Anda di halaman 1dari 3

TUGAS REMIDIAL

A. Judul Artikel : Akulturasi Islam dam Budaya Jawa


B. Penulis : Donny Khoirul Aziz (STAIN Purwokerto)
C. Link Sumber : https://journal.iainkudus.ac.id/index.php/fikrah/article/view/543
D. Kegiatan Belajar : Meresume

Masuknya Islam Ke Indonesia


Sebelum tahun 1883 M, dikemukakan pendapat oleh seorang pakar sejarawan yang
bernama Crawfurd, bahwa Islam masuk ke Indonesia dan melayu langsung dari Arab. Kemudian
setelah tahun 1883 M, munculah berbagai macam pendapat dari para sarjana, baik yang pro
maupun yang kontra dengan pendapatnya Crawfurd.
Pendapat pertama, dikemukakan oleh para sarjana yang berasal dari belanda, diantaranya
Pijnappel, Snouck Hurgronje, dan Moquette. Mereka berpendapat bahwa asal-muasal Islam di
Indonesia berasal dari Anak Benua Gujarat-India, bukannya dari Persia atau Arab. Mereka
berargumen bahwa batu nisan yang ditemukan memiliki persamaan dengan batu nisan di
Gujarat. Namun argumen tersebut ditentang oleh Fatimi, dengan mengatakanbentuk dan gaya
batu nisan tersebut justru mirip dengan batu nisan yang ada di Bengal (Banglades). Oleh sebab
itulah, Fatimi menyimpulkan bahwa asal muasal Islam di Nusantara adalah dari wilayah Bengal.
Pendapat kedua, dikemukakan oleh sarjana Marrison dan Arnold yang berpendapat bahwa
Islam di Nusantara bukan berasal dari Gujarat, tetapi dibawa oleh para penyebar Muslim yang
berasal dari pantai Coromandel pada akhir abad ke-13. Mereka berargumen bahwa pada masa
Islamisasi Samudra Passai, yang raja pertamanya wafat pada 698 H / 1297 M, Gujarat masih
merupakan kerajaan Hindu. Baru pada tahun 699 H / 1298 M.
Pendapat Ketiga, mengemukakan teori bahwa Islam Nusantara dibawa langsung dari Arab.
Teori ini sebagai tersebut di atas, dikemukakan oleh sarjana Crawfurd, meskipun ia
menyarankan bahwa interaksi penduduk Nusantara dengan kaum Muslim yang berasal dari
pantai timur India juga merupakan faktor penting dalam penyebaran Islam di Nusantara.
Pendapat tentang sumber Islam Nusantara dari Arab ini, juga dipegang dengan kukuh oleh
sebagian ahli Indonesia dan didukung juga oleh sarjana Naguib al-Attas yang merupakan
pembela tergigih “Teori Arab” sekaligus penentang keras “Teori India”.
Namun ada teori menarik yang dikemukakan oleh A.H. Johns tentang penyebar Islam
pertama di Nusantara. Kalau kebanyakan sarjana Barat mengatakan bahwa penyebar Islam
pertama adalah para pedagang Muslim, berbeda dengan pendapat Johns Ada hal yang perlu
menjadi perhatian bahwa para sufi pengembaralah yang terutama melakukan penyebaran
agama Islam di kawasan Nusantara, dengan mempertimbangkan kemungkinan kecil bahwa para
pedagang memainkan peran terpenting dalam penyebaran Islam di kawasan ini. Dalam hasil
risetnya, Johns mengungkapkan bahwa banyak sumber-sumber lokal Melayu-Indonesia yang
mengaitkan pengenalan Islam kekawasan ini dengan guru-guru pengembara dengan
karakteristik sufi yang kental.
Dengan berpijak pada “teori sufi” yang dikemukakan oleh Johns ini, maka didapatkan
“pijakan teoritis” yang kokoh untuk menjelaskan bagaimana fenomena akulturasi Islam dan
budaya lokal di wilayah Nusantara -termasuk di Jawa- berjalan dengan lancar.

