Anda di halaman 1dari 13

Tugas Tutorial 1

METODE PENGEMBANGAN MORAL DAN NILAI-NILAI AGAMA

RANGKUMAN MODUL 1, 2, 3 DAN 4

DOSEN: LAMO, S. Ag., M. Si

OLEH:
NAMA : SULFINA
NIM : 859760293

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN ANAK USIA DINI (PAUD)


UNIVERSITAS TERBUKA
TAHUN 2021.1
RANGKUMAN MODUL 1
HAKIKAT PERKEMBANGAN MORALITAS ANAK USIA DINI

 Kegiatan Belajar 1: Hakikat Moral, Moralitas, Etika, dan Tahapan Perkembangan Anak Usia
Dini

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2008), moral memiliki makna akhlak dan tingkah laku
yang susila, sedangkan moralitas dimaknai dengan kesusilaan. Etika diartikan dengan tata susila atau
suatu cabang filsafat yang membahas atau menyelidiki nilai-nilai dalam tindakan atau perilaku (akhlak)
manusia.. ketiga istilah tersebut memberikan gambaran bahwa yang menjadi pembahasannya adalah
masalah aturan berperilaku maanusia dalam kehidupannya.

Lebih lanjut, Fawzia menjelaskan bahwa pokok pertama yang terpenting dalam pendidikan moral
adalah menjadi pribadi yang bermoral. Dalam arti, seorang anak dapat belajar apa yang diharapkan
kelompok dari anggotanya.

Sesuai dengan tuntutan dan ruang lingkup kajian kita di pendidikan anak usia dini, khususnya
pada jalur pendidikan prasekolah, ada baiknya kita membahas tahapan perkembangan moral anak usis 3-
4 tahun yang bersumber dari para ahli di bidang tersebut. Banyak tokoh dunia yang peduli pada
permasalahan perkembangan moral anak usia dini, diantaranya adalah John Dewey, Piaget, dan Thomas
Lickona.

Dalam pembahasan hakikat moral, Thomas Lickona lebih banyak mengaitkannya dengan
pendidikan karakter. Sebagai ilustrasi, karakter diistilahkan “manandai”, yaitu menandai tindakan atau
tingkah laku seseorang. Hal ini seperti dikatakan Thomas Lickona (1991) bahwa pendidikan karakter
adalah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti. Hasilnya
dapat terlihat dalam tindakan nyata seseorang, yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab,
menghormati hak orang lain, dan keerja keras.

Piaget memfokuskan diri pada aspek cara berfikir anak tentang isu-isu moral. Cara yang
dilakukannya adalah mengamati dan mewawancarai kelompok anak usia 4-12 tahun yang terlibat dalam
suatu permainan. Ia mempelajari bagaimana anak-anak itu menggunakan dan memandang aturan yang
ada dalam permainan tersebut. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan kepada mereka berkisar tentang
isu-isu moral, seperti pencurian, berbohong, hukuman, dan keadilan.

 Kegiatan Belajar 2: Disonansi Moral

Istilah disonansi dipakai dalam dunia pendidikan, khususnya yang terkait dengan pendidikan
nilai, norma, dan moral. Selai istilah tersebut, Anda akan kenak juga istilah resonansi. Kedua istilah
tersebut secara sepintas terlihat kontradiktif. Namun, kedua istilah tersebut sebenarnya merupakan
pasangan istilah yang saling melengkapi. Disonansi menekankan pada pengurangan/ penurunan gema
atau getar ajaran nilai, norma, moral yang ada pada diri seseorang, sedangkan resonansi justru
mengukuhkan/ menekankan adanya gema atau getar nilai, norma, dan moral yang telah diketahui
seseorang dari proses pendidikan sebelumnya.

Ada empat factor utama yang menyebabkan munculnya disonansi pada diri seorang manusia.
Keempat factor tersebut adalah disonansi kognitif, disonansi personal, disonansi sosio politis, serta
disonansi bawaan ilmu pengetahuan dan pola modernisasi.
Bentuk-bentuk disonansi moral mungkin terjadi dikalangan anak usia dini seperti berikut ini.
1. Terjadinya perubahan keinginan yang tidak sesuai dengan keinginan awal
2. Fluktuasinya (naik-turun) semangat dalam mengikuti kegiatan rutin
3. Gampang terpengaruh dengan sikap dan perilaku atau hasutan teman sebayanya
4. Mudah meniru perkataan, perbuatan, atau kemauan yang dimunculkan oleh teman sebayanya
5. Belum dapat diharapkan mampu konsisiten dalam bersikap atau berbagai kegiatan.

