Anda di halaman 1dari 325

BAB I

HAKIKAT KURIKULUM PENDIDIKAN ISLAM

A. Pengertian dan Ruang Lingkup Kurikulum

Istilah kurikulum berasal dari bahasa Latin “ curriculum”. Semula berarti

”a running course, or race course, especially a chariot race course.” (Nasution,

1988: 9). Menurut pengertian ini, kurikulum adalah suatu “arena pertandingan “

tempat belajar” bertanding” untuk menguasai suatu pelajaran guna mencapai

“garis finis” berupa diploma, ijazah atau gelar kesarjanaan. (Zais, 1976: 6-7).

Semua halnya dengan istilah lain yang banyak digunakan , pengertian

kurikulum juga mengalami perkembangan dan penafsiran yang beraneka ragam.

Dalam mendefinisikan kurikulum ini, hampir setiap ahli kurikulum

mempunyai rumusan sendiri, kendati pun antara berbagai bahasan kurikulum

tersebut terdapat persamaan.

Definisi kurikulum menurut pandangan lama adalah sejumlah mata

pelajaran tertentu yang harus dikuasai untuk mencapai suatu tingkatan tertentu.

Pandangan ini antara lain dapat ditemukan dalam kamus Webster’s New

International Dictional: “… a specified fixed course of study as in a school or

collage, as one leading to a degree” (Webster’s 1954:648). Senada dengan itu ada

juga yang mengemukakan bahwa kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang

harus ditempuh oleh murid untuk memperoleh ijazah.


Pengertian kurikulum yang diungkapkan di atas kecenderungan

penekanannya adalah pemberian mata pelajaran (subject matter) tertentu kepada

peserta didik.

Pengertian kurikulum seperti ini kurang nenguntungkan peserta didik,

karena hanya membatasi pengelaman peserta didik dalam proses belajar mengajar

di ruang kelas saja. Dengan demikian, penekanannya hanya pada aspek

intelektual, padahal aspek lain masih banyak yang perlu dikembangkan bagi

peserta didik.

Karena merasa pengertian kurikulum seperti yang telah disebutkan

terdahulu kurang menguntungkan peserta didik, maka muncullah pendapat baru

dalam mendefinisikan kurikulum. Pendapat ini, intinya bahwa kurikulum ini tidak

hanya terbatas dalam mata pelajaran yang diajarkan di ruang kelas saja. Tetapi

juga meliputi segala sesuatu yang merupakan program pendidikan yang

disediakan sekolah untuk peserta didik, baik di dalam maupun di luar kelas.

Saylor dan Alexander menjelaskan kurikulum itu adalah : “… the school

curriculum is the total effort of the school to bring about desired outcomes in

school and in out school situation. In short, the curriculum is the school’s

program for leaners.” (Saylor, 1964:4). Definisi ini jelas lebih luas daripada

sekadar meliputi mata pelajaran. Menurut definisi ini, kurikulum adalah segala

usaha sekolah untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Selain itu kurikulum tidak

hanya mengenai situasi di dalam sekolah, akan tetapi juga di luar sekolah.

Definisi lain yang senada dikemukakan oleh Romine Staphen:

“Curriculum is interpreted to mean all of the organized activities and experience

2
which pupils have under the direction of the school, whether in the classroom or

not.” (Staphen, 1954:14).

Selain dari itu ada juga yang mendefinisikan kurikulum itu, dengan

pengertian yang luas, seperti yang diungkapkan oleh Alice Miel dalam bukunya

Changing the Curriculum a social Procces, ia mengungkapkan:“ Bahwa

kurikulum juga meliputi keadaan gedung, suasana sekolah, keinginan, keyakinan,

pengetahuan, dan sikap orang-orang yang meladeni dan diladeni sekolah, yakni

anak didik, masyarakat, para pendidik dan personalia, “ (Miel, 1946:10). Jadi,

menurut ini kurikulum itu meliputi segala pengalaman dan pengaruh yang

bercorak pendidikan yang di peroleh anak di sekolah.

Dari berbagai pendapat mengenai diuraikan terdahulu dapat disimpulkan

bahwa: kurikulum itu adalah kegiatan dan pengalaman pendidikan yang

dirancang, diprogramkan dan diselenggarakan oleh lembaga pendidikan baik di

dalam maupun di luar sekolah dengan maksud untuk mencapai tujuan pendidikan.

Berdasarkan pemahaman itu ada beberapa unsur pokok dari kurikulum:

1. Kegiatan dan pengalaman pendidikan yang dirancang, diprogramkan dan

dilaksanakan di dalam maupun di luar sekolah.

2. Diselenggarakan oleh lembaga pendidikan bagi anak didiknya, baik di

dalam maupun di luar sekolah.

3. Dimaksudkan untuk mencapai tujuan pendidikan.

Kegiatan dan pengalaman belajar itu sendiri dapat berbentuk:

intrakurikuler, kokurikuler, ekstrakurikuler, dan hidden kurikuler.

3
B. Prinsip Umum Dasar Kurikulum Pendidikan Islam

Untuk lebih mendekatkan pengertian kita terhadap kurikulum pendidikan

Islam, uraian berikut ini mengemukakan inti sari tulisan asy-Syaibani:

1. Pertautan yang sempurna dengan agama, termasuk ajaran dan nilai-

nilainya. Setiap yang berkaitan dengan kurikulum, termasuk filsafat,

tujuan, kandungan, metode mengajar, cara pertautan dan hubungan yang

berlaku dalam lembaga pendidikan, harus berdasar pada agama dan akhlak

Islam.

2. Bersifat menyeluruh (universal) pada tujuan dan kandungan kurikulum

3. Keseimbangan antara tujuan dan kandungan kurikulum. Tidak dibenarkan

satu aspek lebih diperhatikan, sedangkan aspek lain ditinggalkan.

4. Berkaitan dengan bakat, minat, kemampuan, dan kebutuhan pelajar, begitu

juga dengan alam sekitar baik fisik maupun sosial di mana para pelajar itu

hidup dan berinteraksi untuk memperoleh pengetahuan.

5. Pemeliharaan perbedaan individual di antara para pelajar dalam hal bakat,

minat, kemampuan, kebutuhan, dan masalahnya.

6. Prinsip perkembangan dan perubahan. Islam menggalakkan perkembangan

yang membangun dan berguna, perubahan yang progresif dan bermanfaat

dan guna menyesuaikan diri dengan perkembangan dan perubahan yang

berlaku dalam kehidupan.

7. Pertautan antara mata pelajaran, pengalaman, dan aktivitas yang

terkandung dalam kurikulum dan kebutuhan murid, kebutuhan

4
masyarakat, tautan zaman dan tempat di mana murid itu berada. (as-

Syaibani 1979: 519-523).

C. Ciri-Ciri Umum Kurikulum Pendidikan Islam

Selanjutnya asy-Syaibani menguraikan cirri-ciri kurikulum pendidikan

Islam, sebagai berikut:

1. Mementingkan tujuan agama dan akhlak dalam berbagai hal, seperti tujuan

dan kandungannya, metode, alat dan tekniknya.

2. Meluasnya perhatian menyeluruhnya kandungan. Memperhatikan

pengembangan dan bimbingan terhadap segala aspek pribadi pelajar dari

segi intelektual, psikologis, sosial, dan spiritual. Begitu juga cakupan

kandungannya termasuk bidang: ilmu-ilmu, tugas, dan kegiatan

pengajaran yang bermacam-macam.

3. Adanya prinsip keseimbangan antara kandungan kurikulum tentang ilmu

dan seni, pengalaman, dan kegiatan pengajaran yang bermacam-macam.

4. Kecenderungan pada seni, aktivitas pendidikan jasmani, latihan militer,

pengetahuan teknik, latihan kejuruan, dan bahasa asing.

5. Perkaitan antara kurikulum pendidikan Islam dan minat, kemampuan,

kebutuhan dan perbedaan perseorangan di kalangan mereka (as-Syaibani,

1979: 489-519).

Menurut Hasan Langgulung, kurikulum pendidikan Islam itu meliputi

ilmu bahasa dan agama, ilmu kealaman (natural), dan sebagian ilmu yang

membantu ilmu-ilmu ini, seperti: sejarah, geografi, sastra, syair, nahwu dan

5
balaghah,filsafat dan logika. Kurikulum pendidikan Islam bersifat fungsional,

tujuannya mengeluarkan atau membantu kaum Muslim, kenal agama dan

Tuhannya, berkahlak al-Qur’an. Dan, juga menghasilkan manusia yang mengenal

kehidupan, sanggup menikmati kehidupan yang mulia, dalam masyarakat bebas

dan mulia, sanggup member dan membina masyarakat itu, mendorong dan

mengembangkan kehidupan melalui pekerjaan tertentu yang dikuasainya.

D. Aspek-Aspek Kurikulum Pendidikan Islam

Untuk merumuskan kurikulum pendidikan Islam diawali dulu

merumuskan tentang tujuan pendidikan Islam. Berdasarkan tujuan pendidikan

Islam yang telah di kemukakan pada bab VI di atas dapatlah dirumuskan sesuai

dengan acuan yang telah diuraikan dalam tujuan pendidikan. Berdasarkan hal

tersebut lahirlah materi pembelajaran yang berkenaan dengan:

1. Aspek ketuhanan dan akhlak

2. Aspek akal dan ilmu pengetahuan

3. Aspek jasmani

4. Aspek kamasyarakatan

5. Aspek kejiwaan

6. Aspek keindahan

7. Aspek keterampilan

Uraian singakat tentang muatan dari materi pembelajaran pada setiap

aspek adalah sebagai berikut

1. Materi Berkenaan dengan Aspek Ketuhanan dan Akhlak

6
Pendidikan Islam bertujuan mengajak manusia untuk mengenal Allah swt.

beriman kepada-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Dengan demikian pendidikan

akidah dan syariahb adalah sebagian yang pokok dalam pendidikan Islam.

Seterusnya uraian tentang materi pokok berkenaan dengan aspek akhlak al-

karimah. Pendidikan Islam bertujuan untuk membina akhlak mulia. Dalam hal ini

erat kaitannya dengan menumbuhkan sifat-sifat terpuji pada diri seseorang dan

mengikis habis sifat-sifat tercela. Selanjutnya pula senantiasa terbiasa melakukan

akhlak yang baik dan menjauhi akhlak tercela. Selanjutnya pula senantiasa

terbiasa melakukan akhlak yang baik dan menjauhi sifat tercela. Erat juga

kaitannya di dalam pembinaan akhlak ini supaya masing-masing individu

mengetahui hak dan kewajibannya dalam hubungannya dengan orang lain. Al-

Abrasyi mengemukakan bahwa pendidikan akhlak itu adalah jiwa pendidikan

Islam.

2. Materi yang Berkenaan dengan Aspek Akal dan Ilmu Pengetahuan

Pendidikan akal bertujuan untuk membentuk peserta didik agar berpikir

ilmiah. Untuk itu terhadap mereka sangat penting dididikkan bermacam-macam

ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan menempati kedudukan yang amat penting

dalam Islam. Islam sangat banyak menganjurkan umatnya lewat al-Qur’an dan

Hadis untuk menuntut ilmu pengetahuan.

Ilmu pengetahuan yang dianjurkan untuk digalakkan dalam Islam itu tidak

hanya ilmu yang berkenaan dengan ketuhanan saja, akan tetapi juga ilmu

berkenaan dengan ilmu-ilmu sosial, humaniora serta ilmu-ilmu kealaman. Ilmu-

ilmu ini dipentingkan bagi manusia dalam rangka mendudukkan fungsinya

7
sebagai khalifah Allah di atas Bumi, sesuai dengan firman Allah swt dalam Q.S

al-Baqarah 2:30. Ilmu-ilmu aqliyah dan ilmu-ilmu naqliyah.

         


        
         
 
Terjemahnya:

Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya


Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang
akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami
senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?"
Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu
ketahui.

3. Materi yang Berkenaan dengan Aspek Pendidikan Jasmani

Islam memandang manusia sebagai makhluk yang terdiri dari unsur

jasmani dan rohani. Oleh karena itu, Islam menganjurkan untuk memelihara

dengan baik kedua unsur tersebut. Unsur jasmani dipelihara sesuai dengan

kebutuhan yang bersifat jasmani, seperti: makan, minum, olahraga, istirahat, dan

pemeliharaan kesehatan. Dirancanglah program dan materi pelajaran pendidikan

jasmani.

4. Materi yang berkenaan dengan Aspek Kemasyarakatan

Manusia adalah makhluk individu dan sekaligus makhluk sosial. Karena

itu pendidikan Islam bertujuan agar manusia memahami kedudukannya sebagai

makhluk individu dan sosial. Dalam hal ini, manusia hendaklah mengenal

hubungannya dengan dirinya sendiri dan hubungannya dengan orang lain. Orang

lain itu, boleh saja keluarga, tetangga ataupun masyarakat luas. Maka susunlah

materi pelajaran berkenaan dengan hal ini.

8
5. Materi yang Berkenaan dengan Aspek Kejiwaan

Inti dari pendidikan kejiwaan itu adalah mendidik supaya peserta didik

memiliki jiwa yang sehat terhindar dari segala gangguan kejiwaan dan terhindar

pula dari berbagai penyakit mental.

Kaitan antara pendidikan dan kesehatan mental ini sangat erat. Banyak

penelitian yang dilakukan terhadap pasien yang menderita gangguan dan penyakit

jiwa, dan terhadap orang-orang yang tidak merasakan kebahagian hidup. Terbukti

bahwa sebab-sebab terbesar terletak pada pendidikan yang diterimanya, terutama

pendidikan waktu kecil.

Yang dimaksud dengan kesehatan jiwa itu adalah kemampuan seseorang

untuk menyesuaikan diri dengan dirinya sendiri yang bertujuan untuk mencapai

integritasdan satuan pribadi, penerimaan terhadap dirinya dan penerimaan orang

lain terhadapnya. Disusunlah materi pelajaran yang berkenaan dengan ini.

6. Materi yang Berkenaan dengabn Aspek Keindahan

Pendidikan ini berusaha menanamkan rasa indah dalam diri manusia yang

akan membawa manusia lebih menghayati kebesaran dan keindahan Allah Maha

Pencipta. Disusunlah materi pelajaran kesenian pada setiap tingakatan jenjang dan

jalur pendidikan.

7. Materi yang Berkenaan dengan Aspek Penciptaan Lapangan Kerja

(Keterampilan)

Manusia hidup membutuhkan beraneka keperluan. Untuk memenuhi

kebetuhannya, manusia mesti bekerja. Supaya seseorang terampil dalam bekerja,

maka dia mesti dididik dalam pekerjaan tersebut.

9
Dengan demikian lembaga pendidikan Islam seharusnya merancang jenis-

jenis pendidikan yang bersifat vokasional. Disusunlah materi pelajaran yang

berkenaan dengan pendidikan keterampilan.

Prinsip pokok materi membutuhkan karakter pendidikan Islam adalah

menjadi muatan dalam kurikulum pendidikan Islam. Kurikulum pendidikan Islam

disusun supaya dapat mencapai tujuan pendidikan Islam. Bila sesuatu tujuan

pendidikan telah diketahui, maka upaya berikutnya ialah merumuskan dengan apa

dicapai tujuan tersebut. Jalan yang ditempuh untuk mencapai tujuan pendidikan

itu ialah melalui kurikulum.

Langkah awal yang dilaksanakan untuk menyusun kurikulum terlebih

dahulu ditetapkan tujuan pendidikan yang ingin dicapai. Dasar pikiran yang

seperti ini telah digunakan oleh” Konferensi Dunia kedua tentang pendidikan

Islam”. Konferensi itu telah menghasilkan ketetapan mengenai konsep kurikulum

Islam.

E. Kurikulum Pendidikan Islam Menurut Hasil Konferensi Dunia tentang


Pendidikan Islam

Konferensi dunia tentang pendidikan Islam kedua, yang berlangsung di

Islamabad, Pakistan (1980), tentang kurikulum, mengembangkan, mengemukakan

pembangian ilmu atas dua jenis: perennial knowledge, dan acquired knowledge.

Planning of education to be based on the classification of know ledge into

two categories: (a) perennial “knowledge devided from the Qur’an and

the Sunnah meaning all shari’ah-oriented knowledge relevant and releted

to them, and (b): “Aquired” knowledge susceptible to quantitative growth

and multiplication, limited variation and cross cultural borrowing as long

10
as consistency wich shari’ah as the source of values is maintained (First

Conference on Muslim Education:4)

Atas dasar itu disusunlah subjek pelajaran yang meliputi kedua pembagian

ilmu itu. Ilmu yang tergolong kelompok pertama, yaitu:

1. Al-Qur’an, meliputi: bacaan, hafalan, Sunnah, sejarah hidup Rasulullah

saw., tauhid, ushul fiqh, fiqh, dan Bahasa Arab.

2. Subjek Tambahan: metafisika Islam dalam ekonomi, kehidupan sosial,

perang dan damai.

Ilmu yang tergolong kelompok kedua, yaitu:

1. Imajinatif (seni Islam, Arsitektur, bahasa, dan sastra)

2. Sains intelektual: study social, fisika, pendidikan, ekonomi, ilmu politik,

sejarah, peradaban Islam (termasuk ide-ide Islam dalam ekonomi,

kehidupan sosial, perang dan damai), geografi, sosiologi, linguistik,

psikologi (dengan merujuk kepada al-Qur’an dan Hadis), serta analisa

yang dikemukakan oleh pemikir dan sufi Islam. Antropologi sejauh yang

dapat diambil dari al-Qur’an dan Sunnah

3. Ilmu kealaman : teori filsafat, sains, matematika, statistik, fisika, kimia,

astronomi, ruang angkasa, dan lain-lain.

4. Sains terapan: mekanika, kedokteran, pertanian, ilmu kehutanan, dan lain-

lain.

5. Ilmu praktis: komersial, ilmu administrasi, ilmu komunikasi, dan lain-lain.

Konferensi juga telah berhasil menyusun kurikulum berdasar pada

tingakatan pendidikan, sebagai berikut:

11
1. Tingkat dasar: pada tingkat ini materi pelajaran yang ditanamkan pada

subjek didik ialah:

a. Studi tentang al-Qur’an , mencakup bacaan, qiraah, hafalan, dan

memahami arti surah tertentu melalui bahasa Nasional masing-masing.

b. Dinayat (studi kasus tauhid dan fiqh)

c. Sejarah, terutamat yang berhubungan dengan sejarah Islam.

d. Cerita dan syaie-syair dikhususkan untuk pembentukan akhlak mulia,

seperti: berbuat baik kepada teman, tetangga, dan lainnya, taat kepada

kedua orang tua, hormat kepada Rasul dan orang-orang saleh,

menanamkan kepatuhan kepada Allah swt, rela berkorban untuk tujuan

kebaikan.

e. Geografi

f. Matematika

g. Bahasa Arab

h. Ilmu kealaman dan dasar-dasar sains

2. Tingkat menengah: subjek pelajaran yang diberikan pada tingkat

menengah ini, yaitu:

a. Studi al-Qur’an, meliputi bacaan, qiraah, hafalan, penafsiran

b. Hadis: dipilih hadis yang sesuai dengan perkembangan jiwa

c. Sejarah Islam

d. Bahasa Arab, bahasa nasional, dan satu bahasa Eropa

e. Matematika

f. Ilmu Kealaman

12
g. Geografi

h. Sejarah dan ciivc: sejarah Islam pada masing-masing negara pelejar

dengan tekanan terhadap sumbangan Islam bagi peradaban dan

kebudayaan mereka.

3. Tingkat Uniersitas: kurikulum pada tingkat ketiga ini harus diletakkan atas

dasar tingkat sebelumnya (dasar dan Menengah) dengan tiga tujuan

sebagai berikut.

a. Untuk menanamkan pengertian yang mendalam tentang Islam dan

masyarakat Islam

b. Untuk menanamkan pengetahuan spesialisasi tentang dari salah satu

ilmu pengetahuan yang tergolong perenial knowledge dan acquired

knowledge.

c. Untuk menjamin suatu pertumbuhan yang seimbang bagi pribadi

mahasiswa, melalui mata pelajaran dan cabang ilmu yang bermacam-

macam. Mata pelajaran di dalam pendidikan Islam terdiri dari

1) Dua mata pelajaran yang bersumber dari perenial knowledge, salah

satunya adalah bahasa Arab yang lainnya boleh diambil peradaban

dan kebudayaan Islam atau sejarah pemikiran dan ide-ide Islam.

2) Dua mata pelajaran bersumber dari acquired knowledge, yang

satunya adalah filsafat sains dan pengajaran dalam Islam,

sedangkan yang lainnya: seni Islam dan arsitektur atau salah satu

dari pemikiran berikut ini: pandangan Islam tentang sejarah,

ekonomi, sosiologi.

13
Hasil konferensi dunia kedua tentang pendidikan Islam, telah memperinci

subjek pelajaran yang diajarkan pada tingkat dasar, menengah dan universitas.

Penyusunan subjek mata pelajaran ini bertolak dari ilmu-ilmu abadi (perenial

knowledge dan ilmu-ilmu perolehan acquired knowledge). Dengan demikian

penyusunan mata pelajaran ini baru menekankan kepada subjek pengembangan

ilmu pengetahuan. Dalam penyusunan ini telah terlihat bahwa aspek ilmu yang

dikembangkan tidak tertumpu pada satu bagian ilmu saja, tetapi telah berupaya

untuk menyeimbangkan antara dua jenis ilmu itu. Keseimbangan antara dua jenis

ilmu itu sejalan denga konsep kuirkulum pendidikan.

Al-Attas berpendapat, kurikulum diambil dari hakikat manusia yang

bersifat ganda (dual nature), aspek fisikalnya yang berhubungan dengan

pengetahuan yang mengenai fisikal, dan teknikal, atau fard kifayah; sedangkan

keadaan spritualnya sebagaimana terkandung dalam istilah roh, nafs, qalb,dan aql

lebih tepatnya berhubungan dengan ilmu inti atau fardhu ‘ain. (Wan Daud,

1983:274)

Struktur kurikulum tersebut menurut al-Attas berdasarkan kepada

pengembangan ilmu. Ilmu itu dibagi kepada dua bagian yaitu ilmu fard ‘ain dan

fard kifayah. Ilmu yang tergolong fard ‘ain adalah ilmu-ilmu agama yaitu : Al-

Qur’an, Sunnah, syariat, teologi, metafisika Islam (al-tasawuf-‘irfan), ilmu

bahasa: Bahasa Arab tata bahasanya, leksikografi, dan sastra. Adapun fardu

kifayah, tidak diwajibkan setiap muslim untuk mempelajarinya, tetapi seluruh

masyarakat Muslim akan bertanggung jawab jika tidak ada seorang pun dari

masyarakat tersebut yang mempelejarinya, karena masyarakat akan merasakan

14
akibatnya ilmu fard kifayah itu adalah : ilmu kemanusian, ilmu alam, ilmu

terapan, ilmu teknologi, perbandingan agama, kebudayaan Barat, ilmu luingistik:

bahasa Islam, dan sejarah Islam. (Wan Daud, 1983 : 282).

Al-Attas sesungguhnya tidak hanya membatasinya pada delapan disiplin

ilmu di atas. Hal ini dapat dipahami bahwa pengetahuan itu sendiri sebagai sifat

Tuhan yang tidak terbatas. Jika ilmu fard ‘ain itu berkembang dan dinamis maka

begitu juga ilmu fard kifayah yang juga akan berkembang sesuai dengan

keperluan dan program masyarakat tertentu. (Wan Daud, 1983: 282).

F. Implikasi Kurikulum Pendidikan Islam dalam Pendidikan

Kurikulum adalah elemen pokok dari pendidikan, dan merupakan jalan

raya yang harus ditempuh untuk mencapai tujuan pendidikan. Bagaimanakah

mencapai tujuan pendidikan yang dikehendaki, maka perlulah kurikulum disusun

untuk itu. Dengan kurikulum tersebut akan di raih tujuan pendidikan dan akan

dibentuk tipe manusia yang dicita-citakan.

Supaya kurikulum ini merupakan alat utama untuk membentuk manusia

yang dicita-citakan atau gambaran sosok manusia yang ingin dibentuk, maka

kurikulum haruslah dilaksanakan secara menyeluuh dan komprehensif.

Pembagian kurikulum kepada em;pat jenis (intrakurikuler, kokurikuler,

ekstrakurikuler, dan hidden kurikuler), harus dilaksanakan secara terpadu dan

integrated, tidak secara parsial dan terpisah-pisah. Selanjutnya pula berbagai

aspek kurikulum pendidikan Islam yang tujuh jenis (berkenaan dengan aspek

Ketuhanan dan akhlak, aspek akal dan ilmu pengetahuan, aspek jasmani, aspek

kemasyarakatan, aspek keindahan, dan aspek keterampilan.

15
Asy-Syaibani, mengomentari pentingnya kurikulum, mengatakan bahwa

kurikulum pendidikan sebagai alat untuk mendidik generasi muda dengan baik

dan menolong mereka untuk membuka dan mengembangkan kesenian, bakat,

kekuatan, dan keterampilan mereka yang bermacam-macam dan menyiapkan

mereka dengan baik untuk menjalankan hak-hak dan kewajiban, memikul

tanggung jawab terhadap diri, keluarga dan masyarakat, bangsa dan Negara (Asy-

Syaibani, 1975:476).

16
BAB II

KONSEP DASAR PERENCANAAN PEMBELAJARAN

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

Perencanaan merupakan penyusunan langkah-langkah kegiatan yang akan

dilaksanakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Suatu perencanaan

dapat disusun berdasarkan jangka waktu tertentu yaitu jangka panjang, jangkah

menengah dan jangka pendek, menurut luas jangkuannya itu perencanaan makro

dan perencanaan mikro, perencanaan menurut wewenang pembuatnya yaitu

sentralisasi dan desentralisasi dan menurut telaahnya yaitu perencanaan strategis,

perencanaan manjerial dan perencanaan opersional. Dalam membuat suatu prinsip

yang paling utama adalah harus dapat dilaksanakan dengan mudah dan tepat

sasaran.

A. Pengertian Perencanaan Pembelajaran

Menurut Ulbert Sialalahi: perencanaan merupakan kegiatan menetapkan

tujuan serta merumuskan dan mengatur pendayagunaan manusia, informasi,

finansial, metode dan waktu untuk memaksimalkan efisiensi dan efektivitas

pencapaian tujuan.1

Sedangkan menurut William H. Newman dalam Abdul Madjid

mengemukakan bahwa “ Perencanaan adalah menentukan apa yang akan

dilakukan. Perencanaan mengandung rangkaian-rangkaian putusan yang luas dan

penjelasan-penjelasan dari tujuan, penentuan kebijakan, penentuan program,

1
Ulbert Sialalahi, Asas-asas Manajemen, (Bandung : Mandar Maju 1992) , h. 135-136.

17
penentuan metode-metode dan prosedur tertentu dan penentuan kegiatan

berdasarkan jadwal sehari-hari.2

Dari pengertian di atas perencanaan dapat diartikan kegiatan menentukan

tujuan serta merumuskan serta mengatur pendayagunaan sumber-sumber daya;

informasi, finansial, metode dan waktu yang didikuti dengan pengambilan

keputusan serta penjelasannya tentang pencapaian tujuan, penentuan kebijakan,

penentuan program, penentuan metode-metode dan prosedur tertentu dan

perencanaan jadwal pelaksanaan kegiatan.

Secara lebih luas perencanaan oleh Bintoro Tjokoroadmidjodjo

didefinisikan sebagai berikut:

1. Perencanaan dalam arti seluas-luasnya tidak lain adalah suatu proses

mempersiapkan secara sistematis kegiatan-kegiatan yang akan di

laksanakan untuk mencapai suatu tujuan.

2. Perencanaan adalah suatu cara bagaimana mancapai tujuan sebaik-baiknya

(maximum ouput) dengan sumber-sumber yang ada supaya lebih efisien

dan efektif.

3. Perencanaan adalah penentuan tujuan yang akan dicapai atau yang akan di

lakukan, bagaimana, bilamana, dan oleh siapa.3

Hal yang hampir sama mengenai pengertian perencanaan dikemukan oleh

lembaga Administrasi Negara sebagai berikut:

2
Abdul Madjid, Perencanaan Pembelajaran: Mengembangkan Standar Kompetensi
Guru, (Bandung : Remaja Rosdakarya), h. 16.

3
Bintoro Tjokroamidjodjo, Perencanaan Pengembangan, (Jakarta: Gunung Agung,
1982), h. 12.

18
1. Perencanaan dalam arti seluas-luasnya tidak lain adalah suatu proses

mempersiapkan secara sistematis kegiatan-kegiatan yang akan dilakukan

untuk mencapai sutau tujuan tertentu.

2. Perencanaan adalah proses penentuan tujuan, penentuan kegiatan, dan

penentuan aparat pelaksana kegiatan untuk mencapai tujuan.

3. Perencanaan adalah usaha yang diorganisasikan dengan dasar perhitungan

untuk memajukan perkembangan tertentu

Dari dua pengertian di atas dalam suatu perencanaan terdapat 5 hal pokok sebagai

berikut:

1. Adanya tujuan yang hendak dicapai dari sesuatu yang direncanakan.

2. Adanya rangakaian kegiatan yang tersusun sitematis untuk mencapai

tujuan

3. Sumber daya manusia akan melaksanakan rencana yang disusun untuk

mencapai tujuan.

4. Penetapan jangka waktu ke dalam program yang kongkrit dan nyata serta

mudah di aplikasikan.

Sedangkan pengajaran secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu

proses yang dilakukan oleh para guru dalam membimbing, membantu, dan

mengarahkan peserta didik untuk memilih pengalaman belajar. Dalam proses

pengajaran terjadi interaksi belajar mengajar antara komponen-komponen

pengajaran khususnya antara guru dan siswa, antara siswa dengan siswa dan

antara guru dan siswa dengan komponen-komponen pengajaran lainnya. Dengan

19
kata lain, pengajaran adalah suatu cara bagaimana memberikan pengalaman

belajar serta keterampilan kecakapan hidup bagi peserta didik.

Perencanaan pengajaran menurut Comb dalam Harjanto didefinisikan

sebagai berikut: Perencanaan pembelajaran dalam arti yang luas adalah suatu

penerapan yang rasional dari analisis sistematis proses perkembangan pendidikan

dengan tujuan agar pendidikan itu lebih efektif dan efisien sesuai dengan tuntutan

kebutuhan dan tujuan para murid dan masyarakat.4

Sedangkan menurut Abdul Madjid: Dalam konteks pembelajaran,

perencanaan dapat diartikan sebagai proses penyusunan materi pelajaran,

pengguna media pembelajaran, penggunaan pendekatan dan metode

pembelajaran, dan penilaian dalam suatu alokasi waktu yang akan dilaksanakan

pada masa tertentu untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan.5

Dari pengertian-pengertian di atas maka yang dimaksud dengan

perencanaan pembelajaran adalah: suatu proses sitematis dilakukan oleh guru

dalam membimbing, membantu, dan mengarahkan peserta didik untuk memiliki

pengalaman belajar serta mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan

dengan langkah-langkah penyusunan materi pembelajaran, penggunaan media

pembelajaran, penggunaan pendekatan dan metode pembelajaran, dan penilaian

dalam sutau alokasi waktu yang akan dilaksanakan pada masa tertentu.

4
Harjanto, Perencanaan Pengajaran, (Jakarta: Rineka Cipta, 2000), h. 6.

5
Abdul Madjid, op.cit. h, 17.

20
Menurut Abdul Madjid konsep perencanaan pembelajaran dapat dilihat

dari berbagai sudut pandang, yaitu: sebagai teknologi, sebagai sebuah disiplin,

sebagai ilmu, sebagai proses dan sebagai realitas.6

Perencanaan pembelajaran sebagai teknologi, dalam perencanaan

pembelajaran dilakukan dengan menggunakan teknik-teknik serta pengguna

teknologi yang dapat mengembangkan tingkah laku kognitif dan teori-teori

konstruktif yang dapat memberi solusi terhadap problem-problem pengajaran

yang timbul dalam dunia pendidikan.

Perencanan pembelajaran sebagai suatu cara dalam menyusun

perencanaan pengajaran diterapkan strategi, model, pendekatan, metode, media,

alat serta sumber-sumber dan prosedur-prosedur yang dapat digunakan dalam

menggerakkan pembelajaran.

Perencanaan pembelajaran sebagai sebuah disiplin, perencanaan

pembelajaran merupakan cabang dari pengetahuan yang senantiasa

memperhatikan hasil-hasil penelitian di bidang pendidikan dan pembelajaran dan

teori-teori yang berkembang serta strategi pembelajaran yang dikembangkan dan

diimplementasikan dalam perencanaan dan pelaksanaan pengajaran.

Perencanaan pembelajaran sebagai sains (science), perencanaan

pembelajaran merupakan kegiatan mengkreasi secara detail spesifikasi dari

pengembangan, implementasi, evaluasi, dan pemeliharaan akan situasi maupun

fasilitas pembelajaran terhadap unit-unit yang luas maupun yang lebih sempit

dari standar kompetensi dasar serta materi pokok pelajaran yang telah ditetapkan

dengan segala tingkatan kompleksitasnya.


6
Ibid, h, 17-18

21
Perencanaan pembelajaran sebagai sebuah proses, merupakan cara

pengembangan pengajaran yang dilakukan secara sistematik yang didasarkan

teori-teori pembelajaran dan pengajaran yag diawali dengan analisis kebutuhan

proses belajar, kegiatan belajar mengajar sampai evaluasi terhadap materi

pelajaran dan aktivitas-aktivitas pengajaran yang dilakukan guru.

Perencanaan pembelajaran sebagai sebuah realitas, bahwa pengembangan

perencanaan pembelajaran dengan melihat kenyataan kegiatan pembelajaran dari

waktu ke waktu dalam suatu proses yang dilaksanakan secara terencana dan

cermat serta sistematis berdasarkan tuntutan perkembangan sains dan teknologi.

Dengan demikian penyusunan program pembelajaran harus

memperhatikan sudut pandang sebagai sebuah proses, disiplin ilmu pengetahuan,

realitas, sistem dan teknologi. Agar tujuan kegiatan pembelajaran dalam

pelaksanaannya berjalan dengan efektif dan efisien. Karenanya, kurikulum dan

silabus mata pelajaran harus dijadikan acuan utama dalam penyusunan

perencanaan program pembelajaran mulai dari analisis terhadap standar

kompetensi, kompetensi dasar, dan materi pokok, sampai kepada rencana

pemberian pengalaman balajar dan kecakapan hidup, indikator, dan hasil belajar

yang akan dicapai. Dengan memperhatikan kondisi sekolah/madrasah dan

lingkungan sekitar, serta kondisi siswa dan guru.

B. Masalah-Masalah Pokok dalam Perencanaan Pembelajaran

22
Dalam menyusun suatu perencanaan pengajaran terdapat beberapa

permasalahan pokok yang harus diperhatikan dan dicarikan solusi pemecahannya

yaitu: arah atau tujuan, evaluasi, isi dan urutan materi pelajaran, metode dan

hambatan-hambatan.7

1. Masalah Arah atau Tujuan

Permasalahan yang sering muncul dalam perencanaan pembelajaran

adalah masalah arah atau tujuan pengajaran. Masalah yang sering terjadi dalam

penentuan arah atau tujuan pengajaran adalah : rumusan masalah yang dibuat oleh

guru terlalu luas dan tidak operasional, sehingga sulit diukur dan diobservasi yang

berakibat tujuan pengajaran tidak dipahami oleh siswa. Karena tidak dipahami

oleh siswa, siswa lebih banyak mencoba menduga-duga tujuan yang hendak

dicapai dalam pengajaran.

2. Masalah Evaluasi

Dalam pelaksanaan evaluasi juga serinh muncul permasahan.

Permasalahan yang muncul dalam evaluasi berkisara antara lain: prosedur

evaluasi tidak dikenal oleh siswa yang berakibat evaluasi yang dilaksanakan tidak

adil, dan memuaskan para siswa. permasalahan lain adalah rumusan instrumen

penilaian tidak jelas, memiliki banyak makna sehingga mengaburkan alternatif

jawaban yang seharusnya dijawab. Permasalahan lainnya adalah alat penilaian

dibuat secara sembarang kurang atau tidak memenuhi syarat validitas, serta

tingkat reliabilitas yang rendah. Masalah lain berkaitan dengan evaluasi adalah

bahwa instrumen evaluasi yang dibuat sebaran tingkat kesukaran khususnya

instrumen penilaian dalam bentuk tes kurang merata, dan tingkat daya pembeda
7
Oemar Hamalik, Opcit, h. 15-16

23
soal yang kurang baik yaitu tidak dapat membedakan mana siswa yang pintar dan

mana yang kurang pintar.

3. Masalah Isi dan Urutan Materi Pelajaran

Masalah yang berkaitan dengan urutan materi pembelajaran adalah:

bagaimana memilah-milah mana materi pelajaran yang harus didahulukan

penyajiannya secara runtun, logis dan sistematis. Masalah lainnya adalah materi

pelajaran yang disajikan tidak serasi dan tidak teroorganisasi dengan baik.

Akibatnya terjadi kegagalan dalam menyampaikan uraian materi pelajaran.

Kegagalan penyampaian materi pelajaran terjadi apabila penyampaian materi

pelajaran oleh guru berbeda dengan apa yang diharapkan siswa. penyebab

kegagalan penyampaian materi pelajaran disebabkan antara lain karena guru

membuat instrumen penilaian yang isinya menghendaki materi pembelajaran yang

sebenarnya belum atau tidak diajarkan.

4. Masalah Metode

Permasalahan berkaitan dengan penggunaan metode pembelajaran adalah

kurang atau tidak tepat sasaran dalam pemiliah metode yang digunakan, bersifat

menonton dan tidak sesuai dengan tujuan strategi, model serta pendekatan

pembelajaran yang digunakan.

5. Hamabatan-Hambatan

Hambatan-hambatan dalam perencanaan pembelajaran bisa datang dari

siswa (kurang mampu mengikuti pelajaran, memiliki perbedaan individual), jadi

guru (kurang berminat mengajar faktor institusional (terbatasnya ruang kelas,

laboratorium, serta alat-alat peraga).

24
C. Langkah-langkah Menyusun Perencanaan Pembelajaran

Menurut Ulbert Sialalahi langkah-langkah menyusun rencana dalam

manajemen meliputi: menetapkan misi dan tujuan mendiagnosis hambatan dan

peluang, menilai kekuatan dan kelemahan, mengembangkan rencana strategi, serta

mengembangkan rencana operasional.8 Walaupun konsep tersebut diterapkan juga

dalam konsep pendidikan dan pengajaran.

1. Menetapkan Misi dan Tujuan

Dalam pendidikan misi dan tujuan pengajaran mengacu kepada misi dan

tujuan pendidikan mulai dari tujuan pendidikan nasional, tujuan institusional,

tujuan kurikuler, tujuan pengajaran atau intruksional yang terdiri dari tujuan

intruksional umum dan tujuan intruksional khusus (standar kompetensi,

kompetensi dasar, dan indikator hasil belajar).

2. Diagnosis Hambatan dan Peluang

Diagnosis terhadap hambatan dan peluang merupakan bagian dari analisis

SWOT. Analisis SWOT merupakan singakatan dari “strengths”, (kekuatan),

“Weakness” (kelemahan), Oopportunities” (peluang), “Threats” (anacaman)

terhadap lingkungan situasi dan kondisi yang dihadapi suatu lembaga atau

organisasi. Analisis SWOT didasarkan pada suatu asumsi bahwa suatu program

kegiatan yang efektif akan memberikan kemampuan untuk memaksimalkan

peluang dan kekuatan yang dimiliki terhadap lembaga. Analisis SWOT bila

diterapkan secara akurat akan membawa keberhasilan suatu program kegiatan

yang direncanakan.

8
Ulbert Sialalahi, op.cit, h. 142-144.

25
Peluang adalah situasi penting yang sangat menguntungkan dalam

lingkungan madrasah. Situasi-situasi penting yang dapat memberikan peluang

kepada suatu lembaga pendidikan madrasah antara lain, status kelembagaan

negeri atau swasta, kondisi makro dan mikro ekonomi, kebijakan pemerintah

tentang peningkatan kualitas sumber daya manusia serta standar lulusan guru dan

pegawai, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta kesadaran

masyarakat akan pentingnya lembaga pendidikan madrasah.

Ancaman merupakan situasi-situasi penting yang tidak menguntungkan

bagi lembaga dan merupakan gangguan terhadap eksistensi lembaga di masa

sekarang maupun di masa akan datang. Ancaman terhadap lembaga pendidikan

madrasah bisa datang dari pesaing baru, kebijakan pemerintah, kondisi makro

serta mikro ekonomi yang sulit dan kesadaran yang rendah dari masyarakat

tentang pentingnya pendidikan madrasah. Meskipun demikianm ancaman bila

dianalisa dengan baik akan membuat semakin tangguh, kreatif, dan inovatif, guru

dan tenaga kependidikan yang ada di lembaga pendidikan madrasah.

3. Menilai kekuatan dan kelemahan

Kekuatan bertumpuh pada sumber daya yang dimiliki baik sumber daya

personal maupun sumber daya material, maupun sumber daya keuangan.

Kekuatan lembaga pendidikan madrasah tercermin dari guru maupun tenaga

kependidikan yang berkualitas serta didukung oleh input siswa yang baik dan

didukung pula sumber daya keuangan yang memadai.

Kelemahan adalah kekurangan atau keterbatasan yang dimiliki lembaga

yang berkaitan dengan sumber daya manusia dengan kualits dan kapabilitasnya,

26
sumber daya material yang terbatas baik kualitas maupun kuantitasnya, sumber

daya keuangan yang terbatas, serta kecintaan dan loyalitasyang kurang baik guru,

pegawai, maupun siswa terhadap keberadaan lembaga pendidikan madrasah.

4. Mengembangkan tindakan alternatif

Setelah analisis SWOT maka, kepala sekolah dan guru dalam membuat

perencanaan pengajaran harus dapat memilih alternatif tindakan dari langkah-

langkah yang terbaik yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pengajaran

yang telah ditetapkan.

5. Mengembangkan rencana strategi

Dalam perencanaan pengajaran, strategi yang dikembangkan adalah

strategi pengajaran. Strategi pengajaran merupakan tindakan guru dalam

melaksanakan rencana pengajaran dengan menggunakan berbagai komponen

pengajaran (tujuan, bahan, metode, alat, sumber serta evaluasi). Agar dapat

memengaruhi siswa untuk melakukan kegiatan belajar dalam rangka mencapai

tujuan belajar dan pembelajaran yang telah ditetapkan.

6. Mengembangkan rencana strategi

Pengembangan rencana strategi pembelajaran dilakukan dengan membuat

model pengembangan sistem pembelajaran. Model sistem pembelajaran

merupakan kerangka dasar dijadikan acuan dalam melakukan pembelajaran yang

meliputi 2 dimensi yaitu dimensi rencana dan dimensi proses yang nyata. Dimensi

rencana merupakan prosedur dan langkah-langkah yang seharusnya dilakukan

dalam mempersiapkan proses belajar mengajar. Sedangkan dimensi proses yang

nyata adalah interaksi mengajar yang berlangsung di kelas.

27
7. Mengembangkan rencana operasional

Pengembangan rencana operasional dalam perencanaan pembelajaran

diawali dengan melakukan analisis materi pelajaran yang terdapat dalam

kurikulum, analisis terhadap kalender pendidikan, pembuatan program tahunan,

program semester, serta pembuatan silabus dan sistem penilaian.

D. Macam-macam Perencanaan Pengajaran

Perencanaan termasuk perencanaan pengajaran dapat dilihat dari beberapa

segi:

1. Berdasarkan jangka waktu, perencanaan pengajaran dapat dibedakan

menjadi:

a. Perencanaan jangka panjang

Rencana jangka panjang adalah perencanaan yang meliputi kurun waktu

10, 20 atau 25 tahun. Parameter atau ukuran keberhasilannya bersifat sangat

umum, global dan tidak terperinci. Makin panjang jangka waktu makin banyak

variabel dan parameter yang sulit diukur pencapaiannya. Namun demikian

perencanaan jangka panjang dapat memberi arah untuk perencanaan jangka

menengah maupun pendek.

b. Perencanaan jangka menengah

Perencanaan jangka menengah adalah perencanaan yang dilaksanakan

dalam kurun waktu antara 4-7 tahun. Perencanaan jangka menengah merupakan

penjabaran dari perencanaan jangka panjang dan perlu dijabarkan dalam

perencanaan jangka pendek.

c. Perencanaan jangka pendek

28
Perencanaan jangka pendek adalah perencanaan dengan kurun waktu

antara 1-3 tahun, dan merupakan penjabaran dari rencana jangka menengah.

Perencanaan jangka menengah bersifat rutin dan siklus dan dikerjakan secara

berurutan.

2. Berdasarkan luas jangkauannya, perencanaan dibedakan menjadi:

a. Perencanaan makro

Perencanaan makro adalah perencanaan yeng bersifat menyuluruh (umum)

dan bersifat nasional. Perencanaan pendidikan dan pengajaran nasional berusaha

menjawab pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1) apa tujuan pendidikan

nasional? ; 2) pendekatan apa yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan

pendidikan nasional?; 3) jenis dan jenjang lembaga pendidikan apa yang dapat

dikembangkan untuk mencapai tujuan pendidikan nasional?; 4) bentuk organisasi

apa yang dapat dibuat dan dikembangkan untuk mencapai tujuan pendidikan

nasional?; 5) progaram-program apa saja yang perlu dilihat untuk mencapai tujuan

pendidikan nasional?; 6) sumber daya apa saja yang diperlukan untuk tercapainya

tujuan pendidikan nasional; 7) apakah kriteria atau parameter keberhasilan

pendidikan nasional.

b. Perencanaan mikro

Perencanaan mikro merupakan perencanaan yang memiliki ruang lingkup

terbatas, hanya untuk satu institusi. Perencanaan ini lebih rinci, kongkrit dan

operasional dengan memperhatikan karakteristik lembaga, namun tidak boleh

bertentangan dengan perencanaan makro atau nasional.

3. Perencaan dilihat dari telaahnya, dibedakan menjadi:

29
a. Perencanaan strategis, merupakan rencana yang berkaitan dengan

kegiatan menetapkan tujuan, pengalokasian sumber-sumber untuk

mencapai tujuan. Perencanaan ini biasanya diambil oleh pucuk

pimpinan yang kadang kurang didukung oleh data statistik tetapi lebih

kepada pertimbangan perencana.

b. Perencanaan manajerial, merupakan perecanaan yang ditujukan untuk

menggerakkan dan mengarahkan proses pelaksanaan agar tujuan yang

telah ditetapkan dapat dicapai secara efektif dengan efisien. Dalam

perencanaan ini sudah lebih terperinci dan didukung oleh data-data

statistik, namun dalam beberapa hari lebih banyak menggunakan

pertimbangan akal rasio.

c. Perencanaan operasional, merupakan rencana apa yang akan

dikerjakan dalam tingkat pelaksanaan di lapangan. Perencanaan ini

bersifat kongkrit dan spesifik serta berfungsi memberikan petunjuk

teknis mengenai aturan, prosedur serta ketentuaun-ketentuan lain tanf

telah tetapkan. Perencanaan opersional bersifat dan tidak memerlukan

lagi penafsiran dan didasarkan pada darta kuantitatif yang dapat

diukur.

Dari berbagai macam perencanaan di atas maka perencanaan pengajaran

lebih menitik beratkan pada perencanaan jangka pendek , perencanaan mikro serta

perencanaan opersional.

E. Karakteristik Perencanaan Pembelajaran

30
Menurut Banghart dan Trull dalam Hartono bahwa terdapat beberapa

karakteristik perencanaan pengajaran yaitu:

1. Merupakan proses rasional, sebab berkaitan dengan tujuan sosial, dan

konsep-konsepnya yang dirancang oleh banyak orang.

2. Merupakan konsep dinamik, sehingga dapat dan perlu dimodifikasi jika

informasi yang masuk mengharapkan.

3. Perencanaan terdiri dari beberapa aktivitas, aktivitas itu banyak ragam,

namun dapat dikategorikan menjadi prosedur-prosedur dan pengarahan.

4. Perencanaan pembelajaran berkaitan dengan pemilihan sumber dana,

sehingga harus mampu mengurangi pemborosan, duplikasi, salah

penggunaan dan salah dalam manajemennya.9

F. Dimensi-dimensi Perencanaan Pembelajaran

Dimensi perencanaan pengajaran merupakan cakupan dan sifat-sifat dari

beberapa karakteristik yang ditemukan dalam perencanaan pengajaran. Dimensi-

dimensi tersebut memungkinkan perencanaan pembelajaran dibuat secara

komperehensif berdasarkan daya nalar serta efektif dan efisien dalam

pelaksanaannya. Dimensi perencanaan pembelajaran meliputi: signifikansi,

feasibilitas, relevansi, kepastian atau defenitivenes, ketelitian atau

parsiomoniusness, adaptabilitas, waktu, monitoring atau pemantauan, dan isi

perencanaan.10

1. Signifikansi

9
Harjanto, op.cit., h. 3-4
10
Ibid, h. 4-6

31
Tingkat signifikansi merupakan tingkat kekuatan atau pengaruh serta

ketergantungan antara tujuan pendidikan yang diajukan dengan kriteria-kriteria

yang dibangun selama proses perencanaan.

2. Feasibilitas

Feasibilitas, bahwa dalam perencanaan pengajaran harus disusun dengan

petimbangan realistis baik yang berkaitan dengan sumber-sumber pembiayaan

serta pertimbangan-pertimbangan lainnya yang bersifat realistik untuk dicapai.

3. Relevansi

Konsep relevansi berkaitan dengan jaminan bahwa perencanaan

pengajaran memungkinkan penyelesaian masalah-masalah secara lebih spesifik

dan mendetail serta tercapai tujuan spesifik secara optimal sesuai waktu yang

telah di tetapkan.

4. Kepastian

Konsep kepastian mengarahkan agar dalam perencanaan pengajaran perlu

mempertimbangkan serta memilih hal-hal yang sifatnya pasti dan dapat

dilaksanakan untuk meminimumkan faktor-faktor yang dapat menyebabkan

ketidakpastian.

5. Ketelitian

Prinsip utama dalam ketelitian yang perlu di perhatikan ialah agar

perencanaan pengajaran disusun dalam bentuk sederhana, dan ada keterkaitan

antara komponen perencanaan pembelajaran, dengan mempertimbangkan

32
pengambilan keputusan dari alternatif yang terbaik dan efektif serta efisien untuk

dilaksanakan.

6. Adaptalibitas

Perencanaan pengajaran harus dirancang fleksibel atau adap table karena

dunia pendidikan dan pengajaran bersifat dinamis, sehingga perlu senantiasa

mencari informasi yang terbaru sebagai umpan balik.

7. Waktu

Faktor yang berkaitan dengan waktu harus diperhatikan, baik prediksi

jangka pendek, jangka menengah, maupun jangka panjang. Perencanaan

pengajaran yang dibuat harus dapat memprediksi masa depan berdasarkan validasi

dan reliabilitas analisis yang dipakai, serta kapan untuk menilai kebutuhan

pendidkan masa kini dalam kaitannya dengan masa mendatang.

8. Monitoring

Monitoring merupakan proses pengembangan kriteria untuk menjamin

bahwa berbagai komponen perencanaan pembelajaran berjalan dan

dikembangkan secara efektif dengan berbagai variasi.

9. Isi perencanaan

Isi perencanaan merujuk pada hal-hal yang akan direncanakan.

Perencanaan pembelajaran yang baik perlu memuat:

a. Tujuan apa yang diinginkan, atau bagaimana cara mengorganisasikan

aktivitas belajar siswa dan layanan-layanan pendukungnya.

b. Program dan layanan, atau bagaimana cara mengorganisasi aktivitas

belajar dan layanan-layanan pendukungnya.

33
c. Tenaga manusia, yakni mencakup cara-cara mengembangkan prestasi,

spesialisasi, perilaku, kompetensi, maupaun kepuasaan mereka.

d. Keuangan, meliputi rencana pengeluaran dan rencana penerimaan.

e. Bangunan fisik mencakup tentang cara-cara penggunaan pola

distribusi dan kaitannya dengan pengembangan psikologis.

f. Struktur organisasi, maksudnya bagaimana cara mengorganisasi dan

manajemen operasi dan pengawasan program dan aktivitas

kependidikan yang direncanakan.

g. Konteks sosial atau elemen-elemen lainnya yang perlu

dipertimbangkan dalam perencanaan pengajaran.

G. Manfaat dan Pentingnya Perencanaan Pembelajaran

Banyak manfaat yang diperoleh dari perencanaan pengajaran dalam proses

belajar mengajar yaitu:

1. Sebagai petunjuk arah kegiatan dalam mencapai tujuan.

2. Sebagai pola dasar dalam mengatur tugas dan wewenang bagi setiap unsur

yang terlibat dalam kegiatan.

3. Sebagai pedoman kerja bagi setiap unsur, baik unsur guru maupun unsur

murid.

4. Sebagai alat ukur efektif tidaknya suatu pekerjaan, sehingga setiap saat

diketahui ketepatan dan kelambatan kerja.

5. Untuk bahan penyusunannya data agar terjadi keseimbangan kerja.

6. Untuk menghenmat waktu, tenaga, alat-alat dan biaya.11


11
Abdul Madjid, op.cit., h. 22

34
Di samping memiliki manfaat, perencanaan pengajaran juga memiliki arti

yang sangat penting. Menurut Udin Syaefuddin Sa’ud dan Abi Syamsuddin

Makmun perencanaan memiliki arti penting sebagai berikut:

1. Dengan adanya perencanaan diharapkan tumbuhnya suatu pengarahan

kegiatan, adanya pedoman bagi pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang

ditujukan kepada pencapaian tujuan pembangunan.

2. Dengan perencanaan, maka dapat dilakukan suatu perkiraan (from casting)

terhadap hal-hal dalam masa pelaksanaannya yang akan dilalui. Perkiraan

dilakukan mengenai potensi-potensi dan prospek-prospek perkembangan

tetapi juga mengenai hambatan-hambatan dan resiko-resiko yang mungkin

dihadapi. Perencanaan mengusahakan supaya ketidakpastian dapat dibatasi

sedini mungkin.

3. Perencanaan memberikan kesempatan untuk memilih berbagai alternatif

tentang cara terbaik (the beest altrnatif) atau kesempatan untuk memilih

kombinasi cara yang terbaik (the best combination)

4. Dengan perencanaan dilakukan penyusunan skala prioritas. Memilih

urutan-urutan dari segi pentingnya suatu tujuan, sasaran maupun kegiatan

usahanya.

5. Dengan adanya rencana, maka akan ada suatu alat pengukur atau standar

untuk mengadakan pengawasan atau evaluasi kinerja usaha atau organisai,

temasuk pendidikan.12

12
Udin Syaefuddin Sa’ud dan Abin Syamsuddin Makmun, Perencanaan Pendidikan Suatu
Pendekatan Komprehensif, (Bandung: Remaja Rosdakarya 2000).

35
BAB III

PROSES PEMBELAJARAN YANG ISLAMI

Yang dimaksud dengan proses pembelajaran yang islami di sini adalah

semua upaya yang digunakan dalam upaya mendidik. Bagian ini, dalam

pedagogik sering disebut metode. Kata “metode” di sini diartikan secara luas.

36
Karena mengajar adalah salah satu bentuk upaya mendidik, maka metode yang

dimaksud di sini mencakup juga metode mengajar.

Dalam literatur ilmu pendidikan, khususnya ilmu pengajaran, dapat

ditemukan banyak metode mengajar. Adapun metode mendidik, selain dengan

cara mengajar, tidak terlalu banyak dibahas oleh para ahli. Sebabnya, mungkin

metode mengajar lebih jelas, lebih tegas, objektif, bahkan universal, sedangkan

metode mendidik selain mengajar lebih subjektif, kurang jelas, kurang tegas, lebih

bersifat seni daripada sebagai sain.

Dari literatur pendidikan Barat dapat diketahui banyak metode mengajar

seperti metode ceramah, tanya jawab, diskusi, sosiodrama dan bermain peran,

pemberian tugas dan resitasi. Anda dapat mempelajari metode-metode ini dalam

banyak buku dalam bahasa Indonesia. Metode itu banyak sekali dan akan

bertambah terus sejalan dengan kemajuan perkembangan teori-teori metode

tersebut. Sekarang itu metode-metode itu jumlahnya lebih dari 16. Metode-

metode mengajar ini disebut metode umum. Disebut metode umum karena

metode tersebut digunakan untuk mengajar pada umumnya. Biasanya studi

tentang metode mengajar umum disebut dengan menggunakan istilah Metodologi

Pengajaran.

Jadi sebenarnya, untuk kepentingan pengembangan teori-teori pendidikan

islami, masalah metode mengajar tidaklah terlalu sulit. Metode-metode mengajar

yang dikembangkan di Barat dapat saja digunakan atau diambil untuk

memperkaya teori tentang metode pendidikan islami. Oleh karena itu, metode-

metode tersebut tidak akan dibahas dalam bahan ajar ini. Yang perlu dibahas di

37
sini adalah pelaksanaan mengajar itu sendiri, dan yang kedua adalah berbagai

metode pendidikan untuk mengembangkan aspek afektif menuju terbentuknya

peribadi Muslim.

A. Cara Melaksanakan Pembelajaran Pendidikan agama Islam

Masalah ini jauh lebih penting daripada menjawab pertanyaan “metode

apa saja yang digunakan dalam mengajar? Ya, kita jawab metode ceramah, tanya

jawab, diskusi, dan sebagainya. Akan tetapi, ternyata jawaban itu tidak dapat

menjadikan seseorang mampu mengajar. Metode itu harus dimasukkan sebagai

salah satu aspeksaja dalam suatu sistem mengajar. Yang dapat membantu

seseorang untuk dapat mengajar bukanlah penguasaan metode-metode umum

tersebut, melainkan petunjuk tentang bagaimana merancang “jalan pengajaran”

atau proses mengajar, yaitu urutan langkah mengajar (teaching stepsi).

Urutan langkah mengajar ditentukan oleh banyak hal, antara lain:

1. Oleh tujuan pembelajaran yang hendak dicapai pada jam pelajaran itu.

Jika tujuannya keterampilan, maka urutan langkahnya ada, bila tujuannya

memahami konsep, maka urutannya keterampilan; demikian seterusnya.

2. Oleh kemampuan guru. Ada guru yang pandai berbicara, ia sebaiknya

banyak menggunakan ceramah. Jika guru lihat bernyanyi, ia dapat

menggunakan bernyanyi sebagai cara mengajar. Langkah-langkahnya

disesuaikan dengan rumusan tujuan pengajaran.

3. Oleh keadaan alat-alat yang tersedia. Dalam proses pembelajaran sering

kali digunakan alat-alat itu menentukan langkah mengajar. Bila metode

eskperimen yang digunakan, maka alat-alat eskperimen harus tersedia.

38
Bila tidak ada, maka metode diganti dengan metode lain yang tidak perlu

menggunakan alat.

4. Oleh jumlah murid. Bila muridnya banyak, katakanlah 100 orang dalam

satu kelas, maka metode ceramah lebih baik daripada mtode diskusi. Jalan

pengajaran (langkah-langkah mengajar) metode ceramah tentu berbeda

dari langkah mengajar dalam metode diskusi (lihat Surachmad, 1980:97).

Sekali lagi, persoalan mengajar sebenarnya bukanlah terutama persoalan

metode apa yang akan digunakan, persoalannya adalah bagaimana

menyusun langkah-langkah dalam proses pembelajaran. Robert Glaser

memberikan pedoman umum yang dapat digunakan dalam membuat atau

merencanakan langkah-langkah mengajar. Model dari Glaser itu

merupakan model untuk proses pembelajaran yang mendasar. De Cecco

(1968:11) menyebutnya basic teaching model (model pengajaran dasar).

Model Glaser itu dapat digambarkan sebagai berikut:

A B C D
Instructional Entering Instructional Performance
Objectives Behavior procedure assessment

Menurut Glaser, langkah pertama dalam membuat persiapan mengajar

(lesson plan) adalah menentukan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai pada

jam pelajaran yang bersangkutan. Tujuan pembelajaran tersebut tidak boleh

menyimpang dari tujuan pendidikan yang lebih luas yang disebut tujuan

intruksional umum (TIU). Tujuan intruksional umum tidak boleh menyimpang

dari tujuan pendidikan yang hendak dicapai oleh sidang studi atau tujuan

39
kurikuler (TK). Selanjutnya, tujuan kurikuler harus sejalan dengan tujuan yang

hendak dicapai oleh lembaga pendidikan yang bersangkutan, yang ini harus

sejalan dengan tujuan hendak dicapai oleh lembaga pendidikan yang

bersangkutan, yang ini disebut tujuan institusional (TI). Tujuan institusional ini

harus sejalan dengan tujuan pendidikan nasional (TPN). Terakhir, tujuan

pendidikan nasional harus sejalan dengan tujuan pendidikan universal. Tujuan

pendidikan universal adalah tujuan pendidikan yang diinginkan oleh manusia

pada umunya, yaitu manusia yang baik. Urutan taksonomi tujuan tersebut dapat

digambarkan sebagai berikut.

TPU

TPN

TI

TK

TIU

TK

Tujuan pendidikan pada tingkat pertama sama untuk semua orang dan

semua negara, yaitu manusia yang baik. Tujuan pendidikan islami telah

memunyai sifat islami, menjadi manusia yang baik menurut Islam. Tujuan

pendidikan tingkat ketiga, yaitu tujuan pendidikan lembaga (sekolah) tertentu

yang disebut tujuan institusional (TI), disesuaikan dengan sekolah. Tujuan

40
kurikuler adalah tujuan yang hendak dicapai oleh bidang studi, imi dibagi ke

dalam tujuan yang bersifat umum (TIU). Terakhir, TIU itu dijabarkan ke dalam

tujuan yang khusus dan operasional yang disebut tujuan intruksional khusus

(TIK). Intruksi di sini berarti pengajaran. Jadi, tujuan pada tingkat terakhir

mencakup satu pola tingkah laku, sedangkan operasional maksudnya adalah

tujuan itu jelas, ciri tujuan yang jelas adalah mudah diukur atau mudah dievaluasi

(lihat Tafsir, 1990: 45-55). Istilah TPU-TPN-TI-TK-TIU-TIK sekarang diganti

dengan istilah “standar” yang berasal dari BSNP yang sama saja maknanya.

Masalah yang muncul di sini adalah tidak semua tujuan pendidikan agama

Islam dapat dirumuskan secara operasional. Sebenarnya, tujuan pengajaranbidang-

bidang studi umum juga banyak yang tidak dapat dirumuskan secara operasional.

Untuk tujuan seperti ini boleh saja dibuat rumusan yang tidak dioperasional. Jadi,

langkah pertama dalam merencanakan pengajaran adalah membuat rumusan

tujuan yang hendak dicapai.

Istilah-istilah untuk menyebut berbagai tujuan seperti di atas itu (TI-TIU-

TIK) sudah tidak digunakan lagi tatkala revisi ini dibuat. Sekarang tujuan-tujuan

itu diganti dengan menggunakan istilah standar yang merupakan indikator-

indikator tercapainya tujuan pengajaran. Sebenarnya tidak ada perbedaan esensial

antara dua istilah itu.

Tatkala revisi dilakukan model, perumusan tujuan seperti di atas tidak lagi

digunakan. Yang digunakan ialah standar kompetensi untuk setiap jenis dan

jenjang sekolah. Standar kompetensi lulusan itu dibuat oleh pemerintah.

41
Sekalipun demikian logika yang digunakan sama saja dengan model taksonomi

(TPU-TPN-TI-TK-TIU-TIK) di atas.

Langkah kedua adalah menentukan entering behavior. Istilah ini belum

dapat diganti dengan istilah dalam bahasa Indonesia. Entering behavior adalah

langkah tatkala guru menentukan kondisi siswanya yang mencakup kondisi

umum serta kondisi kesiapan kemampuan belajarnya. Oleh karena itu, tes awal

(prestest) termasuk ke dalam langkah ini. Kaidah yang mendasari entering

behavior adalah “kita tidak boleh mengajari orang yang belum kita kenali”.

Mengenali murid dilakukan dalam menentukan entering behavior murid tersebut.

Siapa murid itu, bagaimana latar belakang kehidupannya, keadaan fisik dan

mentalnya, terutama kesiapannya menerima pengajaran baru, semuanya ini harus

diketahui guru sebelum ia mulai mengajar, inilah kegiatan entering behavior.

Teori-teori tentang entering behavior cukup banyak dan juga cukup rumit,

sebagiannya dapat dilihat dalam Ahmad Tafsir (1990:55-60). Bila guru sudah

menetapkan entering behavior muridnya, maka mulailah ia mengajar.

Langkah ketiga adalah menentukan proseedur (langkah-langkah)

mengajar. Inilah bagian mengajar yang paling penting, paling sulit, dan paling

rumit. Keberhasilan mengajar banyak sekali ditentukan oleh bagian ini. Untuk

menentukan ini mula-mula guru hendaklah mengetahui lebih dahulu macam-

macam pengajaran menurut jenis pembinaan yang harus dilakukannya.

Daerah (ranah, domain) pembinaan menurut Bloom (lihat Bloom, 1956),

ada tiga yaitu kognitif, afektif, dan psikomotorik. Teori Bloom ini dapat diterima

dan dapat digunakan dalam pendidikan islami. Sekalipun afektif Bloom ini belum

42
mencukupi untuk pendidikan agama Islam. Kognitif dan psikomotorik dari Bloom

dapat seluruhnya digunakan, afektifnya dapat digunakan, tetapi masih harus

ditambah. Begitulah kira-kira.

Berdasarkan ketiga daerah binaan itu sekurang-kurangnya kita temukan

jenis-jenis pengajaran sebagai berikut ini.

Pertama, pembelajaran keterampilan. Ini mungkin dapat dianalogikan

daerah pembinaan psikomotoriknya Bloom. Apa keterampilan itu? Pengertian

mendasar tentang keterampilan adalah respons otot yang terjadi secara otomatis.

Oleh karena itu, latihan keterampilan haruslah berupa latihan otot untuk

menguasai gerak tertentu secara otomatis. Gerak itu kadang-kadang amat rumit,

contohnya keterampilan mengemudikan pesawat terbang, kadang-kadang tidak

rumit (kelihatannya), seperti keterampilan menendang bola kaki.

Pada mulanya keterampilan itu tidak secara sadar otomatis, tetapi karena

dilatih terus, gerakan itu dikuasai secara otomatis. Urutan latihan keterampilan

itulah yang menjadi persoalan pembelajaran, urutan itu kita sebut langkah-langkah

mengajar.

Kedua, pembelajaran yang mencakup dalam ranah kognitif. Di sini ada

tiga jenis pembelajaran, yaitu pembelaran verbal, pengajaran verbal,

pembelajaran konsep, dan pengajaran prinsip. Pengajaran-pengajaran ini masing-

masing memunyai urutan langkah tersendiri. Pengajaran verbal adalah pengajaran

bahasa, di sini terdapat banyak prosedur mengajar, biasanya dikembangkan oleh

ahli pengajaran bahasa. Pembelajaran konsep dan prinsip memunyai banyak teori

tentang urutan (langkah-langkah) mengajarnya.

