak antara paragraf pembuka dan
paragraf yang terakhir sekali di dalam bab atau anak bab itu. Paragraf ini
mengembangkan pokok pembicaraan yang dirancang. Dengan kata lain paragraf
pengembang mengemukakan inti persoalan yang akan dikemukakan. Oleh sebab itu, satu
paragraf dan paragraf lain harus memperlihatkan hubungan yang serasi dan logis.
Paragraf itu dapat dikembangkan dengan cara ekspositoris, dengan cara deskriptif,
dengan cara naratif, atau dengan cara argumentatif yang akan dibicarakan pada halaman-
halaman selanjutnya.
3) Paragraf Penutup
Paragraf penutup adalah paragraf yang terdapat pada akhir karangan atau pada
akhir suatu kesatuan yang lebih kecil di dalam karangan itu. Biasanya, paragraf penutup
berupa simpulan semua pembicaraan yang telah dipaparkan pada bagian-bagian
sebelumnya.
8.5 Tanda Paragraf
Sebuah paragraf dapat ditandai dengan memulai kalimat pertama sedikit
menjorok ke dalam, kira-kira lima ketukan mesin ketik atau kira-kira dua sentimeter.
Dengan demikian, para pembaca mudah melihat permulaan tiap paragraf sebab paragraf
ditandai oleh kalimat permulaannya yang ditulis tidak sejajar dengan garis margin atau
garis pias kiri. Selain itu dengan memberikan jarak agak renggang dari paragraf
sebelumnya.

8.6 Rangka atau Struktur Sebuah Paragraf


Rangka atau struktur satu paragraf terdiri atas satu kalimat topik dan beberapa
kalimat penjelas. Dengan kata lain, apabila dalam satu paragraf terdapat lebih dari satu
kalimat topik, paragraf itu tidak termasuk paragraf yang baik. Kalimat-kalimat di dalam
paragraf itu harus saling mendukung, saling menunjang, kait berkait satu dengan yang
lainnya.
Kalimat topik adalah kalimat yang berisi topik yang dibicarakan pengarang.
Pengarang meletakkan inti maksud pembicarannya pada kalimat topik. Karena topik
paragraf adalah pikiran utama dalam satu paragraf, kalimat topik merupakan kalimat
utama dalam paragraf itu. Karena setiap paragraf hanya mempunyai satu topik, paragraf
itu tentu hanya mempunyai satu kalimat utama.
Kalimat utama bersifat umum. Ukuran keumuman sebuah kalimat terbatas pada
paragraf itu saja. Adakalanya satu kalimat yang kita anggap umum akan berubah menjadi
kalimat yang khusus apabila paragraf itu diperluas. Perhatikan paragraf berikut ini:
Penduduk Tegal, umpamanya, merasa tidak dapat hidup di daerahnya lagi
karena bahan makanan yang akan dimakan sehari-hari tidak mencukupi
kebutuhan penduduk. Hal ini disebabkan karena ledakan penduduk Tegal
terlalu besar sehingga daerah pertanian yang relatif tidak bertambah
hasilnya itu tidak dapat menampung perkembangan penduduk.
Pertumbuhan penduduk Tegal jauh lebih besar daripada perkembangan
daerah pertanian yang ada di situ.
Kalau kita lihat paragraf di atas, kalimat yang paling umum sifatnya ialah kalimat
pertama, yaitu “Penduduk Tegal, umpamanya, merasa tidak dapat hidup di daerahnya
lagi karena bahan makanan yang akan dimakan sehari-hari tidak mencukupi kebutuhan
penduduk”. Kalimat-kalimat selanjutnya adalah kalimat-kalimat penjelas yang fungsinya
menjelaskan gagasan utama yang terletak pada kalimat pertama. Kalau kalimat dalam
paragraf itu ditambah dengan sebuah kalimat lagi, sifat keumuman kalimat pertama itu
berubah menjadi khusus. Kalimat yang ditambahkan itu berbunyi:
“Tidak dapat dimungkiri bahwa pertumbuhan penduduk yang tidak
diimbangi oleh pertumbuhan produksi dapat menyebabkan tingkat
kemakmuran berkurang”.
Kalimat yang terakhir ini bersifat lebih umum daripada kalimat pertama. Kalau
kalimat terakhir ini ditambahkan pada paragraf itu, kalimat terakhir ini akan menjadi
kalimat utama. Kalau kita melihat perkembangan paragraf yang kita perbincangkan ini,
dapat dikatakan bahwa sebelum kalimat itu ditambahkan pada paragraf itu, kalimat utama
paragraf itu berada di awal paragraf, sedangkan setelah ditambahkan, kalimat utama
(kalimat topik) terletak di akhir paragraf.

8.7 Paragraf Deduktif dan Paragraf Induktif


Di bawah ini dikutipkan beberapa macam contoh paragraf. Letak kalimat topik
pada paragraf-paragraf itu berbeda-beda. Paragraf yang meletakkan kalimat topik pada
awal paragraf disebut paragraf deduktif, sedangkan paragraf yang meletakkan kalimat
topik di akhir paragraf disebut paragraf induktif.
Pengarang jenis pertama meletakkan kalimat topiknya di bagian awal paragraf
yang bersangkutan. Perhatikan kalimat yang dicetak dengan huruf tebal:
Arang aktif ialah sejenis arang yang diperoleh dari suatu pembakaran yang
mempunyai sifat tidak larut dalam air. Arang ini dapat diperoleh dari
pembakaran zat-zat tertentu, seperti ampas tebu, tempurung kelapa, dan tongkol
jagung. Jenis arang ini banyak digunakan dalam beberapa industri pangan atau
nonpangan. Industri yang menggunakan arang aktif adalah industri kimia dan
farmasi, seperti pekerjaan memurnikan minyak, menghilangkan bau yang tidak
murni, dan menguapkan zat yang tidak perlu.
Pengarang jenis kedua meletakkan kalimat topiknya pada bagian akhir paragraf,
seperti terlihat pada paragraf berikut:
Dua anak kecil ditemukan tewas di pinggir jalan Jenderal Sudirman. Seminggu
kemudian seorang anak perempuan hilang ketika pulang dari sekolah. Sehari
kemudian polisi menemukan bercak-bercak darah di kursi belakang mobil John.
Polisi juga menemukan potret dua orang anak yang tewas di jalan Jenderal
Sudirman di dalam kantung celana John. Dengan demikian, John adalah orang
yang dapat dimintai pertanggungjawaban tentang hilangnya tiga anak itu.
Ada pula paragraf yang tidak memperlihatkan kalimat utamanya. Gagasan utama
sebuah paragraf itu berada di seluruh paragraf. Paragraf seperti ini tidak mempunyai
kalimat yang umum. Semua kalimat bersifat khusus. Biasanya paragraf seperti ini
terdapat pada paragraf yang bersifat naratif. Misalnya:
Pada tengah hari hari itu Pak Lurah datang. Bapak Bupati datang ke tempat itu.
Tiga jam kemudian kita melihat orang-orang telah berkumpul di arena itu. Tidak
pula ketinggalan artis-artis muda belia. Para wartawan pun telah pula
memanfaatkan waktu.
Suatu hal lagi yang perlu ditekankan di sini adalah bahwa kalimat topik harus
kalimat yang ideal, bukan kalimat topik yang membingungkan. Kalimat topik itu harus
bersifat umum, jangan mendetail.
Kalimat topik yang ideal adalah kalimat topik yang jelas maksudnya dan mudah
dipahami. Pembaca tidak usah berpikir lama-lama apa yang dimaksud oleh penulisnya.
Biasanya, kalimat yang mudah dipahami itu adalah kalimat yang sederhana, ringkas, dan
tidak berbelit-belit. Sebaliknya, kalimat topik yang tidak ideal atau kalimat tidak jelas dan
membingungkan, harus dihindari. Misalnya:
Membingungkan : Sistem pondasi cakar ayam penemuan almarhum Prof.
Soedyatmo yang terkenal akhir-akhir ini di kalangan
internasional terutama di negara Asean karena dipakai
untuk membangun berbagai struktur di atas tanah
lembek.
Seharusnya : Sistem fondasi cakar ayam, dipakai untuk membangun
berbagai struktur di atas tanah lembek.
Kalimat topik yang baik adalah kalimat yang umum atau kalimat yang tidak
mendetail. Perhatikan contoh berikut:
Umum : Penelitian ini memerlukan berbagai faktor agar selesai
dengan memuaskan.
Mendetail : Penelitian ini memerlukan biaya yang banyak, waktu
yang cukup, dan tenaga yang terampil agar selesai
dengan memuaskan.
Seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya, sebuah paragraf itu terdiri atas satu
kalimat topik dan beberapa kalimat penjelas. Kalimat-kalimat penjelas itulah yang
membuat paragraf itu benar-benar “bicara” kepada pembacanya. Cara menjelaskan
kalimat topik itu dapat dengan mengulasnya, menyokongnya, menceritakan, atau
memberikan definisi secara jelas. Dengan demikian satu paragraf menjadi suatu
pembicaraan yang menyakinkan.
Penulis yang berpengalaman tidak akan membuat kalimat penjelas yang masih
umum karena kalimat penjelas yang maish umum akan menyebabkan pembaca harus
meraba-raba makna paragraf. Ia akan memberikan uraian-uraian yang terinci untuk
membuat paragraf dapat berbicara kepada pembacanya. Paragraf berikut memperlihatkan
kepada kita bahwa penulisnya membuat kalimat-kalimat penjelas yang terinci sehingga
pembaca akan merasa yakin akan isi paragrafnya, yaitu:
Kemajuan teknologi di negara Republik Indonesia pada akhir-akhir ini sangat
dirasakan oleh masyarakat sebagai suatu prestasi besar bagi bangsa Indonesia.
Hal itu ditunjang oleh beberapa faktor nyata yang sangat dibanggakan.
Kehadiran industri pesawat terbang nusantara, ditambah pula dengan kehadiran
Puspiptek dan beberapa pembangkit tenaga listrik memberikan bukti tentang
kemajuan teknologi itu. Apalagi, di sana-sini tidak pula ketinggalan beberapa
industri mobil, elektronik dan obat-obatan.

8.8 Pengembangan Paragraf


Mengarang itu adalah usaha mengembangkan beberapa kalimat topik. Dengan
demikian, dalam karangan itu kita harus mengembangkan beberapa paragraf demi
paragraf. Oleh karena itu, kita harus hemat menempatkan kalimat topik. Satu paragraf
hanya mengandung sebuah kalimat topik. Contoh di bawah ini memperlihatkan
perbedaan paragraf yang tidak hemat dan paragraf yang hemat akan kalimat topik.
Paragraf yang tidak hemat ini mengandung tiga kalimat topik, yaitu:
Penggemar seruling buatan Frederick Morgan bersedia mengunggu lima
belas tahun asal memperoleh sebuah seruling buatan Morgan. Pertengahan
bulan Juli Morgan menghentikan pemesanan seruling karena terlalu banyak
pihak yang memesang seruling buatannya. Memang dewasa ini Morgan
tergolong ahli pembuat instrumen tiup kelas dunia.
Perhatikan paragraf berikut yang merupakan hasil pengembangan kalimat-kalimat
di atas:
Penggemar seruling buatan Fredering Morgan bersedia menunggu lima
belas tahun asal memperoleh sebuah seruling buatan Morgan. Pernyataan
tersebut dikemukakan oleh beberapa penggemar seruling Eropa. Hal ini
terjadi setelah Morgan mengumumkan bahwa pemesanan serulingnya
ditutup.
Pada pertengahan bulan Juli Morgan menghentikan pemesanan seruling
karena terlalu banyak pihak yang memesan seruling buatannya. Jika
seruling dibuat terus menerus, Morgan harus bekerja selama 14 tahun guna
memenuhi pesanan tersebut. Seruling buatan Morgan sangat berperan pada
musik di dunia Eropa sejak tahun 1950.
Dewasa ini Morgan tergolong ahli pembuat istrumen tiup kelas dunia.
Beberapa ahli lainnya adalah Hans Caolsma (Utrecht), Mortin Skovroneck
(Bremen), Fredrick van Huene (Amerika Serikat), Klaus Scheele (Jerman),
serta Shigchoru Yamaoka dan Kuito Kinoshito (Jepang).
Kalau kita amati, ternyata paragraf-paragraf yang terakhir lebih berbicara pada
paragraf sebelumnya, yang mengandung tiga kalimat topik. Paragraf terakhir hemat akan
kalimat topik, tetapi kreatif dengan kalimat-kalimat penjelas.