 Kegiatan Belajar 3: Pola Orientasi Moral Pada Anak Usia Dini

Orientasi oral, menurut Peter (1979), disamakan dengan moral position atau ketetapan hati.
Lebih lanjut, Peter menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan moral position itu dimiliki seseorang
terhadap suatu nilai moral yang didasari oleh dua landasan perhitungan/ penilaian, yaitu cognitive
motivation aspects dan affective motivation aspects.
Teori-teori yang paling dominan dalam pembahasan perkembangan moralitas anak adalah teori
yang bersumber dari Piaget, John Dewey, dan Kohlberg.
Menurut John Dewey, tahapan perkembangan moral seseoorang itu akan melewati tiga fase
sebagai berikut.
1. Fase premoral atau preconventional: pada level ini sikap dan perilaku manusia banyak dilandasi
oleh impuls biologiis dan sosial.
2. Tingkat konvensional: perkembangan moral manusia pada tahapan ini banyak didasari oleh sikap
kritis kelompoknya.
3. Autonomous : pada tahapan ini perkembangan moral manusia banyak dilandasi pada polo
pikirnya.

Tahapan heteronomous memiliki makna bahwa seseorang pada saat awal kehidupannya belum
memiliki pendirian kuat dalam menentukan sikap dan perilaku. Lain halnya dengan tahapan
autonomous,pada tahapan ini seorang anak manusia telah memiliki kemampuan sendiri dalam
menentukan segala keputusan sikap dan perilaku moralitasnya. Moralitas yang tercermin dari dirinya
telah didasari oleh pendirian sendiri.
Moralitas anak usia dini dan perkembangannya dalam tataran kehidupan mereka dapat diuraikan sebagai
berikut;
1. Sikap dan cara berhubungan dengan orang lain (sosialisasi)
2. Cara berpakaian dan berpenampilan
3. Sikap dan kebiasaan makan
4. Sikap dan perilaku anak yang memperlancar hubungannya dengan orang lain
Perkembangan dan pengembangan moral serta kepribadian anak usia TK:
1. Konsep moral pada anak TK
2. Konsep kepribadian pada anak TK
3. Konsep pengembangan moral pada anak TK
4. Konsep pengembangan kepribadian pada anak TK
Pendidikan dan pengembangan moral anak ini, menurut Adler (1974), bertujuan untuk pembentukan
kepribadian yang harus dimiliki oleh manusia. Hal itu dapat dilihat di bawah ini.
1. Dapat beradaptasi pada berbagai situasi dalam relasinya dengan orang lain dan dalam
hubungannya dengan berbagai kultur
2. Selalu dapat memahami sesuatu yang berbeda dan menyadari bahwa dirinya memiliki dasar pada
identitas kulturnya
3. Mampu menjaga batas yang tidak kaku, bertanggung jawab terhadap bentuk batasan yang
dipilihnya sesaat, dan terbuka pada perubahan

Terkait dengan pengembangan moralitasnya, anak usia dini pada dasarnya masih sangat memerlukan
bantuan dalam beberapa hal, seperti pembentukan karakter (formation of character), pembentukan
kepribadian (shaping of personality), dan perkembangan sosial (social development).

Pembentukan karakter pada anak akan memberikan dampak yang sangat besar dalam pembentukan
dirinya sendiri. Oleh sebab itu, anak yang diajari dengan iklim kerja keras dan tanggung jawab akan
cenderung menunjukkan prestasi yang tinggi. Kebiasaan semacam ini hendaknya telah berakar sebelum
anak masuk sekolah. Karakter ini akan tertata dalam pikiran dan hati anak usia dini melalui standar yang
tertata dari orang tuanya, harapan yang mapan, dan contoh yang konsisten.

RANGKUMAN MODUL 2
KECERDASAN MORAL MUNURUT AHLI
 Kegiatan Belajar 1: Teori Kecerdasan Moral Menurut Lickona

