Anda di halaman 1dari 17

KEMAMPUAN DISPOSISI MATEMATIS

(Makalah ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengembangan


Keterampilan Berpikir Matematik)

Dosen Pengampu : Maifalinda Fatra, M. Pd, Ph.D

Disusun Oleh :

Kelompok 6
Hayatin Nufus 11170170000008
Yusriyyah Febriana Putri 11170170000039
Salsabila 11170170000047
Jihan Abiyyah Ranaista 11170170000059
Corry Zahira Aulia 11170170000069

PENDIDIKAN MATEMATIKA

FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

TAHUN 2020/1441 H
KATA PENGANTAR
Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat dan
hidayah-Nya kepada kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Kemampuan Disposisi Matematis”.

Makalah ini telah kami susun dengan maksimal serta mendapatkan bantuan dari
berbagai pihak dan sumber sehingga dapat memperlancar dalam pembuatan makalah ini.
Untuk itu kami menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah
berkontribusi dalam pembuatan makalah ini.
Terlepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa masih banyak
kekurangan baik dari segi susunan kalimat maupun tata bahasanya. Oleh karena itu, kami
menerima segala saran dan kritik yang bersifat membangun dari Dosen Pengampu mata
kuliah Pengembangan Keterampilan Berpikir Matematik dan kelas 6B Pendidikan
Matematika UIN Syarif Hidayatullah Jakarta agar kami dapat memperbaiki makalah ini.

Tangerang Selatan, 16 Juni 2020

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... i

DAFTAR ISI................................................................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN ...............................................................................................................1

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN .................................................................................................................3

A. Kemampuan Disposisi Matematis .............................................................................................3

B. Model/ Strategi Pembelajaran ....................................................................................................6

KISI-KISI DAN INSTRUMEN KEMAMPUAN DISPOSISI MATEMATIS .............................11

BAB III PENUTUP .......................................................................................................................13

A. Kesimpulan ..............................................................................................................................13

B. Saran ........................................................................................................................................13

DAFTAR PUSTAKA ....................................................................................................................14

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pengambilan keputusan terhadap masalah yang dihadapi oleh seseorang dalam


kehidupan sehari-hari tentu tidak terlepas dari aspek-aspek yang mempengaruhinya.
Keputusan dan pertimbangan tersebut tentu tidak datang dengan sendirinya, melainkan hadir
melalui proses membangun dan membandingkan gagasan-gagasan dari beragam situasi yang
dihadapi. Proses membangun dan membandingan gagasan tersebut tentu tidak terlepas dari
kemampuan baik kognitif maupun afektif. Hal ini dikarenakan kemampuan-kemampuan
kognitif menawarkan cara-cara yang tangguh untuk membangun dan mengekspresikan
gagasan-gagasan tentang beragam fenomena yang luas.
Selain kemampuan-kemampuan kognitif juga terdapat kemampuan afektif yang harus
dimiliki dan dikembangkan oleh setiap siswa, seperti yang tercantum dalam tujuan
pembelajaran matematika di sekolah, yaitu memiliki sikap menghargai kegunaan matematika
dalam kehidupan, sikap rasa ingin tahu, perhatian, dan minat dalam mempelajari matematika,
serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan (BSNP, 2006: 140). Hal ini dikarenakan,
pembelajaran matematika tidak hanya berkaitan tentang pembelajaran konsep, prosedural, dan
aplikasinya, tetapi juga terkait dengan pengembangan minat dan ketertarikan terhadap
matematika sebagai cara yang powerful dalam menyelesaikan masalah (Dahlan, 2011: 847).
Pengembangan minat dan ketertarikan terhadap matematika tersebut akan membentuk
kecenderungan yang kuat yang dinamakan disposisi matematis (mathematical disposition).
Seseorang yang memiliki disposisi matematis yang tinggi akan membentuk individu yang
tangguh, ulet, bertanggung jawab, memiliki motif berprestasi yang tinggi, serta membantu
individu mencapai hasil terbaiknya (Sumarmo, 2012: 2). Hal ini dikarenakan terdapat
hubungan yang positif antara sikap terhadap matematika dengan prestasi matematika (Mullis,
Martin, Foy, Arora, 2012: 326).1

