Anda di halaman 1dari 71

PEMBANGUNAN BITUNG SEBAGAI PELABUHAN

HUB INTERNASIONAL

THE DEVELOPMENT OF BITUNG AS AN


INTERNATIONAL HUB PORT

Zamroni Salim, Erla Mychelisda, Atika Zahra


Pusat Penelitian Ekonomi (P2E) Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI)
E-mail: zamronisalim@gmail.com, erlamychelisda@gmail.com, atika.27zahra@gmail.com

Abstract
This paper analyses the feasibility of Port Bitung to be promoted as an international hub port. Methode of
analysis used in the study is descriptive analysis by investigating geographical strategic potition, physical/natural
indicators of feasibility, economic feasibility and the possibility of further development. From the analysis we found
that Bitung Port is feasible to be developed as international hub port economically. Connectivity and transportation
network, especially sea connectivity should be developed by the presence of industries and infrastructure, especially
in the eastern part of Indonesia.

Keywords: Bitung, International hub port, connectivity

Abstrak
Tulisan ini mengkaji kelayakan Pelabuhan Bitung, Sulawesi Utara sebagai pelabuhan hub internasional.
Metode analisis yang digunakan dalam kajian ini adalah metode deskriptif analisis dengan melihat posisi strategis
secara geografis, indikator kelayakan secara fisik/alam, kelayakan ekonomis dan kemungkinan pengembangan
pelabuhan Bitung. Hasil dari analisis menunjukkan bahwa Pelabuhan Bitung layak secara fisik/alami dan secara
ekonomi/efisien secara ekonomi untuk dijadikan pelabuhan hub internasional. Konektivitas dan jaringan transportasi,
khususnya konektivitas laut harus dikembangkan dengan dukungan pengembangan industri dan infrastruktur di
daerah sekitar di Kawasan Timur Indonesia.

Kata kunci: Bitung, Pelabuhan hub internasional, konektivitas

PENDAHULUAN sektor-sektor dan pelaku-pelaku yang terlibat di


dalamnya. Sektor transportasi, pengapalan, dan
Perdagangan terus menunjukkan trend positif
logistik adalah beberapa sektor yang berkaitan erat
meskipun perekonomian dunia sempat melemah
dengan perdagangan. Dalam proses pengiriman
beberapa waktu lalu. Berdasarkan data dari World
barang antar daerah/wilayah, antar pulau dan antar
Trade Organization (WTO) perdagangan global
negara jaringan transportasi, khusunya laut dan
masih tetap tumbuh 2.8% (2014) menjadi 3.3%
pelabuhan laut menjadi kunci utama bisa terus
(2015) dan diprediksi tumbuh sebesar 4.0% tahun
berkembangnya aktivitas pendukung perdagangan
2016 (WTO, 2015). Terlihat angka pertumbuhan
nasional dan internasional tersebut.
nilai perdagangan global meningkat cukup
tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa aliran Indonesia semestinya bisa berperan lebih
perdagangan terus tumbuh melalui berbagai jalur dalam aktivitas perdagangan ini, melalui jalur
produksi maupun konsumsi. pergerakan barang (transhipment), khususnya
yang melalui pelabuhan laut (sea port). Hal
Posisi perdagangan yang cenderung tidak
ini melihat posisi Indonesia yang merupakan
terpengaruh oleh penurunan perekonomian
negara kepulauan dan menjadi jalur lalu lintas
global tentu memberikan manfaat tersendiri bagi

107
perdagangan global. Wilayah laut Indonesia Kawasan Barat Indonesia di Kuala Tanjung,
di lalui oleh lebih dari 30% perdagangan Sumatera Utara dan untuk Kawasan Timur
global (Usadi, 2014). Posisi ini tentu saja Indonesia di Bitung, Sulawesi Utara. Hal ini
menguntungkan Indonesia. Namun, bagaimana dilakukan sebagai upaya pendorong dan penarik
Indonesia bisa memperoleh hasil (benefits) dari keseimbangan ekonomi wilayah yang lebih merata
jalur perdagangan dunia dan terlibat aktif dalam dan nantinya dapat menciptakan kemandirian dan
transhipment global tersebut? Pembangunan daya saing ekonomi nasional yang lebih solid
dan pengembangan pelabuhan laut yang ada (Perpres No 48, 2014).
di Indonesia merupakan langkah yang tepat Penetapan Pelabuhan Bitung sebagai salah
untuk dilakukan. Bitung menjadi pelabuhan laut satu pelabuhan hub internasional disebabkan
yang telah ditetapkan oleh pemerintah sebagai posisi strategis yang berada di gerbang Provinsi
pelabuhan hub internasional. Pelabuhan Bitung Sulawesi Utara untuk kawasan Asia Pasifik. Posisi
merupakan salah satu pelabuhan yang telah ini mempermudah distribusi barang dan jasa
ditetapkan oleh pemerintah sebagai pelabuhan ke pasar Asia Pasifik. Dalam rangka penguatan
hub internasional. Pelabuhan ini merupakan konvektivitas nasional dari sisi geo-strategis,
pelabuhan nasional yang berada di Kota Bitung, Bitung merupakan salah gerbang konektivitas
Sulawesi Utara. Secara geografis, Kota Bitung global yang memanfaatkan keberadaan SLoC
berada 1°23’23” - 1°35’39” LU dan 125°1’43” Sea Lane of Communication (SLOC)1 dan Alur
-125°18’13” BT. Laut Kepulauan Indonesia (ALKI)2 secara optimal
Dari sisi geostrategis, pelabuhan Bitung sebagai modal utama percepatan dan perluasan
mempunyai akses yang lebih luas dan jarak yang pembangunan ekonomi Indonesia (Bappeda
lebih pendek dibandingkan dengan pelabuhan Kota Bitung, 2014). Dengan adanya pelabuhan
besar di Indonesia, termasuk Pelabuhan Tanjung Bitung sebagai pelabuhan hub internasional,
Priok di Jakarta dan Pelabuhan Tanjung Perak di biaya logistik dapat ditekan karena jarak tempuh
Surabaya. Pelabuhan Bitung mempunyai posisi ke pusat-pusat pelabuhan seperti Shanghai,
yang strategis sebagai pelabuhan hub internasional Hongkong, Tokyo, Honolulu, Vancouver, Panama,
karena bisa melayani arus perdagangan di Vladiwostok, San Fransisco, dari Bitung lebih
kawasan Asia Pasifik. Bisa dikatakan bahwa dekat dibandingkan dari Jakarta, Surabaya, atau
Pelabuhan Bitung merupakan pintu masuk dan Makassar. Untuk itu, apabila dijadikan pelabuhan
keluar perdagangan barang dan jasa di kawasan hub internasional, maka biaya ekspor ke negara
Asia Pasifik. Dalam tulisan ini dibahas mengenai tujuan akan lebih murah (Pangemanan, 2014).
bagaimana pengembangan pelabuhan Bitung Selain itu, keberadaan Pelabuhan Bitung nantinya
dan sejauh mana posisi Bitung bisa mendukung diharapkan akan menurunkan beban kegiatan
perdagangan dalam negeri, sekaligus menjadi hub logistik yang terpusat di Pulau Jawa (inner
untuk perdagangan global. island) dan mendistribusikan secara merata ke
pusat-pusat hub internasional (Kemenko, 2014).
TINJAUAN PUSTAKA Dalam Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 69 Tahun 2001, menetapkan
Sejak diterbitkan Master Plan Percepatan dan
sejumlah persyaratan untuk suatu pelabuhan
Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia
dapat dikategorikan sebagai pelabuhan hub
(MP3EI) oleh Presiden Susilo Bambang
internasional. Persyaratan-persyaratan tersebut
Yudhoyono, salah satu hal yang ditekankan adalah
diantaranya menyangkut kedekatannya dengan
penguatan konektivitas nasional, dimana hal ini
sangat penting dilakukan guna memaksimalkan 1
Istilah yang menggambarkan rute maritim utama antara
keuntungan dari posisi Indonesia dilihat dari pelabuhan, yang digunakan untuk perdagangan, logistik
keterhubungan secara regional dan global/ dan angkatan laut (Klein, 2007). http://www.usni.org/
internasional. Di dalam Peraturan Presiden Nomor magazines/proceedings/2007-04. Diakses pada 22 Juni
2015
48 Tahun 2014 disebutkan bahwa penguatan 2
Jalur di wilayah perairan Indonesia yang dapat dilewati
konektivitas nasional dapat diwujudkan melalui kapal dan pesawat udara asing. http://pustaka.pu.go.id/new/
pembangunan pelabuhan hub internasional bagi istilah-bidang-detail.asp?id=6. Diakses pada 22 Juni 2015

108 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 22, No. 2, 2014


pasar internasional, jalur pelayaran internasional status Pelabuhan Bitung sebagai hub internasiol,
dan jalur ALKI dan hub internasional lainnya. faktor-faktor apa saja yang menentukan Pelabuhan
Selain itu Pelabuhan hub internasional juga Bitung layak ditetapkan sebagai hub internasional,
harus bisa berperan sebagai tempat alih muat peran pelabuhan Bitung sebagai hub domestik
penumpang dan barang internasional (kegiatan dan juga internasional dan kemungkinan peluang
bonglar muat barang). Lebih lanjut Peraturan pengembangan pelabuhan tersebut. Pendekatan
pemerintah tersebut juga mengatur persyaratan ekonomi logistik digunakan untuk melakukan
tekni, misalnya kondisi teknis pelabuhan yang analisis peranan pelabuhan Bitung sebagai hub
terlindung dari gelombang dengan luas daratan yang ikut menentukan distribusi barang dan jasa
dan perairan tertentu. Berdasarkan hal tersebut di Indonesia dan global, khususnya Asia Pasifik.
tepat bila Pelabuhan Bitung dijadikan sebagai Data yang digunakan dalam kajian ini adalah data
salah satu pelabuhan hub internasional. primer dan data sekunder. Data primer diperoleh
Belajar dari kesalahan pembangunan Ceres melalui wawancara dengan para stakeholders
Terminal di port of Amsterdam, letak yang Pelabuhan Bitung termasuk di dalamnya Dinas.
strategis memang merupakan hal penting yang
harus dipertimbangkan dalam pembangunan IHP. HASIL DAN PEMBAHASAN
Selama 21 bulan sejak dioperasikan, baru terdapat
Pembangunan Bitung sebagai pelabuhan hub
satu kapal yang singgah di pelabuhan tersebut.
internasional secara umum merupakan langkah
Konsep logistik yang keliru menyebabkan
yang tepat ditinjau dari sudut pandang ekonomi.
pengguna jasa pelabuhan memerlukan waktu
Berdasarkan hasil wawancara dengan berbagai
yang lebih lama untuk mencapai pelabuhan, serta
instansi di Kota Bitung, 2014 (Bappeda, Pengelola
menimbulkan biaya yang lebih besar (Sumarno,
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) dan Kantor
2014).
Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Bitung),
Lain halnya dengan Port of Singapore setidaknya ada empat alasan yang dapat digunakan
Authority (PSA), terletak di selat malaka yang untuk mendukung pernyataan ini. Pelabuhan hub
merupakan center of gravity perdagangan internasional dapat berperan sebagai 1) pemotong
dunia, pelabuhan ini berhasil mengoptimalkan jarak tempuh khususnya antara Indonesia
posisi strategisnya. Port of Singapore Authority dengan negara-negara Asia Pasifik, 2) pelabuhan
melayani tidak kurang dari 800 shipping line laut yang kooperatif dan kompetitif dengan
serta memiliki akses lebih dari 750 pelabuhan pelabuhan-pelabuhan laut yang sudah ada di
dunia. Saat ini, PSA menjadi salah satu pelabuhan sekitarnya, 3) tempat pembangkitan pendapatan
tersibuk di dunia. Pembangunan IHP lainnya baru (new income generation) terutama di
yang berhasil, yaitu Pelabuhan Antwerp di Indonesia bagian timur, dan 4) pemberi berbagai
Belgia. Hal yang dapat dipelajari dari pelabuhan dampak lanjutan (multiplier effect) yang pada
ini adalah bagaimana cara operator pelabuhan umumnya positif. Masing-masing alasan ini akan
mengelola terminal yang begitu luas dengan dibahas lebih lanjut.
baik. Infrastruktur seperti jalan dan dermaga
Pertama, Pelabuhan Bitung tidak hanya
disediakan oleh pemerintah, sementara fasilitas
berfungsi sebagai hub domestik, tetapi juga
suprastrukturnya (alat bongkar muat) dibangun
sebagai salah satu dari dua hub internasional di
oleh pihak swasta. Inovasi dalam pengelolaan hub
Indonesia. Hal ini sangat sesuai dengan PP No.
port dilakukan dengan menggandeng shipping
32 Tahun 2011 tentang MP3EI 2011-2025 yang
line besar seperti CMA CGM, Maersk Sealine,
dibuat dalam era Pemerintahan Yudhoyono,
NYK, dan sebagainya (Sumarno, 2014).
bahwa untuk mempercepat pemerataan ekonomi,
kegiatan logistik yang selama ini terpusat di
METODE PENELITIAN pulau Jawa, harus didistribusikan secara merata
Kajian tentang pembangunan dan pengembangan ke pusat-pusat hub internasional. Sebagai hub
pelabuhan Bitung sebagai pelabuhan hub domestik, pelabuhan Bitung direncanakan
internasional ini menggunakan analisis deskriptif. menjadi poros Indonesia bagian timur. Sebagai
Analisis deskriptif ini digunakan untuk melihat hub internasional, pelabuhan Bitung diarahkan

Pembangunan Bitung sebagai ... (Zamroni Salim, Erla Mychelisda, Atika Zahra.)│109
untuk dapat menghubungkan Indonesia bagian yang terus menerus setiap tahunnya akan dibidik
timur dengan berbagai negara lainnya, terutama oleh Pelabuhan Bitung. Seandainya tidak ada
negara-negara di Asia Pasifik. Beberapa spoke limpahan sekalipun, Indonesia dapat menjadi
dari pelabuhan Bitung yang ada di luar negeri salah satu pemain kunci dalam urusan pelabuhan
antara lain pelabuhan-pelabuhan di Jepang, karena Indonesia sebagai negara kepulauan
Korea, China, Taiwan, Filipina Selatan, Papua terbesar di dunia dengan banyak potensi laut
Nugini, Australia, dan Selandia Baru, sedangkan yang tidak banyak dimiliki negara lain, serta telah
dari domestik berupa pelabuhan transhipment mencanangkan diri sebagai poros maritim dunia.
dari enam koridor ekonomi Indonesia yaitu Menilik semua itu, Pelabuhan Bitung tidak
Batam, Surabaya, Lombok, Balikpapan, Bitung hanya menjadi pesaing pelabuhan sekitarnya,
itu sendiri dan Morotai (Kantor Kesyahbandaran tetapi juga dengan inovasinya, sekaligus dapat
dan Otoritas Pelabuhan, 2014). sebagai partner bisnis yang akan memberikan
Apabila pelabuhan Bitung dapat memainkan solusi bagi masalah kepelabuhan di sekitarnya.
perannya seperti yang direncanakan tersebut, Adanya sinergi dengan pelabuhan laut lainnya
pemotongan jarak yang signifikan akan dicapai (nasional dan internasional) bisa memberikan
untuk rute antara Indonesia dan negara-negara dampak positif, karena ada persaingan antar
Asia Pasifik. Ini membawa berbagai penghematan pelabuhan sehingga bisnis di pelabuhan akan
antara lain dari segi waktu. Efisiensi jarak (mil selalu berusaha meningkat baik dalam aspek
laut) dan waktu (hari) yang diperkirakan terjadi kualitas, kuantitas, maupun kontinuitasnya.
setiap perjalanan menuju Kaohsiung, Hong Kong, Dari sisi lainnya juga ada kerja sama antar
Shanghai, Busan, Tokyo, Los Angeles, misalnya, pelabuhan sehingga hal ini merangsang terjadinya
ternyata tidak dapat diabaikan. Selanjutnya biaya kemudahan dan ketenangan berusaha.
(USD) yang diperkirakan dapat dihemat untuk Ketiga, pembangunan pelabuhan inter­
setiap kali perjalanan menuju Kaohsiung, Hong nasional bukanlah pembangunan satu-satunya
Kong, Shanghai, Busan,Tokyo, dan Los Angeles di daerah Bitung. Suatu rencana yang lebih
juga sangat besar (Pangemanan, 2014). Secara holistik telah dibuat. Rencana besar itu mencakup
rata-rata, penghematan untuk tujuan-tujuan pula pembangunan-pembangunan lain yang
tersebut lebih dari 40% (Tabel 2). dapat mendukung pembangunan pelabuhan
Kedua, pelabuhan-pelabuhan di Singapura internasional. Rencana pembangunan tersebut
dan Malaysia diperkirakan sudah mendekati mencakup antara lain pembangunan KEK
kapasitas maksimum yang dapat ditangani (Kawasan Ekonomi Khusus), KAPET (Kawasan
mengingat perjalanan dari Asia ke Asia saja Pengembangan Ekonomi Terpadu) Manado-
sudah lebih dari 30% (Tabel 1). Jika peran Bitung, KSN (Kawasan Strategis Nasional), KAN
Singapura sudah dinasionalisasi, ekspor impor (Kawasan Andalan Nasional), BMK (Bendungan
yang dilakukan Indonesia tidak perlu lagi melalui Multifungsi Kuwil), Pengendali Banjir Perkotaan,
Singapura (Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Pendukung, Bandara, Tol Bitung-
Pelabuhan, 2014). Limpahan ini dan pertambahan Manado, jalur kereta api, Bitung Logistics

Tabel 1. Rute Perdagangan Pelayaran Dunia


Amerika Amerika Tengah dan Timur
Nilai (bio US$) Eropa CIS Afrika Asia
Utara Selatan Tengah
Dunia 17.27% 4.48% 37.37% 3.13% 3.31% 4.06% 30.37%
Amerika Utara 48.63% 9.17% 16.05% 0.76% 1.61% 3.17% 20.62%
Amerika Tengah dan Selatan 25.44% 27.48% 17.41% 1.09% 2.86% 2.31% 23.40%
Eropa 7.80% 1.97% 69.51% 3.89% 3.35% 3.30% 10.20%
CIS 4.72% 0.89% 54.85% 19.01% 1.79% 2.55% 16.20%
Afrika 12.25% 4.97% 39.74% 0.33% 13.41% 2.81% 26.49%
Timur Tengah 10.08% 0.94% 12.64% 0.60% 3.33% 9.91% 62.51%
Asia 17.42% 3.50% 15.28% 2.16% 3.16% 4.65% 53.82%
Sumber: Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan Bitung (2014).

110 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 22, No. 2, 2014


Comunity College (BLCC), PLTA, Panas Bumi, peluang yang lebih besar berhubungan dengan
KKWDAST (Kawasan Konservasi dan Wisata orang luar.
Daerah Aliran Sungai Tondano), Kawasan Dampak lanjutan memang tidak hanya
Penambangan, Agropolitan & Minapolitan dari sisi positif. Kemungkinan insiden lalu
(Sarundajang, 2014). lintas laut, pencemaran laut, dan hal-hal negatif
Semua proyek pembangunan tersebut lainnya mungkin meningkat karena kepadatan
merupakan sumber pendapatan baru. Sumber dan frekuensi lalu lintas laut yang lebih tinggi.
pendapatan ini berlangsung sekurang-kurangnya Meskipun demikian, dampak negatif tersebut
pada tahap prakonstruksi, konstruksi, dan diharapkan jauh lebih kecil dari dampak positifnya.
pasca konstruksi. Pada tahap prakonstruksi
terdapat kegiatan perancangan atau perencanaan Keuntungan ekonomis pembangunan
sehingga terdapat peluang kerja terutama bagi pelabuhan hub Internasional di Bitung
para konsultan. Pada tahap konstruksi terdapat
peluang berusaha khususnya bagi kontraktor. Mengapa pembanguan Pelabuhan Bitung sebagai
Pada tahap pascakonstruksi, peluang usaha pelabuhan hub internasional menjadi penting
terjadi bagi pengelola dan pelaksana kegiatan dari untuk segera dilakukan? Ada beberapa alasan
proyek-proyek yang telah dibangun sebelumnya. mendasar yaitu:
Seluruh proyek tersebut dapat berlangsung cukup 1. Ketika peran Singapura (bagi Indonesia)
lama. Untuk pembangunan pelabuhan saja, dinasionalisasi, Indonesia tidak harus
dibutuhkan waktu antara tahun 2003 sampai 2025 bergantung sepenuhnya dalam melakukan
(Rajasa, 2006). Keuntungan sekitar pelabuhan ekspor dan impor tidak perlu melalui Singa-
juga akan meningkatkan peran daerah maupun pura. Proses double handling yang selama
industri yang akan berkembang di sekitarnya, ini dilakukan di Singapura bisa ditiadakan.
yang nantinya dapat memperkuat ekonomi lokal Oleh karena itu, Pelabuhan Bitung harus
regional (Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas didesain untuk bisa menampung/menjadi
Pelabuhan, 2014). tempat bersandar kapal jenis besar (mother
Keempat, akan ada beberapa dampak lanjutan vessel).
dari pembangunan pelabuhan internasional. 2. Dalam jangka panjang kapasitas pelabuhan
Salah satu dampak tersebut adalah terbentuknya Singapura dan juga Malaysia akan jenuh/
peningkatan pengawasan publik di laut. Kegiatan padat, sehingga dimungkinkan terjadi lim-
yang bersifat sporadis ini bisa saja menjadi pahan barang. Dengan kemampuan untuk
penting misalnya jika dihubungkan dengan memberikan pelayanan dan harga yang
pencurian ikan oleh berbagai nelayan dari kompetitif, maka pelabuhan hub interna-
negara lain. Indonesia - yang memiliki sekitar sional kita akan memperoleh tambahan
17,504 pulau dan wilayah perairan laut 5,8 juta permintaan pelayanan.
km2 - menderita kerugian 30 triliun rupiah setiap Pergerakan impor dan ekspor Bitung cukup
tahun (Hutajulu et al., 2014) akibat pencurian variatif dilihat dari negara asal maupun negara
ikan. Pencurian ikan milik Indonesia tersebut tujuan impor. Hal yang perlu digaris bawahi dalam
bahkan ada yang memperkirakan mencapai 100 kaitannya dengan pengembangan Bitung adalah
triliun (Republika Online, 2015) atau 300 triliun bagaimana meningkatkan volume perdagangan
(Suhendra, 2015) setiap tahunnya. Selain itu, melalui Bitung. Untuk peningkatan volume
wilayah perbatasan terutama yang dilalui jalur perdagangan berarti pelabuhan Bitung harus
kapal perjalanan akan menjadi lebih sering terlihat bisa difungsikan sebagai hub sesuai dengan
orang. Hal ini akan memicu perhatian ke daerah- peruntukannya untuk menampung barang-barang
daerah terluar, terpinggirkan dan terbelakang (3 hasil produksi dari daerah sekitar. Demikian juga,
T). Dengan adanya pemicuan perhatian tersebut Pelabuhan Bitung sebagai penghubung dengan
maka tempat-tempat 3 T tersebut segera atau wilayah lain di Indonesia seperti Pelabuhan
setidaknya secara bertahap makin berkembang. Batam, Surabaya, Balikpapan, Lombok, dan
Selanjutnya, warga di daerah ini dapat memiliki Morotai, sekaligus penghubung kawasan regional

Pembangunan Bitung sebagai ... (Zamroni Salim, Erla Mychelisda, Atika Zahra.)│111
dan internasional lainnya seperti Pelabuhan sebagai pemasok barang kebutuhan nasional ke
Jepang, Korea, Taiwan, Australia, Asia Pasifik, berbagai wilayah distribusi di Indonesia. Posisi
dan Amerika. Sementara itu dari sisi impor, ini tentu saja bisa menciptakan efisiensi distribusi
Pelabuhan Bitung sudah mulai bisa difungsikan dan ekonomi pada umumnya.

Tabel 2. Data Perbandingan Pelabuhan Bitung dengan Pelabuhan Lain di Negara Tujuan
PELABUHAN NEGARA TUJUAN
PELABUHAN BITUNG
Darwin Kaohsiung Hongkong Shanghai Busan Tokyo Los Angeles
Via Tanjung Priok & Singapore
3.526 3.365 4.142 4.408 3.429 9.574
(Mil Laut)
Bitung Direct
1.094 1.346 1.423 1.901 2.113 2.220 6.651
(Mil Laut)
BEDA JARAK
2.180 1.942 2.241 2.295 1.209 2.923
(Mil Laut)
BEDA JAM 346,46 336,11 349,11 351,46 364,24 378,76
BEDA HARI 14,44 14,00 14,55 14,64 15,18 15,78

Sumber: Pangemanan (2014)

Tabel 3. Posisi Pelabuhan Bitung Diantara pelabuhan lain di Indonesia dan Dunia
Pelabuhan Negara Volume (juta TEU), 2011 Volume (juta TEU), 2012
Shanghai China 31.74 32.53
Singapura Singapura 29.94 31.65
Hong Kong China 24.38 23.10
Shenzen China 22.57 22.94
Busan Korea Selatan 16.18 17.04
Jebel Ali, Dubai UEA 13.00 13.30
Rotterdam Belanda 11.88 11.87
Port Kelang Malaysia 9.60 10.00
Tanjung Pelepas Malaysia 7.50 7.70
Tanjung Priok Indonesia 5.62 6.10
Tanjung Perak Indonesia 2.64 2.85
Kuala Tanjung Indonesia
Bitung Indonesia
Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI (2014)

Dari sisi ekonomis, Pelabuhan Bitung pengembangan kawasan bersama dalam konteks
mempunyai keunggulan dibandingkan dengan BIMP-EAGA 3.
Pelabuhan Tanjung Priok, bahkan Singapura.
Secara fisik geografis, Pelabuhan Bitung juga
Sebagai perbandingan berikut ditampilkan data
memiliki posisi yang strategis karena berada di
mengenai perbedaan jarak, waktu hari dan jam.
selat yang terlindungi dari arus dan gelombang
Dari sisi geostrategis, Pelabuhan Bitung laut yang besar sehingga proses bongkar muat
mempunyai keunggulan sebagai pelabuhan hub barang menjadi lebih aman. Selain itu, dengan
internasional karena mampu menampung produksi tingkat kedalaman yang mencapai 35 meter lebih,
barang dan jasa ekspor impor serta pusat distribusi
barang dan penunjang logistik di Kawasan
3
Merupakan wilayah pertumbuhan ASEAN Timur yang
Timur Indonesia. Selain itu, posisi Bitung juga
diikuti oleh 4 negara yaitu Brunei Darusasalam, Indonesia
strategis untuk menghubungkan Indonesia (Kalimantan Timur, Kalimantan Barat, dan Sulawesi
dengan kawasan, Asia Pasifik. Pelabuhan Bitung Utara), Malaysia (Sabah, Serawak, dan Labuan), dan Fili-
juga sebagai pelabuhan kunci untuk mendukung pina (Mindanao dan Palawan). http://www.bimp-eaga.org/.
Diakses pada 23 Juni 2015

112 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 22, No. 2, 2014


Gambar 1. Rencana Pengembangan Bitung sebagai International Hub Port (IHP)
Sumber: Bappeda Kota Bitung (2014)

maka Pelabuhan Bitung bisa digunakan untuk melalui pembentukan Sistem Logistik Nasional
bongkar muat kapal, termasuk kapal besar. (Sislognas) yang ditujukan untuk mewujudkan
Proses pembentukan Pelabuhan Bitung sistem logistik yang efisien dan produktif melalui
sebagai pelabuhan hub internasional tidak terlepas pembangunan dan pengembangan pelabuhan di
dari dukungan (fisik) khususnya infrastruktur dan Indonesia.
jaringan logistikc. Beberapa sarana penunjang Upaya pengembangan pelabuhan Bitung terus
Pelabuhan Bitung yang mampu mendukungnya dilakukan. Ada beberapa kegiatan pembangunan
sebagai pelabuhan hub internasional adalah yang dilakukan oleh pemerintah/pemerintah
sebagai berikut: daerah, BUMN (Pelindo) dan swasta untuk
Dasar hukum pengembangan pelabuhan periode sampai 2017 adalah sebagai berikut
Bitung sebagai pelabuhan hub internasional (KEK):
merujuk pada kerangka besar MP3EI yang • Pengerukan kolam pelabuhan nusantara
menjelaskan arti penting dari Pelabuhan Hub sampai dengan kedalaman 6 LWS4
Internasional bagi Indonesia dalam upaya • Pengerukan alur atau kolam pelabuhan TPB5
meningkatkan kinerja logistik nasional. Secara sampai dengan kedalaman 12 LWS
legal, penetapan Pelabuhan Bitung sebagai
• Pembangunan dan replacement dermaga
pelabuhan hub internasional didasarkan pada
samudera
Peraturan Presiden No. 26 Tahun 2012 tentang
Cetak Biru (Blue Print) Pengembangan Sistem • Pembangunan CY dan pembangunan lan-
Logistik Nasional (Sislognas). Terdapat 2 jutan untuk dermaga TPB dengan ukuran
pelabuhan yang ditetapkan sebagai pelabuhan 150x30 m2.
hub internasional, diantaranya Pelabuhan Kuala Secara khusus penetapan pelabuhan hub
Tanjung, Sumatera Utara, untuk menjadi hub di internasional adalah untuk mengurangi beban
bagian Barat dan Pelabuhan Bitung, Sulawesi aktivitas logistik yang terkonsentrasi di Pulau
Utara, di bagian Timur Indonesia. Jawa sehingga perlu upaya pemerataan beban
Berdasarkan Perpres No. 32 tahun 2011 logistik ke daerah lainnya; pemerataan dan
tentang MP3EI, pembangunan pelabuhan hub perluasan pembangunan ekonomi, penerapan asas
internasional dilakukan untuk meningkatkan daya 4
Low water spring (LWS) merupakan kedalaman air pada
saing perekonomian Indonesia guna mendukung saat surut purnama; surut yang paling rendah permukaan
percepatan dan perluasan pembangunan ekonomi airnya. (Kementerian Perhubungan, 2002)
di Indonesia. Upaya ini dilakukan dengan 5
Terminal peti kemas

Pembangunan Bitung sebagai ... (Zamroni Salim, Erla Mychelisda, Atika Zahra.)│113
cabotage secara lebih optimal dan pemanfaatan selama ini masih melayani lalu lintas barang
ekonomis Selat Malaka dan tiga Arus Lintas termasuk ekspor dan impor untuk komoditas
Kepulauan Indonesia (ALKI) secara lebih optimal sektor primer: kopra, cengkeh, kayu dan lainnya
(BAPPEDA Bitung, 2014). Pelabuhan Bitung (tabel 4); sektor sekunder seperti ikan kaleng
dan minyak goreng dan sektor tersier khususnya
Tabel 4. Komoditas Primer di Indonesia Timur Melalui Pelabuhan Bitung

Pelabuhan Komoditi yang diangkut


Gorontalo Jagung, ikan, kayu
Balikpapan Kayu olahan
Samarinda Kayu olahan
Ternate Kayu olahan, cengkeh, kopra
Sorong Ikan, kayu
Biak Ikan, kayu
Manokwari Ikan
Jayapura Ikan
Merauke Kayu, tembaga
Sumber: Kawasan Ekonomi Khusus Bitung (2014)

Tabel 5. Rute Pergerakan Domestik dan Internasional Melalui Pelabuhan Hub Internasional Bitung

No Kawasan Ekonomi Moda yang Transhipment Jenis Tujuan Jenis Negara


digunakan Kapal Kapal Tujuan
1. Sumatera Rel, darat, laut Batam Jepang
2. Jawa Rel, darat, laut Surabaya Korea
3. Kalimantan Rel, darat, laut Balikpapan Pelabuhan mother Taiwan
4. Sulawesi Rel, darat, laut Bitung vessel Hub Internasi- vessel Australia
onal Bitung
5. Bali – Nusa Tenggara Rel, darat, laut Lombok Asia Pasifik
6. Papua – Kep Maluku Rel, darat, laut Morotai Amerika
Sumber: Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian RI (2014)

Tabel 6. Banyaknya Lintasan Barang Menurut Perdagangan Luar Negeri Melalui Pelabuhan Bitung Tahun
2002–2013

Tahun Impor Ekspor Jumlah


2002 144.722 531.420 676.142
2003 92.491 388.676 481.167
2004 10.615 387.995 398.610
2005 20.451 521.041 541.492
2006 57.180 412.191 469.371
2007 51.348 413.285 464.633
2008 14.489 293.854 308.343
2009 12.603 315.052 327.655
2010 24.818 366.290 391.108
2011 166.079,37 590.754,85 756.834,22
2012 50.739 437.953 524.692
2013 63.769 319.568 383.377
Sumber: BPS Kota Bitung, 2014.