8.9 Teknik Pengembangan Paragraf


Teknik pengembangan paragraf itu, secara garis besarnya, ada dua macam.
Pertama dengan menggunakan “ilustrasi”. Apa yang dikatakan kalimat topik itu
dilukiskan dan digambarkan dengan kalimat-kalimat penjelas sehingga di depan pembaca
tergambar dengan nyata apa yang dimaksud oleh penulis. Kedua dengan analisis. Apa
yang dinyatakan kalimat topik dianalisa secara logis sehingga pernyataan tadi merupakan
sesuatu yang meyakinkan. Di dalam praktik, kedua teknik di atas dapat dirinci lagi
menjadi beberapa cara yang lebih praktis, di antaranya (a) dengan memberikan contoh,
(b) dengan menampilkan fakta-fakta, (c) dengan memberikan alasan-alasan, dan (d)
dengan bercerita. Perhatikan contoh-contoh di bawah ini:
a. Dengan Memberikan Contoh/Fakta
Biasanya, pembaca senang membaca paragraf-paragraf yang dikembangkan
dengan cara ini. Perhatikan paragraf berikut:
Kegiatan KUD di desa-desa yang belum dewasa sering dicampuri oleh
tengkulak-tengkulak, seperti di Desa Kioro. Semua kegiatan KUD selalu
dipantau oleh tengkulak-tengkulak. Kadang-kadang bukan memantau lagi
namanya, tetapi langsung ikut serta menentukan harga gabah penduduk
yang akan dijual ke koperasi. Tengkulak itulah yang mengatur pembagian
uang yang ditangani oleh ketua koperasi, mengatur pembelian padi, dan
sebagainya. Demikian pula halnya dalam menjual kembali ke masyarakat.
Harga padi selalu ditentukan oleh tengkulak itu. Dari hasil penjualan ini
tengkulak meminta upah yang cukup besar dari ketua koperasi.
Dalam menggunakan cara ini, penulis hendaknya pandai memilih contoh-contoh
yang umum, contoh yang representatif, yang dapat mewakili keadaan yang sebenarnya,
dan bukan contoh yang terlalu dicari-cari.
b. Dengan Memberikan Alasan-Alasan
Dalam cara ini, apa yang dinyatakan oleh kalimat topik dianalisis berdasarkan
logika, dibuktikan dengan uraian-uraian yang logis dengan menjelaskan sebab-sebab
mengapa demikian. Perhatikan paragraf berikut:
Membiasakan diri berolahraga setiap pagi banyak manfaatnya bagi seorang
pegawai. Olahraga itu sangat perlu untuk mengimbangi kegiatan duduk
berjam-jam dibelakang meja kantor. Kalau tidak demikian, pegawai itu
akan menderita beberapa penyakit karena tidak ada keseimbangan kerja
otak dan kerja fisik. Kalau pegawai itu menderita sakit, berarti dia
membengkalaikan pekerjaan kantor yang berarti pula melumpuhkan
kegiatan negara.
c. Dengan Bercerita
Biasanya pengarang mengungkapkan kembali peristiwa-peristiwa yang sedang
atau sudah berlalu apabila ia mengembangkan paragraf dengan cara ini. Dengan paragraf
itu, pengarang berusaha membuat lukisannya itu hidup kembali. Perhatikan paragraf
berikut:
Kota Wonosobo telah mereka lalui. Kini jalan lebih menanjak dan sempit
berliku-liku. Bus meraung-raung ke dataran tinggi Dieng. Di samping kanan
jurang menganga, tetapi pemandangan di kejauhan adalah hutan pinus
menyelimuti punggung bukit dan bekas-bekas kawah yang memutih.
Pemandangan itu melalaikan goncangan bus yang tak henti-hentinya
berkelak-kelok. Sesekali atap rumah berderet kelihatan dari kejauhan.

8.10 Pembagian Paragraf Menurut Teknik Pemaparan


Menurut teknik pemaparannya paragraf dapat dibagi dalam empat macam, yaitu:
a. Deskriptif
Paragraf deskriptif disebut juga paragraf melukiskan (lukisan). Paragraf ini
melukiskan apa yang terlihat di depan mata. Jadi, paragraf ini bersifat tata ruang atau tata
letak. Pembicaraannya dapat berurutan dari atas ke bawah atau dari kiri ke kanan.
Dengan kata lain, deskriptif berurusan dengan hal-hal kecil yang tertangkap oleh
pancaindera. Contoh:
Pasar Tanah Abang adalah sebuah pasar yang sempurna. Semua barang di
sana. Di toko yang paling depan berderet toko sepatu dalam dan luar negeri . di
lantai dasar terdapat toko kain yang lengkap dan berderet-deret. Di samping
kanan pasar terdapat warung-warung kecil kecil penjual sayur dan bahan
dapur. Di samping kiri dada pula berjenis-jenis buahan. Pada bagian belakang
kita dapat menemukan berpuluh-puluh pedagang daging. Belum kita harus
melihat lantai satu, dua dan tiga.

b. Ekspositoris
Paragraf ekspositoris disebut juga paragraf paparan. Paragraf ini menampilkan
suatu objek. Peninjauan tertuju pada satu unsur saja. Penyampaian dapat menggunakan
perkembangan analisis kronologis atau keruangan. Contoh:
Pasar Tanah Abang adalah pasar yang kompleks. Di lantai dasar terdapat
sembilan puluh kios penjual kain. Setiap hari rata-rata terjual tiga ratus meter
untuk setiap kios. Dari data ini dapat diperkirakan berapa besar uang yang
masuk ke kas DKI dari pasar Tanah Abang.
c. Argumentatif
Paragraf argumentatif sebenarnya dapat dimasukkan ke dalam ekspositoris.
Paragraf argumentatif disebut juga persuasi. Paragraf ini lebih bersifat membujuk atau
meyakinkan pembaca terhadap suatu hal atau objek. Biasanya paragraf ini menggunakan
perkembangan analisis. Contoh:
Dua tahun terakhir, terhitung sejak Boeing B-737 milik maskapai penerbangan
Aloha Airlines jatuh, isu pesawat tua mencuat ke permukaan. Ini bisa
dimaklumi sebab pesawat yang badannya koyak sepanjang 4 meter itu sudah
dioperasikan lebih dari 19 tahun. Oleh karena itu, adalah cukup beralasan jika
orang menjadi cemas terbang dengan pesawat berusia tua. Di Indonesia yang
mengagetkan, lebih dari 60% pesawat yang beroperasi adalah pesawat tua.
Amankah? Kalau memang aman, lalu bagaimana cara merawatnya dan berapa
biayanya sehingga ia tetap nyaman dinaiki?

d. Naratif
Karangan narasi biasanya dihubungkan-hubungkan dengan cerita. Oleh sebab itu,
sebuah karangan narasi atau paragraf narasi hanya kita temukan dalam novel, cerpen,
atau hikayat. Contoh:
Malam itu ayah kelihatan benar-benar marah. Aku sama sekali dilarang
berteman dengan Syairul. Bahkan ayah mengatakan bahwa aku akan
diantar dan dijemput ke sekolah. Itu semua gara-gara Slamet yang telah
memperkenalkan aku dengan Siti.
(Sikumbang, 1981: 1-42 dan Parera, 1983: 3-24).
BAB IX
DIKSI ATAU PILIHAN KATA

9.1 Pengertian Diksi


Diksi ialah pilihan kata. Maksudnya, kita memilih kata yang tepat untuk
menyatakan sesuatu. Pilihan kata merupakan satu unsur sangat penting, baik dalam dunia
karang-mengarang maupun dalam dunia tutur setiap hari. Dalam memilih kata yang
setepat-tepatnya untuk menyatakan suatu maksud, kita tidak dapat lari dari kamus.
Kamus memberikan suatu ketetapan kepada kita tentang pemakaian kata-kata dalam hal
ini. Kata yang tepat akan membantu seseorang mengungkapkan dengan tepat apa yang
ingin disampaikannya, baik lisan maupun tulisan. Di samping itu, pemilihan kata itu
harus pula sesuai dengan situasi dan tempat penggunaan kata-kata itu.

9.2 Makna Denotatif dan Konotatif


Makna denotatif adalah makna dalam alam wajar secara eksplisit. Makna wajar
ini adalah makna yang sesuai dengan apa adanya. Denotatif adalah suatu pengertian yang
dikandung sebuah kata secara objektif. Sering juga makna denotatif disebut makna
konseptual. Kata makan, misalnya, bermakna memasukan sesuatu ke dalam mulut,
dikunyah dan ditelan. Makna kata makan seperti ini adalah makna denotatif. Makna
konotatif adalah makna asosiatif, makna yang timbul sebagai akibat dari sikap sosial,
sikap pribadi, dan kriteria tambahan yang dikenakan pada sebuah makna konseptual. Kata
makan dalam makna konotatif dapat berarti untung atau pukul.
Makna konotatif berbeda dari zaman ke zaman. Ia tidak tetap. Kata kamar kecil
mengacu kepada kamar yang kecil (denotatif) tetapi kamar kecil berarti juga jamban
(konotatif). Dalam hal ini, kita kadang-kadang lupa apakah suatu makna kata itu adalah
makna denotatif atau konotatif. Kata rumah monyet mengandung makna konotatif. Akan
tetapi, makna konotatif itu tidak dapat diganti dengan kata lain sebab nama lain untuk
kata itu tidak ada yang tepat. Begitu juga dengan istilah rumah asap.
Makna konotatif sifatnya lebih profesional dan operasional dari pada makna
denotatif. Makna denotatif adalah makna yang umum. Dengan kata lain, makna konotatif
adalah makna yang dikaitkan dengan suatu kondisi dan situasi tertentu. Misalnya:
Rumah gedung, wisma, graha
Penonton pemirsa, pemerhati
Dibuat dirakit, disulap
Sesuai harmonis
Tukang ahli, juru
Pekerja pegawai, karyawan
Bunting hamil, mengandung
Mati meninggal, wafat.

Makna konotatif dan makna denotatif berhubungan erat dengan kebutuhan


pemakaian bahasa. Makna denotatif ialah anti harfiah suatu makna yang menyertainya,
sedangkan makna konotatif adalah makna kata yang mempunyai tautan pikiran, peranan,
dan lain-lain yang menimbulkan nilai rasa tertentu. Dengan kata lain, makna denotatif
adalah makna yang bersifat umum, sedangkan makna konotatif lebih bersifat pribadi dan
khusus. Contoh:

Dia adalah wanita cantik

(denotatif) Dia adalah wanita

manis (konotatif)
Kata cantik lebih umum daripada kata manis. Kata cantik akan memberikan
gambaran umum tentang seorang wanita. Akan tetapi, dalam kata manis terkandung suatu
maksud yang lebih bersifat memukau perasaan kita.

Nilai kata-kata itu dapat bersifat baik dan dapat pula bersifat jelek. Kata-kata yang
berkonotasi jelek dapat kita sebutkan seperti kata tolol (lebih jelek dari pada bodoh).
Mampus (lebih jelek dari kata mati), dan gubuk (lebih jelek dari pada rumah). Di pihak
lain, kata-kata itu dapat mengandung arti kiasan yang terjadi dari makna denotatif referen
lain. Makna yang dikenakan kepada kata itu dengan sendirinya akan ganda sehingga
kontekslah yang lebih banyak berperan dalam hal ini. Contoh:

Sejak dua tahun yang lalu ia membanting tulang untuk memperoleh kepercayaan
masyarakat

Kata membanting tulang (yang mengambil suatu denotatif kata pekerjaan


membanting sebuah tulang) mengandung makna “bekerja keras” yang merupakan sebuah
kiasan. Kata membanting tulang dapat kita masukkan ke dalam golongan kata yang
bermakna konotatif. Kata-kata yang dipakai secara kiasan pada suatu kesempatan
penyampaian seperti ini disebut idiom atau ungkapan. Semua bentuk idiom atau
ungkapan tergolong dalam kata yang bermakna konotatif. Kata-kata ungkapan adalah
sebagai berikut:

Keras kepala

Panjang

tangan

Sakit hati, dan sebagainya.

9.3 Makna Umum dan Khusus


Kata ikan memiliki acuan yang lebih luas dari pada kata mujair atau tawes. Ikan
tidak hanya mujair atau tawes. Tetapi ikan terdiri atas beberapa macam, seperti gurame,
lele, luna, bumerang, nila, dan ikan mas. Sebaliknya, tawes, pasti tergolong jenis ikan,
demikian juga gurame, lele, sepat, tuna, dan acuannya lebih luas disebut kata umum,
seperti ikan, sedangkan kata yang acuannya lebih khusus disebut kata khusus, seperti
gurame, lele, tawes dan ikan mas.
Contoh kata bermakna umum yang lain adalah bunga. Kata bunga memiliki acuan
yang lebih luas dari pada mawar. Bunga bukan hanya mawar, melainkan juga ros, melati,
dahlia, anggrek dan cempaka. Sebaliknya, melati pasti sejenis bunga, anggrek juga
tergolong bunga, dahlia juga merupakan sejenis bunga. Kata bunga yang memiliki acuan
yang lebih luas disebut kata umum, sedangkan kata dahlia, cempaka, melati, atau ros
memiliki acuan yang lebih khusus dan disebut kata khusus.

9.4 Kata Konkret dan Abstrak


Kata yang acuannya semakin mudah diserap pancaindera disebut kata konkret,
seperti meja, rumah, mobil, cantik, hangat, wangi, suara. Jika acuan sebuah kata tidak
mudah diserap pancaindra, kata itu disebut kata abstrak, seperti gagasan dan perdamaian.
Kata abstrak digunakan untuk mengungkapkan gagasan rumit. Kata abstrak mampu
membedakan secara halus gagasan yang bersifat teknis dan khusus. Akan tetapi, jika kata
abstrak terlalu diobral atau dihambur-hamburkan dalam suatu karangan, karangan itu
dapat menjadi samar dan tidak cermat.

