Anda di halaman 1dari 51

DAMPAK PENDAYAGUNAAN ZAKAT BAZNAS

TERHADAP KESEJAHTERAAN MUSTAHIK DI INDONESIA


2017

Penyusun
Divisi Riset dan Kajian
Pusat Kajian Strategis BAZNAS
2017
DAMPAK PENDAYAGUNAAN ZAKAT BAZNAS TERHADAP KESEJAHTERAAN
MUSTAHIK DI INDONESIA 2017

Kata Pengantar Direktur PUSKAS BAZNAS:


Dr. Irfan Syauqi Beik

Penyusun
Divisi Riset dan Kajian
Pusat Kajian Strategis BAZNAS

Penyunting
Anggota BAZNAS RI
Direktur Amil Zakat Nasional BAZNAS
Direktur Koordinator Zakat Nasional BAZNAS
Direktur Umum BAZNAS

Hak Penerbit Dilindungi Undang-Undang


All Rights Reserved

Cetakan I, Desember 2017

Penerbit
Pusat Kajian Strategis BAZNAS
Jl. Kebon Sirih Raya No. 57, 10340, Jakarta Pusat
Telp. (021) 3904555 Faks. (021) 3913777 Mobile. +62857 8071 6819
Email: sekretariat@puskasbaznas.com
www.baznas.go.id
www.puskasbaznas.com

Desain Cover: Noviyanti, SE

No. ISBN: 978-602-60689-8-9


DAFTAR ISI

DAFTAR ISI .............................................................................................................. i


DAFTAR TABEL ....................................................................................................... ii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................. iii
KATA PENGANTAR DIREKTUR PUSKAS BAZNAS ................................................... iv
TIM PENYUSUN...................................................................................................... v
RINGKASAN EKSEKUTIF......................................................................................... vi
BAGIAN SATU
PENDAHULUAN ..................................................................................................... 1
A. Latar Belakang Kajian ..................................................................................... 1
B. Tujuan & Hasil Kajian ..................................................................................... 4
C. Metodologi.................................................................................................... 5
BAGIAN DUA
MENGUKUR DAMPAK ZAKAT; STUDI LITERATUR ................................................. 9
BAGIAN TIGA
HASIL DAMPAK ZAKAT NASIONAL ...................................................................... 22
A. Indeks Kesejahteraan CIBEST ........................................................................ 26
B. Indeks Modifikasi IPM .................................................................................. 30
C. Indeks Kemandirian ...................................................................................... 33
BAGIAN IV
PENUTUP ............................................................................................................. 37
A. Kesimpulan .................................................................................................. 37
B. Rekomendasi ............................................................................................... 37
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 39

i
DAFTAR TABEL

Tabel 1. Perbandingan Penyaluran Berdasarkan Bidang 2015-2016............................. 3


Tabel 2 Metode Pengumpulan Data ......................................................................... 6
Tabel 3 Provinsi, Area, dan Jumlah Responden Yang Diolah ..................................... 7
Tabel 4 Klasifikasi Keluarga .................................................................................... 10
Tabel 5 Skor Indikator Kebutuhan Spiritual ............................................................. 14
Tabel 6 Kombinasi Nilai Aktual MV Dan SV Rumah Tangga .................................... 16
Tabel 7. Rumus Penghitungan Indeks CIBEST .......................................................... 17
Tabel 8 Komponen Indeks Zakat Nasional .............................................................. 18
Tabel 9 Kriteria Indeks Kemandirian ....................................................................... 20
Tabel 10. Kategori Penilaian Indeks Kesejahteraan Puskas ........................................ 21
Tabel 11. Indeks Kesejahteraan Puskas ..................................................................... 22
Tabel 12. Nilai Rata-rata Indeks Kesejahteraan Puskas.............................................. 23
Tabel 13. Nilai Rata-rata Indeks Kesejahteraan CIBEST............................................. 30
Tabel 14. Perbandingan Penyaluran berdasarkan Bidang ......................................... 32

ii
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1 Kuadran CIBEST ..................................................................................... 13


Gambar 2 Indeks Kesejahteraan Puskas ................................................................... 25
Gambar 3 Indeks Kesejahteraan CIBEST .................................................................. 27
Gambar 4 Penghitungan Indeks Modifikasi IPM ...................................................... 31
Gambar 5 Indeks Kemandirian ............................................................................... 34

iii
KATA PENGANTAR DIREKTUR PUSKAS BAZNAS

Bismillaahirrahmaanirrahiim,
Perkembangan zakat terus bergulir dan bergerak ke arah yang lebih positif dari tahun
ke tahun. Hal ini ditandai salah satunya adalah dengan maraknya hasil kajian-kajian
tentang zakat baik yang dilakukan para akademisi maupun peneliti secara umum.
Kajian-kajian tersebut turut mendorong berbagai perbaikan dan peningkatan mutu
dari kerja-kerja zakat seperti strategi penghimpunan zakat, tata kelola organisasi zakat,
pendayagunaan dan pendistribusian zakat yang lebih efektif, hingga evaluasi atas
kerja-kerja zakat.

Dalam konteks evaluasi atas kerja zakat telah hadir hasil kajian dengan tema Dampak
pendayagunaan zakat baznas Terhadap kesejahteraan mustahik di Indonesia 2017.
Kajian ini merupakan sebuah hasil kajian yang memotret dampak kerja-kerja zakat
sepanjang 2017 di BAZNAS Provinsi, yang mencakup 26 provinsi. Nampak dari hasil
tersebut bahwa kerja-kerja zakat selama ini telah dapat berkontribusi terhadap
pengentasan kemiskinan sekaligus mendorong para mustahik untuk lebih berdaya.

Dengan hasil kajian ini diharapkan dapat mendorong kerja zakat, khususnya BAZNAS
Provinsi hingga BAZNAS Kabupaten/Kota dapat terus meningkatkan diri dalam hal
pelayanan baik kepada donatur/muzaki, efektifitas dan efisiensi kerja, serta
akuntabilitasnya kepada ummat. Tak kalah penting peningkatan kerja juga harus
berorientasi pada pelayanan kepada para penerima manfaat untuk menjadi lebih baik
lagi.

Semoga buku ini dapat bermanfaat bagi para pembacanya, dan dapat menginspirasi
dalam memproduksi kajian-kajian tentang zakat yang lebih mendalam. Taka da
gading yang tak retak, jika ada hal-hal yang kurang berkenan atau memiliki saran dan
masukan konstruktif terkait buku ini, silahkan dapat menghubungi kami.

Wallaahu a’lam bishshawaab

Jakarta, 12 Januari 2017 / 13 Rabiul akhir 1438

Irfan Syauqi Beik, Ph.D


Direktur Puskas BAZNAS

iv
TIM PENYUSUN

Penasihat : Prof. Dr. H. Bambang Sudibyo, MBA, CA


Dr. Zainulbahar Noor, SE, MEc
Dr. H. Mundzir Suparta, MA
drh. Emmy Hamidiyah, M.Si
Ir. Nana Mintarti, MP
Drs. Irsyadul Halim
Prof Dr KH Ahmad Satori Ismail
KH Drs. Masdar Farid Mas'udi
Prof. Dr. H. M. Machasin, MA
Drs. Astera Primanto Bhakti, M.Tax
Drs. Nuryanto. MPA
M. Arifin Purwakananta
Mohd. Nasir Tajang

Penanggung Jawab : Dr Irfan Syauqi Beik


Ketua : Dr Mohamad Soleh Nurzaman
Anggota : 1. Ninik Annisa, MA
2. Wahyu Jatmiko, M.Sc
3. Khairunnajah, SEI
4. Noviyanti, SE

v
RINGKASAN EKSEKUTIF

Pengukuran atas dampak yang ditimbulkan dari program pendayagunaan zakat sangat
diperlukan. Terlebih dana zakat merupakan dana umat yang dititip-kelolakan para
donatur yang juga memiliki harapan bahwa sumbangannya dapat dikelola
denganbaik dan berdampak positif dalam meringankan beban hidup kaum papa.
Kajian ini mengeksplorasi dan mengukur kesejahteraan mustahik yang telah diberi
bantuan zakat di 28 provinsi, dengan total 3450 responden.

Studi ini menyusun sebuah indeks yang mengukur dampak pendayagunaan zakat.
Indeks tersebut diberi nama Indeks Kesejahteraan Puskas (IKP). IKP terdiri dari 3
variabel, pada masing-masing variabel tersebut dapat menjadi indeks atau disebut
composite index, yaitu Indeks Kesejahteraan CIBEST (mengukur kesejahteraan
material dan spiritual), Indeks Modifikasi IPM (mengukur dampak zakat pada sektor
pendidikan dan kesehatan), dan Indeks Kemandirian (mengukur keberlanjutan
mustahik pasca program).

Untuk memberi penilaian pada Indeks Kesejahteraan Puskas tersebut maka dilakukan
penghitungan pada ketiga variabelnya terlebih dahulu. Kemudian dari masing-masing
nilai yang muncul dari penghitungan ketiga variabelnya akan dikuantifikasi dari
seluruh nilai yang dihasilkan 3 variabelnya yaitu nilai W dari model CIBEST, Indeks
variabel dari modifikasi IPM, dan justifikasi nilai kemandirian yang diperoleh dari
likertnya. Formulasi kuantifikasinya dihitung berdasarkan rumusan atau formula
penghitungan pada Indeks Kesejahteraan Puskas, yaitu:

D = (X221) x 0,40 + (X222) x 0,40 + (X223) x 0,20

Dimana:
(X221) = Nilai Kesejahteraan Material dan Spiritual (Indeks Kesejahteraan CIBEST)
(X222) = Nilai Pendidikan dan Kesehatan (Modifikasi IPM)
(X223) = Nilai Kemandirian

vi
Oleh karena itu studi ini telah menghasilkan formulasi penghitungan dampak zakat,
dan hasil penghitungan yang diterapkan di 28 Provinsi yang diamati. Penghitungan
dampak zakat pada studi ini telah menunjukkan bahwa nilai rata-rata Indeks
Kesejahteraan Puskas yang dihasilkan adalah 0.71 (baik). Sementara nilai indeks rata-
rata di setiap variabelnya adalah 0.79 untuk Indeks Kesejahteraan CIBEST, 0.71 untuk
Indeks Modifikasi IPM, dan 0.59 untuk Indeks Kemandirian.

vii
BAGIAN SATU

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Kajian

Ikhtiar dan Ijtihad pegiat Zakat di Indonesia telah berkembang sangat pesat sejak satu
dasawarsa terakhir. Hal tersebut diindikasikan dengan semakin meningkatnya
pendayagunaan Zakat untuk pemberdayaan ummat baik dalam bidang ekonomi,
pendidikan, dan sosial pada umumnya. Zakat diproyeksikan dapat mengurangi tingkat
kemiskinan masyarakat dan mendorong masyarakat miskin untuk lebih sejahtera.
Yusuf Qardawi (2011) mengungkapkan bahwa Zakat memang merupakan salah satu
instrumen sosial dan ekonomi yang memiliki potensi luar biasa besar sehingga dapat
dioptimalkan untuk pembangunan sebuah bangsa.

