Anda di halaman 1dari 15

1.

Definisi Materialitas
Yaitu suatu nilai informasi akuntansi yang dihilangkan atau salah saji dalam
lingkungan yang berlaku, mungkin akan mengubah pertimbangan seseorang yang
bersandar pada informasi tersebut karena hilangnya atau salah saji informasi tersebut
Materialitas merupakan konsep yang diterapkan oleh auditor pada tahap
perencanaan dan pelaksanaan audit, serta pada saat mengevaluasi dampak kesalahan
penyajian yang terindefikasi dalam audit dan kesalahan penyajian yang tidak
dikoreksi.
Ada juga yang dinamakan Materialitas pelaksanaan adalah suatu jumlah yang
ditetapkan oleh auditor, pada tingkat yang lebih rendah daripada materialitas untuk
laporan keuangan secara keseluruhan, untuk mengurangi ke tingkat rendah yang
semestinya kemungkinan kesalahan penyajian yang tidak dikoreksi dan yang tidak
terdeteksi yang secara agregat melebihi materialitas untuk laporan keuangan secara
keseluruhan. Jika berlaku materialitas pelaksanaan dapat ditetapkan oleh auditor pada
jumlah yang lebih rendah daripada materialitas golongan transaksi, saldo akun atau
pengungkapan tertentu.
Konsep Materialitas menunjukan seberapa besar salah saji yang dapat diterima
oleh auditor agar pemakai laporan keuangan tidak terpengaruh oleh salah saji tersebut.

Materialitas dan risiko audit perlu dipertimbangkan sepanjang pelaksanaan audit,


Khususnya pada saat:
a) Mengidentifikasi dan menilai kesalahan penyajian materi
b) Menentukan sifat saat dan luas prosedur audit selanjutnya
c) Mengevaluasi dampak kesalahan penyajian yang tidak dikoreksi

Penentuan materialitas oleh auditor membutuhkan pertimbangan profesional, dan


dipengaruhí oleh persepsi auditor tentang informasi keuangan oleh para pengguna
laporan keuangan. Datam konteks ini adalah masuk akal bagi auditor untuk
mengasumsikan bahwa pengguna laporan keuangan:

a) Memiliki suatu pengetahuan memadai tentang aktivitas bisnis dan ekonomi


serta akuntansi dan kemauan untuk mempelajari informasi yang ada dalam
laporan keuangan dengan cermat
b) Memaharni bahwa laporan keuangan disusun; disajikan dan diaudit
berdasarkan tingkat materialitas tertentu
c) Mengakui adanya ketidakpastian bawaan dalam pengukuran suatu jumlah
yang ditentukan berdasarkan penggunaan estimasi pertimbangan dan
pertimbangan masa depan
d) Membuat keputusan ekonomi yang masuk akal berdasarkan informasi dalam
laporan keuangan.

Kerangka pelaporan keuangan seringkali membahas materialitas dalam konteks


penyusunan dan penyajian laporan keuangan. Walaupun kerangka pelaporan keuangan
mungkin membahas materialitas dengan menggunakan istilah yang berbeda-bedas kerangka
tersebut secara umum menjelaskan bahwa:

a) Kesalahan penyajian, termasuk penghilangan, dianggap material bila kesalahan


penyajian tersebut, secara individual atau agregat, djperkirakan dapat memengaruhi
keputusan ekonomi yang diambíl berdasarkan laporan keuangan oleh pengguna
laporan keuangan tersebut.
b) Pertimbangan tentang materialitas djbuat dengan memperhitungkan berbagai kondisi
yang melingkupinya dan dipengaruhi oleh ukuran atau sifat kesalahan penyajian, atau
kombinasi keduanya
c) Pertimbangan tentang hal-hal yang material bagi pengguna laporan keuangan
didasarkan pada pertimbangan kebutuhan informasi keuangan yang umum diperlukan
Oleh pengguna laporan keuangan sebagai suatu grup. Kemungkinan dampak
kesalahan penyajian terhadap pengguna laporan keuangan individual tertentu, yang
kebutuhannya beragam, tidak dipertimbangkan.

Pembahasan tersebul di atas, jika ada dalam kerangka pelaporan keuangan yang
berlaku, menyediakan kerangka acuan bagi auditor dalam menentukan materialitas untuk
audit, Jjka kerangka pelaporan keuangan yang berlaku tidak mencakup pembahasan tentang
konsep materialitas, maka karakteristik-karakteristik seperti diuraíkan di atas dapat dijadikan
sebagai kerangka acuan bagi auditor dalam menentukan materialitas.

