Oleh :
(201903040)
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
kemudahanNya sehingga kami dapat menyelesaikan satuan acara
penyuluhan pada gerontik dengan judul “Pre Post Apendisitis” dengan
tepat waktu. Tidak lupa kami juga mengucapkan terimakasih kepada :
Penulis,
BAB I
PENDAHULUAN
1.2.Diagnosa
kurangnya pemahaman dan pengetahuan pre post apendisitis dan bagaimana
penatalaksanaannya.
1.3. Tujuan
A. Tujuan Umum
Dengan diberikannya penyuluhan diharapkan setelahnya sasaran dapat
mengetahui tentang pre post apendisitis berserta penatalaksanaannya dan juga
dapat menerapkan kegiatan pencegahaannya.
B. Tujuan Khusus
1) Untuk mengetahui pengertian pre post apendisitis
2) Untuk memahami klasifikasi apendisitis
3) Untuk mengetahui etiologi apendisitis
4) Untuk mengetahui manifestasi klinis apendistis
5) Untuk mengetahui patofisiologi apendisitis
6) Untuk mengetahui komplikasi apendisitis
7) Untuk mengetahui faktor yang mempermudah terjadinya radang
apendisitis
8) Untuk mengetahui pemeriksaan diagnostik apendisitis
9) Untuk mengetahui penatalaksanaan apendistis
10) Untuk mengetahui komplikasi post apendiktomi
BAB II
Sasaran : Umum
a. Metode
1. Ceramah
2. Tanya Jawab
b. Media
1. Laptop / Handphone
2. Microfont
3. Sound/ speaker aktif
4. Leafleat
d. Evaluasi
Prosedur : Post Test
Bentuk : Lisan
Jenis : Tanya jawab
LAMPIRAN MATERI SATUAN ACARA PENYULUHAN (SAP)
1. Definisi Apensitis
Apendiks vermiformis merupakan suatu struktur berbentuk seperti jari yang
menempel pada sekum pada kuadran kanan bawah abdomen. Walaupun apendiks
vermiformis diketahui tidak mempunyai fungsi apapun, ia dapat meradang dan
menimbulkan penyakit, yang disebut apendisitis.
Apendisitis adalah peradangan akibat infeksi pada apendiks vermiformis atau
umbai cacing. Bila apendisitis tidak ditangani, dapat menyebabkan peritonitis dan
juga berisiko terjadinya perforasi (Mehrabi, 2010 dalam Imaligy, 2012).
Apendisitis merupakan proses peradangan akut maupun kronis yang terjadi pada
apendiks vemiformis oleh karena adanya sumbatan yang terjadi pada lumen
apendiks.
Gejala yang pertama kali dirasakan pada umumnya adalah berupa nyeri pada
perut kuadran kanan bawah. Selain itu mual dan muntah sering terjadi beberapa
jam setelah muncul nyeri, yang berakibat pada penurunan nafsu makan sehingga
dapat menyebabkan anoreksia (Fransisca dkk, 2019).
2. Definisi Apendiktomi
Apendiktomi adalah peradangan dari apendiks vermiformis, apendisitis akut
biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks yang diakibatkan oleh
fekalit/apendikdolit, hiperplasia limfoid, benda asing, parasit, neoplasma, atau
striktur karena fibrosis akibat perdangan sebelumnya.
Apendiks memiliki panjang bervariasi sekitar 6 hingga 9 cm. Obstruksi lumen
yang terjadi mendukung perkembangan bakteri dan sekresi mukus sehingga
menyebabkan distensi lumen dan peningkatan tekanan dinding lumen. Tekanan
yang meningkat akan menghambat aliran limfe sehingga menimbulkan edema,
diapedesis bakteri, dan ulserasi mukosa.
Pada saat tersebut, terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh nyeri
periumbilikal. (Wibosono.E.W Saditya W.,2014). Apendiktomi adalah
peradangan dari apendik periformis, dan merupakan penyebab abdomen akut
yang paling sering (Dermawan & Rahayuningsih,2010).
Post apendiktomi merupakan peristiwa setelah dilakukannya tindakan
pembedahan pada apendik yang mengalami inflamasi. Kondisi post operasi
dimulai saat pasien dipindahkan ke ruang pemulihan dan berakhir sampai evaluasi
selanjutnya. Pasien yang telah menjalani pembedahan dipindahkan ke ruang
perawatan untuk pemulihan post pembedahan (memperoleh istirahat dan
kenyamanan) (Muttaqin, 2009).
