Anda di halaman 1dari 21

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK REFERAT

FAKULTAS KEDOKTERAN 23 Juni 2017

UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

VARICELLA

Disusun Oleh:

Hesti Widya Anindita Hapsari (111 2016 2106)


Pembimbing:
dr. Herry D. Nawing, Sp.A(K)

DIBAWAKAN DALAM RANGKA TUGAS KEPANITERAAN KLINIK

BAGIAN ILMU KESEHATAN ANAK

RS ISLAM FAISAL MAKASSAR

1
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS MUSLIM INDONESIA

MAKASSAR

2017

LEMBAR PENGESAHAN

Dengan ini, saya yang bertandatangan di bawah ini menyatakan bahwa :

Nama : Hesti Widya Anindita Hapsari


Stambuk : 111 2016 2106
Judul : Varicella

Telah menyelesaikan tugas kepaniteraan klinik pada Bagian Ilmu Kesehatan Anak,
Universitas Muslim Indonesia.

Makassar, 23 Juni 2017

Pembimbing Dokter Muda

(dr. Herry D. Nawing, Sp.A(K)) (Hesti Widya A.H.)

2
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena atas Rahmat dan
Hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan Referat yang berjudul “Varicella" Referat ini
disusun sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan tugas dalam rangka kepaniteraan
klinik pada bagian Ilmu Kessehatan Anak di RS Islam Faisal, Makassar.

Dalam menyelesaikan Referat ini, penulis tidak terlepas dari bantuan dan dorongan
berbagai pihak. Untuk itu penulis ingin mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada
kedua orang tua penulis yang tidak henti-hentinya mendoakan yang terbaik untuk
keselamatan, kesehatan dan kesuksesan penulis dalam menjalani kehidupan sehari-hari serta
memberikan dukungan moral maupun finansial selama penulis menyelesaikan studi.

Penulis juga ingin mengucapakan terima kasih sebesar-besarnya kepada Pembimbing


referat ini dr. Herry D. Nawing, Sp.A(K) atas tenaga dan waktunya dalam memberikan
bimbingan dan arahan kepada penulis selama dalam tahap penyusunan referat ini. Semoga
amal dan budi baik dari semua pihak yang membantu mendapatkan pahala dan rahmat yang
melimpah dari Allah SWT.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa dalam penyusunan referat ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis sangat mengharapkan saran dan kritikan yang
bersifat membangun dari para pembaca demi kesempurnaan karya ilmiah ini ke depan.
Penulis berharap referat ini dapat memberikan manfaat bagi para pembaca.

Makassar, 23 Juni 2017

Penulis

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Varicella atau yang dikenal dengan cacar air atau chicken pox merupakan
penyakit infeksi virus akut dan cepat menular. Penyakit ini disebabkan oleh Varicella
zoster virus (VZV) yang menyerang kulit mukosa dan selaput lendir, ditandai oleh
adanya vesikel-vesikel, terutama berlokasi di bagian sentral tubuh. Pada anak-anak
ditandai dengan demam ringan dan disertai vesikel berisi cairan yang gatal pada
seluruh tubuh.1,2
Kontak pertama virus ini menyebakan penyakit cacar air atau chicken pox, dan
pada reaktivasi infeksi, virus ini menyebabkan penyakit yang disebut sebagai herpes
zoster atau shingles. Pada anak-anak, infeksi primer VZV atau varicella umumnya
ringan dan merupakan penyakit self-limited serta jarang menimbulkan komplikasi dan
hanya sedikit yang menderita penyulit. Pada status immunitas yang menurun, seperti
bayi baru lahir, immunodefisiensi, tumor ganas, dan orang dewasa yang mendapat
pengobatan immunosupresan, penyakit ini sering menimbulkan komplikasi bahkan
menyebabkan kematian.1,3
Pada neonatus, varicella dapat mengancam jiwa, terutama jika ibu menderita
varicella dalam 5 hari sebelum atau 2 hari setelah melahirkan. Bayi dari ibu yang
memiliki varicella selama kehamilan memiliki resiko lebih tinggi terkena HZ pada
tahun-tahun pertama kehidupannya.4
Pencegahan yang dapat diberikan untuk varicella yaitu menghindari kontak
langsung dengan penderita serta memberikan imunisasi, yang dapat diberikan secara
aktif ataupun pasif. Aktif dilakukan dengan memberikan vaksin varicella yang berasal
dari galur yang telah dilemahkan (live attenuated). Pasif dilakukan dengan
memberikan zoster immune globulin (ZIG) dari zoster immune plasma (ZIP).