114 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 22, No. 2, 2014


Tabel 7. Potensi Pelabuhan Bitung

Perbandingan Posisi Strategis Pelabuhan Bitung


Lokasi Gerbang utama wilayah Timur Indonesia yang menjadi transhipment kegiatan ekspor im-
por sebagian pangsa pasar utama di Selat Malaka, Jepang, Korea, China, Taiwan, Australia,
Asia Pasifik, dan Amerika serta hub bagi komoditas pelabuhan utama nasional di Batam,
Surabaya, Balikpapan, Bitung, Lombok dan Morotai.
Kedalaman Pelabuhan Bitung merupakan salah satu dari tiga pelabuhan alam yang ada di Indonesia
yang memiliki kedalaman alur pelayaran mencapai 40 meter, tidak adanya pendangkalan,
dan arus gelombang yang tenang. Berdasarkan persyaratan pelabuhan hub internasional,
kedalaman untuk pelabuhan jenis ini minimal 12 m LWS.
Bongkar Muat Berdasar keputusan kementerian perhubungan no 53 tahun 2002 pasal 10 ayat 1, untuk
persyaratan sebagai International Hub Port (IHP) mempunyai kapasitas minimal sebesar
2.500.000 teus, sehingga perlu dilakukan review dengan menambah area sebelah kiri
(pelabuhan cabang Bitung yang ada saat ini) sebagai perluasan lapangan penumpukan peti
kemas sehingga total kapasitas dapat mencapai + 8.000.000 teus per tahun.
Industri Terdapat kawasan Tanjung Merah yang nantinya menjadi basis tiga kelompok industri,
berbasis sumber-sumber daya alam (20-25 persen), industri pendukung untuk pengolahan
ikan (40 persen), dan industri kemasan (40 persen). Selain itu, Pelabuhan Bitung memiliki
3 jenis komoditi ; (1) sektor primer terdiri dari kopra, cengkeh, kayu, dan rotan; (2) sektor
sekunder dimana terdapat pengalengan ikan dan minyak goreng (industri), dan (3) sektor
tersier didominasi oleh pariwisata (Tondano, Bunaken, Likupang, dan P. Gangga).
Efisiensi Dibandingkan dengan Pelabuhan Tanjung Priok, arus barang melalui Pelabuhan Bitung
dapat memangkas jarak tempuh mencapai 30-60 persen dan menghemat waktu 14-15
hari.
Sumber: Data dari berbagai sumber (Bappeda, 2014, KSOP 2014)

pariwisata (yang disediakan oleh pelabuhan Tanjung Merah yang memiliki luas 512 hektare.
penumpang). Sebagai hub untuk wilayah timur Kawasan ini diproyeksikan untuk aktivitas
Indonesia, Pelabuhan Bitung melayani pergerakan ekonomi bagi tiga kelompok industri, yaitu
barang dan jasa untuk wilayah sekitarnya. Tabel industri berbasis sumber-sumber daya alam yang
5 menggambarkan pergerakan komoditi yang porsinya sekitar 20-25 persen, industri pendukung
berasal dari pelabuhan/daerah sekitarnya. Masih untuk pengolahan ikan (40 persen), dan industri
terbatasnya pelayanan Pelabuhan Bitung yang kemasan (40 persen).
cenderung hanya untuk mengangkut komoditas Dengan memperhatikan semakin
primer tidak terepas dari terbatasnya pasokan meningkatnya arus perdagangan dunia, khususnya
barang manufaktur yang berasal dari daerah di kawasan Asia Pasifik, maka tingkat aksesibilitas
sekitar di kawasan timur Indonesia, khususnya menjadi hal yang sangat penting untuk diperhatikan
di Sulawesi Utara sendiri (Bisnis.com, 2014). oleh Indonesia, khususnya untuk pelabuhan yang
memang sudah ditargetkan menjadi pelabuhan
Kawasan Ekonomi Khusus hub internasional. Akses kelautan yang mudah
(nautical access), tingkat kedalaman perairan,
Untuk mendukung terwujudnya Pelabuhan dan kualitas sistem kendali pelayaran (Vessel
Bitung sebagai pelabuhan hub internasionl, di Traffic Guidance System) adalah hal mutlak
Bitung juga disiapkan suatu kawasan khusus yang yang harus dipenuhi oleh suatu pelabuhan hub
memberikan kemudahan pergerakan arus barang internasional (Kawasan Ekonomi Khusus).
dan produksi dalam bentuk Kawasan Ekonomi Secara umum ada empat faktor kunci yang harus
Khusus (KEK) dengan dasar hukum yaitu UU diperhatikan yaitu kontainerisasi, infrastruktur
No. 39 tahun 2009 dan peraturan pelaksanaannya yang memadai, peningkatan keamanan pelabuhan
yaitu PP No. 2 tahun 2011 yang direvisi menjadi dan perkembangan teknologi.
PP No. 100 tahun 2012. Di daerah Bitung, lokasi
yang dijadikan KEK adalah di kawasan industri

Pembangunan Bitung sebagai ... (Zamroni Salim, Erla Mychelisda, Atika Zahra.)│115
KESIMPULAN DAN SARAN Bisnis.com. (2014). Sektor Riil: Kurang
Berkembang Di Sulut. http://industri.
Dari hasil analisis yang meliputi kelayakan
bisnis.com/read/20141217/257/383638/
fisik (kedalaman, lingkungan), efisiensi dan
sektor-riil-kurang-berkembang-di-sulut.
kemungkinan pengembangan, Pelabuhan Bitung
Diakses tanggal 23 desember 2014
layak dijadikan pelabuhan hub internasional.
Dilihat dari kedalamannya, Pelabuhan Bitung BPS Kota Bitung, 2014. Bitung dalam angka
mempunyai kedalaman alami sampai 35 meter. 2014. Bitung: 195p
Selain itu, Pelabuhan Bitung juga mempunyai Hutajulu, M. et al. (2014). Analisis hukum pidana
posisi yang sangat bagus karena berada di Teluk terhadap pencurian ikan di zona ekonomi
Lembeh yang terlindung dari arus dan ombak eksklusif Indonesia wilayah pengelolaan
besar dari laut lepas. perikanan Republik Indonesia (studi putusan
Pengembangan pelabuhan Bitung sebagai NO: 03/PID.SUS.P/2012/PN.MDN). USU
hub internasional sebaiknya didukung dengan Law Journal, Vol.II-No.1 (Feb-2014).
pembangunan dan pengembangan pelabuhan Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan
lain, baik itu sebagai pelabuhan internasional, Bitung. 2014. Pelabuhan Bitung.
pelabuhan utama, maupun pelabuhan pengumpul. Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian
Pembangunan industri di sekitar kawasan Bitung RI. (2014). Identifikasi Pola Pengelolaan
bisa dikembangkan, termasuk kawasan KEK Ru te Da l a m Ra n g ka Imp l emen ta s i
Bitung. Pembangunan industri di kawasan Pelabuhan Hub Internasional di Pelabuhan
Timur Indonesia dengan segala infrastruktur KualaTanjung dan Bitung. Jakarta
pendukungnya perlu dilakukan. Hal ini perlu Kementerian Perhubungan. (2002). Keputusan
dilakukan mengingat, sebagai pelabuhan hub, Menteri Perhubungan Tentang Tatanan
Bitung merupakan titik temu dari berbagai barang Kepelabuhan Nasional Nomor KM 53 tahun
dan jasa yang berasal dari berbagai pelabuhan 2002.
yang ada, khususnya yang berada di wilayah
Klein, John J. (2007). Maritime Strategy Should
timur Indonesia.
Heed U.S. and UK Classics. U.S Naval
Institute Proceedings 133(4): 67-69.
UCAPAN TERIMA KASIH Pangemanan, Audy RR. (2014). Peluang dan
Penulis mengucapkan terimakasih yang kepada tim tantangan kegiatan eksport – import melalui
Kajian ASEAN-China Connectivity Development pelabuhan Bitung.
yang telah bersama-sama melakukan kajian Peraturan Presiden No. 32 Tahun 2011 tentang
tentang konektivitas di Indonesia. Ide tulisan Master Plan Percepatan dan Perluasan
dalam jurnal ini merupakan bagian dari kajian di Pembangunan Ekonomi Indonesia 2011-
lapangan. Penulis juga mengucapkan terimakasih 2025. Jakarta: 9 p.
kepada narasumber di lapangan, khususnya Bapak Peraturan Pemerintah Nomor 48. 2014. Perubahan
Prof. Dr. Noldy Norah yang banyak memberikan Atas Peraturan Presiden Nomor 32 Tahun
ide masukan dan koreksi terhadap kajian ASEAN- 2011 Tentang Masterplan Percepatan
China Connectivity Development. dan Perluasan Pembangunan Ekonomi
Indonesia 2011-2025.
DAFTAR PUSTAKA Peraturan Pemerintah Nomor 69. 2001.
Bappeda Kota Bitung. (2014). Bitung The New Kepelabuhanan.
Gateway of Indonesia in Asia Pasific. Rajasa, H. (2006). Peraturan Menteri Perhubungan
Bitung: Bappeda Kota Bitung No. KM 50 Tahun 2006 tentang Rencana
Bappeda Kota Bitung. (2014). Bitung Potensi Induk Pelabuhan Bitung. Kemenhub,
Strategi dan Peluang Investasi.. Bitung: Jakarta: 6 p.
Bappeda Kota Bitung

116 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 22, No. 2, 2014


Republika Online. (2014). Duh, 30 Persen Sumarno, Edi. (2014). Perspektif 3 Transportasi
Pencurian Ikan Dunia Terjadi di Indonesia. Laut Maritim Indonesia. https://www.
http:// www.republika.co.id/berita/nasional/ academia.edu/7243254/PERSPEKTIF_3_
umum/14/07/18/n8vnic-duh-30-persen- TRANSPORTASI_LAUT_MARITIM_
pencurian-ikan-dunia-terjadi-di-indonesia. INDONESIA. Diakses 7 Juni 2015. Jakarta:
Diakses 2 Februari 2015. academia.edu.
Sarundajang. (2014). Peluang Investasi Usadi, Bambang (2014), Indonesia Poros
Pembangunan Infrastruktur dan Maritim Dunia Menuju Ekonomi Berbasis
Perekonomian di Provinsi Sulawesi Utara. Kelautan. http://jurnalmaritim.com/2014/08/
: 85 p. indonesia-poros-maritim-dunia-menuju-
Suhendra, Z. (2014). Jokowi-JK: Karena ekonomi-berbasis-kelautan/. Diakses 7 Juni
Pencurian Ikan, Negara Rugi Rp 300 Triliun/ 2015.
Tahun. http://finance.detik.com/read/2014/0 WTO. (2015). Trade Statistics and Outlook:
7/04/084730/2627544/4/jokowi-jk-karena- Modest trade recovery to continue in 2015
pencurian-ikan-negara-rugi-rp-300-triliun- and 2016 following three years of weak
tahun. Diakses 2 Februari 2015. expansion. PRESS/739 14 April 2015
accessed from https://www.wto.org/english/
news_e/pres15_e/pr739_e.pdf on July 9,
2015

Pembangunan Bitung sebagai ... (Zamroni Salim, Erla Mychelisda, Atika Zahra.)│117
118
IMPLIKASI KENDALA STRUKTURAL DAN KELANGKAAN
MODAL TERHADAP PERILAKU SOSIAL EKONOMI NELAYAN

IMPLICATION OF STRUCTURAL CONSTRAINTS AND CAPITAL


SCARCITY ON FISHERMEN SOCIO-ECONOMIC BEHAVIOUR

Bintang Dwitya Cahyono, Mochammad Nadjib*


Peneliti pada Pusat Penelitian Ekonomi-LIPI
Jalan Gatot Subroto 10, Jakarta Selatan 12710
E-mail: mochammadnadjib13@gmail.com
Abstract
Indonesia is one of the largest archipelago countries in the world therefore it has a great potential as a marine
fish producers. However, this potential can not be fully utilized by the fishing communities, so they are known as the
most impoverished communities. This study discusses the relationship between structural constraints and capital
scarcity faced by fishermen and their implications on economic and social behavior of the poor level of fishermen.
This article is based on primary study of the Financing Fisherman conducted by the researcher during the period
of 2012-2014. Source of data is collected from in-depth interview, focus group discussions, and direct observation
on the fishermen communities along Java, Sumatera and Sulawesi islands coasts. The findings show that structural
constraints and scarce of capital have encourage fishermen to develop specific socio-economic behavior to survive
and support their incomes. These specific behaviours have caused ineffectiveness of the government policies to
increase welfare.
Keywords: Fishing community, structural constraints, capital scarcity, patron-client relations, capital sharing.

Abstrak
Indonesia tidak saja sebagai salah satu negara kepulauan terbesar di dunia, juga sekaligus memiliki potensi besar
sebagai produsen ikan laut. Meskipun demikian, potensi ini belum bisa dimanfaatkan sepenuhnya oleh masyarakat
nelayan, sehingga mereka dikenal sebagai kelompok masyarakat yang paling miskin. Artikel ini mendiskusikan
implikasi kendala struktural dan kelangkaan modal yang dihadapi nelayan terhadap perilaku sosial ekonomi
dan tingkat kemiskinan nelayan. Artikel ini bersumber dari hasil penelitian tentang Pembiayaan Nelayan yang
dilakukan selama kurun waktu 2012-2014, dan akumulasi pemahaman dari berbagai studi primer yang dilakukan
pada komunitas nelayan. Sumber data dikumpulkan melalui wawancara mendalam, Focus Group Discussion dan
observasi di berbagai komunitas nelayan di Jawa, Sumatera dan Sulawesi. Implikasi adanya hambatan struktural
dan kelangkaan modal telah menyebabkan nelayan mengembangkan alternatif perilaku sosial ekonomi yang khas.
Kata kunci: Masyarakat nelayan, kendala struktural, kelangkaan modal, hubungan patron-klien, institusi bagi hasil.

PENDAHULUAN yang dimiliki Indonesia sekitar 5,8 juta km2,


dengan potensi sumber daya di dalamnya yang
Dilihat dari potensi sumberdaya yang dimiliki,
cukup besar diantaranya adalah sumber daya
dapat dikatakan Indonesia merupakan raksasa
ikan. Potensi lestari1 sumber daya perikanan laut
yang sedang tidur (the sleeping giant). Indonesia
Indonesia diperkirakan sebesar 6,52 juta ton per
memiliki potensi wilayah pesisir dan lautan yang
tahun, dengan tingkat pemanfaatan pada 2012
relatif kaya.
masih jauh dari optimal hanya mencapai 5,44
Indonesia adalah salah satu negara juta ton per tahun dengan nilai produksi Rp 72
kepulauan terbesar di dunia, wilayah maritimnya triliun (Kementerian Kelautan dan Perikanan,
membentang sekitar 17.500 pulau dengan garis 2013). Volume produksi perikanan tangkap
pantai terpanjang nomor dua setelah Kanada,
yaitu sekitar 81.000 km. Luas wilayah laut 1
Estimasi potensi lestari sumberdaya ikan di wilayah pen-
gelolaan perikanan Negara Indonesia, diputuskan melalui
Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik
*Correspondent author
Indonesia No KEP.45/MEN/2011.

119
yang dihasilkan Indonesia tersebut merupakan Padahal usaha penangkapan ikan merupakan
produksi terbesar ke tiga di dunia setelah China usaha yang padat modal, sehingga dibutuhkan
yang produksinya mencapai 14,79 juta ton dan dana relatif besar untuk pengadaan perahu,
Peru yang produksinya mencapai 7,36 juta ton mesin perahu, jaring, dan biaya operasional
(FAO, 2010). penangkapan (Nadjib, 2013a). Semakin besar
Dengan dimilikinya potensi lestari sumber modal usaha yang ditanamkan akan semakin
daya perikanan laut yang cukup besar, seharusnya baik pula teknologi yang dapat dimanfaatkan,
menempatkan nelayan sebagai masyarakat sehingga semakin besar pula kemungkinan
yang sejahtera. Namun kenyataan yang ada usaha penangkapan ikan dapat berkembang
menunjukkan sebagian besar masyarakat nelayan lebih baik. Meskipun demikian, pengadaan
dikategorikan sebagai masyarakat miskin. modal melalui kredit dari lembaga keuangan
Kemiskinan dan ketertinggalan inilah yang formal seperti bank, masih sangat terbatas. Untuk
menyebabkan munculnya stereotipe bahwa menanggulangi masalah modal, nelayan mencari
masyarakat nelayan itu lemah, bodoh, dan tidak alternatif pembiayaan dengan meminjam dari para
mampu merencanakan masa depan (Sawit, tengkulak, pedagang ataupun dari rentenir dengan
1988; Mubyarto dkk, 1994; Harahap, 1997). biaya relatif tinggi. Dengan demikian, selain
Dengan kata lain, faktor budaya dinilai telah budaya maka masalah struktural merupakan salah
menyebabkan masyarakat nelayan itu miskin. satu pemikiran yang mengakibatkan masyarakat
Dalam hal ini, nelayan dianggap miskin karena nelayan itu miskin. Dominasi sekelompok kecil
budaya mereka tidak mendukungnya untuk masyarakat atas sumberdaya, menyebabkan
keluar dari kemiskinan. Diantara faktor budaya adanya stratifikasi yang jelas antara yang
yang menyebabkan nelayan itu miskin adalah menguasai dan tidak menguasai terhadap akses
pandangan bahwa nelayan itu “malas, permisif sumberdaya. Masyarakat yang tidak menguasai
dan foya-foya” sebagai sumber dari nilai-nilai akses sumberdaya inilah yang termasuk dalam
tradisional mereka yang tidak mendukung klasifikasi miskin (Soemardjan, 1980).
terhadap pertumbuhan ekonomi2. Tulisan ini membahas secara mendalam
Stereotipe yang berkembang di masyarakat modal dan investasi yang dibutuhkan nelayan
tersebut sangat memandang rendah kehidupan serta hambatan struktural yang mempengaruhi
masyarakat nelayan, bahkan pandangan tersebut perilaku sosial ekonomi masyarakat nelayan.
memberi pengaruh terhadap berbagai kebijakan Diharapkan dari pembahasan secara mendalam
pemerintah dalam penyusunan program terhadap perilaku sosial ekonomi nelayan,
pembangunan bagi masyarakat nelayan. Salah akan dapat diungkap hambatan struktural dan
satunya adalah permasalahan tidak adanya kondisi sosial ekonomi serta budaya masyarakat
kebijakan skim kredit dari lembaga keuangan nelayan. Dengan demikian akan dapat dipahami
formal khusus untuk nelayan skala kecil. permasalahan riil yang dihadapi nelayan, sehingga
program kebijakan yang diterapkan untuk
2
Pemahaman dalam melihat kemiskinan dari aspek budaya
masyarakat nelayan bisa cocok dan sesuai
pada masyarakat petani telah diulas secara panjang lebar implementasinya untuk berbagai komunitas
oleh Clifford Geertz dalam bukunya Agricultural Involu- nelayan.
tion: the Process of Ecological Change in Indonesia. Bar-
kley: University of California Press, 1963 dengan konsep
“membagi kemiskinan” (shared poverty) serta tulisan TINJUAN PUSTAKA
James C. Scott dalam bukunya The Moral Economy of
the Peasant: Rebellion and Subsistence in Southeast Asia. Budaya Ekonomi Nelayan
New Haven: Yale University Press, 1996 dengan konsep Secara struktural, ekonomi nelayan mirip dengan
“etika subsistensi” yang membentuk moral ekonomi petani.
Untuk memahami budaya ekonomi nelayan, lihat tulisan
ekonomi petani. Antara lain berskala kecil, serta
Mochammad Nadjib dalam artikel “Agama, Etika dan peralatan dan organisasi pemasarannya relatif
Etos Kerja dalam Aktivitas Ekonomi Masyarakat Nelayan masih sederhana. Meskipun demikian, apabila
Jawa” dalam Jurnal Ekonomi dan Pembangunan. Volume dilihat dari sudut pandang budaya ekonomi maka
21(2), halaman 137-150, tahun 2013d yang mendiskusikan
hubungan antara kepercayaan yang dianut nelayan Jawa kehidupan nelayan sangat berbeda jauh bila
terhadap dorongan tumbuhnya etos kerja. dibandingkan dengan kehidupan petani.

120 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 22, No. 2, 2014


Dalam proses produksi, sejak tahap awal selanjutnya berpengaruh pada pranata ekonomi
petani telah terlibat secara langsung. Mereka harus dalam kehidupan sosial masyarakat nelayan.
menyiapkan lahan, membajak dan menanaminya. Pranata ekonomi yang berkembang dalam
Mereka juga terlibat terus sampai proses pasca menanggulangi berbagai risiko ketidakpastian
tanam seperti untuk mengatur pengairan, dan ketidakteraturan, adalah pranata yang
pemupukan, pembasmian hama dan sebagainya. memungkinkan terwujudnya jaminan sosial
Sebaliknya dengan nelayan, dalam proses produksi ekonomi dalam kehidupan nelayan. Berbagai
tidak banyak persiapan yang dilakukan. Meskipun pranata berbagai risiko yang lazim berkembang
demikian tetap penting dibutuhkan ketrampilan pada komunitas nelayan diantaranya adalah
teknis nelayan untuk memahami habitat ikan, institusi bagi hasil tangkapan, berbagi modal
arah arus, pengetahuan terhadap cuaca, musim (capital sharing), patronage dan sebagainya.
ikan dan sebagainya. Apabila mengalami paceklik Kelembagaan ini telah mampu membagi risiko
hasil tangkapan, nelayan biasanya akan mencari ketidakpastian dan ketidakteraturan secara lebih
daerah tangkapan baru yang diperkirakan masih adil dalam sistem ekonomi penangkapan ikan.
banyak ikannya atau berhenti untuk sementara Bertitik tolak dari hal itu, maka berbagai
waktu guna menghindari kerugian yang lebih program ataupun pemberian kredit dan
besar (Masyhuri ed. 1998; M. Nadjib ed. 2013a). pembiayaan yang sesuai dengan usaha nelayan
Perbedaan yang tajam antara petani dengan akan dapat berkembang bilamana bertitik
nelayan terhadap proses produksi, berakibat pula tolak dari pemahaman akan budaya ekonomi
pada kontrasnya pola pendapatan diantara mereka. masyarakat nelayan itu sendiri. Permasalahan
Pendapatan petani cenderung lebih teratur, yang terjadi selama ini, sering muncul kesalah
sebaliknya pendapatan nelayan tidak pernah pahaman dalam memahami masyarakat nelayan.
teratur. Selain relatif teratur, petani sedikit banyak Secara umum masyarakat nelayan dianggap sama
memiliki gambaran berapa besar pendapatan yang dengan petani, sehingga formula kebijakan untuk
akan diperolehnya setiap kali panen. Mereka juga masyarakat nelayan disamakan dengan kebijakan
memiliki gambaran kapan panen berikut akan untuk petani. Kesalahpahaman yang umum
tiba. Oleh karena itu, budaya ekonomi petani terjadi dalam memahami masyarakat nelayan (M.
cenderung sangat hati-hati dalam membelanjakan Nadjib, 2013a; M. Nadjib, 2013c) adalah: Pertama,
pendapatannya agar supaya dapat cukup sampai kurang tepat dalam mengkategorisasikan apa
panen berikutnya. Untuk menghindari risiko, yang disebut dengan “nelayan”, sehingga
petani cenderung mencari jalan keluar yang telah pengertian nelayan meliputi pula kelompok
mapan seperti mendirikan lumbung pangan atau masyarakat yang sebenarnya bukan nelayan.
lumbung peceklik dan kurang berani melakukan Dilihat dari budaya ekonominya, bukan termasuk
spekulasi (Scott, 1996). dalam kategorisasi nelayan, meskipun bergerak
Sebaliknya nelayan, mereka tidak pernah dalam usaha perikanan dan orientasinya ke laut
memiliki gambaran tentang pendapatan yang diantaranya adalah usaha budidaya ikan, tambak
akan diperolehnya. Usaha penangkapan ikan bagi dan rumput laut. Mereka lebih tepat dikategorikan
nelayan ibaratnya seni berburu yang hasilnya sebagai “pembudidaya” atau “petani”. Kesalahan
sulit diperkirakan, tidak pernah pasti, fluktuatif kedua, adalah kesalahan dalam memahami
dan sangat spekulatif. (Acheson, 1981; Masyhuri budaya ekonomi nelayan yang disamakan dengan
dkk., 1999; Masyhuri dan M. Nadjib, 2000; M. budaya ekonomi petani. Budaya ekonomi nelayan
Nadjib, 2013b). Pada suatu saat nelayan dapat berbeda jauh dan sangat kontras dibandingkan
memperoleh tangkapan dalam jumlah banyak, dengan budaya ekonomi petani.
tetapi di saat yang lain mereka tidak mampu Pengaruh pola usaha yang berbeda dari
memperoleh tangkapan sama sekali. Dengan kedua komunitas tersebut, berpengaruh pula
demikian, pola pendapatan nelayan sangat tidak pada perbedaan perilaku ekonominya. Perilaku
teratur. Pola pendapatan nelayan yang tidak ekonomi petani dipengaruhi oleh proses produksi
teratur tersebut telah menciptakan perilaku pertanian yang didasarkan atas perhitungan yang
ekonomi yang spesifik dan spekulatif serta rumit dan penuh kehati-hatian serta keteraturan,

Implikasi Kendala Struktural ... (Bintang Dwitya Cahyono, Mochammad Nadjib) │ 121
sehingga para petani tidak atau kurang berani modal dan memperkecil kerugian yang mungkin
berspekulasi (Scott, 1996; Masyhuri, 1998; M. dideritanya, nelayan biasanya mengembangkan
Nadjib, 2013c). Sebaliknya perilaku ekonomi pola pemilikan kelompok atas sarana produksi
nelayan dipengaruhi oleh ketidakpastian hasil, (capital sharing).
ketidakteraturan pendapatan dan risiko yang Penelitian Masyhuri (1996) dengan
besar dalam penangkapan ikan, sehingga perilaku melakukan penelusuran dokumen menunjukkan,
ekonominya penuh dengan spekulasi dan bahwa pola pemilikan kelompok atas sarana
ketidakteraturan. Jika kebijakan pembangunan produksi penangkapan ikan telah dikenal dalam
untuk masyarakat nelayan disamakan dengan lingkungan nelayan nusantara setidaknya sejak
kebijakan pembangunan untuk masyarakat petani, akhir abad ke-18 atau awal abad ke-19. Pola ini
dapat mengakibatkan kurang optimalnya program- menjadi semakin berkembang ketika Pemerintah
program pengembangan usaha masyarakat Hindia Belanda melakukan kerja sama dengan
nelayan. Kegagalan skim kredit perbankan pada pengusaha swasta untuk melakukan pengelolaan
usaha perikanan tangkap skala kecil yang terjadi suatu kawasan perikanan. Dengan memungut uang
selama ini dan kegagalan kebijakan pemerintah sewa, pemerintah Hindia Belanda memberikan
untuk menyejahterakan kelompok masyarakat kewenangan kepada penyewa (pachter) untuk
nelayan, tampaknya berpangkal pada model skim menarik pajak perdagangan di daerah yang
yang sebenarnya dikembangkan untuk petani. disewa, hak berdagang ikan, dan hak membeli
Padahal karakteristik perilaku ekonomi nelayan garam dari pemerintah dengan harga yang jauh
berbeda jauh dan kontras dibandingkan dengan lebih murah dibandingkan dengan harga garam
perilaku ekonomi petani. konsumsi untuk pengawetan ikan. Melalui sistem
ini, para penyewa berhasil membangun struktur
Usaha Padat Modal Nelayan dan Tradisi jaringan ekonomi yang saling mendukung.
Pemilikan Kelompok Di bidang komersialisasi ekonomi, mereka
Sebagaimana diketahui, usaha penangkapan ikan menempati posisi sentral tidak saja sebagai
merupakan usaha padat modal. Dibutuhkan modal penyedia modal untuk nelayan, juga sebagai
yang cukup besar untuk menyediakan seperangkat penampung dan pengusaha pengolahan ikan,
alat tangkap seperti perahu, mesin penggerak, dan sekaligus sebagai penyalur pemasaran hasil
jaring dan biaya operasional penangkapan produksi ikan. Pada masa itu perluasan pasar
(M.Nadjib, 2013b). penjualan ikan dan intensifikasi penangkapan
ikan benar-benar terjadi. Kebanyakan nelayan
Selain itu, perbedaan tipologi perahu dan
mengalami mobilitas sosial vertikal, artinya
kapal, perbedaan alat tangkap dan perbedaan
mereka mengalami peningkatan sosial ekonomi
daerah penangkapan (fishing ground) sangat
yang signifikan. Salah satu faktor penting yang
mempengaruhi jumlah investasi dan modal
mempengaruhi perkembangan sektor perikanan
yang ditanamkan untuk usaha penangkapan
di Jawa adalah sistem sewa yang diterapkan oleh
ikan. Semakin baik peralatan dan kualitas
Pemerintah Hindia Belanda, dan terciptanya
teknologi penangkapan ikan, semakin besar
hubungan saling menguntungkan antara penyewa3
pula kemungkinan untuk mendapatkan hasil
tangkapan. Dengan demikian, semakin mahal 3
Masyhuri dalam bukunya Menyisir Pantai Utara, Usaha
pula investasi yang harus ditanamkan untuk dan Perekonomian Nelayan di Jawa dan Madura 1850
-1942. Yogyakarta:Yayasan Pustaka Nusatama dan KITLV,
usaha penangkapan ikan. Di lain pihak, usaha 1996 mengatakan bahwa masa Hindia Belanda pemegang
penangkapan ikan di laut memiliki risiko hak sewa sektor perikanan di daerah tertentu disebut
yang cukup tinggi. Ada kemungkinan nelayan dengan istilah pachter. Mereka menanamkan modal dalam
tidak memperoleh hasil tangkapan sama sekali bentuk peralatan penangkapan ikan, yang dijual kepada
kelompok nelayan dengan pembayaran angsuran. Selama
sehingga usaha penangkapan akan merugi sebagai sarana produksi belum terbayar lunas, selama itu pula
akibat biaya operasional yang mahal. Selain itu nelayan terikat kepadanya, dan harus menyerahkan separuh
sangat mungkin terjadi risiko kerusakan atau hasil tangkapan kepada pemberi modal. Setelah lunas pera-
latan sepenuhnya menjadi milik nelayan secara kelompok.
kehilangan perahu dan jaring sewaktu melakukan
Melalui mekanisme seperti inilah, jumlah perahu nelayan
penangkapan ikan. Untuk mengatasi keterbatasan dengan pemilikan kelompok di Jawa terus bertambah.

122 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 22, No. 2, 2014


dan nelayan. Dapat dikatakan saat itu sektor kapal (pandega), kelompok pemilik (juragan
penangkapan ikan di Jawa terintegrasi ke dalam darat) maupun nakhoda (juragan laut) serta para
sistem ekonomi pasar yang lebih luas. pedagang dan “pelepas uang” yang melakukan
Penelitian Masyhuri dan Mochammad Nadjib hubungan bisnis dengan nelayan. Informan kunci
(2000) di Tuban, Jawa Timur menyimpulkan, terdiri dari orang-orang yang banyak mengetahui
ada dua pola capital sharing pada sejumlah dan memahami permasalahan nelayan yang
daerah nelayan, yaitu pola pemilikan yang saling diteliti. Sumber informasi dipilih melalui metode
melengkapi dan pola pemilikan berdasarkan triangulasi yakni informasi yang diperoleh dari
saham. Pola yang pertama menggabungkan seorang informan, dikembangkan untuk menggali
sejumlah peralatan penangkapan ikan seperti informasi yang lebih mendalam serta untuk
perahu, mesin, jaring, atau peralatan lainnya yang mendapatkan informan kunci lainnya. Analisis
dimiliki oleh beberapa orang nelayan menjadi yang dikembangkan dalam penelitian ini adalah
satu unit sarana penangkapan ikan lengkap. Pola analisis kualitatif, yaitu dengan melakukan
kedua, memungkinkan secara bersama-sama pemahaman yang komprehensif. Pemahaman
nelayan melakukan investasi dalam bentuk yang komprehensif ini menempatkan objek
modal bersama, sehingga nelayan dapat secara kajian dalam konteks hubungan kausalitas, dan
kolektif memiliki seperangkat aset produksi untuk konsep empati sebagai pendekatan. Pendekatan
menangkap ikan. empati yang dimaksud adalah pendekatan yang
berupaya memahami permasalahan penelitian
Komunitas nelayan yang pola pemilikan
sarana penangkapan ikan didominasi oleh pola dari perspektif pelaku.
pemilikan kelompok, yaitu sebuah unit sarana
penangkapan ikan dimiliki nelayan secara kolektif HASIL DAN PEMBAHASAN
maka terjadi mobilitas sosial vertikal secara lebih
Tulisan ini merupakan elaborasi temuan lapangan
luas dan lebih merata. Sebaliknya, komunitas
yang dilakukan sejak tahun 2012-2014, pada
yang pola pemilikan sarana penangkapan ikan
berbagai komunitas nelayan di Prigi (Trenggalek-
didominasi oleh pemilikan individu maka
Jawa Timur), Bagasiapiapi (Rokan Hilir-Riau),
mobilitas sosial vertikal hanya terjadi pada
Tanjung Pandan (Belitung-Bangka Belitung),
pemilik sarana penangkapan, tidak terjadi pada
Karangsong dan Eretan (Indramayu-Jawa Barat),
sebagian besar nelayan. Dengan demikian, pola
Juwana dan Banyutowo (Pati-Jawa Tengah),
pemilikan kelompok atas sarana penangkapan
Muncar (Banyuwangi-Jawa Timur), Bitung
ikan mempunyai pengaruh yang positif terhadap
(Sulawesi Utara) dan Cilacap (Jawa Tengah).
kesejahteraan nelayan, sebaliknya pola pemilikan
Fokus yang diulas dalam tulisan ini meliputi
individu berpengaruh dalam mewujudkan
modal dan investasi yang dibutuhkan nelayan serta
ketimpangan pendapatan di kalangan nelayan.
hambatan struktural yang mempengaruhi perilaku
sosial ekonomi masyarakat nelayan. Untuk
METODE PENELITIAN memahami permasalahan secara menyeluruh,
Makalah ini ditulis berdasarkan hasil penelitian akan diungkap terlebih dahulu tipologi daerah
tentang Pembiayaan Nelayan dan akumulasi dan latar belakang sosial ekonomi nelayan di
pemahaman dari berbagai studi primer yang daerah kajian.
dilakukan pada masyarakat nelayan. Penelitian
dilakukan pada beberapa komunitas nelayan di Nelayan Murni dan Nelayan Sambilan
Jawa, Madura, Sumatera dan Sulawesi. Ditinjau dari latar belakang ekonominya, ada
Pengumpulan data lapangan dilakukan nelayan yang sepenuhnya tergantung dari sumber
melalui metode wawancara mendalam terhadap daya perikanan tangkap, tetapi ada pula yang
sejumlah narasumber dan informan kunci ditopang dari sumber ekonomi yang lain seperti
serta melakukan Focus Group Discussion perikanan budidaya, perdagangan maupun sektor
dan observasi lapangan. Narasumber yang pertanian.
diwawancara meliputi para nelayan, baik awak

Implikasi Kendala Struktural ... (Bintang Dwitya Cahyono, Mochammad Nadjib) │ 123
Sebagai contoh, nelayan di Prigi dan Bagansiapiapi struktur sosial ekonomi nelayan
Bagansiapiapi umumnya bukanlah generasi setempat (Tionghoa maupun Melayu) dipengaruhi
yang hidup dari sumber daya laut. Nelayan Prigi oleh keterkaitan secara langsung dengan Bangliao.
merupakan masyarakat petani yang sebagian Demikian pula dengan masyarakat
diantaranya beradaptasi dengan wilayah pesisir Karangsong (Indramayu), suatu komunitas
sebagai penangkap ikan (Susilo, 2010). Oleh masyarakat yang secara ekonomi tergantung
karena itu, landasan ekonomi komunitas pada dua sumber daya perikanan yaitu perikanan
masyarakat tersebut berpijak pada dua kekuatan budidaya (tambak udang dan bandeng) serta
yaitu sebagai nelayan dan petani. Sewaktu sedang perikanan tangkap. Areal pertambakan di
musim ikan (bulan Juni sampai November) Karangsong terjadi karena adanya tanah timbul
masyarakat turun ke laut untuk mencari ikan, sebagai hasil pengendapan lumpur dari sungai
tetapi pada saat sedang paceklik mereka berpindah Cimanuk yang dibawa oleh Kali Prajagumiwang,
sebagai petani. Mereka memanfaatkan tanah yang bermuara di wilayah pantai Karangsong.
tegalan untuk menanam berbagai jenis tanaman Tanah timbul oleh penduduk dianggap sebagai
pangan (padi, jagung dan singkong) serta tanah tanah tidak bertuan, sehingga siapa saja bebas
pekarangan sebagai tempat menanam beberapa untuk menggarapnya.
jenis tanaman buah dan tanaman tahunan. Selain
Di Cilacap, khususnya nelayan Pandanarang
itu yang berdekatan dengan hutan, banyak yang
di kawasan Teluk Penyu, sektor nelayan
melakukan budidaya tanaman semusim dan juga
ditunjang oleh keberadaan sektor pariwisata.
meramu (gathering) hasil hutan.
Dengan demikian landasan ekonomi komunitas
Masyarakat Bagansiapiapi, yang berasal dari masyarakat Pandanarang berpijak pada dua
etnis Melayu secara umum lebih terikat dengan kekuatan yaitu sebagai nelayan dan sektor jasa.
hutan dan kebun, akan tetapi komunitas Melayu Daya dukung sektor pariwisata di Pandanarang
yang berdekatan dengan kawasan sungai dan ini relatif kuat, hal ini nampak dari indikator
pesisir telah beradaptasi dengan lingkungannya bahwa rata-rata nelayan lokal memiliki perahu
sebagai penangkap ikan. Sebaliknya nelayan secara individual. Realita ini menunjukkan
yang berasal dari etnis Tionghoa, secara historis kecenderungan terjadinya pertumbuhan ekonomi
merupakan masyarakat pendatang dari Distrik nelayan Pandanarang Cilacap yang terjadi relatif
Tong’an (Tang Ua) di Xiamen, wilayah Provinsi merata, yaitu jumlah perahu meningkat pesat.
Fujian, Tiongkok Selatan4. Selain menangkap Sebagai akibat pemilikan secara merata oleh
ikan, mereka juga mengembangkan perdagangan mayoritas nelayan setempat mengakibatkan
ikan dan produk olahannya dalam sebuah institusi terjadinya kekurangan tenaga kerja.
ekonomi yang dikenal dengan Banglio 5. Di
Meskipun ada masyarakat nelayan yang
sumber ekonominya ditopang oleh sumber
4
Lihat John G. Butcher. “The Salt Farm and Fishing Indus-
try of Bagan Si Api Api”, Indonesia. Vol.62 hlm.92, tahun ekonomi lain, tetapi sebagian besar nelayan
1966; Shanty Setyawati. Pasang Surut Industri Perikanan Indonesia sumber ekonominya semata-mata
Bagansiapiapi 1898-1936, Fakultas Ilmu Pengetahuan Bu- hanya bergantung dari berburu ikan. Nelayan
daya-Universitas Indonesia, tahun 2008; Anton. “Sejarah
Kota Bagansiapiapi”, tahun 2011 dalam http//www.slide- Muncar, Juwana, Tanjung Pandan dan Bitung
share.net/syahruleka/sejarah-kota-bagansiapiapi-7367685. merupakan contoh kasus nelayan yang semata-
Diakses 7 Juli 2012. mata bergantung dari menangkap ikan di
5
Bangliao secara fisik merupakan gudang yang dimiliki laut. Sebagai nelayan, maka menangkap ikan
oleh para tengkulak (dikenal dengan istilah taukeh) sebagai
mengandung banyak tantangan yang sifatnya
tempat nelayan menjual ikan hasil tangkapannya kepada
pedagang pemilik bangliao. Di tempat ini pula ikan tersebut spesifik sesuai dengan kekhususan dari pekerjaan
ditampung serta diolah menjadi berbagai produk dan selan- tersebut yang mengandung banyak bahaya
jutnya dipasarkan ke berbagai daerah. Taukeh bangliao ini dan berisiko tinggi. Kondisi ini menyebabkan
juga menguasai alat produksi penangkapan ikan dan modal
operasional. Bangliao banyak didirikan di sepanjang tepian
usaha penangkapan ikan bagi nelayan dinilai
pantai, dilengkapi dengan dermaga pendaratan kapal untuk sangat berbahaya, berisiko dan mengandung
mempermudah bongkar muat ikan hasil tangkapan nelayan. ketidakpastian yang tinggi serta spekulatif.
Banyaknya jumlah bangliao di Bagansiapiapi, menyebab- Menghadapi kondisi seperti ini, nelayan
kan Tempat Pelelangan Ikan tidak mampu bertahan hidup.

