Anda di halaman 1dari 21

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat kehadirat Allah SWT yang maha pengasih lagi maha
penyayang. Yang telah memberikan kami rahmat dan hidayahnya berupa
petunjuknya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ilmiah tentang “Konsep
Difusi dan Strategi Dalam Pendidikan”. Makalah ilmiah ini telah kami susun
dengan maksimal dan mendapatkan bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat
memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu kami menyampaikan banyak
terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam pembuatan
makalah ini.

Terlepas dari itu semua kami menyadari bahwasannya masih banyak


kekurangan kekurangan yang ada dalam makalah ini. Baik dari susunan kalimat
atau bahasanya. Oleh karena itu kami menerima kritik dan saran yang bersifat
membangun agar nanti untuk kedepannya bisa memperbaiki makalah ini dengan
baik.

Akhir kata semoga makalah tentang “Konsep Difusi dan Strategi Dalam
Pendidikan” ini bisa bermanfaat dan bisa menginspirasi bagi para pembacanya.

Malang, Februari 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ............................................................................................. i

KATA PENGANTAR .......................................................................................... ii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .......................................................................................... 1
1.2 Rumusan Masalah ..................................................................................... 1
1.3 Tujuan ...................................................................................................... 1

BAB II KAJIAN PUSTAKA


2.1 Konsep Difusi ............................................................................................ 2
2.2 Sistem Difusi .............................................................................................. 8
2.3 Strategi Difusi Dalam Pendidikan ............................................................. 9
2.4 Studi Kasus Difusi .................................................................................... 11

BAB III PENUTUP


3.1 Kesimpulan .............................................................................................. 18
3.2 Saran ....................................................................................................... 18

DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 19

iii
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 LATAR BELAKANG


Dalam kehidupan di dunia ini kita sebagai manusia senantiasa dituntut
untuk terus berkembang ke arah yang lebih baik guna memenuhi kebutuhan
hidup. Berbagai hal yang dibutuhkan dalam perkembangan dilakukan dengan
belajar melalui berbagai bidang pendidikan. Yang mana pendidikan tersebut
aka terus berlangsung sepanjang hidup manusia. Pendidikan yang di
pelajaripun tidak terlepas dari berbagai masalah. Masalah pendidikan
merupakan masalah yang kompleks karena menyangkut beberapa variable
yang sangat erat kaitannya. Banyak factor yang menentukan keberhasilan
pendidikan. Oleh karena itu pendidikan akan senantiasa berubah, berbeda dan
bervariasi bergabtung pada faktor-faktor yang mempengaruhinya anatara lain
faktor perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi dan seni.

Untuk mengatasi masalah tersebut diperlukan sebuah inovasi pendidikan


dengan tujuan untuk memperbaiki pendidikan yang sudah ada menuju
pendidikan yang lebih baik lagi. Suatu inovasi akan sangat bermanfaat dalam
memecahkan masalah pendidikan jika inovasi tersebut dapat diterima dan
diterapkan oleh semua pihak. Dalam proses penerimaan ini inovasi haruslah
disebarluaskan agar dapat diketahui oleh berbagai pihak. Proses penyebaran
inovasi inilah yang kemudian disebut dengan difusi.

1.2 RUMUSAN MASALAH


1.2.1 Bagaimana konsep difusi?
1.2.2 Bagaimana sistem difusi?
1.2.3 Apa strategi difusi dalam pendidikan?
1.2.4 Apa contoh studi kasus difusi?

1.3 TUJUAN
1.3.1 Mengetahui dan memahami konsep difusi.
1.3.2 Mengetahui dan memahami sistem difusi.
1.3.3 Mengetahui dan memahami strategi difusi dalam pendidikan.
1.3.4 Mengetahui dan memahami studi kasus difusi.

1
BAB II
KAJIAN PUSTAKA

2.1 Konsep Difusi

Rogers 1995 dalam Sciffman dan Kanuk (2010) mendefinisikan difusi


sebagai (the process by which an innovation is communicated through certain
channels overtime among the members of a social system), proses dimana
suatu inovasi dikomunikasikan melalui saluran tertentu dalam jangka waktu
tertentu di antara para anggota suatu sistem sosial disamping itu, difusi juga
dapat dianggap sebagai suatu jenis perubahan sosial yaitu suatu proses
perubahan yang terjadi dalam struktur dan fungsi sistem sosial. (Serah:2014)
Terdapat empat unsur yang membentuk Difusi yaitu Inovasi, Saluran
Komunikasi, Jangka Waktu, dan Sistem Sosial.