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. DEFINISI
Varicella atau chicken pox atau yang biasa dikenal dengan cacar air adalah
infeksi primer Varicella zoster virus (VZV) yang dapat menyerang siapa saja
umumnya anak-anak dan mereka yang belum mendapatkan imunisasi.
Chicken pox disebabkan oleh Herpes virus varicella atau Human (alpha)
herpes virus 3 (HHV3), Varicella zoster virus (VZV) yang merupakan salah satu dari
8 jenis herpes virus dari famili Herpesviridae yang merupakan virus DNA alfa herpes
virus.2

2.2. EPIDEMIOLOGI
Varicella dapat mengenai semua kelompok umur termasuk neonatus, dan
mereka yang belum mendapatkan imunisasi varicella. Secara global, rata-rata, 4,2
juta kasus varicella yang berat memerlukan perawatan di rumah sakit dan
mengakibatkan kematian setiap tahun. Sebelum adanya penggunaan vaksin varicella
secara meluas di negara-negara berpenghasilan menengah, 13-16 kasus varicella per
1000 penduduk terjadi setiap tahunnya, sebagian besar terjadi pada anak-anak berusia
1-9 tahun. Dalam hal ini, lebih dari 90% dari populasi terinfeksi dengan VZV
sebelum masa remaja.3
Di Indonesia, tidak banyak data yang mencatat kasus varicella atau cacar air
secara nasional. Pada penelitian yang dilakukan di poliklinik Kulit dan Kelamin
RSUP Prof. Dr. R.D.Kandou Manado periode Januari-Desember 2012 ditemukan
insidens varicella sebesar 2,68%. Varicella ditemukan terbanyak pada kelompok
umur dewasa muda yaitu 15 sampai 24 tahun, yaitu 9 kasus (33,3%), kasus pada
perempuan lebih banyak dibanding laki-laki, dengan jumlah 16 kasus (59,3%),
musim kejadian tersering adalah musim panas yaitu bulan April sampai September,
dengan jumlah 15 kasus (55,6%).5

5
2.3. ETIOLOGI
Varicella zoster virus (VZV) adalah herpes virus yang merupakan penyebab
dari 2 penyakit berbeda yaitu varicella (juga dikenal cacar air) dan herpes zoster (juga
dikenal sebagai shingles/cacar ular/cacar api/dompo). VZV merupakan anggota dari
famili Herpesviridae, seperti herpes simplex virus (HSV) tipe 1 dan 2,
Cytomegalovirus (CMV), EpsteinBarr virus (EBV), Human herpes virus 6 (HHV6),
Human herpes virus 7 (HHV-7), dan Human herpes virus 8 (HHV-8).5

Tabel 1. Klasifikasi virus herpes

Virus varicella adalah virus DNA, Alpha herpes virus dengan besar genom
125.000 bp, berselubung/berenvelop, dan berdiameter 140200 nm (Gambar 1).Virus
ini mengkode kurang lebih 7080 protein, salah satunya enzim thymidine kinase yang
rentan terhadap obat antivirus karena memfosforilasi acyclovir sehingga dapat
menghambat replikasi DNA virus. Virus ini menginfeksi sel Human diploid
fibroblast in vitro, sel limfosit T teraktivasi, sel epitel dan sel epidermal in vivo untuk

6
replikasi produktif, serta sel neuron. Virus varicella dapat membentuk sel sinsitia dan
menyebar secara langsung dari sel ke sel.1,2,6

Gambar 1. Morfologi dan struktur VZV

2.4. PATOFISIOLOGI
VZV dapat menyebabkan infeksi primer, laten, dan rekuren. Infeksi primer
bermanifestasi sebagai varicella (chicken pox); reaktivasi dari infeksi laten
menyebabkan herpes zoster (shingles). Reaktivasi laten dari VZV umumnya terjadi
pada dekade ke enam dengan munculnya shingles yang berkarakteristik sebagai lesi
vesikular terbatas pada dermatom tertentu dan disertai rasa sakit yang hebat. VZV
dapat ditularkan melalui jalur respirasi, dan menimbulkan lesi pada orofaring, lesi
inilah yang memfasilitasi penyebaran virus melalui jalur traktus respiratorium.
Chicken pox ditularkan melalui batuk dan bersin dan melalui sentuhan langsung
dengan cairan dalam lecetan ruam.
Varicella ditransmisi melalui rute respirasi. Virus menginfeksi sel epitel dan
limfosit di orofaring dan saluran nafas atas atau pada konjungtiva, kemudian limfosit
terinfeksi akan menyebar ke seluruh tubuh. Virus kemudian masuk ke kulit melalui
sel endotel pembuluh darah dan menyebar ke sel epitel menyebabkan ruam vesikel
varicella. Penularan dapat terjadi melalui kontak lesi di kulit. Infeksi ini
menyebabkan timbulnya fusi dari sel epitel membentuk sel multinukleus yang
ditandai dengan adanya inklusi eosinofilik intranuklear.