9.5 Sinonim
Sinonim adalah dua kata atau lebih yang pada dasarnya mempunyai makna yang
sama, tetapi bentuknya berlainan. Kesinoniman kata tidaklah mutlak, hanya ada
kesamaan atau kemiripan. Sinonim ini dipergunakan untuk mengalihkan pemakaian kata
pada tempat tertentu sehingga kalimat itu tidak membosankan. Dalam pemakaiannya
bentuk-bentuk kata yang bersinonim akan menghidupkan bahasa seseorang dan
mengonkretkan bahasa seseorang sehingga kejelasan komunikasi (lewat bahasa itu) akan
terwujud. Dalam hal ini pemakai bahasa dapat memilih bentuk kata mana yang paling
tepat untuk dipergunakannya, sesuai dengan kebutuhan dan situasi yang dihadapinya.
Kita ambil contoh kata cerdas dan cerdik. Kedua kata itu bersinonim, tetapi kedua
kata tersebut tidak persis sama benar. Contoh:
Agung, besar, raya
Mati, mangkat, wafat, meninggal, tewas, gugur
Cahaya, sinar
Ilmu, pengetahuan
Penelitian, penyelidikan

Kesinoniman kata masih berhubungan dengan masalah makna denotatif dan


makna konotatif suatu kata.

9.6 Pembentukan Kata


Ada dua cara pembentukan kata, yaitu dari dalam dan dari luar bahasa Indonesia.
Dari dalam bahasa Indonesia terbentuk kosakata baru dengan dasar kata yang sudah ada,
sedangkan dari luar terbentuk kata baru melalui unsur serapan. Dari dalam bahasa
Indonesia terbentuk kata baru, misalnya:
tata daya serba
tata buku daya tahan serba putih
tata bahasa daya pukul serba plastik
tata rias daya tarik serba kuat
hari tutup lepas
hari sial tutup tahun lepas tangan
hari jadi tutup buku lepas pantai
Dari luar bahasa Indonesia terbentuk kata-kata melalui pungutan kata, misalnya:
Bank wisata
Kredit santai
Valuta nyeri
Televisi candak kulak
Kita sadar bahwa kosakata bahasa Indonesia banyak dipengaruhi oleh bahasa
asing. Kontak bahasa memang tidak dapat dielakkan karena kita berhubungan dengan
bangsa lain. Oleh sebab itu, pengaruh-mempengaruhi dalam hal kosakata pasti ada.
Dalam hal ini perlu ditata kembali kaidah penyerapan kata-kata itu. Oleh sebab itu,
Pedoman Umum Pembentukan Istilah yang kini telah beredar di seluruh Nusantara
membantu upaya itu.
Kata-kata pungut adalah kata yang diambil dari kata-kata asing. Hal ini
disebabkan oleh kebutuhan kita terhadap nama dan penamaan benda atau situasi tertentu
yang belum dimiliki oleh bahasa Indonesia. Pemungutan kata-kata asing yang bersifat
internasional sangat kita perlukan karena kita memerlukan suatu komunikasi dalam dunia
dan teknologi modern, kita memerlukan komunikasi yang lancar dalam segala macam
segi kehidupan. Kata-kata pungut itu ada yang dipungut tanpa diubah, tetapi ada juga
yang diubah. Kata-kata pungut yang sudah disesuaikan dengan ejaan bahasa Indonesia
disebut bentuk serapan. Bentuk-bentuk serapan itu ada empat macam:
1) Kita mengambil kata yang sudah sesuai dengan ejaan bahasa Indonesia. Contoh:
Bank
Opname,
dan Golf
2) Kita mengambil kata yang menyesuaikan kata itu dengan ejaan bahasa Indonesia.
Contoh:
Subject subjek
Apotheek apotek, dan
University universitas
3) Kita menemukan istilah-istilah asing ke dalam bahasa Indonesia. Contoh:
Starting point titik tolak
Meet the press jumpa pers,
Up to date mutakhir,
Briefing taklimat, arahan dan
Hearing dengar pendapat
4) Kita mengambil istilah yang tetap seperti aslinya karena sifat keuniversalannya.
Contoh:
De facto,
Status
quo,
Cum laude,
dan Ad hoc
Dalam menggunakan kata, terutama dalam situasi resmi, kita perlu memerhatikan
beberapa ukuran.
n) Kata yang lazim dipakai dalam bahasa tutur atau bahasa setempat dihindari
Misalnya: - Nongkrong
- Raun
Kata-kata itu dapat dipakai sudah menjadi milik umum. Contoh:
Ganyang anjangsana
Lugas kelola
o) Kata-kata yang mengandung nilai rasa hendaknya dipakai secara cermat dan hati-
hati agar sesuai dengan tempat dan suasana pembicaraan. Contoh:
Tunanetra buta
Tunarungu tuli
Tunawicara bisu
p) Kata yang tidak lazim dipakai dihindari kecuali kalau sudah dipakai oleh
masyarakat. Contoh:
Konon puspa
Bayu lepau
Laskar didaulat.
Di bawah ini akan dibicarakan beberapa penerapan pilihan kata. Sebuah kata
dikatakan baik kalau tepat arti dan tepat penempatanya. Seksama dalam pengungkapan,
lazim dan sesuai dengan kaidah ejaan. Beberapa contoh pemakaian kata di bawah ini
dapat dilihat:
a) Kata raya tidak dapat disamakan dengan kata besar, agung. Kata-kata itu tidak
selalu dapat dipertukarkan. Contoh: masjid raya, rumah besar, hakim agung.
b) Kata masing-masing dan tiap-tiap tidak sama dalam pemakaiannya.
Kata tiap-tiap harus diikuti oleh kata benda, sedangkan kata masing-masing tidak
boleh diikuti oleh kata benda. Contoh:
10) Tiap-tiap kelompok terdiri atas tiga puluh orang,
11) Berbagai gedung bertingkat di Jakarta memiliki gaya arsitektur masing-
masing
12) Masing-masing mengemukakan keberatannya.
13) Para pemimpin negara APEC yang hadir di Jakarta masing-masing dijaga
ketat oleh pengawal kepresidenan Indonesia.
c) Pemakaian kata dan lain-lain harus dipertimbangkan secara cermat. Kata dan
lain-lain sama kedudukannya dengan seperti, antara lain, misalnya:
Bentuk yang Salah Bentuk yang Benar
Dalam ruang itu kita dapat menemukan a) Dalam ruang itu
barang-barang seperti meja, buku, kita dapat menemukan meja, buku,
bangku dan lain-lain. bangku dan lain-lain.
b) Dalam ruang itu
kita dapat menemukan barang-
barang seperti meja, buku, dan
bangku.

d) Pemakaian kata pukul dan jam harus dilakukan secara tepat. Kata pukul
menunjukkan waktu, sedangkan kata jam menunjukkan jangka waktu. Misalnya:
- Seminar tentang kardiologi yang diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia berlangsung selama 4 jam, yaitu dari jam 08.00 s.d. jam
12.00. (salah)
- Seminar tentang kardiologi yang diselenggarakan oleh Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia berlansung selama 4 jam, yaitu dari pukul 8.00 s.d. pukul
12.00. (benar)
e) Kata sesuatu dan suatu harus dipakai secara tepat. Kata sesuatu tidak diikuti oleh
kata benda, sedangkan kata suatu harus diikuti kata benda. Contoh:
a) Ia mencari sesuatu.
b) Pada suatu waktu ia datang dengan wajah berseri-seri.
f) Kata dari dan daripada tidak sama pemakaiannya. Kata dari dipakai untuk
menunjukkan asal sesuatu, baik bahan maupun arah. Contoh:
a) Ia mendapat tugas dari atasannya.
b) Cincin itu terbuat dari emas.
Kata dari pada berfungsi membandingkan, contoh:
a) Duduk lebih baik daripada berdiri.
b) Indonesia lebih luas daripada Malaysia.

9.7 Kesalahan Pembentukan dan Pemilihan Kata


Pada bagian berikut akan diperlihatkan kesalahan pembentukan kata yang sering
kita temukan, baik dalam bahasa lisan maupun dalam bahasa tulis. Setelah diperlihatkan
bentuk yang salah, diperlihatkan pula bentuk yang benar, yang merupakan perbaikannya.
a. Penanggalan Awalan me-
Penanggalan awalan me- pada judul berita dalam surat kabar diperbolehkan.
Namun, dalam teks beritanya awalan me- harus eksplisit. Di bawah ini diperlihatkan
bentuk yang salah dan bentuk yang benar.
14) Jaksa Agung, Marzuki Darusman, periksa mantan Presiden Soeharto.
(Salah)
15) Jaksa Agung, Marzuki Darusman, memeriksa mantan Presiden Soeharto.
(benar)

b. Penanggalan Awalan ber-


Kata-kata yang berawalan ber- sering ditanggalkan. Padahal, awalan ber harus
dieksplisitkan secara jelas. Di bawah ini dapat dilihat bentuk salah dan benar dalam
pemakaiannya.
16) Sampai jumpa lagi. (salah)
17) Sampai berjumpa lagi. (benar)
18) Pendapat saya beda dengan pendapatnya. (salah)
19) Pendapat saya berbeda dengan pendapatnya. (benar)

c. Peluluhan Bunyi /c/


Kata dasar yang diawali bunyi /c/ sering menjadi luluh apabila mendapat awalan
me-. Padahal, sesungguhnya bunyi /c/ tidak luluh apabila mendapat awalan me-. Di
bawah ini diperlihatkan bentuk salah dan bentuk benar, yaitu:
20) Wakidi sedang menyuci mobil. (salah)
21) Wakidi sedang mencuci mobil. (benar)

d. Penyengauan Kata Dasar


Ada lagi gejala penyengauan bunyi awal kata dasar. Penyengauan kata dasar ini
sebenarnya adalah ragam lisan yang dipakai dalam ragam tulis. Akhirnya,
pencampuradukan antara ragam lisan dan ragam tulis menimbulkan suatu bentuk kata
yang salah dalam pemakaian. Kita sering menemukan penggunaan kata nyopet, mandang,
ngail, ngantuk, nabrak, nanam, nulis, nyubit, ngepung, nolak, nyuap, dan nyari. Dalam
bahasa Indonesia baku tulis, kita harus menggunakan kata-kata mencopet, memandang,
mengail, mengantuk, menabrak, menanam, menulis, mencubit, mengepung, menolak,
mencabut, menyuap, dan mencari.

e. Bunyi /s/, /k/, /p/, dan /t/ yang Tidak Luluh


Kata dasar yang bunyi awalnya /s/, /k/, /p/, atau /t/, sering tidak luluh jika
mendapat awalan me- atau pe-. Padahal, menurut kaidah baku bunyi-bunyi itu harus lebur
menjadi bunyi sengau. Di bawah ini dibedakan bentuk salah dan bentuk benar dalam
pemakaian sehari-hari, yaitu:
22) Eksistensi Indonesia sebagai negara pensuplai minyak sebaiknya
dipertahankan. (salah)
23) Eksistensi Indonesia sebagai negara penyuplai minyak sebaiknya
dipertahankan. (benar)
24) Semua warga negara harus mentaati peraturan yang berlaku. (salah)
25) Semua warga negara harus menaati peraturan yang berlaku. (benar)
Kaidah peluluhan bunyi s, k, p, dan t tidak berlaku pada kata-kata yang dibentuk
dengan gugus konsonan. Kata traktor apabila diberi awalan me-, kata ini akan menjadi
mentraktor bukan menraktor. Kata proklamasi apabila diberi awalan me-, maka akan
menjadi memproklamasikan bukan memroklamasikan.

f. Awalan ke- yang Keliru


Pada kenyataan sehari-hari, kata-kata yang seharusnya berawalan ter- sering
diberi berawalan ke. Hal itu disebabkan oleh kekurangcermatan dalam memilih awalan
yang tepat. Umumnya, kesalahan itu dipengaruhi oleh bahasa daerah (Jawa/Sunda). Di
bawah ini dipaparkan bentuk salah dan bentuk benar dalam pemakaian awalan:
26) Pengendara motor itu meninggal karena ketabrak oleh metro mini. (salah)
27) Pengendara motor itu meninggal karena tertabrak oleh metro mini.
(benar).
28) Dompet saya tidak kebawa waktu berangkat, saya tergesa-gesa. (salah)
29) Dompet saya tidak terbawa waktu berangkat, saya tergesa-gesa. (benar)
30) Mengapa kamu ketawa terus? (salah)
31) Mengapa kamu tertawa terus? (benar)
Perlu diketahui bahwa awalan ke- hanya dapat menempel pada kata bilangan.
Selain di depan kata bilangan, awalan ke- tidak dapat dipakai. Pengecualian terdapat pada
kata kekasih, kehendak, dan ketua. Oleh sebab itu, kata ketawa, kecantol, keseleo,
kebawa, ketabrak, bukanlah bentuk baku dalam bahasa Indonesia. Bentuk-bentuk yang
benar ialah kedua, keempat, kesepuluh, keseribu, dan seterusnya.

g. Pemakaian Akhiran –ir


Pemakaian akhiran –ir sangat produktif dalam penggunaan bahasa Indonesia
sehari-hari. Padahal, dalam bahasa Indonesia baku, untuk padanan akhiran –ir adalah –asi
atau –isasi. Di bawah ini ungkapan bentuk yang salah dan bentuk yang benar, yaitu:
32) Saya sanggup mengkoordinir kegiatan itu. (salah)
33) Saya sanggup mengkoordinasi kegiatan itu. (benar).
34) Soekarno-Hatta memproklamirkan negara Republik Indonesia. (salah)
35) Soekarno-Hatta memproklamasikan negara Republik Indonesia. (benar)
Perlu diperhatikan, akhiran –asi atau –isasi pada kata-kata lelenisasi, turinisasi,
neonisasi, radionisasi, pompanisasi, dan koranisasi merupakan bentuk yang salah karena
kata dasarnya bukan kata serapan dari bahasa asing. Kata-kata itu harus diungkapkan
menjadi usaha peternakan lele, usaha penanaman turi, usaha pemasangan neon, gerakan
memasyarakatkan radio, gerakan pemasangan pompa, dan usaha memasyarakatkan
koran.

