Anda di halaman 1dari 7

Oleh : I Komang Kertiyasa

Catatan :

– Karya Ilmiah ini pernah dikumpul sebagai syarat kelulusan S1 Ilmu Hukum Universitas Terbuka pada
Semester 20182.

– Studi Kasus pada Penangkapan Aparatur Desa Adat di Bali oleh Aparat Kepolisian dalam kasus dugaan
pungli lahan parkir.

BAB I

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia sesungguhnya mengakui keberadaan hukum Adat, walau dalam perkembangannya negara
lebih dikenal menganut sistem hukum Civil Law atau hukum tertulis. Sedangkan hukum adat pada
dasarnya adalah hukum yang tidak tertulis.

Pengaruh dimensi peradaban modern, dan warisan sistem Eropa Kontinental, hukum Indonesia tumbuh
dan berkembang dalam ranah positivisme. Positivisme kemudian membuat norma hukum selalu
mengkristal diranah Das Sollen tidak dapat menyesuaikan dengan perubahan Das Sein yang selalu
mengikuti dinamika perubahan sosial yang terus terjadi.

Sesungguhnya positivisme hukum sendiri tidak hanya melanda system hukum Civil Law. Bahkan, sistem
hukum Common Law sendiri juga terpengaruh budaya hukum tertulis tersebut. Hal ini tidak dapat
dihindari di tengah kemajuan jaman. Hanya saja, Common Law pada dasarnya lebih mengakui eksistensi
hukum adat dan hukum kebiasaan yang tidak tertulis yang hidup di masyarakat.

Dalam aturan peralihan UUD 1945, Pasal I tertulis bahwa, “Segala peraturan perundang-undangan yang
ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini”.
Artinya, norma-norma hukum adat selama belum diatur dalam hukum negara seharusnya tetap diakui
keberlakuannya. Demikian juga hukum-hukum adat yang dikeluarkan oleh Desa Adat di Bali.

Rumusan Masalah

Walau sudah diatur dalam Hukum Adat, aparat penegak hukum seringkali mengabaikan keberadaannya
dan lebih berpegang kepada hukum negara. Padahal, apparat penegak hukum khususnya polisi memiliki
sarana kebijakan yang dikenal sebagai diskresi.

Sehingga penulis mencoba untuk mempertanyakan dua hal berikut :

Mengapa aparat penegak hukum khususnya kepolisian terkesan mengabaikan eksistensi hukum adat.

Mengapa kepolisian tidak menggunakan hak diskresi dalam menyikapi permasalahan yang muncul
terkait permasalahan hukum adat.

Tujuan dan Manfaat

Karya ilmiah ini diharapkan dapat :

Menjabarkan permasalahan aparat penegak hukum negara dalam mengakui eksistensi hukum adat.

Menunjukkan jalan keluar agar aparat penegak hukum adat dapat mengakui dan menghormati
eksistensi hukum adat sebagaimana amanat konstitusi.

BAB II

PEMBAHASAN

Eksistensi Hukum Adat di Bali dan OTT Pungli Pecalang

Aparat kepolisian di Bali melakukan sejumlah Operasi Tangkap Tangan (OTT) kasus dugaan pungli dalam
beberapa tahun terakhir. Mereka yang ditangkap diantaranya adalah petugas satuan pengamanan adat
(Pecalang) dan juru parkir yang dikelola desa adat.
Penangkapan sejumlah petugas parkir di Bali karena diduga terlibat pungli membuat gelisah masyarakat
adat di Bali. Mereka meminta agar kepolisian bisa menghormati aturan yang berlaku di desa adat.

Kasus terbaru adalah penangkapan 11 orang pecalang dan juru parker desa adat di Pantai Matahari
Terbit, Sanur, Denpasar Timur. Mereka ditangkap polisi ketika menarik retribusi parkir. Alasan
penangkapan oleh polisi karena tidak adanya MoU dengan PD Parkir Denpasar.

Dalam audiensi antara pihak masyarakat adat dengan polisi dan anggota DPRD, Jro Bendesa Agung
Majelis Utama Desa Pakraman (MUDP/Koordinator Desa Adat seluruh Bali), Jro Putus Upadesa
menyampaikan bahwa permasalahan ini telah menjadi polemik yang belum ada solusinya.

Menurut Jro Putus, belum ada kesepamahaman antara pihak pemerintah khususnya penegak hukum
dengan masyarakat desa adat tentang hak dan kewajiban yang dimiliki oleh desa adat.