7
Perkembangan vesikel berhubungan dengan peristiwa “ballooning”, yakni
degenerasi sel epitel akan menyebabkan timbulnya ruangan yang berisi oleh cairan.
Lesi vesikular akan berubah menjadi pustular setelah infiltrasi sel radang. Selanjutnya
lesi akan terbuka dan kering membentuk krusta, umumnya sembuh tanpa bekas.
Penyebaran lesi di kulit diketahui disebabkan oleh adanya protein ORF47 kinase yang
berguna pada proses replikasi virus. VZV dapat menyebabkan terjadinya infeksi
diseminata yang biasanya berhubungan dengan rendahnya sistem imun dari penderita.
Waktu dari pertama kali kontak dengan VZV sampai muncul gejala klinis
adalah 10-21 hari, ratarata 14 hari, dimana virus akan menyebar ke kelenjar limfe,
kemudian menuju ke hepar dan sel-sel mononuklear. VZV yang ada dalam sel
mononuklear mulai menghilang 24 jam sebelum terjadinya ruam kulit, pada penderita
imunokompromise, virus menghilang lebih lambat yaitu 24-72 jam setelah timbulnya
ruam kulit.
Setelah infeksi primer, virus akan menginfeksi secara laten neuron ganglia
cranial dan dorsal. Infeksi VZV pada ganglion dorsalis merupakan akibat penjalaran
lesi mukokutan melalui akson sel neuron pada infeksi primer atau disebabkan oleh
penularan dari sel mononuklear terinfeksi sebelum terjadinya ruam-ruam pada kulit.
Reaktivasi VZV simptomatik dapat menyebabkan timbulnya lesi vesikular pada kulit
yang terdistribusi hanya pada dermatom tertentu mengikuti saraf sensori tertentu.1,2,6

2.5. GEJALA KLINIS


Penyakit ini biasanya dimulai 14-16 hari setelah paparan, meskipun masa
inkubasi dapat berkisar dari 10 - 21 hari. Perjalanan penyakit dibagi menjadi dua
stadium yaitu stadium prodromal dan stadium erupsi. Gejala klinis dimulai dengan
gejala prodromal yakni demam yang tidak terlalu tinggi, malaise, nyeri kepala, mual
dan anoreksia. Gejala prodromal dapat timbul 1 hingga 2 hari sebelum timbulnya lesi
di kulit. Pada anak dengan imunokompeten, gejala prodromal jarang dijumpai.
Biasanya gejala prodromal yang dijumpai berupa demam dan malaise ringan timbul
bersamaan dengan munculnya lesi.13

8
Stadium erupsi diawali dengan timbulnya makula kecil yang eritematosa pada
daerah wajah dan dada. Penyebarannya bersifat sentrifugal (dari pusat), mulai dari
kepala, badan, dan ekstremitas, dengan konsentrasi terbanyak ditemukan pada
ekstremitas. Ruam lebih jelas pada bagian badan yang tertutup, jarang pada telapak
tangan dan telapak kaki. Total lesi yang ditemukan dapat mencapai 50-500 buah.
Makula kemudian berubah dengan cepat dalam waktu 12–14 jam menjadi
papul, dan berkembang menjadi vesikel yang mengandung cairan yang jernih dengan
dasar eritematosa. Vesikel akan berubah menjadi keruh (pustul) dalam waktu 24 jam
dan kemudian pecah menjadi krusta. Biasanya vesikel menjadi kering sebelum isinya
menjadi keruh. Sementara proses ini berlangsung timbul lagi vesikel-vesikel yang
baru di sekitar vesikula yang lama, sehingga menimbulkan gambaran polimorf.
Stadium erupsi yang seperti ini disebut sebagai stadium erupsi bergelombang.12,13
Gambaran vesikel khas, bulat, berdinding tipis, tidak ada cekungan, menonjol
dari permukaan kulit, dasar eritematous, terlihat seperti tetesan air mata/embun “tear
drops” atau tampak vesikel seperti titik embun di atas daun bunga mawar disebut dew
drop on a rose petal. Cairan dalam vesikel kecil mula-mula jernih, kemudian vesikel
berubah menjadi besar dan keruh akibat sebukan sel radang polimorfonuklear lalu
menjadi pustula. Kemudian terjadi absorpsi dari cairan dan lesi mulai mengering
dimulai dari bagian tengah dan akhirnya terbentuk krusta. Krusta akan lepas dalam 1-
3 minggu tergantung pada dalamnya kelainan kulit. Bekasnya akan membentuk
cekungan dangkal berwarna merah muda, dapat terasa nyeri, kemudian berangsur-
angsur hilang.
Lesi-lesi pada membran mukosa (hidung, faring, laring, trakea, saluran cerna,
saluran kemih, vagina dan konjungtiva) tidak langsung membentuk krusta, vesikel-
vesikel akan pecah dan membentuk luka yang terbuka, kemudian sembuh dengan
cepat. Karena lesi kulit terbatas terjadi pada jaringan epidermis dan tidak menembus
membran basalis, maka penyembuhan kira-kira 7-10 hari terjadi tanpa meninggalkan
jaringan parut. Penyulit berupa infeksi sekunder dapat terjadi ditandai dengan demam

