Anda di halaman 1dari 18

JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

PERANAN FILSAFAT ILMU SEBAGAI DASAR DAN ARAH


BAGI PENGEMBANGAN ILMU HUKUM

Dr. Khaidir Anwar, S.H., M.Hum.


Dosen Fakultas Hukum Universitas Lampung

E-mail: khaidiranwar.unila@gmail.com

Abstract
Philosophy of science is the development or complement of the philosophy of
knowledge. As a branch of philosophy, the philosophy of science has its scientific
material object, the philosophy of science is often referred as the science of science. In
the field of science, there has been specializations of science tend to be isolated, so
there is intellectual arrogance that causes narrowing of scientific insights. Science
tends to "break away" from the basic assumptions of the philosophy, so it becomes
fragmented and esoteric, including legal though. From the point of development of
science, it should be wary of, so it needs the study of the role of philosophy of science as
the basis (fundament) and direction of development of legal science.
This thought came from Plato (428-348 BC) which stated that in order to seek
the truth should be done with the dialogue, which became known as the Platonic
method. Aristotle (384-322 BC) stated that the main task of science is to find the causes
of the investigated object.
With the induction method, be concluded that the philosophy of science
contribute to the development of legal science. Philosophy of science is the basis
(fundament) and direction for the development of legal science.

Keywords: philosophy, science, law, direction, development

1. PENDAHULUAN

Filsafat ilmu merupakan pengembangan atau komplemen dari filsafat


pengetahuan yang dikenal sebagai Theory of Knowledge atau Erkennist Lehre (Jerman),
ken leer / kennis theorie (Belanda). Sebagai cabang dari ilmu filsafat, maka filsafat ilmu
mempunyai obyek materiil yaitu ilmu pengetahuan itu sendiri., sehingga filsafat ilmu
sering disebut dengan ilmu tentang ilmu pengetahuan.
Mempelajari filsafat ilmu, sasaran yang dijadikan bahan kajian adalah ilmu
pengetahuan itu sendiri. Seperti halnya ilmu yang mempunyai syarat-syarat tertentu
untuk dapat disebut sebagai ilmu, maka dalam filsafat ilmu juga dilingkupi dengan
prasyarat dimaksud, yaitu adanya obyek material dan obyek formal.1 Dalam filsafat
ilmu yang menjadi obyek materialnya adalah ilmu pengetahuan itu sendiri. Obyek
material disini adalah sesuatu yang dijadikan sasaran pemikiran (gegenstand) sebagai
sesuatu yang diselidiki atau dipelajari.
Obyek formal filsafat ilmu adalah hakikat, substansi, dan esensi dari ilmu
pengetahuan. Bidang yang menjadi garapannya adalah : (l) Ontologi, (2) Epistemologi,

1
Ali Mudhofir, l997, “Pengenalan Filsafat”, Makalah Disampaikan pada Internship Dosen-Dosen Filsafat
Ilmu Pengetahuan se-Indonesia, Fakultas Hukum UGM, Tanggal 21 September – 5 Oktober l997, UGM,
Yogyakarta, hlm. 4

Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum 1
JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

(3) Aksiologi, (4) Strategi pengembangan ilmu.2 Obyek formal dapat dijadikan sebagai
cara pandang atau cara meninjau yang dilakukan oleh seorang pemikir terhadap obyek
materialnya serta prinsip-prinsip yang digunakan. Dengan demikian obyek formal suatu
ilmu tidak hanya memberikan keutuhan suatu ilmu, tetapi pada saat yang sama
membedakan dari bidang-bidang yang lain. Suatu obyek formal dapat ditinjau dari
berbagai sudut pandang.
Filsafat ilmu pada saat ini sedang hangat-hangatnya untuk dibicarakan. Terdapat
dua latar belakang permasalahan mengapa filsafat ilmu begitu hangatnya untuk
dibicarakan, yaitu :
1. Adanya spesialisasi ilmu pengetahuan di Indonesia. Spesialisasi ini cenderung
menuju ke arah isolasi yang akibatnya muncul arogansi intelektual yang membawa
kepada penyempitan wawasan;
2. Adanya kecenderungan selama 2 – 3 dekade ini ilmu pengetahuan dipelopori dan
diterapkan lepas dari asumsi-asumsi dasar atau dengan kata lain lepas dari dasar-
dasar filosofi.3
Dari dua latar belakang tersebut di atas, menurut Koento Wibisono berbagai
permasalahan teoritis akademis, secara praktis oleh para ilmuwan atau oleh para sarjana
dipandang dari sudut sektoralnya masing-masing dan dinyatakan dengan bahasa
teknisnya sendiri-sendiri, yang akibatnya komunikasi dan dialog tidak pernah
menghasilkan solusi yang komprehensif, padahal filsafat ilmu diharapkan menjadi
jaringan interviu yang pada suatu saat tidak mampu lagi menampakkan diri dan harus
bijaksana dengan cabang-cabang ilmu lainnya.4
Sebagaimana telah disebutkan di atas, bahwa bidang garapan yang akan dibahas
dalam filsafat ilmu antara lain :
1. Ontologi ilmu, yakni apa dan bagaimana ilmu itu, hakikat ilmu atau hakikat
kebenaran ilmiah;
2. Epistemologi, yakni apa sumber pengetahuan manusia, sarana untuk mengenal ilmu
pengetahuan dan tata cara menggunakan sarana tersebut;
3. Aksiologi, yaitu norma apa yang sebenarnya dipatuhi dalam kita menggali,
mengembangkan, dan menerapkan ilmu.5
Dari tiga bidang yang dibahas dalam filsafat ilmu tersebut, maka pertanyaan
yang muncul adalah apakah dalam mengkaji ilmu hukum sebagai cabang dari ilmu
pengetahuan sudah terlaksana. Jika kita melihat kepada kurikulum yang diterapkan di
Fakultas Hukum di Indonesia, maka untuk kurikulum S1 kita tidak akan menemukan
mata kuliah filsafat ilmu. Peranan kurikulum dalam menghasilkan Sarjana Hukum yang
mempunyai keahlian dan kemahiran profesional (professional law education) sangat
dipengaruhi oleh mata kuliah yang diberikan dalam pendidikan tinggi tersebut.
Untuk memiliki keahlian di bidang hukum dengan basic ilmu hukum, maka
mahasiswa mendapatkan kuliah dengan kurikulum sebagai berikut :
1. Mata Kuliah Dasar Keahlian (MKDK), yang terdiri dari mata kuliah Pengantar Ilmu
Hukum, Pengantar Hukum Indonesia, dan Ilmu Negara;
2
Ibid, hlm. 5
3
Koento Wibisono Siswomihardjo, 1999, “Ilmu Pengetahun, Sebuah Sketsa Umum Mengenai Kelahiran
dan Perkembangannya Sebagai Pengantar Untuk Memahami Filsafat Ilmu”, Makalah Disampaikan Dalam
Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se Indonesia, Tanggal 22 – 29 Agustus 1999, UGM,
Yogyakarta. hlm. 5
4
Ibid. hlm.7
5
Shidarta, 2006, “Karakteristik Penalaran Hukum Dalam Konteks KeIndonesiaan”, Utomo, Bandung,
hlm.. 71.

Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum 2
JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

2. Mata Kuliah Keahlian (MKK), antara lain terdiri dari mata kuliah Hukum Pidana,
Hukum Perdata, Hukum Tata Negara, Hukum Administrasi Negara, Hukum
Internasional, Hukum Dagang, Hukum Adat, Hukum Islam, Hukum Agraria,
Hukum Lingkungan, Metode Penelitian Hukum, Hukum Acara Pidana, Hukum
Acara Perdata, dan Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara;
3. Mata Kuliah Penunjang (MKPn), antara lain mata kuliah Sosiologi, Pengantar Ilmu
Ekonomi, Ekonomi Pembangunan, Antropologi, Bahasa, dan Kuliah Kerja Nyata;
4. Mata Kuliah Pembulat (MKPb), yang terdiri dari Filsafat Hukum dan Penulisan
Hukum;
5. Mata Kuliah Kemahiran dan Keterampilan Hukum (MKKT), yang terdiri dari Legal
Drafting, Contract Drafting, dan Legal Memorandum;
6. Mata Kuliah Dasar Umum (MKDU), yang terdiri dari Pendidikan Pancasila,
Pendidikan Agama, Kewiraan, dan Etika Profesi.

