Sering kali Perumahan dan permukiman dikatakan sebagai sumber permasalahan bagi
pemerintah daerah, berbagai permasalahan ini ditunjukkan oleh:
1. Banyak pihak belum dapat menetapkan atau mewujudkan hak guna lahan secara tepat
waktu selama pengembangan hak guna lahan skala besar
2. Pemberian izin hak guna lahan perumahan dan pemukiman biasanya tidak didasarkan pada
kerangka zonasi yang lebih komprehensif
3. Belum terorganisasinya perencanaan dan pemrograman pembangunan perumahan dan
permukiman yang dapat saling mengisi antara ketersediaan sumber daya pembangunan dan
kebutuhan yang berkembang di masyarakat
4. Karena berbagai alasan dan keterbatasan, penyelenggaraan pembangunan perumahan dan
permukiman tampaknya tidak menjadi prioritas bagi banyak pemerintah daerah
5. Belum tertampung nya aspirasi dan kepentingan masyarakat yang memerlukan rumah
termasuk hak untuk ikut berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan.
6. Penyediaan lahan, prasarana dan sarana, teknologi bahan bangunan, konstruksi,
pembiayaan dan kelembagaan masih memerlukan pengaturan yang dapat menyesuaikan
dengan muatan dan kemampuan lokal.
7. Tidak seimbang nya pembangunan desa dan kota yang telah menumbuhkan berbagai
kesenjangan sosio-ekonomi, akibatnya desa menjadi kurang menarik dan dianggap tidak
cukup prospektif untuk dihuni sedangkan kota semakin padat dan tidak nyaman untuk
dihuni.
8. Kurangnya persiapan untuk memprediksi kecepatan dan dinamika pertumbuhan fisik dan
fungsional di perkotaan, sehingga pertumbuhan kawasan kumuh sejalan dengan
perkembangan pusat kegiatan ekonomi.
Pada tahun 2009 volume sampah sebanyak 496,69m3, dengan jumlah sampah domestik
sebanyak 451,54 m3 dan jumlah sampah non domestik 96,61 m 3.
Pada tahun 2013 volume sampah sebanyak 1.220,97m3, dengan jumlah sampah domestik
1017,14 m3 dan jumlah sampah non domestik 203,43 m3.
2.3.2 Pemadam kebakaran
Situasi ini membutuhkan penambahan armada pemadam kebakaran dan personel yang
terlatih. Hal ini diperlukan karena rasio penduduk terhadap jumlah penduduk masih kecil sehingga
pelayanan publik pada bagian ini sangat perlu mendapat perhatian.
2.3.3 Transportasi
Sektor transportasi kota khususnya transportasi darat merupakan bagian penting dari sektor
pelayanan publik, karena di setiap daerah, antar daerah, antar daerah dan antar provinsi perlu
adanya jaringan jalan yang lebih baik ke semua daerah. Hal ini perlu diimbangi dengan pelayanan
transportasi yang terpadu untuk dapat beradaptasi dengan lalu lintas jalan timur-barat dan utara-
selatan. Kondisi sarana dan prasarana sektor angkutan, khususnya terminal yang memadai dan
modern masih belum dimiliki oleh kota Palangka Raya. Pada saat ini pelayanan terminal masih
belum terpadu dan terdapat berbagai angkutan umum yang beroperasi di badan jalan terutama
poros selatan yang sangat berisiko dikarenakan kendaraan yang parkir mengambil badan jalan dan di
jalur hijau. Persoalan lainnya adalah tarif resmi yang ditetapkan oleh masing-masing pemilik jasa
angkutan bervariasi sehingga dapat menimbulkan kompetisi yang tidak sehat di sektor angkutan
secara umum. Penyelesaian Pembangunan Terminal type A (Antar Kota Antar Provinsi atau AKAP) di
jl. Mahir Mahar (Lingkau Luar) yang pembangunannya didukung dari dana APBN dan APBD Provinsi
serta dukungan dari APBD Kota Palangka Raya merupakan prioritas dalam bidang perhubungan.