Pada konteks Indonesia, kemiskinan dan pengentasannya pada dasarnya masih


menjadi persoalan besar yang perlu dientaskan, baik dilihat dari aspek ekonomi,
layanan sosial dan aksesnya, maupun dari berbagai kategori kemiskinan lainnya yang
dilihat dari berbagai ukuran dan sudut pandang. Data Badan Pusat Statistik (BPS)
menyebutkan, penduduk miskin (penduduk dengan pengeluaran perkapita per bulan
di bawah Garis Kemiskinan) per Maret 2017 masih sangat tinggi yaitu mencapai 27,77
juta orang, atau 10,64 % dari total jumlah penduduk Indonesia1. Jumlah tersebut
meningkat dari tahun sebelumnya (September 2016) yaitu sekitar 690 ribu jiwa. Akan
tetapi bagaimana Zakat menjawab tantangan pengentasan kemiskinan di Indonesia?.

Berdasarkan studi yang dilakukan oleh Firdaus et.al (2012) diprediksi bahwa potensi
zakat di Indonesia mencapai angka 3,4 % dari total PDB tahun 2011, atau mencapai
Rp. 217 triliun. Meskipun demikian, realisasi atas penghimpunan Zakat skala nasional
baru mencapai sekitar 3-5 % dari potensi tersebut. Artinya gap atau kesenjangan yang
ada sangat lebar yaitu antara potensi dan realisasi dalam penghimpunan Zakat.
Kesenjangan tersebut menunjukkan masih terdapatnya persoalan belum maksimalnya
upaya fundraising atau penghimpunan Zakat, dan belum teryakinkannya muslim

1 https://www.bps.go.id/brs/view/1379

1
muzakki (pembayar wajib Zakat) untuk menunaikan rukun Islam yang ketiga tersebut.
Persoalan lainnya yang juga muncul sebagai sebab kesenjangan tersebut yaitu karena
masih banyaknya muzakki yang menunaikan Zakat baik secara langsung kepada
mustahik, atau melalui pihak ketiga dan lembaga namun bukan lembaga resmi yang
telah terdaftar dan mendapatkan izin penghimpunan dan pengelolaan zakat.

Indonesia memiliki aturan terkait dengan pengelolaan Zakat, yaitu sebagaimana yang
diatur melalui UU No. 23 tahun 2011 yang menggantikan UU No. 38 tahun 1999.
Pada UU tersebut disebutkan terdapat dua macam organisasi pengelola Zakat di
Indonesia yaitu BAZNAS/Badan Amil Zakat Nasional yang merepresentasikan
pengelola zakat pemerintah di seluruh Indonesia, dan LAZ/Lembaga Amil Zakat yang
dikelola oleh swasta atau masyarakat, dimana secara formal harus mendapatkan
pengesahan dan akreditasi dari pemerintah (dalam hal ini yaitu Kementerian Agama
Republik Indonesia). Berdasarkan UU tersebut, BAZNAS diberikan otoritas untuk
mengelola dan mengkoordinasikan semua lembaga zakat, termasuk LAZ yang ada di
Indonesia. Saat ini, BAZNAS telah memiliki 34 perwakilannya di seluruh provinsi di
Indonesia.

Untuk optimalisasi capaian baik penghimpunan dan pendayagunaan Zakat di


Indonesia, maka dibutuhkan capacity building atau pengembangan kemampuan para
Amil Zakat termasuk di dalamnya kemampuan untuk bersinergi, berkolaborasi, dan
konsentrasi terhadap tujuan Zakat. Selain itu, kerja-kerja Zakat juga sudah semestinya
memiliki alat ukur yang tepat dan relevan atas capaian kinerjanya serta dampak
program Zakat yang telah dilaksanakan. Pengukuran tersebut dimaksudkan untuk
mengetahui tentang seberapa efektif program bantuan yang dikelola lembaga
pengelola Zakat terhadap kehidupan masyarakat penerima manfaat baik secara
ekonomi, sosial hingga spiritualnya pasca diintervensi Zakat.

Data statistik menunjukkan bahwa porsi penyaluran kepada ashnaf Fakir Miskin yang
dilakukan BAZNAS mencapai Rp 1.353.589.660.923 atau 63,15% dari total dana
yang disalurkan.2 Ditinjau dari bidang penyalurannya yang dilakukan pada tahun

2 Buku Statistik Zakat Nasional 2016, BAZNAS, hal.34

2
2016, maka bidang pendidikan merupakan bidang dengan penyaluran tertinggi
sebanyak 31,30% atau senilai Rp 843.676.495.284. Diikuti oleh bidang Sosial
Kemanusiaan (26,50%), Ekonomi (18,29%), Dakwah (15,54%), dan Kesehatan
(8,37%). Hasil statistik tersebut mengalami perubahan dari tahun sebelumnya dimana
bidang program penyaluran yang paling tinggi adalah bidang Sosial Kemanusiaan.
Secara lengkap perbandingan bidang penyaluran tersebut dapat dilihat pada tabel
berikut:

Tabel 1. Perbandingan Penyaluran Berdasarkan Bidang 2015-2016

Sumber: Buku Statistik Zakat Nasional 2016, BAZNAS

Pendayagunaan Zakat produktif yaitu pendayagunaan dengan skema program


pemberdayaan untuk mengentaskan kemiskinan maka bidang yang seringkali
didorong adalah bidang ekonomi. Data statistik di atas juga menunjukkan kepada kita
bahwa pengelola Zakat telah meningkatkan porsi dukungan kepada bidang ekonomi
lebih tinggi lagi pada tahun 2016, yaitu sebesar 18,29% dibandingkan tahun
sebelumnya (2015) sebesar 15%. Meskipun skema program memiliki bidang yang
berbeda, tetapi pada tataran praktis sering juga ditemukan adanya kombinasi dan
integrasi program seperti program antar bidang atau terjadi cross-section aspek-aspek
yang difokuskan dalam program zakat produktif.

Namun demikian, dari sekian banyak pendayagunaan dana Zakat untuk tujuan
produktif, tentu perlu dilihat seberapa besar dampak yang telah dicapai khususnya
pada tahun 2017 ini? Apakah dampak kesejahteraan mustahik, termasuk dari aspek
materi dan non-materi telah mencapai sebagaimana yang diharapkan? Seberapa
signifikan perubahan yang terjadi baik kuantitatif dan kualitatifnya?, dan seterusnya.

3
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut maka Pusat Kajian Strategis
(PUSKAS) BAZNAS, sebagai lembaga riset dan kajian Zakat yang berfungsi untuk
mendukung efektifitas program-program BAZNAS, telah berinisiatif melakukan
penelitian lapangan untuk mengukur langsung dampak penyaluran Zakat yang
dilakukan oleh BAZNAS. Penelitian lapangan dilakukan mulai Mei hingga November
2017 meliputi penerima zakat produktif di 28 Provinsi Indonesia.

Pengukuran dampak Zakat ini dilakukan dengan mengadopsi bagian dimensi mikro
yang terdapat di dalam Indeks Zakat Nasional. Pada bagian Dimensi Mikro terdapat
indikator pengukuran yang hasilnya didapatkan dari evaluasi langsung dampak zakat
terhadap mustahik. Indikator pengukuran tersebut meliputi aspek kesejahteraan
material dan spiritual, variabel pendidikan dan kesehatan (modifikasi indeks
pembangunan manusia), dan variabel kemandirian. Adopsi model kaji dampak ini
kemudian dinamakan sebagai Indeks Kesejahteraan PUSKAS.

Kajian melalui Indeks Kesejahteraan PUSKAS ini diharapkan dampak penyaluran zakat
khususnya oleh BAZNAS dapat terukur dengan komprehensif. Pengukuran dampak
pendayagunaan zakat ini juga diharapkan dapat menjadi bahan untuk evaluasi
pembangunan dan pengembangan Zakat yang dikelola BAZNAS sekaligus menjadi
bahan dasar untuk pengambilan kebijakan yang lebih strategis di masa mendatang.

B. Tujuan & Hasil Kajian

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur dan memotret dampak pendayagunaan


Zakat bagi mustahik (beneficiaries/ para penerima zakat) melalui BAZNAS pada 2017.
Pada penelitian tahun ini daerah yang dijadikan objek penelitian meliputi penerima
zakat produktif oleh BAZNAS di 28 Provinsi.

Dari tujuan tersebut maka hasil yang diharapkan dari survei ini mencakup:
1. Terbentuknya database primer hasil survei lapangan dari para penerima zakat
(mustahik)
2. Terukurnya dampak penyaluran zakat oleh BAZNAS secara berkesinambungan

4
3. Tersusunnya hasil analisis dampak penyaluran zakat oleh BAZNAS pada tahun
kajian
4. Usulan strategi implementasi dan evaluasi dampak penyaluran zakat oleh
BAZNAS.