1. Inovasi
Inovasi adalah sesuatu ide, perilaku, produk, informasi, dan
praktek-praktek baru yang belum banyak diketahui, diterima dan
digunakan/diterapkan, dilaksanakan oleh sebagian besar warga
masyarakat dalam suatu lokalitas tertentu, yang dapat digunakan atau
mendorong terjadinya perubahan-perubahan di segala aspek kehidupan
masyarakat demi selalu terwujudnya perbaikan-perbaikan mutu hidup
setiap individu dan seluruh warga masyarakat yang bersangkutan.
(Serah:2014)
Inovasi adalah suatu gagasan, metode, atau objek yang dapat
dianggap sebagai sesuatu yang baru, tetapi tidak selalu merupakan
hasil dari penelitian mutakhir. Inovasi sering berkembang dari
penelitian dan juga dari petani (Van den Ban dan H.S. Hawkins, 1999).
Mosher (1978) menyebutkan inovasi adalah cara baru dalam
mengerjakan sesuatu. Sejauh dalam penyuluhan pertanian, inovasi
merupakan sesuatu yang dapat mengubah kebiasaan. (Serah:2014)

2
Inovasi adalah gagasan, tindakan atau batang yang dianggap baru
oleh seseorang atau satuan pengguna lain. Selama berkenaan dengan
perilaku manusia, tidak terlalu dipersoalkan apakah suatu ide itu
“secara obyektif” baru (seandainya diukur dengan selang waktu sejak
pertama kali digunakan atau ditemukan) atau tidak. Pandangan
seseorang tentang kebaruan suatu ide menentukan reaksinya terhadap
ide tersebut. Apabila ide itu dipandang baru oleh seseorang, maka itu
inovasi. (Hanafi:1992)
Kebaruan suatu inovasi mencakup tudak sekedar “baru
mengetahui”. Seseorang mungkin telah cukup lama mengetahui
(kenal) suatu inovasi tetapi belum menentukan sikap (berkenan atau
tak berkenan) terhadapnya, atau belum mengadopsi atau menolaknya.
Aspek “kebaruan” suatu inovasi bisa dinyatakan dalam batasan
pengenalan, persuasi (penyikapan), atau keputusan untuk
menggunakan. (Hanafi:1992)
Hendaknya kita tidak beranggapan bahwa semua inovasi itu perlu
disebarkan dan dipakai. Nyatanya, ada beberapa kajian tentang inovasi
yang berbahaya dan boros yang umumnya tidak diperlukan baik oleh
perseorangan maupun sistem sosial. Lebih dari itu, inovasi yang sama
mungkin diperlukan oleh pemakai dalam situasi tertentu tetapi tidak
diperlukan oleh calon pengguna lain dalam suatu situasi yang berbeda.
Misalnya, alat pemetik tomat mekanis telah diadopsi dengan cepat oleh
para petani niaga besar di California, tetapi mesin ini terlalu mahal
bagi penanam tomat berskala kecil, dan karena itu ribuan petani kecil
itu telah tergusur dari produksi tomat. (Hanafi:1992)

3
2. Saluran Komunikasi
Komunikasi adalah suatu proses dimana para pelakunya
menciptakan dan bertukar informasi satu sama lain untuk mencapai
kesamaan paham. Difusi adalah tipe khusus komunikasi, yakni
informasi yang dipertukarkan adalah ide-ide baru. Inti proses difusi
adalah pertukaran informasi, yakni seseorang mengkomunikasikan
suatu ide baru kepada orang lain. (Hanafi:1992)
Kegiatan komunikasi dalam proses difusi mencakup hal-hal:
a. Suatu inovasi.
b. Individu atau kelompok yang telah mengetahui dan
berpengalaman dengan inovasi.
c. Individu atau kelompok yang belum mengenal inovasi.
d. Saluran komunikasi yang menggabungkan kedua pihak
tersebut.

Kecepatan penyebaran inovasi keseluruh pasar tergantung pada


banyaknya komunikasi antara pemasar dan konsumen, maupun
komunikasi antara konsumen (Schiffman dan Kanuk, 2010). Rogers
dalam Mardikanto (1988) menyatakan bahwa saluran komunikasi
sebagai sesuatu melalui mana pesan dapat disampaikan dari sumber
kepada penerimanya. Saluran komunikasi dapat dibedakan menjadi
saluran interpersonal dan media massa. (Serah:2014)
Cangara (2009) menyebutkan, saluran komunikasi antar pribadi
ialah saluran yang melibatkan dua orang atau lebih secara tatap muka.
Sedangkan Rogers (1983) mendefinisikan, saluran media massa adalah
alat-alat penyampai pesan yang memungkinkan sumber mencapai suatu
audiens dalam jumlah besar yang dapat menembus batasan waktu dan
ruang. Misalnya radio, televisi, film, surat kabar, buku, dan sebagainya.
(Serah:2014)
Sumber dan saluran komunikasi memberi rangsangan informasi
kepada seseorang selama proses keputusan inovasi berlangsung.
Seseorang pertama kali mengenal dan mengetahui inovasi terutama dari
saluran media massa. Pada tahap persuasi, seseorang membentuk