Aktivitas keperawatan post operasi berfokus pada peningkatan penyembuhan
pasien dan melakukan penyuluhan. Peran perawat yang mendukung proses
kesembuhan pasien yaitu dengan memberikan dorongan kepada pasien untuk
melakukan mobilisasi setelah operasi (Potter & Perry, 2010). Mobilisasi penting
dilakukan karena selain mempercepat proses kesembuhan juga mencegah
komplikasi yang mungkin muncul (Muttaqin, 2009).
3. Klasifikasi Apendisitis
Menurut Sjamsuhidajat & Wim (2010) klasifikasi apendisitis terbagi
menjadi dua yaitu :
a. Apendisitis Akut
Apendisitis akut sering muncul dengan gejala yang khas, didasari oleh
radang mendadak pada apendiks yang disertai maupun tidak disertai rangsang
peritoneum lokal. Gejala apendisitis akut ialah nyeri samar dan tumpul yang
merupakan nyeri viseral didaerah epigastrium disekitar umbilikus.
Keluhan ini sering disertai mual, muntah dan umumnya nafsu makan
menurun. Dalam beberapa jam nyeri akan berpindah ke titik Mc. Burney.
Nyeri dirasakan lebih tajam dan lebih jelas letaknya sehingga merupakan
nyeri somatik setempat.
b. Apendisitis Kronik
Diagnostik apendisitis kronik baru dapat ditegakkan jika ditemukan adanya
riwayat nyeri perut kanan bawah lebih dari 2 minggu. Radang kronik apendiks
secara makroskopik dan mikroskopik, dengan kritea fibrosis menyeluruh di
dinding apendiks, sumbatan parsial atau total diadanya sel inflamasi kronik.
4. Etiologi
A) Etiologi apendisitis
Obstruksi atau penyumbatan pada lumen apendiks menyebabkan
radang apendiks. Lendir kembali dalam lumen apendiks menyebabkan bakteri
yang biasanya hidup di dalam apendiks bertambah banyak. Akibatnya
apendiks membengkak dan menjadi terinfeksi. Sumber penyumbatan meliputi
(NIH & NIDDK, 2012) :
a. Fecalith (Massa feses yang keras)
b. Benda asing (Biji-bijian)
c. Tumor apendiks
d. Pelekukan/terpuntirnya apendiks
e. Hiperplasia dari folikel limfoid
f. Penyebab lain yang diduga menimbulkan apendisitis adalah ulserasi mukosa
apendiks oleh parasit Entamoeba histolytica (Warsinggih, 2016).
B) Etiologi apendiktomi
Etiologi dilakukannya tindakan pembedahan pada penderita apendiksitis
dikarenakan apendik mengalami peradangan. Apendiks yang meradang dapat
menyebabkan infeksi dan perforasi apabila tidak dilakukan tindakan pembedahan.
Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks
merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus. Disamping hiperplasia
jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askariasis dapat pula
menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan
apendisitis ialah erosi mukosa apendiks akibat parasit seperti E.histolytica
(Sjamsuhidayat, 2011).
5. Manifestasi Klinis
Gejala-gejala apendisitis biasanya mudah di diagnosis, yang paling umum adalah
nyeri perut. Apendisitis memiliki gejala kombinasi yang khas, yang terdiri dari
(Warsinggih, 2016):
a. Nyeri
Penderita apendisitis umumnya akan mengeluhkan nyeri pada perut kuadran
kanan bawah. Gejala yang pertama kali dirasakan pasien adalah berupa nyeri
tumpul, nyeri di daerah epigastrium atau di periumbilikal yang samar-samar,
tapi seiring dengan waktu nyeri akan terasa lebih tajam dan berlokasi ke
kuadran kanan bawah abdomen. Nyeri semakin buruk ketika bergerak, batuk
atau bersin. Biasanya pasien berbaring, melakukan fleksi pada pinggang, serta
mengangkat lututnya untuk mengurangi pergerakan dan menghindari nyeri
yang semakin parah.
b. Mual dan Muntah
Mual dan muntah sering terjadi beberapa jam setelah muncul nyeri.
c. Anoreksia
Mual dan muntah yang muncul berakibat pada penurunan nafsu makan
sehingga dapat menyebabkan anoreksia.
d. Demam
Demam dengan derajat ringan (37,6 -38,5°C) juga sering terjadi pada
apendisitis. Jika suhu tubuh diatas 38,6°C menandakan terjadi perforasi.