124 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 22, No. 2, 2014


cenderung mengembangkan pola adaptasi yang berarti perlu ada pengeluaran yang pasti (fixed).
khas, berbeda dan seringkali tidak difahami oleh Padahal, penangkapan ikan di laut adalah suatu
masyarakat di luar komunitas nelayan (Acheson, pekerjaan yang tidak pasti (uncertainty), dalam
1981; Imron, 2011; Masyhuri, 2012; M.Nadjib jangka waktu yang cukup lama ada kemungkinan
2013c). Adaptasi adalah langkah strategis dalam nelayan tidak mendapatkan hasil. Sistem bagi
upaya memaksimalkan kesempatan hidup, hasil bagi juragan berarti dilakukan pembagian
sebagai tingkah laku yang diulang-ulang dalam risiko, dalam hal ini risiko kegagalan dalam
interaksi antara nelayan dengan lingkungannya. penangkapan ikan akan menjadi tanggungan
Tingkah laku yang diulang-ulang ini kemudian secara bersama-sama. Demikian pula sebaliknya,
melembaga, dan merupakan bagian dari sistem keberhasilan hasil tangkapan akan dapat dinikmati
yang lebih besar (Bennet, 1978). Diantara hasil secara bersama-sama antara pemilik perahu
adaptasi untuk menanggulangi risiko yang paling (juragan) dan awak perahu (pandega).
umum dan hampir selalu ada di setiap komunitas Terdapat variasi yang cukup beragam tentang
nelayan adalah institusi “berbagi hasil”, di sistem bagi hasil antara satu daerah dengan daerah
samping itu ada pula institusi “berbagi modal” lain, antara satu kelompok dengan kelompok lain,
atau capital sharing. dan antara satu alat tangkap dengan alat tangkap
Institusi Bagi Hasil lainnya. Variasi tersebut antara lain disebabkan
oleh perbedaan tradisi masing-masing daerah.
Sistem bagi hasil akan dengan mudah ditemukan
Selain itu, corak hubungan yang terjalin antara
dalam kehidupan nelayan Indonesia, termasuk
juragan dan pandega seperti kedekatan dan
dilakukan oleh nelayan di daerah kajian. Nelayan
hubungan genealogis juga ikut mempengaruhinya.
pada umumnya lebih menyukai memilih sistem
Namun pola umum bagi hasil adalah setengah
bagi hasil sebagai cara untuk menentukan imbalan
dari hasil bersih untuk pemilik sarana produksi,
dari pekerjaannya dibandingkan dengan sistem
dan setengah lainnya untuk semua yang terlibat
upah.
dalam penangkapan. Dalam kasus kapal manual
Sistem bagi hasil ini umum dilakukan tidak di Juwana, model pembagian antara pemilik kapal
saja oleh nelayan pemilik sarana produksi, dengan awak kapal mengikuti kebiasaan setempat
akan tetapi juga oleh nelayan anak buah perahu yang telah berlaku. Hasil penjualan tangkapan
(pandega). Bagi pandega, pilihan tersebut lebih yang berupa raman kotor dipotong untuk berbagai
didasarkan pada sikap spekulasi. Apabila hasil keperluan lelang maupun biaya perbekalan
tangkapan kebetulan sedang banyak (along), selama melaut, yang meliputi minyak (BBM),
maka pandega ini akan mendapatkan bagian es dan garam sebagai pengawet, makan minum
yang banyak pula. Akan tetapi bilamana hasil awak dan biaya lelang. Selanjutnya raman bersih
tangkapan sedikit atau bahkan gagal (laib), maka dibagi antara pemilik dan awak kapal dengan
ada mekanisme khusus yang berperan sebagai pembagian 55:45, dimana cadangan perbaikan
“sabuk pengaman” bagi pandega yaitu yang kapal dan jaring menjadi tanggungjawab pemiliki
disebut dengan sistem lawuhan6. Bagi juragan kapal. Adapun yang menjadi bagian awak kapal
(pemilik perahu), kalau menerapkan sistem upah selanjutnya dibagi berdasarkan posisi dan
kedudukannya dalam proses penangkapan ikan,
6
Lawuhan, berasal dari kata lawuh (bahasa Jawa) yang yaitu:
maknanya adalah lauk penyerta makan. Makna awal dari
lawuhan sebenarnya membawa sedikit ikan hasil tangkapan a. Nakhoda 2,5 bagian
untuk dibawa pulang sebagai lauk pauk yang dikonsumsi
b. Wakil nakhoda (2 orang) masing-masing
bersama keluarga. Perkembangan selanjutnya lawuhan
dijual tersendiri dan hasilnya dibagi diantara awak kapal. 1,5 bagian
Lawuhan biasanya diambil “secukupnya” dari jenis ikan- c. Motoris 2 bagian
ikan kecil yang nilai ekonominya rendah, oleh karena itu
sulit ditentukan banyak sedikitnya yang diambil. Adapun d. Wakil motoris (2 orang) masing-masing 1,5
yang menentukan jenis dan jumlah ikan yang dijadikan bagian
lawuhan adalah nakhoda (juragan laut). Di Prigi, lawuhan
lebih dikenal dengan istilah esek yang berasal dari kantong e. Awak kapal masing-masing 1 bagian
esek (plastik) sebagai tempat membawa ikan, sedangkan di
Bitung lebih dikenal dengan istilah ikan makan.

Implikasi Kendala Struktural ... (Bintang Dwitya Cahyono, Mochammad Nadjib) │ 125
Nakhoda biasanya mendapatkan tambahan Pola pemilikan kelompok di kalangan
khusus dari pemilik kapal yang jumlahnya sulit masyarakat nelayan merupakan hasil adaptasi
ditentukan, semakin sering nakhoda tersebut terhadap pekerjaan sebagai pemburu ikan di
mendapatkan tangkapan banyak (along) semakin laut yang penuh risiko. Adanya pola pemilikan
besar pula persentase yang diperoleh dari pemilik kelompok maka kerugian yang diakibatkan oleh
kapal. Menurut berbagai informasi, jumlah rusaknya atau tenggelamnya perahu dan jaring
yang diberikan pemilik kapal kepada nakhoda menjadi tanggungan bersama. Sebagaimana
maksimal sekitar 10% dari bagian pemilik kapal. diketahui, bahwa usaha penangkapan ikan di laut
Sebaliknya dalam kasus kapal kongsi di selain memerlukan modal besar, usaha ini memiliki
Tanjung Pandan (Belitung), seluruh peralatan risiko yang cukup tinggi. Ada kemungkinan
dan perbekalan yang dibawa melaut berasal dari nelayan tidak memperoleh hasil tangkapan
pengusaha (boss). Dengan demikian sistem bagi sama sekali sehingga usaha penangkapan saat
hasilnya juga berbeda. Dalam sistem ini, ikan hasil itu merugi sebagai akibat biaya operasional
tangkapan nelayan kongsi wajib dijual kepada yang tinggi. Selain itu risiko kerusakan atau
boss pemilik kapal dengan harga yang ditentukan kehilangan perahu dan jaring sewaktu melakukan
sepihak, biasanya ikan tangkapan dihargai oleh penangkapan ikan adalah sangat mungkin
pemilik kapal sekitar setengah dari harga pasaran terjadi. Untuk mengatasi keterbatasan modal dan
saat itu. Hasil penjualan sepenuhnya dimiliki oleh memperkecil kerugian yang diderita, beberapa
awak kapal, dan pembagiannya adalah masing- komunitas nelayan biasanya mengembangkan
masing awak kapal mendapatkan 1 bagian. pola pemilikan kelompok atas sarana produksi
Adapun nakhoda selain mendapatkan bagian dari (capital sharing). Pemilikan sarana produksi
bagi hasil juga memperoleh fee dari pemilik kapal secara berkelompok dimungkinkan karena adanya
sebesar Rp 1000/kg dari hasil tangkapan yang ketidakpastian dan risiko yang tinggi. Di lain
akan diberikan setiap 3 bulan sekali. pihak adanya risiko dan ketidakpastian dalam
Sistem bagi hasil dalam konteks pemilikan mendapatkan hasil menyebabkan nelayan jauh
kapal seperti ini, merupakan faktor penting yang dari fasilitas perbankan, di mata bank pekerjaan
dapat menentukan terjadinya ketimpangan atau sebagai nelayan dinilai memiliki tingkat volatilitas
pemerataan distribusi pendapatan di kalangan yang tinggi (M.Nadjib ed, 2013a).
nelayan. Dalam konteks pemilikan sarana Sebagaimana telah diulas di atas, ada dua pola
produksi secara individu, sistem bagi hasil capital sharing pada sejumlah daerah nelayan,
semacam ini menempatkan akumulasi modal yaitu pola pemilikan yang saling melengkapi dan
akan terkumpul pada pemilik sarana produksi. pola pemilikan berdasarkan saham. Pola pertama
Sebaliknya dalam konteks pemilikan bersama, menggabungkan sejumlah peralatan penangkapan
maka akumulasi modal terjadi relatif lebih merata ikan yang dimiliki oleh nelayan berbeda menjadi
yaitu akan tersebar diantara para pemilik sarana satu unit sarana penangkapan ikan lengkap yang
produksi. Dengan demikian, perpaduan antara dimiliki oleh sejumlah nelayan. Pola kedua
pola pemilikan sarana produksi dan sistem bagi secara kolektif nelayan melakukan investasi
hasil sangat menentukan distribusi ekonomi suatu dalam bentuk modal bersama untuk membeli
komunitas nelayan. seperangkat aset produksi untuk menangkap
ikan. Pola ini di daerah kajian ditemukan pada
Institusi Berbagi Modal (Capital Sharing) komunitas nelayan desa Bendar, Juwana, Jawa
Di semua daerah kajian, ditemukan kelompok- Tengah. Mereka secara berkelompok sebagai
kelompok kecil nelayan yang memiliki antara satu pemilik satu atau lebih unit sarana penangkapan
atau lebih unit sarana penangkapan ikan secara ikan secara besama-sama.
bersama-sama. Pemilikan secara berkelompok Pola capital sharing atas sarana
(capital sharing) ini dalam perkembangannya produksi berpengaruh positif terhadap tingkat
bergeser ke pola pemilikan individu, yaitu setelah kesejahteraan nelayan. Sebaliknya pemilikan
tercapai tingkat kesejahteraan individu-individu individu berpengaruh mewujudkan ketimpangan
yang berkelompok. pendapatan di kalangan nelayan. Oleh karena

126 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 22, No. 2, 2014


itu, terdapat hubungan kausalitas antara pola Perbedaan prinsip yang terjadi disebabkan oleh
pemilikan sarana produksi dan sistem bagi perbedaan karakteristik lingkungan dan kebiasaan,
hasil dengan tingkat kesejahteran nelayan. sehingga mempengaruhi perilaku sosial ekonomi
Pemilikan kelompok (capital sharing) atas sarana serta pola-pola dalam penangkapan ikan.
produksi dalam konteks tradisi bagi hasil mampu Hasil kajian menunjukkan, adanya
mendorong terjadinya pemerataan pendapatan, keragaman cara penangkapan ikan yang
dan selanjutnya akan mendorong terjadinya dilakukan oleh nelayan di berbagai daerah.
peningkatan perekonomian nelayan secara Keragaman dapat dilihat dari berbagai
keseluruhan. Dengan demikian, bilamana telah jenis alat tangkap yang dipakai untuk
tercapai tingkat kesejahteraan individu-individu menangkap ikan sebagai akibat keragaman
yang berkelompok, maka tidak mustahil di lingkungan, jenis dan spesies ikan tangkapan.
kemudian hari dapat terjadi pergeseran dari Selain itu, penggunaaan alat tangkap yang
“pola pemilikan kelompok” ke pola “pemilikan beragam merupakan salah satu solusi atas
individu”. besarnya risiko dan ketidakpastian (risk
Dapat ditarik suatu hipotesa, apabila dalam and uncertainty) dari pekerjaan sebagai
suatu komunitas nelayan pola kepemilikan sarana penangkap ikan.
produksinya didominasi oleh pola pemilikan
secara berkelompok, maka distribusi pendapatan Keragaman Jenis Perahu dan Alat
diantara nelayan lebih merata dibandingkan Tangkap
dengan pola pemilikan secara individu. Oleh
karena itu, bilamana berbagai komunitas yang Banyak keragaman perahu dan alat tangkap
berbeda pola pemilikannya dibandingkan, maka yang dimanfaatkan oleh nelayan. Keragaman
kehidupan ekonomi komunitas nelayan yang alat tangkap terjadi karena adanya keragaman
mayoritas menerapkan pola capital sharing, lingkungan, jenis dan spesies ikan di fishing
umumnya lebih baik dibandingkan dengan yang ground, menyebabkan ikan yang berhasil
mayoritas menerapkan pola pemilikan individu7. ditangkap oleh nelayan juga sangat bervariasi.
Berbagai ikan tangkapan nelayan, diantaranya
Implikasi Struktural terhadap Perilaku yang utama adalah jenis ikan-ikan permukaan
Sosial Ekonomi Nelayan (palagis), seperti ikan kembung, tongkol yang
ditangkap dengan purse seine, jaring apung,
Realita lapangan menunjukkan bahwa usaha dan huhate. Adapun untuk jenis ikan palagis
perikanan tangkap di Indonesia tumbuh dan besar, seperti tuna ditangkap dengan pancing
berkembang berdasarkan pada pengalaman ulur (hand line) dan pancing long line. Selain
empirik, beradaptasi pada lingkungan sosial itu, ikan-ikan kedalaman (demersal) seperti ikan
ekonomi, budaya dan lingkungan alam yang karang, udang, ketam ditangkap dengan gillnet,
berbeda. Berdasarkan hal itu, corak kedaerahan muroami, ataupun jaring udang. Tidak hanya
sangat kental pada usaha penangkapan ikan. alat tangkap yang menunjukkan perbedaan di
setiap daerahnya, perahu dan kapal juga sangat
7
Hipotesa ini pernah diuji pada komunitas nelayan bervariasi jenisnya. Faktor lingkungan sangat
Bulu dan Palang, Tuban Jawa Timur oleh Masyhuri
mempengaruhi perbedaan kapal dan perahu
dan Mochammad Nadjib dalam Pemberdayaan
Nelayan Tertinggal: Sebuah Uji Model Penanganan nelayan. Nelayan yang menangkap ikan di
Kemiskinan. Jakarta: Puslitbang Ekonomi dan Pem- perairan dangkal menggunakan kapal yang
bangunan – LIPI, tahun 2000. Lihat pula Mocham- bentuknya berbeda dibandingkan dengan nelayan
mad Nadjib ”Pengaruh Pola Pemilikan Aset dalam yang menangkap ikan di perairan dalam. Lunas
Konteks Bagi Hasil terhadap Pendapatan Nelayan”. kapal 8 yang beroperasi di wilayah perairan
Prosiding Workshop Nasional Riset Sosial Ekonomi
Kelautan dan Perikanan. Kerja sama Pusat Kajian 8
Lunas merupakan komponen konstruksi bagian
Sumberdaya Pesisir dan Lautan IPB, Balai Besar bawah kapal. Fungsi lunas adalah sebagai penyangga
Riset Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan DKP badan kapal, sehingga konstruksi lunas harus kokoh
dan Pusat Penelitian Kemanusiaan dan Kebudayaan dan kuat karena beban kapal sebagian besar bermuara
LIPI, Bogor, 2-3 Agustus 2006. pada konstruksi ini.

Implikasi Kendala Struktural ... (Bintang Dwitya Cahyono, Mochammad Nadjib) │ 127
Tabel 1. Jumlah Perahu dan Kapal Berdasarkan Jenis dan Ukuran
Tahun
Kategori dan ukuran kapal/
2005 2007 2010 2012
perahu
Jumlah % Jumlah % Jumlah % Jumlah %
Perahu tanpa motor 244.471 44,00 241.889 40,98 172.907 30,42 172.333 27,94
Perahu motor tempel 165.314 29,76 185.509 31,43 231.333 40,70 245.819 39,86
Kapal motor/inboard motor 145.796 26,24 162.916 27,60 164.150 28,88 198.538 32,20
< 5 GT 102.456 (18,44) 114.273 (19,36) 110.163 (19,38) 137.587 (22,31)
Ukuran kapal 5–10 GT 26.841 (4,84) 30.617 (5,19) 31.460 (5,53) 37.694 (6,11)
motor 10–20 GT 6.968 (1,25) 8.194 (1,39) 10.988 (1,93) 11.583 (1,88)
20–30 GT 4.553 (0,82) 5.345 (0,91) 7.264 (1,28) 7.611 (1,23)
30–50 GT 1.092 (0,20) 913 (0,15) 857 (0,15) 917 (0,14)
50–100 GT 2.160 (0,39) 1.832 (0,31) 1.747 (0,30) 1.641 (0,27)
100–200 GT 1.403 (0,25) 1.322 (0,22) 1.290 (0,22) 1.167 (0,19)
>200 GT 323 (0,06) 420 (0,07) 381 (0,06) 338 (0,05)
Total 555.581 100 590.314 100 568.390 100 616.690 100
Sumber: Statistik Perikanan Tangkap Indonesia, 2013.

dangkal relatif lebih pipih dibandingkan yang motor. Kalau pada tahun 2005 sampai 2007, jumlah
beroperasi di perairan dalam. Demikian pula perahu tanpa motor masih lebih banyak tetapi sejak
kapal yang berfungsi mengejar ikan (diantaranya 2010 terjadi pergeseran ke perahu dengan motor
slerek, perahu pemburu serta Johnson) memiliki tempel. Meskipun telah mempergunakan perahu
konstruksi yang ramping dibandingkan perahu dengan mesin tempel, tetapi jangkauan dalam
yang menangkap ikan dengan cara mencegat, penangkapan ikan masih sangat terbatas, berbeda
yaitu dengan membentangkan jaring agar supaya dengan kapal bermesin inboard. Meskipun
ditabrak ikan (diantaranya gill net, dan muroami). demikian, kapal dengan mesin inboard yang
Kapal yang sistem penangkapan ikannya dengan mampu menjangkau lautan lepas sampai Zona
cara mencegat, umumnya lebih gemuk, bergerak Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) adalah yang
pelan tetapi lebih stabil dalam mengarungi bobotnya di atas 30 GT, hanya saja jumlahnya
samudera. masih terbatas. Kapal-kapal yang bobotnya di
Meskipun demikian, umumnya kapal nelayan atas 30 GT pada tahun 2012 jumlahnya kurang
di Indonesia memiliki tingkat teknologi relatif dari 1% dari seluruh kapal nelayan. Oleh karena
sama, yaitu masih sederhana. Kebanyakan alat itu, rata-rata kapal penangkap ikan Indonesia
tangkap nelayan di Indonesia masih terbatas memiliki kemampuan jelajah dan kemampuan
pada perahu dengan mempergunakan motor dalam menangkap ikan sangat terbatas.
tempel, adapun yang menggunakan mesin inboard Perairan lepas pantai dan perairan Samudera
meskipun setiap tahunnya ada peningkatan tetapi umumnya merupakan perairan yang relatif masih
jumlahnya tidak sebanyak perahu tempel. Bahkan subur9, meskipun demikian dibutuhkan investasi
kapal yang memiliki jangkauan penangkapan yang cukup besar untuk dapat menjangkau
cukup jauh, yaitu yang berbobot di atas 30 GT fishing ground tersebut. Permasalahannya adalah,
jumlahnya masih sangat sedikit yaitu kurang dari nelayan skala kecil yang berusaha mengubah
1% dari jumlah seluruh perahu dan kapal yang dengan armada tangkap bertonase besar yang
tercatat di Indonesia (lihat tabel). Dibandingkan 9
Dari 11 Wilayah Penangkapan Perikanan (WPP) di Indo-
dengan luas lautan Indonesia, jumlah kapal nesia, hampir separuhnya menunjukkan gejala overfishing.
penangkap ikan yang dimimiliki Indonesia relatif Data Kementerian Kelautan dan Perikanan, 2013 menun-
jukkan WPP yang cenderung sudah overfishing adalah Selat
masih sedikit.
Malaka, Selat Karimata, Laut Jawa, Teluk Tolo dan Teluk
Memperhatikan tabel di atas, selama kurun Tomini. Meskipun demikian indikasi lain yang menunjuk-
waktu 2005–2012 terjadi pergeseran jumlah kan suatu kawasan cenderung sudah overfishing adalah
bilamana nelayan setempat telah menggunakan moda alat
perahu tanpa motor ke perahu dengan penggerak tangkap yang variasinya sangat beragam.

128 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 22, No. 2, 2014


mampu menjangkau fishing ground Samudaera modal ekonomi nelayan. Perbedaan tipologi
yang masih subur, banyak menghadapi kendala dan jenis kapal berpengaruh besar terhadap
struktural. Diantaranya adalah, untuk kapal jumlah investasi, modal operasional yang
dengan tonase 30 GT harus mengurus Surat izin harus dikeluarkan serta pola bagi hasil ataupun
Usaha Perikanan (SIUP), Surat Izin Penangkapan penggajian awak kapal. Umumnya perahu dan
Ikan (SIPI) dan Surat Izin Kapal Pengangkut kapal yang bersandar di pelabuhan-pelabuhan di
Ikan (SIKPI) yang dilakukan di Jakarta. Adapun banyak tempat di Indonesia dapat dikategorikan
kapal di atas 7 GT harus mendaftar kepemilikan sebagai kapal tradisional12, karena rata-rata belum
untuk mendapatkan grosse akta yang hanya dapat dilengkapi dengan alat navigasi dan komunikasi
dilakukan di pelabuhan utama. Untuk pulau Jawa yang memadai sehingga nelayan sering bekerja
yang berhak mengeluarkan grosse akta10 adalah: berdasarkan naluri (insting) dan pengalaman
1). Pelabuhan Jakarta, 2). Cirebon 3). Semarang melaut semata. Alat-alat keselamatan juga sangat
4). Cilacap 5). Surabaya dan 6). Banyuwangi. terbatas, bahkan banyak pula yang sama sekali
Selain pelabuhan-pelabuhan tersebut hanya tidak mempersiapkan sehingga ancaman melaut
berhak mengeluarkan surat ukur kapal. sering menghadang mereka. Pada umumnya
Dengan demikian, semakin besar kapal dan nelayan tersebut merupakan nelayan tradisional
semakin canggih teknologinya maka kebutuhan dengan latar belakang pendidikan dan penguasaan
modalnya juga semakin besar. Untuk kapal dengan teknologi terbatas. Ada berbagai tipologi perahu
tonase 60 GT yang dilengkapi dengan teknologi dan kapal serta macam alat tangkap yang
freezer sebagai pengawet ikan tangkapan, dipakai nelayan Indonesia. Perbedaan tersebut
dibutuhkan modal sekitar Rp 7 miliar11. Nelayan dipengaruhi oleh faktor lingkungan, kebiasaan
yang telah memiliki kapal besar sejenis ini nelayan dan kemampuan mereka menyediakan
saja yang telah mampu mengakses perbankan modal untuk memperoleh prasarana penangkapan
konvensional, tetapi sebagian besar nelayan ikan.
tangkap di Indonesia adalah nelayan kecil. Mereka Perbedaan tipologi perahu, kualitas dan
masih terabaikan oleh perbankan konvensional, jenis alat tangkap yang mampu disediakan
sehingga mereka jarang atau bahkan tidak menyebabkan terjadinya perbedaan investasi
pernah mendapatkan pembiayaan dari lembaga untuk pengadaan perahu beserta peralatan
pembiayaan formal berbiaya rendah. tangkapnya. Dibandingkan dengan sektor usaha
lain, investasi yang dibutuhkan untuk dapat
Risiko dan Ketidakpastian Nelayan menjalankan usaha penangkapan ikan di laut
relatif sangat besar. Tidak sama investasi yang
Aktivitas penangkapan ikan di laut merupakan dibutuhkan untuk setiap daerahnya, banyak
salah satu kegiatan ekonomi yang cukup penting sebab yang menjadikannya berbeda dalam
dan memiliki peranan utama dalam pembentukan kebutuhan berinvestasi untuk menyediakan
struktur sosial ekonomi masyarakat. Untuk peralatan penangkapan ikan. Faktor jarak,
dapat menganalisis risiko dan ketidak pastian ketersediaan sumberdaya alam dan sumber daya
nelayan serta implikasinya terhadap perilaku manusia serta lokasi berpengaruh besar terhadap
sosial ekonomi masyarakat nelayan, tidak dapat harga, sehingga memberi pengaruh atas banyak
diabaikan peran ketersediaan modal dan investasi sedikitnya investasi. Dalam hal ini, tidak ada
nelayan. standarisasi yang jelas terhadap harga dan kualitas
Untuk memahami lebih mendalam terhadap perahu serta kapal setiap daerahnya. Meskipun
kebutuhan modal dan investasi, maka perlu perahu atau kapal itu memiliki bobot yang sama,
dipahami terlebih dulu jenis dan tipologi perahu akan tetapi perbedaan daerah pembuatan dapat
serta kapal sebagai faktor utama pembentukan
12
Hasil kunjungan lapangan di berbagai komunitas dan
10
Wawancara dengan Syahbandar Pelabuhan Juwana pada tempat pendaratan ikan di Jawa, Bali, Sumatera, Nusa
tanggal 12 Juni 2013. Tenggara, Kalimantan dan Sulawesi. Lihat pula jumlah
11
Wawancara dengan seorang juragan pemilik kapal pen- perahu dan jenis kapal di Indonesia dalam Statistik Peri-
angkap ikan dengan tonase di atas 50 GT di Juwana, Jawa kanan Tangkap Indonesia, 2013, Ditjen Perikanan Tangkap,
Tengah tanggal 13 Juni 2013. Kementerian Keluatan dan Perikanan.

Implikasi Kendala Struktural ... (Bintang Dwitya Cahyono, Mochammad Nadjib) │ 129
membedakan harga13. Meskipun demikian, dari patronage 14 . Dalam hubungan patronage
rangkaian penelitian, telah ditemukan patokan ini pengepul selaku patron “berkewajiban”
sebagai perkiraan harga rata-rata perahu dan kapal menyediakan dana untuk memenuhi kebutuhan
di setiap daerahnya. Ukuran perahu yang paling investasi ataupun operasional nelayan serta
kecil, dengan bobot sekitar 1-2 GT investasinya kebutuhan nelayan saat menghadapi paceklik.
antara Rp50 juta sampai Rp60 juta, sedangkan Kewajiban nelayan selaku klien adalah, harus
investasi untuk kapal di atas 25 GT dapat menjual ikan hasil tangkapannya kepada pengepul
mencapai biaya antara Rp1 miliar sampai dengan yang menjadi patron dengan harga yang cenderung
Rp1.5 miliar. Investasi tersebut masih bertambah, tidak elastis dan merugikan nelayan. Dengan
jika ada penambahan peralatan dan teknologi yang demikian, ketergantungan nelayan terhadap para
dibutuhkan kapal, seperti penambahan teknologi pengepul, bakul, pedagang ataupun tengkulak
freezer dan kamar pendingin untuk menyimpan ikan karena adanya fenomena sosial hubungan
ikan hasil tangkapan, jumlah dan kualitas lampu patron klien yang terjalin atas dasar utang piutang
sorot, panjang jaring, mesin gardan sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan di saat kritis.
bantu penarik jaring serta jenis dan merek mesin Fenomena sosial pada masyarakat nelayan
kapal. ini dipengaruhi oleh pola pendapatannya yang
Dengan demikian, semakin besar modal tidak pernah teratur dan tidak stabil. Suatu saat
usaha, semakin baik pula teknologi yang dapat nelayan sama sekali tidak mendapatkan hasil
dimanfaatkan sehingga semakin besar pula tangkapan, akibatnya kehidupan sehari-hari
kemungkinan usaha penangkapan ikan bisa mereka mengalami kekurangan sehingga terpaksa
berjalan lebih baik. Sebaliknya semakin kecil mencari pinjaman untuk memenuhi kebutuhan
modal, semakin sederhana pula teknologi hidup. Sebaliknya kalau hasil tangkapannya
yang dapat dimanfaatkan sehingga usaha sedang banyak, nelayan merasa bahwa mencari
penangkapan ikan semakin tidak pasti dan berisiko. uang itu cukup mudah. Dengan demikian nelayan
Permasalahan tersebut membuat kebutuhan akan membelanjakan uangnya secara berlebih
nelayan untuk mendapatkan modal dari lembaga dan cenderung boros, disamping harus membayar
pembiayaan formal semakin sulit. Oleh karena utang-utangnya yang memiliki rente (bunga)
itu, mereka mencari alternatif mendapatkan modal tinggi. Dalam tata hubungan semacam ini fungsi
dengan meminjam dari pedagang pengepul, bakul pengepul, tengkulak dan pedagang ikan memiliki
atau pedagang ikan dengan rente (bunga) tinggi. peranan yang sangat penting. Kepercayaan antara
Hubungan diantara mereka cenderung sangat satu pihak dengan lainnya terjadi karena mereka
intens, sehingga membentuk pola ketergantungan merupakan bagian dari dinamika sosial budaya
dan hubungan timbal balik yang mendalam antara di internal masyarakat. Di kalangan masyarakat
nelayan dengan sumber pemberi modal. Nelayan nelayan, patron-klien merupakan tata hubungan
yang telah mendapatkan modal, baik untuk yang memungkinkan terwujudnya institusi
investasi ataupun keperluan operasional kapal, jaminan sosial dan ekonomi. Secara ekonomi,
“berkewajiban” menjual hasil tangkapannya hubungan patron-klien banyak yang menilai
kepada pemberi modal, umumnya adalah sebagai hubungan yang cenderung eksploitatif,
pedagang pengepul, bakul atau pedagang ikan. tetapi di kalangan nelayan eksploitasi yang terjadi
Ketergantungan nelayan kepada para tersebut dianggap masih lebih baik karena mereka
pengepul ikan, menciptakan pola hubungan tidak memiliki alternatif lain dalam menghadapi

13
Lihat Mochammad Nadjib (editor). Sistem Pem- 14
Lihat Mochammad Nadjib. “Patron-Klien: Potensi dan
biayaan Nelayan, Jakarta, LIPI Press, tahun 2013. Kendala Mobilitas Sosial Nelayan”, dalam Masyhuri
Lihat pula artikel Mochammad Nadjib. ”Kebutuhan (Penyunting). Pemberdayaan Nelayan Tertinggal dalam
Mengatasi Krisis Ekonomi: Telaahan terhadap sebuah
Modal Kerja dan Modal Investasi dalam Kegiatan
Pendekatan. Jakarta: Puslitbang Ekonomi dan Pembangu-
Usaha Nelayan”. Dalam Mahmud Thoha (editor). nan LIPI, halaman 55-69, tahun 1999. Dalam konteks yang
Studi Model Lembaga Pembiayaan Usaha Rakyat hampir sama ditulis pula oleh Elfindri. Ekonomi “Patron-
pada Subsektor Perikanan Tangkap. Jakarta: Lem- Klient”: Fenomena Mikro Rumah Tangga Nelayan dan
baga Ilmu Pengetahuan Indonesia, tahun 2013. Kebijakan Makro. Padang, Andalas University Press, tahun
2002.

130 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 22, No. 2, 2014


permasalahan ekonomi. Akses nelayan terhadap dengan karakter usaha tradisional perikanan
institusi pembiayaan formal sangat terbatas, tangkap. Pola pendapatan nelayan yang serba
sebab usaha penangkapan ikan skala kecil yang tidak teratur, sangat bertolak belakang dengan
cenderung spekulatif dan hasilnya tidak pasti sistem perbankan konvensional yang menerapkan
menyebabkan sektor perbankan kurang berminat keteraturan dengan basis bunga tetap dan
untuk menyalurkan kredit pembiayaan kepada ketentuan angsuran pengembalian kredit secara
nelayan (Masyhuri, 2005; M.Nadjib ed. 2013a). teratur dalam jangka waktu tertentu. Untuk itu,
Perilaku sosial ekonomi yang umum terjadi solusi alternatif agar supaya nelayan dapat keluar
pada masyarakat nelayan inilah yang berimplikasi dari hambatan struktural salah satunya adalah
menyebabkan terjadinya hambatan struktural. dengan membenahi sumber permodalan nelayan.
Dengan demikian diperlukan kebijakan para Berkenaan dengan akses terhadap sumber modal,
pengambil keputusan untuk bisa memahami dan maka masyarakat nelayan perlu diklasifikasikan
berpihak kepada masyarakat nelayan, sehingga ke dalam tiga kelompok yaitu nelayan kecil
hambatan-hambatan struktural akan dapat yang belum mengenal perbankan atau masih
diminimalisasi. dalam tahapan pre bankable, nelayan menengah
yang sudah mengenal perbankan atau memasuki
tahapan bankable dan nelayan kaya post bankable.
KESIMPULAN
Prioritas yang perlu diperhatikan terhadap
Selama ini banyak yang menganggap bahwa nelayan yang masih berada pada tahapan pre
budaya ekonomi nelayan sama dengan budaya bankable, adalah sumber modal dan investasi
ekonomi petani. Secara nyata, budaya ekonomi untuk mereka dialokasikan dari dana-dana
nelayan berbeda jauh dan sangat kontras pembangunan pemerintah. Intervensi pemerintah
dibandingkan dengan petani. Hal ini sebagai diperlukan dalam bentuk pemberdayaan. Untuk
akibat dari pengaruh dari intensitas kegiatan nelayan yang sudah memasuki tahapan bankable,
usaha mereka yang berbeda. Budaya ekonomi prioritas yang perlu diperhatikan kepada mereka
nelayan yang berbeda dengan budaya ekonomi adalah dengan pengembangan perbankan yang
petani inilah yang kurang diketahui masyarakat, sesuai dengan karakter dan budaya ekonomi
termasuk oleh pengambil kebijakan. Implikasinya masyarakat nelayan. Sistem kredit yang
adalah banyak program yang bermakna bagi dikembangkan perbankan untuk nelayan harus
petani, tetapi tidak memberi manfaat bagi nelayan. menyesuaikan dengan pola produksinya yang
Kebutuhan nelayan untuk mendapatkan fluktuatif dan tidak teratur. Selanjutnya nelayan
modal usaha idealnya berasal dari lembaga yang telah mencapai tahapan post bankable,
pembiayaan yang murah. Akan tetapi, sistem pemerintah tidak perlu memperhatikan sumber
perbankan yang ada masih terlalu “kaku” permodalannya, karena dengan kekayaan nelayan
dalam menerapkan skema kredit yang hanya ini bank bukan lagi sebagai sumber permodalan
cocok dan sesuai untuk nasabah bukan nelayan. tetapi sebagai tempat nelayan menyimpan uang.
Nelayan dituntut persyaratan kredit sebagaimana
persyaratan yang diberlakukan kepada bukan
DAFTAR PUSTAKA
nelayan. Diantara persyaratan yang cukup
memberatkan nelayan adalah penentuan agunan Acheson, JM, (1981). “Anthropology of Fishing”.
dan pengembalian kredit masih mengikuti Annual Review of Anthropology. Vol. 10
metode dan sistem kredit umum. Padahal, budaya (1981).
ekonomi nelayan bersumber dari banyaknya Anton, (2011). “Sejarah Kota Bagansiapiapi”
risiko dan ketidakpastian penghasilan. dalam http//www.slideshare.net/syahruleka/
Oleh karena itu, untuk dapat keluar sejarah-kota-bagansiapiapi-7367685.
dari hambatan struktural diantaranya adalah Diakses 7 Juli 2012.
persyaratan kredit seharusnya mengikuti pola Bannet, JW. (1978). The Ecological Transition:
budaya ekonomi nelayan. Karena, sistem Cultural and Human Adaptation. New York:
perbankan konvensional cenderung tidak sesuai Pergamnon Press. Inc.

Implikasi Kendala Struktural ... (Bintang Dwitya Cahyono, Mochammad Nadjib) │ 131
Butcher, John G. (1996). “The Salt Farm and Nadjib, Mochammad (1999). “Patron-Klien:
Fishing Industry of Bagan Si Api Api”, Potensi dan Kendala Mobilitas Sosial
Indonesia, Vol.62 hlm.92 Nelayan”, dalam Masyhuri (Penyunting).
Elfindri (2002). Ekonomi “Patron-Klient”: Pemberdayaan Nelayan Tertinggal dalam
Fenomena Mikro Rumah Tangga Nelayan Mengatasi Krisis Ekonomi: Telaahan
dan Kebijakan Makro. Padang: Andalas terhadap sebuah Pendekatan. Jakarta:
University Press. Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan
LIPI.
Geertz, Clifford (1963). Agricultural Involution:
the Process of Ecological Change in ______ (2006). ”Pengaruh Pola Pemilikan
Indonesia. Barkley: University of California Aset dalam Konteks Bagi Hasil terhadap
Press. Pendapatan Nelayan”. Prosiding Workshop
Nasional Riset Sosial Ekonomi Kelautan
Imron, Masyhuri (1997). “Peran ‘Bos’ dan
dan Perikanan. Bogor, 2-3 Agustus 2006.
Dampak Sosial Enonomi Nelayan Rinca”,
Kerja sama Pusat Kajian Sumberdaya
Masyarakat Indonesia. 2 (1997).
Pesisir dan Lautan IPB, Balai Besar Riset
Kementerian Kelautan dan Perikanan (2014). Sosial Ekonomi Kelautan dan Perikanan
Statistik Perikanan Tangkap Indonesia 2013. DKP dan Pusat Penelitian Kemanusiaan dan
Jakarta: KKP-Ditjen Perikanan Tangkap. Kebudayaan LIPI.
Masyhuri (1996). Menyisir Pantai Utara, Usaha _______ editor. (2013a). Sistem Pembiayaan
dan Perekonomian Nelayan di Jawa dan Nelayan. Jakarta: LIPI Press.
Madura 1850 -1942. Yogyakarta: Yayasan
_______ (2013b). ”Kebutuhan Modal Kerja dan
Pustaka Nusatama dan KITLV Jakarta.
Modal Investasi dalam Kegiatan Usaha
________ editor. (1998). Strategi Pengembangan Nelayan”. Dalam Mahmud Thoha (editor).
Desa Nelayan Tertinggal: Organisasi Studi Model Lembaga Pembiayaan Usaha
Ekonomi Masyarakat Nelayan. Jakarta: Rakyat pada Subsektor Perikanan Tangkap.
Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan - Jakarta: Lembaga Ilmu Pengetahuan
LIPI. Indonesia.
________ editor. (1999). Pemberdayaan Nelayan _______ (2013c). ”Memahami Budaya Ekonomi
Tertinggal dalam Menghadapi Krisis Nelayan sebagai Dasar Meningkatkan
Ekonomi: Telaahan Terhadap Sebuah Pilar Ekonomi Pesisir” dalam Gunawan
Pendekatan. Jakarta: Puslitbang Ekonomi (Penyunting). Rural Talks; Ikhtiar Memahami
dan Pembangunan - LIPI. Transformasi Sosial-Ekonomi Masyarakat
________ dan Mochammad Nadjib (2000). Desa. Jakarta: Indonesian Human Rights
Pemberdayaan Nelayan Tertinggal: Sebuah Committee for Social Justice.
Uji Model Penanganan Kemiskinan. Jakarta: ________(2013d).“Agama, Etika dan Etos Kerja
Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan - dalam Aktivitas Ekonomi Masyarakat
LIPI. Nelayan Jawa” dalam Jurnal Ekonomi dan
_________ ( 2005). “Kredit Rakyat Sektor Pembangunan. Volume 21(2), Desember
Perikanan” dalam Jurnal Sejarah. 12 (2005). 2013, halaman 137-150.
Mubyarto et.al.(1984). Nelayan dan Kemiskinan: Sawit, M. Husein (1998). “Nelayan Tradisional
Studi Ekonomi Antropologi di Dua Desa Pantai Utara Jawa: Dilema Milik Bersama”.
Pantai. Jakarta: Rajawali. Masyarakat Indonesia. 15 (1998).

