Definisi Materialitas
Yaitu suatu nilai informasi akuntansi yang dihilangkan atau salah saji dalam
lingkungan yang berlaku, mungkin akan mengubah pertimbangan seseorang yang
bersandar pada informasi tersebut karena hilangnya atau salah saji informasi tersebut
Materialitas merupakan konsep yang diterapkan oleh auditor pada tahap
perencanaan dan pelaksanaan audit, serta pada saat mengevaluasi dampak kesalahan
penyajian yang terindefikasi dalam audit dan kesalahan penyajian yang tidak
dikoreksi.
Ada juga yang dinamakan Materialitas pelaksanaan adalah suatu jumlah yang
ditetapkan oleh auditor, pada tingkat yang lebih rendah daripada materialitas untuk
laporan keuangan secara keseluruhan, untuk mengurangi ke tingkat rendah yang
semestinya kemungkinan kesalahan penyajian yang tidak dikoreksi dan yang tidak
terdeteksi yang secara agregat melebihi materialitas untuk laporan keuangan secara
keseluruhan. Jika berlaku materialitas pelaksanaan dapat ditetapkan oleh auditor pada
jumlah yang lebih rendah daripada materialitas golongan transaksi, saldo akun atau
pengungkapan tertentu.
Konsep Materialitas menunjukan seberapa besar salah saji yang dapat diterima
oleh auditor agar pemakai laporan keuangan tidak terpengaruh oleh salah saji tersebut.
Pembahasan tersebul di atas, jika ada dalam kerangka pelaporan keuangan yang
berlaku, menyediakan kerangka acuan bagi auditor dalam menentukan materialitas untuk
audit, Jjka kerangka pelaporan keuangan yang berlaku tidak mencakup pembahasan tentang
konsep materialitas, maka karakteristik-karakteristik seperti diuraíkan di atas dapat dijadikan
sebagai kerangka acuan bagi auditor dalam menentukan materialitas.
Awal (PM) merupakan nilai materialitas awal untuk tingkat laporan keuangan secara
keseluruhan. Nilai materialitas awal yang diperoleh merupakan besarnya kesalahan yang
mempengaruhi pertimbangan pengguna laporan keuangan. Penetapan nilai materialitas awal
secara kuantitatif meliputi tahapan sebagai berikut:
yang harus dilakukan oleh Pemeriksa adalah menentukan dasar penetapan materialitas. Dasar
penetapanmaterialitas yang dapat digunakan oleh Pemeriksa di antaranya adalah nilai laba
bersih sebelum pajak, total aset, ekuitas, total penerimaan,atau total belanja/biaya.
a) karakteristik (sifat, besar dan tugas pokok) dan lingkungan entitasyang diperiksa;
b) area dalam laporan keuangan yang akan lebih diperhatikan olehpengguna laporan
keuangan; dan
c) kestabilan atau keandalan nilai yang akan dijadikan dasar
Dasar penetapan materialitas yang dapat digunakan oleh Pemeriksa adalah sebagai berikut:
a) total pendapatan atau total belanja, untuk entitas nirlaba. Contoh:Pemerintah Pusat,
Lembaga Negara, dan Pemerintah Daerah mempunyai jumlah total pendapatan atau
total belanja yang besarsehingga dasar penetapan materialitas lebih tepat
didasarkanpada total pendapatan atau total belanja;
b) laba sebelum pajak atau pendapatan, untuk entitas yang bertujuan mencari laba.
Contoh: BUMN, BUMD, dan BLU, merupakanlembaga pemerintah yang bertujuan
mencari laba sehinggapenentuan dasar materialitas lebih tepat menggunakan laba
sebelum pajak; dan
c) nilai aset bersih atau ekuitas, untuk entitas yang berbasis aset.Contoh: meskipun
sebagian besar pemeriksaan atas LKKL/LKPPdan LKPD menggunakan total
penerimaan atau total belanja sebagai dasar penetapan materialitas, terdapat
pemeriksaan atasLKKL, seperti Kementerian XYZ, yang lebih tepat menggunakan
dasar aset dalam menetapkan batas materialitas karena jumlah aset dalam
Kementerian tersebut sangat signifikan dan menjadiperhatian utama bagi pembaca
laporan keuangan dan pengambil keputusan
a) untuk entitas nirlaba: sebesar 0,5% sampai dengan 5% dari total penerimaan atau
total belanja (0,5% ≤PM≤ 5%);
b) untuk entitas yang bertujuan mencari laba: sebesar 5% sampaidengan 10% dari laba
sebelum pajak atau sebesar 0,5% sampaidengan 1% dari total penjualan/pendapatan
(5% ≤PM≤ 10% atau0,5% ≤PM≤ 1%) ; dan
c) untuk entitas yang berbasis aset: sebesar 1% dari ekuitas atausebesar 0,5% samai 1%
dari total aktiva
N : Nilai akun
T : Total nilai akun yang diperiksa pada neraca untuk akun-akun di neracadan total nilai akun
yang diperiksa pada LRA untuk akun-akun di LRA.Neraca dan LRA menjadi dasar untuk
menentukan nilai T karena akun-akundi Neraca dan LRA tidak saling berhubungan sehingga
alokasi PM dan TMperlu dilakukan pada kedua jenis laporan keuangan tersebut.
