Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PENDAHULUAN

Neuropati diabetikum merupakan salah satu komplikasi kronis paling sering


ditemukan pada diabetes melitus. Risiko yang dihadapi pasien diabetes mellitus dengan
neuropati diabetikum antara lain adalah infeksi berulang, ulkus yang tidak sembuh –
sembuh dan akhirnya amputasi jari atau kaki. Kondisi inilah yang menyebabkan
bertambahnya angka kesakitan dan kematian, yang berakibat meningkatnya biaya
pengobatan pasien diabetes neuropati dengan neuropati diabetikum.
Hingga saat ini patogenesis neuropati diabetikum belum seluruhnya diketahui
dengan jelas, namun demikian dianggap bahwa hiperglikemia persisten merupakan faktor
primer. Faktor metabolik ini bukan satu-satunya yang bertanggung jawab atas terjadinya
neuropati diabetikum, tetapi terdapat beberapa teori lain yang telah diterima yaitu teori
vaskular, autoimun, dan nerve growth factor. Studi prospektif oleh Solomon dkk,
menyebutkan bahwa selain peran kendali glikemik, kejadian neuropati juga berhubungan
dengan risiko kardiovaskular yang potensial masih dapat dimodifikasi.
Manifestasi neuropati diabetikum bisa sangat bervariasi, mulai dari tanpa keluhan
dan hanya bisa terdeteksi dengan pemeriksaan elektrofisiologis, hingga keluhan nyeri yang
hebat. Bisa juga keluhannya dalam bentuk neuropati lokal atau sistemik, yang semua itu
bergantung pada lokasi dan jenis saraf yang terkena lesi.
Prevalensi neuropati diabetika dalam berbagai literatur sangat bervariasi. Penelitian
di Amerika Serikat memperlihatkan bahwa 10 – 20% pasien saat ditegakkan diabetes
mellitus telah mengalami neuropati. Prevalensi neuropati diabetika ini akan meningkat
sejalan dengan lamanya penyakitt dan tingginya hiperglikemia. Diperkirakan setelah
menderita diabetes selama 25 tahun, prevalensi neuropati diabetika 50%. Kemungkinan
terjadi neuropati diabetika pada kedua jenis kelamin sama.
Pada pasien-pasien diabetes mellitus tipe 2, 59% menunjukan berbagai neuropati
diabetika, 45% diantaranya menderita polineuropati diabetika. Polineuropati tejadi pada
hampir 30% pasien yang dirawat akibat diabetes dan hampir 20% pada pasien diabetes
rawat jalan.
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa mekanisme terjadinya polineuropati pada
pasien diabetes sangatlah kompleks. Mengingat terjadinya neuropati diabetik merupakan
rangkaian proses yang dinamis dan bergantung pada banyak faktor, maka pengelolaan dan
pencegahan neuropati diabetik pada dasarnya merupakan bagian dari pengelolaan diabetes

1
secara keseluruhan. Untuk mencegah agar neuropati diabetik tidak berkembang menjadi
ulkus diabetik seperti ulkus atau gangren pada kaki, diperlukan berbagai upaya khususnya
pemahaman pentingnya perawatan kaki. Bila neuropati diabetik disertai nyeri dapat
diberikan berbagai jenis obat-obatan sesuai tipe nyerinya, dengan harapan menghilangkan
atau paling tidak mengurangi keluhan, sehingga kualitas hidup dapat diperbaiki.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI
Diabetes melitus merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan
karakteristik hiperglikemia (meningkatanya kadar gula darah) yang terjadi karena
kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau keduanya.
Neuropati diabetik merupakan salah satu komplikasi kronis paling sering
ditemukan pada diabetes melitus. Resiko yang dihadapi pasien diabetes melitus
dengan neuropati diabetik antara lain ialah infeksi berulang, ulkus yang tidak sembuh-
sembuh dan amputasi jari/ kaki.
Neuropati diabetika adalah suatu gangguan pada saraf perifer, otonom dan
saraf kranial yang ada hubunganya dengan diabetes melitus. Keadaan ini disebabkan
oleh kerusakan mikrovaskuler yang disebabkan oleh diabetes yang meliputi pembuluh
darah yang kecil-kecil yang memperdarahi saraf (vasa nervorum). Gangguan neuropati
ini termasuk manifestasi somatik dan atau otonom dari sistem saraf perifer.

Gambar 1. Kerusakan serabut saraf

2.2 ETIOLOGI
Nyeri neuropatik dapat timbul dari kondisi yang mempengaruhi sistem saraf
tepi atau pusat. Gangguan pada otak dan korda spinalis, seperti multiple sclerosis,
stroke, dan spondilitis atau mielopati post traumatic dapat menyebabkan nyeri
neuropatik. Gangguan sistem saraf tepi yang terlibat dalam proses nyeri neuropatik

3
termasuk penyakit pada saraf spinalis, ganglia dorsalis, dan saraf tepi. Kerusakan pada
saraf tepi yang dihubungkan dengan amputasi, radikulopati, carpal tunnel syndrome,
dapat menimbulkan nyeri neuropatik. Aktivasi nervus simpatetik yang abnormal,
pelepasan katekolamin, aktivasi free nerve endings atau neuroma dapat menimbulkan
sympathetically mediated pain. Nyeri neuropatik juga dapat dihubungkan dengan
penyakit infeksius yang paling sering adalah HIV. Cytomegalovirus, yang sering ada
pada penderita HIV, juga dapat menyebabkan low back pain, radicular pain, dan
mielopati. Nyeri neuropati adalah hal yang paling sering dan penting dalam morbiditas
pasien keganasan. Nyeri pada pasien keganasan dapat timbul dari kompresi tumor
pada jaringan saraf atau kerusakan system saraf karena radiasi atau kemoterapi.
Penyebab neuropati perifer yang utama :
1. Autoimmunitas (poliradikuloneuropati demielinatif inflamatori)
2. Vaskulitis (kelainan jaringan ikat)
3. Kelainan sistemik (diabetes, uremia, sarkoidosis, myxedema, akromegali)
4. Keganasan (neuropati paraneoplastik)
5. Infeksi (leprosi, kelainan Lyme, AIDS, herpes zoster)
6. Disproteinemia (mieloma, krioglobulinemia)
7. Defisiensi nutrisional serta alkoholisme
8. Kompresi dan trauma
9. Bahan industri toksik serta obat-obatan
10. Neuropati keturunan.

Penyebab neuropati sentral :


1. Mielopati kompresif dengan stenosis spinalis
2. Mielopati HIV
3. Multiple sclerosis
4. Penyakit Parkinson
5. Mielopati post iskemik
6. Mielopati post radiasi
7. Nyeri post stroke
8. Nyeri post trauma korda spinalis
9. Siringomielia

4
2.3 KLASIFIKASI
Banyak klasifikasi dari Neuropati Diabetik yang telah dikemukakan, tetapi
untuk mencapai pendekatan secara klinis, keterlibatan pengertian neuropati dapat
digunakan untuk menambah diagnosis dan perawatan dari berbagai macam. Dalam
sistem seperti ini, manifestasi Neuropati Diabetik dibagi kedalam 2 (dua) kategori,
somatik dan visceral :
a) Somatic (peripheral) Neurophaty
Jenis neuropati ini merusak saraf di lengan dan tungkai, dimana kaki dan
tungkai biasanya lebih dulu terkena dari pada tangan dan lengan. Pada banyak
penderita diabetes mellitus dapat ditemukan gejala neuropati pada pemeriksaan,
akan tetapi penderita tidak merasakanya sama sekali. Gejala biasanya dirasakan
lebih berat pada malam hari. Neuropati perifer juga bisa menyebabkan kelemahan
otot dan hilangnya refleks, terutama refleks tumit yang menyebabkan perubahan
cara jalan dan juga bisa menyebabkan deformitas pada kaki seperti hammertoes dan
kollaps dari midfoot. Bisa terlihat luka-luka pada kaki yang terjadi pada daerah
yang kurang rasa, karena kerusakan yang disebabkan oleh tekanan. Bila tidak
diobati dengan segera, maka bisa terjadi infeksi sampai tulang dan bisa harus
dilakukan amputasi. Ekstremitas bawah : foot drop, diabetic amyotrophy;
Ekstremitas atas : Carpal-Tunnel Syndrome (Median Nerve), Clawhand Syndrome
(Ulnar Nerve).