132 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 22, No. 2, 2014


Scott, James C. (1996). The Moral Economy of Soemardjan, Selo (1980). “Kemiskinan Struktural
the Peasant: Rebellion and Resistence in dan Pembangunan”, dalam Alfian dkk
Southeast Asia. New Haven: Yale University (editor). Kemiskinan Struktural: Suatu
Press. Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Ilmu-ilmu
Setyawati, Shanty (2008). Pasang Surut Industri Sosial.
Perikanan Bagansiapiapi 1898-1936. Susilo, Edi (2010). Dinamika Struktur Sosial dalam
Jakarta: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya- Ekosistem Pesisir. Malang, Universitas
Universitas Indonesia. Brawijaya Press.

Implikasi Kendala Struktural ... (Bintang Dwitya Cahyono, Mochammad Nadjib) │ 133
134
PEMBIAYAAN NONFORMAL USAHA PERIKANAN TANGKAP:
KASUS MUNCAR DAN BITUNG

NONFORMAL FINANCING FOR CAPTURE FISHERIES: MUNCAR AND


BITUNG CASE STUDIES

Masyhuri
Pusat Penelitian Ekonomi (P2E-LIPI)
E-mail: masyhuri_lipi@yahoo.com

Abstract
This article aims at addressing how importance is the role of nonformal financing institution in the Muncar
and Bitung small scale fishery. As well as fishing in other areas in Indonesia, fishing effort in Muncar and Bitung
is a type of capital-intensive businesses. From the aspect of marketing, the small scale fishery of these areas has
reached the commercial stage. How ever, fishery business conducted is still speculation, althought their income
outline could have been predicted. The role of “Bos” in nonformal financing is an important aspect for the fishermen
of these areas. The formal financing institution still do not assist fishermen to obstain their financial needs. The
“Bos” can be an individual agent or entrepreneur from various type financial activities who provide not only
credit but also many kind of stimulus. This institution is always needed and necessary as far as no other financing
institution for fisherman.
Keywords: Financing, Fisherman, Capture fisheries.

Abstrak
Artikel ini mengetengahkan pentingnya peran pembiayaan nonformal pada usaha perikanan tangkap nelayan
Muncar dan Bitung. Seperti halnya usaha perikanan tangkap di daerah lainnya di Indonesia, usaha penangkapan
ikan rakyat di Muncar dan Bitung juga merupakan usaha padat modal. Dari aspek pemasaran, usaha penangkapan
ikan rakyat di ke dua daerah ini telah berkembang pada tataran komersial. Pendapatan nelayan sedikit banyak
sudah dapat diprediksikan, meskipun usaha penangkapan ikan yang ada masih bersifat spekulatif. Peran “Bos”
sangat penting dalam pembiayaan nelayan skala kecil selama lembaga-lembaga pembiayaan formal masih enggan
dan belum menjangkau nelayan. “Bos” adalah individu atau perusahaan finansial yang bergerak dibidang usaha
perikanan tangkap, dan tetap diperlukan sejauh belum ada institusi lain sebagai penggantinya.
Kata Kunci: Pembiayaan, Nelayan, Perikanan Tangkap

PENDAHULUAN muncul di perairan Selat Bali sekitar bulan April


Muncar terletak di Kabupaten Banyuwangi, sampai dengan bulan Oktober.
di daerah paling timur Propinsi Jawa Timur, Seperti halnya Muncar, Bitung juga
berbatasan dengan Propinsi Bali. Karakteristik merupakan salah satu pusat penangkapan ikan di
umum usaha perikanan tangkap di daerah ini wilayah Indonesia bagian timur. Terletak di ujung
cukup unik. Muncar terkenal sebagai pusat utara pulau Sulawesi, Bitung terkenal sebagai
pendaratan ikan lemuru, hasil penangkapan tempat pendaratan ikan permukaan (palagis).
nelayan terutama dari perairan Selat Bali. Berbeda dengan Muncar yang didominasi oleh
Meskipun berbagai jenis ikan lainnya didaratkan ikan palagis kecil, ikan yang didaratkan di Bitung
pula di daerah ini, lemuru merupakan ikan yang lebih didominasi oleh ikan palagis besar, terutama
paling dominan. Tidak adanya ikan lemuru ikan tuna, tongkol, dan cakalang. Ekonomi
hampir-hampir identik dengan musim paceklik nelayan yang setiap saat melemah akibat paceklik
ikan, dan demikian sebaliknya. Ikan lemuru ikan dan ketergantungan kepada jenis ikan
adalah jenis ikan palagis, yakni ikan permukaan tertentu, seperti ikan lemuru untuk nelayan di
yang berukuran kecil, yang setiap tahunnya Muncar, hampir-hampir tidak pernah terjadi pada

135
nelayan dan usaha perikanan tangkap di Bitung. Seperti halnya penangkapan ikan di daerah-
Berbagai jenis ikan yang dapat dihasilkan dalam daerah lainnya di Indonesia, usaha penangkapan
jumlah yang besar dari wilayah perairan ini dan ikan yang ada di Muncar dan di Bitung merupakan
yang masing-masing mempunyai nilai ekonomi jenis usaha yang padat modal. Harga kapal
yang tinggi memungkinkan terhindarnya nelayan nelayan slerek, yakni kapal nelayan yang paling
dari paceklik ikan. Suatu saat, nelayan dapat dominan di Muncar yang menggunakan jaring
menangkap ikan tongkol dalam jumlah yang purse seine lengkap tidak kurang dari Rp1,5
besar. Di saat yang lain, ketika ikan tongkol tidak miliar. Sedangkan sebuah kapal pajeko atau
ada, nelayan disibukkan dengan penangkapan pamboot di Bitung lengkap masing-masing tidak
ikan tengiri, atau ikan tuna, demikian seterusnya kurang dari Rp500 sampai Rp800 juta. Sementara
secara silih berganti. masalah permodalan, terutama modal untuk
Usaha penangkapan ikan pelagis lemuru investasi, masih merupakan masalah besar bagi
di Muncar mirip dengan usaha penangkapan nelayan pada umumnya. Pola umum pembiayaan
ikan rengis di Prigi, Trenggalek. Ikan rengis usaha perikanan tangkap di Indonesia adalah
adalah ikan permukaan, sejenis ikan tongkol, pembiayaan nonformal, yang dilakukan oleh
tetapi berukuran kecil. Ikan lemuru berukuran lembaga-lembaga keuangan non-bank. Apakah
lebih kecil dari ikan rengis. Sementara usaha pola umum ini terjadi pula pada usaha perikanan
penangkapan ikan palagis di Bitung mirip dengan tangkap di Muncar dan di Bitung?
usaha penangkapan ikan palagis di Karangsong, Lembaga perbankan umumnya tidak atau
daerah Indramayu. Penangkapan ikan lemuru di kurang berminat untuk menyalurkan kredit
Muncar, sebagaimana yang ada di Prigi, dilakukan kepada nelayan sub sektor perikanan tangkap.
denga kapal nelayan yang disebut slerek, dan Nelayan dalam hal ini dipandang tidak akan
dengan jaring purse seine. Baik penangkapan mampu membayar kredit yang mereka terima
ikan di Muncar maupun di Prigi adalah one day secara teratur, sementara pihak perbankan
fishing. Nelayan melaut sore hari, dan mendarat memerlukan kepastian keteraturan angsuran dana
di pagi hari berikutnya. Atau, nelayan melaut di yang dipinjamkan. Karena itu, pola pembiayaan
pagi hari dan pada hari itu pula nelayan mendarat. untuk usaha perikanan tangkap di Indonesia
Semakin cepat mereka mendapatkan tangkapan umumnya bersumber dari lembaga keuangan non
ikan sebanyak yang ditargetkan, semakin cepat bank. Pertanyaannya sekali lagi adalah apakah
mereka mendarat. Bedanya, di Prigi, penangkapan peran pembiayaan nonformal atau non bank di
ikan di lakukan dengan jaring mini purse seine, Muncar dan di Bitung juga dominan sebagaimana
penangkapan ikan di Muncar dilakukan dengan yang terjadi pada usaha penangkapan ikan
jaring purse seine. Kapal nelayan slerek di Muncar yang ada di daerah-daerah lain di Indonesia?
berukuran sedikit lebih besar dibandingkan Pertanyaan ini merupakan pertanyaan pokok dari
dengan kapal slerek yang ada di Prigi. ABK per makalah ini, dan ditempatkan sebagai tema utama
unit slerek di Muncar berjumlah antara 40 sampai diskusi. Dengan sendirinya, makalah ini bertujuan
50 orang. Di Prigi, jumlah tersebut hanya 25 untuk melakukan ferifikasi atau falsifikasi
sampai dengan 35 orang.1 Jaring purse seine yang terhadap pola umum pembiayaan nonformal yang
berukuran lebih besar dibandingkan dengan mini lazim terjadi pada nelayan Indonesia. Apakah
purse seine merupakan faktor penting perbedaan nelayan di Muncar dan di Bitung menunjukkan
jumlah ABK per unit slerek di ke dua daerah kekhususan, sehingga pola pembiayaan berbeda
tersebut . Di Bitung, penangkapan ikan dilakukan dengan pola pembiayaan nelayan pada umumnya?
terutama dengan perahu kapal nelayan yang Metodologi yang digunakan untuk memahami
disebut pajeko dengan jaring mini perse seine atau permasalahannya adalah metode perbandingan.
pool and line, dan dengan kapal nelayan pamboot Dengan ini, diharapkan persamaan atau perbedaan
dengan alat tangkap pancing. yang ada dapat diungkapkan. Sementara narasi
untuk merekonstruksi realitas yang ada digunakan
metode deskriptif analitis.
1
Wawancara bebas dengan sejumlah nelayan yang dilaku-
kan di Muncar.

136 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 22, No. 2, 2014


Dari berbagai penelitian yang dilakukan pinjaman mereka, dengan lahan tambak misalnya.
sebelum ini, diketahui bahwa pembiayaan Karena itulah, kredit yang disalurkan untuk usaha
nonformal memang merupakan institusi penting perikanan tangkap selalu kecil jumlahnya.
yang mempunyai peran besar di bidang investasi Pada masa Indonesia merdeka, yakni
pada usaha perikanan tangkap.2 Diduga keras, pada awal pelaksanaan program Bimbingan
pola pembiayaan usaha perikanan tangkap di Massal (Bimas), nelayan pernah mendapatkan
Muncar dan di Bitung juga didominasi oleh pinjaman dari Pemerintah melalui program
pembiayaan nonformal. Pemahaman terhadap Bimas. Penyaluran kredit yang dilaksanakan saat
pola pembiayaan nelayan seperti yang ada di itu merupakan tahun pertama untuk subsektor
Muncar dan di Bitung jelas masih diperlukan perikanan tangkap, tetapi penyaluran kredit ini
dan akan bermanfaat sebagai landasan untuk sekaligus juga merupakan penyaluran kredit
pengembangan pembiayaan nelayan. Di sinilah yang terakhir. Kredit Bimas nelayan tersebut
arti pentingnya dari kajian tentang hal tersebut di dianggap gagal, dan sesudah itu perbankan tidak
ke dua daerah ini. Adapun data yang digunakan lagi “berani” menyalurkan kredit untuk nelayan
terutama adalah data hasil penelitian lapangan di perikanan tangkap. Dibandingkan dengan
kedua daerah tersebut, yang diadakan masing- kredit perbankan yang disalurkan pada sektor
masing pada bulan Mei dan bulan September pertanian, usaha perikanan tangkap seakan-akan
2014. Sedangkan data sekunder diperoleh dari dianaktirikan. Dalam tahun 2011 misalnya,
berbagai penerbitan yang relevan. BRI telah menyalurkan kredit sektor perikanan
Pembiayaan Pemerintah Untuk Perikanan sebanyak 1,5 triliun rupiah. Kredit tersebut
Tangkap disalurkan dalam bentuk kredit komersial, kredit
usaha rakyat, kredit ketahanan pangan perikanan,
Pengucuran kredit oleh lembaga perbankan
serta program lainnya. Sebagaimana masa-masa
kepada nelayan atau kepada sub sektor perikanan
sebelumnya, kredit BRI ini disalurkan terutama
tangkap bukannya tidak pernah ada, bahkan
ke usaha budidaya tambak, khususnya tambak
sering dilakukan, baik pada masa pemerintahan
udang ( “BRI Beri…”, 2012).
Hindia Belanda maupun pada masa Indonesia
merdeka. Hanya saja penyaluran kredit seperti Keengganan bank menyalurkan kredit
itu lebih banyak diperuntukkan kepada perikanan pada usaha penangkapan ikan menjadikan pola
tambak. Sementara untuk perikanan tangkap, pembiayaan untuk usaha perikanan tangkap di
bila ada, jumlahnya sangat terbatas. Pada tahun Indonesia umumnya bersumber dari lembaga
1910 misalnya, jumlah kredit yang disalurkan keuangan nonbank. Pada tataran paling depan,
Volkscredietwezen (BRI sekarang) kepada sektor yang akrab dengan kehidupan nelayan, adalah
perikanan hanya 1, 9 % dari seluruh kredit yang pola pembiayaan nonformal yang berasal dari
disalurkan lembaga tersebut yang jumlahnya pada modal perorangan dan dari para rentenir atau
tahun itu mencapai 8.849.192 gulden. Jumlah pelepas uang. Modal perorangan berasal perutama
kredit ini ternyata terus mengalami penurunan, dari pengusaha-pengusaha perikanan, seperti
yang sampai tahun 1930 turun menjadi 0,83 %. pengusaha pengolahan ikan, pedagang ikan yang
Secara nominal, jumlah kredit untuk perikanan sukses yang memperdagangkan ikan segara antar
memang mengalami kenaikan, yang pada tahun daerah. Mereka biasanya berperan penting sebagai
1930 telah mencapai 603.300 gulden, namun sumber modal untuk investasi. Rentenir atau
jumlah tersebut sebagian besar masih disalurkan pelepas uang umumnya adalah pedagang pengepul
untuk perikanan tambak (Masyhuri, 2014). atau pedagang langgan. Mereka berperan penting
Alasannya mudah ditebak. Pendapatan nelayan sebagai sumber modal, khususnya modal kerja.
tambak lebih teratur, lebih mudah dikontrol, dan Rentenir tersebut mempunyai konotasi negatif,
nelayan tambak mampu memberi agunan untuk yang dianalogkan dengan penghisap darah atau
lintah darat. Meskipun demikian, pembiayaan
2
Penelitian-penelitian yang dimaksud adalah serangkaian
penelitian tentang pembiayaan perikanan tangkap yang
nonformal seperti itu sangat dominan pada usaha
dilakukan di sejumlah daerah oleh P2E-LIPI antara tahun perikanan tangkap, tidak saja pada saat sekarang
2011 dan 2013. Beberapa diantaranya telah diterbitkan. ini, tetapi juga sudah berlangsung sejak lama.
Lihat Thoha, 2013; Nadjib, 2013; Masyhuri, 2013; 2014.

Pembiayaan Nonformal Usaha ... (Masyhuri)│ 137


Setidak-tidaknya, pola pembiayaan venture digalakkan pula. Hanya saja program
nonformal yang dimaksud telah mengemuka sejak modernisasi tersebut mendorong munculnya
pertengahan pertama abad ke-19, yakni ketika dualisme ekonomi pada usaha penangkapan
terjadi aliansi antara pachter (penyewa) dan ikan di Indonesia (Bailey, 1988). Modernisasi
pemerintah. Pada saat itu, polarisasi kekuasaan yang dimaksud lebih banyak menyentuh usaha
politik masih cukup tajam, dan kemampuan penangkapan ikan skala besar daripada usaha
pemerintah dalam mengumpulkan dana dari penangkapan ikan rakyat berskala kecil. Dengan
sektor perpajakan masih terbatas. Keadaan diluncurkannya program modernisasi sektor
seperti ini memaksa pemerintah menyewakan perikanan, jumlah kapal perusahaan penangkapan
hak penarikan pajak yang dimaksud kepada pihak ikan sampai tahun 1996 telah bertambah menjadi
ke tiga, melakukan kompromi atau mengadakan 4.396 unit, yakni meningkat sebesar 134%
aliansi dengan para penyewa, yakni dengan para bila dibandingkan dengan jumlah kapal pada
pachter (Masyhuri, 1996). Sistem sewa seperti tahun 1992 (Dirjen Perikanan Tangkap, 1997).
ini tidak hanya diterapkan dibidang penangkapan Kapal-kapal tersebut umumnya merupakan milik
ikan saja, tetapi juga di bidang-bidang usaha perusahaan joint venture yang memang secara
lainnya (Butcher J and H. Dick, 1993). Sistem gencar dalam periode-periode itu dipromosikan
sewa subsektor perikanan tangkap diterapkan oleh pemerintah.
di daerah Banten, Pekalongan, Semarang, Program yang paling akhir diluncurkan oleh
Gresik, Surabaya, Pasuruan, dan daerah-daerah pemerintah untuk mendorong sektor perikanan
Jawa lainnya serta beberapa daerah di luar tangkap adalah program bantuan 1000 unit kapal
Jawa, seperti di Kalimantan Barat, Kalimantan nelayan berukuran 30 GT. Program tersebut
Tengah (Masyhuri, 1996). Dalam konteks usaha digulirkan mulai tahun 2011, sebagai program
perikanan tangkap di Kepulauan abad ke-19, modernisasi terhadap perikanan tangkap skala
para pachter merupakan penggerak tumbuh kecil. Diharapkan, program ini telah diselesaikan
berkembangnya usaha penangkapan ikan saat itu semuanya pada tahun 2014. Program tersebut
(Masyhuri, 1996). tampaknya kurang efektif, dan lebih banyak
Ketika birokrasi pemerintahan kolonial mubazir. Dimana-mana, kapal-kapal Inkamina,
telah berkembang dan pemerintah mampu nama kapal dari program tersebut, tidak atau
menarik pajak secara langsung, sistem sewa belum beroperasi. Di Prigi, di Cilacap, di Muncar,
secara berangsur dihapuskan diganti dengan di Juana, dan sejumlah tempat lain diketemukan
sistem pajak kepala, pajak pendapatan, dan kapal-kapal tersebut tidak beroperasi. Hanya di
sebagainya. Sistem sewa pada usaha perikanan sejumlah daerah, kapal tersebut dapat dioperasikan,
tangkap sendiri dihapus, dan sejak itu investasi misalnya di Karangsong, setelah melalui proses
untuk perikanan tangkap dari para pachter bisa modifikasi atau penyesuaian dengan kebiasaan
dikatkan telah berhenti. Padahal, institusi lain atau keinginan nelayanan setempat. Faktor
sebagai pengganti tidak atau belum ada. Sejalan penting tidak beropersasinya kapal Inkamina
dengan hilangnya peran pachter sebagai institusi diantaranya adalah bentuk, ukuran, dan jaring
pembiayaan usaha penangkapan ikan, serta belum yang digunakan kurang mendukung atau kurang
adanya institusi pengganti, maka rentenir (pelepas sesuai dengan kebiasaan nelayan, serta besarnya
uang/lintah darat) memperoleh momentumnya modal operasional yang dibutuhkannya. Realitas
muncul sebagai institusi penyedia modal yang ini menjadi alasan dilakukannya evaluasi terhadap
mendominasi usaha perikanan tangkapa. Peran program banatuan 1000 kapal tersebut. Program
para rentenir tersebut tampak masih tetap dominan yang dimaksud pada akhirnya dihentikan ditengah
sampai saat ini. Sejak semakin menonjolnya peran jalan. Tampaknya, keaneragaman usaha dan
rentenir di bidang perikanan tangkap, maka sejak tradisi dari masyarakat nelayan setempat perlu
itu pula telah terpola peran pembiayaan nonformal mendapat pehatian besar dalam pelaksanaan
pada usaha perikanan tangkap (Masyhuri, 2014). program pembiayaan. Bila tidak, hal ini dapat
Modernisasi usaha penangkapan ikan menjadi faktor penting kegagalan program-
oleh Pemerintah melalui kerja sama atau joint program pembiayaan yang dilakukan.

138 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 22, No. 2, 2014


Nelayan Slerek, Soma Pamboot, Dan ukuran yang lebih kecil. Perbedaan menyolok
Investasi Perikanan Tangkap yang diketemukan di ke dua daerah tersebut,
sebagaimana disinggung di atas, adalah
Sebagaimana pemahaman yang ada selama ini,
keberadaan industri penangkapan ikan. Bila di
armada penangkapan ikan yang berukuran besar,
Muncar seluruh armada penangkapan ikan terdiri
yang berukuran lebih dari 5 sampai 100 GT,
dari armada penangkapan ikan tradisional, di
disebut kapal nelayan. Sedangkan yang berukuran
Bitung tidak demikian. Armada penangkapan ikan
kurang dari 5 GT disebut perahu nelayan.
di daerah ini dapat dikelompokan secara tegas
Longline yakni kapal nelayan yang digunakan
atara perikanan tangkap tradisional dan perikaan
untuk menangkap ikan tuna di lepas pantai yang
tangkap modern. 3 Kapal-kapak penangkap
berukuran jauh lebih besar dari kapal nelayan
ikan sektor modern berukuran jauh lebih besar
pada umumnya dikategorikan kedalam kapal
dibandingkan dengan kapal nelayan yang ada.
perusahaan. Sistim gaji diterapkan untuk ABK
Kapal-kapal ini berukuran 800 GT ke atas.
longline, sementara sistim bagi hasil umumnya
Tidak saja kapal-kapal nelayan miliki pengusaha
berlaku sebagai ganti sistim upah pada perahu
Indonesia, kapal-kapal tersebut juga kapal-kapal
dan kapal nelayan. Sejauh ini, belum pernah
asing yang mempunyai kontrak kerja dengan
diketemukan sistim upah di terapkan untuk perahu
perusahaan pengolahan ikan setempat.4
ataupun kapal nelayan. Berdasarkan kategori
tersebut, kapal nelayan tradisional yang dominan Sebagaimana disebutkan, kapal nelayan
di Muncar dan di Bitung masing- masing adalah slerek di Muncar berukuran antara 20 sampai
kapal nelayan slerek, dan kapal nelayan soma dan 30 GT, sedikit lebih besar bila dibandingkan
pamboot. Selain kapal nelayan, di Bitung terdapat dengan kapal nelayan slerek yang ada di Prigi,
pula kapal-kapal perusahaan penangkapan dan pantai selatan Jawa Timur. Ada persamaan yang
pengolahan ikan yang berpangkalan di tempat sangat dekat antara kapal nelayan slerek yang ada
itu. Sementara di Muncar, tidak diketemukian di Muncar dan kapal nelayan slerek yang ada di
kapal-kapal seperti itu. Prigi. Tidak hanya bentuk kapalnya, tetapi juga
sistim atau cara kerja dalam penangkapan ikan.
Bisa dikatakan bahwa slerek merupakan kapal
Konon menurut cerita yang hidup di kalangan
nelayan tradisional terbesar yang ada di Muncar,
nelayan Muncar, slerek yang ada di Muncar pada
dan hampir-hampir tidak ada kapal nelayan jenis
mulanya adalah kapal slerek Prigi yang datang
lain di tempat ini. Suatu saat memang terdapat
atau yang andun ke daerah Muncar. Baik kapal
juga kapal nelayan yang cukup besar yang sandar,
slerek yang ada di Muncar maupun yang ada
khususnya kapal nelayan payang dari Pasuruhan.
di Prigi menangkap ikan palagis dengan jaring
Sebagaimana slerek di Prigi, slerek di Muncar
mini purse seine, khususnya ikan palagis kecil.
berukuran antara 20 sampai 30 GT. Seperti kapal
Bila di Prigi ikan tongkol kecil, atau ikan rengis,
nelayan slerek di Muncar, Soma dan Pamboot
merupakan ikan yang paling banyak di tangkap,
juga merupakan perahu nelayan tradisional
di Muncar, ikan lemuru merupakan ikan utama
terbesar yang ada di daerah Bitung. Soma adalah
yang ditangkap di daerah ini.
jenis kapal nelayan berukuran sekitar 15 GT,
dioperasikan dengan menggunakan jaring mini Sebuah organisasi penangkapan ikan dengan
purse seine, yang digunakan untuk menangkap slerek terdiri dari dua unit kapal nelayan, satu unit
ikan palagis, yang oleh nelayan setempat jaring kapal nelayan yang disebut slerek, atau disebut
tersebut disebut dengan pajeko. Karena itu, kapal juga golekan, dan satu unit perahu nelayan yang
nelayan soma disebut juga dengan sebutan soma berukuran kurang dari 5 GT sebagai perahu
pajeko. Pamboot merupakan jenis kapal nelayan pembantu. Perahu ini di Muncar disebut parahu
jenis lain, yang berukuran sekitar 15 GT pula. 3
Hasil observasi lapangan selama penelitian dilakukan di
Kapal ini digunakan untuk menangkapn ikan Muncar dan di Bitung.
palagis jenis tuna dengan menggunakan alat 4
Pada waktu penelitian lapangan dilakukan, dua unit kapal
tangkap pancing ulur. nelayan modern bersandar di pelabuhan perikanan Bitung.
Sebenarnyalah, di Muncar dan di Bitung Menurut keterangan, kedua kapal tersebut adalah kapal
penangkap ikan dari Panama yang kontrak kerjanya telah
diketemukan berbagai armada nelayan berbagai habis dan akan segera kembali ke Panama

Pembiayaan Nonformal Usaha ... (Masyhuri)│ 139


pemburu, di Prigi perahu ini disebut dengan 3–4 jam. Demikian juga fishing ground nelayan
perahu Johnson, yakni nama dari mesin yang Bitung, perairan penangkapan ikan nelayan
mula-mula digunakan untuk pendorong perahu Bitung dapat dicapai skitar 3 jam pula. Dengan
ini. Berbeda dengan perahu jonhson yang ada demikian, biaya produksi untuk kedua jenis usaha
di Prigi, perahu pemburu di Muncar berukuran penangkapan ikan tersebut tidak terlalu besar.
lebih besar bila dibandingkan dengan perahu Perbekalan dan biaya operasional penangkapan
Johnson. Pada saat ini, mensin perahu pendorong ikan nelayan di Muncar dan di Bitung untuk sakali
slerek, baik yang ada di Muncar maupun di Prigi, melaut sekitar Rp 2 juta. Pengeluaran tersebut
sebagian besar menggunakan mesin PS bekas adalah pengeluaran untuk pembelian solar.
atau mesin-mesin bekas sejenis. Fungsi perahu Pengeluaran untuk konsumsi bukan termasuk
pemburu adalah untuk mengejar atau memburu pengeluaran yang diperhitungkan sebagai
keberadaan ikan yang telah dilihat oleh panto, pengeluaran bersama. Masing-masing ABK
petugas khusus mencari kerumunan ikan yang ada umumnya membawa perbekalan mereka sendiri,
di kapal slerek. Dengan menarik ujung jaring mini untuk makan, minum, merokok, dan kebutuhan
purse seine, perahu pemburu mengejar kerumunan individual lainnya. Sedikit banyaknya tergantung
ikan, melingkarinya dengan jaring. Setelah ikan pasing-masing ABK.
terkurung jaring, ujung jaring tersebut ditarik Sebagaimana di tempat lain, usaha
kearah kapal slerek, yang selanjutnya jaring penangkapan ikan di Muncar dan di Bitung
ditarik ke geladak kapal. Dengan cara demikian, merupakan usaha padat modal, dan merupakan
ikan yang telah terkurung jaring dapat terangkat sektor usaha yang beresiko besar, dengan
ke kapal hampir seluruhnya. pendapatan yang tidak teratur. 5 Selain
Sebagaimana slerek, soma pajeko juga kemungkinan tidak memperoleh tangkapan
berukuran tidak terlalu besar, berbobot kurang sehingga nelayan mengalami kerugian
dari 20 GT. Soma pajeko rata-rata berukuran akibat terus menumpuknya hutang biaya
lebih kecil bila dibandingkan dengan kapal operasional, resiko kehilangan kapal atau
slerek. Sebagaimana kapal slerek yang ada di jaring dan lain sebagainya pada waktu
Muncar, soma pajeko menangkap ikan pelagis penangkapan ikan adalah sangat mungkin.
berukuran sedang, terutama ikan tongkol dan Pembiayaan formal, terutama kredit dari bank,
cakalang, dengan menggunakan jaring mini purse kurang berperan. Bagi nelayan tradisional, akses
seine. Soma pajeko dioperasikan oleh sekitar 15 untuk mendapatkan pinjaman dari bank sangat
orang nelayan. Jumlah ini jauh lebih kecil bila terbatas (Masyhuri, 2014). Secara teoretis,
dibandingkan dengan nelayan slerek di Muncar, sektor yang mempunyai karakteristik seperti
yang perunitnya dioperasikan oleh 30 orang ini memang mendorong pelaku usaha untuk
lebih. Perbedaan jumlah ABK per unit kapal melakukan kerja sama dalam permodalan maupun
nelayan di ke dua daerah tersebut disebabkan oleh berinvestasi. Untuk mengatasi keterbatasan
penggunaan gardan, yakni mesin penarik jaring. modal dan memperkecil resiko kerugian yang
Bila soma pajeko menggunakan mesin gardan mungkin ditanggungnya, nelayan melakukan
sebagai penarik jaring, maka kapal slerek yang kerja sama dalam bentuk musyarakah atau
ada di Muncar tidak menggunakan mesin gardan. syarikat dalam pengadaan sarana produksi.
Untuk menarik jaring mini purse seine yang telah Satu unit kapal nelayan dimiliki secara
diterbarkan secara manual memerlukan tenga bersama-sama oleh sejumlah nelayan, apakah
kerja tidak kurang dari 30 orang. Di Muncar, kapal itu kepemilikan terhadap bagian tertentu dari
slerek tidak akan melaut bila ABK nya kurang dari
jumlah tersebut.
5
Untuk pengadaan satu unit lengkap perahu kotekan
(Sumenep), perahu gardan (Lamongan), perahu apung
Perikanan tangkap nelayan slerek di Muncar (Bagansiapiapi), perahu slerek (Trenggalek), perahu jaring
dan nelayan soma pajeko di Bitung merupakan apung (Indramayu) yang berukuran antara 15 GT sampai
20 GT misalnya dibutuhkan dana antara 500 juta sampai
perikanan tangkap one day fishing. Fishing dengan 1 milyar rupiah. Perahu-perahu nelayan yang beru-
ground nelayan Muncar berada di selat Bali, kuran lebih kecil sekitar 10 GT harganya juga cukup tinggi,
dan dapat dicapai dari palabuhan Muncar sekitar tidak kurang dari Rp 250 juta per unitnya (Masyhuri, 2013;
Masyhuri, 2014).

