Anda di halaman 1dari 20

Mata Kuliah

Keperawatan Medikal
Bedah III
LAPORAN MAKALAH KELOMPOK 3

“ KONSEP PENYAKIT OTITIS ”

DOSEN PEMBIMBING :

Ns. Bayu Saputra, M.Kep

DISUSUN OLEH :

1. Nofriyandi Dwi Amdas (19031042)


2. Fahrul Izza Mei Hendra (19031053)
3. Ismawati (19031056)
4. Sopia Maulida (19031060)
5. Annisa Purnama Asri (19031066)
6. April Lia Listiyani (19031067)
7. Armila Dwitalara (19031069)
8. Radja Siti Nur Aisyah (19031077)

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


STIKes HANGTUAH PEKANBARU
2021/2022

1
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.


Allhamdulillah, puji syukur kami panjatkan kehadiran Allah swt karena berkat
rahmat dan karunia-nya kami dapat menyelesaikan makalah keperawatan medikal bedah
III dengan judul “Konsep Penyakit Otitis”. Dengan segala pengetahuan dan kemampuan
yang kami miliki. dalam penulisan makalah ini kami ucapkan terimakasih kepada bapak
Ns. Bayu Saputra, M.Kep sebagai dosen fasilitator mata kuliah Keperawatan Medikal
Bedah III yang telah memberikan tugas ini kepada kami.
Kami berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta
pengetahuan kami. Kami juga menyadari sepenuhnya dalam pengerjaan tugas ini
terdapat kekurangan. Dengan ini, Kami memohon maaf apabila terdapat kesalahan kata,
kalimat maupun bahasa yang kurang berkenan dan kami mohon kritik dan saran yang
membangun demi perbaikan di masa depan. Untuk itu, kritik dan saran dari semua pihak
sangat diharapkan demi penyempurnaan makalah ini

Wassalamu’alaikum Wr. Wb

Pekanbaru, 08 Okteber 2021

Kelompok 3 B

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................................. 2
DAFTAR ISI............................................................................................................................. 3
BAB I PENDAHULUAN......................................................................................................... 4
1.1 Latar Belakang ..............................................................................................................................4
1.2 Tujuan Penulisan ..............................................................................................................................5
1.2.1 Tujuan Umum ...................................................................................................................5
1.2.2 Tujuan Khusus ..................................................................................................................5
BAB II LANDASAN TEORI .................................................................................................. 6
2.1 Defenisi ..........................................................................................................................................6
2.2 Etiologi ..........................................................................................................................................6
2.3 Klasifikasi .....................................................................................................................................7
2.4 Patofisiologi ....................................................................................................................................7
2.5 Manifestasi Klinis ......................................................................................................................8
2.6 Komplikasi ...................................................................................................................................9
2.7 Penatalaksanaan Medis ..............................................................................................................9
2.8 Pencegahan ...............................................................................................................................10
BAB III PEMBAHASAN ..................................................................................................... 12
3.1 Asuhan Keperawatan Otitis ..................................................................................................12
3.2 Pemeriksaan Diagnostik ..........................................................................................................13
3.3 Pemeriksaan Fisik .....................................................................................................................13
3.4 Diagnosa Keperawatan ............................................................................................................13
3.5 Intervensi Keperawatan ............................................................................................................14
BAB IV PENUTUP ............................................................................................................... 19
4.1 Kesimpulan ...............................................................................................................................19
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................ 20