“Di desa adat ada pararem sebagai bagian dari awig-awig, kalau dihukum positif awig-awig adalah
undang-undangnya dan pararem adalah turunan hukumnya seperti perda, perpu. Kemudian juga
pemahaman yang tidak nyambung Perda Provinsi Bali nomor 3 yang sudah direvisi 2003 pasal 10,
sumber-sumber di desa pakraman jelas cuma pendapatan yang jadi masalah dari pemberian pihak
ketiga yang tidak mengikat dan yang keempat pungutan lain yang sah. Kalau soal pungutan sudah ada
putusan awig-awignya yang dituangkan dalam pararem dibuatkan surat keputusan dari bendesa untuk
pelaksanaannya, pemahaman inilah yang kadang-kadang tidak dipahami secara utuh,” kata Jro Putus di
Gedung DPRD Bali, Jl Dr Kusuma Atmaja, Denpasar, Bali, Selasa (13/11/2018), seperti dilansir dari
Detik.com.

Jro Putus dalam berita yang sama mengatakan bahwa selama ini pemberitaan soal penangkapan
pecalang atau masyarakat adat yang terlibat pungli telah meresahkan masyarakat adat. Sebab,
pemungutan atau retribusi yang dilakukan petugas adat telah dilindungi hukum adat dan merupakan
kewenangan adat.

Dalam UUD 1945, pasal 18b ayat 2 menyatakan bahwa negara mengakui serta menghormati kesatuan-
kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai
dengan prinsip NKRI. Dengan demikian, seharusnya secara otomatis, aparat penegak hukum memahami
bahwa perarem dan awig-awig adalah peraturan Desa Adat yang bahkan sudah menjadi hukum tertulis.

Perlu digarisbawahi bahwa awig-awig dan perarem adalah konsensus masyarakat adat yang juga adalah
rakyat lapisan terbawah negara kesatuan Republik Indonesia. Maka, tentunya Hukum Negara wajib
menghormati kehendak rakyat.
Pengakuan Terhadap Hukum Adat Oleh Negara

Dalam kerangka Nusantara dan NKRI, hukum adat selalu hidup sebagai living law di Indonesia. Sejak
pertamakali masyarakat muncul, hukum adatlah yang menjadi kehendak hukum masyarakat Nusantara.

Bahkan, ketika Indonesia dijajah oleh bangsa asing, Hukum Adat tetap eksis di Indonesia. Misalnya
ketika Indonesia dijajah oleh Belanda, Hukum Adat tetap diakui keberlakuannya bagi masyarakat
pribumi, selama tidak bertentangan dengan hukum kolonial Belanda yang diberlakukan sebagai norma
umum dari hukum tertulis.

Pasca Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945, hukum adat juga masih diakui keberadaannya.
Dalam UUD 1945 versi asli, pada aturan peralihan UUD 1945, Pasal I tertulis bahwa, “Segala peraturan
perundang-undangan yang ada masih tetap berlaku selama belum diadakan yang baru menurut
Undang-Undang Dasar ini”.

Kemudian, dalam UUD versi amandemen, Pasal 28 I ayat (3) berbunyi, “Identitas budaya dan hak
masyarakat tradisional dihormati sepanjang selaras dengan perkembangan zaman dan peradaban.

Ada pula Pasal 32 ayat (1) dan (2), yang berbunyi;

Negara memajukan kebudayaan nasional Indonesia di tengah peradaban dunia dengan menjamin
kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.

Dalam teori Sociological Jurisprudence versi Roscoe Pound, mengkaji hukum tidak hanya sebatas pada
studi tentang peraturan. Hukum juga harus melihat efek dan bekerjanya hukum atau melihat hukum
sebagai sosial enginering atau alat rekayasa sosial.

Ilmu hukum tidak semata-semata hanya memandang hukum sebagai aturan tertulis. Ilmu hukum juga
wajib melihat bekerjanya hukum dan akibat dari penegakan hukum itu sendiri. Dimana OTT polisi
terhadap pecalang adalah penghinaan terhadap masyarakat adat dan otomatis adalah penghinaan
terhadap konstitusi NKRI yang merupakan sumber daripada sumber hukum itu sendiri.

