Anda di halaman 1dari 33

1

Tugas : Makalah
Teknologi Sel, Jaringan dan Organ Tanaman

SOMATIK EMBRIOGENESIS

DITA DINDASARI (G012191005)


ST. HAJRAH ARIF (G012192008)

DOSEN: Ir. Rinaldi Sjahril, M.Agr., phD.

PROGRAM MAGISTER AGROTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2020
2

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan ke hadirat Allah SWT karena atas rahmat -Nya
penulis dapat menyelesaikan makalah berjudul Somatik Embriogenesis.
Adanya Makalah ini diharapkan tidak hanya dapat membantu mahasiswa
dalam melaksanakan tugas perkuliahannya, namun juga sangat berguna bagi
masyarakat terutama yang berkecimpung di bidang pertanian dalam rangka
pengembangan keterampilan dan pengetahuan. Kami menyadari bahwa makalah
ini  jauh dari kesempurnaan baik dari isi maupun formatnya, karena itu kritik dan
saran untuk  perbaikan sangat diharapkan dari pembaca.
Namun demikian, saya sangat berterima kasih kepada semua pihak yang
telah membantu dalam menyusun makalah ini, baik bantuan berupa moral
maupun materil, baik langsung maupun tidak langsung.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat kepada kita semua khususnya
pembaca.

Takalar, 11 Juni 2020

Penulis
3

DAFTAR ISI
Halaman

DAFTAR ISI...................................................................................................... i

BAB I PENDAHULUAN.................................................................................. 4
1.1 Latar Belakang .............................. 4
1.2. Rumusan Masalah ........................................................................... 6
1.3. Tujuan dan Manfaat Penulisan ........................................................ 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA....................................................................... 7


2.1. Pengertian Embriogenesis Somatik dan Kultur Jaringan................. 7
2.2. Proses Pembentukan Embrio Somatik............................................. 10
2.3. Tahapan embriogenesis somatik...................................................... 10
2.4. Faktor Keberhasilan Pertumbuhan Embrio Somatik........................ 12
2.5. Masalah-masalah dalam Embriogenesis Somatic Secara In Vitro... 17
2.6. Manfaat Embriogenesis Somatik In-Vitro....................................... 19
2.7. Kerugian dari embryogenesis somatik secara In-Vitro.................... 19
2.8. Kendala dalam Penerapan Embriogenesis somatik Secara In-Vitro di
Masyarakat.......................................................................................... 21

BAB III HASIL PENELITIAN TERKAIT EMBRIOGENESIS SOMATIK


.............................................................................................................................23
3.1. Embriogenesis Somatik Jeruk Keprok (Citrus reticulata L. cv Batu 55)
Asal Hasil Perlakuan Kolkisin......................................................... 23
3.2. Hasil dan Pembahasan...................................................................... 24

BAB IV PENUTUP........................................................................................... 30
4.1.......................................................................................................... Ke
simpulan.......................................................................................... 30
4.2.......................................................................................................... Sar
an .................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA
4

BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Dengan semakin berkembangnya usaha di bidang pertanian maka
kebutuhan bibit semakin meningkat. Melalui perbanyakan konvensional sangat
sulit untuk memenuhi kebutuhan bibit yang sangat banyak dengan waktu relatif
cepat. Dengan demikian, teknologi kultur jaringan telah terbukti dapat digunakan
sebagai teknologi pilihan yang sangat menjanjikan untuk pemenuhan kebutuhan
bibit tanaman yang akan dieksploitasi secara luas.
Pada kultur in vitro dikenal istilah embriogenesis somatik. Embriogenesis
somatic adalah proses saat sel-sel somatik (baik haploid maupun diploid)
berkembang membentuk tumbuhan baru melalui tahapan perkembangan embrio
yang spesifik tanpa melalui fusi gamet. Embriogenesis somatik ini terjadi melalui
beberapa tahapan yaitu induksi kalus embrionik, pendewasaan (maturation),
perkecambahan, dan hardening. Adanya tahapan-tahapan dalam perkembangan
embriogenesis somatik tersebut penting untuk dipelajari lebih dalam.
Namun demikian, ada faktor tertentu yang harus diantisipasi, yaitu
penyimpangan genetik yang dapat terjadi karena metode in vitro. Untuk itu, perlu
dimengerti mekanisme fisiologi apa yang terjadi, faktor apa saja yang
menyebabkannya sehingga mutasi dapat dihindarkan. Berdasarkan pengalaman
pada spesies tanaman tertentu, yaitu suatu formulasi media sangat baik untuk
memacu pertunasan pada tahap awal sampai subkultur keenam, namun pada
subkultur berikutnya menjadi tidak baik (semua biakan menghitam, layu, dan
mati).
Hal tersebut terjadi karena terdapat komponen organik tertentu yang tidak
baik digunakan pada jaringan yang sudah mengalami periode kultur in vitro lama.
Formulasi media baru yang lebih sederhana komponen organiknya dicoba dan
biak-an mengalami penyembuhan serta tumbuh normal kembali.
Dari contoh tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa untuk memecahkan
sistem regenerasi tanaman tidak mudah. Banyak hal yang harus dipelajari dan
5

dikuasai seperti mekanisme fisiologi, daya aktivitas, laju transportasi, sifat


persistensi, daya aktivitas dari berbagai komponen organik dan anorganik
penyusun media tumbuh serta faktor lain yang berpengaruh terhadap keberhasilan
kultur in vitro.
Kultur jaringan tanaman telah dikenal banyak orang sebagai usaha
mendapatkan varietas baru (unggul) dari suatu jenis tanaman dalam waktu yang
relatif lebih singkat dari pada dengan cara pemuliaan tanaman yang harus
dilakukan penanaman secara berulang-ulang sampai beberapa generasi. Untuk
mendapatkan varietas baru melalui kultur jaringan dapat dilakukan dengan cara
isolasi protoplas dari 2 macam varietas yang difusikan. Atau dengan cara isolasi
khloroplas suatu jenis tanaman yang dimasukkan kedalam protoplas jenis tanaman
yang lain, sehingga terjadi penggabungan sifat-sifat yang baik dari kedua jenis
tanaman tersebut hingga terjadi hibrid somatik. Cara yang lain adalah dengan
menyuntikkan protoplas dari suatu tanaman ketanaman lain. Contohnya transfer
khloroplas dari tanaman tembakau berwarna hijau ke dalam protoplas tanaman
tembakau yang albino, hasilnya sangat memuaskan karena tanaman tembakau
menjadi hijau pula. Contoh lain adalah keberhasilan mentrasnfer khloroplas dari
tanaman jagung ke dalam protoplas tanaman tebu hasilnya memuaskan (Anik
Herawati, 1991).
Teknik kultur jaringan sampai saat ini memang belum biasa dilaksanakan
oleh para petani, baru beberapa kalangan pengusaha swasta saja yang sudah
mencoba melaksanakannya, karena pelaksanaan teknik kultur jaringan tanaman
memerlukan keterampilan khusus dan harus diltar belakangi dengan ilmu
pengetahuan dasar tentang fisiologi tumbuhan, anatomi tumbuhan, biologi, kimia
dan pertanian. Dengan demikian jelas akan amat sulit untuk diterima oleh
kalangan petani biasa. Di samping itu, pelaksanaan teknik kultur jaringan mutlak
memerlukan laboratorium khusus, walaupun dapat di usahakan secara sederhana
(dalam ruang yang terbatas), namun tetap memerlukan peralatan yang memadai.
Kemungkinan lain petani akan merasa enggan bekerja secaraaseptik. Karena
semua pekerjaan harus dilaksanakan secara hatri-hati dan cermat serta
memerlukan kesabaran yang tinggi. Biaya untuk mewujudkan perbanyakan
tanaman cecarain vitro ini juga sangat mahal, kecuali kita meramu medium
6

sendiri. Bila kia terpaksa harus membeli medium yang sudah jadi (dalam
kemasan) jelas akan sangat mahal, sebab medium yang sudah jadi masih harus di
impor dari luar negeri. Apalagi kita harus membeli saran untuk perlakuan isolasi
dan fusi protoplas, tentu biayanya akan bertambah besar. Enzim-enzim yang
digunakan dalam kultur jaringan juga masih dibeli dari luar negeri sepertti Jepang.
Lepas semua dari kendala-kendala tersebut diatas, kita harus mengakui
bahwa teknik kultur jaringan sangat bermanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan,
terutama untuk pengembangan bioteknologi.

