Anda di halaman 1dari 9

TUGAS TUTORIAL KE-3

PROGRAM STUDI MANAJEMEN

Nama Mata Kuliah : Ekonomi Manajerial


Kode Mata Kuliah : EKMA 4312
Jumlah sks : 3 Sks
Nama Pengembang : Drs. Tamjuddin, M.Si.
Nama Penelaah : Herry Novrianda, S.E.,M.M.
Status Pengembangan : Baru/Revisi* (coret yang tidak sesuai)
Tahun Pengembangan : 2020
Edisi Ke- : Tulis edisi tugas tutorial

Skor
No Tugas Tutorial
Maksimal
Apa yang dimaksud dengan harga drajad tiga 50
merupkan diskrimanasi harga karena perbedaan
permintaan berdasarkan segmen pasar, dan Berikan
1 analisis pemahaman mengenai tujuan suatu
perusahaan melakukan diskriminasi harga derajat 3
dan berikan contohnya! Bantu dengan kurva

Ongkos organisasi yang tinggi menurut Mansur 50


olson dalam interest group theory Berikan
2 argumentasi dan analisis terkait regulasinya
bagaiman teori ini dapat mempengaruhi peran
regulator.!
* coret yang tidak sesuai

1. Diskriminasi harga adalah kebijaksanaan untuk memberlakukan harga jual yang


berbeda-beda untuk satu jenis barang yang sama di segmen pasar yang berbeda.
Diskriminasi harga terjadi jika produk yang sama dijual kepada konsumen yang
berbeda dengan harga yang berbeda, atas dasar alasan yang tidak berkaitan dengan
biaya. Dengan melaksanakan sistem diskriminasi harga, perusahaan monopoli
memperoleh sebagian dari surplus konsumen yang sesungguhnya akan di peroleh
oleh pembeli pada keadaan-keadaan tersebut.
Diskriminasi harga terjadi bila produk yang sama dijual pada harga yang berbeda
untuk pembeli yang berbeda. Biaya produksi adalah sama, ataupun kalau terjadi
perbedaan tetapi tidak sebanyak perbedaan harga. Kita akan membahas kasus
produk yang sama, dihasilkan dengan biaya produksi yang sama, dan dijual pada
harga yang berbeda. Diskriminasi harga dapat ditunjukkan dengan contoh-contoh
berikut:
1. Tarif percakapan interlokal ditetapkan PT Telkom lebih rendah pada malam hari
dari pada siang hari.
2. Dokter ahli bedah menetapkan harga lebih tinggi untuk operasi pembedahan
usus buntu untuk pasien berpendapatan tinggi yang dirawat di kamar kelas VIP,
dari pada pasien berpendapatan rendah yang dirawat di kamar kelas III.
3. Tarif dasar listrik per KwH ditetapkan PLN lebih rendah untuk sektor rumah
tangga yang mengkonsumsi listrik lebih sedikit dari pada sektor rumah tangga
yang mengkonsumsi listrik lebih banyak.
Tujuan utama pelaku usaha melakukan diskriminasi harga yaitu untuk 
mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi dan keuntungan yang lebih tinggi
tersebut diperoleh dengan cara merebut surplus konsumen. Surplus konsumen
adalah selisih harga tertinggi yang bersedia dibayar konsumen dengan harga yang
benar-benar dibayar oleh konsumen. Diskriminasi harga / price discrimination
didasari adanya kenyataan bahwa konsumen sebenarnya bersedia untuk membayar
lebih tinggi, maka perusahaan akan berusaha merebut surplus konsumen tersebut
dengan cara melakukan diskriminasi harga.
Agar kebijakan diskriminasi harga yang ditetapkan perusahaan monopolis dapat
dilakukan, diperlukan beberapa persyaratan, diantaranya adalah:
1. Perusahaan monopolis merupakan satu-satunya penjual atau produsen pada
industri tersebut. Tidak ada barang subsitusi yang sempurna, sehingga pembeli
tidak dapat beralih ke produsen lain.
2. Penjual harus dapat memisahkan pasar agar perbedaan elastisitas dapat
dipertahankan.
3. Barang tersebut tidak dapat dijual lagi pada pasar yang harganya rendah ke pasar
yang harganya lebih tinggi, atau tidak terjadi reselling. Biaya transport yang tinggi
dapat mencegah pengiriman barang dari pasar yang harganya rendah ke pasar
yang harganya lebih tinggi.
Diskriminasi harga berjalan jika konsumen memiliki preferensi dan harga reservasi
yang berbeda. Harga reservasi adalah harga tertinggi yang bersedia mereka bayar.
Dengan mengenakan harga berbeda, perusahaan mendapatkan lebih banyak
keuntungan daripada mengenakan harga tunggal.
A. Diskriminasi harga derajat pertama
Dalam strategi ini, perusahaan menetapkan harga sesuai dengan harga reservasi
masing-masing konsumen. Tujuan utama diskriminasi harga derajat pertama
adalah mengambil semua surplus konsumen dari pelanggannya sebagai
keuntungan perusahaan.