Berdasarkan hasil penelitian Joni Bungai dkk (2006) dan Widen dkk (2006), beberapa
permasalahan sosial yang ada pada Pemerintahan Kota Palangka Raya adalah sebagai berikut:
Pertumbuhan ekonomi, investasi dan tenaga kerja Rata-rata Pertumbuhan ekonomi kota
Palangka Raya dalam lima tahun terakhir mencapai 5,12 persen. Selama kurun waktu tersebut,
pertumbuhan ekonomi Kota Palangka Raya belum mencapai angka 6 persen atau lebih. Jika
dicermati struktur perekonomian kota dari tahun 2000 hingga 2007 didominasi oleh 3 sektor utama
yaitu, industri jasa (34,38%), transportasi dan komunikasi (21,41%) dan perdagangan, hotel dan
restoran (15,34%). Ketiga sektor tersebut tergolong sektor tersier, secara umum sektor ini
merupakan sektor yang mendorong pertumbuhan ekonomi kota-kota lainnya.
Walaupun kontribusi industri jasa terhadap pertumbuhan dan PDRB lebih besar, namun jika
dicermati, besaran kontribusi ini lebih bergantung pada peran pemerintah umum, yaitu
penyelenggara pemerintahan dan pertahanan serta layanan pemerintahan lainnya (88%). Oleh
karena itu, peran swasta hanya sebesar 12%. Artinya, perekonomian Kota Palangka Raya, khususnya
perekonomian industri jasa, masih bergantung pada pengeluaran atau anggaran pemerintah.
Dari sisi penyerapan tenaga kerja, pada tahun 2007, dua dari tiga sektor tersebut juga lebih
banyak menyerap tenaga kerja dibandingkan sektor lainnya. Tenaga kerja yang terserap sebanyak
30.239 orang, dan jasa, perdagangan, hotel dan restoran sebanyak 16.430 orang. Sementara sektor
Bangunan menyerap tenaga kerja lebih banyak yaitu sebesar 8.436 orang dibanding Pengangkutan
dan Komunikasi. Daya serap tenaga kerja tersebut masih rendah karena hanya berkisar 3,97% -
10,09 % per tahun. Hal ini berarti pertumbuhan sektor yang terjadi belum mampu mengimbangi
pertumbuhan angkatan kerja.
Dilihat dari besarnya pengeluaran warga perkotaan setiap bulannya, Palankaraya termasuk
salah satu kota termahal. Arus keluar bulanan dari Palangka Raya mencapai Rp 250 miliar untuk
membayar barang dari Banjarmasin dan kota-kota di pulau Jawa. Ironisnya, menurut catatan BI
Palangka Raya, perbankan kota hanya mampu menghimpun Rp 100 miliar per bulan, sedangkan
uang beredar yang harus dikeluarkan perbankan sebesar Rp 350 miliar. Akibatnya, Bank Indonesia
harus menyediakan mata uang tambahan sebesar 250 miliar rupiah ke pasar setiap bulan sebagai
aliran dana keluar bersih. Yang ternyata jumlah sebesar itu selalu habis dibelanjakan.
Pola konsumtif warga Kota Palangka Raya dapat dilihat dari kurangnya upaya warga untuk
memenuhi kebutuhan akan komoditas karena selama ini selalu bergantung pada pasokan dari luar
daerah. Dari 22 komoditas yang dikonsumsi warga, hanya tiga yang diproduksi sendiri yaitu ikan
segar, jagung dan sayur-sayuran. Sisanya, 19 komoditas harus dibeli dari Banjarmasin atau Jawa.
Kondisi ini membuat arus uang di Palangka Raya tidak sebanding karena uang yang keluar lebih
banyak daripada yang masuk. Minimnya sektor produksi untuk produksi barang dan jasa telah
menyebabkan keterbelakangan ekonomi di Palankaraya, karena mata uang yang beredar justru
dinikmati oleh penduduk daerah lain, khususnya Banjarmasin. Dalam posisi seperti ini Kota
Banjarmasin maju pesat karena uang dari Palangka Raya selalu masuk ke daerah itu. Pemerintah
daerah bisa menggerakkan sektor produktif untuk mengurangi ketergantungan komoditas dari
daerah luar sekaligus menekan arus uang keluar daerah.