b) Visceral neuropathy
Jenis neuropati ini mengenai saraf yang mengontrol jantung, mengurus
tekanan darah dan mengatur kadar gula darah, juga mengenai organ dalam yang
menyebabkan gangguan pencernaan, pernafasan, miksi, respon seksual dan
penglihatan. Selain itu sistem yang memperbaiki kadar gula ke normal setelah
terjadi suatu episode hipoglikemia bisa terkena, sehingga terjadi hilangnya tanda-
tanda peringatan terjadinya hipoglikemi seperti keringat dingin dan palpitasi.
 Tidak sadarnya karena suatu hipoglikemia: biasanya akan terjadi gejala-
gejala seperti gemetar, bila gula darah menurun sampai dibawah 70 mg%,
sedangkan pada neuropati otonom hal ini tidak terjadi sehingga hipoglikemi
sukar dideteksi. Namun ada problem lain yang bisa menyebabkan ini,
sehingga hal ini tidak selalu berarti adanya kerusakan saraf.

5
 Jantung dan sistem sirkulator adalah sistem dari kardiovaskuler, yang
mengontrol sirkulasi darah. Kerusakan di sistem kardiovaskuler
mengganggu kemampuan badan untuk mengatur tekanan darah dan denyut
jantung sehingga tekanan darah dapat turun dengan mendadak setelah duduk
atau berdiri dan menyebabkan penderita merasakan kepala yang enteng atau
malahan pingsan. Kerusakan pada saraf yang mengatur denyut jantung
dapat menyebabkan denyut yang lebih tinggi (tidak naik dan turun) sebagai
respon terhadap fungsi badan yang normal dan pada latihan.
 Sistem pencernaan: Kerusakan pada saraf saluran pencernaan biasanya
menyebabkan konstipasi. Selain itu bisa juga menyebabkan pengosongan
lambung yang terlalu lambat sehingga bisa menyebabkan gastroparesis.
Gastroparesis yang berat menyebabkan nausea dan muntah yang persisten
dan tidak nafsu makan. Gastroparesis juga bisa menyebabkan fluktuasi gula
darah, disebabkan pencernaan makanan yang abnormal. Kerusakan
oesophagus bisa menyebabkan kesukaran menelan, sedangkan kerusakan
pada usus menyebabkan konstipasi bergantian dengan diare yang sering dan
tidak terkontrol pada malam hari dan problema - problema ini dapat
menyebabkan penurunan berat badan.
 Traktus urinarius dan organ reproduksi: neuropati otonom sering kali
mempengaruhi organ-organ yang mengontrol miksi dan fungsi seksual.
Kerusakan saraf menghalangi pengosongan sempurna dari kandung kemih
sehingga bakteri dapat tumbuh di dalam kandung kemih dan ginjal sehingga
dapat menyebabkan infeksi pada traktus urinarius. Bila saraf yang mengurus
kandung kemih terganggu dapat terjadi inkotinesia urin karena tidak
merasakan kapan kandung kemih penuh atau tidak bisa mengontrol otot-otot
yang melepaskan urin.
 Kelenjar keringat: neuropati otonom dapat mengenai saraf-saraf yang
mengurus keringat. Kerusakan saraf mencegah bekerjanya kelenjar keringat
dengan baik, sehingga badan tidak dapat mengatur suhu tubuh dengan baik
dan ini bisa menyebabkan keringat berlebihan pada malam hari atau
sewaktu makan.

6
Secara umum neuropati diabetik dibagi berdasarkan perjalanan penyakitnya (lama
menderita diabetes mellitus) dan menurut jenis serabut saraf yang terkena lesi
1) Menurut Perjalanan Penyakitnya, Neuropati Diabetik dibagi menjadi:
a) Neuropati fungsional/ subklinis, yaitu gejala yang muncul sebagai akibat
perubahan biokimiawi. Pada fase ini belum ada kelainan patologik sehingga
masih reversibel.
b) Neuropati struktural/ klinis, yaitu gejala timbul sebagai akibat kerusakan
struktural serabut saraf. Pada fase ini masih ada komponen yang reversibel.
c) Kematian neuron/ tingkat lanjut, yaitu terjadi penurunan kepadatan serabut
saraf akibat kematian neuron. Pada fase ini sudah irreversibel. Kerusakan
serabut saraf pada umumnya di mulai dari distal menuju ke proksimal,
sedangkan proses perbaikan mulai dari proksimal ke distal. Oleh karena itu
lesi distal paling banyak ditemukan, seperti polineuropati simetris distal

2) Menurut Jenis Serabut Saraf Yang Terkena Lesi:


a) Neuropati Difus
- Polineuropati sensori motor simetris distal
- Neuropati otonom : neuropati sudomotor, neuropati otonom
kardiovaskular, neuropati gastroinstestinal, neuropati genitourinaria.
- Neuropati Lower Limb Motor simetris proksimal (amiotropi)

b) Neuropati Fokal
- Neuropati cranial
- Radikulopati/ pleksopati
- Entrapment neuropati

7
Gambar 2. Klasifikasi berdasarkan anatomi serabut saraf perifer

Klasifikasi neuropati diabetik di atas berdasarkan anatomi serabut saraf perifer


yang secara umum dibagi atas 3 sistem yaitu sistem motorik, sensorik dan sistem
autonom. Manifestasi klinisnya bergantung dari jenis serabut saraf yang mengalami
lesi. Mengingat jenis serabut saraf yang terkena lesi bisa yang kecil atau besar, lokasi
proksimal atau distal, fokal atau difus, motorik atau sensorik atau autonom, maka
manifestasi klinisnya menjadi bervariasi, mulai kesemutan, kebas, tebal, mati rasa,
rasa terbakar, seperti ditusuk, disobek, ditikam.

2.4 PATOGENESIS
Proses kejadian neuropati diabetik berawal dari hiperglikemia berkepanjangan
yang berakibat terjadinya peningkatan aktivitas jalur poliol, sintesis advance
glycosilation end products (AGEs), pembentukan radikal bebas dan aktivasi protein
kinase C (PKC). Aktivasi berbagai jalur tersebut berujung pada kurangnya