4
persepsinya terhadap inovasi dari saluran yang lebih dekat dan antar
pribadi. Seseorang yang telah memutuskan untuk menerima inovasi
pada tahap keputusan ada kemungkinan untuk meneruskan atau
menghentikan penggunaannya. (Serah:2014)
Saluran komunikasi adalah jalur lewat suatu pesan sehingga bisa
tersampaikan dari seseorang ke orang lain. Sifat hubungan pertukaran
informasi antar dua pasangan individu, menentukan jalan mana yang
dipakai oleh sumber untuk menyampaikan inovasi itu kepada penerima,
dan bagaimana efek penyaluran itu. (Serah:2014)
Hasil berbagai penelitian difusi menunjukkan bahwa
kebanyakan orang tidak mengevaluasi suatu inovasi berdasarkan kajian
ilmiah mengenai konsekuensi-konsekuensinya. Walaupun evaluasi
objektif seperti itu terutama bagi orang yang paling awal mengadopsi.
Kebanyakan orang berpegang ada penilaian subjektif yang disampaikan
kepada mereka oleh orang-orang yang sepadan dengan dirinya yang
telah lebih dulu mengadopsi inovasi. Ketergantungan kepada
pengalaman yang dikomunikasikan para teman dekat ini menunjukkan
bahwa inti proses difusi adalah percontohan dan imitasi oleh para calon
pemakai kepada teman-temannya yang berada dalam jaringan
komunikasinya yang telah memakai inovasi itu terlebih dahulu.
(Hanafi:1992)

3. Jangka Waktu
Waktu merupakan unsur penting dalam proses difusi. Kebanyakan
penelitian ilmu-ilmu tingkah laku mengabaikan dimensi waktu. Waktu
merupakan aspek penting dalam proses komunikasi, tetapi kebanyakan
penelitian komunikasi (yang bukan difusi) tidak memasukkannya
secara eksplisit. Barangkali ini merupakan suatu konsep dasar yang
tidak dapat dijelaskan dalam arti sesuatu yang lebih fundamental.
Waktu tidak terpisah dari peristiwa, bahkan ia merupakan aspek setiap
kegiatan. (Ibrahim:1998)

5
Pemasukan waktu sebagai suatu variabel dalam penelitian difusi
merupakan salah satu kekuatannya, tetapi pengukuran dimensi waktu
(seringkali dengan cara ingatan responden) dapat dicela. Dimensi
waktu masuk ke dalam bahasan difusi berkenaan dengan:

a. Proses keputusan inovasi dimana seseorang menjalani proses


mulai dari kenal inovasi sampai dengan pengapdopsiannya
atau penolakannya.
b. Keinovatifan seseorang atau unit adopsi yakni relative lebih
awal/akhir suatu inovasi diadopsi atau dibandingkan dengan
anggota sistem sosial yang biasanya diukur dengan jumlah
sitem anggota yang mengapdopsi inovasi dalam jangka waktu
tertentu.

4. Sistem Sosial
Sistem sosial merupakan kumpulan unit yang berbeda secara
fungsional dan terikat dalam kerjasama untuk memecahkan masalah
dalam rangka mencapai tujuan bersama. (Serah:2014)
Sistem sosial adalah sejumlah kegiatan atau sejumlah orang yang
mempunyai hubungan timbal balik relatif konstan. Hubungan sejumlah
orang dan kegiatannya itu berlangsung terus menerus. Sistem sosial
memengaruhi perilaku manusia, karena di dalam suatu sistem sosial
tercakup pula nilai-nilai dan norma-norma yang merupakan aturan
perilaku anggota-anggota masyarakat. Dalam setiap sistem sosial pada
tingkat-tingkat tertentu selalu mempertahankan batas-batas yang
memisahkan dan membedakan dari lingkungannya (sistem sosial
lainnya). Selain itu, di dalam sistem sosial ditemukan juga mekanisme-
mekanisme yang dipergunakan atau berfungsi mempertahankan sistem
sosial tersebut. (Serah:2014)
Anggota sistem sosial dapat dibagi ke dalam kelompok-kelompok
adopter (penerima inovasi) sesuai dengan tingkat keinovatifannya
(kecepatan dalam menerima inovasi). Salah satu pengelompokan yang
bisa dijadikan rujukan adalah pengelompokan berdasarkan kurva
adopsi. (Serah:2014)

6
Sistem sosial didefinisikan sebagai seperangkat unit – unit yang
bersitaut dan terikat dalam kerja sama pemecahan masalah untuk
mencapai tujuan bersama anggota atau unit anggota sistem sosial bisa
perseorangan, kelompok informan organisasi, atau sub-sistem. Sistem
analisis yang dianalisis di kajian difusi bisa petani di pedesaan Asia
Tenggara, perguruan tinggi di Wisconsin, para dokter di rumah sakit
umum, atau semua konsumen di Amerika Serikat. Setiap unit dalam
suatu sistem sosial dapat dibedakan dari unit – unit lainnya. Semua
anggota/unit bekerja sama paling tidak dalam mencari pemecahan
masalah umum dalam rangka mencapai tujuan masing – masing secara
timbal balik. Pertukaran tujuan umum inilah yang mengikat sistem itu.
(Hanafi:1992)

Perlu diingat bahwa difusi itu terjadi dalam suatu sistem sosial,
karena itu struktur sosial suatu sistem mempengaruhi penyebaran
inovasi. Sistem sosial mempunyai batas – batas di mana suatu inovasi
menyebar. Berkenaan dengan sistem sosial ini kita membahas
beberapa topik : pengaruh struktur sosial terhadap difusi, peranan
pemuka pendapat dan agen pembaru, tipe – tipe keputusan inovasi, dan
konsekuensi inovasi. Semua ini mencakup hubungan antara sistem
sosial dengan proses difusi yang terjadi di dalamnya. (Hanafi:1992)

Dari penjelasan di atas dapat disimpukan bahwa Difusi adalah proses


pengkomunikasian inovasi melalui saluran-saluran tertentu dalam jangka
waktu tertentu di kalangan anggota suatu sistem sosial. Untuk membentuk
suatu difusi di butuhkan 4 unsur yang saling berkaitan di dalamnya yaitu
Inovasi, Saluran Komunikasi, Jangka Waktu, dan Sistem Sosial.

