Anda di halaman 1dari 26

TES LABORATORIUM PENYAKIT GINJAL

DAN INFEKSI SALURAN KEMIH

Fitriani Mangarengi
Bagian Patologi Klinik Fakultas Kedokteran UNHAS

PENDAHULUAN

Ginjal adalah sepasang organ yang berada di rongga retroperitoneal,


merupakan bagian dari sistem traktus urinarius. Letaknya pada kedua sisi
kolumna vertebralis, di depan dua kosta terbawah, setinggi segmen bawah
vertebra Torakal XI dan segmen atas vertebra Lumbal III. Ginjal kanan terletak
sedikit lebih rendah daripada ginjal kiri, karena tertekan ke bawah oleh lobus
kanan hati (gambar 1). Pada orang dewasa panjang ginjal berkisar antara 12
-13 cm dengan berat masing-masing ginjal  120 – 150 g dan merupakan 0,4%
dari berat total.

hati

ginjal

Gambar 1. Letak ginjal di rongga abdomen.

Ginjal merupakan organ tubuh yang mempunyai peranan penting dalam


mengatur keseimbangan air dan elektrolit, mengeluarkan sisa hasil metabolisme
tubuh yang tidak dibutuhkan serta sebagai tempat pembentukan hormon yang
mengatur tekanan darah dan proses pematangan sel darah merah (eritrosit).
Dengan demikian fungsi primer ginjal adalah mempertahankan volume dan
komposisi cairan ekstrasellular berada dalam batas normal. Komposisi dan

1
volume cairan ekstrasellular ini dikontrol oleh filtrasi glomerulus serta reabsorbsi
dan sekresi tubulus.

Adapun karakteristik dari fungsi ginjal meliputi :


- Fungsi ekskresi : proses pembentukan urin melalui filtrasi
glomerulus, reabsorbsi dan sekresi tubulus.
- Fungsi regulasi : pengaturan homeostasis melalui reabsorbsi
dan sekresi tubulus.
- Fungsi endokrin : produksi hormon misalnya renin,
prostaglandin dan eritropoetin.

Fungsi ekskresi serta fungsi regulasi ginjal memegang peranan penting


dalam mengatur keseimbangan asam basa darah serta mengeliminasi produk
metabolisme yang tidak diperlukan tubuh. Filtrasi plasma darah melalui
glomerulus diikuti reabsorbsi cairan pada tubulus merupakan fungsi vital ginjal.
Sisa zat dan air diekskresikan kemudian dalam bentuk urin melalui duktus
koligen.

Fungsi tersebut dilakukan oleh unit fungsional ginjal yang disebut nefron,
yang jumlahnya kurang lebih satu juta untuk setiap ginjal. Terdapat dua jenis
nefron yaitu nefron kortikal pada korteks dan nefron juksta medullar dekat
medulla. Kerja ginjal dapat dianggap sebagai jumlah total dari fungsi semua
nefron. Seseorang masih mampu bertahan hidup dengan jumlah nefron hanya
sekitar 20.000 atau sekitar 1% dari massa totalnya, sehingga hal ini
memungkinkan seseorang untuk menyumbangkan sebuah ginjalnya untuk
ditransplantasikan.

Nefron terdiri dari kapsula Bowman yang mengelilingi anyaman kapiler


glomerulus, tubulus kontartus proksimal, lengkung henle, tubulus kontartus distal
dan duktus koligentes (gambar 2). Kapsula Bowman merupakan invaginasi dari
tubulus kontartus proksimalis. Diantara anyaman kapiler glomerulus dan kapsula
Bowman terdapat ruang yang berisi urin yang disebut ruang Bowman.

Filtrasi Glomerulus

Proses filtrasi pada glomerulus dinamakan ultrafiltrasi glomerulus.


Pembentukan urin dimulai dari proses filtrasi plasma pada glomerulus. Filtrat
yang dihasilkan disebut ultrafiltrat karena komposisinya yang sama dengan
plasma. Ultrafiltrat glomerulus mempunyai pH 7,4 dan berat jenis 1,010. Sel-sel
darah dan molekul besar seperti protein secara efektif tertahan oleh ” pori-pori”

2
membrana filtrasi sedangkan air dan kristaloid dapat melewati membrana filtrasi
glomerulus.

Sebuah nefron menghasilkan 100 µl ultrafiltrat perhari. Karena satu


ginjal terdiri dari 1 juta nefron, maka sekitar 170 – 200 liter ultrafiltrat melalui
glomerulus dalam 24 jam. Pada saat melalui tubulus, air dan zat yang larut
dalam ultrafiltrat mengalami reabsorbsi sehingga urin yang terbentuk sejumlah
0,4 - 2 liter perhari atau rata-rata 1,5 liter perhari dengan pH 6,0 yang umumnya
bersifat asam dan berat jenis sekitar 1,001 – 1,030. Proses filtrasi glomerulus
ini bersifat pasif karena ginjal tidak membutuhkan energi metabolik untuk proses
tersebut. Tekanan filtrasi berasal dari perbedaan tekanan yang terdapat antara
kapiler glomerulus dan kapsula Bowman. Tekanan hidrostatik darah dalam
kapiler glomerulus mempermudah filtrasi dan kekuatan ini dilawan oleh tekanan
hidrostatik filtrat dalam kapsula Bowman dan tekanan osmotik koloid darah.

Gambar 2. Unit fungsional ginjal ( nefron)

3
Menurut R.F Pitts (1974) tekanan kapiler glomerulus diperkirakan 50
mmHg, sedangkan tekanan intrakapsular sekitar 10 mmHg. Tekanan koloid
osmotik darah besarnya sekitar 30 mmHg. Dengan demikian tekanan filtrasi
bersih glomerulus besarnya sekitar 10 mmHg. Selain dipengaruhi oleh tekanan
tekanan seperti yang tersebut di atas, filtrasi glomerulus juga dipengaruhi oleh
permeabilitas dinding kapiler.