8
vasodilatasi, sehingga aliran darah ke saraf berkurang dan bersama rendahnya
mioinositol dalam sel terjadilah neuropati diabetik. Berbagai penelitian membuktikan
bahwa kejadian neuropati diabetik berhubungan sangat kuat dengan lama dan beratnya
diabetes mellitus.
a. Faktor metabolik
Proses terjadinya neuropati diabetik berawal dari hiperglikemia yang
berkepanjangan. Teori ini mengemukakan bahwa hiperglikemia menyebabkan
kadar glukosa intra seluler yang meningkat, sehingga terjadi kejenuhan
(saturation) dari jalur glikolitik yang biasa digunakan (normal used glycolitic
pathway). Hiperglikemia persisten menyebabkan aktivitas jalur poliol meningkat,
yaitu terjadi aktivasi enzim aldose-reduktase, yang merubah glukosa menjadi
sorbitol, yang kemudian dimetabolisasi oleh sorbitol dehidrogenase menjadi
fruktosa. Akumulasi sorbitol dan fruktosa dalam sel saraf merusak sel saraf
melalui mekanisme yang belum jelas. Salah satu kemungkinannya ialah akibat
akumulasi sorbitol dalam sel saraf menyebabkan keadaan hipertonik intraseluler
sehingga mengakibatkan edema saraf. Peningkatan sintesis sorbitol berakibat
terhambatnya mioinositol masuk ke dalam sel saraf. Penurunan mioinositol dan
akumulasi sorbitol secara langsung menimbulkan stress osmotik yang akan
merusak mitokondria dan akan menstimulasi protein kinase C (PKC). Aktivasi
PKC ini akan menekan fungsi Na-K-ATP-ase, sehingga kadar Na intraseluler
menjadi berlebihan, yang berakibat terhambatnya mioinositol masuk ke dalam sel
saraf sehingga terjadi gangguan transduksi sinyal pada saraf.
Reaksi jalur poliol ini juga menyebabkan turunnya persediaan NADPH
saraf yang merupakan kofaktor penting dalam metabolisme oksidatif. Karena
NADPH merupakan kofaktor penting untuk glutathione dan nitric oxide synthase
(NOS), pengurangan kofaktor tersebut membatasi kemampuan saraf untuk
mengurangi radikal bebas dan penurunan produksi nitric oxide (NO).
Disamping meningkatkan aktivitas jalur poliol, hiperglikemia
berkepanjangan akan menyebabkan terbentuknya advance glycosilation end
products (AGEs). AGEs ini sangat toksik dan merusak semua protein tubuh,
termasuk sel saraf. Dengan terbentuknya AGEs dan sorbitol, maka sintesis dan
fungsi NO menurun. Yang berakibat vasodilatasi berkurang, aliran darah ke saraf
menurun, dan bersama rendahnya mioinositol dalam sel saraf, terjadilah neuropati
diabetika. Kerusakan aksonal metabolik awal masih dapat kembali pulih dengan

9
kendali glikemik yang optimal. Tetapi bila kerusakan metabolik ini berlanjut
menjadi kerusakan iskemik, maka kerusakan struktural akson tersebut tidak dapat
diperbaiki lagi.

b. Kelainan Vaskular
Penelitian membuktikan bahwa hiperglikemia juga mempunyai hubungan
dengan kerusakan mikrovaskular. Hiperglikemia persisten merangsang produksi
radikal bebas oksidatif yang disebut reactive oxygen species (ROS). Radikal
bebas ini membuat kerusakan endotel vaskular dan menetralisasi NO, yang
berefekmenghalangi vasodilatasi mikrovaskular. Mekanisme kelainan
mikrovaskular tersebut dapat melalui penebalan membrana basalis, thrombosis
pada arteriol intraneural, peningkatan agregasi trombosit dan berkurangnya
deformabilitas eritrosit, berkurangnya aliran darah saraf dan peningkatan
resistensi vaskular, stasis aksonal, pembengkakan dan demielinisasi pada saraf
akibat iskemia akut. Kejadian neuropati yang didasari oleh kelainan vaskular
masih bisa dicegah dengan modifikasi faktor risiko kardiovaskular, yaitu kadar
trigliserida yang tinggi, indeks massa tubuh, merokok dan hipertensi.

c. Mekanisme imun
Suatu penelitian menunjukkan bahwa 22% dari 120 penyandang DM tipe 1
memiliki complement fixing antisciatic nerve antibodies dan 25% DM tipe 2
memperlihatkan hasil yang positif. Hal ini menunjukkan bahwa antibodi tersebut
berperan pada patogenesis neuropati diabetika. Bukti lain yang menyokong peran
antibodi dalam mekanisme patogenik neuropati diabetika adalah adanya antineural
antibodies pada serum sebagian penyandang diabetes mellitus. Autoantibodi yang
beredar ini secara langsung dapat merusak struktur saraf motorik dan sensorik yang
bisa di deteksi dengan imunofloresens indirek. Disamping itu adanya penumpukan
antibodi dan komplemen pada berbagai komponen saraf suralis memperlihatkan
kemungkinan peran proses imun pada patoogenesis neuropati diabetika.

d. Peran Nerve Growth Factor (NGF)


NGF diperlukan untuk mempercepat dan mempertahankan pertumbuhan
saraf. Pada penyandang diabetes, kadar NGF serum cenderung turun dan
berhubungan dengan derajat neuropati. NGF juga berperan dalam regulasi gen

10
substance P dan calcitonin-gen-regulated peptide (CGRP). Peptida ini mempunyai
efek terhadap vasodilatasi, motilitas intestinal dan nosiseptif, yang kesemuanya itu
mengalami gangguan pada neuropati diabetika.

2.5 GAMBARAN KLINIS


Bentuk-bentuk gambaran klinik adalah sebagai berikut :
a. Polineuropati sensorik-motorik simetris
Ditandai dengan berkurangnya fungsi sensorik secara progresif dan fungsi
motorik (jarang) yang berlangsung pada bagian distal yang berkembang kearah
proksimal. Dalam sindrom ini, penurunan sensasi dan hilangnya refleks terjadi
pertama di jari pada setiap kaki, lalu memanjang ke atas. Hal ini biasanya
digambarkan sebagai distribusi mati rasa, kehilangan sensorik, dysesthesia dan
nyeri waktu malam. Rasa sakit bisa terasa seperti terbakar, menusuk sensasi, pegal
atau membosankan. Kehilangan proprioception. Pasien-pasien ini tidak bisa
merasakan ketika mereka menginjak benda asing, seperti serpihan, atau
menggunakan sepatu yang tidak pas ukurannya kesempitan. Akibatnya,
mengakibatkan bisul dan infeksi pada kaki dan telapak kaki, yang dapat
menyebabkan amputasi. Demikian juga, bisa mengenai tulang dari pergelangan
kaki, lutut atau kaki, dabersama Charcot. Kehilangan hasil fungsi motor di
dorsofleksi, kontraktur jari-jari kaki, kehilangan fungsi otot interoseus dan
menyebabkan kontraksi dari angka, yang disebut jari kaki palu. Kontraktur ini
terjadi tidak hanya di kaki, tetapi juga di tangan yaitu hilangnya otot yang
membuat tangan tampak kurus dan tulang. Hilangnya fungsi otot progresif.

b. Neuropati otonom
 Sistem saraf otonom terdiri dari saraf melayani jantung, sistem pencernaan
dan sistem genitourinari. Neuropati otonom dapat mempengaruhi salah satu
sistem organ. Disfungsi otonom paling umum dikenal pada penderita
diabetes adalah hipotensi ortostatik, atau pingsan saat berdiri. Dalam kasus
diabetes neuropati otonom, itu adalah karena kegagalan jantung dan arteri
untuk tepat menyesuaikan nada denyut jantung dan pembuluh darah untuk
menjaga darah terus-menerus dan sepenuhnya mengalir ke otak. Gejala ini
biasanya disertai dengan hilangnya perubahan yang biasa dalam denyut

11
jantung dilihat dengan napas normal. Kedua temuan ini menunjukkan
neuropati otonom.
 Manifestasi saluran pencernaan termasuk gastroparesis, mual, kembung, dan
diare. Karena banyak penderita diabetes minum obat oral untuk diabetes
mereka, penyerapan obat-obatan sangat dipengaruhi oleh pengosongan
lambung tertunda. Hal ini dapat menyebabkan hipoglikemia bila agen
diabetes oral diambil sebelum makan dan tidak bisa diserap sampai jam,
atau kadang-kadang hari kemudian, ketika ada gula darah normal atau
rendah sudah. Gerakan lamban dari usus kecil dapat menyebabkan
pertumbuhan bakteri yang berlebihan, diperparah dengan kehadiran
hiperglikemia. Hal ini menyebabkan kembung, gas dan diare.
 Gejala urin meliputi frekuensi, urgensi kemih, inkontinensia dan retensi.
Sekali lagi, karena retensi urin, infeksi saluran kemih sering terjadi. Retensi
urin dapat menyebabkan divertikula kandung kemih, batu, nefropati refluks.