7
2.2 Sistem Difusi

Arti Difusi dibatasi pada penyebaran ide ide baru yang spontan dan tak
terencana, dan menggunakan istilah diseminasi untuk difusi yang terarah dan
terkelola. Difusi dan diseminasi silih berganti, sebab dalam praktek perbedaan
antara keduanya tidak begitu jelas. Dan, kaidah umum menggunakan cara
difusi baik untuk penyebaran ide-ide baru yang spontan maupun terencana.

Perbedaan Sistem Difusi Terpusat dan yang tak Terpusat.


a. Sistem Difusi Terpusat
Keputusan mengenai hal hal seperti kapan mulai menyebar inovasi,
siapa yang harus menilainya, dan melalui saluran apa inovasi itu di
sebarkan, dibuat oleh beberapa pejabat dan atau pakar Teknik di pucuk
pimpinan Lembaga pembaruan.
b. Sistem Difusi tak Terpusat
Keputusan seperti itu diperbincangkan lebih luas dengan para
binaan dan calon adopter, disini jejaringan komunikasi horizontal di
antara binaan merupakan mekanisme pokok penyebaran inovasi.
Sebetulnya, bisa saja tidak ada agen pembaru dalam sistem difusi yang
sangat terpusat, para calon pemakai inovasi sendiri yang bertanggung
jawab atas swakelola penyebaran inovasi. Ide ide baru bisa muncul
dari pengalaman praktis orang orang tertendu dalam sistem sosial
binaan.

Tadinya ada dugaan bahwa sistem difusi yang relatif terpusat seperti dinas
penyuluhan pertanian itulah yang merupakan unsur penting dalam proses
difusi. Tetapi dalam beberapa tahun terakhir ini beberapa sistem difusi yang
relatif tak terpusat telah di selidiki dan dievaluasi. Tampaknya dalam kondisi-
kondisi tertentu ia merupakan pengganti yang tepat bagi difusi yang terpusat.
(Hanafi:1992)

8
2.3 Strategi Difusi Dalam Pendidikan
Dalam buku yang ditulis oleh J. Loyd Trum dan William Geogiade yang
berjudul How to Change Your School (1978) diuraikan tentang petunjuk
penerapan inovasi di suatu sekolah. Uraian ini akan membantu jika
mengalami kesukaran untuk menentukan teknik dan strategi yang paling tepat
untuk memperbaiki sekolah. Misalnya untuk menjawab pertanyaan, antara
lain perubahan apa yang tepat untuk meningkatkan mutu sekolah? Inovasi
yang mana yang tepat untuk diimplementasikan? Apa saja yang diperlukan
untuk menunjukkan pengaruh inovasi terhadap program sekolah, siswa,
guru, administrator, dan orangtua serta warga masyarakat yang dilayaninya?
Kennedy (1987: 163) membicarakan tentang strategi inovasi yang
dikutip dari Chin dan Benne (1970) yang menyarankan tiga jenis strategi
inovasi, yaitu power coercive (strategi pemaksaan), rational empirical
(empiris rasional), dan normative-re-educative (pendidikan yang berulang
secara normatif).
a. Strategi pemaksaaan
Strategi pemaksaaan berdasarkan kekuasaan merupakan pola
inovasi yang sangat bertentangan dengan kaidahkaidah inovasi.
Strategi ini cenderung memaksakan kehendak, ide, dan
pikiran sepihak tanpa menghiraukan kondisi dan keadaan serta
situasi inovasi itu akan dilaksanakan. Kekuasaan memegang peranan
yang sangat kuat dalam menerapkan ideide baru dan perubahan sesuai
dengan kehendak dan pikiran pencipta inovasinya. Adapun pihak
pelaksana yang sebenarnya merupakan objek utama inovasi yang
tidak dilibatkan, baik dalam proses perencanaan maupun
pelaksanaannya. Para inovator hanya menganggap pelaksana
sebagai objek, bukan sebagai subjek yang harus diperhatikan serta
dilibatkan secara aktif dalam proses perencanaan dan
pengimplementasiannya.