Pada glomerulus terdapat tiga jenis zat yang mengalami filtrasi yaitu :
1. Elektrolit : yang paling penting adalah natrium (Na +), kalium
(K+), kalsium (Ca 2+), magnesium (Mg 2+), bikarbonat (HCO3 -),
klorida (Cl-) dan fosfat (HPO4 2-)
2. Non elektrolit : yang penting antara lain glukosa, asam amino,
dan metabolit yang merupakan produk akhir metabolisme protein
seperti urea, asam urat dan kreatinin
3. Air (H2O)

TES LABORATORIUM PENYAKIT GINJAL

Tes Faal Ginjal

Tes faal ginjal bertujuan untuk mengetahui adanya gangguan fungsi ginjal
dan menetapkan berat ringannya gangguan tersebut. Pada umumnya tes
tersebut menguji salah satu fungsi dasar ginjal yaitu fungsi filtrasi, reabsorbsi dan
sekresi.
Tiga kategori umum tes fungsi ginjal adalah :
1. Tes fungsi glomerulus (fungsi filtrasi) : tes klirens
2. Tes untuk mengetahui kerusakan glomerulus, kerusakan tubulus atau
keduanya : Blood Urea Nitrogen (BUN), rasio BUN- kreatinin serum,
kreatinin serum
3. Tes fungsi tubulus (fungsi reabsorbsi dan sekresi). Tes osmolalitas
serum dan urin.

Dari beberapa jenis tes fungsi ginjal ada yang bertujuan hanya untuk
mengevaluasi fungsi ginjal seperti tes kreatinin serum dan tes klirens
kreatinin. Penetapan kadar BUN selain merupakan tes fungsi ginjal dapat
juga untuk mengetahui defisit volume cairan. Tes osmolalitas serum dan urin
juga bertujuan mengetahui kebutuhan cairan dan keseimbangan cairan.

Laju Filtrasi Glomerulus dan Klirens ginjal


4
Aliran darah yang mensuplai ginjal (Renal Blood Flow = RBF) atau perfusi
ginjal berkisar 1200 ml per menit merupakan 25% dari curah jantung yang
jumlahnya sekitar 5000 ml per menit. Lebih dari 90 % perfusi ginjal adalah pada
korteks, sedangkan sisanya pada medulla. Jika kadar hematokrit seseorang
adalah 45%, maka aliran plasma ginjal (RBF) adalah 0,55 x 1200 = 660 ml per
menit. Kurang dari seperlima aliran plasma yaitu sekitar 125 ml permenit
mengalir melalui glomerulus ke kapsula Bowman dan inilah yang dikenal dengan
Laju Filtrasi Glomerulus (LFG). Nilai LFG menunjukkan jumlah ultrafiltrat dari
darah yang masuk ke lumen tubulus dalam jangka waktu tertentu.

LFG digunakan secara luas sebagai indeks fungsi ginjal yaitu dengan
mengukur secara tidak langsung kapasitas glomerulus berdasarkan pengukuran
klirens ginjal. Dengan demikian untuk menilai penurunan fungsi ginjal / laju filtrasi
glomerulus yakni dengan mengukur klirens ginjal. Pengukurannya dapat
menggunakan paramater substansi endogen, maupun eksogen.
Pengukuran yang menggunakan kreatinin sebagai parameter (klirens
kreatinin) adalah :
 Persamaan Cockroft - Gault
 MDRD Study (Modification of Diet in Renal Disease)
equation GFR (ml/min per 1.73 m2) =
0.881 × 186 × age−0.203 × S-Cr−1.154
(if female × 0.742)
 Formula Schwartz (digunakan pada anak anak)
 Persamaan Counahan - Barrat
Perhitungannya menggunakan variabel seperti umur, jenis kelamin, ras dan luas
permukaan tubuh.

Klirens ginjal menggambarkan hubungan antara mekanisme ekskresi


ginjal dan kadar suatu zat dalam darah yang diekskresikan. Klirens adalah
volume plasma yang mengandung semua zat yang larut melalui glomerulus serta
dibersihkan atau dihilangkan (cleared) dari plasma, lalu dieksresikan kedalam
urin, karena itu nilai klirens mewakili fungsi glomerulus. Klirens dinyatakan dalam
mililiter per menit artinya besarnya volume plasma yang dibersihkan dari suatu
zat dalam waktu satu menit. Kadar zat dalam plasma berbanding terbalik
dengan nilai klirensnya, jika klirens menurun maka kadar zat dalam plasma
meningkat.

Persamaan umum untuk menilai klirens ginjal adalah :

5
C = UxV
B C = klirens ginjal (ml/menit)
U = kadar zat yang larut (marker) dalam urin (mg/dl)
V = volume urin yang diekskresikan dalam waktu
tertentu (ml/menit)
B = kadar zat yang larut (marker) dalam serum atau
plasma dan ditentukan pada saat pertengahan
pengumpulan sampel (mg/dl)

Marker yang digunakan untuk mengukur klirens ginjal dapat berupa


substansi endogen misalnya Kreatinin, Urea dan Cystatin C ataupun substansi
eksogen seperti Inulin, Iohexol dan senyawa radioaktif seperti I-Iothalamate,
Diethylenetriamine Pentacetic Acid(Tc-DPTA) serta Chromium Ethylnemediane
Tetracetic Acid (Cr-EDTA)
Klirens ginjal hanya dapat dihitung pada beberapa zat yang pola
ekskresinya stabil. Klirens ginjal yang akurat adalah dengan menggunakan
senyawa eksogen dengan beberapa karakteristik seperti tabel berikut :
Tabel 1. Karakteristik Senyawa Eksogen Petanda Ideal Tes Klirens ginjal

 Bahan biologis tidak toksik


 Tidak terikat dengan protein plasma
 Difiltrasi bebas oleh glomerulus
 Tidak dimetabolisme, tidak disintesa dan tidak disimpan di
ginjal
 Tidak direabsorbsi dan tidak disekresi oleh tubulus ginjal
 Nilai klirensnya konstan dengan rentang hasil yang luas
terhadap konsentrasi plasma

Klirens ginjal dengan menggunakan senyawa eksogen yang mempunyai


karakteristik sebagai petanda LFG relatif aman digunakan pada klirens ginjal dan
telah diuji secara klinis, seperti :
- Inulin
- Iohexol
- 51Cr-EDTA
- 99mTc-labelled diethylenetramine pentaacetic acid
(DTPA)
- 125I-labelled iothalamate

6
Penilaian LFG tidak dapat secara langsung, oleh karena itu LFG dinilai
berdasarkan klirens ginjal dengan petanda berupa zat yang terdapat dalam
plasma baik berupa senyawa eksogen maupun senyawa endogen ..