Menurut Lickona dkk (2007), terdapat 11 prinsip agar pendidikan karakter dapat berjalan efektif;
(1) kembangkan nilai-nilai etika inti dan nilai-nilai kinerja pendukungnya sebagai fondasi karakter yang
baik, (2) definisikan “karakter” secara komprehensif yang mencakup pikiran, perasaan, dan perilaku, (3)
gunakan pendekatan yang komprehensif, disengaja, dan proaktif dalam pengembangan karakter, (4)
ciptakan komunitas sekolah yang penuh perhatian, (5) beri siswa kesempatan untuk melakukan tindakan
moral, (6) buat kurikulum akademis yang bermakna dan menantang yang menghormati semua peserta
didik, (7) usahakan mendorong motivasi diri peserta didik, (8) libatkan staf sekolah sebagai komunitas
pembelajaran dan moral yang berbagi tanggung jawab dalam pendidikan karakter serta upaya untuk
memenuhi nilai-nilai inti yang sama yang membimbing pendidikan siswa, (9) tumbuhkan kebersamaan
dalam kepemimpinan moral dan dukungan jangka panjang bagi inisiatif pendidikan karakter, (10)
libatkan keluarga dan anggota masyarakat sebagai mitra dalam upaya pembangunan karakter, (11)
evaluasi karakter sekolah, fungsi staf sekolah sebagai pendidik karakter, dan sejauh mana siswa
memanifestasikan karakter yang baik.
Pendidikan karakter yang efektif harus menyertakan usaha untuk menilai kemajuan. Terdapat
tiga hal penting yang perlu mendapat perhatian. (1) Karakter sekolah: sampai sejauh mana sekolah
menjadi komunitas yang lebih peduli dan saling menghargai, (2) pertumbuhan staf sekolah sebagai
pendidik karakter: sejauh mana staf sekolah mengembangkan pemahaman tentang apa yang dapat
mereka lakukan untuk mendorong pengembangan karakter, (3) Karakter anak: sejauh mana peserta didik
memanifestasikan pemahaman, komitmen, dan tindakan atas nilai-nilai etis inti.

Berlandaskan pada beberapa pendapat di atas, peran guru pendidikan bagi anak usia dini dalam
meningkatkan kecerdasan moral adalah sebagai model, pembimbing, pelatih, motivator, dan penilai
perkembangan moralitas setiap anak didiknya.
Thomas Lickona_seorang professor pendidikan dari Cortland University_mengungkapkan bahwa
ada sepuluh tanda zaman yang harus diwaspadai. Jika tanda-tanda ini sudah ada, itu berarti sebuah
bangsa sedang menuju jurang kehancuran. Tanda-tanda yang dimaksud adalah (1) meningkatnya
kekerasan di kalangan ramaja, (2) penggunaan bahasa dan kata-kata yang memburuk, (3) pengaruh peer-
group yang kuat dalam tindak kekerasan, (4) meningkatnya perilaku merusak diri, seperti penggunaan
narkoba, alcohol, dan seks bebas, (5) semakin kaburnya pedoman moral baik dan buruk, (6) menurunnya
etos kerja, (7) semakin rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru, (8) renfahnya rasa tanggung
jawab individu dan warga Negara, (9) membudayanya ketidakjujuran, serta (10) adanya rasa saling
curiga dan kebencian diantara sesama.
Barbara K. Given (2007) mengatakan bahwa antusias seorang guru pada saat mengajar akan
menular kepada peserta didik. Hal ini memiliki makna bahwa peranan guru dalam proses pendidikan
salah satunya adalah pemotivasi anak dalam belajar (motivatot). Motivasi yang telah kita ketahui berasal
dai luar dan dalam. Kedua sumber motivasi sama-sama member pengaruh signifikan kepada setiap
manusia dalam beraktivitas. Untuk itulah, Anda dalam kaitaan pembahasan ini berperan sebagai
pemotivasi yang harus memberikan stimulus pembelajaran, khususnya pada saat pengembangan moral
kepada anak usia dini. Stimulasi yang dimaksud adalah keseriusan dalam mengajar, ketekunan dalam
mendidik, keikhlasan dalam membimbing, keajekan dalan bersikap sebagai model, dan ketulusan dalam
membina anak-anak sampai target pembentukan kepribadian mereka tercapai.

 Kegiatan Belajar 2: Starategi Dan Metode Dalam Mengembangkan Kecerdasan Moral Anak
Tk Menurut Lickona

Pada tahap awal, menurut Lickona, setiap manusia memerlukan moral knowing (pemahaman
tentang moral). Dari pemahaman terhadap moral tersebut, setiap manusia akan mengetahui berbagi
aturan kehidupan yang baik maupun buruk, membedakan mana yang boleh dan tidak boleh dilakukan,
serta menganalisis dan mempertimbangkan berbagai masalah yang
berkaitan dengan moralitas manusia pada umumnya. Semakin banyak pemahaman dirinya terhadap
aturan moral, seyogyanya akan mampu membentuk kepribadian menjadi orang yang taat pada aturan
moral.
Kecerdasan emosional berupa kemampuan mengendalikan emosi, menghargai dan menghargai
perasaan orang lain, serta mampu bekerja dengan orang lain. Ada kata yang menarik untuk
diperbincangkan dalam pembahasan ini, yaitu kemampuan mengendalikan emosi. Penggunaan kata
“mengendalikan” berasal dari kata dasar “kendali”. Kata tersebut secara arti khusus memiliki makna
sesuatu alat yang berfungsi untuk mengatur, mengarahkan, menentukan pilihan, dan mengamankan suatu
arah yang dituju. Apabila makna tersebut kits hubungkan dengan pengembangan moral manusia,
pengertiannya adalah hal itu menggambarkan kecerdasan dan kemampuan dari seseorang untuk
mengatur, mengarahkan, menentukan pilihan, dan mengamankan suatu arah yang di tuju.