6. Patofisiologi
A) Patofisiologi apendisitis
Apendisitis biasanya disebabkan oleh penyumbatan lumen apendiks, dapat
terjadi karena berbagai macam penyebab, antara lain obstruksi oleh fecalith. Feses
mengeras, menjadi seperti batu (fecalith) dan menutup lubang penghubung
apendiks dan caecum tersebut. Terjadinya obstruksi juga dapat terjadi karena
benda asing seperti permen karet, kayu, batu, sisa makanan, biji-bijian.
Hiperplasia folikel limfoid apendiks juga dapat menyebabkan obstruksi lumen.
Insidensi terjadinya apendisitis berhubungan dengan jumlah jaringan limfoid yang
hiperplasia. Penyebab dari reaksi jaringan limfatik baik lokal atau general
misalnya akibat infeksi virus atau akibat invasi parasit entamoeba. Carcinoid
tumor juga dapat mengakibatkan obstruksi apendiks, khususnya jika tumor
berlokasi di 1/3 proksimal (Warsinggih, 2016).
Obstruksi tersebut menyebabkan mukus yang di produksi mukosa mengalami
bendungan. Makin lama mukus tersebut makin banyak, namun elastisitas dinding
apendiks mempunyai keterbatasan sehingga menyebabkan peningkatan tekanan
intralumen. Tekanan yang meningkat tersebut akan menghambat aliran limfe
yang mengakibatkan edema, diapedesis bakteri dan ulserasi mukosa. Pada saat
inilah terjadi apendisitis akut lokal yang ditandai oleh nyeri epigastrium (Price,
2012).
Bila sekresi mukus terus berlanjut, tekanan akan terus meningkat, hal tersebut
akan menyebabkan obstruksi vena, edema bertambah, dan bakteri akan
menembus dinding. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai peritoneum
setempat sehingga menimbulkan nyeri di daerah kanan bawah. Bila kemudian
aliran arteri terganggu akan terjadi infark dinding apendiks yang diikuti dengan
gangren dan perforasi. Jika inflamasi dan infeksi menyebar ke dinding apendiks,
apendiks dapat ruptur.
Setelah ruptur terjadi, infeksi akan menyebar ke abdomen, tetapi biasanya
hanya terbatas pada area sekeliling dari apendiks (membentuk abses periapendiks)
dapat juga menginfeksi peritoneum sehingga mengakibatkan peritonitis
(Mansjoer, 2010).
B) Patofisiologi apendiktomi
Apendiktomi biasanya disebabkan adanya penyumbatan lumen apendiks
yang dapat diakibatkan oleh fekalit/atau apendikolit, hiperplasia limfoid,
benda asing, parasit, mioplasma atau striktur karena fibrosir akibat
peradangan sebelumnya.
Obstruksi lumen yang terjadi mendukung perkembangan bakteri dan
sekresi mukus sehingga menyebabkan distensi lumen dan peningkatan
tekanan dinding lumen. Tekanan yang meningkat akan menghambat aliran
limfe sehinngga menimbulkan edema, diapedesis bakteri dan pulserasi
mukosa. Pada saat tersebut, terjadi apendisitis akut fokal yang ditandai oleh
nyeri periumbilikal.
Sekresi mukus yang terus berlanjut dan tekanan yang terus meningkat
menyebabkan obsruksi vena, peningkatan edema, dan pertumbuhan bakteri
yang menimbulkan radang. Peradangan yang timbul meluas dan mengenai
pritoneum sehingga timbul nyeri daerah kanan bawah. ( Saditya 2014 )
7. Komplikasi
a. Komplikasi apendisitis
Komplikasi dari apendisitis yang paling sering adalah perforasi. Perforasi dari
apendiks dapat menyebabkan timbulnya abses periapendisitis, yaitu terkumpulnya
pus yang terinfeksi bakteri atau peritonitis difus (infeksi dari dinding rongga
abdomen dan pelvis). Apendiks menjadi terinflamasi, bisa terinfeksi dengan
bakteri dan bisa dipenuhi dengan pus hingga pecah, jika apendik tidak diangkat
tepat waktu. Pada apendisitis perforasi, terjadi diskontinuitas pada lapisan
muskularis apendiks yang terinflamasi, sehingga pus didalam apendiks keluar ke
rongga perut.