Tes baku emas untuk memprediksi nilai LFG adalah klirens inulin. Tes
klirens inulin tidak praktis dan sukar diterapkan karena membutuhkan teknik dan
waktu tertentu waktu pengambilan darah serta kesulitan pengumpulan urin yang
akurat sehingga tes ini lama dan rumit. Marker lain seperti Tc-DPTA sebagai tes
alternatif untuk memprediksi nilai LFG juga memberikan hasil yang sama baik
seperti tes klirens inulin, tetapi tes ini memakai marker yang menimbulkan
radiasi, dapat menyebabkan alergi serta mahal.

Tes fungsi ginjal yang paling umum digunakan untuk menilai LFG adalah
tes kreatinin serum dan tes kreatinin klirens. Tes kreatinin serum adalah tes
yang murah, cepat dan mudah untuk menilai LFG. Kreatinin serum adalah
perkiraan kasar untuk menilai LFG karena kadarnya dipengaruhi oleh senyawa-
senyawa tertentu dalam darah (kromogen non kreatinin) yang dapat
menyebabkan overestimasi. Perubahan massa otot dan proses inflamasi juga
berpengaruh terhadap penetapan LFG berdasarkan kreatinin serum. Kreatinin
selain difiltrasi bebas oleh glomerulus juga disekresi oleh tubulus proksimal.

Berdasarkan pertimbangan bahwa tes kreatinin serum secara tunggal


kurang akurat untuk menentukan tingkatan fungsi ginjal, maka dikembangkan
berbagai persamaan yang menggunakan kadar kreatinin serum disertai
beberapa faktor koreksi untuk memprediksi LFG.

Persamaan yang paling populer dan cukup akurat untuk menetapkan nilai
klirens kreatinin pada orang dewasa adalah persamaan Cockroft and Gault
yang mengunakan faktor koreksi usia, berat badan dan jenis kelamin.

Persamaan Cockroft and Gault

LFG laki-laki Ccr = (140-usia) x (BB)


(sCr x 72)

LFG perempuan Ccr = (140-usia) x (BB) x 0,85


(sCr x 72)
Keterangan : Ccr = klirens kreatinin (ml/menit)
BB = berat badan (kilogram)
sCr = kreatinin serum (mg/dl)

7
Nilai LFG pada laki-laki berbeda dengan perempuan dimana LFG laki-laki
lebih tinggi daripada perempuan, hal ini disebabkan karena massa ginjal laki-laki
lebih besar dari perempuan. Kehamilan dan latihan fisik dapat menyebabkan
peningkatan LFG. Pada kehamilan LFG meningkat sampai 50% yang
disebabkan oleh peningkatan volume dan aliran darah ke ginjal serta
kemungkinan adanya pengaruh hormon plasenta. LFG akan kembali normal
setelah melahirkan.

Tabel 2. Nilai rujukan LFG dengan Ccr (NKF K/DOQI)


Jenis kelamin LFG ( ml/menit /1,73 m2 )
Mean SD
Laki-laki 128 26
Perempuan 118 24

Tes Kreatinin serum

Kreatinin merupakan produk akhir dari metabolisme kreatin. Kreatin


adalah senyawa nitrogen yang terutama disintesis di hati dan disimpan di dalam
otot. Kreatinin yang terdapat di otot terikat dengan fosfat dalam bentuk senyawa
fosfokreatinin yaitu senyawa penyimpan energi. Jumlah kreatinin yang dibentuk
sebanding dengan massa otot dan tidak banyak dipengaruhi oleh kegiatan otot.

Kreatinin diekskresikan ke urin melalui proses filtrasi oleh glomerulus.


Kreatinin tidak diabsorbsi oleh tubulus tetapi sejumlah kreatinin disekresi oleh
tubulus. Peninggian kadar kreatinin merupakan indikasi adanya penyakit ginjal
atau kerusakan lebih 50%.

Pra analitik

- Persiapan pasien : tidak memerlukan persiapan khusus


- Persiapan sampel : hindari serum yang hemolisis dan lipemik
- Metode tes : Reaksi Jaffe
- Prinsip tes :
Tes kinetik kolorimetrik dengan persamaan reaksi sebagai
berikut :
Sampel ditambah dengan larutan sodium hidroksida selanjutnya
dengan penambahan asam pikrat segera dimulai reaksi;

Kreatinin + asam pikrat  kompleks kreatinin alkali pikrat

8
Pada pH alkali kreatinin bereaksi dengan asam pikrat membentuk
kompleks kreatinin pikrat yang berwarna merah orange. Intensitas
warna kompleks yang dihasilkan sebanding dengan kadar kreatinin
sampel dan diukur secara fotometrik dengan panjang gelombang
(492 nm – 510 nm)

Tabel 3. Nilai rujukan kadar kreatinin darah

Kadar kreatinin
SI Unit (mg/dl) µmol / L
Newborn 0,8 – 1,4 71-124
Infant 0,7-1,7 62-150
Anak < 6 tahun 0,3-0,6 27-54
Anak > 6 tahun 0,4-1,2 36-106
Dewasa laki-laki 0,6-1,3 53-115
Dewasa 0,5-1,0 44-88
perempuan
Dewasa usia Penurunan kadar kreatinin
lanjut berhubungan dengan penyusutan,
massa otot dan usia