140 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 22, No. 2, 2014


sarana penangkapan ikan (kepemilikan atas mana nelayan di tempat lain, aspek kerja sama
perahu saja, jaring saja, mesin pendorong, dan ini merupakan kearifan local yang berperan
bagian-bagian lainnya), atau dalam bentuk penting sebagai faktor berkembanganya usaha
modal bersama. Sebagai konsekuensinya, rakyat di bidang perikanan tangkap. Tanpa
pendapatan hasil usaha yang diperoleh di aspek ta’awwun tersebut, sulit dibayangkan
dibagi sesuai dengan porsi kepemilikannya. perkembangan dari usaha perikanan tangkap
Masing-masing bagian peralatan tangkap yang ada (Masyhuri, 2013). Sebagai akibatnya,
mendapat porsi bagian yang berbeda. armada nelayan perikanan tangkap umumnya
Perahu mendapat porsi yang terbesar, mesin merupakan armada milik kelompok, dimilik oleh
pendorong, jaring, dan peralatan lainnya dua, tiga nelayan, dan seterusnya. Tidak kurang
mendapatkan porsi bagiannya masing-masing sebuah kapal nelayan dimiliki oleh lebih dari lima
yang tidak sama. Pola kepemilikan kelompok orang nelayan. Dengan kata lain dapat dikatakan
seperti ini karenanya berkembang pada bahwa sistem pemilikan kelompok atas sarana
hampir setiap komunitas nelayan di manapun penangkapan ikan merupakan cara yang dilakukan
di Indonesia (Nadjib, 1993; Imron, 1998; untuk saling membantu dalam mengatasi
Elfindri, 2002). hambatan permodalan yang hampir-hampir tidak
Dalam konteks perekonomian moderen, teratasi oleh nelayan secara perorangan. Sistem
modal bersama dengan sistem bagi hasil kurang kepemilikan kelompok tampaknya merupakan
diminati. Dalam portofolio perbankan misalnya wahana tolong menolong atau ta’awwun bagi
jenis pembiayaan bagi hasil hanya sebagian kecil masyarakat nelayan, khususnya tolong menolong
dari pembiayaan yang disalurkan oleh lembaga dalam pengadaan modal untuk investasi.
keuangan tersebut (Karim, 2001). Terdapat Tampaknya, bersyarikat dalam usaha dalam
beberapa hal yang menyebabkan sistem bagi bentuk mudhorobah merupakan bentuk syarikat
hasil kurang diminati, antara lain adanya apa yang paling banyak ditemukan di kalangan
yang disebut sebagai adverse selection dan moral nelayan. Dalam syarikat mudharabah salah
hazard. Pengusaha dengan bisnis yang memiliki satu pihak menjadi pemodal, dan pihal lainnya
tingkat keuntungan tinggi cenderung enggan menjadi operatornya. Untung dibagi sesuai
menggunakan sistem bagi hasil. Bagi mereka, dengan nisbah yang disepakati di awal, rugi
mengambil kredit dari bank dengan bunga yang berupa uang ditanggung pemodal dan rugi
sudah pasti jumlahnya lebih menguntungkan dari berupa tenaga ditanggung operator (Karim,
pada harus membagi keuntungan dengan pemodal 2001). Pembiayaan nelayan umumnya berkisar
mitra. Pengusaha dengan bisnis beresiko rendah pada aktivitas juragan darat di satu pihak dan,
umumnya juga enggan terhadap pembiayaan bagi juragan laut serta belah (ABK) di pihak lain.
hasil. Kebanyakan yang memilih model bagi hasil Ketiganya membentuk kelompok usaha, yang
adalah mereka yang bergerak dibidang usaha yang tersusun dalam pelapisan yang hirarkhis. Sebagai
beresiko tinggi. Selain itu, banyak pengusaha kelompok, juragan darat menempati strata
melakukan tindakan yang tidak terpuji (moral tertinggi, diikuti kelompok juragan laut, dan strata
hazard), seperti melakukan pembukuan ganda terendah ditempati kelompok belah.
untuk menyembunyikan keuntungan riil yang Dari aspek ekonomi, juragan darat memiliki
diperoleh (Karim, 2001). tingkat kehidupan ekonomi yang lebih mapan
Berbeda dengan itu adalah usaha rakyat dibandingkan dua kelompok sosial lainnya.
dibidang penangkapan ikan. Sistem bagi Dengan kedudukan sosial yang lebih tinggi dan
hasil di kalangan mereka merupakan sistem kemampuan ekonomi yang lebih baik, mereka
yang sudah berurat berakar. Suatu kenyataan berperan tidak saja sebagai sumber pembiayaan
yang sulit diingkari dari masyarakat nelayan, usaha penangkapan ikan, tetapi juga berperan
perilaku gotong royang untuk bekerja dalam sebagai “sabuk pengaman”, sebagai patron
pengadaan modal ataupun dalam pelaksanaan pada saat-saat kesempitan ekonomi (paceklik).
usaha (ta’awwun) merupakan aspek penting Pada musim-musim seperti ini, kebutuhan hidup
dalam kehidupan mereka. Tampaknya, sebagai sehari-hari para belah sering dipenuhi dengan

Pembiayaan Nonformal Usaha ... (Masyhuri)│ 141


berhutang kepada juragan laut, atau dengan Pembiayaan Nonformal Nelayan Muncar
garansi juragan laut, nelayan belah mendapatkan
Di lingkungan nelayan Muncar dikenal apa yang
biaya kebutuhan hidup dari juragan darat. Semua
disebut “bos”, sebagai sebutan untuk menunjuk
biaya yang dikeluarkan pada saat-saat sulit
kepada seseorang yang mempunyai usaha dibidang
diperhitungkan sebagai utang, dan dibayar pada
perikanan, termasuk pengelolaan minyak ikan
saat hasil tangkapan ikan membaik.
lemuru. Seperti yang telah disampaikan, Muncar
Bagi sejumlah nelayan tertentu, yakni merupakan pusat pendaratan ikan lemuru hasil
nelayan-nelayan yang mengalami kesuksesan, tangkapan terutama nelayan setempat di perairan
permodalan bukan lagi menjadi masalah, Selat Bali. Bisa dikatakan hampir semua ikan
namun tidak demikian bagi nelayan pada lemuru yang didaratkan di Muncar dijual kepada
umumnya. Secara garis besar, nelayan Indonesia pabrik-pabrik pengolahan ikan. Penjualan ikan
setidak-tidaknya dapat dikelompokkan ke lemuru segar untuk keperluan konsumsi sangat
dalam 3 kategori, yakni kelompok nelayan terbatas. Ikan lemuru termasuk ikan yang kurang
pre-bankable, nelayan bankable, dan nelayan disuka masyarakat sebagai lauk pauk. Oleh karena
post-bankable (Thoha, 2013). Nelayan-nelayan itu, pabrik-pabrik atau pusat-pusat pengelolaan
pada tataran pre-bankable dengan berbagai ikan di Muncar berkembang dengan suburnya.
alasannya masing-masing umumnya tidak berani
Berbagai jenis pengolahan ikan dapat
atau takut berurusan dengan bank. Yang demikian
diketemukan di daerah ini, yang menonjol adalah
ini merupakan sebab pula semakin terbatasnya
usaha pengolahan minyak ikan, penepungan
akses mereka pada lembaga keuangan bank.
ikan, pengalengan ikan, pengasinan ikan, dan
Kelompok nelayan yang berani mengajukan
pemindangan ikan. Usaha pembuatan terasi
pinjaman dan sebagian mendapatkan pinjaman
dan petis juga ada di Muncar, meskipun kurang
dari bank terutama adalah nelayan-nelayan dari
menonjol. Pada tahun 2004 industri pengolahan
kategori bankable, meskipun jumlah mereka
minyak ikan berjumlah 14 buah, jumlah yang
masih sangat terbatas. Sementara nelayan kategori
cukup besar untuk hanya sebuah daerah kecamatan.
post-bankable umumnya tidak membuhutkan lagi
Jumlah industri tersebut tampaknya tidak banyak
pinjaman dari bank. Bagi mereka, bank hanya
mengalami pertambahan hingga tahun 2013.
merupakan tempat menyimpan uang. Nelayan
Jumlah industri penepungan ikan, baik yang
yang berhasil mencapai tataran post-bankable
moderen maupun yang tradisional, pada tahun
tidak banyak jumlahnya, termasuk juga nelayan
2004 ada 35 buah. Jumlah tersebut bertambah
yang ada di daerah Muncar dan Bitung, sehingga
menjadi 46 buah pada tahun 2013. Tampaknya
dengan demikian, masalah permodalan pada
periode antara tahun 2004 dan 2013 merupakan
umumnya masih tetap merupakan kendala bagi
periode pertumbuhan lambat untuk semua industri
nelayan.
pengelolaan ikan di Muncar, termasuk industri
Keluarga, pengusaha pengolahan ikan, pengalengan ikan, pengasinan ikan, pemindangan,
pedagang ikan, dan bahkan nelayan itu sendiri dan industri-industri pengolahan lainnya.
masing-masing merupakan sumber pembiayaan
Sebagaimana di tempat-tempat lainnya
usaha penangkapan ikan, khususnya dalam
di Indonesia, “bos” adalah pemilik-pemilik
pembiayaan pengadaan kapal atau alat penangkap
industri yang sukses di Muncar. Mereka berperan
ikan. Modal investasi dari mereka umumnya
penting sebagai investor pada bidang usaha
bersifat parsial, dalam arti modal berasal dari
penangkapan ikan di daerah ini. Mereka hampir
banyak pihak. Sejumlah kasus seperti ini dapat
senantiasa menanamkan modal mereka pada
ditemukan hampir di semua komunitas nelayan,
bidang perikanan tangkap untuk menjamin
termasuk nelayan yang ada di Muncar dan di
kelangsungan pasokan bahan baku usaha mereka.
Bitung. Besarnya modal atau biaya investasi yang
Panggilan “bos” sangat akrap untuk mereka. Di
disertakan menentukan besarnya bagian dari hasil
Tanjung Pandan, Belitung, fenomena “bos” sangat
penangkapan yang diterimanya.
menonjol pula. Sebagaimana di Muncar, mereka
berperan penting sebagai investor di bidang
penangkapan ikan. Berbeda dengan “bos” yang

142 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 22, No. 2, 2014


ada di Muncar, “bos” di Belitung lebih banyak “Bos-bos” di Muncar meluncurkan atau
bergerak dibidang perdagangan ikan segar, atau membuat kapal nelayan tidak untuk di miliki
daging ikan segar, baik untuk pasar dalam negeri sebagaimana “bos” di Tanjung Pandan. “Bos”
maupun pasar luar negeri. Sementara “Bos” di di Tanjung Pandan, selain menjual kapal untuk
Muncar bergerak terutma dibidang pengolahan nelayan setempat, juga membuat kapal untuk
ikan. dimilikinya sendiri. “Bos” di Muncar membuat
Pada tataran empiris, tingkat kesuksesan kapal nelayan semata-mata untuk dijual atau
mereka yang disebut sebagai “bos” di Muncar diutangkan kepada nelayan. Kapal-kapal tersebut
tidaklah sama. Diantara mereka ada yang disebut dengan harga yang telah ditentukan dijual atau
sebagai “bos besar”, ada juga yang disebut sebagai diserahkan kepada nelayan sebagai kredit yang
“bos kecil”. Pengusaha pengolahan minyak pembayarannya dilakukan tidak tunai, tatapi
ikan dan pengalengan ikan di Muncar dengan harus dibayar sekali bayar. Meskipun seandainya
sendirinya termasuk “bos besar”, sementara nelayan mampu membayar tunai, mereka tidak
pedagang ikan, pengelola perusahaan terasi atau bisa langsung membayarnya atau melunasinya.
petis umumnya termasuk “bos kecil”. Diantara Transaksi jual beli sekali bayar seperti ini harus
mereka, terdapat juga sejumlah “bos” yang ada tenggat waktu yang lamanya tidak ditentukan.
mengembangkan usaha yang bergerak dibidang Nelayan tidak harus segera melunasi kapal nelayan
eksport produksi industri pengolahan ikan yang mereka terima. Nelayan diberi kebebasan
Muncar. Pada tahun 2004 jumlah mereka ada kapan saja untuk membayarnya. Tidak ada
17 orang, dan tampaknya jumlah tersebut tidak batasan waktu, dan tidak ada bunga dibebankan
mengalami penambahan maupun pengurangan pada nelayan. Hanya saja selama kapal nelayan
sampai tahun 2013.6 Di Tanjung Pandan, “bos tersebut belum dibayar selama itu pula nelayan
besar” berjumlah 9 orang. Mereka adalah pemilik terikat kepada “bos”, harus menjual ikan hasil
perusahaan. Sedangkan jumlah “bos” kecil di tangkapan mereka kepada “Bos”, dengan harga
daerah ini seluruhnya ada sekitar 60 orang.7 yang ditetapkan oleh “bos” sendiri. Umumnya,
penetapan harga ikan oleh “bos” senantiasa lebih
Untuk menjaga kelangsungan usaha mereka,
murah, dibawah harga pasar. “Bos” berspekulasi
para “bos” membangun hubungan kerja sama
dan menyakini bahwa nelayan penerima kridit
dengan sejumlah nelayan. Hubungan kerja yang
tidak akan mampu membayar secara tunai, kecuali
paling dominan diantara mereka adalah hubungan
setelah menabung dalam waktu yang lama. “Bos”
kerja antara penampung dan pemasok ikan. “Bos”
berusaha terus mengulur waktu. Semakin lama
sebagai penampung ikan dan nelayan sebagai
tenggat waktu pembayaran dari nelayan, semakin
pemasoknya. Tidak hanya itu, “bos” dalam hal ini
besar keuntungan yang diperoleh oleh “Bos”.
juga berperan sebagai penyedia modal, baik modal
untuk investasi maupun modal kerja. Sementara Melalui ikatan kerja seperti ini, kelangsungan
nelayan pemasok ikan berperan sebagai penerima perusahaan pengolahan atau perdagangan
modal dan sebagai nelayan penangkap ikan. “Bos” ikan dapat berlangsung terus. Perusahaan juga
dalam hal ini menjadi institusi pembiayaan usaha menampung ikan hasil tangkapan nelayan
perikanan tangkap di Muncar. Tanpa adanya peran lain yang tidak membeli kapal kepadanya.
“bos”, nelayan Muncar jelas memerlukan institusi Nelayan-nelayan seperti ini diantaranya adalah
pengganti sebagai sumber pendanaan mereka, nelayan-nelayan yang telah berhasil melunasi
khususnya dana untuk investasi. Permasalahannya kapal nelayan yang mereka beli secara kredit.
adalah mungkinkah peran “bos” dapat digantikan Hubungan antara “Bos” sebagai patron dan
dengan institusi lain, misalnya oleh lembaga nelayan penerima kapal sebagai klien umumnya
bank? Sejauh ini, sebagaimana di tempat-tempat putus. Hal ini disebabkan terutama oleh pola
lainnya, lembaga keuangan formal di Muncar pembelian ikan di tempat ini bersifat oligopsoni.
belum bergairah untuk menyalurkan kredit kepada Keuntungan yang diperoleh “bos” dengan
nelayan. praktek penjalan kapal seperti ini adalah mergin
antara harga pembelian ikan dari nelayan yang
6
Sumber primer yang tidak diterbitkan. ditetapkan besarannya oleh “bos” sendiri dan
7
Data hasil penelitian lapangan.

Pembiayaan Nonformal Usaha ... (Masyhuri)│ 143


harga jual. Semakin lama nelayan terikat kepada “bos” yang ada di Muncar dan “bos” yang ada di
“bos”, semakin besar keuntungan yang dapat Tanjung Pandan.
diperoleh oleh “bos”, dan tampaknya demikianlah Yang menarik kerja sama antara “bos” dan
yang diinginkan oleh “bos”. Pada waktu penelitian nelayan seperti ini, baik yang terjadi di Muncar
lapangan dilakukan, tidak deketemukan atau atau di Tanjung Pandan, adalah bahwa ikan
didengar cerita bahwa ada kapal tidak lagi laik hasil tangkapan kapal nelayan merupakan hak
laut yang belum terbayar lunas. nelayan sepernuhnya. Berdasarkan sistim bagi
Spekulasi “bos” tentang kemampuan nelayan hasil yang berlaku di kedua daerah ini, “Bos”
membayar kredit kapal nelayan yang diterimanya tidak mendapat bagian sedikitpun dari ikan hasil
mendekati kebenaran. Umumnya nelayan baru tangkapan. Semua hasil tangkapan adalah hak
membayar hutangnya setelah mengoperasikan nelayan, dikeluarkan untuk membayar biaya
kapal yang diterimanya dalam waktu yang perbekalan, dan sisanya di jual kepada “bos”, dan
cukup lama, menabung sedikit demi sedikit dari hasilnya dibagi diantara mereka sesuai dengan
hasil yang diperolehnya dari usaha persebut. sistim bagi hasil yang berlaku. Tampaknya,
Setelah terkumpul sebanyak harga kapal, nelayan para “bos” sudah puas dengan keuntungan yang
baru membayarnya dengan sekali bayar. Pada didapatnya dari selisih harga beli dari nelayan dan
waktu penelitian lapangan dilakukan, terungkap harga pasar, dan selisih itu tampaknya memang
informasi bahwa waktu pelunasan kapal nelayan sukup besar. Sebagai contoh, harga ikan tahun
umumnya terjadi tidak kurang dari 15 tahun. 2013 yang dipatok oleh “bos” sebesar sekitar
Sistem bayar keseluruhan harga kapal sekali Rp3000,- sampai dengan Rp5000,- tergantung
gus merupakan cara tersendiri untuk mengikat jenis ikannya. Harga tersebut berlaku untuk
nelayan selama mungkin. Bila kapal terbayar nelayan yang belum lunas kredit kapal yang
lunas, nelayan baru dapat menjual ikan hasil dibebankan pada mereka. Apabila kapal nelayan
tangkapannya kepada siapa saja yang membeli tersebut telah terbayar lunas dan menjadi milik
dengan harga yang lebih baik. nelayan, harga ikan hasil tangkapannya melonjak
Sebagaimana dengan “bos” di Muncar, peran cukup drastis, yang pada tahun itu termurah di beli
“bos” di Tanjung Pandan, daerah Belitung, sangat “bos” dengan harga sekitar Rp. 18.000,- per kg.
dominan pula dalam pembiayaan usaha perikanan. Praktek perkreditan kapal nelayan di Muncar
Para “bos” dengan modal yang dimilikinya sebagaimana diuraikan di atas tampaknya
membuat kapal, dan kapal-kapal tersebut, bila merupakan faktor penting penyebab lambatnya
laku, dijual kepada nelayan. Bila tidak terjual, pertambahan kapal nelayan di daerah ini.
kapal tersebut tetap milik “bos” yang dioperasikan Kesulitan untuk membayar harga kapal secara
oleh nelayan yang bekerja pada mereka. Dengan sekali gus yang dihadapi oleh nelayan merupakan
kata lain, kapal-kapal tersebut dipercayakan faktor penghambat yang serius. Investasi untuk
kepada nelayan untuk menangkap ikan. Mereka usaha perikanan tangkap di daerah ini terbatas
hanya berstatus sebagai sengelola. Sejumlah jumlahnya. Berbeda dengan ini adalah nelayan
nelayan yang diwawancarai menegaskan bahwa Tanjung Pandan. Motivasi yang terbangun di
mereka tidak mau membeli kapal dengan alasan kalangan nelayan di tempat ini adalah secepatnya
lebih enak sebagai pengelola saja, tidak ada beban kapal terbayar lunas, sehingga mereka akan
dan tanggung jawab. Nelayan yang berstatus mendapatkan harga ikan yang “wajar” dari “bos”.
sebagai nelayan pembeli kapal, umumnya Secara umum dari aspek pembiayaan, usaha
membayar dengan cara angsuran, di bayar setiap perikanan tangkap di Muncar sudah sampai pada
saat apabila mereka memiliki uang. Nelayan tahap komersial. Meskipun usaha perikanan
tidak dibatasi berapa lama utang mereka harus tangkap yang dilakukan masih juga bersifar
lunas, dan tidak ada batas besaran angsuran yang spekulasi, namun mecederungan pendapatan
harus diserahkan setiap mengangsur. Semakin mereka secara garis besar dapat diprediksi. Peran
besar angsurannya dan semakin sering, tentunya pembiayaan nonformal dari “bos” jelas sangat
semakin cepat pula kapal nelayan tersebut akan dominan pada nelayan di Muncar.
terbayar lunas. Disinilah letak perbedaan peran

144 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 22, No. 2, 2014


Pembiayaan Nonformal Nelayan Bitung merupakan kapal hutangan yang masih harus
dilunasi pembayarannya. Setelah kapal-kapal
Sumber investasi untuk usaha penangkapan
nelayan yang dipercayakan kepada mereka
ikan di Bitung berasal terutama dari hasil
terbayar lunas, mereka kemudian berstatus
usaha perorangan dan dari pemodal pengusaha.
sebagai nelayan darat, yakni pedagang ikan yang
Sebagaimana terjadi di tempat-tempat lain,
memiliki kapal nelayan yang tidak pernah melaut.
nelayan-nelayan yang cukup berhasil di Bitung
pada saat ini mula-mula bemodalkan hasil usaha Dengan demikian, perusahaan pengolahan
mereka sendiri dari penangkapan ikan yang ikan merupakan salah satu sumber pembiayaan
mereka lakukan. Pada mulanya mereka menjadi nelayan Bitung. Dengan modal yang mereka
nelayan buruh atau ABK. Sedikit demi sedikit tanamkan, jumlah kapal nelayan dan nelayan
mereka menyisihkan hasil dari usaha mereka. Bitung bertambah. Bila menggunakan istilah
Apabila sudah mempunyai sedikit modal, nelayan yang berlaku di kalangan nelayan Muncar,
yang kreatif biasanya memanfaatkan modal yang industri-industri pengolahan ikan di Bitung
terbatas tersebut, sebagai modal penyertaan untuk berstatus sebagai “bos”. Meskipun istilah “bos”
ikut pemilikan sarana tertentu dari perahu atau kurang lazim dan kurang dikenal di kalangan
kapal nelayan. Bila sudah demikian, tahap awal nelayan Bitung, mereka paham pula maksud
dari tataran modilitas sosial dari nelayan buruh dan peran penting “bos” dalam perkembangan
menjadi nelayan pemilik sarana penangkapan usaha penangkapan ikan Bitung. Istilah “bos”
ikan sudah mereka tapaki (Masyhuri, 2014). kadang-kadang terdengar pula disebutkan oleh
Secara ekonomi, kemampuan mereka sedikit nelayan setempat. Bisa dikatakan peran mereka
demi terus menguat, dan bila sudah demikian, sebagai sumber modal bagi nelayan Bitung
mereka beranjak untuk membeli kapal atau perahu untuk pengembangan usaha perikanan tangkap
nelayan berukuran kecil. Nelayan kecil seperti ini sangat dominan pula. Pada tataran empiris,
di Bitung disebut nelayan tibo-tibo.8 Sejumlah peran pemodal dari para Pengusaha, khususnya
nelayan tibo-tibo berhasil mengalami mobilitas industri pengolahan atau eksportir ikan lebih
social yang berkelanjutan yang pada akhirnya dominan dibandingkan dengan sumber-sumber
mereka menjadi nelayan yang sukses yang mapan pembiayaan yang lain.
ekonominya. Sebagaimana yang dilakukan oleh “bos”
Selain usahanya sendiri, terdapat sejumlah di Muncar, para pengusaha sektor perikanan di
nelayan yang keberhasilannya tercapai berkat Bitung memeberikan kredit atau pinjaman modal
hubungan baik dengan pengusaha pengolahan kepada nelayan. Perbedaannya, bila “bos” di
ikan. Sebenarnya mereka pada umumnya Muncar memberi modal kepada nelayan dalam
bukan berlatar belakang sebagai nelayan. Pada bentuk kapal nelayan dengan pembayaran
tahap-tahap awal, mereka umumnya pedagang “angsuran sekaligus”, maka pemodal di Bitung
ikan, sebagai penampung atau langgan bagi memberi modal dalam bentuk kapal nelayan pula
sejumlah tibo-tibo. Kedudukannya ini membawa dengan pembelian secara angsuran sebagaimana
mereka berhubungan dekat dengan pengusaha pembayaran secara kredit pada umumnya.
industri pengolahan ikan sebagai pemasok ikan. Sebagaimana yang telah diterangkan di atas,
Bermodalkan hubungan baik yang terbangun “angsuran sekaligus” dalam transaksi jual beli
antara mereka dan para pengusaha perikanan, kapal nelayan atara “bos” dan nelayan Muncar,
sebenarnyalah akses kepada sumber permodalan nelayan pembeli kapal tidak boleh membayar
telah terbuka luas untuk mereka. Para pengusaha secara tunai pada waktu dilakukan transaksi.
yang telah menaruh kepercayaan kepada mereka Mereka harus membayar secara keseluruhan
memberikan modal berupa sarana penangkapan setelah waktu tertentu yang tidak ditentukan.
ikan, khususnya kapal nelayan. Sampai tahap Sebagaimana yang telah diterangkan pula di atas,
ini, seorang yang pekerjaan utamanya sebagai keuntungan “bos” didapat dari margin harga ikan
pemasok ikan telah menjadi nelayan, sebagai yang mereka tampung dari nelayan. Di Bitung,
pemilik kapal nelayan, meskipun kapal tersebut nelayan dapat mengangsur kapan saja setiap
saat memiliki uang dengan jumlah angsuran
8
Hasil wawancara dengan sejumlah nelayan Bitung.

Pembiayaan Nonformal Usaha ... (Masyhuri)│ 145


yang telaha disepakati bersama. Semakin cepat asal atau ke tempat lain dengan semua ikan hasil
angsuran dilakukan, semakin cepat pula kapal tangkapan mereka.9
nelayan terbaayar lunas, dan dengan demikian, Bentuk kerja sama kedua untuk menjamin
nelayan menjadi pemilik sepenuhnya atas sarana kelangsungan pemasokan bahan baku industri
kapal penangkapan ikan tersebut. pengolahan ikan adalah kerja sama dengan nelayan
Pola umum hubungan antara pemodal setempat, dengan cara mempekerjakan mereka
dan nelayan yang mudah dilihat dilapangan sebagai ABK kapal nelayan milik perusahaan,
adalah pola hubungan antara pemasok ikan atau memberi kredit dalam bentuk kapal nelayan
dan pengusaha industri pengolahan ikan. dengan ketentuan penjualan ikan hasil tangkapan
Kelangsungan operasional industri pengolahan harus kepada perusahaan pemberi kapal. Melalui
ataupun eksportir ikan tergantung sepenuhnya kredit kapal dari perusahaan ini jumlah kapal
dengan pemasok bahan baku ikan. Oleh karena nelayan di Bitung semakin bertambah banyak.
itu, penjaminan akan kesinambungan pemasokan Sebagaimana yang telah dikemukakan di atas,
ikan ke perusahan merupakan masalah krusial penerima kredit dari perusahaan pengolahan ikan
yang harus dijaka secara ketat. Dengan sendirinya, seperti ini pada mulanya bukan nelayan yang
kerja sama antara pengusaha dan pemasok ikan sesungguhnya. Atau dengan kata lain yang lazim
seperti ini jelas sangat penting. Bukan merupakan di kalangan nelayan Jawa, mereka adalah nelayan
hal yang aneh apabila industri-industri pengolahan juragan darat, yakni nelayan pemilik kapal yang
ikan di Bitung memiliki dermaga-dermaga khusus tidak ikut melaut menangkap ikan. Hampir
untuk pedaratan ikan. semua, atau sebagian besar nelayan pemilik soma,
Di Bitung, setidak-tidaknya terdapat dua lamboot, dan kapal pancing yang ada di Bitung
bentuk kerja sama dalam pengadaan ikan yang saat ini adalah nelayan pemasok ikan untuk salah
dapat diketemukan di lapangan. Bentuk pertama satu industri pengolahan ikan yang ada di Bitung.
adalah kerja sama antara pengusaha atau industri Berbeda dengan itu adalah nelayan soma
pengolahan ikan dan industri penangkapan pajeko. Mereka tidak mempunyai ikatan khusus
ikan asing. Jumlah kapal asing penangkap ikan dengan industri pengolahan ikan. Nelayan soma
melakukan kontrak kerja dalam waktu tertentu pajeko adalah nelayan-nelayan Bitung yang
dengan industri pengolahan ikan yang ada. Kapal- sebenarnya. Mereka menekuni pekerjaan sebagai
kapal asing tersebut dalam waktu yang ditentukan nelayan dari awal, dari nelayan yang berstatus
dalam kontrak kerja melakukan penangkapan sebagai ABK dan menanjak perlahan-lahan
ikan di perairan Indonesia, dan menjual ikan hasil sebagai nelayan pemilik kapal. Mereka tidak
tangkapannya kepada perusahan pengontrak. terikat pada industri pengolahan ikan manapun,
Seringkali bila waktu kontrak selesai, kontrak dan bebas menjual ikan hasil tangkapannya.
kerja tersebut diperpanjang. Bila tidak dan Umumnya Nelayan Soma pajeko menjual ikan
waktu kontrak selesai, kapal-kapal tersebut hasil tanggapannya di area TPI, meskipun TPI
kembali ke negara mereka masing-masing. Tidak sendiri tidak melakukan lelang. Karena itulah,
mengherankan bila setiap saat ada kapal-kapal pada saat-saat pendaratan ikan, tidak saja
nelayan asing berbendera Indonesia bersandar dermaga-dermaga khusus melik perusahaan yang
di pelabuhan perikanan Bitung. Pada waktu ramai dan dipenuhi ikan hasil tangkan, tetapi juga
penelitian lapangan dilakukan, terdapat dua kapal areal TPI. Ikan yang perjual-belikan di TPI adalah
asing dari Panama yang bersandar di pelabuhan ikan-ikan segar untuk pemenuhan pemintaan
perikanan Bitung. Kapal-kapal tersebut dalam konsumsi local.
persiapan pulang kembali ke Panama setelah Hasil wawancara tentang pengalaman
berakhirnya kontrak kerja mereka dengan salah seorang nelayan yang bernama Albert (bukan
satu perusahaan perikanan yang ada di Bitung.
Hanya saja, menurut beberapa “pengurus”, sering
9
“Pengurus” adalah orang atau seseorang yang mempunyai
hubungan kerja sama dengan peruahaan penangkapan ikan,
terjadi pula kapal-kapal asing tersebut tidak dengan tugas khusus mempersiapkan semua perbekalan
kembali ke Bitung, langsung pergi ke Negara melaut yang dibutuhkan oleh kapal, seperti kebutuhan
solar, bahan makanan untuk konsumsi sehari-hari, dan
sebagainya.

146 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 22, No. 2, 2014


nama sebenarnya) berikut akan memberi ilustrasi modal. Sebagaimana usaha penangkapan ikana
peran pembiayaan nonformal yang dimaksud.10 laut di tempat-tempat lainnya di Indonesia,
Albert pada saat ini berstatus sebagai nelayan akses nelayan Muncar dan Bitung kepada
pemilik berapa lamboot yang menangkap ikan lembaga pembiayaan formal, seperti bank,
dengan jaring purse seine. Tangkapan utamanya juga sangat terbatas. Di kedua daerah ini, bank
adalah ikan cakalang, ikan tongkol, dan ikan kurang berminat menyalurkan kreditnya kepada
palagis besar lainnya. Dia tidak mendaratkan ikan nelayan. Alasannya juga kurang lebih sama,
hasil tangkapannya di areal TPI, tetapi langsung pendapatan nelayan sulit untuk diprediksi,
di dermaga salah satu industri pengolahan ikan. sehingga dikhawatirkan nelayan akan mengalami
Pada awal, ia adalah nelayan ABK biasa, tetapi kesulitan ketika mereka harus mengangsur secara
kemudian beralih pekerjaan sebagai pedagang teratur kredit yang mereka terima. Modal investasi
ikan. Pada tahun 1991, ia menjadi salah satu bagi nelayan di daerah Muncar dan Bitung
pemasok ikan sebuah perusahaan, dan peran bagaimanapun juga masih merupakan kendala
tersebut berlangsung selama beberapa tahun. dalam pengembangan usaha perikanan tangkap.
Setelah hubungan kerja sebagai pemasok ikan Sebagai akibatnya, peran pembiayaan nonformal
telah mapan, dia mendapat kepercayaan dari yang dilakukan oleh lembaga-lembaga keuangan
pemilik industri pengolahan ikan dan mendapatkan non-bank sangat dominan. Singkatnya, pola
kredit berupa kapal penangkap ikan, yang harus umum yang terjadi pada usaha perikanan tangkap
ia bayar dengan angsuran. Bermula dari sinilah, sektor tradisional di Muncar dan di Bitung adalah
Albert sekarang sudah memilki berapa lamboot. pola pembiayaaan nonformal. Kasus pembiayaan
Melalui proses seperti ini diantaranya, armada usaha perikanan tangkap di ke dua daerah ini
penangkapan ikan nelaya Bitung bertambah. dengan demikian merupakan ferifikasi pola
Secara umum dari aspek pembiayaan, pembiayaan usaha perikanan tangkap umumnya
usaha perikanan tangkap di Bitung sudah yang ada di Indonesia.
sampai pada tahap komersial. Meskipun usaha “Bos” merupakan institusi penting sebagai
perikanan tangkap yang dilakukan masih sumber pembiayaan usaha perikanan tangkapan
juga bersifar spekulasi, namun mecederungan di Muncar dan Bitung. Meskipun di kalangan
pendapatan mereka secara garis besar sudah nelayan Bitung kurang dikenal sebutan “Bos”,
dapat diprediksi. Tingkat perkembangan yang peran pemilik industri-industri pengolahan
demikian menjadikan usaha perikanan tangkap di ikan sebagai sumber pembiayaan untuk unsaha
Bitung sudah sampai pada tataran yang bankable penangkapan ikan di daerah ini sangat strategis
sifatnya. Sejumlah bank pada dasarnya sudah sebagaimana peran “Bos” di kalangan nelayan
dapat mengucurkan kredit pada mereka, dengan penangkap ikan di Muncar. Sebagai sumber
ketentuan-ketentuan yang cocok dengan dinamika pembiayaan, kedua “Bos” tersebut menanamkan
dari usaha perikanan tangkap yang mereka modalnya untuk usaha perikanan tangkap secara
lakukan. Walaupun bagaimana, pembiayaan in natura. Mereka mengkreditkan kapal-kapal
lembaga nonformal bisa dikatakan masih sangat untuk penangkapan ikan kepada nelayan dengan
dominan di kalangan nelayan Bitung. Pentingnya cara angsuran. Bedanya, apabila “Bos” di
pembiayaan nonformal pada usaha perikanan Muncar mengkreditkan kapal nelayan dengan
tangkap di Bitung ini jelas akan tampak nyata cara “angsuran sekaligus”, “Bos” di Bitung
pada tahap-tahap awal dari usaha perikanan mengkreditkan kapal nelayan dengan cara
tangkap seseorang. angsuran sebagaimana yang terjadi di tempat-
tempat lain pada umumnya. Apabila nelayan
KESIMPULAN Bitung dapat setiap saat mengangsur hutang
mereka ketika mereka mampu melakukannya,
Sesuatu yang sulit dibantah adalah bahwa usaha di nelayan di Muncar tidak dapat berbuat
penangkapan ikan laut sektor tradisional di yang demikian. Mereka harus menabung atau
Muncar dan di Bitung merupakan usaha padat menyimpan sendiri sedikit demi sedikit dari
10
Wawancara dengan Bpk Jeffri, ketua HIPKEN (Himpun­ kelebihan hasil tangkapan mereka, dan baru
an Pengusaha Kecil Nelayan) Bitung.

Pembiayaan Nonformal Usaha ... (Masyhuri)│ 147


diperbolehkan membayar kredit mereka setelah Dirjen Perikanan. 1997. “Kebijakan Nasional
uang yang mereka kumpulkan mencukupi untuk di Bidang Perikanan”. Makalah belum
membayar dengan lunas sekaligus harga kapal diterbitkan, disajikan pada seminar
yang mereka kredit. Pemberdayaan Masyarakat Nelayan.
“Bos” di Muncar tampaknya berspekulasi Jakarta 7 Agustus 1997.
dengan kemampuan menabung nelayan. Semakin Elfindri, 2002. Ekonomi “Patron–Klien”:
tertunda nelayan membayar harga kapal yang Fenomena Mikro Rumah Tangga Nelayan
mereka terima, semakin besar keuntungan yang dan Kebijakan Makro. Padang, Universitas
diperoleh oleh “Bos”. Selama kapal belum Andalas Press.
terbayar lunas, selama itu pula nelayan harus Imron, M. 1998. “Peran “Bos” dan Dampak Social
menjual ikan hasil tangkapan mereka kepada dan Ekonomi Nelayan Rinca”, Masyarakat
dengan harga yang ditentukan oleh “Bos”. Selain Indonesia, vol. XXIII, no.2.
itu, “Bos” dapat tetap mengikat nelayan untuk
Karim, A.A. 2001. Ekonomi Islam; Suatu Kajian
menjual ikan kepadanya. Apabila kapal telah
Kontemporer, Jakarta: Gema Insani.
terbayar lunas, nelayan Muncar bebas menjual
hasil ikan tangkapan mereka kepada siapa saja, Masyhuri, 1996. Menyisir pantai Utara: Usaha
nelayan Bitung tidak dapat berbuat demikian. dan Perekonomian Nelayan di Jawa dan
Meskipun kapal yang dioperasikannya telah Madura 1850 – 1940, Yogyakarta. Yayasan
terbayar lunas, mereka tetap terikat kepada “Bos”, Pustaka Nusatama dan KITLV Perwakilan
mengingat pasar ikan yang berkembang di tempat Jakarta.
ini bersifar oligopsoni. Masyhuri, 2014. “Pembiayaan Nelayan dan
Mobilitas Sosial Nelayan”, Jurnal
Masyarakat dan Budaya, vol. 16, no. 1.
DAFTAR PUSTAKA
Masyhuri, 2013A. “Lembaga Keuangan Informal
Bailey, C. 1988. “The Polithical Economy dalam Pembiayaan Usaha Perikanan
of Marine Fisheries Development in Ta n g k a p ” d a l a m M . N a d j i b , ( e d ) .
Indonesia”, Indonesia, 46, 1988: 25 – 38. Optimalisasi Pemanfaatan Sumber Daya
“BRI Beri Kemudahan Akses Kredit”. 2012. Ekonomi Kelautan: Sistem Pembiayaan
Akuamina: Inovasi dan Bisnis Perikanan, Nelayan. Jakarta. LIPI Press.
Edisi 44, Tahun II, 1 -15 September. Masyhuri, 2013B. “Ekonomi Syari’ah Dalam
Bucher, J.G. 2004. The Closing of the Frontier: Etika Pemerataan Resiko”, Jurnal Ekonomi
A History of Marine Fisheries of Southeast Pembangunan, Vol. 21, NO. 2.
Asia c 1850 – 2000. Singapore: Institute of Nadjib, M. (ed). 2013. Optimalisasi Pemantaatan
Southeast Asian Studies. Sumber Daya Ekonomi Kelautan: Sistem
Butcher J. G and H. Dick (ed.). 1993. The Rise and Pembiayaan Nelayan. Jakarta. LIPI Press.
Fall of Revenue Farming. Business Elites Thoha, M. (ed). 2013. Studi Model Lembaga
and the Emergence of the Modern State in Pembiayaan Usaha Rakyat Pada Sub Sektor
Southeast Asia. New York, Martin’s Press. Perikanan Tangkap. Jakarta. Gading Inti
Prima.