3
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Otitis media akut (OMA) adalah penyakit telinga tersering pada anak yang
ditandai dengan reaksi peradangan di telinga tengah yang dipicu oleh agen infeksi
atau non infeksi (Paparella et al., 2012).
Kejadian otitis media pada anak berkaitan dengan kejadian infeksi saluran
pernafasan atas (ISPA). ISPA menyebabkan nasopharyngitis, yang mengakibatkan
tekanan negatif dari telinga tengah. Tekanan negatif telinga tengah diakibatkan oleh
fungsi tuba eustachius yang terganggu, sekitar 94% pasien dengan ISPA berkembang
menjadi OMA (Haidar, 2017). Penelitian yang dilakukan oleh Chonmaitree dkk
(2009).
ISPA berulang menjadi salah satu faktor resiko terjadinya rekurensi OMA
pada anak. Anak penderita OMA dengan stadium perforasi dapat berkomplikasi
menjadi mastoiditis. Mastoiditis yang kronik dapat mnimbulkan masalah baru berupa
penurunan pendengaran (Mattos et al., 2014).
Prevalensi ISPA di provinsi Jawa Tengah adalah 15,7% masih tergolong
tinggi dibandingkan dengan provinsi lain (Badan Penelitian dan Pengembangan
Kesehatan, 2013). Penyebab utama kunjungan pasien dipuskesmas salah satunya
adalah ISPA, 15-30 % berlanjut ,menjadi pasien rawat inap rumah sakit (Kementerian
Kesehatan RI, 2011).
Otitis media kronik dapat menyebabkan morbiditas yang sangat erat
hubungannya dengan gangguan pendengaran. Terdapat berbagai macam faktor
predisposisi kronisitas otitis media salah satunya adalah riwayat rinitis alergi
sebelumnya (Diana and Haryuna, 2017). Menurut penelitian Rambe et al pada studi
kasus kontrol rinitis alergi berpengaruh tiga kali lebih besar terhadap disfungsi tuba
eustachii yang berlanjut pada otitis media kronik (Rambe et al., 2013).

4
1.2 Tujuan Penulisan
1.2.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahu dan memahami terkait Asuhan Keperawatan dan Konsep
Penyakit Pasien Dengan Otitis
1.2.2 Tujuan Khusus
1. Untuk Mengetahu Dan Memahami Definisi Dari Otitis
2. Untuk Mengetahui Dan Memahami Etiologi Dari Otitis
3. Untuk Mengetahui Dan Memahami Klasifikasi Dari Otitis
4. Untuk Mengetahui Dan Memahamai Patofisiologi Dari Otitis
5. Untuk Mengetahui Dan Memahami Manifestasi Klinis Dari Ototis
6. Untuk Menegtahui Dan Memahami Komplikasi Dari Otitis
7. Untuk Mengetahui Dan Memahami Penatalaksanaan Medis, Terapi Nutrisi
Untuk Pasien, Pencegahan Primer,Sekunder Dan Tersier Dari Penyakit
Otitis
8. Untuk Mengetahui Dan Memahamai Asuhan Keperawatan Untuk Pasien
Dengan Otitis

5
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Defenisi Otitis
Otitis adalah radang telinga yang ditandai dengan nyeri, demam, hilangnya
pendengaran, tinitus dan vertigo. Otitis berarti peradangan dari telinga, dan media
berarti tengah. Otitis media (OM) ialah peradangan sebagian atau seluruh mukosa
telinga tengah, tuba Eustachius, antrum mastoiddan sel-sel mastoid (FKUI : 2007).

Otitis media adalah peradangan atau inflamasi sebagian atau seluruh mukosa
telinga tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid
(Masnjoer : 1999 ).

Otitis media adalah peradangan sebagian atau seluruh mukosa telinga


tengah, tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid. Gangguan telinga yang
paling sering adalah infeksi eksterna dan media. Sering terjadi pada anak-anak dan
juga pada orang dewasa (Soepardi, 1998).

