Ajaran Islam yang masuk ke Indonesia khususnya pulau Jawa dibawa oleh para
pendakwah dari berbagai belahan dunia. Para pendakwah tersebut diantarannya adalah
Walisongo yang bersikap terbuka dan toleran terhadap agama dan kebudayaan yang telah ada.
Mereka tidak serta merta mengubah tradisi masyarakat Jawa, namun sedikit demi sedikit
memasukan ajaran-ajaran Islam
Hal yang demikian menjadikan Islam mudah diterima dan cepat tersebar di tanah Jawa.
Namun, hal itu menimbulkan dampak negatif. Dampak negatif tersebut adalah timbulnya varian
Islam yang disebut agama Islam Jawa atau Islam Kejawen, yang mencampurkan kepercayaan
Pra-Islam seperti Animisme, Dinamisme, Hindu serta Budha dengan ajaran Islam.
Terjadinya akulturasi budaya tersebut menjadi salah satu ciri bahwa dikalangan
masyarakat pemeluk Islam di Jawa masih mempertahankan tradisi Jawa yang sudah berlaku
dari dahulu tetapi menggunakan syariat Islam seperti halnya tradisi selamatan. Lebih jauh tradisi
yang tumbuh dan terpelihara sejak sebelum Agama Islam masuk di Jawa, selanjutnya membaur
dan hidup berdampingan, seperti tradisi macapatan dalam bentuk pupuh (tembang) yang berisi
kisah perjalanan nabi Yusuf. Tradisi macapatan disajikan pada saat menyambut datangnya
bulan Suro atau Muharram.
Kemudian pengenalan kalimah Syahadat mealalui gamelan Sekaten (Syahadatain) juga
dilakukakan. Sebagai seorang yang cerdas dan memahami budaya masyarakat Jawa, maka
ketika akan menyampaikan ajaran agama Islam, sunan Kalijaga bersama Wali lainnya
membunyikan gamelan yang dinamakan Sekaten di depan Masjid Demak. Gamelan itu terdiri
dari dua macam, yang besar di beri nama Kyai Sekati dan yang kecil diberi nama Nyai Sekati.
Keramaian dengan menabuh gamelan Sekaten itu, hingga saat ini masih dilestarikan oleh
Kraton Yogyakarta dan Surakarta untuk memperingati Maulid Nabi dan menyongsong Hari Raya
Idul Adha.
Dikalangan masyarakat Jawa yang memeluk agama Hindu, ada pula ritual untuk
menghormati ruh nenek moyang dengan memberikan sajian berupa kue pada hari tertentu
setelah pembakaran jenazah dan ritual itu dilakukan sampai turunan keenam. Kemudian Islam
masuk merubah sebagian ritual ini, yaitu dengan memanjatkan doa-doa kepada Allah SWT
berupa tahlillan.
Budaya-budaya Islam Jawa seperti yang telah disebutkan di atas harus kita lestarikan
sebagai wujud implementasi Islam terhadap keraifan budaya lokal. Namun, perlu juga penataan
kembali struktur budaya Jawa Islam dalam berfikir dan berkarya dalam bidang kebudayaan.
Agar budaya yang ada tidak bertentangan dengan ketentuan syariat Islam.