Kecerdasan sosial adalah memiliki kemampuan berkomunikasi, senang menolong, berteman,


senang bekerja sama, dan senang berbuat untuk menyenangkan orang lain. Kalau kita kaitkan antara
kecedasan sosial dengan hakikat dari unsur-unsur dalam berkomunikasi, kita akan mengenal unsur
communicant, communicator, dan mission. Hal ini beralasan bahwa pada saat manusia bersosialisasi,
proses berkomunikasi dengan sesame tidak dapat dilepas.

Kecerdasan spiritual itu memiliki kemampuan iman yang tangguh, merasa selalu diawasi oleh
Allah, gemar berbuat baik tanpa pamrih, disiplin beribadah, sabar, ikhtiar, jujur, pandai bersyukur, atau
berterima kasih. Bukan persoalan yang mudah untuk mengenalkan aspek spiritual kepada aanak usia
dini. Bahkan, kepada orang dewasa sekalipun yang sudah mengerti hal tersebut, banyak kendala yang
dihadapi. Dalam pemahaman anak usia dini, sesuatu hal yang bersifat abstrak, seperti ruang lingkup
spiritual, belum dapat dipahami dengan baik. Mereka masih sangat sulit memahami berbagai hal yang
tidak terlihat secara kasat mata. Anak usia dini masih sangat memerlukan bantuan media/ alat untuk
dapat memahami berbagai hal yang baru agar menjadi suatu pengetahuan bagi dirinya.

Kecerdasan kinestetik adalah menciptakan kepedulian terhadap dirinya dengan menjaga


kesehatan jasmani, tumbuh dan rizki yang halal, mudah terenyuh untuk melakukan perbuatan menolong
sesama, terbiasa melakukan hal-hal yang baik, dan sebagainya. Kecerdasan ini menggambarkan suatu
kemampuan individu dalam mengaktualisasikan/ menyatakan pilihan sikap dalam wujud perilaku yang
melibatkan fisik secara nyata. Dalam kaitannya dengan strategi pengembangan moral bagi anak usia
dini, kecerdasan ini sangat baik untuk dilaksanakan dan
diupayakan agar anak senantiasa dan terbiasa melakukan perilaku moralis sesuai perkembangan mereka
masing-masing.

Berikut ini akan diuraikan salah satu contoh strategi dan metode yang dapat dilaksanakan pada
saat Anda mengembangkan moral anak usia dini di sekolah Anda masing-masing. Di bawah ini adalah
alternative metode yang dapat digunakan saat melakukan program pengembangan moral anak,
khususnya pad anak usia dini.

Metode pertama, metode pembelajaran dengan pendekatan dengan heart start dikembangkan
oleh Indonesia Heritage Foundation, yaitu memberikan pendidikan karakter secara sistematis selama 20
menit setiap pagi hari dengan menanamkan Sembilan pilar karakter : (1) cinta Tuhan dan segenap
ciptaan-Nya (love Allah, trust, reverence, loyalty), (2) tanggung jawabm kedisiplinan, dan kemandirian
(responsibility, excellence, self reliance, discipline, and orderliness),
(3) kejujuran/ amanah dan arif (trustworthiness, honesty, and tactful), (4) hormat dan santun (respect,
courtesy, and obedience), (5) dermawan, suka menolong, dan gotong royong/ kerja sama (love,
compassion, caring, empathy, generosity, moderation, and cooperation), (6) percaya diri, kreatif, dan
pekerja keras (confidence, assertiveness, creativity, resourcefulness, courage, determination, and
enthusiasm), (7) kepemimpinan dan keadilan (justice, fairness, mercy, and leadership), (8) baik dan
rendah hati (kindness, friendliness, humility, and modesty), (9) toleransi, kedamaian, dan kesatuan
(tolerance, flexibility, peacefulness, and unity).

Metode ke dua adalah mengintegrasikan proses pendidikan pilar-pilar karakter dalam sentra-
sentra. Adapun kurikulum yang di terapkan dalam kegiatan SBB itu mirip dengan lembaga PAUD pada
umumnya. Namun, itu menerapkan character-based integrated curriculum system yang terjalin dengan
pendidikan Sembilan pilar sesuai aspek perkembangan anak secara utuh dan patuh (sosial, emosi,
kognitif, fisik, dan moral/ spiritual). Sentra-sentra tersebut dapat dilihat sebagai berikut : (1) imajinasi,
(2) rancangan bangun, (3) seni kreasi, (4) eksplorasi, (5) kebun, ikan dan ternak, (6) persiapan, (7)
keimanan dan ketakwaan (optional).