2.2 Etiologi

Otitis media disebabkan oleh virus, bakteri dan jamur. Menurut


Greenberg(2008), bakteri penyebab otitis media tersering adalah S, pneumonia,
H. inflenzae, dan M. catarrhalis. Virus atau bakteri dari tenggorokan bisa sampai ke
telinga tengah melalui tuba eustakius atau kadang juga melalui aliran darah. Otitis
media akut juga bisa terjadi karena adanya penyumbatan pada sinus atau tuba
eustakius akibat alergi atau pembengkakan adenoid. Penyebab utama otitis media
adalah masuknya bakteri patogenik ke dalam telinga tengah yang normalnya
adalah steril. Paling sering terjadi bila terdapat disfungsi tuba eustachius seperti
obstruksi yang disebabkan oleh infeksi saluran pernafasan atas, inflamasi jaringan
disekitarnya (sinusitis, hipertrofi adenoid) atau reaksi alergik : rhinitis alergika,
kekebalan tubuh, lingkungan. Kelembaban kulit yang tinggi setelah berenang/mandi
menyebabkan maserasi. Keadaan-keadaan tersebut menimbulkan rasa gatal yang
mendorong penderita mengorek telinga, sehingg trauma yang timbul akan
memperhebat perjalanan infeksi (Subianto, 2010)

6
2.3 Klasifikasi

a. Otitis Media Efusi

Otitis media efusi (OME) adalah peradangan pada telinga tengah dimana
terdapatnya cairan didalam telinga tengah, tanpa ada tanda-tanda infeksi akut
seperti nyeri atau demam (Broek :2010)

b. Otitis Media Akut

Otitis media akut adalah peradangan akut sebagian atau seluruh periosteum
telinga tengah dan terjadi dalam waktu kurang dari 3 minggu. Otiitis medi akut
adalah proses infeksi yang ditentukan oleh adanya cairan di telinga atau gangguan
dengar, serta gejala penyerta lainnay tergantung berat ringannya penyakit, antara
lain : demam, iritabilitas, letargi, anoreksia, vomiting, bulging hingga perforasi
membran tympani yang dapat diikuti dengan drainase purulent (Subianto : 2010)

c. Otitis Media Kronis


Otitis media kronis adalah infeksi menahun pada telinga tengah. Kondisi
yang berhubungan dengan patologi jaringan irreversible dan biasanya disebabkan
oleh episode berulang otitis media akut yang tidak diobati secara signifikan dan
baik. Otitis media koris adalah proses peradangan di telinga tengah dan mastoid
yang menetap > 12 minggu. Otitis media kronik adalah perforasi pada gendang
telinga (Subianto : 2010).

2.4 Patofisiologi
Otitis media pada umumnya sering terjadi akibat terganggunya faktor
pertahanan tubuh yang bertugas menjaga kesterilan telinga tengah. Otitis media
sering diawali dengan infeksi pada saluran napas seperti radang tenggorokan atau
pilek yang menyebar ke telinga tengah lewat saluran Eustachius. Saat bakteri melalui
saluran Eustachius, mereka dapat menyebabkan infeksi di saluran tersebut sehingga
terjadi pembengkakan di sekitar saluran, tersumbatnya saluran menyebabkan
transudasi, datangnya sel-sel darah putih untuk melawan bakteri. Sel-sel darah
putih akan membunuh bakteri dengan mengorbankan diri mereka sendiri. Sebagai
hasilnya terbentuklah nanah dalam telinga tengah. Selain itu pembengkakan jaringan
sekitar saluran Eustachius menyebabkan lendir yang dihasilkan sel- sel di telinga
tengah terkumpul di belakang gendang telinga.

7
Jika lendir dan nanah bertambah banyak, pendengaran dapat terganggu
karena gendang telinga dan tulang-tulang kecil penghubung gendang telinga dengan
organ pendengaran di telinga dalam tidak dapat bergerak bebas. Kehilangan
pendengaran yang dialami umumnya sekitar 24 desibel (bisikan halus). Namun cairan
yang lebih banyak dapat menyebabkan gangguan pendengaran hingga 45 desibel
(kisaran pembicaraan normal). Selain itu telinga juga akan terasa nyeri dan yang
paling berat, cairan yang terlalu banyak tersebut akhirnya dapat merobek gendang
telinga karena tekanannya (Subianto :2010 ).