Pertimbangan awal tentang materialitas mencakup pertimbangan kuantitatif dan kualitatif


a) Pertimbangan Kuantitatif: Berkaitan dengan hubungan salah saji dengan jumlah kunci
tertentu dalam laporan keuangan
b) Pertimbangan Kualitatif: berkaitan dengan penyebab salah saji

2. Cara menetapkan tingkat materialitas


Dalam SA 320.10 menyatakan bahwa “pada saat menetapkan strategi audit secara
keseluruhan, auditor harus menentukan materialitas untuk laporan keuangan secara
keseluruhan”. Hal ini disebut pertimbangan awal meterialitas. Disebut demikian
karena meskipun opini ditetapkan secara professional, namun hal itu bisa berubah
ketika pengauditan sedang berlangsung. Kebijakan ini harus didokumentasikan dalam
file audit.

Pertimbangan awal materialitas untuk laporan keuangan secara keseturuhan (Tahap


dalam Gambar 7-1 di atas) adalah jumlah maksimum yang dí atas jumlah tersebut
diyakini oleh auditor akan membuat laporan keuangan menngandung kesalahan
penyajían dan masih tidak mempengaruhi pengambilan keputusan yang dilakukan
Pengguna laporan (secara konseptual ini adalah suatu jumlah yang Rp 1 lebih kecil
daripada materialitas sebagaimana dirumuskan dalam SA 3202 yang telah disebutkan
di atas).

Pertama: Penetapan Nilai Materialitas

Awal (PM) merupakan nilai materialitas awal untuk tingkat laporan keuangan secara
keseluruhan. Nilai materialitas awal yang diperoleh merupakan besarnya kesalahan yang
mempengaruhi pertimbangan pengguna laporan keuangan. Penetapan nilai materialitas awal
secara kuantitatif meliputi tahapan sebagai berikut:

a) Penentuan Dasar (Basis) Penetapan Materialitas;


b) Penentuan Tingkat (Rate) Materialitas;
c) Penetapan Nilai Materialitas Awal; dan.
d) Penetapan Kesalahan Yang Dapat Ditoleransi

yang harus dilakukan oleh Pemeriksa adalah menentukan dasar penetapan materialitas. Dasar
penetapanmaterialitas yang dapat digunakan oleh Pemeriksa di antaranya adalah nilai laba
bersih sebelum pajak, total aset, ekuitas, total penerimaan,atau total belanja/biaya.

Dalam memutuskan nilai yang akan dijadikan dasar, Pemeriksa sebaiknya


mempertimbangkan:

a) karakteristik (sifat, besar dan tugas pokok) dan lingkungan entitasyang diperiksa;
b) area dalam laporan keuangan yang akan lebih diperhatikan olehpengguna laporan
keuangan; dan
c) kestabilan atau keandalan nilai yang akan dijadikan dasar

Dasar penetapan materialitas yang dapat digunakan oleh Pemeriksa adalah sebagai berikut:

a) total pendapatan atau total belanja, untuk entitas nirlaba. Contoh:Pemerintah Pusat,
Lembaga Negara, dan Pemerintah Daerah mempunyai jumlah total pendapatan atau
total belanja yang besarsehingga dasar penetapan materialitas lebih tepat
didasarkanpada total pendapatan atau total belanja;
b) laba sebelum pajak atau pendapatan, untuk entitas yang bertujuan mencari laba.
Contoh: BUMN, BUMD, dan BLU, merupakanlembaga pemerintah yang bertujuan
mencari laba sehinggapenentuan dasar materialitas lebih tepat menggunakan laba
sebelum pajak; dan
c) nilai aset bersih atau ekuitas, untuk entitas yang berbasis aset.Contoh: meskipun
sebagian besar pemeriksaan atas LKKL/LKPPdan LKPD menggunakan total
penerimaan atau total belanja sebagai dasar penetapan materialitas, terdapat
pemeriksaan atasLKKL, seperti Kementerian XYZ, yang lebih tepat menggunakan
dasar aset dalam menetapkan batas materialitas karena jumlah aset dalam
Kementerian tersebut sangat signifikan dan menjadiperhatian utama bagi pembaca
laporan keuangan dan pengambil keputusan

Kedua: Setelah menentukan dasar penetapan,yang dilakukanPemeriksa adalah


mempertimbangkan tingkat yang akan digunakandalam menghitung materialitas
awal.Tingkat materialitas dapat ditetapkan sebagai berikut:

a) untuk entitas nirlaba: sebesar 0,5% sampai dengan 5% dari total penerimaan atau
total belanja (0,5% ≤PM≤ 5%);
b) untuk entitas yang bertujuan mencari laba: sebesar 5% sampaidengan 10% dari laba
sebelum pajak atau sebesar 0,5% sampaidengan 1% dari total penjualan/pendapatan
(5% ≤PM≤ 10% atau0,5% ≤PM≤ 1%) ; dan
c) untuk entitas yang berbasis aset: sebesar 1% dari ekuitas atausebesar 0,5% samai 1%
dari total aktiva