1. Perbedaan permukaan air yang tinggi antara muka air sungai Sabangau dengan Kahayan dan
Rungan terutama pada musim penghujan maka akan berubah menjadi bencana banjir bagi
kota Palangka Raya apabila hutan di sepanjang sungai Sabangau tidak terpelihara dengan
baik dan ancaman pada musim kemarau adalah kebakaran lahan dan hutan.
2. Letak Kota Palangka Raya yang berada pada dataran rendah sungai Kahayan, Rungan dan
Sungai Sabangau, dengan komposisi tanah bergambut tipis dengan lapisan bawah tanah
yang berpasir dan untuk daerah pinggir sungai dengan jenis tanah aluvial yang umumnya
rendah membuatnya menjadi kawasan yang rawan banjir.
3. Akibat dari budaya, semenjak dahulu kala masyarakat Kalimantan Tengah bermukim di
sepanjang bantaran sungai, sehingga banyak permukiman penduduk yang berada di
pinggiran sungai, padahal kawasan tersebut merupakan kawasan yang rawan banjir dan
cenderung untuk dapat berkembang menjadi kawasan kumuh.
4. Sebagai akibat dari pertumbuhan penduduk yang cukup pesat, mengakibatkan kurangnya
sarana dan prasarana sanitasi lingkungan, jangkauan pelayanan air bersih yang masih
terbatas dan saluran drainase yang kurang berfungsi optimal dampak dari kurangnya
kesadaran masyarkat akan pengelolaan sampah dan air limbah rumah tangga.
5. Pengembangan dan penyediaan kawasan terbuka hijau diyakini belum mencukupi, dan di
luar pusat kota, alih fungsi lahan hutan untuk keperluan lain atau lahan yang tidak digunakan
dapat menjadi kawasan rawan kebakaran pada musim kemarau.
6. Penambangan pasir dan batu belah pada kawasan diluar pusat kota tidak dibarengi dengan
upaya reklamasi.
7. Penggunaan air tanah oleh sebagian besar rumah tangga sebagai sumber air bersih
berpotensi untuk menurunkan kuantitas dan kualitas sumber air tanah
2.6.2 Penataan Ruang
1. Bahwa luas wilayah Kota Palangka Raya sejak tahun 2003 yang dinyatakan sebesar 2.678,51
Km2 masih belum mendapat pengakuan dari pemerintah Kabupaten tetangga (yang
berbatasan) dan dari pemerintah Provinsi Kalimantan Tengah.
2. Disiplin ilmu terkait pemanfaatan ruang dalam rencana tata ruang Kota Palankaraya belum
sepenuhnya terlaksana, sehingga dapat menimbulkan konflik pemanfaatan ruang, terutama
pada kawasan strategis kegiatan ekonomi dan / atau kawasan yang sedang berkembang.
3. Permasalahan dan tantangan Penataan Kota di Palangka Raya pada dasarnya adalah ketidak
konsekuensinya antara perencanaan dan realita. Hal ini disebabkan karena produk
Perencanaan Kota yang dihasilkan tidak langsung dibuat dasar hukumnya dan produk
perencanaan kota tersebut kurang dipublikasikan kepada publik.
4. Menurunnya kualitas Situs Bersejarah bahkan menghilang, hilangnya image arsitektur lokal
dengan adanya perkembangan bahan atap berpola genteng yang merupakan image
arsitektur Jawa.
5. Semakin berkembangnya kepemilikan lahan secara pribadi dan semakin berkurangnya lahan
milik pemerintah.
6. Bahwa hingga saat ini revisi RTRW Propinsi Kalimantan Tengah ( PERDA Propinsi No. 8 Tahun
2003) masih belum selesai, sehingga pengakuan atas penambahan luas wilayah Kota
Palangka Raya dari 2.400 km2 menjadi 2.681,5 km2 oleh berbagai pihak terkait juga
tertunda. Perlunya diskusi secara intensif dan melakukan kompromi dengan pemerintah
Kabupaten tetangga dan pemerintah Provinsi sehingga dapat dibuat tata-batas yang jelas
dengan menggunakan peralatan yang moderen.