2.5 Manifestasi Klinis

Berdasarkan manifestasi klinis menurut Subianto (2010) otitis media dapat dibagi

menjadi :

a. Otitis Media Akut


Gejala klinis otitis media akut (OMA) tergantung pada stadium penyakit dan
umur pasien. Stadium otitis media akut (OMA) berdasarkan perubahan mukosa
telinga tengah :
1. Stadium oklusi tuba Eustachius
Terdapat gambaran retraksi membran timpani akibat tekanan negatif
di dalam telinga tengah. Kadang berwarna normal atau keruh pucat. Efusi
tidak dapat dideteksi.Sukar dibedakan dengan otitis media serosa akibat
virus atau alergi.
2. Stadium hiperemis (presupurasi)
Tampak pembuluh darah yang melebar di membran timpani atau
seluruh membran timpani tampak hiperemis serta edema. Sekret yang telah
terbentuk mungkin masih bersifat eksudat serosa sehingga sukar terlihat.
b. Otitis Media Kronik
Gejala berdasarkan tipe Otitis Media Kronis :
1) OMK tipe benigna.
Gejalanya berupa discharge mukoid yang tidak terlalu berbau busuk
ketika pertama kali ditemukan bau busuk mungkin ada tetapi dengan
pembersihan dan penggunaan antibiotiklokal biasanya cepat menghilang,
discharge mukoid dapat konstan atau intermitten.

8
2) OMK tipe maligna dengan kolesteatoma.
Sekret pada infeksi dengan kolesteatom beraroma khas, sekret yang
sangat bau dan berwarna kuning abu-abu, kotor purulen dapat juga
terlihat keping-keping kecil, berwarna putih mengkilat.
Gangguan pendengaran tipe konduktif timbul akibat terbentuknya
kolesteatom bersamaan juga karena hilangnya alat penghantar udara pada otitis media
nekrotikans akut. Selain tipe konduktif dapat pula tipe campuran karena kerusakan
pada koklea yaitu karena erosi pada tulang- tulang kanal semisirkularis akibat
osteolitik kolesteatom ( Nagel :2012).
2.6 Komplikasi
a. Ruptur membran timpani
b. Otitis media kronik
c. Mastoiditis
d. Abses
e. Vertigo
f. Kehilangan pendengaran permanen
g. Meningitis
h. Kolesteatoma

2.7 Penatalaksanaan Medis


a. OMA
1) Antibiotik
Antibiotik spektrum luas dan awal, otitis media dapat hilang tanpa gejala
sisa yang serius. Bila terjadi pengeluaran cairan, biasanya perlu diresepkan
preparat otik antibiotika. Kondisi bisa berkembang dengan subakut dengan
pengeluaran cairan purulen menetap dari telinga. Jarang sekali terjadi
kehilangan pendengaran permanen. Antibiotik yang efektif digunakan adalah
amoksilin. Amoksilin menghasilkan perbaikan gejala dalam 48-72 jam. Dalam
24 jam pertama terjadi stabilisasi, sedang dalam 24 jam kedua mulai terjadi
perbaikan. Jika pasien tidak membaik dalam 48-72 jam, kemungkinan ada
penyakit lain atau pengobatan yang diberikan tidak memadai. Dalam kasus
seperti ini dipertimbangkan pemberian antibiotik lini kedua, misalnya
amoksisilin dengan klavulanat. Amoksisilin dengan klavulanat diberikan kepada