Dari sebaran mata kuliah yang tertera dalam kurikulum tersebut di atas, kita
tidak menemukan mata kuliah Filsafat Ilmu. Mata kuliah Filsafat Ilmu ditemui saat
mengikuti jenjang pendidikan S2 dan S3, sedang untuk S1 yang ditemukan adalah mata
kuliah filsafat hukum. Pertanyaannya adalah apakah filsafat hukum itu? Filsafat hukum
adalah filsafat umum yang diterapkan dalam ilmu hukum. Karena yang diterapkan
dalam ilmu hukum adalah filsafat umum, maka wajar kalau jenjang pendidikan S1
untuk ilmu hukum tidak mempunyai dasar yang kuat tentang hakikat ilmu yang
sebenarnya.
Gambaran tersebut akan terlihat dengan jelas dalam berita konsorsium Ilmu
Hukum Nomor V Tahun IV, Bulan September – Oktober l994, dengan judul Tiga Puluh
Tahun Pendidikan Tinggi Hukum di Indonesia (1924 – 1994), yang pada bagian
awalnya ditulis antara lain :
“Ketika tujuh puluh tahun yang lalu (24 Oktober l924) Paul Scholten (Guru
Besar Hukum Perdata,( l875 – 1946) memberikan pidatonya pada pembukaan
Rechthoogeschool di Batavia, Jakarta, tidaklah terpikir kemungkinan bahwa
dalam waktu yang relatif singkat akan ada 26 Fakultas Hukum Negeri, 156
Fakultas Hukum Swasta, dan 26 Sekolah Tinggi Hukum di Indonesia. Apakah
hal ini merupakan tanda bahwa minat warga negara Indonesia terhadap studi
bidang hukum sangat meningkat. Ataukah ini hanya merupakan ledakan
keinginan untuk mendapatkan pendidikan tinggi untuk mendapatkan daya saing
dalam memperoleh pekerjaan dalam suatu masyarakat yang membutuhkan lebih
banyak skilled Workes, sedangkan Pendidikan Tinggi Hukum adalah opsi yang
termudah untuk mencapai keinginan itu.”
Terhadap Editorial tersebut mendapatkan komentar dari Moh. Koesnoe, tentang
Pendidikan Tinggi Hukum pada Fakultas Hukum dewasa ini antara lain :
“Sebagai arah yang kini dapat dilihat di dalam studi hukum pada Fakultas-
Fakultas Hukum, ialah lebih dijuruskan pada studi hukum modern dalam hal ini
hukum barat …..sekalipun studi hukum barat yang diutamakan dilakukan
dengan cara dan dasar-dasar yang dilihat dari segi ilmiah sangat diragukan
mutunya. Selain semakin jauh dipenuhinya persyaratan ilmiah, sebagai ilmu
hukum positif juga semakin menjauhnya studi tersebut dari rechtsidee bangsa
kita.” 6
6
Moh. Koesno, l994, “Pemahaman dan Penggarapan Hukum Kodifikasi Dalam Kalangan Praktik dan
Teori Hukum Kita Dewasa ini”, Penerbit Angkasa, Bandung, hlm. 17.

Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum 3
JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

Diragukannya segi ilmiah dan persyaratan ilmiah studi hukum pada Fakultas
Hukum dewasa ini, adalah tidak diberikannya mata kuliah filsafat ilmu di Fakultas
Hukum untuk jenjang S1, dan jika hal ini dikaitkan dengan pendapat Koento Wibisono,
bahwa dengan adanya spesialisasi ilmu di Indonesia akan muncul arogansi intelektual
dan penyempitan wawasan. Sebagai contoh yang berkaitan dengan syarat-syarat ilmiah
studi hukum, Bernard Arief Sidharta mengemukakan ciri khas ilmu hukum, yaitu :
1. Ilmu hukum adalah ilmu praktis;
2. Ilmu hukum mewujudkan medan berkonvergensi berbagai ilmu lain, sehingga
secara metodologis mewujudkan dialektika metode normologis dan nomologis;
3. Dalam obyek telaah ilmu hukum terdapat unsur otoritas (kekuasaan);
4. Pengembangan dan penerapan (ars), ilmu hukum berpartisipasi dalam proses
pembentukan hukum dan produknya menimbulkan hukum baru;
5. Teori argumentasi memegang peranan dalam ilmu hukum;
6. Metode berpikir dalam ilmu hukum adalah berpikir problematikal tersistematisasi;
7. Metode penelitiannya adalah metode penelitian normatif.7

2. PERMASALAHAN
Berdasarkan apa yang telah diuraikan dalam pendahuluan tersebut di atas, maka yang
menjadi permasalahan adalah : Apakah filsafat ilmu dapat dijadikan sebagai dasar dan
arah bagi pengembangan ilmu hukum?

3. PEMBAHASAN DAN ANALISIS


3.1 Sejarah Perkembangan Filsafat Ilmu
Membahas sejarah perkembangan filsafat ilmu, maka tidak dapat dilepaskan
dengan sejarah filsafat itu sendiri, khususnya filsafat barat. Perkembangan sejarah
filsafat barat dibagi menjadi 4 (empat) periodisasi, sebagai berikut:
3.1.1 Zaman Yunani Kuno
Zaman Yunani Kuno ini ada yang menyebutnya dengan zaman filosofi alam,
sebab tujuan filosofi mereka adalah memikirkan soal alam besar. Darimana terjadinya
alam, itulah yang menjadi soal bagi para filosof pada saat itu.8 Selain itu Fuad Hasan
menyebutnya dengan ciri pemikiran yang kosmosentris, yaitu para filosof
mempertanyakan asal usul alam semesta dan jagat raya. Pengamatan terhadap gejala
kosmik dan fisik sebagai upaya menemukan sesuatu asal muasal yaitu arche yang
merupakan unsur awal terjadinya segala gejala.9
Tokoh-tokoh yang terkenal pada zaman Yunani Kuno ini antara lain Thales (625
– 545 SM). Thales dapat dikatakan salah seorang dari tujuh orang terpandai dalam
cerita-cerita lama Yunani. Nama-nama lainnya yaitu Solon, Bias, Pittakos, Chilon,
Periandos, dan Kleobulos. Mereka hidup dikota Miletos dan tersohor karena petuahnya
yang pendek-pendek, misalnya “kenali dirimu”, “segalanya berkira-kira”, “ingat
akhirnya”, “tahan amarahmu”. Thales dikatakan sebagai bapaknya filosofi Yunani.
Filosofinya diajarkan dengan mulut saja dan dikembangkan oleh murid-muridnya dari
mulut kemulut juga. Baru Aristoteles yang kemudian menuliskannya. Menurut

7
Bernard Arief Sidharta, l994, “Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum, Sebuah Penelitian Tentang Studi
Fondasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai Landasan Pengembangan Ilmu Hukum
Nasional”, Penerbit Mandar Maju, Bandung, hlm. 218.
8
Mohammad Hatta, l986, “Alam Pikiran Yunani”, Cetakan ke- 3, Penerbit UI Press bekerjasama dengan
Penerbit Tintamas, Jakarta, hlm. 6.
9
Fuad Hasan, 1996, “Pengantar Filsafat Barat”, Pustaka Jaya, Jakarta, hlm. 14

Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum 4
JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

Aristoteles, kesimpulan ajaran Thales ialah “semuanya itu air”. Air yang cair itu adalah
pangkal, pokok, dan dipengaruhi oleh ajaran gurunya Anaximandros bahwa “jiwa itu
serupa dengan udara”.10
Selain ketiga filosof besar tersebut di atas, filosof Yunani Kuno lainnya yaitu
Herakleitos (540 – 480 SM). Berbeda dengan para pendahulunya di atas, menurut
Herakleitos, anasir yang asli itu adalah api. Meskipun Herakleitos memandang api
sebagai anasir yang asal, pandangannya tidak semata-mata terikat pada alam luaran,
alam besar, seperti pandangan filosof Miletos. Anasir yang asal itu dipandangnya juga
sesuatu yang bergerak. Menurutnya yang ada hanya pergerakan senantiasa, tidak ada
yang boleh disebut ada., melainkan menjadi, semuanya itu dalam kejadian. Jasa terbesar
Herakleitos yaitu dunia pikir yang dinamainya logos, yang artinya pikiran yang benar.
Dan dari sinilah kemudian timbul perkataan “logika”.11
Filosof lainnya pada Zaman Yunani Kuno ini adalah filosof Phytagoras (580 –
500 SM) yang mempunyai kedudukan tersendiri dalam alam pikiran Yunani.
Filosofinya berdasar pada pandangan agama dan paham keagamaan. Phytagoras percaya
akan kepindahan jiwa dari makhluk yang sekarang pada makhluk yang akan datang.
Pokok ajarannya yang terkenal yaitu segala barang adalah angka-angka.12
Kemudian Demokritos (460 – 370 SM), merupakan filosof Yunani yang juga
mempunyai peranan penting dalam rangka pengembangan ilmu pengetahuan.
Demokritos merupakan cikal bakal bagi perkembangan ilmu fisika, kimia dan biologi.
Dia mengatakan bahwa realitas terdiri banyak unsur yang disebut atom.13
Dalam perjalanan sejarah Yunani Kuno, trio besar yang sampai sekarang selalu
diperbincangkan adalah Socrates, Plato dan Aristoteles. Socrates (470 – 399) SM),
menyajikan metode filsafat dialektika.14 Melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan
ia membidani pengetahuan yang terdapat dalam diri orang lain. Metode berpikir
Socrates merupakan cara berpikir induksi.15
Pandangan Plato menyatakan bahwa dalam rangka mencari kebenaran sebaiknya
dilakukan dengan dialog, yang kemudian dikenal dengan metode Platonik. Plato (428 –
348 SM) merupakan murid sekaligus penerus tradisi dialog yang diajarkan Socrates.16
Plato juga dikenal sebagai filosof dualisme yang mengakui dua kenyataan yang terpisah
dan berdiri sendiri, yaitu dunia ide dan dunia bayangan.17
Aristoteles (384 – 322 SM) menyatakan bahwa tugas utama ilmu yaitu mencari
penyebab-penyebab obyek yang diselidiki. Menurut Aristoteles tiap-tiap kejadian
mempunyai empat sebab, yaitu ; (a) Penyebab material (Material cause), (b) Penyebab
formal (formal cause), (c) Penyebab efisien (efficien cause), dan (d) Penyebab final
(final cause).18 Aristoteles juga mengemukakan tentang adanya dua pengetahuan, yaitu
pengetahuan indrawi dan pengetahuan akali. Pemikiran tentang silogisme sebagai cara
menarik kesimpulan dari premis-premis sebelumnya merupakan sumbangan besar