Penentuan tingkat materialitas dalam audit diatur dalam Standar Audit (SA) nomor
320 tentang Materialitas dalam Tahap Perencanaan dan Pelaksanaan Audit.
Hal-hal yang perlu diperhatikan terkait materialitas:
a) Membutuhkan pertimbangan professional;
b) Bersifat relative (tidak absolut);
c) Ditentukan pada tahap perencanaan dan pelaksanaan audit serta pada saat
mengevaluasi dampak kesalahan penyajian yang teridentifikasi dalam audit
dan kesalahan penyajian yang tidak dikoreksi, jika ada, terhadap laporan
keuangan dan pada saat merumuskan opini dalam laporan auditor (Par. A1);
d) Bersifat akumulatif (tidak terpisah/sendiri-sendiri);
e) Tidak ditentukan besaran / nilainya oleh Standar Audit;
f) Dapat berubah seiring dengan progress audit.
Aspek keuangan yang dijadikan fokus (user's focus) dalam menghitung angka materilitas
adalah :
a) Earning - Based yaitu angka materilitas mengacu pada laba yang meliputi pretax
income, normalized earning, EBIT, EBITDA, atau gross margin.
b) Activty - Based yaitu angka materilitas mengacu pada kinerja entitas yaitu pendapatan
dan biaya
c) Capital - Based yaitu angka materilitas mengacu pada permodalan yang meluputi
ekuitas dan aset.
Lantas berapa persen (%) angka materialitas dari setiap basis laporan keuangan yang
dijadikan acuan? tidak ada standar baku yang diatur oleh SA. Namun angka persentase yang
pada umumnya digunakan dalam menentukan materialitas audit adalah sebagai berikut :
Faktor - faktor yang menentukan besaran persentase dapat diilustrasikan sebagai berikut :
Auditor membuat proyeksí langsung dari kesalahan penyajian diketahui dari sampel
ke populasi dan menambahkan satu taksíran untuk kesalahan sampling, Perhitungan
proyeksi langsung taksiran kesalahan penyajian,
Estimasi untuk kesalahan sampling diperlukan karena auditor mengambil sampel hanya
sebagian dari populasi dan oleh karenanya ada risiko bahwa sampel tidak secara akurat
mencerminkan populasi
Apabila pendekatan yang diterapkan auditor ditakukan secara berurutant maka temuan audit
dari akun-akun yang diaudit lebih dahulu akan bisa digunakan untuk merevisi kesalahan
penyajjan bisa ditoleransi yang telah ditetapkan untuk .akun-akun yang diaudit kernudian,
2. Risiko Inheren
Standar audit (SA 200.13 (n)) mendefinisikan risiko inheren sebagai berikut:
Risiko inheren: Kerentanan suatu asersi tantang suatu golongan transaksi,
saldo akun, atau pengungkapan terhadap suatu kesalahan penyajian yang
mungkin material, baik secara individual maupun secara kolektif ketika
digabungkan dengan kesalahan penyajian lainnya, sebelum
mempertimbangkan pengendalian internal yang terkait
Dengan perkataan lain, risiko inheren adalah penilaian auditor mengenai
kemungkinan adanya kesalahan penyajian material yang disebabkan karena
kekeliruan atau kecurangan sebelum mempertimbangkan efektivitas
pengendalian internal. Apabila auditor berkesimpulan bahwa kemungkinan
besar terdapat kesalahan penyajian, maka auditor akan berkesimpulan bahwa
risiko inherennya tinggi. Pada saat mempertimbangkan risiko inheren
pengendalian internal kita kesampingkan karena dalam model risiko audit,
pengendalian internal dipertimbangkan tersendiri sebagai risiko pengendalian.
Risiko inheren yang tinggi, selain akan meningkatkan bukti yang harus
dikumpulkan, juga menuntut digunakannya staf audit yang lebih
berpengalaman dan review terhadap pengujian audit lebih cermat. Sebagai
contoh, apabiia risiko inheren untuk keuangan persediaan sangat tinggit masuk
diakal apabila auditor akan menugasi staf yang sudah berpengalaman untuk
melakukan pengujian lebih intensif terhadap keuangan persediaan dan
melakukan review yang mendalam terhadap hasil audit.
3. Risiko Pengendalian
Standar audit (SA 200. 13 (n)) mendefinisikan risiko pengendalian sebagai
berikut:
Risiko pengendalian: Risiko bahwa suatu kesalahan penyajian yang
mungkin terjadi dalam suatu asersi tentang suatu golongan transaksi saldo
akun atau pengungkapan yang mungkin material, baik secara individual
maupun secara kolektif ketika digabungkan dengan kesalahan penyajian
lainnya, tidak akan dapat dicegah, atau dideteksi dan dikoreksi, secara tepat
waktu oleh pengendalian internal entitas.
Dengan perkataan lain, risiko pengendalian mengukur penilaian auditor
tentang apakah kesalahan penyajian yang melebihi jumlah kesalahan
penyajian bisa ditoleransi pada suatu segmen akan dapat dicegah atau
dideteksi secara tepat waktu oleh sistem pengendalian internal klien. Misalkan
auditor berkesimpulan bahwa pengendalian internal sama sekali tidak efektif
untuk mencegah atau mendeteksi kesalahan penyajian, sebagaimana
kesimpulan auditor terhadap pengendalian internat atas persediaan dan
penggudangan.
RA = RB x RP X RD
RB = 50%
RP = 50%
KESIMPULAN