Sebagai upaya kerja sama dengan pihak orang tua, perlu juga diadakan program co- parenting
dalamm rangka penerapan pendidikan karakter di rumah (orang tua diberi petunjuk khusus untuk
menerapkan setiap pilar beserta lembar evaluasi). Program co-parenting dapat berwujud system piket
bergiliran, yaitu setiap hari ada dua orang tua murid yang membantu di keaas sehingga para orang tua
akan belajar bagaimana mendidik dan membangun karakter anak, atau program lain yang di sesuaikan
dengan kondisi sekolah di lingkungannya masing-masing.
RANGKUMAN MODUL 3
PEMAHAMAN DAN PENANAMAN MORAL PADA ANAK USIA DINI

 Kegiatan Belajar 1: Hakikat Moral Knowing

Hakikat moral knowing dapat dimaknai dengan pengetahuan tentang moral yang harus dipahami
terlebih dahulu oleh anak. Nilai-nilai kejujuran sangat erat kaitannya dengan nilai moral dari kehidupan
manusia. Kejujuran bukan sekedar pengetahuan tentang moralitas belaka, tetapi sangat memerlukan
program pembiasaan dan latihan yang intensif. Kejujuran bukan masalah kemampuan orang untuk
melakukannya, tetapi lebih pada masalah kemauan orang itu sendiri. Jika di dalam hati setiap kita ada
kemauan untuk bertindak jujur, siapapun kita dan dalam posisi apa pun mampu melakukan nilai
kejujuran tersebut.

Toleransi adalah embrio dari sikap mau menerima dan dapat memahami keberadaan orang lain
yang tentu banyak memiliki perbedaan dengan diri kita. Perbedaan itu ditemukan secara kasat mata
mulai dari fisik atau jasmani kita, agama, suku, aadat istiadat, bahasa, dan yang kurang tampak, seperti
sifat serta kepribadiannya. Tuhan Yang Mahakuasa tampaknya dengan sengaja menciptakan manusia
tidak ada yang sama sekalipun manusia itu dilahirkan dalam kondisi kembar identik. Setiap kita adalah
unik dan berbeda dengan siapa pun. Itulah salah satu nilai kebesaran Tuhan Yang Mahakuasayang patut
kita syukuri dan sikapi dengan positif. Sikap positif yang dimaksud pada konteks ini adalah menentukan,
membiasaka, dan melatih anak didik agar mampu menerapkan sikap toleransi kepada sesama. Sesuai
dengan salah satu pilar penyelenggaraan pendidikan dari UNESCO, yaitu learning to life together, sejak
dini amatlah tepat jika kita menyusun program pengembangan moral melalui pembiasaan sikap toleransi
karena secara factual bangsa kita memiliki kebhinekaan dalam berbagai hal.
Alternative penyelenggaraan pendidikan yang menanamkan sikap toleran dapat dikembangkan
melalui dua model ;
1. Model aksi-refleksi-aksi; dalam pembelajaran ini, pendekatannya lebih mementingkan pada
siswanya. Model ini diterapkan oleh Paulo Freire yang lebih mementingkan pembelajaran
terhadap masalah (problem posing) dengan paradigm kritis, yaitu menggunakan dialog antara
fasilitator dan pembelajar yaanng membawa percakapan yang bernilai mengalaman divergen
(meluas), harapan, perspektif (pandangan), dan nilai (value). Pembelajaran ini bersifat
membebaskan diri dari hal-hal yang memiliki prasyarat, seperti berikut : (a) pembagian
kekuasaan, kedudukan guru, dan peserta didik adalah seimbang dalam mencari kebenaran ilmu
pengetahuan (setara dalam srawung ilmiah). Keduanya merupakan mitra belajar sehingga harus
saling menghormati, (b) penggunaan sumber daya setempat (khususnya murid, sumber belajar,
bahan ajar, dan lainnya yang terkait dengan pembelajaran). Sumber dari luar siswa hanya
memainkan peran pendukung dan tidak lagi merupakan sumber dominan dan control, (c)
pembelajaran mengakar pada konteks setempat, model rancangan, dan pelaksanaan model secara
sederhana serta relevan berasal dari masukan siswa, (d) menekankan pada pembelajaran kualitatif
dan berorientasi pada proses.
2. Model Ignasian; model ini hamper mirip dengan yang pertama. Langkah yang ditempuh meliputi
konteks, pengalaman (langsung ataupun tidak langsung), refleksi (daya ingat, pemahaman, daya
imajinasi, dan perasaan) untuk menangkap arti dan nilai hakiki dari apa yang dipelajari, aksi
(tindakan ini mengacu pada pertumbuhan batin manusia berdasarkan pengalaman yang telah
direfleksikan dan mengacu pasa yang ditampilkan), serta evaluasi.