C. Metodologi

Studi ini menerapkan pendekatan kuantitatif dengan metode survei yaitu wawancara
langsung terstruktur yaitu dengan menggunakan kuesioner kepada para mustahik atau
penerima manfaat zakat produktif yang disalurkan oleh BAZNAS. Dari pemerolehan
data tersebut, data diinput untuk kemudian dihitung dan diukur dengan
menggunakan Indeks Kesejahteraan PUSKAS untuk melihat sejauh mana dampak
penyaluran Zakat. Indeks Kesejahteraan PUSKAS ini merupakan bagian dari Indeks
Zakat Nasional, yaitu indeks komposit hasil penghitungan komprehensif dari tiga
indeks. Indeks tersebut berasal dari model CIBEST (Beik dan Arsyianti; 2015),
ditambahkan dengan modifikasi Indeks Pembangunan Manusia /IPM (Nurzaman;
2010), dan Indeks Kemandirian para penerima Zakat. Adapun penjelasan dari masing-
masing indeks adalah sebagai berikut:

Pertama; Model CIBEST yaitu sebuah model yang mengkombinasikan kuadran


pemenuhan kebutuhan manusia baik material maupun spiritual (kuadran CIBEST).
Pada model CIBEST terdiri dari empat indeks diantaranya Indeks Kesejahteraan,
Indeks Kemiskinan Material, Indeks Kemiskinan Spiritual dan Indeks Kemiskinan
Absolut. Kedua; Modifikasi Indeks Pembangunan Manusia merupakan pengukuran
IPM yang memasukkan 2 dari 3 aspeknya yaitu pendidikan dan kesehatan. Sedangkan
aspek daya beli masyarakat tidak dimasukkan, agar tidak berulang, karena telah
dicakup dalam Model CIBEST. Ketiga; Indeks Kemandirian yang meliputi penghasilan
tetap baik sebagai pegawai maupun hasil usaha yang dilakukan mustahik, dan telah
memiliki tabungan. Penjelasan yang lebih ringkas dan runut terkait konsep Indeks Kaji
Dampak ini dapat dilihat di laporan ini pada bagian kajian literatur.

5
Data yang digunakan pada studi ini meliputi data primer dan data sekunder. Data
primer diperoleh dari wawancara menggunakan kuesioner kepada mustahik
(penerima bantuan zakat produktif) yang dikelola oleh Badan Amil Zakat Nasional
(BAZNAS), sedangkan data sekunder berasal dari dokumen serta laporan keuangan
dan kegiatan BAZNAS. Berikut adalah tabel metode pengumpulan data yang
digunakan dalam penelitian ini:

Tabel 2 Metode Pengumpulan Data


Tahapan Metode Sumber Data Keluaran/Output

I Kajian Data Dokumentasi BAZNAS, Kajian literatur terkait kajian


Sekunder dan hasil studi dan kajian metode pengujian dampak
literatur terdahulu program
II Kajian Data Survei langsung kepada Profil, tren dan tingkat
Primer para Mustahik atau para perubahan pola kehidupan
penerima manfaat zakat mustahik setelah
oleh BAZNAS diberikannya Zakat

Tahap pertama melakukan kajian dokumen atau literature review dari data sekunder
yang akan menghasilkan konsep yang komprehensif terkait dengan uji dampak dari
sebuah program penyaluran zakat. Kajian dokumen tersebut juga dapat memperkaya
hasil temuan survei tersebut. Sementara tahap kedua merupakan implementasi konsep
yang dibentuk dari tahap pertama. Implementasi dilakukan dengan cara melakukan
wawancara langsung atau survei kepada para penerima manfaat program-program
yang dikelola oleh BAZNAS. Survei dampak penyaluran zakat ini melibatkan para
mustahik/ penerima manfaat bantuan dana Zakat produktif yang dikelola BAZNAS
sebagai responden. Pengumpulan data primer dilakukan dari akhir bulan Mei hingga
November 2017 mulai dengan persiapan survei, penjelasan/briefing kepada tim
surveyor, wawancara responden terpilih, input data, verifikasi data, penghitungan,
hingga analisis kajian. Responden yang dipilih berada di 28 provinsi meliputi Aceh,
Sumatera Utara, Sumatera Barat, Kepulauan Riau, Riau, Jambi, Bengkulu, Bangka
Belitung, Sumatera Selatan, Banten, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa
Timur, Bali, NTB, NTT, Kalimantan Barat, Kalimantan Utara, Kalimantan Timur,
Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, Sulawesi

6
Barat, Sulawesi Tengah, Gorontalo, dan Papua Barat, dengan komposisi mustahik
sebagai berikut:

Tabel 3 Provinsi, Area, dan Jumlah Responden Yang Diolah


Jumlah
No Provinsi
Responden
1 Aceh 101
2 Sumatera Utara 161
3 Sumatera Barat 100
4 Kepulauan Riau 145
5 Riau 100
6 Jambi 100
7 Bengkulu 120
8 Bangka Belitung 100
9 Sumatera Selatan 25
10 Banten 200
11 Jawa Barat 100
12 Jawa Tengah 100
13 DI Yogyakarta 100
14 Jawa Timur 100
15 Bali 113
16 NTB 90
17 NTT 100
18 Kalimantan Barat 202
19 Kalimantan Utara 163
20 Kalimantan Timur 100
21 Kalimantan Tengah 100
22 Kalimantan Selatan 200
23 Sulawesi Tenggara 103
24 Sulawesi Utara 133
25 Sulawesi Barat 197

7
26 Sulawesi Tengah 142
27 Gorontalo 200
28 Papua Barat 55
Total Responden 3450
Sumber: Data primer 2017

Dari jumlah responden yang diamati adalah sebanyak 3450. Jumlah tersebut adalah
jumlah setelah dilakukan verifikasi dari total 3533 responden yang diwawancarai.
Verifikasi penting dilakukan untuk menjaga validitas data yang digunakan baik melalui
kelengkapan data yang diisi dan sinkronisasi data kepada data fisik yang diperoleh.
Data yang telah diverifikasi kemudian digunakan dalam analisis selanjutnya dalam
kajian ini yaitu dari 3450 responden. Dari data yang sudah diverifikasi, kemudian
dianalisis dengan statistik deskriptif, dan memasukkan data ke dalam setiap tahapan
Indeks Kesejahteraan PUSKAS untuk menghasilkan data baru yaitu dampak
pendayagunaan Zakat terhadap kesejahteraan mustahik. Sedangkan data kualitatif
berupa catatan lapangan dan hasil review dan analisis dari dokumen dan literature
kajian sejenis sebelumnya, kemudian disusun secara naratif dan sistematis.

8
BAGIAN DUA

MENGUKUR DAMPAK ZAKAT; STUDI LITERATUR

Kegiatan pendayagunaan zakat diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan


mustahik, yang berarti dapat juga mengurangi kemiskinan yang terjadi di suatu
wilayah tertentu. Untuk dapat melihat apakah pendayagunaan zakat sudah
berdampak atau pada tahap mana telah memberikan sumbangsih terhadap
penurunan angka kemiskinan, diperlukan alat sekaligus mekanisme pengukurannya.
Pengukuran dampak dari sebuah aktivitas seperti pendayagunaan atau penyaluran
zakat dapat menggunakan beragam model. Salah satunya adalah pengukuran atas
meningkat atau menurunnya tingkat kemiskinan warga penerima manfaat dan dengan
basis apa kemiskinan tersebut ditentukan.

Di dalam pengukuran tingkat atau garis kemiskinan sudah ada beberapa metode yang
diterapkan untuk mengukurnya. Salah satunya yang diperkenalkan oleh World Bank
dalam buku Handbook on Poverty and Inequality.3 Kajian yang disusun oleh
Haughton and Khandker menjelaskan beberapa model indeks yang dapat digunakan
untuk mengukur kemiskinan. Model-model yang dimaksud seperti Headcount Index,
Poverty Gap Index, Poverty Severity Index, Sen-Shorrocks-Thon index , dan Watts
Index.4

Dalam konteks Indonesia, ada dua pendekatan di dalam pengukuran standar


kemiskinan yaitu yang dikenalkan BPS atau Badan Pusat Statistik dan BKKBN atau
Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional. Kedua pengukuran standar
kemiskinan tersebut digunakan untuk menghitung jumlah orang miskin dan
menentukan kebijakan yang tepat khususnya terkait dengan pengurangan kemiskinan
di Indonesia.

3Jonathan Haughton, Shahidur R. Khandker, Handbook on Poverty and Inequality, The International
Bank for Reconstruction and Development/The World Bank, Washington DC, 2009.

4 Ibid, 2009

9
Menurut BPS, pendekatan untuk melihat dan menghitung kemiskinan didasarkan pada
basic needs approach (pendekatan kebutuhan dasar) yang ditinjau dari sisi
pengeluaran, yang terdiri dari konsumsi makanan dan konsumsi bukan makanan.
Untuk konsumsi makanan, BPS menentukan minimal asupan sebanyak 2100 kalori per
kapita per hari. Artinya jika seseorang mengkonsumsi kurang dari 2100 kalori per hari,
maka dia termasuk kategori miskin. Sementara untuk konsumsi bukan makanan, BPS
menghitung total dari kebutuhan komoditas tergantung kondisi geografisnya. Di
pedesaan setidaknya ada 47 komoditas, sedangkan untuk perkotaan terdapat 51
komoditas. Jika seseorang tidak bisa memenuhi standard komoditas tersebut, maka
yang bersangkutan dikategorikan sebagai orang miskin berdasarkan garis kemiskinan
bukan makanan. Kedua kelompok konsumsi tersebut, konsumsi makanan dan
konsumsi bukan makanan, secara teknis penjumlahan konsumsi diestimasi dalam nilai
sejumlah uang.

Berbeda dengan BPS yang menghitung kebutuhan dasar per kapita atau berdasarkan
individu, BKKBN mengukur tingkat kemiskinan secara kualitatif yaitu kebutuhan dasar
keluarga atau kesejahteraan keluarga. Berdasarkan pendekatan ini, BKKBN
mengklasifikasi keluarga ke dalam 5 macam, yaitu keluarga pra sejahtera, keluarga
sejahtera I, keluarga sejahtera II, keluarga sejahtera III, dan keluarga sejahtera III plus.

Tabel 4 Klasifikasi Keluarga


Keluarga Pra Keluarga yang belum dapat memenuhi salah satu atau lebih
Sejahtera (Pra- indikator yang meliputi:
KS) 1). Indikator Ekonomi:
 Makan dua kali atau lebih sehari.
 Memiliki pakaian yang berbeda untuk aktivitas (misalnya di
rumah, bekerja/sekolah dan bepergian).
 Bagian terluas lantai rumah bukan dari tanah.
2). Indikator Non-Ekonomi:
 Melaksanakan ibadah.
 Bila anak sakit dibawa ke sarana kesehatan.