9
pasien dengan gejala berat atau OMA yang kemungkinan disebabkan
Haemophilus influenzae dan Moraxella catarrhalis.
2) Analgesik/ pereda nyeri
Selain antibiotik, penanganan OMA selayaknya disertai penghilang nyeri
(analgesia). Analgesia yang umumnya digunakan adalah analgesia sederhana
seperti paracetamol atau ibuprofen. Namun perlu diperhatikan bahwa pada
penggunaan ibuprofen, harus dipastikan bahwa klien tidak mengalami gangguan
pencernaan seperti muntah atau diare karena ibuprofen dapat memperparah
iritasi saluran cerna.
3) Miringotomi
Miringotomi ialah tindakan insisi pada pars tensa membran timpani,
supaya terjadi drainase sekret dari Biasanya klien dengan gangguan otitis media
ini, agak susah untuk berkomunikasi dengan orang lain karena ada gangguan
pada telinga nya, sehingga ia kurang mendengar/ kurang nyambung tentang apa
yang di bicarakan orang lain.
b. OMK
1) Terapi obat
Pasien mendapatkan obat anti imflamasi berupa deksametason dengan
dosis 0,6mg/kg/hari selama 4 hari.
2) Pembedahan
Bagi prosedur pembedahan dapat dilakukan jika dengan penanganan obat
tidak begitu efektif.
2.8 Pencegahan
1. Pencegahan Primer
- Pencegahan terjadinya ISPA pada bayi dan anak-anak
Otitis pada anak-anak umur 6 bulan sampai 3 tahun yang disebabkan
oleh adanya riwayat ISPA sebesar 61%, yaitu 37% OMA dan 24% OMK,
dengan etiologi terbanyak adalah infeksi virus. Infeksi saluran napas dapat
menyebabkan peradangan dan mengganggu fungsi tuba eustachius sehingga
menurunkan tekanan di telinga tengah diikuti masuknya bakteri dan virus ke
dalam telinga tengah melalui tuba eustachius mengakibatkan peradangan
dan efusi di telinga tengah. Adanya riwayat infeksi saluran nafas atas secara
signifikan meningkatkan risiko otitis media kronik.

10
- Hindari pajanan terhadap asap rokok
Suatu studi metaanalisis menunjukkan risiko otitis media yang
meningkat yaitu sebesar 66% karena pengaruh paparan asap rokok. Paparan
asap rokok berkontribusi meningkatkan risiko terjadinya otitis media kronik,
asap rokok akan menyebabkan gangguan dari fungsi mukosiliar tuba
eustasius.
- Pemberian vaksin pneumococcus dan vaksin influenza
Pemberian imunisasi Hib agar terhindar dari bakteri Haemophilus
influenzae dan imunisasi PCV agar terhindar dari bakteri Streptococcus
pneumoniae.
- Jagalah telinga tetap kering
- Menghindari pengeluaran lendir dengan paksaan / tekanan yang berlebihan.
- Jangan mengorek-ngorek liang telinga terlalu kasar
- Jika ada benda asing yang masuk, datanglah ke dokter
2. Pencegahan Sekunder
1. Istirahat yang cukup untuk mengatasi infeksi
2. Hindari penerbangan saat menderita infeksi telinga
3. Penggunaaan obat-obatan sesuai resep dokter
3. Pencegahan Tersier
Kontrol teratur ke dokter untuk memeriksakan membran timpani (gendang telinga)
selama 2-4 minggu sampai terjadi resolusi (penutupan kembali).

11
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Asuhan Keperawatan Otitis

1. Pengkajian

Pengumpulan pengkajian data melalui riwayat kesehatan dan pemeriksaan fisik


seperti di bawah ini:

1. Riwayat kesehatan : adakah baru-baru ini infeksi pernafasan atas ataukah


sebelumnya klien mengalami ISPA, ada nyeri daerah telinga, perasaan penuh
atau tertekan di dalam telinga, perubahan pendengaran.
2. Pemeriksaan fisik : tes pendengaran, memeriksa membran timpani.