9
b. Strategi empiris rasional
Asumsi dasar dalam strategi ini bahwa manusia mampu
menggunakan pikiran logisnya atau akalnya untuk bertindak secara
rasional. Dalam kaitan dengan ini, inovator bertugas
mendemonstrasikan inovasinya dengan menggunakan metode yang
valid untuk memberikan manfaat bagi penggunanya. Di samping
itu, strategi ini didasarkan atas pandangan yang optimistis seperti
dikatakan Bennis, Benne, dan Chin yang dikutip dari Cece Wijaya dkk.
(1991), di sekolah, para guru menciptakan strategi atau metode
mengajar yang menurutnya sesuai dengan akal yang sehat, dan
berkaitan dengan situasi dan kondisi, bukan berdasarkan
pengalaman guru. Dalam berbagai bidang, para pencipta inovasi
melakukan perubahan dan inovasi untuk bidang yang ditekuninya
berdasarkan pemikiran, ide, dan pengalaman dalam bidangnya itu, yang
telah digeluti berbulanbulan bahkan bertahuntahun. Inovasi demikian
memberi dampak yang lebih baik daripada model inovasi pertama. Hal
ini disebabkan oleh kesesuaian dengan kondisi nyata di tempat
pelaksanaan inovasi tersebut.

c. Strategi normatif re-edukatif


Jenis strategi inovasi ketiga adalah normatif reedukatif
pendidikan yang berulang, yaitu strategi inovasi yang didasarkan
pada pemikiran para ahli pendidikan, seperti Sigmund Freud, John
Dewey, Kurt Lewis, dan beberapa pakar lainnya (Cece Wijaya,
1991), yang menekankan cara klien memahami permasalahan
pembaharuan seperti perubahan sikap, kemampuan, dan nilainilai
yang berhubungan dengan manusia.
Dalam pendidikan, sebuah strategi yang menekankan pada
pemahaman pelaksana dan penerima inovasi dapat dilakukan
berulangulang. Misalnya, dalam pelaksanaan perbaikan system
belajar mengajar di sekolah, para guru sebagai pelaksana inovasi
terusmenerus melaksanakan perubahan sesuai dengan kaidah

10
kaidah pendidikan. Kecenderungan pelaksanaan model demikian
lebih menekankan pada proses mendidik dibandingkan degan hasil
perubahan. Pendidikan yang dilaksanakan lebih mendapat porsi
dominan sesuai dengan tujuan menurut pikiran dan rasionalitas
yang dilakukan berulangulang agar semua tujuan yang sesuai
dengan pikiran dan kehendak pencipta dan pelaksananya dapat
tercapai. (Serah:2014)

2.4 Studi Kasus Difusi


Pembelajaran jarak jauh menggunakan teknologi informasi dan
komunikasi merupakan sebuah hal baru bagi masyarakat Indonesia.
Dibutuhkannya infrastruktur serta perangkat teknologi yang memadai
menjadi salah satu penyebab jenis pembelajaran ini masih belum populer
di masyarakat. Umumnya yang sudah mulai mengenal jenis pembelajaran ini
adalah masyarakat yang berada di wilayah perkotaan, dimana mereka
sudah lebih mudah memperoleh fasilitas-fasilitas yang dibutuhkan untuk
menjalankan bentuk pembelajaran ini. Jika ditelaah lebih jauh,
sesungguhnya wilayah-wilayah terpencil di Indonesia justru yang
membutuhkan bentuk pembelajaran ini. Hal ini disebabkan jika dihitung
dari segi biaya, menyelenggarakan e-learning jauh lebih murah jika
dibandingkan mendirikan institusi pendidikan konvensional. Selain itu waktu
yang dibutuhkan juga lebih singkat. Namun yang menjadi masalah adalah
penerimaan masyarakat terhadap inovasi baru ini. Menurut pengalaman
dalam pelaksanaan program Learn and Teach yang diselenggarakan oleh
Yayasan TRAMPIL Indonesia, masyarakat masih mengalami ketakutan
akan hal baru ini. Ada beberapa ketakutan yang mereka alami. Yang pertama
adalah penyediaan perangkat teknologi agar program dapat berjalan. Memang
jika dihitung diawal, penyediaan perangkat biayanya cukup besar bagi
masyarakat daerah pedesaan, namun sesungguhnya jika diperhitungkan
dalam jangka waktu panjang dan dari segi manfaat bentuk pembelajaran ini
jauh lebih efisien. Namun melihat angka untuk penyediaan barang diawal
membuat mereka takut. Hal lain yang menjadi ketakutan mereka adalah

11
keabsahan dari hasil pembelajaran jarak jauh. Mereka khawatir bahwa
jenis pembelajaran ini tidak diakui oleh Pemerintah sehingga hasil usaha
mereka untuk belajar sekian lamanya menjadi sia-sia. Hal lain yang
menjadi ketakutan mereka adalah kesinambungan dari program ini.
Dikhawatirkan program ini hanyalah program percobaan yang tidak dapat
berlangsung lama dan bersifat sporadis saja. Ketakutan-ketakutan inilah yang
harus dijawab oleh Yayasan TRAMPIL Indonesia. Berawal dari
permasalahan tersebut, Yayasan TRAMPIL Indonesia melakukan
pendekatan selama tiga tahun. Program yang diinisiasi pada tahun 2010
tersebut mulai disebarkan terutama di wilayah-wilayah timur Indonesia yang
paling membutuhkan bantuan, serta beberapa wilayah di pulau Jawa.
Akhirnya perlahan-lahan program ini dapat diterima dan pada tahun 2013
program ini dijalankan. Pendekatan yang dilakukan oleh Yayasan
TRAMPIL Indonesia ini sesungguhnya merupakan suatu proses difusi
inovasi yang dapat dijabarkan sebagai berikut:

Inovasi
Inovasi yang dilakukan oleh Yayasan TRAMPIL Indonesia disini
adalah program pembelajaran jarak jauh. Secara khusus program ini
dinamakan Program Learn and Teach yang bertujuan untuk membantu
guru-guru Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) dan Sekolah Dasar yang
belum memiliki ijazah S1. Guru-guru tersebut perlu dibantu karena
adanya Undang-Undang no. 14 tahun 2005 yang mensyaratkan bahwa
tenaga pendidik harus memiliki ijazah S1 sesuai dengan bidang kerjanya
agar dapat terus mengajar. Hal ini akan diberlakukan secara efektif mulai
tahun 2020. Implikasinya, guru-guru yang tidak memiliki ijazah S1 tidak
lagi diperkenankan mengajar dan sekolah yang tetap nekat
mempekerjakan guru-guru tersebut juga akan dikenai sanksi. Tujuan dari
Undang-Undang ini sesungguhnya adalah untuk meningkatkan mutu
pendidikan, namun kenyataannya banyak sekali wilayah di Indonesia yang
mengalami kesulitan dengan diberlakukannya UU ini. Perguruan Tinggi yang

12
jumlahnya terbatas dan umumnya berada di kota atau kabupaten besar menjadi
kendala utama yang mereka hadapi. Berawal dari permasalahan inilah sebuah
inovasi untuk membantu guruguru agar bisa memperoleh pendidikan jenjang
S1 walau mereka berada di wilayah terpencil dicetuskan oleh Yayasan
TRAMPIL Indonesia. Program ini dapat menjawab permasalahan tersebut
karena tidak diperlukan pembangunan gedung baru maupun sumber daya
manusia dalam jumlah banyak seperti yang dibutuhkan oleh institusi
perguruan tinggi pada umumnya. Cukup dengan memiliki minimal satu
ruangan memadai berkapasitas 50 orang dan memiliki daya listrik sekitar
2200 watt, 2 orang fasilitator untuk menjalankan program, serta satu buah
institusi resmi yang bersedia menjadi mitra penaung program di daerah
maka suatu wilayah sudah dapat menjadi pelaku dari program ini. Sisanya
kebutuhan peralatan, tenaga pengajar, maupun perizinan lainnya akan
didukung oleh Yayasan TRAMPIL Indonesia. Maka dari itu sangat
memungkinkan bagi orang-orang di wilayah terpencil sekalipun untuk
dapat terlibat dalam program ini. Tujuan akhir dari program ini adalah
memberikan ijazah S1 Pendidikan Guru PAUD (PGPAUD) atau S1
Pendidikan Guru SD (PGSD) kepada guru yang belum memilikinya.
Program ini dirancang untuk pembelajaran selama sembilan semester bagi
S1 PGPAUD atau sepuluh semester bagi PGSD. Program ini
bekerjasama dengan Universitas Terbuka yang akan mengeluarkan ijazah
resmi yang diakui pemerintah. Sedangkan bentuk pembelajarannya
menggunakan metode blended learning dimana digabungkan antara
pertemuan tatap muka tradisional dengan e-learning melalui web
conference dan learning management system. Pada awalnya Yayasan
TRAMPIL Indonesia mendirikan main center atau pusat pembelajaran
yang berlokasi di jalan Keputran no. 67 Surabaya. Main center ini
berfungsi sebagai host bagi keseluruhan program belajar. Disini
dikembangkan sistem belajar mengajar, teknologi informasi dan komunikasi
termasuk di dalamnya perangkat lunak untuk pembelajaran, bahan ajar,
sampai dengan hal-hal administratif yang diperlukan. Kemudian Yayasan
TRAMPIL Indonesia mulai mendatangi berbagai lembaga-lembaga di daerah

13
yang membutuhkan. Secara khusus yang dibidik oleh Yayasan TRAMPIL
Indonesia adalah lembaga agama seperti gereja, dan juga sekolah.
Lembaga ini dipilih karena lembagalembaga tersebut umumnya banyak
berhubungan dengan guru-guru di daerah sehingga akan memudahkan
koordinasi. Setelah menemukan mitra kerja yang sesuai dengan
kebutuhan yang ada, maka Yayasan TRAMPIL Indonesia akan
menandatangani perjanjian kerjasama dengan lembaga tersebut, dimana
lembaga tersebut akan menjadi penaung dari sebuah ICT Learning Center
di wilayahnya. Lembaga tersebut kemudian harus menugaskan satu orang
fasilitator yang menangani keperluan teknologi informasi dan komunikasi
(TIK) serta satu orang fasilitator untuk menangani kebutuhan akademis.
Kedua fasilitator tersebut kemudian dilatih oleh Yayasan TRAMPIL
Indonesia, baik dengan cara didatangkan ke main center, pertemuan
berkala melalui web conference, maupun dilatih dilokasi ICT Learning
Center. Fasilitator-fasilitator inilah yang menjadi perpanjangan tangan dari
Yayasan TRAMPIL Indonesia untuk dapat mengelola proses belajar
mengajar dan kebutuhan peserta didik di ICT Learning Center.