1.2 Rumusan Masalah


1. Apakah pengertian dari Embriogenesis Somatik?
2. Bagaimanakah tahapan dalam embriogenesis somatik?
3. Faktor apa saja yang mempengaruhi Pembentukan embrio somatik ?
4. Apakah kelebihan dan kekurangan dari embryogenesis somatik ?
5. Apa sajakah kendala dalam pelaksanaan embryogenesis somatik ?

1.3  Tujuan dan Manfaat Penulisan


Tujuan dari penulisan ini adalah ingin mengetahui :
1. Apakah pengertian dari Embriogenesis Somatik.
2. Bagaimanakah tahapan dalam embriogenesis somatik.
3. Faktor apa saja yang mempengaruhi Pembentukan embrio somatik.
4. Apakah kelebihan dan kekurangan dari embryogenesis somatik.
5. Apa sajakah kendala dalam pelaksanaan embryogenesis somatik.
7

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1  Pengertian Embriogenesis Somatik dan Kultur Jaringan


Embriogenesis somatik merupakan suatu proses pembentukan embrio
dari sel somatik menjadi tumbuhan baru, tanpa melalui fusi sel gamet. Cara ini
dinilai lebih cepat dan efisien, karena setiap sel somatik berpotensi untuk menjadi
1 individu baru. Embrio somatik dicirikan dengan strukturnya yang bipolar, yaitu
mempunyai dua calon meristem, meristem akar dan meristem tunas. Embrio
somatik dapat melalui dua jalur pembentukan, yaitu secara langsung maupun tidak
langsung (melalui fase kalus).
Kultur jaringan atau biakan jaringan sering juga disebut kultur in
vitro yakni teknik pemeliharaan jaringan atau bagian dari individu secara buatan
yang dilakukan di luar individu yang bersangkutan. In vitro berasal dari bahasa
Latin yang artinya "di dalam kaca". Jadi Kultur in vitro dapat diartikan sebagai
bagian jaringan yang dibiakkan di dalam tabung inkubasi atau cawan petri dari
kaca atau material tembus pandang lainnya. Secara teoritis teknik kultur jaringan
dapat dilakukan untuk semua jaringan, baik dari tumbuhan, hewan, bahkan juga
manusia, karena berdasarkan teori Totipotensi Sel (Total Genetic Potential),
bahwa setiap sel memiliki potensi genetik seperti zigot yaitu mampu
memperbanyak diri dan berediferensiasi menjadi individu lengkap. Sel dari suatu
organisme multiseluler di mana pun letaknya, sebenarnya sama dengan sel zigot
karena berasal dari satu sel tersebut.
Menurut Suryowinoto (1991), kultur jaringan dalam baha asing disebut
sebagai tissue culture. Kultur adalah budidaya dan jaringan adalah sekelompok sel
yang mempunyai bentuk dan fungsi yang sama. jadi, kultur jaringan berarti
membudidayakan suatu jaringan tanaman menjadi tanaman kecil yang
mempunyai sifat seperti induknya. Kultur jaringan akan lebih besar presentase
keberhasilannya bila menggunakan jaringan meristem. Jaringan meristem adalah
jaringan muda, yaitu jaringan yang terdiri dari sel-sel yang selalu membelah,
dinding tipis, plasmanya penuh dan vakuolanya kecil-kecil. Kebanyakan orang
8

menggunakan jaringan ini untuk tissue culture. Sebab, jaringan meristem


keadaannya selalu membelah, sehingga diperkirakan mempunyai zat hormon yang
mengatur pembelahan.
Teknik kultur jaringan sebenarnya sangat sederhana, yaitu suatu sel atau
irisan jaringan tanaman yang sering disebut eksplan secara aseptik diletakkan dan
dipelihara dalam medium pada atau cair yang cocok dan dalam keadaan steril.
dengan cara demikian sebaian sel pada permukaan irisan tersebut akan mengalami
proliferasi dan membentuk kalus. Apabila kalus yang terbentuk dipindahkan
kedalam medium diferensiasi yang cocok, maka akan terbentuk tanaman kecil
yang lengkap dan disebut planlet. Dengan teknik kultur jaringan ini hanya dari
satu irisan kecil suatu jaringan tanaman dapat dihasilkan kalus yang dapat
menjadi planlet dalam jumlah yang besar.
Pelaksanaan teknik kultur jaringan berdasarkan teori sel sperti yang
dikemukakan oleh Schleiden, yaitu bahwa sel mempunyai kemampuan autonom,
bahkan mempunyai kemampuan totipotensi. Totipotensi adalah kemampuan
setiap sel, darimana saja sel tersebut diambil, apabila diletakkan dilingkungan
yang sesuai akan tumbuh menjadi tanaman yang sempurna.
Teknik kultur jaringan akan berhasil dengan baik apabila syarat-syarat
yang diperlukan terpenuhi. Syarat-syarat tersebut meliputi
pemilihan eksplan sebagai bahan dasar untuk pembentukkan kalus, penggunaan
medium yang cocok, keadaan yang aseptik dan pengaturan udara yang baik
terutama untuk kultur cair. Meskipun pada prinsipnya semua jenis sel dapat
ditumbuhkan, tetapi sebaiknya dipilih bagian tanaman yang masih muda dan
mudah tumbuh yaitu bagian meristem, seperti: daun muda, ujung akar, ujung
batang, keping biji dan sebagainya. Bila menggunakan embrio bagian bji-biji yang
lain sebagai eksplan, yang perlu diperhatikan adalah kemasakan embrio, waktu
imbibisi, temperatur dan dormansi.
Embriogenesis dimulai dengan pembelahan gel yang tidak seimbang
(kalus). Kalus biasanya terbentuk setelah eksplan dikulturkan dalam media yang
mengandung auksin.Banyak faktor yang mempengaruhi embriogenesis antara lain
auksin eksogen, sumbereksplan, komposisi nitrogen yang ditambahkan dalam
media dan karbohidrat (sukrosa) .Selanjutnya gel membelah terus hingga
9

memasuki tahap globular. Pada saat tersebut selaktif membelah kesegala arah dan
membentuk lapisan terluar yang akan menjadi protoderm (bakal epidermis),
kelompok sel yang merupakan prekursor jaringan dasar dan jaringan
pembuluhpun mulai terbentuk. Pembelahan kesegala arah tersebut terhenti ketika
pembentukan primordia kotiledon, pada saat embrio matang sudah autotrof.
Embrio yang matang akan berkecambah dan tumbuh menjadi tumbuhan yang baru
pada kondisi yang cocok (Bajaj, 1994; Dodeman dkk. 1997;Lits, 1985).
Proses pembentukan dan perkembangan embrio (embriogenesis)
menentukan polapertumbuhan, yaitu meristem pucuk ke atas, meristem akar ke
bawah, dan pola-pola dasar jaringan lainnya berkembang pada 'axis' pucuk –akar
ini, namun pada tiap tumbuhan terdapat variasi pada proses embriogenesis.
Selanjutnya proses embriogenesis adalah bagian dari metode kultur
jaringan untuk memperoleh bibit yang banyak dan bebas virus. Planlet yang
dihasilkan pada mulanya beragam. Selanjutnya tanaman akan ditanam dilapang
dan diadakan seleksi sesuai dengan metoda pemuliaan berkali-kali sehingga
diperoleh tanaman-tanaman yang unggul. Tanaman inilah yang digunakan sebagai
sumber eksplan yang bisa diperbanyak dengan berbagai cara dilaboratorium
kultur jaringan sehingga didapat bibit dalam jumlah banyak dan seragam, metoda
yang digunakan antara lain menginduksi tunas majemuk dan sub kultur. Jika
sudah diperoleh sumber eksplan yang unggul dan media yang sesuai
maka prosesnya akan berlangsung dalam waktu yang singkat dengan penambahan
hormone tumbuh dalam konsentrasi rendah.
Metode perbanyakan cepat kultur jaringan dapat dilakukan melalui:
1. Perangsangan tunas lateral untuk membentuk tunas ganda dalam jumlah
yang melebihi npertumbuhan normal. Bahan tanaman yang digunakan
umumnya berupa batang yang mempunyai 1 buku. Cara ini lebih mudah
dan aman dalam mempertahankan sifat pohon induknya.
2. Inisiasi tunas adventif langsung dari eksplan atau melalui kalus.
3. Embrio somatik. Cara kedua dan ketiga banyak dilaporkan menyebabkan
ketidakstabilan pada turunannya karena pembentukan melalui fase kalus.
Tetapi di masa mendatang, cara embrio somatik banyak mendapat
10

perhatian para pakar karena mempunyai segi analitis dan komersialisasi


yang sangat potensial (Watimena, 1988).