3. Data yang muncul pada saat pengkajian.

4. Sakit telinga / nyeri.

5. Penurunan / tak ada ketajaman pendengaran pada satu atau kedua telinga.

6. Tinitus.

7. Perasaan penuh pada telinga.

8. Suara bergema dari suara sendiri.

9. Bunyi "letupan" sewaktu menguap atau menelan.

10. Vertigo, pusing, gatal pada telinga.

11. Pengunaan minyak, kapas lidi, peniti untuk membersihkan telinga.

12. Penggunanaan obat (streptomisin, salisilat, kuirin, gentamisin).

13. Tanda-tanda vital (suhu bisa sampai 40°C) demam.

14. Kemampuan membaca bibir atau memakai bahasa isyarat.

15. Reflek kejut.

16. Toleransi terhadap bunyi-bunyian keras.

17. Tipe warna 2 jumlah cairan.

18. Cairan telinga: hitam, kemerahan, jernih, kuning.

19. Alergi.

20. Dengan otoskop tuba eustacius bengkak, merah, suram.

12
21. Adanya riwayat infeksi saluran pernapasan atas, infeksi telinga sebelumnya,
alergi.
3.2 Pemeriksaan Diagnostik
a. Otoscope untuk melakukan auskultasi pada bagian telinga luar.
b. Timpanogram untuk mengukur kesesuaian dan kelakuan membran timpani .
c. Kultur dan uji sensitifitas; dilakukan bila dilakukan timpanosintesis (aspirasi
jarum dari telinga tengah melalui membrane timpani).

3.3 Pemeriksaan Fisik


1. Otoskopi
a. Perhatikan adanya lesi pada telinga luar.
b. Amati ada edema pada membran timpani periksa adanya pus dan ruptur pada
membran timpani.
c. Amati perubahan warna yang mungkin terjadi pada membran timpani.
2. Tes bisik
Dengan menempatkan klien pada ruang yang sunyi, kemudian dilakukan tes
bisik, pada klien dengan OMA dapat terjadi penurunan pendengaran pada sisi
telinga yang sakit.
3. Tes garpu tala
a. Tes rinne : pada uji rinne didapatkan hasil negative.
b. Tes weber : pada tes weber didapatkan lateralisasi kearah telinga yang sakit.

3.4 Diagnosa Keperawatan

1. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisik dibuktikan dengan mengeluh
nyeri, meringis, gelisah, sulit tidur, diaforesis.
2. Hipertermia berhubungan dengan proses penyakit dibuktikan dengan suhu tubuh
diatas nilai normal, kulit merah, kulit terasa hangat.
3. Gangguan komunikasi verbal berhubungan dengan gangguan pendengaran
dibuktikan dengan tidak mampu mendengar, menunjukkan respon tidak sesuai, sulit
memahami komunikasi.
4. Defisit pengetahuan berhubungan dengan kurang terpapar informasi dibuktikan
dengan menunjukkan perilaku tidak sesuai anjuran.
5. Resiko infeksi dibuktikan dengan efek prosedur invasive

13
3.5 Intervensi Keperawatan

Diagnosa
No. Tujuan dan Kriteria Hasil Intervensi Keperawatan
Keperawatan

1. Nyeri akut Setelah dilakukan intervensi Manajemen nyeri


berhubungan selama 3 x 24 jam 1. Identifikasi lokasi,
dengan agen diharapkan tingkat nyeri karakteristik, durasi,
pencedera fisik menurun dengan kriteria frekuensi, kualitas,
dibuktikan dengan hasil : intensitas nyeri.
mengeluh nyeri, - Keluhan nyeri menurun 2. Identifikasi skala nyeri.
meringis, gelisah, - Meringis menurun 3. Identifikasi respons nyeri
sulit tidur, - Sikap protektif menurun non verbal.
diaforesis. - Gelisah menurun 4. Identifikasi faktor yang
- Kesulitan tidur menurun memperberat dan
memperingan nyeri.
5. Identifikasi pengetahuan
dan keyakinan tentang
nyeri.
6. Identifikasi pengaruh
budaya terhadap respon
nyeri.
7. Berikan teknik non
farmakologis untuk
mengurangi rasa nyeri.
8. Kontrol lingkungan yang
memperberat rasa nyeri.
9. Fasilitasi istirahat dan tidur.
10. Pertimbangkan jenis
dan sumber nyeri dalam
pemilihan strategi
meredakan nyeri.
2. Hipertermia Setelah dilakukan tindakan Manajemen hipertermia
berhubungan keperawatan selama 3 x 24 1. Identifikasi penyebab