10
Keluarga Keluarga yang karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah
Sejahtera I (KS- satu atau lebih indikator meliputi:
I) 1). Indikator Ekonomi:
 Paling kurang sekali seminggu keluarga makan daging atau ikan
atau telor.
 Setahun terakhir seluruh anggota keluarga memperoleh paling
kurang satu stel pakaian baru.
 Luas lantai rumah paling kurang 8m untuk tiap penghuni.
2). Indikator Non-Ekonomi:
 Ibadah teratur.
 Sehat tiga bulan terakhir.
 Punya penghasilan tetap.
 Usia 10-60 tahun dapat baca tulis huruf latin.
 Usia 6-15 tahun bersekolah.
 Anak lebih dari 2 orang, ber-KB (Keluarga Berencana).

Keluarga Keluarga yang karena alasan ekonomi tidak dapat memenuhi salah
Sejahtera II satu atau lebih indikator meliputi:
(KS-II 1). Memiliki tabungan keluarga.
2). Makan bersama sambil berkomunikasi.
3). Mengikuti kegiatan masyarakat.
4). Rekreasi bersama (6 bulan sekali).
5). Meningkatkan pengetahuan agama.
6). Memperoleh berita dari surat kabar, radio, TV, dan majalah
7). Menggunakan sarana transportasi.

Keluarga keluarga yang sudah dapat memenuhi beberapa indikator, meliputi:


Sejahtera III 1). Memiliki tabungan keluarga.
(KS-III) 2). Makan bersama sambil berkomunikasi.
3). Mengikuti kegiatan masyarakat.
4). Rekreasi bersama (6 bulan sekali).
5). Meningkatkan pengetahuan agama.
6). Memperoleh berita dari surat kabar, radio, TV, dan majalah.
7). Menggunakan sarana transportasi.

Belum dapat memenuhi beberapa indikator, meliputi:


1). Aktif memberikan sumbangan material secara teratur.
2). Aktif sebagai pengurus organisasi kemasyarakatan.

11
Keluarga keluarga yang sudah dapat memenuhi beberapa indikator meliputi:
Sejahtera III 1) Aktif memberikan sumbangan material secara teratur.
Plus (KS-III Plus 2) Aktif sebagai pengurus organisasi kemasyarakatan.

Sumber: BKKBN 2011

Tabel di atas dapat dibaca bahwa meskipun keluarga sejahtera I masih dikategorikan
miskin akan tetapi mereka dapat menjadi standar kemiskinan sebuah keluarga pada
umumnya. Ada enam kriteria untuk masuk pada kategori tersebut; 1) makan dua kali
sehari atau lebih, 2) memiliki pakaian yang berbeda, 3) rumah yang ditempati
memiliki atap, lantai dan dinding yang baik, 4) bila ada anggota keluarga yang sakit
dibawa ke sarana kesehatan, 5) PUS (pasangan usia subur) bila ingin ber KB ke sarana
pelayanan kontrasepsi, dan 6) semua anak umur 7-15 tahun dalam keluarga
bersekolah. Jika sebuah keluarga tidak dapat memenuhi paling tidak salah satu dari
enam kriteria tersebut, maka dapat dimasukkan ke dalam kategori keluarga pra
sejahtera.5

Model pengukuran BKKBN tersebut sudah memasukkan kebutuhan spiritual sebagai


salah satu indikator dari keluarga sejahtera II (keluarga tidak miskin). Kebutuhan
spiritual yang ditentukan oleh BKKBN berdasarkan pada kemampuan untuk
melaksanakan ibadah ritual, jika tidak dapat memenuhinya maka akan dimasukkan ke
dalam keluarga sejahtera I atau keluarga tidak sejahtera.6 Walaupun demikian model
yang dibuat oleh BKKBN ini nampaknya masih belum komprehensif khususnya di
dalam mengelaborasi kebutuhan spiritual secara detil.

Untuk itu model CIBEST yang didesain dan dikembangkan oleh Beik dan Arsyianti
(Institut Pertanian Bogor) hadir berupaya menjawab tantangan tersebut yaitu dengan
mengukur kesejahteraan keluarga baik aspek material dan spiritualnya. Kedua aspek
tersebut diyakini sangat penting sebagai tolak ukur keseimbangan kehidupan
seseorang dan keluarga sebagaimana yang telah disampaikan dalam Al-Qur’an dan
Sunnah bahwa manusia diwajibkan tidak hanya menggapai sukses di dunia, melainkan

5 Alimoeso, 2014
6 Ibid

12
juga agar mencapai sukses di akhirat kelak.7 Dengan menggunakan model CIBEST,
rumah tangga dikelompokkan menjadi 4 kategori sesuai dengan kondisi dan
kemampuan mereka di dalam memenuhi kebutuhan material dan spiritualnya.
Keempat kategori yang dimaksud adalah:

1. Keluarga Sejahtera (Kuadran-I); sebagai kategori tertinggi, dimana rumah


tangga dapat memenuhi kebutuhan material dan spiritual secara komplit.
2. Keluarga Miskin Material (Kuadran-II); jika keluarga hanya mampu memenuhi
kebutuhan spiritualnya, tapi tidak mampu memenuhi kebutuhan materialnya.
3. Keluarga Miskin Spiritual (Kuadran-III); jika keluarga hanya mampu memenuhi
kebutuhan materialnya, tapi tidak mampu memenuhi kebutuhan spiritualnya.
4. Keluarga Miskin Absolut (Kuadran-IV); sebagai tingkat terendah, dimana
keluarga tidak mampu memenuhi kebutuhan material dan spiritualnya.

Dari penilaian tersebut, Beik dan Arsyianti memformulasikan index berdasarkan


konsep penilaian di atas sebagai model CIBEST dengan menciptakan kuadran seperti
yang tergambar sebagai berikut:

Gambar 1 Kuadran CIBEST

Sumber: Beik, I.S dan Arsyianti (2015)

7 Beik and Arsyianti, 2015

13
Ada dua keuntungan dari penggunaan kuadran CIBEST ini: pertama; mudah
mengidentifikasi jumlah keluarga di masing-masing kuadran, kedua; kuadran tersebut
akan membantu lembaga Negara di dalam merumuskan kebijakan pembangunan
yang benar. Menurut Beik dan Arsyianti, garis kemiskinan material dapat didasarkan
pada 3 pendekatan diantaranya: survei periodik tentang kebutuhan dasar material,
standar garis kemiskinan menurut BPS yang digunakan dengan modifikasi dan
penyesuaian baik dari pendekatan per kapita kepada pendekatan keluarga, dan
standar nishab (batasan kepemilikan harta yang dikenai kewajiban) Zakat. Nishab
merupakan standar pemisah antara muzaki (wajib zakat) dan mustahik (penerima
zakat).

Sementara aspek spiritual harus didasarkan pada 3 kelompok variabel yang terdiri dari
ibadah, lingkungan keluarga, dan kebijakan pemerintah. Ketiga variabel beserta
rasionalisasi penilaiannya dalam model pengukuran ini diturunkan menjadi 5 variabel
sebagaimana yang ditunjukkan pada tabel berikut:

Tabel 5 Skor Indikator Kebutuhan Spiritual

Sumber: Beik, I.S dan Arsyianti (2015)

14
Berdasarkan tabel di atas, model CIBEST menggunakan Likert scale untuk membantu
pengukuran nilai spiritualnya. Likert Scale yang digunakan yaitu 1 sampai 5, dimana
angka 1 diindikasikan untuk nilai terburuk, dan angka 5 untuk penilaian paling baik.
Meskipun angka 3 menjadi standar minimal pada miskin spiritual, yang membedakan
keluarga miskin dan kaya secara spiritual, keluarga yang termasuk dalam penilaian
tersebut dianggap tidak memiliki kesadaran untuk menjalankan ibadahnya secara
rutin. Untuk penilaian 1 dan 2, dapat diasumsikan bahwa mereka tidak mendukung
ajaran agamanya, dan bahkan lebih buruk lagi jika lingkungan dan pemerintah juga
tidak mendukung.

Berdasarkan indikator kebutuhan spiritual pada Tabel 4.3 maka didapatkan garis
kemiskinan spiritual atau Spiritual Value (SV) bernilai sama dengan 3. Rumah tangga
dikategorikan masuk dalam miskin sipiritual apabila memiliki skor SV kurang dari atau
sama dengan 3. Hal ini karena rumah tangga tersebut belum mampu memenuhi
kebutuhan ibadah wajib. Formula yang digunakan untuk menentukan skor masing-
masing individu rumah tangga adalah sebagai berikut:

Dimana,
Hi : Skor aktual anggota rumah tangga ke-i
Vpi : Skor sholat anggota rumah tangga ke-i
Vfi : Skor puasa anggota rumah tangga ke-i
Vzi : Skor zakat dan infak anggota rumah tangga ke-i
Vhi : Skor lingkungan keluarga menurut anggota keluarga ke-i
Vgi : Skor kebijakan pemerintah menurut anggota keluarga ke-i

Kemudian untuk menghitung skor spiritual rumah tangga yaitu dengan menjumlahkan
seluruh skor anggota rumah tangga dan membaginya dengan jumlah anggota rumah
tangga dengan formula sebagai berikut:

15
SH : skor kondisi spiritual anggota keluarga ke-h
MH : jumlah anggota keluarga

Dari hasil rata-rata skor kondisi spiritual satu rumah tangga maka dapat diketahui pula
skor rata-rata kondisi spiritual seluruh rumah tangga yang diamati. Hal ini untuk
mengetahui kondisi spiritual suatu wilayah secara agregat. Dengan formula sebagai
berikut:

Dimana,
SS : skor rata-rata kondisi spiritual keseluruhan keluarga yang diamati
SHk : skor kondisi spiritual keluarga ke-k
N : jumlah keseluruhan keluarga yang diamati di suatu wilayah

Untuk mengelompokkan rumah tangga ke dalam masing-masing kategori kemiskinan


berdasarkan kuadran CIBEST ditentukan oleh nilai MV dan nilai SV dengan kombinasi
sebagai berikut:

Tabel 6 Kombinasi Nilai Aktual MV Dan SV Rumah Tangga


Skor Aktual ≤Nilai MV >Nilai MV
>Nilai SV Kaya spiritual, miskin material Kaya material dan kaya spiritual
(kuadran II) (kuadran I)
≤Nilai SV Miskin material dan miskin Kaya material, miskin spiritual
spiritual (kuadran IV) (kuadran III)
Sumber: Beik dan Arsyianti (2015)