Peran Budaya dalam Penyebaran Islam di Jawa


Berdasarkan makam Fatimah binti Maimum yang ditemukan di Leran, Gresik Jawa Timur
dengan angka di batu nisan yanga menunjuk tahun 475 H/ 1082 M, Islamisasi sudah dimulai di
Jawa pada abad ke-11 M. Mereka yang berperan penting dalam islamisasi tersebut adalah para
waalisongo dan mayoritas sarjana sepakat bahwa di antara para penyebar pertama Islam di
Jawa adalah Mawlana Malik Ibrahim (w. 1419 M)
Dalam penyebaran Islam di wilayah Jawa, walisongo menggunakan pendekatan tasawuf
(mistik Islam), yaitu dengan cara perlahan dan bertahap, dengan tanpa menolak dengan keras
terhadap budaya masyarakat Jawa, Islam memperkenalkan toleransi dan persamaan derajat.
Kemudian perkawinan juga menjadi salah satu metode dakwah para walisongo. Misalnya,
perkawinan putri Campa yang beragama Islam dengan putra mahkota raja Majapahit melahirkan
putra yang dikemudian hari menjadi pendiri kerajaan Islam Demak, yaitu Raden Fatah (berkuasa
1478-1518 M)
“Pembentukan budaya” menjadi pola penguatan Islam agar mengakar di kalangan penduduk
lokal Nusantara, termasuk juga di Jawa. Islam yang bercorak sufi yang dibawa oleh para
walisongo, menjadi Islam yang mampu “tampil dengan wajah yang ramah”. Islam sufi mampu
mentoleransi dengan baik dan menjaga kontinuitas budaya yang telah ada dan mengakar di
masyarakat Jawa.
Kemudian “Struktur walisongo” yang bertugas menyebarkan agama Islam kesuluruh wilayah
Jawa adalah terdiri dari wali, kiai ageng, dan pelaksanaan putusan. Dalam dakwanya mereka
memasukkan unsur-unsur pendidikan dan pengajaran Islam dalam segala cabang kebudayaan
hasilnya sangat memuaskan, sehingga agama Islam tersebar keseluruh pelosok wilayah Jawa.

Akulturasi Islam dan Budaya Jawa


Akulturasi Islam dan budaya Jawa dapat dilihat pada bentuk nisan yang tidak lagi hanya
berbentuk lunas (bentuk kapal terbalik) yang merupakan pengaruh Persia, tetapi sudah memiliki
beragam bentuk teratai, bentuk keris, dan bentuk gunungan pewayangan
Akulturasi Islam dan budaya Jawa juga terdapat pada arsitektur bangunan, diantaranya
arsitektur Masjid Agung Demak –yang disebut sebagai masjid tertua di Jawa, dan masjid-masjid
keraton di Kota Gede (Mataram) memiliki bentuk atap bersusun seperti kuil-kuil Hindu Asia
Selatan.
Kesusasteraan yang ada di Nusantara terdiri dari 2 bagian, yaitu kesusasteraan zaman
madya (era Islam) dan kesusasteraan purba (Hindu-Budha). Pada kesusasteraan zaman madya
(era Islam) inilah akulturasi terjadi, karena kesusasteraan madya tidak terlepas dari pengaruh
Hindu-Budha. Hal dibuktikan berdasarkan sifat dari kesusasteraan madya tersebut yang
berbentuk hikayat, babad, suluk, dan kitab primbon yang merupakan bentuk kesusasteraan
Hindu-Budha.
Kemudian akulturasi dalam bidang kesenian, yaitu seni wayang dan tokoh walisongo yang
mahir memainkan kesenian wayang adalah Sunan Kalijaga. kemahirannya dalam kesenian
wayang dimanfaatkan betul untuk melakukan kegiatan dakwah Islam.
Selanjutnya, akulturasi dalam bidang budaya, yaitu budaya Grebeg dan Gamelan Sekaten
pada era Mataram Islam. Pada saat itu, Sultan Agung mengeluarkan kebijakan agar kebudayaan
lama Jawa (era Hindu-Budha) diakulturasikan dengan ajaran-ajaran Islam.
Dan yang terakhir, akulturasi dalam bidang penanggalan, yaitu Tahun Caka (baca: Saka) -
peninggalan era Hindu- Budha- yang berdasarkan perjalanan matahari, tahun Caka pada tahun
1633 M telah menunjukkan tahun 15550 Saka tidak lagi ditambah dengan hitungan matahari,
tetapi dengan hitungan yang didasarkan pada perjalanan bulan, sesuai dengan model tahun
Hijriyah.