c. Mononeuropati
Berbeda dengan polineuropati yang bersifat lambat, maka mononeuropati
terjadi secara cepat dan biasanya lebih cepat pula untuk kembali membaik. Yang
sering terkena adalah nervi craniales, ulnaris, medianus, radialis, femoralis,
peroneus, dan kutaneus femoralis. Apabila beberapa saraf terkena, namun dari
akar yang berlainan, maka keadaan tersebut dinamakan mononeuropati
multipleks.
 Pada N. Spinalis
Awitan suatu mononeuritis adalah selalu mendadak. Setiap N. Spinalis dapat
dihinggapi, namun yang sering dihinggapi dalah N. Iskhiadikus, N. Ulnaris,
N. Medianus, N. Radialis, N. Femoralis, N. Kutaneus Femoralis, dll. Gejala
yang mungkin timbul adalah gangguan sensorik, motorik atau gangguan
sensorik sekaligus motorik. Di samping itu tampak pula adanya rasa nyeri di
saraf yang bersangkutan. Pada umumnya prognosa pada mononeuritis ini
lebih baik dibandingkan dengan polineuropati diabetik simetris.
 Pada N. Kranialis
Yang paling sering adalah N. Okulomotorius, N. Abdusen, N. Optikus, dll.
Terdapat pula rasa nyeri di daerah saraf yang bersangkutan. Bila berhadapan

12
dengan penderita dengan lesi N.III dan nyeri dibelakang bola mata, maka
kemungkinan akan adanya suatu aneurisma sirkulus arteriosus willisi. Bila
mononeuritis itu mengenai N. II maka timbul neuritis retrobulbaris yang lama
kelamaan dapat menimbulkan papilla alba.

Neuropati diabetika bisa timbul dalam berbagai bentuk gejala sensorik, motorik dan
otonom, harus dibuat daftar terstruktur untuk anamnesa.
a. Gejala sensorik bisa merupakan gejala negatif atau positif, difus atau
lokal.Gejala sensorik yang negatif adalah rasa tebal, baal, gangguan berupa sarung
tangan/ kaus kaki (glove and stocking), seperti berjalan diatas tongkat jangkungan
dan kehilangan keseimbangan terutama bila mata ditutup dan luka luka yang tidak
merasa sakit. Gejala sensorik positif adalah rasa seperti terbakar, nyeri yang
menusuk, rasa seperti kesetrum, rasa kencang dan hipersensitif terhadap rasa
halus.

b. Gejala

motorik dapat menyebabkan kelemahan yang distal, proksimal atau fokal. Gejala
motorik distal termasuk gangguan koordinasi halus dari otot-otot tangan, tak dapat
membuka kaleng atau memutar kunci, memuku-mukul kaki dan lecetnya jari-jari
kaki. Gejala gangguan proksimal adalah gangguan menaiki tangga, kesukaran
bangun dari posisi duduk atau berbaring, jatuh karena lemasnya lutut dan
kesukaran mengangkat lengan di atas pundak.

13
c. Gejala otonom dapat berupa gangguan sudomotorik (kulit kering, keringat yang
kurang, keringat berlebihan pada area tertentu), gangguan pupil (gangguan pada
saat gelap, sensitif terhadap cahaya yang terang), gangguan kardiovaskuler
(kepala terasa enteng pada posisi tertentu, pingsan), gastrointestinal (diare
nokturnal, konstipasi, memuntahkan makanan yang telah dimakan), gangguan
miksi (urgensi, inkontinensia, menetes) dan gangguan seksual (impotensi dalam
ereksi dan gangguan ejakulasi pada pria dan tidak bisa mencapai klimaks seksual
pada wanita).

2.6 DIAGNOSIS
Polineuropati sensori-motor simetris distal (distal symmetrical sensorymotor
polyneuropathy/ DPN) merupakan jenis kelainan neuropati diabetik yang paling sering
terjadi. DPN ditandai dengan berkurangnya fungsi sensorik secara progresif dan fungsi
motorik (jarang) yang berlangsung pada bagian distal yang berkembang kearah
proksimal. Diagnosis neuropati perifer diabetik dalam praktek sehari-hari, sangat
bergantung pada ketelitian pengambilan anamnesis dan pemeriksaan fisik. Hanya
dengan jawaban tidak ada keluhan neuropati saja tidak cukup untuk mengeluarkan
kemungkinan adanya neuropati.
Pada evaluasi tahunan, perlu dilakukan pengkajian terhadap :
1. Reflex motorik
2. Fungsi serabut saraf besar dengan tes kuantifikasi sensasi kulit seperti tes rasa
getar (biotesiometer), dan rasa tekan (estesiometer filament mono semmes-
Weintein)
3. Fungsi serabut saraf kecil dengan tes sensasi tubuh

14
4. Untuk mengetahui dengan lebih awal adanya gangguan hantar saraf dapat
dikerjakan elektromiografi

Bentuk lain neuropati diabetika yang juga sering ditemukan ialah neuropati otonom
(parasimpatis dan simpatis) atau diabetic autonomic neuropathy (DAN)
 Uji komponen parasimpatis DAN dilakukan dengan :
a. Tes respons denyut jantung dengan maneuver valsava
b. Variasi denyut jantung (interval RR) selama nafas dalam (denyut
jantung maksimum – minimum)

 Uji komponen simpatis DAN dilakukan dengan :


a. Respons tekanan darah terhadap berdiri (penurunan sistolik)
b. Respons tekanan darah terhadap genggaman (peningkatan diastolik).

Skor Diabetic Neuropathy Symptom (DNS)


No Anamnesis Skor DNS
1. Jalan tidak stabil Ya = 1, Tidak= 0
2. Kesemutan / terasa tebal
Diagnosis Neuropati
3. Nyeri seperti tertusuk jarum
4. Nyeri terbakar/ nyeri tekan Diabetik ≥ 1

Pemeriksaan Fisik
1) Reflek motorik
2) Fungsi serabut saraf besar degan tes kuantifikasi sensasi kulit : tes rasa getar
(biotesiometer) & rasa tekan (estesiometer dengan filament mono Semmers-
Weinstein)
3) Fungsi serabut saraf kecil dengan tes sensasi suhu
4) Elektromiografi
5) Uji komponen parasimpatis:
a. Tes respons denyut jantung à maneuver valsava
b. Variasi denyut jantung (interval RR) selama napas dalam
6) Uji komponen simpatis diabetic autonomic neuropatic (DAN) dilakukan dengan :
a. Respon tekanan darah terhadap berdiri (penurunan sistolik)
b. Respon tekanan darah terhadap genggaman (peningkatan diastolic)

15
Skor diabetic neurophaty examination (DNE)
Hasil
No Jenis pemeriksaan Keterangan
pemeriksaan
Kekuatan otot quadriceps femoris
1 Kekuatan 0-5
(ekstensi sendi lutut)
Kekuatan otot tibialis anterior
2 Kekuatan 0-5
(dorsofleksi kaki)
3 Refleks tendo achiles Kekuatan 0-5
Sensitivitas jari telunjuk tangan
4. N/↓/-
(terhadap tusukan jarum)
Sensitivitas ibu jari kaki
5 N/↓/-
(terhadap sentuhan raba)
Sensitivitas ibu jari kaki (persepsi
6 N/↓/-
getar dengan garpu tala)
Sensitivitas jari kaki(thdp
7 N/↓/-
tusukan jarum)
Sensibilitas ibu jari (terhadap
8 N/↓/-
posisi sendi)
Skor : Diagnosis skor >3
0normal
1 kekuatan otot 3-4, refleks

Pemeriksaan Penunjang:
1) Pemeriksaan laboratorium: Harus diperiksa laboratorium dan menyingkirkan
kausa-kausa lain dari neuropati. Semua haril-hasil harus normal kecuali gula
darah dan HbA1c pada diabetes yang tidak terkontrol dengan baik atau yang
belum diketahui (undiagnosed diabetes). Eritrosit, leukosit, &diff, Elektrolit,
gula darah puasa dan HbA1c walaupun belum ada korelasi yang langsung antara
beratnya peninggian HbA1c dengan beratnya neuropati diabetika, vitamin B-12
dan kadar asam folat, thyroid-stimulating hormone dan tiroksin, LED.
2) Pemeriksaan imaging: MRI servikal, torakal atau lumbal untuk menyingkirkan
kausa secunder dari neuropati, CT mielogram adalah suatu pemeriksaan
alternatif untuk menyingkirkan kompresi dan keadaan patologis lain di kanalis
spinalis pada radikulopleksopati lumbosacral dan neuropati torakoabdominal,
imaging otak untuk menyingkirkan aneurisma intracranial, lesi compresi dan
infark pada kelumpuhan n.okulomotorius.