1
Nurbaiti Widyasari, Jarnawi Afgani Dahlan, dan Stanley Dewanto, Meningkatkan Kemampuan
Disposisi Matematis Siswa SMP melalui Pendekatan Methaporical Thinking, Fibonacci: Jurnal
Pendidikan Matematika dan Matematika Vol.2 No.2, 2016, h.28-29

1
2

Dalam proses belajar mengajar, disposisi matematik siswa dapat dilihat dari keinginan
siswa untuk merubah strategi, melakukan refleksi, dan melakukan analisis sampai memperoleh
suatu solusi. Disposisi siswa terhadap matematika dapat diamati dalam diskusi kelas, misalnya
seberapa besar keinginan siswa untuk menjelaskan solusi yang diperolehnya dan
mempertahankan penjelasannya. Namun demikian, perhatian guru dalam proses belajar
mengajar terhadap disposisi matematik siswa masih kurang. Ketika siswa lupa akan hafalannya
maka siswa mulai kehilangan percaya diri ketika siswa tidak mampu menyelesaikan masalah
matematika yang diberikan oleh guru. Hal tersebut mengakibatkan siswa memandang bahwa
matematika sulit untuk dipahami dan minat siswa dalam belajar matematika menjadi
berkurang.2

Lebih lanjut Katz (Mahmudi, 2010, p.5) menjelaskan bahwa berkaitan dengan
bagaimana siswa menyelesaikan masalah matematis, sangat ditentukan oleh kepercayaan diri,
ketekunan, minat, dan kemampuan serta keterampilan berpikir secara efektif dan efisien untuk
mengeksplorasi berbagai alternatif penyelesaian masalah. Ini menunjukkan bahwa diperlukan
sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan, sikap rasa ingin tahu, perhatian, dan
minat dalam mempelajari matematika, serta sikap ulet dan percaya diri dalam pemecahan
masalah. Berdasarkan hal tersebut maka diperlukan upaya untuk menumbuhkan disposisi
matematis siswa dalam pembelajaran.3

2
Padillah Akbar dkk, Analisis Kemampuan Pemecahan Masalah dan Disposisi Matematik Siswa Kelas
XI SMA Putra Juang dalam Materi Peluang, Jurnal Cendekia:Jurnal Pendidikan Matematika Vol.2 No.1,
2018, h.146
3
Rezky Agung Herutomo dan Masrianingsih, Pembelajaran Model Creative Problem Solving untuk
Mendukung Higher Order Thinking Skills Berdasarkan Tingkat Disposisi Matematis, Jurnal Riset
Pendidikan Matematika 6(2), 188-199, 2019, h.3
BAB II

PEMBAHASAN

A. Kemampuan Disposisi Matematis


Salah satu faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar matematika siswa
adalah disposisi mereka terhadap matematika. Disposisi matematika adalah kesenangan,
motivasi, keinginan, antusiasme, dan diri sendiri penerimaan dalam matematika. Seseorang
yang memiliki disposisi matematika tinggi selalu disertai dengan rasa suka dan selalu ingin
mengeksplorasi matematika. Dalam Pembelajaran analitis dikelas, siswa yang memiliki
disposisi matematika tinggi akan selalu memiliki alternatif jawaban dan ide dalam analisis
pemecahan masalah. Disposisi matematika siswa yang mengambil kursus pembelajaran
analitis diklasifikasikan menjadi tiga kategori, yaitu disposisi matematika tinggi, disposisi
matematika sedang, dan matematika rendah.4
Konsep disposisi matematis, sebagaimana yang dijelaskan oleh Feldhaus pertama
kali diperkenalkan oleh National Research Council (NRC) yang mendefinisikan disposisi
produktif terhadap matematika sebagai kebiasaan dan kecenderungan untuk memandang
matematika sebagai sesuatu yang masuk akal, berguna dan berharga, serta keyakinan dan
ketekunan individu. NRC menyebutkan bahwa disposisi produktif berkaitan dengan
kompetensi strategis, penalaran adaptif, kelancaran prosedural dan pemahaman
konseptual, yang mana hal tersebut merupakan jalinan dari kemampuan matematika.5
Katz (Mahmudi, 2010:5) menyatakan bahwa disposisi sebagai kecenderungan
untuk berprilaku secara sadar (consciously), teratur (frequently), dan sukarela (voluntary)
untuk mencapai tujuan tertentu. Perilaku-perilaku tersebut diantaranya adalah percaya diri,
gigih, ingin tahu, dan berpikir fleksibel. Dalam konteks matematika menurut Katz yang
dikutip oleh Mahmudi (2010) disposisi matematis berkaitan dengan bagaimana siswa