Akulturasi Nilai-nilai Pendidikan Islam dan Budaya Jawa


Pendidikan di dalam agama Islam menempati posisi yang sangat penting yang dapat dilihat
di dalam sumber utama Islam, yaitu al-Qur’an dan Hadis. Kemudian di dalam pendidikan Islam,
nilai adalah sesuatu yang sangat penting dalam rangka mencapai tujuan umum pendidikan
Islam, yaitu penghambaan diri kepada Allah SWT. Oleh karena itulah, akulturasi yang terjadi
antara Islam dan budaya Jawa pada akhirnya juga berakibat pada akulturasi antara nilai-nilai
pendidikan Islam dengan budaya Jawa.
Akulturasi ini yang pertama dapat kita ketahui adanya pesantren atau pondok yang
diselenggarakan oleh para ulama menjadi lembaga pendidikan yang memainkan peran penting.
Di pesantren inilah para calon guru agama, kiai, atau ulama mendapatkan pendidikan agama
Islam. Adapun pesantren-pesantren yang didirikan pada awal penyebaran Islam di Jawa,
diantaranya pesantren yang didirikan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel) di Ampel Denta-
Surabaya dan Sunan Giri di Giri.
Di era Demak, akulturasi nilai-nilai pendidikan Islam menjadi ruh dikeluarkannya kebijakan
tentang “Bayangkare Islah”(angkatan pelopor perbaikan), diantara rencana kerjanya adalah
pendidikan dan ajaran Islam harus diberikan melalui jalan kebudayaan yang hidup dalam
masyarakat Jawa, asal tidak menyalahi (secara substantif) ajaran-ajaran Islam.
Sedangkan pada era Mataram Islam, pelaksanaan pendidikan di bagi dalam beberapa
tingkatan disesuaikan dengan birokrasi pemerintahan, sebagai berikut: pelaksanaan pendidikan
di tingkat kabupaten dibagi menjadi beberapa bagian, yaitu diadakan pesantren besar lengkap
dengan pondok-pondoknya untuk melanjutkan pendidikan di tingkat desa.
Kedua model pesantren tersebut, yaitu pada era-Demak dan era-Mataram merupakan hasil
akulturasi dari sistem pendidikan Islam dengan sisem pendidikan era kerajaan-kerajaan Hindhu
di Jawa (Majapahit).
Disamping itu terjadi juga akulturasi antara tempang atau puisi tradisional Jawa yang dikenal
dengan istilah macapat dengan nilai-nilai pendidikan Islam. Munculnya macapat ini terjadi pada
akhir Majapahit dan dimulainya pengaruh Walisongo di pulau Jawa Tengah saja, sebab di Jawa
Timur dan Bali macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam.
OPINI :
ISLAM DAN TRADISI JAWA

Ajaran Islam yang masuk ke Indonesia khususnya pulau Jawa dibawa oleh para
pendakwah dari berbagai belahan dunia. Para pendakwah tersebut diantarannya adalah
Walisongo yang bersikap terbuka dan toleran terhadap agama dan kebudayaan yang telah ada.
Mereka tidak serta merta mengubah tradisi masyarakat Jawa, namun sedikit demi sedikit
memasukan ajaran-ajaran Islam
Hal yang demikian menjadikan Islam mudah diterima dan cepat tersebar di tanah Jawa.
Namun, hal itu menimbulkan dampak negatif. Dampak negatif tersebut adalah timbulnya varian
Islam yang disebut agama Islam Jawa atau Islam Kejawen, yang mencampurkan kepercayaan
Pra-Islam seperti Animisme, Dinamisme, Hindu serta Budha dengan ajaran Islam.
Terjadinya akulturasi budaya tersebut menjadi salah satu ciri bahwa dikalangan
masyarakat pemeluk Islam di Jawa masih mempertahankan tradisi Jawa yang sudah berlaku
dari dahulu tetapi menggunakan syariat Islam seperti halnya tradisi selamatan. Lebih jauh tradisi
yang tumbuh dan terpelihara sejak sebelum Agama Islam masuk di Jawa, selanjutnya membaur
dan hidup berdampingan, seperti tradisi macapatan dalam bentuk pupuh (tembang) yang berisi
kisah perjalanan nabi Yusuf. Tradisi macapatan disajikan pada saat menyambut datangnya
bulan Suro atau Muharram.
Kemudian pengenalan kalimah Syahadat mealalui gamelan Sekaten (Syahadatain) juga
dilakukakan. Sebagai seorang yang cerdas dan memahami budaya masyarakat Jawa, maka
ketika akan menyampaikan ajaran agama Islam, sunan Kalijaga bersama Wali lainnya
membunyikan gamelan yang dinamakan Sekaten di depan Masjid Demak. Gamelan itu terdiri
dari dua macam, yang besar di beri nama Kyai Sekati dan yang kecil diberi nama Nyai Sekati.
Keramaian dengan menabuh gamelan Sekaten itu, hingga saat ini masih dilestarikan oleh
Kraton Yogyakarta dan Surakarta untuk memperingati Maulid Nabi dan menyongsong Hari Raya
Idul Adha.
Dikalangan masyarakat Jawa yang memeluk agama Hindu, ada pula ritual untuk
menghormati ruh nenek moyang dengan memberikan sajian berupa kue pada hari tertentu
setelah pembakaran jenazah dan ritual itu dilakukan sampai turunan keenam. Kemudian Islam
masuk merubah sebagian ritual ini, yaitu dengan memanjatkan doa-doa kepada Allah SWT
berupa tahlillan.
Budaya-budaya Islam Jawa seperti yang telah disebutkan di atas harus kita lestarikan
sebagai wujud implementasi Islam terhadap keraifan budaya lokal. Namun, perlu juga penataan
kembali struktur budaya Jawa Islam dalam berfikir dan berkarya dalam bidang kebudayaan.
Agar budaya yang ada tidak bertentangan dengan ketentuan syariat Islam.

Anda mungkin juga menyukai