Payung Hukum Peraturan Daerah Terhadap Hukum Adat


Dalam hierarki peraturan perundang-undangan di Indonesia, Perda dan Peraturan Desa bahkan menjadi
bagian daripadanya. Menurut UU No. 12/2011 (yang menggantikan UU No. 10/2004) tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, berikut adalah urutan hirarkinya;

Ketetapan MPR

Undang-Undang (UU)/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu)

Peraturan Pemerintah (PP)

Peraturan Presiden (Perpres)

Peraturan Daerah (Perda), termasuk pula Qanun yang berlaku di Aceh, serta Perdasus dan Perdasi yang
berlaku di Provinsi Papua dan Papua Barat.

Peraturan Desa

Sayangnya, belum ada kemauan politik secara nasional untuk membentuk UU yang khusus mengatur
tentang Hukum Adat. Walau demikian, Peraturan Daerah (Provinsi dan/atau Kabupaten/Kota) dan
Peraturan Desa seharusnya bisa menjadi solusi sementara.

Gubernur Bali, I Wayan Koster sendiri mengakui bahwa pemerintah daerah kalah langkah. Oleh sebab
itu, dia akan segera menyusun Perda yang dapat menjadi payung hukum bagi Desa Adat dan sekaligus
Hukum Adat di Bali.

“Makanya nanti saya akan buatkan aturan, dasarnya apakah Pergub atau Perda sedang kita kaji. Karena
kita kan sedang merevisi Perda Desa Adat,” ujar Wayan Koster, dilansir dari Radar Bali.

Peraturan Daerah nantinya diharapkan bisa menjadi dasar hukum, khususnya Hukum Negara bagi hak
Desa Adat dalam melakukan pungutan. Dimana tentunya tetap berdasarkan consensus masyarakat adat
itu sendiri dalam Awig-Awig dan Perarem setempat.

“Disitu nanti desa adat bisa menggali sumber pendapatan dengan menggunakan peraremnya. Sekarang
kan desa adat menggunakan perarem, awig-awig, kan tidak ada aturan diatasnya,” jelas Koster.

BAB III

PENUTUP
Kesimpulan

Penangkapan petugas Desa Adat oleh apparat penegak hukum sendiri sesungguhnya adalah
pelanggaran dan penghinaan terhadap konstitusi negara, Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia 1945. Sebab, Hukum Adat sendiri dihormati keberadaannya oleh Konstitusi.

Oleh sebab itu, penegak hukum dari lapisan terbawah hingga pejabat tinggi seharusnya lebih memahami
kerangka dasar daripada Hukum Negara dan Hukum Adat yang berlaku di Indonesia.

Sebagaimana dikatakan oleh Prof. DR. Mahfud MD, S.H., M.H., dalam bukunya Politik Hukum di
Indonesia, bahwa Indonesia sendiri sebenarnya tidak menggunakan sistem hukum Civil Law. Indonesia
sesungguhnya menggunakan sistem hukum Pancasila. Sehingga penghormatan dan pengakuan terhadap
hukum adat mendapat tempat istimewa di dalam sistem hukum Indonesia.

Saran

Berdasarkan kesimpulan diatas, maka tim penulis menyarankan beberapa poin;

Aparat penegak hukum negara harus lebih memahami kerangka berpikir dan posisi hukum adat di dalam
sistem hukum negara NKRI.

Aparat penegak hukum perlu menerapkan diskresi terhadap pelanggaran hukum negara oleh aparatur
Desa Adat sepanjang tidak mengganggu kepentingan umum dan menimbulkan keresahan.

Aparat Penegak Hukum perlu duduk bersama dengan Pemerintah Daerah dalam mendukung
harmonisasi hukum Negara dan Hukum Adat.

DAFTAR PUSTAKA

– Sutanto, dkk (2014). Pengantar Ilmu Hukum/PTHI. Penerbit Universitas Terbuka.

– Raharjo, Sadjipto (2012). Ilmu Hukum. Citra Aditya Bakti.


– Mahfud MD, Mohamad (2009). Politik Hukum di Indonesia. Rajawali Pers.

– Marhaeni Ria Simbolon dan JM Henny Wiludjeng (2016). Hukum Adat. Penerbit Universitas Terbuka.

– https://radarbali.jawapos.com/read/2018/11/12/103144/polisi-tangkapi-pelaku-pungli-koster-minta-
desa-adat-bersabar-janji (Diakses pada 21 Desember 2018)

– https://news.detik.com/berita/4299736/11-jukir-di-sanur-di-ott-pungli-warga-adat-ngadu-ke-dprd
(Diakses pada 21 Desember 2018)

Anda mungkin juga menyukai