4
Bambang Sri Angoro, dkk, ”An Analyisis of Students’ Learing Style, Mathematical Disposition,
and Mathematical Anxiety toward Metacognitive Reconstruction in Mathematics Learning
Process”, Al-Jabar: Jurnal Pendidikan Matematika, Vol. 10 No. 2, 2019, 193-194
5
Rezaky Agung Herutomo- MAsrianingsih Masrianingsih, “ Pembelajaran Model Creative
Problem Solving untuk Mendukung Higher Order Thinking Skills Berdasarkan Tingkat Desposisi
Matematis”, Jurnal Riset Pendidikan Matematika, Vol. 6 No. 2, 2019, 191

3
4

menyelesaikan masalah matematis; apakah percaya diri, tekun, berminat dan berpikir
fleksibel untuk mengeksplorasi berbagai alternatif penyelesaian masalah. Dalam konteks
pembelajaran disposisi matematis berkaitan dengan bagaimana siswa bertanya, menjawab
pertanyaan, mengkomunikasikan ide-ide matematis, bekerja dalam kelompok dan
menyelesaikan masalah.

NCTM (Zanuar,2013:18) menyatakan disposisi matematis adalah keterkaitan dan


apresiasi terhadap matematika yaitu suatu kecenderungan untuk berpikir dan bertindak
dengan cara yang positif. Kecenderungan ini direfleksikan dengan minat dan kepercayaan
diri siswa dalam belajar matematika dan kemauan untuk merefleksi pemikiran mereka
sendiri. Sedangkan menurut Mulyana (2009:19)disposisi terhadap matematika adalah
perubahan kecenderungan siswa dalam memandang dan bersikap terhadap matematika,
serta bertindak ketika belajar matematika. Misalnya, ketika siswa dapat menyelesaikan
permasalahan non rutin, sikap dan keyakinannya sebagai seorang pelajar menjadi lebih
positif. Makin banyak konsep matematika dipahami, makin yakinlah bahwa matematika
itu dapat dikuasainya. Lebih lanjut lagi Menurut Sumarmo (2006:4), disposisi matematis
adalah keinginan, kesadaran, dan dedikasi yang kuat pada diri siswa untuk belajar
matematika dan melaksanakan berbagai kegiatan matematika.

Melalui aktivitas belajar mengajar di kelas, siswa dikembangkan kemampuan


komunikasi matematis untuk menunjang prestasi belajar dan pemahaman terhadap konsep
materi matematika. Melalui proses belajar ini, siswa dilatih dan distimulus kemampuan
afektifnya. Salah satu kemampuan afektif yang diharapkan berkembang adalah disposisi
matematis. Polking (Hendriana, 2012) menyatakan disposisi matematis meliputi:6

1. Rasa percaya diri dalam menggunakan matematika, memecahkan


permasalahan, mengkomunikasikan gagasan;
2. Fleksibilitas dalam menyelidiki gagasan matematis dan berusaha mencari
metoda alternatif dalam memecahkan permasalahan;

6
Ratni Purwasih- Martin Bernad, “Pembelajaran Diskursus Multi Representasi Terhadap
Peningkatan Kemampuan Komunikasi dan Disposisi Matematis Mahasiswa”, Jurnal Riset
Pendidikan Matematika, Vol. 5 No. 1, 2018, 44
5

3. Tekun mengerjakan tugas matematika;


4. Mempunyai minat, keingintahuan (curiosity), dan daya temu dalam
melakukan pekerjaan matematika;
5. Kecenderungan untuk memonitor dan merefleksikan performancedan
penalaran mereka sendiri;
6. Menilai aplikasi matematika ke situasi lain yang timbul dalam matematika dan
pengalaman sehari-hari;
7. Penghargaan (appreciation) peran matematika dalam kultur dan nilai, baik
matematika sebagai alat, maupun matematika sebagai bahasa.