43
Ketiga, pembinaan afektif. Teori bagian ini ternyata kurang berkembang.

Pengajaran seni, agama, semua pengajaran yang dimaksudkan sebagai

pengembangan aspek afektif amat sulit dijelaskan urutan langkah pengajarannya.

Dalam hal ini ia amat berbeda bila dibandingkan dengan pengajaran keterampilan,

verbal, konsep, dan prinsip.

Langkah keempat, adalah menentukan cara dan teknik evaluasi. Evaluasi

di sini sulit adalah tes akhir (post-test). Ini adalah tes yang dilakukan setiap selesai

mengajar atau setiap kita selesai mengajarkan satu unit bahan pembelajaran.

Pembelajaran islami mencakup umum dan agama Islam. Metode

pembelajaran (terutama dalam arti urutan langkah mengajar) untuk pengajaran

umum tidak terlalu rumit permasalahannya. Tidak terlalu rumit karena teori-

teorinya mungkin 100 persen dapat kita ambil dari Barat, teori-teori pembelajaran

Barat kita gunakan begitu saja. Untuk pembelajaran Barat kita gunakan begitu

saja. Untuk pembelajaran pendidikan agama Isam, bagian yang menyangkut

pembinaan psikomotorik dan kognitif juga tidak terlalu rumit segi perancangan

langkah mengajarnya. Mengajarkan cara berwudhu, misalnya, dapat kita gunakan

urutan dalam pengajaran keterampilan, begitu juga dalam pembelajaran membaca

al-Qur’an. Untuk pembelajaran konsep seperti apa iman itu” “apa puasa itu” dan

sejenisnya dapat kita ikuti langkah pembelajaran kognitif yang sudah ada. Dalam

pengajaran kognitif memang ada sedikit revisi dari teori Barat tatkala kita

mengajarkan ajaran agama bagian doktrin, yaitu konsep-konsep yang harus

diterima begitu saja, untuk ini kita gunakan langkah-langkah pembelajaran

doktrin.

44
Yang lebih rumit adalah pembinaan afektif. Dalam pendidikan islami ada

bidang studi agama Islam. Pembelajaran agama Islam mencakup pembinaan

keterampilan, kognitif, dan afektif. Nah, bagian afektif inilah yang amat rumit. Ini

menyangkut pembinaan rasa iman, rasa beragama pada umumnya. Pembahasan

metodologi untuk mendidik rasa beragama saya ambilkan dari buku al-Nahlawi

(1989). Bagian inilah yang dibicarakan agak mendalam selanjutnya.

Menurut al-Nahlawi (1989:283), dalam al-Qur’an dan hadis dapat

ditemukan berbagai metode pendidikan yang sangat menyentuh perasaan,

mendidik jiwa, dan membangkitkan semangat. Metode-metode itu, katanya,

mampu menggugah puluhan ribu Muslimin untuk membuka hati umat manusia

menerima tuntunan Tuhan.

B. Membina Keberagaman melalui Pembelajaran agama Islam

Menurut al-Nahlawi, metode untuk menanamkan rasa iman adalah sebagai

berikut:

1. Metode hiwar (percakapan) Qurani dan Nabawi

2. Metode kisah Qurani dan Nabawi

3. Metode amtsal (perumpamaan) Qurani dan Nabawi

4. Metode keteladanan

5. Metode pembiasaan

6. Metode ‘ibrah dan mua’izah

7. Metode targhib dan tarhib

Mungkin anda mengeruitkan kening membaca nama-nama metode

tersebut. Metode-metode itu agaknya ada yang belum dikenali oleh buku-buku

45
Barat. Persoalan kita adalah bagaimana menanamkan rasa iman, rasa cinta kepada

Allah, rasa nikmatnya beribadah (salat, puasa, dan lain-lain), rasa hormat pada

kedua orang tua, dan sebagainya. Hal ini agaknya sulit ditempuh dengan cara

pendekatan empiris atau logis. Di sini kita mencoba mencari alternatif yang

mungkin lebih baik, yaitu mencobakan metode-metode yang menyentuh perasaan.

Di sini kita mendidik bukan melalui akal, melainkan langsung masuk ke dalam

perasaan anak didik.

Orang-orang di pesantren telah melakukan cara ini. Mereka mendidik atau

menanamkan rasa beragama dengan membiasakan membaca wirid, membaca

pepujian, dengan contoh tingkah laku, dan sebagainya. Dan kelihatannya merasa

cukup berhasil dalam usahanya itu. Di sekolah bagaimana? Cobalah renungkan

metode-metode yang dianjurkan oleh al-Nahlawi berikut ini:

1. Metode hiwar Qurani dan Nabawi

Hiwar (dialog) ialah percakapan silih berganti antara dua pihak atau lebih

mengenai suatu topik, dan dengan sengaja diarahkan kepada satu tujuan yang

dikehendaki (dalam hal ini oleh guru). Dalam percakapan itu bahan pembicaraan

tidak dibatasi; dapat digunakan berbagai konsep sain, filsafat, seni, wahyu dan

lain-lain. Kadang-kadang pembicaraan itu sampai pada satu kesimpulan, kadang-

kadang tidak ada kesimpulan karena salah satu pihak tidak puas terhadap

pendapat pihak lain. Yang mana pun ditemukan, hasilnya dari segi pendidikan

tidak jauh berbeda, masing-masing mengambil pelajaran untuk menentukan sikap

bagi dirinya. Hiwar mempunyai dampak yang dalam bagi pembicara dan juga

bagi pendengar pembicara itu. Itu disebabkan oleh beberapa hal sebagai berikut.

46
Pertama, dialog itu berlangsung secara dinamis karena dua pihak terlibat

langsung dalam pembicaraan; tidak membosan. Kedua pihak saling

memperhatikan. Jika tidak memperhatikan, tentu tidak dapat mengikuti jalan

pikiran pihak lain. Kebenaran atau kesalahan masing-masing dapat diketahui dan

direspons saat itu juga, dan selanjutnya pembicaraan berjalan terus. Topik-topik

baru sering kali ditemukan dalam pembicaraan seperti itu. Cara kerja metode ini

sebenarnya sama dengan diskusi bebas, tetapi ada orang (di sini guru) yang

dengan sengaja menggiring pembicaraan ke arah tujuan tertentu. Ini sama dengan

dialog yang dilakukan oleh Socrates dengan murid-muridnya.

Kedua, pendengar tertarik untuk mengikuti terus pembicaraan itu karena ia

ingin tahu kesimpulannya. Ini biasanya diikuti dengan dengan penuh perhatian,

tampaknya tidak bosan dan penuh dengan semangat.

Ketiga, metode ini dapat membangkitkan perasaan dan menimbulkan

kesan dalam jiwa, yang membantu mengarahkan seseorang menemukan sendiri

kesimpulannya.

Keempat, bila hiwar dilakukan dengan baik, memenuhi akhlak tuntunan

Islam, maka cara berdialog, sikap orang yang terlibat itu akan mempengaruhi

peserta sehingga meninggalkan pengaruh berupa pendidikan akhlak, sikap dalam

berbicara, menghargai pendapat orang lain, dan sebagainya.

Menurut al-Nahlawi (1989:285), dalam al-Quran dan sunnah Nabi saw,

terdapat berbagai jenis hiwar, seperti :

a. hiwar khitabi atau ta’abbudi,

b. hiwar washfi,

47
c. hiwar qishashi (percakapan tentang sesuatu melalui kisah),

d. hiwar jadali, dan

e. hiwar nabawi.

Dalam setiap hiwar, jalan dialog harus disusun sesuai dengan tujuan yang

hendak dicapai. Tujuan-tujuan itu tidak selalu langsung kepada pembinaan rasa,

kadang-kadang mengenai sasaran akal, tetapi tujuan akhirnya adalah pendidikan

rasa yang membentuk sikap daan tingkah laku yang sesuai dengan sikap itu. Bila

dalam buku ini metode-metode diuraikan agak panjang lebar, hal itu disebabkan

oleh beberapa hal. Pertama, karena metode-metode dari barat sudah umum

dikenal dan sudah banyak sekali buku dalam bahasa Indonesia yang

membicarakannya. Metode-metode itu dapat dipakai dalam islami, sesuai dengan

tujuan pengajaran yang hendak dicapai. Kedua, metode-metode ini digali dari

sumber Islam, yaitu al-Quran dan hadits Nabi. Mungkin saja metode ini dapat

menambah metode-metode dari Barat. Yang jelas, ada beberapa tujuan pendidikan

dalam Islam yang tidak dapa dicapai hanya dengan menggunakan metode

mengajar dari Barat itu. Metode dari al-Quran dan hadis ini mungkin dapat

menutup kekurangan itu.

Hiwar khitabi atau ta’abbudi merupakan dialog yang diambil dari dialog

antar Tuhan dan hamba-Nya. Tuhan memanggil hamba-Nya menjawab dalam

kalbunya dengan mengatakan, “Kusambut panggilan Engkau, ya rabbi. “Dialog

antara Tuhan dan hamba-Nya ini menjadi petunjuk bahwa pengajaran seperti itu

dapat kita gunakan; dengan kata lain, metode dialog merupakan metode

pengajaran yang pernah digunakan Tuhan mengajari hamba-Nya. Logikanya, kita

48
pun dapat menggunakan dialog dalam pengajaran. Ada hadis yang diriwayatkan

oleh Abu Hurairah yang menggambarkan dialog Rasulullah dengan Tuhannya.

Aku mendengar Nabi saw bersabda, Allah ta’ala berfirman: ”Aku


membagi shalat ke dalam dua bagian, untuk-Ku dan untuk hamba-Ku, dan
untuk hamba-Ku adalah apa yang dimintanya; Apabila seorang hamba
mengucapkan segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam, maka Allah
berfirman, Hamba-Ku telah memuji-Ku; Apabila mengucapkan yang
Maha Pengasih, Maha Penyayang, maka Allah berfirman Hamba-Ku telah
memuji-Ku; Apabila mengucapkan Yang menguasai hari pembalasan
maka Allah berfirman Hamba-Ku telah mengagungkan Aku...” (Riwayat
Muslim).

Dalil lain yang menjelaskan adanya hiwar adalah hadis berikut:

Apabila Rasulullah saw membaca “Bukanlah Allah Maha kuasa


menghidupkan orang mati?” dia mengucapkan, “Maha suci Engkau Yang
Maha besar.” Dan bila dia membaca “Sucikanlah nama Rabbmu Yang
Maha tinggi, maka dia mengucapkan, “Maha suci Rabbku Yang Maha
tinggi” (Riwayat Abu Dawud dan Baihaqi).

Kedua hadis di atas merupakan dalil bagi adanya hiwar ta’abbudi, yaitu

dialog tentang pengabdian kepada Tuhan. Tasbih, tahmid, takbir, dan ta’awwudz

yang diucapkan Nabi kepada Tuhan jelas merupakan suatu munajat kepada Allah,

sekaligus merupakan dalil adanya hiwar dalam hadis-hadis Rasul saw.

Melalui hiwar ta’abbudi atau khitabi, al-Quran menanamkan hal-hal

penting sebagai berikut:

a. Agar tanggap terhadap persoalan yang diajukan al-Quran,

merenungkannya, menghadirkan jawaban sekurang-kurangnya di dalam

kalbu.

b. Menghayati makna kandungan al-Quran.

c. Mengarahkan tingkah laku agar sesuai dengan petunjuk al-Quran.

49
d. Menanamkan rasa bangga karena dipanggil oleh Tuhan, “Hai, orang-orang

yang beriman”.

Dalam hiwar khitabi ini dialog dimulai dari satu pihak, yaitu si pembicara,

sedangkan pihak kedua yang menyambutnya dengan pikiran dan perasaannya.

Adapun hiwar washfi adalah dialog antara Tuhan dengan malaikat atau

makhaluk gaib lainnya. Dalam surat al-shaffat ayat 20-30 ada dialog antara

Tuhan dengan penghuni neraka:

Dan mereka berkata, “Aduhai, celaka kita, “Inilah hari pembalasan, inilah

hari yang kalian dustakan. Kami perintahkan kepada malaikat, “Kumpulkan

mereka itu bersama teman-teman mereka ... dan tunjukkanlah kepada mereka

jalan ke nareka.”

Di sini Allah berdialog dengan malaikat. Topik pembicaraannya tentang

orang-orang zalim. Dalam surat al-Shaffat aya 27-28:

Sebagian mereka saling menghadap dan saling berbantahan. Pengikut-

pengikut mereka berkata kepada pemimpin mereka, “Sesungguhnya kalian yang

datang kepada kami dari kanan.”

Menurut al-Nahlawi (1989:309), hiwar washfi menyajikan kepada kita

gambaran yang hidup tentang kondisi psikis ahli neraka ahli surga. Dengan

imajinasi dan deskripsi yang rinci, hiwar washfi memperlancar berlangsungnya

pendidikan perasaan ketuhanan. Gambaran tentang penyesalan ahli neraka itu

seolah-olah dirasakan oleh pembaca atau pendengar dialog itu; pendengar itu

seolah terlibat dalam dialog itu, lantas ada pemihakan. Kemudian ada pertanyaan,

“Di pihak mana aku?” Hiwar washfi seolah-olah juga mengingatkan pendengar

50
dialog itu, “Jangan kalian terjerumus seperti mereka itu, “Dialog juga terjadi

antara ahli surga, seperti dialog yang terdapat dalam surat al-Shaffat ayat 50-57.

Hiwar qishashi terdapat dalam al-Quran, yang baik bentuk maupun

rangkaian ceritanya sangat jelas, merupakan bagian dari uslub kisah dalam al-

Quran. Kalaupun di sana terdapat kisah yang keseluruhannya merupakan dialog

langsung, yang sekarang disebut sandiwara, hiwar ini tidak dimaksudkan sebagai

sandiwara. Sebagai contoh ialah kisah Syu’aib dan kaumnya dalam surat Hud.

Sepuluh ayat pertama dari surat ini merupakan hiwar (dialog), kemudian Allah

mengakhiri kisah ini dengan dua ayat yang menerangkan akibat yang diterima

oleh kaum Nabi Syu’aib. Mari lihat terjemahan sebagian dari (surat Hud ayat 84-

95):

Dan kepada penduduk Madyan Kami utus Syu’aib. Ia berkata, “Hai,

kaumku, beribadahlah kepada Allah, jangan bertuhan selain-Nya . . . Jangan

mengurangi timbangan, saya khawatir nanti kalian mendapat azab dari

Tuhan.” . . . Mereka berkata, “Hai Syu’aib, apakah kamu menyuruh kami

meninggalkan apa yang disembah oleh ketua kami atau melarang kami berbuat

apa yang kami kehendaki tentang harta kami?” Syu’aib berkata-kata, “Hai,

kaumku . . .”(dan seterusnya). Dan tatkala datang azab kami, kami selamatkan

Syu’aib dan orang-orang yang beriman bersamanya . . . dan orang-orang zalim itu

dibinasakan oleh suara yang mengguntur . . . Ingatlah, kebinasaanlah bagi

penduduk Madyan sebagai kaum Samud telah binasa.” (Hud: 84-95).

51
Hiwar seperti ini banyak terdapat dalam al-Quran . Hiwar ini dapat

mempunyai pengaruh kejiwaan pada pendengarnya. Hal itu disebabkan oleh hal-

hal sebagai berikut:

a. Kekuatan hiwar ini terletak pada pengisyaratan, yaitu pengisyaratan agar

tidak memihak kepada orang zalim; alasan orang zalim itu lemah.

b. Hiwar ini membawakan alasan yang kuat yaitu alasan yang datang dari

Nabi dan dari Tuhan; alasan itu mengalahkan alasan orang zalim.

c. Hiwar ini mengisahkan dialog secara berseling. Ini akan menajamkan

persoalan yang didialogkan sehingga terjalin kisah panjang yang kuat alur

ceritanya.

Dengan hiwar ini para pelajar yang diajak berdialog diharapkan memihak

kepada pihak yang benar dan membenci pihak yang salah.

Hiwar Jadali bertujuan unuk memantapkan hujjah (alasan). Contohnya

antara lain dalam surat al-Najm ayat 1-5.

Demi binatang ketika terbenam, kawan kalian (Muhammad) tidak sesat

dan tidak pula keliru, dan tidaklah yang diucapkannya itu menurut kemauan

hawa nafsunya. Ucapannya itu adalah wahyu yang diberikan kepadanya yang

diajarkan oleh Jibril yang perkasa.

Dan lanjutkan ke ayat 10-18 surat al-Najm. Dalam ayat-ayat itu Allah

menetapkan hujjah (alasan) yang ditujukan kepada orang musyrik. Orang musyrik

yang dibawa Muhammad dan kekuatan alasan orang musyrik. Orang musyrik itu

beralasan dengan mengajukan tuhan-tuhan (berhala) mereka. Apakah patut kalian

52
(orang musyrik) menganggap al-Lata dan al-Uzza, dan Manat yang ketiga

(sebagai sesembahan yang benar)?

Memang terasa bahwa alasan Muhammad lebih kuat daripada alasan orang

yang mengingkarinya. Kemudian, bila diteruskan kepada ayat 21-23 surat al-

Najm itu, akan jelas kelihatan kekacauan pikiran orang musyrik itu. Kemudian

Allah menunjukkan tingkat pemikiran mereka itu; pikiran mereka itu tidak

menghasilkan apa-apa. Mereka tidak lain kecuali mengikuti sangkaan-sangkaan

saja dan mengikuti kehendak hawa nafsu mereka, padahal petunjuk dari Tuhan

telah datang.

Hiwar jadali mempunyai implikasi pedagogis yang sama dengan hiwar

sebelumnya.

a. Hiwar jadali mendidik orang menegakkan kebenaran dengan

menggunakan hujjah yang kuat.

b. Hiwar jadali, dengan alasan yang kuat, mendidik orang menolak kebatilan

karena pikiran itu rendah.

c. Hiwar jadali mendidik orang menggunakan pikiran yang sehat.

Hiwar nabawi adalah hiwar yang digunakan oleh Nabi dalam mendidik

sahabat-sahabatnya. Dia menghendaki agar sahabatnya mengajukan pertanyaan.

Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim disebutkan.

Pada suatu hari Rasulullah saw. menampakkan dirinya kepada orang

banyak. Dalam sebuah riwayat dikatakan bahwa dia bersabda. “Bertanyalah

kepadaku, “orang-orang takut untuk bertanya kepadanya. Maka datanglah seorang

53
laki-laki, lalu duduk di hadapannya seraya berkata, Wahai, Rasulullah, apakah

Islam itu? “Dia menjawab. “Engkau tidak menyekutukan Allah...”

Dari sini kita mengetahui dianjurkan kepada guru agar mendorong

muridnya untuk bertanya.

Metode ini menarik perhatian para sahabat karena sering sekali Jibril

datang kepada Muhammad bertanya. Setelah Jibril itu pergi, Rasul mengatakan

bahwa itu adalah Jibril, datang untuk mengajari mereka. Memang, ayat 101 surat

al-Maidah melarang orang bertanya, yaitu tentang hal-hal yang bila ditanyakan

akan menyusahkan. Oleh karena itu, datanglah Jibril untuk menjelaskan bolehnya

bertanya apabila dimaksudkan untuk mengambil faedah seperti untuk mengajar.

Dari uraian itu kita mengetahui bahwa metode hiwar adalah metode

pendidikan islami, terutama afektif (teoritis) untuk menanamkan iman, yaitu

pendidikan rasa (afektif).

2. Metode kisah Qurani dan Nabawi

Dalam pendidikan islami, terutama pendidikan agama Islam (sebagai suatu

bidang studi), kisah sebagai metode pendidikan amat penting. Dikatakan amat

penting, alasannya antara lain sebagai berikut:

a. Kisah selalu memikat karena mengundang pembaca atau pendengar untuk

mengikuti peristiwanya, merenungkan maknanya. Selanjutnya, makna-

makna itu akan menimbulkan kesan dalam hati pembaca atau pendengar

tersebut.

b. Kisah Qurani dan Nabawi dapat menyentuh hati manusia karena kisah itu

menampilkan tokoh dalam konteks yang menyeluruh, pembaca atau

54
pendengar dapat ikut menghayati atau merasakan isi kisah itu, seolah-olah

ia sendiri yang menjadi tokohnya. Kisah itu sekalipun menyeluruh, terasa

wajar, tidak menjijikkan pendengar atau pembaca. Bacalah kisah Yusuf,

misalnya. Inilah salah satu keistimewaan kisah Qurani, tidak sama dengan

kisah-kisah yang ditulis orang sekarang yang isinya banyak ikut mengotori

hati pembacanya.

c. Kisah Qurani mendidik perasaan keimanan dengan cara:

1) Membandingkan berbagai perasaan seperti khauf, ridha, dan cinta;

2) Mengarahkan seluruh perasaan sehingga bertumpuk pada suatu puncak, yaitu

kesimpulan kisah;

3) Melibatkan pembaca atau pendengar ke dalam kisah itu sehingga ia terlibat

secara emosional.

Kisah Qurani bukanlah hanya semata kisah atau semata-mata karya seni

yang indah; ia juga suatu cara Tuhan mendidik umat agar beriman kepada-Nya.

Jika diringkaskan, tujuan kisah Qurani adalah sebagai berikut:

a. Mengungkapkan kamantapan wahyu dan risalah. Mewujudkan rasa

mantap dalam menerima Quran dan keutusan Rasul-Nya. Kisah-kisah itu

menjadi bukti kebenaran wahyu dan kebenaran Rasul saw.

b. Menjelaskan bahwa secara keseluruhan, al-din itu datangnya dari Allah

swt.

c. Menjelaskan bahwa Allah menolong dan mencintai Rasul-Nya;

menjelaskan bahwa kaum mukmin adalah umat yang satu, dan Allah

adalah Rabb mereka.

55
d. Kisah-kisah itu bertujuan menguatkan keimanan kaum Muslimin,

menghibur mereka dari kesedihan atas musibah yang menimpa.

e. Mengingatkan bahwa musuh orang mukmin adalah setan; menunjukkan

permusuhan abadi itu lewat kisah akan tampak lebih hidup dan jelas.

Ditinjau dari dampak pedagogis, kisah Nabawi tidak berbeda dari kisah

Qurani di atas. Akan tetapi, bila ditinjau secara mendalam, ternyata kisah Nabawi

berisi rincian yang lebih khusus seperti menjelaskan pentingnya keikhlasan dalam

beramal, menganjurkan bersedekah dan mensyukuri nikmat Allah. Jadi kisah

Nabawi kebanyakan merupakan rincian yang lebih khusus dari ajaran Islam.

3. Metode amtsal (perumpamaan)

Adakalanya Tuhan mengajari umat dengan membuat perumpamaan,

misalnya dalam surat al-Baqarah ayat 17.

Perumpamaan orang-orang kafir itu adalah seperti orang yang menyalakan

api . . .

Dalam surat al-Ankabut ayat 41 Allah mengumpamakan sesembahan atau

Tuhan orang kafir dengan sarang laba-laba:

Perumpamaan orang-orang yang berlindung kepada selain Allah adalah

seperti laba-laba yang membuat rumah; padahal rumah yang paling lemah

adalah rumah laba-laba.

Cara seperti itu dapat juga digunakan oleh guru dalam mengajar.

Pengungkapannya tentu saja sama dengan metode kisah, yaitu dengan berceramah

atau membaca teks. Kebaikan metode ini antara lain adalah sebagai berikut:

56
a. Mempermudah siswa memahami konsep yang abstrak; ini terjadi karena

perumpamaan itu mengambil benda kongkret seperti kelemahan Tuhan orang

kafir diumpamakan dengan sarang laba-laba. Sarang laba-laba memang lemah

sekali, disentuh dengan lidi pun dapat rusak. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh

Muslim, Nabi mengumpamakan “harga” dunia ini dengan anak kambing yang

bertelinga kecil dan sudah mati.

Dari Jabir diriwayatkan bahwa Rasulullah saw, sedang lewat di sebuah

pasar. Ada seekor anak kambing bertelinga kecil yang sudah mati, lalu

diangkatnya telinga anak kambing itu seraya berkata, “ Siapa di antara kalian yang

ingin memiliki anak kambing ini dengan membayar satu dirham?” Orang-orang

menjawab, “Kami tidak sudi membeli anak kambing itu dengan membayar

sesuatu. Apa manfaatnya bagi kami? “Dia bertanya lagi, “Atau barangkali kalian

ingin memilikinya secara gratis? “Mereka menjawab, ‘Demi Allah, sekali pun

anak kambing itu masih hidup, kami tak ingin memilikinya karena cacat pada

telinganya, apalagi sudah mati. ‘Maka Rasul saw bersabda, “Demi Allah,

sesungguhnya bagi Allah dunia ini lebih hina daripada anak kambing ini bagi

kalian.”

b. Perumpamaan dapat merangsang kesan terdapat makna yang tersirat

dalam perumpamaan tersebut. Dalam hal ini Abduh menyatakan, tatkala

menafsirkan kata dlaraba dalam surat al-Baqarah: 26, “penggunaan kata dlaraba

dimaksudkan untuk mempengaruhi dan membangkitkan kesan, seakan-akan si

pembuat perumpamaan menjewer telinga pembaca dengannya sehingga pengaruh

jeweran itu meresap ke dalam kalbu.”

57
c. Merupakan pendidikan agar bila menggunakan perumpamaan haruslah

logis, mudah dipahami. Jangan sampai dengan menggunakan perumpamaan

malah pengertiannya kabur atau hilang sama sekali. Perumpamaan dalam al-

Quran adalah natijah (konklusi) silogismenya justru tidak disebutkan konklusi

setelah premis. Konklusi silogisme dari Allah (perumpamaan itu) kebanyakan

harus ditebak sendiri oleh pendengar atau pembaca: Allah tahu manusia dapat

menebaknya.

d. Amtsal Qurani dan Nabawi memberikan motivasi kepada pendengarnya

untuk berbuat amal baik dan menjauhi kejahatan. Jelas hal ini amat penting dalam

pendidikan islami.

4. Metode keteladanan

Kita mungkin saja dapat menyusun sistem pendidikan yang lengkap, tetapi

semua itu masih memerlukan realisasi, dan realisasi itu dilaksanakan oleh

pendidik. Pelaksanaan realisasi itu memerlukan seperangkat metode; metode itu

merupakan pedoman untuk bertindak dalam merealisasikan tujuan pendidikan.

Pedoman itu memang diperlukan karena pendidik tidak dapat bertindak secara

alamiah saja agar tindakan pendidikan dapat dilakukan lebih efektif dan lebih

efisien. Di sinilah teladan merupakan salah satu pedoman bertindak.

Murid-murid cenderung meneladani pendidiknya; ini diakui oleh semua

ahli pendidikan, baik dari Barat maupun dari Timur. Dasarnya adalah karena

secara psikologis anak memang senang meniru; tidak saja yang baik, yang jelek

pun ditirunya.

58
Sifat anak didik itu diakui dalam Islam. Umat meneladani Nabi; Nabi

meneladani al-Quran. Aisyah pernah berkata bahwab akhlak Rasul Allah itu

adalah al-Quran.

Pribadi Rasul itu adalah interpretasi al-Quran secara nyata. Tidak hanya

caranya beribadah, caranya berkehidupan sehari-hari pun kebanyakan merupakan

contoh tentang cara berkehidupan islami. Contoh-contoh dari Rasul itu kadang-

kadang amat asing bagi manusia ketika itu. Contohnya, Allah menyuruh Rasul-

Nya mengawini bekas istri Zaid; Zaid itu anak angkat Rasul. Ini ganjil bagi orang

Arab ketika itu. Dengan Allah memberikan teladan secara praktis yang berisi

ajaran bahwa anak angkat bukanlah anak kandung; bekas istri anak angkat boleh

dikawini. Maka tatkala Zaid telah menceraikan istrinya, Kami kawinkan kamu

dengan dia supaya tidak ada keberatan bagi mukmin untuk mengawini bekas istri

anak angkat mereka (Al-Ahzab: 37).

Banyak contoh yang diberikan oleh Nabi yang menjelaskan bahwa orang

(dalam hal ini terutama guru) jangan hanya berbicara, tetapi juga harus

memberikan contoh secara langsung. Dalam peperangan, Nabi tidak hanya

memegang komando; dia juga ikut perang, menggali parit perlindungan. Dia juga

menjahit sepatutnya, pergi berbelanja ke pasar, dan lain-lain.

Dari uraian di atas, apa yang dapat kita ambil bagi perkembangan teori

pendidikan islami? Ada beberapa konsep yang dapat dipetik dari sana.

a. Metode pendidikan islami berpusat pada keteladanan. Yang memberikan

teladan itu adalah guru, kepala sekolah, dan semua aparat sekolah. Dalam

pendidikan masyarakat, teladan itu adalah para pemimpin masyarakat,

59
para da’i. Konsep ini jelas diajarkan oleh Rasul saw. seperti diuraikan di

atas.

b. Teladan untuk guru-guru (dan lain-lain) adalah Rasulullah. Guru tidak

boleh mengambil tokoh yang diteladani selain Rasul Allah swt. Sebab,

Rasul itulah teladan yang terbaik. Rasul meneladani bagaimana kehidupan

yang dikehendaki Tuhan karena Rasul itu adalah penafsiran ajaran Tuhan.

Secara psikologis ternyata manusia memang memerlukan tokoh teladan

dalam hidupnya; ini adalah sifat pembawaan. Taqlidi (meniru) adalah salah satu

sifat pembawaan manusia. Peneladanan itu ada dua macam, yaitu sengaja dan

tidak sengaja. Keteladanan yang tidak sengaja adalah keteladanan dalam

keilmuan, kepemimpinan, dan sifa keikhlasan, dan sebangsanya, sedangkan

keteladanan yang disengaja adalah seperti memberikan contoh membaca yang

baik, mengerjakan shalat yang benar Nabi berkata, “Shalatlah kamu sebagaimana

shalatku” (Bukhari).

Keteladanan yang disengaja adalah keteladanan yang memang disertai

penjelasan atau perintah agar meneladani. Dalam pendidikan islami kedua

keteladanan itu sama saja pentingnya. Keteladanan yang tidak disengaja dilakukan

secara idak formal; yang disengaja dilakukan secara formal. Keteladanan yang

dilakukan tidak formal itu kadang-kadang kegunaannya lebih besar daripada

kegunaan keteladanan formal.

5. Metode pembiasaan

Pembiasaan sebenarnya berintikan pengalaman. Apa yang dibiasakan? Ya,

yang dibiasakan itu adalah sesuatu yang diamalkan. Oleh karena itu, uraian

60
tentang pembiasaan selalu menjadi satu dengan uraian tentang perlunya

mengamalkan kebaikan yang telah diketahui.

Inti pembiasaan adalah pengulangan. Jika guru setiap masuk kelas

mengucapkan salam, itu telah dapat diartikan sebagai usaha membiasakan. Bila

murid masuk kelas tidak mengucapkan salam, maka guru mengingatkan agar bila

masuk ruangan hendaklah mengucapkan salam, ini juga salah satu cara

membiasakan.

Dalam pembinaan sikap, metode pembiasaan sebenarnya cukup efektif.

Lihatlah pembiasaan yang dilakukan oleh Rasulullah, perhatikanlah orang tua kita

mendidik anaknya. Anak-anak yang dibiasakan bangun pagi sebagai suatu

kebiasaan; kebiasaan-kebiasaan itu (bangun pagi), ajaibnya, juga mempengaruhi

jalan hidupnya. Dalam mengerjakan pekerjaan lain pun ia cenderung “pagi-pagi”,

bahkan “sepagi mungkin”. Orang yang biasa bersih akan memiliki sikap bersih;

ajaibnya, ia juga bersih hatinya, bersih juga pikirannya. Karena melihat inilah

ahli-ahli pendidikan semuanya sepakat untuk membenarkan pembiasaan sebagai

salah satu upaya pendidikan yang baik dalam pembentukan manusia dewasa.

Ajaibnya lagi, pembiasaan tidak hanya perlu bagi anak-anak yang masih

kecil. Tidak hanya perlu di taman kanak-kanak dan sekolah dasar. Di perguruan

tinggi pun pembiasaan masih perlu diperlukan. Pembiasaan merupakan metode

pendidikan yang jitu, tetapi, sayangnya, kita tidak mampu menjelaskan mengapa

pembiasaan itu amat besar pengaruhnya pada pembentukan pribadi seseorang.

Ternyata pembiasaan tidak hanya mengenai yang batini, tetapi juga lahiri. Orang

yang biasa memegang stir mobil, lebih baik menyetir ketimbang orang yang

61
menguasai teorinya, tetapi jarang membawa mobil. Pepatah mengatakan, “Alah

bisa karena biasa,” berarti bahwa orang yang telah terbiasa dapat mengalahkan

orang yang lebih mengetahui, tetapi kurang terbiasa.

Kadang-kadang ada kritik terhadap pendidikan dengan pembiasaan karena

cara ini tidak mendidik siswa untuk menyadari dengan analisis apa yang

dilakukannya. Kelakuannya berlaku secara otomatis tanpa ia mengetahui buruk-

baiknya. Memang benar. Sekalipun demikian, tetap saja metode pembiasaan

sangat baik digunakan karena yang kita biasakan biasanya adalah yang benar, kita

tidak boleh membiasakan anak-anak kita melakukan atau berperilaku yang buruk.

Ini perlu disadari oleh guru sebab perilaku guru yang berulang-ulang, sekalipun

hanya dilakukan secara main-main, akan mempengaruhi anak didik untuk

membiasakan perilaku itu. Metode pembiasaan berjalan bersama-sama dengan

metode keteladanan, sebab pembiasaan itu dicontohkan oleh guru.

Karena pembiasaan berintikan pengulangan, maka metode pembiasaan

juga berguna untuk menguatkan hafalan. Rasulullah berulang-ulang berdo’a

dengan do’a yang sama. Akibatnya, dia hafal benar do’a itu, dan sahabatnya yang

mendengarkan do’a yang berulang-ulang itu juga hafal do’a itu.

6. Metode ‘ibrah dan mau’izah

Al-Nahlawi sudah meneliti kedua kata itu. Menurut pendapatnya, kedua

kata itu mempunyai perbedaan dari segi makna. Ibrah dan i’tibar adalah suatu

kondisi psikis yang menyampaikan manusia kepada intisari sesuatu yang

disaksikan, yang dihadapi, dengan menggunakan nalar, yang menyebabkan hati

62
mengakuinya (1989:390). Adapun mau’izah adalah nasihat yang lembut yang

diterima oleh hati dengan cara menjelaskan pahala atau ancamannya (h.403).

Penggunaan ‘ibrah dalam al-Quran dan sunnah ternyata berbeda-beda

sesuai dengan objek ‘ibrah itu sendiri. Pengambilan ‘ibrah dari kisah hanya akan

dapat dicapai oleh orang yang berpikir dengan akal dan hatinya seperti firman

Allah berikut:

Sesungguhnya pada kisah-kisah mereka itu terdapat pengajaran bagi

orang-orang yang mempunyai akal. Isi al-Quran itu bukanlah ceria yang dibuat-

buat, melainkan membenarkan kitab-kitab sebelumnya dan menjelaskan segala

sesuatu dan sebagai petunjuk dan rahmat bagi orang yang beriman.(Yusuf: 111)

Esensi ibrah dalam kisah ini adalah bahwa Allah berkuasa menyelamatkan

Yusuf setelah dilemparkan ke dalam sumur yang gelap meninggikan

kedudukannya setelah dijebloskan ke dalam penjara dengan cara menjadikannya

raja Mesir setelah dijual sebagai hamba (budak). Kisah ini menjelaskan kekuasaan

Tuhan. Allah mengatakan bahwa ‘ibrah (pelajaran) dari kisah ini hanya dapat

dipahami oleh orang yang disebut ulul al-bab, yaitu orang yang berpikir dan

berzikir.

Pendidikan islami memberikan perhatian khusus kepada metode ‘ibrah

agar pelajaran dapat mengambilnya dari kisah-kisah dalam al-Quran, sebab kisah-

kisah itu bukan sekadar sejarah, melainkan sengaja diceritakan Tuhan karena ada

pelajaran (‘ibrah) yang penting di dalamnya. Pendidik dalam pendidikan islami

harus memanfaatkan metode ini.

63
Rasyid Ridla, tatkala menafsirkan surat al-Baqarah:232, menyimpulkan

bahwa mau’izah adalahh nasihat dengan cara menyentuh kalbu (lihat al-Nahlawi,

1989:403). Kata wa’z itu dapat berarti bermacam-macam. Pertama berarti nasihat,

yaitu sajian bahasan tentang kebenaran dengan maksud mengajak orang dinasihati

untuk mengamalkannya. Nasihat yang baik itu harus lepas dari kepentingan-

kepentingan dirinya secara bendawi dan duniawi. Ia harus ikhlas karena semata-

mata menjalankan perintah Allah.

Dan aku benar-benar tidak membantu upah kepada kalian atas ajakan

itu; upahku ada dari Allah Rabb semesta alam (Al-Syu’ara: 109, 127, 145, 164,

180).

Ayat ini diulang lima kali, hanya dalam surat ini, untuk menegaskan

pentingnya keikhlasan dalam memberi nasihat (mau’izah). Keikhlasan itu

menyangkut persoalan pedagogis. Nasihat yang disampaikan secara ikhlas akan

lebih “mujarab” dalam tanggapan pendengarnya. Nasihat yang tidak ikhlas tidak

akan diterima oleh pendengar. Nasihat yang tidak ikhlas itu seolah-olah masuk

dari telinga kiri, keluar dari telinga kanan. Entah mengapa begitu; amat sulit

dijelaskan.

Kedua, mau’izah berarti tadzkir (peringatan). Yang memberi nasihat

hendaknya berulang kali mengingatkan agar nasihat itu meninggalkan kesan

sehingga orang yang dinasehati tergerak untuk mengikuti nasihat itu. Sekarang

kedua pengertian ini harus digabungkan: nasihat itu harus ikhlas dan disampaikan

berulang-ulang. Bila dilakukan demikian, akan timbul kesan dari pendengar

64
bahwa orang yang menasihati itu memang mempunyai keprihatinan yang dalam

terhadap nasib pendengarnya.

Tadi dikatakan bahwa nasihat (mau’izah) hendaknya disampaikan dengan

cara menyentuh kalbu. Itu tidak mudah. Akan tetapi, dengan keikhlasan dan

berulang-ulang. Bila dilakukan demikian, akan timbul kesan dari pendengar

bahwa orang yang menasihati itu memang mempunyai keprihatinan yang dalam

terhadap nasib pendengarnya.

Tadi dikatakan bahwa nasihat (mau’izah) hendaknya disampaikan dengan

cara menyentuh kalbu. Itu tidak mudah akan tetapi, dengan keikhlasan dan

berulang-ulang, akhirnya nasihat itu akan dirasakan menyentuh kalbu

pendengarnya. Dalam sebuah hadis diceritakan:

Rasulullah saw. menasihati kami dengan nasihat yang menyentuh, yang

membuat hati kami bergetar, dan karenanya mata kami mengeluarkan air mata.

Maka kami berkata,

“Wahai Rasulullah, seakan-akan ia merupakan nasihat orang yang

menitipkan. Maka wasiatkanlah kepada kami” (Hadis, lihat al-Nahlawi,

1989:410).

Nasihat yang menggetarkan hanya mungkin bila

a. Yang memberi nasihat merasa terlibat dalam isi nasihat itu, jadi ia serius

dalam memberi nasihat.

b. Yang menasihatib harus merasa prihatin terhadap nasib orang yang

dinasihati.

65
c. Yang menasihati harus ikhlas, artinya lepas dari kepentingan pribadi

secara duniawi.

d. Yang memberi nasihat harus berulang-ulang melakukannya.

Secara teori, nasihat yang menggetarkan hati haruslah nasihat dengan

menggunakan bahasa yang menyentuh hati. Akan etapi, itu tidak mudah, Secara

operasional, nasihat akan dirasakan menggetarkan hati bila dilakukan dengan cara

seperti disebutkan di atas itu: terlibat, prihatin, ikhlas, dan berulang-ulang.

7. Metode targhib dan tarhib

Targhib adalah janji terhadap kesenangan, kenikmatan akhirat yang

disertai bujukan. Tarhib adalah ancaman karena dosa yang dilakukan. Targhib

bertujuan agar orang yang mematuhi aturan Allah. Tarhib demikian juga. Akan

tetapi, tekanannya adalah targhib agar melakukan kebaikan, sedangkan tarhib

agar menjauhi kejahatan.

Metode ini didasarkan atas fitra (sifatb kejiwaan) manusia, yaitu sifat

keinginan kepada kesenangan, keselamatan, dan tidak menginginkan kepedihan,

kesengsaraan.

Targhib dan tarhib dalam pendidikan islami berbeda dari metode ganjaran

dan hukuman dalam pendidikan Barat.Perbedaan utamanya adalah targhib dan

tarhib bersandarkan ajaran Allah, sedangkan ganjaran dan hukuman bersandarkan

hukuman dan ganjaran duniawi. Perbedaan itu mempunyai implikasi yang

penting.

a. Targhib dan tarhib lebih teguh karena akarnya berada dilangit

(transenden), sedangkan teori hukuman dan ganjaran hanya berdasarkan

66
sesuatu yang duniawi. Targhib dan tarhib itu mengandung aspek iman,

sedangkan metode hukuman dan ganjaran tidak mengandung aspek iman.

Oleh karena itu, targhib dan tarhib lebih kuat pengaruhnya.

b. Secara operasional, targhib dan tarhib lebih muda dilaksanakan daripada

metode hukuman dan ganjaran karena materi targhib dan tarhib sudah ada

dalam al-Qurab dan hadis Nabi, sedangkan hukuman dan ganjaran dalam

metode Barat harus ditemukan sendiri oleh guru.

c. Targhib dan tarhib lebih universal, dapat digunakan kepada siapa saja dan

dimana saja; sedangkan jenis hukuman dan ganjaran harus disesuaikan

dengan orang tertentu dan tempat tertentu.

d. Di pihak lain, targhib dan tarhib lebih lemah daripada hukuman dan

ganjaran karena hukuman dan ganjaran lebih nyata dan langsung waktu itu

juga, sedangkan pembuktian targhib dan tarhib kebanyakan gaib dan di

terima nanti (di akhirat).

Sampai di sini telah selesai dibicarakan tujuh metode pendidikan islami

yang pada dasarnya diambil dari buku al-Nahlawi yang berjudul prinsip-prinsip

dan Metode Pendidikan Islami (1989). Metode-metode pengajaran yang

digunakan pendidikan keimanan yang memang merupakan inti dalam pendidikan

islami. Bagi pembaca Indonesia, metode-metode itu barangkali berguna bagi

pendidikan keimanan dalam rumah tangga, di sekolah, dan di lembaga-lembaga

pendidikan lain.

Pada bagian permulaan bab ini sudah dikatakan bahwa pendidikan

keagamaan pada segi psikomotor dan kognitif sekarang ini di Indonesia tidak

67
menghadapi masalah yang gawat. Metode-metode pengajaran yang digunakan

oleh orang Barat pada dasarnya dapat digunakan oleh guru-guru di sekolah islami

atau guru agama di sekolah umum.Untuk pendidikan segi afektif, dalam

pendidikan agama Islam yang berupa pendidikan rasa iman, metode-metode yang

tujuh malam di atas agaknya dapat digunakan.

Masalah pendidikan agama Islam di Indonesia , terutama di sekolah

umum, memang masih banyak. Kurangnya jam pelajaran agaknya bukan

merupakan hambatan yang utama; salah satu rintangan yang utama adalah

masalah metode pendidikannya. Dalam setiap pertemuan ilmiah (seminar,

misalnya), masalah metode ini selalu muncul, dan selalu pula tidak dapat

diselesaikan. Bahkan pada permulaan bab ini saya mengatakan bahwa pendidikan

agama islam, terutama di sekolah umum, nyaris dapat disebut gagal karena guru

hanya menyelenggarakan pendidikan agama Islam aspek psikomotor dan kognitif;

aspek afektif (rasa iman, rasaberagama) kurang sekali mendapat pembinaan.

Padahal, inti (pokok) agama itu adalah iman.

Penataran-penataran guru agama sering kali diadakan, tetapi masalah ini

tetap saja tidak terselesaikan. Tetap saja banyak murid berpengetahuan agama

yang tinggi, tetapi belum juga beragama dengan benar, masih malas shalat,

berbohong, dan sebagainya. Nah, saya bermaksud, dengan memperkenalkan

ketujuh metode di atas tadi, moga-moga masalah pembinaan afektif itu mulai

menampakkan jalan keluar metodologisnya. Berikut ini saya tambahkan hasil

penelitian yang saya lakukan selama kira-kira sepuluh tahun terakhir ini.

8. Metode pepujian

68
Di kompleks pesantren tradisional, jika menjelang subuh, Anda biasanya

akan mendengar dari pengeras suara anak-anak atau orang dewasa mengucapkan

pepujian. Pepujian itu di pesantren sering disebut tarhiman. Lagunya bermacam

macam, semuanya enak didengar. Sayup suara itu, mengetuk sampai ke hulu hati.

Ditarik selimut, tetapi suara itu semakin menyusup ke jantung hati. Ada ucapan

salawat kepada Nabi yang tercinta, ada pepujian untuk Allah, ada do’a yang

menggugah. Ucapan-ucapan itu berulang-ulang sampai akhirnya beduk berbunyi

dan azan subuh dikumandangkan.

Apakah pepujian dan beduk itu suatu pekerjaan bid’ah saya kurang tahu.

Yang saya ketahui, pepujian dan suara beduk itu menyusup ke dalam kalbu,

meninggalkan rasa tertentu yang tidak dapat diuraikan apanya. Kadang-kadang,

secara tidak sadar , tangan ini telah melemparkan selimut, kaki melangkah untuk

mandi atau berwudu, dan pergi ke masjid, ikut shalat subuh.

Pepujian dan beduk itu berlaku setiap subuh, sekurang-kurangnya. Setiap

subuh pula hati ini diketuk. Ditambah dengan azan yang indah mengalun, tidak

sadar kerongkongan mulai serak, tak diketahui mengapa mata ini basah. Saya

yakin, itulah saat-saat Allah mulai bersemayam di dalam kalbu; itulah waktu-

waktu ketika iman mulai bersemayam di hati. Ingat, semuanya tidak masuk

melalui otak, tidakmelalui proses kognitif atau analisis. Semuanya langsung

menuju ke hati. Anda tidak percaya, cobalah menginap di lingkungan pesantren

tradisional, ya, kira-kira dua atau tiga malam saja. Rasakan jangan pikirkan.

Termasuk metode pepujian adalah membaca ayat-ayat al-quran.

Apabilaayat yang dibaca itu dipilih yang menggetarkan hati, dibacakan dengan

69
suara dan lagu yang indah. prosesnya sama saja dengan pepujian salawat tadi.

rupanya,”jalan” menuju hati memang berbeda dari “jalan” menuju otak. Suara-

suara itu ternyata semakin jauh semakin merasuk jantung, sayup-sayup, tetapi

menggelisahkan sehimgga udara dingin biasanya tidak mampu menahan kita

untuk tetap tidur. rupanya, pepujian dan ayat-ayat itu mempunyai semacam

getaran gaib yang tidak dapat dilukiskandengan kata-kata. karena ia adalah rasa,

maka ia tidak dapat dilaporkan dalam suara atau aksara.

Sayang, pepujian itu kurang mendapat tempat di kota. Masjid-masjidkoa

biasanya to the point, langsung azan, dan sebentar kemudian salat subuh. Lalu

bubar. Orang koa memang rasional; pepujian itu mengganggu orang sekitar. Lebih

baik tidur dibandingkan dengan berjam-jam mengucapkan pepujian. Tidur yang

banyak karena besok tugas semakin berat. Orang kota menggunakan perhitungan

menit; setiap menit adalah kerja atau uang.

Orang kota tidak dapat disalahkan; ini adalah resiko kebudayaan.

Kehidupan kita, tanpa kita sadari, sudah diatur oleh waktu, yang sebenarnya diatur

oleh uang. Tanpa kita sadari, kita telah terpengaruh oleh budaya barat, yaitu

budaya rasional budaya kerja keras, dan budaya perasingan. Budaya ini tidak

memberikan tempat kepada penyia-nyiaan waktu untuk pepujian, bahkan untuk

shalat sekalipun.

Beberapa pikiran modern pun memperlihatkan perilaku ganjil. Mereka

membid’ahkan pepujian, bahkan mengharamkan beduk. Saya benar-benar tidak

mengerti jalan ijtihad seperti ini. Tanpa disadari pula, gerakan pemikiran modern

ini telah menguras sebagian metode pendidikan rasa beragama, rasa iman.

70
Akhirnya, agama hanya berjalan di badan dan di otak, tetapi kurang atau tidak

berjalan di hati. Rasa beragama semakin kering; orang semakin sulit

mengeluarkan air mata tatkala nama Allah disebut. Dan bila datang cobaan, orang

akan mudah frustasi. Agama kota agaknya lebih rasional, agama desa mungkin

lebih berpusat di hati. Barangkali perlu diingat lagi firman Tuhan dalam surah al-

Hujurat ayat14 yang mengatakan bahwa iman itu di hati, bukan di kepala. Dengan

uraian ini saya mengimbau para ahli pendidikan islami untuk memperhatikan,

kalau perlu meneliti, dan menekuni metode pepujian ini.

9. Metode wirid

Wirid adalah pengucapan doa-doa, berulang-ulang. Lafal doa itu

bermacam-macam. Biasanya dibaca tatkala selesai shalat. Ada juga doa berupa

zikir, yang juga dibaca berulang-ulang dalam jumlah tertentu. Contoh lafal wirid

adalah lafal Subhanallah, Alhamdulillah, Allahuakbar, selain itu ada wirid yang

menggunakan lafal la ilaha illallah. Wirid yang diambil dari al-asmaulhusna juga

banyak digunakan. Di pesantren (umumnya), setelah selesai magrib kebanyakan

orang tetap tinggal di masjid. Mereka tidak pulang ke rumah. Mereka wiridan

sambil menunggu salat isya. Tidak jarang anak-anak pun ikut wiridan.

Dalam wiridan ada juga doa-doa yang khas lafal doa. Lafal wirid

sebenarnya doa juga, tetapi tidak khas lafal doa. Dalam wirid ada juga pepujian,

bahkan seluruhnya dapat juga diartikan pepujian, tetapi tidak dilakukan seperti

pepujian yang disebut sebelum ini. Jadi, setelah magrib itu yang dilakukan adalah

wirid, dalam arti pepujian dan doa. Keseluruhan ini sering juga disebut zikir.

71
Biasanya wirid dilakukan juga setelah subuh, yang kadang-kadang selesai

menjelang terbit matahari.

Mungkin ada orang yang kurang menyadari bahwa wirid itu mempunyai

implikasi pedagogis. Memang, ini sulit dijelaskan. Akan tetapi, mereka yang

sering mengalaminya dapat memahami dan merasakan adanya pengaruh wirid itu

pada pelakunya, suatu pengaruh yang memperkuat rasa iman, memantapkan rasa

beragama.

Sama dengan pepujian, wirid juga tergusur di kota. Alasannya kira-kira

sama dengan pepujian tadi; menghamburkan waktu, bahkan beberapa jenis wirid

dianggap bid’ah. Sayangnya, pepujian dan wirid digusur, tetapi tidak dicarikan

penggantinya yang seimbang. Kembali akibatnya, perasaan beragama semakin

kering; agama dihayati dengan kepala dan badan, tetapi idak terasa di hati. Begitu

modernnya orang kota sampai-sampai khotbah jumat pun tidaklah dilakukan.

Orang membaca khotbah (bagian Arabnya) seperti membaca tulisan bahasa

Indonesia. Bagian Arabnya pendek saja, sekadar hamdalah, haukalah, tasbih,

syahadat, dan salawat, yaitu sekadar yang wajib-wajibya. Do’anya pun pendek-

pendek, kadang-kadang dibaca seperti membaca tulisan latin, bahkan kadang-

kadang memang doanya dalam bahasa Indonesia. Sama sekali khotbah itu tidak

menyentuh rasa; yang disentuh hanya kepala. Khotbah sekarang telah kehilangan

rasa; lezatnya khotbah telah punah. Orang mungkin lupa bahwa ada aspek

pendidikan rasa beragama dalam khotbah; itu bukan dalam isi khotbah, melainkan

dalam suara khotbah.

72
Pepujian hilang, wirid dengan berbagai variannya, khotbah pun, yang

sebenarnya cukup efektif, juga hilang segi pendidikan rasanya. Akibatnya adalah

orang beragama, tetapi tidak mempunyai rasa beragama. Orang akhirnya tidak

mampu menikmati agama. Agama selalu dirasakan sebagai perintah yang harus.

Agama selalu merupakan beban, bukan kesenangan. Orang salat terpaksa, bukan

karena lezat. Yang dilakukan orang hanya yang wajib-wajibnya, yang sunnah

ditinggalkan karena tidak ada lagi rasa nikmat beribadah. Begitulah kira-kira

agama sekarang, terutama di kota yang modern. tak pelak lagi, ini merupakan

langkah terakhir menuju kedangkalan beragama, untuk selanjutnya keluar secara

pelan-pelan dari agama. Orang akan mudah sekali melakukan pelanggaran aturan

Tuhan. Inti agama adalah iman, iman itu di hati; kaidah ini perlu benar menjadi

titik perhaian dalam memikirkan metode pendidikan islami.

C. Menanamkan Keimanan Melalui Dzikrullah

Setelah tujuan dirumuskan, tujuan itu diusahakan tercapai. Usaha

mencapai tujuan itulah yang disebut proses pendidikan.

Banyak sekali aspek tujuan pendidikan yang hendak dicapai; yang

terpenting adalah proses yang kita lakukan agar orang yang dididik itu berhasil

menjadi manusia. Menjadi manusia itulah tujuan pendidikan yang paling utama.

Kebanyakan orang melihat tujuan pendidikan dari aspek ketepatan tujuan

itu untuk mengisi lapangan kerja. Dari segi inilah orang kebanyakan menilai

pendidikan kita (nasional) kurang berhasil karena dianggap tidak atau kurang

mampu menghasilkan lulusan siap pakai; pendidikan kita tidak sesuai dengan

73
kebutuhan lapangan kerja. Mungkin ada orang beranggapan inilah masalah utama

pendidikan kita.

Cara berpikir kita seperti ini adalah cara berpikir pragmatis. Dalam hal ini

pendidikan yang benar adalah pendidikan yang mampu menghasilkan lulusan

yang langsung terampil bekerja. Dari sini orang akan menyimpulkan bila lulusan

yang dihasilkan kurang sesuai dengan lapangan kerja yang tersedia maka

pendidikan itu tidak benar alias gagal. Apakah memang demikian?

Apakah benar pendidikan gagal karena tidak mampu menghasilkan lulusan

siap pakai sehingga dianggap sebagai masalah besar? Apakah tidak terlihat bahwa

lulusan pendidikan kita juga sanggup berbohong, sanggup merampas hak orang

lain, tega korupsi, senang mengambil jalan pintas yang illegal, selalu ingin benar

sendiri, kurang mampu menghargai pendapat orang lain, kurang peka terhadap

penderitaan orang lain? Mengapa pendidikan masih juga menghasilkan lulusan

suka perang, tega membunuh sesama manusia, berani merampok, menjarah,

sanggup memperkosa? Ya, mengapa? Bukankah ini merupakan masalah dengan

kebutuhan lapangan kerja?

Pendidikan diadakan dengan tujuan yang lebih penting daripada

menyiapkan tenaga kerja, pendidikan berujuan membantu manusia menjadi

manusia, sekurang-kurangnya lebih baik daripada binatang. Hal ini didasarkan

pada pengalaman sejarah manusia. Bila manusia tidak dididik, dapat saja

berkembang menjadi makhluk yang lebih jahat daripada binatang. Kita harus

benar-benar waspada dalam merumuskan tujuan utama pendidikan. Adalah sangat

berbahaya bila pendidikan mengutamakan pembinaan kesehatan dan kekuatan

74
jasmani, kecerdasan dan kepandaian intelektual serta keterampilan kerja. Itu

memang penting tetapi yang lebih penting adalah menyiapkan lulusan menjadi

manusia yang baik, manusia yang berkemanusiaan yang tinggi. Untuk itu kita

harus mengetahui dengan jelas apanya pada manusia itu yang paling utama harus

dididik. Kita harus tahu lebih dahulu hakikat manusia.

Manusia adalah makhluk Allah karena itu hanya Allah lah yang

mengeahui hakikat manusia. Di dalam al-Qur’an surat al-An’am ayat 2 dikatakan

Allah menciptakan kamu dari tanah, ...namun kemudian kalian ragu. Kata Allah

kami ciptakan manusia dari intisari tanah, kemudian Kami jadikan Ia mani yang

tersimpan dalam wadah yang kokoh, kemudian Kami jadikan mani itu segumpal

darah, kemudian darah itu menjadi segumpal daging, lantas gumpalan daging itu

Kami ciptakan menjadi tulang, tulang itu Kami balut dengan daging, kemudian

Kami jadikan ia menjadi makhluk yang lain; Maha suci Allah, Pencipta Yang

Baik (al-Mukminun:12-14).

Berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an di atas itu tahulah kita bahwa manusia itu

dicipta oleh Allah; bahan manusia pada awalnya adalah tanah. Proses penciptaan

selanjutnya tersebut dalam al-Qur’an surat al- Sajadah ayat 7-9: Yang telah

menciptakan makhlukNya sebaik-baiknya; Ia mulai menciptakan manusia dari

tanah, kemudian Ia ciptakan keturunannya dari mani yang hina, kemudian Ia

sempurnakan bentuknya dan Ia hembuskan ke dalam janin itu ruh-Nya dan Ia

jadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati, tetapi sedikit sekali di

antara kamu yang bersyukur.

75
Sampai di sini kita telah mengetahui bahwa manusia itu terdiri atas dua

unsur yaitu unsur materi yaitu tanah atau sari tanah dan unsur ruh yang immateri

yang ditiupkan Allah. Pengerian inilah yang dibakukan dalam bahasa Indonesia

bahwa manusia itu terdiri atas jasmani dan ruhani.

Di dalam al-Qur’an terdapat petunjuk yang menyatakan bahwa manusia

itu memiliki dua daya yaitu daya berpikir yang berpusat di kepala dan daya rasa

yang terdapat di dada. Banyak ayat al-Qur’an yang menjelaskan adanya daya

pikir, antara lain di dalam surah al-Baqarah ayat 164: Sesungguhnya pada

kejadian langit dan bumi, pada pergantian malam dan siang, pada kapal yang

berlayar di lautan yang membawa manfaat bagi manusia, pada air yang

diturunkan dari langit dan dengan itu Ia hidupkan bumi setelah matinya, pada

binatang yang Ia sebarkan di atasnya, dan pada perkisaran angin dan awan yang

terkendali antara langit dan bumi, pada semua itu terdapat tanda-tanda bagi

orang yang menggunakan akal. Tanda-tanda itu mesti dipikirkan dan pemikiran

itu terjadi pada akal yang berpusat di kepala.

Ayat berikut adalah sebagian dari ayat al-Qur’an yang menjelaskan adanya

rasa yang terdapat di dalam dada: Sesungguhnya al- Qur’an diturunkan oleh

Tuhan alam semesta, dibawa turun oleh ruh suci ke dalam hatimu, agar kamu

memberikan peringatan (al-Syu’ara:192-194. Tetapi Allah menjadikan kamu

cinta pada iman dan menjadikannya indah dalam hatimu (al-Hujarat:7). Sungguh,

bukan mata yang buta melainkan hati yang ada di dalam dada (al-Hajj:46).

Berdasarkan ayat-ayat al-Qur’an yang dikutip terjemahannya di atas

jelaslah bahwa manusia itu tersusun atas unsur jasmani (materi) dan ruhani

76
(immateri); dan diketahui pula bahwa ruhani itu terdiri atas akal (berpikir) dan

hati (yang merasa). Jadi, ada tiga unsur manusia yaitu jasmani, akal, dan rasa.

Al-Syaibani menyebutnya: jasmani, akal, dan ruhani; jadi bagi al-Syaibani rasa itu

ruhani. Tiga unsur inilah (jasmani, akal, rasa atau ruhani) inilah kekuatan yang

membangun manusia.

Daya jasmani bila dididik dengan benar akan menghasilkan jasmani yang

sehat serta kuat ; akal bila dididik dengan benar akan menghasilkan akal yang

cerdas serta pandai; rasa atau hati (qalb) bila dididik dengan benar akan

menghasilkan hati yang peka. Perkembangan yang harmonis ketiga unsur ini

akan menghasilkan manusia yang utuh.

Dalam kajian lebih lanjut ditemukan bahwa antara ketiga unsur itu

ternyata hati atau rasa yang merupakan unsur terpenting pada manusia. Ini

diketahui antara lain dari salah satu sabda rasul saw. yang mengatakan bahwa di

dalam diri manusia itu ada segumpal daging, bila daging itu baik maka baiklah

keseluruhan manusia itu dan bila daging itu jahat maka jahatlah keseluruhan

manusia itu, daging itu adalah hati.

Hadits di atas mengandung pengertian bahwa hati yang dimaksud di sini

adalah kalbu, tempat atau pusat rasa yang ada pada manusia dan merupakan pusat

kendali manusia. Jadi, jika kita bertanya apa yang paling penting pada manusia

maka jawabnya adalah hatinya. Hati itulah pengendali manusia. Dari sini dapat

pula kita mengetahui bahwa tugas utama pendidikan memperkuat hati itu agar ia

mampu mengendalikan manusia agar menjadi manusia yang baik. Karena itu

pendidikan kalbu merupakan pendidikan yang paling utama.

77
Pada umumnya pendidikan sekarang ini kurang atau tidak memperhatikan

pembinaan kalbu, yang menjadi perhatian utama adalah pembinaan jasmani dan

akal, bahkan dipersempit lagi menjadi mendidik murid agar mampu merebut

lapangan kerja. Lihatlah: tujuan dan tugas pendidikan sudah sangat sempit. Ini

berbahaya.

Pendidikan segi jasmani telah berjalan dengan baik. Untuk itu ada mata

pelajaran olahraga dan kesehatan. Hasilnya lulusan sehat serta kuat. Apakah hasil

itu dihubungkan dengan kebaikan sebagaimana disuarakan oleh kalbu?

Untuk aspek akal disediakan banyak sekali mata pelajaran, antara lain

logika, matematika, fisika, biologi, sosiologi,. Tetapi apakah akal yang cerdas

serta pandai (banyak pengetahuannya) itu dihubungkan dengan kebaikan

sebagaimana yang disuarakan oleh hati?

Mestinya dalam pembinaan jasmani agar sehat serta kuat itu guru

menghubungkannya dengan Tuhan sebagai sumber kebaikan. Demikian juga

dalam pembinaan akal. Dalam pengajaran fisika misalnya, sebaiknya guru

menghubungkan alam ini dengan Tuhan sebagai Pencipta dan Penjaganya. Teori-

teori itu janganlah hendaknya hanya diajarkan apa adanya, melainkan

dihubungkan dengan asal usulnya. Sialnya, guru agama juga kurang

memperhaikan pembinaan kalbu; murid dibina segi pengetahuan agama saja,

sangat kurang pembinaan kalbu yang menjadi penyebab seseorang beragama.

Kemanusiaan manusia ada di dalam hatinya. Hati itulah yang

mengendalikan manusia itu apakah ia menjadi manusia atau setengah manusia

78
setengah bukan. Karena itu pendidikan haruslah mengutamakan pembinaan hati

atau kalbu.

Supaya hati itu berkembang menjadi hati yang baik, hati itu harus berisi

kebaikan. Tuhan adalah kebaikan tertinggi. Karena itu, agar hati itu baik hati itu

harus berisi Tuhan. Harusnya isi hatinya itu hanya Tuhan, atau Tuhan menjadi

raja di hati itu. Bila Tuhan telah bersemayam di hati dan ia menjadi raja di situ,

maka hati akan menjadi hati yang baik. Hati yang seperti itulah yang akan mampu

mengendalikan manusia sehingga manusia yang memiliki hati itu akan menjadi

manusia yang baik. Orang yang hatinya berisi Tuhan dan Tuhan menjadi raja di

sana, itulah orang yang beriman.

Iman tidak bertempat di badan atau jasmani, tidak pula di pikiran atau

akal. Iman itu di hati. Berkata orang-orang Arab pegunungan, kami telah

beriman, katakanlah (hai Muhammad) kalian belum beriman . . . karena iman

belum masuk ke dalam hati kalian (al-Hujurat: 14). Rupa-rupanya iman orang

Arab pegunungan itu baru berada di lidah atau di kepala mereka, belum masuk ke

dalam hati mereka.

Iman itu di hati; ini dapat dipahami, karena hati adalah pusat kendali manusia,

hati adalah inti sari manusia. Bila manusia telah beriman itu berarti Tuhan telah

berada di dalam hati manusia itu, maka keseluruhan orang itu akan dikendalikan

Tuhan. Inilah hakikat beriman yaitu tatkala manusia telah sepenuhnya

dikendalikan Tuhan. Bila konsep di atas telah dipahami maka tidak ada

kemungkinan lain selain mengerahkan segenap usaha pendidikan untuk

menanamkan iman di hati.

79
Bila hati telah dipenuhi iman, artinya, bila Tuhan telah bertahta di hati,

maka isi hati itu hanyalah Tuhan, dengan sendirinya ingatan orang itu hanya

Tuhan dan tidak pernah lepas dari ingat pada Tuhan. Orang itu mungkin saja suatu

ketika memikirkan uang, kedudukan, atau lainnya, tetapi itu semua tidak pernah

lepas dari Tuhan. Keadaan inilah yang disebut dzikir (zikir), yaitu dzikrullah. Jadi

iman adalah zikir.

Zikir adalah suatu kondisi tatkala orang ingat pada Tuhan. Iman yang

tinggi adalah bila selalu ingat pada tuhan. Menjaga kondisi selalu zikir

diperintahkan Tuhan dalam surat Ali ‘Imran ayat191: ... yaitu orang-orang yang

mengingat Allah tatkala berdiri, duduk, maupun berbaring. Berdiri, duduk,

berbaring itu menggambarkan seluruh keadaan manusia.

Ayat itu menegaskan bahwa zikir itu harus terus-menerus, dalam semua

keadaan, baik keadaan berdiri, duduk, maupun berbaring. Dalam al-Qur’an surat

al-Ju’ah ayat 10 ditegaskan bahwa orang beriman itu harus zikir sebanyak-

banyaknya. Di dalam surat al-Ahzab ayat 35 dikatakan: Bagi orang-orang yang

zikir kepada Allah sebanyak-banyaknya akan disediakan pahala yang besar. Di

dalam surat al-Ahzab ayat 41 ada juga perintah agar dzikrullah sebanyak-

banyaknya.

Ayat-ayat itu memerintah kita agar ingat kepada Allah sebanyak-

banyaknya. Bila banyak ingat kepada Allah maka diharapkan lama kelamaan kita

tidak sanggup lagi terlepas dari Allah. Memang berbahaya bila kita sebentar saja

lupa kepada Allah. bila lupa kepada Allah sebentar saja maka setan segera

menggaetnya untuk dijadikan temannya (Hadits).