Alasan utama dari perforasi apendiks adalah tertundanya diagnosis dan
tatalaksana. Pada umumnya, makin lama penundaan dari diagnosis dan tindakan
bedah, kemungkinan terjadi perforasi makin besar. Untuk itu jika apendisitis telah
di diagnosis, tindakan pembedahan harus segera dilakukan (Imaligy, 2012).
Komplikasi apendisitis :
Emboli gas
Trauma pembuluh darah retroperitoneal
Trauma pembuluh darah pada dinding abdomen
Trauma usus
Trauma urologi
b. Komplikasi apendiktomi
Komplikasi setelah pembedahan apendik menurut Muttaqin (2009):
Infeksi pada luka, ditandai apabila luka mengeluarkan cairan kuning atau
nanah, kulit di sekitar luka menjadi merah, hangat, bengkak, atau terasa
semakin sakit.
Abses (nanah), terdapat kumpulan di dalam rongga perut dengan gejala
demam dan nyeri perut.
Perlengketan usus, dengan gejala rasa tidak nyaman di perut, terjadi sulit
buang air besar pada tahap lanjut, dan perut terasa sangat nyeri
Komplikasi yang jarang terjadi seperti ileus, gangren usus, peritonitis, dan
obstruksi usus.
Masalah yang banyak terjadi pada penderita post apendiktomi menurut
Wilkinson & Ahern (2013):
a. Nyeri akut
b. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
c. Hambatan mobilitas fisik
d. Konstipasi
e. Resiko kekurangan volume cairan
f. Ansietas
g. Resiko infeksi
h. Bersihan jalan napas tidak efektif
i. Defisit pengetahuan
8. Faktor-faktor yang mempermudah terjadinya radang apendiks menurut Haryono
(2012) diantaranya:
a. Faktor sumbatan
Faktor sumbatan merupakan faktor terpenting terjadinya apendisitis (90%) yang
diikuti oleh infeksi. Sekitar 60% obstruksi disebabkan oleh hyperplasia jaringan
lymphoid sub mukosa, 35% karena stasis fekal, 4% karena benda asing, dan
sebab lainnya 1% diantaranya sumbatan oleh parasit dan cacing.
b. Faktor bakteri
Infeksi enterogen merupakan faktor pathogenesis primer pada apendisitis akut.
Adanya fekolit dalam lumen apendiks yang telah terinfeksi dapat memperburuk
dan memperberat infeksi, karena terjadi peningkatan stagnasi feses dalam lumen
apendiks, pada kultur yang banyak ditemukan adalah kombinasi antara
Bacteriodes fragilis dan E.coli, Splanchius, Lacto-bacilus, Pseudomonas,
Bacteriodes splanicus. Sedangkan kuman yang menyebabkan perforasi adalah
kuman anaerob sebesar 96% dan aerob lebih dari 10%.
c. Kecenderungan familiar
Hal ini dihubungkan dengan terdapatnya malformasi yang herediter dari organ,
apendiks yang terlalu panjang, vaskularisasi yang tidak baik dan letaknya yang
mudah terjadi apendisitis. Hal ini juga dihubungkan dengan kebiasaan makan
dalam keluarga terutama dengan diet rendah serat dapat memudahkan terjadinya
fekolit dan menyebabkan obstruksi lumen.
a. Laboratorium
1) Tes Darah
Tes darah dapat menunjukkan tanda-tanda infeksi, seperti jumlah leukosit yang
tinggi. Tes darah juga dapat menunjukkan dehidrasi atau ketidakseimbangan
cairan dan elektrolit. Elektrolit adalah bahan kimia dalam cairan tubuh, termasuk
natrium, kalium, magnesium, dan klorida.
2) Urinalisis
Urinalisis digunakan untuk melihat hasil sedimen, dapat normal atau terdapat
leukosit dan eritrosit lebih dari normal bila apendiks yang meradang menempel
pada ureter atau vesika. Pemeriksaan urin juga penting untuk melihat apakah ada
infeksi saluran kemih atau infeksi ginjal.
b. Radiotologi
1) Ultrasonografi (USG)
USG dapat membantu mendeteksi adanya tanda-tanda peradangan, usus buntu
yang pecah, penyumbatan pada lumen apendiks, dan sumber nyeri perut lainnya.