Lebih lengkap NCTM dalam Standard 10 (1989: 233) membuat beberapa indikator-
indikator mengenai disposisi matematis, antara lain:7

1. Rasa percaya diri dalam menggunakan matematika, memecahkan masalah,


mengkomunikasikan gagasan, dan memberikan alasan.
2. Fleksibilitas dalam menyelidiki gagasan matematik dan berusaha mencari
metode alternatif dalam memecahkan masalah.
3. Tekun mengerjakan tugas matematik.
4. Minat, rasa ingin tahu, dan daya temu dalam melakukan tugas matematik.
5. Cenderung memonitor dan merefleksikan kinerja dan penalaran mereka sendiri.
6. Menilai aplikasi matematika ke situasi lain dalam bidang lainnya dan
pengalaman sehari-hari.
7. Penghargaan peran matematika dalam kultur dan nilai matematika, sebagai alat
dan bahasa.

7
Widyasari, Op.Cit., hal. 33.
6

Sedangkan menurut Wardani, aspek-aspek yang diukur pada disposisi matematis


adalah

1. Kepercayaan diri dengan indikator percaya diri terhadap


kemampuan/keyakinan;
2. Keingintahuan terdiri dari empat indikator yaitu: sering mengajukan
pertanyaan, melakukan penyelidikan, antusias/semangatdalam belajar,banyak
membaca/mencarisumberlain;
3. Ketekunan dengan indikator gigih/tekun/perhatian/kesungguhan;
4. Fleksibilitas, yang terdiri dari tiga indikator yaitu: kerjasama/berbagi
pengetahuan, menghargai pendapat yang berbeda, berusaha mencari
solusi/strategilain;
5. Reflektif,terdiri dari dua indicator yaitu bertindak dan berhubungan dengan
matematika, menyukai/rasa senang terhadap matematika.

Jadi bisa disimpulkan bahwa disposisi matematika adalah kecenderungan untuk


merefleksikan pemikiran mereka dalam pembelajaran proses. Disposisi siswa terhadap
matematika akan terlihat jelas ketika masalah dijawab dengan percaya diri, tanggung jawab
penuh, ketekunan, tidak pernah menyerah, merasa tertantang dengan masalah yang
dihadapi, memiliki kemauan untuk menemukan cara atau solusi alternatif, dan berefleksi
cara berpikir

B. Model/ Strategi Pembelajaran


Berdasarkan pemaparan-pemaparan sebelumnya mengenai kemampuan disposisi
matematis, diperlukan solusi yang mengatasi permasalahan yang dihadapi saat ini. Salah
satu faktor yang dapat menyebabkan kondisi tersebut adalah penerapan pendekatan yang
kurang tepat dalam proses belajar-mengajar. Seperti yang diungkapkan oleh Bell (1978:
121), bahwa pemilihan strategi mengajar yang tepat dan pengaturan lingkungan belajar
memiliki pengaruh yang signifikan terhadap kesuksesan pelajaran matematika.8

8
Ibid., hlm. 30.
7

1. Pendekatan Metaphoral Thinking


Pendekatan metaphorical thinking adalah bentuk pendekatan dimana
menjembatani konsep-konsep yang abstrak menjadi hal yang lebih konkrit.
Metaphorical thinking merupakan jembatan antara model dan interpretasi,
memberikan peluang yang besar kepada siswa untuk mengeksploitasi
pengetahuannya dalam belajar matematika, dan melalui metaphorical thinking proses
belajar siswa menjadi bermakna karena siswa dapat melihat hubungan antara konsep
yang dipelajarinya dengan konsep yang telah dikenalnya (Hendriana, 2009: 8).
Selain itu, melalui proses bermetafora juga diberi kesempatan untuk
mengeksplorasi kemampuan mereka, dan juga melihat hubungan antara pengetahuan
yang mereka peroleh dengan kehidupan sehari-hari. Proses mengeksplorasi
kemampuan ini akan menimbulkan rasa ingin tahu, merefleksikan terhadap
pengetahuan yang telah dibangun, fleksibel terhadap gagasan matematik yang
terbentuk, dan juga akan berakibat timbulnya kepercayaan diri dalam diri siswa.
Proses dalam melihat hubungan dengan kehidupan sehari-hari akan berakibat siswa
dapat menilai bagaimana aplikasi matematika ke situasi lain dalam pengalaman
sehari-hari, dan memahami peran matematika dalam kehidupan sehari-hari. Proses-
proses tersebut merupakan bagian dari disposisi matematis, sehingga melalui proses
bermetafor diharapkan dapat meningkatkan kemampuan disposisi matematis siswa.
Metaphorical thinking tersusun dari kata metaphore dan think. Metaphore
berasal dari bahasa Yunani yang memiliki arti memindahkan atau membawa,
sedangkan think berasal dari bahasa Inggris yang memiliki arti berpikir.9 Menurut
Davis (dalam Schink, Neale, Pugalee, dan Cifarelli, 2008: 594) menyatakan bahwa
metaphors memperkenankan siswa bekerja dengan ide-ide yang abstrak yang
dipetakan secara kuat dan bermakna ke dalam berbagai konteks yang berbeda.
Lebih lanjut, Kilic (2010: 1) menyatakan bahwa metaphors menghubungkan
antara ide-ide abstrak ke bentuk konkrit, sehingga menimbulkan hubungan dengan
pengalaman sebelumnya. Terdapat dua buah elemen dalam metaphorical thinking,
yaitu conceptual metaphors dan images schemas (Ferrara, 2003: 2). Conceptual
metaphors adalah mekanisme kognitif yang memenuhi dalam pemahaman atas