Sementara rumus yang digunakan untuk menghitung indeks model CIBEST kemudian
diklasifikasi dan dimasukkan ke dalam 4 kuadran yaitu berdasarkan rumus-rumus
sebagai berikut:

16
Tabel 7. Rumus Penghitungan Indeks CIBEST
Indeks CIBEST Rumus Keterangan
Kemiskinan material Pm : indeks kemiskinan material; 0 ≤ Pm ≤ 1
Mp : jumlah keluarga yang miskin secara material
namun kaya secara spiritual
N : jumlah populasi total keluarga yang diamati
Kemiskinan spiritual Ps : indeks kemiskinan spiritual; 0 ≤ Ps ≤ 1
Sp : jumlah keluarga yang miskin secara spiritual
namun kaya secara material
N : jumlah populasi total keluarga yang diamati
Kemiskinan absolut Pa : indeks kemiskinan absolut; 0 ≤ Pa ≤ 1
Ap : jumlah keluarga yang miskin secara material
dan spiritual
N : jumlah populasi total keluarga yang diamati
Kesejahteraan W : indeks kesejahteraan; 0 ≤ w ≤1
w : jumlah keluarga sejahtera (kaya secara
material dan spiritual)
N : jumlah populasi rumah tangga yang diamati

Akan tetapi, CIBEST sebagai alat ukur kesejahteraan juga memiliki keterbatasan
dikarenakan dimensi yang ditangkap baru sekadar ekonomi dan spiritual. Saat ini
dimensi pengukuran kesejahteraan sudah lebih multidimensi tidak terbatas pada satu
bidang saja. Setidaknya tiga hal lain perlu dimasukan ke dalam perhitungan. Dua
diantaranya sudah terepresentasi dalam Indeks Pembangunan Manusia, yakni
Kesehatan dan Pendidikan. Satu hal lainnya adalah Kemandirian yang juga sangat
memengaruhi ukuran kesejahteraan seseorang.

Maka dari itu, untuk kebutuhan kajian Dampak Zakat ini, maka dapat digunakan
metode penghitungan dampak dari pendayagunaan Zakat yaitu Indeks Zakat Nasional
(IZN) yang disusun oleh Tim Puskas BAZNAS (2016).8 IZN memiliki dua dimensi yaitu
makro dan mikro. Pada dimensi makro terdiri dari 3 indikator yaitu regulasi,

8 Pusat Kajian Strategis BAZNAS, Indeks Zakat Nasional, Jakarta, 2016

17
dukungan APBN, dan database lembaga zakat. Sementara pada dimensi mikro
meliputi kelembagaan dan dampak zakat. Isi dari IZN secara umum dapat dilihat pada
tabel di bawah ini:

Tabel 8 Komponen Indeks Zakat Nasional


Dimensi Indikator Variabel
Makro Regulasi Regulasi
Dukungan APBN Dukungan APBN
Database Database jumlah lembaga zakat
lembaga zakat resmi, muzakki, dan mustahik
Rasio Muzaki individu
Rasio muzaki badan
Mikro Kelembagaan Penghimpunan
Pengelolaan
Penyaluran
Pelaporan
Dampak Zakat Kesejahteraan Material dan
Spiritual (Indeks Kesejahteraan
CIBEST)
Pendidikan dan Kesehatan
( Modifikasi IPM)
Kemandirian
Sumber: Puskas BAZNAS, 2016

Mengacu pada tabel komponen Indeks Zakat Nasional di atas, khususnya pada
dimensi mikro, dapat dilihat bahwa indikator dampak zakat memiliki 3 variabel yaitu
; Kesejahteraan Material dan Spiritual (Indeks Kesejahteraan CIBEST), Pendidikan dan
Kesehatan (Modifikasi IPM), dan Kemandirian. Ketiga variabel ini yang kemudian
dimodifikasi secara terpisah untuk dijadikan referensi model indeks kesejahteraan
Puskas. Tahapan lebih detail dari penghitungan pada variabel yang ada adalah sebagai
berikut:

18
Pertama, menghitung indikator Kesejahteraan material dan spiritual atau Indeks
Kesejahteraan CIBEST sebagaimana telah dijelaskan di atas. Kedua, menghitung Indeks
yang meliputi indikator Pendidikan dan Kesehatan yang di Modifikasi dari IPM/
Indeks Pembangunan Manusia). IPM/ Human Development Index (HDI) adalah
sebuah pengukuran pembangunan sosial ekonomi masyarakat di wilayah tertentu
yang dikembangkan oleh United Nation Agency for Development (UNDP). IPM/HDI9
pada dasarnya meliputi 3 komponen dasar yaitu pendapatan dan daya beli, akses
pendidikan, dan kualitas kesehatan.

Dalam indeks kesejahteraan Puskas ini komponen pendapatan dan daya beli sudah
termasuk di dalam model CIBEST, karena itu kedua komponen Indeks Pembangunan
Manusia lainnya dimasukkan dalam penghitungan tersendiri, dan kita sebut sebagai
modifikasi IPM atau Modified HDI. Salah satu kajian terkait Modified HDI tersebut
pernah dilakukan oleh Nurzaman (2010)10 dengan istilah disagregasi IPM. Indeks
Pembangunan Manusia yang telah dimodifikasi tersebut memberikan formula
penghitungan pada setiap variabelnya dengan menggunakan rumusan sebagai berikut:

( )
( )
Dimana,
= Indeks pada variabel i
= nilai skor aktual pada pengukuran variabel i
= Skor maksimal
= Skor minimal

Penghitungan selanjutnya adalah pada variabel ketiga yaitu kemandirian dari para
penerima manfaat. Kemandirian para mustahik tersebut dilihat dari dua hal yaitu
memiliki pekerjaan tetap atau usaha/bisnis dan mempunyai tabungan. Untuk
menentukan penilaiannya maka telah disiapkan alatnya berupa likert scale yang telah

9 United Nations Development Programme. Human Development Report 2009. Diunduh pada 15
September 2009 dari http://hdr.undp.org/reports/global/2009/.
10 Nurzaman, M. S. (2010). Zakat and Human Development: An Empirical Analysis on Poverty

Alleviation in Jakarta, Indonesia. 8th International Conference on Islamic Economics and Finance.

19
ditentukan di dalam Indeks Zakat Nasional. Likert scale yang dimaksud pada variabel
kemandirian terdiri dari:

Tabel 9 Kriteria Indeks Kemandirian


Kriteria
(1= sangat lemah, 2= lemah, 3= cukup, 4= kuat, 5= sangat kuat)
1 2 3 4 5
Hanya
Tidak Memiliki salah satu Memiliki
Memiliki memiliki salah
memiliki dari pekerjaan pekerjaan
pekerjaan satu dari
pekerjaan tetap atau tetap,
tidak tetap pekerjaan tetap
dan usaha/bisnis dan usaha/bisnis
(serabutan) atau
usaha/bisnis memiliki tabungan dan tabungan
usaha/bisnis

Setelah melakukan penghitungan pada ketiga variable dalam indeks kesejahteraan


Puskas, maka langkah terakhir dari penghitungan dampak zakat yang dilakukan
adalah dengan cara mengkuantifikasi dari seluruh nilai yang dihasilkan 3 variabelnya
yaitu nilai W dari model CIBEST, Indeks variabel dari modifikasi IPM, dan justifikasi
nilai kemandirian yang diperoleh dari likertnya. Oleh karena itu formula
penghitungan pada Indeks Kesejahteraan Puskas, adalah:

D = (X221) x 0,40 + (X222) x 0,40 + (X223) x 0,20

Dimana:
(X221) = Nilai Kesejahteraan Material dan Spiritual (Indeks Kesejahteraan CIBEST)
(X222) = Nilai Pendidikan dan Kesehatan ( Modifikasi IPM)
(X223) = Nilai Kemandirian

Dari penilaian tersebut maka akan dihasilkan nilai dari 0 – 1, dimana nilai 0 (nol)
diinterpretasikan sebagai kondisi rumah tangga yang tidak sejahtera, sementara nilai 1
sebagai kondisi rumah tangga yang sudah sejahtera. Klasifikasi ranking dari penilaian
tersebut dapat diprotret pada tabel sebagai berikut:

20
Tabel 10. Kategori Penilaian Indeks Kesejahteraan Puskas
Score range Keterangan
0,00 – 0,20 Tidak baik
0,21 – 0,40 Kurang baik
0,41 – 0,60 Cukup baik
0,61 – 0,80 Baik
0,81 – 1,00 Sangat baik

Kesimpulan: Semakin nilai IKP mendekati 1 maka kondisi keluarga di wilayah


pengukuran semakin baik atau sejahtera. Artinya intervensi zakat di wilayah tersebut
juga sudah memberikan dampak positif. Sebaliknya, semakin nilai IKP mendekati 0
maka kondisi keluarga yang diintervensi zakat tidak mengalami perbaikan.