Tes Ureum serum

Ureum adalah produk metabolik utama yang mengandung nitrogen dari


katabolisme protein pada manusia. Ureum termasuk dalam senyawa nitrogen
non protein, berat molekul yang sangat kecil (60 kD). Ureum merupakan lebih
dari 75% nitrogen non protein yang dieksresi.
Lebih dari 90% ureum dieksresikan melalui ginjal dan sebagian
dikeluarkan melalui traktus gastrointestinalis dan kulit. Ureum mengalami filtrasi
bebas di glomerulus oleh karena itu kadar ureum darah digunakan sebagai
parameter penilaian fungsi filtrasi glomerulus . Dalam keadaan normal 40-70%
ureum mengalami reabsorbsi di tubulus dan kembali ke darah sehingga klirens
ureum tidak dapat disamakan dengan LFG.
Di Amerika Serikat pemeriksaan urea dinyatakan sebagai kandungan
nitrogen urea darah (blood urea nitrogen / BUN). Konsentrasi BUN normal
sekitar 5 – 20 mg/dL, dimana nitrogen menyumbang 28/60 dari berat total urea,
sehingga konsentrasi urea dapat dihitung dengan mengalikan konsentrasi BUN
dengan 60/28 atau 2,14. Penentuan kadar ureum dengan mengukur absorbansi
pada panjang gelombang 340 nm. Uji kinetik dapat dilakukan dengan urease dan
glutamate dehidrogenase (GLDH) atau dengan reaksi Barthelot
Pra analitik :

9
- Persiapan pasien : tidak memerlukan persiapan khusus
- Persiapan sampel : serum atau plasma (Li-heparin, EDTA atau
florida, jangan gunakan amonium heparin). Sampel dapat
disimpan selama 7 hari pada suhu 20-25 0C, 7 hari pada 4-80C
dan 1 tahun pada -200C
- Prinsip :
 Metode Barthelot :
ureum diubah secara kuantitatif oleh urease menjadi
ammonium karbonat. Dengan adanya ammonium
karbonat, fenol dapat dioksidasikan menjadi zat warna
biru oleh sodium hipoklorit (reaksi Barthelot)

 Urease dan Glutamate Dehidrogenase (GLDH) :


urea dihidrolisis dengan urease untuk membentuk
ammonium dan karbonat. Pada reaksi kedua, 2-
oksaloglutarat bereaksi dengan ammonium dengan
adanya GLDH dan koenzim NADH untuk dioksidasi
menjadi NAD untuk masing-masing mol urea yang
dihidrolisis.

Urease
Urea + 2H2O 2 NH4+ + CO32-

NH4+ + 2-oksoglutarat + NADH GLDH L-glutamat + NADH+ +H2C

Nilai rujukan :
Dewasa ( 18-60 tahun) : 6 – 20 mg/dl
Bayi ( < 1 tahun) : 4-19 mg/dl
Anak-anak : 5 – 18 mg/dl

Rasio BUN – Kreatinin

Kadar kreatinin serum merupakan parameter fungsi filtrasi glomerulus


yang lebih baik dibandingkan kadar ureum serum (BUN), karena kadar kreatinin
serum kurang dipengaruhi oleh faktor prerenal dan postrenal. Tetapi kadar
kreatinin serum dipengaruhi oleh faktor umur dan massa otot sehingga untuk
menilai filtrasi glomerulus umumnya dilakukan pengukuran BUN dasar kreatinin
serum secara bersama-sama sebagai pembanding . BUN maupun kreatinin
serum mempunyai kelebihan dan kekurangan dalam menilai fungsi filtrasi
glomerulus oleh karena itu untuk mengetahui penyebab peningkatan BUN
maupun kreatinin serum digunakan rasio BUN – kreatinin dinyatakan dengan
persamaan sebagai berikut :
10
Rasio BUN – kreatinin = Kadar BUN serum (mg/dl)
Kadar kreatinin serum (mg/dl)

Nilai rujukan rasio BUN – kreatinin =  10


Bila terjadi kerusakan glomerulus kadar BUN dan kreatinin serum secara
karakteristik meningkat tetapi rasio BUN-kreatinin serum tetap.
Peningkatan rasio BUN – kreatinin dengan kadar kreatinin serum normal
biasanya dihubungkan dengan penurunan aliran darah ginjal atau penyebab
prerenal azotemia, nekrosis tubuler akut, intake protein yang sangat kurang dan
penurunan sintesis urea (akibat penyakit hati berat)
Peningkatan rasio BUN – kreatinin dengan peningkatan kadar kreatinin
serum dihubungkan dengan postrenal azotemia.
Untuk memantau perjalanan dan prognosis penyakit ginjal diperlukan tes
serial BUN dan kreatinin serum. Peningkatan yang cepat dan progresif
menunjukkan keadaan akut atau suatu kronik eksaserbasi, sebaliknya
penurunan yang bermakna menunjukkan kearah perbaikan.
Rasio BUN – kreatinin dipakai untuk memonitor pasien dengan pemberian
obat jangka lama dan dosis tinggi yang berpotensi menyebabkan nefrotoksik
Tes Cystatin C

Cystatin C adalah inhibitor proteinase cystein yang dihasilkan oleh


sebagian besar sel berinti. Cystatin C biasa juga dikenal dengan Cystatin 3,
CST3, γ-trace.1 Merupakan protein kecil yang terdiri dari 120 asam amino
dengan berat molekul 13,3 kilodalton dan dapat ditemukan di berbagai cairan
tubuh manusia.2,3 Sebagai protein dengan berat molekul rendah, cystatin C dapat
dengan mudah melewati membrane basalis glomerulus, kemudian dikatabolisme
di sel tubulus ginjal.3
Cystatin C merupakan protein bermuatan positif difiltrasi sempurna oleh
glomerulus, oleh karena itu kadar Cystatin C serum merupakan parameter yang
baik untuk menilai laju filtrasi glomerulus (LFG /GFR). 15

Molekul cystatin C sangat stabil terhadap pengaruh fisik dan kimiawi.


Produksi cystatin C tidak dipengaruhi oleh proses inflamasi, jenis kelamin,
massa tubuh, nutrisi dan penyakit diluar ginjal serta tidak tergantung pada umur
kecuali pada umur dibawah 1 tahun dan diatas 70 tahun. 2,3 Konsentrasi cystatin
C paling tinggi didapatkan pada umur 1 hari diikuti penurunan yang cepat selama
4 bulan pertama dan konstan setelah 1 tahun.

11
Cystatin C merupakan petanda endogen baru terhdap fungsi ginjal dan
hubungannya dengan LFG lebih baik daripada kreatinin. 2,3
Pemeriksaan cystatin C bebas dari gangguan bilirubin, keton dan hemoglobin
yang mempengaruhi metode pemeriksaan kreatinin dan hanya membutuhkan
sejumlah mikroliter serum atau plasma.

