Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH TEORI FISIOTERAPI MUSKULOSKELETAL

( TIBIA PLATEAU)

Yosefina Sabina Iga Mogi


( 19121001026)

PROGRAM STUDI FISIOTERAPI

FAKULTAS ILMU KESEHATAN,SAINS DAN TEKNOLOGI

UNIVERSITAS DHYANA PURA

2021
TIBIA PLATEAU

A.DEFINISI
Fraktur tibia plateau merupakan fraktur pada aspek proksimal atau metafisis os tibia
dan sering juga melibatkan permukaan sendi. Patah tulang tibia plateau disebabkan oleh gaya
varus atau valgus yang dikombinasikan dengan gaya axial (Apley, 2001).
Fraktur tibia (Bumper fracture/fraktur tibia plateu) adalah fraktur yang terjadi akibat
trauma langsung dari arah samping lutut dengan kaki yang masih terfiksasi ke tanah.
(Mansjoer,2005).
Trauma langsung menyebabkan tekanan langsung pada tulang dan terjadi fraktur pada daerah
tekanan. Fraktur yang terjadi biasanya bersifat komunitif dan jaringan lunak ikut mengalami
kerusakan. Tibia adalah tulang yang menahan beban utama dari kaki yaitu sekitar 85%. Tibia
terdiri dari akhir proksimal disebut sebagai plateau (terbagi menjadi medial yang berbentuk
konkaf dan lateral yang berbentuk konvex), tubercle, eminence (medial dan lateral),
batang/shaft, dan akhir distal disebut sebagai pilon (sendi dan medial maleolus). Tibial
plateau merupakan penopang massa tubuh bagian proksimal dari tibia dan melakukan
artikulasi dengan condylus femoralis untuk membentuk sendi lutut. (Frassica, 2007).
Fraktur tibia plateau sering disebabkan karena kecelakaan pada pejalan kaki yang tertabrak
mobil, kecelakaan motor, selain itu bisa juga disebabkan karena jatuh dari ketinggian. Sendi
lutut adalah satu dari tiga sendi utama yang menopang berat badan pada ektremitas bawah.
Fraktur yang mengenai tibia proksimal mempengaruhi fungsi dan stabilitas sendi. Fraktur ini
bisa intra artikular (tibia plateau) atau ekstra artikular, yaitu fraktur pada 1/3 proksimal tibia..
Biasanya terjadi pada pasien yang sudah berusia antara 50 dan 60 tahun dan sedikit
mengalami osteoporosis, tetapi fraktur ini juga dapat terjadi pada orang dewasa,dan setiap
umur.
 Klasifikasi fraktur tibial plateau (Schatzer classification):
1. Tipe 1 (fraktur biasa pada kondilus tibia lateralis)
Pada pasien yang lebih muda, mungkin terdapat retakan vertical dengan pemisahan
fragment tunggal. Fraktur ini mungkin sebenarnya tidak bergeser, atau jelas sekali
tertekan dan miring. Kalau retakannya lebar, fragmen yang lepas atau meniscus lateral
dapat terjebak dalam celah.
2. Tipe 2 (peremukan kominutif pada kondilus lateralis dengan depresi pada fragmen)
Biasanya terjadi pada orang tua dengan osteoporosis.
3. Tipe 3 (peremukan kominutif dengan fragment luar utuh)
Mirip dengan tipe 2, tetapi segment tulang sebelah luar memberikan selembar permukaan
sendi yang utuh. Fragment yang tertekan dapat melesak ke dalam tulang subkondral.
4. Tipe 4 (fraktur pada kondilus media)
Terkadang akibat cedera berat, dengan perobekan ligament kolateral lateral.
5. Tipe 5 (fraktur pada kedua kondilus)
Dengan batang tibia yang melesak diantara keduanya.
6. Tipe 6 (kombinasi fraktur kondilus dan subkondilus)
Biasanya akibat daya aksial yang hebat
B.PATOFISIOLOGI
Fraktur disebabkan oleh pukulan langsung gaya meremuk, gerakan puntir mendadak,
dan bahkan kontraksi otot (Reeves, 2001).Fraktur tibial plateau biasanya terjadi sebagai
akibat dari kecelakaan pejalan kaki yang rendah energy mengenai bumper mobil. Sebagian
besar kejadian fraktur tibial plateau ini juga dilaporkan terjadi akibat dari kecelakaan sepeda
motor dengan kecepatan tinggi dan jatuh dari ketinggian. Fraktur tibial plateau terjadi akibat
kompresi langsung secara axial, biasanya dengan posisi valgus (paling sering) atau varus
(jarang) atau trauma tidak langsung yang besar. Aspek anterior dari kondilus femoralis
berbentuk baji, dengan terjadinya hiperekstensi dari lutut maka kekuatan ditimbulkan oleh
gerakan kondilus ke tibial plateau. Arah, besar, dan lokasi dari kekuatan yang ditimbulkan,
serta posisi lutut pada saat trauma akan menyebabkan perbedaan dari pola fraktur, lokasi, dan
tingkat pergeseran. Factor lain seperti usia dan kualitas tulang juga berpengaruh pada
konfigurasi fraktur. Pasien yang lebih tua dengan tulang yang osteopeni akan lebih cenderung
menjadi tipe fraktur depresi karena tulang subkondral nya lebih kaku untuk mengikuti beban.
(Chapman, 2001)
Usia muda dengan tulang yang kaku memiliki angka kejadian lebih tinggi untuk terjadinya
robekan ligament sedangkan usia tua dengan kekuatan tulang yang menurun memiliki angka
kejadian lebih rendah untuk robekan ligament. (Koval, 2006)
C.TINDAKAN BEDAH DAN NON BEDAH YANG DILAKUKAN
Terapi pada fraktur tibial plateau dibagi menjadi non-operative dan operative
 Non-operative
Fraktur yang non-displaced dan stabil baik untuk diterapi non-operative. Pemakaian
hinged cast-brace untuk melindungi pergerakan lutut dan beban tubuh merupakan salah satu
metode pilihan. Latihan isometric untuk quadriceps, pasif, aktif,dan pergerakan aktif dari
lutut sebagai stabilitas dapat dilakukan. Dibolehkan untuk memikul beban tubuh secara
partial selama 8-12 minggu, dan progressif hingga memikul beban tubuh secara keseluruhan.
Terapi dengan long leg cast juga dapat digunakan.
Fraktur yang tidak bergeser atau sedikit bergeser biasanya menimbulkan hemathrosis.
Hemathrosis diaspirasi dan pembalut kompresi dipasang. Tungkai diistirahatkan pada mesin
gerakan pasif kontinyu dan gerakan lutut dimulai. Segera setelah nyeri dan pembengkakan
akut telah mereda, gips penyangga berengsel dipasang dan pasien diperbolehkan menahan
beban sebagian dengan kruk penopang.