2.2  Proses Pembentukan Embrio Somatik


Embrio somatik dapat terbentuk melalui dua jalur, yaitu secara langsung
maupun tidak langsung (melewati fase kalus). Embriogenesis somatik langsung
adalah proses perkembangan embrio secara langsung pada potongan eksplan tanpa
melalui fusi gamet, dan terjadi pada eksplan yang masih muda (George dan
Sherrington, 1984). Sedangkan embryogenesis somatik tidak langsung yaitu
proses perkembangan embrio melalui pembentukan kalus yang berasal dari akar,
tangkai daun, tangkai bunga, daun, batang, atau embrio zigot yang mampu
membentuk kalus embrigionik (Chawla, 2000; George et al. 2008).
Embryogenesis langsung memiliki beberapa kelebihan dibandingkan
dengan embryogenesis . embryogenesis somatik langsung memerlukan waktu
lebih singkat untuk menghasilkan planlet dan kemungkinan terjadinya
penyimpangan akibat keseragaman somakronal lebih kecil dibandingkan
embryogenesis tidak langsung.waktu yang diperlukan lebih singkat karena tidak
melalui fase kalus (Rungkhla et al, 1998) dan dapat menekan masalah sulitnya
pembentukan benih somatic pada tahap perkecambahan (Rai et al., 2001).
Keberhasilan akan tercapai apabila kalus atau sel yang digunakan bersifat
embriogenik yang dicirikan oleh sel yang berukuran kecil, sitoplasma padat, inti
besar, vakuola kecil-kecil dan mengandung butir pati. Embrio somatik dapat
dihasilkan dalam jumlah besar dari kultur kalus, namun untuk tujuan perbanyakan
dalam skala besar, jumlahnya dapat lebih ditingkatkan melalui inisisasi sel
embrionik dari kultur suspensi yang berasal dari kalus primer.
Embrio somatik dapat dicirikan dari strukturnya yang bipolar, yaitu
mempunyai dua calon meristem, yaitu meristem akar dan meristem tunas. Dengan
memiliki struktur tersebut maka perbanyakan melalui embrio somatik lebih
menguntungkan daripada pembentukan tunas adventif yang unipolar. Di samping
strukturnya, tahap perkembangan embrio somatik menyerupai embrio zigotik.
2.3  Tahapan Embriogenesis Somatik
11

Embriogenesis somatik mempunyai beberapa tahapan spesifik,yaitu (1)


induksi sel dan kalus embriogenik, (2) pendewasaan, (3) perkecambahan, dan (4)
aklimatisasi.

1. Induksi sel dan kalus embriogenik


Sebelum dilakukan induksi sel, eksplan terlebih dahulu dilakukan
sterilisasi permukaan. Induksi sel dan kalus embriogenik pada umumnya
dilakukan dengan penambahan zat pengatur tumbuh pada medium
pertumbuhannya dalam konsentrasi yang tinggi agar mempunyai daya aktivitas
yang kuat. Zat pengatur tumbuh yang biasa digunakan yaitu, auksin (antara lain
2,4-D) dan sitokinin (antara lain kinetin). Kalus embriogenik ditandai dengan
pembentukan struktur kalus yang friable (remah dan mudah terpisah) serta
berwarna putih atau kekuningan yang muncul sekitar 2,5 bulan. Selanjutnya akan
terbentuk struktur pasangan-pasangan berbentuk kepingan berwarna putih yang
menandakan terbentuknya embrio. Total embrio yang terbentuk dari 1 helai daun
yaitu sekitar 1000 embrio (Roostika et al., 2009).
2. Pendewasaan
Pada tahap pendewasaan, struktur globular akan berkembang membentuk
kotiledon dan primordia akar. Pembentukan diawali dengan pembentukan struktur
bipolar (2 kutub). Perkembangan kalus embriogenik dipengaruhi oleh kondisi
hormon endogen dan eksogen (zat pengatur tumbuh). Ketika konsentrasi auksin
lebih tinggi dari sitokinin, maka pertumbuhan akar akan lebih dominan.
Sebaliknya jika konsentrasi sitokinin lebih tinggi dari auksin, maka yang dominan
terbentu adalah tunas. Pada tahap pendewasaan sering digunakan zat pengatur
tumbuh pada konsentrasi yang rendah. Perkembangan kalus embriogenik menjadi
planlet dimulai dengan terbentuknya struktur globular, hati, torpedo dan
kotiledon.
3. Perkecambahan
Pada tahap perkecambahan, embrio somatik akan membentuk tunas dan
akar. Zat pengatur tumbuh yang digunakan dalam medium pertumbuhan berada
dalam konsentrasi yang sangat rendah, bahkan tidak digunakan sama sekali.
Berdasarkan penelitian Roostikaet al. (2009), penambahan auksin ke dalam
12

medium pertumbuhan justru tidak mampu meningkatkan persentase pembentukan


planlet. Hal ini diduga bahwa kandungan auksin endogen dalam kalus
mebriogenik cukup tinggi sehingga tidak memerlukan auksin eksogen.
Pembentukan tunas lebih diharapkan daripada pembentukan akar karena induksi
perakaran dari eksplan tunas lebih mudah dibandingkan dengan induksi tunas dari
eksplan akar. Untuk perakaran digunakan media MS + NAA. Proses perakaran
pada umumnya berlangsung selama 1 bulan. Planlet (tunas yang telah berakar)
diaklimatisasikan sampai bibit cukup kuat untuk ditanam dilapangan. Pengamatan
dilakukan setiap hari untuk melihat pertumbuhan dan perkembangan akar serta
untuk melihat adanya kontaminasi oleh bakteri ataupun jamur. Eksplan yang
terkontaminasi akan menunjukkan gejala seperti berwarna putih atau biru
(disebabkan jamur) atau busuk (disebabkan bakteri).
4. Aklimatisasi
Aklimatisasi adalah kegiatan mengadaptasikan tanaman atau
mengkondisikan tanaman dari yang semula kondisinya terkendali ke kondisi yang
tak terkendali, untuk menjadi tanaman yang autotrof. Bibit embrio somatik
diaklimatisasi terlebih dahulu sebelum ditanam di lingkungan agar terjadi
penyesuaian. Keberhasilan aklimatisasi ditandai dengan munculnya sepasang
daun merah (Roostika et al., 2005). Pada penelitian Roostika et al.(2009),
persentase tingkat keberhasilan aklimatisasi hanya sebesar 14%. Rendahnya
tingkat aklimatisasi kemungkinan disebabkan penguapan planlet yang tinggi
karena masih mempunyai kutikula yang tipis. Van Huylenbroeck dan Debergh
(1996) menyebutkan bahwa selama proses aklimatisasi, planlet harus beradaptasi
terhadap lingkungan baru, seperti tingkat kelembaban yang rendah, tingkat
intensitas cahaya yang tinggi, fluktuasi suhu dan stress penyakit.

2.4  Faktor Keberhasilan Pertumbuhan Embrio Somatik


Pembentukan embrio somatik dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara
lain jenis eksplan, sumber nitrogen dan gula, serta zat pengatur tumbuh
(Purnamaningsih, 2002).
a. Jenis eksplan
13