80
Dari uraian di atas kita tahu bahwa upaya pendidikan yang paling utama

adalah penanaman iman; proses penanaman iman itu dilakukan dengan cara

menjadikan hati dalam kondisi selalu zikir. Persoalan pelik adalah bagaimana cara

menanamkan menjadikan hati itu selalu dalam kondisi dzikrullah.

Untuk mencapai kondisi dzikrullah terus menerus atau iman penuh, kita

harus melaksanakan kehidupan sesuai dengan petunjuk Allah. Ini merupakan

rumus umum yang dapat dioperasikan menjadi: Jauhi dosa besar, tinggalkan dosa

kecil; jauhi yang haram, tinggalkan yang syubhat.

Mari kita lihat persoalan ini lebih rinci. Pertama, shalat. Di dalam surat

Thaha ayat 14 Allah memerintahkan Dirikan shalat agar kamu mengingat-Ku.

Jadi , shalat merupakan salah satu cara dzikrullah. Shalat wajib yang lima itu bila

dilakukan ternyata hanya memerlukan waktu sekitar 50 menit (10 menit X 5

shalat). Sisa waktu sehari semalam masih ada 23 jam diisi dengan apa? Waktu itu

harus diisi dengan kegiatan dzikrullah selain shalat. Kedua , zakat. Ini hanya

sekali setahun , itu pun jika memiliki harta sampai nishab. Ketiga, puasa. Ini

hanya sebulan dalam setahun, sisanya masih ada 11 bulan. Bila ditambah puasa

sunnat Senin dan Kamis toh masih ada sisa 5 hari setiap minggu. Sisa itu akan

diisi apa? Keempat, hajji. Ini hanya sekali seumur hidup. Jadi, bilaperintah wajib

sudah diamalkan semua maka sisa waktu masih cukup banyak. Sisa inilah yang

masih harus diisi dengan dzikrullah. Mengapa? Karena kita harus selalu dalam

keadaan dzikrullah.

Di dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Tirmidzi dan Ibnu Majah

dikatakan: Seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah saw, ya rasulullah

81
sesungguhnya syari’at Islam sudah biasa ku lakukan, beritahu aku sesuatu yang

dapat aku bergantung padanya, Rasulullah saw. menjawab hendaklah lidahmu

senantiasa basah oleh dzikrullah.

Hadits ini memberikan penjelasan bahwa selain beribadah-ibadan khas itu

tadi, waktu yang lowong hendaklah diisi dengan dzikrullah dalam bentuk

menyebut-nyebut nama Allah. Apa yang diucapkan? Ibnu Majah melaporkan

hadis nabi saw yang lain yang menyatakan bahwa ucapan dzikrullah yang paling

baik adalah sebutan La ilaha illallah.

Semua ibadah khas mempunyai waktu tersendiri. Bila dibandingkan dengn

waktu yang tersedia itu hanya sedikit sekali. Karena itu datanglah anjuran dari

Allah agar orang yang telah mulai beriman kepada Allah mengisi sisa waktu yang

panjang itu dengan dzikrullahs seperti tersebut dalam surah al-Jum’ah ayat 10, al-

Ahzab ayat 35, dan 41. Di dalam surat al-Nisa ayat 103 Allah memerintahkan bila

selesai shalat maka zikirlah kepada Allah bai dalam keadaan duduk, berdiri, atau

sedang berbaring. Jadi, di luar shalat kita harus selalu zikir. Gunanya adalah

untuk memperkuat iman yang telah ada di dalam hati.

Di dalam al-Qur’an surat al Qaf ayat 4,39, di dalam surat Rum ayat 17-18,

dijelaskan bahwa zikir itu boleh dilakukan dalam bentuk membaca tasbih. Di

dalam surat al-Kahfi ayat 28, surat al-A’raf ayat 205, Allah mencela orang yang

lalai dari dzikrullah. Menarik sekali hadits yang diriwayatkan Tirmidzi:

Rasulullah berkata, janganlah kalian banyak bicara tanpa dzikrullah sebab

bicara banyak tanpa dzikrullah akan menyebabkan hati menjadi hati yang keras,

orang yang hatinya keras itu adalah orang yang jauh dari Allah.

82
Perlu diketahui bahwa yang selalu berusaha supaya kita lupa dzikrullah

adalah setan. Ini disebut dalam surat al-Mujadallah ayat 19: Setan menguasai

mereka,lalu setan itu menjadikan mereka orang yang lupa mengingat Allah. Di

dalam surat al-Munafiqun ayat 9 dikatakan bahwa harta benda dan anak-anak juga

dapat menyebabkan kita lalai mengingat Allah.: Hai orang-orang yang beriman

janganlah harta dan anak-anakmu menyebabkan kamu lalai mengingatAllah.

Tentang ini lihat selanjutnya al-Hasr:19, Thaha:124, al-Zukhruf:17, al-Jinn:17, al-

Mujadalah:19, al-Zumar:22.

Sampai di sini dapatlah dibuat kesimpulan sebagai berikut:

1) Masalah besar dalam pendidikan memang banyak, yang terbesar adalah

pendidikan kurang berhasil dalam menanamkan iman, padahal iman itu adalah

pengendali manusia;

2) Hati harus dibina dengan cara menanamkan iman di hati itu, caranya adalah

dengan menempatkan Tuhan di hati itu sampai Tuhan itu menjadi raja di hati

itu;

3) Iman yang sempurna adalah bila seseorang selalu dalam keadaan dzikrullah;

4) Dzikrullah itu dilakukan dalam bentuk mengamalkan semua ajaran Islam

yang wajib, sisa waktu sepenuhnya diisi dengan mengamalkan yang sunnat,

sisanya lagi diisi dengan menyebut –nyebut nama Allah dengan lidah dan

atau menyebut dalam hati.

83
BAB IV

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM DI SEKOLAH/MADRASAH

A. Pengertian Pendidikan Agama Islam

Istilah pendidikan dalam Islam sering di ungkapkan dalam bentuk al-

tarbiyah, berbeda, karena disebabkan perbedaan konteks kalimatnya (al-syiaq al-

kalam), walaupun dalam hal-hal tertentu term-term tersebut memiliki makna yang

sama. (Muhaimin dan Mujib, 1993:127).

Walaupun dalam al-Quran tidak ditemukan secara khusus istilah al-

tarbiyah, akan tetapi, terdapat kalimat yang senada dengan term tersebut, seperti

kata al-rab, rabayani, nurrabbi, ribbiyun, dan rabbani. Dari bentuk ini kemudian

membentuk satu kata, bentuk masdar (infinitive), yakni al-tarbiyah. Menurut

mu’jam al-Lughowy (kamus bahasa) kata al-tarbiyah memiliki tiga akar kata

dasar (lbn Madzur, tt.: 94-96) yang semuanya memiliki arti yang hampir sama,

yaitu.

a. Rabba-yarbu-tarbiyatan, yang memiliki arti tambah (zada) dan

berkembang (nama) pengerian ini didasarkan pada konteks ayat Qs. al-

Rum [30] ayat 39.

b. Rabbi- yurrabbi-tarbiyatan yang memiliki arti tumbuh (nasyaa) dan;

c. Rabba-yurabbi-arbiyatan, yang memiliki arti memperbaiki(ashlaha),

menguasai urusan, memelihara, merawat, menunaikan, memperindah,

memberi makan, mengasuh, tuan, memiliki, mengatur dan menjaga,

kelesarian dan eksistensinya.

84
Akan tetapi apabila kata al-tarbiyah dikaitkan dengan bentuk madhi-nya

rabbayani (QS al-Isra [17] ayat 24), dan bentuk mudlari-nya nurrabi (QS al-

Syu’ara [26] ayat 18) maka kalima tersebut memiliki makna, mengasuh,

menanggung, memberi makan, mengembangkan, memelihara, membesarkan,

menumbuhkan, memproduksi dan menjinakkan (AI-Attas,1998:25). Sedangkan

dalam haditsNabi Muhammad yang diriwayatkan oleh Imam Bukhori dari Ibn

Abbas, digunakan istilah rabbaniyyin dan rabbani. ”Jadilah kamu para pendidik

yang penyantun, ahli fiqh dan berilmu pengetahuan, dan dikatakan predikat

Rabbani apabila seseorang telah mendidik manusia dengan ilmu pengetahuan,

dari sekecil-kecilnya sampai menuju pada yang tinggi.”

Bila melihat konteks hadits di atas, arti al-tarbiyah merupakan sebuah

proses transformasi ilmu pengetahuan mulai dari tingkat dasar sampai menuju

tingkat selanjutnya yang lebih tinggi. Proses Rabbani menurut hadits di atas

bermula dari proses pengenalan, hafalan dan ingatan yang belum menjangkau

proses selanjutnya yakni pemahaman dan penalaran. Akan tetapi sebaliknya, jika

melihat surat Ali Imran di atas, pengertian al-tarbiyah merupakan proses

transformasi ilmu pengetahuan dan sikap pada anak didik yang mempunyai

semangat yang tinggi dalam memahami dan menghayati kehidupannya, sehingga

terwujud ketakwaan, budi pekerti dan pribadi yang luhur (Muhaimin dan Mujib,

1993:130).

Secara terminologis al-Maraghi (tt., Juz 1: 30) membagi kegiatan al-

tarbiyah dengan dua macam, pertama tarbiyah khalqiyat, yaitu penciptaan,

pembinaan dan pengembangan jasmani peserta didik agar dapat dijadikan sebagai

85
sarana bagi pengembangan jiwa. kedua, tarbiyat diniyat tazkiyat, yaitu pembinaan

jiwa manusia dan kesempurnaannya melalui petunjuk wahyu ilahi. Berdasarkan

pembagian ini maka ruang lingkup al-tarbiyat menurut Ramayulis (mencakup

berbagai kebutuhan manusia, baik kebutuhan dunia, maupun kebutuhan akhirat,

serta kebutuhan terhadap kelestarian diri sendiri, sesamanya, lingkungan dan

relasinya dengan Tuhan.

Sedangkan kata al-talim merupakan bentuk atau bagian kecil dari al-

tarbiyah al-aqliyah, yang bertujuan memperoleh ilmu pengetahuan dan keahlian

berpikir, yang sifatnya mengacu pada domain kognitif. Terdapat beberapa pemikir

pendidikan yang mengartikan al-talim dalam konteks pendidikan ini. Diantaranya

adalah M. Rasyid Ridlo (1973) yang mendefinisikan al-talim dengan proses

transmisi ilmu pengetahuan pada jiwa individu tanpa ada batasan dan ketentuan

tertentu. Hal ini berdasarkan pada firman Allah Q.S al-Baqarah [2] ayat 23

tentang ‘allama (pengajaran) Allah kepada Nabi Adam, sedang proses tersebut

dilakukan secara bertahap sebagaimana Nabi Adam menyaksikan dan

menganalisis asma-asma yang diajarkan Allah kepadanya.

Abdul Fatah Jalal sebagaimana dikutip oleh Muhaimin, memberikan

pengertian al-talim dengan proses pemberian pengetahuan, pemahaman,

pengertian, tanggung jawab dan penanaman amanah sehingga terjadi tazkiyah

(penyucian) diri manusia dari segala kotoran dan menjadikan diri manusia itu

berada dalam satu kondisi yang memungkinkan untuk menerima al-hikmahi serta

mempelajari segala apa yang bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya.

(Muhaimin, 2004:132).

86
Bentuk ketiga adalah, al-ta’dib. Istilah al-ta’dib menurut Naquib al-Attas

merupakan bentuk yang paling cocok untuk dipergunakan sebagai istilah dalam

pendidikan Islam, hal ini karena konsep inilah yang diajarakan Nabi pada

ummatnya waktu terdahulu. Ia mengatakan, bahwa orang yang terpelajar adalah

orang baik, dan baik yang dimaksud di sini adalah addab dalam artian

menyeluruh, yang meliputi kehidupan spiritual dan material seseorang yang

berusaha menanamkan kualitas kebaikan yang diterimanya. Oleh karena itu

menurutnya, orang yang benar-benar terpelajar menurut perspektif Islam di

definisikan al-Attas dengan ber adab.

Al-Attas mencontohkan orang yang paling ber-adab paling ideal adalah

Nabi Muhammad yang oleh kebanyakan sarjana Muslim disebut sebagai manusia

sempurna. Oleh karena itu menurutnya, pengaturan administrasi pendidikan dan

ilmu pengetahuan dalam sistem pendidikan Islam haruslah merefleksikan manusia

yang sempurna.

Perkataan al-tai’dib sebagaimana dijumpai dalam hadis Nabi memiliki

pengertian pengenalan dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan

kepada manusia tentang tempat-tempat yang tepat dari segala sesuatu di dalam

tatanan penciptaan sedemikian rupa, sehingga membimbing ke arah perkenalan

dan pengakuan kekuasaan dan keagungan Allah di dalam tatanan Wujud dan

keberadaannya. Pengertian tersebut berdasar pada sebuah hadis Nabi, Addabani

Rabbi Faahsana Ta’dibi, Tuhanku telah mendidikku, sehingga menjadi baik

pendidikanku. (Muhaimin dan Mujib, 1993: 134).

87
Pada awalnya term adab ini mempunyai pengertian yang sangat luas dan

mendalam. Akan tetapi kemudian digunakan dalam konteks yang sangat terbatas,

seperti untuk menunjuk kepada sesuatu yang merujuk kepada kajian kesusastraan

dan etika profesional dan kemasyarakatan. Al-Attas berpendapat, bahwa ide yang

dikandung dalam term ini sudah diislamisasikan dari konteks yang dikenal masa

pra-Islam dengan cara menambah elemen-elemen spiritual dan intelektual pada

tataran semantiknya.

Sedangkan penggunaan istilah al-riyadlah ini khusus digunakan oleh al-

Ghazali sebagaimana dilansir oleh Bahreisi (1981: 74) dengan istilahnya riyadlatu

al-sibyan, artinya pelatihan terhadap individu pada fase anak-anak. Menurutnya,

al-Ghazali dalam mendidik anak-anak lebih menekankan pada domain afektif dan

psikomotoriknya, ketimbang domain kognitifnya. Hal ini karena menurutnya

apabila anak kecil sudah terbiasa untuk berbuat sesuatu yang positif, masa remaja

atau mudah lebih mudah membentuk kepribadian yang shaleh, dan secara

otomatis pengetahuan yang bersifat kognitif lebih mudah diperolehnya.

Akan tetapi sebaliknya, jika sejak kecil terbiasa melakukan hal-hal yang

naif, di hari tuanya anak tersebut akan sulit membiasakan aktifitas baik walaupun

tingkat keilmuannya sudah memadai. Berdasarkan atas hal tersebut, al-Ghazali

memakai istilah al-Riyadlah sebagai istilah alternatif dalam pendidikan Islam.

Itu lah beberapa definisi tentang ta’lim, tarrbiyah, ta’dib dan riyadlah yang yang

dijadikan kata kunci istilah pendidikan dalam Islam.

Secara terminologis pendidikan agama Islam sering diartikan dengan

pendidikan yang berdasarkan ajaran Islam (Tafsir, 2004:12). dalam pengertian

88
yang lain dikatakan oleh Ramayulis (2004:3) bahwa pendidikan agama Islam

adalah proses mempersiapkan manusia supaya hidup dengan sempurna dan

bahagia, mencintai tanah air, dan tegap jasmaninya, sempurnah budi pekertinya

(akhlak-nya), teratur pikirannya, halus perasaannya, mahir dalam pekerjaannya,

manis tutur katanya, baik dengan lisan maupun tulisan.

Marimba sebagaimana dikutip oleh Tafsir (2004) memberikan definisi

pendidikan agama Islam sebagai bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan

hukum-hukum agama Islam menuju kepada terbentuknya kepribadian utama

menurut ukuran agama Islam. Dari pengertian tersebut sangat jelas bahwa

pendidikan Agama Islam adalah suatu proses educative yang mengarah kepada

pembentukan akhlak atau kepribadian yang baik.

Zakiyah Daradjat (1989:87) mendefinisikan pendidikan agama Islam

adalah, suatu usaha sadar untuk membina dan mengasuh peserta didik agar

senantiasa dapat memahami ajaran Islam secara menyeluruh (kaffah). Lalu

menghayati tujuan yang pada akhirnya dapat mengamalkan serta menjadikan

Islam sebagai pandangan hidup.

Definisi pendidikan agama Islam secara lebih rinci dan jelas, tertera dalam

kurikulum pendidikan agama Islam ialah sebagai upaya sadar dan terencana

dalam menyiapkan peserta didik untuk mengenal, memahami, menghayati hingga

mengimani, bertaqwa, dan berakhlak mulia dalam mengamalkan ajaran agama

Islam dari sumber utamanya kitab suci al-Qur’an dan Hadits, melalui kegiatan

bimbingan, pengajaran, latihan, serta penggunaan pengalaman. Dibarengi

tuntunan untuk menghormati pengadut agama lain dalam hubungannya dengan

89
kerukunan antar umat beragama dalam masyarakat hingga terwujud kesatuan dan

persatuan bangsa (Majid dan Andayani, 2004:130).

Dari pengertian tersebut, dapat ditemukan beberapa hal yang perlu

diperhatikan, dalam pempelajaran pendidikan agama Islam yaitu sebagai berikut:

a. Pendidikan agama Islam sebagai usaha sadar, yakni kegiatan bimbingan,

pelajaran dan atau latihan yang dilakukan secara terencana dan sadar atas

tujuan yang hendak dicapai.

b. Peserta didik yang hendak disiapkan untuk mencapai tujuan, dalam arti

ada yang dibimbing, diajari atau dilatih dalam meningkatkan keyakinan,

pemahaman, penghayatan, dan pengalaman terhadap ajaran Islam.

c. Pendidik atau guru pendidikan agama Islam yang melakukan bimbingan,

pengajaran dan atau latihan secara sadar terhadap peserta didikya untuk

mencapai tujuan pendidikan agama Islam.

d. Kegiatan pembelajaran pendidikan agama Islam diarahkan untuk

meningkatkan keyakinan, pemahaman, penghayatan dan pengamalan

ajaran agama Islam dari peserta didik, disamping untuk membentuk

kesalehan dan kualitas pribadi juga untuk membentuk kesalehan sosial

(Muhaimin, 2002:76).

Dari penjabaran pengertian tersebut, dapat dipahami bahwa pendidikan

agama Islam di sekolah, diharapkan mampu membentuk kesalehan pribadi

(individu) dan kesalehan sosial sehingga pendidikan agama diharapkan jangan

sampai; menumbuhkan sikap fanatisme; menumbuhkan sikap intoleran di

kalangan peserta didik dan masyarakat indonesia dan memperlemah kerukunan

90
hidup umat beragama dan memperlemah persatuan dan kesatuan nasional.

Dengan kata lain, pendidikan agama Islam diharapkan mampu menciptakan

ukhuwah Islamiyah dalam arti luas, yaitu ukhuwah fi al-ubudiyah, ukhuwah fi al-

insaniyah, ukhuwah fi al-wathaniyah wa al-nasab, dan ukhuwah fi din al-Islam.

Dalam konteks masyarakat indonesia, yang sangat heterogen dan pluralis, baik

dalam agama, ras, etnis, tradisi, budaya dan sebagainya, yang sangat rentan

terhadap munculnya perpecahan dan konflik –konflik sosial. Oleh karena itu

pendidikan agama diharapkan mampu berperan dalam mewujudkan ukhuwah

Islamiyah dalam arti luas tersebut.

B. Landasan Pelaksanaan Pendidikan Agama Islam

Pelaksanaan pendidikan agama Islam di sekolah/madrasah berdasarkan pada

beberapa landasan. Majid (2004:132) mengatakan, paling tidak ada tiga landasan

yang mendasari pelaksanaan pendidikan agama Islam di lembaga pendidikan

dasar dan menengah. Ketiga landasan tersebut adalah, (1) landasan yuridis

formal, (2) landasan psikologis, dan (3) landasan relegius.

Landasan yuridis maksudnya ialah landasan yang berkaitan dengan dasar dan

undang-undang yang berlaku pada suatu negara. Landasan yuridis formal

tersebut terdiriatas tiga macam: (a) Dasar ideal, yaitu dasar falsafah negara

pancasila, sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa. (b) Dasar struktural atau

konstitusional, yaitu UU Dasar 45, dalam bab XI pasal 29 ayat 1 yang berbunyi,

“Negara berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa,”dan pasal 2 yang berbunyi,

“Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agama

masing-masing dan beribadah menurut agama dan kepercayaan itu.” (c)

91
Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, pasal

12 ayat 1 poin a, yang mengatakan, “ Setiap peserta didik berhak mendapatkan

pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya oleh pendidik yang

seagama.”

Landasan psikologis maksudnya ialah, landasan yang berhubungan dengan

aspek kejiwaan kehidupan bermasyarakat. Hal ini didasarkan bahwa manusia

dalam hidupnya baik sebagai individu maupun sebagai angota masyarakat,

dihadapkan pada hal-hal yang membuat hatinya tidak tenang dan tidak tentram,

sehingga memerlukan suatu pegangan hidup. Pegangan hidup itu yang dinamakan

dengan agama.

Landasan religius maksudnya ialah landasan yang bersumber dari ajaran

islam.Menurut ajaran islam pendidikan agama adalah perintah Allah swt., dan

merupakan perwujudan beribadah kepada-Nya. Landasan ini bersumber pada al-

Quran dan al-Hadits. Dalam al-Quran terdapat banyak ayat yang menunjukan

perintah tersebut, diantaranya adalah firman Allah: “Serulah (manusia) kepada

jalan Tuhan-mu dengan hikmah, dan pelajaran yang baik, sesungguhnya Tuhan-

mu Dia-lah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya,

dan dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.”(Qs

An-Nahl ayat 125). Dan firman Allah swt “ Dan hendaklah diantara kamu ada

segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf

dan mencegah dari yang mungkar.” (QS. Ali- Imran ayat 104).

Kedua ayat ini terkait dengan metode atau cara-cara yang digunakan

dalam pendidikan Islam. Sementara itu, Islam mengajarkan secara umum bahwa

92
materi pendidikan agama Islam mencakup tiga hal utama, pertama, berkaitan

dengan keimanan (al-‘aqaid), kedua, berkaitan dengan aspek syari’ah yakni

suatu sistem norma ilahi yang mengatur hubungan manusia dengan Tuhan dan

hubungan manusia dengan sesama manusia dan lingkungan. Ketiga mencakup

aspek akhlak, yang mencakup akhlak manusia terhadap khaliknya dan manusia

dengan makhluk lainnya (Nurwadjah, 2007:170). Hal ini sebagaimana dikatakan

dalam surah Luqman ayat 12-19. yang artinya:

“Dan Sesungguhnya telah kami berikan hikmat kepada Luqman, yaitu:


“Bersyukurlah kepada Allah. dan barangsiapa yang bersyukur (kepada
Allah), Maka sesungguhnya ia bersyukur untuk dirinya sendiri; dan
barangsiapa yang tidak bersyukur, maka sesungguhnya Allah Maha Kaya
lagi Maha Kaya lagi Maha Terpuji”. Dan (ingatlah) ketika Lukman
berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya:
“Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar.”
Dan kami perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibu-bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam keadaan lemah yang
bertambah-tambah, dan menyapihnya dalam dua tahun. bersyukurlah
kepadaku dan kepada dua orang ibu bapakmu, hanya kepada-Kulah
kembalimu. Dan jika keduanya memaksamu untuk mempersekutukan
dengan Aku sesuatu yang tidak ada pengetahuanmu tentang itu, maka
janganlah kamu mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia
dengan baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku,
Kemudian Hanya kepada-Kulah kembalimu, maka Kuberitakan kepadamu
apa yang telah kamu kerjakan. (Luqman berkata): “Hai anakku,
sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberatbiji sawi, dan berada
dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah akan
mendatangkannya (membalasinya). Sesungguhnya Allah Maha Halus
lagi Maha Mengetahui. Hai anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah
(manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan
yang mungkar dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.
Sesungguhnya yang demikian itu termasuk hal-hal yang diwajibkan (oleh
Allah). Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia
(karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan
angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong
lagi membanggakan diri. Dan sederhanalah kamu dalam berjalan dan
lunakkanlah suaramu. Sesungguhnya seburuk-buruk suara ialah suara
keledai. (Qs. Luqman ayat 12-19).

93
Dari kedelapan ayat tersebut, menurut Nurwadjah (2007) dapat

diklasifikasi menjadi tiga hal, yakni aspek keimanan (al-‘aqaid), mencakup

ayat12, 13 dan 16. dalam ayat tersebut pada intinya menekankan tentang

keimanan kepada Allah swt. Dan hal tersebut juga mencakup keimanan kepada

malaikat, kitab-kitab-Nya, para Nabi, hari kiamat, qada dan qadar Allah.

Sementara yang termasuk pada aspek syaari’ah adalah, termasuk dalam ayat

14, 15 dan 17. dalam ayat ersebut mencakup tentang ibadah secara khusus dan

ibadah secara umum, yang mencakup tentang hubungan baik dengan sesama

manusia, juga tata aturan hubungan manusia dengan benda-benda alam (harta

benda). Adapun yang termasuk pada aspek akhlak, termaktub dalam ayat 14, 15,

18, dan 19. dalam ayat tersebut pada intinya juga mencakup tentang akhlak, baik

akhlak manusia dengan khaliq-Nya, dan juga akhlak manusia dengan sesama

manusia.

Selain itu, Islam juga mengajarkan agar peserta didik dibekali dengan

sebagai keterampilan sebagai bekal dalam menjalani hidup di dunia.

Keseimbangan dalam pembinaan peserta didik menjadi titik sentral yang

diperbincangkan agama Islam. Islam menghendaki bahwa proses pendidikan

harus menyeimbangkan anara pembinaan dan pengembangan aspek jasmani dan

rohani peserta didik. Hal ini agar mereka memiliki kehidupan yang layak

(bahagia) di dunia dan juga di akhirat.

C. Fungsi dari Tujuan Pendidikan Agama Islam

Tujuan pendidikan agama Islam adalah sesuatu yang ingin dicapai setelah

melakukan serangkaian proses pendidikan agama Islam di sekolah atau madrasah.

94
Terdapat beberapa pendapat mengenai tujuan pendidikan agama Islam ini.

Diantaranya al-Attas, ia menghendaki tujuan pendidikan (agama) Islam itu

adalah manusia yang baik. Sementara itu, Marimba mengatakan, menurutnya

tujuan pendidikan (Agama) Islam adalah terciptanya orang yang berkepribadian

muslim. Berbeda dengan al-Abrasy, menghendaki tujuan akhir pendidikan

(agama) Islam itu adalah terbentuknya manusia yang berakhlak mulia (akhlak al-

karimah). Munir Musyi mengatakan tujuan akhir pendidikan Islam adalah

manusia yang sempurna (al-Insan al-Kamil).

Berbeda dengan pendapat di atas, Abdul Fatah Jalal mengatakan bahwa

tujuan pendidikan agama Islam adalah terwujudnya manusia sebagai hamba Allah

yang bertaqwa (‘abdullah). Jalal mengatakan, tujuan pendidikan ini akan

melahirkan tujuan-tujuan khusus. Dengan mengutip surat At-Takwir ayat 27 ia

mengatakan, bahwa tujuan itu adalah untuk semua manusia. Jadi menurut agama

Islam tujuan pendidikan adalah haruslah menjadikan seluruh manusia, menjadi

manusia yang menghambakan diri kepada Allah. Maksudnya adalah, beribadah

kepada-Nya, dengan tidak mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun.

Agama Islam memang menghendaki agar manusia itu dididik supaya ia

mampu merealisasikan tujuan hidupnya sebagaimana yang telah digariskan Allah

dalam al-Quran. Tujuan hidup manusia itu adalah beribadah kepada Allah. Ibadah

yang dimaksud ialah ibadah dalam arti yang luas (ghair mahdlah), bukan hanya

ibadah sebagaimana anggapan sebagian orang, yang mengatakan beribadah itu

hanya sebatas menunaikan shalat, zakat, puasa ramadhan dan haji ke baitullah,

serta mengucapkan dua kalimat syahadat.

95
Akan tetapi ibadah yang dimaksud ialah mencakup semua hal, amal,

pikiran, dan perasaan yang dihadapkan (disandarkan kepada Allah). Ibadah

mencakup jalan hidup yang mencakup seluruh aspek kehidupan serta segala yang

dilakukan manusia, baik berupa perkataan, perbuatan, perasaan, dan pemikiran

yang disndarkan kepada Allah. Dalam kerangka inilah maka tujuan pendidikan

agama Islam haruslah mempersiapkan manusia agar mampu beribadah

sebagaimana yang dimaksud itu, agar ia menjadi hamba Allah yang bertaqwa

(Tafsir, 2004:47). Sehingga pada akhirnya apabila ia mati dalam keadaan Islam

(berserah diri) serta mendapat ridho Allah swt.

Secara lebih operasional tujuan pendidikan agama Islam khususnya dalam

konteks ke Indonesiaan sebagaimana tertera dalam kurikulum pendidikan agama

Islam, ialah bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan, melalui

pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan serta

pengalaman peserta didik tenang agama Islam sehingga menjadi manusia muslim

yang terus berkembang dalam hal keimanan, ketaqwaannya kepada Allah swt,

serta berakhlak mulia dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat, berbangsa dan

bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih

tinggi (Depdiknas, 2004:8).

Dari rumusan tujuan tersebut mengandung pengertian bahwa proses

pendidikan agama Islam di sekolah atau madrasah yang di lalui dan di alami oleh

siswa dimulai dari tahap kognisi, yaitu pengetahuan dan pemahaman siswa

terhadap ajaran dan nilai-nilai yang terkandung dalam ajaran Islam, untuk

selanjutnya menuju ke tahapan afeksi, yakni terjadinya internalisasi ajaran dan

96
nilai agama ke dalam diri siswa dalam arti meyakini dan menghayatinya. Melalui

tahapan afeksi tersebut diharapkan dapat tumbuh dalam diri siswa dan tergerak

untuk mengamalkan dan mentaati ajaran Islam (tahapan psikomotorik) yang telah

diinternalisasikan dalam dirinya. Dengan demikian, akan terbentuk manusia

muslim yang beriman, bertaqwa dan berakhlak mulia (Muhaimin, 1999:79).

D. Peran dan Fungsi Pendidikan Agama Islam dalam Membangun SDM

Peran dan fungsi pendidikan agama Islam demikian strategi dalam

menciptakan kondisi masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur. Pendidikan

agama Islam akan membimbing dan memperoleh sumber daya manusia dengan

bimbingan wahyu hingga terbentuk individu-individu yang memiliki kompetensi

yang memadai. Pendidikan Islam memfasilitasi manusia untuk belajar dan berlatih

mengaktualisasikan segenap potensi yang dimilikinya menjadi kompetensi

sebagai manusia yang kompeten, yang profilnya digambarkan Allah sebagai sosok

ulil albab, sebagai manusia muslim yang paripurna, yaitu manusia yang beriman,

berilmu, dan beramal saleh sesuai dengan tuntunan ajaran Islam, seperti terungkap

dalam al-Quran berikut: “Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan

silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang

berakal, (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk

atau dalam keadaan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit

dan bumi (seraya berkata): “Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini

dengan sia-sia. Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”.

(QS. Ali- Imran ayat 190-191).

97
Berdasarkan ayat tersebut tampak jelas sasaran dan tujuan pendidikan

Islam, yaitu menjadikan manusia yang ulil albab, suka berdzikir dan berfikir,

beramal di manapun ia berada, berdoa dan tawadhu terhadap Allah sehingga tidak

ada rasa sombong dan pembangkangan yang berarti. Lebih jauh profil insan ulil

albab ini menggambarkan sosok manusia yang kompeten, yaitu seorang yang

beriman (dzikir/afektif) berilmu (fikir/kognitif) dan memanfaatkan ilmunya dalam

kehidupan (amal/psikomotorik). Dengan demikian pendidikan Islam berfungsi

dan berperan dalam membangun SDM yang kompeten dan berakhlak mulia.

Pendidikan agama Islam harus diberikan sejak dini, mulai dari usia kanak-

kanak, remaja bahkan sampai dewasa. Dalam Islam dikenal dengan istilah

pendidikan sepanjang hayat (lifelong educationi). Artinya selama ia hidup tidak

akan lepas dari pendidikan, karena setiap langkah hidup manusia hakikatnya

adalah belajar, baik langsung maupun tidak langsung.

Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah pendidikan agama Islam

mutlak harus diberikan, karena pada jenjang itulah terjadi pembentukan

kepribadian, pembiasaan untuk menguasai konsep-konsep Islam dan

mengamalkannya dalam kehidupan. Pada anak usia dini, Islam harus dijadikan

landasan bagi pembelajaran hingga generasi ke depan benar-benar menjadi

generasi Islam yang berkualitas. Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah

harus terhapuskan kesan ajaran Islam eksklusif, kejam, dan kesan-kesan negatif

lainnya, hal tersebut sangat diperlukan agar tidak terjadi kesalahpahaman yang

akan menimbulkan berbagai friksi dan aliansi yang tidak dapat

dipertanggungjawabkan . Seperti sekarang ini muncul berbagai aliran-aliran sesat

98
dan menyesatkan yang menimbulkan friksi, yang mengguncang keutuhan Islam

sebagai agama yang sempurna. Berkaitan dengan hal itu peran dan fungsi PAI

dalam membangun Sumber Daya Manusia sangatlah penting keberadaannya,

karena melalui PAI diharapkan muncul generasi muda Islam yang kaaffah.

E. Konsep Pendidikan Islam sebagai Pembeda dalam Mencari Konsep

Pendidikan yang Dapat Membangun SDM yang Kompeten dan Berakhlak

Mulia

Konsep-konsep pendidikan umum yang tumbuh dan berkembang saat ini,

baik di Barat maupun Timur sebenarnya berakar pada konsep pendidikan Islam.

Konsep pendidikan umum dan pendidikan Islam sama-sama terikat oleh nilai-nilai

universal sebagai ikatan nilai Ilahi yang bersifat mutlak, demikian juga pendidikan

agama Islam (PAI). Dengan demikian nilai-nilai yang harus diintegrasikan ke

dalam pendidikan umum, tidak hanya berdasarkan baik dan buruk menurut

manusia, tapi baik dan buruk itu harus mencapai sandar ukuran niali-nilai

ketuhanan yang digariskan oleh Tuhan semesta alam, yaitu nilai-nilai spiritual

yang digariskan oleh al-Quran dan al-Hadis. Oleh karena itu, apabila pada saat ini

penyelenggaraan pendidikan umum tidak dilaksanakan dengan berdasarkan pada

konsep-konsep pendidikan Islam seperti yang digunakan oleh PAI, berarti salah

konsep. Dengan demikian konsep-konsep dasar PAI, merupakan pembeda

(alfurqon), antara konsep yang benar dengan yang salah. Konsep-konsep dasar

pendidikan yang digunakan dalam PAI, dapat dijadikan acuan baik dalam

orientasi, pendekatan, metoda, dan strategi, karena yang dituju dalam pendidikan

bukan hanya transfer pengetahuan, tapi bagaimana membangun pribadi manusia

99
yang memancarkan cahaya imani yang diwujudkan dalam amal yang ilmiah

berakhlakul karimah, menyebarkan rahmatan lilalamin. Profil lulusan unggul atau

sosok manusia yang diunggulkan dapat dirumuskan berdasarkan firman Allah swt,

dalam al-Quran bahwa: “Allah akan meningkatkan diantara orang-orang yang

beriman yaitu orang-orang yang berilmu beberapa derajat”. (QS. al-Mujadalah

ayat 11).

Dari surat tersebut dapat ditafsirkan bahwa orang yang diunggulkan Allah

swt, adalah seorang mukmin yang berilmu, sehingga semua amal solehnya

didasarkan atas ilmu yang dimilikinya. Oleh karena itu ada kata-kata bijaksana

yaitu: amal yang ilmiah atau ilmu yang amaliah. Seorang mukmin yang berilmu

juga digambarkan Allah swt sebagai sosok ulil albab (QS. Ali-Imran 3:190), yang

profilnya dirumuskan dalam al-Quran yaitu orang yang: “Selalu mengingat Allah

baik dalam keadaan berdiri, duduk ataupun berbaring, (beriman), menafakuri

penciptaan langit dan bumi (sehingga memperoleh ilmu pengetahuan), dan

seraya berkata: Ya Robbana tiada Engkau ciptakan ini dengan sia-sia (maka ia

akan memanfaatkan ilmunya dalam kehidupan), Maha Suci Engkau, maka

hindarkanlah kami dari azab neraka (dengan tetap berpegang pada “tali Allah”)

(QS. Ali-Imran 3:191).

Dengan demikian lulusan yang bermutu tinggi adalah seorang mukmin

yang memiliki ilmu (kognitif/knowledge), dan mampu memanfaatkan ilmunya

dalam kehidupan, sebagai amalnya (motorik/skill) dengan akhlak mulia (nilai dan

sikap/attitude), sehingga berdampak rahmatan lil alamin. Lulusan yang bermutu

100
memiliki pribadi yang integral, yaitu integrasi antara iman, ilmu, dan amal, yang

dalam agama Kristen disebut dengan Istilah iman, ilmu dan pelayanan.

Berdasarkan uraian di atas, tampak bagaimana al-Quran mendorong umat

untuk membangun pendidikan Islam bermutu sehingga lahirlah sumber daya yang

kompeten dan berakhlak mulia, Hal itu menunjukkan adanya furqon (pembeda),

bagi penyelenggaraan pendidikan yang benar dengan yang salah. (Team Ness,

2008: 6-11).

F. Pembelajaran Bahasa Arab di Madrasah

a. Madrasah Ibtidaiyah (MI)

Mata pelajaran Bahasa Arab di Madrasah Ibtidaiyah merupakan suatu

mata pelajaran yang diarahkan untuk mendorong, membimbing, mengembangkan,

dan membina kemampuan serta menumbuhkan sikap positif terhadap bahasa Arab

baik resptif maupun produktif.

Kemampuan reseptif yaitu kemampuan untuk memahami pembicaraan

orang lain dan memahami bacaan. Kemampuan produktif yaitu kemampuan

menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi baik secara lisan maupun tulis.

Kemampuan bahasa Arab serta sikap positif terhadap bahasa Arab tersebut sangat

penting dalam membantu memahami sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan

hadis, serta kitab-kitab berbahasa Arab yang berkenaan dengan Islam bagi peserta

didik.

Untuk itu, bahasa Arab di madrasah dipersiapkan untuk pencapaian

kopetensi dasar bahasa, yang mencakup empat keterampilan berbahasa yang

diajarkan secara integral, yaitu menyimak, berbicara, membaca, dan menulis.

101
Meskipun beegitu, pada tingkat pendidikan dasar (elemantary) di titikberatkan

pada kecakapan menyimak dan berbicara sebagai landasan berbahasa. Pada

tingkat pendidikan menengah (intermediate), keempat kecakapan berbahasa

diajarkan secara seimbang. Adapun pada tingakat pendidikan lanjut (advanced)

dikonsentrasikan pada kecakapan berbahasa dan menulis, sehingga peserta didik

diharapakn mampu mengakses berbagai referensi berbahasa Arab. Mata pelajaran

bahasa Arab memiliki tujuan sebagai berikut:

a. Mengembangkan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Arab, baik

lisan maupun tertulis, yang mencakup empat kecakapan berbahasa, yakni

menyimak (istima’), berbicara (kalam), membaca (qira’ah), dan menulis

(kitabah).

b. Menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya bahasa Arab sebagai salah

satu bahasa asing untuk menjadi alat utama belajar, khususnya dalam

mengkaji sumber-sumber ajaran Islam.

c. Mengembangkan pemahaman tentang saling keterkaitan antar bahasa dan

budaya serta memperluas cakrawala budaya. Dengan demikian, peserta

didik diharapkan memiliki wawasan lintas budaya dan melibatkan diri

dalam keragaman budaya.

Ruang lingkup pelajaran bahasa Arab di Madrasah Ibtidaiyah meliputi

tema-tema tentang perkenalan, peralatan madrasah, pekerjaan, alamat, keluarga,

anggota badan, dirumah, dikebun, di madrasah, di laboratorium, di perpustakaan,

di kantin, jam, kegiatan sehari-hari, pekerjaan, rumah, dan rekreasi. Keterampilan

berbahasa yang dikembangkan mencakup.

102
a. Menyimak. Memahami wacana lisan dalam bentuk paparan atau dialog

tentang perkenalan dan hal-hal yang ada dilingkungan rumah maupun

madrasah.

b. Berbicara, mengungkapkan makna secara lisan dalam bentuk paparan atau

dialog tentang perkenalan dan hal-hal yang ada dilingkungan rumah

maupun madrasah.

c. Membaca, Membaca dan memahami makna wacana tertulis dalam bentuk

paparan atau dialog tentang perkenalan dan hal-hal yang ada dilingkungan

rumah maupun madrasah.

d. Menulis, menuliskan kata, ungkapan, dan teks fungsional pendek

sederhana dengan ejaan dan tanda baca yang tepat.

b. Madrasah Tsanawiyah (MTs)

Mata pelajaran bahasa Arab merupakan suatu mata pelajaran yang

diarahkan unuk mendorong, membimbing, mengembangkan, dan membina

kemampuan serta menumbuhkan sikap positif terhadap bahasa Arab baik reseptif

maupun produktif. Kemampuan reseptif yaitu kemampuan untuk memahami

pembicaraan orang lain dan memahami bacaan. Kemampuan produktif yaitu

kemampuan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi baik secara lisan

maupun secara tertulis. Kemampuan berbahasa Arab serta sikap positif terhadap

bahasa Arab tersebut sanga penting dalam membantu dan memahami sumber

ajaran Islam yaitu al-Quran dan Hadis, serta kitab-kitab berbahasa Arab yang

berkenaan dengan Islam bagi peserta didik. Mata pelajaran bahasa Arab memiliki

tujuan sebagai berikut:

103
a. Mengembangkan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Arab, baik

lisan maupun tulis, yang mencakup empat kecakapan berbahasa yakni

menyimak (istima’), berbicara (kalam), membaca (qira’ah), dan menulis

(kitabah).

b. Menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya bahasa Arab sebagai salah

satu bahasa asing untuk menjadi alat utama belajar, khususnya dalam

mengkaji sumber-sumber ajaran Islam.

c. Mengembangkan pemahaman tentang saling keterkaitan antar bahasa dan

budaya serta memperluas cakrawala budaya. Dengan demikian, peserta

didik diharapkan memiliki wawasan lintas budaya dan melibatkan diri

dalam keragaman budaya.

Ruang lingkup palajaran bahasa Arab di Madrasah Tsanawiyah meliputi

tema-tema yang berupa wacana lisan dan tulisan berbentuk paparan atau dialog

sederhana tentang identitas diri, kehidupan madrasah, kehidupan keluarga, rumah,

hobi, profesi, kegiatan keagamaan, dan lingkungan. Adapun keterampilan yang

dikembangkan mencakup:

a. Menyimak, mampu memahami wacana lisan melalui kegiatan

mendengarkan (berbentuk gagasan atau dialog sederhana) tentang identitas

diri, rumah, keluarga, menanyakan alamat, jam, aktivitas di madrasah.

aktifitas di rumah, profesi, cita-cita, kegiatan keagamaan, dan lingkungan

sekitar kita.

b. Berbicara, mampu mengungkapkan pikiran, gagasan, perasaan,

pengalaman serta informasi melalui kegiatan bercerita dan bertanya jawab

104
tentang identitas diri, rumah, keluarga, menanyakan alamat, jam, aktivitas

di madrasah. aktifitas di rumah, profesi, cita-cita, kegiatan keagamaan, dan

lingkungan sekitar kita.

c. Membaca mampu memahami berbagai ragam teks tulis dalam bentuk

gagasan atau dialog sederhana, melalui kegiatan membaca, menganalisis

dan menemukan pokok pikiran tentang identitas diri, rumah, keluarga,

menanyakan alamat, jam, aktivitas di madrasah. aktifitas di rumah, profesi,

cita-cita, kegiatan keagamaan, dan lingkungan sekitar kita.

d. Menulis, mampu mengungkapkan pikiran, gagasan, perasaan, pengalaman

dan informasi melalui kegiatan menulis pikiran tentang identitas diri,

rumah, keluarga, menanyakan alamat, jam, aktivitas di madrasah. aktifitas

di rumah, profesi, cita-cita, kegiatan keagamaan, dan lingkungan sekitar

kita.

c. Madrasah Aliyah (MA)

Mata pelajaran bahasa Arab merupakan suatu mata pelajaran yang

diarahkan untuk mendorong, membimbing, mengembangkan, dan membina

kemampuan, serta menumbuhkan sikap positif terhadap bahasa Arab baik reseptif

maupun produktif. Kemampuan reseptif yaitu kemampuan untuk memahami

pembicaraan orang lain dan memahami bacaan. Kemampuan produktif yaitu

kemampuan menggunakan bahasa sebagai alat komunikasi baik secara lisan

maupun secara tertulis. Kemampuan berbahasa Arab serta sikap positif terhadap

bahasa Arab tersebut sanga penting dalam membantu dan memahami sumber

105
ajaran Islam yaitu al-Quran dan Hadis, serta kitab-kitab berbahasa Arab yang

berkenaan dengan Islam bagi peserta didik.

Untuk itu, bahasa Arab di Madrasah Aliyah dipersiapkan untuk

pencapaian kompetensi dasar bahasa, yang mencakup empat keterampilan

berbahasa yang diajarkan secara integral, yaitu menyimak, berbicara, membaca,

dan menulis. Meskipun begitu, pada tingkat pendidikan dasar (elementary)

dititikberatkan pada kecakapan menyimak dan berbicara sebagai landasan

berbahasa. Pada tingkat pendidikan menengah (intermediate), keempat

kecakapan berbahasa diajarkan secara seimbang. Pada tingkat pendidikan lanjut

(advanced), dikonsentrasikan pada kecakapan membaca dan menulis, sehingga

peserta didik diharapkan mampu mengakses berbagai referensi berbahasa Arab.

Mata pelajaran bahasa Arab di Madrasah Aliyah memiliki tujuan sebagai

berikut:

a. Mengembangkan kemampuan berkomunikasi dalam bahasa Arab, baik

lisan maupun tulis yang mencakup empat kecakapan berbahasa, yakni

menyimak (istima’), berbicara (kalam), membaca (qira’ah), dan menulis

(kitabah).

b. Menumbuhkan kesadaran tentang pentingnya bahasa Arab sebagai salah

satu bahasa asing untuk menjadi alat utama belajar, khususnya dalam

mengkaji sumber-sumber ajaran islam. Mengembangkan pemahaman

tentang saling keterkaitan antara bahasa dan budaya serta memperluas

cakrawala budaya. Dengan demikian, peserta didik di harapkan memiliki

wawasan lintas budaya dan melibatkan diri dalam keragaman budaya.

106
Ruang lingkup mata pelajaran bahasa Arab di Madrasah Aliyah terdiri atas

bahan yang berupa wacana lisan dan tulisan brbentuk paparan atau dialog tentang

perkenalan, kehidupan keluarga, hobi, pekerjaan, remaja, kesehatan, fasilitas

umum, pariwisata, kisah-kisah Islam, wawasan Islam, hari-hari besar Islam dan

tokoh-tokoh Islam untuk melatih eempat aspek kemampuan berbahasa, yaitu

menyimak, berbicara, membaca, dan menulis. Adapun keterampilan yang

dikembangkan mencakup:

a. Menyimak, Memahami wacana lisan berbentuk paparan atau dialog

tentang perkenalan, kehidupan keluarga, hobi, pekerjaan, remaja,

kesehatan, fasilitas umum, pariwisata, kisah-kisah Islam, kebudayaan

Islam, budaya Arab, dan hari-hari besar Islan.

b. Berbicara, Mengungkapkan secara lisan dalam bentuk paparan atau dialog

tentang perkenalan, kehidupan keluarga, hobi, pekerjaan, remaja,

kesehatan, fasilitas umum, pariwisata, kisah-kisah Islam, kebudayaan

Islam, budaya Arab, dan hari-hari besar Islam.

c. Membaca, Membaca dan memahami makna wacana tertulis paparan atau

dialog tentang perkenalan, kehidupan keluarga, hobi, pekerjaan, remaja,

kesehatan, fasilitas umum, parawisata, kisah-kisah Islam, hari-hari besar

Islam, budaya Arab, dan hari-hari besar Islam.

d. Menulis, Mengungkapkan secara tertulis berbentuk paparan atau dialog

tentang perkenalan, kehidupan keluarga, hobi, pekerjaan, remaja,

kesehatan, fasilitas umum, pariwisata, kisah-kisah Islam, hari-hari besar

Islam, budaya Arab, dan hari-hari besar Islam.

107
G. Metode Pembelajaran Bahasa Arab

Muhammad Ali al-Khuli (2003:6) menjelaskan bahwa secara umum

metode pembelajaran bahasa Arab terbagi menjadi empat macam, yakni (1)

thariqatul qawaid wa tarjamah, (2) thariqatul mubasyarah (metode langsung), (3)

thariqatul syamiyah syafawiyah, (4) thariqatul intiqaiyah (elektik mtohedo).

1. Metode Qawaid Watarjamah

Metode qawaid watarjamah (grammatical and translation) merupakan

metode pembelajaran yang paling klasik, oleh karena itu dinaamai juga dengan

metode taqlidiyah. Tetapi walau dikatakan sebagai metode klasik, metode ini

merupakan metode paling ideal, karena merupakan penggabungan dari metode

grammatical dan translation. Dengan menggunakan metode qawaid

wataarjamah, kedua-duanya dilakukan secara bersama-sama, atau serentak.

Artinya materi gramatika (qawaid) terlebih dahulu diajarkan dan kemudian

pelajaran menerjemah, pelaksanaannya sejalan (Ahmad Izan, 2007:116).

Pelaksanaan metode qawaid watarjamah ini, mula-mula guru

mengajarkan gramatika/kaidah-kaidah bahasa, misalnya mengenali asma,

af’al, atau huruf, barulah kemudian mengajarkan pelajaran menengah. Dengan

menggunakan metode ini, ada dua hal yang diuntungkan, pertama, dengan

pengetahuan (qawaid dan terjemah) secaraberbarengan ---tanpa disadari---

pengetahuannya menjadi utuh. kedua, meskipun siswa bulum lancar berbicara

bahasa asing, tapi paling tidak mereka dapat berbahasa asing secara pasif.

Artinya mereka dapat membaca majalah, koran, dan buku-buku ilmiah

berbahasa arab lainnya (Ahmad Izan, 2007:116).

108
Sebagai sebuah metode pembelajaran bahasa Arab, metode qawaid

watarjamah menurut Ali al-Khuli (2006) ini memiliki beberapa kelebihan,

diantaranya:

a) Lebih memperhatikan pada keterampilan membaca (marhatul qiraah),

keterampilan menulis (maharatul kitabah) dan keterampilan menerjemah.

b) Menggunakan bahasa ibu sebagai media utama dalam mengajarkan bahasa

yang dimaksud.

c) Sangat memperhatikan aturan nahwu sebagai media unuk mengajarkan

bahasa, sehingga sangat memperhatikan ketepatan dalam bacaan.

d) Setiap guru yang mengajar masuk pada analisis sintaksis dan meminta para

siswa untuk mengikutinya.

Di samping beberapa kelebihan yang dimilikinya, metode qawaid

watarjamah juga memiliki beberapa kelemahan, diantaranya:

a) Mengabaikan kemampuan berbicara (maharatul kalam), padahal kemampuan

ini adalah kemampuan utama dalam berbahasa.

b) Terlalu banyak menggunakan bahasa ibu, sedangkan bahasa asing (Arab) yang

sedang diajarkan sangat sedikit porsinya, sehingga tidak memberikan banyak

waktu kepada para siswa atau mahasiswa untuk berlatih.

c) Lebih mengajarkan tentang bahasa bukan mengajarkan berbahasa atau bukan

belajar bahasa itu sendiri.

2. Metode Langsung

Metode langsung (thariqatul mubasyarah) ini muncul sebagai kritikan dari

metode qawaid waarjamah. Metode langsung atau dinamakan juga direct method,

109
yaitu cara menyajikan pelajaran bahasa Arab (asing), dimana guru langsung

menggunakan bahasa asing tersebut sebagai bahasa pengantar dan tanpa

menggunakann bahasa Ibu (bahasa anak didik sedikitpun). Jika ada kalimat-

kalimat yang tidak dimengerti, maka guru mempraktekkannya atau

menjelaskannya dengan menggunakan alat peraga, mendemonstrasikannya, atau

menggambarkannya dan lain-lain (Ahmad Izan, 2007:100).

Metode ini berpijak dari pemahaman bahwa pengajaran bahasa asing tidak

sama halnya dengan mengajar ilmu pasti, dimana siswa dituntut untuk dapat

meng)hafal rumus-rumus tertentu, berfikir dan mengingat rumus-rumus tersebut

dengan lancar. Tetapi dalam pengajaran bahasa asing (termasuk bahasa Arab)

siswa dilatih praktek langsung mengucapkan kata-kata atau kalimat tertentu.

Sekalipun kata atau kalimat tersebut masih asing dan tidak difahami.

Pengajaran bahasa Arab dengan menggunakan metode langsung ini, sama

halnya dengan seorang ibu yang mengajarkan bahasa kepada anak-anaknya yang

baru lahir, mula-mula dengan melatih anak-anaknya dan langsung mengajarinya,

menuntutnya mengucapkan kata-kata satu-persatu, perkata, bahkan perkalimat,

dan anak menurutinya walaupun ia belum mengerti apa yang diucapkannya itu.

Menurut para ahli bahasa, metode ini sangat utama dan lebih baik dalam

mengajarkan bahasa (asing) kepada siswa, karena dengan metode ini siswa dapat

secara langsung melatih dirinya kemahiran berbahasa (lisan) tanpa menggunakan

bahasa ibu (lingkungannya). Walaupun pada mulanya terasa sangat sulit, namun

metode ini menarik bagi peserta didik.

110
Secara umum, metode langsung ini memiliki beberapa ciri atau

karakteristik, diantaranya adalah:

a) Materi pelajaran pada mulanya disampaikan kata demi kata, kemudian

struktur kaliamat;

b) Gramatika diajarkan hanya sepintas saja (bersifat sambil lalu), dan siswa tidak

dituntut untuk menghafal rumus-rumus gramatika, tetapi yang paling utama

siswa mampu mengucapkan bahasa asing dengan baik;

c) Dalam proses pembelajaran, senantiasa menggunakan alat bantu (alat peraga)

baik alat peraga langsung maupun tidak langsung (benda tiruan), atau dengan

menggunakan simbol-simbol atau gerakan-gerakan tertentu;

d) Setelah masuk kelas siswa benar-benar dikondisikan untuk menerima dan

bercakap-cakap dalam bahasa asing dan dilarang menggunakan bahasa lain.

Dan jika ada yang menggunakannya maka diberikan sanksi atau hukuman.

Menurut Muhammad Ali al-Khuly (2006:8) secara umum metode

langsung (thariqatul mubasyah) memiliki beberapa kelebihan, diantaranya:

a) Memberikan banyak waktu untuk melatih keterampilan berbicara (maharah

al-kalam), hal ini berdasarkan pada prinsip bahwa esensi utama bahasa adalah

berbicara.

b) Menghindari penerjemahan secara langsung, karena menurut pendukung

metode ini sangat sedikit manfaatnya dan banyak mengganggu pengajaran

bahasa asing sendiri.

c) Tidak memberikan tempat kepada bahasa ibu dalam pengajaran bahasa Asing.

111
d) Mengaitkan antara kata-kata yang diajarkan dengan objek-objek yang ditunjuk

oleh kata-kata tersebut.

e) Tidak menggunakan analisis nahwu, karena dianggap kurang berguna (bahkan

tidak) dalam mencapai kemahiran berbahasa (maharah al-kalam) yang

diharapkan.

f) Menggunakan model meniru dan menghafal. Para siswa diberi kalimat-

kalimat asing, dialog, nyanyian dan yang lainnya untuk memantapkan dalam

berbahasa.

Sementara itu, menurut Ahamd izzan (2003:101), metode langsung

memiliki tingkat efektivitas, karena beberapa keunggulan yang dimilikinya,

diantaranya yaitu:

a) Memberikan motivasi kepada siswa untuk dapat menyebutkan dan mengerti

kata-kata kalimat dalam bahasa asing yang diajarkan oleh gurunya, apalagi

guru menggunakan alat peraga dan macam-macam media pembelajaran yang

menyenangkan;

b) Karena biasanya dengan menggunakan metode ini guru mengajarkan kata-kata

dan kalimat yang sederhana, yang dapat dimengerti siswa dalam kehidupan

sehari-hari, maka siswa dapat dengan mudah menangkap simbol-simbol

bahasa asing yang diajarkan oleh gurunya, seperti qalamun, kitabun,,

maktabun, dan yang lainnya.

c) Metode ini relatif banyak menggunakan alat peraga, maka dengan

menggunakan metode ini dapat membangkitkan minat siswa dalam berbahasa

asing, sehingga jika sudah merasa tertarik maka pelajaran tidak dianggap sulit;

112
d) Siswa memperoleh pengalaman langsung dan praktis, meskipun pada awalnya

kalimat yang diucapkannya itu belum dimengerti dan difahami sepenuhnya;

e) Siswa menjadi terlatih dalam pengucapan bahasa asing, jika mendengar

ucapan yang semula sering didengar dan diucapkan.

Selain dari beberapa kelebihan yang dimilikinya, metode langsung ini juga

memiliki kekurangan, diantaranya adalah:

a) Hanya mencukupkan diri pada keterampilan berbicara, tidak memperhatikan

keterampilan berbahasa yang lainnya.

b) Tidak menggunakan bahasa ibu sebagai bahasa pengantar, sehingga banyak

menghabiskan tenaga dan waktu.

c) Menjauhkan para siswa dari pengetahuan nahwu yang merupakan elemen

penting dalam menyusun kalimat.

3. Metode Dengar Ucap

Metode dengar ucap atau syamiyah syafawiyah merupakan alternatif dari

kedua metode di atas. Penggunaan metode dengar ucap dalam pembelajaran

bahasa menurut Ali al-Khuli (2006:9) didasarkan pada beberapa asumsi

diantaranya:

a) Esensi bahasa adalah berbicara, sedangkan menulis merupakan bagian dari

gambaran berbicara. Maka dengan demikian, perhatian pada pengajaran

bahasa asing hendaklahdifokuskan pada tercapainya keterampilan berbicara,

bukan keterampilan membaca atau menulis.

b) Proses pembelajaran bahasa hendaknya mengikuti aturan-aturan tertentu,

yakni mendengar, berbicara, membaca dan menulis. Hal ini bahasa siswa pada

113
awalnya hendaknya dilatih kemampuan mendengar, kemudian mereka

mengucapkan apa yang didengarnya itu. Kemudian mereka diikuti oleh

keterampilan membaca dan menulis.

c) Proses pencapaian kemampuan berbahasa asing sama dengan proses

pencapaian kemampuan seorang anak pada bahasa ibunya. Pertama kali

mereka mendengar, kemudian meniru apa yang didengarnya. Setelah itu,

mereka belajar di sekolah untuk membaca dan menulis.

d) Sebaik-baiknya pemerolehan bahasa asing adalah dengan pembentukan

kebiasaan-kebiasaan dalam bahasa, yaitu dengan jalan berlatih melalui pola-

pola.

e) Para siswa yang belajar sangat membutuhkan belajar bahasa asing, bukan

tentang bahasa asing. Ini berarti bahwa mereka perlu latihan pengucapannya.

Maka sangat kurang manfaatnya bagi mereka mengetahui aturan-aturan dan

analisis kebahasaannya.

f) Setiap bahasa memiliki sistem tersendiri, maka tidaklah bermanfaat studi

tentang kontraktif atau perbandingan.

g) Terjemah dapat mengacaukan dalam pengajaran bahasa asing, maka tidak

perlu digunakan.

h) Sebaik baik guru bahasa asing adalah penutur asli.

Sebagaimana setiap metode pembelajaran bahasa asing, maka metode inipun

tidak terlepas dari berbagai kritik, sebagai bentuk dari kekurangan metode

samiyah syafawiyah ini, diantaranya adalah:

114
a) Keterampilan berbicara bukan satu-satunya dalam berbahasa. Karena beribu-

ribu buku ditulis dengan tanpa melalui fase berbicara sebelum menulis. Buku-

buku tersebut ditulis merupakan dari hasil ekspresi langsung.

b) Metode dengar ucap hanya memfokuskan pada kemampuan berbicara, dan

kurang memfokuskan pada kemampuan berbahasa lainnya yang tidak kalah

pentingnya dari kemampuan berbicara.

c) Sistematika kemampuan berbahasa terdiri atas, mendengar, berbicara,

membaca dan menulis, bukanlah suatu yang mutlak. Mungkin saja

keterampilan tersebut diajarkan secara berbarengan, tidak mesti secara

berurutan.

d) Pemerolehan keterampilan berbahasa pada bahasa asing berbeda dengan

pemerolehan keterampilan berbahasa pada bahasa ibu. Pemerolehan

keterampilan berbahasa bahasa ibu oleh anak sangat berkaitan dengan

perasaan orang tua dan keluarganya. Anak tersebut memiliki keperluan yang

mendesak untuk mengungkapkan kebutuhan pokoknya, perasaan dan

pikirannya. Sementara seorang pembelajar (siswa) tidak memiliki perasaan

dan kepentingan seperti pada anak-anak. Demikian juga dengan guru, mereka

memiliki kepentingan yang sama seperti orang tua, apalagi mereka dapat

menggunakan bahasalain untuk mengungkapkan pemikiran dan perasaannya.

e) Pemerolehan kemampuan berbahasa dengan jalan latihan terus-menerus

mungkin dapat tercapai, tetapi pemerolehan tersebut akan lebih cepat jika

dibarengi dengan pemahaman tentang hakikat bahasa, susunan dan

hubungannya, maka disinilah ilmu nahwu memerankan peranannya.

115
f) Memang betul bahwa setiap bahasa memiliki karakteristik tersendiri yang

berbeda dengan bahasa yang lainnya. Namun perlu diakui bahwa setiap bahasa

juga memiliki beberapa persamaan, sehingga akan sangat bermanfaat jika kita

mengetahui beberapa persamaan dan perbedaan antara bahasa ibu dengan

bahasa asing yang diajarkan.

g) Penerjemahan secara bijak dalam pembelajaran bahasa asing mungkin juga

dapat dilakukan, hal ini dapat menghemat energy dan waktu bagi guru dan

siswa dalam proses pembelajaran.

h) Tidak benar pula bahwa sebaik-baik guru dalam pengajaran bahasa asing

adalah penutur asli. Karena mungkin saja mereka tdak memahami

problematika yang dihadapi oleh para siswa dalam mempelajari bahasanya.

Dan mungkin juga mereka tidak bisa menjelaskan kesalahan-kesalahan yang

dilakukan oleh siswa. Hal ini disebabkan mereka tidak mengalami

pengalaman belajar bahasa ---yang diajarkan--- sebagai bahasa asing.

4. Metode Elektik

Metode elektik atau metode campuran (thariqatul al-intiqaiyah), muncul

sebagai respon atas ketiga metode di atas. dinamakan elektik method, karena

pengajaran bahasa asing dilakukan dengan melalui bermacam-macam kombinasi

beberapa metode, seperti yang telahdikemukakan di atas, diterapkan dalam suatu

kombinasi pengajaran.

Metodeb ini dianggap paling ideal, karena mengambil dari kelebihan-

kelebihan metode pembelajaran yang ada. Proses pembelajaran lebih banyak

ditekankan pada kemahiran bercakap-cakap, menulis, membaca, dan memahami

116
pengertian-pengertian tertentu. melalui metode ini siswa banyak diberikan latihan-

latihan bercakap-cakap dalam bahasa asing, tema percakapan tentunya tidak

ditentukan secara ketat, artinya siswa diberikan kebebasan untuk bercakap-cakap

sesuai dengan perbendaharaan kata yang mereka kuasai, kemudian setelah

bercakap-cakap dilanjutkan dengan reading (qiraah, membaca) dan listening

(istima atau mendengarkan) (Ahmad Izan, 2007:130).

Metode ini yang kemudian banyak diterapkan pada lembaga-lembaga

kursus, sehingga keberhasilan mereka dalam mengajar siswa relatif berhasil,

ketimbang pada lembaga-lembaga pendidikan formal lainnya.

Asumsi-asumsi yang digunakan oleh metode ini adalah sebagai berikut:

a) Setiap metode memiliki kelebihan-kelebihan tersendiri,.dan kelebihan-

kelebihan tersebut mungkin bisa dimanfaatkan untuk pengajaran bahasa asing.

b) Tidak ada satu metode pun yang sempurna, sebagaimana halnya tidak ada

satu metode pun yang salah total. Setiap metode memiliki kelebihan dan

kekurangan masing-masing.

c) Pandangan bahwa suatu metode dapat melengkapi suatu metode lainnya lebih

baik dari pada pandangan bahwa metode-metode terdahulu saling

bertentangan.

d) Tidak ada satu metodepun yang relevan untuk semua tujuan, semua siswa,

semua guru, dan semua program pengajaran.

e) Prinsip utama dalam belajar adalah berpusat pada siswa (student centered) dan

kebutuhannya. Bukan pada metode tertentu tanpa memperhitungkan

kebutuhan siswa.

117
f) Seorang guru hendaklah merasa bebas dalam memilih sesuatu metode

pembelajaran yang akan digunakan sesuai dengan kondisi siswa, dan tidak

menutup mata dari penemuan metode belajar yang terbaru.

118
BAB V

STANDAR KOMPETENSI GURU PAI PROFESIONAL

A. Mengapa Perlu Standar Kompetensi Guru?

Penggunaan standardisasi proses dan produk dalam menghasilakan suatu

barang dan jasa pelayanan di luar sistem pendidikan sudah lama dilakukan.

Bahkan dalam dunia industri manufaktur dan jasa pelayanan telah ditetapkan

berbagai standar kualifikasi internasional sebagai acuan produk atau jasa yang

dihasilkan, misalnya ISO 9000 atau ISO 9002. Jika suatu produk atau jasa tersebut

dapat ditetapkan secara global. Hal ini menunjukkan bahwa kualitas produk atau

jasa tersebu telah memenuhi standar kebutuhan costomer atau clients secara

global sehingga produk dan jasa tersebut dapat dipakai siapa saja di seluruh dunia.

Dan secara logis orang akan memilih suatu produk atau jasa pelayanan yang

mutunya terjamin dan dapat memuaskan pelanggan.

Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, perlukah guru memiliki standar

profesional dalam pekerjaannya? kriteria apakah yang dapat dijadikan tinggi

rendahnya kualitas kinerja dan produktivitas pekerjaan guru? Jawaban terhadap

peranyaan tersebut akan beragam, berganung pada visi masing-masing terhadap

guru. sesuai dengan kepentingan masa depan guru, maka jawaban yang paling

ideal adalah “ya”. Kita akan sepakat bahwa guru adalah salah satu bentuk jasa

profesional yang dibutuhkan dalam kehidupan manusia.