Terapi non-operative. (a) tampaknya tidak mungkin bahwa fraktur bikondilus yang kompleks ini dapat
direduksi dengan sempurna dan difiksasi secara memuaskan dengan operasi, maka (b,c) pen traksi bawah
dimasukkan dan gerakan dilatih dengan tekun (d) sepuluh hari kemudian sinar X memperlihatkan reduksi yang
sangat baik dan hasil akhir sangat bagus.

 Operative
Indikasi operasi pada fraktur tibial plateau adalah
1. Depressi pada articular yang dapat ditoleransi adalah <2mm sampai 1 cm.
2. Instabilitasi >10 derajat dari lutut yang diperpanjang dibandingkan dengan sisi sebaliknya.
Fraktur yang retak lebih tidak stabil dibandingkan fraktur yang hanya kompresi.

3. Fraktur terbuka
4. Sindrom kompartemen

5. Adanya kerusakan vascular


Terapi pembedahan berdasarkan tipe fraktur nya (Schatzker classification) yaitu :
1. Schatzker tipe 1. Fraktur yang bergeser.
Fragmen kondilus yang besar harus benar-benar direduksi dan difiksasi pada
posisinya. Ini terbaik dilakukan dengan operasi terbuka.
2. Schatzker tipe 2. Fraktur komunitif. Pada dasarnya ini adalah fraktur kompresi, mirip
dengan fraktur kompresi vertebra. Kalau depresi ringan (kurang dari 5 mm) dan lutut
stabil atau jika pasien telah tua dan lemah serta mengalami osteoporosis, fraktur
diterapi secara tertutup dengan tujuan memperoleh kembali mobilitas dan fungsi
bukannya restitusi anatomis. Setelah aspirasi dan pembalutan kompresi, traksi rangka
dipasang lewat pen berulir melalui tibia, 7 cm di bawah fraktur. Pada pasien muda
dengan fraktur tipe 2, terapi ini mungkin dianggap terlalu konservatif dan reduksi
terbuka dengan peninggian plateau dan fiksasi internal sering menjadi pilihan.
3. Schatzker tipe 3. Kominusi dengan fragmen lateral yang utuh. Prinsip terapinya mirip
dengan prinsip yang berlaku untuk fraktur tipe 2. Tetapi, fragmen lateral dengan
kartilago artikular yang utuh merupakan permukaan yang berpotensi mendapat
pembebanan, maka reduksi yang sempurna lebih penting. Cara ini kadang-kadang
dapat dilakukan secara tertutup dengan traksi yang kuat dan kompresi lateral, jika ini
berhasil, fraktur diterapi dengan traksi atau CPM. Kalau reduksi tertutup gagal,
reduksi terbuka dan fiksasi dapat dicoba.