Penggunaan jenis eksplan yang bersifat meristematik dapat meningkatkan


keberhasilan dalam embriogenesis somatik. Jenis eksplan yang umum digunakan
antara lain, aksis embrio zigotik muda dan dewasa, kotiledon, mata tunas, dan
epikotil maupun hipokotil. Seleksi bahan eksplan yang cocok merupakan faktor
penting yang menentukan keberhasilan kultur jaringan. Tiga aspek utama yang
harus diperhatikan dalam seleksi bahan eksplan yaitu genotipe, umur dan kondisi
fisiologis bahan tersebut.
Walaupun tanaman dapat diperoleh dari sejumlah besar genotipe,
kemampuan regenerasi setiap genotipe sangat berbeda. Pengaruh genotipe pada
proliferasi sel dapat dilihat pada kapasitas regeneratifnya. Pada umumnya
tanaman dikotil lebih mudah berproliferasi pada kultur in vitro daripada tanaman
monokotil. Selain itu tanaman Gymnospermae memiliki kapasitas regeneratif
yang lebih terbatas dibandingkan dengan tanaman Angiospermae. Tanaman yang
umumnya mudah diperbanyak melalui teknik perbanyakan vegetatif konvensional
akan mudah pula diperbanyak melalui teknik kultur jaringan. Pada umumnya
tanaman monokotil lebih sulit diperbanyak daripada tanaman dikotil baik secara
vegetatif konvensional maupun melalui kultur jaringan.
Jaringan-jaringan yang sedang aktif tumbuh (jaringan muda dan lunak)
pada masa pertumbuhan merupakan bahan eksplan yang paling baik karena pada
umumnya jaringan tersebut lebih mudah berproliferasi daripada jaringan berkayu
atau yang sudah tua. Jaringan muda biasanya memiliki kapasitas regeneratif yang
tinggi dan seringkali digunakan sebagai bahan penelitian.
Kondisi fisiologis eksplan memiliki peranan penting bagi keberhasilan
kultur jaringan pada umumnya bagian vegetatif lebih siap beregenerasi daripada
bagian generatif. Kondisi fisiologis dari suatu tanaman bervariasi secara alami,
sejalan dengan pertumbuhan tanaman yang melewati fase-fase yang berbeda dan
perubahan kondisi lingkungan. Suatu respons pertumbuhan tertentu di dalam
sistem kultur jaringan merupakan hasil interaksi antara kondisi fisiologis bahan
yang dikulturkan dengan faktor-faktor lingkungan.
Faktor lain yang mempengaruhi laju keberhasilan kultur jaringan adalah
ukuran eksplan yang digunakan. Hal itu penting dalam upaya memproduksi
tanaman bebas virus melalui kultur meristem. Di samping itu ukuran pun
14

menentukan laju kehidupan bahan eksplan yang dikulturkan. Semakin kecil


ukuran eksplan akan semakin kecil pula kemungkinan terjadinya kontaminasi baik
secara internal maupun eksternal, namun laju kehidupan pun akan rendah.
Sebaliknya semakin besar ukuran eksplan akan semakin besar pula kemungkinan
untuk berhasilnya proliferasi, namun kemungkinan untuk terjadinya kontaminasi
mikroorganisme akan semakin besar.
b. Sterilisasi Bahan
Kultur jaringan meliputi penanaman sel atau agregat sel, jaringan, dan
organ tanaman pada medium yang mengandung gula, vitamin, asam-asam amino,
garam-garam anorganik, air, zat pengatur tumbuh dan bahan pemadat. Komposisi
medium tumbuh ternyata sangat menguntungkan pula bagi pertumbuhan
cendawan dan bakteri. Bila terjadi kontaminasi, mikroorganisme akan tumbuh
dengan cepat dalam waktu yang singkat dan menutupi permukaan medium serta
eksplan yang ditanam. Selanjutnya mikroorganisme tersebut akan menyerang
eksplan melalui luka-luka akibat pemotongan dan penanganan pada sterilisasi
sehingga mengakibatkan kematian eksplan. Disamping itu mikroorganisme
mengeluarkan senyawa beracun ke dalam medium kultur yang dapat
menyebabkan kematian jaringan. Oleh karena itu, dalam inisiasi suatu kultur
harus diusahakan kultur yang aksenik artinya kultur hanya dengan satu macam
satu organisme yang diinginkan.
Untuk menghilangkan sumber infeksi, bahan tanaman harus disterilkan
sebelum ditanamkan pada medium tumbuh. Jaringan atau organ yang terinfeksi
jamur atau bakteri sistemik hendaknya dibuang.
c. Sumber nitrogen dan gula
Komposisi nutrisi dalam medium berperan penting dalam induksi dan
perkembangan embryogenesis somatik. Nitrogen merupakan faktor utama dalam
memacu morfogenesis secara in vitro. Menurut Ammirato (1983), bentuk nitrogen
reduksi (seperti NH4+ dan NO3-) dan beberapa asam amino (seperti glutamin dan
kasein hidrolisat) dapat membantu proses inisiasi dan perkembangan embrio
somatik. Young et al. (1999) dalam Purnamaningsih (2002) menambahkan bahwa
penambahan asam amino dapat merangsang terjadinya komunikasi di antara sel
dan jaringan pada organ multiseluler. Akan tetapi, konsentrasi NO3- yang terlalu
15

tinggi dapat meningkatkan pH medium sehingga kalus tidak membentuk embrio


somatik.
Selain nitrogen, gula juga merupakan komponen nutrisi yang harus
diberikan ke medium pertumbuhan. Gula berfungsi sebagai sumber karbon dan
mempertahankan tekanan osmotik pada medium. Anhazhagan dan Ganapathi
mengamati pengaruh beberapa jenis gula (glukosa, sukrosa, fruktosa, dan maltosa)
terhadap pembentukan kalus embriogenik. Penambahan sukrosa ke dalam
medium kultur menghasilkan jumlah embrio somatik paling banyak dibandingkan
jenis gula yang lain (tabel 2.1).
d. Media tanam
Media merupakan faktor utama dalam perbanyakan dengan kultur
jaringan. Komposisi media yang digunakan tergantung dengan jenis tanaman yang
akan diperbanyak. Media yang digunakan biasanya terdiri dari garam mineral
unsur hara makro dan unsur hara mikro, vitamin, dan zat pengatur tumbuh
(hormon). Selain itu, diperlukan juga bahan tambahan seperti agar, gula, arang
aktif, dan bahan organik lainnya .Media yang sudah jadi ditempatkan pada tabung
reaksi atau botol-botol kaca. Media yang digunakan juga harus disterilkan dengan
cara memanaskannya menggunakan autoklaf. Berikut adalah jenis-jenis media
yang dapat digunakan untuk kultur jaringan tanaman: Berdasarkan asalnya, media
dibagi menjadi 2, yaitu:
1. Media alami
Media alami merupakan media yang berasal dari cairan jaringan embrio
dan medium plasma darah. Plasma darah merupakan komponen terbesar dalam
darah, karena lebih dari separuh darah mengandung plasma darah. Untuk bahan
alami ini masih digolongkan ke dalam tiga kategori lagi, yakni:
1. Koagulat misalnya koagulan plasma darah dan kolagen
2. Cairan biologis misalnya berupa serum
3. Ekstrak jaringan misalnya berupa ekstrak embrio
2. Media Sintetik
Media sintetik merupakan media yang dibuat secara kimia, misalnya
DMEM (Dulbeccoir M'odp'ied Eagle Medium) dan RPMI (Roswell Park
16

Memorial Institute medium). Berdasarkan kebutuhannya media buatan dibagi


menjadi 3, yaitu:
1. Minimum essential medium (MEM), yaitu medium dasar yang tersusun atas
asam amino esensial, vitamin dan BSS.
2. Medium pemeliharaan (Maintenance medium/MM), yaitu medium yang
digunakan untuk memelihara kehidupan sel dalam metaboisme renda dan
jangka waktu yang cukup lama. Medium ini terdiri dari Minimum essential
medium (MEM) dan serum berkonsentrasi rendah (2-5%).
3. Medium penumbuh (growth medium) yaitu, medium yang diperkaya dengan
nutrien-nutrien untuk menumbuhkan kultur sel secara cepat, medium ini
ditambahkan serum cukup banyak (10 – 20 %). 
e. Zat pengatur tumbuh
Zat pengatur tumbuh merupakan suatu senyawa organik yang berperan
dalam pertumbuhan dan perkembangan kultur. Konsentrasi yang digunakan
berbeda-beda tergantung dari fase pertumbuhan yang terjadi. Konsentrasi yang
tinggi diberikan pada tahap induksi sel, sedangkan pada tahap pendewasaan zat
pengatur tumbuh diberikan dengan konsentrasi yang rendah. Macam zat pengatur
tumbuh tersebut dapat berupa auksin (2,4-D; 3,5-T; picloram; dan NAA), dan
sitokinin (Benzil adedin/BA, kinetin, dan adenine sulfat). Zat pengatur tumbuh
yang paling sering digunakan adalah auksin sintetik 2,4-D karena efektif  untuk
induksi kalus embriogenik dan tahap terhadap degradasi reaksi enzimatik maupun
fotooksidasi.
Proses pembentukan embriogenesis somatik dikendalikan oleh berbagai
gen yang saling terkait. Hiwatashi dan Fukuda (2000) mengisolasi 6 homeobox
gen (CHBs) yang dikelompokkan sebagai famili HD (homeo-domain) Zip I dari
embrio dan bibit wortel. Hasil analisis menunjukkan bahwa jumlah m-RNA dari
gen CHB3, CHB4, CHB5, dan CHB6 meningkat sesuai dengan perkembangan
embrio somatik. Akumulasi m-RNA dari gen-gen tersebut tampak pada beberapa
lokasi yang berbeda dalam embrio dan bibit wortel sesuai dengan tahap
perkembangannya.
Pada embrio, akumulasi m-RNA dari CHB3 terlihat pada bagian aksis
embrio pada fase globular, sedangkan pada awal fase hati sampai akhir torpedo,
17

akumulasi m-RNA dari CHB3 tampak pada bagian paling dalam dari sel-sel
korteks. Lapisan paling dalam dari sel-sel korteks tersebut berbeda dengan sel-sel
korteks lain di mana lapisan tersebut banyak mengandung vakuola dan plastida.
Lapisan ini akan berdiferensiasi membentuk sistim pembuluh. Ekspresi dari gen
CHB4 dan CHB5 mulai terlihat pada fase torpedo. Hasil yang diperoleh
menunjukkan bahwa ekspresi dari gen CHB3, CHB4, dan CHB5 kemungkinan
berhubungan dengan diferensiasi dari lapisan sel-sel korteks yang paling dalam.
Peningkat-an jumlah m-RNA dari gen CHB6 terlihat pada jaringan pembuluh
yang masih muda dari fase hati hingga terbentuknya embrio somatik. Hal ini
menunjukkan bahwa gen CHB6 kemungkinan berhubungan dengan diferensiasi
dan perkembangan sistem pembuluh.

