Anda di halaman 1dari 11

Dosen Penagmpu:

Nikmah Dalimunthe, S.Ag., M.Hum.


MINI RISET
AGAMA ISLAM
“Mengembangkan Karakter Islam Anak dalam Perspektif Kebudayaan”

OLEH KELOMPOK 3:

Handika Zulkarnain Lubis (4193550034) PSIK C 2019

Iman Kamarullah Hasibuan (4191230010) PSM B 2019

Irana Putri Juliani (4193230023) PSM A 2019

Muhammad Fachrezzy (4193550017)

Nabila Khairunnisa (4193230004) PSM B 2019

Risa Alviani (4192230002) PSM B 2019

Tenri Musdalifah (4193530001) PSM B 2019

Windikirani (4192230003) PSM B 2019

JURUSAN MATEMATIKA

FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM

UNIVERSITAS NEGERI MEDAN

2021

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Allah SWT., karena atas berkat dan rahmat-
Nya kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah “Agama Islam” yaitu Mini Riset tepat
waktu. Kami juga berterimakasih kepada Ibu dosen Nikmah Dalimunthe, S.Ag., M.Hum.
selaku dosen pembimbing mata kuliah Agama Islam. Dalam penyusan makalah ini, kami
banyak mendapat tantangan dan hambatan akan tetapi dengan bantuan dari berbagai pihak
tantangan itu bisa teratasi. Oleh karena itu, kami mengucapkan terima kasih yang sebesar
besarnya kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan makalah ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan baik dari bentuk
penyusunan maupun materinya. Kami mengharapkann Kritik dan Saran untuk kesempurnaan
makalah yang berikutnya. Semoga makalah ini bisa bermanfaat bagi kita semua.

Medan, Mei 2021

Kelompok 3

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................i

DAFTAR ISI......................................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................1

1.1 Latar belakang......................................................................................................1

1.2 Rumusan Masalah................................................................................................1

BAB II PEMBAHASAN...................................................................................................2

BAB III PENUTUP...........................................................................................................7

3.1 Kesimpulan..........................................................................................................7

3.2 Saran.....................................................................................................................7

DAFTAR PUSTAKA........................................................................................................8

ii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Pendidikan dalam pengertian yang lebih luas dapat diartikan sebagai suatu
proses pembelajaran kepada peserta didik (manusia) dalam upaya mencerdaskan dan
mendewasakan peserta didik tersebut. Islam memandang peserta didik sebagai makhluk
Allah dengan segala potensinya yang sempurna sebagai khalifah fil ardh, dan terbaik di
antara makhluk lainnya.[1]
Pendidikan dipengaruhi banyak hal, salah satunya adalah budaya. Budaya
dapat mempengaruhi pendidikan karena setiap manusia hidup di dalam budaya. Pada saat
ini budaya lokal semakin tergeser dengan adanya budaya-budaya modern yang terus
berkembang. Kebudayaan lokal semakin terpinggirkan dari masyarakat dan kurang
membumi.
Dalam Tugas kali ini, kami akan mencoba untuk tetap mempertahankan
budaya kita dengan cara membuatnya sebagai bahan pendidikan untuk membentuk
karakter yang Islami kepada Anak.

1.2  Rumusan Masalah
Berdasarkan fokus pembahasan dalam latar belakang di atas, dapat kita ketahui bahwa
rumusan masalah dalam pembahasan ini adalah, apakah budaya dapat dijadikan sebagai
bahan pendidikan karakter Islam terhadap anak?

1
BAB II
PEMBAHASAN

2.1 Kebudayaan, dan Karakter


·     Kebudayaan
Istilah kebudayaan atau culture dalam bahasa Inggris, berasal dari kata kerja
dalam bahasa Latin colere yang berarti bercocok-tanam (cultivation); dan bahkan di
kalangan penulis pemeluk agama Kristen istilah cultura juga dapat diartikan sebagai
ibadah atau sembahyang (worship). Dalam bahasa Indonesia, kata kebudayaan berasal
dari kata Sanskerta buddhayah,  yaitu bentuk jamak dari kata buddhi (budi atau akal); dan
ada kalanya juga ditafsirkan bahwa kata budaya merupakan perkembangan dari kata
majemuk ‘budi-daya’ yang berarti daya dari budi, yaitu berupa cipta, karsa dan rasa.
Karenanya ada juga yang mengartikan bahwa kebudayaan merupakan hasil dari cipta,
karsa, dan rasa.[2]

