Anda di halaman 1dari 2

PESONA AHMET T KURU

Refleksi Bacaan 324-378 (54 halaman)

Jumat 02 Juli 2021 dan saya masih berada di ruang isolasi mandiri di wisma covid 19 pesantren
Darus-Sunnah Ciputat. Tidak banyak yang bisa kami lakukan selama masa isolasi ini kecuali
berjemur diri, jajan dan membaca buku. Ketiganya bermanfaat sebagai varian kegiatan kami
agar tidak jenuh.

Pagi ini saya berkesempatan melanjutkan bacaan buku Islam, Otoritarianisme dan
Ketertinggalan karya Ahmet T Kuru. Tepatnya dari halaman 324 sampai 378. Bahasan yang
termuat di dalamnya adalah terkait kebangkitan eropa barat, penjelasan alternatif mengenai
kemunduran dunia muslim, keruntuhan dunia muslim (kolonialisme barat abad 18 dan 19) dan
ditutup dengan wacana dominasi barat.

Abad 17-19 adalah abad di mana kekhalifahan Osmani tertatih-tatih bersaing dengan kemajuan
barat. Rentang abad ini ditemukan berbagai penemuan, mulai dari mesin cetak, revolusi
industri, dan revolusi teknologi di Eropa Barat. Respon kedua belah pihak, Osmani dan Eropa
Barat, terhadap realitas ini sangatlah menentukan. Data menunjukkan bahwa Eropa Barat yang
kala itu tengah bergairah menyongsong peradaban, didukung dengan independensi ilmuwan
atas cengkeraman pemerintah dan otoritas agama, mampu merseponnya dengan positif.
Sedangkan umat muslim, yang saat itu tengah diliputi imbas persekutuan ulama-negara yang
destruktif, meresponnya dengan negatif. Dampaknya adalah kemajuan untuk eropa Barat dan
kemunduran untuk muslim.

Contoh yang paling menarik yang disampaikan Ahmet T Kuru adalah perihal penerimaan mesin
cetak dari kalangan muslim. Saat mesin cetak ditemukan, pemerintah Osmani tidak langsung
memakainya, alih-alih malah menolaknya dikarenakan beberapa alasan. Pertama adalah adanya
instruksi langsung dari ulama terkat larangan memanfaatkan mesin cetak, hal ini diakibatkan
khawatirnya masuk dominasi asing lewat kerja percetakan. Kedua, karena di kalangan Osmani
kelas borjuis tidak menjadi kelas berpengaruh di kalangan kekhalifahan, akibatnya tidak ada
yang memodali pengadaan mesin cetak secara besar-besaran. Ketiga, tingkat literasi yang
rendah, hal ini berimbas pada minimnya permintaan untuk pencetakan ulang buku-buku. Dan
yang keempat, inilah yang terpenting, matinya gairah intelektual di kalangan Osmani. Hal ini
sangat bisa disalahkan, karena pemerintahan (dan jajaran ulama di dalamnya) yang memiliki
gairah intelektual yang tinggi akan merespon anugerah mesin cetak sebagai hal luar biasa yang
harus dimanfaatkan sebesar-besarnya.

Contohnya adalah dalam kasus penerjemahan al-Qur’an. Beberapa ulama merekomendasikan


penerjemahan al-Qur’an dalam bahasa Turki, namun tidak diindahkan oleh pemerintahan
Osmani, akibatnya quran baru bisa diterjemahkan ke bahasa Turki saat tahun 1924, setahun
setelah Republik Turki berdiri. Data statistik menyebutkan bahwa mesin cetak baru dipakai di
Usmani pada tahun 1729, sedang Eropa Barat sudah lama sebelum itu. Akibatnya, data statistik
menyebutkan bahwa sampai pada abad 18 jumlah buku yang dicetak di Usmani adalah 50.000
buku, terpaut jauh dengan Eropa Barat yang sudah mencapai satu juta buku. Masyaallah!
Data yang disajikan oleh Ahmet Kuru terkait perbandingan kultur intelektual di kesultanan
Osmani dan Eropa Barat begitu detail dan mencengangkan. Betapa pehatian kita semua,
terutama pemangku kebijakan negara, perihal mahalnya pengetahuan amatlah berdampak
terhadap kemajuan bangsa/negeri kita. Semoga menginspirasi.

Wisma Covid Darus-Sunnah, 02 Juli 2021

Anda mungkin juga menyukai