21
BAGIAN TIGA

HASIL DAMPAK ZAKAT NASIONAL

Hasil penghitungan Indeks Kesejahteraan Puskas secara agregat di 28 Provinsi


menunjukkan bahwa nilai tertingginya adalah 0.85 yang dicapai oleh 5 provinsi yaitu
NTT, Kalimantan Utara, Kalimantan Selatan, Papua Barat, dan Bengkulu. Sedangkan
dua nilai IKP terendah yaitu 0.35 yang diperoleh provinsi Bangka Belitung dan 0.40
yang dicapai oleh provinsi Gorontalo. Nilai Indeks Kesejahteraan Puskas dapat dilihat
pada tabel 11 sebagai berikut:

Tabel 11. Indeks Kesejahteraan Puskas


Indeks Indeks Indeks
Indeks
No Provinsi Kesejahteraan Modifikasi Kesejahteraan
Kemandirian
CIBEST IPM Puskas
1 Bengkulu 1 0.75 0.75 0.85
2 Kalimantan Barat 0.5 0.75 0.75 0.65
3 Papua Barat 1 0.75 0.75 0.85
4 Riau 1 0.75 0.5 0.8
5 Sulawesi Barat 0.75 0.75 0.5 0.7
6 Sumatera Barat 1 0.75 0.5 0.8
7 Sumatera Selatan 0.75 0.75 0.75 0.75
8 Bali 0.75 0.75 0.5 0.7
9 Jawa Timur 0.75 0.75 0.75 0.75
10 NTB 0.75 0.75 0.75 0.75
11 Gorontalo 0 0.75 0.5 0.4
12 Bangka Belitung 0 0.75 0.25 0.35
13 Jawa Barat 1 0.75 0.5 0.8
14 Jambi 1 0.75 0.5 0.8
15 Kalimantan Selatan 1 0.75 0.75 0.85
16 Kalimantan Utara 1 0.75 0.75 0.85
17 Kalimantan Tengah 0.75 0.75 0.5 0.7
18 Kalimantan Timur 0.75 0.75 0.5 0.7
19 Kepulauan Riau 0.75 0.75 0.5 0.7
20 Sulawesi Tengah 0.75 0.75 0.5 0.7
21 Sumatera Utara 0.5 0.75 0.5 0.6
22 Sulawesi Tenggara 0.75 0.75 0.5 0.7
23 Jawa Tengah 1 0.25 0.75 0.65
24 DI Yogyakarta 1 0.5 0.75 0.75

22
25 Banten 0.75 0.5 0.5 0.6
26 NTT 1 0.75 0.75 0.85
27 Sulawesi Utara 1 0.75 0.5 0.63
28 Aceh 0.75 0.75 0.5 0.62
Sumber: Data diolah (2017)

Sementara dilihat dari nilai rata-ratanya maka Indeks Kesejahteraan Puskas


memperoleh nilai rata-rata 0.71, yang berarti baik. Dengan kata lain, dampak
pendayagunaan zakat yang tersebar di 28 provinsi tersebut telah berdampak baik dan
positif. Nilai rata-rata Indeks Kesejahteraan Puskas dan variabelnya dapat dilihat pada
tabel 12 di bawah ini.

Tabel 12. Nilai Rata-rata Indeks Kesejahteraan Puskas


Indeks Indeks Indeks Indeks
Variabel Kesejahter Modifikasi Kemandirian Kesejahteraan
aan CIBEST IPM Puskas
Nilai Rata-Rata 0.79 0.71 0.59 0.71
Sumber: Data diolah (2017)

Nilai rata-rata indeks kesejahteraan Puskas yaitu 0.71 tersebut juga berarti bahwa
dampak kesejahteraan mustahik pasca bantuan yang dikelola dan disalurkan BAZNAS
ada pada kondisi yang baik. Performa BAZNAS dirasakan telah memberi dampak
yang baik dan mendorong kemandirian para mustahik penerima programnya. Jika
ditelusuri lebih dalam di masing-masing variabelnya maka diperoleh nilai rata-rata
yaitu untuk Indeks Kesejahteraan CIBEST: 0.79, Indeks Modifikasi IPM: 0.71, dan
Indeks Kemandirian: 0.59. Nilai rata-rata Indeks Kesejahteraan CIBEST dan Indeks
Modifikasi IPM dinilai baik. Sementara nilai rata-rata Indeks Kemandirian yaitu 0.59
yang berarti cukup baik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa nilai rata-rata
Indeks Kesejahteraan Puskas yang perlu didorong lebih baik lagi di masa mendatang
adalah terkait dengan kemandirian para mustahik. Hal ini perlu mendapat perhatian
serius terlebih jika menengok pada tujuan dari program-program produktif BAZNAS
yaitu untuk menguatkan dan memandirikan para mustahik dampingannya. Terlebih
lagi jika mendalami daripada tujuan zakat diantaranya untuk mengangkat kaum

23
mustahik agar dapat menjadi muzaki (pembayar zakat) dengan harkat dan martabat
hidup yang lebih baik lagi, hingga dapat bermanfaat bagi seluruh umat di dunia.

Melihat nilai rata-rata indeks variabel yang telah diperoleh tersebut dapat
menggambarkan bahwa masih terdapat kesenjangan, khususnya pada variabel
kemandirian. Nilai rata-rata indeks kesejahteraan CIBEST dan indeks Modifikasi IPM
masing-masing memiliki nilai termasuk dalam kategori baik. Sementara nilai rata-rata
indeks kemandirian berada pada hasil terendah diantara kedua indeks lainnya. Ini
artinya program pendayagunaan zakat oleh BAZNAS perlu didorong untuk
memberikan dampak kemandirian yang berkesinambungan bagi para mustahiknya.
Program perlu mendesain ulang agar memiliki skema atau exit strategy khususnya agar
para penerima manfaat program tidak kembali miskin pasca program.

Di sisi lain mustahik penerima zakat perlu didorong dan mengupayakan diri mereka
untuk memiliki target mencapai kondisi yang lebih baik dan tidak bergantung pada
program bantuan. Pengelola program zakat, dalam hal ini BAZNAS, juga penting
untuk memastikan program produktifnya memberi dampak positif dan berkelanjutan
melalui pemantauan dan pengawasan baik pada saat berjalannya program hingga
pasca program bantuan Zakat. Pemantauan dan pengawasan dilakukan secara khusus
pada aspek kesejahteraan dan kemandirian mustahik sehingga dapat dipastikan tidak
lagi tergantung penghidupannya berasal dari pemberian dana zakat atau sumbangan
lainnya. Para mustahik harus memiliki semangat berdikari dan mandiri di dalam
memperjuangkan hidupnya dan keluarganya di dalam kondisi sejahtera.

Sementara itu, melihat pada persebaran nilai indeks kesejahteraan Puskas tertinggi dan
terendah di level provinsi, didapatkan hasil dimana nilai indeks tertinggi adalah 0.85
yang dicapai oleh 5 Provinsi diantaranya Provinsi Bengkulu, Papua Barat, Kalimantan
Selatan, Kalimantan Utara, dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Dari hasil tersebut dapat
menunjukkan bahwa kelima provinsi tersebut sebagai provinsi yang aktif dan intensif
dalam memberikan layanan-layanan yang dapat dirasakan langsung manfaatnya oleh
mustahik. Di sisi lain, mustahik dapat merespon layanan zakat di wilayahnya dengan

24
sangat baik. Dengan demikian timbal-balik antara dua pihak dapat bersinergi dan
memberikan dampak yang positif atau sangat baik.

Secara jelas, perbandingan nilai indeks kesejahteraan puskas diantara 28 provinsi


digambarkan melalui gambar sebagai berikut:

Gambar 2 Indeks Kesejahteraan Puskas

Sumber: Data diolah (2017)

Sebaliknya provinsi dengan nilai Indeks kesejahteraan Puskas terendah dialami oleh
provinsi Bangka Belitung yaitu 0.35 dan provinsi Gorontalo yakni 0.40. Nilai Indeks
kesejahteraan Puskas yang kurang baik ini dialami kedua provinsi tersebut diperoleh
dari minimnya indeks kesejahteraan CIBEST yaitu 0. Indeks kesejahteraan CIBEST yang
kurang baik tersebut mengindikasikan minimnya pendampingan atau kualitas

25
komunikasi serta lemahnya koordinasi kepada para mustahik pasca pemberian
bantuan.

Penjelasan berdasarkan masing-masing variabel dari Indeks Kesejahteraan Puskas akan


dibagi menjadi 3 bagian sebagai berikut:

A. Indeks Kesejahteraan CIBEST

Dari data yang diolah menggunakan rumus penghitungan Indeks Kesejahteraan


CIBEST, maka diperoleh hasilnya sebagai berikut. Berdasarkan penghitungan tersebut,
secara umum, dapat disimpulkan bahwa program-program produktif yang dijalankan
oleh BAZNAS di 28 provinsi telah memberikan dampak yang baik dan positif. Hal
tersebut dapat diindikasikan dari capaiannya yaitu terdapat sekitar 42% atau 12 dari
28 provinsi yang diamati tersebut telah memiliki indeks kesejahteraan material dan
spiritual yang sangat baik hingga mencapai nilai Indeks 1. Kedua belas provinsi dengan
nilai indeks kesejahteraan CIBEST tertinggi tersebut meliputi Bengkulu, Papua Barat,
Riau, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jambi, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Jawa
Tengah, DI Yogyakarta, Nusa Tenggara Timur (NTT), dan Sulawesi Utara.

Diantara provinsi dengan nilai indeks kesejahteraan CIBEST 1 (satu) yang berarti
sangat baik kesejahteraan material dan spiritualnya, menunjukkan bahwa bantuan dan
dukungan zakat di wilayah tersebut telah memberikan dampak yang positif. Dampak
positif tersebut diperoleh dari baiknya tiga faktor utama yaitu (1) bentuk dan
mekanisme program pendayagunaan zakat, (2) respon mustahik yang mau
bekerjasama dan menginginkan perubahan pada diri mereka, serta (3) pendampingan
dan monitoring yang dilakukan secara berkesinambungan. Meskipun dengan skala
yang berbeda dari masing-masing provinsi, namun ketiga faktor tersebut menjadi
kunci pada keberhasilannya.

26
Gambar 3 Indeks Kesejahteraan CIBEST

Sumber: Data diolah (2017)

Sementara itu ada sekitar 42% dari semua provinsi yang diamati lainnya dengan hasil
Indeks Kesejahteraan CIBEST 0.75 (baik). 12 provinsi dengan nilai indeks
kesejahteraan CIBEST 0.75 tersebut terdiri dari Sulawesi Barat, Sumatera Selatan, Bali,
Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kepulauan
Riau, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Banten, dan Aceh. Nilai indeks 0.75
termasuk pada kategori baik, artinya di provinsi-provinsi tersebut pendayagunaan
zakat telah dilakukan dengan baik. Hanya saja masih diperlukan beberapa upaya
untuk meningkatkan partisipasi aktif mustahik dan pendampingan yang
berkesinambungan.

27
Ada sekitar 8% dari provinsi yang diamati pada kajian ini yang memiliki nilai indeks
kesejahteraan CIBEST 0.50 (cukup baik). 8% atau 2 provinsi yang dimaksud dimiliki
provinsi Kalimantan Barat dan Sumatera Utara. Artinya di kedua provinsi tersebut, di
satu sisi pengelola zakat telah cukup memberikan bantuan dan dukungan kepada
mustahik namun kurang dalam pendampingan dan bimbingan kepada mustahik.
Seyogyanya dalam pengelolaan program bantuan zakat yang dilakukan mensyaratkan
perlunya pendampingan dan bimbingan tidak hanya terkait dengan keterampilan
menjalankan program, melainkan juga pendampingan dan bimbingan secara mental
spiritual. Selain itu bagi provinsi dengan nilai indeks kesejahteraan CIBEST 0.50
tersebut diperlukan dukungan lebih terkait program yang lebih mengena dan tepat
sasaran.