Walaupun selama ini, kita secara formal sudah mengklaim jabatan guru

sebagai suatu jabatan profesional, tetapi secara realita, masih perlu klarifikasi

secara rasional dilihat dari penguasaan knowledge-base of teaching-nya. Oleh

119
karena itu, standar guru profesional merupakan sebuah kebutuhan mendasar yang

sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Hal ini tercermin dalam undang-undang

sistem pendidika nasional (SISDIKNAS No. 20 tahun 2003 pasal 35 ayat 1)

bahwa: “ Standar nasional terdiri atas isi, proses, kompetensi lulusan, tenaga

kependidikan, sarana dan prasarana, pengelolaan, pembiayaan, penilaian

pendidikan yang harus ditingkatkan secara berencana dan berkala”.

Standar yang dimaksud dalam hal ini adalah suau kriteria yang telah

dikembangkan dan ditetapkan oleh program berdasarkan sumber, prosedur, dan

manajemen yang efektif, sedangkan kriteria adalah suatu yang menggambarkan

ukuran keadaan yang dikehendaki (Suharsimi Arikunto, 1988: 98).

Penggunaan standar sanga vital dalam pengembangan suatu profesi.

Dalam berbagai bentuknya, standar merupakan gambaran suatu profesi. Standar

suatu profesi menetapkan siapa yang boleh atau tidak boleh masuk ke dalam

kategori profesi tersebut. Standar suatu profesi membangun “public trust”

terhadap eksistensi profesi tersebut bagi kepentingan masyarakat luas dan

sekaligus pula mengembangkan “public acceptance” terhadap segala aspek yang

berkaitan dengan kegiatan operasional suatu profesi (Roth, 1996).

Secara konseptual, standar juga dapat berfungsi sebagai alat untuk menjamin

bahwa program-program pendidikan suatu profesi dapat memberikan kualifikasi

kemampuan yang harus dipenuhi oleh calon sebelum masuk ke dalam profesi

yang bersangkutan.

Kompetensi dapat didefinisikan sebagai seperangkat tindakan inteligen

penuh tanggung jawab yang harus dimiliki seseorang sebagai syarat untuk

120
dianggap mampu melaksanakan tugas-tugas dalam bidang pekerjaan tertentu.

Sifat inteligen harus ditunjukkan sebagai kemahiran, ketepatan, dan keberhasilan

bertindak. Sifat tanggung jawab harus ditunjukkan sebagai kebenaran tindakan

baik dipandang dari sudut ilmu pengetahuan, teknologi maupun etika. Dalam arti

tindakan itu benar ditinjau dari sudut ilmu pengetahuan, efisien, efektif, dan

memiliki daya tarik dilihat dari sudut teknologi; serta baik ditinjau dari sudut etika

(Muhaimin, 2003: 151), sedangkan Depdiknas mendefinisikan kompetensi

sebagai pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai dasar yang direfleksikan dalam

kebiasaan berpikir dan bertindak.

Dengan demikian, kompetensi yang dimiliki oleh setiap guru akan

menunjukkan kualitas guru yang sebenarnya. Kompetensi tersebut akan terwujud

dalam bentuk penguasaan pengetahuan dari perbuatan secara profesional dalam

menjalankan fungsinya sebagai guru.

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa standar kompetensi guru

adalah suatu ukuran yang ditetapkan atau dipersyaratkan dalam bentuk

penguasaan pengetahuan dan perilaku perbuatan bagi seorang guru agar

berkelayakan untuk menduduki jabatan fungsional sesuai bidang tugas,

kualifikasi, dan jenjang pendidikan.

B. Karakteristik Kompetensi Profesional Guru

Apakah pekerjaan guru merupakan suatu profesi? Pertanyaan tersebut muncul

karena masih ada sementara pihak yang berpendapat bahwa pekerjaan

kependidikan bukan bsuatu profesi tersendiri. Berbagai alasan yang mereka

kemukakan, antara lain bahwa setiap orang dapat menjadi guru asalkan telah

121
mengalami jenjang pendidikan tertentu dengan sedikit pengalaman belajar (lihat:

Oemar Hamalik, 1991: 5). Pertanyaan sinis tersebut, patut direnungkan dan

kemudian diyakini maknanya oleh para guru sendiri lebih-lebih oleh para calon

guru (mahasiswa IKIP, FIP, FKIP/STKIP, dan Fakultas Tarbiyah lainnya) yang

kelak setelah lulus akan memangku jabatan tersebut. Untuk dapat menjawab

pertanyaan tersebut perlu dikemukakan pengertian profesi keguruan kriteria unsur

dan syarat dan kualifikasinya.

1. Pengertian Guru Profesional

Mendefinisikan guru sebagai tenaga profesional, dalam konteks semantik

tentu sangat erat hubungannya dengan pengetahuan tentang maksud kata profesi

itu sendiri. Pemakaian kata profesi secara semantik sangat konotatif. Artinya, bisa

dipakai dalam berbagai bidang pekerjaan, salah satu di antaranya bidang

pendidikan atau keguruan. Oleh karena itu, sah saja untuk pemakaian yang

disandarkan pada guru yang mempunyai kemampuan tertentu disebut sebagai

tenaga profesional dalam bidang kependidikan dan keguruan. Istilah profesi,

secara etimologis dirujuk dari perkataan Inggris “Profession” yang berarti jabatan

atau pekerjaan yang tetap dan teratur untuk memperoleh nafkah yang menuntut

pendidikan atau latihan khusus (N.A. Ametembun, 1981: 10).

Secara umum, profesi diartikan sebagai suatu pekerjaan yang memerlukan

pendidikan lanjutan di dalam science dan teknologi yang digunakan sebagai

perangkat dasar untuk diimplementasikan dalam berbagai kegiatan yang

bermanfaat. Dalam aplikasinya menyangkut aspek-aspek yang lebih bersifat

mental daripada yang bersifat manual work (lihat: Sardiman A.M., 1986: [3]).

122
Kedua definisi tersebut, tampak selaras dengan definisi yang terangkum

dalam Webster’s New Word Dictionary (1986: 163) “Profession is a vocation or

occupation requiring advanced in some liberal art or science and usually

involving mental rather than manual work, as teaching, engineering, writing, ect.

Expecially medicine, or theology”.

Jadi, ada tiga hal untuk menentukan sesuatu yang bisa dikatakan sebagai

profesi menurut batasan tersebut di atas. Pertama, berhubungan dengan suatu

jabatan atau pekerjaan. Kedua, melalui proses pendidikan atau latihan khusus.

Ketiga, aktivitasnya lebih menekankan pada aspek mental bukan kerja manual

(manual work). Penjelasan mengenai definisi profesi di bidang keguruan dapat

diterangkan terlebih dahulu bahwa guru dalam sistem pendidikan modern yang

dasarnya bersifat impersonal (tidak bersifat pribadi) pada pelaksanaan mekanisme

sistemnya dituntut, mempunyai fungsi yang bersifat profesional daripada yang

bersifat moralitas sebagai sumber spiritual bagi anak didik. Penekanan pada

profesionalisasi pekerjaan merupakan ciri kehidupan modern dan bidang

pendidikan atau kegunaan dalam mengejar target kebutuhannya mengakomodasi

prinsip tersebut.

Dengan demikian, konsep pendidikan modern telah menegaskan bahwa

guru sebagai suatu profesi sebagaimana dirumuskan oleh Moh. Uzer (1992: 3)

sebagai berikut:

Guru sebagai suatu profesi yang artinya suatu jabatan atau pekerjaan

yang memerlukan keahlian khusus, dengan syarat-syarat khusus pula; yang

mengharuskan untuk menguasai benar seluk beluk pendidikan dan pengajaran

123
beserta disiplin ilmu yang terkait lainnya, yang perlu dibina dan dikembangkan

melalui pendidikan tertentu atau latihan prajabatan.

Untuk lebih jelasnya tentang maksud profesi dari definisi di atas, dapat

diterangkan berdasarkan aspek-aspek yang eksplisit di dalamnya sebagai berikut.

Pertama, aspek jabatan khusus: Jabatan berarti sesuatu yang mengacu

pada pekerjaan yang dilakukan, diperintahkan, atau diorganisasi (lihat: penjelasan

KBBI, 1991: 24).

Kedua, aspek keahlian khusus: Keahlian yang dimaksud adalah

kemahiran yang dimiliki seseorang dalam suatu bidang ilmu atau pekerjaan (lihat:

Penjelasan KBBI, 1991: 11). Profesi guru membutuhkan kemahiran dalam dua

bidang tersebut: pengetahuan yang mendukung profesi dan keterampilan yang

diperlukan pekerjaan, kemahiran khusus di bidang keguruan yang sengaja

ditekuni dan diperdalam.

Ketiga, aspek Pendidikan dan pengajaran. Profesi guru mengharuskan

untuk menguasai dan mengembangkan kemampuan mendidik dan mengajar,

pendidikan dan pengajaran dibedakan dari segi orientasi. Pendidikan untuk

membantu pertumbuhan kepribadian individu ke arah pertumbuhan yang

sempurna, sedangkan pengajaran melatih individu atau kelompok dengan

melaksanakan tugas secara efisien (lihat: Penjelasan Abdullah Fajar, 1991: 79).

Mendidik dan mengajar merupakan hakikat aktivitas keguruan yang selalu

berproses, baik dari visi praktik sehingga untuk meningkatkan kemampuan ilmiah

dan keterampilan mengajar, guru selalu diminta untuk mengantisipasi

perkembangannya dalam bentuk pengetahuan teoritis maupun teknologi.

124
Keempat, aspek pembinaan dan pengembangan. Keahlian dalam bidang

pendidikan dan pengajaran, tentu diperoleh melalui suatu proses pembinaan dan

pengembangan terlebih dahulu. Pembinaan dan pengembangan dilakukan pada

suatu jenjang pendidikan tertentu yang bersifat formal (pendidikan keguruan di

sekolah atau perguruan tinggi) atau melalui jenjang pendidikan nonformal seperi

pendidikan prajabatan (yang biasa dilakukan atau diberikan kepada calon guru).

Kesimpulan dari uraian penjelasan definisi di atas, bahwa profesi keguruan

adalah jabatan atau pekerjaan sebagai guru yang menuntut pendidikan atau latihan

khusus di bidang keguruan, dan dalam pekerjaan profesionalnya senantiasa

menggunakan teknik dan prosedur yang mengacu pada prinsip-prinsip intelektual;

yang harus dipelajari secara sengaja, terencana, dan kemudian diaplikasikan untuk

perbaikan orang lain. Kesimpulan ini senada dengan pandangan Ace Suryadi dan

Wiana Mulyana (1993: 15) yang mengatakan bahwa “pekerjaan yang bersifat

profesional adalah pekerjaan yang hanya dapat dilakukan oleh mereka yang secara

khusus telah dipersiapkan untuk itu, bukan pekerjaan yang dilakukan oleh

sembarang orang.

2. Kriteria

Profesi keguruan untuk memperoleh status atau pengakuan sebagai suatu

profesi, memiliki kriteria-kriteria tertentu yang perlu dipenuhi, baik dari segi

spesialisasi maupun mekanismenya. Profesi menurut kerangka dasar seperti yang

telah dijelaskan pada definisi memuat tiga ciri utama. Namun, batasan itu

belumlah menyentuh substansi makna profesi yang sebenarnya, bila belum

125
dilengkapi dengan kriteria yang membatasi mekanisme operasional sebagai

ukuran profesionalisasinya.

Profesi keguruan secara definitif sudah dapat dikatakan sebagai suatu

profesi berdasarkan ukuran dasar itu, tetapi dalam realitas operasionalnya belum

tentu layak dikatakan suatu profesi, sebelumnya ia memenuhi kualifikasi kriteria

keprofesian yang dimaksud.

Menurut klasifikasi Howard M. Vollmer dan Donald Lonard Mills (1966: 2)

kriteria suatu pekerjaan atau jabatan dapat memperoleh status atau pengakuan

sebagai suatu profesi, harus memenuhi tiga kategori pokok yang dapat dijabarkan

sebagai berikut.

1) Kategori spesialisasi, yaitu “Acqusition of specialized teachnique supported

by a body of theory”. Artinya, memiliki spesialisasi dengan latar belakang

teori yang luas, meliputi penguasaan terhadap pengetahuan umum yang luas

dan keahlian khusus yang mendalam.

2) Kategori karier, yaitu “development of career supported by ail association

of collegues”. Artinya, merupakan karier yang dibina secara organisatory

yang dicirikan dengan: keterikatan dalam suatu organisasi profesional,

memiliki otonomi jabatan, mempunyai kode etik jabatan, dan karya bakti

seumur hidup.

3) Kategori masyarakat, yaitu “establisment of commnunity recognation of

profesional status”. Hal ini ditunjukkan dengan memperoleh dukungan dari

masyarakat, mendapat perlindungan dan pengesahan hukum, memiliki

persyaratan kerja yang sehat dan mempunyai jaminan hidup yang layak.

126
Profesi keguruan layak disebut juga profesi, memang suatu keharusan

menjadikan tiga kategori itu sebagai ukuran universal untukmenilai kelayakan,

baik dari visi teoretis konseptual maupun praktik kontekstual berdasarkan standar

keprofesian pada umumnya.

Standar minimal menurut Wastby dan Gison (dalam Sardiman A.M.,

1986: 132), bahwa profesi di bidang pendidikan atau keguruan, harus telah

memenuhi kriteria: (1) pekerjaan menurut kategori profesi; (2) memiliki

konsorsium ilmu pengetahuan sebagai landasan dari sejumlah teknik dan

prosedurnya; (3) dipersiapkan dengan perencanaan yang sengaja dan sistematis;

(4) memiliki mekanisme seleksi yang kompeten; (5) memiliki organisasi

profesional.

Menurut hasil lokakarya Pembinaan Kurikulum Pendidikan Keguruan

IKIP Bandung (dalam Oemar Hamalik, 1991: 40-42), kriteria profesional guru

meliputi empat, yaitu: fisik, mental/kepribadian, keilmiahan/pengetahuan dan

keterampilan.

Pertama, fisik, meliputi: sehat jasmani dan rohani, tidak mempunyai

cacat tubuh yang bisa menimbulkan ejekan/cemoohan atau rasa kasihan dari anak

didik.

Kedua, mental/kepribadian, meliputi: berkepribadian/berjiwa pancasila,

mampu menghayati GBHN , mencintai bangsa dan sesama manusia dan rasa kasih

sayang kepada anak didik, berbudi pekerti yang luhur, berjiwa kreatif dapat

memanfaatkan rasapendidikan yang ada secara maksimal, mampu menyuburkan

sikap demokratis dan penuh tenggang rasa, mampu mengembangkan kreativitas

127
dan tanggung jawab yang besar atas tugasnya, mampu mengembangkan

kecerdasan yang tinggi, bersifa terbuka, peka, dan inovatif, menunjukkan

rasacinta kepada profesinya, ketaatannya akan disiplin dan memiliki sense of

humor.

Ketiga, keilmiahan/pengetahuan, meliputi: memahami ilmu yang dapat

melandasi pembentukan pribadi pendidikan/mengajar yang demokratis,

memahami ilmu pendidikan dan keguruan dan mampu menetapkannya dalam

tugasnya sebagai pendidik dan pengajar yang demokratis, memahami-menguasai

serta mencintai ilmu pengetahuan yang akan diajarkan, memiliki pengetahuan

yang cukup tentang bidang-bidang lain, senang membaca buku-buku ilmiah,

mampu memecahkan persoalan secara sistematis (terutama yang berhubungan

dengan bidang studi), memahami prinsip-prinsip kegiatan belajar mengajar.

Keempat, keterampilan, meliputi: mampu berperan sebagai organisator

proses mengajar belajar, mampu menyusun bahan pelajaran atas dasar pendekatan

struktual-interdisipliner behavior dan teknologi, mampu menyusun garis besar

program pengajaran (Silabus), mampu memecahkan dan melaksanakan teknik-

teknik ,engajar yang baik, dalam mencapai tujuan pendidikan, mampu

merencanakan dan melaksanakan evaluasi pendidikan dan mampu melaksanakan

kegiatan dan pendidikan luar sekolah.

3. Syarat

Jabatan guru untuk mencapai standar profesional dalam pekerjaannya,

memerlukan guru yang memenuhi syarat-syarat mutlak keprofesian. Dengan

syarat-syarat itu guru dapat diprediksi layak dan potensial untuk melaksanakan

128
dan mengembangkan pekerjaannya ke tingkat optimal yang sesuai dengan kriteria

profesinalisasi. Syarat-syarat tersebut, N.A. Ametembun (1981: 42)

mengklasifikasikannya menjadi dua kategori, yaitu primer dan sekunder, dan

masing-masing kategori mempunyai pembagian pula.

a. Syarat Primer, terbagi ke dalam dua kategori.

Pertama, syarat primer yang hubungannya dengan unsur mendidik

sebagai transfer of values, yaitu:

a) Syarat personality; yaitu menyangkut kepribadian seseorang menjadi

guru meliputi: kesehatan fisik (tubuh) kesehatan psikis (jiwa)

kesehatan psycho-somatic (jasmani-rohani) dan integritas pribadi.

b) Syarat morality, yaitu syarat menyangkut masalah kesusilaan (moral)

c) Syarat religiusitas, yaitu syarat-syarat yang berhubungan dengan

norma-norma bagaimana yang dianut oleh seorang guru.

Kedua, syarat primer yang berhubungan dengan interaksi proses belajar

mengajar sebagai transfer of knowledge and skill, yaitu:

Syarat profesionality, yaitu syarat-syarat yang berhubungan dengan

keahlian di bidang keguruan yang meliputi:

a) Pengetahuan (knowledge) di bidang keguruan dan pendidikan baik

yang bersifat umum (general education) maupun yang bersifat khusus

(special education).

b) Keterampilan (skill) di bidang keguruan, termasuk pada kemampuan

menguasai teknik-teknik bimbingan dan penyuluhan dan teknik-teknik

kepemimpinan dalam manajemen pengelolaan kelas.

129
c) Syarat sociability, yaitu syarat-syarat yang berhubungan dengan

kemampuan bergaul guru berdasarkan kompetensi sosial yang

dimilikinya sehingga mudah disenangi anak didik.

b. Syarat Sekunder, yaitu syarat formality yang memperkuat wewenang

seseorang menjadi guru berupa surat keputusan (SK) dari instansi yang

berwenang.

Syarat-syarat yang telah dijelaskan akan memberikan otoritas dalam

menyeleksi guru-guru yang memiliki kompetensi dalam mengajar, mendidik, dan

melatih agar dapat bekerja secara opimal dan efektif.

4. Kualifikasi

Selain syarat-syarat keprofesian yang mutlak dipenuhi oleh seorang guru

untuk menjadi tenaga profesional, maka ada tingkatan kualifikasi yamg

berhubungan dengan orientasi profesi yang perlu pula diakui sebagai tanggung

jawabnya dalam mengembangkan mutu tugas keprofesian.

Sardiman AM. (1986: 133) membagi tingkatan kualifikasi secara garis

besar dalam tiga tingkatan, yaitu: “Capable personal, tingkatan inovator, dan

tingkatan developer” yang dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, tingkatan Capable personal maksudnya guru diharapkan

memiliki pengetahuan, kecakapan, keterampilan, dan sikap yang lebih mantap dan

memadai sehingga mampu mengelola proses belajar mengajar secara efektif.

Kedua, tingkatan inovator; maksudnya guru sebagai tenaga kependidikan

atau keguruan yang memiliki komitmen terhadap perubahan dan reformasi. Guru

diharapkan memiliki pengetahuan, kecakapan, keterampilan dan sikap yang tepat

130
terhadap pembaruan dan sekaligus merupakan penyebar ide pembaruan yang

efektif.

Ketiga, tingkatan developer; maksudnya guru harus memiliki visi

keguruan yang mantap dan luas perspektifnya. Guru harus mampu dan mau

melihat jauh ke depan dalam menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi oleh

sektor pendidikan sebagai suatu sistem.

C. Profil Kompetensi Profesional Guru

Terdapat perbedaan pokok antara profesi guru dengan profesi lainnya,

yaitu dalam tugas dan tanggung jawabnya. Tugas dan tanggung jawab tersebut

sangat erat kaitannya dengan kemampuan yang disyaratkan untuk memangku

profesi tersebut.

Secara umum perangkat kompetensi guru sebagai tenaga profesional dapat

ditinjau dari dua aspek, yaitu: (1) profil kompetensi, berkaitan dengan sejumlah

aspek kompetensi yang seharusnya ada pada diri guru, (2) spektrum kemampuan,

berkenaan dengan kualitas dan kualitas perangkat kompetensi yang dapat

disumbangkan bagi kepentingan pendidikan (lihat: M. Surya, 1987:51).

Menurut Muhaimin & Abdul Mujib (1993:172) guru Agama Islam profesional

harus memiliki kompetensi sebagai berikut.

1. Penguasaan materi al-Islam yang komprehensif serta wawasan dan bahan

pengajaran, terutama pada bidang yang menjadi tugasnya.

2. Penguasaan strategi (mencakup pendekatan, metode, dan teknik)

Pendidikan Islam termasuk kemampuan evaluasinya.

3. Penguasaan ilmu dan wawasan pendidikan.

131
4. Memahami prinsip-prinsip dan menafsirkan hasil penilitian pendidikan

kepekaan terhadap informasi secara langsung atau tidak langsung yang

mendukung kepentingan tugasnya.

Departemen Agama RI melalui program pengadaan dan penyetaraan Guru

Pendidikan Agama Islam telah merumuskan kemampuan-kemampuan yang harus

a. Memiliki sifat dan kepribadian sebagai muslim yang bertakwa kepada

Allah Swt dan sebagai warga negara Indonesia, serta cendekia dan mampu

mengembangkannya.

b. Menguasai wawasan kependidikan, khususnya berkenaan dengan

pendidikan pada tingkat dasar (sekolah/madrasah)

c. pendidikan dasar serta konsep dasar keilmuan yang menjadi sumbernya.

d. Mampu merencanakan dan mengembangkan program pengajaran

pendidikan Agama Islam pada jenjang pendidikan dasar.

e. Mampu melaksanakan program pengajaran pendidikan Agama Islam

sesuai dengan kemampuan dan perkembangan anak usia pendidikan dasar.

f. Mampu menilai proses dan hasil belajar mengajar murid

sekolah/madrasah.

g. Mampu berinteraksi dengan sejawat dan masyarakat serta peserta didik

sekolah/madrasah.

h. Mampu memahami dan memanfaatkan hasil penilitian untuk menunjang

pelaksanaan tugasnya sebagai Guru Agama Islam di sekolah/madrasah

(Depag RI:1998).

132
Permendiknas Nomor 16 Tahun 2007 bahwa standar kompetensi guru

termasuk guru PAI terdiri dari empat kompetensi utama, yaitu:

a. Kompetensi pedagogik yang meliputi:

1) Menguasai karakteristik peserta didik dari aspek fisik, moral, spiritual,

emosional, dan intelektual;

2) Menguasai teori belajar dan prinsip-prinsip pembelajaran yang mendidik;

3) Mengembangkan kurikulum terkait dengan mata pelajaran yang diampu;

4) Menyelenggarakan pembelajaran yang menarik;

5) Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan

pembelajaran;

6) Memfasilitasi pengembangan potensi peserta didik untuk mengaktualisasikan

berbagai potensi yang dimiliki;

7) Komunikasi secara efektif, empatik, dan santun dengan peserta didik.;

8) Menyelenggarakan penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran;

9) Memanfaatkan hasil penilaian dan evaluasi untuk kepentingan pembelajaran;

10) Melakukan tindakan reflektif untuk meningkatkan kualitas pembelajaran.

b. Kompetensi profesional yang meliputi:

1) Menguasai materi, struktur, konsep, dan pola pikir keilmuan yang mendukung

mata pelajaran yang diampu;

2) Menguasai standar kompetensi dasar mata pelajaran yang diampu;

3) Mengembangkan keprofesionalan secara berkelanjutan dengan melakukan

tindakan reflektif;

133
4) Memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi untuk mengembangkan

diri.

c. Kompetensi sosial yang meliputi:

1) Bertindak dan bersikap secara objektif dan tidak diskriminatif;

2) Beradaptasi di tempat tugas di NKRI;

3) Berkomunikasi dengan komunitas profesi sendiri dan profesi lain secara lisan

dan tulisan atau bentuk lain.

d. Kompetensi kepribadian yang meliputi:

1) Bertindak sesuai dengan norma agama, hukum, sosial, dan kebudayaan;

2) Menampilkan diri sebagai pribadi yang jujur, mantap, stabil, dewasa, arif, dan

berwibawa;

3) Menunjukkan etos kerja dan tanggung jawab yang tinggi, rasa bangga menjadi

guru, dan rasa percaya diri;

4) Menjunjung tinggi kode etik profesi guru.

Selanjutnya Nana Sudjana (198:18) mengemukakan bahwa kompetensi guru

dapat dibagi menjadi tiga bidang, yakni: (a) kompetensi bidang kognitif; (b)

kompetensi bidang sikap; dan (c) kompetensi perilaku/performance. Ketiga

bidang tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut.

Pertama, kompetensi bidang kognitif, artinya kemampuan bidang intelektual

seperti penguasaan mata pelajaran, pengetahuan cara mengajar, pengetahuan

mengenai belajar dan tingkah laku individu, pengetahuan tentang bimbingan

penyuluhan, pengetahuan tentang administrasi kelas, pengetahuan tentang cara

134
menilai hasil belajar siswa, pengetahuan tentang kemasyarakatan serta

pengetahuan umum lainnya.

Kedua, kompetensi bidang sikap, artinya kesiapan dan kesediaan guru

terhadap berbagai hal yang berkenaan dengan tugas dan profesinya. Misalnya,

sikap menghargai pekerjaannya, mencintai dan memiliki rasa senang terhadap

mata pelajaran yang dibinanya, sikap toleransi kepada sesama teman profesinya,

memiliki kemauan yang keras untuk meningkatkan hasil kerjaannya.

Ketiga, kompetensi perilaku/performance, artinya kemampuan guru dalam

berbagai keterampilan/perilaku, seperti keterampilan mengajar, membimbing

menilai, menggunakan alat bantu pengajaran, bergaul atau berkomunikasi dengan

siswa, keterampilan menyusun persiapan/perencanaan mengajar, keterampilan

melaksanakan administrasi kelas, dan lain-lain.

Perbedaan kompetensi perilaku dengan kognitif terletak dalam sifatnya.

Kalau kompetensi kognitif berkenaan dengan aspek teori atau pengetahuannya,

sedangkan kompetensi perilaku yang diutamakan adalah praktik/keterampilan

melaksanakannya. Meskipun demikian sudah barang tentu ketiga bidang

kompetensi di atas tidak berdiri sendiri, ketiganya saling berhubungan dan saling

memengaruhi satu sama lain.

Dalam UNESCO-UNEVOC dijelaskan bahwa, the first challenge for the

educator is to examine the level of teaching that is engaging the learner. There

are basically three levels of teaching: facts and concept—knowing and

understanding;valuing—reflecting on the personal level; acting—applying skills

and competencies. Hal ini menunjukkan bahwa tantangan pertama bagi pendidik

135
untuk menguji tingkat pengajaran yang melibatkan siswa pada dasarnya ada tiga,

yaitu: pertama, pengajaran; yang berisi fakta dan konsep artinya belajar untuk

mengetahui dan memahami. kedua, Sikap-nilai, melalui refleksi; dan ketiga,

tindakan-keterampilan melakukan (UNESCO-APNIEVE, 2002:24). Hal ini

diperjelas oleh Quisumbing dalam siklus belajar dan pengajaran sebagai berikut.

Bagan-2 Teaching and Learning Cycle Menurut Quisumbing (UNESCO-

APNIEVE, 2005:29)
Cognitive Level KNOWING about
one self and other: one’s awork and
vocation and those of other’s, one’s
personal and work-related values
(facts, information, etc.)

Active Level ACTING application in UNDERSTANDING oneself and


the workplace and in daily life: other’s, concepts, key issues,
decision-making, communication processes underlying factors (insight,
skills, teamwork, non violent conflict- awareness, realization
resolution, etc. (action and practice

Affective Level VALUING


Reflecting, accepting, respecting,
appreciating ones self and other’s
work values, personal and social
goals (internalized as a part of one’s
value system)

136
Tahap satu, cognitif level-knowing berisikan kemampuan untuk mengenali

dan mengingat baik diri sendiri maupun orang lain dalam suatu pekerjaan

berkaitan dengan peristilahan, definisi, fakta-fakta, gagasan, pola, urutan

metodologi, prinsip dasar, dan sebagainya. Dan pengetahuan merupakan

parameter fakta dan konsep.

Tahap dua, conceptual level-understanding, kemampuan untuk

mengungkap makna dan arti dari bahan yang dipelajari. Adanya kemampuan yang

dinyatakan dalam menguraikan isi pokok dari suatu bacaan. Pengetahuan yang

disertai dengan pemahaman menuntun pada sebuah makna/pengertian yang

mendalam.

Tahap tiga, Affective Level (Valuing) pengetahuan dan pemahaman belum

tentu memberikan jaminan bahwa nilai/sikap akan terinternalisasikan dan

terintegrasikan. Konsep nilai yang disaring melalui pengalaman seseorang dan

hasil refleksi akhirnya ditegaskan dalam dimensi afektif. Cakuoan afektif dalm

lingkup kecil/pendek, ditempuh melalui tiga proses, yaitu proses pilihan (choosen)

penghargaan (prize), dan tindakan (acted). Perkembangan berikutnya ada

penambahan pada tahap afektif ini, yaitu appreciate (menghargai), acceptance

(menerima), dan respect (menghormati) yang semuanya merupakan suatu sistem

nilai.

Tahap empat, Active Level, konsep nilai yang akhirnya dinilai untuk

mengarah pada tindakan. Apakah tindakan itu dinyatakan untuk meningkatkan

keterampilan berkomunikasi, pengambilan keputusan yang lebih baik, bekerja

137
dalm sebuah tim, tanpa konflik kekerasan dan sebagainya baik di tempat kerja

maupun dalam kehidupan sehari-hari.

Uraian di atas menunjukkan bahwa sekurang-kurangnya seorang guru

harus mempunyai tiga kompetensi, yaitu: Pertama, kompetensi pengetahuan;

kedua, kompetensi sikap/nilai; dan ketiga kompetensi keterampilan/tindakan.

D. Tinjauan Islam tentang Guru Profesional

Dalam Islam setiap pekerjaan harus dilakukan secara profesional dalam

arti harus dilakukan secara benar. Dan itu hanya mungkin dilakukan oleh orang

yang ahli. Rasulullah saw, mengatakan bahwa “bila suatu urusan dikerjakan oleh

orang yang tidak ahli, maka tunggulah kehancuran.”

Menurut A. Tafsir makna “kehancuran” dalam hadis di atas dapat diartikan

secara terbatas dan dapat juga diartikan secara luas. Bila seorang guru mengajar

tidak disertai dengan keahliannya, maka yang ‘hancur’ adalah murinya. Ini dalam

pengertian yang terbatas. Murid-murid itu kelak mempunyai murid lagi; murid-

murid kelak berkarya; kedua-duanya dilakukan dengan tidak benar (karena telah

dididik tidak benar), maka akan timbullah “kehancuran”. Kehancuran apa?

Kehancuran orang-orang, yaitu murid-murid dan kehancuran sistem kebenaran

karena mengajarkan pengetahuan yang bisa saja tidak benar. Dan, ini kehancuran

dalam pengertian luas.

Islam mementingkan profesionalisme, keberhasilan Nabi sebagai pendidik

didahului dengan bekal kepribadian (personality) yang berkualitas unggul. Beliau

sejak kecil dikenal sebagi seorang yang berbudi luhur, berkepribadian unggul

sehingga dijuluki al-amin. Beliau dikenal sebagai seorang yang sangat peduli

138
terhadap masalah sosial, memiliki semangat dan ketajaman dalam membaca,

menelaah, dan meneliti berbagai fenomena alam dan sosial; mampu

mempertahankan dan mengembangkan kualitas iman dan takwa untuk diri dan

umatnya; mampu bekerja dengan baik (amal saleh); mampu berjuang bekerjasama

menegakkan kebenaran (Q.S. Al-Ashr:3, Al-Kahfi:29); mampu bekerjasama

menyebarkan kesabaran (Q.S Al-Ashr: 3, Al-Ahqaf: 35, Ali-Imran: 200).

Para ulama telah memformulasikan sifat-sifat, ciri-ciri, dan tugas-tugas

guru (termasuk di dalamnya GPAI) yang diharapkan agar berhasil dalam

menjalankan tugas-tugas kependidikannya. Berbagai sifat, ciri-ciri, dan tugas

tersebut sekaligus mencerminkan profil guru yang diharapkan (ideal).

Menurut Imam Al-Ghazali (t.t., hlm 55-58), bahwa kode etik dan tugas-

tugas guru adalah sebagai berikut: (1) Kasih sayang kepada peserta didik dan

memperlakukannya sebagaimana anaknya sendiri; (2) meneladani Rasulullah

sehingga jangan menuntut upah, imbalan maupun penghargaan; (3) hendaknya

tidak memberi predikat/martabat kepada peserta didik sebelum ia pantas dan

kompeten untuk menyandangnya, dan jangan memberi ilmu yang samar (al-‘Urn

al-Khafy) sebelum tuntas ilmu yang jelas (al-ilm al-jaly); (4) hendaknya

mencegah peserta didik dari akhlak yang jelek (sedapat mungkin) dengan cara

sindiran dan tidak tunjuk hidung; (5) guru yang memegang bidang studi tertentu

sebaiknya tidak menjelek-jelekkan atau meremehkan bidang studi lain; (6)

menyajikan pelajaran pada peserta didik sesuai dengan taraf kemampuan mereka;

(7) dalam menghadapi peserta didik yang kurang mampu, sebaiknya diberi ilmu-

ilmu yang global dan tidak perlu menyajikan detailnya; (8) guru hendaknyya

139
mengamalkan ilmunya, dan jangan sampai ucapannya bertentangan dengan

perbuatannya.

Menurut Abdurrahman Al-Nahlawy (1979, hlm. 154-159) bahwa sifat-

sifat guru muslim adalah sebagai berikut: (1) hendaknya tujuan, tingkah laku dan

pola pikir guru bersifat Rabbani (Q.S. Ali-Imran: 79); (2) ikhlas, yakni bermaksud

mendapatkan keridaan Allah, mencapai dan menegakkan kebenaran; (3) sabar

dalam mengajarkan berbagai ilmu kepada peserta didik; (4) jujur dalam

menyampaikan apa yang diserukannya, dalam arti menerapkan anjurannya

pertama-tama kepada dirinya sendiri karena kalau ilmu dan amal sejalan, maka

peserta didik akan mudah meneladaninya dalam setiap perkataan dan

perbuatannya; (5) senantiasa membekali diri dengan ilmu dan bersedia mengkaji

dan mengembangkannya; (6) mampu menggunakan berbagai metode mengajar

secara bervariasi, menguasainya dengan baik, mampu menentukan dan memilih

metode mengajar yang sesuai dengan materi pelajaran dan situasi belajar-

mengajar; (7) mampu mengelola peserta didik, tegas dalam bertindak, dan

meletakkan segala masalah secara proporsional; (8) mempelajari kehidupan psikis

peserta didik selaras dengan masa perkembangannya; (9) tanggap terhadap

berbagai kondisi dan perkembangan dunia yang memengaruhi jiwa, keyakinan

dan pola berpikir peserta didik, memahami problem kehidupan modern dan

bagaimana cara Islam mengatasi dan menghadapinya; dan (10) bersikap adil di

antara para peserta didik.

Menurut Muhammad Athiyah Al-Abrasyi (1969, hlm. 140-142), bahwa

sifat-sifat yang harus dimiliki oleh guru adalah: (1) bersikap zuhud, dan mengajar

140
hanya karena mencari keridaan Allah ; (2) bersih atau suci, dalam arti bersih

jasmani dan anggota badannya, jauh dari dosa, suci jiwanya, bebas dari dosa

besar, riya’, hasad, permusuhan, perselisihan dan sifat-sifat tercela lainnya; (3)

ikhlas dalam bekerja, dalam arti mengamalkan apa yang diucapkan, selaras antara

perbuatan dan ucapan, tidak merasa malu untuk mengatakan “saya tidak tahu, jika

ia tidak tahu”, merasa butuh untuk menambah ilmu, dan tidak segan-segan untuk

menggali ilmu dari peserta didiknya; (4) pemaaf, yakni pemaaf terhadap peserta

didik, mampu menahan diri, menahan amarah, lapang dada, sabar dan tidak

mudah marah karena sebab-sebab sepele; (5) menjaga harga diri dan kehormatan;

(6) mencintai peserta didik sebagaimana cintanya kepada anak sendiri dan

memikirkan keadaan mereka sebagaimana memikirkan anaknya sendiri; (7)

memahami tabiat, minat, kebiasaan, perasaan, dan kemampuan peserta didik; dan

(8) menguasai bidang yang diajarkan , serta senantiasa mendalaminya agar

pelajarannya tidak dangkal.

Menurut Majid ‘Irsan Al-Kailani dalam bukunya “al-Fikr al-Tarbawi

‘inda Ibn Taimiyah” (1986, hlm. 177-179), bahwa kode etik guru atau pendidik

adalah (1) saling menolong atas kebajikan dan takwa; (2) menjadi teladan bagi

peserta didik dalam kebenaran, dan berusaha memelihara akhlak dan nilai-nilai

Islam; (3) berusaha keras untuk menyebarkan ilmunya dan tidak menganggap

remeh; dan (4) berusaha mendalami dan mengembangkan ilmu.

Menurut Brikan Barky Al-Quraisyi (1984, hlm. 105-126), bahwa sifat-

sifat guru adalah (1) dalam setiap tindakan mengajar harus bertujuan untuk

mencari keridaan Allah; (2) menerapkan ilmunya dalam bentuk perbuatan; (3)

141
amanah dalam mentransformasikan ilmu; (4) menguasai dan mendalami bidang

ilmunya; (5) mempunyai kemampuan mengajar; (6) bersikap lemah lembut dan

kasih sayang terhadap peserta didik; dan (7) memahami tabiat, kemampuan dan

kesiapan peserta didik.

Dari kelima pendapat para ulama tersebut, dapat dipahami bahwa ada

beberapa kemampuan dan perilaku yang perlu dimiliki oleh guru, yang sekaligus

merupakan profil GPAI yang diharapkan agar dalam menjalankan tugas-tugas

kependidikannya dapat berhasil secara optimal. Profil tersebut pada intinya terkait

dengan aspek personal dan profesional dari guru. Aspek personal menyangkut

pribadi guru itu sendiri, yang menurut pendapat para ulama tersebut di atas selalu

ditempatkan pada posisi yang utama. Aspek personal ini diharapkan dapat

memancar dalam dimensi sosialnya, dalam hubungan dengan guru dengan peserta

didiknya, teman sejawat dan lingkungan masyarakatnya karena tugas mengajar

dan mendidik adalah tugas kemanusiaan. Dan, aspek profesional menyangkut

peran profesi dari guru, dalam arti ia memiliki kualifikasi profesional sebagai

seorang guru (GPAI).

Atas dasar itulah, maka asumsi yang melandasi keberhasilan GPAI dapat

diformulasikan sebagai berikut: “guru pendidikan agama Islam akan berhasil

menjalankan tugas kependidikannya bilamana dia memiliki kompetensi personal-

religius, dan kompetensi profesional-religius.” Kata religius selalu dikaitkan

dengan masing-masing kompetensi tersebut yang menunjukkan adanya komitmen

GPAI ajaran Islam sebagai kriteria utama sehingga segala masalah perilaku

142
kependidikannya dihadapi, dipertimbangkan, dipecahkan, dan didudukkan dalam

perspektif Islam.

Kompetensi personal-religius dapat diidentifikasi berdasarkan pendapat

para ulama berikut ini.

Menurut Imam Al-Ghazali, kompetensi personal-religius mencakup: (1)

kasih sayang terhadap peserta didik dan memperlakukannya sebagaimana anaknya

sendiri; (2) peneladanan pribadi Rasulullah; (3) bersikap objektif; (4) bersikap

luwes dan bijaksana dalam menghadapi peserta didik; (5) bersedia mengamalkan

ilmunya. Menurut Abdurrahman Al-Nahlawy mencakup: (1) tujuan, tingkah laku,

dan pola pikirnya bersifat Rabbani; (2) bersikap ikhlas; (3) bersikap sabar; (4)

bersifat jujur; dan (5) bersikap adil. Menurut Athiyah al-Abrosyi mencakup: (1)

bersikap zuhud, dalam arti mengajar hanya mencari keridaan Allah; (2) bersih dan

suci dirinya dari dosa besar, riya, hasad, permusuhan dan perselisihan atau sifat

tercela lainnya; (3) ikhlas dalam bekerja; (4) pemaaf; (5) menjaga harga diri dan

kehormatan; (6) mencintai peserta didik sebagaimana terhadap anaknya sendiri.

Menurut Ibnu Taimiyah yang dianalisis oleh Majid Irsan Al-Kilani mencakup :

(1) saling menolong atas kebajikan dan takwa; (2) mampu menjadi teladan bagi

peserta didiknya. Menurut Berikan Barky Al-Qurasyi mencakup: (1) mengajar

hanya untuk mencari keridaan-Nya; (2) bersedia mengamalkan ilmunya; (3)

bersikap amanah; (4) bersikap lemah lembut dan kasih sayang terhadap peserta

didik.

Kompotensi profesional-religius dapat diidentifikasi berdasarkan pendapat

para ulama berikut ini. Menurut Al-Ghazali kompotensi profesional-religius

143
mencakup: (1) menyajikan pelajaran sesuai dengan taraf kemampuan peserta

didik; dan (2) terhadap peserta didik yang kurang mampu, sebaiknya diberi ilmu-

ilmu yang global dan tidak detail. Menurut Abdurrahman Al-Nahlawy mencakup:

(1) senantiasa membekali diri dengan ilmu dan mengkaji serta

mengembangkannya, dalam pengertian bersedia mengembangkan kemampuan

profesionalnya; (2) mampu menggunakan variasi metode mengajar dengan baik,

sesuai dengan karakteristik materi pelajaran dan situasi belajar-mengajar; (3)

mampu mengelola peserta didik dengan baik; (4) memahami kondisi psikis dari

peserta didik; (5) peka dan tanggap terhadap kondisi dan perkembangan baru.

Menurut, Muhammad Athiyah Al-Abrosyi mencakup: (1) pemahaman tabiat,

minat, kebiasaan, perasaan dan kemampuan peserta; (2) penguasaan bidang yang

diajarkan dan bersedia mengembangkannya. Menurut Ibnu Taimiyah yang

dianalisis oleh Majid ‘Irsan Al-Kilani mencakup: (1) bekerja keras dalam

menyebarkan ilmu; (2) berusaha mendalami dan mengembangkan ilmunya.

Menurut Brikan Barky Al-Qurasyi mencakup: (1) penguasaan dan pendalaman

atas bidang ilmunya; (2) mempunyai kemampuan mengajar; (3) pemahaman

terhadap tabiat, kemampuan dan kesiapan peserta didik.

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa dalam pandangan

pemikiran pendidikan Islam, seorang guru minimal mempunyai tiga kompetensi,

yaitu kompetensi pengetahuan, kompetensi sikap-kepribadian, dan kompetensi

keterampilan. Hal ini didasarkan pada Hadis Rasulullah yang menyebut guru

sebagai rabbaniyin.

144
Nabi saw. berkata: “Jadilah kamu para pendidik yang penyantun, ahli fiqih,

dan berilmu pengetahuan.” (H.R. Bukhari).

Dalam Fathu’l-Bari dijelaskan bahwa kata rabbaniyyin dinisbahkan

kepada rabb dengan menambahkan alif dan nun dan bermakna tarbiyyat.

Rabbaniyyin adalah mereka yang mendidik murid-murid dari mulai ilmu yang

kecil/mudah sebelum yang sulit. Selain itu, juga pandai, beramal, dan melakukan

kegiatan mengajar (ta’lim).

Makna tarbiyat menurut Sa’ad dalm Rosidin (2003: 51) adalah upaya

pengarahan , pengembangan individu secara intelektual, moral, jasmani,

kesehatan dan kejiwaan. Hal ini didukung oleh aqil (2003: 50) bahwa tarbiyah

adalah proses menyeluruh yang dilakukan terhadap manusia dalam hal ini murid

yang mencakup: jiwa dan raganya, akal dan perasaannya, perilaku dan

kepribadiannya, sikap dan pemahamannya, cara hidup dan cara berpikirnya. Yang

peneliti garis bawahi dari hadis di atas adalah, pertama kata fuqaha-ahli ilmu

fiqih. Seorang guru hendaknya menguasai/mempunyai ilmu pengetahuan sebelum

melaksanakan tugasnya sebagai pengajar (ta’liim). Apalagi dalam hadis tersebut

sangat jelas bahwa yang dimaksud ilmu pengetahuan adalah ilmu fiqh/ilmu

agama. Seorang guru agama harus mempunyai dan menguasai pengetahuan

agama.

Para ahli bahasa memberikan arti pada kata ‘alima dengan beberapa arti.

Arti-arti itu dapat dilihat dalam penggunaannya di kalangan orang arab, Misalnya,

‘alimtu’syai-i artinya ‘araftu (mengetahui/mengenal), ‘alim bi’syyai-i artinya

sya’ara (mengetahui, merasa). Begitu juga dengan kata a’lama yang bentuk

145
masdarnya al-‘ilam yang mengandung makna sama dengan kata ta’liim yang

artinya talqinu’d-darsi (memberi tahu-pengajaran).

Kedua, kata hulama’a yang mempunyai makna sama dengan al-adab,

yaitu sopan santun yang dalam bahasa Arab bermakna husnul akhlak wa fi’lu

(budi pekerti yang baik dan perilaku terpuji (Rosidin, 2003: 16). Hal ini

menunjukkan bahwa seorang guru harus mempunyai perilaku yang baik-sikap dan

sopan santun yang di dasarkan pada nilai-nilai agama atau dengan kata lain

berakhlak mulia. Hal ini diperkuat lagi dengan sabda Rasulullah pada hadis lain

yang mengatakan bahwa barometer iman itu adalah akhlak. “sesempurna-

sempurna orang mukmin imannya adalah yang lebih baik akhlaknya (H.R.

Turmudzi).

Ketiga, kata bisigari al-ilmi qabla kibaarihi dengan makna dari yang

kecil/mudah menuju ke yang besar/sulit. Hal ini menunjukkan bahwa seorang

pendidik/murabbi dituntut mempunyai keterampilan untuk mengorganisasikan

kegiatan pembelajaran. Menyusun lingkup dan urutan /sequen materi

pembelajaran, menentukan pendekatan dan metode yang akan digunakan dan

melakukan evaluasi. Hal ini didasarkan pada hadis Rasulullah:

“Bagi segala sesuatu itu ada metodenya, dan metode masuk surga adalah

ilmu.” (H.R.Dailami).

“Barang siapa yang hari ini sama dengan hari kemarin, maka merugilah
dia, dan barang siapa yang hari ini lebih jelek dari hari kemarin, maka
celakalah dia.”

Berdasarkan uraian di atas, penulis merumuskan kompetensi guru agama

Islam dalam penelitian ini ke dalam tiga kompetensi, yaitu:

146
a. Pertama, kompetensi bidang pengetahuan, artinya kemampuan bidang

intelektual yang meliputi hal-hal berikut ini.

1) Pengetahuan tentang landasan ilmu pendidikan dan keguruan.

2) Pengetahuan tentang materi, struktur dan pola pikir keilmuan yang

mendukung mata pelajaran PAI.

3) Pengetahuan tentang kurikulum terkait dengan mata pelajaran yang

diampu.

4) Pengetahuan tentang karakteristik individu peserta didik dari aspek fisik,

spiritual, dan emosional.

5) Pengetahuan teknologi informasi dan komunikasi untuk kepentingan

pembelajaran.

6) Pengetahaun tentang teknik bimbingan penyuluhan administrasi kelas.

7) Menguasai teknik evaluasi dan monitoring peserta didik.

8) Pengetahuan tentang kemasyarakatan serta pengetahuan lain yang erat

dengan pengembangan profesi.

b. Kedua, kompetensi bidang sikap-nilai, artinya kesiapan dan kesediaan guru

terhadap berbagai hal yang berkenaan dengan tugas dan profesinya, yaitu

sebagai berikut.

1) Menampilkan sikap yang sesuai dengan norma agama, hukum, sosial dan

kebudayaan.

2) Mencintai dan memiliki rasa senang terhadap mata pelajaran yang

dibinanya.

3) Menunjukkan sikap toleran kepada sesama teman profesinya.

147
4) Menunjukkan etos kerja dan tanggung jawab yang tinggi terhadap

profesinya.

5) Menjunjung tinggi kode etik profesi guru.

c. Ketiga, kompetensi perilaku/tindakan, artinya kemampuan guru dalam

berbagai keterampilan/tindakan, seperti berikut ini.

1) Kemampuan merencanakan dan mengelola program pembelajaran,

2) Kemampuan membimbing (mengenal fungsi dan program pelayanan

bimbingan dan penyeluhan).

3) Kemampuan menilai (menilai prestasi siswa untuk kepentingan

pembelajaran).

4) Kemampuan menggunakan alat bantu pengajaran/media pembelajaran.

5) Kemampuan bergaul atau berkomunikasi dengan siswa.

6) Kemampuan mengelola kelas.

7) Keterampilan melaksanakan administrasi kelas, dan lain-lain.

8) Kemampuan mengembangkan keprofesionalan dengan melakukan

tindakan reflektif.

148
BAB VI

STANDAR KOMPETENSI PAI

Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 Pasal 2 ayat (3),

ditetapkan kewenangan Pemerintah Pusat di bidang pendidikan dan kebudayaan,

di antaranya adalah: (a) penetapan standar kemampuan siswa dan warga belajar

serta pengaturan kurikulum nasional dan penilaian hasil belajar secara nasional

serta pedoman pelaksanaannya dan; (b) penetapan materi pokok pelajaran.

A. Jenis-jenis Kompetensi

Dalam Kurikulum Berbasis Kompetensi, perwujudan Tujuan Pendidikan

Nasional dirumuskan ke dalam bentuk kompetensi. Urutan kompetensi-

kompetensi tersebut adalah sebagai berikut:

Kompetensi lintas kurikulum, yaitu pernyataan tentang pengetahuan,

keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir

dan bertindak yang mencakup kecakapan belajar sepanjang hayat dan

keterampilan hidup yang seharusnya dimiliki. Hasil belajar dari kompetensi lintas

kurikulum ini perlu dicapai melalui pembelajaran-pembelajaran dari semua

rumpun pelajaran.

Kompetensi tamatan, merupakan pernyataan tentang pengetahuan,

keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam kebiasaan berpikir

dan bertindak setelah siswa menyelesaikan suatu jenjang tertentu.

Kompetensi rumpun pelajaran, merupakan pernyataan tentang

pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam

149
kebiasaan berpikir dan bertindak yang seharusnya dicapai setelah siswa

menyelesaiakan rumpun pelajaran tertentu.

Kompetensi dasar mata pelajaran, merupakan pernyataan tentang

pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai-nilai yang direfleksikan dalam

kebiasaan berpikir dan bertindak setelah siswa menyelesaikan suatu aspek atau

sub aspek mata pelajaran tertentu.

Kompetensi dasar, merupakan pernyataan apa yang diharapkan dapat

diketahui, disikapi, atau dilaksanakan.

Hasil belajar, pernyataan kemampuan siswa yang diharapkan dalam

menguasai sebagian atau seluruh kompetensi dimaksud.

Indikator hasil belajar, merupakan kompetensi dasar secara spesifik yang

dapat dijadikan ukuran untuk menilai ketercapaian hasil pembelajaran.

B. Kompetensi PAI SD-MI

Penetapan standar kemampuan siswa tersebut dijabarkan dalam bentuk

kompetensi sebagai berikut:

1. Standar Kompetensi Lintas Kurikulum

Kompetensi lintas kurikulum merupakan kecakapan untuk belajar

sepanjang hayat sebagai akumulasi kemampuan setelah seseorang mempelajari

berbagai kompetensi dasar yang dirumuskan setiap mata pelajaran.

Kompetensi lintas kurikulum tersebut dirumuskan menjadi sembilan

kompetensi sehingga siswa mampu:

150
a) Memiliki keyakinan, mempunyai hak, menjalankan kewajiban dan berperilaku

sesuai dengan agama yang dianutnya, serta menyadari bahwa setiap orang

perlu saling menghargai dan merasa aman.

b) Menggunakan bahasa untuk memahami, mengembangkan, dan

mengkomunikasikan gagasan dan informasi, serta untuk berinteraksi dengan

orang lain.

c) Memilih, memadukan, dan menerapkan konsep-konsep dan teknik-teknik

numerik dan spasial, serta mampu mencari dan menyusun pola, struktur, dan

hubungan.

d) Memilih, mencari, dan menerapkan teknologi dan informasi yang diperlukan

dari berbagai sumber serta menilai kebermanfaatannya.

e) Memahami dan menghargai dunia fisik, makhluk hidup, dan teknologi, dan

menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai untuk mengambil

keputusan yang tepat.

f) Memahami konteks budaya, geografi, dan sejarah, serta memiliki

pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai untuk berpartisipasi aktif dalam

kehidupan, serta berinteraksi dan berkontribusi dalam masyarakat dan budaya

global.

g) Berpartisipasi dalam kegiatan kreatif di lingkungan untuk saling menghargai

karya artistik, budaya, dan intelektual serta menerapkan nilai-nilai luhur untuk

meningkatkan kematangan pribadi menuju masyarakat beradab.

151
h) Menunjukkan kemampuan berpikir konsekuen, berpikir lateral, berpikir kritis,

memperhitungkan peluang dan potensi, serta siap untuk menghadapi berbagai

kemungkinan.

i) Menunjukkan motivasi dan percaya diri dalam belajar mampu bekerja

mandiri, dan mampu bekerja sama dengan orang lain.

2. Standar Kompetensi Rumpun Pelajaran

a) Standar kompetensi pendidikan agama

Siswa beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Allah swt.),

berakhlak mulia (berbudi pekerti luhur) yang tercermin dalam kehidupan pribadi,

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; memahami, menghayati, dan

mengamalkan ajaran agamanya, serta mampu menghormati agama lain dalam

kerangka kerukunan antar umat beragama.

b) Standar kompetensi spesifik PAI

Dengan landasan Al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad saw., siswa

beriman dan bertakwa kepada Allah swt., berakhlak mulia (berbudi pekerti luhur)

yang tercermin dalam perilaku sehari-hari dalam hubungannya dengan Allah,

sesama manusia, dan alam sekitar; mampu membaca dan memahami Al-Quran;

mampu beribadah dan bermuamalah dengan baik dan benar; serta mampu

menjaga kerukunan intern dan antar umat beragama.

3. Standar Kompetensi Mata Pelajaran

Kompetensi dasar mata pelajaran berisi sekumpulan kemampuan minimal

yang harus dikuasai siswa selama menempuh pendidikan di SD. Kemampuan ini

berorientasi pada perilaku afektif dan psikomotorik dengan dukungan

152
pengetahuan kognitif dalam rangka memperkuat keimanan dan ketakwaan kepada

Allah swt. Kemampuan-kemampuan yang tercantum dalam komponen

kemampuan dasar ini merupakan penjabaran dari kemampuan dasar umum yang

harus dicapai di SD yaitu:

a) Beriman kepada Allah swt, dan lima rukun iman yang lain dengan

mengetahui fungsi serta terefleksi dalam sikap, perilaku, dan akhlak

peserta didik dalam dimensi vertikal maupun horizontal;

b) Dapat membaca Al-Quran surat-surat pilihan dengan benar, menyalin dan

mengartikannya.

c) Mampu beribadah dengan baik dan benar sesuai dengan tuntunan syariat

Islam terutama ibadah mahdhah.

d) Dapat meneladani sifat, sikap, dan kepribadian Rasulullah saw, serta

Khulafaur Rasyidin.

Seperti tergambar dalam kompetensi dasar umum di atas, kompetensi

dasar tersebut kemudian dirinci menjadi kompetensi kelas dan dikelompokkan

berdasarkan aspek: Al-Quran, Keimanan; Akhlak; dan Fiqih/Ibadah, sebagaimana

tergambar pada tabel berikut ini:

KL Al-QUR’AN KEIMANAN AKHLAK IBADAH

S
I Hafal surat-surat Beriman dan Berperilaku Mengerti tata cara
pendek pilihan mengenal enam hidup bersih
thaharah/ bersuci
(al-Fatihah, al- rukun iman. jujur dan kasih
Ikhlas, al- Beriman dan sayang.
Kautsar) mengenal dua Berperilaku
kalimat syahadat dermawan dan

153
rajin
bertatakrama
dalam kehidupan
sehari-hari
II Hafal surat al- Beriman kepada Terbiasa Berwudhu dengan
Ashr. Hafal Allah dan mengenal berperilaku
benar. Hafal bacaan
surat an-Nasr Asmaul-Husna rendah hati dan
dan melakukan
dan an-Naas sederhana.
Terbiasa gerakan shalat.
berperilaku
Melakukan shalat
dengan sifat-sifat
dengan benar.
terpuji.
III Membaca dan _ Berperilaku dan Mampu
menulis al- bersikap percaya
melaksanakan
Quran diri, tekun dan
shalat fardhu
permulaan. tidak boros.
Hafal surat-surat dengan benar.
pendek
(lanjutan)

IV Membaca, Beriman kepada Meneladani Melakukan shalat


menulis al- Allah dan mengenal ketaatan Nabi
dengan sempurna,
Quran dan hafal sifat-sifat-Nya. Ibrahim AS dan
mengerti syarat sah,
surat al-Kafirun Beriman kepada putranya Ismail.
serta al-Lahab Malaikat dan Bertatakrama dan yang
(lanjutan). mengenal nama- terhadap orang
membatalkannya.
namanya serta tua, guru, dan
Melakukan azan
tugas-tugasnya. tetangga.
dan iqamah

sebelum shalat

dengan benar.

154
V Membaca dan Beriman kepada Meneladani Melakukan puasa.
menghafal surat kitab suci dan ketabahan Nabi
al-Ma’un, al-Fill mengenal nama- Ayub AS.
dan al-Quraisy namanya. Beriman Berperilaku
kepada Rasul-rasul disiplin dan
Allah swt. tolong
menolong.
VI Membaca dan Beriman kepada Berperilaku Mampu
hafal dengan Hari Akhir. tanggung jawab
melaksanakan zakat
fasih dan Beriman kepada dan meneladani
fitrah. Mampu
memahami surat Qadha dan Qadar Nabi Musa AS.
al-Fatihah, al- Meneladani melaksanakan zikir
Ikhlas dan al- sikap menolong
dan do’a setelah
Ashr. Nabi Isa AS dan
shalat.
senang
melakukan
silaturahim.

4. Kompetensi Persatuan Jenjang Pendidikan

a. Taman Kanak-kanak

a) Hafal kalimat-kalimat thayyibah.

b) Mulai tertanam keimanan kepada Allah swt.

c) Mulai terbiasa berlaku sopan dan santun kepada semua orang.

d) Mulai mengenal ibadah.

b. Sekolah Dasar

a) Mampu membaca al-Qur’an dengan benar.

b) Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-

Nya, hari kiamat, dan qadha-qadar.

155
c) Terbiasa berperilaku dengan sifat terpuji, menghindari sifat-sifat tercela, dan

bertatakrama dalam kehidupan sehari-hari.

d) Mengenal rukun Islam dan mampu melaksanakan beribadah shalat, puasa,

zakat fitrah, dan zikir serta do’a setelah shalat.

c. Sekolah Menengah Pertama

a) Mampu membaca dan menulis ayat al-Quran serta mengetahui hukum

bacaannya.

b) Beriman kepada Allah swt, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-

rasul-Nya, hari kiamat, dan qhada-qadar dengan mengetahui maknanya.

c) Terbiasa berperilaku dengan sifat-sifat terpuji, menghindari sifat-sifat tercela,

dan bertatakrama dalam kehidupan sehari-hari.

d) Memahami ketentuan hukum Islam tentang ibadah dan muamalah serta

terbiasa mengamalkannya.

e) Memahami dan mampu mengambil manfaat dan hikmah perkembangan Islam

fase Makkah, Madinah, dan Khulafaur Rasyidin serta mampu

melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.

d. Sekolah Menengah Umum

a) Mampu membaca dengan mengetahui hukum bacaannya, menulis, dan

memahami ayat al-Quran serta mampu mengimplementasikannya dalam

kehidupan sehari-hari

b) Beriman kepada Allah swt., Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-

rasul-Nya, hari kiamat, dan qhada-qadar dengan mengetahui fungsi dan

156
hikmahnya serta direfleksikan dalam sikap, perilaku, dan akhlak peserta didik

pada dimensi kehidupan sehari-hari

c) Terbiasa berperilaku dengan sifat-sifat terpuji, menghindari sifat-sifat tercela,

dan bertatakrama dalam kehidupan sehari-hari

d) Memahami sumber hukum dan ketentuan hukum Islam tentang ibadah,

muamalah, mawaris, munakahat, jenazah, dan mampu mengamalkannya

dalam kehidupan sehari-hari

e) Memahami dan mampu mengambil manfaat dan hikmah perkembangan Islam

di Indonesia dan dunias serta mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-

hari.

C. Kompetensi PAI SLTP-MTs

Penetapan standar kemampuan siswa SLTP-MTs tersebut dijabarkan

dalam kompetensi-kompetensi sebagai berikut:

1. Kompetensi Lintas Kurikulum

Standar Kompetensi Lintas Kurikulum merupakan kecakapan untuk hidup

dan belajar sepanjang hayat yang dilakukan dan harus dicapai oleh peserta didik

melalui pengalaman belajar.

Standar Kompetensi Lintas Kurikulum ini meliputi:

a) Memiliki keyakinan, menyadari serta menjalankan hak dan kewajiban, saling

menghargai dan memberi rasa aman, sesuai dengan agama yang dianutnya

b) Menggunakan bahasa untuk memahami, mengembangkan, dan

mengkomunikasikan gagasan dan informasi, serta untuk berinteraksi dengan

orang lain.

157
c) Memilih, memadukan, dan menerapkan konsep-konsep, teknik-teknik, pola,

struktur, dan hubungan.

d) Memilih, mencari, dan menerapkan teknologi dan informasi yang diperlukan

dari berbagai sumber.

e) Memahami dan menghargai lingkungan, makhluk hidup, dan teknologi, dan

menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai untuk mengambil

keputusan yang tepat.

f) Berpartisipasi, berinteraksi, dan berkontribusi aktif dalam masyarakat dan

budaya global berdasarkan pemahaman konteks budaya, geografis, dan

historis.

g) Berkreasi dan menghargai karya artistik, budaya, dan intelektual serta

menerapkan nilai-nilai luhur untuk meningkatkan kematangan pribadi menuju

masyarakat beradab.

h) Berpikir logis, kritis, dan lateral dengan memperhitungkan potensi dan

peluang untuk menghadapi berbagai kemungkinan.

i) Menunjukkan motivasi dalam belajar, percaya diri, bekerja mandiri, dan

bekerja sama dengan orang lain.

2. Standar Kompetensi Pendidikan Agama

a) Kompetensi pendidikan agama

158
Siswa beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Allah swt.),

berakhlak mulia (berbudi pekerti luhur) yang tercermin dalam kehidupan pribadi,

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara; memahami, menghayati, dan

mengamalkan ajaran agamanya, serta mampu menghormati agama lain dalam

kerangka kerukunan antar umat beragama.

b) Kompetensi spesifik pendidikan agama Islam

Dengan landasan al-Quran dan Sunnah Nabi Muhammad saw; siswa

beriman dan bertaqwa kepada Allah swt, berakhlak mulia (berbudi pekerti luhur)

yang tercermin dalam perilaku sehari-hari dalam hubungannya dengan Allah,

sesama manusia, dan alam sekitar, mampu membaca dan memahami al-Quran,

mamou beribadah dan bermuamalah dengan baik dan benar, serta mampu

menjaga kerukunan intern dan antar umat beragama.

3. Standar Kompetensi Mata Pelajaran Pendidikan Agama Islam

Kompetensi dasar mata pelajaran berisi sekumpulan kemampuan minimal

yang harus dikuasai siswa selama menempu pendidikan di SMP. Kemampuan ini

berorientasi pada perilaku afektif dan psikomotorik dengan dukungan

pengetahuan kognitif dalam rangka memperkuat keimanan dan ketakwaan kepada

Allah swt. Kemampuan-kemampuan yang tercantum dalam komponen

kemampuan dasar ini merupakan penjabaran dari kemampuan dasar umum yang

harus dicapai di SMP yaitu:

a. Beriman kepada Allah swt dan enam rukun iman yang lain dengan

mengetahui fungsi serta refleksi dalam sikap, perilaku, dan akhlak peserta

didik dalam dimensi vertikal maupun horizontal.

159
b. Dapat membaca al-Quran surat-surat pilihan sesuai dengan tajwidnya,

menyalin dan mengartikannya.

c. Mampu beribadah dengan baik dan benar sesuai dengan tuntunan syari’at

Islam baik ibadah wajib maupun ibadah sunnah.

d. Dapat meneladani sifat, sikap, dan kepribadian Rasulullah serta Khulafaur

Rasyidin.

e. Mampu mengamalkan sistem muamalah Islam dalam tata kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Seperti tergambar dalam kemampuan dasar umum di atas, kemampuan

dasar tiap kelas yang tercantum dalam standar nasional juga dikelompokkan ke

dalam lima unsur pokok mata pelajaran Pendidikan Agama Islam SMP seperti

tampak pada tabel berikut.

Al-Quran
1. Membaca, mengartikan dan menyalin

2. Menerapkan hukum bacaan alif lam syamsiyah dan alif lam qamariyah, nun

mati/tanwin dan mim mati.

3. Menerapkan bacaan qalqalah, tafhim dan tarqiq huruf lam dan ro’ serta mad.

4. Menerapkan hukum bacaan waqaf dan idgam.


Keimanan
1. Beriman kepada Allah dan memahami sifat-sifatnya.

2. Beriman kepada Malaikat Allah dan memahami tugas-tugasnya.

3. Beriman kepada kitab-kitab Allah swt dan memahami arti beriman kepada-Nya.

4. Beriman kepada Rasul-rasul Allah swt dan memahami arti beriman kepada-

Nya.