9
yang berlanjut dengan suhu badan yang tinggi (39-40,5 oC) mungkin akan terbentuk
jaringan parut.

Gambar 2. Gambaran ruam pada infeksi virus varicella zoster

Gambar 3. Lesi dengan spektrum luas


2.6. DIAGNOSIS
Varicella biasanya didiagnosa berdasarkan gambaran klinis yaitu penampilan
dan perubahan pada karakteristik dari ruam yang timbul, terutama apabila ada riwayat
terpapar varicella 2-3 minggu sebelumnya. Didahui dengan adanya keluhan demam,
malaise, dan nyeri kepala, kemudian disusul timbulnya lesi kulit berupa papul eritem
yang dalam waktu beberapa jam berubah menjadi vesikel. Biasanya disertai rasa
gatal.
Pada varicella bentuk vesikel yang khas ditemukan berupa tetesan air
mata/embun (tear drops). Vesikel akan menjadi keruh dan kemudian menjadi krusta.

10
Sementara proses ini berlangsung, timbul lagi vesikel-vesikel baru yang
menimbulkan gambaran polimorfik khas untuk varicella. Penyebaran terjadi secara
sentrifugal, serta dapat menyerang selaput lendir mata, mulut dan saluran napas atas.
Bila diperlukan, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang berupa Tzanck smear,
Direct Fluorescent Assay, Polymerase Chain Reaction, biopsi kulit.7,8

2.7. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan varicella dapat dilakukan dengan beberapa test, yaitu:8
1. Tzanck smear
Preparat diambil dari kerokan dasar vesikel yang masih baru, kemudian
diwarnai dengan pewarnaan hematocylin-eosin, giemsa’s wright’s, toulidine blue
atau papanicopalaou’s. Dengan menggunakan mikroskop cahaya akan dijumpai
multinucleatid giant cells. Pemeriksaan ini sensitifitasnya 84%, dimana test ini tidak
dapat membedakan antara varicella zoster dan herpses simpleks virus.

Gambar 4. Sel datia berinti banyak


2. Direct Fluorescent Assay (DFA)
Preparat diambil dari kerokan dasar vesikel tetapi apabila sudah berbentuk
krusta, dimana pemeriksaan ini kurang sensitif. Hasil pemeriksaan ini lebih cepat dan
membutuhkan mikroskop fluorescence. Test ini dapat menemukan antigen virus

11
varicella zoster, dimana test ini dapat membedakan antara varicella zoster dan herpes
simpleks virus.
3. Polymerase Chain Reaction (PCR)
Pemeriksaan dengan metode ini sangat cepat dan sensitif. Metode ini dapat
digunakan dalam berbagai jenis preparat seperti kerokan dasar vesikel dan apabila
sudah berbentuk krusta dapat jugan digunakan sebagai preparat. Sensitifitasnya
berkisar 97-100%, dimana test ini dapat menemukan nucleic acid dari virus varicella
zoster.
4. Biopsi kulit
Hasil pemeriksaan hispatologis ditemukan adanya vesikel intraepidermal
dengan degenerasi sel epidermal dan acantholysis. Pada dermis bagian atas
ditemukan adanya lympocytic infiltrate.