2.5  Masalah-masalah Dalam Embriogenesis Somatic Secara In Vitro


Dalam kegiatan kultur jaringan, tidak sedikit masalah-masalah yang
muncul sebagai pengganggu dan bahkan menjadi penyebab tidak tercapainya
tujuan kegiatan kultur yang dilakukan. Gangguan kultur secara umum dapat
muncul dari bahan yang ditanam, dari lingkungan kultur, maupun dari
manusianya. Permasalahan dalam kultur ada yang dapat diprediksi sebelumnya
dan ada pula yang sulit diprediksi kejadiannya. Untuk yang tidak dapat diprediksi,
cara mengatasinya tidak dapat secara preventif tetapi diselesaikan setelah kasus
itu muncul. Adapun masalah-masalah yang terjadi dalam kultur jaringan yaitu:
1. Kontaminasi
Kontaminasi adalah gangguan yang sangat umum terjadi dalam kegiatan
kultur jaringan. Munculnya gangguan ini bila dipahami secara mendasar adalah
merupakan sesuatu yang sangat wajar sebagai konsekuensi penggunaan yang
diperkaya. Fenomena kontaminasi sangat beragam, keragaman tersebut dapat
dilihat dari jenis kontaminasinya (bakteri, jamur, virus, dll). Upaya mencegah
terjadinya kontaminsi:
a. Biasakan membersihkan berbagai sarana yang diperlukan dalam kultur
jaringan.
b. Yakinkan bahwa proses sterilisasi media secara baik dan benar.
c. Lakukan proses penanaman bahan pada keadaan anda nyaman dan cari
waktu yang longgar.
18

2. Pencoklatan/browning
Pencoklatan adalah suatu karakter munculnya warna coklat atau hitam
yang sering membuat tidak terjadinya pertumbuhan dan perkembangan eksplan.
Peristiwa pencoklatan sesunggguhnya merupakan peristiwa alamiah yang biasa
yang sering terjadi. Pencoklatan umumnya merupakan suatu tanda-tanda
kemunduran fisiologi eksplan dan tidak jarang berakhir pada kematian eksplan.
3. Vitrifikasi
Vitrifikasi adalah suatu istilah problem pada kultur yang ditandai dengan:
Munculnya pertumbuhan dan pertumbuhan yang tidaknormal. Tanaman yang
dihasikan pendek-pendek atau kerdil. Pertrumbuhan batang cenderung ke arah
penambahan diameter Tanaman utuhnya menjadi sangat turgescent.
Pada daunnya tidak memiliki jaringan pallisade..
4. Variabilitas Genetik
Bila kultur jaringan digunakan untuk upaya perbanyakan tanaman yang
seragam dalam jumlah yang banyak, dan bukan sebagai upaya pemuliaan tanaman
maka variasi genetik adalah kendala. Variasi genetik dapat terjadi pada kultur in
vitro karena:
Laju multiflikasi yang tinggi, variasi terjadi karena terjadinya sub kultur
berulang yang tidak terkontrol. Penggunaan teknik yang tidak sesuai.   
Variasi genetik yang paling umum terjadi pada kultur kalus dan kultur -suspensi
sel, hal tersebut terjadi karena munculnya sifat instabilitas kromosom mungkin
akibat teknis kultur, media atau hormon. Cara mengatasi masalah variasi genetik
tentunya tidak sederhana, harus memperhatikan aspek yang dikulturkan.
5. Pertumbuhan dan Perkembangan
Masalah utama berkaitan dengan proses pertumbuhan adalah bila eksplan
yang ditanam mengalami stagnasi, dari mulai tanam hingga kurun waktu tertentu
tidak mati tetapi tidak tumbuh. Untuk menghindari hal itu dapat dilakukan dengan
preventif menghindari bahan tanam yang tidak juvenil atau tidak meristematik.
Karena awal pertumbuhan eksplan akan dimulai dari sel-sel yang muda yang aktif
membelah, atau dari sel-sel tua yang muda kembali.
19

Media juag dapat menjadi sebab terjadinya stagnasi pertumbuhan, karena


dari kondisi medialah suatu sel dapat atau tidak terdorong melakukan proses
pembelahan dan pembesaran dirinya.
Pada proses klutur jaringan yang bersifa inderict embriogenesis, tahapan
pembentukan kalus harus dilanjutkan dengan mendorong induksi embriosomatik
dari sel-sel kalus. Terjadinya embrio somatik dapat secara endogen atau eksogen.
6. Praperlakuan
Masalah pada kegiatan in vitro bukan hanya dari penanaman eksplan saja,
pertumbuahn dan perkembangannya dlama botol saja tetapi juga sangat bisa
dipengaruhi oleh persyaratan kegiatan prapelakuan. Pada kasus ini masalah akan
muncul bila kegiatan prapelakuaan tidak dilakukan. Prapelakuan dilakukan
umumnya untuk tujuan-tujuan tertentu, secara umum adalah dalam rangka
menghilangkan hambatan. Hambatan apat berupa hambatan kemikalis, fisik,
biologis. Hambatan berupa bahan kimia penanganannya harus dimulai dari
pengenalan senyawa aktif, potensi gangguan, proses reaksi dan alternatif
pengelolaannya.
7. Lingkungan Mikro
Masalah lingkungan inkubator juga tidak bisa diabaiakan karena ini juga
sering menjadi masalah. Suhu ruangan inkubator sangat menentukan optimasi
pertumbuhan eksplan, suhu yang terlalu rendah aatau tinggi dapat mempengaruhi
pertumbuhan dan perkembangan pada eksplan.
Kebutuhan antara satu tananaman dengan tanaman yang lain berbeda,
namunddemikian solusinya sulit dilakukan mengingat umumnya ruangan
inkubator suatu ruangan laboratorium kultur jaringan tidak bisa dibuat variasi
antara satu ruangan dengan bagian ruangan yang lainnya. Sehingga optimasi
pertumbuhan tidak bisa diharapkan sama antara kultur yang satu dengan kultur
yang lain.

2.6  Manfaat Embriogenesis Somatik In-Vitro


Kegunaan utama dari kultur jaringan adalah untuk mendapatkan tanaman
baru dalam jumlah banyak dalam waktu yang relatif singkat, yang mempunyai
sifat fisiologi dan morfologi sama persis dengan induknya. Dari teknik kultur
jaringan tanaman ini diharapkan juga memperoleh tanaman baru yang bersifat
20