Sedangkan pengelolaan program bantuan zakat yang ada di provinsi Gorontalo dan
Bangka Belitung memiliki nilai indeks terendah yaitu 0 (nol). Pada 2 provinsi terakhir
ini dapat menggambarkan bahwa bantuan zakat yang didistribusikan di wilayah
tersebut masih bersifat konsumtif dan sekali-sekali. Program seperti ini dalam kondisi
darurat memang diperlukan, namun perlu dilanjutkan dengan program
pendayagunaan yang lebih bersifat pemberdayaan. Program lanjutan pendayagunaan
ini menjadi batu pijakan awal untuk dapat mengentaskan para mustahik dalam
meningkatkan kemampuan dirinya termasuk finansial dan juga spiritualnya.

Sementara jika dilihat dari kuadran perubahan Indeks Kesejahteraan CIBEST, maka
diperoleh hasil bahwa dari keempat kuadrannya memiliki tren yang positif. Hal ini
ditunjukkan dengan nilai di masing-masing kuadran. Pada kuadran I atau kuadran
Kesejateraan menunjukkan peningkatan positif sebagaimana yang ditunjukkan pada
gambar 4 pada garis berwarna biru. Meskipun nilai yang diperoleh di semua provinsi
yang diamati berada di bawah 0.40, namun secara umum terlihat tren yang positif. 3
provinsi dengan nilai kuadran I tertinggi yaitu Banten (0.33), Kalimantan Utara dan
Sulawesi Tenggara masing-masing 0.30.

28
Gambar 4. Kuadran Perubahan Indeks Kesejahteraan CIBEST

Sumber: Data diolah (2017)

Sementara pada kuadran II, III, dan IV memiliki nilai dengan tren positif juga. Pada
kuadran II (Kemiskinan Material) yang ditunjukkan oleh garis merah menjelaskan
bahwa secara umum program produktif zakat telah dapat menurunkan kemiskinan
material para mustahik. Demikian halnya kemiskinan spiritual (kuadran III: garis
berwarna hijau) yang juga telah berhasil diturunkan oleh program produktif zakat.
Termasuk pada kuadran IV (kemiskinan absolut: garis berwarna ungu) para mustahik
di 28 provinsi tersebut, telah berhasil ditekan dan diturunkan nilainya.

Tren positif tersebut sebagaimana juga ditunjukkan dari nilai rata-rata Indeks
Perubahan di masing-masing kuadran pada Indeks Kesejahteraan CIBEST. Nilai rata-
rata pada kuadran I adalah 0.13. Sementara nilai rata-rata pada 3 kuadran kemiskinan
bernilai negative. Artinya nilai rata-rata yang diperoleh dari semua kuadran sesuai
dengan harapan dan tujuan program zakat yaitu mensejahterakan mustahik dan

29
mengurangi angka kemiskinan. Keempat kuadran dari Indeks Kesejahteraan CIBEST
sebagaimana yang tercantum pada tabel berikut ini:

Tabel 13. Nilai Rata-rata Indeks Kesejahteraan CIBEST


Variabel Indeks Indeks Indeks Indeks
kuadran I Kuadran II Kuadran III Kuadran IV
Nilai Rata-rata 0.13 -0.09 -0.02 -0.03
Sumber: Data diolah (2017)

Meskipun demikian jika dilihat lebih rinci maka nilai yang diperoleh tersebut masih
sangat kecil. Hal ini masih menjadi pekerjaan rumah bagi organisasi pengelola zakat,
khususnya BAZNAS, di dalam menguatkan program-program produktifnya di
masyarakat. Jika tercapai tujuan zakat untuk mengentaskan kemiskinan dan
mensejahterakan umat maka kepercayaan terhadap lembaga zakat akan semakin
meningkat.

B. Indeks Modifikasi IPM

Indeks Modifikasi IPM merupakan satu indeks yang mencerminkan kondisi pendidikan
dan kesehatan masyarakat yang diamati. Dari hasil olah data pada studi ini diperoleh
gambaran indeks modifikasi IPM dari 28 provinsi yang diamati yakni 89% memiliki
dampak positif terhadap pendidikan dan kesehatan para mustahiknya.

Melihat pada gambar 4, sebanyak 25 dari 28 provinsi yang diamati memiliki Indeks
Modifikasi IPM yaitu 0.75 (baik), 2 provinsi lainnya memiliki Indeks 0.50 (cukup
baik), dan hanya 1 provinsi yang memiliki Indeks 0.25 (kurang baik). Nilai indeks
yang ditunjukkan pada gambar tersebut menunjukkan bahwa dampak bantuan zakat
terhadap sektor pendidikan dan kesehatan mustahik dapat dikatakan berhasil. Dengan
kata lain program bantuan zakat sebagian besar provinsi yang diamati telah
berdampak pada peningkatan pendidikan dan kesehatan mustahiknya. Capaian ini
tidak hanya karena sebagian besar pendistribusian dan pendayagunaan zakat masih
tersentral pada 2 bidang ini, melainkan upaya-upaya pemandirian mustahik juga
dilakukan untuk memperkuat dua bidang ini.

30
Gambar 4 Penghitungan Indeks Modifikasi IPM

Sumber: Data diolah (2017)

Pola pemberian bantuan zakat kepada mustahiknya dapat dikatakan dominan kepada
dua bidang tersebut. Sementara di 2 provinsi yaitu Banten dan DI Yogyakarta hasil
indeks modifikasi IPM yang mencapai 0.50 (cukup baik). Hasil tersebut termasuk pada
kategori cukup baik, dimana kondisi pendidikan dan kesehatan para mustahik dapat
ditingkatkan melalui program-program zakat. Sedangkan provinsi dengan nilai indeks
modifikasi IPM terendah yaitu Jawa Tengah dengan nilai 0,25 (kurang baik). Jika
diambil nilai rata-rata pada Indeks Modifikasi IPM ini maka hasilnya adalah 0.71

31
(baik), artinya upaya-upaya pengelola zakat melalui program-program di kedua
bidang ini baik langsung dan tidak langsung telah berkontribusi pada perbaikan
kondisi para mustahiknya.

Jika menengok pada statistik BAZNAS 2016, maka program zakat terkait bidang
pendidikan mendapatkan porsi yang cukup banyak dibandingkan dengan bidang-
bidang lainnya. Untuk lebih jelasnya, berikut ini gambaran perbandingan penyaluran
zakat berdasarkan bidang:

Tabel 14. Perbandingan Penyaluran berdasarkan Bidang

Sumber: Buku Statistik BAZNAS, 2016

Khusus pada program pendidikan ada peningkatan jumlah penyalurannya yaitu dari
20.72% di tahun 2015 menjadi 31.30% di tahun 2016. Beberapa program pada
bidang pendidikan yang dilakukan para pengelola zakat meliputi pemberian beasiswa
yang terdiri dari biaya pendidikan, satu keluarga satu sarjana, bantuan buku-buku
pelajaran dan buku tulis, alat-alat tulis dan perlengkapan sekolah (seragam, sepatu,
dll), pemberian bantuan uang transportasi kepada siswa/siswi mustahik yang
memerlukannya.

Sementara itu program penyaluran bidang kesehatan meskipun bukan menjadi


program prioritas, berdasarkan tabel statistik di atas, namun ada beberapa bidang
lainnya yang juga terkait dengan bidang kesehatan secara tidak langsung. Pada
umumnya program penyaluran zakat dalam bidang kesehatan terdiri dari pelayanan
kesehatan dan pemberian obat cuma-cuma secara berkala, pemberian akses untuk
untuk mendapatkan layanan kesehatan, dan bantuan biaya operasi. Beberapa
program bidang kesehatan lainnya dari sisi non medis atau yang berimbas pada

32
kesehatan seperti akses untuk mendapatkan BPJS, pendampingan di Rumah Sakit
untuk mendapatkan layanan sesuai prosedur, pemberdayaan lingkungan bersih dan
sehat sebagai langkah preventif seperti pengorganisiran pembuangan sampah,
pemilahan sampah, hingga bank sampah, dll. Penyaluran bidang lain selain kesehatan
yang berdampak pada kesehatan mustahik juga dapat diperoleh dari bidang sosial
kemanusiaan khususnya pada saat terjadi bencana yang seringkali membutuhkan
fasilitas medis dan non medis bagi para penyintas/ survivors. Program bidang sosial
kemanusiaan ini juga secara insidental/ darurat memberikan bantuan kesehatan bagi
masyarakat yang membutuhkan.

Di satu hasil nilai indeks modifikasi IPM telah didominasi oleh nilai kategori, perlu
diapresiasi dengan baik. Walau demikian, nilai yang diperoleh belum termasuk pada
kategori yang sangat memuaskan. Oleh karena itu, di sisi lain, diperlukan upaya kerja
keras pengelola zakat khususnya produktif untuk kreatif dan progress dalam
mengembangkan program-program produktif yang integratif sehingga dapat
mendorong percepatan dan peningkatan mutu pendidikan dan kesehatan khususnya
bagi para mustahik.

C. Indeks Kemandirian

Indeks kemandirian menjadi salah satu indeks penentu dalam formula Indeks
Kesejahteraan Puskas. Kemandirian mustahik menjadi ujung dari pada tujuan
penyaluran zakat itu sendiri. Pengelolaan zakat dapat memberikan dampak pada
kehidupan dan penghidupan yang berkesinambungan bagi para mustahiknya bahkan
didorong agar dapat menjadi muzaki. Oleh karena itu mustahik yang dibantu zakat
semestinya dapat mendorong pengurangan jumlah kemiskinan, meningkatnya
kesejahteraan serta berkontribusi pada lingkungan sekitar bahkan membantu mustahik
lainnya yang membutuhkan dukungan dan bantuan.