10
Ibid, hlm. 12-13.
11
Ibid, hlm. 15 - 18
12
Ibid, hlm. 29 – 33.
13
K. Bertens, l99l, “Sejarah Filsafat Yunani : Dari Thales ke Aritoteles”, Yayasan Kanisius, Yogyakarta,
hlm. 62
14
Periksa E. Sumaryono 1, l993, “Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat”, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 16
15
Harun Hadiwijono, l983, “Sari Sejarah Filsafat Barat 1”, Kanisius, Yogyakarta, hlm. 36
16
E. Sumarsono, Loc. Cit.
17
Koento Wibisono Siswomiharjo, Loc.Cit, hlm. 5
18
Ibid, hlm. 5

Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum 5
JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

Aristoteles bagi ilmu pengetahuan.19 Metode yang diciptakannya ini pada akhirnya
membuat dia mendapat julukan sebagai „Bapak Logika”.

3.1.2 Zaman Abad Pertengahan


Zaman abad pertengahan (6 – 16 M), juga disebut dengan zaman kejayaan
Kristiani (gereja). Ciri pemikiran pada zaman ini disebut teosentris, oleh karena para
filosofnya memakai pemikiran filsafat untuk memperkuat dogma-dogma agama
kristiani. Filosof yang terkenal pada abad ini yaitu Agustinus dan Thomas Aquinas.20
Agustinus (354 – 430 M) sangat dipengaruhi oleh pemikiran Plato. Melalui
pengetahuan tentang kebenaran abadi yang dibawa sejak lahir dalam ingatan dan
menjadi dasar karena manusia mengetahui sesuatu, manusia ikut ambil bagian dalam
ide-ide Tuhan. Dalam arti tertentu keadaan ikut ambil bagian ini terjadi dengan
mengetahui sesuatu, namun semua perbuatan mengetahui dibimbing oleh kasih.
Berpikir dan mengasihi berhubungan secara selaras dan tak terceraikan. Tuhan ada
sebagai ada, yang bersifat pribadi dan sebagai pribadi menciptakan seluruh jagat raya
secara bebas, dan tidak beremanasi yang niscaya terjadi.21
Thomas Aquinas (1125 – 1274 M), terpengaruh oleh pemikiran Aristoteles. Ciri
khas filsafat abad pertengahan dikenal dengan predikat “Ancilla Theologiae”, dan ini
merupakan pemikiran Thomas Aquinas. Thomas Aquinas tidak semata-mata
mengulangi ajaran Aristoteles, membuang hal-hal yang tidak pas dengan ajaran kristiani
dan menambah hal-hal baru yang melahirkan aliran bercorak Thomisme.22

3.1.3 Zaman Abad Modern


Pada zaman abad modern ini ciri pemikiran filsafatnya adalah Antroposentris.
Para filosof zaman ini menjadikan manusia sebagai pusat analisa filsafat. Peralihan dari
abad pertengahan ke abad modern ditandai dengan suatu era yang disebut dengan
Renaissans (enlighment) atau Zaman Pencerahan. Pada era Renaissans ini, perhatian
diarahkan pada bidang seni lukis patung, arsitektur, musik, sastra, filsafat, ilmu
pengetahuan dan teknologi. Pada era ini terkenal dengan era kelahiran kembali
kebebasan manusia dalam berpikir dan berangsur-angsur melepaskan diri dari otoritas
gereja yang selama ini mengungkung kebebasan dalam mengemukakan kebenaran
filsafat dan ilmu pengetahuan. Pendobrakan terhadap kegelapan dan pembelengguan
terhadap perkembangan ilmu pengetahuan inilah yang menyebabkan era ini disebut
masa kecerahan bagi perkembangan ilmu pengetahuan.23 Berbagai aliran filsafat yang
lahir pada zaman ini yaitu, Rasionalisme, Empirisme, Kritisisme, Idealisme,
Positivisme, dan Marxisme, sebagaimana akan diuraikan di bawah ini:

3.1.3.1 Rasionalisme
Aliran Rasionalisme ini tokoh yang terpenting yaitu Rene Descrates, Spinoza,
dan Leibniz. Metode Rene Descrates (1598 – l950), sebagai tokoh yang dianggap paling
berpengaruh, yang berawal dari masa ragu terhadap segala hal, namun satu hal yang tak
mungkin diragukan adalah kegiatan meragu-ragukan itu sendiri. Dengan demikian ia
sampai pada suatu kesimpulan yang tak terbantah, yaitu saya berpikir jadi saya ada.

19
Ibid, hlm. 6 - 7
20
Ibid, hlm, 8
21
Ibid, hlm. 8
22
Ibid, hlm. 12
23
Ibid, hlm. 12

Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum 6
JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

Cogito ergo sum atau je pense donc je suis24 merupakan prinsip pertama dari filsafat
yang diterima Descrates. Bagi Descrates, kebenaran adalah kepastian rasional subyek
tentang kesesuaian tersebut.25 Metode Descrates ini disebut “metode ragu-ragu” yang
merupakan metode berpikir deduksi.26

3.1.3.2 Emperisme
Aliran Empirisme mendasarkan sumber pengetahuan itu berasal dari
pengalaman, baik pengalaman lahir yang menyangkut dunia maupun pengalaman batin
yang menyangkut pribadi manusia. Fungsi akal (rasio) hanya mengatur dan mengolah
bahan atau data yang bersumber dari pengalaman. Menurut mereka manusia tidak
mempunyai ide-ide bawaan atau innate ideas.27 Aliran ini bertolak dari pandangan
bahwa metode ilmu pengetahuan itu bukanlah a priori, tetapi a posteriori, artinya
metode itu didasarkan pada hal-hal yang datang atau terjadinya atau adanya kemudian.
Pandangan ini bertolak belakang dengan aliran rasionalisme yang menyatakan metode
ilmu pengetahuan itu bersifat a priori. Aliran Empirisme pertama kali dikembangkan
oleh Francis Bacon yang memberi tekanan kepada empiri atau pengalaman sebagai
sumber pengenalan.28 Ia memperkenalkan metode eksperimen dalam melakukan
penyelidikan atau penelitian. Dalam hal ini Bacon memberikan rambu-rambu agar
seseorang berhati-hati terhadap idola-idola yang menyebabkan ketidakakuratan suatu
kesimpulan, yaitu (1) Idola Tribus, menarik kesimpulan secara terburu-buru, (2) Idola
Specus, menarik kesimpulan sesuai seleranya, (3) Idola Fori, menarik kesimpulan
berdasarkan pendapat orang banyak, (4) Idola Theatri, menarik kesimpulan berdasar
pendapat ilmuwan sebelumnya.29
Filosof Aliran Empirisme lainnya adalah Thomas Hobbes yang juga meyakini
pengalaman sebagai sumber pengetahuan. John Locke, melontarkan pemikirannya
tentang asal mula gagasan manusia, kemudian menentukan fakta, menguji kepastian
pengetahuan dan memeriksa batas-batas pengetahuan manusia.30
David Hume, menegaskan bahwa sumber satu-satunya untuk memperoleh
pengetahuan adalah pengalaman. Menurutnya sumber pengetahuan adalah pengamatan
dimana dengan pengamatan tersebut manusia akan memperoleh dua hal yaitu, kesan-
kesan (impresion) yang merupakan pengamatan langsung yang diterima dari
pengalaman dan pengertian-pengertian (ideas) yang merupakan gambaran tentang
pengamatan yang redup, kabur atau samar.31 Hakikat pemikiran Hume bersifat analitis,
kritis, dan skeptis. Alur pikir aliran empiris dicirikan pada pandangan bahwa metode
pengetahuan bersifat a posteriori dan proposisinya adalah sintetik, yakni kebenaran itu
tidak dapat diuji dengan cara menganalisa pernyataan, tetapi harus diuji secara
empiris.32