unggul. Secara lebih rinci dan jelas berikut ini akan dibahas secara khusus
kegunaan dari kultur jaringan terhadap berbagai ilmu pengetahuan. Antara lain:
1. Menghasilkan jutaan klon dapat dihasilkan dalam waktu singkat dengan
jumlah material awal yang sedikit
2. Teknik kultur jaringan menawarkan suatu alternatif  bagi spesies-spesies yang
resisten terhadap sistem perbanyakan vegetatif konvensional dengan
melakukan manipulasi terhadap faktor-faktor lingkungan, termasuk
penggunaan zat pengatur tumbuh.
3. Kemungkinan untuk mempercepat pertukaran bahan tanaman di tingkat
internasionalua proses dilakukan di bawah kondisi lingkungan yang terkendali
di laboratorium ataupun rumah kaca.
4. Bibit yang dihasilkan bebas penyakit (menggunakan organ tertentu).
5. Biaya pengangkutan bibit relatif lebih murah dan mudah.
6. Dalam proses pembibitan bebas dari gangguan hama, penyakit, dan deraan
lingkungan lainnya.
7. Dapat diperoleh sifat-sifat yang dikehendaki.
8. Metabolit sekunder tanaman segera didapat tanpa perlu menunggu tanaman
dewasa.
9. Kultur jaringan juga mempunyai manfaat yang besar dibidang farmasi, karena
dari usaha ini dapat dihasilkan metabolit skunder upaya untuk pembuatan
obat-obatan, yaitu dengan memisahkan unsur-unsur yang terdapat di
dalam kalus ataupun protokormus,misalnya alkoloid, steroid, dan terponoid.
10. Beberapa jenis tanaman ada yang teramcam punah (endangered species),
misalnya berbagai jenis tanaman pisang, tanaman melati, kenanga, kayu jati,
dan kayu putih. Usaha yang paling tepat untuk melestarikan tanaman yang
terancam punah adalah dengan jalan kloning. Dengan usaha kloning ini,
populasi dari tanaman tersebut akan terselamatkan, bahkan dapat bertambah,
sekaligus sifat-sifat yang dimiliki oleh tanaman tersebut tetap terjamin.
11. Kultur jaringan juga memberikan masukkan atau informasi pengetahuan yang
sangat bermanfaat dibidang fisiologi tanaman. Pada tanaman anggrek
misalnya, telah berhasil diketahui bahwa jika ujung akarnya diiris melintang
akan memperlihatkan warna tertentu. Warna tersebut nantinya akan sama
21

dengan warna bunganya. Hal ini sangat berguna dalam bidang perdangan
bunga hias, sebab walaupun tanamannya belum berbunga orang sudah dapat
mengetahui warna bunga yang akan muncul.

2.7  Kerugian dari Embriogenesis Somatik Secara In-Vitro


Selain memberikan keuntungan yang besar embriogenesis somatic secara
invitro juga memberikan kerugian, antara lain :
1. Bagi orang tertentu, cara kultur jaringan dinilai mahal dan sulit.
2. Membutuhkan modal investasi awal yang tinggi untuk bangunan
(laboratorium  khusus), peralatan dan perlengkapan.
3. Diperlukan persiapan SDM yang handal untuk mengerjakan perbanyakan
kultur jaringan agar dapat memperoleh hasil yang memuaskan.
4. Produk kultur jaringan pada akarnya kurang kokoh.
5. Mengancam keanekaragaman hayati.

2.8  Kendala Dalam Penerapan Embriogenesis Somatik Secara In-Vitro Di


Masyarakat
Teknik kultur jaringan sampai saat ini memang belum biasa dilaksanakan
oleh para petani, baru beberapa kalangan pengusaha swasta saja yang sudah
mencoba melaksanakannya, karena pelaksanaan teknik kultur jaringan tanaman
memerlukan keterampilan khusus dan harus dilatar belakangi dengan ilmu
pengetahuan dasar tentang fisiologi tumbuhan, anatomi tumbuhan, biologi, kimia
dan pertanian. Dengan demikian jelas akan amat sulit untuk diterima oleh
kalangan petani biasa. Di samping itu, pelaksanaan teknik kultur jaringan mutlak
memerlukan laboratorium khusus, walaupun dapat di usahakan secara sederhana
(dalam ruang yang terbatas), namun tetap memerlukan peralatan yang memadai.
Kemungkinan lain petani akan merasa enggan bekerja secara aseptik..
Pekerjaan kultur jaringan meliputi: persiapan media, isolasi bahan tanam
(eksplan), sterilisasi eksplan, inokulasi eksplan, aklimatisasi dan usaha
pemindahan tanaman hasil kultur jaringan ke lapang. Pelaksana harus bekerja
dengan teliti dan serius, karena setiap tahapan pekerjaan tersebut memerlukan
penanganan tersendiri dengan dasar pengetahuan tersendiri. Karena semua
pekerjaan harus dilaksanakan secara hati-hati dan cermat serta memerlukan
22

kesabaran yang tinggi. Biaya untuk mewujudkan perbanyakan tanaman secara in


vitro ini juga sangat mahal, kecuali kita meramu medium sendiri. Bila kita
terpaksa harus membeli medium yang sudah jadi (dalam kemasan) jelas akan
sangat mahal, sebab medium yang sudah jadi masih harus di impor dari luar
negeri. Apalagi kita harus membeli saran untuk perlakuan isolasi dan fusi
protoplas, tentu biayanya akan bertambah besar. Enzim-enzim yang digunakan
dalam kultur jaringan juga masih dibeli dari luar negeri seperti Jepang.
Lepas semua dari kendala-kendala tersebut diatas, kita harus mengakui bahwa
teknik kultur jaringan sangat bermanfaat bagi dunia ilmu pengetahuan, terutama
untuk pengembangan bioteknologi.
23

BAB III
HASIL PENELITIAN TERKAIT EMBRIOGENESIS SOMATIK
3.1. “Embriogenesis Somatik Jeruk Keprok (Citrus reticulata L. cv Batu 55)
Asal Hasil Perlakuan Kolkisin “
Agus Purwito 1*, Mohamad Prayogi 1 , Mia Kosmiatin2 dan Ali Husni2 Diterima
27 Agustus 2015/Disetujui 18 November 2015

Di antara tanaman buah, tanaman jeruk merupakan tanaman hortikultura


yang sangat penting (Martasari, 2008). Pada umumnya tanaman jeruk
dibudidayakan untuk menghasilkan buah untuk konsumsi segar (Suyamto et al.,
2005). Buah jeruk di pasaran yang diminati masyarakat umumnya yang memiliki
rasa manis, mudah dikupas, warna kulit buah yang menarik dan mulus, serta tanpa
biji (seedless) (Martasari, 2008).
Buah tanpa biji dapat dihasilkan melalui beberapa cara, antara lain melalui
mutasi, kultur endosperma (Kosmiatin et al., 2014), rekayasa genetika, fusi
protoplas (Husni et al., 2010) atau melalui persilangan antara tetua diploid dengan
tetua tetraploid yang akan menghasilkan tanaman triploid (Martasari, 2008).
Tanaman triploid akan mengalami kegagalan dalam proses meiosis, sehingga
buah yang terbentuk tidak menghasilkan biji atau menghasikan biji yang sedikit
(seedless) (Yulianti et al., 2014). Tanaman jeruk tetraploid dapat dihasilkan
melalui proses poliploidisasi menggunakan kolkisin, dimana kolkisin akan
menginduksi terjadinya endomitosis (Chawla, 2009).
Hasil penelitian terbaru menunjukkan adanya peningkatan keberhasilan
dalam pengembangan metode yang efisien dalam regenerasi in vitro melalui
induksi ES tanaman jeruk (El-Sawy et al., 2013; Golami et al., 2013; Gill et al.,
1995; Husain et al., 2015), akan tetapi banyak penelitian juga melaporkan adanya
perbedaan metoda yang signifikan antar kultivar dan jenis eksplan yang
digunakan. Penelitian Dewi et al. 2014, menunjukkan bahwa jeruk besar kultivar
Nambangan dapat dikonservasi secara in vitro dengan induksi pertumbuhan
minimal melalui zat pengatur tumbuh paclobutrazol dan mannitol. Metode
embriogenesis somatik telah dilaporkan berhasil dengan menggunakan eksplan
nuselus (Kosmiatin et al., 2015; AlTaha et al., 2011; Rangan et al., 1968),
24

3.2. Hasil dan pembahasan


1. Proliferasi Kalus Embriogenik
Proliferasi kalus embriogenik merupakan salah satu tahap ES yang
bertujuan untuk memperbanyak ES fase globular.
Tabel 1. Pengaruh konsentrasi Phytagel terhadap jumlah ES fase globular eksplan
kalus embriogenik yang dihasilkan perlakuan kolkisin.
Perlakuan ES Fase Globular pada Minggu ke
1 3 5 7
Phytagel (gr L-1 )
2.5 17.6 a 16.0 16.6 18.8 a
3.0 8.0 b 11.6 14.6 7.8 b
3.5 13.6 ab 11.0 12.0 10.4 b
4.0 9.8 b 12.6 12.8 10.8 b
Uji F * tn tn *
Keterangan: Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang berbeda
menunjukkan berbeda nyata pada taraf α = 5% (uji DMRT)

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa Phytagel 2.5 mg L -1 menghasilkan ES


terbanyak, sedangkan kenaikan konsentrasi sampai 4.0 mg L-1 mengakibatkan
penurunan jumlah ES fase globular yang terbentuk. Zhang et al. (2010) juga
mendapatkan hasil yang sama pada induksi ES pada tanaman kapas. Peningkatan
kekerasan media dapat mengurangi terbentuknya ES fase globular, bahkan dapat
mengurangi jumlah ES karena membentuk ES fase yang lebih dewasa (Husain et
al., 2015). Jumlah ES fase globular yang dihasilkan pada perlakuan Phytagel 2.5 g
L-1 berbeda nyata dengan konsentrasi 3 g L-1 , 3.5 g L-1 , dan 4 g L-1 pada
minggu pertama dan ke-7. Uji F menunjukkan bahwa pada minggu ke-3 dan ke-5
antar perlakuan Phytagel tidak ada perbedaan, namun demikian jumlah ES fase
globular yang dihasilkan perlakuan Phytagel 2.5 g L-1 adalah yang terbaik. Tabel
1 menunjukkan bahwa perlakuan Phytagel 2.5 g L -1 memiliki jumlah ES fase
globular terbanyak pada setiap minggu pengamatan. Embrio somatik fase globular
juga dapat berkembang membentuk ES dewasa yaitu fase jantung, fase torpedo,
dan fase kotiledon.