USG adalah pemeriksaan penunjang pertama yang dilakukan untuk dugaan
apendisitis pada bayi, anak-anak, dewasa, dan wanita hamil.
9. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada penderita apendisitis meliputi
(Oswari, 2000) :
a. Terapi Konservatif
Penanggulangan konservatif terutama diberikan pada penderita yang tidak
mempunyai akses ke pelayanan bedah berupa pemberian antibiotik.
Pemberian antibiotik berguna untuk mencegah infeksi. Pada penderita
apendisitis perforasi, sebelum operasi dilakukan penggantian cairan dan
elektrolit, serta pemberian antibiotik sistemik.
b. Operasi
Bila diagnosa sudah tepat dan jelas ditemukan apendisitis maka tindakan yang
dilakukan adalah operasi membuang apendiks. Pembedahan untuk
mengangkat apendiks disebut operasi appendectomy. Seorang ahli bedah
melakukan operasi menggunakan salah satu metode berikut :
Laparatomi
Tindakan laparatomi apendiktomi merupakan tindakan konvensional
dengan membuka dinding abdomen. Tindakan ini juga digunakan untuk
melihat apakah ada komplikasi pada jaringan apendiks maupun di sekitar
apendiks. Tindakan laparatomi dilakukan dengan membuang apendiks
yang terinfeksi melalui suatu insisi di regio kanan bawah perut dengan
lebar insisi sekitar 3 hingga 5 inci. Setelah menemukan apendiks yang
terinfeksi, apendiks dipotong dan dikeluarkan dari perut.
Tidak ada standar insisi pada operasi laparatomi apendiktomi. Hal ini
disebabkan karena apendiks merupakan bagian yang bergerak dan dapat
ditemukan diberbagai area pada kuadran kanan bawah. Ahli bedah harus
menentukan lokasi apendiks dengan menggunakan beberapa penilaian
fisik agar dapat menentukan lokasi insisi yang ideal. Ahli bedah
merekomendasikan pembatasan aktivitas fisik selama 10 hingga 14 hari
pertama setelah laparotomi. Sayatan pada bedah laparatomi menimbulkan
luka yang berukuran besar dan dalam, sehingga membutuhkan waktu
penyembuhan yang lama dan perawatan berkelanjutan. Pasien akan
dilakukan pemantauan selama di rumah sakit dan mengharuskan pasien
mendapat pelayanan rawat inap selama beberapa hari (Smeltzer & Bare,
2013).
Laparascopi
Laparaskopi apendiktomi merupakan tindakan bedah invasive minimal
yang paling banyak digunakan pada kasus appendicitis akut. Tindakan
apendiktomi dengan menggunakan laparaskopi dapat mengurangi
ketidaknyamanan pasien jika menggunakan metode open apendiktomi dan
pasien dapat menjalankan aktifitas paska operasi dengan lebih efektif
(Hadibroto, 2007).
Indikasi Laparoskopi sering dilakukan pada pasien dengan acute
abdominal pain yang diagnosisnya belum bisa ditegakkan dengan
pemeriksaan radiologi atau laboratorium, karena dengan laparoskopi
bisa dilakukan visualisasi dari seluruh rongga abdomen, penentuan
lokasi patologi dalam abdomen, pengambilan cairan peritoneal untuk
kultur, dan irigasi rongga peritoneal untuk mengurangi kontaminasi.
Laparoskopi diagnostik sangat bermanfaat dalam mengevaluasi pasien
trauma dengan hemodinamik stabil, dimana laparoskopi mampu
memberikan diagnosis yang akurat dari cidera intra-abdominal,
sehingga mengurangi pelaksanaan laparotomi dan komplikasinya
(Hadibroto, 2007).
Proses laparaskopi
Laparaskopi apendiktomi tidak perlu lagi membedah rongga perut
pasien. Metode ini cukup dengan memasukan laparascope (perangkat
kabel fiber optic) pada pipa kecil (yang disebut trokar) yang dipasang
melalui umbilicus dan dipantau melalui layar monitor. Abdomen akan
dinsuflasi atau dikembungkan dengan gas CO2 melalui jarum Verres
terlebih dahulu untuk mengelevasi dinding abdomen diatas organ-
organ internal, sehingga membuat ruang untuk inspeksi dan bekerja,
prosedur ini dikenal sebagai pneumoperitoneum. Biasanya tempat
insersi trokar kedua pada kuadran bawah diatas pubis.