148 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 22, No. 2, 2014


KERJA SAMA FINANSIAL OKI:
ISU DAN PROSPEK KAWASAN MATA UANG BERSAMA

FINANCIAL COOPERATIO OF OIC COUNTRIES:


PROSPECT FOR COMMON CURRENCY AREA

Umi Karomah Yaumidin


Pusat Penelitian Ekonomi (P2E-LIPI)
E-mail: umi_karomah@yahoo.com, yaumidinuk@gmail.com

Abstract
This paper attempts to observes the possibility of common currency area among OIC (Organization of Islamic
Cooperation). This is the first step to build financial cooperation in OIC member countries. This paper will analyse
with six Middle East countries that is Iran, Iraq, Kuwait, Qatar, Saudi Arabia and United Arabian Emirate. Data
were collected from the World Bank database and IMF from 1975 – 2011. VAR (Vector Auto Regression) method
was applied to analyses macroeconomic condition in those countries. The study found that the countries, which
participate as a member of Gulf Cooperation Council (GCC) except Kuwait has great prospect to continue intensive
cooperation on financial sector. Kuwait has not the same integration toward optimum currency area as others. In
this regard, differences on macroeconomic policy particularly on decision to choose monetary regime contribute
to not join in the Common Currency Area (OCA)
Keywords: Organization of Islamic Cooperation, Middle East, Common Currency Area

Abstrak
Organisasi Kerja sama Islam (OKI) telah melakukan kesepakatan kerja sama ekonomi dan perdagangan dalam
kurun waktu yang cukup lama. Untuk tahapan selanjutnya OKI diharapkan dapat menuju pada proses integrasi
ekonomi yang lebih tinggi seperti kerja sama di sektor finansial. Tulisan ini akan mengulas kemungkinan negara-
negara anggota OKI bekerja sama membentuk kawasan mata uang bersama. Dengan menggunakan pendekatan
metode VAR untuk menguji kemungkinan adanya kawasan mata uang bersama diantara negara-negara anggota
OKI. Dimulai dengan Negara-negara yang berada di kawasan Timur Tengah seperti Iran, Iraq, Kuwait, Qatar, Saudi
Arabia dan Uni Emirat Arab, analisis datadari tahun 1975-2011 menunjukkan bahwa terdapat kemungkinan untuk
membentuk kawasan mata uang bersama sebelum akhirnya dijadikan acuan bagi pembentukan kawasan mata uang
bersama di lingkup anggota OKI. Hasil studi menunjukan bahwa gejolak permintaan dan penawaran yang searah
dengan gejolak struktural yang terjadi di lima negara (Iran, Iraq, Qatar, Saudi Arabia dan Uni Emirat Arab). Hal ini
mengindikasikan adanya kesamaan system nilai tukar yang di patok pada mata uang tertentu yaitu Dollar Amerika,
sehingga terbuka kesempatan untuk melakukan integrasi ekonomi pada tingkat yang lebih tinggi. Namun demikian,
untuk kasus Kuwait yang berlawanan dengan lima negara lainnya dapat disebabkan oleh berbagai macam factor
seperti perbedaan system moneter hingga pola pertumbuhan ekonomi dan kebijakan makro di negara setempat.
Sehingga factor-faktor ini dapat pula menjadi factor penghambat terjadinya kawasan mata uang bersama di antara
anggota OKI.
Kata Kunci: Organisasi Kerja sama Islam, Timur Tengah, Kawasan Mata Uang Bersama

PENDAHULUAN hanya benua Australia saja yang belum termasuk


didalamnya. Dengan keanggotan yang mencapai
Organisasi kerja sama Islam (selanjutnya
57 negara (56 minus Syria di masa konflik saat
disingkat OKI) adalah organisasi internasional
ini), total populasinya mencapai seperlima total
yang memiliki cakupan area geografis terbesar
populasi dunia, meskipun jumlah penduduk
kedua setelah PBB, dari paling utara Albania
muslim dunia telah mencapai dua pertiga
(Eropa) ke arah selatan Mozambik (Afrika) hingga
penduduk dunia, artinya secara perhitungan kasar
bagian barat dunia Guyana (Latin Amerika)
masih sekitar 40 persen penduduk muslim dunia
sampai bagian paling timur Indonesia (Asia), dan

149
yang belum berpartisipasi dan mendapatkan dan Uni Eropa (19.02) di tahun 2009. Lebih
keuntungan dari keberadaan OKI. jauh lagi GDP OKI dibentuk oleh GDP sepuluh
Motivasi yang mendasari integrasi ekonomi besar Negara anggota yang terkelompok dalam
dapat beragam, namun yang seringkali mucul Negara berpendapatan menengah dan Negara
diawal proses globalisasi yang ditandai dengan pengekspor minyak seperti Turki, Indonesia,
semakin liberalnya sektor perdagangan yang Saudi Arabia, Iran, United Emirat Arab, Malaysia,
menggeser peran perekonomian autarky, adalah Mesir, Nigeria, Pakistan dan Algeria. Kondisi ini
kepentingan atas region atau wilayah yang saling tentunya sangat mempengaruhi posisi OKI di
tergantung dan berdekatan secara geografis. dalam percaturan perdagangan maupun politik
Berbeda dengan integrasi ekonomi pada internasional. Meskipun demikian, masih selalu
umumnya, OKI terbentuk atas dasar kesamaan ada optimism bahwa OKI kedepannya akan
faktor religi, meskipun dari struktur ekonomi, membawa perubahan yang lebih baik bagi Negara-
ideologi, system moneter dan finansial sangat negara muslim dan berpenduduk mayoritas
bervariasi. Dari struktur ekonomi misalnya muslim karena OKI mampu menjaga rata-rata
Negara-negara anggota OKI dikelompokkan pertumbuhan ekonominya cukup tinggi (SESRIC,
kedalam tiga kelompok yaitu, kelompok Negara 2010). Di satu sisi hal ini mengindikasikan
berpendapatan tinggi dan pengekspor minyak, adanya perbaikan standar kehidupan diantara
kelompok Negara berkembang dan Negara sedang Negara-negara OKI, tetapi di sisi lain hal ini juga
berkembang (lihat tablel 1). menunjukkan adanya absolut maupun kondisional
konvergen. Dengan mengambil 31 sampel negara
Sementara itu, dalam ukuran ekonomi,
OKI yang masih berada dalam posisi Negara
share GDP OKI terhadap GDP dunia relatif
berkembang dan sedang berkembang kajian dari
kecil hanya 7,2 persen dibandingkan Amerika
SESRIC (2013) menunjukkan bahwa terjadi
Serikat (24,6%), Jepang (8,7%), China (13.71%),
kondisionalitas konvergen dalam artian bahwa

Tabel 1. Pengelompokan Negara Anggota Oki Berdasarkan Struktur Ekonominya


Negara Pengekspor Minyak Negara Sedang Berkembang (LDC) Negara Berkembang (MDC)
1. Algeria 1. Afghanistan 1. Albania
2. Azerbaijan 2. Bangladesh 2. Cameroon
3. Gabon 3. Benin 3. Cote d’Ivore
4. Iran 4. Burkina faso 4. Mesir
5. Iraq 5. Chad 5. Indonesia
6. Kuwait 6. Gambia 6. Jordan
7. Oman 7. Guinea 7. Kazakhstan
8. Saudi Arabia 8. Guinea-bissan 8. Lebanon
9. Turkmenistan 9. Mali 9. Malaysia
10. Uni Emirat Arab 10. Mauritania 10. Morocco
11. Bahrain 11. Mozambique 11. Pakistan
12. Brunei 12. Niger 12. Syria
13. Lybia 13. Senegal 13. Tajikistan
14. Qatar 14. Sierra Leone 14. Tunisia
15. Sudan 15. Turkey
16. Togo 16. Uzbekistan
17. Uganda 17. Maldives
18. Yaman
19. Suriname
20. Guyana
21. Nigeria
22. Somalia
23. Comoros
24. Djibouti
25. Kyrgyz Republic
26. Palestina

Sumber: Sesric, 2008

150 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 22, No. 2, 2014


perekonomian regional OKI tumbuh dengan lebih untuk menjaga derajat kebebasan (kalau belum
cepat, namun menjauh dari nilai steady statenya bisa dikatakan kedaulatan) moneter (Aizenman
sendiri dalam jangka panjang. Dibutuhkan waktu dan Sengupta, 2012).
sekitar 55 tahun untuk mencapai separuh angka Namun demikian, menjadi bagian dari sebuah
steady state yang diharapkan untuk regional OKI. integrasi ekonomi baik yang bersifat kewilayahan
Terlepas dari meningkatnya regionalisasi yang dibatasi oleh batas-batas wilayah maupun
perdagangan, beberapa ekonom justeru memiliki yang bersifat kepentingan yang didasari oleh
pendapat yang berbeda. Pandangan umum seringkali prinsip most favored nations, kerja sama finansial
menyatakan bahwa keterbukaan perekonomian regional menjadi alasan penting seiring dengan
cenderung menghasilkan kesejahteraan yang meningkatnya ketidakpastian global yang
lebih baik daripada perekonomian yang tertutup. memicu terjadinya krisis. Meskipun terminology
Tetapi, Krugman (1991); Frankel, Stein and kerja sama finansial terkesan sangat ambigu
Wei, (1995) membuktikan baik secara empiris dan ambisius, tidak satupun orang meragukan
maupun teoritis bahwa pola perdagangan regional bahwa kerja sama finansial dibutuhkan oleh
saat ini justeru mengurangi kesejahteraan setiap Negara yang terintegrasi dalam ekonomi
negara tertentu dibandingkan pada saat kondisi global. Menurut Wang (2004) setidaknya terdapat
sebelum terjalinnya kerja sama regional. Hal tiga pilar utama dalam mewujudkan kerja sama
ini dikarenakan kerja sama regional seringkali moneter dan finansial yaitu assistensi, monitoring
menciptakan ‘trade diversion’ daripada ‘trade dan pengawasan, serta koordinasi nilai tukar.
creation’. Menjatuhkan pilihan untuk kerja sama Berkaca pada pengalaman Uni Eropa, koordinasi
bilateral ataukah unilateral sangat tergantung nilai tukar akhirnya menjadi kata kunci dari semua
pada pengalaman sejarah masing-masing negara, komitmen kerja sama finansial, meskipun proses
belajar dari pengalaman krisis 1997–1998 pengumpulan cadangan luar negeri dan kerja sama
maupun krisis 2008–2009, Negara-negara kredit seperti bilateral swaps merupakan agenda
emerging market maupun berkembang sepakat umum yang sering dilakukan oleh blok-blok
bahwa kerja sama unilateral cenderung lebih baik ekonomi yang menjalin kerja sama moneter dan
daripada kerja sama bilateral dari sisi kemanfaatan finansial. Tetapi perlu menjadi catatan bahwa
ekonomi yang diperolehnya terutama untuk tidak ada satupun system nilai tukar yang selalu
penjagaan saat terjadinya krisis (Huang dan diinginkan oleh semua Negara (Frankel, 1999).
Chang, 2012; Nicolas, 2012; Kawasaki, 2011). Rezim nilai tukar tidak akan dipilih sekali untuk
Mengingat sebagian besar Negara anggota sepanjang waktu, karena pilihan atas system nilai
OKI masih berada pada tahap sedang berkembang tukar selalu berhubungan dengan pertanyaan
dan berkembang dalam pembangunan ekonominya, fundamental, system nilai tukar manakah yang
permasalahan seperti ketimpangan struktur paling tepat yang mampu melindungi sebuah
ekonomi yang termasuk didalamnya kemiskinan perekonomian dari kejutan (shocks) dalam negeri
dan pengangguran akan menjadi agenda utama maupun luar negeri (Edison and Melvin,1990;
pembangunan baik di tingkat nasional maupn Frankel, Schmukler and Serven, 2000; Kawai dan
regional. Sementara bagi kelompok ekonomi Akiyama, 1998; Kwack, 2004).
yang sudah termasuk dalam kelompok emerging Dengan kuantitas Negara anggota yang
market maupun Negara perbendapatan menengah banyak dan tingkat keberagaman struktur
cenderung dihadapkan pada permasalahan ekonomi yang tinggi, maka tulisan ini akan
simultan yang dikenal sebagai Trilemma di era mengulas kemungkinan integrasi finansial
pendalaman globalisasi (deepening globalization diantara Negara-negara OKI sebagai tindak lanjut
era). Kebebasan moneter, stabilitas nilai tukar dan dari derajat integrasi ekonomi yang lebih tinggi
integrasi finansial merupakan masalah yang akan setelah proses perdagangan bebas antar anggota
dihadapi secara simultan bagi Negara-negara yang terjalin. Selanjutnya paper ini secara khusus
memilih jalur mobilitas modal yang lebih tinggi membahas rezim nilai tukar di Negara-negara
untuk mendapatkan stabilitas nilai tukarnya, yang pengekspor minyak yang memiliki kekuatan
pada intinya kebijakan ini diambil semata-mata secara ekonomi maupun politik dalam kerangka

Kerja Sama Finansial OKI ... (Umi Karomah Yaumidin) │ 151


kerja gerakan OKI.Hal ini penting untuk melihat efisiensi di industry keuangan, mengarahkan
kemungkinan adanya integrasi disektor moneter kebijakan ekonomi yang lebih baik, dan memiliki
dan fiskal diantara Negara-negara tersebut dampak terhadap sinyal komitmen kepada
sebagai landasan fundamental bagi peningkatan liberalisai itu sendiri.1 Meskipun banyak literature
kerja sama finansial diseluruh Negara anggota yang secara empiris membuktikan bahwa
OKI. Struktur penulisan paper dimulai dari tidak semua Negara yang terintegrasi sektor
latar belakang pentingnya kerja sama finansial finansialnya mendapatkan semua keuntungan
bagi Negara-negara anggota OKI.Bagian kedua tersebut, namun perlu diakui bahwa secara
memaparkan berbagai kajian pustaka mengenai umum hal ini meningkatkan tingkat keuntungan,
integrasi ekonomi maupun finansial, regim Asia Timur khususnya China, Jepang dan Korea
nilai tukar yang berlaku di Negara-negara OKI misalnya telah menjadi net eksportir modal
dari berbagai penelitian sebelumnya. Tahapan terutama pasca krisis Asia 1997. Bahkan, Prasad
selanjutnya adalah methodologi yang mengulas (2003) menunjukkan bahwa integrasi finansial
tentang data dan spesifikasi model yang digunakan bukanlah syarat cukup ataupun syarat perlu untuk
dalam tulisan ini dan selanjutnya adalah bagian menjaga keberlanjutan petumbuhan ekonomi
hasil dan pembahasan yang mengulas hasil kecuali jika modal yang diterima sanggup
perhitungan dan analisis model ekonometrik serta membangun kapasitas kelembagaan untuk
implikasinya bagi prospek kerja sama finansial di memperolehefisiensi alokatif dari modal asing
wilayah OKI. Paper ini ditutup dengan kesimpulan yang ditanamkan di dalam negeri.
atas ulasan-ulasan sebelumnya serta memberikan Oleh karena itu, pilihan untuk melakukan
gambaran bagi penelitian selanjutnya. integrasi finansial khususnya untuk integrasi
moneter dan konsolidasi fiskal, merupakan pilihan
TINJAUAN PUSTAKA tertinggi dalam konsensus tahapan liberalisasi
ekonomi khususnya bagi Negara-negara emerging
Integrasi Finansial market. Hal ini sesuai dengan tahapan integrasi
Secara teoritis, keuntungan yang diperoleh Negara ekonomi dari Balassa yang membagi integrasi
emerging market dengan semakin terintegrasinya ekonomi ke dalam lima tahap; 1) kawasan bebas
sektor finansialnya kedalam pasar finansial perdagangan (Free Trade Area/FTA) merupakan
internasional diharapkan akan meningkatkan kesepakatan bersama negara-negara yang
pertumbuhan potensial dan meringankan beban berserikat untuk mengurangi semua tariff dan
penyesuaian akibat dari gejolak eksternal hambatan kuantitatif; 2) Custom union merupakan
(Park, 2005). Dalam sebuah perekonomian perluasan FTA dimana masing-masing negara
terbuka, maka system keuangannya akan partisipan mulai mengenalkan tariff eksternal
memberikan keleluasaan bagi warga negaranya yang sama dengan negara pihak ketiga; 3) Pasar
untuk mendiversifikasikan asset-aset mereka Bersama (Common Market) adalah bagian dari
ke saham-saham institusi keuangan asing yang costums union, dimana terdapat kebebasan
digunakan untuk membiayai proyek-proyek mobilitas bagi faktor-faktor produksi untuk
dalam negeri. Lebih jauh Park (2005) menyatakan serta memperkenalkan regulasi yang sama atas
ketika sektor finansial terintegrasi dengan pasar pergerakan faktor-faktor tersebut diantara negara
modal internasional, maka negera-negara emrging anggota; 4) Economic Union adalah perluasan dari
market dapat melepaskan diri dari defisit eksternal pasar bebas yang dilengkapi dnegan harmonisasi
maupun pengangguran yang direfleksikan dari fiscal, moneter, industry, transportasi regionaldan
ketidakseimbangan internal posisi finansial kebijakan ekonomi lainnya; 5) Total economic
mereka. Integration adalah satu kebijakan ekonomi dan
Terdapat beberapa keuntungan potensial pemerintahan supranational yang memiliki
dalam integrasi pasar finansial seperti yang kekuasaan ekonomi yang besar, tidak ada
dikemukan oleh Prasad, Rogoff, Wei, dan Kose hambatan administrative terhadap pergerakan
(2003), integrasi pasar finansial akan mendorong 1
Aspek paser finansial merupakan kondisi pasar finansial
spesialisasi dalam produksi, memperbaiki tingkat yang terintegrasi didalamnya termasuk pasar saham, per-
tumbuhan kredit dari perbankan, dan pasar uang.

152 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 22, No. 2, 2014


barang, jasa dan faktor-faktor produksi , sehingga moneter dalam negerinya kepada negara lain (lihat
harga barang sama dengan biaya transportasi table 3.1). Sebagian besar system nilai tukar yang
bersihnya (lihat Javanovic (2006), Lukman dkk diadopsi oleh Negara-negara OKI khususnya yang
(2012)). berada di kawasan Timur Tengah adalah system
Dalam implementasinya tahapan integrasi nilai tukar tetap yang dipatok pada mata uang
finansial tidak selalu mengikuti pakem yang dollar, Euro ataupun komposit mata uang utama
ditawarkan oleh Balassa.Hal ini sangat tergantung dunia.Tetapi, Brunei Darussalam dan Djibouti
kepada kesepakatan diantara Negara partisipan. lebih memilih bentuk currency board system sejak
Sebagai pengecualian adalah integrasi ekonomi kemerdekaannya. Dengan mengadopsi system ini,
yang terjadi pada masyarakat uni eropa yang maka Negara ini memiliki cakupan yang lebih
pada tataran implementasinya mengikuti tahapan- kecil terhadap diskresi kebijakan moneter dengan
tahapan seperti diatas secara linier dan konsisten menghapuskan fungsi tradisional bank sentral
(Jovanovic, 2006). termasuk bank sentral sebagai penyedia dana
terakhir. Selain kedua Negara tersebut, terdapat
System Nilai Tukar dan Rezim Moneter 11 negara di dunia yang memiliki kebijakan nilai
tukar sejenis.
Nilai tukar didefiniskan sebagai harga satu mata
Dalam rezim crawling peg, mata uang
uang terhadap mata uang lainnya. Sedangkan
disesuaikan secara periodik pada tingkat suku
rezim nilai tukar mengacu pada system yang
bunga tetap sebagai respon terhadap perubahan
mana harga mata uangnya diukur dan ini termasuk
selektif indikator kuantitatif. Tingkat pergerakan
salah satu kebijakan penting pemerintah. Pilihan
dapat diatur untuk menghasilkan perubahan
terhadap system nilai tukar akan berdampak
penyesuaian inflasi dalam nilai tukar, atau
pada perdagangan barang dan jasa, aliran modal,
ditetapkan pada tingkat bunga yang diumumkan
inflasi dan neraca pembayaran serta indicator
dan atau di bawah proyeksi perbedaan inflasi.
makro ekonomi lainnya. Untuk alasan tersebut,
Mempertahankan rezim crawling peg membebani
maka pilihan atas rezim nilai tukar yang tepat
perlakuan yang menghambat kebijakan moneter
adalah komponen penting dalam pengeolaan
sebagaimana sistem nilai tukar tetap. Iran
system keuangan Negara terkait dengan menjaga
menyesuaikan nilai tukarnya berdasarkan
momentum pertumbuhan ekonomi dan stabilitas
indeks komposit nilai tukar didalam keranjang
perekonomian.Meskipun demikian, perlu dicatat
nilai tukarnya, sedangkan Iraq dan Uzbekistan
bahwa tidak ada satu konsesus yang mampu
menyesuaikan nilai tukarnya terhadap mata
menunjukkan bagaimana memilih nilai tukar yang
uang dollar Amerika. Hampir mirip dengan
paling tepat dan tidak ada satupun rezim nilai
rezim crawling peg, rezim nilai tukar crawling
tukar yang ideal untuk sebuah perekonomian.
band, menetapkan margin atas dan bawah yang
Karakteristik khusus sebuah Negara, preferensi
disesuaikan secara berkala terhadap nilai tukar
pengambil kebijakan, kredibilitas institusi dan
tetap sebagai respon terhadap perubahan selektif
pengambil kebijakan adalah faktor-faktor yang
indikator kuantitatif. Derajat fleksibilitas nilai
mempengaruhi pilihan penentuan rezim nilai
tukar dan kebebasan kebijakan adalah fungsi dari
tukar.
ambang batas. Komitmen untuk memelihara nilai
Hasil laporan dari IMF tahun 2008 seperti tukar tetap berada di ambang batas membebani
yang disadur dari OIC outlook Series (2012, hal. keleluasan kebijakan moneter. Azerbaijan
6-7), memaparkan klasifikasi pengaturan nilai merupakan satu-satunya negara OKI yang
tukar dan kerangka kebijakan moneter, tidak ada menerapkan sistem nilai tukar merangkak dalam
Negara anggota OKI yang memiliki pertukaran ambang batas horisontal.
arrangement dengan tender legal yang terpisah,
Dalam rezim nilai tukar mengambang,
yang mana hanya ada satu mata uang yang
otoritas moneter mencoba mempengaruhi tingkat
bersirkulasi sebagai tender legal yaitu dolar.
nilai tukar tanpa memiliki jalur atau target khusus.
Lebih lanjut, hasil ini mengindikasikan tidak
Indikator yang digunakan oleh otoritas moneter
ada satupun negara anggota lebih memilih untuk
dalam mengelola tingkat nilai tukar adalah posisi
menyerahkan kebebasan pengawasan kebijakan

Kerja Sama Finansial OKI ... (Umi Karomah Yaumidin) │ 153


neraca pembayaran dan cadangan internasional, tukar tersebut, meskipun kerangka kebijakan yang
dan tidak perlu mekanisme penyesuaian otomatis. digunakan berbeda-beda oleh masing-masing
14 negara anggota OKI mengadopsi rezim nilai Sementara itu, negara-negara di kawasan
Asia cenderung menganut sistem nilai tukar yang

Tabel 2. Sistem Nilai Tukar dan kerangka Kebijakan Moneter Negara Anggota OKI

Kerangka kebijakan Moneter


Exchange
rate arrange- Kerangka
Target agregat
ment (no. of Exchange rate anchor target lainnya
Moneter
countries) inflasi
USD Euro Komposit lainnya
Exchange ar-
rangement with
no separate
legal tender (0)
Currency board Djibouti Brunei
(2)
Other conven- Bahrain Bangla- Benin2 Kuwait Sierra Leone
tional fixed peg desh Guyana Burkina Libya
arrangement Jordan Kazakhstan Faso2 Morocco
(33) Lebanon Maldives Cameroon3 Tunisia
Oman Chad3 Co-
Qatar moros Côte
Saudi Arabia d’Ivoire2
Sierra Leone Gabon3
Suriname Tajiki- Guinea-
stan Turkmenistan Bissau2
United Arab Emir- Mali2 Niger2
ates Yemen Senegal2
Togo2
Pegged ex- Syria
change rate
within horizon-
tal bands (1)
Crawling peg (3) Iraq Uzbekistan Iran
Crawling band Azerbaijan
(1)
Managed float- Kyrgyz Rep. Algeria Afghanistan Indonesia Egypt
ing tanpa jalur Mauritania Gambia Malaysia
tingkat nilai Guinea Pakistan
tukar tertentu Mozambique
Nigeria
Sudan Uganda
Mengambang Albania Soma-
bebas (3) Turkey lia4

Catatan:
1/ Includes countries that have no explicitly stated nominal anchor, but rather monitor various indicators in conducting monetary
policy.
2/ The member participates in the West African Economic and Monetary Union.
3/ The member participates in the Central African Economic and Monetary Community.
4/ As of end-December 1989.

154 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 22, No. 2, 2014


cenderung fleksible, meskipun tidak dapat dibilang terjadinya perbedaan antara rezim nilai tukar yang
system nilai tukar mengambang murni.2Kawasaki diumumkan dengan yang diimplementasikan.
(2012) mencatat bahwa perubahan ini dilandasi Institusi yang buruk, ketidakstabilan ekonomi
dari pengalaman krisis Asia di tahun 1997-1998, yang diakibatkan oleh ketidakstabilan moneter
sebuah kenyataan yang lebih penting adalah dan nilai tukar, merupakan faktor penyebab
bahwa aliran masuk modalasing sebagai valuta, negara-negara cenderung memiliki ketakutan
pinjaman jangka pendek dari negara-negara asing, pada “ fear floating”. Sedangkan negara-negara
yang berubah menjadi valuta, dan utang jangka dengan kelembagaan dan pengelolaan ekonomi
panjang lokal di pasar lokal. Ketidakseimbangan yang lebih baik cenderung lebih memilih rezim
antara kewajiban dan aset dalam neraca di bank nilai tukar mengambang meskipun mencoba
lokal atau yang biasa disebut “ketidakcocokan membatasinya untuk tidak mengambang bebas.
ganda” dari mata uang dan ketidakcocokan
jatuh tempo.Ketidakcocokan Ini adalah risiko Kriteria Umum Kawasan Mata Uang
yang berpotensi sistemik, dan karena itu, ketika Bersama
modal yang sangat besar ini tiba-tiba menguap
(terbang) sistem keuangan dan sistem nilai tukar Sebelum memasuki tahapan kawasan mata uang
dalam ekonomi negara berkembang runtuh bersama (common currency area), setiap Negara
tiba-tiba. Indonesia mengadopsi kebijakan nilai yang berkomitmen untuk berserikat haruslah
tukar dikelola mengambang dan sebelum Juli melalui tahapan proses integrasi finansial (Park,
2005, Malaysia mengadopsi kebijakan nilai tukar 2005). Beragam literatur menyebutkan bahwa
tetap dan setelah juli 2005 Malaysia beralih pada indikasi sebuah kawasan yang secara ekonomi
sistem nilai tukar yang dikelola mengambang, dan berpotensi menjadi kawasan mata uang bersama
tampaknya nilai tukar Malaysia dipatok terhadap adalah kemiripan dalam karakteristik struktural
dolar AS setelah reformasi kebijakan nilai tukar ekonominya, melaksanakan strategy pembangunan
mereka. Kelemahan studi yang dilakukan oleh yang hampir sama, dan menunjukkan sikronisasi
SESRIC (2012) adalah hanya memaparkan siklus bisnis (Eichengree dan Park, 2004). Dalam
rezim nilai tukar yang dianut oleh Negara-negara jangka panjang faktor-faktor tersebut merupakan
anggota OKI tanpa melakukan analisa kinerja subjek dari kejutan asimetris, faktor mobilitas
rezim tersebut terhadap pertumbuhan ekonomi mata uang, keterbukaan kestabilan fiskal dan
maupun integrasi ekonomi yang diikuti oleh lainnya yang terkait dengan variabel moneter dan
Negara-negara tersebut. fiskal (Park, 2005; Ricci, 2008).
Dalam upaya untuk menjelaskan perilaku Kerangka teori kawasan mata uang bersama
ini, Alesina dan Wagner (2006) yang menjelaskan didasari pada pemikiran Mundell (1961) dan
McKinnon (1963) yang menyatakan bahwa
2
Secara teoritis, tidak ada ruang untuk krisis mata uang
bagi negara yang mengadopsi sistem nilai tukar men- nilai tukar kemungkinan akan menurun sejalan
gambang bebas.Namun, memang benar bahwa terdapat dengan semakin tingginya derajat keterbukaan
kekhawatiran akan “takut mengambang “ di antara ekonomi yang mempengaruhi perubahan harga
otoritas moneter di negara-negara yang terkena krisis dan
dan upah yang secara langsung akan merubah
negara-negara tetangga mereka. Untuk negara-negara
berkembang, mengadopsi sistem nilai tukar mengambang netralisasi dari nilai mata uang. Selain itu,
bebas mungkin tidak disukai karena 1) tingginya volatilitas semakin terbukanya sebuah kawasan ekonomi
nilai tukardalam jangka pendek, berkorelasi dengan risiko akan memungkinkan bagi kejutan eksternal yang
ketidakpastian yang menyebabkan menurunnya transaksi
perdagangan dan efisiensi, 2) tingkat misalignment nilai
menyebabkan beragam masalah dalam proses
tukar di jangka menengah menurunkan persaingan harga penyesuaian baik untuk neraca perdagangan
di pasar internasional, dan 3) kecenderungan inflasi yang maupun neraca pembayaran. Mc Kinnon (1961)
tinggi menghambat perkembangan pasar modal dan tingkat berargumentasi bahwa semakin terbukanya
kesehatan dari suku bunga. Dalam buku teks standar
ekonomi, solusi sederhana untuk mencegah mata uang dari sebuah perekonomian yang ditandai oleh ratio
kemungkinan krisis moneter atau aliran modal yang tiba- perdagangan terhadap total barang-barang
tiba adalah mengadopsi sistem mengambang bebas dengan domestik cukup tinggi, maka rezim nilai tukar
liberalisasi pasar keuangan sempurna atau mengadopsi
sistim nilai tukar tetap dengan peraturan kurs, transaksi
flexible tidak effektif, karena perubahan nilai tukar
modal, dan neraca modal yang ketat. akan menganggu kestabilan tingkat harga internal

Kerja Sama Finansial OKI ... (Umi Karomah Yaumidin) │ 155


(inflasi) dan memiliki dampak positif yang sedikit hat dari gejolak penawaran dan permintaan
atas upah riel atau terms of trade. Namun, baik agregat. Gejolak permintaan agregat esen-
Mc Kinnon maupun Mundell (1963) akhirnya sinya adalah mencakup komponen gejolak
juga tidak begitu yakin apakah menetapkan nilai kebijakan makro dan gejolak pilihan publik
tukar yang sama untuk semua anggota di sebuah yang dipengaruhi oleh perilaku permintaan
kawasan melalui kawasan mata uang bersama masyarakat. Sedangkan gejolak penawaran
lebih baik daripada nilai tukar fleksible. Hal ini agregat lebih mengacu pada perbedaan
dikarenakan kawasan mata uang menyebabkan pola pertumbuhan ekonominya, yang
biaya gangguan asimetris, dan kekakuan harga merefleksikan situasi ekonomi saat ini
yang cukup tinggi yang harus ditanggung oleh sama atau berbeda dengan situasi ekonomi
masing-masing Negara anggota. sebelumnya. Sebagai contoh meningkatnya
Memperkuat pendapat Mundell dan Mc. over investasi akibat dari kelebihan aliran
Kinnon, Kennen (1969), Tavlas (1993) dan modal yang berimplikasi pada tingginya
Mongeli (2002), sependapat bahwa ada beberapa pertumbuhan ekonomi kawasan, yang
kreteria standar yang harus dipenuhi untuk sebuah mempengaruhi perubahan pola pertumbu-
kawasan optimum currency (OCA). Mobilitas han ekonomi di masing-masing Negara di
faktor dan keterbukaan terhadap perdagangan sebuah kawasan.
internasional merupakan kriteria awal untuk 3. Konvergenitas Ekonomi, dalam proses
sebuah kawasan mata uang, selain faktor integrasi ekonomi konvergenitas menjadi
ekonomi yang termasuk didalamnya siklus bisnis, satu hambatan. Kecepatan pertumbuhan
keterkaitan perdagangan, dan integrasi fiskal. ekonomi di Negara-negara miskin tidak
Sedangkan faktor non ekonomi seperti aspek lebih cepat dari Negara-negara kaya,
politik, sejarah dan bahasa juga mempengaruhi sehingga sebuah wilayah tidak layak
tingkat keberhasilan kawasan mata uang bersama. untuk menjadi kawasan bersama mata
Ramayandi (2005) mencatat setidaknya uang jika masing-masing Negara anggota
standar umum untuk pemenuhan kriteria ekonomi menunjukkan gejala konvergenitas yang
sebuah kawasan mata uang bersama dapat dilihat lambat, meskipun ini tidak menunjukkan
dari: bahwa pembangunan ekonomi di Negara
1. Integrasi perdagangan, untuk menggambar- itu sendiri konvergen. Tetapi setidaknya se-
kan pola perdagangan regional dapat dilihat cara logika negara-negara yang berserikat
dari perdagangan intra regional, meskipun dalam satu wilayah yang sama cenderung
hanya mengandalkan hubungan ini akan memiliki kesamaan struktur ekonomi,
menyebabkan misleading untuk gambaran memiliki perbedaan yang relative kecil
umum pola perdagangan regional, karena dalam menjalankan strategy pengelolaan
banyak Negara yang bergabung dengan permintaan.
blok-blok perdagangan internasional
bukan untuk semata tujuan perdagangan METODOLOGI
itu sendiri (Andersondan Norheim, 1993).
Data
Kemungkinan yang bisa dilakukan untuk
mengatasi hal ini adalah dengan menghi- Studi ini akan menyoroti kemungkinan kawasan
tung indeks intesitas perdagangan. Indeks mata uang bersama untuk Negara-negara petro
ini mengukur sejauhmana intensitas perda- dollar sebagai langkah awal untuk memulai kerja
gangan antar Negara terjadi dalam satu sama finansial diantara Negara anggota OKI.
blok perdagangan. Dengan indeks ini dapat Terdapat 6 negara petrodollar di kawasan timur
dijelaskan apakah intensitas perdagangan tengah yaitu Iran, Iraq, Kuwait, Qatar, Saudi
terjadi karena faktor komposisi komoditas Arabia dan Uni Emirat Arab.
ataukah faktor lainnya seperti faktor non Data diperoleh dari World Bank (World
ekonomi. Development Indicators) database dan IMF
2. Kesamaan Gejolak Struktural, yang terli- untuk periode pengambilan sampel mulai

156 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 22, No. 2, 2014


tahun 1975–2011. Data yang digunakan dalam Dimana, ∆yt adalah first difference dari uku-
penelitian adalah data GDP riil, GDP deflator, ran log riil gross domestic product (GDP)
dan data nilai tukar. yang mengukur pertumbuhan ekonomi, dan
∆pt adalah first difference dari log GDP de-
Metode Analisis flator yang mengukur inflasi. cij(L); i=(y,p)
and j=(1=demand shock,2=supply shock). εdt
Mengikuti standar umum yang harus dipenuhi adalah gejolak permintaan pada waktu t dan
oleh kawasan mata uang bersama yang digunakan
εst adalah gejolak penawaran pada waktu t.
Ramayandi (2005), maka penelitian ini akan
Karena εdt dan εst tidak terobservasi, maka es-
menghitung tentang intensitas perdagangan
timasinya menggunakan model VAR standar
diantara Negara anggota OKI. Hasil perhitungan
(unrestricted):
ini sudah banyak ditemukan di literatur dan
menghasilkan temuan yang sama (lihat SESRIC,
2013; Hakim, 2012; Abdmoulah, 2011; Duasa,
2010; Hasan, 1998). Sehingga perhitungan ini
diabaikan dan mengacu pada hasil perhitungan
penelitian sebelumnya.
Dalam proses penetuan model VAR harus
Indikator kedua adalah kesamaan dalam
memenuhi berbagai persyaratan seperti uji
gejolak structural, sehingga dalam studi ini
stationaritas, uji kausalitas, uji kointegrasi dan uji
akan melihat kesamaan gejolak penawaran dan
penetuan optimum lag. Selain itu untuk mElihat
permintaan Negara-negara petrodollar sebagai
gejolak demand dan supply digunakan analisis
proses awal integrasi fianansial di kawasan
Impuls Response Function. Semua uji ini akan
OKI. Model yang digunakan mengiktui model
dilakukan dengan menggunakan piranti lunak
dari Bayoumi dan Eichengreen (1994) yang
STATA 12.
digunakan juga oleh Ramayandi (2005), model
ini menggunakan metode VAR (Vector Auto Metode analisis VAR sebenarnya bukan
Regresion) yang pertama kali diperkenalkan satu-satunya cara untuk melihat factor gangguan
oleh Blanchard dan Quah (1989). Dengan terhadap variable endogen, terdapat beragam
menggunakan output correlation antar Negara model seperti large scale stochastic simulations
petrodollar yang mengindikasikan bahwa diantara multicountries macroeconomic model (Bryant,
Negara-negara petrodollar -yang memiliki letak 1993) atau Baxter dan Stockman (1989) yang
kesamaan wilayah di Timur Tengah dan memiliki mengidentifikasi faktor gangguan dari harga
system nilai tukar yang di patok pada mata uang dan output dari pergerakan variable yang sama.
tertentu yaitu dollar- memiliki hubungan dan Hakim (2012) juga melihat melalui pendekatan
kesempatan untuk melakukan integrasi ekonomi. yang sama yaitu model VAR dengan pendekatan
model G-PPP (Generalized Purchasing Power
Parity). Kelebihan model VAR dibandingkan
model simultan lainnya adalah (1) memiliki
metode yang sederhana, karena tidak perlu
menjustifikasi variabel yang menjadi variabel
endogen atau variabel eksogennya. (2) estimasi
yang sederhana karena metode OLS dapat
diaplikasikan dalam persamaan. (3) Peramalan
dengan menggunakan model VAR dibeberapa
kasus lebih baik dibandingkan dengan persamaan
simultan yang lebih kompleks (Gujarati, 2003).
Namun demikian model ini juga memiliki
kelemahan yaitu (1) metode VAR bersifat sangat
teoritik karena sedikit informasi yang tersedia.
(2) Karena berfokus pada peramalan, sehingga

Kerja Sama Finansial OKI ... (Umi Karomah Yaumidin) │ 157


metode VAR kurang cocok untuk menganalisis Arab Cooperation Council (ACC), 1989 dengan
suatu kebijakan. (3) Tantangan terbesar dalam anggota Mesir, Iraq, Jordan dan Yaman; 8)
metode VAR adalah menentukan panjang lag yang D-8, 1997 dengan anggota Bangladesh, Mesir,
optimal. Proses estimasi untuk ukuran sampel Indonesia, Iran, Malaysia, Nigeria, Pakistan dan
yang besar akan mengurangi derajat bebasnya. Turki.
(4) Dalam kenyataannya data dalam level sering Pada tataran empiris, fenomena politik
tidak stasioner, sehingga memiliki kesulitan cenderung mendominasi dalam implementasi
dalam mentransformasi data. (5) Koefisien yang kerja sama baik ekonomi maupun non ekonomi
diestimasi dalam VAR terkadang sulit untuk diantara Negara anggota OKI. Kelompok D-8
diinterpretasikan. yang bertujuan untuk memperkuat hubungan
ekonomi dan integrasi ekonomi yang lebih besar
HASIL DAN PEMBAHASAN dalam kerangka OKI. Namun demikian, peran D-8
dalam pengambilan keputusan di OKI relatif kecil
Integrasi Perdagangan dibandingkan kelompok petro-dollar3.Dengan
Ten-Year Program of Action yang diluncurkan di beragamnya kerja sama ekonomi yang dibentuk
tahun 2005, merupakan tonggak awal semakin di kalangan anggota OKI menunjukkan bahwa
meningkatnya kerja sama ekonomi diantara posisi ekonomi OKI secara universal belum
Negara-negara anggota OKI. Hal ini juga mampu memberikan dampak yang meyeluruh
mengindikasikan adanya strategi kunci bagi terhadap peningkatan kesejahteraan ekonomi
peningkatan kesejahteraan ekonomi melalui anggotanya, meskipun banyak factor yang
perdagangan yang lebih intensif diantara Negara mempengaruhi kecenderungan sebuah Negara
anggota OKI.Dorongan untuk meningkatkan kerja berserikat dengan Negara lainnya. Argumentasi
sama perdagangan internasional diantara Negara yang lebih relevan adalah membangun jembatan
anggota juga didukung dengan skema PRETAS terhadap kesenjangan yang begitu lebar baik
(Protocol on Preferential Tariff Scheme yang dari sisi ukuran ekonomi, kebijakan ekonomi
ditandatangani sejak tahun 2007, dan mulai efektif dan ideology ekonomi yang dianut diantara
berjalan di tahun 2010. Negara anggota menjadi masalah serius untuk
Dalam catatan sejarah integrasi ekonomi, mewujudkan integrasi ekonomi yang menyeluruh
Negara-negara anggota OKI telah terlibat dalam di seluruh kawasan OKI.
skema kerja sama baik yang bersifat regional Untuk ukuran yang paling rendah seperti
maupun internasional khususnya di kawasan Arab integrasi sektor perdagangan, perdagangan intra-
sudah berlangsung lama. Hasan (1998) mencatat OKI sangat minim meskipun diantara kelompok
setidaknya terdapat 8 bentuk kerja sama ekonomi kerja sama ekonomi seperti perdagangan
regional yang diikuti oleh hanya Negara-negara intra-GCC, intra-D-8, intra-AMU masih relatif
anggota OKI yaitu; 1) Council of Arab Economic rendah, apalagi di tingkat OKI secara keseluruhan
Unity (CAEU), 1975 dengan anggota mesir, Iraq, yang mengabungkan seluruh anggota yang
Lybia, Jordan, Kuwait, Mauritania, Somalia, berjumlah 57 negara (lihat Hasan, 1998; Hakim,
Sudan, Syria, UAE, Yaman; 2) Arab Common 2012; Khan, 2009; Sesric, 2008). Seluruh
Market, 1964 dengan anggota Mesir, Iraq, Libya, hasil penelitian merekomendasikan bahwa
Jordan, Mauritania, Syria; 3) Gulf Cooperation Negara-negara OKI seharusnya lebih aktif
Council (GCC), 1981 dengan anggota Bahrain, dalam WTO, APEC, ASEAN, EU, dan NAFTA
Kuwait, Oman, Qatar, Saudi Arabia, UAE; 4) untuk memaksimalkan keterkaitan perdagangan
Economic Cooperation Organization (ECO), 1985 intra-OKI melalui transfer teknologi, peningkatan
dengan anggota Iran, Pakistan, Turki, Azerbaijan; skala ekonomi, dan peningkatan pasar domestic
5) Arab Maghreb Union (AMU) 1987, dengan dan pasar regional.
anggota Algeria, Libya, Mauritania, Maroko dan
Tunisia; 6) Preferential Trade Agreement for 3
Hasil pembahasan dengan Direktur Sosial Budaya dan
North Africa (PTANA), 1987 dengan anggota Organisasi, Kementrian Luar Negeri Indonesia Bapak Arko
Algeria, Mesir, Libya, Maroko dan Tunisia; 7) Hananto, di Seminar Riset Desain P2E-LIPI, tertanggal
13-14 Maret 2013, di Gedung Widya Graha LIPI Jakarta.