16
3) Pemeriksaan elektrofisiologi: Dapat dilakukan pemeriksaan ENMG
(Elektroneuromiografi). ENMG adalah alat elektromedik yang digunakan untuk
merekam kecepatan hantar saraf. Tujuan dari pemeriksaan ini adalah untuk
mengetahui ada tidaknya abnormalitas fungsi sistim saraf perifer. Pemeriksaan
ini sangat berguna untuk menegakan diagnosis penyakit sistem saraf perifer.
Dan merupakan kombinasi antara pemeriksaan Elektro neurografi (ENG), yang
juga disebut pemeriksaan konduksi saraf. Terdiri dari kecepatan hantar saraf
(KHS) motoris, sensasis & respon lambat. Serta pemeriksaan Elektromiografi
(EMG), yang disebut pula pemeriksaan aktifitas listrik. Pemeriksaan ENMG
merupakan perluasan dari pemeriksaan klinis. Pemeriksaan ENMG membantu
menentukan diagnosis topis, patologis, prognosis dari kelainan susunan saraf
tepi. Hasil pemeriksaan ENMG dapat membantu menentukan letak lesi apakah
pada Motor neuron, Radiks saraf spinalis, Pleksus, Saraf perifer, Neuro
muscular junction, otot. Pemeriksaan ENMG dapat menentukan apakah lesi
mengenai sistim motorik, sensorik atau keduanya. Dan untuk kelainan saraf
perifer juga dapat dibedakanapakah proses aksonal, demielinating.

2.7 PENATALAKSANAAN
Strategi pengelolaan pasien diabetes mellitus dengan keluhan neuropati
diabetik dibagi menjadi 3 bagian:
1. Diagnosis sedini mungkin
2. Kendali glikemik dan perawatan kaki
3. Pengendalian keluhan neuropati/ nyeri neuropati diabetik setelah strategi kedua
dikerjakan

Perawatan umum
Perawatan pada kulit, jaga kebersihannya, terutama pada kaki, hindari trauma
pada kaki seperti menghindari pemakaian sepatu yang sempit. Cegah trauma berulang
pada neuropati kompresi.

Pengendalian Glukosa Darah


Berdasarkan patogenesisnya, maka langkah pertama yang harus dilakukan
ialah pengendalian glukosa darah dan monitor HbA1c secara berkala. Disamping itu
pengendalian faktor metabolik lain seperti hemoglobin, albumin, dan lipid sebagai

17
komponen tak terpisahkan juga perlu dilakukan. Tiga studi epidemiologi besar,
Diabetes Control and Complications Trial (DCCT), Kumamoto Study dan United
Kingdom Prospective Diabetes Study (UKPDS) membuktikan bahwa dengan
mengendalikan glukosa darah, komplikasi kronik diabetes termasuk neuropati dapat
dikurangi.
Pada DCCT, kelompok pasien dengan terapi intensif yang berhasil
menurunkan HbA1c dari 9 ke 7%, telah menurunkan risiko timbul dan
berkembangnya komplikasi mikrovaskular, termasuk menurunkan risiko timbulnya
neuropati sebesar 60% dalam 5 tahun. Pada studi Kumamoto, suatu penelitian mirip
DCCT, tetapi pada DM tipe 2, juga membuktikan bahwa dengan terapi intensif
mampu menurunkan risiko komplikasi, termasuk perbaikan kecepatan konduksi saraf
dan ambang rangsang vibrasi. Demikian juga dengan UKPDS yang memberikan hasil
serupa dengan 2 studi sebelumnya

Terapi Medikamentosa
Sejauh ini, selain kendali glikemik yang ketat, belum ada bukti kuat suatu
terapi dapat memperbaiki atau mencegah neuropati diabetik. Namun demikian, untuk
mencegah timbulnya komplikasi kronik diabetes mellitus termasuk neuropati, saat ini
sedang diteliti penggunaan obat-obat yang berperan pada proses timbulnya komplikasi
kronik diabetes, yaitu :
 Golongan aldose reductase inhibitor, yang berfungsi menghambat penimbunan
sorbitol dan fruktosa
 Penghambat ACE
 Neurotropin (nerve growth factor, brain-derived neurotrophic factor)
 Alpha lipoic acid, suatu antioksidan kuat yang dapat membersihkan radikal
hidroksil, superoksida dan peroksil serta membentuk kembali glutation
 Penghambat protein kinase C
 Gangliosides, merupakan komponen utama membran sel
 Gamma linoleic acid (GLA), suatu prekusor membrane fosfolipid
 Aminoguanidin, berfungsi menghambat pembentukan AGEs
 Human intravenous immunoglobulin, memperbaiki gangguan neurologik maupun
non neurologik akibat penyakit autoimun