24
Ibid, hlm. 13
25
Jujun S. Suriasumantri, l990, “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer”, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta,
hlm. 68. Periksa juga Wasito Poespoprojo, l987, “Interpretasi”, Remaja Karya, Bandung, hlm. 20
26
E. Soemaryono, Op. Cit, hlm. 18
27
Koento Wibisono dan Misnal Munir, Op.Cit, hlm. 14
28
Harun Hadiwijono, Op.Cit, h. 31 - 32
29
Koento Wibisono dan Misnal Munir, Op. Cit, hlm. 15
30
Ibid, hlm. 15
31
Harun Hadiwijono, Op.Cit, hlm. 53
32
Konto Wibisono dan Misnal Munir, hlm. 15

Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum 7
JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

3.1.3.3 Kritisisme
Aliran filsafat ini merupakan jalan tengah yang menjembatani dua kutub yang
berseberangan, yaitu rasionalisme dan empirisme. Kritisisme adalah sebuah teori
pengetahuan yang berusaha untuk mempersatukan dua pertentangan di atas
(rasionalisme dan empirisme) dalam suatu hubungan yang seimbang dan saling terkait
satu dengan lainnya. Tokoh aliran ini adalah Immanuel Kant (1724 – 1804), yang
berpendapat bahwa pengetahuan merupakan hasil akhir yang diperoleh dengan adanya
kerjasama antara dua komponen, yaitu pengalaman inderawi dan kesan yang
sedemikian rupa sehingga terdapat hubungan antara sebab dan akibatnya. Kant melihat
kelemahan pada masing-masing kutub, rasionalisme dan empirisme, sehingga ia
mengemukakan bahwa pengetahuan itu seharusnya sintetis a priori, antara akal budi
dan pengalaman inderawi dibutuhkan bersamaan.33

3.1.3.4 Idealisme
Para filosof aliran idealisme pemikiran filsafatnya bersumber dari filsafat
kritisismenya Immanuel Kant. Pengikut pemikiran Kant antara lain Fichte sebagai
penganut idealisme subyektif. Sedang Schelling merupakan filosof beraliran idealisme
obyektif. Kedua pemikiran idealisme ini (subyektif dan obyektif) oleh Hegel
disintesiskan dalam filsafat idealisme mutlaknya. Dalam pandangan Hegel pikiran
adalah esensi dari alam dan alam adalah keseluruhan jiwa yang diobyektifkan. Menurut
Hegel hukum-hukum pikiran adalah merupakan hukum-hukum realitas. Keyakinan
terhadap arti dan pemikiran dalam struktur dunia merupakan inti dasar yang menjadi
asas idealisme.34 Fichte, Schelling maupun Hegel, adalah filosof transendental yang
menjadikan akal pusat pembicaraan dalam menangani pengalaman.35
3.1.3.5 Positivisme
Peletak dasar sekaligus merupakan tokoh terpenting dalam aliran filsafat
positivisme adalah Auguste Comte (1798 – l857). Aliran filsafat ini berpangkal dari apa
yang telah diketahui, faktual, dan positif serta menolak metafisika.36 Filsafat Comte
adalah filsafat anti-metafisis, dimana hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan
secara positif ilmiah. dan menjauhkan diri dari semua pertanyaan yang mengatasi
bidang-bidang ilmu positif. Semboyannya adalah “savoir pour prevoir”, mengetahui
supaya siap bertindak, artinya manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan-
hubungan antara gejala-gejala ini supaya dapat meramalkan apa yang akan terjadi.37
Hukum mengalami tiga tahap yang merupakan unsur pokok dalam filsafat positivisme
Comte, karena dalam hukum inilah akan tercermin arti, makna, serta sifat seluruh
pandangan filsafatinya.38
Filsafat Comte juga disebut faham emperisme kritis, pengamatan akan berjalan
seiring dengan teori. Baginya persoalan filsafat yang penting bukan masalah hakikat

33
Ibid, hlm. 16
34
Ibid, hlm. 18 – 19. Periksa juga Wasito Puspoprodjo, Op. Cit, hlm. 7
35
Harun Hadiwijono, Op. Cit, hlm. 87
35
Harun Hadiwijono, Op. Cit, hlm. 87. Ada perbedaan aliran idealisme yang dikembangkan oleh Fichte
(idealisme etis), Schellng (idealisme fisis) maupun Hegel (idealisme logis. Periksa C.A. Van Peursen, l991,
“Orientasi di Alam Filsafat”, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 32
36
Ibid, hlm. 109
37
Koento Wibisono dan Misnal Munir, Op. Cit, hlm. 19
38
Koento Wibisono, l996, “Arti Perkembangan Menurut Filsafat Positivisme Auguste Comte”, Gajah
Mada University Press, Yogyakarta, hlm. 10

Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum 8
JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

atau asal mula pertama dan tujuan akhir gejala-gejala, melainkan bagaimana hubungan
antara gejala yang satu dengan gejala lainnya.
Aliran filsafat ini penting sebagai pencipta ilmu sosiologi, dimana kebanyakan
konsep, prinsip dan metode yang sekarang dipakai dalam sosiologi berasal dari ajaran
Comte ini. Comte membagi masyarakat dalam kategori “statika sosial” yang merupakan
teori tentang susunan masyarakat, dan “dinamika sosial” yang merupakan teori tentang
perkembangan dan kemajuan.39

3.1.3.6 Marxisme
Filsafat Marxisme merupakan perpaduan antara metode dialektika Hegel dan
filsafat materialisme Feurbach. Karl Max (1818 – 1883) terutama mengkritik Hegel
yang menurutnya berjalan di atas kepalanya, sehingga filsafat itu harus diputar balikkan.
Filsafat abstrak harus ditinggalkan karena teori, interpretasi, spekulasi dan sebagainya
tidak menghasilkan perubahan masyarakat. Menurut Marx, sejarah itu dijalankan oleh
suatu logika sendiri sebagai motor sejarah adalah ide dan roh yang sedang berkembang.
Motor sejarah menurut Marx terdiri dari hukum-hukum sosial ekonomis dan hukum ini
tidak merupakan sesuatu yang “transenden” yang mengatasi manusia sendiri. Pemikiran
Marx menghubungkan keterkaitan antara ekonomi dan filsafat.40 Menurut Marx perlu
adanya perubahan keadaan masyarakat, dimana kaum proletar yang ditindas oleh kaum
borjuis harus berjuang untuk merebut peranan kaum borjuis melalui revolusi.

3.1.4 Zaman Abad Kontemporer


Pada zaman ini lazim disebut “logosentris”, artinya teks yang menjadi tema
sentral diskursus para folosof. Tema yang menguasai refleksi filosofis dalam abad ke 20
ini adalah pemikiran tentang bahasa.41 Tugas filsafat bukanlah membuat pernyataan-
pernyataan tentang sesuatu yang khusus, melainkan memecahkan persoalan yang timbul
akibat ketidakpahaman terhadap bahasa logika.42
Russel dan Wittgenstein melangkah lebih maju ke dalam metode analisa bahasa,
sebagai sikap atau keyakinan ontologis dalam memilih alternatif terbaik bagi aktivitas
berfilsafat. Karya filsafat bukan sekedar ungkapan filsafati melainkan upaya membuat
ungkapan menjadi jelas. Filsafat bukanlah doktrin melainkan aktivitas. Tujuan filsafat
adalah penjelasan logis terhadap pemikiran dan sebuah karya filsafat pada hakikatnya
terdiri atas penjelasan (elucidations).43
Pemikiran para filosof analitik ini merupakan respons terhadap aktivitas filsafat
yang dilakukan oleh para penganut aliran filsafat idealisme yang menekankan
mengintrodusir ungkapan-ungkapan filsafati, sehingga kebanyakan bermakna ganda,
kabur dan tidak terpahami oleh akal sehat.44
Pada zaman ini muncul berbagai aliran filsafat yang merupakan kelanjutan
filsafat abad modern, seperti neo-thomisme, neo-kantianisme, neo-hegelianisme, neo-
marxisme, neo-positivisme dan sebagainya. Namun demikian ada juga aliran filsafat