5. Beriman kepada hari akhir dan memahami arti beriman kepada-Nya.

160
6. Beriman kepada qadha dan qadar Allah swt dan memahami arti beriman

kepada-Nya.
Akhlak
1. Berperilaku dengan sifat-sifat terpuji

2. Menghindari sifat-sifat tercela.

3. Bertatakrama
Ibadah/Fiqh
1. Melakukan thaharah

2. Melakukan salat wajib

3. Melakukan macam-macam sujud

4. Melakukan salat jum’at

5. Melakukan salat jamak dan qasar

6. Melakukan macam-macam salat sunnah

7. Melakukan puasa

8. Melakukan zakat

9. Memahami hukum Islam tentang makanan, minuman, dan binatang

10. Memahami ketentuan aqiqah dan qurban

11. Memahami tentang ibadah haji dan umrah

12. Melakukan salat jenazah

13. Memahami tata cara pernikahan

Tarikh
1. Memahami keadaan masyarakat Makkah sebelum dan sesudah datang Islam

2. Memahami keadaan masyarakat Makkah periode Rasulullah saw.

3. Memahami keadaan masyarakat Madinah sebelum dan sesudah datang Islam

4. Memahami perkembangan Islam pada masa Khulafaur Rasyidin

161
4. Kompetensi Persatuan Jenjang Pendidikan

a. Taman Kanak-kanak

a) Hafal kalimat-kalimat thaayyibah

b) Mulai tertanam keimanan kepada Allah swt

c) Mulai terbiasa berlaku sopan dan santun kepada semua orang

d) Mulai mengenal ibadah

b. Sekolah Dasar

a) Mampu membaca al-Quran dengan benar.

b) Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-

Nya, hari kiamat, dan qadha-qadar.

c) Terbiasa berperilaku dengan sifat terpuji, menghindari sifat-sifat tercela, dan

bertatakrama dalam kehidupan sehari-hari.

d) Mengenal rukun Islam dan mampu melaksanakan beribadah salat, puasa, zakat

fitrah, dan zikir serta do’a setelah salat.

c. Sekolah Menengah Pertama

a) Mampu membaca dan menulis ayat al-Quran serta mengetahui hukum

bacaannya.

b) Beriman kepada Allah swt, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-

rasul-Nya, hari kiamat, dan qadha-qadar dengan mengetahui maknanya.

c) Terbiasa berperilaku dengan sifat-sifat terpuji, menghindari sifat-sifat tercela,

dan bertatakrama dalam kehidupan sehari-hari.

d) Memahami ketentuan hukum Islam tentang ibadah dan muamalah serta

terbiasa mengamalkannya.

162
e) Memahami dan mampu mengambil manfaat dan hikmah perkembangan Islam

fase Makkah, Madinah, dan Khulafaur Rasyidin serta mampu

melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.

d. Sekolah Menengah Umum

a) Mampu membaca dengan mengetahui hukum bacaannya, menulis, dan

memahami ayat al-Quran serta mampu mengimplementasikannya dalam

kehidupan sehari-hari.

b) Beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-

Nya, hari kiamat, dan qadha-qadar dengan mengetahui fungsi dan hikmahnya

serta terefleksikan dalam sikap, perilaku, dan akhlak peserta didik pada

dimensi kehidupan sehari-hari.

c) Terbiasa berperilaku dengan sifat-sifat terpuji, menghindari sifat-sifat tercela,

dan bertatakrama dalam kehidupan sehari-hari.

d) Memahami sumber hukum dan ketentuan hukum Islam tentang ibadah,

muamalah, mewaris, munakahat, jenazah, dan mampu mengamalkannya

dalam kehidupan sehari-hari.

e) Memahami dan mampu mengambil manfaat dan hikmah perkembangan Islam

di Indonesia dan dunia serta mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-

hari.

D. Kompetensi PAI SMU-MA

1. Kompetensi Lintas Kurikulum

a) Memiliki keyakinan, menyadari serta menjalankan hak dan kewajiban, saling

menghargai dan memberi rasa aman, sesuai dengan agama yang dianutnya.

163
b) Menggunakan bahasa untuk memahami, mengembangkan, dan

mengkomunikasikan gagasan dan informasi, serta untuk berinteraksi dengan

orang lain.

c) Memilih, memadukan, dan menerapkan konsep-konsep, teknik-teknik, pola,

struktur, dan hubungan.

d) Memilih, mencari, dan menerapkan teknologi dan informasi yang diperlukan

dari berbagai sumber.

e) Memahami dan menghargai lingkungan fisik, makhluk hidup, dan teknologi,

dan menggunakan pengetahuan, keterampilan, dan nilai-nilai untuk

mengambil keputusan yang tepat.

f) Berpartisipasi, berinteraksi, dan berkontribusi aktif dalam masyarakat dan

budaya global berdasarkan pemahaman konteks budaya, geografis, dan

historis.

g) Berkreasi dan menghargai karya artistik, budaya, dan intelektual serta

menerapkan nilai-nilai luhur untuk meningkatkan kematangan pribadi menuju

masyarakat beradab.

h) Berpikir loguss, kritis, dan lateral dengan memperhitungkan potensi dan

peluang untuk menghadapi berbagai kemungkinan.

i) Menunjukkan motivasi dalam belajar, percaya diri, bekerja mandiri, dan

bekerja sama dengan orang lain.

2. Kompetensi Pendidikan Agama

Siswa beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa (Allah swt.),

berakhlak mulia (berbudi pekerti luhur) yang tercermin dalam kehidupan pribadi,

164
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, memahami, menghayati, dan

mengamalkan ajaran agamanya, serta mampu menghormati agama lain dalam

kerangka kerukunan antar umat beragama.

3. Kompetensi Spesifik Pendidikan Agama Islam

Dengan landasan al-Quran dan Sunnah Nabi saw,. siswa beriman dan

bertakwa kepada Allah swt., berakhlak mulia (berbudi pekerti luhur) yang

tercermin dalam perilaku sehari-hari dalam hubungannya dengan Allah, sesama

manusia, dan alam sekitar; mampu membaca dan memahami Al-Quran; mampu

beribadah dan bermuamalah dengan baik dan benar; serta mampu menjaga

kerukunan intern dan antar umat beragama.

4. Standar Kompetensi Mata Pelajaran

Kompetensi dasar mata pelajaran berisi sekumpulan kemampuan minimal

yang harus dikuasai siswa selama menempu pendidikan di sekolah Menengah

Umum/ Madrasah Aliyah. Kemampuan ini berorientasi pada perilaku afektif dan

psikomotorik dengan dukungan pengetahuan kognitif dalam rangka memperkuat

keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt. Kemampuan-kemampuan yang

tercantum dalam komponen kemampuan dasar ini merupakan penjabaran dari

kemampuan dasar umum yang harus dicapai di sekolah Menengah Umum/

Madrasah Aliyah, yaitu:

a) Beriman kepada Allah swt dan enam rukun iman yang lain dengan

mengetahui fungsi serta terefleksi dalam sikap, perilaku, dan akhlak

peserta didik dalam dimensi vertikal maupun horizontal.

165
b) Dapat membaca, menulis, dan memahami ayat al-Quran serta mengetahui

hukum bacaannya dan mampu mengimplementasikan dalam kehidupan

sehari-hari.

c) Mampu beribadah dengan baik dan benar sesuai dengan tuntunan syari’at

Islam baik ibadah wajib maupun ibadah sunnah.

d) Dapat meneladani sifat, sikap, dan kepribadian Rasulullah, sahabat, dan

tabiin serta mampu mengambil hikmah dari sejarah perkembangan Islam

untuk kepentingan hidup sehari-hari masa kini dan masa depan.

e) Mampu mengamalkan sistem muamalah Islam dalam tata kehidupan

bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Seperti tergambar dalam kemampuan dasar umum di atas, kemampuan

dasar tiap kelas yang tercantum dalam Standar Nasional juga dikelompokkan

kedalam lima unsur pokok mata pelajaran Pendidikan Agama Islam SMU/Aliyah,

yaitu: (1) Al-Quran, (2) keimanan, (3) akhlak, (4) fiqh/Ibadah, dan (5) tarikh.

Berdasarkan pengelompokkan per unsur, kemampuan dasar mata pelajaran

Pendidikan Agama Islam SMU/MA adalah sebagai berikut:

Al-Quran
1. Membaca al-Quran dengan fasih (tadarus) (dilaksanakan pada setiap awal jam

pelajaran Pendidikan Agama Islam 5-10 menit).

2. Membaca dan faham ayat-ayat tentang manusia dan tugasnya sebagai makhluk

serta mampu menerapkannya dalam perilaku sehari-hai.

3. Membaca dan faham ayat-ayat tentang prinsip-prinsip beribadah serta mampu

menerapkannya dalam perilaku sehari-hari.

4. Membaca dan faham ayat-ayat tentang demokrasi serta mampu

166
menerapkannya dalam perilaku sehari-hari.

5. Membaca dan memahami ayat-ayat tentang kompetisi serta mampu

menerapkannya dalam perilaku sehari-hari.

6. Membaca dan memahami ayat-ayat perintah menyantuni kaum lemah serta

mampu menerapkannya dalam perilaku sehari-hari.

7. Membaca dan memahami ayat-ayat tentang perintah menjaga kelestarian

lingkungan hidup serta mampu menerapkannya dalam perilaku sehari-hari.

8. Membaca dan memahami ayat-ayat tentang anjuran bertoleransi serta mampu

menerapkannya dalam perilaku sehari-hari.

9. Membaca dan memahami ayat-ayat tentang etos kerja serta mampu

menerapkannya dalam perilaku sehari-hari.

10. Membaca dan memahami ayat-ayat yang berisi dorongan untuk

mengembangkan IPTEK serta mampu menerapkannya dalam perilaku sehari-

hari.
Keimanan
1. Beriman kepada Allah swt dan menghayati sifat-sifatnya.

2. Beriman kepada Malaikat Allah dan memahami fungsinya serta menerapkan

dalam perilaku sehari-hari.

3. Beriman kepada Kitab-kitab Allah swt dan memahami fungsinya serta mampu

menerapkannya dalam perilaku sehari-hari.

4. Beriman kepada Rasul-rasul Allah swt dan memahami fungsinya serta mampu

menerapkan dalam perilaku sehari-hari.

5. Beriman kepada hari akhir dan memahami fungsinya serta mampu menerapkan

dalam perilaku sehari-hari.

167
6. Beriman kepada qadha dan qadar Allah swt dan memahami fungsinya serta

mampu menerapkan dalam perilaku sehari-hari.


Akhlak
1. Berperilaku dengan sifat-sifat terpuji.

2. Menghindari sifat-sifat tercela.

3. Bertatakrama.
Fiqh/Ibadah
1. Memahami sumber-sumber hukum Islam dan pembagiannya.

2. Memahami hikmah salat dan mampu menerapkannya dalam perilaku sehari-

hari.

3. Memahami hikmah puasa dan mampu menerapkannya dalam perilaku sehari-

hari.

4. Memahami hukum Islam tentang zakat secara lebih mendalam dan hikmahnya

serta mampu menerapkannya dalam perilaku sehari-hari.

5. Memahami hikmah haji dan umrah serta mampu menerapkannya dalam

perilaku sehari-hari.

6. Memahami hukum Islam tentang wakaf dan hikmahnya serta mampu

menerapkannya dalam perilaku sehari-hari.

7. Memahami hukum Islam tentang jual beli dan mampu menerapkannya dalam

perilaku sehari-hari.

8. Memahami hukum Islam tentang riba’ dan mampu menghindarinya dalam

perilaku sehari-hari.

9. Memahami hukum Islam tentang kerja sama ekonomi dan mampu

menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.

10. Memahami ketentuan hukum pengurusan jenazah dan mampu

168
mempraktekannya.

11. Memahami hukum Islam tentang jinayah dan hudud dan mampu menghindari

kejahatan dalam kehidupan sehari-hari.

12. Memahami ketentuan tentang khutbah dan dakwah mampu mempraktekannya.

13. Memahami hukum Islam tentang pernikahan dan hikmahnya serta mampu

menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari.


Tarikh
1. Memahami perkembangan Islam pada masa Umayyah dan mampu menerapkan

manfaatnya dalam perilaku sehari-hari.

2. Memahami perkembangan Islam pada masa Abbasiyah dan mampu

menerapkan manfaatnya dalam perilaku sehari-hari.

3. Memahami perkembangan Islam pada abad pertengahan dan mampu

menerapkan manfaatnya dalam perilaku sehari-hari.

4. Memahami perkembangan Islam pada masa pembaharuan dan mampu

menerapkan manfaatnya dalam perilaku sehari-hari.

5. Memahami perkembangan Islam di Indonesia dan mampu menerapkan

manfaatnya dalam perilaku sehari-hari.

6. Memahami perkembangan Islam di dunia dan mampu menerapkan manfaatnya

dalam perilaku sehari-hari.

5. Kompetensi Persatuan Jenjang Pendidikan

a. Taman Kanak-kanak

a) Hafal kalimat-kalimat thayyibah

b) Mulai tertanam keimanan kepada Allah swt

c) Mulai terbiasa berlaku sopan dan santun kepada semua orang

169
d) Mulai mengenal ibadah

b. Sekolah Dasar

a) Mampu membaca al-Quran dengan benar.

b) Beriman kepada Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-rasul-

Nya, hari kiamat, dan qadha-qadar.

c) Terbiasa berperilaku dengan sifat terpuji, menghindari sifat-sifat tercela, dan

bertatakrama dalam kehidupan sehari-hari.

d) Mengenal rukun Islam dan mampu melaksanakan beribadah salat, puasa, zakat

fitrah, dan zikir serta do’a setelah salat.

c. Sekolah Menengah Pertama

a) Mampu membaca dan menulis ayat al-Quran serta mengetahui hukum

bacaannya.

b) Beriman kepada Allah swt, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, rasul-

rasul-Nya, hari kiamat, dan qadha-qadar dengan mengetahui maknanya.

c) Terbiasa berperilaku dengan sifat-sifat terpuji, menghindari sifat-sifat tercela,

dan bertatakrama dalam kehidupan sehari-hari.

d) Memahami ketentuan hukum Islam tentang ibadah dan muamalah serta

terbiasa mengamalkannya.

e) Memahami dan mampu mengambil manfaat dan hikmah perkembangan Islam

fase Makkah, Madinah, dan Khulafaur Rasyidin serta mampu

melaksanakannya dalam kehidupan sehari-hari.

d. Sekolah Menengah Umum

170
a) Mampu membaca dengan mengetahui hukum bacaannya, menulis, dan

memahami ayat al-Quran serta mampu mengimplementasikannya dalam

kehidupan sehari-hari.

b) Beriman kepada Allah, Malaikat-malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, Rasul-rasul-

Nya, hari kiamat, dan qadha-qadar dengan mengetahui fungsi dan hikmahnya

serta terefleksi dalam sikap, perilaku, dan akhlak peserta didik pada dimensi

kehidupan sehari-hari.

c) Terbiasa berperilaku dengan sifat-sifat terpuji, menghindari sifat-sifat tercela,

dan bertatakrama dalam kehidupan sehari-hari.

d) Memahami sumber hukum dan ketentuan hukum Islam tentang ibadah,

muamalah, mewaris, munakahat, jenazah, dan mampu mengamalkannya

dalam kehidupan sehari-hari.

e) Memahami dan mampu mengambil manfaat dan hikmah perkembangan Islam

di Indonesia dan dunia serta mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-

hari.

Untuk lebih jelasnya mengenai Kompetensi Dasar, Hasil Belajar, dan

Indikator Hasil Belajar dapat dilihat pada lampiran diakhir buku ini.

171
BAB VII

PENDEKATAN DAN METODE PENGAJARAN

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

A. Perbedaan Pendekatan, Metode, dan Teknik Belajar

Dalam proses pembelajaran dikenal beberapa istilah yang memiliki

kemiripan makna, sehingga seringkali orang merasa bingung untuk

membedakannya. Istilah-istilah tersebut adalah: (1) pendekatan pembelajaran, (2)

strategi pembelajaran, (3) metode pembejaran, (4) teknik pembelajaran.

Kalau ditelaah keempat istilah tersebut memiliki perbedaan terutama jika

dilihat dari maknanya yang mendalam. Pendekatan pembelajaran dapat diartikan

sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses pembelajaran, yang

merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang sifatnya masih

sangat umum, di dalamnya mewadahi, menginspirasi, menguatkan, dan melatari

metode pembelajaran dengan cakupan teoretis tertentu.

Dilihat dari pendekatannya, pembelajaran terdapat dua jenis pendekatan,

yaitu: (1) pendekatan pembelajaran yang berorientasi atau berpusat pada siswa

172
(student centered approach) dan (2) pendekatan pembelajaran yang berorientasi

atau berpusat pada guru (teacher centered approach).

W. Sanjaya (2008) mengatakan, strategi berbeda dengan metode. Menurut

Wina Sanjaya (2008) dengan mengutip pendapat Kemp, mengemukakan bahwa

strategi pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan

guru dan siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien.

Selanjutnya, dengan mengutip pemikiran J.R David, Wina Sanjaya (2008)

menyebutkan bahwa dalam strategi pembelajaran terkandung makna perencanaan.

Artinya, bahwa strategi pada dasarnya masih bersifat konseptual tentang

keputusan-keputusan yang akan diambil dalam suatu pelaksanaan pembelajaran.

Dengan demikian strategi pembelajaran menunjuk pada sebuah perencanaan

(planning) untuk mencapai sesuatu.

Strategi pembelajaran sifatnya masih konseptual dan untuk

mengimplementasikannya digunakan berbagai metode pembelajaran tertentu.

Dengan kata lain, strategi merupakan “a plan of operation achieving something”

sedangkan metode adalah “a way in achieving something” Wina Sanjaya (2008).

Jadi, metode pembelajaran dapat diartikan sebagai cara yang digunakan untuk

mengimplementasikan rencana yang sudah disusun dalam bentuk kegiatan nyata

dan praktis untuk mencapai tujuan pembelajaran. Pendek kata metode adalah cara

yang digunakan untuk melaksanakan strategi .

Metode merupakan sebuah upaya untuk mengimplementasikan rencana

yang sudah disusun dalam kegiatan nyata, agar tujuan yang telah disusun tersebut

tercapai secara optimal. Dengan pengertian ini berarti, metode digunakan untuk

173
merealisasikan strategi yang telah ditetapkan. Dengan demikian, bisa terjadi satu

strategi pembelajaran digunakan beberapa metode. Misalnya, untuk melaksanakan

strategi ekspositori bisa digunakan metode ceramah, metode tanya jawab atau

babakan diskusi dengan memanfaatkan sumber daya yang tersedia termasuk

menggunakan media pembelajaran.

Istilah lain yang juga memiliki makna yang hampir sama dengan strategi

adalah, pendekatan (approach, al-madkhol). Pendekatan berbeda baik dengan

strategi maupun dengan metode. Istilah pendekatan dalam pembelajaran sering

dimaknai sebagai, titik tolak atau sudut pandang kita terhadap suatu proses

pembelajaran. Istilah pendekatan merujuk kepada pandangan tentang terjadinya

suatu proses yang sifatnya masih bersifat umu. Oleh karenanya, strategi atau

metode yang digunakan dalam proses pembelajaran tergantung pada pendekatan

tertentu. Dalam pandangan lain, pendekatan dapat dimaknai sebagai seperangkat

asumsi berkenaan dengan hakikat proses pembelajaran. Metode, merupakan

rencana menyeluruh tentang penyajian materi secara sistematis berdasarkan

pendekatan yang ditentukan (Majid, 2004: 132).

Selain istilah strategi, metode dan pendekatan, terdapat satu istilah lagi

yang terkadang sulit dalam membedakan maknanya, yakni teknik pembelajaran.

Teknik pembelajaran memiliki pengertian, cara yang dilakukan seseorang dalam

mengimplementasi suatu metode secara spesifik. Misalnya penggunaan metode

ceramah pada kelas dengan jumlah siswa yang relatif banyak membutuhkan

teknik tersendiri, yang tentunya secara teknis akan berbeda dengan penggunaan

metode ceramah pada kelas yang jumlah siswanya terbatas. Demikian pula,

174
dengan penggunaan metode diskusi, perlu digunakan teknik yang berbeda pada

kelas yang siswanya tergolong aktif dengan kelas yang siswanya tergolong pasif.

Dalam hal ini, guru pun dapat berganti-ganti teknik meskipun dalam koridor

metode yang sama.

Sementara taktik pembelajaran merupakan metode atau teknik

pembelajaran tertentu yang sifatnya individual. Misalnya, terdapat dua orang

sama-sama menggunakan metode ceramah, tetapi mungkin akan sangat berbeda

dalam taktik yang digunakannya. Dalam penyajiannya, yang satu cenderung

banyak diselingi dengan humor karena memang dia memiliki sense of humor yang

tinggi, sementara yang satunya lagi kurang memiliki sense of humor, tetapi lebih

banyak menggunakan alat bantu elektronik karena dia memang sangat menguasai

bidang itu. Dalam gaya pembelajaran akan tampak keunikan atau kekhasan dari

masing-masing guru, sesuai dengan kemampuan, pengalaman dan tipe

kepribadian dari guru yang bersangkutan. Dalam taktik ini, pembelajaran akan

menjadi sebuah ilmu sekaligus juga seni (kiat). Maka dengan demikian teknik dan

taktik bersilat individual, dan bersifat operasional.

Dari pemaparan tersebut di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan, bahwa

suatu strategi pembelajaran yang diterapkan guru akan tergantung pada

pendekatan yang digunakan, sedang bagaimana menjalankan strategi itu dapat

diterapkan berbagai metode pembelajaran. Dalam upaya menjalankan metode

guru juga dapat menetapkan teknik yang dianggapnya relevan dengan metode.

B. Metode Pembelajaran

1. Pengertian Metode Pembelajaran

175
Menurut bahasa, istilah metode secara sering diartikan cara. Dalam bahasa

Arab metode ini dikenal dengan istilah thoriqahi yang berarti langkah-langkah

strategis mempersiapkan untuk melakukan suatu pekerjaan (Ramayulis, 2004:

155). Akan tetapi menurut Tafsir (1996: 8) istilah metode ini jika dipahami dari

asal kata method (bahasa Inggris) mempunyai pengertian yang lebih khusus, yakni

cara yang tepat dan cepat dalam mengerjakan sesuatu. Ungkapan cara yang

paling tepat dan cepat ini membedakan dengan istilah way (bahasa Inggris) yang

berarti cara juga. Karena secara etimologis metode diartikan sebagai cara yang

paling tepat dan cepat, maka menurut tafsir (1996: 9) ukuran kerja suatu metode

harus diperhitungkan benar-benar secara ilmiah. Oleh karena itu suatu metode

senantiasa hasil eksperimen yang telah teruji.

Dari beberapa uraian tersebut di atas, dapat difahami bahwa metode

pembelajaran adalah cara yang paling tepat dan cepat dalam mengajarkan materi

pelajaran kepada peserta didik. Selanjutnya, kata tepat dan cepoat ini yang

sering diungkapkan dengan istilah efektif dan efisien. Maka metode pembelajaran

dipahami sebagai carayang paling efektif dan efisien dalam mengajarkan materi

pelajaran. Pembelajaran yang efektif artinya pembelajaran dapat dipahami peserta

didik secara sempurna, Sedangkan pengajaran yang efisien ialah pembelajaran

yang tidak memerlukan waktu dan tenaga yang banyak.

Dalam pengertian terminologis, para ahli berbeda pendapat terkait dengan

definisi metode pembelajaran ini. Ramayulis (2004: 156) mendefinisikan metode

sebagai cara atau jalan yang haruss di lalui untuk mencapai tujuan. Al-Abrasyi

(tt,: 267) mendefinisikan metode sebagai jalan yang kita ikuti untuk memberi

176
faham kepada murid-murid segala macam pelajaran, dalam segala macam mata

pelajaran. Al-Syaibani (tt,: 551) mendefinisikan metode sebagai cara-cara yang

praktis yang menjalankan tujuan-tujuan dan maksud-maksud pengajaran.

Sementara itu Tafsir (2004: 131) mendefinisikan metode pendidikan ialah semua

cara yang digunakan dalam upaya mendidik. Oleh karena itu kata metode disini

diartikan secara luas, mencakup juga metodee mengajar, karena mengajar

termasuk salah satu upaya mendidik.

Beberapa definisi tersebut di atas, walaupun berbeda, akan tetapi

semuanya mengacu pada sebuah cara yang dipergunakan guru dakam

mengadakan hubungan (pembelajaran) dengan peserta didik, pada saat

berlangsungnya proses pembelajaran. Metode merupakan cara-cara untuk

menyampaikan materi pembelajaran secara efektif dan efisien, untuk mencapai

tujuan yang di tentukan.

Dengan metode ini diharapkan akan muncul berbagai kegiatan belajar

peserta didik, sehubungan dengan kegiatan mengajar yang dilakukan oleh guru.

Atau dengan kata lain, terciptalah suatu hubungan atau interaksi edukatif. Proses

interaksi ini akan banyak berjalan, apabila peserta didiknya banyak terlibat aktif.

Oleh karena itu, dalam interaksi ini guru berperan sebagai penggerak atau

pembimbing, yang mengarahkan peserta didiknya sebagai subjek belajar.

2. Prinsip-prinsip Penggunaan Metode dalam Pengajaran

Sebagaimana telah dikemukakan di atas, bahwa metode adalah cara yang

efektif dan efisien, digunakan untuk mengimplementasikan rencana yang sudah

disusun dalam kegiatan nyata, agar tujuan yang telah disusun tercapai secara

177
optimal, ini berarti metode digunakan untuk merealisasikan strategi yang telah

ditetapkan. Dengan demikian, metode dalam rangkaian sistem pembelajaran

memegang peran yang sangat penting. Keberhasilan implementasi strategi

pembelajaran sangat tergantung pada cara guru menggunakan metode

pembelajaran, karena suatu strategi pengajaran hanya mungkin dapat

diimplementasikan melalui penggunaan metode pengajaran.

Berikut ini disajikan prinsip-prinsip dalam menggunakan metode

pembelajaran di sekolah atau madrasah. Prinsip-prinsip ini tidak berdiri sendiri,

melainkan saling berhubungan erat satu sama lain. Misalnya, prinsip

individualitas hanya mungkin dilaksanakan bila ada prinsip kebebasan, pusat

minat dan aktivitas, dan lain sebagainya. Prinsip-prinsip tersebut sebagaimana

dikatakan Drajat (2001: 118) adalah sebagai berikut: (1) prinsip individualitas, (2)

prinsip kebebasan, (3) lingkungan, (4) globalisasi, (5) pusat-pusat minat, (6)

aktivitas, (7) motivasi, (8) korelasi dan konsentrasi.

3. Ragam Metode Pembelajaran dan Tahapan Pelaksanaannya

Dalam proses pembelajaran, guru dapat menggunakan beberapa metode

pembelajaran, satu metode tidaklah cukup untuk menyampaikan materi tertentu,

akan tetapi saling keterkaitan diantara metode-metode pembelajaran tersebut.

Menurut W. Sanjaya (2006) terdapat beberapa metode pembelajaran yang bisa

digunakan untuk mengimplementasikan strategi pembelajaran di sekolah atau

madrasah.

a. Metode Ceramah

178
Metode ceramah merupakan cara menyajikan pelajaran melalui penuturan

secara lisan atau penjelasan langsung kepada sekelompok siswa. Cara mengajar

dengan ceramah dapat dikatakan juga sebagai teknik kuliah, yakni cara mengajar

dengan menyampaikan keterangan atau informasi atau uraian tentang suatu pokok

persoalan serta masalah secara lisan (verbal). Dengan demikian, dapat dipahami

bahwa metode ceramah adalah cara penyajian pelajaran yang dilakukan guru

dengan menuturkan penjelasan lisan secara langsung terhadap peserta didik.

Metode ceramah termasuk metode pembelajaran yang sangat klasik. Akan

tetapi walau termasuk dalam kategori metode klasik (lama), sampai saat ini

metode ceramah sering digunakan guru atau instruktur dalam pengajaran di kelas.

Hal ini selain disebabkan beberapa pertimbangan tertentu, juga adanya faktor

kebiasaan dari guru atau pun siswa. Guru biasanya belum merasa puas apabila

dalam pengajaran tidak melakukan ceramah. Demikian juga dengan siswa, mereka

akan “merasa” belajar manakala ada guru yang memberikan materi pelajaran

melalui ceramah. Sehingga ada anggapan jika guru yang berceramah berarti ada

proses pembelajaran, tidak ada guru berarti tidak ada belajar. Metode ceramah

merupakan cara yang digunakan untuk mengimplementasikan pengajaran yang

bersifat ekspositori. Dalam metode ceramah ini, siswa lebih tidak banyak

berperan, mereka hanya lihat, duduk dan mendengarkan, serta percaya apa yang

disampaikan oleh gurunya itu adalah benar. Kemudian ia menulisnya apa-apa

yang dianggap penting dengan sekemampuannya, dan menghafalnya tanpa ada

penyelidikan terlebih dahulu oleh guru yang bersangkutan.

(a) Beberapa Kelebihan Metode Ceramah

179
Walaupun metode ini dianggap metode yang tradisional dan kuno, akan tetapi

pada kenyataannya masih banyak digunakan. Karena pada metode ceramah

terdapat beberapa kelebihannya, yaitu:

1) Ceramah merupakan metode yang murah dan sekaligus paling mudah

dilakukan. Murah dalam artian proses ceramah tidak memerlukan peralatan-

peralatan yang lengkap hal itu tentu berbeda dengan metode lain, seperti

proyek atau latihan. Dikatakan mudah karena ceramah hanya mengandalkan

suara guru, dengan demikian tidak terlalu memerlukan persiapan yang rumit.

2) Dengan menggunakan metode ceramah guru dapat dengan mudah menguasai

kelas, mengorganisasikan tempat duduk dan kelas. Dengan demikian akan

memberikan kemudahan bagi guru dalam menyampaikan pesan-pesan kepada

peserta didik.

3) Ceramah dapat meyajikan materi pelajaran yang luas dalam waktu yang relatif

singkat. Maksudnya materi pelajaran yang banyak dapat dirangkum atau

dijelaskan pokok-pokoknya oleh guru dalam waktu yang singkat.

4) Ceramah dapat memberikan pokok-pokok materi yang perlu ditonjolkan.

Artinya, guru dapat mengatur pokok-pokok materi yang mana yang perlu

ditekankan sesuai dengan kebutuhan dan tujuan yang ingin dicapai.

5) Melalui ceramah, guru dapat mengontrol keadaan kelas, oleh karena

sepenuhnya kelas merupakan tanggung jawab guru yang memberikan

ceramah.

6) Metode ceramah dapat digunakan bagi jumlah siswa atau peserta didik yang

sangat banyak atau dalam jumlah besar.

180
7) Ceramah tidak memerlukan setting kelas yang beragam, atau tidak

memerlukan persiapan-persiapan yang rumit. Asal siswa dapat menempati

tempat duduk untuk mendengarkan guru, maka ceramah sudah dapat

dilakukan.

8) Dengan demikian, metode ceramah akan sangat mudah bagi guru dalam

melaksanakannya. Karena metode ini tidak memerlukan persiapan yang cukup

rumit.

(b) Beberapa Kelemahan Metode Ceramah

Walaupun di atas di sebutkan beberapa kelebihan dari metode ceramah.

Tetapi bukan berarti metode ini tidak memiliki kelemahan. Diantara beberapa

kelemahan metode ceramah adalah:

1) Materi yang dikuasai siswa sangat terbatas pada materi yang dikuasai guru

saja. Kelemahan ini yang paling dominan, sebab materi yang diberikan guru

adalah materi yang dikuasainya, sehingga materi pelajaran yang dikuasai

siswa pun akan tergantung pada apa yang disampaikan guru itu.

2) Ceramah yang tidak disertai dengan peragaan dapat mengakibatkan terjadinya

verbalisme.

3) Metode ceramah jika dilakukan oleh guru yang kurang memiliki kemampuan

retorika yang baik, akan menimbulkan kebosanan dan kejenuhan pada siswa,

sehingga materi yang disampaikan akan terasa menjenuhkan dan

membosankan.

4) Melalui ceramah, sangat sulit untuk mengetahui apakah seluruh siswa sudah

mengerti apa yang dijelaskan atau belum.

181
5) Metode ceramah akan membawa pada nuansa pembelajaran yang lebih pasif,

karena peserta didik hanya berperan sebagai “pendengar” dan “penonton”

acting yang dilakukan oleh gurunya di dalam kelas.

Implementasi Metode Ceramah dalam Pengajaran

Terdapat beberapa langkah dalam mengimplementasikan metode ceramah

dalam pembelajaran (termasuk pembelajaran agama Islam). Agar metode ceramah

berhasil, maka menurut Wina Sanjaya (2006) ada beberapa hal yang harus

diperhatikan dan dilakukan guru dalam menggunakan metode ini dalam proses

pembelajaran, baik pada tahap persiapan maupun pada tahap pelaksanaan.

a) Tahap persiapan

Dalam tahap poersiapan ini ada beberapa hal yang harus diperhatikan

diantaranya adalah:

(1) Merumuska tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Proses pembelajaran

adalah proses yang terencana dan memiliki arahan dan tujuan yang jelas.

Oleh karena itu, merumuskan tujuan yang jelas merupakan langkah awal

yang harus dilakukan guru. Rumusan tujuan yang jelas dan konkret akan

memudahkan guru dalam mengelola materi dan menentukan evaluasi

pengajaran yang akan dilakukan.

(2) Menentukan pokok-pokok materi dan sub pokok materi yang akan

disampaikan dalam pembelajaran dengan ceramah. Keberhasilan suatu

pembelajaran dengan menggunakan metode ceramah sangat tergantung

kepada tingkat penguasaan guru terhadap materi pelajaran. Oleh karena

182
itu, guru harus mempersiapkan pokok-pokok materi yang akan

disampaikan sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan.

(3) Agar tidak menguras tenaga yang banyak, ada baiknya jika dipersiapkan

alat bantu untuk mendukung pelaksanaan metode ini. Alat bantu dalam

pembelajaran ceramah sangat diperlukan untuk menghindari kesalahan

persepsi dari siswa. Alat bantu tersebut dapat berupa ilustrasi dalam

proyektor dengan menggunakan power point, menggunakan transparansi

atau media lainnya untuk meningkatkan kualitas ceramah.

b) Tahap pelaksanaan

Dalam pelaksanaan pembelajaran dengan menggunakan metode ceramah,

menurut Wina Sanjaya (2006) sebaiknya para guru mengikuti langkah-langkah

sebagai berikut:

(1) Langkah pembukaan

Keterampilan guru dalam melakukan pembukaan akan sangat menentukan

langkah ia selanjutnya. Karena pembukaan dalam metode ceramah merupakan

langkah yang menentukan. Keberhasilan pelaksanaan ceramah sangat ditentukan

oleh langkah ini. Ada beberapa hal yang harus diperhatikan guru dalam

melakukan pembukaan ini. Pertama, yakinkan bahwa seluruh siswa memahami

tujuan yang akan dicapai. Oleh karena itu, guru perlu mengemukakan terlebih

dahulu tujuan pembelajaran yang harus dicapai oleh siswa. Oleh karena tujuan

akan mengarahkan segala aktivitas siswa, dengan demikian penjelasan tentang

tujuan yang akan merangsang siswa untuk termotivasi mengikuti prose

pembelajaran melalui ceramah. Kedua, lakukan langkah apersepsi, yaitu langkah

183
menghubungkan materi pelajaran yang lalu dengan materi pelajaran yang akan

disampaikan. Manfaat langkah apersepsi adalah untuk mempersiapkan secara

mental agar siswa mampu dan dapat menerima materi pembelajaran. Lngkah ini

pada dasarnya adalah untuk menciptakan kondisi agar materi pelajaran itu mulai

masuk dan menempel di otak.

(2) Langkah penyajian

Langkah penyajian adalah langkah penyampaian materi pembelajaran

dengan cara lisan (ceramah). Dalam menyajikan materi pembelajaran guru harus

menjaga perhatian siswa agar tetap terarah pada meteri pembelajaran yang sedang

disampaikan. Hal ini dapat dilakukan dengan cara melakukan hal-hal berikut:

(a) Senantiasa menjaga “kontak mata” dengan peserta didik. Apa yang dimaksud

dengan kontak mata? kontak mata adalah suatu isyarat dari guru agar siswa

terus mau memerhatikan ceramah yang disampaikannya. Selain itu, kontak

mata dapat juga berarti sebuah komunikasi bahasa tubuh, dan penghargaan

dari guru kepada siswa. Karena siswa yang selalu mendapatkan “pandangan”

(baca: perhatian) dari guru akan merasa dihargai dan diperhatikan. Maka

dengan demikian usahakan walaupun guru harus menulis di papan tulis kontak

mata tetap diperhatikan dengan tidak berlama-lama menghadap papan tulis

atau membuat catatan yang panjang di papan tulis.

(b) Selain kontak mata yang terus-menerus dalam pembelajaran dengan

menggunakan metode ceramah, hendaknya guru menggunakan bahasa yang

lebih interaktif dan komunikatif, lebih mudah terima dan dicerna oleh peserta

didik dan (sesekali guru dapat) menyelingi dengan senda gurau yang

184
mendidik. Oleh karena itu, sebaiknya guru menggunakan istilah-istilah

populer yang biasa digunakan oleh peserta didik sesuai dengan usia dan

jenjang pendidikannya. Selain itu perhatikan intonasi suara agar seluruh

peserta didik dapat mendengarnya dan memerhatikannya dengan baik.

(c) Pembelajaran dengan menggunakan metode ceramah hendaknya materi

pelajaran disajikan secara sistematis, tidak loncat-loncat, agar mudah

ditangkap oleh siswa. Lalu, tanggapilah respons yang diberikan oleh siswa

dengan segera. Maksudnya\, sekecil apa pun respons yang diberikan oleh

siswa guru harus cepat-cepat menanggapinya. Apabila respons siswa itu tepat,

segeralah kita beri penguatan terhadap respons tersebut. Misalnya dengan

memberikan pujian yang membanggakan hati. Dan sebaliknya jika siswa

memberikan respons yang kurang tepat, segeralah guru memperbaiki respon

tersebut dengan tidak menyinggung perasaan siswa.

(d) Guru yang menggunakan metode ceramah dalam pembelajaran, hendaknya

senantiasa menjaga agar kelas tetap kondusif dan “menggairahkan” untuk

terus belajar. Kelas yang kondusif dan menggairahkan akan membangkitkan

semangat dan motivasi peserta didik untuk belajar. Diantara cara yang dapat

digunakan untuk menjaga agar kelas tetap kondusif dan menggairahkan adalah

dengan cara guru menunjukkan sikap yang bersahabat dan akrab, tidak

memberikan suasana yang menegangkan, serta terkadang diselingi dengan

humor-humor yang segar dan menyenangkan.

(3) Langkah mengakhiri ceramah

185
Langkah terakhir adalah menutup ceramah, hal ini dilakukan agar materi

pelajaran yang sudah dipahami dan dikuasai siswa tidak terulang kembali.

Ciptakan kegiatan-kegiatan yang memungkinkan siswa tetap mengingat materi

pembelajaran. Terdapat langkah-langkah yang dapat dilakukan guru dalam

mengakhiri ceramah, agar materi pembelajaran tidak mudah dilupakan oleh siswa,

diantaranya adalah sebagai berikut:

(a) Bimbing dan arahkan siswa untuk berlatih menarik kesimpulan dari ceramah

tersebut dengan menggunakan bahasanya sendiri.

(b) Berikan kepada mereka tugas rumah yang berisi perintah untuk merangkum isi

ceramah yang telah disampaikan dengan menggunakan bahasanya sendiri.

(c) Lakukan evaluasi untuk mengetahui kemampuan siswa dalam menangkap

materi ceramah.

b. Metode Diskusi

Metode diskusi adalah metode pembelajaran yang menghadapkan siswa

pada suatu permasalahan. Dalam prose pembelajaran, metode ini mendapatkan

perhatian yang lebih khusus, karena dengan metode diskusi dapat merangsang

siswa berpikir atau mengeluarkan pendapat sendiri. Oleh karena itu, tujuan utama

metode diskusi adalah, selain untuk memecahkan suatu permasalahan, menjawab

pertanyaan menambah dan memahami pengetahuan siswa, juga untuk melatih

siswa berpikir kritis terhadap permasalahan yang ada, dengan berlatih

mengemukakan pendapatnya sendiri.

Selama ini banyak guru yang merasa keberatan untuk menggunakan metode

diskusi dalam proses pembelajaran. Hal ini biasanya muncul dari adanya

186
anggapan bahwa diskusi, pertama, merupakan metode yang sulit diprediksi

hasilnya, oleh karena interaksi antara siswa muncul secara spontan, sehingga

hasil dan arah diskusi sulit ditentukan. Kedua, diskusi memerlukan waktu yang

cukup panjang, sementara waktu pembelajaran di dalam kelas sangat terbatas,

sehingga keterbatasan itu tidak mungkin dapat menghasilkan sesuatu secara

tuntas. Akan tetapi, sebenarnya anggapan ini, tidak perlu muncul dan tidak perlu

dirisaukan oleh guru. Karena, dengan perencanaan dan persiapan yang matang

kejadian semacam itu bisa dihindari.

Metode diskusi bukan hanya percakapan atau debat biasa saja, akan tetapi

diskusi timbul karena adanya permasalahan yang memerlukan jawaban dan jalan

keluarnya dari masalah tersebut, atau terdapat berbagai jawaban yang perlu di

selesaikan. Oleh karena dalam pelaksanaannya, peranan guru sangat penting

dalam rangka menghidupkan kegairahan siswa berdiskusi. Oleh karena itu,

pertama, guru harus berusaha semaksimal mungkin agar siswa turut aktif dan

berperan dalam diskusi tersebut. Kedua, berlaku bijaksana dalam mengatur dan

mengarahkan diskusi, agar berjalan dengan lancar dan aman. Ketiga, memberikan

kesimpulan terhadap hasil diskusi.

Dalam proses pembelajaran, guru dapat menggunakan dua macam diskusi,

yakni diskusi kelompok dan diskusi kelompok kecil. Diskusi kelompok

dinamakan juga diskusi kelas. Pada diskusi ini permasalahan yang disajikan oleh

guru dipecahkan oleh kelas secara keseluruhan, yang mengatur jalannya diskusi

adalah guru itu sendiri. Sedangkan diskusi kelompok kecil, siswa dibagi dalam

beberapa kelompok. Setiap kelompok terdiri atas 3 sampai dengan 5 orang siswa.

187
Pelaksanaannya dimulai dari guru menyajikan masalah dengan beberapa

submasalah. Setiap kleompok memecahkan satu ssubmasalah. Proses diskusi

diakhiri dengan laporan setiap kelompok.

(a) Beberapa kelebihan metode diskusi

Metode diskusi memiliki beberapa kelebihan jika diterapkan dalam

pembelajaran. Diantara kelebihan-kelebihan metode diskusi dalam pembelajaran

adalah sebagai berikut:

1) Dapat merangsang “gairah” peserta didik dalam belajar. Pembelajaran dengan

menggunakan metode diskusi akan membawa pada suasana pembelajaran

yang merangsag dan menyenangkan . Metode diskusi akan lebih aktif dan

kreatif khususnya dalam memberikan gagasan dan ide-ide.

2) Dengan menggunakan metode diskusi dalam pembelajaran akan melatih

peserta didik untuk membiasakan diri bertukar pikiran dalam mengatasi setiap

permasalahan. Pembelajaran dengan menggunakan metode diskusi

memberikan kesempatan kepada peserta didik untuk menyampaikan

gagasannya sesuai dengan kemampuan yang dimilikinya.

3) Karena dalam metode diskusi ini peserta didik memiliki kesempatan untuk

menyampaikan pendapatnya secara lisan. Maka dengan demikian akan melatih

mereka agar terbiasa mengemukakan pendapat atau gagasan secara verbal

(lisan)

4) Metode diskusi juga bisa melatih peserta didik untuk menghargai pendapat

orang lain. Dalam diskusi akan sangat dimungkinkan terjadinya perbedaan

pendapat diantara anggota kelompok diskusi. Adanya perbedaan dalam

188
diskusi dalam merupakan dinamika yang pasti terjadi. Karena bukan diskusi

jika tidak ada perbedaan. Dengan demikian, peserta didik akan terlatih untuk

saling menghargai perbedaan pendapat masing-masing anggota.

5) Pembelajaran dengan menggunakan metode diskusi akan mengembangkan

sosial (social skill) peserta didik.

6) Dalam diskusi biasanya dipimpin oleh seorang ketua kelompok diskusi, maka

dengan demikian diskusi akan melatih jiwa kepemimpinan peserta didik.

(b) Beberapa kelemahan metode diskusi

Selain memiliki beberapa kelebihan sebagaimana telah dikemukakan di

atas, metode diskusi juga memiliki beberapa kelemahan jika diterapkan dalam

pembelajaran. Diantara beberapa kelemahan dalam metode diskusi adalah sebagai

berikut:

1) Sering terjadi pembicaraan dalam diskusi dikuasai oleh siswa yang memiliki

keterampilan dalam berbicara saja, sehingga ketercapaian tujuan pembelajaran

tidak merata;

2) Terkadang pembahasan dalam diskusi suka meluas kesana kemari, sehingga

kesimpulan tidak fokus pada permasalahan dan menjadi kabur;

3) Dalam pelaksanaannya, memerlukan waktu yang cukup panjang, yang

terkadang tidak sesuai dengan yang direncanakan;

4) Dalam diskusi sering terjadi perbedaan pendapat yang bersifat emosional yang

tidak normal. Akibatnya, ada pihak-pihak yang merasa tersinggung, sehingga

dapat mengganggu iklim pembelajaran.

(c) Tahapan implementasi diskusi dalam pembelajaran

189
Agar pelaksanaan diskusi berhasil dengan efektif, maka lakukan tahapan-

tahapan sebagai berikut:

a) Langkah persiapan

Dalam tahap persiapan, hendaknya guru memperhatikan hal-hal sebagai

berikut diantaranya:

(1) Terlebih dahulu rumuskan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai. Tujuan

pembelajaran yang ingin mesti dipahami oleh setiap peserta didik sebagai

peserta diskusi. Tujuan pembelajaran dirumuskan secara jelas dan terukur.

(2) Tentukan jenis diskusi yang dapat dilaksanakan dengan tujuan yang ingin

dicapai. Misalnya, apabila tujuan yang ingin dicapai adalah penambahan

wawasan siswa terhadap pelaksanaan zakat, maka dapat digunakan diskusi

kelompok, dengan terlebih dahulu siswa melakukan penelitian terhadap

pelaksanaan zakat yang bersumber dari buku, atau penelitian di masing-

masing pengelola zakat, kemudian dipresentasikan oleh tiap kelompok

diskusi. Maka diskusi kelompok merupakan jenis diskusi yang tepat.

(3) Tetapkan masalah yang akan dibahas. Masalah bisa didapatkan dari isi

materi pembelajaran atau masalah-masalah aktual yang terjadi di

lingkungan masyarakat yang dihubungkan dengan materi pelajaran.

Misalnya masalah problematika pelaksanaan zakat di masyarakat muslim

pedesaan dan perkotaan atau masalah-masalah lainnya yang bersifat aktual

yang terkait dengan pelajaran.

190
(4) Mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan

diskusi. Misalnya ruang kelas dengan segala fasilitasnya, petugas-petugas

diskusi seperti, pemimpin diskusi, moderator, notulen dan yang lainnya.

b) Pelaksanaan diskusi

Agar pelaksanaan diskusi berjalan dengan lancar. Maka hendaknya guru

memperhatikan beberapa hal, diantaranya adalah sebagai berikut:

(1) Memeriksa segala persiapan yang dianggap dapat memengaruhi

kelancaran diskusi.

(2) Memberikan pengarahan sebelum dilaksanakan diskusi, misalnya

menyajikan tujuan yang ingin dicapai serta aturan-aturan diskusi sesuai

dengan jenis diskusi yang akan dilaksanakan.

(3) Melaksanakan diskusi sesuai dengan aturan main yang telah ditetapkan.

Dalam pelaksanaan diskusi hendaklah memerhatikan suasanan atau iklim

belajar yang menyenangkan, misalnya tidak tegang, tidak saling

menyudutkan, dan lain sebagainya.

(4) Memberikan kesempatan yang sama kepada setiap peserta diskusi untuk

mengeluarkan gagasan dan ide-idenya. Mengendalikan pembicaraan

kepada pokok persoalan yang sedang dibahas. Hal ini sangat penting,

sebab tanpa pengendalian biasanya arah pembahasan menjadi melebar dan

tidak fokus.

c) Menutup diskusi

Dalam pembelajaran dengan menggunakan metode diskusi, sebaiknya

akhir proses pembelajaran dengan melakukan hal-hal sebagai berikut:

191
(1) Membuat pokok-pokok kesimpulan sesuai dengan hasil diskusi.

(2) Melakukan riview jalannya diskusi dengan meminta pendapat dan seluruh

peserta sebagai umpan balik untuk perbaikan selanjutnya.

c. Metode Demonstrasi

Metode demonstrasi adalah metode pembelajaran dengan menggunakan

peragaan yang berguna untuk memperjelas suatu pengertian atau konsep-konsep,

atau untuk memperlihatkan bagaimana melakukan sesuatu kepada siswa (Zakiyah

Drajat, 2001: 296). Dalam pengertian lain dikatakan bahwa metode demonstrasi

merupakan metode penyajian materi pelajaran dengan cara memperagakan atau

mendemonstrasikan atau mempertunjukan kepada siswa tentang suatu prose,

situasi atau benda tertentu, baik sebenarnya atau hanya sekadar tiruan (Sanjaya,

2006: 152).

Kedua definisi tersebut di atas pada memiliki kesamaan, karena dua-

duanya menekankan pada adanya praktek atau melakukan atau menunjukkan

sesuatu kepada siswa tentang bagaimana cara melakukannya. Sebagai contoh, cara

melakukan gerakan-gerakan shalat, maka guru dapat memberikan contoh secara

lamgsung kepada siswa, dengan mempraktekannya di depan siswa. Atau

menyuruh salah seorang siswa untuk mempraktekannya, dan siswa yang lainnya

melihatnya.

Dengan menggunakan metode demonstrasi dapat menyajikan bahan

pelajaran kepada siswa secara lebih konkret dan mudah difahami, ketimbang

hanya memberikan informasi berupa konsep-konsep. Strategi pembelajaran

192
demonstrasi dapat digunakan untuk mendukung keberhasilan pelaksanaan

pembelajaran ekspositori dan inkuiri.

(a) Kelebihan-kelebihan Metode Demonstrasi dalam Pembelajaran

Sebagai salah satu metode pembelajaran, metode demonstrasi memiliki

beberapa kelebihan diantara kelebihan-kelebihan metode demonstrasi adalah:

1) Dapat menghindari dari terjadinya verbalisme, sebab siswa disuruh langsung

memerhatikan bahan pelajaran yang dijelaskan.

2) Proses pembelajaran lebih menarik dan menggairahkan (enjoy), karena siswa

tidak hanya mendengar, tetapi juga melihat peristiwa yang terjadi dengan

“nyata”.

3) Siswa mendapatkan kesempatan untuk membandingakan tentang apa yang

dipelajarinya dengan kenyataan, karena diberikan kesempatan untuk

mengamati secara langsung.

4) Akan membantu membangkitkan semangat atau motivasi siswa untuk belajar,

karena metode demonstrasikan sangat melibatkan siswa dalam proses

pembelajarannya.

5) Metode demonstrasi akan memberikan pengalaman yang lebih kepada siswa,

karena siswa dapat secara langsung mempraktekkannya.

(b) Kelemahan-kelemahan Metode Demonstrasi

193
Selain memiliki beberapa kelebihan sebagaimana telah disebutkan di atas,

metode demonstrasi juga memiliki beberapa kelemahan di antaranya adalah

sebagai berikut:

1) Penggunaan metode demonstrasi dalam pembelajaran yang memerlukan

waktu yang panjang untuk melakukan persiapan yang matang, karena tanpa

persiapan yang matang bisa menyebabkan kegagalan, yang berakibat pada

ketidakefektifan.

2) Memerlukan biaya yang banyak dan mahal bila dibandingkan dengan metode

ceramah, karena metode ini memerlukan peralatan, bahan-bahan, dan tempat

yang memadai.

3) Dalam pelaksanaannya, memerlukan kemampuan dan keterampilan khusus,

sehingga guru dituntut untuk bekerja lebih profesional. Juga memerlukan

kemauan dan motivasi guru yang bagus untuk keberhasilan proses

pembelajaran siswa.

(c) Langkah-langkah Pelaksanaan dalam Pembelajaran

Seorang guru yang akan melaksanakan pembelajaran dengan

menggunakan metode demonstrasi menurut W. Sanjaya (2006: 151) sebaiknya

memperhatikan langkah-langkah, mulai dari persiapan, pelaksanaan, hingga

mengakhiri demonstrasi.

a) Tahapan Persiapan

Tahapan yang harus dilakukan dalam melakukan persiapan adalah sebagai

berikut:

194
(1) Tahap pertama, guru merumuskan tujuan pembelajaran yang akan dicapai

oleh siswa setelah proses pembelajaran berakhir. Tujuan ini mencakup

beberapa aspek, seperti pengetahuan, sikap, atau keterampilan tertentu.

(2) Persiapan garis besar langkah-langkah demonstrasi yang akan dilakukan.

Garis-garis besar langkah demonstrasi diperlukan sebagai panduan untuk

menghindari kegagalan.

(3) Sebelum dilakukan di depan siswa. Lebih baik dilakukan terlebih dahulu

uji coba demonstrasi. Uji coba ini mencakup durasi waktu, segala

peralatan yang mendukung, dan lain sebagainya.

b) Tahap Pelaksanaan Demonstrasi

(1) Langkah Pembukaan

Sebelum guru melakukan kegiatan demonstrasi dilakukan ada beberapa

hal yang harus diperhatikan di antaranya:

(a) Terlebih dahulu aturlah tempat duduk yang memungkinkan semua siswa dapat

memerhatikan dengan jelas apa yang didemonstrasikan;

(b) Terlebih dahulu guru mengemukakan tujuan apa yang harus dicapai oleh

siswa, setelah melihat demonstrasi;

(c) Kemukakan juga tugas-tugas apa yang harus dilakukan oleh siswa, misalnya

siswa ditugaskan untuk mencatat hal-hal yang dianggap penting dari

pelaksanaan demonstrasi;

(d) Perintahkan juga kepada siswa untuk memberikan komentar, kritik atau

sarannya terhadap demonstrasi yang dilakukan dengan menggunakan bahasa

mereka sendiri.

195
(2) Langkah pelaksanaan demonstrasi

Agar proses pembelajaran dengan menggunakan metode demonstrasi ini

membangkitkan semangat dan gairah siswa dalam belajar, maka sebaiknya:

(a) Mulailah demonstrasi dengan kegiatan-kegiatan yang dapat merangsang siswa

untuk berpikir, misalnya melalui pertanyaan-pertanyaan yang mengandung

teka-teki sehingga mendorong siswa untuk tertarik memerhatikannya.

(b) Ciptakan suasana yang menyenangkan (enjoy) dan hindarilah suasana yang

menegangkan, yang dapat mengaburkan perhatian siswa.

(c) Yakinkan bahwa seluruh siswa mengikuti jalannya demonstrasi dengan cara

memerhatikan reaksi yang diberikan oleh seluruh siswa.

(d) Berikan kesempatan kepada peserta didik untuk secara aktif memikirkan lebih

lanjut sesuai dengan apa yang dilihat dan proses demonstrasi itu.

(3) Langkah mengakhiri demonstrasi.

Apabila proses demonstrasi telah selesai dilakukan, maka sebaiknya guru

perlu memberikan tugas-tugas tertentu yang ada kaitannya dengan pelaksanaan

demonstrasi dan proses pencapaian tujuan pengajaran.

Hal ini diperlukan untuk mengetahui dan meyakinkan apakah siswa

tersebut telah dapat memahami atau belum. Selain memberikan tugas yang

relevan, ada baiknya guru dan siswa melakukan evaluasi bersama tentang jalannya

proses demonstrasi itu demi melakukan perbaikan pada episode berikutnya.

d. Metode Simulasi

Secara etimologis, kata simulasi berasal dan kata simulate yang artinya

berpura-pura atau berbuat seakan-akan. Sebagai metode mengajar, simulasi berarti

196
cara penyajian pengalaman belajar dengan menggunakan situasi tiruan untuk

memahami tentang konsep, prinsip, atau keterampilan tertentu.

Simulasi dapat digunakan sebagai metode mengajar dengan asumsi tidak

semua proses pembelajaran dapat dilakukan secara langsung pada objek yang

sebenarnya. Bagaimana cara mengetahui melakukan orasi, berpidato , maka dapat

dilakukan dengan cara simulasi atau mementaskannya dengan berperan seperti

orang yang melakukan orasi atau pidato.

Simulasi juga dapat dilakukan dalam pembelajaran fiqih, misalnya

bagaimana cara melakukan jual beli yang memenuhi kriteria syar’i maka dapat

dilakukannya dengan mensimulasikannya. Cara melakukan ibadah haji, maka

dapat dilakukan dengan cara melakukan manasik hai dan lain sebagainya.

(a) Kelebihan-kelebihan Metode Simulasi

Sebagai sebuah metode pembelajaran simulasi memiliki beberapa kelebihan

di antaranya adalah sebagai berikut:

1) Dapat dijadikan sebagai bekal bagi siswa dalam menghadapi situasi yang

sebenarnya kelak, baik dalam kehidupan keluarga, masyarakat;

2) Dapat mengembangkan kreativitas siswa, karena melalui simulasi siswa

diberi kesempatan untuk memainkan peran yang sesuai dengan topik yang

disimulasikan;

3) Dapat memupuk keberanian dan percaya diri siswa;

4) Dapat memperkaya pengetahuan, sikap, dan keterampilan yang diperlukan

dalam menghadapi berbagai situasi sosial yang problematis;

5) Dapat meningkatkan gairah siswa dalam proses pembelajaran.

197
(b) Kelemahan-kelemahan Metode Simulasi

Sebagai sebuah metode pembelajaran, simulasi juga memiliki beberapa

kelemahan, di antaranya:

1) Pengalaman yang diperoleh melalui simulasi tidak selalu tepat dan sesuai

dengan kenyataan di lapangan;

2) Pengelolaan yang kurang baik, sering simulasi dijadikan sebagai alat

hiburan, sehingga tujuan pembelajaran menjadi terabaikan;

3) Faktor psikologis seperti rasa malu dan takut sering mempengaruhi siswa

dalam melakukan simulasi.

(c) Jenis-jenis simulasi

Menurut W. Sanjaya (2006: 158) metode simulasi terdiri dari beberapa jenis

yaitu, sosiodrama, psikodrama, dan role playing.

1) Sosiodrama

Sosiodrama adalah metode pembelajaran bermain peran untuk memecahkan

masalah-masalah yang berkaitan dengan fenomena sosial, menyangkut hubungan

antara manusia, seperti masalah kenakalan remaja, narkoba, gambaran keluarga

yang otoriter, dan lain sebagainya.

Metode Sosiodrama digunakan untuk memberikan pemahaman dan

peenghayatan yang lebih mendalam, akan hal-hal yang telah dilakukan oleh para

tokoh tersebut, serta mengambil pelajaran dari apa yang diperankannya itu.

2) Psikodrama

Psikodrama adalah metode pembelajaran dengan bermain peran yang

bertitik tolak dan permasalahan-permasalahan psikologis. Psikodrama biasanya

198
digunakan untuk terapi, yaitu agar siswa memperoleh pemahaman yang lebih baik

tentang dirinya, menemukan konsep diri, menyatakan reaksi terhadap tekanan-

tekanan yang dialaminya.

3) Role playing

Role playing atau bermain peran adalah metode pengajaran sebagai bagian

dan simulasi yang diarahkan untuk mengkreasi peristiwa sejarah, mengkreasi

peristiwa-peristiwa aktual, atau kejadian-kejadian yang mungkin muncul pada

masa mendatang.

Metode ini dapat digunakan diantaranya dalam pengajaran sejarah baik

sejarah umum maupun sejarah kebudayaan Islam. Misalnya, tentang kisah-kisah

para Nabi, para Sahabat, dan kisah-kisah para pahlawan pembela tanah air.

Dengan melakukan pementasan tentang kisah-kisah tersebut, dan siswa sebagai

pemerannya.

(a) Tahapan-tahapan dalam simulasi

a) Persiapan simulasi

(1) Guru terlebih dahulu menentukan topik atau masalah serta tujuan yang

hendak dicapai.

(2) Guru terlebih dahulu memberikan gambaran masalah dalam situasi yang

akan disimulasikan.

(3) Guru menetapkan pemain yang akan terlibat dalam simulasi, peranan yang

harus dimainkan oleh para pemeran, serta waktu yang disediakan.

199
(4) Guru memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya khususnya

pada siswa yang terlibat dalam pemeranan simulasi.

b) Pelaksanaan simulasi

(1) Simulasi mulai dimainkan oleh kelompok pemeran.

(2) Para siswa lainnya mengikuti dengan penuh perhatian.

(3) Memberikan bantuan kepada pemeran yang mengalami kesulitan

(4) Hentikan simulasi pada saat-saat puncak. Hal itu untuk mendorong peserta

didik berfikir dalam menyelesaikan masalah yang sedang disimulasikan.

c) Mengakhiri simulasi

(1) Lakukan diskusi kecil tentang jalannya simulasi. Apakah telah sesuai

dengan yang diinginkan atau belum;

(2) Lakukan kritik terhadap beberapa kesalahan dalam melakukan simulasi.

(3) Berikan respon positif terhadap siswa yang melakukan simulasi dengan

bagus;

(4) Rumuskan kesimpulan dari apa yang telah disimulasikan.

e. Metode Proyek

Berikut ini disajikan metode proyek dalam pembelajaran yang penulis

kutip dari Drajat (2001: 310). Metode ini juga dinamakan metode pengajaran unit.

Dalam pelaksanaannya, siswa disuguhi dengan berbagai macam masalah dan

siswa bersama-sama menghadapi masalah tersebut dengan mengikuti langkah-

langkah tertentu secara ilmiah, logis dan sistematis.

Cara demikian adalah teknik yang modern, karena siswa tidak dapat begitu

saja menghadapi persoalan tanpa pemikiran-pemikiran ilmiah. Maka tujuan dari

200
metode ini adalah untuk melatih siswa agar berpikir secara ilmiah, logis dan

sistematis.

Sekolah pada hakikatnya berkewajiban mempersiapkan peserta didiknya

agar tidak canggung hidup di tengah-tengah masyarakat yang banyak sekali

masalah-masalah yang akan ditemuinya. Oleh karena itu, guru berkewajiban

melatih siswanya untuk memberikan kemampuan teknik menghadapi masalah-

masalah dalam masyarakat.

Pusat kegiatan metode ini terletak pada siswa dan guru berfungsi sebagai

pembimbing mekanisme kerja siswa dengan bekerja bersama-sama. Namun

demikian, karena tiap-tiap siswa mempunyai minat dan kemampuan masing-

masing, maka dapat pula siswa secara individual dalam hal-hal tertentu

menghadapi masalah itu sendiri sesuai dengan minat yang dipilihnya.

Langkah-langkah umum yang harus dilaksanakan oleh siswa dalam kerja

bersama menurut J. Dewey dalam Drajat (2001: 310):

1) Merealisasi Adanya Masalah

Siswa menyadari adanya sesuatu yang menjadi problem seperti kesulitan,

rasa kebimbangan, bingung dan lain-lain. Masalah itu lalu dikaji sehingga akan

ditemukan kesulitan-kesulitan itu. Setiap orang yang ingin mengetahui kesulitan

atau ingin mengetahui hakikat sesuatu, tentu akan mendorong pikirannya untuk

bekerja secara aktif, yaitu berpikir, menyelidiki, menganalisis dan seterusnya.

Yang dituju oleh metode proyek yaitu menumbuhkan kesadaran.

2) Menyusun Hipotesis

201
Hipotesis merupakan dugaan sementara atau jawaban sementara. Dugaan

atau terkaan terhadap jawaban dan sesuatu masalah adalah langkah untuk

menyelesaikan masalah, tidak perlu takut berbuat salah, mungkin dugaan benar

dan mungkin juga salah. Mungkin sebagian benar tapi hipotesis/dugaan itu akan

kita buktikan kebenarannya/ kesalahannya oleh langkah-langkah selanjutnya.

3) Mengumpulkan Data dan informasi

Untuk mengetahui benar tidaknya hipotesis diperlukan keterangan-

keterangan yang didukung oleh data-data. Bahan-bahan berupa data tersebut

didapat melalui berbagai jalan, seperti langsung bertanya, melalui penelitian dan

buku-buku, mengadakan wawancara dan lain-lain. Akan tetapi data itu pun harus

dinilai dan diklasifikasikan sedemikan rupa sehingga menjadi suatu informasi

yang benar.

Data yang kita dapatkan belum tentu benar, atau sejauh mana data itu

sesuai dengan kepentingan masalah yang sedang kita hadapi, karena itu data itu

perlu dianalisis/diteliti.

Namun apabila data yang kita dapat belum cukup mendukung hipotesis

kita, maka harus mencari data lain lagi dengan menambah berbagai informasi.

4) Memberikan Kesimpulan

Masalah yang diberikan guru, oleh anak didik harus juga

dipertanggungjawabkan, maka disusunlah suatu laporan. Isi laporan itu memuat

kesimpulan-kesimpulan dan semua proses pekerjaan dari awal sampai akhir.

Kesimpulan-kesimpulan yang kita tuangkan dalam laporan tersebut juga harus

dilengakapi dengan bukti-bukti kebenaran.

202
Pada tingkat ini pelapor masih punya kesempatan untuk

menguji/menilai/mengecek semua proses pemecahan masalah terutama yang

sudah kita simpulkan tersebut. Contoh metode proyek ini ialah, di halaman

sekolah ditanam berjenis-jenis tanaman di antaranya pohon pepaya, tampaknya

daun pohon pepaya ini pada musim hujan menjadi kuning. Guru bertanya:

“Apakah sebabnya?” Tugas: selidikilah sebab-sebab pohon pepaya itu menjadi

mati. Tugas dikerjakan oleh anak didik bersama-sama dan hasilnya

dipertanggungjawabkan kepada guru yang menugaskan.

Masalah di atas adalah suatu perangkat masalah karena di dalam masalah

itu dapat dipecah-pecahkan lagi menjadi beberapa bagian yang masing-masing

perlu diselidiki. Dalam bagian masalah tersebut dimungkinkan seorang murid

secara individu membahasnya karena dianggap dia berminat lalu menjadi

pilihannya. Mungkin pula pada kesempatan tertentu perlu dibahas bersama.

Semua kemungkinan boleh dijalankan. Yang penting masalah itu dibahas atas

nama bersama, dan bekerja sama dalam menyelesaikannya.

203
BAB VIII

KETERAMPILAN DASAR MENGAJAR

A. Keterampilan Dasar Mengajar

Kurikukulm Berbasis Kompetensi mulai diimplementasikan secara

nasional pada tahun ajaran 2004/2005, dalam. Kurikulum Berbasis Kompetensi

titik tekan pembelajaran adalah pengalaman belajar siswa. Pemberian pengalaman

belajar yang lebih besar kepada siswa hanya mungkin dapat diterapkan manakala

guru secara profesional memiliki keterampilan dalam pengelolaan pembelajaran

atau dalam mengajar.