2.7. DIAGNOSIS BANDING


Berdasarkan gambaran klinis dari varicella, penyakit ini sering sulit dibedakan
dengan penyakit kulit yang lain. Diagnosis banding dari varicella yaitu:
1. Variola
Varicella dapat sulit dibedakan dengan beberapa kelainan kulit yang lain, antara
lain harus dibedakan dengan variola. Pada variola, penyakit lebih berat, memberi
gambaran lesi monomorf, dan penyebarannya sentripetal dimulai dari bagian akral
tubuh, yakni telapak tangan dan telapak kaki, baru ke badan.
2. Herpes Zoster
Varicella juga harus dibedakan dengan herpes zoster. Pada herpes zoster
ditemukan lesi monomorf, nyeri, biasanya unilateral. Pada herpes zoster juga
biasanya didahului oleh fase prodromal, setelah fase prodromal sering disertai dengan
rasa nyeri, perubahan pada kulit terjadi pada setengah bagian badan (unilateral) dan
berbentuk garis berkaitan dengan daerah dermatom dengan lesi yang berupa
gelembung-gelembung kecil yang berkelompok di atas dasar eritematosa.

12
Dapat terjadi perkembangan yang berat yang meliputi keterlibatan mata (Zoster
trigeminus I), mukosa mulut (Zoster trigeminus II, III), telinga bagian dalam (Zoster
oticus). Herpes zoster pada penderita insufisiensi imun atau tumor, terapi resisten
dengan bahaya terjadi efek generalisasi pada kulit dan manifestasi ekstrakutan.
3. Skabies
Pada skabies terdapat papula yang sangat gatal. Lokasi biasanya antara jari-jari
kaki. Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan Sarcoptes Scabiei.

2.8. KOMPLIKASI
Komplikasi pada anak-anak umumnya jarang terjadi. Komplikasi lebih sering
terjadi pada orang dewasa, berupa encephalitis, pneumonia, glomerulonephritis,
karditis, hepatitis, keratitis, konjungtivitis, otitis, dan kelainan darah (beberapa
macam purpura).
Pada anak sehat, varicella merupakan penyakit ringan dan jarang disertai
komplikasi. Komplikasi tersering umumnya disebabkan oleh infeksi sekunder
bakterial pada lesi kulit, yang biasanya disebabkan oleh Staphylococcus aureus atau
Streptococcus beta hemolitikus grup A, sehingga terjadi impetigo, furunkel, selulitis,
atau erisipelas, tetapi jarang terjadi gangren. Infeksi fokal tersebut sering
menyebabkan jaringan parut, tetapi jarang terjadi sepsis yang disertai infeksi
metastase ke organ yang lainnya. Vesikel dapat menjadi bulla bila terinfeksi
staphyloccocus yang menghasilkan toksin eksfoliatif.
Pneumonia varicella hanya terdapat sebanyak 0,8% pada anak, biasanya
disebabkan oleh infeksi sekunder dan dapat sembuh sempurna. Pneumonia varicella
jarang didapatkan pada anak dengan sistem imunologis normal, sedangkan pada anak
dengan defisiensi imunologis atau pada orang dewasa tidak jarang ditemukan.
Pneumonia, otitis media, dan meningitis supurativa jarang terjadi dan responsif
terhadap antibiotik yang tepat.
Varicella pada kehamilan mengancam ibu dan janinnya. Infeksi yang menyebar
luas dan varicella pneumonia dapat mengakibatkan kematian pada ibu atau dapat

13
menyebabkan janin meninggal karena kelahiran prematur. Namun demikian, pada
varicella yang tidak disertai komplikasi, viremia pada ibu dapat menyebabkan infeksi
intrauterin (kongenital), dan dapat menyebabkan abnormalitas kongenital. Varicella
perinatal (varicella yang terjadi dalam waktu 10 hari dari kelahiran) lebih serius
daripada varicella yang terjadi pada bayi yang terinfeksi beberapa minggu kemudian.
Morbiditas dan mortalitas pada varicella secara nyata meningkat pada pasien
dengan defisiensi imun. Pada pasien ini replikasi virus yang terus-menerus dan
menyebar luas mengakibatkan terjadinya viremia yang berkepanjangan, dimana
mengakibatkan ruam yang semakin luas, jangka waktu yang lebih lama dalam
pembentukan vesikel baru, dan penyebaran visceral klinis yang signifikan. Pada
pasien dengan defisiensi imun dan diterapi dengan kortikosteroid mungkin dapat
berkembang menjadi pneumonia, hepatitis, encephalitis, dan komplikasi berupa
perdarahan,dimana derajat keparahan dimulai dari purpura yang ringan hingga parah
dan seringkali mengakibatkan purpura yang fulminan dan varicella malignansi.
Komplikasi susunan saraf pusat pada varicella terjadi kurang dari 1 diantara
1000 kasus. Varicella berhubungan dengan sindroma Reye (ensepalopati akut disertai
degenerasi lemak di liver) yang khas terjadi 2 hingga 7 hari setelah timbulnya ruam.
Ataksia serebri akut lebih umum terjadi daripada kelainan neurologi yang lainnya.
Encephalitis lebih jarang terjadi, tetapi merupakan penyebab kematian tertinggi atau
menyebabkan kelainan neurologi yang menetap. Patogenesis terjadinya ataksia
serebelar dan encephalitis tetap jelas, dimana pada banyak kasus ditemukan adanya
VZV antigen, VZV antibodi, dan VZV DNA pada cairan cerebrospinal pada pasien,
yang diduga menyebabkan infeksi secara langsung pada sistem saraf pusat.
Anak dengan sistem imunologis yang normal jarang mendapat komplikasi
tersebut di atas, sedangkan anak dengan defisiensi imunologis, anak yang menderita
leukemia, anak yang sedang mendapat pengobatan steroid (penderita sindrom
nefrotik, demam reumatik) dan orang dewasa sering mendapat komplikasi tersebut,
kadang-kadang varicella pada penderita tersebut dapat menyebabkan kematian.