39
Ibid, hlm. 19
40
Ibid, hlm. 20 – 21. Periksa juga Harun Hadiwijono, Op. Cit, hlm. 123
41
K. Bertens, l983,”Filsafat Barat Abad XX”, Gramedia, Jakarta, hlm. 17
42
Koento Wibisono dan Misnal Munir, Op.Cit, hlm. 21
43
Ibid, hlm. 21.
44
Ibid, hlm. 21

Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum 9
JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

yang baru dengan ciri dan corak yang lain sama sekali, seperti : fenomenologi,
eksistensialisme, pragmatisme, strukturalisme dan postmodernisme.45
Beberapa aliran yang dicoba diangkat dalam kajian ini mewakili aliran filsafat
kontemporer (abad ke- 20). Edmund Husserl (l859-l938) merupakan pendiri aliran
fenomenologi sebagai ilmu yang mempelajari apa yang tidak tampak atau apa yang
menampakkan diri atau fenomena. Bagi Husserl, fenomena adalah realitas itu sendiri
yang tampak bagi subyek. Menurutnya filsafat memerlukan sebuah metode yang
mengena untuk menegaskan validitasnya di dalam pengalaman hidup manusia sehari-
hari.46 Aliran filsafat ini mempunyai kedekatan dengan aliran filsafat eksistensialisme,
karena terdapat tema yang sama meskipun terdapat juga perbedaan di antara kedua
aliran.
Jean Paul Sartre (1905-1980), adalah salah satu tokoh aliran eksistensialisme
yang populer. Ia membedakan rasio dialektis dengan ratio analytic, dimana ratio analitis
dijalani dalam ilmu pengetahuan, sedang ratio dialectic jika manusia berpikir tentang
manusia, sejarah dan kehidupan sosial.47
Aliran filsafat strukturalisme muncul sebagai reaksi terhadap aliran filsafat
eksistensialisme yang menekankan pada peranan individu, sebaliknya strukturalisme
justru melihat manusia terkungkung dalam berbagai struktur kehidupannya. Mereka
melakukan penolakan terhadap prioritas kesadaran. Bagi mereka manusia tidak lagi
merupakan titik pusat otonom, manusia tidak lagi menciptakan sistem melainkan tunduk
pada sistem. Ada dua pengertian pokok sehubungan dengan aliran ini, pertama, menurut
Ferdinand de Saussure, strukturalisme merupakan metode atau metodologi yang
dipergunakan untuk mempelajari ilmu-ilmu kemanusiaan dengan bertitik tolak dari
prinsip-prinsip linguistik. Ilmu kemanusiaan (Geisteswissenschaften) yang dibedakan
dengan ilmu-ilmu pengetahuan alam (naturwissen schaften).48 Kedua, strukturalisme
adalah aliran filsafat yang hendak memahami masalah yang muncul dalam sejarah
filsafat. Michel Foucault (l926-1984), sebagai tokoh aliran strukturalisme yang
berpengaruh, menyatakan bahwa kesudahan manusia sudah dekat (terkenal dengan
“kematian” manusia), dimana konsep manusia akan hilang dalam pikiran kita. Manusia
akan kehilangan tempat sentralnya dalam bidang pengetahuan dan kultur seluruhnya.49
Jadi dalam aliran ini yang penting adalah masalah struktur masyarakat, bukan masalah
asal usulnya.50
Aliran filsafat Pragmatisme merupakan aliran filsafat yang berpengaruh cukup
besar di dunia praktis. Aliran ini merupakan suatu sikap, metode dan filsafat yang
memakai akibat-akibat praksis dari pikiran dan kepercayaan sebagai ukuran untuk
menetapkan nilai kebenaran. Aliran ini bersikap kritis terhadap sistem filsafat
sebelumnya. William James (1842-1910) salah seorang tokoh pragmatisme yang
membedakan pengetahuan dalam dua bentuk, yaitu pengetahuan langsung yang
diperoleh dari pengamatan dan pengetahuan tidak langsung yang diperoleh melalui
pengertian. Kebenaran itu merupakan suatu proses, suatu ide dapat menjadi benar
apabila didukung oleh peristiwa-peristiwa sebagai akibat atau buah ide itu, sehingga

45
Ibid, hlm. 22
46
E. Sumaryono, Op.Cit, hlm. 19
47
Koento Wibisono dan Misnal Munir, Op.Cit, hlm. 23
48
E. Sumaryono, Op.Cit, hlm. 28
49
Koento Wibisono dan Misnal Munir, Op.Cit, h 23-24
50
Bernard Delfgaauw, “Filsafat Abad 20”, Alih Bahasa Soejono Soemargono, Tiara Wacana, Yogyakarta

Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum 10
JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

kebenaran itu hanya suatu yang potensial, baru setelah verifikasi praktis kebenaran
potensial itu menjadi riil.51
Postmodernisme merupakan trend pemikiran yang sangat populer di penghujung
abad ke-20 yang merambah ke berbagai bidang serta disiplin filsafat dan ilmu
pengetahuan. Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap kegagalan modernisme, dalam
hal ini filsafat berpusat pada epistemologi yang berdasar pada gagasan tentang
subjektivitas dan objektivitas murni, dimana satu dengan lainnya saling terkait. Tugas
pokok filsafat adalah mencari fondasi segala pengetahuan (fondasionalisme), dan tugas
pokok subyek adalah mempresentasikan kenyataan obyektif (representasionalisme).
Wacana postmodernisme menjadi popular setelah Francois Lyotard mengemukakan
pendapatnya bahwa modernitas ditandai oleh kisah-kisah besar yang mempunyai fungsi
mengarahkan serta menjiwai masyarakat modern (mirip mitos). Kisah-kisah besar tadi
mencari legitimasi melalui ide yang harus diwujudkan.52

3.2 Peran Filsafat Ilmu Bagi Pengembangan Ilmu Hukum


Paul Scholten, seorang Guru Besar Hukum Romawi, Ensiklopedia Ilmu Hukum,
Hukum Perdata, Hukum Acara Perdata, dan Filsafat Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Amsterdam, Belanda menyatakan :
“Ihwal dengan kebenaran dalam ilmu sama seperti dengan keadilan dalam
hukum. Ilmu mencari kebenaran, hukum mencari keadilan, mereka dua-duanya
sama-sama selalu berada dalam perjalanan, sambil berjalan mereka memutuskan
tentang apa yang menolong mereka lebih jauh, putusan ilmiah tentang ketepatan,
tidak tentang kebenaran, putusan hukum tentang kesesuaian dengan hukum
(keabsahan, rechtmatigheid), tidak tentang keadilan …….Yang pasti adalah
bahwa ilmu hukum memperlihatkan dalam derajad yang tinggi apa yang menjadi
ciri khas pemikiran ilmiah, tidak hanya yang dari Aristoteles atau dari Thomas,
melainkan juga yang modern.”53

Dalam mengembangkan suatu ilmu hukum yang adequate untuk melaksanakan


pembinaan hukum dan praksis hukum di masyarakat, maka refleksi kritis terhadap
landasan kefilsafatan, sifat keilmuan dan bangunan ilmu hukum, maka secara rasional
akan dapat diperkirakan sejauh mana yang dapat diharapkan dan apa yang diperlukan
serta apa yang harus dijalankan dalam memerankan ilmu hukum pada pembinaan dan
praksis hukum.54
Refleksi kritis sistematis terhadap landasan kefilsafatan, sifat dan ciri-ciri
keilmuan serta bangunan (struktur) ilmu hukum itu termasuk ke dalam disiplin filsafat
ilmu. Menurut Jan Gijssels dan Max van Hoeke, Filsafat hukum adalah filsafat umum
yang diterapkan pada hukum atau gejala-gejala hukum. Dalam filsafat pertanyaan-
pertanyaan paling dalam dibahas dalam hubungan dengan makna, landasan, struktur,
dan sejenisnya dalam kenyataan. Dalam filsafat hukum, pertanyaan-pertanyaan ini
difokuskan pada keterberian-keterberian (data) yuridikal.55

51
Konto Wibisono dan Misnal Munir, Op.Cit, h. 24 - 25
52
Ibid, h. 25-26
53
Paul Scholten, Op.Cit, hlm. 36-37
54
Bernard Arief Sidharta, Op. Cit, hlm. 12
55
Jan Gijssels dan Mark van Hooeke, 2000, “Apakah Teori Hukum Itu ?”, Diterjemahkan oleh B. Arief
Sidharta. Penerbitan Tidak Berkala No. 3, Laboratorium Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan,
Bandung, hlm. 56

Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum 11
JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