18
Sedangkan untuk mengatasi berbagai keluhan nyeri, sangat dianjurkan untuk
memahami mekanisme yang mendasari keluhan tersebut, antara lain aktivasi reseptor
N-methyl-D-aspartate (NMDA) yang berlokasi di membrane post sinaptik spinal cord
dan pengeluaran substance P dari serabut saraf besar A yang berfungsi sebagai
neuromodulator nyeri.
Manifestasi nyeri dapat berupa rasa terbakar, hiperalgesia, alodinia, nyeri
menjalar, dan lain-lain. Pemahaman terhadap mekanisme nyeri penting agar dapat
memberi terapi yang lebih rasional, meskipun terapi nyeri neuropati diabetik pada
dasarnya bersifat simtomatis.
Pedoman pengelolaan neuropati diabetika dengan nyeri yang dianjurkan ialah :
1. NSAID (ibuprofen 600 mg 4x/hari, sulindac 200mg 2x/hari)
Dapat membantu mengurangi peradangan yang disebabkan oleh neuropati diabetika
dan juga mengurangi rasa sakit.
 Interaksi: kombinasi dengan aspirin meningkatkan resiko efek samping atau
dengan probenecid dapat meningkatkan konsentrasi dan kemungkinan
toksisitas NSAID.
 Kontra Indikasi : hipersensitivitas, perdarahan GI Tract, terutama penyakit
ulkus peptikum, penyakit ginjal, penyakit jantung
 Efek samping : perhatian pada pasien yang berpotensi mengalami dehidrasi,
efek jangka panjang dapat meningkatkan nekrosis papiler ginjal, nefritis
interstitial, proteinuria, terkadang bisa terjadi sindrom nefrotik.
2. Antidepresan trisiklik (amitriptilin 50-150 mg malam hari, imipramin 100mg/hari,
nortriptilin 50-150 mg malam hari, paroxetine 40 mg/ hari)
Anti depresan trisiklik (TCA) umumnya merupakan pengobatan yang paling
banyak digunakan pada diabetes neuropati sensorimotor. Mekanisme kerja TCA
terutama mampu memodulasi transmisi dari serotonin dan norepinefrin (NE).Anti
depresan trisiklik menghambat pengambilan kembali serotonin (5-HT) dan
noradrenalin oleh reseptor presineptik. Disamping itu, anti depresan trisiklik juga
menurunkan jumlah reseptor 5-HT (autoreseptor), sehingga secara keseluruhan
mampu meningkatkan konsentrasi 5-HT dicelah sinaptik. Hambatan reuptake
norepinefrin juga meningkatkan konsentrasi norepinefrin dicelah sinaptik.
Peningkatan konsentrasi norepinefrin dicelah sinaptik menyebabkan penurunan
jumlah reseptor adrenalin beta yang akan mengurangi aktivitas adenilsiklasi.
Penurunan aktivitas adenilsiklasi ini akan mengurangi siklik adenosum monofosfat
19
dan mengurangi pembukaan Si-Na. Penurunan Si-Na yang membuka berarti
depolarisasi menurun dan nyeri berkurang.
Efek antikolinergik yang dapat timbul adalah mulut kering (xerostomia), sembelit,
pusing, penglihatan kabur, dan retensi urin.Selain itu TCA juga dapat menimbulkan
sedasi dan hipotensi ortostatik.
 Amitriptilin : bila berinteraksi dengan Phenobarbital akan menurunkan efek
amitriptilin, kombinasi dengan simetidin dapat meningkatkan dosis
amitriptilin. Kontra indikasi bila ada hipersensitivitas, riwayat kejang,
aritmia jantung, glaucoma, retensi urin.
 Imipramin : mekanisme kerja obat ini dengan menghambat re-uptake
norepinefrin pada sinapsis di pusat jalur menurun modulasi nyeri terletak di
batang otak dan sumsum tulang belakang. Kontra indikasi bila ada
hipersensitivitas, penggunaan bersama MAOIs, dan bila selama periode
pemulihan akut infark miokard
3. Antikonvulsan (gabapentin 900mg 3x/hari, karbamazepin 200mg 4x/hari)
Farmakologi obat ini memblokir saluran dan menghambat komponen neuronik
spesifik. Anti konvulsan merupakan gabungan berbagai macam obat yang
dimasukkan kedalam satu golongan yang mempunyai kemampuan untuk menekan
kepekaan abnormal dari neuron-neuron di sistem saraf sentral. Seperti diketahui
nyeri neuropati timbul karena adanya aktifitas abnormal dari sistem saraf. Nyeri
neuropati dipicu oleh hipereksitabilitas sistem saraf sentral yang dapat
menyebabkan nyeri spontan dan paroksismal. Reseptor NMDA dalam influks Ca2+
sangat berperan dalam proses kejadian wind-up pada nyeri neuropati. Prinsip
pengobatan nyeri neuropati adalah penghentian proses hiperaktivitas terutama
dengan blok Si-Na atau pencegahan sensitisasi sentral dan peningkatan inhibisi.
 Karbamazepin
Digunakan dalam neuropati perifer sebagai baris ketiga agen jika semua agen
lain gagal untuk mengurangi gejala neuropati diabetika. Merupakan
antikonvulsan generasi pertama. Kombinasi dengan fenobarbital, fenitoin, atau
primidone dapat menurunkan dosis. Kontra indikasi bila ada hipersensitivitas
dan riwayat gangguan depresi sumsum tulang.
 Gabapentin

20
Gabapentin meningkatkan kadar GABA di otak. Bila berinteraksi dengan
antasida dapat mengurangi bioavailabilitas dari gabapentin secara signifikan.
Kontra indikasi bila ada hipersensitivitas.
4. Antiaritmia (mexilletin 150-450 mg/hari)7
Mekanisme kerja : obat obat antiaritmia kelas 1 bekerja dengan
menghambat kanal natrium yang sensitif voltase oleh mekanisme yang sama
dengan kerja anestesi lokal. Penurunan kecepatan masuknya natrium
memperlambat kecepatan kenaikan fase nol dari potensi yang aksi (catatan : pada
dosis terapeutik, obat obat ini mempunyai efek yang kecil terhadap membran dalam
keadaan istirahat dan membran terpolarisasi penuh). Karena itu, obat obat
antiaritmia kelas 1 umumnya menyebabkan penurunan aksi eksitabilitas dan
kecepatan konduksi.
5. Topical : capsaicin 0,075% 4x/hari, fluphenazine 1mg 3x/hari, transcutaneous
electrical nerve stimulation.
Beberapa pertimbangan praktis dalam penggunaan klinis krim capsaicin. Pertama,
dilakukan tiga atau empat kali setiap hari untuk daerah yang terkena. Capsaicin
mengurangi rasa sakit akibat radang sendi, penyakit ruam saraf, sakit saraf.
Capsaicin merupakan komponen alami yang terkandung dalam cabai merah.
Komponen ini mengurangi sensitifitas reseptor saraf kulit perasa sakit (yang
dikenal dengan C-fibers).
Dalam praktek sehari-hari, jarang ada obat tunggal mampu mengatasi nyeri
neuropati diabetes. Meskipun demikian, pengobatan nyeri umumnya dimulai dengan
obat antidepresan atau antikonvulsan tergantung ada atau tidaknya efek samping.
Dosis obat dapat ditingkatkan hingga dosis maksimum atau sampai efek samping
muncul.Kadang-kadang kombinasi antidepresan dan antikonvulsan cukup efektif. Bila
dengan rejimen ini belum atau kurang ada perbaikan nyeri, dapat ditambahkan obat
topikal. Bila tetap tidak atau kurang berhasil, kombinasi obat yang lain dapat
dilakukan.

Edukasi
Disadari bahwa perbaikan total sangat jarang terjadi, sehingga dengan
kenyataan seperti itu, edukasi pasien menjadi sangat penting dalam pengelolaan
seperti neuropati diabetik. Target pengobatan dibuat serealistik mungkin sejak awal,

21
dan hindari memberi pengharapan yang berlebihan. Perlu penjelasan tentang bahaya
kurang atau hilangnya sensasi rasa di kaki, perlunya pemeriksaan kaki secara berkala.

2.8 PROGNOSIS
Tipe diabetes mellitus yang diberikan akan mempengaruhi diagnosis neuropati
diabetika. Pada NIDDM prognosis tentu lebih baik daripada tipe IDDM. Lama dan
beratnya DM serta lama dan beratnya keluhan neuropati yang di alami, dan apakah
sudah mengenai saraf otonom, semuanya akan menentukan prognosis neuropatik
diabetik

22
BAB 3
LAPORAN KASUS
3.1 Identitas
Nama : Tn. A
Jeniskelamin : Laki-laki
Usia : 51 tahun
Alamat : Yahim Kel. Dobonsolo
Agama : Islam
Suku : Bugis
Pekerjaan : PNS
Pendidikan : SMA
Status pernikahan : Sudah menikah
Rujuk dari : Polik Penyakit Dalam
No. Rekam Medik : 107884
No. Jamkesmas :-
No. BPJS : 000153742522
No. Jamkespa : -

3.2 Anamnesis
3.2.1 Keluhan utama
Rasa tebal pada kedua telapak kaki

3.2.2 Riwayat penyakit sekarang


Pasien rujukan dari poliklinik Penyakit Dalam datang dengan keluhan rasa tebal
pada kedua telapak kaki sejak 3 bulan yang lalu. Rasa tebal tersebut lebih terasa
saat pasien tidak menggunakan alas kaki. Nyeri (+), kesemutan (+), edema (-).

23
Pasien telah menjalani terapi di poli rehabilitasi medik sejak 1 bulan yang lalu,
sehingga rasa tebal pada kedua telapak kaki mulai berkurang.

3.2.3 Riwayat penyakit dahulu


Riwayat DM (terkontrol) sejak 1 tahun yang lalu dengan terapi metformin,
riwayat hipertensi (-), riwayat kolesterol (-), riwayat penyakit saraf lainnya (-).

3.2.4 Riwayat sosial ekonomi


Pasien memiliki hobi membaca dan menonton.