h. Padanan yang Tidak Serasi


Karena pemakai bahasa kurang cermat memilih padanan kata yang serasi, yang
muncul dalam pembicaraan sehari-hari adalah padanan yang tidak sepadan atau tidak
serasi. Hal itu baru terjadi karena dua kaidah bahasa bersilang, atau bergabung dalam
sebuah kalimat. Di bawah ini dapat dipaparkan bentuk salah dan bentuk benar terutama
dalam memakai ungkapan penghubung intrakalimat, yaitu:
36) Karena modal di bank terbatas sehingga tidak semua pengusaha lemah
memperoleh kredit. (salah)
37) Karena modal di bank terbatas, tidak semua pengusaha lemah memperoleh
kredit. (benar)
38) Modal di bank terbatas sehingga tidak semua pengusaha lemah
memperoleh kredit. (benar)
39) Apabila pada hari itu saya berhalangan hadir, maka rapat akan dipimpin
oleh Sdr. Daud. (salah)
40) Apabila pada hari itu saya berhalangan hadir, rapat akan dipimpin oleh
Sdr. Daud. (benar)
41) Pada hari itu saya berhalangan hadir, maka rapat akan dipimpin oleh Sdr.
Daud. (benar)
Bentuk-bentuk di atas adalah bentuk yang menggabungkan kata karena dan
sehingga, kata apabila dan maka, dan kata walaupun dan tetapi. Penggunan dua kata itu
dalam sebuah kalimat tidak diperlukan. Bentuk-bentuk lainnya yang merupakan padanan
yang tidak serasi adalah disebabkan karena, dan lain sebagainya, karena maka, untuk ...
maka, meskipun...tetapi, kalau...makan dan sebagainya. Bentuk yang baku untuk
mengganti padanan itu adalah disebabkan oleh, dan lain-lain, atau dan sebagainya,
karena/untuk/kalau saja tanpa diikuti maka, atau maka saja tanpa didahului oleh
karena/untuk/kalau, meskipun saja tanpa disusul tetapi atau tetapi saja tanpa didahului
meskipun.

i. Pemakaian Kata Depan, di, ke, dari, bagi, pada, daripada, dan terhadap
Dalam pemakaian sehari-hari, pemakaian di, ke, dari, bagi, dan daripada sering
dipertukarkan. Di bawah ini dipaparkan bentuk benar dan bentuk salah dalam pemakaian
kata depan, yaitu:
42) Putusan daripada pemerintah itu melegakan hati rakyat. (salah)
43) Putusan pemerintah itu melegakan hati rakyat. (benar)
44) Neny lebih cerdas dari Vina. (salah)
45) Neny lebih cerdas daripada Vina. (benar)
46) Sepeda motornya dititipkan di saya selama ia sedang belajar. (salah)
47) Sepeda motornya dititipkan pada saya selama ia sedang belajar. (benar)

j. Pemakaian Akronimi (Singkatan)


Kita membedakan istilah “singkatan” dengan “bentuk singkat”. Yang dimaksud
dengan singkatan ialah PLO, UI, dan lain-lain. Yang dimaksud dengan bentuk singkat
ialah lab (laboratorium), memo (memorandum), dan lain-lain. Pemakaian akronimi dan
singkatan dalam bahasa Indonesia kadang-kadang tidak teratur. Singkatan IBF
mempunyai dua makna, yaitu Internasional Boxing Federation (dan Internasional
Badminton Federation). Oleh sebab itu, pemakaian akronim dan singkatan sedapat
mungkin dihinari karena menimbulkan berbagai tafsiran terhadap akronim atau singkatan
itu. Singkatan yang dapat dipakai adalah singkatan yang sudah umum dan maknanya
telah mantap. Walaupun demikian, agar tidak terjadi kekeliruan kalau hendak
mempergunakan bentuk akronim atau singkatan dalam bentuk artikel atau makalah serta
sejenis dengan itu, akronim atau singkatan itu lebih baik didahului oleh bentuk
lengkapnya.

k. Penggunaan Kesimpulan, Keputusan, Penalaran, dan Pemukiman.


Kata-kata kesimpulan bersaing pamakaiannya dengan kata simpulan, kata
keputusan bersaing pemakaiannya dengan kata putusan, kata pemukiman bersaing
pemakaiannya dengan kata permukiman, kata penalaran bersaing dengan kata pernalaran.
Lalu, bentukan yang tepat kesimpulan dan yang salah simpulan, ataukah sebaliknya.
Pembentukan kata dalam bahasa Indonesia sebenarnya mengikuti pola yang rapi
dan konsisten. Kalau kita perhatikan dengan seksama, bentukan-bentukan kata itu
memilih hubungan antara yang satu dengan yang lain. Dengan kata lain, terdapat relasi di
antara berbagai bentukan tersebut. Perhatikanlah, misalnya, verba yang berawalan meng-
dapat dibentuk menjadi nomina yang bermakna ‘proses’ yang berimbuhan peng-an, dan
dapat pula dibentuk menjadi nomina yang bermakna ‘hasil’ yang berimbuhan –an.
Perhatikan keteraturan pembentukan kata berikut:
tulis, menulis, penulis, penulisan, tulisan.
Pilih, memilih, pemilih, pemilihan, pilihan
Bawa, membawa pembawa, pembawaan, bawaan
Pakai memakai, pemakai, pemakaian, pakaian
Pukul, memukul, pemukul, pemukulan, pukulan
Ada lagi pembentukan kata yang mengikuti pola berikut:
Tani bertani, petani, pertanian
Tinju bertinju, petinju, pertinjuan
Silat, bersilat, pesilat, persilatan
Kelompok kata di bawah ini mengikuti cara yang lain:
Satu, bersatu, mempersatukan, pemersatu, persatuan
Solek, bersolek, mempersolek, pemersolek, persolekan
Oleh, beroleh, memperoleh, pemeroleh, perolehan
Berdasarkan kaidah di atas, bentukan-bentukan berikut dipandang kurang
konsisten, yaitu:
- Karya ilmiah harus mengandung bab pendahuluan, analisis, dan kesimpulan. (kurang
rapi)
- Karya ilmiah harus mengandung bab pendahuluan, analisis, dan simpulan. (lebih rapi)
- Sesuai dengan keputusan pemerintah, bea masuk barang mewah dinaikkan menjadi
20%. (kurang rapi)
- Sesuai dengan putusan pemerintah, bea masuk barang mewah dinaikkan menjadi
20%. (lebih rapi)
- Petugas Puskesmas di sana kurang memberikan pelayanan yang memuaskan. (kurang
rapi)
- Petugas Puskesmas di sana kurang memberikan layanan yang memuaskan. (lebih
rapi)
- Paman saya sudah membeli rumah di pemukiman Puri Giri Indah. (kurang rapi)
- Paman saya sudah membeli rumah di permukiman Puri Giri Indah. (lebih rapi)

m. Penggunaan Kata yang Hemat


Salah satu ciri pemakaian bahasa yang efektif adalah pemakaian bahasa yang
hemat kata, tetapi padat isi. Namun, dalam komunikasi sehari-hari sering dijumpai
pemakaian kata yang tidak hemat (boros). Berikut ini daftar kata yang sering digunakan
tidak hemat itu, yaitu:

Boros Hemat
1. Sejak dari sejak atau dari
2. agar supaya agar atau supaya
3. demi untuk demi atau untuk
4. adalah merupakan adalah atau merupakan
5. seperti... dan sebagainya seperti atau dan sebagainya
6. misalnya... dan lain-lain misalnya atau dan lain-lain
7. antara lain ... dan seterusnya antara lain atau dan seterusnya
8. tujuan daripada pembangunan tujuan pembangunan
9. mendeskripsikan tentang hambatan mendeskripsikan hambatan
10. berbagai faktor-faktor berbagai faktor
11. daftar nama-nama peserta daftar nama peserta
12. mengadakan penelitian meneliti
Mari kita lihat perbandingan pemakaian kata yang boros dan hemat berikut, yaitu:
- Apabila suatu reservator masih mempunyai cadangan minyak, maka diperlukan
tenaga dorong buatan untuk memproduksi minyak lebih besar. (boros, Salah)
- Apabila suatu reservoar masih mempunyai cadangan minyak, diperlukan tenaga
dorong buatan untuk memproduksi minyak lebih besar. (hemat, benar)
- Untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi minyak dan gas bumi di mana sebagai
sumber daya devisa negara diperlukan tenaga ahli yang terampil di bidang geologi
dan perminyakan. (boros, salah)
- Untuk mengeksplorasi dan mengeksploitasi minyak dan gas bumi yang sebagai
sumber daya devisa negara diperlukan tenaga ahli yang terampil di bidang geologi
dan perminyakan. (hemat, benar)
Pemakaian kata yang boros seperti sejak dari, adalah, merupakan, demi, untuk,
agar supaya, dan zaman dahulu kala juga harus dihindari.

n. Analogi
Di dalam dunia olahraga terdapat istilah petinju. Kata petinju berkorelasi dengan
kata bertinju. Kata petinju berarti orang yang (biasa) bertinju, bukan orang yang (biasa)
meninju. Dewasa ini dapat dijumpai banyak kata yang sekelompok dengan petinju,
seperti pesenam, pesilat, pegolf, peterjun, petenis, dan peboling. Akan tetapi, apakah
semua kata dibentuk dengan cara yang sama dengan pembentukan kata petinju? Jika
harus dilakukan demikian, akan tercipta bentukan seperti berikut ini:
Petinju ‘orang yang bertinju’
Pesenam ‘orang yang bersenam’
Pesilat ‘orang yang bersilat’
Kata bertinju, bersenam, dan bersilat mungkin biasa digunakan, tetapi kata
bergolf, beterjun, bertenis, dan berboling bukan kata yang lazim. Oleh sebab itu,
munculnya kata:
Peski
Peselancar
Pegolf
Pada dasarnya tidak dibentuk dari:
Berski (yang baku bermain ski)
Berselancar (yang baku bermain selancar)
Bergolf (yang baku bermain golf)

o. Bentuk Jamak dalam Bahasa Indonesia


Dalam pemakaian sehari-hari kadang-kadang orang salah menggunakan bentuk
jamak dalam bahasa Indonesia sehingga terjadi bentuk yang rancu atau kacau. Bentuk
jamak dalam bahasa Indonesia dilakukan dengan cara sebagai berikut:
1) Bentuk jamak dengan melakukan pengulangan kata yang bersangkutan seperti:
Kuda-kuda
Meja-meja, dan
Buku-buku
2) Bentuk jamak dengan menambah kata bilangan seperti:
Beberapa meja,
Sekalian tamu,
Dua tempat, dan
3) Bentuk jamak dengan menambah kata bantu jamak seperti para tamu.
4) Bentuk jamak dengan menggunakan kata ganti orang seperti:
Mereka, kita, dan
Kami kalian.
Dalam pemakaian kata sehari-hari orang cenderung memilih bentuk jamak asing
dalam menyatakan jamak dalam bahasa Indonesia. Di bawah ini beberapa bentuk jamak
dan bentuk tunggal dari bahasa asing:
Bentuk tunggal bentuk jamak
Datum data
Alumnus alumni
Dalam bahasa Indonesia bentuk datum dan data yang dianggap baku ialah data
yang dipakai sebagai bentuk tunggal. Bentuk alumnus dan alumni yang dianggap baku
ialah bentuk alumni yang dipakai sebagai bentuk tunggal. Bentuk alim dan ulama kedua-
duanya dianggap baku yang dipakai masing-masing sebagai bentuk tunggal. Oleh sebab
itu, tidak salah kalau ada bentuk:
Beberapa data,
Tiga alumni, dan seterusnya.

9.8 Ungkapan Idiomatik


Ungkapan idiomatik adalah konstruksi yang khas pada suatu bahasa yang salah
satu unsurnya tidak dapat dihilangkan atau diganti. Ungkapan idiomatik adalah kata-kata
yang mempunyai sifat idiom yang tidak terkena kaidah ekonomi bahasa. Ungkapan yang
bersifat idiomatik terdiri atas dua atau tiga kata yang dapat memperkuat diksi di dalam
tulisan. Beberapa contoh pemakaian ungkapan idiomatik adalah sebagai berikut:
- Menteri Dalam Negeri bertemu Presiden Gus Dur. (salah)
- Menteri Dalam Negeri bertemu dengan Presiden Gus Dur. (Benar)
Di samping itu, ada beberapa kata yang berbentuk seperti itu:
Sehubungan dengan
Berhubungan dengan
Sesuai dengan
Bertepatan dengan
Sejalan dengan
Ungkapan idiomatik lain yang perlu diperhatikan ialah:
Salah Benar
Terdiri terdiri atas/dari
Terjadi atas terjadi dari
Disebabkan karena disebabkan oleh
Membicarakan tentang berbicara tentang
Tergantung kepada bergantung pada
Menemui kesalahan menemukan kesalahan

BAB XI
PENERAPAN KAIDAH EJAAN

10.1 Pengertian Ejaan


Ejaan adalah keseluruhan peraturan bagaimana melambangkan bunyi ujaran dan
bagaimana antar hubungan antara masing-masing itu (pemisahan dan penggabungan
tanda baca).
10.2 Dari Ejaan van Ophuijsen Hingga EYD
10.2.1 Ejaan van Ophuijsen
Pada tahun 1901 ditetapkan ejaan bahasa Melayu dengan huruf Latin yang disebut
Ejaan van Ophuijsen. Van Ophuijsen merancang ejaan itu yang dibantu oleh Tengku
Nawawi, Soetan Ma’moer, dan Moehammad Taib Soetan Ibrahim. Hal-hal yang
menonjol dalam ejaan van Ophuijsen adalah sebagai berikut:
a. Huruf j untuk menuliskan kata-kata jang, pajah, sajang.
b. Huruf oe untuk menuliskan kata-kata goeroe, itoe, oemoer.
c. Tanda diakritik, seperti koma ain dan tanda trema, untuk menuliskan kata-kata
ma’moer, ta’, pa’, ma’lumat.