158 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 22, No. 2, 2014


Ekonomi Konvergen dikemukakan sebelumnya di tinjauan pustaka,
setiap Negara cenderung untuk tidak ‘setia’ hanya
Kelompok petro-dollar meskipun tidak selamanya
pada satu rezim nilai tukar. Kelemahan penelitian
harmonis dalam melaksanakan beragam
ini adalah hanya melihat kelompok Negara teluk
kesepakatan kerja sama ekonomi regional, tetapi
yang memiliki stabilitas yang cukup dalam
setidaknya langkah-langkah yang diambil untuk
menjaga hubungan kerja samanya, dan hanya
menuju derajat integrasi ekonomi yang lebih
berfokus pada rezim nilai tukar yang dianut saat
tinggi sudah dilakukan sejak lama. Kelompok
ini yaitu system nilai tukar tetap yang dipatok pada
teluk yang tergabung dalam GCC misalnya
USD atau indek komposit mata uang utama dunia.
telah mencoba untuk mewujudkan monetary
Sedangkan syarat cukup dalam pembentukan
union 4 . Hal ini didasari pada kepentingan
kawasan mata uang bersama adalah terpenuhinya
untuk mendapatkan keuntungan dari rezim
keranjang mata uang dari kelompok Negara yang
nilai tukar yang sama. Khan (2009) mencatat
berserikat yang digunakan diantara mereka sendiri,
bahwa group GCC (Bahrain, Arab Saudi, Oman,
seperti mata uang Euro. Sementara faktor-faktor
Qatar, Kuwait dan Uni Emirat Arab) memiliki
yang menentukankeranjang basket mata uang
tingkat konvergensitas yang cukup tinggi yang
diantaranya adalah ukuran ekonomi, konsolidasi
diindikasikan dari variable-variable yang tersaji
fiskal yang dianut, serta kesamaan gejolak
di table 3.2.
permintaan dan penawaran (structural shock)
Pertimbangan yang digunakan cukup diantara Negara yang berserikat (Ramayandi,
sederhana tanpa memperhitungkan range waktu 2005; Park, 2009)
yang digunakan sebagai patokan. Seperti yang

Table
4 3. Pemenuhan
Di dunia ini terdapat Kriteria Konvergen,
lima kelompok Tahun
Negara 2006
berserikat
yang sudah mewujudkan monetary union, tiga union di
afrika, satu di karibia,Variabel
dan satu di Eropa Bahrain Kuwait Oman Qatar Saudi Arabia Uni Emirat
Arab
Defisit Anggaran<3% GDP, atau 5% bila harga √ √ √ √ √ √
minyak rendah
Rasio Hutang terhadap GDP <60% √ √ √ √ √ √
Cadangan devisa melebihi empat bulan impor - √ √ √ √ √
Suku bunga ≤2% diatas rata-rata Negara yang √ √ √ √ √ √
berserikat
Inflasi ≤2% diatas rata-rata Negara yang √ √ √ - √ -
berserikat
Sumber: Khan, 2009

Informasi umum yang diperoleh dari media Arabia, Qatar, Algeria dan Kazakstan memegang
sesric menyebutkan bahwa cadangan emas cadangan emas diatas rata dunia yang hanya
percapita di tiga negara anggota OKI yaitu USD 136.
Kuwait, Lebanon, dan Libya lebih tinggi dari Indikator lainnya yang paling umum
cadangan emas di negara-maju yang mencapai digunakan untuk melihat divergen atau konvergen
USD 683. Terutama untuk lebanon, di era tahun sebuah kelompok negara yang berserikat adalah
1960–1970 sebelum breton woods, lebanon dengan membandingkan antara pendapatan
pernah menjadi pusat keuangan di timur tengah perkapita riil yang tumbuh lebih pesat daripada
dan menjaminkan kekayaannya dalam cadangan pertumbuhan ekonominya atau yang disebut
emas selama masa perang, sehingga saat ini absolut konvergen. Temuan SESRIC (2013) yang
cadangan emas di Lebanon adalah yang tertinggi menyatakan adanya kecenderungan konvergen
di dunia USD 2,375 perkapita. Sementara Saudi bersyarat diantara anggota OKI yang dikarenakan
faktor modal sumberdaya manusia merupakan
4
Di dunia ini terdapat lima kelompok Negara berserikat faktor penjelas yang mengakibatkan adanya 50%
yang sudah mewujudkan monetary union, tiga union di variasi dari pendapatan perkapita dan tingkat
afrika, satu di karibia, dan satu di Eropa

Kerja Sama Finansial OKI ... (Umi Karomah Yaumidin) │ 159


konvergenitasnya mencapai 0,5% pertahun. menggunakan pendekatan yang dilakukan oleh
Sehingga, hasil riset ini merekomendasikan agar Ramayandi (2005). Beberapa tahapan uji untuk
negara-negara anggota OKI terus meningkatkan menentukan bahwa model yang menggambarkan
investasinya pada sector pendidikan, termasuk tentang gejolak struktural sehingga layak
didalmnya memberikan kesempatan yang luas digunakan uji Vector Autoregression adalah
bagi kaum wanita untuk mengenyam pendidikan sebagai berikut:
yang lebih tinggi.
1. Uji Deskripsi data
Usulan lainnya untuk meningkatkan
pertumbuhan ekonomi negara-negara anggota OKI Dengan mengambil sample series dari tahun 1975
adalah dengan menciptakan iklim yang kondusif – 2011, yang berarti terdapat 36 tahun pengamatan
bagi masuknya investasi asing maupun domestik untuk masing masing negara, sehingga total
sebagai agen pendorong pertumbuhan ekonomi. sample untuk menguji gejolak permintaan
Di sisi lain, seperti disinggung semula bahwa (logGDPriil) maupun gejolak penawaran
intensitas perdagangan intra-OKI sangat rendah atau inflasi (logGDPdeflator) berjumlah 222
yang menyebabkan tingkat konvergenitasnya pengamatan.
relatif tinggi. Sehingga penguatan hubungan 2. Uji Stationaritas
perdagangan intra OKI perlu ditingkatkan untuk Masing-masing variabel kemudian diuji
mendorong percepatan pertumbuhan ekonomi. stationaritas. Dengan menggunakan uji
Aspek lainnya yang dianggap penting untuk Augmented Dickey Fuller (ADF) untuk menguji
meningkatkan pertumbuhan dan mengurangi unit root, diperoleh kesimpulan bahwa variabel
kesenjangan antar negara anggota yang berserikat GDP riil dan Deflator GDP belum stationer.
adalah dengan menekan laju pertumbuhan Oleh karena itu dilakukan first differencing, yaitu
penduduk dan pengembangan kelembagaan baik mengurangkan data dengan periode sebelumnya.
di tingkat pemerintah lokal, nasional maupun Hasil uji difference menunjukkan bahwa bahwa
regional menjadi lebih baik. data stationer sehingga dapat dilakukan uji
unstructural VAR. Pemilihan lag optimum
Kesamaan Gejolak Struktural didasarkan pada perhitungan nilai AIC terendah,
dan lag pertama memiliki nilai terendah, sehingga
Untuk melihat gejolak permintaan dan penawaran variabel ini yang digunakan untuk menghitung
yang mengindikasikan gejolak struktural di VAR.
kawasanyang berserikat, maka penelitian ini

Tabel 4. Uji Statistik Deskriptif


N Range Minimum Maximum Mean Std. Deviation
Statistic Statistic Statistic Statistic Statistic Std. Error Statistic
Deflator 222 491.53 .00 491.53 71.5158 4.94543 73.68522
GRiil 222 1.38E12 1.47E8 1.38E12 1.1062E11 1.40756E10 2.09721E11
Valid N (listwise) 222
Sumber: SPSS 17, pengolahan data, 2013

160 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 22, No. 2, 2014


Tabel 5. Uji Statisioner

Variabel/Uji Statistik Nilai statistik Critical value Keterangan


1. IRAQ
· GDP Deflator -1.909 -3.600 Belum stationer
· GDP Riil 2.303 -1.950
2. IRAN
· GDP Deflator 4.457 -3.600 Belum stationer
· GDP Riil 2.875 -1.950
3. SAUDI ARABIA
· GDP Deflator 5.838 -3.600 Belum stationer
· GDP Riil 4.346 -1.950
4. UNI EMIRAT ARAB
· GDP Deflator 2.028 -3.600 Belum stationer
· GDP Riil 5.380 -1.950
5. QATAR
· GDP Deflator 1.987 -3.600 Belum stationer
· GDP Riil 10.071 -1.950
6. KUWAIT
· GDP Deflator 1.226 -3.600 Belum stationer
· GDP Riil 3.903 -1.950
Sumber: STATA 12 , pengolahan data, 2013

Gejolak Permintaan publik dalam perilaku permintaan swasta.


Hasil korelasi pearson menunjukkan bahwa
Gejolak permintaan pada intinya adalah terdiri
guncangan permintaan agregat dari kelima negara
dari kebijakan makroekonomi yang murni dan
kecuali Kuwait memiliki perilaku ekonomi yang
komponen stokastik. Guncangan permintaan
tidak hanya cenderung berkorelasi tetapi juga
dasarnya menangkap kedua komponen guncangan
berkembang bersama pada periode yang diamati.
kebijakan makro dan guncangan preferensi

Tabel 6. Uji Korelasi Pearson Estimasi VAR Gejolak Permintaan


Correlations
DIFF DIFF DIFF DIFF DIFF
(IRQ_1,1) (IRN_1,1) (SAU_1,1) (UEA_1,1) (QTR_1,1) DIFF (KWT_1,1)
DIFF(IRQ_1,1) Pearson 1
Correlation
Sig. (2-tailed)
N 36 36 36 36 36 36
DIFF(IRN_1,1) Pearson .791** 1
Correlation
Sig. (2-tailed) .000
DIFF(SAU_1,1) Pearson .897** .809** 1
Correlation
Sig. (2-tailed) .000 .000
DIFF(UEA_1,1) Pearson .868** .735** .934** 1
Correlation
Sig. (2-tailed) .000 .000 .000
DIFF(QTR_1,1) Pearson .924** .868** .967** .896** 1
Correlation
Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000
DIFF(KWT_1,1) Pearson -.581** -.436** -.512** -.525** -.597** 1
Correlation
Sig. (2-tailed) .000 .008 .001 .001 .000
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Sumber: SPSS 17, pengolahan data, 2013

Kerja Sama Finansial OKI ... (Umi Karomah Yaumidin) │ 161


Gejolak Penawaran tinggi kecuali untuk Kuwait. Justifikasi untuk
temuan ini adalah adanya overinvestasi dibalik
Meskipun guncangan penawaran agregat diantara
tingginya pertumbuhan ekonomi di kawasan
ke lima negara kawasan teluk menunjukan
timur tengah yang berdampak pada perbedaan
magnitude yang lebih kecil dibandingkan
pola pertumbuhan ekonomi di masing-masing
guncangan permintaan agregat, tetap menunjukkan
negara anggota.
tingkat signifikansi korelasi positif yang

Tabel 7. Uji Korelasi Pearson Estimasi VAR Gejolak Penawaran


Correlations
DIFF DIFF DIFF DIFF DIFF DIFF
(IRQ_1,1) (IRN_1,1) (SAU_1,1) (UAE_1,1) (QTR_1,1) (KWT_1,1)
DIFF(IRQ_1,1) Pearson Correlation 1
Sig. (2-tailed)
N 36 36 36 36 36 36
DIFF(IRN_1,1) Pearson Correlation .442** 1
Sig. (2-tailed) .007
DIFF(SAU_1,1) Pearson Correlation .668** .445** 1
Sig. (2-tailed) .000 .007
DIFF(UAE_1,1) Pearson Correlation .701** .492** .911** 1
Sig. (2-tailed) .000 .002 .000
DIFF(QTR_1,1) Pearson Correlation .742** .588** .914** .908** 1
Sig. (2-tailed) .000 .000 .000 .000
DIFF(KWT_1,1) Pearson Correlation -.441** -.307 -.462** -.452** -.548** 1
Sig. (2-tailed) .007 .068 .005 .006 .001
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
Sumber: SPSS 17, pengolahan data, 2013

KESIMPULAN diharapakan keuntungan yang diperoleh Indonesia


dengan adanya serikat moneter di negara-negara
Secara umum dapat disimpulkan bahwa keenam
OKI dapat meningkatkan pendapatan nasional
negara yang berada dikawasan teluk dapat
dan kesejahteraan masyarakat.
memulai untuk menjadi sebuah kawasan mata
uang bersama dengan pengecualian negara
Kuwait yang memilki gejolak permintaan dan DAFTAR PUSTAKA
penawaran yang tidak searah dengan perubahan Abdmoulah, W. (2011) Arab Trade Integration:
dan gejolak struktural yang terjadi di ke lima Evidence from Zero-Inflated Negative
negara lainnya. Hal ini dapat terjadi dikarenakan Binomial Model Vol. 2. Journal of Economic
faktor kebijakan makro ekonomi yang berbeda Cooperation and Development (pp. 39-66).
terutama dalam penentuan sistem rezim moneter
Adom, A. D. (2012).Investigating the Impacts
yang digunakan. Tetapi, ini bukanlah satu-satunya
of Intraregional Trade and Aid on Per
alasan, perbedaan pola pertumbuhan, dan faktor
Capita Income in Africa: Case Study
stokastik dari data itu sendiri perlu menjadi
of the ECOWAS.Economics Research
perhatian.
International.
Implikasinya bagi Indonesia dengan adanya
Aizenman, J., & Sengupta, R. (2012).The financial
kawasan mata uang bersama disebagian negara
trilemma in China and a Comparative
OKI, akan memberikan kemudahan akses pasar
Analysis with India. Paper presented at the
yang lebih luas dalam aktivitas perdagangan
APEA Conference, Nanyang Technological
dengan negara yang berserikat, dan kemudahan
University, Singapore.
dalam sisi regulasi yang diterapkan di negara-
negara yang memiliki serikat moneter, sehingga

162 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 22, No. 2, 2014


Al-Jarhi, M. A. Islamic Finance: An Efficient Huang, l.-C., & Chang, S.-H. (2012). Trade and
& Equitable Option IRTI. Jeddah, Saudi Economic Growth: Does the Financial
Arabia: IRTI. System Matter? Paper presented at the
Cheewatrakoolpong, K., & Ariyasajjakorn, D. APEA Conference, Nanyang Technological
(2012).The Quantitative Assesment of Trade University.
Facilitation Benefits in the ASEAN+6. Paper Iqbal, M., Ali, S. S., & Mulyawan, D. (2007).
presented at the APEA Conference, Nanyang Advances in Islamic Economics and Finance.
Technological University, Singapore. Paper presented at the 6th International
Dridi, M. H. a. J. (2010) The Effects of the Global Conference on Islamic Economics and
Crisis on Islamic and Conventional Banks: A Finance, Jakarta, Indonesia.
Comparative Study.Vol. 10.New York IMF. Ito, T. (2010). China as Number One: How about
Duasa, J. (2010). Income Convergence or Income the Renminbi? Asia Reshaping the Global
Divergence? A Study on Selected OIC Economic Order, 5(2), 249-280.
Countries Journal of Economic Cooperation Kawasaki, K. (2012). How does the regional
and Development, 31(4), 29-48. monetary unit work as a surveillance tools?
Ghani, G. M. (2011). The Impact of Trade Paper presented at the APEA conference,
Liberlisation on the Economic Performance Nanyang Technological University,
of OIC Member Countries.Journal of Singapore.
Economic Cooperation and Development, Nicolas, F. (2012).An updated analysis of
32(1), 1-18. intra-regional trade linkages in East Asia
Gundogdu, A. S. (2011). Determinants of A post-crisis change of paradigm? Paper
OIC Countries Customs Revenue vis- presented at the APEA Conference, Nanyang
a-vis Implementation of WTO customs Technological University.
Valuation Agreement. Journal of Economic SESRIC.(2010) Annual Economic Report on the
Cooperation and Development, 3(32), 39-64. OIC Countries 2010. Ankara, Turkey.
Gurler, O. (2000). Role and Function of Regional SESRIC.(2012) Exchange rate Regimes in the
Blocs and Arrangements in the Formation OIC Member Countries. Ankara, Turkey.
of the Islamic Common Market. Journal of SESRIC. (2013) Economic Growth and
Economic Cooperation, 4(21), 1-28. Convergence across the OIC Countries: An
Hakim, L., AboElsoud, M., & Dahalan, J. (2012, Econometric Framework. Ankara, Turkey.
June, 2012). The Pattern of Macroeconomics Tam, K. P. (2012).A re-examination of Hong
and Economic Integration: Evidence Kong and Singapore different exchange rate
on D-8 Economic Cooperation. Paper regimes in real exchange rate misalignment:
presented at the APEA Conference, Nanyang Considering the impact of entreport trade.
Technological University, Singapore. Paper presented at the APEA Conference,
Hasan, M. K. (1998) An Empirical Investigation Nanyang Technological University,
of Economic Cooperation Among the OIC Singapore.
Member Countries ERF Working Paper: Vol.
0212. Egypt: Commision of the European
Communities.

Kerja Sama Finansial OKI ... (Umi Karomah Yaumidin) │ 163


164
IMPLEMENTASI KERJA SAMA PEMERINTAH DAN SWASTA
DALAM PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR SEKTOR AIR
MINUM DI INDONESIA

PUBLIC PRIVATE PARTNERSHIP IMPLEMENTATION ON


INFRASTRUCTURE DEVELOPMENT OF WATER SECTOR
IN INDONESIA

Bahtiar Rifai
Pusat Penelitian Ekonomi LIPI,
E-mail: bahtiar2000@gmail.com

Abstract
It has widely recognized how Public Private Partnership (PPP) contributes in infrastructure provision.
Many countries have applied PPP for several reasons, ranging from limitation of government’s budget to the
professionalism of private sector in developing and managing infrastructures. PPP infrastructure has been
implemented in Indonesia since 1990s, and implemented initially on toll road and electricity sectors. Water as the
basic infrastructure supporting development has limited private involvement compare to other sectors. Most of
water services are provided and operated by Local Government Owned Enterprises (BUMD) which face several
constraints to achieve better performance.
This article based on field study in 2013 and conducted in three provinces such as: East Java, Banten and
Jakarta. Primary and secondary data were used to analyse PPP implementation in water sector, particularly for
characteristics, achievements, problems and challenges PPP. Primary data collected through in-depth interview with
key institutions and Focus Group Discussion (FGD) representing stakeholders. Using development economics, public
economics and institutional economics approaches, the result explained through descriptive qualitative analysis.
The finding shows that water PPP has been implemented in various ways. The longest period for PPP has
been undertaken by Jakarta Province through PAM Jaya cooperated with AETRA and Palyja Companies. In fact,
private involvement on water provision in Jakarta haven’t been significantly improving to the company and service
performances due to the lack of management and limited barganing position of PAM Jaya in the contract agreement.
Meanwhile ideal showcase of water provision is Tangerang Regency along with PT AETRA Air Tangerang.
Unfortunately this model tends pure private investment than in PPP implementation. Moreover, the biggest project
(based on investment value) will be located in East Java province and it hasn’t started yet because institutional and
administrative problems have been hampering on the PPP’s preparation process since it initiated.
Keywords: PPP, water, local government, infrastructure, institutional

Abstrak
Public Private Partnership (PPP) atau Kerja sama Pemerintah Swasta (KPS) telah banyak diimplementasikan
untuk mendukung penyediaan infrastruktur. Banyak negara mengaplikasan KPS dengan beberapa pertimbangan
mulai dari akibat keterbatasan anggaran yang dimiliki oleh Pemerintah hingga dipandangnya pihak swasta lebih
profesional dalam penglolaan infrastruktur. Air minum sebagai salah satu infrastruktur dasar mendukung langsung
pembangunan justru memiliki keterlibatan pihak swasta dibandingkan sektor yang lain. Hal ini disebabakan air
minum dipandang sebagai sektor yang harus lebih banyak manfaat sosialnya sehingga dibangun dan dikelola oleh
Badan Usaha Milik Daerah (BUMD). Realitasnya, masih banyak Perusahaan Air Minum (PAM) yang beroperasi
dalam kondisi non profitable dan menghadapi berbagai kendala untuk meningkatkan kinerja bisnisnya.
Artikel ini berbasis pada penelitian lapangan di tahun 2013 yang dilakukan di tiga provinsi, seperti Jawa Timur,
Banten dan Jakarta. Dengan menggunakan data primer dan sekunde, artikel ini berusaha menganalisa pelaksanaan
KPS infrastruktur air minum khususnya mengenai karakteristik, pencapaian, permasalahan dan tantangan KPS.
Data primer dikumpulkan melalui wawancara mendalam terhadap institusi kunci dan dengan melakukan diskusi
kelompok terfokus (Focus Group Discussion) yang merepresentasikan pemangku kepentingan terkait. Melalui
pendekatan ekonomi pembangunan, ekonomi publik dan ekonomi kelembagaan, hasil studi dijelaskan dengan
analisa deskriptif kualitatif.

165
Hasil analisa menunjukkan bahwa KPS Air Minum di Indonesia diimplementasikan dalam beberapa model.
KPS terpanjang masa konsesinya berada di Jakarta yang merupakan kerja sama antara PAM JAYA (Jakarta Raya)
dengan investor Singapura (PT AETRA) dan Perancis (PT Lyonnaise Jaya). Sangat disayangkan keterlibatan pihak
swasta dalam penyediaan air minum di Jakarta belum mampu meningkatkan peforma secara signifikan terhadap
pelayanan maupun kinerja perusahaan akibat lemahya pengelolaan maupun posisi tawar PT PAM Jaya dalam kontrak
kerja sama. Tangerang merupakan salah satu model yang cukup ideal dalam penyediaan infrastruktur air minum,
meskipun belum sepenuhnya KPS, yang mana cenderung murni investasi pihak swasta. Proyek investasi KPS air
minum terbesar akan dibangun di Propinsi Jawa Timur yang hingga saat ini belum terbangung akibat terkendala
permasalahan administrasi dan kelembagaan.
Kata kunci: KPS, Swasta, Pemerintah, Air Minum

PENDAHULUAN Triliun untuk investasi selama tahun 2010 hingga


2014. Namun jumlah anggaran yang dialokasikan
Infrastruktur merupakan salah satu faktor penentu
oleh Pemerintah pusat hanya sebesar 29,1 persen
keberhasilan pembangunanan. Berdsarkan
dari total investasi yang dibutuhkan (sekitar
studi Bank Dunia, setidaknya 30% dari proses
Rp 559,54 Triliun) serta jumlah anggaran yang
pembangunan disumbang dari ketersediaan dan
dialokasikan oleh Pemerintah Daerah sebesar
ketercukupan infrastruktur. Lebih lanjut, untuk
Rp 355,07 Triliun. Dengan demikian, pemerintah
meningkatkan pertumbuhan ekonomi sebesar 1
perlu mendorong keterlibatan sektor swasta di
%, dibutuhkan peningkatan investasi infrastruktur
dalam pembangunan dan penyediaan infrastruktur
20-30% dari anggaran yang ada (the World
melalui skema Public Private Partnership
Bank, 2015). Sementara itu, beberapa studi juga
(PPP) yang diharapkan bisa berkontribusi guna
menunjukkan pentingnya peran infrastruktur
menutupi gap anggaran infrastruktur tersebut
dalam pembangunan yang mana infrastruktur
sebesar Rp 668,34 Trilun.
memiliki elastisitas berkisar 0,07 hingga 0,44
terhadap Produk Domestik Bruto (PDB). Artinya Dari berbagai jenis proyek infrastruktur
bahwa ketercukupan dan akses yang memadai yang ditawarkan oleh Pemerintah melalui
terhadap infrastruktur berimplikasi positif skema PPP, jenis infrastruktur sosial seperti
terhadap pembangunan, seperti penciptaaan infrastruktur penyediaan air bersih (water
lapangan kerja, peningkatan efisiensi dan daya supply) dianggap paling minim diminati oleh
saing dalam proses produksi dan pemberdayaan swasta karena memiliki tingkat keuntungan
terhadap sumber-sumber daya yang dimiliki suatu yang rendah. Kondisi ini dapat diamati melalui
wilayah. masih banyaknya proyek KPS yang belum
direspon oleh sektor swasta (lihat Tabel 1). Dari
Meskipun demikian strategis dan pentingnya
11 proyek KPS air bersih, baru tiga yang berhasil
infrastruktur, tidak berarti infrastruktur telah
dijual ke swasta (Dua dalam tahap lelang, satu
tercukupi dan tersedia dalam mendukung
dalam tahap kelengkapan dokumen pemenang
pembangunan. Dalam realitasnya, ketersediaan
lelang-Lihat Tabel 2). Sementara itu delapan
infrastruktur belum mencapai kondisi ideal untuk
proyek yang lain masih belum memasuki tahapan
mendukung perekonomian. Salah satu kendala
tender yang harusnya sudah dilakukan pada tahun
yang dihadapi adalah keterbatasan anggaran
2012. Kondisi ini diprediksi akibat terdapatnya
pemerintah untuk membangun infrastruktur,
hambatan dalam penyiapan dokumen penawaran,
terutama saat Anggaran Pendapatan dan Belanja
proses pelelangan, kapasitas Penanggung Jawab
Negara harus didistribusi sebijaksana mungkin
Proyek Kerja sama (PJPK) hingga sinkronisasi
untuk membiayai pos-pos penting lainnya seperti
peraturan dan birokasi.
kesehatan, pendidikan hingga pos pertahanan
keamanan. Tidak hanya itu saja, kendala juga dihadapi
bagi tiga proyek KPS lain yang telah memasuki
Lebih lanjut, dalam rangka mencapai target
periode pelelangan (lihat tabel 1.2), seperti
pertumbuhan ekonomi sebesar 7 persen per tahun,
keterlambatan dalam proses lelang (dari proses
Pemerintah Indonesia membutuhkan anggaran
penjaringan sektor swasta, penilaian dokumen,
pembangunan infrastruktur sebesar Rp1.923,7

166 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 22, No. 2, 2014


Tabel 1.1 Delapan Proyek KPS Air Minum yang Ditawarkan

Skema Investasi Dukungan Target


No. Nama Proyek Badan Kontrak Status
KPS (US$ Juta) Pemerintah tender
1 Pasokan Air Bersih DKI Kementerian BOT 189,30 OBC: Belum 2012
Jakarta-Bekasi- PU Completed; ditentukan
Karawang (Jatiluhur) FBC: -
2 Pasokan Air Bersih Pemkot Bekasi BOT 20,00 OBC: Belum 2012
Pondok Gede, Bekasi (20-25 Completed; ditentukan
tahun) FBC: -
3 Pasokan Air Bersih Pemkot - 78,00 OBC: On Menyediakan 2013
Kota Semarang Barat Semarang going tanah
FBC:-
4 Pasokan Air Bersih Pemprov Jatim BOT 16,67 OBC: Menyediakan 2012-
Lamongan (20 tahun) Completed; tanah 2013
FBC: -
5 Southern Bali Water Pemprov Bali BOT 30,00 OBC: Menyediakan 2012-
Supply (30 tahun) Completed; tanah 2013
FBC: -
6 Pasokan Air Bersih Pemkot 6,74 - Menyediakan 2012
Surakarta Surakarta tanah
7 Pasokan air bersih Pemkab Jawa 17,17 - 2012
Kabupaten Bandung Bandung Barat
8 Pasokan air bersih Pemkab Bali 43,50 - - 2012
Kabupaten Klungkung Klungkung
(Tukad Unda)
Sumber: PPP Book 2011,2012

Tabel 1.2 Proyek KPS Air Minum yang Dalam Proses Implementasi

Badan Skema Investasi


No. Nama Proyek Model Kerja sama
Kontrak KPS (US$ Juta)
1. Pasokan air bersih Pemprov Jawa BOT 204,20 - bulk water supply system
Umbulan Timur -Tranmisi pipeline (106 Km)
2. Pasokan Air Bersih Pemkot BOT 38,00 -Ekstrasi bahan baku air
Bandar Lampung Bandar - Pengolahan air
Lampung - menyuplai air bersih
3. Pasokan Air Bersih Pemprov BOT 12,90 -Pembangunan penyediaan air bersih
Maros, Sulawesi Sulsel -Pendistribusian air bersih & hak suplai,
Selatan - Reservoir
Sumber: PPP Book 2012

pelelangan hingga pengumuman pemenang) untuk mendorong peningkatan partisipasi swasta


Ditengarai keterlambatan tersebut tidak hanya maupun pemenuhan ketersediaan infrastruktur.
semata-mata keterbatasan dari Pemerintah namun Idealnya, tahapan administratif dapat dilakukan
adanya keterbatasan kapasitas sektor swasta seefisien untuk mengurangi keterlambatan waktu
dalam membiayai proyek tersebut. Dengan maupun peningkatan biaya yang bermuara
kata lain dibutuhkan waktu yang tidak sebentar pada penerapan tarif yang lebih tinggi sehingga
untuk menemukan sektor swasta yang memiliki beresiko berkurangnya manfaat dari infrastruktur
kelayakan dalam aspek teknis, administratif tersebut. Sementara itu, Pemerintah pun tengah
maupun kemampuan finansialnya. berupaya menarik minat swasta melalui beberapa
Berbagai kondisi tersebut menjadi kebijakan terkait, seperti penyediaan Viability
kontraproduktif terhadap upaya pemerintah Gap Fund (VGF), Undang-undang mengenai

Implementasi Kerja Sama ... (Bahtiar Rifai) │ 167


pertanahan untuk pembangunan infrastruktur, penyediaan infrastruktur, yang mana sebelumnya
hingga pendirian Lembaga Penjaminan dan dilakukan sepenuhnya oleh Pemerintah. Masing-
Pembiayaan Infrastruktur. Namun demikian masing pihak yang terlibat dalam kemitraan
apakah upaya-upaya tersebut telah mampu memperoleh manfaat secara relatif terhadap
meningkatkan partisipasi swasta dalam PPP air yang lain menurut kinerja dalam sektor-sektor
minum, mengingat permintaan air minum terus khusus/ tertentu. Kombinasi tingkat kemanfaatan
tumbuh seiring pertumbuhan penduduk? Tulisan antar mitra maupun antar sektor kegiatan secara
ini selanjutnya akan memberikan gambaran langsung mempengaruhi kesuksesan pelaksanaan
pelaksanaan PPP Air minum di Indonesia yang PPP. Oleh karena itu, dengan spesialisasi dan
ditinjau dari motivasi, karakter kerja sama, optimalisasi kinerja pada tiap-tiap sektor kegiatan
pencapaian dan tantangan yang dihadapi dalam mampu mendorong pencapaian skala ekonomi
implementasi kebijakan PPP tersebut. dan efisiensi dalam pelayanan publik dan
infrastruktur (Rostiyanti dan Tamin, 2010: 1133).
TINJAUAN PUSTAKA Mekanisme PPP berfungsi menggeser
mayoritas pembiayaan dari Pemerintah kepada
Lazimnya di berbagai negara, kegiatan
pihak swasta sehingga meminimalisasi biaya
pembangunan infrastruktur seperti kereta api,
pemeliharaan, peningkatan kualitas pelayanan,
jalan, energi, ketenagalistrikan, dan sistem
efisiensi terhadap ketertinggalan teknologi,
air bersih sepenuhnya dimiliki, dilakukan
resiko finansial, maupun dalam meningkatkan
(operasionalisasi) dan dibiayai oleh Pemerintah.
kapasitas pengelola. Sementara swasta dipandang
Dalam perkembangannya, tidak seluruh negara
berpotensi mampu memberikan pengelolaan yang
memiliki kapasitas yang memadai dalam
efisien melalui mekanisme yang lebih terstruktur
penyediaan infrastruktur, khususnya dalam
dan terukur beserta kemampuan pembiayaan
aspek pembiayaan. Dilain sisi, beberapa kegiatan
yang lebih fleksibel. Pada awal digagasnya
infrastruktur yang dikelola oleh Badan Usaha
PPP, terdapat tiga tipe dasar kerja sama yaitu
Milik Negara (BUMN)/nationalized firms tidak
(Schneider and Davis, 2010: 2–3):
dapat menunjukkan kinerja yang optimal.
Selanjutnya, dalam mengakomodasi keterbatasan a. Proyek pembangunan dengan pembiayaan
pembiayaan kegiatan pembangunan infrastruktur langsung melalui mitra sektor swasta.
sekaligus mendorong optimalisasi kinerja, Public b. Pembagian kontribusi dalam pembangunan,
Private Partnership (PPP) mulai dikembangkan pengelolaan beserta dengan resiko diantara
di beberapa negara sejak awal tahun 1990 di beberapa mitra sektor swasta.
beberapa negara (Riberio dan Dantas, 2009: 2). c. Investasi khusus dalam transit-supportive
PPP dimaknai sebagai kerja sama antara development
Pemerintah dan sektor swasta berdasarkan Dalam perkembangannya PPP telah
kapasitas masing-masing pihak untuk memenuhi mengalami berbagai evolusi dalam bentuk-bentuk
tujuan bersama yang disepakati dalam bidang skema kerja samanya yang mengacu pada: 1)
kebutuhan umum dengan mempertimbangkan tingkat alokasi resiko antar mitra; 2) kapasitas
kesesuaian alokasi sumber daya, resiko dan imbal dan tingkat peran serta masing-masing mitra
jasa/penghargaan (rewards). Dalam bahasa yang yang dibutuhkan sesuai dengan kesepakatan;
lain, PPP adalah kesepakatan antara dua pihak 3) potensi implikasi dari tingkat imbal jasa
atau lebih yang memungkinkan mereka saling yang diberikan. Sementara itu, fungsi dari
bekerja sama guna mencapai tujuan bersama, yang PPP telah dimodifikasi guna mengakomodasi
mana masing-masing pihak berperan berdasarkan dinamika yang berkembang, seperti bentuk
tingkat tanggung jawab dan kekuasaannya, tingkat partisipasi dalam kegiatan (perencanaan,
investasi atas sumber daya, level potensi resiko pembangunan, pembiayaan, pengoperasian/
dan keuntungan bersama (Allan, 1999). pengelolaan, pemeliharaan) maupun tipe imbal
PPP dapat pula dipandang sebagai kemitraan jasa yang disepakati (kepemilikan, transfer, sewa,
antara Pemerintah dan sektor swasta dalam pengembangan maupun pembelian). Hal tersebut
selanjutnya dimodifikasi dalam beberapa bentuk