Wilayah telaah filsafat hukum itu sendiri dapat dibagi ke dalam sejumlah
wilayah atau bagian berikut :
1. Ontologi Hukum (ajaran hal ada, zijnleer) : penelitian tentang “hakikat” dari hukum,
tentang “hakikat”, misalnya dari demokrasi, tentang hubungan antara hukum dan
moral;
2. Aksiologi Hukum (ajaran nilai, waardenleer) : penentuan isi dan nilai seperti
kelayakan, persamaan, keadilan, kebebasan, kebenaran, penyalahgunaan hak;
3. Ideologi Hukum (harfiah : ajaran idea, ideenleer) : pengolahan wawasan
menyeluruh atas manusia dan masyarakat yang dapat berfungsi sebagai landasan
dan/atau sebagai legitimasi bagi pranata-pranata hukum yang ada atau yang akan
datang, sistem-sistem hukum seutuhnya atau bagian-bagian dari sistem tersebut
(misalnya tatanan-tatanan hukum kodrat, filsafat hukum Marxistik);
4. Epistemologi Hukum (ajaran pengetahuan, kennisleer): penelitian tentang
pertanyaan sejauh mana pengetahuan tentang “hakikat” dari hukum atau masalah-
masalah filsafat hukum fundamental lainnya mungkin. Jadi, ini adalah suatu bentuk
dari meta-filsafat;
5. Teleologi Hukum (ajaran finalitas, finaliteitsleer) : hal menentukan makna dan
tujuan dari hukum;
6. Ajaran ilmu (wetenschapleer) dari hukum : ini adalah meta-teori dari ilmu hukum,
yang di dalamnya diajukan dan dijawab pertanyaan-pertanyaan antara lain dalam
hubungan dengan kriteria bagi keilmiahan (sejauh mana pengetahuan ilmiah tentang
hukum itu dimungkinkan ?), dan dalam hubungan dengan klasifikasi ilmu hukum
(bukan klasifikasi hukumnya itu sendiri). Juga metodologi dari filsafat hukum
sendiri (dengan mengecualikan metodologi dari cabang-cabang ilmu hukum
lainnya) juga dapat dimaksudkan ke dalamnya;
7. Logika hukum (rechtslogika) : penelitian tentang aturan-aturan berpikir hukum dan
argumentasi yuridis, bangunan logika serta struktur sistem hukum. Logika hukum
telah berkembang menjadi sebuah cabang filsafat hukum mandiri dan bahkan
menjadi disiplin sendiri dalam ilmu hukum, yang di dalamnya ia mengambil tempat
sendiri di samping filsafat hukum.56

Jika kita kembali kepada permasalahan tentang peranan filsafat ilmu dalam
pengembangan ilmu hukum, maka di bawah ini akan dipaparkan beberapa aliran yang
penting dewasa ini, antara lain :

3.2.1 Positivisme Logikal


Positivisme Logikal adalah aliran filsafat yang dikembangkan oleh kelompok
ilmuwan dan filsuf yang menamakan diri Wiener Kreis. Pada tahun 1922, Moritz
Schlick, seorang Sarjana Fisika diangkat menjadi Guru Besar Filsafat kelompok ilmu
induktif di Wina. Atas inisiatifnya, pada tahun 1925 terbentuk kelompok diskusi di
Wina yang beranggotakan sejumlah ilmuwan dan filsuf yang kemudian dikenal dengan
Wiener Kreis. Di antaranya yang terkenal disamping Schlick, adalah: Logikus Rudolf
Carnaf, matematikus Philip Frank, historikus Victor Kraft, Filsuf Herbert Feigl dan
Friedrich Waismann. Kelompok ini secara teratur bertemu dan bertukar pikiran tentang
makna ilmu dan kemungkinan peranannya dalam menumbuhkan kehidupan
kemasyarakatan yang lebih baik. Berdasarkan kesamaan wawasan kefilsafatan yang

56
Ibid, hlm. 57

Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum 12
JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

ditumbuhkan dalam pertemuan-pertemuan itu, Rudolf Carnap, Matematikus Hans Hanh


dan sosiolog Otto Neurath, merumuskan dan menerbitkan sebuah risalah berjudul
“WISSENSCHAFTLICHE WELTAUFFASUNG, Der Wiener Kries”.57
Aliran ini berkeyakinan bahwa hanya ilmu yang dapat memberikan pengetahuan
yang sah, dan bahwa pengetahuan ilmiah itu harus bersifat empiris. Artinya, hanya
kenyataan yang dapat diobservasi panca-indera yang dapat menjadi obyek ilmu.
Pengetahuan tentang hal lainnya tidak obyektif, dan karena itu tidak dapat diuji
kepastian kebenarannya. Sebagai sarana penguji kebenaran pengetahuan ilmiah, mereka
mengajukan asas verifikasi. Berdasarkan asas ini, putusan ilmiah adalah benar hanya
jika putusan itu dapat diverifikasi secara empiris, yakni dapat diuji pada kenyataan yang
dapat diobservasi. Metode untuk memperoleh pengetahuan ilmiah adalah metode
empirik yang pada intinya adalah induksi. Produknya yang berupa teori ilmiah sekaligus
juga merupakan hipotesis yang dapat diuji kembali dengan kenyataan. Aliran ini tentang
kebenaran, menganut Teori Korespondensi yang menyatakan bahwa kebenaran adalah
kesesuaian antara putusan atau proposisi dan dunia kenyataan. Jadi putusan atau teori
ilmiah adalah benar jika mencerminkan dunia kenyataan.58

3.2.2. Rasionalisme Kritis


Tokoh terpenting dalam aliran Rasionalisme Kritis adalah Karl Raimund Popper.
Bukunya yang terkenal adalah “THE LOGIG OF SCIENTIFIC DISCOVERY” yang
terbit pada tahun l959 dan merupakan terjemahan dari “LOGIG DER FORCHUNG”
yang terbit pada Tahun 1934.59
Menurut aliran ini, pengetahuan ilmiah harus obyektif dan teoritikal, dan pada
analisis terakhir merupakan penggambaran dunia yang dapat diobservasi. Seperti halnya
Aliran Positivisme Logikal, aliran ini menganut Teori Kebenaran Korespondensi.
Namun bagi aliran ini putusan ilmiah yang sesuai dengan kenyataan yang teramati hanya
menghasilkan pengetahuan yang mungkin benar (probabel), dan karena itu hanya
dipandang benar sampai dibuktikan sebaliknya. Aliran ini menolak metode induksi
sebagai metode ilmiah untuk memperoleh pengetahuan, karena kesimpulan yang
dihasilkan induksi pada dasarnya bertumpu pada premis-premis partikular, sehingga
kesimpulannya lebih luas daripada premis-premis yang mendukungnya. Aliran ini
berpendapat metode ilmiah yang tepat adalah deduksi, yakni berdasarkan dalil umum
menarik kesimpulan berupa putusan khusus (proposisi partikular). Hipotesis ini berfungsi
seperti lampu pencari (searchlight) yang disorotkan pada fakta yang dapat diobservasi.
Aliran rasionalisme kritis ini mengajukan asas falsifikasi sebagai kriteria penguji untuk
mengontrol putusan-putusan ilmiah. Selama belum terfalsifikasi, artinya selama belum
ditemukan fakta yang menyangkal hipotesis yang bersangkutan, maka pengetahuan yang
dihasilkan harus dipandang sebagai benar untuk sementara. Dalam pandangan aliran ini
putusan ilmiah itu selalu berkenaan dengan gejala alam.
Berdasarkan jalan pikiran yang dikemukakan di atas, maka menurut aliran
Rasionalisme Kritis putusan ilmiah harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Putusan ilmiah harus dapat diuji secara kritis;
2. Teori ilmiah harus tersusun secara logis konsisten;

57
Hermann Koningsveld, l987, “Het Verschijnsel Wetenschap”, Amsterdam, hlm. 30 dan di dalam Arief
Sidharta, Op. Cit, hlm. 85
58
Bandingkan juga dengan, J.J.H. Bruggink, “Refleksi Tentang Hukum”, Diterjemahkan oleh Arief
Sidharta, Op.Cit, hlm. l90-194
59
Bernard Arief Sidharta, Op.Cit, hlm. 86-88. Lihat juga J.J.H. Bruggink, Op.Cit, hlm. 194-200

Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum 13
JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

3. Putusan (proposisi) ilmiah harus sebanyak mungkin dapat difalsifikasi, artinya


rumusannya secara prinsip harus memungkinkan untuk difalsifikasi. Jika putusan
ilmiah itu mampu bertahan terhadap usaha-usaha falsifikasi, maka dapat dikatakan
bahwa telah terbentuk putusan ilmiah obyektif yang benar untuk sementara waktu.