10.2.2 Ejaan Soewandi


Pada tanggal 19 Maret 1947 ejaan Soewandi diresmikan untuk menggantikan
ejaan van Ophuijsen. Ejaan baru itu oleh masyarakat diberi julukan ejaan Republik. Hal-
hal yang perlu diketahui sehubungan dengan pergantian ejaan itu adalah sebagai berikut:
a. Huruf oe diganti dengan u, seperti pada guru, itu, umur.
b. Bunyi hamzah dan bunyi sentak dituliskan dengan k, seperti pada kata-kata tak,
pak, maklum, rakjat.
c. Kata ulang boleh ditulis dengan angka 2 seperti anak2, berdjalan2, ke-barat2-an.
d. Awalan di- dan kata depan di kedua-duanya ditulis serangkai dengan kata yang
mengikutinya, seperti kata depan di pada dirumah, dikebun, disamakan dengan
imbuhan di- pada ditulis, dikarang.
e. - dj=djalan, djauh - sj=isjarat, masjarakat

- tj=tjukup, tjutji - j=pajung, laju


- nj=njonja, bunji - ch=tarich, achir
10.2.3 Ejaan Melindo
Pada akhir 1959 sidang perutusan Indonesia dan Melayu (Slametmuljana-Syeh
yang kemudian dikenal dengan nama Ejaan Melindo (Melayu-Indonesia). Perkembangan
politik dan ekonomi selama tahun-tahun berikutnya mengurungkan peresmian ejaan ini.

10.2.4 Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan (EYD)


Pada tanggal 16 Agustus 1972 Presiden Republik Indonesia meresmikan
pemakaian Ejaan Bahasa Indonsia. Peresmian ejaan baru itu berdasarkan Keputusan
Presiden No. 57 Tahun 1972. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan menyebarkan
buku kecil yang berjudul Pedoman Ejaan bahasa Indonesia yang Disempurnakan,
sebagai patokan pemakaian ejaan itu. Karena penuntun itu perlu dilengkapi, Panitia
Pengembangan Bahasa Indonesia, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, yang
dibentuk oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya tanggal 12
Oktober 1972, No. 156/P/1972 (Amran Halim, Ketua) menyusun buku Pedoman Umum
Ejaan BahasaIndonesia yang Disempurnakan yang berupa pemaparan kaidah ejaan yang
lebih luas. Setelah itu, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dengan surat putusannya No.
0196/1975 memberlakukan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang
Disempurnakan dan Pedoman Umum Pembentukan Istilah.
Pada tahun 1987 kedua pedoman tersebut direvisi. Edisi revisi dikuatkan dengan
surat Putusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0543a/U/1987, tanggal 9
September 1987. Beberapa hal yang perlu dikemukakan sehubungan dengan Ejaan
Bahasa Indonesia yang disempurnakan adalah sebagai berikut:
1) Perubahan Huruf
Ejaan Soewandi Ejaan yang Disempurnakan
- dj=djalan, djauh - j=jalan, jauh
- j=pajung, laju - y=payung, layu
- nj=njonja, bunji - ny=nyonya, bunyi
- sj=isjarat, masjarakat - sy=isyarat, masyarakat
- tj=tjukup, tjutji - c=cukup, cuci
- ch=tarich, achir - kh=tarikh, akhir
2) Huruf-huruf di bawah ini yang sebelumnya sudah terdapat dalam Ejaan Soewandi
sebagai unsur pinjaman abjad asing, diresmikan pemakaiannya. Contoh:
- f=maaf, fakir
- v=valuta, universitas
- z=zeni, lezat
3) Huruf-huruf q dan x yang lazim digunakan dalam ilmu eksakta tetap dipakai. Contoh:
- A:b=p:q
- Sinar-X
4) Penulisan di- atau ke- sebagai awalan dan di atau ke sebagai kata depan dibedakan,
yaitu di- atau ke- sebagai awalan ditulis serangkai dengan kata yang mengikutinya,
sedangkan di- atau ke- sebagai kata depan ditulis terpisah dengan kata yang
mengikutinya. Contoh:
di- (awalan) di (kata depan)
- ditulis - di kampus
- dibakar - di rumah
- dipikirkan - di sini
ke- (awalan) ke (kata depan)
- ketua - ke kampus
- kekasih - ke luar negeri
- kehendak - ke atas
5) Kata ulang ditulis penuh dengan huruf, tidak boleh digunakan angka 2. Contoh:
- anak-anak
- berjalan-jalan
Ejaan ini berbicara tentang (1) pemakaian huruf, (2) penulisan huruf, (3)
penulisan kata, (4) penulisan unsur-unsur serapan, (5) pemakaian tanda baca.

10.2.5 Pemakaian Huruf


Dalam hubungan dengan pemakaian huruf, berikut ini disajikan pembahasan; (1)
nama-nama huruf, (2) lafal singkatan dan kata, (3) persukuan, dan (4) penulisan nama
diri.
1. Nama-Nama Huruf
Dalam buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
disebut bahwa abjad yang digunakan dalam ejaan bahasa Indonesia terdiri atas huruf-
huruf yang berikut. Nama tiap-tiap huruf disertakan sesudahnya.
Huruf Nama Huruf Nama
A a a E e e
B b be – bukan bi F f ef
C c ce – bukan si atau se G g ge – bukan ji
D d de H h ha
I i i R r er
J j j S s es
K k ka T t te – bukan ti
L l el U u u – bukan yu
M m em V v fe – bukan fi
N n en W w we
O o o X x eks – bukan ek
P p pe Y y ye – bukan ey
Q q ki – bukan kyu Z z zet
Disamping itu, dalam bahasa Indonesia terdapat pula diftong, yang biasa dieja au,
ai dan oi yang dilafalkan sebagai vokal yang diikuti oleh bunyi konsonan luncuran w atau
y. Dalam bahasa Indonesia terdapat juga konsonan yang tertulis atas gabungan huruf
seperti kh, ng, ny, dan sy.
Dalam hal-hal khusus terdapat juga gabungan huruf nk, misalnya dalam kata bank
dan sanksi, sedangkan pemakaian gabungan huruf dl, dh, th, dan ts, seperti terdapat
dalam kata hadlir, dharma, bathin, dan hatsil tidak digunakan dalam bahasa Indonesia.
Tetapi sekarang kata-kata tersebut menjadi hadir, darma, batin, dan hasil.
Catatan:
Huruf e dapat pula dilafalkan menjadi e keras, seperti terdapat dalam kata-kata
lele, beres, materi, dan kaget, dan dapat pula dilafalkan menjadi e lemah atau e pepet,
seperti terdapat dalam kata-kata beras, segan, kenal, benar, dan cepat.

2. Lafal Singkatan dan Kata


Kadang-kadang kita merasa ragu-ragu bagaimana melafalkan suatu singkatan atau
suatu kata dalam bahasa Indonesia. Keraguan itu mungkin disebabkan oleh pengaruh
lafal bahasa daerah atau lafal bahasa asing. Padahal, semua singkatan atau kata yang
terdapat dalam bahasa Indonesia termasuk singkatan yang berasal dari bahasa asing harus
dilafalkan secara lafal Indonesia.
Singkatan/Kata Lafal Tidak Baku Lafal Baku
AC a se A ce
BBC Be be se, bi bi si be be ce
LNG el en je/el en ji el en ge
IUD Ay yu di I u de
TVRI ti vi er i te ve er i
MTQ Em te kyu em te ki
IGGI Ay ji ji ay I ge ge i
Makin mangkin makin
Memuaskan memuasken memuaskan
Pendidikan pendidi’an pendidikan
Memiliki memili’i memiliki
Bahu-membahu bau-membau bahu-membahu
Pascasarjana Paskasarjana Pascasarjana
Logis Lohis logis
Sosiologi Sosiologi sosiologi
Ke mana Ke mana? ke mana
Beberapa Be’be’ rapa beberapa
Ada pendapat yang menyatakan bahwa singkatan yang berasal dari Inggris,
misalnya AC, BC, dan IGGI harus dilafalkan seperti bahasa aslinya. Kalau begitu, kita
akan mengalami kesulitan melafalkan singkatan yang berasal dari bahasa Rusia, Bahasa
jerman, ataupun bahasa Aztec, karena nama-nama huruf dan dalam bahasa tersebut sudah
pasti berbeda dengan nama-nama huruf dalam bahasa Indonesia. Akronim bahasa asing
(singkatan yang dieja seperti kata) yang bersifat internasional mempunyai kaidah
tersendiri, yakni tidak dilafalkan seperti lafal Indonesia, tetapi singkatan itu tetap
dilafalkan seperti lafal aslinya. Contoh:
Kata Lafal Tidak Baku Lafal Baku
Unesco [u nes tjo] [yu nes ko]
Unicef [u uni tjef] [yu ni sef]
Sea Games [se a ga mes] [si ge ims]

3. Persukuan
Persukuan ini diperlukan, terutama pada saat kita harus memenggal sebuah kata
dalam tulisan jika terjadi pergantian baris. Apabila memenggal atau menyukukan sebuah
kata, kita harus membubuhkan tanda hubung (-) di antara suku-suku kata itu tanpa
jarak/spasi. Pada pergantian baris, tanda hubung harus dibubuhkan di bawah ujung baris
adalah hal yang keliru. Perlu juga diketahui bahwa suku kata atau imbuhan yang terdiri
atas sebuah huruf tidak dipenggal agar tidak terdapat satu huruf pada ujung baris atau
pada pangkal baris. Di samping itu, perlu pula diketahui bahwa sebuah persukuan
ditandai oleh sebuah vokal. Beberapa kaidah persukuan yang perlu kita perhatikan
dengan cermat adalah sebagai berikut:
a) Penyukuan Dua Vokal yang Berurutan di Tengah Kata
Kalau di tengah kata ada dua vokal yang berurutan, pemisahan tersebut dilakukan
di antara kedua vokal tersebut. Contoh:
No. Kata Bentuk Tidak Baku Bentuk Baku
1. Lain Lai-n La-in
2. Saat Saa-t Sa-at
3. Kait Kai-t Ka-it
4. Main Mai-n Ma-in
5. Daun Dau-n Da-un

b) Penyukuan Dua Vokal Mengapit Konsonan di Tengah Kata


Kalau ditengah kata ada konsonan di antara dua vokal, pemisahan tersebut
dilakukan sebelum konsonan itu. Contoh:
No. Kata Bentuk Tidak Baku Bentuk Baku
1. Seret Ser-et Se-ret
2. Masam Mas-am Ma-sam
3. Sepatu Sep-atu Se-patu
4. Bahasa Bah-asa Ba-hasa
Selain itu, karena ng, ny, sy, dan kh melambangkan satu konsonan, gabungan
huruf itu tidak pernah diceraikan sehingga pemisahan suku kata terdapat sebelum atau
sesudah pasangan huruf itu. Contoh:
No. Kata Bentuk Tidak Baku Bentuk Baku
1. Langit Lan-git La-ngit
2. Masyarakat Mas-yarakat Ma-syarakat
3. Mutakhir Mutak-hir Muta-khir
4. Akhirat Ak-hirat Akhi-rat

c) Penyukuan Dua Konsonan Berurutan di Tengah Kata


Kalau di tengah kata ada dua konsonan yang berurutan, pemisahan tersebut
terdapat di antara kedua konsonan itu. Contoh:
No. Kata Bentuk Tidak Baku Bentuk Baku
1. Maksud Ma-ksud Mak-sud
2. Langsung Langs-ung Lang-sung
3. Caplok Ca-plok Cap-lok
4. Merdeka Merd-eka Mer-deka

d) Penyukuan Tiga Konsonan atau Lebih di Tengah Kata.