Agar anak memperoleh pengalaman belajar dengan baik dan yang

seharusnya apabila diberikan pendidikan dan pengajaran sekolah oleh guru yang

profesional. Tugas guru dalam mengajar adalah pekerjaan profesional. Sebagai

pekerjaan profesional, orang yang menyandang pekerjaan sebgai guru harus

memiliki sejumlah keterampilan. Keterampilan itu hanya mungkin didapatkan

dari sebuah proses latihan dari lembaga pendidikan yang kompeten serta ditambah

204
dengan pendidikan dan pelatihan lanjutan sesetelah menyelesaikan studi di

Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan.

Keterampilan yang dimiliki berupa keterampilan dasar dalam mengajar.

Keterampilan dasar mengajar adalah keterampilan standar yang harus dimiliki

setiap individu yang berprofesi sebagai guru dalam melakukan pengalatan.

Penguasaan keterampilan dasar mengajar akan dapat membedakan mana guru

profesional dan mana guru yang tidak profesional. Sulit dikatakan sebgal seorang

guru apabila ia tidak mampu bertanya dan menjelaskan kepada siswa.

Sejumlah keterampilan dasar harus dimiliki seorang guru agar dalam

mengerjakan tugas profesionalnya berhasil secara optimal. Menurut para ahli

pendidikan dari Stanford University dan Sydney Universiti seperti dikutif Wina

Sanjaya teridentifikasi 23 jenis keterampilan mengajar, sebagai berikut:

1. Establishit, set

2. Establishing appropriate frame of reference

3. Achieving closure

4. Recognizing and obtaining attending behavior

5. Providing feedback

6. Employing rewards and punishment (reinforcement)

7. Control of participation

8. Redudancy and repetition

9. Illustrating and use of example

10. Asking questions (basic)

11. The use of divergent questions

205
12. The use of higher order questions

13. The use of probing questions

14. Student - initiated questions

15. Completeness of communication

16. Varying the stimulus situation

17. Lecturing

18. Precuing

19. Classroom managements and discipline

20. Guiding small group discussion

21. Small group teaching and individualized instruction

22. Guiding discovery learning and fostering creativity

Dari 23 jenis keterampilan dasar di atas di bawah ini diuraikkan beberapa

keterampilan dasar yang dianggap sangat penting dan dapat menunjang kegiatan

belajar mengajar khususnya dalam implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi

akan diuraikan di bawah ini.

B. Keterampilan Membuka dan Menutup Pelajaran (Set induction and

Closure)

1. Membuka Pelajaran (Set Induction)

Mernbuka pelajaran atau set induction adalah usaha dan kegiatan yang

dilakukan oleh guru untuk menciptakan prakondisi bagi siswa agar siap secara

mental untuk memusatkan perhatian pada pengalaman belajar yang akan disajikan

dengan demikian diharapkan siswa akan mudah mencapai kompetensi belajar

yang dipersyaratkan.

206
Secara khusus tujuan membuka pelajaran adalah untuk:

1) Mempersiapkan mental siswa agar siap memasuki persoalan yang akan

dipelajari atau dibahas dalam proses pembelajaran.

2) Menarik minat dan perhatian siswa, yang dapat dilakukan dengan :

a. Memberi keyakinan kepada siswa bahwa materi atau pengalaman

belajar yang akan diberikan bermanfaat untuk dirinya.

b. Menggunakan media dan alat bantu belajar

c. Melakukan pola interaski yang bervariasi.

3) Menumbuhkan motivasi belajar siswa, yang dapat dilakukan dengan:

a. Membangun suasana akrab dan kehangatan sehingga siswa merasa

dekat, misalnya menyapa dan berkomunikasi secara kekeluargaan.

b. Menimbulkan rasa ingin tahu, misalnya mengajak membahas

peristiwa atau topik yang sedang hangat dibicarakan oleh masyarakat.

c. Mengemukakn ide yang bertentangan, misalkan mengemukan

pendapat yang berbeda dengan pendapat masyarakat umum.

d. Memperhatikan minat peserta didik.

e. Mengaitkan materi atau pengalaman belajar yang akan dilakukan

dengan kebutuhan peserta didik.

4) Memberikan acuan atau rambu-rambu tentang pengajaran yang akan

dilakukan, yang dapat dilakukan dengan:

a. Meyampaikan tujuan pembelajaran yang akan dicapai serta pemaparan

tugas-tugas yang harus dilakukan dalam pencapaian tujuan

pembelajaran.

207
b. Menjelaskan urutan atau tahapan-tahapan pengajaran, sehingga peserta

didik memahami apa yang harus dilakukan.

c. Menjelaskan tujuan domain pembelajaran yang hendak dicapai setelah

proses pengajaran berlangsung baik aspek kognitif, afektif maupun

psikomotor.

5) Membuat kaitan atau hubungan antara pengetahuan dan pengalaman yang

telah dimiliki siswa dengan materi atau pengalaman belajaran yang akan

diberikan kepada siswa.

6) Membuka pelajaran juga dapat digunakan untuk mengetahul.

enteringbehavior atau tingkat kesiapan dan penguasaan siswa terhadap materi

yang akan diajarkan.

2. Menutup Pelajaran

Menutup pelajaran (closoure) adalah kegiatan yang dilakukan guru untuk

mengakhiri pelajaran dengan cara menyimpulkan secara menyeluruh tentang apa

yang telah dipelajari siswa serta keterkaitannya dengan pengalaman sebelumnya.

Adapun tujuan menutup pelajaran adalah untuk mengetahul tingkat keberhasilan

belajar siswa, serta keberhasilan guru dalam pelaksanaan proses pembelajaran.

Untuk menutup pelajaran dapat dilakukan dengan cara :

1. Menyimpulkan atau membuat garis-garis besar materi pelajaran yang telah

dibahas, sehingga siswa memperoleh gambaran yang menyeluruh dan jelas

tentang pokok-pokok materi pelajaran.

208
2. Mengkonsolidasikan perhatian siswa terhadap hal-hal yang pokok agar

informasi yang telah diterima dapat membangkitkan minat untuk mempelajari

lebih lanjut.

3. Mengorganisasikan kegiatan yang telah dilakukan untuk membentuk

pemahaman baru tentang materi yang telah dipelaiarinya.

4. Memberikan postes baik secara lisan, tulisan maupun berbentuk perbuatan.

5. Memberikan tindak lanjut serta saran-saran untuk memperluas wawasan yang

berhubungan dengan materi pelajaran yang dibahas serta pemberian tugas-

tugas yang harus dikerjakan secara individu maupun kelompok untuk

menguasai materi pelajaran bagi yang belum tuntas belajar serta sebagai bahan

acuan untuk mengadakan program pengayaaan bagi siswa yang telah

mencapai ketuntasan belajar.

C. Keterampilan Pengelolaan Kelas (Clasroom Management)

1. Pengertian Pengelolaan Kelas

Ketika berlangsungnya proses belajar di kelas, terkadang guru dihadapkan

pada situasi kelas yang ddak menyenangkan dan terkadang menyebaikan,

misalnya ada siswa yang selalu mengganggu suasana belajar dengan melontarkan

kata-kata yang dapat mengganggu perhatian seluruh siswa; atau berkata “huuuuu”

ketika seorang bertanya atau menjawab. Peristiwa semacarn ini merupakan

gangguan yang dapat memengaruhi iklim belajar mengalar di kelas. Diperlukan

keterampilan mengelola kelas bagi seorang guru untuk mengatasi gangguan yang

terjadi di kelas dalam rangka mengembalikan situasi kelas dalam keadaan normal

seperti semula. Keterampilan pengelolaan kelas penting untuk dikuasai oleh

209
sipapun yang menerjunkan dirinya ke dalam dunia pendidikan terutama guru.

Pengelolaan kelas terdiri dari dua kata, yaitu pengelolaan dan kelas. Pengelolaan

itu sendiri akar katanya adalah “kelola”, ditambah awal “pe” dan akhiran “an”.

Istilah lain dari kata pengelolaan adalah “manajemen”. Manajemen adalah kata

yang artinya dari bahasa Inggris, yaitu “management”, yang berarti tatalaksanaan,

tata pimpinan, pengelolaan. Sedangkan secara umum Manajemen atau

pengelolaan dalam pengertian umum adalah Pengadministrasian, pengaturan atau

penataan suatu kegiatan.

Kelas merupakan suatu kelompok orang yang melakukan aktivitas belajar

secara bersama-sama, dengan bimbingan dan pengajaran dari guru. Pengertian ini

jelas meninjaunya dari segi anak didik, karena dalam pengertian tersebut ada frase

“kelompok orang”. Pendapat ini sejalan dengan pendapat Suharsimi Arikunto

yang mengemukakan pengertian kelas dari segi anak didik. Lebih mendalam

Suharsimi Arikunto mengatakan: di dalam didaktik terkandung suatu pengertian

umum mengenai kelas, yaitu kelompok siswa yang pada waktu yang sama

menerirna pelajaran yang sama dari guru yang sama.

Dengan demikian pengelolaan kelas adalah keterampilan guru dalam

menciptakan dan memelihara kondisi belajar yang optimal dan

mengembalikannya manakala terjadi hal-hal yang dapat mengganggu suasana

pembelajaran.

2. Tujuan Pengelolan Kelas

210
Menurut Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Djain tujuan pengelolaan

kelas adalah: penyediaan fasilitas bagi bermacam-macam kegiatan belajar siswa

dalam lingkungan sosial, emosional dan intelektual di kelas.

Sedangkan Suharsimi Arikunto mengemukakan bahwa tujuan pengelolaan

kelas adalah agar setiap anak di kelas dapat bekerja dengan tertib sehingga segera

tercapai tujuan pengajaran secara efektif dan efisien. Menurutnya, sebagai

indikator dari sebuah kelas yang tertib adalah apabila.

1. Setiap anak terus bekerja, tidak macet, artinya tidak ada anak yang terhenti

karena tidak tahu ada tugas yang harus dilakukan tidak dapat melakukan tugas

yang diberikan kepadanya.

2. Setiap anak terus melakukan pekerjaan tanpa membuang waktu, artinya setiap

anak akan bekerja secepatnya supaya lekas menyelesaikan tugas yang

diberikan kepadanya. Apabila ada anak yang walaupun tahu dan dapat

melaksanakan tugasnya. Tetapi mengerjakannya kurang bergairah dan

mengulur waktu bekerja, maka kelas tersebut dikatakan tidak tertib.

3. Pendekatan-pendekatan dalam pengelolaan kelas

Berbagai pendekatan dapat dilakukan oleh guru dalam melakukan

pengelolaan kelas. Menurut Syaiful Bahri Djamarah dan Aswan Zain pendekatan

yang dapat dilakukan untuk mengelola kelas meliputi: (1) Pendekatan kekuasaan,

(2) Pendekatan ancaman, (3) Pendekatan kebebasan, (4) Pendekatan resep, (5)

Pendekatan pengajaran, (6) Pendekatan Tingkah laku, (7) Pendekatasn situasi

emosi dan hubungan sosial, (8) pendekatan electics atau plurallistik.

a. Pendekatan Kekuasaan

211
Pendekatan kekusaan yang dimaksdudkan di sini adalah bagaimana

menanamkan dan memberikan pengertian kepada siswa bahwa di dalam hidup

dan kehidupan manusia dianut norma-norma yang harus dipatuhi anggota-

anggotanya. Norma-norma yang dianut adalah dalam rangka mendisiplinkan para

anggotanya. Begitu juga dengan kegiatan belajar di sekolah atau di kelas, terdapat

norma-norma yang harus ditaati dan dipatuhi khususnya oleh siswa. Dan pihak

yang diberikan otoritas untuk menegakkan disiplin kelas dalah guru. Dengan

demikian guru memiliki kekuasan untuk mendisiplinkan dan mengelola kelasnya.

b. Pendekatan Ancaman

Pendekatan ancaman dalam pengelolaan kelas dapat dilakukan dengan

cara: melarang, ejekan, sindiran, dan memaksa. Pendekatan guru ancaman

dilakukan dalam rangka mengontrol tingkah laku siswa dalam kegiatan

pembelajaran.

c. Pendekatan Kebebasan

Pada dasarnya semua manusia memiliki kebebasan untuk melakukan

aktivitas apapun yang dia inginkan termasuk siswa dalam proses pembelajaran.

Karenanya guru harus memberikan kebebasan dalam batas-batas tertentu kepada

siswa agar mereka tidak merasa rileks dan merasa rileks dalam mengikuti kegitan

pembelajaran di kelas.

d. Pendekatan Resep

Pendekatan resep (cook book) yaitu guru memberikan sejumlah daftar

kegiatan yang harus dilakukan oleh siswa untuk dapat menyelesaikan program

satuan belajar atau pengalaman belajar tertentu. Dimana langkah-langkah yang

212
harus dilakukan dalam pembelajaran diuraikan secara rinci dan diharapkan siswa

dapat melakukannya secara mandiri dengan bantuan dan bimbingan guru.

e. Pendekatan pengajaran

Dalarn pendekatan ini dianjurkan agar guru dalam mengajar dapat

mencegah dan menghentikan tingkah laku siswa yang kurang baik. Peranan guru

dalam hal ini adalah merencanakan dan mengimplementasikan pelajaran dengan

baik.

f. Pendekatan Perubahan Tingkah Laku

Sesuai dengan namanya, pengelolaan kelas diartikan sebagai suatu proses

untuk mengubah tingkah laku anak didik dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak

bisa menjadi bisa dan dari belum kepada menghayati nilai-nilai serta dari belum

kepada menguasai keterampilan tetentu.

g. Pendekatan Suasana Emosi dan Hubungan Sosial

Dalam pendekatan ini pengelolaan kelas merupakan suatu proses

menciptakan iklim atau suasana emosional dan hubungan sosial yang positif

dalam kelas baik antara guru dengan siswa hubungan antar siswa dengan siswa.

Suasana emosional dan hubungan sosial yang positif, artinya, ada hubungan

timbal balik yang baik dan positif antara guru dengan siswa, atau antara siswa

dengan siswa. Tugas guru berdasarkan pendekatan ini adalah menciptakan

hubungan pribadi yang sehat.

h. Pendekatan Proses Kelompok

Pengelolaan kelas diartikan sebagai suatu proses untuk menciptakan kelas

sebagai suatu sistem sosial, di mana proses kelompok merupakan yang paling

213
utama. Peranan guru adalah mengusahakan agar perkembangan dan pelaksanaan

proses kelompok itu efektif. Proses kelompok adalah usaha guru

mengelompokkan anak didik ke dalam beberapa kelompok dengan berbagai

pertimbangan individual sehingga tercipta kelas yang bergairah dalam belajar.

i. Pendekatan Electis atau Pluralishk

Pendekatan electis disebut juga pendekatan pluralistik, yaitu suatu

pendekatan pengelolaan kelas yang menekankan pada bagaiamana menggunakan

berbagai macam pendekatan yang memiliki potensi untuk dapat menciptakan dan

mempertahankan suatu kondisi yang memungkinkan proses belajar mengajar

berjalan efektif dan efisien. Dalam hal ini guru memilih dan menggabungkan

secara bebas pendekatan tersebut sesuai dengan kemampuan dan untuk

menciptakan dan mempertahankan kondisi kelas yang memberi kemungkinan

proses belajar mengajar berjalan secara efektif dan efisien.

4. Prinsip-prinsip Pengelolan Kolas

Sebagai upaya memperkecil masalah gangguan dalam pengelolaan kelas,

bebapa prinsip-prinsip pengelolaan kelas dapat tlipergunakan sebagai berikut.

a. Hangat dan Antusias

Suasana hangat dan antusiasme guru diperlukan dalam proses belajar

mengajar. Guru yang hangat dan penuh keakraban dengan anak didik selalu

menunjukkan semangat tangung jawabnya dan kinginannya untuk melaskanakan

tugasnya debai guru dengan sebaik-baiknya, hal ini akan berhasil dalam

mengimplementasikan pengelolaan kelas.

b. Tantangan

214
Tantangan dapat diberikan kepada siswa dengan menggunakan kata-kata,

tindakan, cara kerja atau bahan-bahan dalam rangka meningkatkan gairah anak

didik untuk belajar sehingga mengurangi kcmungkinan munculnya tingkah laku

yang menyimpang. Tantangan juga, akan dapat menarik perhatian anak didik

untuk dapat menambah dan mengendalikan gairah belajar mereka.

c. Bervariasi

Variasi dalam penggunaan alat atau media, atau alat bantu, gaya mengajar

guru, pola interaksi antara guru dan siswa akan dapat mengurangi munculnya

gangguan dalam proses pembelajaran, serta dapat meningkatkan perhatian siswa.

Apalagi bila penggunaannya bervariasi disesuaikan serta situasi dan kondisi yang

dibutuhkan. Dengan variasi seperti yang telah disebutkan di atas merupakan kunci

untuk tercapainya pengelolaan kelas yang efektif dan menghindari kejenuhan

belajar di kalangan siswa.

d. Keluwesan

Keluwesan tingkah laku guru untuk mengubah situasi mengajarnya dapat

mencegah kemungkinan munculnya gangguan dari siswa serta menciptakan iklim

belajar mengajar yang efektif. Keluwesan pengajaran dapat mencegah munculnya

gangguan seperti keributan siswa, tidak ada perhatian, tidak mengerjakan tugas,

sebagainya.

e. Penekanan pada hal-hal yang positif

Dalam mengajar dan mendidik, guru harus menekankan serta

mengarahkan siswa berpikir dan berbuat kepada hal-hal yang dan menghindari

pemusatan perhatian anak didik pada hal-hal yang negatif. Penekanan tersebut

215
dapat dilakukan dengan pemberian penguatan yang positif, serta kesadaran guru

dalam menghindari kesalahan yang dapat mengganggu jalannya proses belajar

mengajar.

f. Penanaman Disiplin Diri

Disiplin belajar siswa dan disiplin kelas menjadi tujuan dari pengelolaan

kelas. Dan guru mengupayakan agar siswa dapat mengembangkan disiplin diri

sendiri. Karena itu, guru sebaiknya selalu mendorong anak didik untuk

melaksanakan disiplin diri dan guru sendiri hendaknya menjadi teladan mengenai

pengendalian diri dan pelaksanaan tanggung jawab. Dan menjadi tuntutan kepada

guru untuk selalu berdisiplin dalam segala hal bila ingin mendidiknya ikut

berdisiplin dalam berbagai hal.

5. Komponen-komponen Keteranpilan Pengelolaan Kelas

Secara umumnya komponen keterampilan pengelolaan kelas dibagi

menjadi dua bagian, yaitu keterampilan yang berhubungan dengan penciptaan dan

pemeliharaan kondisi belajar yang optimal (bersifat preventif) dan keterampilan

yang berhubungan dengan pengembangan kondisi belajar yang optimal.

Keterampilan yang berhubungan dengan Penciptaan dan Pemeliharaan

Kondisi Belajar yang Optimal (Bersifat Preventif) Keterampilan ini berhubungan

dengan kompetensi guru dalam mengambil inisiatif dan mengendalikan pelajaran

serta aktivitasaktivitas yang berkaitan dengan keterampilan sebagat berikut:

a. Sikap Tanggap

Guru harus bersikap tanggap terhadap segala aktivitas belajar dan kegiatan

siswa di kelas:

216
1) Memandang secara seksama ke seluruh sudut ruangan dan kepada seluruh

siswa secara bergantian.

2) Gerak mendekati, yaitu guru mendekati siswa yang menimbulkan

gangguan atau kepada siswa yang menunjukakan aktivitas belajar dengan

baik dan tekun di kelas.

3) Memberi pernyataan positif terhadap perilaku siswa baik dan positif serta

pernyataan nasehat atau teguran terhadap perilaku yang bersifat negatif

siswa.

4) Memberi reaksi terhadap gangguan dan ketakacuhan yang dilakukan atau

diakibatkan oleh siswa.

b. Membagi Perhatian

Pengelolaan kelas yang efektif terjadi bila guru mampu membagi

perhatiannya kepada beberapa kegiatan yang berlangsung dalam waktu yang

sama. Membagi perhatian dapat dilakukan dengan cara:

1) Visual, yaitu dengan pandangan mata atau gerakan tubuh lainnya.

2) Verbal, yaitu dengan kata-kata

c. Pemusatan Perhatian Kelompok

Guru mengambil inisiatif dan mempertahankan perhatian siswa dan

memberitahukan (dapat dengan tanda-tanda) bahwa ia bekerjasama dengan

kelompok atau subkelompok yang terdiri dari tiga sampai empat orang. Untuk itu

ada beberapa hal yang dapat dilakukan guru yaitu:

1) Memberi tanda

2) Pertanggungan jawab

217
3) Pengarahan dan petunjuk yang jelas

4) Penghentian

5) Penguatan

6) Kelancaran (Smoothnees)

7) Untuk kelancaran proses pembelajaran hal dibawah ini harus dihindari

a. Bertele-tele (Overdivelling)

b. Mengulangi penjelasan yang tidak perlu.

2. Keterampilan yang Berhubungan dengan Pengembangan Kondisi Belajar yang

Optimal

Keterampilan ini berkaitan dengan sikap tanggap guru terhadap gangguan

yang disebabkan oleh siswa yang berkelanjutan, bertujuan mengembalikan

kondisi belajar yang optimal. Apabila terdapat siswa yang menimbulkan

gangguan yang berulang-ulang walaupun guru telah menggunakan tingkah laku

dan tanggapan yang sesuai, akan tetapi belum juga berhasil sebaiknya guru

meminta bantuan kepala sekolah, konselor sekolah, atau orang tua siswa untuk

membantu mengatasinya.

Dalam batas tingkatan tertentu guru dapat menggunakan seperangkat

strategi untuk tindakan perbaikan terhadap tingkah siswa vang terus-menerus

menimbulkan gangguan di kelas. Menurut Mulyasa strategi yang dapat

dikembangkan adalah sebagai berikut:

a) Modifikasi Tingkah Laku, dengan cara-cara:

1) Mengajarkan perilaku baru dengan contoh dan pembelajaran

2) Memingkatkan perilaku yang baik melalui penguatan

218
3) Mengurangi perilaku buruk dengan hukuman

b) Pendekatan pemecahan masalah kelompok melalui:

1) Peningkatan kerjasama dan keterlibatan

2) Menangani konflik dan memperkecil masalah yang timbul

c) Menemukan dan mengatasi perilaku yang menimbulkan masalah dengan cara-

cara:

1) Pengabaian yang direncanakan.

2) Campur tangan dengan isyarat

3) Mengawasi secara ketat.

4) Mengakui perasaan negatif peserta didik.

5) Mendorong peserta didik unmtuk mengungkapkan perasaannya.

6) Menjauhkan benda-benda yang dapat menganggu konsrentasi.

7) Menyusun kembali program belajar.

8) Menghilangkan ketegangan dengan humor.

9) Mengekang secara fisik.

D. Keterampilan Bertanya

Keterampilan bertanya dalam kegiatan pembelajaran di kelas, bagi seorang

guru merupakan keterampilan yang sangat penting untuk dikuasai. Melalui

keterampilan ini guru dapat menciptakan uasana pembelajaran lebih bermakna.

Keterampilan bertanya dapat membantu guru mengurangi kebosanan, manakala

selama berjam-jam guru menjelaskan materi pelajaran tanpa diselingi dengan

pertanyaan ketika menggunakan metode ceramah, pertanyaan akan membuat

suasana kelas lebih dinamis walaupun pertanyaan yang diajukan hanya sekedar

219
pertanyaan pancingan, atau pertanyaan untuk mengajak siswa berpikir. Model dan

metode pembelajaran apa pun yang digunakan seorang guru, bertanya merupakan

kegiatan yang selalu merupakan bagian yang tidak terpisahkan. Menurut Nina

Sanjaya Pertanyaan yang baik, memiliki dampak yang positif terhadap siswa, di

antaranya :

a) Dapat meningkatkan partisipasi siswa secara penuh dalam proses

pembelajaran.

b) Dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa, sebab berpikir itu sendiri

pada hakikatnya bertanya.

c) Dapat membangkitkan rasa ingin tahu siswa, serta menuntun, siswa untuk

menemukan jawaban.

d) Memusatkan siswa pada masalah yang sedang dibahas.

Mengingat pentingnya keterampilan bertanya dalam proses pembelajaran,

maka setiap guru harus memiliki keterampilan ini, untuk menjamin kualitas

pembelajaran. Di bawah ini dijelaskan, tentang dasar-dasar pertanyaan yang baik,

jenis-jenis pertanyaan dan teknik-teknik bertanya.

1. Dasar-dasar Pertanyaan yang Baik

Untuk dapat menghasilkan pertnyaan yang baik dan modal, diterima dan

dicerna untuk kemudian diberikan jawaban oleh beberapa dasar yang harus

diperhatikan sebagai berikut:

a) Pertanyaan harus jelas dan mudah dimengerti oleh siswa.

b) Dalam memberikan pertanyaan berikan informasi yang memadai untuk

menjawab pertanyaan.

220
c) Pertanyaan terfokus pada suatu masalah.

d) Berikan kepada siswa waktu yang cukup mempersiapkan jawaban.

e) Distribusikan semua pertanyaan kepada seluruh siswa secara merata.

f) Berikan stimulus dan respon yang ramah agar siswa tergerak untuk mau

menjawab pertanyaan yang diajukan.

g) Bimbinglah siswa agar dapat menemukan jawaban sendiri dengan baik

dan benar

2. Jenis-jenis Pertanyaan

Pertanyaan bisa dilihat dan aspek tujuannya, tingkat kesulitan jawaban

yang diharapkan atau taksonomi menurut Bloom.

a. Pertanyaan menurut tujuannya

1) Pertanyaan permintaan (compliance question), yaitu pertanyaan yang

menghendaki kepada siswa untuk memberikan jawaban dalam bentuk

tindakan atau perbuatan.

Contoh:

Dapatkah kamu menunjukkan wilayah daerah kekuasaan kerjaaan

Abasyiah pada peta yang kamu pegang?

2) Pertanyaan retoris (rhetorical question), adalah jenis pertanyaan yang

tidak menghendaki jawaban dan siswa, akan tetapi guru sendiri yang

menjawabnya. Pertanyaan ini diajukan denan tujuan menjelaskan

sesuatu yang diawali dengan pertanyaan?

Contoh:

221
Mengapa cita-cita mendirikan negara berdasrakan syaraiat Islam di

Indonesia tidak pernah terwujud? Sebab umat Islam Indenesia.... dst.

3) Pertanyaan mengarahkan atau menuntun (prompting question), adalah

pertanyaan yang betujuan untuk mengarahkan proses berpikir siswa,

untuk memperbaiki atau menemukan jawaban yang lebih tepat dari

jawaban yang diberikan sebelumnya.

Contoh :

Guru : Mengapa umat Islam mengalami kemunduran?

Siswa : Karena kurangnya persataun dan kesatuan umat Islam

Guru : Apa yang menyebabkan kurangnya persatuan dan kesatuan

umat Islam

Siswa : (diarn tidak menjawab)

Guru : Karena lebih mementingkan kepentingan pribadi atau

golongan ?

4) Pertanyaan menggali (probing question), adalah pertanyaan yang

mengharapkan siswa agar dapat memperbaiki kualitas dan kuantitas

jawaban yang diberikan. Pertanyaan ini sang penting untuk dapat

meningkatkan aspek kemampuan berlajar siswa.

Contoh :

Guru : Mengapa setup manusia perlu beribadah kepada Allah Swt?

Siswa : Karena manusia mahluk Alla Swt

Guru : Lalu, apa hubungannya antara makhluk Allah dengan

ibadah?

222
b. Pertanyaan dilihat dari tingkat kesulitan jawaban yang diharapkan bisa terdiri

dari pertanyaan tingkat rendah dan pertanyaan tingkat tinggi.

1) Pertanyaan pengetahuan (knowledge question)

Pertanyaan pengetahuan adalah pertanyaan dengan tingkat kesulitan

yang paling rendah, karena hanya mengandalkan menuntut jawaban

berupa kemampuan mengingat fakta atau data, oleh sebab itu

pertanyaan ini sering dinamakan dengan pertanyaan yang hanya

menghendaki siswa dapat mengungkapkan kembali (recall question).

Contoh:

Kapan peristiwa hijrah Nabi Muhammad Saw berlangsung?

Sebutkan pusat pemerintahan Abasyiyah?

2) Pertanyaan pemahaman (comprehension question) Dilihat dari tingkat

kesulitan jawaban yang diharapkan pertanyaan pemahaman lebih sulit

dibandingkan dengan pertanyaan pengetahuan, oleh sebab itu untuk

mengukur kemampuan pemahaman sebagai hasil belajar maka: “kata-

kata operasional yang cocok dipakai untuk dipakai dalam merumuskan

indikator hasil belajar yang menyangkut kemampuan ini antara lain

adalah membedakan, menyajikan, mengatur, menginterpretasikan,

menjelaskan, mendemonstrasikan, memberi Contoh, mengambil

kesimpulan.”

Contoh:

Bandingkan perbedaan antara akhlak mahmudah dengan akhlak

maimumah?

223
Contoh lainnya:

jelaskan apa yang disebut dengan thoharoh?

Pertanyaan aplikatif (aplication question)

3) Adalah pertanyaan yang menghendaki jawaban agar siswa dapat

menerapkan pengetahuan yang telah din-.Lilikinya dengan cara

memlih suatu abstraksi tertentu (konsep, hukum, dalil, aturan, gagasan,

cara) secara tepat.

Contoh:

Kamu telah belajar baganinana cara menghitung zakat. Nah, sekarang

coba kamu hitung berapa besar zakat emas 200 gram, bila di bayar

dalam bentuk uang dengan ketentuan satu gram emas RP 100.000,-.

4) Pertanyaan analisis (Analysis question)

Pertanyaan analisis adalah pertanyaan yang menghendaki agar siswa

dapat menguraikan hubungan atau situasi yang komplek atas konsep-

konsep dasar.

Contoh:

Coba Anda uraikan mengapa pada saat mendung bulan purnama tidak

muncul?

5) Pertanyaan sintesis (synthesis question)

Pertanyaan sintesis menghendaki agar siswa dapat menggabungkan

atau menyusun kembali hal-hal yang spesifik untuk dan

mengembangkan struktur baru.

Contoh:

224
Kita telah mempelajari tentang masuk dan berkembangnya Islam di

Indonesia. Sekarang coba kamu buat jalur penyebab Islam di Indonesia

pada peta Indonesia.

c. Pertanyaan evaluasi (evaluation question), adalah pertanyaan yang

menghendaki jawaban siswa mampu menerapkan pengetalmm dan

kemampuan yang telah dimiliki untuk menilai sesuatu kasus yang terjadi.

Contoh:

Bagaimana pendapatmu tentang pelaksanaan program Keluarga Berencana

menurut ajaran Agama Islam?

3. Komponen-komponen Keterampilan Bertana

a. Keterampilan bertanya tingkat dasar

Untuk dapat mengajukan pertnyaan dengan baik seseorang harus

menguasai teknik-teknik keterampilan bertanya. Di bawah ini dijelaskan beberapa

keterampilan teknik bertanya sebagai berikut

1) Penggunaan pertanyaan secara jelas dan singkat

Dalam mengajukan pertanyaan yang diajukan yaitu jelas dan singkat

dengan menggunakan bahasa atau kata-kata yang disesuaikan dengan tarap

perkembangan siswa.

2) Pemberian tuntunan

Apabila guru menemukan siswa yang tidak atau belum tepat menjawab,

maka beri kesempatan dan tuntunan kepada siswa untuk menemukan untuk dapat

menemukan jawaban dengan baik dan tepat.

3) Tunjukkan keantusiasan dan kehangatan

225
Yang dimaksud dengan kehangatan dan keantusiasan adalah cara guru

mengekspresikan pertanyaan atau menjawab pertanyaan. Kehangatan dan

antusiasme dapat ditunjukkan dengan penciptaan suasana keakraban dan

kekeluargaan, tidak terkesan tegang dengan tidak mencibir, memelototi siswa atau

memperhatikan secara berlebihan.

4) Berikan waktu dan kesempatan secukupnya kepada siswa untuk berpikir

Guru harus sabar menunggu siswa untuk menemukan jawaban yang sesuai

dengan harapan guru. Jangan terburu-buru untuk menyimpulkan bahwa siswa

tidak mampu menjawab, karena pada dasarnvya siswa akan dapat menjawab

pertanyaan yang diajukan bila diberikan waktu dan kesempatan yang cukup.

5) Atur lalu lintas bertanya

Guru harus tanggap mengatur giliran siswa menjawab pertanyaan mulai

menemukan dari siapa yang mendapat kesempatan untuk menjawab, dan siapa

yang mendapat kesempatan untuk menjawab berikutnya. Dan guru harus

mengusahakan agar jawaban tidak dijawab serempak oleh siswa.

6) Hindari pertanyaan ganda

Pertanyaan ganda adalah pertanyaan yang menghendaki beberapa jawaban

sekaligus. Pertanyaan ganda akan membingungkan dan mengacaukan proses

berpikir siswa. Contoh apa yang menyebabkan kehancuran kerajaan Islam di

Cordoba serta apa akibatnya dari kehancuran kerjaan Islam di Cordoba. Bagi

siswa pertanyaan seperti di atas menyulitkan dan akan membingungkan, karena

siswa harus berpikir tidak teratur serta tidak sistematis.

b. Keterampilan bertanya tingkat lanjut

226
Adapun keterampilan bertanya tingkat lanjutan meliputi:

1) Mengubah tingkat pertanyaan kognitif secara berjenjang

Yang dimaksud dengan mengubah tingkat pertanyaan secara kognitif

secara berjenjang adalah pengaturan pertanyaan ym climulai dari pertanyaan

tingkat kognitif terendah ke pertanyaan tingkat kognitif tinggi. Yaitu pertanyaan

diawali dengan ingatan, diikuti pertanyaan pemahaman, penerapan, analisis dan

seterusnya. Hal ini sangat penting untuk meningkatkan mental berpikir siswa.

2) Mengatur urutan Pertanyaan

Guru dalam mengajukan pertanyaan harus secara beruntun mulai dari yang

paling mudah kepada yang sedang dan yang paling sukar. Atau mulai dari konkret

kepada yang abstrak. Mulai dari indikator kepada variabel baru kepada teori. Atau

mulai dari ingatan ke pemahaman, penerapan, analisis, sintetis dan evaluasi.

3) Mengggunakan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya melacak pertanyaan-

pertanyaan yang sifatnya melacak sangat diperlukan untuk menggali dan

meningkatkan kualitas bertanya sebagai alat pembelajaran. Pertanyaan pelacak

digunakan apabila jawaban yang diberikan siswa masih belum sempurna atau

kurang tepat. Ada beberapa teknik yang dapat digunakan untuk melacak

jawban siswa yang meliputi:

a) Klarifikasi

Klarifikasi dilakukan apabila susunan kalimat jawaban yang, diberikan

siswa masih rancu atau belum sempurna dimana siswa diharapkan memperbaiki

jawaban yang telah diberikan. Misalnya:

227
(1) Apakah kamu bisa mengemukakan kembali jawaban yang kamu

berikan dalam kalimat yang lain?

(2) Apakah kamu bisa menjawab dengan kalimat yang lebih singkat\

b) Meminta siswa memberikan alasan

Permintaan untuk mengemukakan alasan atas jawaban siswa yang

berdasarkan alur pikir atau pendapat sendiri. Siswa diharapkan dapat

menggunakan argumen yang tepat atas jawaban yang telah diberikan sebelumnya.

Misalkan:

(1) Apakah kamu dapat memberikan alasan yang tepat untuk menunjang

jawaban yang kamu kemukakan?

(2) Bukti apa yang dapat kemukakan untuk mendukung jawaban yang

kamu berikan?

c) Meminta contoh

Permintaan memberi contoh apabila jawaban yang diberikan siswa belum

jelas dalam hal ini guru dapat memberikan pertanyaan lanjutan dengan meminta

contoh sebagai ilustrasi atas jawaban yang telah diberikan sebelumnya. Misalnya:

(1) Apa.kah dapat diberikan contoh untuk memperkuat jawabanmu?

(2) Adakah peristiwa yang dapat mendukung jawabanmu itu?

d) Meminta jawaban yang lebih relevan

Meminta jawaban yang lebih relevan dilakukan apabila siswa memberi

jawaban yang kurang relevan. Misalnya:

228
G : Apa yang menyebabkan terjaclinva pembangkangan pembayaran

zakat pada masa Abubakar?

S : Kaum yang tidak mau membayar zakat ingin kaya. G: Apa hubungan

jawabanmu denan pembangkangan pembayaran zakat pada masa

khalifah Abu Bakar?

e) Meminta kesepakatan jawaban

Pertanyaan meminta kesepakatan bertujuan untuk meminta kesepakatan

bersama atas jawaban yang telah diberikan oleh satu atau beberapa orang siswa.

Misalnya:

1) Apakah kelas setuju dengan jawaban Ahmad?

2) Apakah ada yang memilki pendapat lain?

3) Siapa yang tidak setuju dengan pendapat Ali tadi?

f) Meminta jawaban yang lebih kompleks

Pertanyaan meminta jawaban yang lebih komplit diberikan apabila

jawaban yang diberikan oleh siswa masih sangat sederhana. Adapun pertanyaan

lanjutan yang dapat diberikan misalnya:

(1) Apakah kamu dapat melengakapi jawabanmu?

(2) Apakah kamu dapat memperluas jawaban yang kamu berikan?

4) Menggupayakan Terjadinya Interaksi

Guru dapat mengembangkan interaksi antar siswa dalam kegiatan

pembelajran dengan cara antara lain: (1) pertanyaan hendaknya ditujukan dan di

jawab oleh seorang siswa, akan tetapi seluruh siswa diberi kesempatan singkat

untuk mendiskusikan, jawabannya bersama teman sebangkunya atau duduk

229
berdekatan; (2) guru hendaknya menghindari sebagai sentral dalam jawaban, atas

pertanyaan. Siswa, apabila ada pertanyaan yang diajukan siswa, guru tidak

langsung menjawab. Akan tetapi melontarkannnya kepada siswa lainnya.

E. Keterampilan Dasar Menjelaskan

Menjelaskan merupakan salah satu kegiatan guru terpenting dalam proses

pembelajaran. Untuk mengasah keterampilan kognitif diperlukan penjelasan, cara

menerapakan nilai dan sikap perlu dijelaskan, dan agar siswa terampil

mengerjakan atau melakukan sesuatu maka perlu penjelasan terlebih dahulu.

Karenanya guru harus menguasai dengan baik keterampilan menjelaskan.

Keterampilan menjelaskan pada dasarnya merupakan keterampilan

berkomunikasi secara lisan yang bersifat kelompok maupun antar personal yaitu

antara guru dengan seluruh siswa atau terkadang antara seorang guru dengan

seorang siswa. Karena keterampilan menjelaskan merupakan keterampilan

berkomunikasi secara lisan, maka perlu diperhatikan hal-hal dibawah ini:

1. Prinsip-prinsip Menjelaskan

Ada beberapa prinsip yang harus diperhatikan dalam menjelaskan sebagai

berikut:

a. Penjelasan dapat diberikan selama pembelajaran berlangsung, baik di

awal, di tengah maupun diakhir pelajaran.

b. Guru harus mengusahakan terjadinya kontak pribadi secara terus-

menerus dengan siswa selama kegiatan proses penjelasan berlangsung.

c. Guru harus menguasai, tegas dan meyakinkan dalam menjelasakan

materi pelajaran.

230
d. Menguraikan materi pokok disertai dengan fakta dan data serta

pendapat sendiri secara sistematis dan logis

e. Penjelasan harus menarik perhatian siswa dan sesuai dengan

kompetensi dasar, standar kompetensi, materi pokok dan indikator

pembelajaran.

f. Penjelasan dapat diberikan untuk menjawab pertanyaan peserta didik

atau menjelaskan materi standar yang sudah direncanakan untuk

membentuk kompetensi dasar dan mencapai tujuan pembelajaran.

g. Jangan terpancing emosional menjawab pertanyaan siswa yang kadang

tidak sesuai dengan materi pelajaran yang dibahas.

h. Materi yang dijelaskan harus sesuai dengan kompetensi dasar, dan

bermakna bagi peserta didik.

i. Penjelasan yang diberikan harus sesuai dengan latar belakang dan

tingkat kemampuan peserta didik.

2. Tipe-tipe Keterampilan Menjelaskan

Ada tiga tipe keterampilan mejelaskan yaitu: 1) tipe generalisasi, 2) tipe

generalisasi berdasarkan maksud dan fungsi, 3) tipe serial.

a. Tipe generalisasi

Tipe menjelaskan generalisasi adalah keterampilan menjelaskan dari hal-

hal yang umum (definisi, kesimpulan) kemudian diuraikan kepada hal- hal yang

khusus berdasarkan data-data, fakta serta peristiwa yang mendukungnya.

Berdasrkan defenisi atau kesimpulan tersebut guru mencari data empirik dan bila

231
perlu didukung data statistik untuk mendukung kebenaran suatu definisi dan

kesimpulan.

b. Tipe generalisasi berdasarkan maksud dan fungsi

Tipe ini adalah keterampilan menjelaskan suatu tujuan dan fungsi dari

suatu definisi atau pernyataan. Deegan demikian siswa dapat mengetahui apa

maksud yang terkandung dari suatu pernyataan yang telah diberikan seorang guru.

c. Tipe serial

Tipe menjelaskan serial adalah keterampilan menjelaskan berdasarkan

tahapan-tahapan perkembangan, urutan, keturunan, secara genetis, menjelaskan

secara kronologis atau berdasarkan ururtan sejarah dan urutan waktu.

3. Langkah-langkah dalam menjelaskan

Menurut E. Mulyasa: ada dua langkah utama dalam keterampilan

menjelaskan yaitu: 1) perencanaan dan 2) penyajian

a. Perencanaan

Dalam merencanakan suatu penjelasan kepada siswa ada beberapa hal

yang harus diperhatikan berkaitan dengan isi pesan (materi standar) sebgai

berikut:

(1) buatlah garis besar materi atau pesan yang akan disampaikan

(2) susunlah garis besar materi tersebut secara berurutan logis dan sistematis

dengan menggunakan bahasa yang mudah dipahami sesuai dengan tingkat

perkembangan siswa.

232
(3) Bila diperlukan siapkan alat peraga dan sumber belajar yang dibutuhkan untuk

memberikan contoh dan ilustrasi yang sesuai dengan garis besar yang akan

disampaikan.

Sedangkan dalam merencanakan penjelasan yang berkaitan dengan peserta

didik harus diperhatikan; jenjang pendidikan siswa, entering behaviour siswa,

latar belakang sosial serta lingkugnan belajar

b. Penyajian

Dalam menyajikan ada beberapa hal yang harus diperhatikan dan dihindari

yaitu:

(1) Menggunakan bahasa. Indonesia yang baik dan benar, dan baru

menggunakan bahasa daerah atau bahasa lainnya kalau memang sangat

diperlukan.

(2) Bahasa yang diucapkan harus bisa di dengar oleh seluruh siswa, tidak

terlalu pesan atau terlalu keras.

(3) Gunakan variasi intonasi suara sesuai dengan materi yang dijelaskan

(4) Berilah definisi yang tepat terhadap istilah baru atau katakata serapan

dari bahasa daerah atau bahasa asing.

(5) Perhatikan apakah seluruh siswa dapat menerima dan mengerti

penjelasan yang diberikan.

(6) Usahakan penjelsan yang diberikan dapat menyenangkan serta dapat

membangkitkan motivasi belajar siswa.

(7) Gunakan bahasa tubuh untuk mendukung dan memperkuat penjelasan

yang diberikan.

233
(8) Gunakan pola miduktif atau pola deduktif dalam menjelaskan sesuai

dengan kebutuhan.

(9) Berikan ikstisar dan pengulangan serta kesimpulan pada saat akan

mengakhiri penjelasan dan pembelajaran.

(10) Memberikan tanda atau isyarat terhadap, meteri yang esensial

4. Komponen-komponen keterampilan menjelaskan

Adapun komponen-komponen keterampilan menjelaskan, meliputi: 1)

Terang dan tidak samar, 2) Pengunaan contoh-contoh, 3) Penekanan atau

pementingan, 4) Umpan Balik.

a. Terang dan tidak samar

Agar penjelasan yang diberikan terang dan tidak samar harus

menggunakan bahasa yang sederhana dan mudah ditangkap oleh siswa. Dan

hindari bahasa yang samar seperti di bawah ini :

(1) pementingan negatif. tidak begitu banyak, tidak juga, tidak sering, tidak

seberapa.

(2) membal: kata orang, kata mereka, dikatakan dan sebagainya

(3) mendekati: kurang lebih, sebanyak, seperti, hampir semua, hampir

(4) jumlah yang tidak pasti; sekelompok, beberapa, kadang-kadang, sedang-

sedang dan sebagainya.

b. Pengunaan contoh-contoh

Penggunaan contoh dalam menjelaskan dapat memperjelas sesuatu yang

abstrak, menarik perhatian, dan dapat mempermudah proses belajar mengajar.

234
Pemberian contoh dapat dilakukan dengan membandingkan, membedakan,

mendemostrasikan, memperagakan, membuat permainan dan sebagainya.

c. Penekanan atau pementingan

Penekanan atau pementingan akan suatu materi pelajaran yang penting

atau esensial dapat dilakukan dengan penanda-petian sebgai berikut:

1) kata: pertama, kedua, ketiga, dasarnya, pentingnya, yang penting terutama dan

sebagainya.

2) kelompok kata atau potongan kalimat: butir yang pertama, yang perlu

diketahui, jangan lupa hal ini, perhatikan konsep ini, ingatlah hal ini dengan

baik, ada dua kesimpulan dan sebagainya.

d. Umpan balik

Untuk mengetahui tingkat keberhasilan yang disampaikan, guru harus

mencari umpan balik. Untuk mencari umpan balik dpat dilakukan dengan

melontarkan pertanyaan melacak, memberikan persoalan yang harus diselesaikan

oleh siswa, memberikan kesempatan kepada siswa untuk bertanya atau

mendiskusikannya atau membuat rangkuman penjelasan yang diberikan guru.

F. Keterampilan Dasar Pemberian Variasi

1. Pengertian

Dalam kegiatan proses belajar mengajar suatu saat baik guru dan terutama

siswa akan merasakan kejenuhan atau kebosanan. Kejenuhan atau kebosanan yang

mengalami bisa diakibatkan cara mengajar yang monoton, hanya menggunakan

satu metode pembelajaran saja, tidak digunakannya alat peraga dalam proses

pembelajaran serta gaya mengajar guru.

235
Bila terjadi kebosanan dalam proses pembelajaran di kelas maka

dampaknya akan besar terhadap siswa, mulai dari kurangnya perhatian,

mengantuk, mengoborol, melakukan aktivitas sendiri, mencari perhatian bahkan

tak terhindari ada siswa yang mencoba mengganggu teman lainnya.

Bila hal ini terjadi guru harus mengadakan variasi dalam mengajar. Variasi

dalam mengajar adalah salah satu keterampilan guru dalam proses interaksi

belajar mengajar yang bertujuan untuk mengatasi tingkat kebosanan belajar siswa,

sehingga siswa menunjukkan kembali ketekunan, kegairahan serta partisipasi

dalam proses pembelajaran.

Dengan kemampuan guru dalam variasi mengajar baik gaya mengajar,

penggunan alat dan media pembelajaran serta variasi dalam pola interaksi belajar

mengajar. Maka proses pembelajaran yang efektif dan efisien bisa diwujudkan

oleh guru bersama-sama dengan siswa.

2. Tujuan Variasi Pengajaran

Tujuan utama dari penggunan variasi mengajar adalah, membangkitkan

perhatian, minat serta motivasi belajar siswa. Namun bila diuraikan lebih lanjut

maka penggunaan variasi mengajar betujuan antara lain untuk:

a) Membangkitakan, meningkatkan serta memelihara perhatian, siswa selama

proses pembelajaran berlangsung.

b) Pemberian kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan bakat dan

minatnya terhadap hal-hal yang baru.

c) Memberikan kesempatan kemungkinan berfungsinya motivasi belajar

siswa.

236
d) Memberi kesempatan kepada siswa untuk memperoleh cara menerima

pelajaran yang disenanginya.

e) Memupuk dan membentuk sikap positif siswa terhadap guru di sekolah.

f) Memberi kesempatan kepada peserta didik untuk belajar sesuai dengan

tingkat perkembangan dan kemampuannya.

g) Memberi kemungikanan kesempatan belajar secara individual.

h) Menyediakan lingkungan yang kondusip bagi siswa untuk belajar.

3. Komponen-komponen Variasi Mengajar

Terdapat tiga komponen utama dalam variasi mengajar yaitu variasi gaya

mengajar, variasi penggunaan alat dan media pembelajaran serta variasi dalam

interaksi belajar mengajar.

a. Variasi gaya mengajar

Variasi gaya mengajar yang dapat dikembangkan meliputi:

1) variasi suara (rendah, tinggi, besar, kecil)

2) pemusatan dan penekanan perhatian siswa

3) membuat kesenyapan, kebisuan dan selingan dram sementara.

4) mengadakan kontak pandang dengan siswa

5) penggunaan bahasa tubuh atau gerakan anggota badan

6) perubahan posisi guru dari depan ke belakang atau dari kiri ke kanan

b. Variasi dalam penggunaan alat, media dan sumber belajar

Variasi dalam penggunaan alat, media dan sumber belajar meliputi:

1) Penggunaan alat, media dan sumber belajar yang dapat didilihat (grafik,

bagan, foster, diorama, spesimen, gambar, film, dan. slide.

237
2) Penggunaan alat, media dan sumber belajar yang didengar (suara radio,

tape recorder, musik, sosiodarama, deklamasi puisitasi, telepon.

3) Penggunaan alat, media dan sumber belajar yang dapat dilihat dan

didengar (televisi, kamera in focus, LCD, telkomfrens, internet).

4) Penggunaan alat, media dan sumber belajar yang dapat diraba

dimanipulasi dan digerakkan (model, spesimen, topeng, patung, dan

boneka)

5) Penggunaan alat, media dan sumber belajar yang dapat didengar, dilihat,

dan diraba (film, televisi, slide proyektor)

c. Variasi dalan pola interaksi belajar-mengajar.

Beberapa pola interaksi antara guru dan siswa itu digambarkan pada

halaman berikut ini.

1) interaksi satu arah yaitu interkasi antara guru dan siswa, dimana guru

menenpatkan diri sebagai pusat interaksi terhadap seluruh siswa. Dan bila

digambarkan sebagai berikut:

S S S

2) Pola Interaksi Dua arah, yaitu merupakan pola interaksi yang

dikembangkan dari guru kepada siswa dan juga memberi kesempatan

kepada siswa untuk berinteraksi kepada siswa

238
S S S

3) Pola Interaksi Multi-Arah yaitu pola interaksi yang dikembangkan antara

guru dengan siswa dan siswa dengan guru dan juga interaksi antar siswa

sendiri secara bergantian. Dan bila digambarkan sebagai berikut:

S S S

Pola interaksi antar guru dan siswa di atas dapat dilakuka ia dengan cara-

cara:

a) Variasi terhadap tempat pemebelajaran (di kelas atau di luar kelas)

b) Variasi dalam pcngaturan hubungan guru dan siswa (langsung

tidak langsung)

c) Variasi dalam pengorganisasian penyampaian (deduktif, induktif)

d) Variasi dalam pendekatan pembelajaran (individual, kelompok,

kebermaknaan)

e) Variasi dalam pengelompokkan siswa (klassikal, kelompok kecil,

kelompok besar)

f) Varisi dalam pengaturan guru (tunggal, atau kelompok mata

pelajaran)

G. Keterampilan Memberikan Penguatan

1. Pengertian

Keterampilan dasar penguatan adalah segala bentuk respons guru yang

merupakan bagian dari upaya modifikasi tingkah laku guru terhadap tingkah laku

239
siswa, yang bertujuan untuk memberikan informasi atau umpan balik bagi siswa

atas perbuatan atau responsnya terhadap stimulus yang diberikan guru sebagai

suatu dorongan atau koreksi. Dengan keterampilan penguatan (reinforcement)

yang diberikan guru, maka siswa akan terbiasa untuk memberikan respons yang

dianggap perlu setiap kali muncul stimulus dari guru serta berusaha menghindari

respons yang dianggap tidak perlu dan tidak bermanfaat. Dengan demikian fungsi

keterampilan penguatan (reinforcement) itu adalah untuk memberikan ganjaran

dalam rangka membesarkan hati siswa guna menmgkatkan partisipasmya dalam

setiap proses pembelajaran.

Adapun apa tujuan dari pemberian penguatan atau reinforcement itu

adalah:

a) Meningkatkan perhatian siswa terhadap proses pembelajaran yang sedang

berlangsung dan materi pelajaran yang sedang dibahas.

b) Meningkatkan motivasi dan minat belajar siswa.

c) Meningkatkan partispasi siswa dalam pembelajaran dan mengarahkan

kepada prilaku yang produktif.

2. Jenis-jenis penguatan

Secara umum jenis-jenis penguatan yang biasa diberikan oleh guru terdri

dari penguatan verbal dan nonverbal.

a. Penguatan Verbal

Penguatan verbal adalah penguatan yang diungkapkan melalui kata-kata

yang diucapkan oleh guru baik kata-kata pujian dan penghargaan atau kata-kata

koreksi. Dengan kata-kata yang diucapkan dan diberikan oleh guru itu siswa akan

240
merasa tersanjung dan berbesar hati serta merasakan aktualisasi dirinya diakui

oleh guru dan teman-temannya, sehingga ia akan merasa puas dan terdorong

untuk lebili aktif dan produktif dalam belajar. Misalnya ketika guru mengajukan

sebuah pertanyaan kemudian dijawab siswa dengan tepat maka guru memberikan

pujian kepada memuji siswa tersebut dengan mengatakan: “Seratus buat kamu..!”

atau “Sangat tepat jawabaninu” “Wah ... cerdas kamu”, dan lain sebagainya.

Demikian juga ketika guru mendapat jawaban siswa yang kurang sempurna, guru

berkata “Hampir sempurna... atau “jawabanmu mendekati apa yang seharusnya”

atau “Seratus kurang tiga puluh...”, dan lain sebagainya Ungkapan-ungkapan yang

diberikan guru untuk menunjukkan kepada siswa bahwa jawaban yang diberikan

masih perlu disempurnakan.

b. Penguatan Non-Verbal

Penguatan nonverbal merupakan penguatan yang deberikan oleh guru

melalui ungkapan bahasa isyarat dengan menggunakan bahasa tubuh. Misalnya

melalui acungan jempol tanda atau anggukan kepala tanda setuju, gerakan telapak

tangan ke kiri dan ke kanan serta gelengan kepala tanda tidak setuju,

mengernyitkan dahi mengangkat pundak, dan lain sebagainya. Selain itu

penguatan non-verbal juga bisa dilakukan dengan gerakan mendekati siswa

melakukan sentuhan menepuk-nepuk bahu siswa atau menjabat tangan siswa

setelah siswa memberikan respons, yang baik. Penguatan kepada siswa oleh guru

dapat juga dilakukan melalui pemberian kegiatan dan tugas-tugas yang

menyenangkan, misalkan siswa yang merniliki kernampuan berpidato diberi

kesempatan untuk menyampaikan kata sambutan dalam acara tertentu di sekolah.

241
3. Prinsip-prinsip memberikan penguatan

Hal-hal di bawah”ini harus diperhatikan dalam memberikan penguatan

agar penguatan itu dapat meningkatkan motivasi belajar siswa.

a) Berikan penguatan dengan penuh kehangatan dan keantusiasan

b) Kebermaknaan dalam artian penguatan diberikan sesuai dengan respon dan

tingkah laku siswa sehingga menimbulkan keyakinan dalam diri siswa ia

pantas diberikan penguatan.

c) Hindati respon yang bersifat negatif terhadap respon dan tingkah laku siswa.

d) Gunakan Penguatan yang bervariasi dengan teknik penguatan verbal maupun

penguatan nonverbal.

e) Berikan penguatan dengan sesegera mungkin terhadap respon dan tingkah

laku siswa yang muncul.

242
BAB X

MENGELOLA PEMBELAJARAN SECARA EFEKTIF

A. Pengertian Pengelolaan Pembelajaran

Dalam struktur Kurikulum Berbasis Kompetensi Tingkat Satuan

Pendidikan, kegiatan pembelajaran termasuk salah satu komponen yang harus ada,

selain kurikulum dan hasil belajar, penilaian berbasis kelas, dan pengelolaan

kurikulum berbasis madrasah. Kegiatan pengelolaan pengajaran merupakan

gagasan gagasan pokok tentang kegiatan pembelajaran yang akan dijadikan

sebagai pedoman untuk tercapainya standar kompetensi dan kompetensi dasar

yang ditetapkan serta memuat gagasan-gagasan pedagogis dan andragogis untuk

mengelola pembelajaran agar berjalan secara efektif dan efisien.

Dalam bab ini akan dimuat prinsip-prinsip pokok dalam kegiatan

pembelajaran, penyediaan pengalaman belajar, mengernbangkan keterampilan

hidup (life skil siswa, pengelolaan kelas, pengelolaan siswa, pengelolaan

pembelajaran, pengelolaan isi/materi pembelalaran, pengelolaan sumber belajar.

B. Prinsip-prinsip Pengelolaan Pembelajaran

Belajar merupakan aktifitas yang dilakukan oleh peserta dalam rangka

membangun makna atau pemahaman. Karenanya dalam pembelajaran guru perlu

memberikan motivasi kepada siswa untuk menggunakan potensi dan otoritas yang

dimilikinya untuk membangun suatu gagasan. Pencapaian keberhasilan belajar

tidak hanya menjadi tanggung siswa, tetapi guru ikut bertanggung jawab dalam

menciptakan situasi yang mendorong prakarsa, motivasi siswa untuk melakukan

kegiatan belajar sepanjang hayat. Oleh karena itu, dalam mengembangkan

243
kegiatan pembelajaran guru harus memperhatikan beberapa prinsip kegiatan

pembelajaran, sebagai berikut:

1. Berpusat pada peserta didik

Setiap peserta didik pada dasarnya berbeda, dan telah ada dalam dirinya

minat (interest), kemampuan (ability), kesenangan (preference), pengalaman

(experience), dan cara belajar (learning style) yang berbeda antara siswa yang satu

dengn peserta didik lainnya. Begitu juga kemampauan peserta didik dalam

belajar, peserta didik tertentu lebih mudah belajar dengan mendengar dan

membaca, peserta didik lain dengan cara menulis dan mebuat ringkasan, peserta

didik lain dengan melihat, dan yang lain dengan cara melakukan melakukan

belajar secara langsung. Oleh karena itu, guru harus mengorganisasikan kegiatan

pembelajaran, kelas, materi pembelajaran, waktu belajar, alat belajar, media dan

sumber belajar dan cara penilaian yang disesuaikan dengan karakteristik

individual siswa. Karenanya kegiatan pembelajaran yang dikembangkan oleh guru

harus mendorong siswa agar dapat mengembangkan potensi, bakat serta minat

yang dimilikinya secara optimal dan maksimal.

2. Pembalikan Makna Belajar

Dalam konsep tradisonal belajar banyan diartikan penerimaan infomasi

oleh peserta didik dari sumber belajar dalam hal ini guru. Akibatnya pembelajaran

sering diartikan merupakan transfer of knowledge. Dalam kurikulum berbasis

kompetensi makna belajar tersebut harus dibalik dimana belajar diartikan

merupakan proses aktivitas dan kegiatan peserta didik dalam membangun

pengetahuan dan pemahaman terhadap informasi dan atau pengalaman. Dan pada

244
dasarnya proses membangun pengetahuan dan pemahaman dapat dilakukan

sendiri oleh peserta dengan persepsi, pikiran (entering behavior) serta perasaan

siswa.

Konsekuensi logik pembalikan makna belajar dalam kegiatan

pembelajaran menghendaki partsipasi guru dalam bentuk bertanya, meminta

kejelasan, dan bila diperlukan menyajikan sistuasi yang bertentangan dengan

pemahaman peserta didik dengan harapan siswa tertantang untuk memperbaiki

sendiri pemahamannya. Konsekwensi lain dari pembalikan makna belajar ini,

guru lebih banyak berperan membimbing siswa dalam belajar serta menempatkan

diri sebapi fasilitator pembelajaran dengan menempatkan peserta didik yang harus

betanggung jawab dalam membangun pengetahuannya sendiri.

3. Belajar dengan Melakukan

Pada hakikatnya dalam kegiatan belajar siswa melakukan aktivitas-

aktivitas. Aktivitas peserta didik dalam belajar akan sangat ideal bila dilakukan

dalam kegiatan nyata yang melibatkan dirinya, terutama untuk mencari dan

menemukan serta mempraktekkannya sendiri. Dengan cara ini, siswa tidak akan

mudah melupakan apa yang diperolehnya selama mengikuti kegiatan pengajaran

pengetahuan dan pemahaman yang diperolehnya dengan cara mencari dan

menemukan serta mempraktekkan sendiri akan tertanam dalam hati sanubari dan

pikirannya peserta didik karena ia belajar secara aktif dengan cara melakukan.

Dalam pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Agama Islam, materi

sholat dan praketek ibadah lainya akan efektif dan berkesan bagi peserta didik

245
bila dipraktekkan secara langsung ketimbang dengan mengharuskan peserta didik

untuk menghafal tata cara sholat atau ibadah lainnya.

Peserta didik sebaiknya dihadapkan dalam situasi nyata yang

sesungguhnya, kalau tidak mungkin dibuat situasi buatan dan bila tidak

memungkinkan dapat dilakukan dengan audio-visual (dengar-pandang) dengan

mengunakan film strif atau video casset atau CD.

4. Mengembangkan Kemampuan Sosial, Kognitif dan Emosional

Dalam kegiatan pembelajaran siswa harus dikondisikan dalam suasana

interaksi dengan orang lain seperti antar siswa, antara siswa dengan guru, dan

siswa dengan masyarakat. Dengan interaksi yang intensif peserta didik akan

mudah untuk membangun pemahamanya. Guru dituntut untuk dapat memilih

berbagai strategi pengajaran yang membuat peserta didik melakukan interaksi

dengan orang lain, misalnya dengan diskusi, sosiodrama, belajar secara kelompok

dan sebagainya.

Kegiatan pemebelajaran yang dikembangkan guru harus mendorong

terjadinya proses sosialisasi pada diri peserta didik masing-masing, dimana siswa

belajar saling menhormati dan menghargai terhadap perbedaan-perbedaan

(pendapat, sikap, kemampuan maupun prestasi). pembelajaran juga dikembangkan

agar peserta didik mampu bekerjasama serta mampu mengembangkan empati

sehingga peserta didik terdorong untuk saling membangun pengertian yang

diselaraskan dengan pengetahuan dan tindakannya.

5. Mengembangkan Keingintahuan, Imajinasi, dan Fitrah Bertuhan

246
Siswa terlahir dengan memiliki rasa ingin tahu, imajinasi, dan fitrah

bertuhan. Rasa ingin tahu dan imajinasi yang dimiliki siswa rnerupakan modal

dasar untuk bersikap peka, kritis, mandiri, dan kreatif Sedangkan fitrah berTuhan

merupakan cikal bakal manusia untuk beriman dan bertakwa kepada Tuhan.

Dengan pemahaman seperti di atas, maka kegiatan pembelajaran perlu

mengembangkan dan memperhatikan rasa ingin tahu dan imajinasi peserta didik

serta diarahkan pada pengesahan rasa keagamaan sesuai dengan tingkatan usia

peserta didik.

6. Mengembangkan Keterampilan Pemecahan Masalah

Dalam kehidupan sehari-hari setup orang akan dihadapkan kepada

berbagai permasalahan yang harus dipecahkan. Karenanya diperlukan

keterampilan dalam memecahkan masalah. Until terampil memecahkan masalah

seseorang harus belajar rnelalui pendidikan dan pengajaran. Salah satu tolak ukur

keberhasailan belajar siswa banyak ditentukan oleh kemampuannya dan

kecerdasannya dalam memecahkan masalah. Karena itu, dalam proses

pembelajaran perlu diciptakan situasi yang menantang kepada peserta didik untuk

mencari dan menemukan masalah, serta melakukan pemecahan dan megambil

kesimpulan. Agar peserta didik terampil memecahkan masalah guru dapat

mengunakan pendekatan keterampilan proses dalam kegiatan pembelajaran.

Dengan pendekatan keterampilan proses siswa diarahkan untuk dapat

memperoleh keterampilan dasar pemecahan masalah yaitu mengobservasi,

mengklasifikasi, memprediski, mengukur, menyimpulkan dan

mengkomunikasikan. Disamping keterampilan dasar pemecahan masalah peserta

247
didik diharapkan juga memperoleh keterampilan pemecahan masalah secara

tertintegrasi yang meliputi; mengidentifikasi variabel, mendefenisikan variable

secara operasional, menyusun hipotesis, mengumpulkan dan mengolah data,

membuat tabulasi data, menyajikan data dalam bentuk distribusi frekwensi, grafik

histogram atau poligon, menghubungkan antar variabel, analisis terhadap data

penelitian, merancang penelitian serta melakkaukan atau melaksanakan

percoabaan.

7. Mengembangkan Kreatifitas Siswa

Siswa memiliki potensi untuk berbeda. Perbedaan peserta didik terlihat

dalam pola pikir, daya imajinasi, fantasi (pengandaian) dan hasil karyanya.

Karena itu, kegiatan pembelajaran perlu dipilih dan dirancang agar memberi

kesempatan dan kebebasan berkreasi secara berkesinambungan dalam rangka

mengembangkan kreatifitas peserta didik.

Kreativitas merupakan kemampuan mengkombinasikan atau

menyernpurnakan sesuatu berdasarkan data, informasi atau unsur-unsur yang

sudah ada. Secara lebih luas kreativitas merupakan kemampuan yang dimiliki

seseorang dalam menghasilkan komposisi, produk atau gagasan apa saja yang

pada dasarnya baru, dan sebelumnya tidak dikenal pembuatannya. Hasil

kreativitas dapat berbentuk produk semi, kesusastraan, produk ilmiah, atau

mungkin bersifat prosedural atau metodologis.

Pembelajaran yang menuntut siswa berpikir kreatif, yaitu kemampuan-

berdasarkan data dan informasi yang tersedia menemukan banyak kemungkinan

jawaban terhadap suatu masalah, di mana penekanannya adalah kuantitas,

248
ketepatgunaan, dan keragaman jawaban. Ciri-ciri pembelajaran yang mendorong

kereativitas seseorang sebagai berikut: timbul dorongan rasa ingin tabu yang

besar, tertarik terhadap tugas-tugas majemuk yang dirasakan sebagai tantangan,

berani mengambil resiko untuk membuat kesalahan atau untuk dikritik oleh orang

lain, tidak mudah putus asa, menghargai keindahan, mempunyai rasa humor, ingin

mencari pengalaman-pengalaman baru, dapat menghargai baik diri sendiri

maupun orang lain, dan sabagainya.