Saluran Komunikasi
Dalam pendekatannya, saluran pertama yang digunakan oleh Yayasan
TRAMPIL Indonesia adalah saluran komunikasi interpersonal. Ketua
Yayasan, Wakil Ketua Yayasan dan Kepala Program mendatangi sendiri
wilayah-wilayah yang hendak diajak bekerjasama. Mereka mulanya masuk
dari referensi Majelis Pendidikan Kristen (MPK) di Indonesia yang
merupakan salah satu lembaga yang turut mencetuskan inovasi e-learning
ini. Gereja-gereja dan sekolah yang memiliki hubungan dengan MPK
dihubungi melalui telepon terlebih dahulu mengenai adanya program ini.
Karena adanya referensi dari MPK, maka Yayasan TRAMPIL Indonesia
umumnya dapat diterima dengan baik oleh lembaga-lembaga tujuan.
Setidaknya Yayasan TRAMPIL dapat mereka percaya sebagai sebuah
lembaga yang nyata dan tidak berusaha membohongi mereka. Selanjutnya
setelah Yayasan diterima baik, maka selanjutnya salah satu perwakilan

14
dari TRAMPIL datang langsung ke lokasi calon mitra untuk
berkomunikasi secara tatap muka dengan mereka. Komunikator yang
dikirimkan selalu adalah para pejabat utama TRAMPIL. Hal ini dilakukan
karena Yayasan TRAMPIL ingin menunjukkan niat tulus dan kesungguhan
mereka dalam pelaksanaan program ini. Karena pendekatan melalui
komunikasi interpersonal ini, maka mereka dengan mudah dapat diterima.
Para calon mitra merasa lebih dihormati dan mereka juga menjadi lebih
terbuka. Pesan utama yang diusung saat pertemuan ini adalah urgensi dari
program ini. Masih banyak calon mitra yang tidak mengetahui
diberlakukannya UU no.14 tahun 2005 secara efektif pada tahun 2020. Maka
dari itu program ini sangatlah penting untuk dapat dilaksanakan. Selain itu
juga ditekankan bahwa Yayasan TRAMPIL Indonesia didukung oleh
berbagai donatur mandiri sehingga pihak calon mitra tidak perlu khawatir
mengenai pengadaan alat maupun sistem pembelajaran. Mereka hanya
perlu berkomitmen untuk menjalankan program ini dan menyediakan
ruangan beserta dua orang fasilitator. Komunikan yang dipilih umumnya
adalah kepala sekolah, ketua yayasan pendidikan, atau gembala gereja
yang dapat mengambil keputusan atau memberikan pengaruh pada
kebijakan lembaga. Mereka dipilih karena mereka umumnya dekat
dengan dunia pendidikan dan memiliki akses kepada guru-guru sehingga
akan mampu memahami urgensi dari program ini. Umumnya setelah
pertemuan tersebut, para calon mitra menyetujui pelaksanaan program ini di
tempat mereka karena mereka dapat memahami bahwa program ini penting
dan tidak terlalu membebani mereka.

Waktu
Dalam melakukan difusi inovasi, Yayasan TRAMPIL Indonesia
mengambil momentum yang tepat. Momentum yang dipergunakan adalah
pemberlakukan UU no.14 tahun 2005 yang menyebabkan program Learn
and Teach menjadi penting untuk dapat segera dilaksanakan. Dengan
pemahaman akan pemberlakuan UU tersebut, maka komunikan dalam hal ini
adalah para calon mitra untuk pendirian ICT Learning Center umumnya

15
mengambil keputusan dengan cukup cepat. Dalam kurun waktu tiga
tahun pelaksaanaan difusi inovasi, Yayasan TRAMPIL berhasil mengajak 23
mitra dari 17 kabupaten/kota antara lain Sentani – Papua, Numfor –Papua,
Makale – Tanah Toraja, Rantepao – Tanah Toraja, Pontianak –
Kalimantan, Waingapu – Sumba Timur, Waibakul – Sumba Tengah,
Waikabubak – Sumba Barat, Sobawawi – Sumba Barat, Kupang – Nusa
Tenggara Timur, Soe –Nusa Tenggara Timur, Gilimanuk –Bali, Surabaya,
Malang, Lumajang, Magelang, dan Sragen.