4. Schatzker tipe 4. Fraktur pada kondilus medial. Fraktur yang sedikit bergeser dapat
diterapi dalam gips penyangga. Kalau fragmen nyata sekali bergeser atau miring,
reduksi terbuka dan fiksasi diindikasikan. Kalau ligament lateral juga robek, ini harus
diperbaiki sekaligus.
5. Schatzker tipe 5 dan 6. Merupakan cedera berat yang menambah resiko sindrom
kompartemen. Fraktur bikondilus sering dapat direduksi dengan traksi dan pasien
kemudian diterapi seperti pada cedera tipe 2. Fraktur yang lebih kompleks dengan
kominusi berat juga lebih baik ditangani secara tertutup, meskipun traksi dan latihan
mungkin harus dilanjutkan selama 4-6 minggu hingga fraktur cukup menyatu untuk
memungkinkan penggunaan gips penyangga. Jika terdapat beberapa fragmen yang
bergeser, fiksasi internal dapat dilakukan.
Reduksi Terbuka dan Fiksasi
Fraktur plateau sulit direduksi dan difiksasi. Terapi operasi hanya dilakukan kalau
tersedia seluruh jenis implant. Melalui insisi parapatela longitudinal, kapsul sendi dibuka.
Tujuannya untuk mempertahankan meniskusi sampil sepenuhnya membuka plateau yang
mengalami fraktur. Ini terbaik dilakuakn dengan memasuki sendi melalui insisi kapsul
melintang di bawah meniscus. Fragmen besar tunggal dapat direposisi dan dipertahankan
dengan sekrup kanselosa dan ring tanpa banyak kesulitan. Fraktur tekanan yang komunitif
harus ditinggikan dengan mendorong massa yang terpotong-potong ke atas ; permukaan
osteoartikular kemudian disokong dengan membungkus daerah subkondral dengan
cangkokan kanselosa (diperoleh dari kondilus femur atau Krista iliaka) dan dipertahankan di
tempatnya dengan memasang plat penunjang yang sesuai dengan kontur dan sekrup pada sisi
tulang itu. Kecuali kalau terobek, meniscus harus dipertahankan dan dijahit lagi di tempatnya
ketika kapsul diperbaiki.
Fraktur kompleks pada tibia proksimal sulit difiksasi dan banyak ahli bedah lebih suka
memberi terapi dengan traksi dan mobilisasi. Kalau dipilih terapi operasi, pemaparan luka
secara memadai sangat diperlukan.

Fraktur tibial plateau yang kompleks – fiksasi internal


Fraktur tibial plateau yang kompleks – eksternal fiksasi.

D. PROBLEMATIKA FISIOTERAPI

 Pembengkakan
 Adanya nyeri
 Ketidakmampuan untuk menahan beban
 Memar
 Rentang gerakan lutut (ROM) berkurang
 Riwayat trauma 
 Kelemahan otot

E.PERAN FISIOTERAPI
 Pemeriksaan
1.Inspeksi
 Deformitas : angulasi ( medial, lateral, posterior atau anterior), diskrepensi
(rotasi, perpendekan atau perpanjangan).
 Bengkak atau kebiruan.
 hilangnya fungsi gerak
2. Palpasi
 Tenderness (nyeri tekan) pada derah fraktur.
3. ROM
4. Pada fraktur tibial plateau, hemarthrosis sering terjadi yaitu berupa edem, nyeri pada lutut
dimana pasien tidak dapat memikul berat tubuh.

 Pemeriksaan Penunjang
1. X-ray
Pemeriksaan standar untuk trauma pada lutut adalah foto Xray dengan posisi
anteroposterior (AP), lateral, dan dua oblik. Foto X-ray digunakan untuk mengidentifikasi
garis fraktur dan pergeseran yang terjadi tetapi tingkat kominusi atau depresi dataran
mungkin tidak terlihat jelas.

2. CT-scan

CT-scan digunakan untuk mengidentifikasi adanya pergeseran dari fraktur tibial


plateau.

CT-scan Posisi AP, sagital, menunjukkan fraktur kompres lateral.