Dengan demikian , tes Cystatin C mempunyai beberapa keunggulan


karena tidak dipengaruhi usia, jenis kelamin, massa otot, diet dan reaksi fase
akut. Cystatin C juga tidak disekresi oleh tubulus dan eliminasinya hanya melalui
filtrasi glomerulus. Tetapi tes ini mahal dan belum tersedia di semua center.
Menurut Christopher P Price dan Hazel Finney (2000) berdasarkan data-data
yang dihimpun dari berbagai penelitian , masih diperlukan penelitian lebih lanjut
apakah cystatin C dapat digunakan sebagai parameter tes fungsi ginjal. National
Kidney Foundation Kidney Disease Outcome Quality Initiative (NKF K/DOQI)
(2002) juga berpendapat bahwa penerapan tes Cystatin di klinik masih
diperdebatkan. Walaupun Cystatin C tampaknya sangat menjanjikan sebagai
indeks fungsi ginjal, menurut Toffaletti dari NKF K/DOQI masih terlalu dini untuk
merekomendasikan tes ini karena belum cukup data yang mendukung
penerapannya di klinik.

Aplikasi klinis penggunaan Cystatin C sebagai marker untuk menentukan


LFG terutama digunakan pada pasien dengan sirosis hati, anak-anak, anoreksia,
massa otot rendah akibat amputasi, pasien HIV dengan displasia atau gangguan
neuromuskuler, DM tipe 2, transplantasi ginjal, penyakit ginjal kronik, kanker dan
hipertensi esensial.

Penentuan LFG dengan formula Cystatin menggunakan persamaan


berikut :

LFG = 74,83
Cystatin C 1/ 0,75

Dibandingkan dengan beberapa parameter tes LFG terdahulu seperti


penggunaan zat yang disuntikkan ke dalam tubuh, tes ureum dan kreatinin,
maka Cystatin C lebih akurat khususnya untuk melihat adanya kerusakan dini di
ginjal, sehingga Cystatin C dianggap sebagai suatu marker untuk deteksi dini
pada insufisiensi / gagal ginjal.3
Salah satu gangguan ginjal yang banyak ditemukan dan merupakan masalah
yang sangat penting dalam bidang ilmu penyakit ginjal adalah penyakit ginjal
kronik.

12
Penyakit ginjal kronik didefinisikan sebagai :
1. Kelainan ginjal berupa kelainan struktural atau fungsional yang
dimanifestasikan oleh kelainan patologi atau petanda kerusakan ginjal
secara laboratorik atau kelaianan pada pemeriksaan radiologik, dengan
atau tanpa penurunan fungsi ginjal (penurunan laju filtrasi glomerulus =
LFG) yang berlangsung > 3 bulan.
2. Penurunan LFG < 60 ml/menit per 1,73 m 2 luas permukaan tubuh (LPT)
selama > 3 bulan dengan atau tanpa kerusakan ginjal.

LFG < 60 ml/menit per 1,73 m2 ini setara dengan kadar kreatinin serum > 1,5 mg
% pada pria dan > 1,3 mg% pada wanita.

TES LABORATORIUM INFEKSI SALURAN KEMIH

Gambar 3. Letak ureter (saluran kemih)

Infeksi saluran kemih (ISK) / Urinary Tractus Infection (UTI)


ISK ditandai dengan adanya polakisuria, nyeri supra pubik, kadang-
kadang demam (demam sub febril), hematuria mikroskopik, lekosituria
mikroskopik. Urinalisis merupakan tes skrining untuk mengetahui adanya ISK .
ISK bagian atas atau Upper UTI dikenal sebagai pielonefritis, sedangkan
Lower UTI atau ISK bagian bawah adalah cystitis. Bila dari hasil urinalisis
didapatkan tes nitrit positip, sebagai tes lanjutan adalah kultur urin untuk melihat
kuman penyebab . ( lihat algoritme).

13
URINALISIS

Urinalisis atau analisis urin adalah salah satu tes laboratorium yang tertua
dan sudah diketahui sejak zaman Hipocrates. Urinalisis merupakan tes awal
yang penting untuk dugaan adanya kerusakan ginjal. Analisis urin terdiri atas tes
makroskopik, mikroskopik dan kimia urin.
Tes kimia urin dapat dilakukan secara kering dengan memakai reagen
strip dan dapat pula dilakukan dengan reagen basah. Dengan memakai reagen
strip ( dipstik / carik celup ) , ini sangat mudah, cepat dengan sensitivitas dan
spesifisitas yang cukup tinggi. Reagen strip berupa selembar plastik kaku
dimana salah satu sisinya ( area tes ) terdapat bahan penyerap berupa sellulosa
yang mengandung reagen – reagen spesifik terhadap salah satu zat yang
mungkin terdapat pada urin. Penilaian secara semikuantitatif dilakukan dengan
melihat skala warna pada area tes yang kemudian dibaca dengan alat automatik
berupa fotometer reflektans. Sampel urin yang dipakai sebaiknya urin pagi segar
tanpa pengawet dan tidak perlu disentrifus sebelum dites.

Gbr 4. Tes dipstik / carik celup urinalisis

Parameter yang dapat diketahui pada tes strip bervariasi, ada yang dapat
menentukan 3, 5, 10 parameter. Saat ini telah ada 11 parameter. Parameter
tersebut adalah : berat jenis (BJ), pH, Lekosit, Nitrit, Protein, Glukosa, Keton,
Urobilinogen, Bilirubin, Hemoglobin , Vitamin C.
Ada 3 hal yang perlu diperhatikan dalam tes carik celup :
1. Penanganan carik celup
2. Teknik penggunaaan
3. Pemantapan kualitas

PENANGANAN CARIK CELUP

Penanganan carik celup meliputi : pengering (ada dalam tabung), penyimpanan


pada tempat yang sejuk (jangan di lemari es), perhatikan tanggal kadaluarsa

14
pada tabung strip carik celup, strip tahan 6 bulan setelah tabung dibuka, jangan
dipakai bila pita carik celup telah berubah.