9
Ibid, hlm. 33.
8

konsep-konsep abstrak ke dalam bentuk konkret, sedangkan images schemas


merupakan struktur secara topologi dan dinamis, di mana karakteristik menarik
kesimpulan secara spasial dan bahasa terhadap visual dan pengalaman gerak. Images
schemas menyediakan jembatan antara bahasa dan penalaran di satu sisi dan
membayangkan di sisi lainnya (Nunez, 2000: 10).10

2. Model Pembelajaran Process Oriented Guided Inquiry Learning (POGIL)

Melihat pentingnya disposisi matematika dimiliki oleh setiap peserta didik,


maka perlu dilakukan suatu usaha oleh pendidik untuk meningkatkan disposisi
matematika siswa tersebut. Salah satunya adalah dengan pemilihan model
pembelajaran yang relevan dan dapat memfasilitasi peningkatan kemampuan
disposisi matematika sekaligus kepercayaan diri siswa. Salah satu model
pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan atau mengembangkan
disposisi matematika siswa adalah model pembelajaran Process Oriented Guided
Inquiry Learning (POGIL).

Hanson (2006) menerangkan bahwa dalam metode Process Oriented Guided


Inquiry Learning (POGIL) siswa belajar secara berkelompok dalam aktivitas yang
dirancang untuk meningkatkan penguasaan isi dari mata pelajaran dan
mengembangkan kemampuan dalam proses belajar, berpikir, menyelesaikan
masalah, berkomunikasi, kerja kelompok, managemen dan evaluasi. Sementara
Barthlow (2011) menyatakan bahwa aktivitas dalam Process Oriented Guided
Inquiry Learning (POGIL) fokus pada konsep isi dan proses sains untuk mendorong
pemahaman yang dalam terhadap materi serta mengembangkan kemampuan berpikir
tingkat tinggi. Process Oriented Guided Inquiry Learning (POGIL) menekankan
pada pembelajaran kooperatif, siswa bekerja dalam tim, mendesain kegiatan untuk
membangun kemampuan kognitif (conceptual understanding), dan mengembangkan
keterampilan selama proses pembelajaran seperti proses sains, keterampilan berfikir,
pemecahan masalah (problem solving), keterampilan komunikasi, manajemen,

10
Ibid,.
9

membangun sikap sosial yang positif dan keterampilan assessment diri yang dapat
mengembangkan pengetahuan metakognitif. 11