3.2.3. Teori Paradigma Thomas Kuhn


Thomas Kuhn adalah seorang sejarahwan dan sosiolog hukum. Karya utamanya
adalah “THE STRUCTURE OF SCIENTIFIC REVOLUTIONS” yang terbit tahun l970
dilengkapi dengan Postscript yang memuat modifikasi pandangannya serta tanggapan
terhadap kritik. Dalam bukunya tersebut Kuhn mengemukakan pandangan tentang ilmu
yang berputar sekitar lima istilah atau konsep kunci yakni, paradigma, revolusi ilmiah,
pra-paradigmatik, ilmu normal dan anomali. Berbeda dengan Propper yang mendekati
pengertian ilmu secara internal, Kuhn mendekati ilmu secara eksternal sebagai penulis
sejarah dan sosiolog.60
Dengan penggunaan istilah paradigma ini, Kuhn hendak menunjuk pada
sejumlah contoh praktek ilmiah aktual yang diterima atau diakui dalam lingkungan
komunitas ilmiah, menyajikan model-model yang berdasarkan model-model itu lahirlah
tradisi penelitian ilmiah yang terpadu (koheren). Contoh praktek ilmiah itu mencakup
dalil, teori, penerapan dan instrumentasi. Dengan demikian para ilmuwan yang
penelitiannya didasarkan pada paradigma yang sama pada dasarnya terikat pada aturan
dan standar yang sama dalam mengemban ilmunya. Keterikatan pada aturan dan standar
ini adalah prasyarat bagi adanya ilmu normal. Dengan demikian yang dimaksud dengan
paradigma ini adalah cara pandang atau kerangka berpikir yang berdasarkan fakta atau
gejala diinterpretasi dan dipahami.
Perubahan paradigma itu akan menimbulkan berbagai perubahan dalam kegiatan
ilmiah. Hal itu akan menimbulkan redefinisi ilmu yang bersangkutan. Beberapa masalah
dinyatakan sebagai masalah yang termasuk dalam disiplin lain atau dinyatakan bukan
masalah ilmiah lagi. Yang tadinya dianggap bukan masalah atau hanya masalah kecil,
kini menjadi masalah pokok. Standar dan kriteria untuk menentukan keabsahan masalah
dan keabsahan solusi masalah dengan sendirinya juga berubah. Secara umum dapat
dikatakan bahwa perubahan paradigma itu akan membawa transformasi dalam “the
scientific imagination”, dan dengan itu juga terjadi “transformation of the word”.

3.2.4. Hermeneutika
Semua ajaran mengenai ilmu yang dikemukakan di atas mengacu pada ilmu
alam sebagai modelnya. Hanya dengan analogi dan berbagai adaptasi saja ajaran –ajaran
ilmu itu dapat diaplikasikan pada ilmu-ilmu manusia. Misalnya, Hans Albert dalam
bukunya “ERKENNTNIS UND RECHT” dan A.H. de Wild dalam bukunya “DE
RATIONALITEIT VAN HET RECHTERLIJK OORDEEL”, mencoba menerapkan
teori Propper dalam bidang hukum. Berbeda dengan aliran-aliran itu, aliran
Hermeneutika secara khusus memberikan perhatian atau lebih terkait pada ilmu-ilmu
manusia.
Perkataan Hermeneutika berasal dari bahasa Yunani yakni dari kata kerja
“hermeneuein” yang berarti „menafsirkan” atau “menginterpretasi” dan kata benda
“hermeneia” yang berarti “penafsiran” atau “interpretasi”.61

60
Bernard Arief Sidharta, Op.Cit, hlm. 89-90
61
E. Sumaryono, Op.Cit, hlm. 23

Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum 14
JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

Pada awal mulanya hermeneutika dikembangkan sebagai metode atau seni untuk
menafsirkan dalam upaya memahami naskah (teks) kuno. Melalui karya
Schleiermacher, Wilhelm Dilthy, mengembangkan dan menggunakan hermeneutik
sebagai metode untuk ilmu-ilmu manusia, khususnya ilmu sejarah. Akhirnya lewat
karya Hegel dan karya Heidegger, Hans George Gadamer, mengembangkan
hermeneutika sebagai landasan kefilsafatan ilmu-ilmu manusia dalam bukunya
“WAHRHEIT UND METHODE” yang terbit pada tahun l960. Dalam bukunya tersebut
Gadamer menyisihkan paragraf khusus yang memaparkan ilmu hukum dogmatik atau
hermeneutika yuridis sebagai salah satu eksemplar cara kerja hermeneutika, yakni
dalam sebuah paragraf dengan judul “THE EXEMPLARY SIGNIFICANCE Of
LEGAL HERMENETUICS (Die Exemplarische Bedeutung der Juristischen
Hermeneutik)”.
Filsafat Hermeneutika adalah filsafat tentang hal mengerti atau memahami
(Verstehen). Yang dipermasalahkan dalam filsafat ini bukanlah bagaimana orang harus
memahami, jadi bukan ajaran seni atau ajaran metode, melainkan apa yang terjadi jika
orang memahami atau menginterpretasi. Sebagai filsafat tentang hal memahami, Filsafat
Hermeneutika berkenaan dengan semua hal yang memiliki makna sejauh hal tersebut
dapat diungkapkan dalam bahasa dan dapat dimengerti. Obyek refleksinya mencakup
bahasa manusia, bahasa alam, bahasa seni, dan bahasa hal-hal pada umumnya. Dengan
demikian pemahaman dalam hermeneutika tidak terbatas hanya pada tindakan
intensional, melainkan juga mencakup hal-hal yang tidak dimaksud atau diinginkan oleh
siapapun, mencakup tujuan manifes dan tujuan laten. Diproyeksikan pada konsep ilmu
menurut Arief Sidharta, Filsafat Hermeneutika memunculkan butir-butir seperti yang
dikemukakan oleh Bruggink dalam bukunya “RECHTSREFLECTIES” sebagai berikut:
1. Sehubungan dengan tematik dalam kelompok manusia, maka para ilmuwannya
dalam menjalankan karya ilmiahnya tidak mungkin menempatkan diri sebagai
pengamat belaka terhadap kenyataan. Dalam berbagai bidang ilmu manusia (seni,
teologi, antropologi, sosiologi, hukum) menuntut para ilmuwan untuk membangun
teori ilmiahnya sebagai partisipan pada gejala yang dipelajarinya;
2. Relasi inti dalam kelompok ilmu manusia bukanlah relasi subyek-obyek melainkan
relasi subyek-subyek;
3. Karena orang hanya dapat mengemban ilmu dengan bertolak dari dan dalam
kerangka tradisi ilmu, maka para ilmuwan tidak mungkin tanpa prasangka pada
waktu memulai melaksanakan penelitian dan karya ilmiah;
4. Dalam kenyataan penelitian dijalankan oleh pribadi-pribadi atau kelompok-
kelompok individual masing-masing dengan pengalaman dan gagasan-gagasan
sendiri;
5. Baik dalam kelompok ilmu manusia maupun dalam kelompok ilmu alam, konsensus
dalam lingkungan para ilmuwan dipandang penting dalam pengembanan ilmu.62
Berdasarkan uraian di atas, terlihat dengan jelas bahwa posisi filsafat ilmu
sangat menentukan dalam perkembangan ilmu hukum. Karena ilmu hukum dapat
didekati melalui metode induksi dan deduksi. Dengan meminjam dalil-dalil, konsep-
konsep, batasan-batasan yang diajukan oleh filsafat ilmu dengan berbagai alirannya
dapat diharapkan perkembangan yang sangat pesat untuk memenuhi tuntutan
masyarakat.

62
Bernard Arief Sidharta, Op.Cit, hlm. 101-103

Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum 15
JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