Penilaian Indeks Kemandirian ini diukur dari 2 indikator utama yaitu mustahik telah
memiliki pekerjaan tetap atau mustahik telah memiiliki usaha yang dipandang stabil
dan kepemilikan tabungan oleh para mustahik. Dari penghitungan data yang

33
diperoleh, hasil Indeks Kemandirian di 28 provinsi yang diamati adalah seperti terlihat
pada gambar 5 sebagai berikut:

Gambar 5. Indeks Kemandirian

Sumber: Data diolah (2017)

Dari gambar hasil indeks kemandirian tersebut, sebanyak 42% provinsi yang diamati
pada studi ini telah mencapai nilai indeks 0.75 (baik). provinsi-provinsi yang ada di
dalamnya diantaranya Bengkulu, Kalimantan Barat, Papua Barat, Sumatera Selatan,

34
Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan Utara, Jawa
Tengah. DI Yogyakarta, dan Nusa Tenggara Timur.

Sementara provinsi-provinsi dengan nilai indeks kemandirian 0.5 (cukup baik)


mencakup sekitar 53% atau nilai yang paling dominan. Provinsi yang diamati dengan
nilai 0.5 tersebut diantaranya Riau, Sulawesi Barat, Sumatera Barat, Bali, Gorontalo,
Jawa Barat, Jambi, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur, Kepulauan Riau, Sulawesi
Tengah, Sumatera Utara, Sulawesi Tenggara, Banten, Sulawesi Utara, dan Aceh.
Sedangkan provinsi dengan nilai indeks kemandirian terendah (0.25: kurang baik) ada
di provinsi Bangka Belitung.

Dilihat dari kedua indikator dari Indeks Kemandirian tersebut maka diperoleh
kesimpulan bahwa program penyaluran zakat telah mendorong dan mengupayakan
hal-hal yang dapat melepaskan mustahik dari ketergantungan bantuan yang
diterimanya sekaligus membiasakan para mustahik untuk memiliki tabungan. Meski
demikian, hasil indeks tersebut juga menunjukkan bahwa masih perlu dan mesti ada
peningkatan. Karena dari beberapa hasil catatan lapangan penelitian yang berlangsung
di 28 Provinsi tersebut menunjukkan bahwa sebagian mustahik walaupun telah
didukung dan dibantu akan tetapi masih belum memiliki semangat atau jiwa
kemandirian yang diharapkan. Kecenderungan pasca selesainya program maka mereka
akan kembali menunggu bantuan lain datang dan kembali menjadi mustahik lagi.
Beberapa analisis muncul terkait perilaku tersebut diantaranya program yang diikuti
oleh mustahik tidak memberikan pendampingan yang cukup (berkala dan intensif),
pendampingan yang diberikan hanya bersifat teknis dan tidak memasukkan motivasi
dan penyiapan mental yang lebih kuat, atau dalam beberapa kasus program produktif
yang dikelola baru bersifat formal dimana esensinya masih bersifat karitas.

Meskipun demikian, hasil Indeks Kemandirian pada studi ini, sedikit banyak,
memberikan gambaran bahwa kerja-kerja zakat khususnya penyaluran zakat melalui
program-program produktif turut serta mengupayakan terbukanya lapangan kerja
bagi para mustahik. Meski demikian tidak mudah untuk memberikan jenis pekerjaan
yang sesuai dengan minat mustahik. Keragaman minat mustahik, atau terkadang

35
malah ketiadaan minat dari mustahik dalam bekerja atau memiliki usaha telah
menjadi perhatian para pengelola program. Oleh karena itu para pengelola program
wajib mendorong dan mengupayakan berbagai unsur pendukung diantaranya
motivasi, akses, modal, pasar dll agar muncul dan berkembang budaya kerja dan
semangat berusaha di kalangan mustahik. Dengan demikian, nilai indeks kemandirian
ini dapat terangkat dan meningkat karena indeks kemandirian turut menjadi faktor
penentu di dalam penilaian Indeks Kesejahteraan Puskas.

36
BAGIAN IV

PENUTUP

Melalui kajian ini Indeks Kesejahteraan Puskas memiliki peran kunci dalam menilai
pengelolaan zakat, khususnya dampak yang muncul dari pendistribusian dan
pendayagunaan zakat kepada para mustahik. Pada bagian penutup ini akan
disampaikan 2 hal utama dari kajian yang telah dilakukan, yaitu kesimpulan dan
rekomendasi.

A. Kesimpulan

Hasil dari kajian implementasi Indeks Kesejahteraan Puskas maka dapat disimpulkan
beberapa hal, diantaranya:
i. Indeks Kesejateraan Puskas merupakan Indeks berjenjang (composite index)
dengan 3 variabel yaitu indeks kesejahteraan CIBEST, Indeks Modifikasi IPM,
dan Indeks Kemandirian.
ii. Hasil pengukuran indeks kesejahteraan Puskas beserta variabel turunannya
telah menunjukkan dampak pendayagunaan secara positif.
iii. Hasil yang positif tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar dari provinsi
yang diamati dalam studi ini telah memberikan upaya maksimal di dalam
memberikan bantuan kepada para mustahiknya sehingga dapat berkontribusi
pada baiknya hasil Indeks Kesejahteraan Puskas.
iv. Dampak positif tersebut diperoleh dari baiknya tiga faktor utama yaitu (1)
bentuk dan mekanisme program pendayagunaan zakat, (2) respon mustahik
yang mau bekerjasama dan menginginkan perubahan pada diri mereka, serta
(3) pendampingan dan monitoring yang dilakukan secara berkesinambungan.

B. Rekomendasi

Dari kesimpulan yang diperoleh tersebut, maka dalam kajian ini turut memberikan
rekomendasi terkait kajian akademik dan tindak lanjut pendayagunaan zakat untuk

37
menghasilkan data yang lebih baik di masa mendatang. Beberapa rekomendasi yang
yang ditujukan kepada:

i. Kajian Akademik
a. Perlu dikembangkannya mekanisme program berdasarkan studi ini yang
dapat beradaptasi dengan alat ukur seperti Indeks Kesejahteraan Puskas.
b. Perlu juga riset-riset selanjutnya terkait dengan model-model
pemberdayaan zakat yang sesuai dengan karakter wilayah yang
kompleks.

ii. Pengambil kebijakan organisasi pengelola zakat


a. Monitoring dan evaluasi secara berkala terhadap program produktif
menjadi sebuah keniscayaan. Kegiatan tersebut penting dilakukan untuk
memastikan program berjalan dengan baik dan memberikan dampak
positif sesuai dengan tujuan program dan yang diharapkan oleh
donatur.
b. Memberikan porsi anggaran yang lebih kepada program-program
pemberdayaan dan berjangka panjang, dengan memastikan kesesuaian
antara tujuan, perencanaan, pelaksanaan program, monitoring &
evaluasi, serta komunikasi program yang intensif terhadap semua
stakeholder sehingga tujuan program bisa berdampak pada
kesejahteraan mustahik secara berkesinambungan.
c. Memasukkan program pemberdayaan pasca program bantuan langsung.
Beberapa wilayah yang akan diintervensi memiliki persoalan dalam
pemenuhan kebutuhan dasar para mustahiknya. Dalam hal ini pengelola
zakat mesti ambil peran untuk memenuhinya. Akan tetapi

38
DAFTAR PUSTAKA

Alimoeso, S. 2014, Pemanfaatan data keluarga dalam pembangunan keluarga. Paper


presented at National Seminar of BAZNAS, Balikpapan.
Badan Amil Zakat Nasional. (2016). Dokumen Sistem Informasi Manajemen BAZNAS
(SIMBA). Jakarta: BAZNAS.
Badan Amil Zakat Nasional. (2016). Dokumen Rencana Strategis BAZNAS 2016-2020.
Jakarta: BAZNAS.
Badan Amil Zakat Nasional. (2016). Dokumen Statistik BAZNAS 2016. Jakarta:
BAZNAS.
Beik, I. S., & Arsyianti, L. D. (2016). Ekonomi Pembangunan Syariah (Edisi Revisi).
Jakarta: Rajawali Pers. Cetakan ke-1. April 2016
Beik, I. S., & Arsyianti, L. D. (2016). Measuring Zakat Impact On Poverty And Welfare
Using Cibest Model. Journal of Islamic Monetary Economics and Finance, 1(2),2016th
BKKBN. 2004. Studi Pelaksanaan Program Keluarga Berencana Dalam Era
Desentralisasi
BKKBN. 2011. Batasan dan Pengertian MDK, diunduh melalui
http://aplikasi.bkkbn.go.id/mdk/BatasanMDK.aspx
Buku Statistik Zakat Nasional 2016, Divisi IT & Pelaporan Badan Amal Zakat Nasional/
BAZNAS, Agustus 2016
Firdaus, M., Beik, I. S., Irawan, T., Juanda, B. (2012). Economic Estimation and
Determinations of Zakat Potential in Indonesia (Working Paper Series WP#1433-
07). Jeddah: Islamic Research and Training Institute.
http://www.bakti.or.id/berita/zakat-untuk-pengentasan-kemiskinan-di-kota-gorontalo
https://id.wikipedia.org/wiki/Gorontalo
http://www.baznas-siak.com/?page_id=1091#
http://kabsijunjung.baznas.go.id/
Indonesia. Badan Pusat Statistik. Garis Kemiskinan Menurut Provinsi, 2013-2016. N.p.,
Oct. 2016. Web. Nov. 2016.
Jonathan Haughton, Shahidur R. Khandker, Handbook on Poverty and Inequality,
The International Bank for Reconstruction and Development/The World Bank,
Washington DC, 2009.

39
Nurzaman, M.S., Hendharto, R.G., Annisa, N., Khairunnajah, Noviyanti, dan Choirin,
M. (2017). National Zakat Index: Framework and Methodology. Puskas
Working Paper Series (PWPS)# 2017-04.
Pusat Kajian Strategis BAZNAS. (2016). Indeks Zakat Nasional. Jakarta: Puskas
BAZNAS.
Mohamad Soleh Nurzaman, Evaluating the Impact of Productive Based Zakat in The
Perspective of Human Development Index: A Comparative Analysis, Kyoto
Bulletin of Islamic Area Studies, 9 (March 2016), pp.42–62
Pusat Kajian Strategis BAZNAS, Indeks Zakat Nasional, Jakarta, 2016
Qardawi, Y. (2011). Hukum Zakat. Jakarta: Litera Antarnusa.
United Nations Development Programme. Human Development Report 2009.
Diunduh pada 15 September 2009 dari
http://hdr.undp.org/reports/global/2009/.

40

Anda mungkin juga menyukai