8. Mengembangkan Kemampuan Menggunakan Ilmu pengetahuan dan

Teknologi

Ilmu Pengetahauan dan teknolgi terus mengalami perkembangan dan

penyempurnaan. Ilmu pengetahuan dan teknologi diciptakan untuk memudahkan

manusia dalam menjalankan kehidupannya. Agar ilmu pnegtahuan dan teknologi

yang telah diproduksi manusia. dapat dimanfaatkan oleh manusia pada umumnya

serta siswa pada khsusnya, siswa perlu mengenal dan mampu menggunakan ilmu

pengetahuan dan teknologi sejak dini, serta tidak gagap terhadap perkembangan

ilmu dan teknologi. Dengan demikian kegiatan pembelajaran diarahkan untuk

memberikan kesempatan dan peluang kepada siswa mernperoleh informasi dari

sumber belajar dan media pembelajaran yang menggunakan teknologi. Siswa juga

dirahkan untuk mengenal dan mampu menggunakan multi media yang dapat

digunakan dalam materi pembelajaran. Salah satu cara yaitu dapat digunakan agar

siswa mengenal dan mampu menggunakan teknologi adalah dengan cara

memberikan tugas yang mengharuskati siswa berhubungan langsung dengan

teknologi, misalnya membuat laporan tentang materi tertentu dari televisi, radio,

249
atau bahkan internet. Atau mempresentasikan tugas yang telah dengan

menggunakan minimal OHP dan bila memungkinkan menggunakan kamera in

fokus.

9. Menumbuhkan Kesadaran sebagai Warga Negara yang Baik

Siswa perlu memperoleh wawasan dan kesadaran berbangsa dan

bernegara. Oleh karena itu, kegiatan pembelajaran perlu memberikan wawasan

nilai-nilai sosial kemasyarakatan, patriotisme dan semangat cinta tanah air yang

dapat membekali siswa agar menjadi warga masyarakat dan negara yang

bertanggung jawab serta memiliki semangat nasionalisme dan kebangsaan.

Pemberian wawasan dan nilai-nilai kebangsaan harus dapat menumbuhkan

kesadaran dalam diri siswa akan kemajemukan bangsa, iklim keragaman latar

geografis, budaya, sosial, adat istiadat, agama, sumber daya alam dan sumber

daya manusia.

Dalam pembelajaran Pendidikan Agana Islam, prinsip ini dapat ditempuh

guru misalnya dengan membuat banyak contoh yang terkait ajaran-ajaran atau

kisah-kisah dalam al-Qur'an atau hadis serta kisah-kisah sahabat mengenal

kewajiban dan tanggung jawab wargnegara kepada negara.

10. Belajar sepanjang hayat

Menurut ajaran Islam, menuntut ilmu diwajibkan bagi setiap muslin mulai

dari buaian samapai liang lahad. Siswa memerlukan kemampuan belajar

sepanjang hayat dalam rangka memupuk dan mengembangkan ketahanan fisik

dan mentalnya. Dalam kegiatan dengan prinsip belajar sepanjang hayat,

pembelajaran diarahkan agar siswa berpikir positif mengenal siapa dirinya,

250
mengenali dirinya sendiri, dengan segala kelebihan dan kekurangan yang

dimilikinya serta mensvukun atas segala rahmat, nikmat serta karunia yang telah

dianugerahkan Tuhan kepada dirinya. Kegiatan pembelajaran perlu membekali

dan menumbuhkan rasa percaya diri, keingintahuan, kemampuan memahami

orang lain, kemampuan berkomunikasi dan bekerjasama yang menuntut dirinya

untuk senantiasa belajar dan terus belajar, baik secara formal di sekolah maupun

secara informal di luar sekolah.

Belajar sepanjang hayat diperlukan, karena dunia pada dasarnya terus

mengalami perkembangan dan penyempurnaan terutama dunia ilmu pengetahuan

dan teknologi, yang menuntut manusia untuk belajar dan terus belajar agar dapat

mengerti dan memahami serta menguasainya.

11. Perpaduan Kemandirian dan Kerjasama

Siswa perlu diberi pengertian dan pemahaman untuk belajar berkompetisi

secara sehat, bekerjasama, dan mengembangkan solidaritasnya. Kompetisi yang

sehat, kerjasama dan solidaritas perlu dikembangkan oleh guru dalam kegiatan

pembelajaran dengan pemberian tugas-tugas individu untuk menumbuhkan

kemandirian dan semangat berkompetisi maupun tugas kelompok untuk

menumbuhkan kerjasama dan solidaritas.

C. Pemberian Pengalaman Belajar Kepada Peserta Didik

Pengalaman belajar merupakan serangkam kegiatan yang harus diperbuat

dan dikerjakan oleh peserta didik secara berurutan untuk mencapai indikator

pembelajaran dan kompetensi dasar. Pemberian pengalaman belajar peserta didik

harus memperhatikan urutan dan langkah-langkah pembelajaran. Untuk materi

251
pelajaran yang memerlukan prasarat tertentu serta pendekatan dan penyajian

secara spiral (mudah ke sukar, konkret ke abstrak serta dekat ke jauh). Pemberian

pengalaman belajar kepada siswa mengacu kepada empat pilar pendidikan yang

dikembangkaan badan PPB UNESCO yaitu : belajar untuk mengetahui (learning

to know), belajar untuk rnelakukan (learning to do), belajar untuk menjadi diri

sendiri (learning to be), belajar untuk hidup bersama /kebersamaan (learning to

live together).

Pengalaman belajar yang didapat siswa dalam kegiatan belajar sangat

menentukan tingkat pencapaian keberhasilan belajar peserta didikk, hal ini dapat

dilihat dari hasil penelitian yang telah dilakukan oleh para ahli pendidikan

disimpulkan bahwa penguasaan mata pelajaran atau pencapaian hasil belajar

seseorang bervariasi tergantung dari pengalaman belajar yang telah dilakukan.

Hasil penelitian tersebut tergambar dalam kerucut pengalaman belajar

yang dapat dilihat pada bagan sebagai berikut:

252
Sumber : Sheaf, Peter (1989) How to develop and Present Satff
Training Courses, London: Kogan Page Ltd. (Dalam Depdiknas,
2003: Kegiatan Belajar Mengalar Yang Efekti)

Berdasarkan kerucut pengalaman di atas tingkat penguasaan bahan atau

materi pelajaran/komptensi dasar mencapai 10 % dari apa yang dibaca, 20% dari

apa yang didengar, 30% dari apa yang dilihat, 50% dari apa yang dilihat dan

didengar, 70% dari apa yang dikatakan, dan 90% dari apa yang dikatakan dan

dilakukan. Dengan demikian jika guru mengajar dengan menggunakan metode

ceramah, maka siswa hanya akan mengingat hanya 20 % saja karena siswa hanya

mendengarkan. Sebaliknya, jika guru menggunakan pendekatan cara belajar siswa

aktif yaitu dengan meminta siswa untuk melakukan sesuatu dan melaporkannya,

maka siswa telah melakukan kegiatan belajar dan mengingat apa yang dipelajari

sebesar 90 %.

Berdasarkan bagan di atas ketika hendak membuat perencanaan

pengalaman guru hendaknya mengajukan pertanyaan-pertanyaan:

“Apa yang barus diperbuat oleh peserta didik ?” jika tingkat ini tidak

mungkin, bergerak ke atas, maka dilanjutkan dengan pertanyaan berikut:

“Apa yang harus dijelaskankan peserta didik ?” Demikian seterusnya, dan

bila tidak mungkin mengajukan kedua pertanyaan di atas akhirnya, dengan sangat

terpaksa, guru merencanakan, “Apa yang harus didengarkan atau dibaca siswa?”

Menurut Pusat Kurikulum Balitbang Depdiknas ragam pengalaman belajar

yang dapat diberikan kepada peserta didik meliputi: pengalaman mental,

pengalaman fisik, dan pengalaman sosial.

1. Pengalaman Mental

253
Pengalaman mental dalam kegiatan pembelajaran adalah pengalaman

belajar yang berhubungan dengan aspek berfikir, mengungkapkan perasaan,

mengambil dan mengimplementasikan nilai-nilai. Adapun kegiatan belajar yang

dapat memberikan pengalaman mental melalui: membaca buku, mendengarkan

ceramah, mendengarkan berita dari radio, melakukan kegiatan perenungan,

melihat telvisi atau film.

2. Pengalaman fisik

Pengalaman fisik dalam kegiatan pembelajaran adalah pengalaman belajar

yang berhubungan dengan aktivitas fisik atau panca indera dalam menggali

sumber-sumber informasi sebagai sumber belajar. Pengalaman belajar fisik dapat

dilakukan melalui kegiatan: pengamatan, percobaan, penelitian, kunjungan atau

karyawisata, pembuatan buku harian dan berbagai kegiatan praktis lainnya yang

berhubungan dengan aktivitas fisik.

3. Pengalaman sosial

Pengalaman sosial dalam kegiatan pembelajaran adalah pengalaman

belajar yang berhubungan dengan aktivitas siswa dalam membina hubungan

dengan orang lain (guru, siswa lainnya, sumber belajar manusia). Bentuk-bentuk

kegiatan pengalaman belajar sosial yang dapat dilakukan antara lain: melakukan

wawancara dengan para tokoh, sosiodrama atau bermain peran, berdiskusi, kerja

bakti, mengadakan bazar dan pameran, melakukan jual beli, pengumpulan dana

untuk korban bencana alam atau mengikuti kegiatan arisan. Kegiatan pengalaman

belajar ini akan lebih efektif apabila setiap siswa diberi kesempatan untuk

berinteraksi secara langsung satu dengan lainnya dengan cara: mengajukan

254
pertanyaan, memberikan jawaban, memberikan komentar atau mendemostrasikan

sesuatu.

Selanjutnya Pusat Kurikulum Balitabang Depdiknas mengkalsifikasikan

pengalaman belajar dari sudut kekongkritan dan sudut keabstrakan kedalam:

situasi nyata, situasi buatan, audio visual, visualisasi verbal, dan audio visual.

a. Situasi Nyata

Pemberian pengalaman belajar dalam sistuasi nyata kepada siswa bisa

dengan cara siswa terlibat secara langsung atau peserta didik bertindak sebagai

pengamat. Misalkan penyelengaraan kegiatan qurban mulai dari pengumpulan

uang qurban secara kolektif, penyembelihan, menguliti dan memotong-motong

daging qurban sampai pada distribusi daging qurban. Dalam situasi nyata seperti

ini siswa bisa ikut terlibat langsung dalam menguliti dan memotong-motong

daging qurban dan pendistribusian, dan kegiatan mengamatai pada saat

penyembelihan hewan qurban.

b. Situasi Buatan

Pemberian pengalam belajar dalam situasi buatan dapat dilakukan dengan

melakukan kegiatan simulasi yaitu situasi buatan yang secara sengaja dirancang

untuk memberikan pengalaman belajar seperti dalam situasi nyata. Misalkan

untuk mempraktekkan kegiatan haji maka dapat dibuat situasi buatan dengan

menyediakan suatu tempat yang dirancang terdapat miniatur Ka'bah untuk

bertawaf, bukit Sofa dan Marwah untuk bersa’i dan pembuatan zumroh untuk

melontar.

c. Audio-visual

255
Pemberian pengalaman belajar audio-visual dalam kegiatan pembelajaran

adalah menyajikan situasi buatan yang ditayangkan dalam bentuk film dua

dimensi atau tiga dimensi. Penayangan film ini harus mampu merangsang

pengalaman dan imajinasi anak. Seperti dalam mata pelajaran Pendidikan Agama

Islam materi akhlak berkaitan dengan kisah-kisah teladan yang terdapat dalam al-

Qur'an maupun kisah-kisah para nabi dan kisah-kisah para sahabat Rasulullah

Saw.

d. Visualisasi Verbal

Pengalaman belajar visualisasi verbal adalah pengalaman belajar dengan

cara membaca buku teks, buku sumber belajar, ensiklopedi, lembar kegiatan/kerja

siswa, membaca chart, grafik dan tabel. Dalam beberapa buku sumber belajar

penyajian materi pelajaran tidak hanya dalam bentuk teks bacaan saja akan tetapi

sering dibantu dengan ilustrasi gambar, grafik atau tabel yang diharapkan dapat

merangsang dan membantu siswa yang memiliki kelemahan dalam beirmajinasi

dan daya kreasi.

e. Audio Verbal

Pengalaman belajar audio verbal adalah pengalaman belajar yang

diperoleh dengan cara mendengarkan ceramah. Kegiatan ini sering membosankan

dan hanya efektif dalam kurun waktu antara 15 - 25 menit. Karenanya dalam

kegiatan audio verbal guru harus pandai menyelingi dengan kegiatan yang

mendorong siswa untuk lihat, raba, bau dan rasa. Agar audio verbal menarik bagi

siswa, maka materi yang disampaikan harus bersifat konstekstual dan aktual.

256
Banyak pengalaman belajar yang mungkin dipilih untuk dijadikan

pengalaman belajar yang dapat dikembangkan dalam mata pelajaran pendidikan

Agama Islam antara lain: membaca Al-Qur'an, Murotal, sholawat atau nasid,

bermain peran, berdiskusi, menulis kaligrafi, membaca bermakna, mengajukan

pertanyaan mendengarkan kisah, membaca kisah, mendengarkan penjelasan

sambil membuat catatan, membuat kamus, praktek ibadah, praktek menjadi

khatib, praktek berceramah, praktek akhlak karimah, membaca kamus, mencari

informasi dari ensiklopedi, melakukan musyawarah, mendiskusikan wacana yang

berkembang di media cetak/media elektronik, membuat resensi buku, menkaji

pola tulisan artikel, serta kegiatan lainnya yang relevan dengan tujuan

pembelajaran dan kompetensi dasar yang hendak dicapai.

D. Pengembangan Kecakapan Hidup (Life Skill)

Seiring dengan pemberian pengalaman belajar kepada siswa, tak kalah

pentingnya dalam pembelajaran berbasis kompetensi pada tingkat satuan

pendidikan adalah pemberian kecakapan hidup (life skill) kepada siswa. Life skill

merupakan pemberian keterampilanketerampilan kepada siswa untuk dapat

menjalankan kehidupan baik sebagai mahluk individu, makhluk sosial maupun

sebagai makhluk Tuhan.

Pemberian dan pengembangan life skill yang diberikan kepada siswa

betujuan untuk:

1. Memfungsikan pendidikan sesuai fitrahnya, yaitu mengembangkan fitrah

manusiawi peserta didik yang akan memegang peran penting di masa yang akan

datang.

257
2. Memberi pelung kepada lembaga pelaksana pendidikan agar dapat

mengembangkan pembelajaran secara fleksibel, serta memanfaatakan sumber

daya pendidikan yang ada di masyarakat sesuai dengan prinsip pendidikan terbuka

serta prisnsip pendidikan berbasis sekolah dan berbasis masyarakat.

3. Memberi bekal kepada tamatan dengan kecakapan hidup yang dibutuhkan,

agar kelak mampu menghadapi, dan mememcahkan permasalahan hidup serta

kehidupan, baik sebagai makhluk individu yang mandiri, makhluk sosial yang

berada ditengah-tengah masyarakat bangsa dan Negara serta sebagai makhluk

Tuhan.

Pemberian dan pengembangan life skill kepada siswa sangat diperlukan

karena berbagai alasan sebagai berikut:

a) Untuk sukses dalam kehidupannya siswa harus dibekali dengan keterampilan-

keterampailan hidup seperti: disiplin, jujur, amanah, cerdas, sehat dan bugar,

pekerja keras, pandai mencari dan memanfatkan peluang, mampu bekerja

sama dengan orang lain, serta berani mengambil keputusan dan sebagainya.

b) Dengan keterampilan hidup yang diberikan di sekolah diharapakan adanya

kesesuaian antara keterampilan-keterampilan hidup yang telah diberikan

dengan keterampilan-keterampilan yang dibutuhkan anak setelah

menyelesaikan suatu jenjang pendidikan.

Secara umum kecakapan hidup dibedakan menajadi kecakapan umum

(general life skil) dan kecakapan khusus (specific life skill). Kecakapan hidup

umum adalah kecakapan-kecakapan hidup yang dibutuhkan seseorang untuk dapat

hidup dan berada di tengah-tengah masyarakat. Kecakapan hidup umum (general

258
life skill) dibagi menjadi: (a) kecakapan personal yang terdiri dari: kesadaran dan

kecakapan berpikir, (b) Kecakapan hidup sosial yang terdiri dari kecakapan

komunikasi dan dan kecakapan kerjasama.

1. Kesadaran diri

Kecakapan kesadaran diri merupakan kecakapan hidup yang berkaitan

dengan kemampauan melihat potensi dan keberadaan diri sebgai mahkluk Tuhan,

sebagai manusia serta terhadap lingkungan. Kecakapan kesadaran diri meliputi:

(a) kesadaran sebagai makhluk Tuhan, (b) sadar akan potensi diri (fisik dan

psikologik), (c) sadar sebagai makhluk sosial dan (d) sadar sebagai makluk

lingkungan

2. Kecakapan berpikir

Kecakapan berpikir merupakan kecakapan menggunakan akal pikiran

dalam menggali, mengolah serta memanfaatkan informasi dalam rangka

menyelesaikan masalah-masalah yang ditemukan dalam kehidupan sehari-hari.

Yang termasuk kecakapan berpikir meliputi; (a) Mengali informasi, (b) mengolah

informasi, (c) menyelesaikan masalah secara kreatif dan arif, serta mengambil

keputusan secara cepat dan tepat.

3. Kecakapan komunikasi

Kecakapan komunikasi adalah kecakapan hidup yang berkaitan dengan

keterampilan mengolah dan menyapaikan pesan kepada pihak yang diajak

berkomunikasi. Keterampilan ini meliputi: (a) keterampilan mengemas atau

meramu pesan yang akan disampaikan, (b) keterampilan menggunakan alat atau

media untuk menyampaikan pesan, (c) keterampilan meyakinkan penerima pesan

259
bahwa informasi atau pesan yang disampaikan penting dan berharga. Dalam

menyampaikan pesan atau informasi bisa dilakukan melalui komuniksi lisan atau

melalui komunikasi tertulis.

4. Kecakapan bekerjasama

Kecakapan bekerjasama merupakan kecakapan atau keterampilan individu

untuk dapat bekerjasama dan diterima oleh orang lain baik dalam kelompok kecil

maupun dalam kelompok besar serta ikut berperan aktif dalam kegiatan-kegiatan

yang diadakan secara kelompok.

Kecakapan khusus adalah kecakapan-kecakapan yang dibutuhkan secara

khusus dalam bidang kemampuan akademik (scientific method dan kemampuan

dalam melakukan atau menyelesaikan suatu pekerjaan (vocational skill

instrumnental skill).

a) Kecakapan akademik (berpikir ilmiah) (scientific method) merupakan

kemampuan berpikir secara ilmiah. Adapun yang termasuk kecakapan dasar:

(a) identifikasi variabel, (b) merumuskan hipotesis, (c) melaksanakan

penelitian.

b) Kecakapan vocasional adalah kecakapan yang terkait keterampilan melakukan

suatu pekerjaan yang ingin ditekuni. Adapun yang temasuk keterampilan

vocasional adalah: (a) kecakapan memanfaatakan teknologi, (b) mengelola

sumber daya, (c) bekerjasama dengan orang lain, (d) memanfaatkan informasi,

(e) mengelola sistem, (f) berwirausaha, (g) kecakapan kejuruan, (h) memilih

dan mengembangkan karir, (i) menjaga harmoni dengan lingkungan.

260
E. Mengelola Pembelajaran Secara Efektif

1. Pengelolaan Kelas/Tempat Belajar

Pengelolaan kelas merupakan uapaya mendayagunakan potensi kelas

dengan cara melakukan seleksi terhadap penggunaan alat-alat yang tepat terhadap

problema dan situasi kelas. Pengelolaan kelas atau tempat belajar meliputi

pengelolaan bebapa alat/benda serta obyek yang terdapt di dalam kelas atau ruang

belajar seperti: meja dan kursi baik guru maupun murid, pajangan yang

merupakan hasil karya siswa, perabot sekolah, serta sumber belajar yang terdapat

di dalam kelas. Pengelolaan kelas meliputi:

a. Pengelolan meja dan kursi

Pengelolaan meja-kursi berdasarkan prinsip-prinsip: (1) Aksesibilitas:

yaitu kemudahan siswa untuk menjangkau alat atau sumber belajar yang tersedia;

(2) Mobilitas: yaitu memudahkan baik siswa maupun guru untuk bergerak dari

satu bagian ke bagian lain dalam kelas; (3) Interaksi: yaitu, memudahkan terjadi

interaksi dalam proses pembelajaran antara guru dan siswa maupun antar siswa,

(4) Variasi kerja siswa: yaitu memungkinkan siswa untuk dapat bekerja secara

perorangan, atau bekerjasama secara berpasangan, atau secara kelompok.

Formasi pengaturan meja-kursi yang dpat dikembangkan Formasi Huruf

U, Meja Konfrensi, Lingkaran, Susunan Chevron atau huruf V, atau Kelas

Tradisional yaitu secara berjejer dan berbaris, serta formasi auditorium. Formasi

lainya yang dapat digunakan disesuaikan dengan tujuan dan strategi pembelajaran

yang digunakan atau itensitas interaksi yang diinginkan oleh guru.

261
b. Pengelolaan alat-alat pengajaran

Alat-alat pelajaran yang terdapat atau dibutuhkan dalam proses

pembelajaran di kelas perlu diatur dan tata dengan prinsip-prinsip, design interior

yang meliputi: perpustakaan kelas, alat-alat peraga dan media pembelajaran,

papan tulis/white bord, kapur tulis atau spidol bord market, dan papan presensi

siswa.

c. Penataan keindahan dan kebersihan kelas

Berkaitan dengan keindahan dan kebersihan kelas alat atau benda yang

harus ditata dengan baik meliputi: 1) hiasan dinding (gambar presiden dan wakil

presiden, lambang garuda pancasila, gambar pahlawan, slogan pendidikan, kata-

kata mutiara, kaligrafi; 2) penempatan lemari buku atau lemari alat peraga; 3)

pemeliharaan kebersihan siswa diatur secara bergiliran dengan sistem piket.

d. Ventilasi dan tata cahaya

Untuk ventilasi sebaiknya berada di sisi kiri maupun kanan ruangan,

hindari guru merokok di dalam kelas. Untuk pengaturan cahaya: cahaya yang

masuk harus cukup, dan bila diperlukan lampu listrik, gunakan dengan kekuatan

watt yang dibutuhkan untuk ruangan kecil atau ruangan besar, dan arah cahaya

sebaiknya dari sebelah kiri.

e. Pajangan Kolas

Pajangan kelas hasil karya siswa harus dipilih secara selektif disesuiakan

dengan nilai estetika, serta kebermanfaatannya.

262
2. Pengelolaan Peserta Didik

Pengelolaan peserta didik dalam satu kelas dapat dilakukan secara

perorangan, berpasangan, kelompok, atau klasikal disesuaikan dengan jenis

kegiatan, keterlibatan peserta didik, interaksi pengajaran, waktu belajar serta

ketersediaan sarana dan prsarana serta keragaman karakteristik peserta didik.

Untuk pengelolan siswa secara bekelompok, ada beberapa dasar yang dapat

dijadikan pertimbangan yaitu: pengelompokan berdasarkan kesenangan berkawan,

pengelompokkan menurut kemampuan,, pengelompokkan menurut minat.

3. Pengelolaan Kegiatan pengajaran

Ada tiga hal utama yang harus dilakukan guru dalam pengelolaan kegiatan

pembelajaran yang meliputi penyediaan pertanyaan yang mendorong peserta didik

berpikir dan berproduksi, penyediaan umpan balik yang bermakna, penyediaan

program penilaian yang mendorong semua siswa mnelakukan unjuk kerja.

Dalam kegiatan pembelajaran baik pada saat kegiatan membuka pelajaran

baik pada saat kegiatan membuka pelajaran atau ketika proses pembelajaran

berlangsung guru harus dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dapat

merangsang siswa melakukan kegiatan berpikir dan berproduksi bukan sekedar

mengharap jawaban benar. Pertanyaan yang diajukan guru menghendaki jawaban

yang merangsang siswa mengemukakan gagasan sendiri dan bukan mengulang

apa yang telah disampaikan guru. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan bersifat

produktif, terbuka jawabannya serta merangsang imajmasi peserta didik.

263
Umpan balik merupakan respon atau reaksi yang dilakukan guru atas

perilaku yang dilakukan oleh siswa. Umpan balik diberikan guru terhadap peserta

didik yang mengajukan pertanyaan, memberikan pendapat, menunjukkan hasil

kerja atau ketika peserta didik melakukan kesalahan. Umpan balik yang diberikan

guru jangan sampai memvonis peserta didik seperti “salah”, “betul”, “bukan, atau

“tidak”. Akan tetapi berikan umpan balik yang membahagiakan dan

menyenangkan serta merangsang peserta didik untuk belajar, bersikap dan

bertindak lebih baik lagi, seperti: ketika siswa mengemukakan pendapat yang

kurang tepat, guru memberi umpan balik “mengapa kamu berpendapat begitu”.

Ketika mengemukakan pendapat yang berbeda guru memberikan umpan balik,

“dapatkah kamu jelaskan mengapa kamu berpikir demikian”, atau ketika peserta

didik berargumentasi guru dapat memberikan umpan balia: “Argumentasimu

masuk akal, akan tetapi kita tanyakan dulu bagaimana pendapat temanmu yang

lain.

Penilaian yang dapat mendorong siswa melakukan unjuk kerja adalah

penilaian yang tidak hanya meliputi satu aspek domain saja tetapi meliputi ketiga

aspek domain yaitu kognitif, afektif maupun psikomotor. Penilaian yang

merangsang unjuk kerja adalah penilaian yang tidak hanya dilakukan secara

khusus dalam waktu yang khusus dan terlepas dari materi pembelajaran, akan

tetapi penilaian yang dilakukan adalah penilaian yang dilakukan secara terus

menerus dan berkesinambungan yang dikenal dengan penilaian berbasis kelas.

Penilaian berbasis kelas dikembangkan untuk mengukur keseluruhan aspek

domain tujuan pembelajaran dengan menggunakan berbagai bentuk penilaian baik

264
tulis, penilaian produk, penilaian unjuk kerja, maupun penilaian portofolio dengan

jenis tagihan yang beragam dan terlampir dalam pengembangan silabus dan

sistem penilaian yang dipersiapkan dan dibuat guru pada awal tahun pelajaran

4. Pengelolaan Isi/Materi pengajaran

Pengelolaan isi atau materi pelajaran yang dilakukan oleh guru harus

disiapkan dan direncanakan dalam silabus dan sitem penilaian yang dibuat oleh

guru. Darn silabus yang dibuat oleh guru akan tergambar jenis dan satuan

pendidikan, jenjang pendidikan dan tingkatan kelas serta semester, standar

kompetensi lulusan permata pelajaran yang harus dicapai peserta didik,

kompetensi pembelajaran setiap materi pkok pembelajaran, indicator dan hasil

belajar peserta didik, perencanaan pengalaman belajar dan pengembangan

kecakapan hidip, skenario pembelajaran, penilaian serta somber, alas dan media

pembelajaran yang akan digunakan.

Silabus yang dibuat dikembangkan pada awal peluncuran kurikulum 2004

semua aspek sudah dibuat dan terpericni guru tinggal melaksanakannnya, akan

tetapi setelah penyempurnaan pada tahun 2006 yang dikenal dengan Kurikulum

Tingkat Satuan pendidikan dan peraturam memnncd pendidikan nasional No 24

tahun 2006 tentang standar kompetensi lulusan tingkat satuan pendidikan silabus

harus dikembangkan sendiri oleh daerah atau sekolah dan terutama guru dan

hanya disediakan standar kompetensi lulusan dan kompetensidi dasar komponen

lainnya dikembangkan sendid terutama oleh guru.

5. Pengelolaan Sumber Belajar

265
Sumber belajar adalah sumber-sumber yang dapat dipergunakan secara

sendiri-sendiri maupun bersama-sama dengan peserta didik lain, untuk

memudahkan peserta didik belajar. Guru dapat memanfaatkan bebrabagai sumber

belajar yang tersedia di madrasah atau di sekitar madrasab, baik sumber belajar

yang dirancang secara khusus untuk kegiatan pembelajaran (by-design learning

resources) maupun sumber belajar yang tersedia secara alami dan tinggal

memanfaatkan (by-utilization learning resources), sumber belajar dalam bentuk

manunsia (human learning resources) dan sumber belajar non manusia (non

human leaning resources).

Sumber daya yang tersedia di sekolah yang dapat dimanfaatkan sebagai

sumber belajar antara lain: sumber daya manusia yaitu guru, kepala sekolah dan

tenaga kependidikan. Sedangkan secara fisik yang dapat dijadikan sebagai sumber

belajar di sekolah adalah perpustakaan, laboratorium, serta media cetak dan media

elektronik. Sumber belajar lainnya adalah iklim fisik dan psikologis yang ada di

sekolah.

Sumber belajar lain yang dapat dimanfaatkan adalah sumber daya

lingkungan baik lingkungan fisik, sosial maupun lingkungan budaya serta

lingkungan keagamaan merupakan sumber yang sangat kaya untuk sumber belajar

anak. Pemanfaatan lingkungan sebagai sumber belajar akan dapat memberikan

kesenangan dan variasi pembelajaran pada siswa. Penggunaan lingkungan sebagai

sumber belajar dapat mengembangkan beberapa keterarnpilan seperti: mengamati,

mencatat, merumuskan pertanyaan, merumuskan hypotesis, mengklasifikasikan,

membuat tulisan serta membuat gambar atau diagram.

266
BAB XI

INTERAKSI EDUKATIF PEMBELAJARAN:

Membangun Pembelajaran dengan Paradigma Humanisme

Memanusiakan manusia dalam pendidikan (pendidikan humanis) adalah

upaya “pergerakan” yang terns diperjuangkan oleh para aktivis pendidikan yang

masuk dalam kerangka gerakan anti-naturalis. Di mana aktivis gerakan ini

memanifestasikan dirinya melalui upaya untuk mengembalikan idealisms

humanisme dalam pendidikan sebagai usaha untuk mengatasi kelemahan dan

keterbatasan diri menuju pada afirmasi penus atas kemanusiaan (Koesoema A.,

2010: 40) Bahkan pengaruh humanisme dalam pendidikan sangat kuat di zaman

Renaissance, sebab para humanis sendiri merupakan pendidik profesional seperti

Guarini Guarini dari Verona (1374-1460) atau Vittorino da Feltre (1370-1446). Di

ranch ini pula hentakan-hentakan peniikiran humanisme melesat keluar menuju ke

ruang yang lebih luas terlutama dalam kehidupan publik (Tjaya, 2008: 36).

Pada arus pendidikan, spirit ini sangat menginginkan pola pembinaan

manusia yang seutuhnya, sehingga pendidikan benar-benar menjadi medium

pelestarian nilai-nilai kemanusiaan manusia. Dengan demikian, pendidikan yang

berparadigma humanisme memandang proses belajar bukanlah sebagai sarana

transformasi pengetahuan saja, tetapi lebih dari itu, proses belajar merupakan

267
bagian dari mengembangkan nilainilai kemanusiaan. Model pendidikan ini

menekankan pada humanizing classroom yang terfokus pada pengembangan

model “pendidikan afektif”, pendidikan kepribadian atau pendidikan nilai

(Baharuddin & Makin, 2007: 11).

Dengan demikian, penulis pada bab ini mencoba untuk melakukan

eksplorasi paradigmatik dalam interaksi edukatifyang tercabar di metode-metode

dalam pembelajaran. Paradigmatik humanisme dalam kajian ini dititikberatkan

pada pengkonstruksian interaksi edukatif antara guru dan peserta didik yang lebih

menghargai nilai-nilai kemanusiaan subjek dan objek pendidikan. Lazim apabila

nantinya pola pemikiran penulis menjadi bagian esensial di kerangka anatomi

filsafat pendidikan Islam ataupun dalam ilmu pendidikan Islam, sehingga is

diharapkan menjadi alternatif-solutif dalam kegamangan interaksi pendidikan

menuju pendidikan yang penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan.

A. Paradigma dalam Pendidikan

Pendekatan pembelajaran tidak dapat dilepaskan dari paradigma dalam

pendidikan yang digunakan sebagai pandangan dasar pembelajaran. Paradigma

pendidikan yang berbeda akan berdampak pada pemahaman tentang hakekat

pendidikan termasuk di dalamnya metode pembelajaran. Sebelum membahas

metode pembelajaran yang humanistik, berikut dikemukakan tiga paradigma

pendidikan yang paling berpengaruh dalam dunia pendidikan yaitu behaviorisme,

rasionalisme dan humanisme.

1. Paradigma Behaviorisme

268
Paradigma behaviorisme berpendapat bahwa: Pertama, perilaku peserl

didik itu terbentuk oleh pengaruh orang dewasa terutama orang tua (lit guru.

Dalam psikologi pendidikan berpendapat ini mirip dengan alit-it empirisme John

Lock yang berpendapat bahwa anak yang baru lahir ini bagaikan kertas putih

dimana perkembangannya sangat ditentukan oleh faktor lingkungan; Kedua,

tindakan peserta didik mengikuti hukun stimulus-respon, sehingga bersifat reaktif

Peran guru yang baik dalmit pendidikan harus pandai-pandai menciptakan

stimulus, sehingga akan dapat melahirkan respon positif dan aktif dari peserta

didik; Ketiga, hadiah (reward) dan hukuman (punishment) memegang peranan

penting. Asumsinya adalah anak melakukan tindakan positif (memenuhi

permintaan guru atau aturan) karena mengharapkan atau karena respon adanya

hadiah, sebaliknya maka menghindari perbuatan negatif karena takut atau sebagai

bentuk respon untuk menghindari hukuman. Guru yang baik adalah yang banyak

memberikan hadiah baik berupa materi atau non materi seperti pujian, sanjungan;

dan Keempat, tujuan pendidikan menurut behaviorisme lebih menekankan “to

have” daripada “to be”, yakni, yang terpenting guru sudah memberikan stimulus

berupa pengetahuan, motivasi, wawasan, keterampilan.

2. Paradigma Rasionalisme

Paradigma ini memiliki pandangan, bahwa: pertama, perilaku manusia itu

dipertimbangkan oleh kognisi. Pendidikan haruslah dapat memperkokoh

intelektualitas dan mengembangkan pengetahuan sebanyak-banyaknya; Kedua,

rasionalitas memegang peranan penting, rasio adalah panglima yang akan

269
menentukan keberhasilan peserta didik kelak; dan Ketiga, Tujuan pendidikan

yang utama adalah mengembangkan intelektual atau aspek kognitif peserta didik

3. Paradigma Humanisme

Paradigma humanisme berpendapat: Pertama, perilaku manusia itu

dipertimbangkan oleh multiple intellegencenya. Bukan hanya kecerdasan

intelektual (IQ) semata, tetapi juga kecerdasan emosional (EQ) dan spiritual (SQ).

Dua kecerdasan terakhir tidak kalah pentingnya dalam menentukan keberhasilan

hidup peserta didik. Bahkan menurut Goleman (2003), justru kecerdasan

emosionallah yang paling menentukan keberhasilan peserta didik kelak.

Sedangkan Danah Zohar (2000), justru kecerdasan yang terakhir (kecerdasan

spiritual) yang paling menentukan keberhasilan peserta didik. Melalui kecerdasan

spirituallah kecerdasan yang lain dapat terkondisi dan berkembang secara

maksimal; Kedua, peserta didik adalah makhluk yang berkarakter dan

berkepribadian serta aktif dan dinamis dalam perkembangannya, bukan “benda”

yang pasif dan yang hanya mampu mereaksi atau merespon faktor eksternal. la

memiliki potensi bawaan yang penting. Karena itu pendidikan bukan membentuk

peserta didik sesuai dengan keinginan guru, orang tua atau masyarakat, melainkan

pembentukan kepribadian dan self concept. Kepribadian dan self concept itulah

yang paling memegang peranan penting; Ketiga, berbeda dengan behaviorisme

yang lebih menekankan “to have” dalam orientasi pendidikannya, humanisme

justru menekankan “to be” dan aktualisasi diri. Biarlah peserta didik menjadi

dirinya sendiri, peran pendidikan adalah menciptakan kondisi yang terbaik

melalui motivasi, pengilhaman, pencerahan dan pemberdayaan; dan Keempat,

270
pembelajaran harus terpusat pada diri peserta didik (student centered learning).

Peserta didiklah yang aktif, yang mengalami dan yang paling merasakan adanya

pembelajaran. Bukan semata-mata guru yang mengajar, yang memberikan

stimulus atau yang beraktualisasi diri.

B. Metode Pengajaran yang Integralistik

Walaupun terdapat perbedaan penekanan dalam proses pengajaran, akan

tetapi semuanya dapat ditarik benang merahnya, bahwa pendidikan senantiasa

memiliki dua persoalan penting yaitu pewarisan (inheriting) nilai, pencerahan

(enlightenment) dan pemberdayaan (empowering). Dalam pewarisan nilai

penekanannya pada core kurikulum, bahwa kurikulum yang baik adalah nilai-nilai

tradisi dan kebudayaan yan terbaik yang telah teruji dalam sejarah dan pendidikan

berarti upaya membentuk masyarakat ideal sebagaimana yang terjadi sebelumnya

Karena pendidikan menyangkut pembentukan kepribadian manusi dan

masayarakat yang ideal sebagaimana diidealkan oleh orang dewasa niscaya tidak

boleh berspekulasi dengan cara memberikan nilai-nilai lain yang belum teruji

dalam sejarah.

Sedangkan yang lebih menekankan pada pencerahan dan pemberdayaan

lebih menekankan pada kepentingan si terdidik. terdidiklah yang akan mengalami

hari esok pasti akan megalan perubahan. Pendidikan bukan upaya untuk

mengawetkan apa yang ada dalam masyarakat yang dilakukan oleh orang-orang

yang ketakutan menghadapi perubahan. Pendidikan juga bukan sekedar untuk

menciptakan masyarakat yang lebih baik dengan cara menguasai kurikulum yang

271
diberikan guru, lebih dari itu pendidikan harus mampu membuat peserta didik

haus akan ilmu pengetahuan dan partisipasi intelektual sepenuhnya dari Para

pelajar sebagai individu. Sekolah jangan memisahkan diri dari kenyataan-

kenyataan yang ada atau masalah-masalah yang dihadapi masa kini dan

kecenderungannya di masa depan. Pendidikan adalah proses pergumulan dengan

kenyataan hidup yang senantiasa mengalami perubahan. Karena itu kata Elmo

Roper: “Hanya pikiran yang sabar dan berisi, hanya pikiran yang tidak berhenti

berkembang saja yang siap untuk memberikan kontribusi terhadap masyarakat

demokrasi yang modern” (Battle & Shannon, 1982: 8).

Pendidikan sekarang ini dihadapkan pada persoalan parsialisasi atau

fragmentasi. Parsialisasi atau fragmentasi itu terutama terjadi dalam tiga hal:

hakekat manusia (peserta didik dan tujuan pendidikan), kurikulum dan ilmu

pengetahuan. Fakta yang pertama, parsialisasi dalam memandang peserta didik

dan tujuan pendidikan. Peserta didik tidak dipandang sebagai sosok manusia yang

memiliki kepribadian secara utuh (integral), melainkan (seakan) terdiri dari

berbagai unsur komponen yang berdiri sendiri. Cara Pandang terhadap komponen

kepribadian anakpun tidak sempurna dan tidak adil. Akal dipandang sebagai

“raja” dalam struktur kepribadian peserta didik. Akibat cara Pandang ini proses

pendidikan mengalami pendangkalan makna berikutnya menjadi proses

pengajaran dan proses pengajaran mengalami pendangkalan makna berikutnya

sebagai penjejalan pengetahuan ke dalam otak peserta didik. Paulo Freire (1984)

dalam hal ini menyebutnya sebagai “pengajaran gaya bank” (banking system

teaching). Sebagian besar proses pengajaran ditujukan kepada otak. Sedangkan

272
urusan ruhani menjadi kapling pendidikan agama dan budi pekerti, urusan jasmani

menjadi kapling guru olah raga dan urusan emosi menjadi kapling guru kesenian.

Kalau terjadi perkelahian antar pelajar misalnya, kesalahan segera dilimpahkan

kepada guru agama dan budi pekerti.

Akibat cara Pandang dan perlakuan yang parsial dan tidak adil terhadap

peserta didik ini, banyak pengamat pendidikan yang mengatakan bahwa

pendidikan di Indonesia mengalami kegagalan.

Setiap pergantian semester orang tua dipaksa membeli setumpuk buku

barn, tetapi penghayatan terhadap isi buku itu kosong, kepekaan, kepedualian dan

sampai peserta didik canggih, tetapi penghayatan dan pengamalannya rendah,

akhlaqnya kurang terpuji, kepada kedua orang tua kurang menghormati dan

seterusnya. Fenomena yang paling tampak adalah adanya krisis multi dimensi

bangsa Indonesia yang parah dan berkepanjangan, yang ternyata biangnya adalah

krisis moral, akhlak bangsa.

Parsialisasi kedua adalah cars pandang terhadap kurikulum. Sekolah

selama ini lebih mengutamakan kurikulum formal (formal curriculum) yaitu

kurikulum sebagaimana yang ads dalam silabi dan buku paket. Guru merasa sudah

selesai tugasnya apabila telah mengajarkan atau menyampaikan isi silabi itu

kepada peserta didik. Sedangkan kurikulum yang tersembunyi (hidden

curriculum) nya kurang seperti keteladanan, kualitas pelayanan, kepedulian dan

iklim pendidikan (education climate) yang lebih berpengaruh dalam pembentukan

karakter peserta didik justru kurang diperhatikan. Akibatnya interaksi guru-

273
peserta didik lebih dominan sebagai bentuk interaksi transaksional dari pada

interaksi edukatif.

Ketiga, parsialisasi juga terjadi dalam memandang ilmu pengetahuan. Ilmu

pengetahuan dikapling-kapling secara ekstrim antara satu dengan lainnya seakan

terpisah dan tidak memiliki keterkaitan: ilmu agama-ilmu umum, ilmu sosial dan

humaniora-ilmu. eksakta. Persoalannya tidak berhenti sampai di sini, ketegangan

juga terjadi antara pemilik kaplingkapling tersebut. Siswa jurusan eksakta merasa

lebih superior dibanding dengan lainnya baik sosial, dan humaniora maupun

agama. Anak eksakta perilakunya lebih “dingin” dibanding dengan anak sosial

dan seterusnya.

Parsialisasi terhadap peserta didik, kurikulum dan ilmu pengetahuan

tersebut tentu membawa persoalan yang substantif dalam proses pendidikan

maupun maksimalisasi pencapaian hasilnya. Karena itu diperlukan adanya

reintegrasi, dan reintegrasi itu dilakukan tidak dengan membongkar paradigms

ilmu pengetahuan, melainkan melalui spiritualisasi human being-nya baik guru

maupun peserta didik. Artinya, perlu adanya upaya yang mengangkat potensi

kemanusiaan yang hakiki baca sebagaimana manusia pertama kali diciptakan

dengan dasar tujuan ketuhanan.

Tujuan pendidikan adalah untuk membentuk waladun shaleh, yaitu anak

atau orang yang keberadaannya bermanfaat bagi dirinya dan lingkungannya.

Untuk menjadi anak yang shaleh, tidak cukup hanya mengetahui kaidah-kaidah

agama semata, melainkan diperlukan manusia yang oleh Howard Gardner (1977)

disebut sebagai kecerdasan majemuk: kecerdasan akal (intelletual quotien atau

274
IQ), kecerdasan ruhani (spiritual quotien atau SQ), kecerdasan nafsani (emotional

quotien atau EQ), dan kecerdasan jasmani (adversity quotien atau AQ). Di mans

semua kecerdasan tersebut terintegrasi dalam diri peserta didik membentuk

kesatuan orientasi yang kemanusiaan dan ketuhanan.

Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang tidak hanya mendewakan

salah satu bentuk kecerdasan, misalnya kecerdasan intelektual (IQ) dengan

mengejar prestasi akademik setinggi-tingginya, melainkan pendidikan yang

memandang manusia secara utuh, pendidikan yang mampu menciptakan manusia

yang memiliki integritas dan personality. Bukan pendidikan yang menjejalkan

teori-teori, rumus-rumus, data-data dan informasi ke otak peserta didik, sementara

hatinya dibiarkan merana menjadi hati yang sakit (qalbun maridh) dan

bahkan hati yang mati (qalbun mayyit).

Dalam perspektif Islam, persoalannya tidak berhenti pada

pembentukan anak yang memiliki kecerdasan majemuk (multiple intelligence)

semata, melainkan bagaimana mendayagunakan berbagai kecerdasan itu agar

keberadaannya bermanfaat (usefully dan bermaslahah (advantage) bagi diri

sendiri dan lingkungannya. Untuk itu diperlukan petunjuk (direction)

bagaimana mendayagunakan kecerdasan itu secara adil dan bertanggung

jawab. Pertama, anak harus mendayagunakan kecerdasan majemuknya

untuk memahami, mengenali dirinya. Man'arafa nafsahu faqad arafa

rabbahu, barang siapa yang berusaha mengenali dirinya niscaya akan

mengenali Tuhannya. Mengenali dirinya dengan menggunakan sepenuhnya

kecerdasannya (multiple intelligence) akan melahirkan kesadaran

275
spiritualitas, sehingga akan membentuk aqidah yang kuat (qawwatul

aqidah) dalam diri peserta didik itu. Hal ini relevan dengan wahyu Al-Qur'an

yang pertama kali turun yaitu Surat al-Alaq ayat 1-5, yang intinya adalah

membaca (reading), memahami (understanding) dan memaknai (meaning)

terhadap hakekat diri dan lingkungan dengan kaca mats spiritualitas (iqro,

bismi rabbika ...bacalah dengan nama Tuhan...). Untuk membentuk anak yang

shaleh, perlu dikembangkan Paradigma spiritualisasi dalam diri peserta didik agar

mampu memberikan muatan spiritualitas dalam setiap tindakannya dan mampu

mentransformasikan aspek lahiriyah kepada rumah bathe (spiritualitas).

Kedua, anak harus mendayagunakan kecerdasan majemuknya untuk

membangun kekuatan ilmu (quwwatul ilmi) dan rumah ilmu (bait alilmi) dalam

dirinya. Emu tidak sernata-mats berhubungan dengan urusan kecerdasan akal

(intellectual quotient) saja, tetapi juga aspek kecerdasan lainnya seperti

kecerdasan spiritual (SQ) dan kecerdasan emosi (EQ), sehingga dengan berilmu

pengetahuan peserta didik tidak hanya mampu perfikir tetapi juga berdzikir. Ulul

albab yang secara harfiah berarn orang yang mempunyai akal pikiran, tidak hanya

cerdas dan berkualitas dalam berpikir, tetapi banyak dan fungsional dalam

berdzikir. Dengan memberikan muatan spiritualitas (spiritualisasi) ilmu yang

dimiliki, peserta didik akan mampu mendayagunakan ilmunya, kepandaian

sebagai cahaya (nur) yang mampu mencerahkan (enlighten) dirinya dan

lingkungannya. Sehingga semakin bertambah ilmunya peserta didik akan semakin

harus budi pekertinya, sehingga semakin bertambah ilmunya kokoh imannya dan

semakin banyak amalnya. Sebaiknya apabila ilmu itu hanya berhenti pada urusan

276
akal, seakan akal itu tidak ada hubungannya dengan nafsani dan ruhani peserta

didik, maka ilmu yang ads dalam diri anak itu akan hanya berfungsi sebagai

pengetahuan. Tidak ada jaminan semakin bertambah ilmu akan semakin

bertambah imannya, semakin baik akhlaknya dan semakin banyak aural

shalehnya.

Ketiga, anak harus mendayagunakan kecerdasan majemuknya untuk

memperkokoh akhlak kepribadiannya sehingga memiliki kepribadian yang agung

(akhlakul karimah). Kemulyaan akhlak tidak sernata-mats terbentuk oleh

pengetahuan dan pemahaman terhadap kaidah-kaidah agama, norms-norms dalam

masyarakat dan hukum yang berlaku (hukum positif), tetapi lahir dari akal dan

pikiran yang jernih (aqlus salim), hati yang jernih (qalbun salim) dan hati yang

suci dari dosa (qolbun munib) serta jiwa (ruh) yang tenang dalam pangkuan ilahi

(nafsul mutmainnah). Akhlakul karimah adalah puncak tangga kualitas pribadi.

Membangun akhlak yang mulia memerlukan proses yang kompleks dan harus

terintegrasi antar komponen kepribadian peserta didik.

Keempat, anak harus diarahkan untuk mendayagunakan kecerdasan

,majemuknya untuk memiliki kekuatan ibadah (quwwatul ' ibadah). Quwwatul

ibadah tidak terbatas pengabdian kepada Tuhan, tetapi juga engabdian kepada

sesama manusia melalui kepedulian, pelayanan, pengkhidmatan. Dan

pendedikasian seluruh potensi, kompetensi dan ersonality.

Tujuan pendidikan yaitu waladun shaleh harus dibangun berdasarkan

'Pemahaman tentang hakekat dan struktur kepribadian manusia secara integral.

Sehingga waladun shaleh adalah gambaran manusia ideal satu manusia yang

277
memiliki kecerdasan spiritual (spiritual quotient). Kecerdasan spiritual inilah yang

seharusnya paling ditekankan dalam proses pendidikan karena sebagaimana

dikemukakan Zohar dan Marshal yang mengatakan, kecerdasan spiritual sebagai

the ultimate intelligence.

Kalau dalam diri manusia terdapat ketiga jenis kecerdasan yaitu

kecerdasan intelektual (intellectual quotient, IQ), kecerdasan emosional

(emotional quotien, EQ), kecerdasan spiritual (spiritual quotient, SQ) maka Zohar

(tan Marsha, Merupakan fundasi yang diperlukan bagi keefektifan dua kecerdasan

yang lain, “SQ is the necessary foundation for the functioning of both IQ and EQ.

It is our ultimate intelligence” (Zohar & Marshal, 2000: 3-4).

Kalau kecerdasan spiritual anak berhasil ditingkatkan, secara otomatis

akan meningkatkan kecerdasan-kecerdasan lainnya seperti kecerdasan emosional

(emotional quotien) kecerdasan memecahkan inasalah (adversity quotiet) dan

kecerdasan intelektual (intellectual quotient). Keterpaduan, keserasian dan

pencahayaan Godspot (ruh) terhadap kalbu, akal dan nafsu atau jasad jelas akan

memaksimalkan kecerdasan dan fungsi masing-masing. Dalam konteks tujuan

pendidikan, hal ini akan mampu membentuk peserta didik yang memiliki

kekokohan akidah (quwwatul aqidah), kekokohan ilmu (quwwatal ilmi), ketulusan

dalam pengabdian (quwwatul ibadah) dan keluhuran pribadi (akhlaqul karimah).

Ary Ginanjar Agustian (2003: 219) dengan sangat baik ketika menggambarkan

spiritualisasi yang memiliki peran cukup signifikan dalam mengintegrasikan dan

memaksimalkan fungsi seluruh komponen-komponen kepribadian manusia.

278
Sebaliknya orientasi materialisme berperan memisahkan dan membelenggu

masing-masing komponen kepribadian manusia.

Skema berikut merupakan slur dari dua kecenderung manusia dalam

menggunakan radar hati mereka. Di mana pada pola materialisme memiliki

pengaruh yang negatif terhadap potensi kemanusiaan manusia sebagai makhluk

yang berketuhanan. Untuk lebih jelasnya lihat skema berikut:

Sekarang ini ilmu pengetahuan telah berkembang sedemikian rupa, jauh

melampaui induknya filsafat sebagai the mother ofscience dan masing-masing

279
cabang Ilmu memiliki objek formal yang sangat spesifik dan. otonom.

Perkembangan ilmu yang menurut Kuhn terjadi secara revolusi itu merupakan

sunnatullah dan karenanya tidak ada yang salah dan perlu dicemaskan. Yang

diperlukan adalah cara mensikapi agar perkembangan ilmu itu tetap membawa

rahmat bagi umat manusia. Caranya tidak dengan melakukan semacam. Islamisasi

ilmu sebagaimana konsep al-Faruqi, atau membongkar paradigma kefilsafatannya

(ontologis, epestipologis dan aksiologis) tetapi melakukan spiritualisasi human

beingnya (manusia) terhadap ilmu pengetahuan itu sendiri. Spiritualisasi itu

meliputi cara pandang subjek tentang hakekat sumber ilmu dan kegunaan ilmu.

Pada hakekatnya, semua ilmu bersumber dari ilmu Allah dan dengan rahmat Allah

manusia menemukan dan mengembangkannya. Kegunaan ilmu adalah untuk

kesejahteraan umat manusia.

Segala sesuatu harus dimulai dari syahadah dan diakhiri dengan

mengharap ridlo Allah, termasuk dalam pengembangan keilmuan. Sumber ilmu

adalah Allah karena dia adalah Dzat Yang Maha Mengetahui. Allah menciptakan

dan mengajarkan ilmu pengetahuan lewat ayat-ayat (sign)-Nya berupa slam

semesta termasuk di dalamnya manusia sebagai ayat kauniyah (ayat tercipta) dan

wahyu (Al-Qur'an dan al-Hadits) sebagai ayat Qauliyah (ayat yang terucap).

Dengan demikian Islam sama sekah tidak mengenal dikhotomi apalagi

pertentangan antara pengetahuan umum dan pengetahuan agama karena berasal

dari sumber yang sama yaitu Allah Yang Maha Esa, mengemban misi yaitu

rahmatan fil 'alam in dan bermuara pada tujuan yang sama yaitu ridla Allah.

280
Lalu bagaimana hubungan antara kedua ayat Tuhan itu, yaitu ayat-ayat

kauniyah dan ayat-ayat qauliyah? Al-Qur'an bukan kitab suci yang hanya

berbicara tentang persoalan-persoalan ritual saja atau persoalan keagamaan

semata. Al-Qur'an adalah kitab tentang kehidupan yang berbicara tentang Tuhan,

manusia, slam raya, penciptaan dan keselamatan. Kesalahan yang paling fatal dan

yang mengakibatkan munculnya dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama,

karena kesalahan dalam memahami Islam itu sendiri. Islam difahami seakan-akan

terbatas pada masalah-masalah seperti: aqidah, syari'ah dan akhlak atau tauhid,

fiqih, tasawuf, sehingga. ayat-ayat Al-Qur'an tentang penciptaan, ketuhanan,

kemanusiaan, alam raya dan keselamatan (kelangsungan) kehidupan dunia

menjadi tidak populer. Banyak ayat-ayat Al-Qur'an tentang persoalan riil

kehidupan dalam berbagai aspeknya menjadi tidak berkembang penafsirannya,

pemaknaannya dan pengamalannya.

Allah Yang Maha Esa adalah asal atau sumber dari segala apapim dalam

kehidupan ini termasuk sumber ilmu pengetahuan. Perbedaim perbedaan dalam

kehidupan ini seperti Siang malam, jasmani-ruhani (1,iit laki-laki-perempuan dan

bukan merupakan versus atau lawan, melainkan sebagai pasangan. Demikian pula

antara agama dan ilmu pengetahuan adalah pasangan. sebagai pasangan, memang

antara agama dan ilmu pengetahuan memiliki perbedaan terutama secara

epistemologis. Tetapi justru dengan perbedaan itulah yang akan melahirkan

kekuatan bagi siapa yang menyandang keduanya. Beragarna yang sekaligus

berilinu pengetahuan akan membentuk orang menjadi shaleh atau hikmah yaitu

yang digambarkan dalam tujuan pendidikan sebagai orang yang memiliki

281
kedalaman spiritual, keagungan akhlak, keluasan ilmu dan kematangan

professional.

C. Metode Tilawah, Ta'lim, Tadlrib, Tazkiyah, dan Ta'dib

Lembaga-lembaga pendidikan yang efektif adalah lembaga yang mampu

mencetak dari raw input yang biasa menjadi output yang berkualitas. Iasi berarti

proses pendidikan berjalan dengan efektif. Kemampuan melakukan transformasi

inilah yang seharusnya menjadi ukuran (parameter) efektif atau tidaknya proses

pembelajaran. Apabila suatti sekolah menerima input yang meliputi peserta didik,

guru, fisik dan fasilitas yang biasa akan tetapi output dan outcome-nya ternyata

tidak kalah baik akademik dan non akademik dengan sekolah yang input nya

serba berkualitas, maka kepemimpinan di sekolah itu merupakan kepemimpinan

yang efektif.

Di samping kualitas akademik output dan outcome-nya, ada hal lain yang

seharusnya sangat perlu memperoleh perhatian baik oleh sekolah maupun

masyarakat yaitu komitmen keberagamaan dan akhlakul karimali yang justru

paling mahal dan paling tinggi nilainya. Apa yang disebutkan paling akhir

(akhlakul karimah) inilah yang sesungguhnya ukuran paling utama dari sebuah

keberhasilan pendidikan. Yang menjadi persoalan adalah bagaimana proses

pendidikan tersebut dilaksanakan? Apakah kekuatan-kekuatan yang mendorong

keberhasilan dari pendidikan.

1. Keteladanan

282
Setiap tenaga didik (guru dan karyawan) di lembaga pendidikan harus

memiliki tiga hal yaitu competency, personality dan religiosity. Competency

menyangkut kemampuan dalam menjalankan tugas secara profesional yang

meliputi kompetensi materi (substansi), metodologi dan kompetensi sosial.

Personality menyangkut integritas, komitmen dan dedikasi, sedangkan religiosity

menyangkut pengetahuan, kecakapan dan pengamalan di bidang keagamaan.

Dengan ketiga hal tersebut, guru akan mampu menjadi model dan mampu

mengembangkan keteladanan dihadapan peserta didiknya. Semua guru adalah

guru agama. Artinya tugas untuk menanamkan nilai-nilai etis religius bukan

hanya tugas guru bidang studi keagamaan saja, melainkan tugas Semua orang di

lembaga pendidikan, termasuk kepala sekolah dan karyawan memiliki fungsi

sebagai guru agama. Semua orang yang ada di sekolah seperti satpam dan

pengelola kantin harus dapat memberi contoh kepada peserta didik. Semua

diminta berpuasa pada bukan Ramadhan dan menjalankan shalat fardu ain. Guru

dianjurkan untuk tidak merokok, dan bagi yang belum bisa meninggalkannya,

seharusnya sekolah menyediakan tempat khusus yang aman dan tidak terlihat oleh

peserta didik. sekolah seharusnya punya pedoman pemberian poin penghargaan

prestasi guru dan karyawan yang secara cermat mampu digunakan untuk pedoman

pembinaan dan arah pengembangan.

Semua orang dalam komunitas sekolah harus mampu menjadi teladan bagi

peserta didik. Bahkan peserta didik yang senior juga harus mampu menjadi

teladan bagi adik-adiknya. Berbagai prestasi (akademik dan non akademik)

283
peserta didik kelas tiga dan dua merupakan teladanan yang nyata dan memiliki

pengaruh yang sangat kuat bagi adik-adik kelasnya.

Keteladanan yang dikembangkan di sekolah adalah keteladanan secara

total, tidak hanya dalam hal yang bersifat normatif saja seperti ketekunan dalam

beribadah, kerapian, kedisiplinan, kesopanan, kepedulian, kasih sayang, tetapi

juga hal-hal yang melekat pada tugas pokok atau tugas utamanya.

Keteladanan seorang kepala sekolah antara lain adalah apabila datang

paling awal dan pulang paling akhir, terdepan dalam menjalankan kewajiban dan

mau mengalah dalam mengambil hak. Melaksanakan tugasnya dengan penuh

dedikasi, usaha maksimal, keikhlasan, ketekunan, ketelatenan, ketelitian,

ketuntasan dan kepedulian adalah merupakan bentuk keteladanan. Keteladanan

seorang guru adalah apabila ia menjadi guru yang berprestasi, dan guru teladan.

Yaitu guru yang menguasai materi, metodologi dan terampil dalam mengajar yang

didukung dengan komitmen dan dedikasi yang tinggi sehingga mampu

menjalankan tugas dengan tekun dan disiplin”.

Membangun keteladanan tidak ubahnya seperti membangun kultur

(budaya), watak, dan kepribadian. Pada awalnya terasa sulit dan perlu perjuangan

atau lebih tepatnya disebut jihad. Tetapi setelah terbentuk dan dirasakan

manfaatnya, justru menjadi sebuah kebutuhan. Salah seorang kepala sekolah

berprestasi yang penulis wawancarai mengatakan: “Kalau ingin menjadi kepala

sekolah yang berhasil, ya harus mau repot. Dilihat sepintas lalu saya sepertinya

tampak santai dan tidak ada masalah. 1).m memang itu yang tampak di

permukaan. Tetapi sesungguhnya saya sangat repot (sibuk) dan banyak hal yang

284
harus dipecahkan. Tetapi semua im alhamdulillah dapat terselesaikan dengan

lancar-lancar saja dan mudah. Tetapi satu hal yang saya pesankan, kalau hendak

menjadikan sekolah itu menjadi maju, kepala sekolah harus mau repot, harus

mengeram, di sekolah. Ibarat induk ayam, kalau menginginkan telurnya menetas

ya harus dierami.

Statemen tersebut menggambarkan bahwa mengembangkan keteladanan

bukan persoalan mudah. Diperlukan niat yang kuat dan mantap, arah yang

terfokus, rasa cinta yang tinggi dan sikap tulus dan istiqomah. Sikap-sikap inilah

yang membuat seorang kepala sekolah mampu “mengeram” di sekolahnya. Dalam

sehari rata-rata sekitar sepuluh jam berada di sekolah dimulai pukul 06.00 sampai

pukul 17.00. Lebih lanjut kepala sekolah itu mengatakan: “Banyak prang ingin

sukses menjadi pemimpin pendidikan, tetapi sedikit yang mau repot, yang mau

bersusah payah dan yang mau berkorban. Kalau tidak mau repot, tidak mau

bersusah payah dan tidak mau berkorban, ya jangan berharap berhasil. Sebenarnya

kalau semua itu (kerepotan, bersusah payah dan pengorbanan) kalau dinikmati

dan disyukuri sebagai sebuah pengabdian kepada Tuhan, akan membawa

kebahagiaan. Apalagi kalau ada tanda-tanda keberhasilan.

Kepala sekolah juga harus mau dan rela berkorban. Karena inti

kepemimpinan adalah pengorbanan. Mana mungkin seseorang mau mendengar

dan mengikuti ide-ide kita kalau kita tidak mau berkorban untuk mereka. Ayam

saja akan mau mendekat dan akhirnya dapat kita pegang apabila kita beri jagung

terlebih dahulu. Memberi jagung adalah sebuah pengorbanan. Seseorang yang

285
tidak mau berkorban dan hanya mau mengambil keuntungan saja, bukanlah

seorang pemimpin melainkan seorang makelar (broker).

Untuk mengembangkan keteladanan, seorang pemimpin pendidikan dan

guru harus rela berkorban. Dan jiwa pengorbanan inilah yang ditanamkan di

lembaga-lembaga pendidikan yang diteliti sehingga dalam waktu yang relatif

singkat mampu melakukan perubahan dengan sangat cepat. Dengan semangat rela

berkorban guru dapat merelakan uangnya untuk membeli bahan ajar (buku,

majalah, dan bahan ajar lainnya), rela mengorbankan waktu malamnya untuk

membuat persiapan mengajar, ikhlas mendoakan keberhasilan peserta didiknya,

rela mengorbankan sebagian kepentingan peribadi dan keluarganya demi peserta

didik dan sekolahnya, sabar ketika menghadapi perilaku peserta didik yang kurang

menyenangkan, telaten membimbing peserta didiknya yang memiliki kckurangan.

Inilah guru yang berjiwa besar, yang keteladanannya sangat membekas dalam

jiwa peserta didiknya, guru yang benar-benar dapat “digugu” dan ditiru, seorang

pahlawan tanpa tanda jasa tetapi sungguh sangatbesar jasanya. Guru yang dapat

diteladani hakikatnya adalah guru para peserta didiknya sepanjang hayat mereka,

bahkan lebih dari itu yaitu sepanjang masa karena keteladanannya mereka

teruskan kepada generasi mesudah mereka dan seterusnya.

Keteladanan adalah kunci keberhasilan, termasuk keberhasilan seorang

guru dalam mendidik peserta didiknya. Contoh dan keteladanan lebih bermakna

dari seribu perintah dan larangan. Syair Arab mengatakan: “qawul ul-hal afshah

min lisani al-maqal” (keteladanan lebih fasih dari pada perkataan). Dengan

keteladanan guru, peserta didik akan menghormatinya, memperhatikan

286
pelajarannya. Inilah implementasi etika religius dalam proses pembelajaran yang

sungguh mampu menggerakkan pikiran, emosi dan nurani peserta didik meraih

keberhasilan. Implementasi etika religius itu harus dimulai dari yang paling

atas yaitu kepala sekolah kemudian guru.

2. Ukhuwah dalam Proses Pengajaran

Iklim keberagaman sekolah (school religiosity climate) memegang peran

penting dalam menciptakan suasana pendidikan yang kondusif. School religiosity

climate tercermin baik secara fisik, sosial maupun kultural. Secara fisik

lingkungan sekolah yang sangat bersih, asri dan dilengkapi dengan masjid yang

bersih, dan nyaman. Di Masjid inilah kegiatan shalat (shalat wajib dan shalat

sunah) dan kegiatan keagamaan lain dilakukan. Di masjid ini Pula pembelajaran

dan penanaman nilai-nilai religius tentang kehidupan dalam hubungannya dengan

Tuhan, diri sendiri dan lingkungan (sosial dan alam) di tanamkan. Para peserta

didik tampak gembira, kerasan dan tertib melakukan berbagai kegiatan di

dalamnya. Di samping itu, ruangan kelas juga tampak indah dan ekspresif. Peserta

didik diberi kebebasan untuk mengatur dan menghias kelasnya sehingga suasana

kelas menjadi menyenangkan, mengasyikkan dan mencerdaskan.

School religiosity climate juga diwujudkan dalam hubungan sosial baik

inter dan antar peserta didik, guru, karyawan dan kepala sekolah. Diawali dengan

kepedulian kepala madrasah dan masing-masing wali kelas mempersiapkan dan

menyambut kedatangan para peserta didiknya yang dilanjutkan dengan

menyalami dan mendoakan para peserta didiknya yang datang paling awal sampai

bel pembelajaran dimulai. Setelah itu kepala sekolah berkehling untuk memantau

287
masingmasing kelas, unit-unit dan lingkungan sekolahnya dan dilanjutkan dengan

shalat duha di Masjid. Setelah jam 08.00 kepala sekolah baru dapat duduk di

kursinya. Ini adalah contoh sebuah bentuk kepedulian. Sebab, untuk dapat

menciptakan sekolah yang “tersenyum” menyambut kedatangan para peserta

didiknya, kepala seharusnya datang ke sekolah paling awal dan pulang paling

akhir. Ini adalah sebagian dari perjuangan, pengorbanan dan kepedulian.