168 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 22, No. 2, 2014


Sumber: Riberio dan Dantas, 2009: 2
Gambar 1. Tingkat Resiko Berdasar Tipe Kerja sama dalam PPP

kesepakatan seperti (Menckhoff dan Zegras, 1999, investasi yang diberikan berpotensi menimbulkan
Zhang, 2001 dalam Riberio dan Dantas, 2009: 2): resiko yang besar beserta dengan reward atas
a. Build-Operate-Transfer (BOT); investasi tersebut. Hubungan searah antara resiko
dan reward akan cukup menarik bagi sektor
b. Design-Build-Operate-aintain (DBOM);
swasta khususnya apabila resiko tersebut masih
c. Design-Build-Finance-Operate (DBFO); dapat diakomodasi melalui reward yang diterima.
d. Build Own-Operate (BOO); Konsep PPP di Indonesia, lebih dikenal
e. Rehabilitate-Operate-Transfer (ROT). dengan Kerja sama Pemerintah Swasta (KPS),
telah diaplikasikan di beberapa kegiatan
Hal yang paling menarik adalah pada saat pembangunan infrastruktur melalui Peraturan
masing-masing tipe kerja sama dalam PPP Presiden No. 67 Tahun 2005 dengan tujuan utama
memiliki tingkat resiko yang berbeda-beda sesuai mewujudkan ketersediaan, kecukupan, kesesuaian
dengan tingkat partisipasi dan imbal jasa yang dan keberlanjutan infrastruktur bagi pembangunan
diberikan. Semakin berkurangnya partisipasi nasional dan kesejahteraan masyarakat.
Pemerintah maka semakin besar potensi resiko Melalui KPS diharapkan mampu mencukupi
yang ditransfer kepada pihak swasta, demikian kebutuhan pendanaan secara berkelanjutan dalam
pula sebaliknya. Dapat dimisalkan pada tipe penyediaan infrastruktur; meningkatkan kuantitas,
Operasi dan Pemeliharaan, resiko terbesar akan kualitas dan efisiensi pelayanan infrastruktur;
melibatkan Pemerintah. Sementara dalam tipe serta mendorong imbal balik terhadap penggunaan
Konsesi, resiko paling besar akan ditanggung oleh infrastruktur tersebut. KPS tersebut dapat berupa
swasta berikut dengan besarnya investasi yang perjanjian kerja sama ataupun izin pengusahaan.
harus dikeluarkan. Selanjutnya, dibandingkan dengan konsep PPP
Namun demikian, besarnya resiko yang secara umum, KPS lebih menekanan pada kerja
harus ditanggung akan diikuti dengan potensi sama antara Pemerintah dan Swasta dibandingkan
penerimaan imbal jasa atas investasi yang ketentuan yang lebih mendetail. Skema KPS
diberikan. Dengan kata lain, semakin besar secara mendetail selanjutnya ditentukan berdasar

Implementasi Kerja Sama ... (Bahtiar Rifai) │ 169


sektor kegiatan infrastruktur, yaitu kesepakatan untuk penyediaan air minum kepada masyarakat.
antara Penanggung Jawab Proyek Kerja sama Hal pertama yang dilakukan adalah menyusun
(PJPK) dengan Badan Usaha mengacu pada UU dokumen kerja sama yang secara jelas mengatur
No. 67/2005. mengenai target dari keterlibatan swasta maupun
Dalam rangka memastikan PPP mampu pemerintah, seperti dalam hal kapasitas produksi,
berjalan secara efisien dan efektif, khususnya instalasi pengolahan air yang akan dibangun,
menarik minat swasta dalam berpartisipasi, upaya mengurangi resiko kehilangan air, nilai
program PPP harus diikuti kerangka kebijakan reinvenstasi yang harus dilakukan pada kegiatan
(policy framework) yang melingkupinya. Hal produktif maupun strategis, target cakupan
tersebut sebagai bentuk keseriusan Pemerintah pelayanan (jumlah pelanggan, kualitas air, durasi)
dan kemauan politik dalam mewujudkan PPP. dan target efisiensi dari biaya produksi hingga
Kerangka kebijakan yang teraktualisasi dalam 50%. Target-target tersebut menjadi dasar dari
kelembagaan, yaitu peraturan perundangan dokumen kerja sama Pemerintah dengan sektor
dan institusi terkait, sangat mutlak dibutuhkan swasta sehingga memudahkan bagi kedua belah
kehadirannya secara kelengkapan maupun pihak dalam mengevaluasi implementasi kerja
cakupannya dalam mengelola skema kerja sama tersebut. Selain itu, untuk mengakomodasi
sama. Kepastian dan kejelasan dalam konsep prinsip keadilan, operator menerapkan tarif
kelembagaan PPP secara langsung memberikan yang lebih rendah kepada masyarakat miskin
pemahaman peran-tanggungjawab dan tingkat (Hamilton, 2011).
partisipasi terhadap pemangku kepentingan yang Keberhasilan serupa juga dilakukan oleh
terlibat dalam proses tersebut (Rostiyanti dan Pemerintah Romania yang mampu meningkatkan
Tamin, 2010: 1131). kualitas pelayanan dengan tarif yang lebih
Sementara itu proyek penyediaan air kompetitif. Upaya pelibatan pihak swasta justru
minum mencakup dalam pembangunan sarana mampu menekan resiko kehilangan air hingga
pengambilan air baku, jaringan transmisi dan 44,5%. Salah satu strategi signifikan yang
distribusi, serta instalasi pengolahan. Penyediaan diterapkan adalah dengan membangun instalasi
infrastruktur air minum di Indonesia memiliki pengolahan air (Water Treatment Plant) baru
karakter sebagai proyek dengan kebutuhan dan instalasi perpipaan (distribusi) dan meteran
investasi yang besar, tingginya tambahan yang baru. Kebijakan ini mampu meningkatkan
biaya tetap dan rendahnya biaya marginal efisiensi hingga 193,7 % dibandingkan periode
supply, tingginya sunk costs, resiko aset yang sebelum keterlibatan pihak swasta. Unit-unit
terbengkalai akibat perubahan dan dinamika WTP yang baru juga dapat meningkatkan kualitas
yang berkembang, beragamnya karakter air, melebihi standar Eropa. Meskipun dengan
pengguna (users) infrastruktur, eksternalitas kualitas yang lebih baik, tarif yang diterapkan
tidak mencerminkan besarnya tarif, waktu yang semakin ekonomis dan terjangkau bagi masyarkat
cukup lama dalam membangun instalasi baru (Hamilton, 2011).
akibat skala yang besar dan hambatan birokrasi Keberhasilan lainnya juga dialami negara
(pengenaan tarif baru) (Clough et all, 2004 dalam Canada yang melakukan terobosan yang non
Wibowo dan Mohamed 2008:350). Hal tersebut konvensional dalam melaksanakan PPP air
selanjutnya berpeluang meningkatkan resiko yang minum. Pemerintah menerapakan standar
cukup banyak yang dapat berpengaruh terhadap kualifikasi yang cukup ketat dalam implementasi
ekskalasi biaya proyek. PPP. PPP diterapkan layaknya sarana kompetisi
Sementara itu, beberapa negara telah berhasil antar pihak swasta untuk menghasilkan daya
dalam mengimplementasikan PPP pada sektor saing dan kualitas yang lebih baik. Salah satu
air minum, seperti di Filipina misalnya. PPP air upaya mendorong semangat kompetisi adalah
minum dilatarbelakangi akibat permasalahan pemerintah membentuk institusi jasa atau
keterbatasan produksi air minum hingga cakupan kegiatan sejenis sebagai kompetitor pihak
pelayanan air minum perpipaan. Pemerintah swasta ataupun sarana mengevaluasi dari kinerja
selanjutnya mencoba menggandeng pihak swasta swasta. Meskipun demikian, Pemerintah juga

170 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 22, No. 2, 2014


Tabel 1.3 Perbandingan Pelaksanaan PPP di Kota Bucharest dan Manila
Aspek Bucharest Manila
Bentuk PPP - Penyediaan air Minum dan Sanitasi - Penyediaan Air Minum

Mitra Swasta - Veolia of France - Manila water, 45% saham milik Pemerintah.
Nilai Investasi - € 70 juta
Durasi - 25 tahun
Luaran - Membangun instalasi pengolahan air - Pengurangan non-revenue water dari 63% (1997) ke 12.5
(Water Treatment Plant atau WTP) %
- Mengurangi resiko kehilangan hingga - Investasi yang bersumber dari ekuitas digunakan sumber
44,5% baku air baru.
- Penggunaan sistem meteran baru - Peningkatan penyaluran air ke konsumen sebesar 159%
dan mengurangi kebocoran 193.7 (440 liter/ hari menjadi 1140 liter/hari)
- Peningkatan cakupan layanan air 24 jam sebesar 200%
konsumen (3 juta ke 6 juta pelanggan)
- Penurunan biaya perpipaan dari P 200 ke P 75 (per
bulan)
Sumber: Hamilton, 2011

memberikan insentif kepada pihak swasta yang dilakukan adalah pendekatan induktif dengan
berprestasi dengan performa yang optimal. analisa deskriptif kualitatif.
Insentif tersebut dapat berupa pengurangan pajak
maupun reinvestasi dari pemerintah. Pemerintah HASIL DAN PEMBAHASAN
pun menerapkan standar pelayanan minimum
untuk menjaga kualitas. Penyediaan infrastruktur air minum di Indonesia
merupakan tanggungjawab dan kewenangan
Pemerintah Daerah. Infrastruktur air minum
METODE PENELITIAN bersifat lokal karena berbasis pada sumber daya
Artikel ini berdasarkan hasil penelitian lapangan lokal yang selanjutnya didistribusikan kepada
yang dilakukan pada tahun 2013 yang dilakukan pengguna yang berada di tingkat lokal. Hal ini
di tiga provinsi, yaitu Jawa Timur, Banten berimplikasi pada dikembangkannya badan
(Tangerang) dan DKI Jakarta. Penelitian berbasis penyedia air minum melalui Perusahaan Daerah
pada data primer dan sekunder. Data primer Air Minum (PDAM). Umumnya PDAM di
diperoleh melalui wawancara mendalam kepada Indonesia merupakan Badan Usaha Milik Daerah
narasumber kunci seperti Perusahaan Daerah (BUMD) dengan pembiayaan yang bersumber
Air Minum, Dinas Pekerjaan Umum, Dinas dari Anggaran Penerimaan dan Belanja Daerah
Pendapatan Daerah, Perusahaan Operator Swasta, (APBD).
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Namun demikian, penyediaan air minum
(BAPPEDA), Badan Investasi Daerah, masyarakat tidak hanya dilakukan oleh PDAM saja, namun
setempat maupun Asosiasi Perusahaan Swasata. di beberapa wilayah telah berkembang partisipasi
Selain di Daerah, wawancara juga dilakukan di swasta sebagai penyedia layanan air minum.
tingkat Pusat, khususnya Kementerian Terkait. Hingga November 2010, jumlah penyelenggara
Setelah melakukan wawancara, Focus Group pelayanan air minum perpipaan di Indonesia
Discussion (FGD) juga dilakukan terhadap mencapai 402 unit yang terdiri oleh: PDAM
representasi dari narasumber terkait. Sementara sebanyak 382 unit (95%); berbentuk badan
itu data sekunder diperoleh melalui penelusuran dibawah Dinas Pekerjaan Umum (PU) sebanyak
literatur terkait dengan PPP. 10 (2,5%) dan sisanya adalah swasta (10 unit).
Pendekatan yang dilakukan adalah melalui Jumlah tersebut telah mampu melayani di 83
ekonomi pembangunan, ekonomi publik dan Kota dan 319 Kabupaten. Namun demikian
ekonomi politik. Sementara itu analisa yang cukup disayangkan adalah kemampuan pelayanan

Implementasi Kerja Sama ... (Bahtiar Rifai) │ 171


terhadap nasabah masih relatif rendah yaitu lebih secara nasional. Menariknya justru di tingkat
dari 53% baru mampu melayani dibawah 10 ribu perdesaan (57,87 %) proporsi masyarakat
pelanggan sementara 34,09% mampu melayani mengakses sumber air tersebut sedikit lebih
antara 10-30 ribu pelanggan (analisa data dari besar dibandingkan di perkotaan (52,16%). Hal
Kementerian PU). Kondisi ini tentu menjadi sulit ini dimungkinkan karena sumber baku air yang
untuk mampu mencapai 150 juta sambungan. sehat dan aman masih lebih mudah ditemukan di
Sementara target tersebut harus tercapai di tahun perdesaan dibandingkan di perkotaan. Selanjutnya
2015. apabila dikaitkan dengan pelayanan air minum
Realitasnya, hampir mendekati separuh perpipaan, proporsi masyarakat yang telah
(45.25%) dari total PDAM masih berada mendapatkannya jauh lebih kecil dibandingkan
dalam kondisi belum sehat. Hal tersebut dapat sumber air yang terlindungi yaitu hanya mencapai
diidentifikasi dari aspek keuangan, pelayanan, 27,05%. Kondisi inipun berbeda dibandingkan
operasional dan Sumber Daya Manusia (SDM) sebelumnya yang menunjukkan bahwa pelayanan
yang masih dibawah nilai patokan sebesar 2,8 perpipaan masih didominasi di perkotaan
(Kementerian PU). Beberapa permasalahan (41,88%) dibandingkan di perdesaan (13.94%)
melingkupi dalam pembentukan kinerja PDAM (Sumber: Dinas Cipta Karya, 2011).
seperti: 1) tingginya kepemilikan hutang sehingga Sementara itu apabila dikaitkan dengan target
menyebabkan PDAM tidak mampu melakukan pelayanan air minum di tahun 2015 (68,87%)
ekspansi usaha maupun menciptakan investasi mengacu pada Target Pembangunan Milenium
untuk meningkatkan kapasitas produksi; 2) (MDGs) maka masih cukup besar pekerjaan
masih relatif tinggnya tingkat kehilangan air rumah yang harus dilakukan Pemerintah,
baik di dalam proses pengambilan, pengolahan khususnya terkait pada waktu yang sangat pendek
maupun distribusi ke pelanggan; 3) sebagian untuk merealisasikannya. Demikian pula pada
besar infrastruktur telah berumur dengan pencapaian layanan kepada seluruh penduduk
aplikasi teknologi yang konvensional sehingga harus tercapai pada tahun 2025.
berpengaruh terhadap tingkat produksi air; Menjadi pertanyaan selanjutnya adalah hal
4) masih rendahnya tingkat pembayaran di apakah yang seharusnya dilakukan Pemerintah
tingkat pelanggan (<80%) sehingga berpengaruh mencermati kondisi PDAM yang masih relatif
terhadap kemampuan menutup biaya operasional; belum seluruhnya sehat sementara kebutuhan
5) sebagian besar pengenaan tarif berada dan target pelayanan air semakin mendesak.
dibawah harga keekonomian sehingga menekan Apabila instrumen investasi Pemerintah dilakukan
pembentukan laba; 6) kompleksitas pengenaan nampaknya hal tersebut tidak mencukupi terhadap
tarif sehingga menyulitkan dalam penyesuaian kebutuhan pembangunan infrastruktur air minum.
dengan biaya. Tidak jarang isu tarif ini dijadikan Hingga tahun 2025 setidaknya dibutuhkan
kendaraan politik di tingkat daerah yang investasi sebesar Rp. 46 Triliun sementara
terwujud dalam intervensi Pemerintah Daerah; 7) diprediksi kemampuan Pemerintah hanya
kelangkaan baku air baik yang bersumber dari air mencapai Rp. 11,8 Trilun. Nilai tersebut masih
permukaan maupun air dalam tanah. Implikasinya berpotensi meningkat apabila situasi ekonomi
adalah meningkatnya biaya pengolahan air terkait nasional dan global cenderung terus melambat
proses maupun bahan baku kimia; 8) tingginya atau memburuk, khususnya pada saat nilai
biaya investasi karena berupa jaringan kepada tukar Rupiah terdepresiasi terhadap mata uang
pelanggan; 9) sensitif terhadap gejolak makro asing. Kondisi tersebut selanjutnya mendorong
ekonomi, misalnya inflasi, suku bunga dan nilai Pemerintah untuk mencari alternatif pembiayaan
tukar sebab komponen impor relatif tinggi dalam tersebut melalui pinjaman perbankan (nasional
investasi di sektor air minum ini (Hasil analisa maupun asing) atau ‘menggandeng’ swasta untuk
data primer dan sekunder). ikut berpartisipasi dalam penyediaan kebutuhan
Implikasi di tataran yang lebih luas adalah tersebut (Kementerian PU-BPPSPAM, 2013).
masih rendahnya (55,04%) jumlah penduduk Hal yang perlu dipertimbangkan oleh
yang telah terakses sumber air minum terlindungi Pemerintah Pusat maupun Daerah beserta calon

172 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 22, No. 2, 2014


operatornya adalah bahwa investasi di sektor air kontrak dan mekanisme penjaminan yang relatif
minum membutuhkan biaya yang relatif besar sederhana.
khususnya dalam pembangunan infrastruktur
seperti instalasi pengolahan air, jaringan 2) Model PPP
perpipaan, sistem meteran yang digunakan,
Semangat yang melatarbelakangi kegiatan
penerapan teknologi yang modern dan efisien
PPP maupun B to B hampir relatif sama yaitu
hingga sistem pengelolaan teknis dan keuangan.
mendapatkan dukungan dari partisipasi swasta
Kedua dibutuhkan pengelolaan yang tepat,
dalam hal penyediaan infrastruktur yang mana
transparan, akuntabel untuk memastikan bahwa
terbatas dapat dilakukan oleh Pemerintah. Hal
kualitas dan performa pelayanan dapat terus
mendasar yang membedakan antara B to B dan
berlanjut.
PPP terletak pada proses penjaminannya. Hal
Selanjutnya dalam rangka pemenuhan ini menjadi penting bagaimana resiko tersebut
kebutuhan tersebut, metode yang tengah mampu ditransfer secara adil dan seimbang antara
berkembang di beberapa Negara adalah praktek Pemerintah dan Swasta. Kedua, dengan adanya
Public Private Partnership (PPP) atau sering penjaminan maka mampu mengurangi resiko
disebut pula sebagai Kerja sama Pemerintah Pemerintah mengalami shock secara langsung.
Swasta (KPS). Model pelaksanaan PPP atau KPS Melalui penjaminan pemerintah dapat melakukan
di Indonesia memiliki beberapa karakteristik persiapan dan mitigasi dalam menghadapi potensi
yang berbeda. Berikut adalah contoh model resiko yang timbul dari adanya PPP.
pengelolaan KPS di Indonesia.
Proses PPP relatif lebih panjang dan kompleks
1) Business to Business (B to B) hal ini mengacu pada prinsip kehati-hatian dan
Praktek B to B ini mengacu pada Peraturan pihak yang terlibat lebih banyak dibandingkan
Pemerintah No. 16/ 2005 mengenai peran model B to B. Pemenuhan klausul standar
Badan Usaha Swasta (BUS). Model B to B ini proses penjaminan mengikuti apa yang telah
dapat dilakukan di dalam wilayah pelayanan ditetapkan oleh Penjaminan. Tujuan utamanya
BUMN dengan catatan disetujui oleh Dewan adalah mengurangi dampak dan resiko dari
Pengawas/ Komisaris (dalam hal ini Pemerintah adanya PPP yang akan merugikan Pemerintah.
Daerah) apabila BUMD/ BUMN tidak mampu Beberapa pertimbangannya adalah: 1) umumnya
meningkatkan kualitas pelayanan SPAM di nilai kontrak dari PPP adalah lebih besar
wilayahnya (Pasal 37 ayat (3)). Model ini dibandingkan dengan B to B sehingga magnitude
nampaknya banyak diadopsi oleh PDAM di dari resiko kerja sama lebih besar; 2) kontrak
beberapa wilayah Indonesia khususnya pada PPP bersifat jangka panjang (minimal 15 tahun
wilayah yang memiliki keterbatasan pelayanan air sampai dengan 30 tahun) sehingga membutuhkan
minum kepada pelanggannya akibat keterbatasan perencanaan dan perhitungan yang matang (dalam
produksi maupun investasi atau kelangkaan hal penerimaan, biaya maupun resiko) sehingga
sumber baku air. Hal ini juga tim peneliti mendorong pemerintah berhati-hati. Keputusan
temui pada salah satu calon pengguna KPS air politis yang kurang mengakomodasi analisa
Umbulan yang telah melibatkan sektor swasta ekonomi berpotensi menciptakan eksternalitas
dalam pemenuhannya. Namun demikian nilai maupun efek yang merugikan dalam jangka
kesepakatan kerja sama relatif kecil demikian panjang (Wawancara dengan PT PII). Hal inilah
pula kapasitas air yang dipasok dengan nilai yang terkadang kurang dipahami oleh pelaksana
beli yang relatif lebih mahal dibandingkan PPP, utamanya adalah PJPK (Penanggungjawab
produksi sendiri. Namun demikian hal ini cukup Program Kerja sama), khususnya bagaimana
membantu khususnya terkait pada area-area mengelola resiko dari adanya proyek infrastruktur
yang belum tersambung oleh BUMD setempat maupun kerja sama tersebut. Resiko tersebut
namun memiliki kemampuan membayar yang apakah akan ditransfer ke Swasta seluruhnya
lebih tinggi. Model ini relatif lebih sederhana namun berimplikasi pada tingginya kapasitas
dibandingkan KPS yang lain. Hal ini disebabkan finansial yang harus diserahkan ke Swasta untuk
oleh: terbatasnya pihak yang terlibat, nilai menghadapi resiko tersebut atau dikelola secara

Implementasi Kerja Sama ... (Bahtiar Rifai) │ 173


bersama namun memiliki ukuran relatif mengenai masing wilayah memiliki latar belakang yang
kompensasi yang harus diberikan khususnya berbeda dalam inisiasi pengembangan kerja sama
besaran transfer tersebut, apakah bersumber Pemerintah-Swasta. Seperti misalnya di Pemkab
dari jasa penggunaan layanan atau dari subsidi Tangerang lebih didorong oleh kondisi darurat
pemerintah atau bahkan kombinasi keduanya. akibat berkembangnya wabah diare di wilayah
Secara umum terdapat tiga praktek penyediaan sekitar Bandara Soekarno-Hatta di Cengkareng.
air minum dengan skema yang berbeda-beda yang Bandara tersebut merupakan pintu gerbang
dilakukan masing-masing Pemerintah Daerah ke Indonesia sehingga berimplikasi terhadap
setempat. KPS yang pertama adalah antara PDAM diterbitkannya travel warning dari Negara
Propinsi DKI Jakarta dengan PT Palyja dan PT lain untuk ke Indonesia. Hal ini nantinya akan
Aetra Air Jakarta. Pertimbangan utamanya adalah berimplikasi terhadap kegiatan pembangunan
KPS ini merupakan KPS yang relatif sangat awal dan ekonomi secara nasional, khususnya terkait
dilakukan di Indonesia yang mana dukungan investasi maupun perdagangan antar Negara
peraturan dan kebijakan mengenai KPS belum (ekspor-impor). Besarnya resiko dan mendesaknya
terbangun pada saat ini. Hal ini menjadi strategis kondisi tersebut mendorong Pemerintah Daerah
khususnya untuk melihat bagaimana kebijakan untuk mengembangkan PPP. Hal ini disebabkan
tersebut apabila belum dibentengi oleh peraturan oleh dua hal mendasar: 1) wilayah tersebut belum
pendukung PPP. Fokus yang kedua adalah dengan terakses air minum perpipaan yang dilakukan oleh
di Pemkab Tangerang yang bermitra dengan PT PDAM setempat; 2) terbatasnya kemampuan fiskal
Aetra Air Tangerang dengan holding company daerah untuk melakukan investasi pengembangan
adalah PT Aquatico yang berbasis di Singapura. jaringan di wilayah tersebut. Rencana PPP ini
Proyek ini merupakan proyek percontohan selanjutnya diangkat sebagai agenda di tingkat
nasional. Kerja sama yang ketiga adalah proyek Pusat yang terealisasi melalui aspek fasilitasi dan
Umbulan yang dikelola oleh Pemprov Jawa perbantuan dalam menyusun dokumen PPP. Hal
Timur. tersebut selanjutnya direalisasikan di tahun 2008
dengan pemenang adalah PT AAT. Saat ini PT
AAT telah memasuki tahapan operasionalisasi
Motivasi Pengembangan PPP Air Minum
(produksi hingga distribusi ke pelanggan) sejak
di Indonesia
tahun 2011 akhir.
Dengan tujuan utama pemenuhan kebutuhan Hal tersebut berbeda dengan rencana
penyediaan infrastruktur air minum, masing- Umbulan yang berada di Propinsi Jawa Timur.

Tabel 1.4 Motivasi Pengembangan PPP di Tiga Wilayah Penelitian

Sumber: Analisa data Primer dan Sekunder

174 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 22, No. 2, 2014


Pengembangan PPP di Propinsi ini lebih didorong melalui penawaran proyek dalam PPP Book di
pada keberadaan potensi sumber baku air Kementerian Bappenas. Asistensi dan fasilitasi
Umbulan yang memiliki debit besar (4.500 liter/ terus dilakukan untuk mewujudkan proyek ini.
detik) dengan kualitas air pegunungan yang
sangat baik (0,01) atau setara dengan kualitas Karakteristik Praktek PPP Air Minum di
air mineral dalam kemasan. Namun sayangnya Indonesia
pemanfaatanya masih dibawah dari kapasitas
debit yaitu baru mencapai sekitar 400 liter Masing-masing model PPP memiliki karakteristik
per detik, yang mana sisanya hanya dibiarkan yang berbeda satu dengan lainnya, terutama dalam
mengalir ke laut. Pemanfaatnya masih terbatas hal skala, pelibatan pemangku kepentingan,
pada distribusi perpipaan oleh Pemerintah Kota target hingga potensi permasalahan yang
(Pemkot) Surabaya sebagai air curah ke PDAM ditimbulkan. Hal ini disesuaikan dengan faktor
mitra, pertanian, penggunaan air mineral kemasan yang melatarbelakangi dikembangkannya PPP,
dan kebutuhan sehari-hari masyarakat. Disisi kebutuhan dan kemampuan dari masing-masing
lain pertumbuhan permintaan akan air perpipaan Daerah. Namun demikian terdapat beberapa
semakin tinggi, khususnya di wilayah Pemkot karaktersitik yang serupa yaitu skema yang
Surabaya dan Pasuruan, Pemkab Gresik dan digunakan. Jakarta dan Tangerang dan Jawa Timur
Pasuruan. Keterbatasan bahan baku air menjadi memiliki durasi kontrak selama 25 tahun. Nilai ini
permasalahan terbatasnya produksi air perpipaan. terkait pada tingkat pengembalian investasi yang
cukup besar. Sementara itu skema yang digunakan
Wacana tersebut mendorong Pemerintah
adalah Built Operate Transfer (BOT) untuk
melakukan inisisasi pengembangan PPP yang
Jakarta dan Tangerah, sementara Propinsi Jawa
sebenarnya telah berkembang sejak tahun 1983.
Timur menggunakan metode Built Own Operate
Aspek teknis, politik dan pemerintah nampaknya
Transfer (BOOT). Kedua model ini memiliki
menjadi kendala dalam merealisasikan hal
esensi yang hampir sama yaitu pada akhirnya
tersebut. Di Akhir 2010, Proyek ini selanjutnya
seluruh aset dan pengelolaan diserahkan kembali
dibawa ke tingkat yang lebih besar yaitu
kepada Pemerintah Daerah pasca kontrak selesai.

Tabel 1.5 Karakteristik PPP di Tiga Wilayah Penelitian

Sumber: Analisa Data Primer dan Sekuder

Implementasi Kerja Sama ... (Bahtiar Rifai) │ 175


Selanjutnya hal yang membedakan secara tidak transparansinya pengelolaan dari mitra
mendasar adalah ranah kerja samanya. Di Jakarta, swasta, hingga pada belum optimalnya investasi
mitra swasta menggunakan seluruh aset yang jaringan. Namun sayangnya posisi tawar PDAM
dimiliki PDAM ditambah penyertaan yang berasal ini relatif lemah karena terkunci pada kesepakatan
dari swasta untuk mengimplementasikan konsesi yang telah dibuat. Apabila ingin memperbaharui
yaitu dari produksi, distribusi hingga penagihan kesepakatan harus berbasis persetujuan dua belah
ke pelanggan. Sementara itu dengan konsesi pihak. Klausul inilah yang menyulitkan posisi
serupa, Pemkab Tangerang meminta seluruh PDAM untuk dapat melakukan penyesuaian.
pembiayaan investasi bersumber sepenuhnya dari Sementara itu di Pemprov Jatim resiko ini
mitra swasta. Artinya tidak ada penyertaan modal belum teridentifikasi dengan jelas karena masih
maupun dukungan dari Pemerintah Kabupaten dalam proses penyusunan. Namun demikian
dalam hal pembiayaan investasi yang mencapai resiko yang berpotensi diterima pemprov
Rp. 525 Miliar. Sementara itu Pemprov Jatim akan adalah masalah: 1) default dari para off take,
menggunakan metode VGF (Viability Gap Fund) karena terikat pada tingkat pembayaran pada
yang merupakan fasilitas dari Pemerintah Pusat penggunaan minimal sehingga harus mampu
untuk membiayai proyek tersebut disamping menyerap kuota debit yang disepakati melalui
pembiayaan investasi dari swasta. Total investasi distribusi ke pelanggan. Keterbatasan distribusi
yang dibutuhkan akan mencapai Rp. 2,2 Triliun. akan berpotensi menimbulkan gagal bayar atas
Metode ini akan menyeleksi manakah dari mitra batas minimal pembelian dari pihak swasta.
yang mampu mengajukan VGF paling kecil 2) Ketidaksepakatan tarif baik sebagai isu
maka akan menjadi pemenang. Sebagai contoh politik maupun akibat keterbatasan kemampuan
adalah simulasi kemampuan penawaran dari daerah. Hal ini menjadi cukup kompleks karena
pihak swasta A sebesar Rp. 1,6 Triliun, sementara melibatkan Lima Kabupaten Kota dengan
pihak Swasta B sebesar Rp. 1,7 Triliun maka pengaturan tarif yang berbeda.
kebutuhan VGF adalah yang paling kecil yaitu Meskipun dengan resiko tersebut, nampaknya
Rp. 0,5 Triliun. Ranah kegiatan kerja sama akan model penjaminan oleh Pemerintah melalui PT PII
mencakup hanya pada pengambilan air baku yang hanya dilakukan oleh Pemprop Jatim mengingat
berada di Umbulan (Kabupaten Pasuruan) yang nilai investasi yang sangat besar. Sementara itu
selanjutnya di distribusikan ke pengguna yaitu dengan resiko dan permasalahan yang pelik,
off taker yang berupa PDAM di Lima Kabupaten PAM Jaya nampaknya tidak memiliki penjaminan
dan Kota. Distribusi ke pelanggan selanjutnya melalui lembaga penjamin namun langsung
dilakukan oleh PDAM. Konsep ini sebenarnya kepada Pemprop DKI Jakarta. Akibatnya adalah
sejenis dengan metode pembelian air curah yang apabila resiko kerugian semakin besar maka
telah dilakukan antar PDAM untuk memenuhi berpengaruh terhadap kinerja keuangan daerah
kebutuhan air baku. untuk mengakomodasi hal tersebut.
Terkait dengan resiko Pemerintah, Pemkab
Tangerang cenderung memiliki resiko yang paling Capaian Pelaksanaan PPP Air Minum di
rendah, karena seluruh resiko dialihkan ke pihak Indonesia
swasta. Kompensasinya adalah tarif yang telah
disepakati untuk mengakomodasi resiko tersebut Dalam analisa berikut akan difokuskan pada
akan relatif meningkat. PT AAT relatif berani perbandingan antara DKI Jakarta dan Pemkab
mengambil resiko ini yang cukup besar dengan Tangerang, mengingat di Pemprop Jawa Timur,
pertimbangan bahwa bisnis di Air minum sangat PPP belum direalisasikan dan masih dalam tahap
menjanjikan utamanya terhadap pertumbuhan penyiapan dokumen.
permintaan yang semakin tinggi di beberapa Apabila diamati dalam hal pencapaian
kantong penting seperti kawasan industri dengan pelaksanaan PPP mengacu pada target yang akan
tarif yang paling tinggi. Di DKI sendiri resiko dicapai berdasarkan kesepakatan dua belah pihak,
Pemerintah sebenarnya cukup kompleks, mulai nampaknya PPP Pemkab Tangerang memiliki
dari potensi shortfall akibat tarif tidak naik, beberapa kelebihan dibandingkan PPP di DKI
Jakarta. Hal ini tercermin dalam kemampuan

176 │ Jurnal Ekonomi dan Pembangunan Vol 22, No. 2, 2014


mencapai target. Beberapa target tersebut seperti Berbeda kondisi dengan DKI Jakarta yang
misalanya instalasi food grade sehingga air siap mana PPP belum mampu mencapai luaran
minum hingga instalasi perpipaan PT AAT yang optimal. Misalnya saja sistem online yang baru
berada di rumah. Hal ini mengacu pada peraturan terealisasi di tahun 2010, proses yang tidak
Kemenkes mengenai air siap minum. Selain itu transparan maupun investasi baru yang realtif
kemampuan pelayanan adalah 24 jam di semua terbatas dibandingkan dengan target dalam
pelanggan. Hal ini didukung dengan potensi kesepakatan baik dalam konstruksi baru WTP
kehilangan air yang dapat ditekan hingga kurang maupun sambungan perpipaan yang baru. Belum
dari 5% mulai dari pengambilan, produksi hingga lagi kualitas air di pelanggan masih relatif buruk
distribusi ke pelanggan. Salah satu strategi yang dan belum seluruhnya menerima layanan 24 jam
digunakan oleh PT AAT adalah menggunakan sehingga sering menerima keluhan dari pelanggan.
instalasi dan teknologi yang modern sehingga Posisi tawar yang lemah yang dimiliki PAM Jaya
mampu menekan kebocoran ataupun kehilangan menyulitkan dalam menekan pihak swasta untuk
air terkait proses produksi dan distribusi. Opsi memiliki kinerja yang optimal. Belum lagi PAM
selanjutnya adalah menggunakan peralatan Jaya menghadapi resiko shortfall yang tinggi
dan instrument yang baru sehingga mampu akibat masalah penetapan tarif, penggunaan IRR
menciptakan efisiensi dan produksi yang optimal. yang masih tinggi mengacu pada kondisi makro
Selain itu, PT AAT menggunakan konsultan ekonomi tahun 1997.
yang berpengalaman dalam membangun WTP
dan instalasi jaringan perpipaan. Dengan kata
lain profesionalisme menjadi acuan utama Kendala Pemerintah Daerah Dalam Im-
dalam pelaksanaannya. Meskipun demikian plementasi PPP Air Minum
PT AAT masih menghadapi kendala dalam Sangat disayangkan apabila kerja sama yang
penyerapan debit di konsumen yaitu masih berada dilakukan justru menyulitkan Pemerintah untuk
dikisaran 30-35% dari kapasitas debit terpasang. mengatur dan mengelola penyediaan infrastruktur.
Pola konsumsi masyarakat dan masih belum Hal ini seringkali terjadi akibat Pemerintah kurang
tergarapnya semua potensi konsumen menjadi berhati-hati dalam memberikan pengelolaan
kendala dalam mencapai target tersebut.

Tabel 1.6 Capaian PPP di Tiga Wilayah Penelitian

Sumber: Analisa Data Primer

Implementasi Kerja Sama ... (Bahtiar Rifai) │ 177

Anda mungkin juga menyukai