14
dengan proses jam diharapkan hipertermia.
penyakit dibuktikan termoregulasi membaik 2. Monitor suhu tubuh.
dengan suhu tubuh dengan kriteria hasil: 3. Monitor kadar elektrolit.
diatas nilai normal, - Suhu tubuh membaik 4. Monitor haluaran urine.
kulit merah, kulit - Suhu kulit membaik 5. Monitor komplikasi akibat
terasa hangat. - Kadar glukosa darah hipertermia.
membaik 6. Sediakan lingkungan yang
- Pengisian kapiler membaik dingin.
- Ventilasi membaik 7. Longgarkan atau lepaskan
- Tekanan darah membaik pakaian.
8. Basahi dan kipasi
permukaan tubuh.
9. Berikan cairan oral.
10. Ganti linen setiap hari
atau lebih sering jika
mengalami hiperhidrosis.
11. Lakukan pendinginan
eksternal.
12. Hindari pemberian
antipiretik atau aspirin.
13. Berikan oksigen, jika
perlu.
14. Anjurkan tirah baring.
15. Kolaborasi pemberian
cairan dan elektrolit
intravena, jika perlu.
3. Gangguan Setelah dilakukan tindakan Promosi komunikasi : defisit
komunikasi verbal keperawatan selama 3 x 24 pendengaran
berhubungan jam diharapkan komunikasi 1. Periksa kemampuan
dengan gangguan verbal meningkat dengan pendengaran.
pendengaran kriteria hasil: 2. Monitor akumulasi
dibuktikan dengan - Kemampuan berbicara serumen berlebihan
tidak mampu meningkat 3. Identifikasi metode

15
mendengar, - Kemampuan mendengar komunikasi yang disukai
menunjukkan - Kesesuaian ekspresi wajah / pasien
respon tidak sesuai, tubuh meningkat 4. Gunakan bahasa
sulit memahami - Kontak mata meningkat sederhana.
komunikasi. 5. Gunakan bahasa isyarat,
jika perlu.
6. Verifikasi apa yang
dikatakan atau ditulis
pasien.
7. Fasilitasi penggunaan alat
bantu dengar.
8. Berhadapan dengan
pasien secara langsung
selama berkomunikasi.
9. Pertahankan kontak mata
selama berkomunikasi.
10. Hindari merokok,
mengunyah makanan atau
permen karet dan
menutup mulut saat
berbicara.
11. Hindari kebisingan saat
berkomunikasi.
12. Hindari berkomunikasi
lebih dari 1meter dari
pasien.
13. Lakukan irigasi telinga,
jika perlu.
14. Pertahankan kebersihan
telinga.
15. Anjurkan menyampaikan
pesan dengan isyarat.
16. Ajarkan cara