·      Karakter
Secara etimologis, kata karakter (Inggris: Character) beraal dari bahasa
Yunani. Yaitu Charassein  yang berarti to engrave. Kata to engrave bisa diterjemahkan
mengukir, melukis, memahat, atau menggoreskan. Dalam kamus bahasa Indonesia kata
karakter diartikan tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan
seseorang dengan yang lain, dan watak. Dengan demikian, orang berkarakter orang yang
berkepribadian, berperilaku, bersifat, bertabiat, atau berwatak.[3]
Secara terminologis, makna karakter dikemukakan oleh Thomas Lickona
bahwa karakter adalah a reliable inner disposition to respond to situations in a morally
good way, yang berarti suatu watak terdalam untuk merespons situasi dalam suatu cara
yang baik dan bermoral. Dalam pandangan Lickona, karakter berarti suatu watak
terdalam yang dapat diandalkan untuk merespons situasi dengan cara yang menurut
moral baik. Selanjutnya, Lickona menambahkan, “Character so conceived ha three
interrelated parts: moral knowing, moral feeling, and moral behavior.” (Artinya:
karakter tersusun ke dalam tiga bagian yang saling terkait, yaitu pengetahuan tentang
moral, perasaan bermoral, dan perilaku bermoral). Jadi, karakter sendiri atas tiga bagian
pokok yang saling berhubungan, yaitu pengetahuan tentang moral, perasaan bermoral,
dan perilaku bermoral.[4]

2
2.2 Kerangka Teori
·     Pembelajaran Berbasis Budaya
Horton dan Hunt mendefinisikan kebudayaan sebagai suatu hal yang dipelajari
atau dialami bersama secara sosial oleh suatu anggota masyarakat. Selanjutnya Udin S.
Winataputra dkk, mendeskripsikan bahwa pembelajaran berbasis budaya sebagai cara
belajar yang mendorong terjadinya proses imaginatif, metaforik, berpikir kreatif, dan
juga sadar budaya.[5]
Teori belajar yang mendukung diterapkannya pembelajaran berbasis budaya,
salah satunya adalah teori konstruktivime dalam pendidikan yang dikembangkan dari
pemikiran Vygotsky (Social and Emancipator Constructivism). Teori konstruktivisme ini
disimpulkan bahwa siswa (anak didik) mengkonstruksikan pengetahuan yang dimiliki
atau penciptaan sebuah makna yang dijadikan sebagai hasil dari pemikiran dan
berinteraksi dalam konteks sosial.[6]

·      Hubungan Aktivitas Agama dan Karakter


Menurut Al-Asfahani, landasan kemuliaan syariah (kemuliaan agama) adalah
kesucian jiwa yang dicapai melalui pendidikan dan melakukan kesederhanaan,
kesabaran, dan keadilan. Kesempurnaannya diperoleh dari kebijaksanaan yang ditempuh
melalui pelaksanaan perintah-perintah agama, kedermawanan dicapai melalui
kesederhanaan, keberanian dicapai melalui kesabaran, dan kebenaran berbuat diperoleh
melalui keadilan. Asfahani juga menjelaskan hubungan yang erat antara aktivitas agama
dan karakter (akhlak). Hubungan keduanya, menurutnya, sangat organis. Baginya, ibadah
merupakan prasyarat bagi terwujudnya karakter mulia.[7]
Selanjutnya Michele Borba mengemukakan bahwa terdapat tujuh cara untuk
menumbuhkan kebajikan utama (karakter yang baik) dalam diri anak, yaitu empati, hati
nurani, kontrol diri, rasa hormat, kebaikan hati, toleransi, dan keadilan. Ketujuh macam
kebajikan itulah yang dapat membentuk manusia berkualitas di mana pun dan kapan pun.
[8]

2.3 Deskripsi Topik
Muhammad Hatta, mengatakan bahwa agama merupakan bagian dari
kebudayaan: “Kebudayaan adalah ciptaan hidup daripada suatu bangsa. Kebudayaan
banyak sekali macamnya. Menjadi pertanyaan apakah agama itu suatu ciptaan manusia
atau tidak. Keduanya bagi saya bukan soal. Agama adalah juga suatu kebudayaan, karena