Melalui metode induksi, sebagaimana dianut oleh aliran Positivisme Logikal,


ilmu hukum dilihat, dijabarkan, dianalisis dalam hubungannya dalam kenyataan dalam
masyarakat. Dengan perkataan lain melalui metode induksi ini, ilmu hukum dilihat dari
segi efektivitasnya atau bekerjanya hukum dalam masyarakat. Dalam lingkup hukum
terkenal dengan istilah “Law is a tool of social engeneering (hukum sebagai sarana
perubahan sosial)”.63
Selo Soemardjan, menyatakan bahwa perubahan sosial mencakup bermacam
perubahan di dalam lembaga masyarakat sehingga mempengaruhi sistem sosialnya
termasuk nilai-nilai, sikap, pola prilaku serta hubungan antar kelompoknya.64 Mayor
Polak sendiri menyatakan, perubahan sosial dimaksudkan sebagai perubahan yang
terjadi dalam struktur masyarakat yaitu perubahan yang bersifat struktural.65 Soerjono
Soekanto membedakan beberapa tipe perubahan sosial yang meliputi : (1) Perubahan
yang terjadi secara lambat dan perubahan yang terjadi secara cepat, (2) Perubahan yang
pengaruhnya kecil dan perubahan yang pengaruhnya besar, (3) Perubahan yang
dikehendaki (intendet change) atau perubahan yang direncanakan (planned change)
dengan perubahan yang tidak dikehendaki (anintended change) atau perubahan yang tak
direncanakan (unplanned change).66
Kemudian melalui metode deduksi dengan meminjam konsep-konsep, ajaran-
ajaran, dalil-dalil sebagaimana yang dikemukakan oleh Aliran Rasionalisme Kritis,
maka ilmu hukum dapat berkembang. Dalam kepustakaan ilmu hukum, masalah
deduksi antara lain berbicara masalah law is a tool of social control (hukum berfungsi
sebagai sarana kontrol sosial). Dalam hal ini hukum sebagai penjaga ketertiban dan
pemelihara status quo. Hukum hanya dimaksudkan untuk mempertahankan pola
hubungan serta kaidah-kaidah yang telah berlaku sebelumnya. Hukum dan ketertiban
dapat diibaratkan merupakan dua sisi dari satu mata uang yang sama, masing-masing
dapat dibedakan namun sulit untuk dipisahkan. Seperti dinyatakan oleh Kusumadi
Pudjosoewojo bahwa tugas paling pokok dari hukum adalah menciptakan ketertiban,
sebab ketertiban itu sendiri merupakan syarat pokok adanya keteraturan dalam
masyarakat.67
Dalam hubungannya dengan dua fungsi hukum tersebut di atas, maka seakan-
akan ada kontradiksi yaitu di satu sisi hukum sebagai sarana perubahan sosial, di sisi
yang lain hukum sebagai sarana pengontrol masyarakat. Kontradiksi ini hanya nampak
dalam tataran pemikiran, sedangkan dalam tataran praktikal keduanya justru saling
melengkapi satu sama lain dan keduanya menjadi kebutuhan inheren dalam pelaksanaan
pembangunan.
Di sisi lain dalam khasanah ilmu hukum berkembang dengan apa yang
dinamakan pendekatan hukum empiris dan pendekatan hukum normatif. Pendekatan
hukum empiris ini, dilihat, dipaparkan, dijelaskan dan dianalisis tentang gejala hukum
yang terjadi dalam masyarakat atau fenomena kenyataan sosial yang ada dalam
masyarakat dalam hubungannya dengan hukum. Wacana ini bisa dikatakan dilakukan
secara induksi. Sedangkan pendekatan hukum normatif seperti diuraikan di atas

63
Kusumadi Pudjosoewojo, l971, “Pedoman Pelajaran Tata Hukum Indonesia”, Aksara, Jakarta, hlm. 11
64
Selo Soemardjan, l981, “Social Change in Yogyakarta”, Gajah Mada University Press, Yogyakarta,
hlm.3
65
Mayor Polak, l966, “Sosiologi Pengantar Ringkas”, Ikhtiar, Jakarta, hlm. 406
66
Soerjono Soekanto, 1970, “Sosiologi Suatu Pengantar”, Yayasan Penerbit UI, Jakarta, hlm. 243-245
67
Kusumadi Pudjosoewojo, Loc.Cit, hlm. 12

Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum 16
JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

merupakan pendekatan khas hukum yang sarat dengan nilai, norma, kaidah. Wacana ini
bisa dikatakan dilakukan secara deduksi.

4. KESIMPULAN
Berdasarkan seluruh uraian tersebut di atas, maka tidaklah dapat dipungkiri
bahwa filsafat ilmu sangat berperan bagi pengembangan ilmu hukum. Dengan perkataan
lain, filsafat ilmu sebagai filsafat yang mempunyai kedudukan tertinggi dalam lapisan
ilmu hukum, merupakan dasar dan arah bagi pengembangan ilmu hukum. Melalui
wacana induksi, dengan metode memaparkan, menjelaskan serta menganalisis tentang
gejala hukum yang terjadi di dalam masyarakat dalam hubungannya dengan penegakan
hukum, baik Hukum Pidana, Hukum Perdata, Hukum Tata Negara, Hukum
Internasional, Hukum Lingkungan, dan sebagainya dapat difahami dengan jelas.
Sedangkan melalui pendekatan deduksi, penegakan hukum tersebut di atas dapat dicari,
dipaparkan dan kemudian dilakukan analisis melalui peraturan-peraturan yang erat
hubungannya dengan penegakan hukum, yang kemudian berdasarkan kenyataan yang
ada (induksi), maka akan muncul suatu pemahaman apakah suatu peraturan akan
diganti, diperbaharui atau tetap akan dipertahankan.

5. REFERENSI

Berten, K., l983, “ Filsafat Barat Abad XX”, Penerbit Gramedia, Jakarta.

Bruggink, J.J.H, l996, “Refleksi Tentang Hukum”, Diterjemahkan Oleh Arief Sidharta.
Penerbit, Citra Aditya Bakti, Bandung.

Delfgaauw, Bernard, “Filsafat Abad 20”, Alih Bahasa Soejono Soemargono. Penerbit
Tiara Wacana, Yogyakarta.

Gijssels, Jan dan Mark van Hoecke, 2000, “Apakah Teori Hukum Itu?”, Diterjemahkan
Oleh B. Arief Sidharta. Penerbitan Tidak Berkala No. 3 Laboratorium Hukum
Fak. Hukum Universitas katolik Parahyangan, Bandung.

Hasan, Fuad,l996, “Pengantar Filsafat Barat”, Penerbit Pustaka Jaya, Jakarta.

Hatta, Mohammad, l986, “Alam Pikiran Yunani”, Cetakan Ke-3, Penerbit UI. Press,
Jakarta.

Hadiwijono, Harun, 1983, “Sari Sejarah Filsafat Barat”, Penerbit Kanisius,


Yogyakarta.

Koningsveld, Hermann, l987, “Het Verschijnsel Wetenschap”, Amsterdam, Dalam


Bernard Arief Sidharta.

Peursen, CA. van,1980, “De Opbouw van de Wetwnschap, Een Inleiding in de


Wetenschapsleer”, Boom Meppel, Amsterdam, Juga Dalam Bukunya yang
berjudul, “Filosofie van Wetwnschappen”, Martinus Mijhof, Leiden,l986, Di
dalam Koento Wibisono.

Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum 17
JURNAL PRIVEA FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS LAMPUNG

_____________, l990, “Fakta, Nilai, Peristiwa, Tentang Hubungan Antara Ilmu


Pengetahuan dan Etika”, Diterjemahkan oleh A. Sonny Keraf, Penerbit
Gramedia, Jakarta.

Polak, Mayor, l966, “Sosiologi Suatu Pengantar Ringkas”, Penerbit Ikhtiar, Jakarta

Scholten, Paul, l997, “Struktur Ilmu Hukum”, Penerbit Tak Berkala No. 1, Seri Dasar
Dasar Ilmu Hukum, Laboratorium Hukum Universitas Katolik Parahyangan,
Bandung.

Sidharta, Bernard Arief, l999, “Refleksi Tentang Struktur Ilmu Hukum : Sebuah
Penelitian Tentang Fundasi Kefilsafatan dan Sifat Keilmuan Ilmu Hukum Sebagai
Landasan Pengembangan Ilmu Hukum Nasional”, Penerbit Mandar Maju,
Bandung.

Siswomihardjo, Koento Wibisono,l996, “Arti Perkembangan Menurut Filsafat


Positivisme Auguste Comte”, Penerbit Gajah Mada University Press, Yogyakarta.

_____________, l999, “Ilmu Pengetahuan, Sebuah Sketsa Umum Mengeanai Kelahiran


dan Perkembangannya Sebagai Pengantar Untuk Memahami Filsafat Ilmu”,
Makalah Disajikan Pada Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se
Indonesia yang Diselenggarakan Oleh Ditjen Dikti Depdikbud bekerjasama
dengan Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. 22 – 29 Agustus.

_____________, dan Misnal Munir, l999, “Pemikiran Filsafat baru”, Makalah


Disampaikan pada Internship Dosen-Dosen Filsafat Ilmu Pengetahuan se
Indonesia, Diselenggarakan Oleh Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada
bekerjasama dengan Ditjen Dikti. Depdikbud, Tanggal 22-29, Yogyakarta.

Soemardjan, Selo, l981, “Social Change in Yogyakarta”, Penerbit Gajah Mada


University Press, Yogyakarta.

Soekanto, Soerjono, l970, “Sosiologi Suatu Pengantar”, Yayasan Penerbit Universitas


Indonesia, Jakarta.

Suriasumantri, Jujun S.,l990, “Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer”, Penerbit


Pustaka Sinar Harapan, Jakarta.

Sumaryono, E., l993,”Hermeneutik, Sebuah Metode Filsafat”, Penerbit Kanisius,


Yogyakarta.

Khaidir Anwar – Peranan Filsafat Ilmu Sebagai Dasar dan Arah Bagi Pengembangan Ilmu Hukum 18

Anda mungkin juga menyukai