2.7 Permasalahan Perumahan dan Fasilitas Umum
Berdasarkan proyeksi, kebutuhan perumahan di kota Palangka Raya sampai dengan tahun
2013 mencapai 11.879-unit rumah dan luas lahan 808 ha yang berada di 5 Kecamatan. Kebutuhan
rumah Kecamatan Pahandut 3.800 unit, Sebangau 1.190 unit, Jekan Raya 6.357, Bukit Batu 358, dan
Kecamatan Rakumpit 174 unit.
Berdasarkan analisis permukiman kumuh perkotaan, terdapat 3 (tiga) desa prioritas, yaitu
Kelurahan Langkai, Kelurahan Pahandut dan Kelurahan Palangka. skema penanganan masalah
perumahan melibatkan peran sektor swasta (untuk perumahan terorganisir), dan posisi pemerintah
kota adalah untuk mengeluarkan izin. Kedua, peran kelompok swadaya masyarakat dan ketiga peran
pemerintah sekaligus dalam rangka revitalisasi kawasan kumuh bagi masyarakat berpenghasilan
rendah.
Pengembangan Kawasan Siap Bangun (Kasiba) dan Lingkungan Siap Bangun (Lisiba)
semestinya menjadi perhatian dalam masa 5 (lima) tahun ke depan. Lokasi yang akan dikembangkan
berada di Jalan Mahir Mahar (Ring Road). Rencana kapasitas kawasan adalah 3.678-unit rumah
dengan target penghuni sebesar 18.390 jiwa. Kendala keuangan, selain sarana dan prasarana yang
tidak memadai, tidak ada badan pengelola yang menangani kawasan tersebut. Dari perspektif
perkembangan perkotaan, kawasan ini merupakan pilihan yang ideal terutama untuk kawasan
pemukiman, pendidikan, kesehatan, olah raga dan fasilitas umum lainnya.
Permukiman yang masih terpencar dan desa yang relatif masih sulit dijangkau menjadi
faktor yang sulit dalam upaya pemerataan pelayanan kesehatan. Begitu pula dengan tenaga medis
dan paramedis yang masih terkonsentrasi di perkotaan (kecamatan Pahandut dan kecamatan Jekan
Raya).
1. Kesejahteraan masyarakat yang relatif rendah merupakan isu tersendiri dalam pembangunan
bidang kesehatan. Penggunaan layanan kesehatan gratis ASKESKIN pada dasarnya bermanfaat,
namun tetap perlu memperhatikan ketepatan sasaran.
2. Pertumbuhan penduduk akibat urbanisasi dapat menimbulkan masalah bagi pemukiman. Selain
itu, minimnya sosialisasi rencana tata kota telah mengakibatkan banyak bangunan tidak teratur
dan ilegal yang mengganggu tata kota. Permukiman di sepanjang sungai dan tepian Danau Seha
memerlukan perlakuan khusus agar tidak terkesan menjadi permukiman kumuh, apalagi dalam
wacana Palangka Raya sebagai arena wisata air.
3. Untuk menjadikan Kota Palangkaraya sebagai kota yang indah, perlu adanya peningkatan
kesadaran masyarakat akan kebersihan dan keindahan, termasuk masalah persampahan.
2.8 Permasalahan Pendidikan
1. Laju pertumbuhan lembaga pendidikan yang dilaksanakan oleh pemerintah dan masyarakat
tidak sesuai dengan pertumbuhan fasilitas penunjang pendidikan yang memadai, seperti
gedung layak, perpustakaan, laboratorium, dan bengkel. Berdasarkan profil pendidikan Kota
Palangka Raya tahun 2006/2007, tidak ada SD / MI yang memiliki perpustakaan. Di tingkat SL P
(SMP / MTS), perpustakaan hanya 54,05%, sekolah menengah atas dan MA yang memiliki
perpustakaan hanya 58,06%, sedangkan perpustakaan SMK hanya 50%. Biasanya sekolah
swasta tidak memiliki fasilitas perpustakaan.
2. Masih terdapatnya penduduk yang buta huruf dan juga putus sekolah pada tingkat pendidikan
dasar (SD dan SMP), hal ini merupakan tantangan bagi keberhasilan pelaksanaan program wajib
belajar.