16
membersihkan serumen
dengan tepat.
4. Defisit pengetahuan Setelah dilakukan tindakan Edukasi kesehatan
berhubungan keperawatan selama 3 x 24 1. Identifikasi kesiapan dan
dengan kurang jam diharapkan tingkat kemampuan menerima
terpapar informasi pengetahuan meningkat informasi.
dibuktikan dengan dengan kriteria hasil: 2. Identifikasi faktor-faktor
menunjukkan - Perilaku sesuai anjuran yang dapat meningkatkan
perilaku tidak sesuai meningkat dan menurunkan motivasi
anjuran. - Verbalisasi minat dalam perilaku hidup bersih dan
belajar meningkat sehat.
- Perilaku sesuai dengan 3. Sediakan materi dan media
pengetahuan meningkat pendidikan kesehatan.
4. Jadwalkan pendidikan
kesehatan sesuai
kesepakatan.
5. Berikan kesempatan untuk
bertanya.
6. Jelaskan faktor resiko yang
dapat mempengaruhi
kesehatan.
7. Ajarkan perilaku hidup
bersih dan sehat.
8. Anjarkan strategi yang
dapat digunakan untuk
meningkatkan perilaku
hidup bersih dan sehat.
5. Resiko infeksi Setelah dilakukan tindakan Perawatan Area Insisi
dibuktikan dengan keperawatan selama 3 x 24 1. Periksa lokasi insisi adanya
efek prosedur jam diharapkan tingkat kemerahan, bengkak atau
invasive infeksi menurun dengan tanda-tanda dehisen atau
kriteria hasil: eviserasi.
- Demam menurun 2. Monitor proses

17
- Kemerahan menurun penyembuhan area insisi.
- Nyeri menurun 3. Monitor tanda dan gejala
- Bengkak menurun infeksi.
4. Bersihkan area insisi
dengan pembersih yang
tepat.
5. Berikan salep antiseptik,
bila perlu.
6. Ganti balutan luka sesuai
jadwal.
7. Ajarkan meminimalkan
tekanan pada tempat insisi.
8. Ajarkan cara merawat area
insisi.

18
BAB IV
PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Otitis adalah radang telinga yang ditandai dengan nyeri, demam, hilangnya
pendengaran, tinitus dan vertigo. Otitis berarti peradangan dari telinga, dan media
berarti tengah. Otitis media (OM) ialah peradangan sebagian atau seluruh mukosa
telinga tengah, tuba Eustachius, antrum mastoiddan sel-sel mastoid. Otitis media
adalah peradangan atau inflamasi sebagian atau seluruh mukosa telinga tengah,
tuba eustachius, antrum mastoid dan sel-sel mastoid (Masnjoer : 1999 ).

Otitis media disebabkan oleh virus, bakteri dan jamur. Menurut


Greenberg(2008), bakteri penyebab otitis media tersering adalah S, pneumonia,
H. inflenzae, dan M. catarrhalis. Otitis media akut juga bisa terjadi karena adanya
penyumbatan pada sinus atau tuba eustakius akibat alergi atau pembengkakan
adenoid. Penyebab utama otitis media adalah masuknya bakteri patogenik ke dalam
telinga tengah yang normalnya adalah steril.

19
DAFTAR PUSTAKA
Farida. Y. dkk. (2016). Tatalaksana terkini otitis media supuratif kronik (OMSK).
Lampung: Medula Unila.
Ruhardi. A. dkk. (2021). Teori Keperawatan Medikal Bedah. Perkumpulan Rumah
Cemerlang Indonesia : Anggota IKAPI Jawa Barat.
Sari, M. R. (2020). Hubungan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat Terhadap Otitis Media
Supuratif Kronik (OMSK) . Majority , 158-165.
IImyasri. S. A. (2020). Diagnosis dan Tatalaksana Otitis Media Akut. Jurnal Penelitian
Perawat Profesional, 2 (4), 473 – 482.

Edward, Y., & Novianti, D. (2015). Biofilm Pada Otitis Media Supuratif Kronik.
JAMBI MEDICAL JOURNAL" Jurnal Kedokteran dan Kesehatan", 3(1).
Tanaya, P. W. D., Asthuta, A. R., Saputra, K. A. D., & Sucipta, I. W. PREVALENSI
KASUS OTITIS EKSTERNA BERDASARKAN USIA, JENIS KELAMIN
DAN DIABETES MELITUS DI POLIKLINIK THT RSUP SANGLAH
DENPASAR TAHUN 2018.

20

Anda mungkin juga menyukai