Selanjutnya dua trokar akan melakukan tindakan pemotongan
apendiks.Tindakan dimulai dengan observasi untuk mengkonfirmasi
bahwa pasien terkena apendisitis akut tanpa komplikasi. Pemisahan
apendiks dengan jaringan mesoapendiks apabila terjadi adhesi.
Kemudian apendiks dipasangkan dipotong dan dikeluarkan dengan
menggunakan forsep bipolar yang dimasukan melalui trokar. Hasilnya
pasien akan mendapatkan luka operasi yang minimal dan waktu
pemulihan serta waktu perawatan di rumah sakit akan menjadi lebih
singkat (Hayden & Cowman, 2011).
Perawatan pasca laparoskopi
Kebanyakan pasien dirawat selama 1 hari setelah operasi. Jika timbul
komplikasi, maka diperlukan perawatan yang lebih lama. Penggunaan
analgesik baik intramuskuler maupun intravena saat di ruang
pemulihan akan mengurangi nyeri pasca operasi. Insiden mual
muntah pasca operasi laparoskopi dilaporkan cukup tinggi yaitu 42%.
Mual muntah pasca operasi setelah prosedur laparoskopi dipengaruhi
oleh gas yang digunakan untuk insuflasi dan menyebabkan penekanan
pada nervus vagus yang memiliki hubungan dengan pusat muntah di
medulla oblongata. Selain itu, penyebab lain seperti teknik anestesi,
jenis kelamin, nyeri, perawatan pasca operatif dan data demografik
pasien yang berhubungan dengan pengaruh terjadinya emesis. Untuk
menurunkan mual muntah pasca operasi dapat dengan pemberian
ranitidin, omeprazole atau ondansentron (Gerry & Herry, 2003).
BAB III
PENUTUP
1.1 Kesimpulan
1.2 Saran
dan mengerti apa yang harus dilakukan saat terkena apendisitis dan harus
menjalani apendiktomi.
DAFTAR PUSTAKA
Oleh :
(201903040)
Segala puji bagi Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan
kemudahanNya sehingga kami dapat menyelesaikan satuan acara
penyuluhan pada gerontik dengan judul “Pre Post Apendisitis” dengan
tepat waktu. Tidak lupa kami juga mengucapkan terimakasih kepada :
Penulis,
BAB I
Sub pokok bahasan : Pengetahuan tentang mobilisasi post sectio (Post SC)
Sasaran : Umum
A. Tujuan :
1. Tujuan Umum
2. Tujuan Khusus
B. METODE PEYAMPAIAN
1. Ceramah
2. Diskusi
3. Demonstrasi
C. Materi
Terlampir
D. MEDIA
1. LCD dan Laptop
2. Leaflet
KEGIATAN
No TAHAP WAKTU
PERAWAT PESERTA
1. Pembukaan 3 menit a. Memberikan salam a. Peserta menjawab salam
b. Memperkenalkan b. Peserta menjawab dengan
pembimbing. benar
c. Mengkontrak waktu c. Peserta Mendengarkan
d. Menjelaskan tujuan d. Peserta mendengarkan
e. Persepsi tentang e. Peserta memberi timbal
Mobilisasi Post SC balik memberikan pendapat
2. Pelaksanaan 7 menit a. Menjelaskan isi materi a. Peserta mendengarkan
tentang Mobilisasi Post Sc dengan seksama.
b. Mengevaluasi secara b. Peserta menjawab
verbal (menanyakan beberapa pertanyaan yang
kembali pada peserta) di sampaikan perawat
pada peserta penkes
F. Pembagian Peran
1. Penanggung jawab :
Tugas :
a. Membuat satuan acara penyuluhan
b. Bertanggung jawab terhadap semua kegiatan mulai dari awal sampai
akhir kegiatan yang berkaitan dengan Penyampaian Mobilisasi Post
Caesarea
2. Moderator :
Tugas :
a. Membuka dan menutup acara
b. Memperkenalkan anggota
3. Observer :
Tugas : mengamati jalannya pelaksanaan kegiatan Penkes Senam Nifas
mulai dari persiapan , pelaksanaan sampai evaluasi.