14
2.9. PENATALAKSANAAN
Tidak ada terapi spesifik terhadap varicella. Pengobatan bersifat simptomatik
dengan antipiretik dan analgesik. Untuk menghilangkan rasa gatal dapat diberikan
antihistamin oral atau sedative. Topikal diberikan bedak yang ditambah zat anti gatal
(mentol, kamfora) seperti bedak salisilat 1-2% atau lotio kalamin untuk mencegah
pecahnya vesikel secara dini serta menghilangkan rasa gatal. Jika timbul infeksi
sekunder dapat diberikan antibiotika berupa salep dan oral. Dapat pula diberikan
obat-obat antivirus. VZIG (varicella zoster immunoglobuline) dapat mencegah atau
meringankan varicella, diberikan intramuscular dalam 4 hari setelah terpajan. Yang
penting pada penyakit virus, umumnya adalah istirahat / tirah baring.
Pengobatan secara sistemik dapat dengan memberikan antivirus. Beberapa
analog nukleosida seperti acyclovir, famciclovir, valacyclovir, dan brivudin, dan
analog pyrophosphate foskarnet terbukti efektif untuk mengobati infeksi VZV.
Acyclovir adalah suatu analog guanosin yang secara selektif difosforilasi oleh timidin
kinase VZV sehingga terkonsentrasi pada sel yang terinfeksi. Enzim-enzim selular
kemudian mengubah acyclovir monofosfat menjadi trifosfat yang mengganggu
sintesis DNA virus dengan menghambat DNA polimerase virus. VZV kira-kira
sepuluh kali lipat kurang sensitif terhadap acyclovir dibandingkan HSV.
Asiklovir dilaporkan mempunyai efek samping minimal karena obat ini hanya
diserap oleh sel hospes yang terinfeksi oleh virus. Efek yang mungkin timbul pada
terapi asiklovir per oral termasuk rasa mual, muntah, diare, dan nyeri kepala.
Asiklovir dieksresi di ginjal dan dapat mengkristal pada tubulus ginjal pada pasien
yang dehidrasi, karena itu pasien yang mendapatkan asiklovir sebaiknya mendapat
hidrasi yang cukup.
Obat antivirus asiklovir menjadi pilihan utama untuk pengobatan spesifik untuk
infeksi VZV, namun obat ini tidak mencegah maupun mengobati VZV laten.
Asiklovir tersedia dalam bentuk topikal, oral maupun intravena, namun hanya oral
dan intravena yang berguna untuk melawan VZV. Pada pemberian peroral hanya
sekitar 15%-20% asiklovir yang diserap.