Grafik Diskriminasi Harga Derajat 1


Pada kurva diatas dijelaskan tentang diskriminasi harga derajat 1.
1. Pada grafik tersebut terdapat hubungan antara P (harga) dan Q (output) yang
dimisalkan harga terdapat P1, P2 dan P3 dan output terdapat Q1, Q2 dan Q3.
2. Pada grafik terlihat apabila P tinggi maka Q rendah.
Asumsi ini apabila dikaitkan pada kemampuan daya beli konsumen berarti apabila
produsen menawarkan harga yang tinggi maka terdapat sedikit konsumen yang
akan membeli produk tersebut. Dan begitu sebaliknya, apabila produsen
menawarkan harga yang rendah maka terdapat banyak konsumen yang dapat
membeli barang tersebut. Jadi, dalam hal ini perusahaan harus mengetahui
kemampuan daya beli pada masing-masing konsumen.
Diskriminasi harga derajat 1 dapat merugikan konsumen karena terdapat surplus
konsumen yang diterima oleh produsen, biaya yang harusnya diterima oleh
konsumen namun menjadi milik konsumen. Diskriminasi harga derajat 1 juga
disebut perfect price discrimination karena memperoleh surplus konsumen paling
besar.
B. Diskriminasi harga derajat kedua
Di bawah diskriminasi harga derajat kedua, perusahaan menggunakan volume
pembelian sebagai indikator preferensi dan kesediaan konsumen untuk membeli.
Ketika mereka menyukai dan memilih produk, konsumen akan bersedia
membayar harga lebih tinggi dan cenderung membeli dalam jumlah yang lebih
besar. Sebaliknya, jika tidak menyukainya, mereka kemungkinan membeli dalam
jumlah sedikit. Perusahaan kemudian menggunakan informasi tersebut untuk
menetapkan harga berbeda ke masing-masing pelanggan.
Salah satu contoh diskriminasi harga derajat kedua adalah diskon volume.
Namun, cara kerjanya berkebalikan. Dalam kasus ini, perusahaan menghargai
pelanggan yang membeli dalam jumlah besar dengan memberikan diskon harga.
Dan, perusahaan mengenakan harga per unit yang lebih tinggi untuk untuk
volume pembelian yang lebih rendah.
Grafik Diskriminasi Harga Derajat 1
Grafik diatas menjelaskan tentang diskriminasi harga derajat 2. Pada grafik
tersebut pelaku usaha menetapkan harga (P1, P2 dan P3) berdasarkan jumlah
konsumsi.

Kebijakan ini dapat meningkatkan kesejahteraan konsumen karena jumlah


output bertambah dan harga jual semakin murah. Hal ini dikarenakan pelaku
usaha menggunakan sistem perbedaan harga per unit pada pembelian grosir dan
pembelian eceran. Harga eceran lebih tinggi dari pada harga per pak, sehingga
konsumen lebih baik membeli barang langsung per pak daripada membeli
barang eceran.