Process Oriented Guided Inquiry Learning (POGIL) adalah pembelajaran aktif


dan berpusat pada siswa dan didasari oleh siklus belajar. Siklus belajar menyatakan
bahwa pembelajaran terjadi dalam tiga tahap, yaitu: eksplorasi, penemuan konsep
dan aplikasi (Atkin & Karplus dalam Barthlow, 2011).12 Hal ini senada dengan
Hanson (2006) yang menyatakan bahwa siklus pembelajaran dalam Process Oriented
Guided Inquiry Learning (POGIL) terdiri atas tiga tahap yaitu: eksplorasi, penemuan
konsep atau formasi, dan aplikasi. Dalam model Process Oriented Guided Inquiry
Learning (POGIL), pendidik memiliki empat peran utama, yaitu sebagai pemimpin
(leader), penilai (monitoring/assessor), fasilitator dan evaluator. Dalam tahap
eksplorasi siswa akan menjawab berbagai macam pertanyaan untuk mengembangkan
pemahaman terhadap suatu konsep. Pada tahap penemuan konsep, guru sebagai
fasilitator pembelajaran memberikan bantuan kepada siswa untuk menemukan
konsep. Konsep tidak diberikan secara eksplisit, namun guru mendorong dan
memacu siswa untuk dapat membuat kesimpulan dan membuat prediksi. Dalam
tahap aplikasi, siswa dipandu menggunakan pengetahuan baru yang telah
diperolehnya untuk memecahkan masalah-masalah yang kompleks. Dalam tahap
aplikasi siswa dihadapkan dengan soal-soal yang memiliki tingkatan tinggi yang
membutuhkan analisis mendalam untuk dapat menjawabnya. Tahap akhir
pembelajaran adalah evaluasi diri, siswa mengevaluasi performa belajarnya, apa
yang telah diperoleh dan apa yang belum diperoleh untuk dapat meningkatkan
kemampuannya pada kesempatan berikutnya. Evaluasi diri merupakan salah satu
indikator berkembangnya kemampuan metakognisi siswa.

Dengan menggunakan model pembelajaran Process Oriented Guided Inquiry


Learning (POGIL) ini, disposisi matematika siswa dapat ditingkatkan, karena
pembelajaran lebih menekankan pada kerjasama tim, keterampilan berkomunikasi

11
Elfi Rahmadhani, “Model pembelajaran process oriented guided inquiry learning (POGIL):
Peningkatan disposisi matematika dan self-confidence mahasiswa tadris matematika”, Jurnal Riset
Pendidikan Matematika 5 (2), 2018, hlm. 161.
12
Ibid,.
10

dan membangun sikap positif siswa. Dengan demikian, akan timbul sikap percaya
diri, optimis, bertanggung jawab dan apresiasi siswa dalam pembelajaran. Hal ini
sejalan dengan pendapat Hanson (2004) yang mengatakan bahwa tujuan model
pembelajaran Process Oriented Guided Inquiry Learning (POGIL) diantaranya:13 (a)
mengembangkan keterampilan proses pada area belajar (learning), berpikir
(thinking), dan menyelesaikan masalah (problem solving); (b) membuat siswa
berpartisipasi aktif dalam pembelajaran; (c) meningkatkan interaksi antar siswa dan
interaksi antar guru dan siswa; (d) menumbuhkan sikap positif terhadap sains; (e)
mengaitkan pembelajaran dengan teknologi informasi; (f) mengembangkan
keterampilan komunikasi dan kinerja dalam kelompok.

13
Ibid, hlm. 162.
KISI-KISI DAN INSTRUMEN KEMAMPUAN DISPOSISI MATEMATIS

INDIKATOR PERNYATAAN RESPON


SS S RG TS STS
Rasa percaya diri Saya yakin dapat menyelesaikan soal matematika yang sulit (+)
Pertama kali mengikuti pembelajaran matematika, saya pesimis akan
mudah mengikutinya (-)
Saya berani mengemukakan pendapat selama pembelajaran
matematika (+)
Saya sungkan mengemukakan pendapat selama pembelajaran
matematika (-)
Fleksibel dalam Saya menyelesaikan soal matematika dengan beragam cara (+)
menyelidiki idea
matematis dan Saya menyelesaikan soal matematika dengan satu cara saja (-)
mencari altermatif Saya menerapkan beragam metode dalam menyelesaikan masalah
metode matematika (+)
Saya malas mencari cara lain dalam menyelesaikan masalah
matematika (-)
Saya mencoba menggunakan cara sendiri dalam menyelesaikan
masalah matematika yang lebih mudah dipahami (+)
Tekun mengerjakan Saya berusaha mengerjakan sendiri soal matematika yang sulit
tugas matematik sebelumbertanya kepada teman (+)
Saya mengumpulkan tugas matematika tepat waktu (+)
Saya optimis berhasil ketika mengalami kesulitan dalam mengerjakan
soal-soal matematika (+)
Saya malas mengerjakan Pr matematika di rumah (-)
Saya putus asa menyelesaikan soal matematika yang sulit (-)
Menunjukkan Saya bertanya kepada teman, ketika tidak memahami materi yang
minat, rasa ingin dijelskan guru (+)
tahu, dan daya temu Saya malu bertanya kepada guru ketika tidak memahami materi yang
diajarkan (-)