TEKNIK PENGGUNAAN

Dalam teknik penggunaan :


 Harus memahami faktor yang mempengaruhi hasil
 Mengerti prinsip pemeriksaan kimia urin
 Mengetahui korelasi antara uji kimia urin dengan
pemeriksan fisik dan mikroskopik
Cara penggunaan :
 Urin dicampur dengan baik
 Carik celup dimasukkan ke dalam urin secara lengkap
 Tiriskan, letakkan pada selembar tissue
 Membaca hasil dalam ruang yang terang,
membandingkan dengan standar atau menggunakan alat
semiotomatik/otomatik
 Lakukan konfirmasi tes bila diperlukan

Gambar 5. Prosedur tes carik celup urin

PEMANTAPAN KUALITAS
 Gunakan bahan kontrol positif dan negatif tiap ganti shift
 Larutkan bahan kontrol sesuai petunjuk
 Gunakan kontrol positif dan negatif setiap menggunakan reagens baru
atau reagens yang baru dibuka.
 Catat hasil kontrol dalam chart dengan menuliskan nomor lot reagens.

1. Berat Jenis

15
Menunjukkan konsentrasi ion pada urin. Jika terdapat kation pada urin
maka proton akan dibebaskan oleh complexing agent dan menyebabkan
perubahan warna pada indikator. Area tes mengandung indikator
bromthymolblue yang akan memproduksi perubahan warna sesuai dengan
peningkatan BJ dari biru, biru-hijau, sampai kuning.
Nilai rujukan : 1,010 – 1,020

Pengukuran BJ selain menggunakan carik celup dengan prinsip polielektrolit


(seperti yang disebutkan diatas), penentuannya juga dapat menggunakan
refraktormeter dan urinometer.

Pengukuran BJ urin dengan carik celup :


 Tidak mengukur total solut dalam urin
 Mengukur solut dalam bentuk ion sehingga dapat menilai fungsi pemekat
dan sekresi ginjal

Pengukuran BJ urin dengan refraktometer, dipengaruhi oleh :


 Panjang gelombang yang dipakai
 Suhu urin
 Konsentrasi zat terlarut

Pengukuran BJ urin dengan urinometer :


 Memerlukan volume urin yang banyak
 Urinometer dikalibrasi tiap hari
 Dipengaruhi oleh suhu ruangan (  30C BJ +1)
 Pembacaan sulit dilakukan

KALIBRASI PARAMETER BERAT JENIS :


 Air suling
 NaCl 5%  BJ : 1,022 ± 0,001
 Sukrosa 9%  BJ : 1,034 ± 0,001

2. pH

pH urin : mengukur konsentrasi ion H dan tidak dipengaruhi oleh zat lain.

Area tes mengandung indiktor methyl red, phenolphthalein dan bromthymolblue.


Perubahan warna dari jingga, hijau sampai biru tua dengan peningkatan pH

16
dibandingkan dengan skala warna yang tersedia. Pada umumnya urin segar
mempunyai pH antara 5 - 6
Nilai rujukan : pH 4,5-8,0

3. Lekosit / esterase

Esterase ada dalam granula azurofil netrofil, eosinofil, basofil, monosit dan
makrofag. Tidak bereaksi dengan limfosit. Sebagai penanda inflamasi karena
dapat mendeteksi sejumlah lekosit.

Area tes mengandung indoksil ester dan garam diazo. Adanya granulosit
esterase yang berasal dari netrofil pada urin akan memecahkan indoksil ester
menjadi indoksil yang kemudian bereaksi dengan garam diazo membentuk
warna ungu. Tinggi rendahnya intensitas warna ungu yang terbentuk
menunjukkan banyaknya lekosit pada urin.
Nilai rujukan : negatif

Hasil positif palsu dipengaruhi oleh urin berwarna yang mengandung


phenazopyridine atau ada kontaminasi dengan sekret vagina. Negatif palsu bila
kadar glukosa  3 g/dL, protein  500 mg/dL, BJ tinggi, zat oksidator(sabun,
detergent),obat gentamisin dan sephalosporine dan limfosit.

4. Protein (albumin)

Area tes mengandung buffer sitrat, protein absorban serta indikator tetra-
bromfenolblue. Pada pH 3 indikatornya berwarna kuning (untuk urin normal)
yang akan berubah menjadi kuning hijau sampai biru dengan peningkatan kadar
protein pada urin.
Nilai rujukan : negatif

Tes ini hanya sensitif untuk albumin. Albumin dengan berat molekul rendah
melewati glomerulus dan reabsorbsi di tubuli. Pada tes carik celup ini, tidak
mengukur protein lain seperti : hemoglobin, mioglobin dan protein Bence Jones

Dapat memberikan hasil positif palsu pada keadaan : pH urin alkali akibat
pemakaian obat, pengawet urin.. Negatif palsu pada keadaaan penderita
memakai obat yang memberikan warna urin(phenazopyridine), beet.

17
Gambar 6. Penilaian proteinuria

5. Nitrit

Prinsip dasarnya adalah Griess’s test yang mendeteksi nitrit dalam urin yang
secara tidak langsung merupakan indikator adanya pembentukan nitrit. Bakteri
penyebab infeksi saluran kemih umumnya mengubah nitrat menjadi nitrit.
Area tes mengandung senyawa aromatik amin dan zat kromogen yang bereaksi
dengan nitrit membentuk warna merah.
Nilai rujukan : negatif

Mendeteksi adanya gugus nitrit dan sebagai tes saring adanya bakteriuria.
Faktor yang mempengaruhi tes nitrit : jenis mikroorganisme, faktor diet, retensi
urin dalam kandung kemih, penundaan pemeriksaan dan penggunaan
antibiotika.

Hasil positif palsu bila ada phenazopyridine yang dapat memberikan warna pada
urin, proliferasi bakteri urin. Negatif palsu bila vitamin C ≥ 25 mg/dL, adanya zat
yang menghambat pembentukan nitrit( antibiotika) dan bakteriuria berat (karena
nitrit akan direduksi lagi menjadi nitrogen).