C. Diskriminasi harga derajat ketiga


Di bawah diskriminasi derajat ketiga, perusahaan menetapkan harga berbeda
dengan mensegmentasikan konsumen berdasarkan variabel geografis atau
variabel non-volume lainnya.

Grafik Diskriminasi Harga Derajat 3


Grafik diatas menjelaskan tentang grafik diskriminasi harga derajat 3.
Diskriminasi harga ditetapkan berdasarkan perbedaan elastisitas harga.
Permintaan yang lebih inelastis dikenakan harga yang lebih tinggi.
Beberapa segmen tersebut mungkin memiliki permintaan yang inelastis sehingga
kurang sensitif terhadap kenaikan harga. Sementara itu, permintaan di segmen
lainnya cenderung elastis sehingga kenaikan harga dapat mengakibatkan penurunan
volume penjualan yang lebih signifikan.
Dari informasi tersebut, perusahaan kemudian mengenakan harga berbeda ke
masing-masing segmen. Misalnya, untuk segmen dengan permintaan yang inelastis,
perusahaan mengenakan harga lebih tinggi. Karena permintaan inelastis, efek
kenaikan harga lebih tinggi daripada efek penurunan volume penjualan. Sehingga,
total pendapatan akan meningkat. Dan karena perusahaan menjual volume lebih
rendah, total biaya juga akan turun. Itu menyiratkan profitabilitas meningkat.