Kalau ditengah kata ada tiga konsonan atau lebih, pemisahan tersebut di antara
konsonan yang pertama (termasuk ng, ny, sy, dan kh) dengan yang kedua. Contoh:
No. Kata Bentuk Tidak Baku Bentuk Baku
1. Abstrak Abs-trak Ab-strak
2. Konstruksi Kons-truksi Kon-struksi
3. Instansi Ins-tansi In-stansi
4. Bangkrut Bangk-rut Bang-krut
Akan tetapi, untuk kata-kata yang berasal dari dua unsur yang masing-masing
mempunyai arti, cara penyukuan melalui dua tahap. Pertama, kata tersebut dipisahkan
unsur-unsurnya. Kedua, unsurnya yang telah dipisahkan itu dipenggal suku-suku katanya.

e) Penyukuan Kata yang Berimbuhan dan Berpartikel


Imbuhan (awalan dan akhiran), termasuk yang mengalami perubahan bentuk, dan
partikel yang biasanya ditulis serangkai dengan kata dasarnya, dalam penyukuan kata
dipisahkan sebagai satu kesatuan. Contoh:
No. Kata Bentuk Tidak Baku Bentuk Baku
1. Santapan Santa-pan Santap-an
2. Mengail Meng-ail Me-ngail
3. Mengakui Me-ngakui Meng-akui
4. Belajar Be-lajar Bel-ajar
f) Penyukuan Nama Orang
Perlu dikemukakan di sini bahwa nama orang tidak dipenggal atas suku-sukunya
dalam pergantian baris. Memisahkan nama orang itu atas unsur nama pertama dan unsur
nama kedua dan seterusnya. Contoh:
No. Nama Bentuk Tidak Baku Bentuk Baku
1. Yuyun Nailufar Yuyun Nai-Lufar Yuyun Nailufar
2. Isa ansori Isa An-Sori Isa Ansori

4. Penulisan Nama Diri


Penulisan nama diri, nama sungai, gunung, jalan dan sebagainya disesuaikan
dengan kaidah yang berlaku. Penulisan nama orang, badan hukum, dan nama diri lain
yang sudah lazim, disesuaikan dengan Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan,
kecuali apabila ada pertimbangan khusus. Pertimbangan khusus itu menyangkut segi
adat, hukum, dan kesejarahan. Contoh:
- Universitas Padjadjaran
- Soepomo Poedjasoedarmo
- Imam Chourmain
- Dji Sam Soe

10.2.6 Penulisan Huruf


Dalam Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan, penulisan huruf
menyangkut dua masalah, yaitu; (1) penulisan huruf besar atau huruf kapital dan (2)
penulisan huruf miring.
1) Penulisan Huruf Besar atau Huruf Kapital
Penulisan huruf kapital yang kita jumpai dalam tulisan-tulisan resmi kadang-
kadang menyimpang dari kaidah-kaidah yang berlaku. Kaidah penulisan huruf kapital itu
adalah sebagai berikut:
a) Huruf besar atau kapital dipakai sebagai huruf pertama kalimat berupa petikan
langsung. Contoh:
1. Dia bertanya, “Kapan kita pulang?”
2. Ketua DEN, Emil Salim mengatakan, “Perekonomian dunia kini belum
sepenuhnya lepas dari cengkeraman resesi dunia.”
3. Presiden RI, Gus Dur Mengatakan, ”Yang diperlukan oleh bangsa kita saat ini
adalah rekonsiliasi nasional.”
Catatan: Tanda baca sebelum tanda petik awal adalah tanda koma (,), bukan titik dua (:).
Tanda baca akhir (tanda titik, tanda seru, dan tanda tanya) dibubuhkan sebelum tanda
petik penutupan.
b) Huruf besar atau kapital dipakai sebagai huruf pertama dalam ungkapan yang
berhubungan dengan hal-hal keagamaan, kitab suci, dan nama Tuhan, termasuk
kata ganti-Nya. Huruf pertama pada kata ganti ku, mu, dan nya, sebagai kata
ganti Tuhan, harus dituliskan dengan huruf kapital dirangkaikan dengan tanda
hubung (-). Hal-hal keagamaan itu hanya terbatas pada nama diri, sedangkan kata-
kata yang menunjukkan nama jenis, seperti jin, iblis, surga, malaikat, mahsyar,
zakat, dan puasa, meskipun bertalian dengan keagamaan tidak diawali dengan
huruf kapital. Contoh:
1) Limpahkanlah rahmat-Mu, ya Allah.
2) Dalam Al-Quran terdapat ayat-ayat yang menganjurkan agar manusia
berakhlak terpuji.
3) Tuhan akan menunjukkan jalan yang benar kepada hamba-Nya.
Kata ganti keagamaan lainnya yang harus ditulis dengan huruf kapital adalah
nama agama dan kitab suci, seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha, Al-Quran, Injil dan
Weda.
c) Huruf besar atau kapital dipakai sebagai huruf pertama nama gelar (kehormatan,
keturunan, agama), jabatan dan pangkat yang diikuti nama orang atau wilayah.
Contoh:
1) Pergerakan itu dipimpin oleh Haji Agus Salim.
2) Pemerintah memberikan anugerah kepada Mahaputra Yamin.
Jika tidak diikuti oleh nama orang atau nama wilayah, nama gelar, jabatan, dan
pangkat itu harus dituliskan dengan huruf kecil. Contoh:
1) Calon jemaah haji DKI tahun ini berjumlah 525 orang.
2) Seorang presiden akan diperhatikan oleh rakyatnya.
Akan tetapi, jika mengacu kepada orang tertentu, nama gelar, jabatan, dan
pangkat itu dituliskan dengan huruf kapital. Contoh:
1) Pagi ini Menteri Perindustrian dan Perdagangan Republik Indonesia terbang ke Nusa
Penida. Di Nusa Penida Menteri meresmikan sebuah kolam renang. Pada sore hari
beliau kembali ke Jakarta.
2) Dalam Seminar itu Presiden K.H. Abdurrahman Wahid memberikan sambutan.
Dalam sambutannya Presiden mengharapkan agar para ilmuwan lebih ulet
mengembangkan ilmunya untuk kepentingan bangsa dan negara.
Catatan: Kita harus menghilangkan perasaan ingin memberikan penghargaan kepada
kata-kata yang dianggap tinggi jika kata-kata itu hanya menunjukkan suatu jenis, bukan
suatu nama. Biasanya penghargaan itu dilakukan dengan cara menuliskan huruf kapital
pada huruf-huruf pertamanya. Kebiasaan ini merupakan kebiasaan yang salah karena
menyalahi kaidah ejaan yang berlaku. Kata-kata yang biasa ingin kita hargai dengan
menuliskan huruf pertamanya kapital, antara lain, haji, presiden, nasional, perguruan
tinggi, internasional, panglima, dan jenderal. Padahal, kata-kata tersebut tidak perlu
ditulis dengan kapital.
d) Kata-kata van, den, da, de, di, bin, dan ibnu yang digunakan sebagai nama
orang tetap ditulis dengan huruf kecil, kecuali jika kata-kata itu digunakan sebagai
nama pertama atau terletak pada awal kalimat. Contoh:
1) Tanam Paksa di Indonesia diselenggarakan oleh van den Bosch.
2) Harta yang melimpah ibnu Khair membuatnya lupa diri.
e) Huruf besar atau huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama bangsa, suku,
dan bahasa. Contoh:
1) Kita bangsa Indonesia, harus bertekad untuk menyukseskan pembangunan.
2) Yaser Arafat, Presiden Palestina, hari ini tiba di Jakarta.
3) Kehidupan suku Piliang sebagian bertani.
Sesuai dengan contoh di atas, kata suku, bangsa, dan bahasa tetap dituliskan
dengan huruf awal kecil, sedangkan yang harus dituliskan dengan huruf kapital adalah
nama suku, nama bangsa atau nama bahasanya, seperti Sunda, Indonesia, Palestina dan
Piliang. Akan tetapi, jika nama bangsa, suku dan bahasa itu sudah diberi awalan dan
akhiran sekaligus, kata-kata itu harus ditulis dengan huruf kecil. Contoh:
1) Kita harus berusaha mengindonesiakan kata-kata asing.
2) Kita tidak perlu kebelanda-belandaan karena sekarang sudah merdeka
3) Baru saja ia tinggal di Amerika satu tahun, ia sudah keinggris-inggrisan.
Demikian juga, kalau tidak membawa nama suku, nama itu harus dituliskan
dengan huruf kecil. Contoh:
- petai cina - labu siam
- jeruk bali - sarung samarinda
- dodol garut - gula jawa
- duku palembang - kertas manila
- pisang ambon - kunci inggris
f) Huruf besar atau huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama tahun, bulan,
hari, hari raya, dan peristiwa sejarah. Contoh:
1) Biasanya umat Islam seluruh dunia merasa sangat berbahagia pada hari
Lebaran.
2) Tahun 1998 Masehi adalah tahun yang suram bagi perekonomian kita.
g) Huruf besar atau huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama khas geografi.
Contoh:
1) Tahun 1985 Provinsi Sumatera Barat mendapat anugerah Parasamya
Purnakarya Nugraha.
2) Di Teluk Jakarta telah dibangun suatu proyek perikanan laut.
Akan tetapi, jika tidak menunjukkan nama khas geografi, kata-kata selat, teluk,
terusan, gunung, sungai, dan bukit ditulis dengan huruf kecil. Contoh:
1) Nelayan itu berlayar sampai ke teluk.
2) Kita harus berusaha agar sungai di daerah ini tidak tercemar.
h) Huruf besar atau huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama nama resmi badan,
lembaga pemerintah dan ketatanegaraan serta nama dokumentasi resmi. Contoh:
1) Presiden dan Wakil Presiden Republik Indonesia dipilih oleh Majelis
Permusyawaratan Rakyat.
2) Semua angota PBB harus mematuhi isi Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Akan tetapi, jika tidak menunjukkan nama resmi, kata-kata itu ditulis dengan
huruf kecil. Contoh:
1) Menurut undang-undang dasar kita, semua warga negara mempunyai
kedudukan yang sama.
2) Pemerintah republik itu telah menyelenggarakan pemilihan umum sebanyak
empat kali.
i) Huruf besar atau huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama semua kata di
dalam nama buku, majalah, surat kabar, dan judul karangan, kecuali kata partikel
seperti di, ke, dari, untuk, dan yang, yang terletak pada posisi tengah dan akhir
kalimat. Contoh:
1) Idrus mengarang buku Dari Ave Maria ke Jalan Lain ke Roma.
2) Buku Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia yang Disempurnakan
diterbitkan oleh Balai Pustaka.
3) Untuk mengetahui seluk-beluk pabrik kertas, Saudara dapat membaca buku
Nusa dan Bangsa yang Membangun.
j) Huruf besar atau huruf kapital dipakai dalam singkatan nama gelar dan sapaan,
kecuali gelar dokter. Contoh:
1) Hadi Nurzaman, M.A. diangkat menjadi pimpinan kegiatan itu.
2) Proyek itu dipimpin oleh Dra. Jasika Murni.
3) Penyakit ayah saya sudah dua kali diperiksa oleh dr. Siswoyo.
Catatan: Ada perbedaan antara gelar Dr. dan dr. (doktor dituliskan dengan D kapital dan r
kecil, jadi Dr. Sedangkan dokter, yang memeriksa penyakit dan mengobati orang sakit,
singkatannya ditulis dengan d dan r kecil jadi dr.).
k) Huruf besar atau huruf kapital dipakai sebagai huruf pertama kata penunjuk
hubungan kekerabatan, seperti bapak, ibu, saudara, kakak, adik, dan paman,
yang dipakai sebagai kata ganti atau sapaan. Singkatan pak, kak, dik, dan
sebagainya hanya digunakan sebagai sapaan atau jika diikuti oleh nama
orang/nama jabatan. Kata Anda juga diawali huruf kapital. Contoh:
1) Surat Saudara sudah saya terima.
2) Ibunya menjawab pertanyaan Samsi, “Pagi tadi Ibu menjemput pamanmu di
pelabuhan.”
3) Kepala sekolah berkata kepada Saya, “Tadi Saya menerima berita bahwa Ibu
Sri sakit keras di Bandung.”
Akan tetapi, jika tidak dipakai sebagai kata ganti atau sapaan, kata penunjuk
hubungan kekerabatan itu ditulis dengan huruf kecil. Contoh:
1) Kita harus menghormati ibu dan bapak kita.
2) Semua kakak dan adik saya sudah berkeluarga.
3) Semua camat dalam kabupaten itu hadir.

2) Penulisan Huruf Miring.


a. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menuliskan nama buku, majalah, dan
surat kabar yang dikutip dalam karangan. Dalam tulisan tangan atau ketikan, kata
yang harus ditulis dengan huruf miring ditandai dengan garis bawah satu. Contoh:
- Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa menerbitkan majalah Bahasa dan
Kesusastraan.
- Buku Negarakertagama dikarang oleh Mpu Prapanca.
- Berita itu sudah saya baca dalam surat kabar Angkatan Bersenjata dan
Republika.
- Ibu rumah tangga menyenangi majalah Femina.
Catatan: Garis bawah satu sebagai tanda kata yang dicetak miring, harus terputus-putus
kata demi kata.
b. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menegaskan atau mengkhususkan
huruf, bagian kata, atau kelompok kata. Contoh:
1) Kata daripada digunakan secara tepat dalam kalimat penyelenggaraan
Pemilu 1999 lebih baik daripada pemilu-pemilu sebelumnya.
2) Buatlah kalimat dengan kata dukacita.
c. Huruf miring dalam cetakan dipakai untuk menuliskan kata nama-nama ilmiah
atau ungkapan bahasa asing atau bahasa daerah, kecuali yang disesuaikan
ejaannya. Contoh:
1) Apakah tidak sebaiknya kita menggunakan kata penataran untuk kata
upgrading?
2) Nama ilmiah buah manggis ialah carcinia mangestana.
Catatan: Sebenarnya, banyak penulisan huruf miring yang lain ataupun penandaan suatu
maksud dengan memakai bentuk huruf tertentu (ditebalkan dan sebagainya). Akan tetapi,
soal itu lebih menyangkut masalah tipografi pencetakan.
10.2.7 Penulisan Kata
a. Kita mengenal bentuk kata dasar, kata turunan atau kata berimbuhan, kata ulang, dan
gabungan kata. Kata dasar ditulis sebagai satu-satunya yang berdiri sendiri,
sedangkan pada kata turunan, imbuhan (awalan, sisipan atau akhiran) dituliskan
serangkai dengan kata dasarnya. Kalau gabungan kata, hanya mendapat awalan atau
akhiran, awalan atau akhiran itu dituliskan serangkai dengan kata yang bersangkutan
saja. Contoh:
Bentuk tidak Baku - Bentuk Baku
- di didik - dididik
- di suruh - disuruh
- di lebur - dilebur
- ke sampingkan - kesampingkan
- berterimakasih - berterima kasih
- beritahukan - beri tahukan
- lipatgandakan - lipat gandakan
- sebarluaskan - sebar luaskan
Kalau digabungkan kata sekaligus mendapat awalan dan akhiran, bentuk kata
turunannya itu harus dituliskan serangkai. Contoh:
Bentuk tidak Baku Bentuk Baku
- menghancur leburkan - menghancurleburkan
- pemberi tahuan - pemberitahuan
- mempertanggung jawabkan - mempertanggungjawabkan
- kesimpang siuran - kesimpangsiuran.
b. Kata ulang ditulis secara lengkap dengan menggunakan tanda hubung. Pemakaian
angka dua untuk menyatakan bentuk perulangan, hendaknya dibatasi pada tulisan
cepat atau pencatatan saja. Pada tulisan yang memerlukan keresmian, kata ulang
ditulis secara lengkap. Kata ulang, tidak hanya berupa pengulangan kata dasar dan
sebagian lagi kata turunan, mungkin pula pengulangan kata itu sekaligus mendapat
awalan dan akhiran. Kemungkinan yang lain, salah satu bagianya adalah bentuk yang
dianggap berasal dari kata dasar yang sama dengan ubahan bunyi. Mungkin pula,
bagian itu sudah agak jauh berbeda dari bentuk dasar (bentuk asal). Namun, apabila
ditinjau dari maknanya, keseluruhan itu menyatakan perulangan. Contoh:
Bentuk Tidak Baku Bentuk Baku
- jalan2 - jalan-jalan
- di-besar2-kan - dibesar-besarkan
- me-nulis2 - menulis-nulis
- gerak gerik - gerak-gerik
c. Gabungan kata termasuk yang lazim disebut kata majemuk bagian-bagiannya
dituliskan terpisah.
Bentuk tidak Baku Bentuk Baku
- dayaserap - daya serap
- tatabahasa - tata bahasa
- kerjasama - kerja sama
- dutabesar - duta besar
- orangtua - orang tua
Gabungan kata yang sudah dianggap sebagai satu kata dituliskan serangkai. Contoh:
Bentuk tidak Baku Bentuk Baku
- mana kala - manakala
- sekali gus - sekaligus
- bila mana - bilamana
- dari pada - daripada
- apabila - apabila
Selain itu, kalau salah satu unsurnya tidak dapat berdiri sendiri sebagai satu kata yang
mengandung arti penuh, hanya muncul dalam kombinasi, unsur itu harus dituliskan
serangkai dengan unsur lainnya. Contoh:
Bentuk tidak Baku Bentuk Baku
- a moral - amoral
- antar warga - antarwarga
- catur tunggal - caturtungal
- dasa darma - dasadarma
- dwi warna - dwiwarna
- semi profesional - semiprofesional
- semi final - semifinal
Catatan:
1) Bila bentuk tersebut diikuti oleh kata yang huruf awalnya huruf besar, di antara
kedua unsur itu dituliskan tanda hubung (-). Contoh:
- non-RRC
- non-Indonesia
- pan-Islamisme
- pan-Afrikanisme
2) Unsur maha dan peri dalam gabungan kata ditulis serangkai dengan unsur
berikutnya, yang berupa kata dasar. Akan tetapi, jika diikuti kata berimbuhan,
kata maha dan peri itu ditulis terpisah. Contoh:
(1) Semoga Yang Mahakuasa merahmati kita semua
(2) Jika Tuhan Yang Maha Esa mengizinkan, saya akan ujian sarjana bulan
depan.
(3) Kita harus memperhatikan perilaku yang baik.
(4) Marilah kita berdoa kepada Tuhan Yang Maha Penyayang.
d. Kata ganti ku dan kau – yang ada pertaliannya dengan aku dan engkau – ditulis
serangkai dengan kata yang mengikutinya, kata ganti ku, mu, dan nya – yang ada
pertaliannya dengan aku, kamu, dan dia- ditulis serangkai dengan yang
mendahuluinya. Contoh:
1) Pikiranmu dan kata-katamu berguna untuk memajukan negeri ini.
2) Kalau mau, boleh kuambil buku itu.
3) Penemunya dalam bidang mikrobiologi sangat mengejutkan dunia ilmu dan
teknologi.
4) Apa yang kulakukan boleh kau kritik.
e. Kata depan di, ke dan dari terpisah dari kata yang mengikutinya, kecuali jika berupa
gabungan kata yang sudah dianggap padu benar, seperi kepada dan daripada.
Contoh:
1) Saya pergi ke beberapa daerah untuk mencarinya, tetapi belum berhasil.
2) Ketika truk Belanda sudah bergerak ke timur, gerilyawan yang bersembunyi di
bawah kaki bukit lari ke arah barat.
3) Semoga perekonomian kita pada masa yang akan datang lebih cerah daripada
keadaan pada tahun-tahun yang lalu.
f. Partikel pun dipisahkan dari kata yang mendahuluinya karena pun sudah hampin
seperti kata lepas. Contoh:
1) Ia sudah sering ke desa ini, tetapi sekali pun ia belum pernah singgah ke rumah
saya.
2) Jika saya pergi, dia pun ingin pergi.
3) Dengan devaluasi pun ekonomi Indonesia belum tentu tertolong.
Akan tetapi, kelompok kata yang berikut, yang sudah dianggap padu benar, ditulis
serangkai jumlah kata seperti itu terbatas, hanya ada dua belas kata, yaitu adapun,
andaipun, ataupun, bagaimanapun, biarpun, kalaupun, kendatipun, maupun,
meskipun, sekalipun, (yang berarti walaupun) sungguhpun, dan walaupun. Contoh:
1) Meskipun ia sering ke Jakarta, satu kali pun ia belum pernah ke Taman Mini
Indonesia Indah.
2) Walaupun tidak mempunyai uang, ia tetap gembira.
3) Biarpun banyak rintangan, ia berhasil menggondol gelar kesarjanaan.
g. Partikel per yang berarti ‘mulai’, ‘demi’, ‘tiap’ ditulis terpisah dari bagian-bagian
kalimat yang mendapinginya. Contoh:
1) Harga kain ini Rp. 10.000.000 per meter.
2) Saya diangkat menjadi pegawai negeri per Oktober 1974.
3) Semua orang yang diduga mengetahui peristiwa itu dipanggil satu per satu.
h. Angka dipakai untuk menyatakan lambang bilangan atau nomor. Di dalam tulisan
lazim digunakan angka Arab atau angka Romawi. Angka digunakan untuk
menyatakan (a) ukuran panjang, berat, dan isi, (b) Satuan waktu, dan (c) nilai uang.
Selain itu, angka lazim juga dipakai untuk menandai nomor jalan, rumah, apartemen,
atau kamar pada alamat dan digunakan juga untuk menomori karangan atau bagian-
bagiannya. Contoh: :
- Hotel Sahid Jaya, Kamar 124 5 cm
- Bab XV, Pasal 26 10 Kg
- Surah Ali Imran, Ayat 12 15 Jam
- Tata Bahasa Indonesia I Rp. 1.000,00
i. Penulisan lambang bilangan dengan huruf dilakukan sebagai berikut, yaitu:
1) dua ratus tiga puluh lima (235)
2) seratus empat puluh delapan (148)
3) tiga ratus pertiga (3 2/3)
4) delapan tiga perlima (8 3/5)
j. Penulisan kata bilangan tingkat dapat dilakukan dengan tiga cara, yaitu:
1) Abad XX ini dikenal juga sebagai abad teknologi.
2) Abad ke-20 ini dikenal juga sebagai abad teknologi.
3) Abad kedua puluh ini dikenal juga sebagai abad teknologi.
4) Jutaan penonton televisi hanyut dalam emosi kegembiraan yang meluap setelah
Elly Pical memukul roboh penantangnya dari Korea Selaatan, Lee Dong Chun,
pada ronde ke-8.
Berdasarkan contoh di atas, penulisan bilangan tingkat seperti ke XX atau ke-XX,
20, dan ke dua puluh termasuk penulisan yang tidak baku (salah).
k. Penulisan kata bilangan yang mendapat akhiran –an mengikuti cara berikut ini:
1) Sutan Takdir Alisyahbana adalah pujangga tahun 30-an.
2) Bolehkan saya menukar uang dengan lembaran 1.000-an?
3) Angkatan Balai Pustaka sering disebut Angkatan Tahun 20-an.
4) Walaupun keluaran tahun 60-an, mesin mobil ini masih dalam kondisi baik.
l. Lambang bilangan yang dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata, ditulis dengan
huruf, kecuali jika beberapa lambang dipakai secara berurutan, seperti dalam
perincian atau pemaparan. Contoh:
1) Dia sudah memesan dua ratus bibit cengkeh.
2) Ada sekitar lima puluh calon mahasiswa yang tidak diterima di akademi itu.
3) Kendaran yang beroperasi di DKI Jakarta terdiri atas 1.000 bajaj, 500 bemo, 200
oplet, 100 metro mini, dan 50 bus kota.
4) Daerah khusus Ibu Kota Jakarta, tahun ini memeriksakan 125 perkara yang terdiri
atas 20 perkara pencurian, 43 perkarara tanah, dan 62 perkara kawin cerai.
m. Lambang bilangan pada awal kalimat ditulis dengan huruf. Jika perlu, susunan
kalimat diubah sehingga yang tidak dapat dinyatakan dengan satu atau dua kata, tidak
terdapat lagi pada awal kalimat. Kita sering melihat penulisan lambang bilangan yang
salah seperti di bawah ini:
1) 12 orang menderita luka berat dalam kecelakaan itu.
2) 150 orang tamu diundang oleh Panitia Reuni ITI Serpong.
3) 20 helai kemeja terjual pada hari itu.
4) 350 orang pegawai mendapat pengharagaan dari pemerintah.
Penulisan angka yang benar seperti perbaikan berikut ini:
1) Dua belas orang menderita luka berat dalam kecelakaan.
2) Sebanyak 150 orang tamu diundang oleh Panitia Reuni ITI Serpong.
3) Dua puluh helai kemeja terjual pada hari itu.
4) Sebanyak 350 orang pegawai mendapat pengharagaan dari pemerintah.
n. Kecuali di dalam dokumen resmi, seperti akta dan kuitansi, bilangan tidak perlu
ditulis dengan angka dan huruf sekaligus dalam teks.
Bentuk Tidak Baku
1) Jumlah pegawai di perusahaan itu 12 (dua belas) orang.
2) Di perpustakaan kami terdarpat 350 (Tiga ratus lima puluh) buah buku.
3) Sebanyak 150 (seratus lima puluh) orang peserta ikut dalam pertandingan itu.
Bentuk Baku
1) Jumlah pegawai di perusahaan itu dua belas orang.
2) Di perpustakaan kami terdapat 350 buah buku.
3) Sebanyak 150 orang peserta ikut dalam pertandingan.

10.2.8 Penulisan Unsur Serapan


Berdasarkan taraf integritasnya unsur pinjaman dalam bahasa Indonesia dapat
dibagi atas dua golongan besar. Pertama, unsur yang belum sepenuhnya terserap ke
dalma bahasa Indonesia, seperti reshuffle, shuttle cock, i’explotation de i’homme par
I’homme, unsur-unsur ini dipakai dlam konteks bahasa Indonesia, tetapi pengucapan
masih mengikuti cara asing. Kedua, unsur asing yang pengucapan dan penulisannya
disesuaikan dengan kaidah bahasa Indonesia diusahakan agar ejaan asing hanya diubah
seperlunya hingga bentuk Indonesianya masih dapat dibandingkan dengan bentuk
asalnya. Di samping itu, akhiran yang berasal dari bahasa asing diserap sebagai bagian
kata yang utuh. Kata seperti sandarisasi, implementasi, dan objektif diserap secara utuh
di samping kata standar, implemen, dan objek. Berikut ini didaftarkan sebagian kata
asing yang diserap ke dalam bahasa Indonesia, yang sering digunakan oleh pemakai
bahasa.
Kata Asing Penyerapan yang Salah Penyerapan yang Benar
risk mass Resiko sistim efektip
system media tehnik, tehnologi esselon
effectiv ambulan metoda harisma frekwensi
e ce praktek prosentase
technique, hypotesi stratosfir diskripsi kondite
techniek echelon s trotoir kwitansi kwalitas
method formil rasionil directur
charisma idial managemen
frequenc kordinasi survei
y karir
practical, practisch mass media ambulan
percentage hipotesa
stratosfeer
description
conduite
trotoir
kuitanti
e
qualiteit, quality
formeel, formal
rationeel, rational
directeur,
director ideal,
ideaal
management
coordination
survey
carier
R f frekuensi
i teknik, praktik
s teknolo persentase
i gi stratosfer
k eselon deskripsi
o m konduite
e trotoar
s t kuitansi
i o kualitas
s d formal
t e rasional
e direktur
m k ideal
a manajemen
e r koordinasi
f i survai
e s karier
k m media massa
t a ambulans
i hipotesis
analysi latex analisa pasen
s apoth aktip, aktifitas. solidariteit
patient eek komplek psikology effisien
activity, Febru presidentil kontingent taxi
activiteit ari latek apotik Pebruari
solidarity November Nopember
complex
psychology
efficient
presidential
contingent
taxi
a i tivitas
n e solidaritas
a n kompleks
l a psikologi
i k efisien
s t presidensial
i i kontingen
s f taksi
, lateks
p apotek
a a Februari
s k November