6. Glukosa

Area tes mengandung enzim buffer yaitu glukosa oksidase dan glukosa
peroksidase serta zat kromogen o-tolidine atau iodida yang memberikan
perubahan warna jika terdapat glukosa dalam urin. Jika zat kromogennya
adalah 0-tolidine, perubahan warna menjadi biru, sedangkan jika zat
kromogennya iodida warna menjadi coklat dengan adanya glukosuria.
Nilai rujukan : negatif

18
Gambar 7 . penilaian glukosa urin

Glukosa difiltrasi oleh glomeruli dan reabsorbsi kembali di tubuli. Hasil positif
palsu dipengaruhi oleh zat yang bersifat oksidator atau kontaminasi dengan
peroksida. Negatif palsu dipengaruhi oleh : vitamin C ≥ 50 mg/dL, aspirin,
levodopa. Juga bila sudah terjadi glikolisis (penundaan spesimen). Ketonuria
berat mengganggu glukose oksidase.

7. Keton

Benda-benda keton dalam urin berupa aseton (2%), asam asetoasetat (20%)
dan asam  hidroksi butirat (78%). Karena benda keton mudah menguap maka
untuk tes harus memakai urin segar.

Area tes mengandung buffer natrium nitroprussida dan glisin. Natrium


nitroprussida pada medium alkali bereaksi dengan aseton dan asam asetoasetat.
Tinggi rendahnya intensitas warna ungu yang terbentuk menggambarkan kadar
ketonuria.
Nilai rujukan : negatif

Gambar 8. Penilaian ketonuria

Hasil positif palsu dipengaruhi oleh adanya senyawa freesulfhydryl (catopril, N-


acetylcysteine), mengandung metabolit levodopa, urin yang berwarna, Negatif
palsu bila penyimpanan tidak baik,(oleh karena benda keton mudah dirusak oleh
bakteri) , dapat juga disebabkan karena adanya penguapan.

8. Urobilinogen

19
Area tes mengandung buffer paradimetilaminobenzaldehid yang memberikan
warna merah muda jika terdapat urobilinogen dalam urin, atau dapat juga garam
diazonium yang memberikan warna merah.
Nilai rujukan : negatif atau < 1 mg/dl.

Gambar 9. Penilaian Urobilinogenuria

Mendeteksi urobilinogen dengan kadar 0,2-1 mg/dL tergantung reagen yang


dipakai. Tidak dapat mendeteksi urobilinogen yang negatif. Positif palsu
dipengaruhi oleh obat golongan sulphonamide, para amino salycilacid. Obat
/makanan yang mewarnai urin (phenazopyridine, beet). Negatif palsu
dipengaruhi oleh penundaan / penyimpanan spesimen yang tidak baik.

9. Bilirubin

Senyawa diazo bersama buffer asam pada area tes bereaksi dengan bilirubin
dalam urin sehingga memberikan perubahan warna, tergantung pada jenis
senyawa diazo yang dipakai. Jika menggunakan diazotized 2,4-dichloroaniline
perubahan warna dari kuning sampai jingga – coklat.
Nilai rujukan : negatif

Mendeteksi bilirubin direk 0,4-0,8 mg/dL, tergantung jenis reagen yang dipakai.
Memberikan hasil positif palsu bila urin berwarna (phenazopyridine). Negatif
palsu , dipengaruhi oleh : vitamin C ≥ 25 mg/dL, kadar nitrit yang tinggi,
penundaan spesimen karena telah terjadi oksidasi atau hidrolisis.

Tabel 4. Proses oksidasi dan hidrolisis bilirubin

20
Bilirubin urin
Glukuronida – BILIRUBIN – glukuronida  larut dan reaktif

Didiamkan – hidrolisis
Glukurinida +glukuronida +BILIRUBIN BEBAS  tak larut dan kurang reaktif

Didiamkan – oksidasi
Glukuronida +glukuronida + BILIVERDIN  hijau dan tak reaktif

10. Hemoglobin
Area tes mengandung tetrametilbenzidin atau ortho-tolidin. Zat tes bersama
dengan hemoglobin yang berfungsi sebagai peroksida organik akan membentuk
warna hijau sampai biru tua.
Nilai rujukan : negatif.

Positif palsu : dipengaruhi oleh zat oksidatif kuat (sabun, detergent), peroksidase
bakteri. Negatif palsu bila ada vitamin C ≥ 5 mg/dL, obat (catopril), berat jenis
tinggi.

11. Vitamin C
Area tes mengandung reagen Tillmann. Adanya vit. C menyebabkan perubahan
warna dari biru-hijau ke orange.

PENGARUH VITAMIN C TERHADAP KIMIA URIN


Tabel 5. Pengaruh vit C pada parameter kimia urin
Tes Kadar vit C
yang dipengaruhi yang diperlukan Bereaksi dengan
Darah ≥ 9 mg/dL H2O2 pada carik celup
Bilirubin ≥ 25 mg/dL Garam diazonium pada carik
celup
Nitrit ≥ 25 mg/dL Garam diazonium pada carik
celup
Glukosa ≥ 50 mg/dL H2O2 yg diproduksi pada
reaksi pertama
Esterase ? Garam diazonium pada carik
celup
Urobilinogen ? Garam diazonium pada carik
celup
Bila menggunakan carik celup yang mengandung vitamin C, perlu
memperhatikan beberapa kelemahan seperti :

21
- Tes bilirubin, nitrit, glukosa, darah, esterase, urobilinogen, akan
tetap memberikan hasil negatif palsu, walaupun dapat diketahui
adanya vitamin C dalam urin
- Sedimen eritrosit yang positif memberikan hasil darah samar
negatif palsu
- Dapat menghambat reaksi reduksi kuat dari vitamin C antara lain
: menambahkan senyawa yang bersifat oksidator pada carik
celup seperti iodate scavenger pad

INTERPRETASI
Lihat algoritme
1.