3. The Logic of Collective Action: Public Goods dan Theory of Groups adalah sebuah
buku karya Mancur Olson, Jr. yang diterbitkan pada tahun 1965. Buku itu
mengembangkan teori ilmu politik dan ekonomi tentang manfaat terkonsentrasi
versus biaya yang tersebar . Argumen utamanya adalah bahwa kepentingan
minoritas yang terkonsentrasi akan terwakili secara berlebihan dan kepentingan
mayoritas yang tersebar dikalahkan, karena masalah penunggang bebas yang lebih
kuat ketika sebuah kelompok menjadi lebih besar. Dia berteori bahwa berteori
bahwa yang mendorong orang untuk bertindak dalam kelompok adalah insentif;
Anggota kelompok besar tidak bertindak sesuai dengan kepentingan bersama kecuali
dimotivasi oleh keuntungan pribadi (ekonomi, sosial). Sementara kelompok kecil
dapat bertindak berdasarkan tujuan bersama, kelompok besar tidak akan bekerja
menuju tujuan bersama kecuali anggota individu mereka cukup termotivasi..
Berangkat dari teori theory of groups berikut komposisi agen dalam (defined) group
tersebut untuk menjelaskan, mengapa barang publik tersedia atau tidak tersedia.
Dalam buku tersebut, Olson sering mempertukarkan barang publik dengan barang
kolektif. Dimensi penting dalam penjelasan antara komposisi kelompok dan barang
publik, adalah apa yang di kemudian waktu dikenal sebagai perilaku penumpang
gelap, free-riding behavior.
Sebagai contoh: petani dan irigasi. Dalam contoh sederhana ini, untuk menjelaskan
komposisi grup, kita punya petani berlahan kecil, atau petani penggarap, juga petani
berlahan besar. Semuanya kita sebut sebagai agen dalam defined group bernama
petani. Lalu, apa barang publik yang hendak mereka sediakan? Misalnya pengadaan
irigasi. Mengapa disebut barang publik, karena sekali irigasi tersedia, siapapun bisa
menggunakannya, meski tidak ikut dalam penyediaan atau pengadaan atau
pemeliharaan irigasi tersebut. Ekonom punya penyebutan khas tentang hal ini,
yakni non-excludability, salah satu karakter penting (selain non-rivalry, atau
persaingan dalam konsumsi) untuk barang publik.
Penting untuk dicatat, asumsi perilaku dalam model Olsonian adalah setiap
produsen merupakan self-regarding subjects. Saat mengambil keputusan, satu-
satunya rujukan produsen dalam dunia Olsonian adalah keuntungan (payoff) bagi
dirinya.
Sebagai pembanding, dalam konteks penjelasan Patunru terdapat dua grup
berbeda:
1. konsumen beras
2. produsen beras.
Tidak seperti para petani dalam contoh irigasi di atas, kepentingan kedua kelompok
ini berbeda. Konsumen ingin impor, produsen tidak ingin beras impor.
Tidak terdapat common interest di antara para produsen, konsumen dan produsen
beras, dalam kelompok Patunru itu. Apa barang publik atau barang kolektif dari
kedua kelompok ini, tentu tidak ada. Dalam penjelasan Olsonian, (penyediaan)
beras seperti dalam kasus ini masuk kelompok barang non-kolektif. Dengan kata
lain, Patunru tidak bisa menggunakan model Olsonian untuk menjelaskan interaksi
antar agen seperti yang dia bayangkan dalam tulisannya.
Secara teoretik, kenapa persoalan tindakan kolektif menjadi penting. Sesungguhnya,
karena para angggota kelompok tidak bekerja sama untuk mencapai tujuan
bersama, yakni pengadaan barang publik. Lebih tepat lagi: karena agen (dianggap)
self-interested, tidak ada insentif untuk bekerja sama. Walaupun keuntungan
bersama lebih besar.
Padahal, bila bekerja sama, mereka bisa menyediakan barang publik. Keuntungan
bersama (social welfare) lebih besar dibanding manfaat orang per orang. Akan
halnya bila anggota kelompok tidak bekerjasama, barang publik tidak bakal tersedia.
Di sini, barang publik dilihat sebagai perlu. Dalam bahasa teknis ekonomi, bila tidak
bekerja sama, hasil yang dicapai adalah pareto inferior. Andaikata berlangsung kerja
sama antar anggota kelompok, hasilnya pareto superior, yakni barang publik
menjadi tersedia.
Jika dibandingkan dengan konsep Patunru, model Olson lebih tepat jika untuk
menganalisa kelompok konsumen beras. Misalnya, mengapa para konsumen beras
(sampai saat ini) tidak berhasil bekerjasama menuntut beras murah berkualitas,
atau membiarkan impor berlangsung. Pengadaan beras adalah barang publik dalam
contoh ini. Analisa tersebut dapat pula dipakai untuk melihat kelompok produsen.
Sebagai contoh, mengapa para produsen beras berhasil mengatasi persoalan
kerjasama dalam menggolkan kebijakan larangan impor. Tetapi model Olson tidak
untuk dipakai dalam interaksi konsumen vis-a-vis produsen ala Patunru, dua grup
yang punya kepentingan berbeda atas pengadaan beras.
Anggapan fondasi-mikro preferensi dari pelaku dalam model Olsonian berangkat
dari asumsi neo-klasik. Semua pelaku dianggap adalah self-interested agents. Dalam
kalimat sehari-hari, semua anggota masyarakat adalah egois.

Gunnar Trumbull menolak observasi Olson dan Lohmann bahwa kepentingan


terkonsentrasi mendominasi kebijakan publik. Dia menunjukkan bahwa secara
historis, kepentingan yang tersebar hampir selalu menemukan cara untuk
direpresentasikan dalam kebijakan publik, seperti kepentingan pensiunan, pasien,
atau konsumen. Trumbull menjelaskan ini dengan peran legitimasi kelompok
kepentingan yang mempromosikan kebijakan. Dia berpendapat bahwa kepentingan
yang tersebar memiliki premi legitimasi ketika mereka berhasil dimobilisasi,
sementara kepentingan yang terkonsentrasi dipandang dengan kecurigaan. Ia
menjelaskan konsep koalisi legitimasi, yaitu koalisi antara pembuat kebijakan
negara, aktivis sosial, atau industri untuk mempromosikan kebijakan tertentu.
Dengan harus membentuk koalisi, kepentingan terwakili secara lebih luas. Contoh
dari koalisi semacam itu adalah sistem neo-korporatis pasca-perang.

Anda mungkin juga menyukai