Sistem Sosial
Salah satu kunci keberhasilan difusi inovasi dari Yayasan TRAMPIL
Indonesia adalah melakukan penetrasi melalui sistem sosial yang tepat.
Yayasan TRAMPIL masuk ke dalam lingkungan yang dekat dengan
pendidikan dan memahami benar nasib para guru. Di beberapa wilayah
Yayasan TRAMPIL langsung masuk melalui kepala sekolah atau
Yayasan penyelenggara pendidikan. Intitusi tersebut tentu saja dengan mudah
memahami urgensi dan manfaat dari inovasi baru ini. Selain itu mereka sendiri
adalah orang-orang yang terdampak permasalahan yang membutuhkan
inovasi ini sebagai jawaban. Maka dari itu pendekatan kepada institusi
pendidikan menjadi lebih mudah. Selain institusi pendidikan, lembaga
lain yang didekati oleh Yayasan TRAMPIL adalah lembaga keagamaan
seperti gereja. Hal ini dilakukan karena dibeberapa wilayah tertentu,
peran lembaga gereja sangat besar dalam masyarakat. Masyarakat
memiliki kepercayaan tinggi kepada gereja, sehingga jika gereja yang
merekomendasikan maka kecenderungan mereka untuk menerima suatu
inovasi menjadi lebih besar. Maka dari itu disini dilakukan pendekatan juga
melalui gereja. Setelah masuk melalui institusi pendidikan maupun gereja,
langkah berikutnya untuk melakukan difusi inovasi kepada target sasaran
yaitu para guru menjadi jauh lebih mudah. Pimpinan mereka, baik dalam
hal ini pemimpin yayasan pendidikan, kepala sekolah, maupun pemuka agama
membantu memberikan pemahaman akan pentingnya program ini.

16
Beberapa sekolah bahkan sudah mewajibkan gurunya untuk mengikuti
program Learn and Teachkarena bagaimanapun juga mereka akan
membutuhkan program ini. Disamping itu peran fasilitator juga sangat
besar. Fasilitator seringkali pergi kepada guru-guru yang ada di
wilayahnya dan menyampaikan inovasi yang dibawa oleh Yayasan
TRAMPIL Indonesia sebagai suatu “kabar baik”. Disini mereka
meyakinkan para guru tersebut bahwa mereka membutuhkan inovasi ini
tidak hanya agar mereka dapat terus mengajar, namun juga demi anak-
anak didiknya. Jika semua guru di daerah tersebut - yang memang hampir
seluruhnya tidak memiliki ijazah S1 - tidak boleh lagi mengajar, maka
anak-anak tidak dapat mengenyam pendidikan. Artinya tidak akan ada
masa depan bagi wilayah mereka juga. Selain itu para fasilitator juga
meyakinkan bahwa program ini tidak akan membebani mereka secara
pembiayaan karena akan ada bantuan beasiswa bagi mereka yang tidak
mampu. Berkat bantuan dari pemimpin dan fasilitator tersebut program ini
dapat diterima dengan baik oleh masyarakat dan saat ini sudah ada lebih
dari 1000 orang guru yang dibantu oleh program Learn and Teach.

17
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Difusi adalah proses pengkomunikasian inovasi melalui saluran-
saluran tertentu dalam jangka waktu tertentu di kalangan anggota suatu
sistem sosial. Untuk membentuk suatu difusi di butuhkan 4 unsur atau
elemen yang saling berkaitan di dalamnya yaitu Inovasi, Saluran
Komunikasi, Jangka Waktu, dan Sistem Sosial.
Difusi memiliki dua sistem di dalamnya, yakni sistem difusi
terpusat, merupakan upaya menentukan sebuah keputusan yang diperoleh
dari para ahli mengenai kapan, siapa, dan bagaimana menyebarkan inovasi
dan sistem difusi tidak terpusat, para calon pemakai inovasi sendiri yang
bertanggung jawab atas swakelola penyebaran inovasi.
Dalam difusi pendidikan ada tiga strategi menurut Kennedy (1987:
163) yang dikutip dari Chin dan Benne (1970) yaitu, power coercive
(strategi pemaksaan), rational empirical (empiris rasional), dan
normative-re-educative (pendidikan yang berulang secara normatif).

3.2 Saran

Dari penjelasan makalah diatas pemakalah berharap agar pembaca


bisa memahami dan mengetahui dengan betul tentang konsep dan sistem
dalam difusi, serta strategi Difusi dalam Pendidikan, yang nantinya bisa
dijadikan sebagai pedoman atau acuan dalam pembelajaran dan juga bisa
diterapkan dalam kegiatan belajar mengajar serta dalam kehidupan
bermasyarakat. Dan semoga para pembaca juga bisa menerima inovasi-
inovasi baru dengan tangan terbuka.

18
Daftar Pustaka

Hanafi, Abdillah. 1992. Difusi Inovasi. Malang : Institut Keguruan dan


Ilmu Pendidikan.

Ibrahim. 1998. Inovasi Pendidikan. Jakarta : Departemen Pendidikan dan


Kebudayaan Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi.

Serah, T. 2014. Difusi Inovasi. Yogyakarta : Universitas Atma Jaya


Yogyakarta.

Teguh, Monika. 2015. Difusi Inovasi Dalam Program Pembelajaran


Jarak Jauh Di Yayasan Trampil Indonesia. Jurnal Scriptura Vol 5 No 2 Desember
2015.

19

Anda mungkin juga menyukai