11
12

Saya senang mempelajari materi matematuika lebih dulu sebelum


materi diajarkan (+)
Saya belajar matematika ketika akan ulangan saja
Saya mempelajari materi matematika tambahan dari sumber lain
(internet, buku, sumber lain) (+)
Memonitor, Saya membaca kembali materi matematika yang telah dipelajari di
merefleksikan sekolah (+)
performance dan Ketika PR yang saya kerjakan belum benar, saya mencatat jawaban
penalaran sendiri benar untuk dipelajari di rumah (+)
Saya mengerjakan ulang pekerjaan ulangan matematika yang salah (+)
Saya menghindar merangkum materi matematika yang sudah
diajarkan (-)
Saya membiarkan materi yang baru terlepas dari matematika yang
telah dipelajari sebelumnya

Keterangan :
SS : Sangat Setuju
S : Setuju
RG : Ragu- ragu
TS : Tidak Setuju
STS : Sangat Tidak Setuju
BAB III

KESIMPULAN

A. Kesimpulan
1. Disposisi matematika adalah keinginan, kesadaran, dan dedikasi yang kuat pada diri
siswa untuk belajar matematika dan melaksanakan berbagai kegiatan matematika.
2. Disposisi siswa terhadap matematika akan terlihat jelas ketika masalah dijawab dengan
percaya diri, tanggung jawab penuh, ketekunan, tidak pernah menyerah, merasa
tertantang dengan masalah yang dihadapi, memiliki kemauan untuk menemukan cara
atau solusi alternatif, dan berefleksi cara berpikir
3. Model pembelajaran yang dapat digunakan untuk meningkatkan kemampuan disposisi
matematis antara lain Pendekatan metaphorical thinking, dan Process Oriented Guided
Inquiry Learning (POGIL).

B. Saran
Dengan disusunnya makalah ini, diharapkan kita dapat mengetahui dan memahami
pentingnya kemampuan disposisi matematis. Penyusun menyadari masih banyak
kekurangan dalam penyususnan makalah ini. Oleh karena itu, kami mengharapkan kritik
dan saran yang bersifat membangun dari para pembaca agar penuli lebih baik lagi dalam
penyusunan makalah selanjutnya.

13
DAFTAR PUSTAKA

Akbar, Padillah Akbar dkk. 2018. Analisis Kemampuan Pemecahan Masalah dan Disposisi
Matematik Siswa Kelas XI SMA Putra Juang dalam Materi Peluang. Jurnal
Cendekia:Jurnal Pendidikan Matematika Vol.2 No.1

Angoro, Bambang Sri, dkk. 2019. An Analyisis of Students’ Learing Style, Mathematical
Disposition, and Mathematical Anxiety toward Metacognitive Reconstruction in
Mathematics Learning Process. Al-Jabar: Jurnal Pendidikan Matematika, Vol. 10 No. 2

Herutomo, Rezky Agung dan Masrianingsih. 2019. Pembelajaran model creative problem-solving
untuk mendukung higher-order thinking skills berdasarkan tingkat disposisi matematis.
Jurnal Riset Pendidikan Matematika, 6(2), 188-199.
doi:https://doi.org/10.21831/jrpm.v6i2.26352

Purwasih, Ratni dan Martin Bernad. 2018. Pembelajaran Diskursus Multi Representasi Terhadap
Peningkatan Kemampuan Komunikasi dan Disposisi Matematis Mahasiswa. Jurnal Riset
Pendidikan Matematika, Vol. 5 No. 1

Rahmadhani, Elfi, 2018. Model pembelajaran process oriented guided inquiry learning (POGIL):
Peningkatan disposisi matematika dan self-confidence mahasiswa tadris matematika.
Jurnal Riset Pendidikan Matematika 5 (2).

Widyasari, Nurbaiti, Jarnawi Afgani Dahlan, dan Stanley Dewanto. 2016. Meningkatkan
Kemampuan Disposisi Matematis Siswa SMP melalui Pendekatan Methaporical Thinking.
Fibonacci: Jurnal Pendidikan Matematika dan Matematika Vol.2 No.2

14

Anda mungkin juga menyukai