Nilai setia kawan adalah buah dari kebaikan suasana kebatinan seseorang yang memiliki moral
yang tinggi. Suasana kebatinan seseorang telah dipenuhi oleh kesadaran dan pembiasaan yang
melembaga pada dirinya akan mampu mendorong seseorang melakukan perilaku setia kawan. Lebih
jauh, pribadi seperti itu akan memiliki rasa empati atau mampu merasakan apa yang diderita/ dirasakan
oleh orang lain di sekitarnya.

Munculnya perilaku normative dari setiap diri kita sesungguhnya merupakan proses panjang dari
perjalanan kehidupan umat manusia yang banyak dipengaruhi oleh aktivitas orang- orang dan kehidupan
di sekitarnya. Untuk itu sebagai guru, sebaiknya Anda memulai berlatih diri dengan aktivitas yang
positif. Dari hal itu, setiap orang di sekililing kita akan menilai siapakah sebenarnya diri Anda atau
apakah karakter dan moral Anda. Tentu, Andalah yang paling berhak menentukan sikap, perangai, dan
perilaku Anda sendiri.
 Kegiatan Belajar 2: Penanaman Nilai-Nilai Kejujuran, Toleransi, Dan Setia Kawan Pada Anak
Usia Dini

Penanaman nilai-nilai yang terkait dengan wilayah pembelajaran moral dan etika bagi anak usia
dini, meliputi; (1) mengenal kehidupan pribadi dalam kaitannya dengan orang lain, (2) mengenal dan
menghargai perbedaan di lingkungan, (3) mengenal peran jenis (rule of gender) dan orang lain, serta (4)
mengembangkan kesadaran hak dan tanggung jawab.
Pentingnya memahami perkembangan peran jenis (rule of gender) dan orang lain bagi anak usia
dini bertujuan agar proses transfer norma sosial yang sesuai dengan kesepakatan masyarakat akan
senantiasa tersampaikan, berkelanjutan, serta terjadinya transformasi norma sosial secara
berkesinambungan. Instuisi pendidikan dimulai dari pendidikan anak usia dini, dalam hal ini memiliki
peran strategis mengingat jenjang pendidikan anak usia dini adalah tahapan awal sekaligus pembentukan
karakter yang diharapkan mampu memberikan bekas yang kokoh sampai tingkat dewasa.

Berkaitan dengan penanaman nilai-nilai moral di pendidikan anak usia dini, dengan beradaptasi
pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 tentang Standar Proses Belajar
Mengajar, kegiatan pembelajaran dilakukan secara innteraktif, inspiratif, menyenangkan, menantang,
memotivasi peserta didik untuk berpastisipasi aktif, serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat, dan perkembangan fisik serta psikologis peserta
didik. Kegiatan ini dilakuakn secara sistematis dan sistemis melalu proses eksplorasi, elaborasi, dan
konfirmasi.

Proses eksplorasi adalah kegiatan anak didik dalam upaya menggali informasi/ pengetahuan
megenai topic / materi/tema yang sedang dipelajari. Adapun bentuk-bentuk aktivitas yang dapat
dilakukan pada proses eksplorasi sebagai berikut:
a. Melibatkan aanak untuk menggali informasi terkait dengan materi/topic/tema.
b. Menggunakan strategi/ pendekatan/ metode pembelajaran yang berpusat pada anak.
c. Menggunakan media/ alat bentu pembelajaran.
d. Menggunakan sumber belajar/ pembelajaran.
e. Memfasilitasi terjadinya komunikasi antaranak dalam proses pembelajaran.
f. Memfasilitasi terjadinya interaksi antaranak dengan guru, lingkungan, dan sumber belajar
lainnya.
g. Melibatkan siswa secara aktif dalam setiap kegiatan pembelajaran.
h. Menguasai materi yang terkait dengan topic/ tema.
i. Menerapkan konsep sesuai materi/ topic/ tema dalam kehidupan anak sehari-hari.
j. Mengembangkan kecakapan hidup (life skill).
k. Merancang tugas yang harus anak kerjakan

Proses elaborasi adalah kegiatan anak untuk menyempaikan hasil eksplorasinya. Bentuk aktivitas
yang dapat dilakukan sebagai berikut :
a. Memfasilitasi anak melalui berbagai kegiatan belajar
b. Memfasilitasi anak dalam membuat laporan hasil eksplorasi
c. Memberi kesempatan kepada anak untuk bertindak tanpa rasa takut atau salah
d. Memfasilitasi anak dalam pembelajaran kooperatif dan kolaboratif
e. Memberi kesempatan kepada anak untuk mempresentasikan hasil kerjanya.