2. Pendewasaan Embrio Somatik


25

Pendewasaan ES merupakan perkembangan ES fase globular sampai


menjadi ES fase kotiledon. Pendewasaan ES merupakan tahapan penting dalam
keberhasilan embriogenesis somatik (Kosmiatin et al., 2014). Pendewasaan ES
pada tanaman jeruk sangat tergantung pada jenis dan konsentrasi zat pengatur
tumbuh (Husni et al., 2010)
Tabel 2. Rata-rata jumlah ES fase jantung, fase torpedo dan fase kotiledon yang
terbentuk dari lima eksplan awal ES fase globular jeruk keprok Batu 55
sampai minggu ke-9 setelah kultur pada media pendewasaan dengan
penambahan ABA.
Konsentrasi Minggu ke-
ABA (mg L-1 )
5 7 9
FJ FT FK FJ FT FK FJ FT FK
4.5 ab 0.3 0.5 6.3 0.3 1.0 5.5 0.2 3.0
2,8 b 0.2 0.3 6.5 0.2 0.8 5.2 0.2 2.8
4.1 ab 0.2 0.3 8.5 0.3 0.5 6.2 0.3 3.3
7.3 a 0.2 0.7 11 0.8 1.0 7.6 0.7 4.2
Uji F * tn tn tn tn tn tn tn tn
Keterangan: FJ: Fase Jantung; FT: Fase Torpedo; FK: Fase Kotiledon. Angka
pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang berbeda
menunjukkan berbeda nyata pada taraf α = 5% (uji DMRT)

Tabel 2 menunjukkan bahwa media pendewasaan ES dengan perlakuan


ABA berpengaruh terhadap pembentukan ES fase jantung. Pada minggu ke-5
menunjukkan bahwa perlakuan ABA 0.5 mg L-1 berbeda nyata dibandingkan
dengan perlakuan konsentrasi ABA lainnya. Pada minggu ke-7 dan ke-9 ES fase
jantung yang terbentuk tidak berbeda nyata antar perlakuan. Perlakuan ABA 0.5
mg L -1 memiliki jumlah ES fase jantung terbanyak. Walaupun eksplan awal
yang ditanam berjumlah 5 ES fase globular, namun pada minggu ke-5 dan
seterusnya, telah berkembang ES baru yang kemungkinan merupakan embrio
somatik sekunder (Kiong et al., 2008). Tabel 2 juga menunjukkan bahwa
penambahan 0.5 mg L-1 ABA menghasilkan ES fase jantung terbaik. Embrio
somatik fase jantung yang terbentuk berkembang ke fase selanjutnya pada minggu
ke-9.
Perlakuan ABA tidak berpengaruh nyata terhadap pembentukan ES fase
torpedodan ES fase kotiledon. Tabel 2 menunjukkan bahwa penambahan 0.5 mg
26

L-1 ABA cenderung menghasilkan ES fase torpedo dan ES fase kotiledon terbaik.
Setiap minggu ES fase torpedo yang dihasilkan bertambah dan berkurang. Hal ini
karena ES fase torpedo berkembang menjadi kotiledon atau berdediferensiasi
menjadi kalus kembali. Pada umur tujuh minggu setelah kultur (MSK) jumlah
rata-rata ES fase torpedo pada perlakuan ABA 0.5 mg L-1 adalah yang terbanyak.
Media pendewasaan dengan perlakuan ABA 0.3 mg L-1 menghasilkan ES fase
torpedo terbaik pada minggu ke-5, sedangkan perlakuan ABA 0.1 mg L-1 dan
media tanpa ABA menghasilkan ES fase torpedo yang sama pada minggu ke-9.
Embrio somatik fase kotiledon mulai terbentuk pada minggu ke-5 dan
meningkat pada minggu ke-9. Tabel 2 menunjukkan bahwa jumlah ES fase
kotiledon pada 9 MSK meningkat sangat cepat. Perkembangan ES membentuk
fase jantung, torpedo, dan kotiledon meningkat seiring dengan penambahan
konsentrasi ABA. Pemberian ABA berkonsentrasi 0.5 mg L-1 menghasilkan ES
fase jantung, fase torpedo, dan fase kotiledon terbaik. Husni et al. (2010) juga
mendapatkan konsentrasi ABA yang sama untuk pendewasaan ES jeruk siam
Simadu. Pada penelitian ini persentase pendewasaan yang terbaik adalah jika ES
fase globular ditanam pada media dengan penambahan ABA 0.5 mg L-1 yaitu
sebesar 82%.
3. Perkecambahan Embrio Somatik
Perkecambahan ES merupakan proses yang terjadi setelah fase
pendewasaan. Perkecambahan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti
faktor lingkungan sepert suhu dan cahaya, serta komposisi ZPT yang terdapat
pada media perkecambahan (Merigo, 2011). Jenis vitamin juga berpengaruh
terhadap perkecambahan ES (Kosmiatin et al., 2015).
27

Gambar 1. Pengaruh jenis vitamin terhadap (a) persentase embrio somatik yang
berkecambah dan (b) persentase planlet yang terbentuk.
Pada Gambar 1 (a) terlihat bahwa perlakuan vitamin MW menghasilkan
persentase kecambah lebih baik dibandingkan dengan perlakuan vitamin MS.
Persentase kecambah yang diamati merupakan gabungan antara kecambah normal
dan abnormal. Persentase kecambah yang dihasilkan pada perlakuan vitamin MW
adalah sebesar 67.2-85.9%, sedangkan persentase kecambah yang dihasilkan pada
perlakuan vitamin MS sebesar 55.4- 80.1%. Peningkatan persentase kecambah
pada perlakuan vitamin MW cenderung lebih stabil dibandingkan dengan
perlakuan vitamin MS pada minggu ke-2 sampai minggu ke-6.
Gambar 1 (b) menunjukkan bahwa perkecambahan yang sempurna, yaitu
menghasilkan planlet mulai terjadi pada minggu ke-4. Perlakuan vitamin MW
menghasilkan planlet sebesar 5.2%, sedangkan perlakuan vitamin MS
menghasilkan planlet sebesar 4.3% ES yang berkecambah. Peningkatan jumlah
planlet terus terjadi sampai minggu ke10, dimana perlakuan penambahan vitamin
MS menghasilkan planlet sebanyak 43.1%, sedangkan penambahan dengan
vitamin MW memilik persentase sebanyak 39.2%. Penelitian Merigo (2011)
menghasilkan planlet dengan persentase sebanyak 84% dengan perlakuan GA3
2.5 mg L-1 . Rendahnya persentase ES fase kotiledon yang membentuk planlet
pada percobaan ini diduga karena adanya keragaman jumlah kromosom pada
eksplan yang digunakan.
4. Pertumbuhan Tunas dan Akar
Proses pemanjangan tunas dan pertumbuhan akar bertujuan untuk
mengoptimalkan ukuran planlet agar dapat tumbuh pada saat aklimatisasi in vivo.
Ukuran planlet dioptimalkan dengan menanam pada media yang ditambahkan
vitamin dan ZPT. Vitamin yang digunakan adalah vitamin MS dan vitamin MW,
28

sedangkan ZPT yang digunakan adalah NAA, IAA, IBA dengan konsentrasi 0.5
mg L -1 .
Tabel 3. Pengaruh ZPT terhadap pertambahan tinggi tunas dan pertambahan
panjang akar pada 4 MST.
Perlakuan Pertambahan Tinggi Pertambahan Panjang
Tunas (cm) Akar (cm)