3.3 Pemeriksaan fisik


3.3.1 General status
 Compos mentis ● right handed
 GCS : 15 (Mata 4 ; Bicara 5 ; Motorik 6)
 Vital sign : BP: 120/90 mmHg; HR 82 x/min; RR 20 x/min; temp 37,5°C
 BMI: (BB/TB²) = 67/ (1,65x1,65) = 24,61 (moderate)

3.3.2 Kepala & leher : Anemia (-) Icterus (-) Cyanosis(-) Dypsneu(-)
Thorax : Heart : Suara S1S2 normal, murmur (-)
Lung(Paru) : Simetris, Vesiculer (+/+); ronchi (-/-);
Wheezing (-/-)
Abdomen : Supel, datar, bising usus (+) normal, hepar & lien tak teraba
Extremities (AGA/AGB) : Acral hangat, oedema -/- , Fraktur: - / -

3.4 Physiatric examination


3.4.1 Musculoskeletal Status
ROM MMT
CERVICAL
Pasif Aktif Normal Hasil Normal
Fleksi 00 - 400 00 - 400 00 - 400 5 5
Ekstensi 0-400 0-400 00 - 400 5 5
Lateral bending kanan 00 - 450 00 - 450 00 - 450 5 5
Lateral bending kiri 00 - 450 00 - 450 00 - 450 5 5
Rotasi kanan 00 - 500 00 - 500 00 - 500 5 5
Rotasi kiri 00 - 500 00 - 500 00 - 500 5 5

24
ROM MMT
TRUNK
Pasif Aktif Normal Hasil Normal
Fleksi 00 - 850 00 - 850 00 - 850 5 5
Ekstensi 00 - 300 00 - 300 00 - 300 5 5
Lateral bending kanan 00 - 300 00 - 300 00 - 300 5 5
Lateral bending kiri 00 - 300 00 - 300 00 - 300 5 5
Rotasi kanan 00 - 450 00 - 450 00 - 450 5 5
Rotasi kiri 00 - 450 00 - 450 00 - 450 5 5

Ekstremitas Superior ROM pasif ROM aktif ROM MMT


Dextra Sinistra Dextra Sinistra Normal Hasil Normal
0 0 0 0 0
Shoulder Fleksi 0 - 180 0-180 0 - 180 0 - 180 0 - 180 5/5 5/5
Ekstensi 0 - 800 0-800 0 - 800 0 - 800 0 - 800 5/5 5/5
Abduksi 0-1800 0-1800 0-1800 0 - 1800 0 - 1800 5/5 5/5
Adduksi 0-450 0-450 0-450 0 - 450 0 - 450 5/5 5/5
External Rotasi 0 - 700 0-700 0 - 700 0- 700 0 - 700 5/5 5/5
Internal Rotasi 0 - 900 0-900 0 - 900 0 - 900 0 - 900 5/5 5/5
Elbow Fleksi 0 - 1350 0 - 1350 0 - 1350 0 - 1350 0 - 1350 5/5 5/5
Ekstensi 0 - 1350 0 - 1350 0 - 1350 0 - 1350 0 - 1350 5/5 5/5
Pronasi 0-900 0-900 0-900 0 – 900 0 - 900 5/5 5/5
Supinasi 900-0 900-0 900-0 90 - 00 900– 0 5/5 5/5
Wrist Fleksi 0-600 0-600 0-600 0 - 600 0 - 600 5/5 5/5
Ekstensi 0-700 0-700 0-700 0 - 700 0 - 700 5/5 5/5
Ulnar deviasi 0-300 0-300 0-300 0 – 300 0 - 300 5/5 5/5
Radius deviasi 0-200 0-200 0- 200 0 – 200 0 - 200 5/5 5/5
Finger Fleksi Full Full Full Full Full 5/5 5/5
Ekstensi Full Full Full Full Full 5/5 5/5
Abduksi Full Full Full Full Full 5/5 5/5
Adduksi Full Full Full Full Full 5/5 5/5

Ekstremitas Inferior ROM pasif ROM aktif ROM MMT


Dextra Sinistra Dextra Sinistra Normal Hasil Normal
Hip Fleksi 0-1250 0-1250 0-1250 0-1250 0-1250 5/5 5/5
Ekstensi 0-150 0-150 0-150 0-150 0-150 5/5 5/5
0
Abduksi 0-45 0-450 0-45 0
0-450 0-450 5/5 5/5
Adduksi 25-00 25-00 0-250 25-00 0-250 5/5 5/5
Eks.Rotasi 0-450 0-450 0-450 0-450 0-450 5/5 5/5
0
End.Rotasi 0-40 0-400 0-40 0
0-400 0-400 5/5 5/5
Knee Fleksi 0-1300 0-1300 0-1300 0-1300 0-1300 5/5 5/5
0
Ekstensi 130-0 130-00 130-0 0
130-00 130-00 5/5 5/5
Ankle Dorsofleksi 0-200 0-200 0-200 0-200 0-200 5/5 5/5
0
Plantarfleksi 0-50 0-500 0-50 0
0-500 0-500 5/5 5/5
Eversi 0-150 0-150 0-150 0-150 0-150 5/5 5/5
Inversi 0-350 0-350 0-350 0-350 0-350 5/5 5/5
Toes Flexion Full Full Full Full Full 5/5 5/5
Ekstension Full Full Full Full Full 5/5 5/5
Big Toe Flexion Full Full Full Full Full 5/5 5/5

25
Ekstension Full Full Full Full Full 5/5 5/5

3.4.2 Neurological Status


 Nervus Kranialis I-XII
Nervus Pemeriksaan Dextra Sinistra
N.I (Olfaktorius-Sensoris) Daya Pembau + +
N.II (Optikus-Sensoris) Refleks Cahaya + +
Visus tde tde
Pengenalan Warna + +
N.I Oculomotorius-Motorik) Ptosis - -
Gerakan mata ke atas + +
Gerakan mata ke tengah + +
Gerakan mata ke bawah + +
Ukuran pupil Ishokor 3mm Ishokor 3mm
Refleks Direct + +
Refleks Indirect + +
N.IV (Trochlearis-mata : (M.Obliq Gerak mata medial ke + +
sup) bawah
N.V (Trigeminus-Sensoris Wajah) Menggigit + +
Membuka mulut + +
Sensibilitas wajah (atas, + +
tengah, bawah)
N.VI (Abducens-mata: M.ext, rectus) Gerak mata ke lateral + +
N.VII (Facialis – motoric wajah) Mengangkat alis + +
Sensoris : Ant lidah & palatum Menutup mata + +
Meringis + +
Menggembungkan pipi + +
Dapat Merasa Manis, + +
Pahit, Asam, Asin
N.VIII (Akustikus-pendengaran) Mendengarkan suara + +
bisik
N.IX (Glosopharingeus) Arcus Faring + +
Refleks Muntah + +
N.X (Vagus) Bersuara + +
Menelan + +
N.XI (Assesorius) Memalingkan kepala + +
Mengangkat bahu + +↓

26
N.XII (Hypoglosus) Menjulurkan lidah + +
Disartri + +

 Deep tendon reflexes : BPR (+/+), TPR (+/+), KPR (+/+), APR (+/+)
 Reflek patologi : Babinski (-/-), Chadock (-/-), Oppenheim (-/-),
Gordon (-/-), Gonda(-/-), Hoffman (-/-),Trommer (-/-)
 Tonus otot : Spastik AGA(UE) (-/-), AGB (LE) (-/-)
Ashworth Spasticity scale : 0, 1, 1+, 2, 3, 4
 Sensory :
Exteroceptive : Suhu ( ↓ ), Nyeri (ujung jarum) ( ↓ )
Proprioceptive : Tekan ( ↓ ), Joint position: AGA /AGB (baik)
Extinction phenomenon : (baik)
Two point discrimination : (baik)
 Pemeriksaan fungsi Cerebellum :
Coordination : Disdiadokokinesia, finger to nose (+/+) , disatria (-)
Balance : Truncal ataxia: Duduk (+), Berdiri (+), standing by
himself (+)
 Shoulder subluxation : + / +

 Hand function (fungsi tangan):