Religiositas juga tampak pada penampilan dan keteladanan pimpinan

sekolah, para guru, dan peserta didik. Mereka memakai busana yang sopan yang

memenuhi syarat menutup aurat, indah dan modis baik model, bahan maupun

warna. Hal ini sangat penting untuk membangun citra (image building),

membangun kepercayaan (trust building) dan kebanggaan terhadap lembaga

(institution building. Dalam hal pakaian, perlu dipertimbangkan dengan baik agar

Para guru dan peserta didik tidak merasa canggung, ragu atau merasa dipaksa

mengenakan busana. Mereka harus bersyukur dan bangga, percaya diri dan bisa

menikmati. Hal ini penting karena orang yang merasa tertekan, rendah diri dan

merasa ada yang asing dalam dirinya tidak akan mampu mengembangkan

kecerdasannya secara maksimal.

Dalam hubungan sosial, religiositas tercermin dalam ukhuwah

(persaudaraan) bagi seluruh komunitas sekolah. Implementasi ukhuwah pada

komunitas sekolah tercermin pada suasana familiar antara satu dengan lainnya,

rasa kebersamaan, rasa senasib dan seperjuangan, kekompakan dan kepedulian.

Apabila ada warga sekolah baik guru, karyawan maupun peserta didik yang

mendapat musibah, kesulitan dan hajat yang penting, mereka membantu.

288
Ukhuwah merupakan kunci keberhasilan sekolah. Ukhuwah dikembangkan bukan

hanya pada hubungan individual, tetapi yang lebih penting adalah antar komponen

sekolah. Misalnya ukhuwah antar guru mata pelajaran yang sama, ukhuwah antar

wali kelas, ukhuwah antar pimpinan dan akhirnya akhuwah oleh dan untuk semua.

Sehingga ukhuwah yang dikembangkan di sekolah ini adalah ukhuwah yang

bertujuan, ukhuwah yang fungsional dan ukhuwah yang produktif “.

Religiositas bukan hanya aspek fisik dan hubungan sosial yang tampak

tetapi juga yang terpenting adalah yang tidak tampak, yang batin, yang latent yang

ada dalam hati sanubari masing-masing individu. Mereka adalah satu hati, satu

jiwa dan satu napas yaitu hati, jiwa dan napas pendidikan. Mereka saling

mendoakan, saling mengingatkan, saling terbuka dan saling membantu demi

keberhasilan dalam mengajar.

Dalam kehidupan peserta didik, ukhuwah sangat membantu kesuksesan

belajarnya. Para guru berusaha meciptakan kekompakan kelas, membiasakan

belajar kelompok, membentukfocus group discussion (FGD) untuk mata pelajaran

atau untuk pengembangan wawasan, ukhuwah dalam Organisasi Siswa Intra

Sekolah (OSIS), intern dan antar unit dalam bidang minat dan bakat. Belajar

kelompok sangat membantu tampilnya peserta didik dalam berbagai event lomba

baik di tingkat lokal, regional, nasional maupun internasional.

Ukhuwah juga dapat diciptakan antara lain melalui kompleks masjid.

Masjid adalah media yang efektif untuk berkomunikasi dialogic . antar sesama

komunitas sekolah. Di Masjid inilah komitmen masing masing dibangun dan

diperbaharui melalui aktivitas pengajian, halaqali, diskusi informal dan Baling

289
tegur saga. Kepala sekolah harus terjwi langsung memberikan kuliah tujuh menit

(kultum) dan kuliah sub(ili kepada komunitas sekolahnya.

3. Pendekatan-Pendekatan yang Digunakan dalam Pengajaran.

Pendekatan dalam pengajaran seharusnya berangkat dari konsep dasar

manusia: fitrah. Setup peserta didik dilahirkan menurut fitrahnya, yaitti memiliki

akal, nafsu Uasad), hati dan ruh. Konsep inilah yang sekarang lantas

dikembangkan menjadi konsep multiple intelligence. Dalam Islam terdapat

beberapa istilah yang sangat tepat digunakan sebagai pendekatan pembelajaran.

Konsep-konsep itu antara lain: tilawah, ta'lim, tarbiyah, tadib, tazkiyah dan

tadlrib. Tilawah menyangkut kemampuan membaca, ta'lim terkait dengan

pengembangan kecerdasan intelektual (intellectual quotient), tarbiyah menyangkut

kepedulian dan kasih sayang secara pribadi, tadib terkait dengan pengembangan

kecerdasan emosional (emotional quotient), tazkiyah terkait dengan

pengembangan kecerdasan spiritual (spiritual quotient) dan tadlrib terkait dengan

kecerdasan fisik atau keterampilan (physical quotient atau adversity quotient).

Sesual dengan tujuan pendidikan yang dikembangkan, metode pembelajaran, goal,

output dan outcome pembelajarannya dapat dicermati sebagaimana pada gambar

berikut ini:

290
Gambar tersebut menunjukkan spiritualisasi metode pembelajaran ng

dalam konteks tulisan ini merupakan entitas substantif untuk (likonstruksi dalam

pendidikan. Di mana dalam spiritualisasi metode pembelajaran ini, pendidik yang

hakiki adalah Allah, guru adalah penyalur hikmah dan berkah dari Allah kepada

peserta didik. Tujuannya adalah agar peserta didik mengenal dan bertaqwa kepada

Allah, dan mengenal fitrahnya sendiri. Pendidikan adalah suatu bentuk bantuan

untuk menyadarkan, membangkitkan, menumbuhkan, memampukan dan

memberdayakan peserta didik akan potensi fitrahnya.

Untuk mengembangkan kemampuan membaca, 'dikembangkan

metodetilawah tujuannya agar anak memiliki kefasihan berbicara dan kepekaan

dalam melihat fenomena. Untuk mengembangkan potensi fitrah berupa akal

dikembangkan metode ta'lim, yaitu sebuah metode pendidikan ilmu pengetahuan

dan teknologi yang menekankan pada pengembangan aspek kognitif melalui

pengajaran. Dalam pendidikan akal ini sasarannya adalah terbentuknya peserta

291
didik yang memiliki 1)emikiran jauh ke depan, kreatif dan inovatif. Sedangkan

outputnya adalah anak yang memiliki sikap ilmiah, ulul albab dan mujtahid.

Ulul Albab adalah orang yang mampu mendayagunakan potensi 10

(kecerdasan intelektual/IQ) dan potensi dzikirnya untuk memahami, fenomena

ciptaan Tuhan dan dapat mendayagunakannya untuk memecahkan, kepentingan

kemanusiaan. Sedangkan mujtahid adalah orang manil memecahkan persoalan

dengan kemampuan intelektualnya. Hasilnya, yaitu ijtihad (tindakannya) dapat

berupa ilmu pengetahuan maupun teknologi. Outcome dari pendidikan akal (IQ)

terbentuknya anak yang shaleh (waladun shalih). Pendayagunaan potensi piker

dan zikir yang didasari rasa iman pada gilirannya akan melahirkan kecerdasan

spiritual (spiritual quotient/SQ). Dan kemampuan mengaktualisasikan kecerdasan

spiritual inilah yang memberikan kekuatan kepada guru dan peserta didik untuk

meraih prestasi yang tinggi.

Implementasi ta'lim sangat variatif, bukan hanya pengajaran di kelas tetapi

juga di luar kelas, bukan hanya oleh guru tetapi juga oleh Para expert. Di sebuah

Madrasah Tsanawiyah di Malang misalnya mengembangkan apa yang disebut

sebagai “Parent Day” Yaitu suatti hari dimana yang mengajar bukan guru

sebagaimana hari-hari biasa, melainkan orangtua peserta didik dan warga

masyarakat lainnya yang memiliki expert komitmen di bidang tertentu yang

diperlukan peserta didik. “Parent Day” merupakan terobosan bentuk pendidikan

yang efektif karena menurut pengakuan beberapa peserta didik kepada penulis

benar-benar dapat ilmu baru yang disampaikan secara menarik oleh orang-orang

yang memiliki kompetensi di bidangnya. “Parent Day” ini dilaksanakan sebagai

292
salah satu bentuk implementasi program Community Based School. Para wali

murid dan juga anggota masyarakat yang lain sebenarnya banyak yang memiliki

keahlian dan pengalaman di berbagai bidang seperti dokter, dosen, pengacara,

polisi, pengusaha, pengrajin dan lain sebagainya.

Pelaksanaan program “Parent Day” ini biasanya mendapat sambutan

positif dari berbagai pihak seperti peserta didik, masyarakat, Dinas Pendidikan

dan pemerhati pendidikan. Peserta didik sebagai subjek yang secara langsung

menikmati program ini dan merasa sangat diuntungkan karena benar-benar

mendapatkan informasi yang baru, aktual, mendalam dan demonstratif. Misalnya

ketika seorang ahli bedah saraf menjelaskan tentang sistem kerja saraf manusia

dengan alas peraga yang fungsional, peserta didik benar-benar memperoleh

penjelasan yang lengkap dan mendalam. Di samping itu, banyak peserta didik

yang lantas memiliki imajinasi untuk menjadi dokter. Begitu juga dalam bidang-

bidang lain, senantiasa mendapat respon positif.

Metode tarbiyah digunakan untuk membangkitkan rasa kasih sayang,

kepedulian dan empati dalam hubungan interpersonal antara guru dengan peserta

didik, sesama guru dan sesama peserta didik. Implementasi metode tarbiyah

dalam pembelajaran mengharuskan seorang guru bukan hanya sebagai pengajar

atau guru mata pelajaran, melainkan seorang bapak atau ibu yang memiliki

kepedulian dan hubungan interpersonal yang baik dengan Para peserta didiknya.

Kepedulian guru untuk menemukan dan memecahkan persoalan yang dihadapi

peserta didiknya adalah bagian dari penerapan metode tarbiyah.

293
Metode tadib digunakan untuk membangkitkan “raksasa tidur”, kalbu

(EQ) dalam dirt peserta didik. Tadib lebih berfungsi pada pendidikan nilai dan

pengembangan iman dan taqwa. Dalam pendidikan kalbu ini, sasarannya adalah

terbentuknya peserta didik yang memiliki komitmen moral dan etika. Sedangkan

out put-nya adalah anak yang memiliki karakter, integritas dan menjadi mujaddid.

Mujaddid adalah orang yang memiliki komitmen moral dan etis dan rasa

terpanggil untuk memperbaiki kondisi masyarakatnya. Dalam hal mujaddid ini

Abdul Jalil (2004) mengatakan: “Banyak orang pintar tetapi tidak menjadi

pembaharu (mujaddid). seorang pembaharu itu berat risikonya. Menjadi

pembaharu itu karena panggilan hatinya, bukan karena kedudukan atau

jabatannya.

Implementasi metode tadib adalah keteladanan terutama dari kepala

sekolah dan guru. Guru menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya, berpakaian

rapt, berdedikasi tinggi, bertutur kata dan berperilaku sopan, disiplin, rajin

beribadah dan tidak merokok. Intinya, komunitas sekolah terutama kepala sekolah

dan guru haruslah beraldak terpuji (akhlaqul karimah).

Metode tazkiyah digunakan untuk membersihkan jiwa (SQ). Tazkiyah

lebih berfungsi untuk mensucikan jiwa dan mengembangkan spiritualitas. Dalam

pendidikan Jiwa sasarannya adalah terbentuknya jiwa yang suci, jernih (bening)

dan damai (bahagia). Sedang output-nya adalah terbentuknya jiwa yang tenang

(nafs al-mutmainnah), ulul arham dan tazkiyah. Ulul arham adalah orang yang

memiliki kemampuan ji untuk mengasihi dan menyayangi sesama sebagai

manifestasi perasaan yang mendalam akan kasih sayang Tuhan terhadap semua

294
hamba-Nya. Tazkiyah adalah tindakan yang senantiasa mensucikan jiwanya dari

debu-debu maksiat dosa dan tindakan sia-sia (kedlaliman).

Implementasi metode tazkiyah antara lain dalam bentuk muhasab, yaitu

mengajak para peserta didik untuk melakukan introspeksi menyusun “akuntansi”

pahala dan dosa yang telah dilakukan disertai dengan perenungan, zikir,

istighosah, khotmul Qur'an dan lain sebagainya, Penerapan metode tazkiyah ini

dilakukan antara lain dengan membentuk jamaah zikir. jamaah ini dapat

melakukan kegiatannya setiap dua minggu sekali dengan melibatkan ibu-ibu wali

murid.

Metode tadlrib (latihan) digunakan untuk mengembangkan keterampilan

fisik, psikomotorik dan kesehatan fisik. Sasaran (goal) dari tadlrib adalah

terbentuknya fisik yang kuat, cekatan dan terampil. Outputnya adalah

terbentuknya anaknya yang mampu bekerja keras, pejuang yang ulet, tangguh dan

seorang mujahid. Mujahid adalah orang yang mampu memobilisasi sumber

dayanya untuk mencapai tujuan tertentu dengan kekuatan, kecepatan dan hasil

maksimal.

Sebenarnya metode pembelajaran yang digunakan di sekolah lebih banyak

dan lebih bervariasi yang tidak mungkin semua dikemukakan di sini secara detail.

Akan tetapi pesan yang hendak dikemukakan di sini, adalah bahwa pemakaian

metode pembelajaran tersebut adalah suatu bentuk “mission screed” yaitu sebagai

penyalur hikmah, penebar rahmat Tuhan kepada peserta didik agar menjadi anak

yang shaleh. Semua pendekatan dan metode pendidikan dan pengajaran

(pembelajaran) haruslah mengacu pada tujuan akhir pendidikan yaitu

295
terbentuknya anak yang shaleh. Metode pembelajaran dikatakan mengemban misi

suci karena metode sama pentingnya dengan substansi dan tujuan pembelajaran

itu sendiri. Dalam kaidah fiq'h dikatakan: al-amru bi alsyai-i amru bi wasailihi

(perintah terhadap sesuatuberarti memerintahkan bagaimana cara mencapai

sesuatu itu).

C. Interaksi Edukatif Guru Dan Peserta Didik

Secara konsepsional, lembaga pendidikan Islam memiliki peran strategis

dan tanggung jawab yang luar biasa besarnya dalam membangun peradaban umat.

Di lembaga pendidikan Islam para ulil albab, ahlul dzikr dan ulama melakukan

kajian-kajian kritis dan inovatif atas persoalan-persoalan fundamental kehidupan

masyarakat, bangsa dan seluruh umat manusia. Atas dasar itulah barangkali

komunitas sekolah diberi gelar oleh masyarakat sebagai masyarakat terpelajar dan

Ali Syariati menyebutnya sebagai orang-orang yang tercerahkan.

Dalam kajian historic sosiologis bahkan sudah menjadi keyakinan semua

orang, kemajuan suatu bangsa ditentukan oleh sejauhmana bangsa itu membangun

lembaga pendidikan yang berkualitas. Penelitian John Vezey diberbagai negara

maju menunjukkan adanya korelasi positif antara kualitas lembaga pendidikan

dengan pertumbuhan ekonomi, Peningkatan kerja berkualitas, peningkatan taraf

hidup masyarakat dan peningkatan peradaban pada umumnya. Sejarah

kebangkitan Islam pada abad pertengahan, zaman renaisance maupun kondisi

objektif. Negara-negara maju menunjukkan betapa besar peran pendidikan,

khususnya perguruan tinggi. Yang menjadi persoalan dan sekaligus yang menjadi

obsesi kita bersama adalah bagaimana agar umat ini dapat membangun perguruan

296
tinggi yang berkualitas, strategi dan kiat-kiat apa yang mesti ditempuh sehingga

dapat memberi tenaga dan kemampuan ekstra untuk mengejar ketinggalan,

persoalan-persoalan apa yang menjadi ganjalan sehingga umat yang besar dan

potensial perguruan tingginya berjalan terseok-seok, sedangkan di sisi lain

terdapat kelompok-kelompok tertentu dengan jumlah relatif tidak berarti dan

secara sosiologis kurang mempunyai akar di masyarakat justru memiliki

perguruan tinggi dalam jumlah yang tidak sedikit dan dengan kualitas yang dapat

diandalkan.

1. Analisa Untuk Aksi

Mengelola perguruan tinggi, lebih-lebih perguruan tinggi Islam adalah

pekerjaan besar, profesional dan penuh risiko; terutama apabila dilihat dari segi

peran, tanggung jawab dan persoalan-persoalan yang berhubungan dengan

perguruan tinggi itu sendiri. Karena itu pa pengelolanya tidak saja dituntut

wawasan keilmuan, kepemimpina manajemen dan masa depan yang tangguh dan

profesional, tetapi diperlukan persyaratan-persyaratan lain seperti idealisms,

kesungguhan dan komitmen pada persoalan-persoalan aktual umat. Hal ini juga

bentuk bahwa untuk mengelola sebuah perguruan tinggi Islam tidak dapat

diperlakukan sebagai kerja sambilan, untuk memenuhi kepenting-kepentingan

pragmatic dan jangka pendek, atau sekedar berdakwah demi “syiar” Islam.

Untuk membangun Perguruan Tinggi Islam (PTI) yang saat im telah

tersebar di seluruh tanah air tampaknya harus dimulai dari hal-hal yang sangat

mendasar mulai membangun idiil sampai wawasan dunia Perguruan Tinggi serta

landasan strategi pelaksanaannya. Persoalan yang menyangkut pembangunan idiil

297
misalnya: visi dan misi serta pesan Perguruan Tinggi dalam pengembangan ilmu

pengetahuan dan toknologi meliputi keyakinan dan nilai dasar sebuah Perguruan

Tinggi.

Sampai saat ini masih banyak di kalangan umat ini yang beranggpan

bahwa kehadirannya di muka bumi adalah dalam rangka mengabdi kepada Tuhan,

dalam arti yang sempit yaitu menyembah secara ritual. Sedangkan persepsinya

tentang persoalan-persoalan hidup cenderung fatalistik dan minimalis, misalnya

sekedar untuk “bekal” beribadah saja. Mereka tidak dapat memberikan

pemahaman yang lebih mendalam bahwa konsep kekhalifahan itu mengandung

makna bahwa setiap kehadiran manusia di muka bumi baik secara individu

maupun bersama-sama harus dapat membangun peradaban, yaitu memberikan

konstribusi bagi terciptanya tata kehidupan dunia yang makmur, dinamis dan

harmoni sehingga setiap manusia dan bahkan juga binatang atau makhluk-

makhluk lain merasa aman dan nyaman di dalamnya. Karena itu tidak dapat hidup

dengan tegar dan memimpin ide di dunia di kehadiran mereka memang dipahami

bukan untuk hidup melainkan untuk mati.

Persepsi tentang gambaran hidup sebagaimana yang telah dipaparkan

penulis membawa implikasi terhadap pemahamannya tantang ilmu. Ilmu

dipahami secara dikotomis dan terkapling-kapling. Belajar ilmu agama hukumnya

wajib setiap Muslim sedangkan belajar ilmu-ilmu dunia hukumnya sunah

ataufardu kifayah. Yang disebut ulama hanyalah mereka yang ahli di bidang

agama, sedangkan selain itu disebut cendekiawan. Karena itu yang disebut

“pewaris” para Nabi dan yang harus dihormati Itiga para ulama atau kyai ini.

298
Persepsi dikotomis ini berakibat pada lahirnya berbagai model pendidikan, mulai

dari yang berbentuk pondok pesantren, sistem madrasah, dan sistem persekolahan.

Demikian juga dengan perguruan tingginnya, terdapat berbagai model yang

masingmasing mempunyai sifat khasnya seperti: Sekolah Tinggi, Akademik, I

nstitut dan Universitas.

Di kalangan umat Islam, semangat untuk belajar menuntut ilmu

sebenarnya sudah besar, akan tetapi perilaku dalam belajar pada umumnya tidak

efektif dan tidak strategis. pemahaman terhadap ilmu masih bersifat dikotomis

tidak adil dalam mensikapi ilmu pengetahuan. Di pesantren-pesantren misalnya

masih banyak yang mengembangkan metode hafalan seperti menghafal “Aoyah”

dan semacamnya dari muka dan dari belakang, mengkaji dan memperdebatkan

masalah khilafiyah baik dalam fiq'h dan teologi, menghafal Al-Qur'an dan Hadits

tanpa memahami maknanya secara memadai mengamalkannya. Sementara itu

ilmu politik, ekonomi, kedokteran, pertanian, peternakan, teknologi, dan lain

sebagainya yang justru sebagai “panglimd' kehidupan nyaris terabaikan.

Seandainya semangat belajar Siang malam dan memakan waktu puluhan tahun

sebagaimana yang telah mentradisi di lingkungan pesantren digunakan secara

efektif dan efisien terhadap ilmu-ilmu yang secara langsung menyangkut

persoalan-persoalan strategis kehidupan di masyarakat, niscaya akan lahir para

ilmuwan, birokrat, teknokrat, ekonom yang tangguh, dan bidang-bidang lain yang

mempunyai pisisi strategis akan dimotori oleh orang-orang Islam dan diwarnai

oleh nilainilai Islam.

299
Pemahaman tentang ilmu yang dikotomis dan cara pandang “sebelah

mata” terhadap sains dan ilmu-ilmu sosial dan ilmu-ilmu keras atau dalam bahasa

agamanya disebut ayat-ayat kauniyah terbukti telah menjadikan umat ini tidak

mampu memimpin atau memerankan diri sebagai ummatan wasatan selama

berabad-abad. Bahkan pemahaman tentang ilmu itu juga berdampak pada

perguruan-perguruan tinggi yang dikelola oleh umat Islam. Kajian-kajian

kelslaman yang dikembangkan oleh IAIN sebagai foto kopi buram-nya

Universitas Al-Azhar Mesir misalnya, hanya mengkaji ilmu-ilmu keIslaman

dalam pengertian yang sangat terbatas seperti: Tarbiyah, Ushuluddin, Syariah dan

Adab. Sementara kajian-kajian seperti ekonomi, politik dan kebudayaan yang

didasarkan pada nilai-nilai etik Islam dan sebagai perwujudan keimanan, lepai

dari perhatian. Sementara fakultas-fakultas di lingkungan IAIN dengan berbagai

jurusannya di samping kalau dilihat fungsinya overlapping, dilihat dari filsafat

ilmunya kurang solid. Kalau umat ini begilit bersemangat ketika mengatakan

bahwa Islam itu adalah agama wahyu terakhir yang sempurna (kosmopolitan) dan

madaniyah (metropolitan), mengapa perguruan tingginya tidak melakukan kajian-

kajian mendasar atas bidang-bidang ilmu seperti ekonomi (iqtishadiyah), politik

(siyasah), kedokteran (thib), psikologi (ilmu an nafs) dan lain sebagainya, yang

digali dari Al-Qur'an dan Sunah. Sementara itu Muhammadiyah yang menggebu-

gebu menggelorakan semangat kembali kepada Al-Qur'an dan Sunah juga tidak

jelas realisasinya.

Pemahaman tantang pendidikan Islam yang bidang kajiannya lebili

terfokus pada ilmu-ilmu keagamaan ini telah mewarnai pola pikir dan sikap umat

300
dalam menyelenggarakan pendidikan tinggi. Misalnya, umat ini lebih “pas” kalau

mendirikan fakultas agama dari pada fakultasfakultas lain. Sehingga Sekolah

Tinggi Ilmu Tarbiyah (STIT) dan Sekolah Tinggi Ilmu Syariah (STIS) misalnya,

berdiri sampai ke pelosokpelosok kecamatan. Secara rasional sebenarnya bisa

diperkirakan bahwa perguruan tinggi semacam itu akan sulit berkembang, di

samping telah banyak perguruan sejenis yang gulung tikar atau berjalan terseok-

seok, tetapi masih tetap juga didirikan. Bahkan ironisnya disebuah distrik atau

kabupaten jumlahnya seringkali lebih dari satu. Sebab kalau Muhammadiyah

mendirikan STIT misalnya, NU tidak mau ketinggalan lantas mendirikan

perguruan serupa di suatu daerah yang sama pula. Demikian juga sebaliknya.

Pernyataan ini terbukti di wilayah Jawa timur, dan barangkali juga di daerah-

daerah lain, kalau Muhammadiyah memiliki 10 fakultas tarbiyah maka ada

kecenderungan NU juga mempunyai fakultas tarbiyah dalam jumlah yang sama

atau hampir sama. Karena itu dapat disimpulkan secara sederhana, kalau hendak

mencan jumlah fakultas Tarbiyah di sebuah wilayah tertentu, tinggal menghitung

saja salah satu dari milik Muhammadiyah atau NU terus dikalikan dua.

Kenyataan yang sepertinya dibuat-buat ini masih berlanjut di tingkat

ormasnya. Masing-masing mengklaim dengan bangga menyebut telah memiliki

sekian puluh PT melebihi milik pemerintah, sekian ribu SD dan MI dan belasan

ribu sekolah menengah. Kabar ini sebenarnya cukup inengembirakan tetapi kalau

dilihat kualitasnya justru lebih banyak melahirkan keprihatinan. Beberapa di

antaranya telah mati sekian tahun lalu tetapi masih tetap dalam perhitungan.

301
Apa yang tampak dari perguruan tinggi Islam sebagaimana digambarkan

tersebut pada dasarnya adalah cermin dari manusiamanusia yang ada di dalamnya.

Cermin dari miskinnya wawasan baik wawasan keilmuan, keIslaman maupun

masa depan, managerialnya terkeping-keping, berjalan ala kadarnya, tanpa

perencanaan dan cermin dari tidak adanya komitmen pada kepentingan

pembangunan kualitas umat dalam sekala yang lebih besar, atau bahkan cermin

dari tidak adanya idealisme dan cita-cita masa depan. Kalau orang sudah

kehilangan wawasan cita-cita dan idealisme, habislah energinya untuk berjuang,

berkorban dan ketabahan hatinya. Kata orang pintar: Titacita menghendaki

perjuangan, perjuangan menghendaki pengorbanan dan pengorbanan

menghendaki ketabahan hati” Karena itu secara umum permasalahan yang

dihadapi oleh perguruan tinggi Islam adalah permasalahan di dalam tubuhnya

sendiri. Bukan faktor politik dan bahkan sebenarnya bukan faktor dana dan tenaga

ahli. Sumber daya umat Islam itu cukup besar dan potensial, tapi belum terkelola

dengan baik.

Itulah gambaran singkat dan mungkin belum memadai terhadap cara-cara

kerja umat dalam menyelenggarakan perguruan tinggi. Bukan saja tidak

profesional tetapi dalam banyak hal tidak rasional. Karena itu jalan masih panjang

dan berliku, sementara bekal dan energi sangat terbatas untuk menempuh jarak

mengejar ketinggalan. Kalau yang dikenal sampai saat ini ada lima tahap dalam

pembangunan perguruan tinggi yaitu: 1). Konsolidasi idiil dan strukturil; 2).

Pembangunan fisik dan fasilitas; 3). Pembangunan akademik; 4). Pengakuan

masyarakat; dan 5). Aktualisasi diri, maka hanya ada beberapa perguruan tinggi

302
Islam saja yang sudah beranjak dari pembangunan fisik menuju pembangunan

akademik sebagaimana standarisasi pemerintah. Sedangkan sebagian besar masih

pada tahap konsolidasi, dan inipun berjalan sangat lambat. Hanya sebagian kecil

yang telah melampaui pembangunan akademik dan bersiap-siap menuju face

pengakuan masyarakat: Kondisi fisiknya cukup megah dan bersinar, fasilitasnya,

termasuk laboratorium dari perpustakaan cukup lengkap, suasana belajarnya

nyaman, dosen-dosen tetapnya telah dan sedang menempuh pendidikan pasca dan

purna sarjana di dalam dan di luar negeri, mahasiswanya sebagian besar dari strata

menengah ke atas, statusnya sebagian besar terakreditasi A (unggul),

kepemimpinan dan manajerialnya mantap, telah membangLin jaringan dan

kerjasama kongkrit dengan instansi-instansi terkait di dalam dan di luar negeri,

dan di antaranya telah membuka program pasca dan purna sarjana.

Dilihat dari segi sejarah, umat Islam sebenarnya pernah memimpin dalam

pendirian perguruan tinggi. pada tahun 1936 dalam muktamai Muhammadiyah di

Jakarta dicapai suatu komunikasi untuk mendirikan Universitas Muhammadiyah.

Walaupun belum dapat terwujud karena berbagai persoalan baik internal maupun

eksternal, termasuk terjadinya perang dunia II, tetapi komunikasi tersebut

mempunyai dampak positif bagi upaya mendirikan perguruan tinggi Islam. Dalam

perkembangan selanjutnya berdirilah Universitas Islam Indonesia (UII) dan

Universitas Islam Sumatera Utara (UISU), yang dapat dikategorikan sebagai

perguruan tinggi perintis di Indonesia. Tetapi dalam perkembangan selanjutnya,

ketika perguruan tinggi di Indonesia berkembang pesat, pertumbuhan perguruan

tinggi Islam sebenarnya terns berlanjut tetapi menunjukkan ketertinggalannya

303
dengan dinamika tuntutan masyarakat dan percaturan dunia perguruan tinggi pada

umumnya. Ketertinggalan itu sebenarnya juga dirasakan tetapi mengapa iqra' dan

daya gerak antisipatif umat terhadap dinamika zaman ini begitu lemah? Mengapa

umat kita sering terkejut dan kelabakan dengan perubahan-perubahan yang

sebenarnya bisa diantisipasi sebelumnya.

2. Bergumul Mengejar Ketinggalan

Pada dekade delapan puluhan terdapat perubahan menarik dalam

perguruan tinggi Islam. Di beberapa kota muncul PTI-PTI yang mulai

menampakkan sinarnya. Bahkan beberapa di antaranya dalam rentang waktu yang

relatif singkat, antara lima sampai delapan tahun, setelah melakukan gerakan-

gerakan revolosioner mulai menunjukkan ketegarannya. Karena itu atas

pertimbangan tertentu misalnya identitas kelslamannya, murah, mobilitas

kelulusannya cepat, berada di kota yang strategic dan karena kualitasnya memadai

telah cukup diperhitungkan o1ch masyarakat. Dan bahkan dapat memperkokoh

posisinya, tanpa merasa rikuh, dalam jajaran perguruan tinggi-perguruan tinggi

bersekala iiasional. perguruan tinggi yang dapat disebutkan disini misalnya:

Universitas Islam Indonesia (UII), Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS),

Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Universitas Muslimin Indonesia

(UMI), Universitas Islam Bandung (UNISBA) dan masih banyak lagi.

Berikut akan dikemukakan langkah-langkah menuju pembangunan

kualitas perguruan tinggi Islam. Apa yang dikemukakan disini hanya sebuah

alternatif hasil ijtihadi, sehingga tidak ada alasan untuk dijadikan sebuah model

baku, sebab pola-pola menuju pembaharuan sangat beragam model dan

304
strateginya disebabkan perbedaan “style” pengelola dan kondisi objektif

perguruan tinggi yang bersangkutan sangat mempengaruhi model dan strategi

pembangunan yang ditempuh. Karena itu faktor kecerdasan dan daya asosiasi

yang tinggi tetap merupakan faktor utama dalam menemukan model dan gaya

yang dianggap paling pas.

Tahap-tahap pengembangan yang dikemukakan berikut merupakan

perwuju dan dari Rencana Induk pengembangan (RIP) baik jangka panjang 20-25

Tahun yang akan datang, maupun jangka menengah 5 tahunan maupun rencana

pengembangan tahunan yaitu setiap memasuki tahun ajaran baru. Untuk

menyusun RIP atau university plan yang dapat dijadikan kerangka acuan dalam

bertindak secara tepat diperlukan tenaga profesional dalam mengantisipasi

persoalan dan tantangan serta trend perguruan tinggi masa depan. Kalau orang-

orang dianggap kurang memenuhi persyaratan, dapat mengambil badan konsultasi

pengembangan pendidikan baik milikpemerintah maupun swasta. Hal ini

sebagaimana yang dilakukan oleh pemerintah ketika pada awal tahun 70-an

melibatkan secara langsung Dr. C.E.Beeby, ahli pendidikan UNESCO dari

Selandia Baru, dalam proyek Penilaian Nasional Pendidikan (PPNP). RIP sebagai

kerangka acuan dan sekaligus alat evaluasi keberhasilan kerja dalam

pelaksanaannya perlu dilakukan evaluasi dan perbaikan-perbaikan. Sebab kalau

manajemen dan kualitas kerjanya baik sering kali pencapaian target lebih cepat

dari yang ditentukan.

305
3. Tahap Kosolidasi

Tahap konsolidasi ini adalah menata dan membangun niat, yaitu menata

hati, pikiran dan mengkonsentrasikan seluruh potensi atau kekuatan dan

mengeliminir semua tantangan dan hambatan dalam rangka mencapai tujuan.

Karena itu niat tidak sama dengan angan-angan melainkan sebuah manifestasi

idialisme.

Konsolidasi ini meliputi bidang idiil, strukturil dan personil Bidang idiil,

yaitu berupa pembangunan, wawasan dan cita-cita besal dan berdimensi jauh

kedepan, membangun kesepakatan terpadu dan kebulatan tekat yang searah akan

hakikat, persoalan dan tujuan perguruan tinggi yang diembannya. Ini sangat

menentukan terhadap sistem maupun cara-cara pengelolaan dan pengembangan

masa datang yaitu, profesionalisme. Dengan demikian gaya manajemen dan

budaya “Ormas” tempat bernaung harus ditinggalkan. Kedudukan perguruan

tinggi sebagai lembaga ilmiah harus betul-betul ditempatkan pada posisi yang

sebenarnya. Selama ini tampaknya manajemen yang diterapkan dalam mengelola

perguruan tinggi Islam adalah manajemen bergaya ormas, sehingga jalannya serba

tidak rasional. Tidak adanya idialisme dan cita-cita masa depan menyebabkan

tidak adanya kegelisahan, serba lamban dan merasa tidak ada tantangan,

menganggap sepi dari percaturan perkembangan dunia perguruan tinggi maupun

perkembangan pemikiran sosial, politik, ekonomi, budaya dan keagamaan.

Padahal sikap lamban itu kata Iqbal berarti mati.

Bidang Struktural yaitu berupa penataan organisasi. Struktur dan sistem

organisasi perguruan tinggi Islam biasanya mengikuti struktur perguruan tinggi

306
swasta pada umumnya, baik yang berafiliasi ke Departemen Pendidikan Nasional

maupun ke Depag, serta yang berafiliasi kepada keduanya. Di samping itu

perguruan tinggi Islam juga mempunyai struktur yang khas sesuai dengan

organisasi atau yayasan penyelenggaraannya. Konsolidasi strukturil ini terutama

diarahkan kepada efesiensi dan efektifitas yang sesuai dengan kondisi dan

kemampuan yang dimiliki. Jangan sampai struktur-struktur yang dikembangkan

hanya bersifat formalitas dan memperpanjang saluran birokrasi, sehingga, hanya

menambah beban moril maupun material. Kebijakan ini misalnya bisa dilakukan

misalnya dengan melakukan penyederhanaan organisasi atau pengalihan bidang

tugas tertentu pada bidang lain yang lebih fungsional. Cara ini boleh jadi agak

menyimpang dari ketentuan yang ada, dan mungkin juga ada pihak-pihak tertentu

yang tidak berkenan, sehingga kemungkinan adanya gejolak atau distabilitas

memang ada. Karena itu kebijakan ini perlu dilakukan dengan arif, strategis dan

keberanian, termasuk keberanian menghadapi tantangan. Tetapi memang tidak

ada hidup ini yang tanpa risiko, hanya saja seorang manajer dapat melakukan

pertimbangan-pertimbangan cerdas sehingga kebijakannya berdampak besar

dengan risiko paling kecil. Bagi seorang manajer tidak ada kamus takut

menghadapi tantangan, karena sebagian dari tugasnya adalah menciptakan

tantangan dan sebagian dari keberhasilannya diukur dari sejauhmana dapat

memecahkan tantangan dengan baik.

Bidang Personil, yaitu penataan dan pengembangan personil sehingga

secara psikologis dan organisatoris kondusif bagi pencapaian tujuan. Konsolidasi

ini biasanya berupa pembinaan etos, disiplin dan kualitas kerja, mutasi,

307
penyegaran serta rekruitmen tenaga tetap. Langkah ini dilakukan sejalan dengan

kebijakan di bidang konsolidasi idiil dan strukturil sehingga personal-personal

yang diberi amanat benar-benar mempunyai tanggung jawab, komitmen dan

kemampuan sesuai dengan cita-cita organisasi. Konsolidasi personil ini dalam

prakteknya seringkali lebih sulit dari pada konsolidasi dua bidang sebelumnya

karena secara langsung berhubungan dengan pengelolaan dan pendayagunaan

sumber daya manusia dengan disertai watak, kemampuan dan kepentingan

beragam.

Konsolidasi ketiga bidang tersebut dilakukan dengan terus-menerus dan

berkelanjutan dan ditempuh sejalan dengan usaha-usaha di bidang penertiban

administrasi akademik, materiil dan keuangan yang bersifat teknis maupun

konsepsional. Di bidang administrasi akademik seharusnya diarahkan kepada

perbaikan pelayanan perkuliahan dan penyelenggaraan ujian negara. Dua hal

tersebut bagi PTS terutama yang sedang tumbuh merupakan suatu tolak ukur

terhadap kemampuan dan kelangsungan hidupnya. Oleh karena itu faktor

pendukung yang berupa keaktifan staf pengajar, status dan persyaratan-

persyaratan lainnya perlu diberikan skala prioritas penanganannya. Di bidang

keuangan perlu dilakukan berbagai bentuk penghematan dan perencanaan

anggaran. Kalau tahun lalu tidak mempunyai saldo atau bahkan deficit misalnya,

diupayakan tahun ini mempunyai saldo, dan tahun depan ditargetkan menjalani

peningkatan. Karena itu di samping mencari pemasukan dari berbagai sumber,

juga dilakukan gerakan kencang ikat pinggang. Pembelanjaan hanya dilakukan

pada bidang-bidang yang dinilai strategis dan produktif untuk masa datang,

308
sedangkan untuk keperluan konsumtif seremonial seperti refresing, berbagai

bentuk selamatan atau tasyakuran dan peresmian yang memakan biaya harus

ditunda. Hindari sedapat mungkin adanya konflik yang membawa kepada

perpecahan. Komlok dapat diibaratkan sebagai “kangker ganas” atau virus HIV

karena menggerogoti daya tahan lembaga di bidang keuangan, kredibilitas dosen,

semangat belajar dan akhirnya pada kualitas lulusan.

4. Tahap Pembangunan Fisik dan Fasilitas

Beranjak dari tahap konsolidasi tersebut, maka prioritas kebijakan

berikutnya adalah pada persoalan-persoalan penting yang harus segera ditangani

yang hasilnya dapat menunjukkan adanya peningkatan, misalnya pembangunan

sarana fisik dan fasilitas serta peningkatan status. Pembangunan fisik misalnya di

samping secara langsung dapat dilihat secara rill, juga merupakan prasyarat bagi

pemberian atau peningkatan status.

Di bidang kemahasiswaan perlu diterapkan prinsip “jemput dan antar

mahasiswa” “Jemput mahasiswa” maksudnya bukan sekedar melayangkan Surat

panggilan, pemberian kemudahan-kemudahan atau janji-janji, melainkan yang

lebih penting adalah menciptakan suasana kampus, suasana belajar, layanan

akademik dan administrasi, dan program-program baru yang mengundang daya

tarik mahasiswa. Sedangkan “antarkan mahasiswa” maksudnya adalah

menciptakan suasana kampus dan belajar yang nyaman dan kondusif bagi

pengembangan kreatifitas mahasiswa, sehingga mereka kerasan dan memperoleh

imbalan jasa yang inernuaskan. Selanjutnya antarkan mereka sampai pada tingkat

sarjana yang bermasa depan yang cakap di bidangnya dengan standar kompetensi

309
scorang sarjana, bukan sekedar lulus kuliah atau mendapat ijazah kesarjanaan.

Kebijakan ini merupakan langkah yang paling strategis dan niungkin juga paling

murah untuk menambah jumlah mahasiswa pada tahun akademik berikutnya.

Dengan kebijakan ini mahasiswa berperan sebagai “buklet hidup” yang

melakukan gethok tular yang akan menarik adik-adik” mereka mengikuti

jejaknya. Hal ini sangat penting karena bagi PTS yang survivalnya sangat

tergantung pada kondisi mahasiswanya.

Untuk mendukung langkah-langkah tersebut, diperlukan adanya

kecerdasan dan keberanian bertindak ke dalam dan keluar dalam inemantapkan

pembangunan fisik ini. Karena itu pemanfaatan jasa Bank dan mengupayakan

bantuan dari berbagai pihak termasuk dari pemerintah, sumbangan pembangunan

mahasiswa dan cara-cara lain yang profit dan rasional. Intinya, untuk

meningkatkan dari kondisi 4 fisik dan fasilitas yang ada, diupayakan usaha terus-

menerus dengan berbagai cara dan jangan merasa lelah. Sebab hanya dengan niat

baik yang diwujudkan dengan karya nyata dan dapat dirasakan oleh semua pihak,

terutama kalangan civitas akademika, itulah jawaban terbaik terhadap segala

bentuk tantangan dan hambatan yang ada. Untuk terus mem-beck up

pembangunan fisik dan fasilitas ini, pembangunan di sektor lain terutama

perekrutan tenaga tetap yang berdedikasi tinggi, pemantapan administrasi dan

kualitas perkuliahan dilakukan sejalan dengan pembangunan fisik dan fasilitas.

5. Tahap Pembangunan Akademik

Tahap pembangunan akademik berarti tahap memulai pembangunan

perguruan tinggi yang sebenarnya. Sebab dug tahap sebelumnya (konsolidasi dan

310
pembangunan fisik) hakikatnya merupakan tahap persiapan walaupun kebanyakan

masyarakat kita masih menilai perguruan tinggi dari kemegahan gedungnya.

Tahap pembangunan akademik berarti pembangunan kualitas keilmuan dan

budaya keilmuan. Hakikat perguruan tinggi adalah sebuah komunitas ekslusif

karena anggota-anggotanya berwatak, berpikir dan bersikap akademik (akademika

admosphare), bukan sebagai kumpulan para sarjana dan calon-calon sarjana yang

melakukan kompromitas intelektual di bawah atap gedung megah dan serba

“wah”. Pembangunan kualitas akademik juga berarti pembangunan “mental

ilmu”, “pembudayaan keilmuan”, dan menciptakan “kultur keilmuan” terutama

bagi para dosen dan mahasiswa. Hal ini tentunya memerlukan waktu panjang dan

biaya cukup besar tetapi hasilnya tidak dapat dilihat secara langsung sebagaimana

pembangunan fisik dan fasilitas.

Pembangunan kualitas akademik harus dimulai dari para dosennya, karena

itu yang harus pertama kali digerakkan adalah kesiapan, cita-cila dan keseriusan

para dosennya tentang wawasan keilmuan dan perguruan tinggi masa depan.

Bagaimana agar masing-masing dosen mempunyai kemampuan akademik yang

memadai di bidang masing-masing, sehingga dijadikan idola para mahasiswanya.

Dan inilah sebenarnya yang perlu perhatian serius dan penanganan yang sungguh-

sungguh karena menyangkut perubahan sikap dan kebiasaan-kebiasaan tertentu

sehingga seringkali cukup sulit dan memakan waktu lama.

Karena itu sangat diperlukan wawasan keilmuan dan berbagai macam

pendekatan. Menyekolahkan para dosennya ke jenjang S2 dan S3 di dalam dan

luar negeri adalah sebuah keharusan, tetapi yang lebih penting adalah sejauh mana

311
mereka dapat berpikir secara bebas, terbuka dan berani melakukan kajian-kajian

kritis dan inovatif melalui budaya membaca, meneliti, seminar, simposium dan

menulis. Disamping itu kemampuan berbahasa Inggris dan memiliki wawasan dan

pengalaman internasional juga sangat diperlukan dalam era globalisasi seperti era

sekarang ini.

Kesempatan studi lanjut terutama di manca negara sebenarnya cukup

besar, akan tetapi yang seringkali menjadi kendala bagi perguruan tinggi yang

sedang tumbuh adalah faktor bahasa asing terutama Inggis dan Arab serta

keberanian menjalin komunikasi internasional. Karena itu kemampuan berbahasa

asing dan memperluas jaringan-jaringan komunikasi dan internalisasi merupakan

persyaratan lain dalam membangun kualitas akademik.

Sekarang ini masyarakat semakin pandai dan selektif dalam memilih

perguruan tinggi. Orang kuliah umumnya sudah benar-benar mencari ilmu,

keterampilan dan profesionalisme yang bisa diandalkan. Demikian uga kalangan

tertentu pemakai lulusan sudah cukup jeli dalam memilih perguruan tinggi yang

terpercaya. Hal ini sejalan dengan keberhasilan pembangunan diberbagai sektor

kehidupan, yang pada gilirannya juga mensyaratkan peningkatan kualifikasi

sumber daya manusia. Apakah sama orang yang mengetahui dengan yang tidak

mengetahui” (al-Our'an).

6. Tahap Pengakuan Masyarakat dan Aktualisasi Diri

Sebagai masyarakat ilmiah yang mengemban amanat Tri Dharma,

perguruan tinggi dikatakan berkualitas apabila secara fungsional berperan sebagai

pusat perubahan, pusat pembaharuan dan kontrol sosial. Perguruan tinggi sebagai

312
komunitas intelektual dapat memerankan tanggungjawabnya dengan tampil ke

depan dan terjun di tengah-tengah masyarakat untuk memanfaatkan ilmu dan

keterampilannya demi kesejahteraan masyarakat. Peran itu dapat dilakukan

apabila warga perguruan tinggi terutama dosennya mempunyai profesionalisme di

bidangnya, berwawasan luas dan mempunyai komitmen terhadap nasib bangsa

dan umat manusia, sehingga sebagian besar hidup dan profesinya dicurahkan

untuk mengabdi kepada kepentingan-kepentingan kemanusiaan, apakah berupa

penemuan-penemuan baru di berbagai bidang ilmu, teknologi dan seni atau

dengan melakukan gerakan pembebasan terhadap segala kondisi dan situasi yang

tidak manusiawi. Dengan kata lain, tugas insan akademis adalah sangat mulia,

yaitu melakukan gerakan humanisasi dan liberalisasi.

Pengakuan dan rasa hormat masyarakat yang tulus terhadap beberapa

almamater seperti UGM, ITB, dan UI untuk perguruan tinggi dalam negeri, dan

kepada Universitas Mc Gill, Universitas Harvard, Universitas Boston, Universitas

Sorbone dan Universitas Al-Azhar untuk perguruan tinggi manca negara,

disebabkan keberadaan perguruan tinggi tersebut telah dirasakan manfaatnya oleh

masyarakat, baik dalam bentuk alumninya yang berkualitas sehingga dapat

mengambil peran strategis dalam masyarakat dan karya-karya ilmiah atau

penemuan-penemuannya berbobot, maupun keterlibatannya secara langsung

sebagai bursa ide dalam memecahkan persoalan-persoalan masyarakatnya.

Perguruan tinggi sebagai komunitas ahlul zikr dan para resi bukan saja kareria

mengetahui realitas sosial dan perkembangan mutakhir diri, dewasa ini, tetapi

juga dapat mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan yang bakal terjadi pada

313
masa datang dengan cermat dan perhitungan rasional (bahasa Jawa: weruh sak

jeroning winarah). Sehingga kalau ada permasalahan-permasalahan ekonomi,

kependudukan, politik, agama dan lain sebagainya, rujukannya adalah perguruan

tinggi.

Karena itu di beberapa perguruan tinggi yang telah memasuki tahap

pengakuan dan aktualisasi diri ini, harga atau citra seorang dosen ditentukan oleh

sejauh mana dapat menyuguhkan kepada masyarakat karya-karya ilmiah berbobot

telah menulis sekian buku dan dijadikan rujukan ilmiah, tulisan-tulisannya dimuat

diberbagai jurnal, penelitiannya menjadi bahan analisis menarik, dan melakukan

berbagai penemuan-penemuannya di bidang sains dan teknologi. Bukan terletak

pada banyaknya jam mengajar, mobilnya, rumahnya atau jabatannya.

314
BAB XI

EVALUASI DALAM PENDIDIKAN ISLAM

A. Pengertian Evaluasi Pendidikan

Evaluasi adalah suatu proses penaksiran terhadap kemajuan, pertumbuhan,

dan perkembangan peserta didik untuk tujuan pendidikan 13. Evaluasi pendidikan

Islam adalah suatu kegiatan untuk menentukan taraf kemajuan suatu aktivitas di

dalam pendidikan Islam14. Program evaluasi ini diterapkan dalam rangka

mengetahui tingkat keberhasilan seorang pendidik dalam menyampaikan materi

pelajaran, menemukan kelemahan-kelemahan yang dilakukan, baik berkaitan

dengan materi, metode, fasilitas, dan sebagainya.

B. Tujuan Dan Fungsi Evaluasi Pendidikan Islam

Tujuan evaluasi adalah mengetahui kadar pemahaman peserta didik

terhadap materi pelajaran, melatih keberanian dan mengajak peserta didik untuk

mengingat kembali materi yang telah diberikan, dan mengetahui tingkat

perubahan perilakunya. Selain itu, program evaluasi bertujuan mengetahui siapa

di antara peserta didik yang cerdas dan yang lemah, sehingga yang lemah diberi

perhatian khusus agar ia dapat mengejar kekurangannya. Sasaran evaluasi tidak

bertujuan mengevaluasi peserta didik saja, tetapi juga bertujuan mengevaluasi

pendidik, yaitu sejauh mana ia bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugasnya

untuk mencapai tujuan pendidikan Islam15.


13
Oemar Hamalik, Pengajaran Unit, (Bandung: Alumni, 1982), h. 106.

14
Zuhairini, dkk., Metodik Khusus Pendidikan Agama, (Surabaya: Usaha Nasional, 1981),
h. 139.

15
Muhammad Athiyah al-Abrasyi, Ruh al-Tarbiyah wa al-Ta’lim, (Saudi Arabiyah: Dar
al-Ahya’, tt.), h. 362.

315
Fungsi evaluasi adalah membantu peserta didik agar ia dapat mengubah

atau mengembangkan tingkah lakunya secara sadar, serta memberi bantuan

padanya cara meraih suatu kepuasan bila berbuat sebagaimana mestinya. Di

samping itu, fungsi evaluasi juga dapat membantu seorang pendidik dalam

mempertimbangkan adequate (cukup memadai) metode pengajaran serta

membantu dan mempertimbangkan administrasinya16.

Sasaran-sasaran evaluasi pendidikan Islam secara garis besarnya melihat

empat kemampuan peserta didik, yaitu: (1) sikap dan pengalaman terhadap

hubungan pribadinya dengan Tuhannya; (2) sikap dan pengalaman terhadap arti

hubungan dirinya dengan masyarakat; (3) sikap dan pengalaman terhadap arti

hubungan kehidupannya dengan alam sekitarnya; dan (4) sikap dan pendangannya

terhadap diri sendiri selaku hamba Allah, anggota masyarakat, serta selaku

kahlifah-Nya di muka bumi. Keempat kemampuan dasar tersebut dijabarkan

dalam klasifikasi kemampuan teknik menjadi masing-masing sebagai berikut:17

1. Sejauh mana loyalitas dan pengabdiannya kepada Allah swt. dengan

indikasi-indikasi lahiriyah berupa tingkah laku yang mencerminkan

keimanan dan ketakwaan kepada Allah swt., yang tertuang dalam bentuk

ibadah shalat, puasa dan haji.

2. Sejauhmana ia dapat menerapkan nilai-nilai agamanya dan kegiatan hidup

bermasyarakat, seperti akhlak yang mulia, disiplin, kepedulian, dan

tanggung jawab sosial

16
Oemar Hamalik, Op.cit., h. 106-107.

17
Arifin HM, Ilmu Pendidikan Islam; Suatu Tinjuan Teoritis dan Praktis, (Jakarta: Bumi
Aksara, 1991), h. 239-240.

316
3. Bagaimana ia berusaha mengelola dan memelihara serta menyesuaikan

diri dengan alam sekitarnya, apakah ia merusak ataukah memberi makan

bagi kehidupam alam semesta.

4. Bagaimana dan sejauh mana ia memandang diri sendiri sebagai hamba

Allah dalam menghadapi kenyataan masyarakat yang beraneka ragam

budaya, suku, dan agama.

Kalau dilihat lebih jauh, ciri-ciri khusus bagi evaluasi pendidikan modern

adalah sebagai berikut:18 lebih mementingkan hasil belajar fungsional daripada

pengertian, skill, dan kesanggupan. Hal-hal yang diperhatikan ialah keseluruhan

aspek perkembangan anak, baik fisik, intelek, emosi, sosial, spiritual, serta

persesuaian (adjustment) individum dengan hubungan sosialnya; (2) lebih

menitikberatkan pada pengukuran (measurement) terhadap pemahaman dan

interpretasi dan tidak lagi terhadap informasi yang terpisah-pisah, skill, maupun

kesanggupan; (3) makin banyak menggunakan tes-tes informal; (4)

mengembangkan analisis unsur-unsur kesanggupan mental seperti analisis

terhadap kesanggupan membaca; (5) berbagai teknik dikembangkan untuk

mengukur peranan individu maupun kelompok dalam rangka mendalami

dinamika kelompok; dan (6) tes-tes kepribadian makin dikembangkan dan

disebarkan.

Allah swt, dalam mengevaluasi hamba-hamba-Nya tidak memandang

formalitas, tetapi memandang substansi di balik tindakan hamba-hamba tersebut.

Bahkan kualitas suatu perilaku lebih dipentingkan daripada kuantitasnya dalam

18
Ismed Syarif dan Ramdono, Komponen Evaluasi dalam Pengajaran Suatu Sistem,
(Jakarta: R, Pengetahuan, 1984), h. 15.

317
proses evaluasi. Firman Allah swt, : “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-

kali tidak dapat mencapai keridaan Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang

dapat mencapainya” (AS. Al-Hajj:37). “Yang menjadikan mati dan hidup, supaya

Dia menguji kamu, siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. Dan dia

Mahaperkasa lagi Maha pengampun” (QS. Al-Mulk: 2) Sabda Nabi saw,: “

Sesungguhnya Allah tidak mengevaluasi pada bentuk dan rupa, postur tubuh, serta

harta kamu, tetapi Allah mengevaluasi pada hati dan amal perbuatanmu” (H.R.

Thabrani).

C. Prinsip-prinsip Evaluasi Pendidikan Islam

Evaluasi adalah penilaian tentang suatu aspek yang dihubungkan dengan

situasiaspek lainnya, sehingga diperoleh gambaran menyeluruh yang ditinjau dari

beberapa segi. Sehubungan itu, dalam pelaksanaan evaluasi harus diperhatikan

perinsip-prinsip sebagai berikut:

1. Prinsip Kesinambungan (Kontinuitas)

Evaluasi tak hanya dilakukan setahun sekali, atau per semester, tetapi

dilakukan secara terus-menerus, mulai dari proses belajar mengajar sambil

memerhatikan keadaan peserta didiknya, hingga peserta didik tersebut tamat dari

lembaga sekolah. Dalam ajaran Islam, sangat diperhatikan prinsip kontinuitas,

karena dengan berpegangan dengan prinsip ini, keputusan yang diambil oleh

seseorang menjadi valid dan stabil (QS. Fushshilat: 30), serta menghasilkan suatu

tindakan yang menguntungkan (QS. al-Ahqaf: 13-14).

2. Prinsip Menyeluruh (Komprehensif)

318
Prinsip yang melihat semua aspek; meliputi kepribadian, ketajaman

hafalan, pemahaman, ketulusan, kerajinan, sikap kerja sama, tanggung jawab, dan

sebagainya. Bila diperlukan, masing-masing bidang diberikan penilaian secara

khusus, sehingga peserta didik mengetahui kelebihannya dibanding dengan

teman-temannya. Hal itu diasumsikan bahwa tidak semua peserta didik menguasai

beberapa pengetahuan atau keterampilan secara utuh. Dalam kondisi inilah maka

setiap individu yang berprestasi dapat menerima hadiah, sekalipun pada beberapa

bagian ia tertinggal dengan teman-temannya.

3. Prinsip Objektivitas

Dalam mengevaluasi berdasarkan kenyataan yang sebenarnya, tidak boleh

dipengaruhi oleh hal-hal yang bersifat emosional dan irasional. Allah swt.

memerintahkan agar seseorang berlaku adil dalam mengevaluasi sesuatu, jangan

karena kebencian menjadikan ketidakobjektifan evaluasi yang dilakukan (QS. al-

Maidah: 8). Nabi Muhammad saw, bersabda, “Andaikan Fathimah binti

Muhammad itu mencuri, niscaya aku tidak segan-segan memotong kedua

tangannya.” Demikian pula hanya dengan Umar bin Khattab yang mencambuk

anaknya karena berbuat zina. Prinsip ini dapat diterapkan bila penyelenggara

pendidikan sifat-sifat utama, misalnya sifat sidiq (benar atau jujur), ikhlas,

amanah, ta’awum, ramah, dan sebagainya.

D. Sistem Evaluasi dalam Pendidikan Islam

Sistem evaluasi yang dikembangkan oleh Allah swt, dan Rasul-Nya

berimplikasikan paedagogis sebagai berikut:

319
1. Untuk menguji daya kemampuan manusia beriman terhadap berbagai

macam problem kehidupan yang dialami (QS. al-Baqarah: 155).

2. Untuk mengetahui sejauh mana atau sampai dimana hasil pendidikan

wahyu yang telah diimplikasikan oleh Rasulullah saw, pada umatnya (QS.

al-Naml: 40), seperti pengevaluasian Nabi Sulaiman terhadap burung hud-

hud (QS. al-Naml: 27).

3. Untuk menentukan klasifikasi atau tingkat hidup keislaman atau keimanan

seseorang, seperti pengevaluasian Allah terhadap Nabi Ibrahim yang

menyembeli Ismail putra yang dicintainya (QS. As-Shaffat: 103-107)19.

4. Untuk mengukur daya kognisi, hafalan manusia dari pelajaran yang telah

diberikan padanya, seperti pengevaluasian terhadap Nabi Adam tentang

Asma-asma yang diajarkan Allah kepadanya dihadapan para Malaikat

(QS. al-Baqarah:31).

5. Memberikan semacam tabsyir (berita gembira) bagi yang beraktifitas baik,

dan memberikan semacam iqab (siksa) bagi mereka yang beraktifitas

buruk (QS. az-Zalzalah:7-8).

E. Cara Pelaksanaan Evaluasi Pendidikan Islam

Evaluasi pendidikan Islam dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu evaluasi

terhadap diri sendiri (self-evaluation) dan terhadap kegiatan orang lain (peserta

didik)20.

1. Evaluasi terhadap diri sendiri

19
Arifin HM, Op.cit., h. 242.
20
Baca Syahminan Zai ni dan Muhaimin, Belajar Sebagai Sarana Pengembangan Fitrah
Manusia, (Jakarta: Kalam Mulia, 1991), h. 59-64).

320
Seorang muslim, termasuk peserta didik, yang sadar dan baik adalah

mereka yang sering melakukan evaluasi diri dengan cara muhasabah dengan

menghitung baik buruknya, menulis autobiografi dan inventarisasi diri (self-

Inventori), baik mengenai kelebihan yang harus dipertahankan maupun

kekurangan dan kelemahan yang perlu dibenahi. Evaluasi terhadap diri sendiri

yang sesungguhnya akan mampu menggambarkan keadaan yang sesungguhnya,

karena yang mengetahui perilaku individu adalah individu itu sendiri. Firman

Allah swt., dalam QS. adz-Dzariyat ayat 21: “Dan (juga) pada dirimu sendiri.

Maka apakah kamu tiada memerhatikan? “Kelemahan evaluasi diri sendiri adalah

cenderung subjektif apabila yang bersangkutan tidak memiliki kesadaran untuk

perbaikan peningkatan diri, sebab ia ingin terlihat sukses, tanpa cacat, dan ingin di

depan.

Umar bin al-Khattab berkata: “Hasibu qabla ‘an tuhasabu” (evaluasilah

dirimu sebelum dirimu dievaluasi oleh orang lain). Dengan begitu, individu

dituntut waspada dalam melakukan suatu tindakan, karena semua tindakan itu

tidak terlepas dari evaluasi dari Allah swt., (QS. al-Baqarah: 115) serta dua

Malaikat sebagai supervisornya, yaitu Raqib dan Atid (QS. Qaf: 18).

2. Evaluasi kegiatan orang lain

Evaluasi terhadap perilaku orang lain harus disertai dengan amr ma’ruf

dan nahi munkar (mengejar yang baik dan mencegah yang mungkar). Tujuannya

adalah memperbaiki tindakan orang lain, bukan untuk mencari aib atau kelemahan

seseorang. Dengan niatan ini maka evaluasi pendidikan Islam dapat terlaksana

(QS. al-Ashr: 3). Dengan dorongan hawa nafsu dan bisikan setan, individu

321
terkadang melakukan kesalahan dan perilaku yang buruk. Ia tidak merasakan

bahwa tindakannya itu merugikan dikemudian hari. Dalam kondisi ini, perlu ada

evaluasi dari orang lain, agar ia dapat kembali ke fitrah aslinya yang cenderung

baik. Evaluasi dari orang lain cenderung objektif, karena tidak dipengaruhi hasrat

primitifnya.

F. Jenis-jenis Evaluasi Pendidikan Islam

Jenis-jenis evaluasi yang dapat diterapkan dalam pendidikan Islam ada

empat macam, yaitu:

1. Evaluasi Formatif. Evaluasi yang digunakan untuk mengetahui hasil

belajar yang dicapai peserta didik setelah ia menyelesaikan program dalam

satuan bahan pelajaran pada suatu bidang studi tertentu. Jenis ini

diterapkan berdasarkan asumsi bahwa manusia memiliki banyak

kelemahan (QS. an-Nisa’: 28) dan pada mulanya tidak mengetahui apa-apa

(QS. an-Nahl: 78), sehingga pengetahuan, keterampilan, dan sikap itu

tidak dibiasakan. Untuk itu, Allah swt., menganjurkan agar manusia

berkonsentrasi pada suatu informasi yang di dalami sampai tuntas, mulai

proses pencarian (belajar mengajar) sampai pada tahap pengevaluasian.

Setelah informasi itu telah dikuasai dengan sempurna, ia dapat beralih

pada informasi yang lain (QS. al-Insyirah:7-8).

2. Evaluasi Sumatif. Evaluasi yang dilakukan terhadap hasil belajar peserta

didik setelah mengikuti pelajaran dalam satu caturwulan, satu semester,

atau akhir tahun, untuk menentukan jenjang berikutnya (perhatikan QS. al-

Insyiqaq: 19, al-Qamar: 49).

322
3. Evaluasi penetapan (placement). Evaluasi yang dilakukan sebelum anak

mengikuti proses belajar mengajar untuk kepentingan penetapan pada

jurusan atau fakultas yang diinginkan.

4. Evaluasi diagnosis. Evaluasi terhadap hasil penganalisisan tentang

keadaan belajar pesertav didik, baik merupakan kesulitan-kesulitan atau

hambatan yang ditemui dalam situasi belajar mengajar21.

G. Syarat-syarat Evaluasi Pendidikan Islam

Syarat-syarat yang dapat dipenuhi dalam proses evaluasi pendidikan Islam

adalah sebagai berikut:

1. Validity. Tes harus dilakukan berdasarkan hal-hal yang seharusnya

dievaluasi, yang meliputi seluruh bidang tertentu yang diinginkan dan

diselidiki, sehingga tidak hanya mencakup satu bidang saja. Soal-soal tes

harus memberi gambaran keseluruhan (representatif) dari kesanggupan

anak mengenal bidang itu.

2. Reliable. Tes yang dapat dipercaya yang memberikan keterangan tentang

kesanggupan peserta didik yang sesungguhnya. Soal yang ditampilkan

tidak membawa tafsiran yang macam-macam.

3. Efisiensi. Tes yang mudah dalam administrasi, penilaian, dan

interpretasinya. Allah swt., berfirman: “Maka dia akan dievaluasi dengan

pengevaluasian yang mudah” (QS. al-Insyiqaq: 8).22

H. Sifat, Macam-macam, dan Teknik Evaluasi Pendidikan Islam

21
Ramayulis, Metodologi Pengajaran Agama Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 1990), h.
268-270.

22
Nasution, Dedaktik Asas-asas mengajari, (Bandung: Jemmars, 1982), h. 167-170.

323
Sifat-sifat evaluasi yang dapat diterapkan dalam pendidikan Islam adalah

sebagai berikut: (1) kuantitatif, yaitu hasil evaluasi yang diberikan skor atau nilai

dalam bentuk angka, misalnya 50, 79, dan 100; (2) kualitatif, yang hasil evaluasi

diberikan dalam bentuk pernyataan verbal, misalnya memuaskan, baik, cukup dan

kurang. Sedang macam-macam evaluasi yang dapat diterapkan dalam pendidikan

Islam adalah: (1) tes tertulis (written test); (2) tes lisan (oral test); dan (3)

perbuatan (performance test). Aspek kognitif biasanya menggunakan tes tertulis

maupun lisan, sedangkan aspek psikomotorik menggunakan tes perbuatan.

Teknik yang dapat digunakan dalam evaluasi pendidikan Islam adalah: (1)

teknik tes, yaitu teknik yang digunakan untuk menilai kemampuan peserta didik,

meliputi pengetahuan dan keterampilan sebagai hasil belajar, serta bakat khusus

dan intelegensinya. “Teknik ini terdiri atas: (a) uraian (essay test), baik uraian

bebas (free test) maupun uraian terbatas (limited essay); (b) objektif tes, dalam

bentuk, betul-salah (true false), pilihan ganda (multiple choice), menjodohkan

(matching), isian (complation) dan jawaban singkat (short answer); dan (c) bentuk

tes lain, seperti bentuk ikhtisar, laporan, dan bentuk khusus dalam pelajaran

bahasa; (2) non tes, yaitu teknik yang digunakan untuk menilai karakteristik

lainnya, misalnya minat, sikap, dan kepribadian siswa. Teknik ini meliputi

observasi terkontrol, wawancara (interview), rating scale, inventory,

questionnaire, dan anecdotal accounts.23

DAFTAR PUSTAKA

23
Zuhairini, dkk., Op.cit., h. 158-160.

324
Dualay Haidar Putra, Pendidikan Islam dalam Perspektif Filsafat, Jakarta,
Kencana, 2014.

Gunawan Heri, Kurikulum dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Bandung,


Alfabeta, 2012.

Madjid Abdul, Belajar dan Pembelajaran Pendidikan Agama Islam, Bandung


Remaja Rosdakarya 2014.

Madjid Abdul dan Handayani Dian, Pendidikan Agama Berbasis Kompetensi


(Konsep dan Implementasi Kurikulum 2004), Bandung Remaja
Rosdakarya 2005.

Majdid Mujib dan Mudzakkir Jusuf, Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta, Kencana
Prenada Media Group, 2008.

Tobroni, Pendidikan Islam Dari Dimensi Paradigma Telogis Filosofis dan


Spiritualitas Hingga Dimensi Praksis Nomatif, Jakarta, Mitra Wacana
Media, 2015.

Syah Darwyn, Perencanaan Sistem Pengajaran Pendidikan Agama Islam,


Jakarta, Gaung Persada Press, 2007.

Tafsir Ahmad, Ilmu Pendidikan Islami, Bandung Remaja Rosdakarya 2013.

325

Anda mungkin juga menyukai