15
Pada anak sehat, AAP tidak merekomendasikan pemberian asiklovir secara
rutin. Pada anak normal, varicella biasanya ringan dan dapat sembuh sendiri.
American Academy of Pediatrics merekomendasikan pemberian asiklovir per oral
pada kelompok dengan risiko tinggi terkena varisela berat atau penyulitnya seperti
pasien sehat dan tidak hamil (usia di atas 13 tahun), anak-anak di atas 12 bulan
dengan penyakit kulit kronis atau kelainan paru atau menerima terapi salisilat jangka
panjang, pengobatan jangka pendek, intermiten atau inhalasi kortikosteroid.
Sedangkan asiklovir intravena direkomendasikan pada anak-anak imunokompromais
(termasuk yang menerima terapi kortikosteroid dosis tinggi) dan kasus varisela
dengan penyulit.
Pada neonatus, acyclovir merupakan anti virus pilihan pertama. Namun,
penyerapannya di saluran pencernaan masih buruk, sehingga pada neonatus
dianjurkan untuk pemberian acyclovir melalui intravena dengan penyesuaian dosis.
Jika bayi menerima imunisasi pasif, maka direkomendasikan untuk pemberian
pengobatan acyclovir apabila menunjukkan gejala-gejala varicella.
Pada pasien imunokompromais, asiklovir terbukti menurunkan morbiditas dan
mortalitas bila diberikan dalam 24 jam pertama setelah onset ruam. Dosis asiklovir
per oral adalah 20 mg/kg per kali (dosis maksimum 800 mg) empat kali sehari selama
lima hari dan dimulai dalam 24 jam setelah onset ruam, sedangkan asiklovir intravena
pada umumnya diberikan dengan dosis 500 mg/m2 setiap 8 jam selama 7-10 hari.
Pada anak imunokompromais maupun neonatus diberikan dosis 500 mg
intravena setiap 8 jam selama 10 hari dan anak berusia 2-12 tahun dengan dosis 4 x
20 mg/kgBB/hari selama 7 hari dapat menurunkan jumlah lesi, penghentian
terbentuknya lesi yang baru, dan menurunkan timbulnya ruam, demam, dan gejala
konstitusi bila dibandingkan dengan placebo. Tetapi apabila pengobatan dimulai lebih
dari 24 jam setelah timbulnya ruam cenderung tidak efektif lagi. Hal ini disebabkan
karena varicella merupakan infeksi yang relatif ringan pada anak-anak dan manfaat
klinis dari terapi tidak terlalu bagus, sehingga tidak memerlukan pengobatan
acyclovir secara rutin.8,9,10

16
2.10. PENCEGAHAN
Pencegahan yang dapat diberikan untuk varicella yaitu menghindari kontak
langsung dengan penderita serta memberikan imunisasi. Imunisasi dapat diberikan
aktif ataupun pasif. Aktif dilakukan dengan memberikan vaksin varicella yang berasal
dari galur yang telah dilemahkan (live attenuated). Pasif dilakukan dengan
memberikan zoster immune globulin (ZIG) dari zoster immune plasma (ZIP).
Imunisasi pasif menggunakan Varicella Zoster Immunoglobulin (VZIG).
Pemberiannya dalam waktu 3 hari (kurang dari 96 jam) setelah terpajang HSV, pada
anak imunokompromais pemberian VZIG dapat meringankan gejala varicella. VZIG
dapat diberikan pada anak berusia < 15 tahun yang belum pernah menderita varicella
atau herpes zoster. Usia pubertas > 15 tahun yang belum pernah menderita varicella
atau herpes zoster dan tidak mempunyai antibody HZV. Diberikan pula pada bayi
baru lahir, dimana ibunya menderita varicella dalam kurung waktu 5 hari sebelum
dan 48 jam setelah melahirkan. Anak-anak yang menderita leukemia atau limfoma
yang belum pernah menderita varicella. Dosis yang diberikan 125 U hingga dosis
maksimal 625 U/IM.
Imunisasi aktif menggunakan vaksin varicella virus dan kekebalan dapat
bertahan hingga 10 tahun. Vaksin varicella dapat diberikan bersamaan dengan vaksin-
vaksin lainnya. Menurut jadwal imunisasi 2014, vaksin varicella dapat diberikan
setelah umur 12 bulan, terbaik pada umur sebelum masuk sekolah dasar. Apabila
diberikan pada umur lebih dari 12 tahun, perlu 2 dosis dengan interval minimal 4
minggu.
Indikasi vaksin varicella :
 Anak-anak yang belum pernah menderita cacar air pada umur 12-15 bulan.
 Anak yang berusia 13 tahun ke atas (yang belum pernah menderita cacar air
atau belum pernah mendapat vaksin cacar air)
 Setiap orang yang belum mendapat vaksinasi atau belum pernah menderita
cacar air

17
Kontraindikasi vaksin varicella:
 Menderita sakit berat pada saat jadwal vaksinasi, maka harus menunggu
sembuh.
 Wanita hamil dan tidak boleh hamil dalam waktu 1 bulan setelah mendapat
vaksin varicella
 Keadaan yang menurunkan kekebalan tubuh
 Menderita HIV/AIDS atau penyakit lain yang mempengaruhi sistem imun
 Menderita kanker dan sedang menjalani pengobatan
 Baru menerima transfuse darah atau produk darah lainnya, vaksinasi perlu
ditunda 2 minggu.
Resiko vaksin:
 Bengkak dan nyeri di daerah suntikan (pada sekitar 1 dari 5 anak dan pada
sekitar 1 dari 3 dewasa)
 Demam (pada 1 dari 10 orang)
 Ruam ringan
 Kejang yang disebabkan oleh demam
 Alergi dapat berupa gatal, bengkak atau sulit bernapas

2.11. PROGNOSIS
Dengan perawatan yang teliti dan memperhatikan hygiene dapat memberi
prognosis yang baik dan jaringan parut yang timbul sangat sedikit. Varicella pada
anak imunokompromais tanpa disertai komplikasi prognosis biasanya sangat baik,
sedangkan pada anak imunokompromais, morbiditas dan mortalitas signifikan.