Graps Prehension : Memegang hammer/
Power Graps Normal
mengepal dengan kuat
Cylindrical Memegang hammer, raket, botol Normal
Memegang buah apel, knob pintu, angkat
Spherical gelas dari bagian atas, buka tutup botol Normal
mulut lebar.
Hook Mengangkat koper, keranjang Normal
Pegang dengan ujung jari tangan (pena,
Precision Normal
menyulam dengan jarum, mengancing baju)

 Higher function status :


- Attention and concentration : (normal)
Bahasa : Naming (+), fluent (+), comprehensive(+), repetition (+)
- Perceptual : Spatial neglect : -

27
Alexia (baca) (baik); Apraxia (ikut perintah) (baik);
Agraphia (menulis) (baik); acalculia (menghitung) (baik);
- Memory :Short term memory : (baik)
Long term memory : (baik)
Orientation : (baik)

3.4.3 Barthel Index

Feeding(makan) 2 Bladder (BAK) 2


Toilet use
Bathing (mandi) 1 2
(menggunakan WC)
Grooming(wanita: Transfer (Berpindah
1 3
merias, laki: bercukur) tempat tanpa jarak)
Mobility(berpindah
Dressing(berpakaian) 2 3
tempat dg jarak)
Bowel(BAB) 2 Stairs(naik tangga) 2
Total 20 (Mandiri / Independent)

3.5 Pemeriksaan Penunjang


3.5.1 Laboratory examination (tanggal 23/10/2015)
HB 9,4 g/dl Glukosa 2 JPP - mg/dl
Leukosit 13,9 /L Glukosa Puasa - mg/dl
HCT 41,5 % Glukosa Sewaktu 157 mg/dl
Platelet 151 g/dl Albumin - g/dl
Thrombosit 151 g/dl Kalium - mEq/l
Asam Urat 4,6 mg/dl Kolesterol total 165 mg/dl

3.5.2 Pemeriksaan Radiologi : belum dilakukan

28
3.5.3 Konsultasi:
Departemen (Tgl) Kesimpulan Saran
- - -

3.6 Diagnosa
 Diagnosis : Polineuropati bilateral e.c Diabetes Mellitus
 Diagnosis fungsi :
●Impairment : neuropati
●Disability : hipostesi pada kedua telapak kaki
●Handicap : tidak ada

3.7 Problem List


 Medical : Tidak ada
 Surgical : Tidak ada
 Rehabilitation Medicine :
R1 (Ambulation) : Penderita mampu berjalan sendiri
R2 (ADL) : Bartel index 20 (Mandiri/independent)
R3 (communication) : Pengucapan kata jelas
R4 (Psychological) : Pasien tidak mengalami gangguan psikologis
R5 (Social Economy) : BPJS
R6 (Vocational) : PNS
R7 (Others) :

Tujuan penatalaksanaan terapi :


a. Immediate goals : mengurangikan rasa tebal dan nyeri pada kedua kaki pasien

b. Ultimate goals : pasien mendapatkan kembali fungsi sensoris sehingga dapat


beraktivitas normal

29
Gambar 3. Foto Pasien Saat Sedang di Terapi

3.8 MANAGEMENT
3.8.1 Medical problem :
P.Diagnosa : Polineuropati bilateral e. c Diabetes Mellitus
P.Terapi :
P. Monitoring : Pemantauan gula darah

3.8.2 Surgical problem :


P.Diagnosa :-
P.Terapi :-
PMonitoring :-

3.8.3 Rehabilitation Medicine problem :

30
 R1 (Ambulation) :
a. P.Diagnosa :
b. P.Terapi : pemberian terapi menggunakan lasser
c. P.Monitoring : bartel index 20 (mandiri), GCS 15, VS dbn, MMT dbn
d. P.Edukasi :
- Kontrol secara teratur (3x dalam seminggu)
- Menjaga kebersihan dan kenyamanan telapak kaki dengan
menggunakan alas kaki

 R2 (ADL) : Bartel index


a. P.Diagnosa : -
b. P.Terapi : Latihan kemandirian dalam ADL agar tidak terjadi
kemunduran
c. P. Monitoring : Barthel index 20 Mandiri, GCS 15, VS dbn, MMT
meningkatkan kekuatan otot
d. P. Edukasi : Menyarankan pasien untuk melakukan aktivitas sehari-hari

 R3 (Communication) :
a. P.Diagnosa :-
b. P.Terapi :-
c. P.Monitoring:-
d. P.Edukasi :-

 R4 (Psychological) :
a. P.Diagnosa : -
b. P.Terapi :-
c. P. Monitoring: -
d. P. Edukasi :-

 R5 (Social Economic):
a. P. Diagnosa : -
b. P.Terapi :-
c. P. Monitoring: -

31
d. P. Edukasi :
 Memberikan edukasi dan bimbingan kepada penderita dan
keluarga pasien untuk selalu berusaha menjalankan home
program maupun program di RS serta edukasi dan evaluasi
terhadap lingkungan rumah.
 Aktivitas yang dapat menimbulkan resiko membahayakan pasien
sendiri.

 R6 (Vocational) :
a. P. Diagnosa : -
b. P.Terapi :-
c. P. Monitoring: -
d. P. Edukasi :-

3.9 Prognosis
Ad Vitam : ad bonam
Ad Fungtionam : dubia ad bonam
Ad Sanationam : ad bonam

BAB 4
PEMBAHASAN

Berdasarkan anamnesis pada pasien ditemukan gejala-gejala polineuropati seperti rasa


tebal pada kedua telapak kaki, kesemutan dan nyeri. Hal ini sesuai dengan gejala-gejala
neuropati sensorik, terutama gejala sensorik negatif yaitu rasa tebal, baal, gangguan
berupa sarung tangan/ kaus kaki (glove and stocking). Rasa nyeri yang dirasakan pasien
termasuk gejala sensorik positif yaitu rasa seperti terbakar, nyeri yang menusuk, rasa
seperti kesetrum, rasa kencang dan hipersensitif terhadap rasa halus. Pada rwayat penyakit
dahulu pasien mengaku bahwa sudah 1 tahun menderita penyakit diabetes mellitus yang
terkontrol. Hal ini menunjukkan akibat dari polineuropati pada pasien ini adalah karena
komplikasi dari penyakit diabetes mellitus.
32
Pada pemeriksaan sensorik didapatkan penurunan sensorik pada kedua anggota gerak
bawah, ini menunjukkan bahwa terdapat gangguan sensorik pada pasien yang juga sesuai
dengan keluhan yang dirasakan oleh pasien seperti rasa baal dan kesemutan, atau lebih
dikenal dengan sebutan fenomena stocking and glove.
Pada pemeriksaan laboratorium berupa pemeriksaan darah lengkap didapatkan nilai GDS
terakhir yaitu 157 mg/dl, karena pasien dalam terapi diabetes (terkontrol).
Setelah diagnosis ditegakkan maka diperlukan perawatan pada pasien ini untuk mengontrol
gula darah untuk mencegah komplikasi serta mengobati polineuropati yang terjadi. Pada
pasien ini diberikan terapi non medikamentosa seperti kontrol gula darah secara berkala,
menjaga kebersihan kaki, memakai alas kaki, konsul gizi, dan konsul kebagian rehabilitasi
medik untuk direncanakan terapi laser yang mengurangi rasa nyeri.

BAB 5
KESIMPULAN

5.1 Polineuropati merupakan salah satu komplikasi dari diabetes mellitus yang dapat
menyebabkan penurunan fungsi sensoris.
5.2 Polineuropati dapat dicegah jika penanganan pada diabetes mellitus dilakukan secara
tepat.
5.3 Perlu adanya kerja sama antara bagian Penyakit Dalam dan Rehabilitasi Medik yang
baik untuk merawat pasien diabetes mellitus, agar meminimalkan komplikasi yang
dapat menimbulkan kecacatan pada pasien.

33
34

Anda mungkin juga menyukai