4. Penyaji Materi :
Tugas: Menyajikan dan menjelaskan tentang materi Mobilisasi Post Op
caesarea
Evaluasi
1. Evaluasi Stuktur
a. Satuan pengajar sudah siap satu hari sebelum dilaksanakannya
kegiatan
b. Alat dan tempat siap sebelum kegiatan dilaksanakan.
c. Struktur organisasi atau pembagian peran sudah dibentuk sebelum
kegiatan dilaksanakan.
d. Penyuluh sudah siap sebelum kegiatan dilaksanakan.
2. Evaluasi Proses
a. Alat dan tempat bisa digunakan sesuai rencana.
b. Klien mau atau bersedia untuk melakukan kegiatan yang telah
direncanakan.
3. Evaluasi Hasil
a. 75% peserta dapat menyebutkan pengertian mobilisasidengan tepat.
b. 75% peserta dapat menyebutkan tahap-tahap mobilisasi post SC
dengan tepat.
c. 75% peserta dapat menyebutkan minimal 2 dari 3 tujuan mobilisasi
post SC dengan benar.
d. 75% peserta dapat menyabutkan 3 rentang gerak dalam mobilisasi post
SC dengan.
e. 75% peserta dapat menyebutkan 2 manfaat dari mobilisasi post SC
dengan tepat.
f. 75% peserta dapat menyabutkan 3 kerugian dari mobilisasi post SC
dengan tepat.
LAMPIRAN MATERI
Konsep mobilisasi mula – mula berasal dari ambulasi dini yang merupakan
pengembalian secara berangsur – angsur ke tahap mobilisasi sebelumnya untuk
mencegah komplikasi (Roper,1996).
Menurut Carpenito (2000) dalam mobilisasi terdapat tiga rentang gerak yaitu :
1) Rentang gerak pasif Rentang gerak pasif ini berguna untuk menjaga
kelenturan otot-otot dan persendian dengan menggerakkan otot orang lain
secara pasif misalnya perawat mengangkat dan menggerakkan kaki pasien
2) Rentang gerak aktif Hal ini untuk melatih kelenturan dan kekuatan otot
serta sendi dengan cara menggunakan otot-ototnya secara aktif misalnya
berbaring pasien menggerakkan kakinya.
3) Rentang gerak fungsional Berguna untuk memperkuat otot-otot dan sendi
dengan melakukan aktifitas yang diperlukan.
1) Penderita merasa lebih sehat dan kuat dengan early ambulation. Dengan
bergerak, otot –otot perut dan panggul akan kembali normal sehingga otot
perutnya menjadi kuat kembali dan dapat mengurangi rasa sakit dengan
demikian ibu merasa sehat dan membantu memperoleh kekuatan,
mempercepat kesembuhan.Faal usus dan kandung kencing lebih baik. Dengan
bergerak akan merangsang peristaltic usus kembali normal. Aktifitas ini juga
membantu mempercepat organ-organ tubuh bekerja seperti semula.
2) Mobilisasi dini memungkinkan kita mengajarkan segera untuk ibu merawat
anaknya. Perubahan yang terjadi pada ibu pasca operasi akan cepat pulih
misalnya kontraksi uterus, dengan demikian ibu akan cepat merasa sehat dan
bias merawat anaknya dengan cepat.
3) Mencegah terjadinya trombosis dan tromboemboli, dengan mobilisasi
sirkulasi darah normal/lancar sehingga resiko terjadinya trombosis dan
tromboemboli dapat dihindarkan.
Menurut Kasdu (2003) mobilisasi dini dilakukan secara bertahap berikut ini
akan dijelaskan tahap mobilisasi dini pada ibu post operasi seksio sesarea :
1) Setelah operasi, pada 6 jam pertama ibu paska operasi seksio sesarea harus
tirah baring dulu. Mobilisasi dini yang bisa dilakukan adalah menggerakkan
lengan, tangan, menggerakkan ujung jari kaki dan memutar pergelangan kaki,
mengangkat tumit, menegangkan otot betis serta menekuk dan menggeser
kaki.
2) Setelah 6-10 jam, ibu diharuskan untuk dapat miring kekiri dan kekanan
mencegah trombosis dan trombo emboli.
3) Setelah 24 jam ibu dianjurkan untuk dapat mulai belajar untuk duduk.
4) Setelah ibu dapat duduk, dianjurkan ibu belajar berjalan.