3.MRI

Magnetic resonance imaging (MRI) digunakan untuk mengevaluasi trauma ataupun


sebagai alternative dari CT-scan atau arthroscopy. MRI dapat mengevaluasi tulang serta
komponen jaringan lunak dari lokasi trauma. Namun, tidak ada indikasi yang jelas untuk
penggunaan MRI pada fraktur tibial plateau.
Peran fisioterapi dalam kasus ini sangatlah dibutuhkan, dimulai dari fase akut sampai
pada fase pemulihan. Peran fisioterapi dalam hal ini berfungsi untuk menjaga, memelihara,
memulihkan dan mengembalikan kapasitas fisik dan kemampuan fungsionl pasien sepanjang
daur kehidupan. Modalitas yang digunakan oleh fisioterapi untuk penanganan kasus paska
operasi pada fraktur tibia plateau adalah terapi latihan. Terapi latihan dapat bermanfaat dalam
mengurangi rasa nyeri, mengurangi adanya pembengkakan pada daerah di sekitar fraktur,
dengan berkurangnya pembengkakan maka rasa nyeri juga akan berkurang, dapat memelihara
atau menambah lingkup gerak sendi pada lutut, meningkatkan kekuatan otot yang disebabkan
karena pembengkakan dan nyeri serta melatih aktifitas jalan sehingga diharapkan pasien
dapat beraktivitas seperti semula. Fisioterapi sangat berperan dalam mengatasi permasalahan
atau gangguan pada kasus fraktur tibia plateau. Untuk mengatasi masalah tersebut fisioterapi
memberikan terapi latihan berupa
o static contraction untuk mengurangi oedem,
o relax passive exercise untuk mengurangi nyeri,
o free active exercise untuk memelihara lingkup gerak sendi (LGS),
o resisted active exercise untuk meningkatkan kekuatan otot,
o latihan jalan dengan metode partial weight bearing dapat meningkatkan
aktifitas fungsional jalan.

Fraktur Tibia plateau sangat sulit untuk ditangani, terutama bila terdapat komponen
medial atau posteromedial. Perawatan untuk fraktur tibia plateau bertujuan untuk mencapai
pengurangan anatomi permukaan sendi dan osteosintesis yang stabil untuk memungkinkan
mobilisasi dini, sehingga dapat mencegah komplikasi seperti kekakuan sendi dan komplikasi
umum pasca operasi seperti trombosis vena dalam atau emboli paru.Pasca operasi, ROM
awal dan mobilitas adalah penting. Pada tahap sub-akut nyeri, edema, dan ROM harus
dikelola tetapi ini akan bervariasi tergantung pada panduan ahli bedah. Pada tahap
selanjutnya, kekuatan, proprioseptif, dan pemulihan fungsi normal adalah yang terpenting.
Protokol terapi fisik bervariasi tergantung pada preferensi ahli bedah dan tampaknya tidak
ada protokol yang ditetapkan untuk lamanya waktu yang dihabiskan tanpa beban (NWB). Di
bawah ini adalah pedoman, silakan berkonsultasi dengan ahli bedah operasi sebelum memulai
terapi fisik pasca operasi.
 Tahap Non-Weight Bearing (NWB) 

o Tahap ini dapat bervariasi tergantung pada tingkat trauma dari empat minggu
hingga delapan minggu. Sering diimobilisasi dalam bidai bantalan kriket atau
penyangga gaya "Genu-range" terkunci dalam ekstensi penuh.
o Pada tahap ini, paha depan statis dan ROM lutut pasif dapat dimulai
tergantung pada panduan dari ahli bedah. Mesin gerakan pasif terus menerus
dapat digunakan. [
o Fokus pada analgesia dan pengurangan pembengkakan.
o Latihan ROM sendi sisa yaitu pinggul dan pergelangan kaki.

 Tahap Penahan Berat Parsial

o Tingkatkan bantalan beban secara bertahap pada kaki yang dioperasikan


dengan tujuan untuk menahan beban penuh hingga 12 minggu, tergantung
pada tingkat nyeri.
o Latihan ROM lutut aktif
o Latihan rantai kinetik tertutup
o Fokus pada perkembangan menahan beban dengan pola gerakan yang baik
o Program penguatan dasar
o Hidroterapi (sesuai kebutuhan)

 Tahap Penahan Beban Penuh 


o Menormalkan pola kiprah
o Fokus aktivitas fungsional yaitu duduk berdiri, tangga
o Latihan propriosepsi
o Kembali ke aktivitas normal kehidupan sehari-hari.

 Tingkat Tinggi 

o Latihan proprioception tingkat lanjut


o Latihan berbasis olahraga
o Latihan penguatan ekstremitas bawah tingkat tinggi
Latihan penguatan harus didorong dalam manajemen jangka panjang karena tingginya
prevalensi osteoartritis lutut setelah fraktur plato tibialis .
F.DAFTAR PUSTAKA

https://www.physio-pedia.com/Tibial_Plateau_Fractures

https://www.arlingtonortho.com/conditions/knee/knee-tibial-plateau-fracture/

https://www.honestdocs.id/tibial-platea-fracture

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK470593/

Anda mungkin juga menyukai