3. Masalah lain yang dihadapi adalah kualifikasi guru. Persentase guru yang tidak layak dan semi
layak mengajar cukup tinggi. Di SD + MI masih terdapat 4,27 %, guru yang tidak layak mengajar,
dan 22,73 % yang hanya semi layak untuk mengajar. Pada jenjang SLTP + MTS terdapat 3,67 %
tidak layak mengajar dan 6,55 % semi layak mengajar. Di jenjang SMU + MA 2,68 % tidak layak
mengajar dan 15,18 % semi layak mengajar. Sedangkan pada jenjang kejuruan (SMK) tidak layak
mengajar 12,80 %, semi layak 28,27 % dan layak 55,65 %. Tantangan ke depan mengenai
kualifikasi guru yaitu menghadapi diberlakukannya UU Nomor 14 tahun 2005 tentang Guru dan
Dosen. Guru-guru dituntut berpendidikan minimal S1 dan memiliki sertifikasi.
4. Pada jenjang SMP dan SMA, masih terjadi kekurangan guru di bidang studi tertentu, terutama
matematika dan IPA (khususnya fisika dan matematika), guru bahasa dan keterampilan.
5. Di SMA ternyata peminat sekolah negeri lebih tinggi dibanding peminat sekolah kejuruan.
Bidang keahlian pada SMK perlu dikembangkan. Saat ini SMK (swasta) hanya sebatas Jurusan
Ekonomi (SMEA). Mengingat peluang industri / lapangan kerja yang sangat terbatas di Kota
Palangka Raya, SMK perlu mengoptimalkan penerapan “Pendidikan Sistem Ganda” (PSG) untuk
menumbuhkan jiwa kewirausahaan siswa dalam menciptakan lapangan kerja.
6. Perguruan tinggi di Kota Palangkaraya juga bisa dikatakan homogen, artinya keragaman fakultas
yang sedang dikembangkan masih kurang. Dalam kaitan ini, Universitas Palankaraya merupakan
perguruan tinggi negeri tertua dan terbesar di Kalimantan Tengah, harus berupaya
mengembangkan diri dengan membuka Fakultas/Jurusan yang relevan dengan kebutuhan
pembangunan, di samping terus meningkatkan kualitas perguruan tinggi / jurusan yang ada juga
untuk memenuhi permintaan pasar dengan menciptakan lapangan kerja sendiri.
2.9 Permasalahan Pariwisata dan Budaya
2.9.1 Pariwisata
Selama ini fasilitas wisata seperti kawasan wisata Tangkiling dan kawasan hiburan yang
dikembangkan masyarakat seperti taman alam, Danau Thailand, Kebun Raya Nyaru Menteng, dan
lain-lain belum menjadi alternatif pilihan wisata. Sesuai dengan kondisi alam yang dimiliki, yang
mulai menggugah minat wisatawan mancanegara saat ini adalah wisata sungai sambil menikmati
atraksi budaya di desa setempat. Persoalannya adalah perlunya mengubah strategi pemasaran
pariwisata dan menyediakan paket perjalanan yang lengkap, seperti susur sungai, atraksi seni dan
budaya, serta peningkatan kerjasama dengan biro perjalanan.
2.9.2 Budaya
1. Menurunnya nilai-nilai budaya dan hukum adat di Palangka Raya serta minimnya upaya
revitalisasi peranan dan fungsi kelembagaan Kedamangan.
2. Pembinaan dan perhatian yang serius dan berkelanjutan terhadap sanggar seni dan budaya
Kota Palangka Raya masih kurang.
3. Banyak gedung pemerintah dan pertokoan masih belum memiliki ciri-ciri arsitektur lokal
4. Nama jalan di Palangka Raya masih simpang siur dan tidak mencerminkan identitas lokal
5. Taman Budaya yang dulu pernah ada di kompleks Museum Balanga Palangka Raya sebagai
wadah ekspresi seni dan budaya tidak tampak lagi keberadaannya.
6. Pengembangan sumber daya manusia dan pengelolaan lingkungan masih mengabaikan nilai-
nilai budaya lokal (kearifan lokal)Belum ada penghargaan yang khusus diberikan kepada
individu