Bab II
PENUTUP
I. Kesimpulan
A. Pengertian Mobilisasi
Mobilisasi adalah suatu pergerakan dan posisi yang akan melakukan suatu
aktivitas / kegiatan. Mobilisasi ibu post partum adalah suatu pergerakan, posisi
atau adanya kegiatan yang dilakukan ibu setelah beberapa jam melahirkan dengan
persalianan Caesar.
B. Tujuan Mobilisasi
Hari ke 1 :
lakukan miring ke kanan dank e kiri yang dapat dimulai sejak 6-10
jam setelah penderita / ibu sadar Latihan pernafasan dapat dilakukan
ibu sambil tidur terlentang sedini mungkin setelah sadar.
Hari ke 2 :
Ibu dapat duduk 5 menit dan minta untuk bernafas dalam-dalam lalu
menghembuskannya disertai batuk- batuk kecil yang gunanya untuk
melonggarkan pernafasan dan sekaligus menumbuhkan kepercayaan
pada diri ibu/penderita bahwa ia mulai pulih. Kemudian posisi tidur
terlentang dirubah menjadi setengah duduk. Selanjutnya secara
berturut-turut, hari demi hari penderita/ibu yang sudah melahirkan
dianjurkan belajar duduk selama sehari, belajar berjalan kemudian
berjalan sendiri pada hari ke 3 sampai 5 hari setelah operasi.
Mobilisasi secara teratur dan bertahap serta diikuti dengan istirahat
dapat membantu penyembuhan ibu.
II. Saran
1. Bagi Pasien.
Kepada pasien, setelah 6 jam selesai tindakan operasi anastesi umum
dibantu dengan perawat. Pasien mau melakukan tindakan mobilisasi dini
dengan mengabaikan rasa malas dan sedikit nyeri juga rumor yang
berpendapat bahwa jika banyak bergerak setelah operasi maka jahitan
operasi akan lepas. Mobilisasi dilakukan untuk mempercepat terjadinya
platus, melancarkan peredaran darah dan menghindari komplikasi lainnya.
2. Bagi Perawat.
Mobilisasi dini pada pasien post operasi anastesi umum sangat perlu
dilakukan dimana keuntungan yang didapat pasien dapat lebih cepat
mengakhiri puasanya karena peristaltik nya sudah baik dan mencegah
komplikasi yang lain. Kepada perawat diharapkan mampu melakukan
mobilisasi secara terstruktur setelah 6 jam pasien selesai dioperasi.
3. Bagi Pihak Rumah Sakit.
Mengingat efek yang ditimbulkan sangat fatal jika tidak dilakukan
mobilisasi dini setelah pasien 6 jam selesai di operasi, hal ini perlu
menjadi perhatian yang sangat penting bagi pihak Rumag Sakit yaitu
diharapkan mobilisasi secara terstruktur dapat menjadi protap yang harus
dilakukan setalah 6 jam pasien selesai di operasi dengan anastesi umum.
SATUAN ACARA PENYULUHAN
BRONCHOPNEUMONIA
Disusun Oleh :
NATASYA ADISTYA GITI AS FITRI
(201903040)
Topik : Bronchopneumonia
mampu:
C. Sasaran Orangtua
by. A. N
D. Materi
Terlampir
1. Leaflet
E. Metode
F. Pengorganisasian
G. SetinganTempat
Keterangan Gambar:
PENYULUH
ORANTUA BY. A. N
PENGUJI
MEDIA : LEAFLET
H. Rencana Kegiatan
1 5 Menit Pembukaan:
2 20 Menit Pelaksanaan :
MATERI PENYULUHAN
A.Pengertian
Bronchopneumonia adalah jenis infeksi paru yang disebabkan oleh agen
infeksius dan terdapat di daerah Paru
B. Etiologi
5. Aspirasi benda asing : makanan, kerosen, amnion, dan aspirasi isi lambung.
1. Suhu tubuh dapat naik sangat mendadak sampai 39-40⁰C yang tinggi.
2. pernapasan cepat dan dangkal disertai pernapasan cuping hidung
3. Kebiruan disekitar hidung dan mulut
4. Mual muntah dan susah menelan
1. Jika anak batuk tutup dengan sapu tangan atau tissue agar keluarga dan
orang lain sekitarnya tidak tertular.
E. penanganan
1. Antibiotik
2. Obat batuk
3. Oksigen
4. ASI
F. Pencegahan Bronchopneumonia
3. Istirahat Cukup