10.2.9 Pemakaian Tanda Baca


Pemakaian tanda baca dalam ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan
mencakup pengaturan tanda titik, tanda koma, tanda titik koma, tanda titik dua, tanda
hubung, tanda pisah, tanda elipsis, tanda tanya, tanda seru, tanda kurung, tanda kurung
siku, tanda petik, tanda petik tunggal, tanda ulang, tanda garis miring, dan penyingkat
(apostrof).
1. Tanda Titik
a. Tanda titik dipakai pada akhir singkatan nama orang. Contoh:
1) W.S. Rendra
2) Abdul Hadi W.M.
3) Ach. Sanusi
4) Hadi N.
b. Tanda titik dipakai pada singkatan gelar, jabatan, pangkat, dan sapaan.
Contoh:
1) Dr. (doktor).
2) dr. (dokter).
3) S.Ked. (Sarjana Kedokteran).
4) M.Hum. (Magister Humaniora).
5) Kol. (kolonel).
6) Sdr. (saudara).
7) Ny. (nyonya).
c. Tanda titik dipakai pada singkatan kata atau ungkapan yang sudah umum,
yang ditulis dengan huruf kecil. Singkatan yang terdiri atas dua huruf diberi
dua buah tanda titik, sedangkan singkatan yang terdiri atas tiga buah huruf
atau lebih hanya diberi satu buah tanda titik. Contoh:
Bentuk Tidak Baku Bentuk Baku
s/d (sampai dengan) s.d. (sampai dengan)
a/n (atas nama) a.n. (atas nama)
d/a (dengan alamat) d.a. (dengan alamat)
u/p (untuk perhatian) u.p. (untuk perhatian)
d.k.k. (dan kawan- dkk. (dan kawan-kawan)
kawan)
tsb. (tersebut)
t.s.b. (tersebut)
d. Tanda titik digunakan pada angka yang menyatakan jumlah untuk
memisahkan ribuan, jutaan, dan seterusnya. Contoh:
1) Tebal buku itu 1.150 halaman.
2) Minyak tanah sebanyak 2.500 liter tumpah.
3) Jarak dari desa ke kota itu 30.000 meter.
Akan tetapi, jika angka itu tidak menyatakan suatu jumlah, tanda titik tidak
digunakan. Contoh:
1) tahun 2000
2) halaman 1234
3) NIP 130519977
e. Tanda titik tidak digunakan pada singkatan yang terdiri atas huruf-huruf awal
kata atau suku kata dan pada singkatan yang dieja kata (akronim). Contoh:
1) DPR
2) SMAN XX
3) Sekjen Depdikbud
4) tilang
5) radar
f. Tanda titik tidak digunakan di belakang singkatan lambang kimia, satuan
ukuran, takaran, timbangan, dan mata uang. Contoh:
1) Lambang Cu adalah lambang kuprum.
2) Seorang pialang membeli 10 kg emas batangan.
3) Harga karton manila itu Rp.500,00 per meter.
g. Tanda titik tidak digunakan di belakang judul yang merupakan kepala
karangan, kepala ilustrasi tabel, dan sebagainya. Contoh:
1) Acara Kunjungan Menteri A.S. Hikam.
2) Bentuk dan Kedaulatan (Bab I, UUD 1945).
3) Azab dan Sengsara.
4) Wanita Indonesia di Pentas Sejarah.
h. Tanda titik tidak digunakan di belakang alamat pengirim dan tanggal surat
serta di belakang nama dan alamat penerima surat. Contoh:
1) Jalan Harapan III/SB 19
2) Jakarta, 10 Agustus 1998
3) Yth. Sdr. Imam Kurnia

2. Tanda Koma
Ada kaidah yang mengatur kapan tanda koma di gunakan dan kapan tanda koma
tidak digunakan, yaitu:
a. Tanda koma harus digunakan di antara unsur-unsur dalam suatu pemerincian
atau pembilangan. Contoh:
1) Saya menerima hadiah dari paman berupa jam tangan, raket, dan sepatu.
2) Satu, dua,....tiga!
3) Departemen Pariwisata, Seni, dan Budaya.
Catatan:
Jika penggabungan itu hanya terdiri atas dua unsur, sebelum kata dan tidak
dibubuhkan tanda koma. Akan tetapi, jika penggabungannya terdiri atas lebih
dari dua unsur, di antara unsur-unsurnya ada tanda koma sebelum unsur
terakhir dibubuhkan kata dan.
b. Tanda koma harus digunakan untuk memisahkan kalimat setara yang satu dari
kalimat setara berikutnya yang didahului oleh kata tetapi, melainkan, dan
sedangkan. Contoh:
1) Dia bukan mahasiswa Jayabaya, melainkan mahasiswa Atmajaya.
2) Saya bersedia membantu, tetapi kau kerjakanlah dahulu tugas itu.
3) Dialog Kristen-Islam Regional di Bali tidak menghasilkan suatu simpulan,
tetapi dialog seperti itu sangat berguna.
4) Pembangunan industri bukan berarti membangun pabrik besar dan kecil
saja, melainkan membangun kesadaran dan kemampuan masyarakat yang
terlibat dalam seluruh proses industrialisasi.
c. Tanda koma harus digunakan untuk memisahkan anak kalimat dari induk
kalimat apabila anak kalimat tersebut mendahului induk kalimatnya.
Biasanya, anak kalimat didahului oleh kata penghubung bahwa, karena, agar,
sehingga, walaupun, apabila, jika, meskipun, dan sebagainya. Contoh:
1) Apabila belajar sungguh-sungguh, Saudara akan berhasil dalam ujian.
2) Karena harus ditandatangani oleh gubernur, surat itu ditulis di atas kertas
berkepala surat resmi.
3) Karena uangnya habis, ia tidak jadi menonton pertandingan PSMS
melawan PERSIB sore ini.
4) Agar cita-cita Saudara tercapai, Saudara harus bekerja keras.
d. Tanda koma harus digunakan di belakang kata atau ungkapan penghubung
antarkalimat yang terdapat pada awal kalimat. Termasuk di dalamnya oleh
karena itu, jadi, lagi pula, meskipun begitu, akan tetapi, namun, meskipun
demikian, dalam hubungan itu, sementara itu, sehubungan dengan itu, dalam
pada itu, oleh sebab itu, sebaliknya, selanjutnya, pertama, kedua, misalnya,
sebenarnya, bahkan, selian itu, kalau begitu, kemudian, malah, padahal, dan
sebagainya. Contoh:
1) Oleh karena itu, kita harus menghormati pendapatnya.
2) Jadi, hak asasi di Indonesia sudah benar-benar dilindungi
3) Namun, kita harus tetap waspada.
4) Selanjutnya, kita akan membicarakan masalah lain.
5) Dalam hubungan itu, masyarakat perlu dirangsang kreativitasnya untuk
mengembangkan industri kecil dan kerajinan.
e. Tanda koma harus digunakan di belakang kata-kata seperti o, ya, wah, aduh,
kasihan, yang terdapat pada awal kalimat. Contoh:
1) Kasihan, dia harus mengikuti lagi ujian akhir semester I tahun depan.
2) Aduh, betulkah saya lulus Sipenmaru?
3) O, kalau begitu saya setuju.
4) Ya, boleh kamu lebih dulu.
f. Tanda koma digunakan untuk memisahkan petikan langsung dari bagian lain
dalam kalimat. Contoh:
1) “Saya sedih sekali,” kata Paman, “karena kamu tidak lulus.
2) Kata petugas, “Kamu harus berhati-hati di jalan raya.”
3) “Polisi tetap yakin bahwa pelaku pembunuhan peragawati cantik, Dietje,
adalah Sidjudin alias Romo, “demikian penjelasan Polda Metro Jaya.
Berdasarkan contoh-contoh di atas, penggunaan titik dua (:) sebelum tanda
petik dalam petikan langsung di anggap salah; tanda baca yang benar adalah
koma (,).
g. Tanda koma digunakan di antara (1) nama dan alamat, (2) bagian-bagian
alamat, (3) tempat dan tanggal, dan (4) nama tempat dan wilayah atau negeri
yang ditulis berurutan. Contoh:
1) Anak saya mengikuti kuliah di Jurusan Perbankan, Sekolah Tinggi Ilmu
Ekonomi Perbanas, Jalan Perbanas, Kuningan, Jakarta Selatan.
2) Bandung, 10 April 1998.
3) Jakarta, Indonesia.
h. Tanda koma digunakan untuk menceraikan bagian nama yang dibalik
susunannya dalam daftar pustaka. Contoh:
1) Badudu, Yus. 1980. Membina Bahasa Indonesia Baku. Seri I. Bandung:
Pustaka Prima.
2) Tjiptadi, Bambang. 1984. Tata Bahasa Indonesia. Cetakan II. Jakarta:
Yudistira.
3) Halim, Amran. Editor. 1976. Politik Bahasa Nasional 2. Jakarta: Pusat
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa.
i. Tanda koma digunakan di antara nama orang dengan gelar akademik yang
mengikutinya untuk membedakannya dari singkatan nama keluarga atau
marga. Contoh:
1) A. Ansori, S.H.
2) Ny. Maimunah, M.A.
3) Sobur, M.Sc.
4) Sudarsono, S.E., M.A.
j. Tanda koma digunakan untuk mengapit keterangan tambahan dan keterangan
aposisi. Contoh
1) Seorang warga, selaku wakil RT 02, mengemukakan pendapatnya.
2) Produsen minyak terbesar dalam OPEC, Arab Saudi, sudah mengusulkan
supaya harga minya dapat ditetapkan 18 dolar perbarel.
3) Di daerah kami, misalnya, masih banyak warga yang buta huruf.
k. Tanda koma tidak boleh digunakan untuk memisahkan anak kalimat dari
induk kalimat apabila anak kalimat tersebut mengiringi induk kalimat. Contoh
1) Presiden Ronald Reagan diberitakan frustasi karena dua tokoh kunci
IK AK
dalam staf pembantunya menyatakan menolak mengungkapkan apa yang
mereka ketahui tentang skandal penjualan senjata ke Iran.
2) Menteri mengatakan bahwa pembangunan harus dilanjutkan.
IK AK
3. Tanda Titik Koma (;)
Tanda titik koma dapat dipakai untuk memisahkan kalimat yang setara di dalam
suatu kalimat majemuk sebagai pengganti kata penghubung. Contoh:
Para pemikir mengatur strategi dan langkah yang harus ditempuh; para
pelaksana mengerjakan tugas sebaik-baiknya; para penyandang dana
menyediakan biaya yang diperlukan.

4. Tanda Titik Dua (:)


a. Tanda titik dua dipakai pada akhir suatu pernyataan lengkap bila diikuti
rangkaian atau pemerian. Contoh:
Perguruan Tinggi Nusantara mempunyai tiga jurusan: Sekolah Tinggi
Teknik, Sekolah Tinggi Ekonomi, dan Sekolah Tinggi Hukum.
b. Tanda titik dua tidak dipakai kalau rangkaian atau pemerian itu merupakan
pelengkap yang mengakhiri pernyataan. Contoh:
Perguruan Tinggi Nusantara mempunyi Sekolah Tinggi Teknik, Sekolah
tinggi Ekonomi, dan Sekolah Tinggi Hukum.

5. Tanda Hubung (-)


a. Tanda hubung dapat dipakai untuk memperjelas hubungan bagian-bagian
ungkapan. Bandingkan:
- tiga-puluh dua-pertiga (30 2/3) dan tiga-puluh-dua pertiga (32/3).
- mesin-potong tangan (mesin potong tangan yang digunakan dengan
tangan).
- mesin potong-tangan (mesin khusus untuk memotong tangan).
b. Tanda hubung dipakai untuk merangkaikan (a) se- dengan kata berikutnya
yang dimulai dengan huruf kapital, (b) ke dengan angka, (c) angka dengan
-an, dan (d) singkatan huruf kapital dengan imbuhan atau kata. Contoh:
1) Pada tahun depan akan diadakan perlombaan paduan suara remaja se-Jawa
Timur di Surabaya.
2) Ke-315 orang itu berasal dari Mesir.
3) Negara-negara yang meraih kemerdekaan pada akhir dekade 1950-an dan
awal 1960-an kini sibuk membangun, mengisi kemerdekaan masing-
masing.
4) Warga DKI yang sudah dewasa diwajibkan ber-KTP DKI.
5) Pemberontakan itu dikenal dengan G-30-S PKI.
6. Tanda Pisah (–)
Tanda Pisah membatasi penyisipan kata atau kalimat yang memberi penjelasan
khusus di luar bangun kalimat, menegaskan adanya aposisi atau keterangan yang lain
sehingga kalimat menjadi lebih jelas, dan dipakai diantara dua bilangan atau tanggal yang
berarti ‘sampai dengan’ atau di antara dua nama kota yang berarti ‘ke’ atau ‘sampai’,
panjangnya dua ketukan. Contoh:
1) Pemerintahan Habibie dimulai Mei 1998 – Desember 1999.
2) Bus Kramatjati jurusan Banjar – Jakarta.

7. Tanda Petik (“...“)


Tanda petik dipakai untuk petikan langsung, judul syair, karangan, istilah yang
mempunyi arti khusus atau kurang dikenal. Contoh:
- Kata hasan, “Saya ikut.”
- Sajak “Aku” karangan Chairil Anwar.
- Ia memakai celana “cutbrai.”

8. Tanda Petik Tunggal (‘...’)


Tanda petik tunggal mengapit terjemahan atau penjelasan kata atau ungkapan
asing. Contoh: Lailatur Qadar ‘malam bernilai’.

Anda mungkin juga menyukai