Proses konfirmasi adalah kegiatan interaktif antara guru dan anak untuk memberikan umpan balik.
Bentuk aktivitas yang dapat dilakukan :
a. Memberikan umpan balik positif
b. Memberikan penguatan terhadap keberhasilan anak
c. Memberikan informasi yang menantang rasa keingintahuan anak
d. Melakukan penilaian proses pembelajaran

Berdasarkan paparan di atas, kita tahu bahwa penanaman nilai-nilai kejujuran, toleransi, dan setia
kawan pada anak taman kanak-kanak dapat diterapkan dengan beberapa contoh penerapan pembelejaran
melalui story telling, stimulasi, dan test case, sebagai berikut :
a. Nilai-nilai kejujuran, Anda telah membaca bahwa pada saat pelaksanaan pengembangan moral,
termasuk penanaman nilai-nilai kejujuran, hindari pembelajaran yang bersifat verbalisme atau
hanya pemberian konsep.
b. Toleransi, tidak gampang menanamkan toleransi pada kehidupan anak usia dini. Lazimnya, pada
usia tersebut, anak cenderung lebih bersikap egosentris (lebih mementingkan dirinya sendiri,
tetapi tidak merugikan temannya). Anak juga relative melakukan aktivitas bermain soliter
(bermain sendiri)
c. Setia kawan, adalah buah dari kebaikan suasana batin yang memiliki moral yang tinggi. Suasana
kebatinan seseorang telah dipenuhi oleh kesadaran dan pembiasaan yang melembaga pada
dirinya akan mampu mendorong seseorang melakukan perilaku setia kawan.
RANGKUMAN MODUL 4
PENGEMBANGAN, STRATEGI, METODE, DAN PENDEKATAN
PEMBELAJARAN MORAL ANAK USIA DINI

 Kegiatan Belajar 1: Pengembangan Moral Pada Anak Usia Dini

Pendekatan adalah upaya untuk mecapai sesuatu dan sebuah cara untuk melakukan sesuatu.
Sementara itu, metode adalah suatu cara kerja yang bersistem yang memudahkan pelaksanaan suatu
kegiatan untukk mencapai tujuan yang telah ditentukan.. untuk memilih atau menentukan pendekatan
dan metode, hendaknya dilandasi dengan keputusan profesional yang didasarkaan pada pengetahuan
pendidik tentang (1) belajar dan perkembangan anak, (2) kekuatan, minat, dan kebutuham individu tiap
anak dalam kelompoknya, (3) konteks sosial cultural tempat anak hidup.

Bila dikaitkan dengan fungsi pembentukan tingkah laku anak, pendekatan dan metode itu
ditujukan untuk mengarahkan dan mengendalikan tingkah laku anak agar mandiri tanpa pengaruh factor
luar berdasarka norma, standar, dan aturan-aturan yang dimiliki orang tua atau guru.

Esensi lain yang perlu menjadi bahan pemahaman pendidik ketika menentukan pendekatan yang
tepat dalam kegiatan belajar mengajar adalah pengetahuan tentang teknik membentuk tingkah laku anak.
 Kegiatan Belajar 2: Strategi Dalam Pengembangan Moral Anak Usia Dini

Strategi pengembangan aspek apa pun untuk kepentingan anak usia dini harus dilakukan melalui
kegiatan bermain agar tidak membuat anak kehilangan masa bermainnya. Bermain merupakan suatu
kegiatan yang menyenangkan bagi anak. Bermain juga membantu anak mengena dirinya, dengan siapa
ia hidup, serta lingkungan tempat ia hidup. Melalui bermain, anak memperoleh kesempatan untuk
berkreasi, bereksplorasi, menemukan, dan mengekspresikan perasaannya.
Jadi, dengan pemahaman tersebut, strategi pengembangan moral yang perllu Anda siapkan untuk
anak usia 4-5 tahun secara prinsip sebagai berikut;
1. Menyiapkan lingkungan anak yang kondusif dan bersikap edukatif yang mampu
menstimulasikan berbagai pengembangan, termasuk aspek pengembangan moral dan nilai-nilai
agama.
2. Siapkan dukungan secara kolaboratif dari semua orang yang terlibat dalam penyelenggaraan
pendidikan anak usia dini.
3. Menyusun program kegiatan bermain yang bernuansa penanaman moralitas yang sesuai dengan
perkembangan dan kemampuan anak untuk melakukannya.
4. Menyusun program pembiasaan_khusunya dalam rangka menanamkan pendidikan moral_bagi
anak yang disesuaikan dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan anak usia dini.
5. Lakukan penilaian proses terhadap perkembangan moralitas anak untuk memantau tingkat
keberhasilan dan perubahan sikap serta perilaku yang muncul setelah stimulasi dengan strategi
tersebut di atas.
6. Menitik beratkan seluruh strategi pengembangan moral bagi anak usia 4-5 tahun pada
kemampuan mereka dalam membantu dirinya sendiri, mengenal teman sebayanya, dan
kemampuan bersosialisasi yang berawal dari kemampuan bermain soliter, ke arah bermain
parallel, apalagi kalau sampai mampu bermain secara kolaboratif.