18
BAB III
KESIMPULAN

 Varicella merupakan penyakit infeksi akut dan cepat menular yang


disebabkan oleh Varicella zoster virus (VZV) yang menyerang kulit mukosa
dan selaput lendir, ditandai oleh adanya vesikel-vesikel, terutama berlokasi di
bagian sentral tubuh.
 Kontak pertama virus ini menyebakan penyakit cacar air atau chicken pox,
dan pada reaktivasi infeksi, virus ini menyebabkan penyakit yang disebut
sebagai herpes zoster atau shingles.
 Varicella dapat mengenai semua kelompok umur termasuk neonatus, dan
mereka yang belum mendapatkan imunisasi varicella.
 varicella biasanya dimulai 14-16 hari setelah paparan, meskipun masa
inkubasi dapat berkisar dari 10 - 21 hari. Perjalanan penyakit dibagi menjadi
dua stadium yaitu stadium prodromal dan stadium erupsi.
 Varicella biasanya didiagnosa berdasarkan gambaran klinis yaitu penampilan
dan perubahan pada karakteristik dari ruam yang timbul, dan adanya riwayat
terpapar.
 Komplikasi pada anak-anak umumnya jarang terjadi. Komplikasi tersering
umumnya disebabkan oleh infeksi sekunder.
 Tidak ada terapi spesifik terhadap varicella, pengobatan hanya bersifat
simptomatik. Pengobatan secara sistemik dapat dengan memberikan antivirus.
 Pencegahan yang dapat diberikan untuk varicella yaitu menghindari kontak
langsung dengan penderita serta memberikan imunisasi yang dapat diberikan
secara aktif ataupun pasif.
 Varicella pada anak imunokompromais tanpa disertai komplikasi prognosis
biasanya sangat baik, sedangkan pada anak imunokompromais, morbiditas
dan mortalitas signifikan.

19
DAFTAR PUSTAKA

1. Centers for Disease Control and Prevention Epidemiology and Prevention of


Vaccine-Preventable Diseases, 13th Edition. WHO2015:353-376
2. National Centre for Immunisation Research and Surveillance. Varicella-zoster
(chickenpox) vaccines for Australian children. NCIRS Fact sheet July 2015: 1-6
3. Hussey HS, Abdullahi LH, Collins JE, et al. Varicella zoster virusassociated
morbidity and mortality in Africa: a systematic review protocol. BMJ Open2016:
1-6
4. World Health Organization. Weekly Epidemiological Record. WHO 2014;
89(25): 265-288.
5. Sondakh Christa C, Renate T. Kandou, Grace M. Kapantow. Profil Varicella Di
Poliklinik Kulit dan Kelamin Rsup Prof. Dr. R.D Kandou Manado Periode
Januari – Desember 2012. Jurnal e-Clinic (eCl)2015; 3(1): 181-185
6. Kelompok Studi Herpes Indonesia. Buku Panduan Herpes Zoster di Indonesia
2014. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2014.p. 8-10
7. Ikatan Dokter Indonesia. Panduan Praktis Klinis bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Primer. IDI 2014: 25-27
8. Herper J. 2000. Varicella (Chicken Pox). Pediatric Dermatology. Volume 1.
Blackwell Science. Hal. 336-339
9. Theresia, Hadionegoro, S.R.S., 2010. Terapi Asiklovir pada Anak dengan
Varicella tanpa Penyulit. Sari Pediatri 2010; 11(6): 440-447
10. Rebecca Petersen, MD, Aaron S. Miller, MD, MSPH. Varicella Zoster Virus
Infection in Neonates. NeoReviews 2016; 17(9): e507-e512
11. Ranuh IG.N, Suyitno H, Hadinegoro SR, Kartasasmita CB, Ismoedijanto,
Soedjatmiko, penyunting. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi ke-5. Jakarta:
Badan Penerbit IDAI; 2014.
12. Kilegman, Robert M, etc. 2011.Nelson textbook of pediatrics, 19 th Edition.
Philadelphia: Elsivier Saunders.

20
13. Gershon Anne A, etc. 2004. Krugman'sInfectious Disease in Children, Chapter
41- Varicella Zoster Virus Infection, 11th Edition.

21

Anda mungkin juga menyukai