3
dengan beragama manusia dapat hidup dengan senang. Karenanya saya katakana agama
adalah suatu bagian daripada kebudayaan…”.[9]
Kebudayaan menurut Taylor adalah totalitas yang kompleks yang mencakup
pengetahuan, kepercayaan, seni, hukum, moral, adat, dan kemampuan-kemampuan serta
kebiasaan-kebiasaan yang diperoleh orang sebagai anggota masyarakat.
Fungsi kebudayaan dalam kehidupan manusia[10]:
a.       Penerus keturunan dan pengasuh anak
b.      Pengembangan kehidupan berekonomi
c.       Transmisi budaya
d.      Meningkatkan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa
e.       Pengendalian social
f.       Rekreasi
Dari fungsi kebudayaan di atas dapat kita lihat bahwa budaya dapat
meningkatkan iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa. Budaya sebagai suatu
kebenaran bahwa tidak ada manusia yang hidup bermasyarakat yang tidak didasari oleh
nilai-nilai budaya yang diakui masyarakat itu. Nilai-nilai budaya itu dijadikan dasar
dalam pemberian makna terhadap suatu konsep dan arti dalam komunikasi antar anggota
masyarakat itu. Posisi budaya yang demikian penting dalam kehidupan masyarakat
mengharuskan budaya menjadi sumber nilai dalam pendidikan dan karakter anak.[11]
Pembelajaran berbasis budaya dan agama sebagai pendidikan karakter
terhadap anak dimulai dengan dipelajarinya budaya itu sendiri, karena budaya adalah hal
yang dialami bersama dalam suatu masyarakat. Budaya akan mendorong berbagai
perkembangan anak, membuat anak semakin kreatif dalam menanggapi suatu masalah.
Efek dari budaya ini nanti akan dimasukkan sebagai modal untuk mendidik karakter
anak. Caranya kita bisa mulai dengan menggabungkan antara nilai-nilai yang ada pada
budaya dan nilai-nilai yang ada pada agama. Kita mencari kecocokan antara budaya dan
agama, agar membuat karakter yang bagus pada anak.

2.4  Analisis
Seperti yang dibahas sebelumnya, untuk menjadikan budaya sebagai
pendidikan karakter Islam anak yang perlu dilakukan adalah dengan mencocokan dan
menggabungkan antara budaya dan agama. Kita dapat menggunakan teori
konstruktivisme pembelajaran budaya yang dikembangkan dari pemikiran Vygotsky
(Social and Emancipator Constructivism). Teori konstruktivisme ini disimpulkan bahwa

4
siswa (anak didik) mengkonstruksikan pengetahuan yang dimiliki atau penciptaan
sebuah makna yang dijadikan sebagai hasil dari pemikiran dan berinteraksi dalam
konteks sosial.[12]
Dalam teori tersebut, dapat kita lihat dengan jelas bahwa poin penting dalam
teori tersebut adalah interaksi dalam konteks sosial. Jadi, kita mendidik anak dengan
melatihnya berinteraksi dengan hal-hal yang ada di sekitarnya, dimulai dengan keluarga.
Keluarga adalah satuan terkecil kelompok orang dalam masyarakat yang
terdiri dari suami dan istri, atau suami, istri, dan anak-anak mereka.[13] Peran keluarga
dalam mendidik karakter Islam anak adalah dengan memberi pengetahuan tentang
berbagai nilai, perilaku, serta kecenderungan yang dilarang dan diperintahkan bagi
agama dan masyarakat.
Untuk menumbuhkan karakter Islam yang baik pada anak, keluarga harus
mengajarkan tujuh hal penting yang dikemukakan oleh Michele Borba yaitu empati, hati
nurani, kontrol diri, rasa hormat, kebaikan hati, toleransi, dan keadilan. Ketujuh macam
kebajikan itulah yang dapat membentuk manusia berkualitas di mana pun dan kapan pun.
[14]
Dengan mengajarkan empati diharapkan anak akan peka terhadap perasaan
orang lain dan juga membuatnya dapat menafsirkan dengan tepat gejala emosi seseorang,
baik dari nada suara, postur tubuh, ekspresi wajah. Hati nurani adalah suara hati yang
membantu anak memilih jalan yang benar daripada jalan yang salah serta tetap berada di
jalur yang bermoral. Kontrol diri dapat membantu anak menahan dorongan dari dalam
dirinya dan berpikir sebelum bertindak sehingga ia melakukan hal yang benar, dan kecil
kemungkinan mengambil tindakan yang berakibat buruk. Rasa hormat mendorong anak
bersikap baik dan menghormati orang lain. Kebaikan hati membantu anak menunjukkan
kepeduliannya terhadap kesejahteraan dan perasaan orang lain. Toleransi membuat anak
mampu menghargai perbedaan kualitas dalam diri orang lain, membuka diri terhadap
pandangan dan keyakinan baru. Keadilan menuntun anak agar memperlakukan orang
lain dengan baik, tidak memihak, dan adil sehingga ia mematuhi aturan, mau bergiliran,
dan berbagi. Setelah pendidikan dalam keluarga, selanjutnya adalah sekolah. Kita harus
tepat memasukkan anak ke sekolah yang baik. Jika kita ingin mendidik karakter Islam
pada anak, tentunya kita harus memilih sekolah yang berbau agama. Di sana anak akan
mendapatkan nilai karakter mulia seperti taat kepada Allah, syukur, ikhlas, sabar,
tawakal, qanaah, dan lain sebagainya, yang mereka dapat dari interaksi dengan guru di
dalam kelas, dan juga interaksi dengan teman-temannya.  Taat kepada Allah:

5
melaksanakan perintah dan meninggalkan semua larangannya. Syukur: selalu
berterimakasih kepada Allah. Ikhlas: melakukan perbuatan secara tulus tanpa pamrih.
Sabar: menerima semua takdir Allah. Tawakal: menyerahkan semua urusan kepada
Allah.  Qanaah: menerima semua ketentuan Allah dengan rela dan apa adanya.[15]
Menurut Al-Asfahani, landasan kemuliaan syariah (kemuliaan agama) adalah
kesucian jiwa yang dicapai melalui pendidikan dan melakukan kesederhanaan,
kesabaran, dan keadilan. Kesempurnaannya diperoleh dari kebijaksanaan yang ditempuh
melalui pelaksanaan perintah-perintah agama, kedermawanan dicapai melalui
kesederhanaan, keberanian dicapai melalui kesabaran, dan kebenaran berbuat diperoleh
melalui keadilan. Asfahani juga menjelaskan hubungan yang erat antara aktivitas agama
dan karakter (akhlak). Hubungan keduanya, menurutnya, sangat organis. Baginya, ibadah
merupakan prasyarat bagi terwujudnya karakter mulia.[16]
Semua hal di atas dapat dilakukan oleh anak karena dengan adanya
pengalaman berinteraksi. Dari bekal interaksi anak dalam keluarga dan sekolah ini maka
karakter Islam anak dapat terbentuk, mereka mendapatkan bekal yang cukup untuk
menciptakan sebuah makna di dalam masyarakat dan kehidupannya. Jadi, dapat kita lihat
bahwa pembelajaran berbasis budaya dengan menggunakan teori konstruktivisme tidak
ada salahnya untuk diterapkan dalam mendidik karakter Islam anak.

6
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Pendidikan karakter Islam pada anak melalui budaya dapat dilakukan dengan
berbagai cara. Kita bisa menggabungkan agama dan budaya, mencari kecocokan antara
keduanya. Di dalam pembelajaran berbasis budaya kita dapat memakai teori
konstruktivisme yang mengkonstruksikan pengetahuan yang dimiliki atau penciptaan
sebuah makna yang dijadikan sebagai hasil dari pemikiran dan berinteraksi dalam
konteks sosial yang ditanami dengan nilai-nilai karakter Islam. Dimulai dari interaksi
dengan keluarga dan interaksi di sekolah Dari teori yang ditanami nilai-nilai karakter
Islam tersebut, maka akan melahirkan karakter Islam yang baik pada anak. Jadi, dari
budaya sekalipun juga dapat menumbuhkan karakter Islam yang baik bagi diri sendiri
ataupun orang lain. Dan karakter Islam yang telah terbentuk ini nantinya akan sangat
bermanfaat bagi anak di masyarakat dan di kehidupannya.

3.2 Saran
Dalam sebuah pendidikan sebaiknya terdapat pembelajaran berbasis budaya,
karena hal ini tidak hanya untuk mengenalkan budaya kepada anak, tetapi hal ini juga
dapat membantu dalam mengembangkan karakter Islam kepada anak.

7
DAFTAR PUSTAKA

Ismail, Faisal. 1998. Paradigma Kebudayaan Islam, Studi Kritis dan Refleksi                


Historis. Yogyakarta: Titian Ilahi Press.
Marzuki. 2015. Pendidikan Karakter Islam. Jakarta: AMZAH

Anda mungkin juga menyukai