Tes nitrit, lekosituria, bakteriuria

Biakan urin

Jenis bakteri
Jumlah koloni bakteri / ml urin

100.000/ml 10.000 – 100.000 / ml < 10.000 / ml

Infeksi Kemungkinan infeksi Kontaminasi

Tes resistensi
Tes ulang

2.
Urinalisis lengkap
22
Piuria hematuria proteinuria
Nitrit (+) albuminuria

Pielonefritis kolik ginjal

Biakan urin dan resistensi (+) (-)

(+) Batu ginjal ASTO


Komplemen (C3 dan C4)
Terapi Biakan usapan tenggorok

(+) (-)

GNA Biakan BTA urin

(+) (-)

TBC ginjal Batu ginjal


3.
Proteinuria (albuminuria)

Massif

Oval fat bodies (+)


Kolesterol
Albumin serum

Sindroma nefrotik

23
4. Berat jenis
Oligouria
Ureum,kreatinin,asam urat

Gagal ginjal

Anamnesis

Akut kronik
Kekurangan volume plasma : GNK
Perdarahan Nefropati diabetika
Luka bakar Nefritis intersitial
Syok Hipertensi renal
Keracunan : CCl4, etilen glikol Penyakit kolagen, SLE
Obstruksi saluran kemih Penyakit ginjal obstruktif
GNA Nefropati toksik
Sindroma nefrotik

----- fm -----

Daftar bacaan :

24
1. Beck L.H, Aging Changes in Renal Fuction in Hazzard WR et al, Principles of
Geriatric Medicine an Gerontology, Fourth Ed, International Edition, The MC
Graw-Hill Co, New York, 1999, 767- 8
2. Corbett, J.V, Renal Function Test in Laboratory Test and Diagnositic
Procedures with Nursing Diagnoses 6 th, Pearson Precentice Hall, New
Yersey, 2004, 86-103
3. Fisbach F.T, A Manual of Laboratory & Diagnostic Test, 5 th Ed, Lippincott,
Philadelphia, 1996,237-239, 355-356
4. Gandasoebrata R, Penuntun Laboratorium Klinik, Cetakan ke-9, Dian Rakyat,
Jakarta, 1999,128-131
5. Gantini L, Pemeriksaan Laboratorium untuk Diagnosis dan Pemantauan
Fungsi Ginjal dalam Forum Diagnosticum No.6 Laboratorium Klinik Prodia,
Bandung, 2001: 12-18.
6. 6. Grey V and Susan T, Assesment of Glomerular Filtration Rate,
Departement of Buiochemisry, Montreal Children’s Hospital First Published in
CSCC News, 1999, volume 41(1), 1-2. http://www.cscc.ca/pfg gfr.shtml.
7. Hardjoeno dkk, Interpretasi Hasil Tes Laboratorioum Diagnostik Bagian Dari
Standar Pelayanan Medik, Lephas, Makassar, 2006,137
8. Jaffe MS and MC Van BF, Davis Laboratory and Diagnostic Test Handbook,
FA Davis Co, Philadelphia, 1997, 350 - 5.
9. Jones GRD, Lim EM, The National Kidney Foundation Guideline on
Estimation of Glomerular Filtration Rate in The Clinical Biochemisry Reviews,
The Australian Association oc Clinical Biochemist, Perth, vol 24(3), august
2003, 95-97
10. Kaniawati M dan Lies Gantini , Cystatin C Serum sebagai Penanda
Glomerular Filtratipon Rate dalam Informasi Laboratorium No3, Prodia, 2002,
5-7.
11. Bakri S : Deteksi Dini dan Upaya-Upaya Pencegahan Progresifitas Penyakit
Ginjal Kronik dalam Jurnal Medika Nusantara, Makassar, 2005, 36-40
12. www.kidneyfoundation/Kdoqi.gov. National Kidney Fondation, Clinical
Practice Guidelines for Chronic Kidney Disease Evaluation, Classification and
Stratification : part 5, In Evaluation of laboratory Measurment for Clinical
Assesment of Kidney Disease, NKFK/DOQI Guidelines 2002
13. Laterza OF., Price CP., Scott MG., Cystatin C. An Improved Estimator of
Glomerular Filtration Rate?, In Clinical Chemistry, American Association for
Clinical Chemistry Inc., 2002 : 48(5), page : 699-707
14. Postlethwaite RJ ed, Glomerular Filtration Rate, In Clinical Pediatric
Nephrology, Butterworth Heinemann, 1994, 89-98

25
15. Goldmisth DI., Novello AC., Clinical and Laboratory Evaluation of Renal
Function, In Pediatric Kidney Disease, 2nd ed., vol 1st, little Brown and Co,
Boston, 1992 :461-473
16. Hellerstein S., Berenbom M., Alon U et al, The Renal Clearance and Infusion
Clearance of Inulin are Similar but not Identical. In Kidney International,
Blackwell Scientific Publication, vol 44, 1993, 1058-1061
17. Bajaj G., Alexander SR., Browne R et al, 125 Iodine-Iothalamate Cleaance in
Children A Simple Method to Measure Glomerular Filtration ;In Pediatric
Nephrology, spriger, Vol 10(1), Feb 1996, page : 25-28
18. Cole M, Price L, Parry A., Estimating of Glomerular Filtration Rate
InPaediatric Cancer Patients Using 51 Cr-EDTA Population Pharmakokinetics
British Journal of Cancer, vol 90, 2004, 60-64
19. Sukandar E, Sulaiman R, Sindroma Nefrotik dalam Ilmu Penyakit Dalam II,
editor Soeparman, Balai Penerbit FKUI, Jakarta, 1990 :282-305
20. Corey HE., Spitzer a., Renal Blood Flow and Glomerular Filtration Rate
During Development, In Pediatric Kidney Dsease, 2nd ed., Vol 1st, Little Brown
and Co., Boston, 1992 : 49-72
21. Whelton A., Watson AJ., Rock RC., Nitrogen Metabolites and Renal
Function ; In Fundamentals of Clinical Chemistry, 4 th ed, WB Saunders Co,
Phladelphia, 1996, page 569-592
22. Roche Diagnostics : Urea / BUN kit, 2003 : 1-4
23. Wirawan R : Pitfall urinalisis dengan carik celup, Roche Fair, 2008
24. Terry Kotrla, MS, MT (ASCP), Austin Community College Examination of
Urine
25. Manual Reagen Strips Mulitistik 20 SG, Bayer Diagnostic

---fm-unhas-2012---

26

Anda mungkin juga menyukai