Secara prinsip, anak usia 5-6 tahun demikian adanya maka strategi yang dikembangkan sebagai
berikut:
1. Menyiapkan berbagai kegiatan yang mampu menstimulasi kerja sama, toleransi, dan saling setia
kawan.
2. Menyiapkan media pendukung yang memungkinkan anak dapat bekerja sama.
3. Membawa anak ke dalam situasi nyata (real time) untuk mengenalkan pendidikan moral (field
trip), seperti ke panti asuhan dan panti jompo.
4. Menyusun program kepemimpinan kelompok sebagai landasan penanaman sikap
leadership dan tanggung jawab dalam menyelesaikan tugas.

Selain peran serta dari seluruh pihak di atas, seyogyanya semua pihak mampu memilki komitmen
(kesetiaan) dan konsisten (keajegan) dalam menjalankan seluruh program pengembangan moral anak.
Tanpa komitmen yang jelas dan tidak dimilikinya konsistensi dari semua pihak, justru disitulah awal
kerusakan pendidikan moral yang akan melanda anak bangsa Indonesia. Komitmen memiliki gambaran
dari jiea setiap orang yang siap setiap saat mendukung, dan memberikan perhatian penuh secara total
terhadap seluruh program yang dicanangkan. Semetara itu, konsisten merupakan sifat yang
menggambarkan adanya kesamaan/ keseragaman antara apa yang diucapkan/ niat dengan kenyataan atau
antara perkataan dengan perbuatan.

Seluruh komponen yang memiliki konsistensi akan turut menjaga lingkungan kondusif agar
pelaksanaan pendidikan khususnya dalam mengembangkan moral anak berjalan dengan baik dan akan
berupaya untuk menjauhkan berbagai pengaruh yang akan merusak program pengembangan moral
tersebut.

 Kegiatan Belajar 3: Metode Dan Pendekatan Dalam Pengembangan Moral Anak Usia Dini

Ada beberapa macam cara bercerita yang dapat digunakan, antara lain guru dapat membacakan
cerita langsung dari buku (story reading), menggunakan ilustrasi buku gambar (story telling),
menggunakan papan flannel, menggunakan boneka (sandiwara boneka), atau bermain peran dalam suatu
cerita.
Strategi penggunaan metode bercerita antara lain adalah membagi anak-anak dalam empat
kelompok. Anak-anak yang mengikuti kegiatan bercerita duduk di lantai mengelilingi ibu guru sambil
duduk di kursi keci. Anak-anak itu akan mendengarkan guru bercerita. Tiga kelompok yang lain duduk
di kursi meja dengan kegiatan yang berbeda-beda, misalnya kelompok yang satu melakukan kegiatan
menggambar, kelompok yang lain melakukan kegiatan melipat kertas, sedangkan kelompok yang
terakhir melakukan kegiatan membangun atau membentuk plastisin. Anak-anak yang mendengarkan
cerita pada gilirannya akan mengikuti kegiatan menggambar, melipat kertas, membangun, atau
membentuk plastisin. Dengan demikian, masing-masing kelompok akan memperoleh kesempatan
melakukan kegiatan yang sama.
Berkaryawisata mempunyai arti penting bagi perkembangan anak karena dapat membangkitkan
minat anak pada sesuatu hal dan memperluas perolehan informasi. Metode ini juga dapat memperkaya
lingkup program kegiatan belajar anak usia dini yang tidak mungkin dihadirkan di depan kelas, seperti
melihat bermacam hewan, mengamati proses pertumbuhan, tempat-tempat khusus dan pengelolaannya,
karyawisata, anak dapat belajar dari pengelamannya sendiri dan anak dapat melakukan generalisasi
berdasarkan sudut pandang mereka.

Pendekatan dan penerapan metode bernyanyi adalah suatu pendekatan pembelajaran yang secara
nyata mampu membuat anak senang dan bergembira. Anak diarahkan pada situasi dan kondisi psikis
untuk membangun jiwa yang bahagia, senang menikmati keindahan, mengembangkan rasa melalui
ungkapan kata dan nada, serta ritmik yang memperindah suasana pembelajaran. Tentu, hal itu harus
semaksimal mungkin dijadikan sebagai sarana komunikasi efektif untuk tujuan-tujaun pendidikan.

Anda mungkin juga menyukai