Vitamin
MS 0.44 0.21
MW 0.34 0.26
Uji F tn tn
ZPT
NAA 0.28 0.19
IAA 0.29 0.22
IBA 0.59 0.31
Uji F * tn
Interaksi tn tn
Keterangan: Angka pada kolom yang sama, diikuti oleh huruf yang berbeda
menunjukkan berbeda nyata pada taraf α = 5% (uji DMRT)

Hasil analisis data secara statistik menunjukkan tidak ada interaksi antara
vitamin dan ZPT yang diberikan. Zat pengatur tumbuh secara tunggal
berpengaruh nyata terhadap pertambahan tinggi tunas dan tidak berpengaruh nyata
terhadap pertambahan panjang akar. Perlakuan vitamin secara statistik juga tidak
berpengaruh terhadap pertambahan tinggi tunas dan panjang akar. Uji lanjut
dengan Duncan Multiple Range Test (DMRT) pada selang kepercayaan 95%
menunjukkan bahwa IBA berkonsentrasi 0.5 mg L -1 adalah yang terbaik untuk
meningkatkan pertumbuhan tunas (Tabel 3).
29

Gambar 4. Induksi embriogenesis somatik tanaman jeruk keprok cv Batu 55.


Proliferasi kalus (a) terbentuknya ES fase globular, (b) perlakuan
Phytagel 2.5 g L-1 , (c) perlakuan Phytagel 3.0 g L-1 , (d) perlakuan
Phytagel 3.5 g L-1 , (e) perlakuan Phytagel 4.0 g L-1 ). Pendewasaan
ES (f) fase jantung, (g) fase torpedo, (h) fase kotiledon normal, (i)
kotiledon abnormal. Perkecambahan ES dewasa (j) planlet pada
perlakuan vitamin MS, (k) planlet pada perlakuan vitamin MW.
Pemanjangan akar dan tunas, perlakuan vitamin MS (l) NAA, (m)
IBA, (n) IAA. Perlakuan vitamin MW (o) NAA, (p) IAA, dan (q)
IBA.

BAB IV
PENUTUP
4.1. Kesimpulan
30

 Embriogenesis somatik adalah sistem model untuk pemuliaan tanaman


konvensional, perbanyakan massa, dan perbaikan genetik yang cepat dari
tanaman penting secara komersial.
 Induksi embriogenesis somatik sedang diperiksa di tingkat molekuler.
 Beberapa gen 'spesifik embrio' telah diisolasi dari kultur sereal
embriogenik, dan beberapa penanda molekuler untuk membedakan antara
kultur embriogenik dan non-embriogenik telah diidentifikasi.
 Jadi penelitian masa depan untuk analisis molekuler dalam embriogenesis
somatik harus fokus tidak hanya pada isolasi gen selama perkembangan
embrio tetapi juga pada signifikansi biologisnya.
4.2. Saran
Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, teknik
kultur jaringan memberikan sumbangan yang bermanfaat bagi dunia pertanian,
perkebunan dan dunia pendidikan. Namun, terlepas dari kelebihan itu semoga
teknik pembiakan tanaman dengan cara kultur jaringan ini dapat diterapkan dalam
kehidupan bermasyarakat untukmenciptakan perekonomian maupun pendidikan
Indonesia kea rah yang lebih baik.
31

DAFTAR PUSTAKA

Agisimanto, D., N.M. Noor, R. Ibrahim, A. Mohamad. 2011. Efficient somatic


embryo production of limau madu (Citrus suhuiensis Hort. ex Tanaka) in
liquid culture. African J. of Biotech. 11(12): 2879-2888.

Al-Taha, H.A.K., A.M. Jasim, M.F. Abbas. 2012. Somatic embryogenesis and
plantlet regeneration from nucleus tissues of local orange (Citrus sinensis
(L.) Osbeck). Acta Agric. Slovenica. 99(2): 185-189.

Amin, H., A. Shekafandeh. 2015. Somatic embryogenesis and plant regeneration


from juice vesicles of Mexican Lime (Citrus aurantifolia L.). Jordan
Journal of Agricultural Sciences. 11(2): 495-503.

Benelli, C., M.A. Germana, T. Ganino, D. Beghe. 2010. Morphological and


anatomical observations of abnormal somatic embryos from anther
cultures of Citrus reticulata. Biol. Plant. 54(2): 224 230.

Button, J., C.H. Bornman. 1971. Development of nucellar plants from


unpollinated and unfertilized ovules of the Washington Navel Orange in
vitro. J. S. Afr. Bot. 37: 127 134.

Cardoza, V., L. D’Souza. 2002. Induction, development and germination of


somatic embryos from nucellar tissues of cashew (Anacardium
occidentale L.). Sci. Hort. 93(3-4): 367-372.

Carimi, F., F. DePasquale, F.G. Crescimanno. 1995. Somatic embryogenesis in


citrus from styles culture. Plant Sci. 105: 81 86.

Carra, A., F. De Pasqualez, A. Ricci, F. Carimi. 2006. Diphenylurea derivatives


induced somatic embryogenesis in citrus. Plant Cell Tiss. Cult. 87: 41 48.

Chawla, H.S. 2009. Introduction to Biotechnology. Oxford & IBH Publishing


Company Pvt. Limited.

Devy, N.F., Yenni, Hardiyanto. 2014. The growth performance of citrus derived
from somatic embryogenesis plantlet and scion stock. Indones. J. Agric.
Sci. 15(2): 71-78.

Dewi, I.S., G.S. Jawak, B.S. Purwoko. 2014. Respon pertumbuhan kultur in vitro
jeruk besar (Citrus maxima (Burm.) Merr.) cv Nambangan terhadap
osmotikum dan retardan. J. Hort. Indonesia. 5(1): 21-28.

Dodeman, V.L., G. Ducreux, M. Kreis. 1997. Zygotic embryogenesis versus


somatic embryogenesis. J. Exp. Bot. 48: 1493-1509.
32

ika. Embryogenesis somatic. 2012.


http://ika246.blogspot.com/2012/05/embriogenesis-somatik
embriogenesis.html (diakses tanggal 4 Oktober 2012)

noname. Embriogenesis somatik.2008. 


http://id.scribd.com/doc/95735579/Embriogenesis-somatik. (diakses
tanggal 4 Oktober 2012)

paradabangsa. 2012.Perbanyakan tanaman melalui


kultur.http://www.peradabanbangsa.com/2012/04/perbanyakan-tanaman-
melalui-kultur.html(diakses tanggal4 Oktober 2012

Pendidikan Biologi.2013
http://pendidikanbiologiunirowtuban.blogspot.com/2013/12/makalah
somatik.html (Diakses tanggal 11 Juni 2020)

media. 2011. Somatic


embryogenesis.http://mediaperbanyakansecarakulturjaringan.blogspot.co
m/2010/11/somatic-embryogenesis-embrio-aseksual.html. (diakses
tanggal 4 Oktober 2012

Noname. 2010. Embryogenesis


somatic.http://contohmakalah.web.id/2010/12/embriogenesis-somatik-
pada-kultur-in-vitro-daun-kopi/ (akses tanggal 4 Oktober 2012)

Asgarsel.2010. kultur jaringan. http://asgarsel.blogspot.com/2010/11/kultur-


jaringan-adalah-suatu-metode.html. (akses tanggal 4 Oktober 2012)

Widya. 2010. Materi kuliyah. http://widya1990.wordpress.com/materi/ (diakses


tanggal 4 Oktober 2012)

Hanny. 2012. Kultur jaringan. http://hannylast.blogspot.com/2012/04/kultur-


jaringan.html(diakses tanggal 4 Oktober 2012)

Fransiska. 2011, makalah kultur


jaringan.http://thafransisca.wordpress.com/2011/01/30/makalah-kultur-
jaringan-lengkap/. (Akses tanggal 4 Oktober 2012)

Dwiekayanti. 2011. Makalah


embryogenesis.http://dwiekayanti.blogspot.com/2011/03/makalah-
embriogenesis-tumbuhan-dikotil.html.(diakses tanggal 4 Oktober 2012)

Iksanudin. 2010. Embryogenesis


somatic.http://ikhsanudin.wordpress.com/2010/12/05/embriogenesis-
somatik-pada-kultur-in-vitro-daun-kopi/ (diakses tanggal 4 Oktober
2012)
33

Anda mungkin juga menyukai