Pedoman umum penerapan tingkat materialitas adalah sebagai berikut

Ketiga: Penetapan nilai materialitas


Keempat: penetapan kesalahan yang dapat ditoleransi(TM). TM merupakan alokasi
materialitas awal (PM) pada setiap akunatau kelompok akun. Alokasi materialitas pada setiap
akun pentingkarena Pemeriksa melakukan pemeriksaan dengan mengumpulkanbukti
pemeriksaan per segmen (akun), bukan per laporan keuangan secara keseluruhan Alokasi ini
dilakukan dengan tujuan untukmenentukan akun/kelompok akun dalam laporan keuangan
yangmemerlukan tambahan prosedur pemeriksaan, memastikan adanyakemungkinan salah
saji yang material yang berasal dari penggabungansalah saji yang jumlahnya lebih kecil
daripada materialitas awal,mempertimbangkan risiko deteksi, dan meminimalkan
biayapemeriksaan tanpa menurunkan kualitas pemeriksaan.

Langkah-langkah pengalokasian PM menjadi TM pada akun-akunlaporan keuangan adalah


sebagai berikut:

a) tentukan nilai PM;


b) hitung total nilai seluruh akun pada Neraca, kecuali akun-akun yangbersifat residual,
seperti SILPA/SIKPA, ekuitas dana, dansebagainya;
c) akun yang mendapatkan alokasi PM adalah akun-akun yangdilakukan pengujian.
Akun-akun yang sangat penting seperti kasakan memperoleh alokasi 0 dan akun-akun
artificial/penyeimbangseperti EDI/EDL tidak akan memperoleh alokasi PM;
d) alokasikan nilai PM pada akun-akun yang akan dilakukan pengujian dengan
menggunakan rumus:
Dimana:

TM : Tingkat kesalahan yang dapat ditoleransi

PM : Nilai materialitas awal

N : Nilai akun

T : Total nilai akun yang diperiksa pada neraca untuk akun-akun di neracadan total nilai akun
yang diperiksa pada LRA untuk akun-akun di LRA.Neraca dan LRA menjadi dasar untuk
menentukan nilai T karena akun-akundi Neraca dan LRA tidak saling berhubungan sehingga
alokasi PM dan TMperlu dilakukan pada kedua jenis laporan keuangan tersebut.

Penentuan tingkat materialitas dalam audit diatur dalam Standar Audit (SA) nomor
320 tentang Materialitas dalam Tahap Perencanaan dan Pelaksanaan Audit.
Hal-hal yang perlu diperhatikan terkait materialitas:
a) Membutuhkan pertimbangan professional;
b) Bersifat relative (tidak absolut);
c) Ditentukan pada tahap perencanaan dan pelaksanaan audit serta pada saat
mengevaluasi dampak kesalahan penyajian yang teridentifikasi dalam audit
dan kesalahan penyajian yang tidak dikoreksi, jika ada, terhadap laporan
keuangan dan pada saat merumuskan opini dalam laporan auditor (Par. A1);
d) Bersifat akumulatif (tidak terpisah/sendiri-sendiri);
e) Tidak ditentukan besaran / nilainya oleh Standar Audit;
f) Dapat berubah seiring dengan progress audit.

Faktor-faktor dalam mempertimbangkan basis (tolak ukur) untuk penentuan materialitas:

a) Unsur-unsur laporan keuangan (contoh: aset, liabilitas, ekuitas, pendapatan, beban);


b) Apakah terdapat unsur-unsur yang menjadi perhatian khusus para pengguna laporan
keuangan suatu entitas tertentu (contoh: untuk tujuan pengevaluasian kinerja
keuangan, pengguna laporan keuangan cenderung akan fokus pada laba, pendapatan
ataupun aset bersih);
c) Sifat entitas, posisi entitas dalam siklus hidupnya, dan industri serta lingkungan
ekonomi yang di dalamnya entitas tersebut beroperasi:
d) Struktur kepemilikan dan pendanaan entitas (contoh: jika pendanaan sebuah entitas
hanya dari hutang dan bukan dari ekuitas, maka pengguna laporan keuangan akan
lebih menekankan pada aset dan klaim atas asset tersebut daripada pendapatan
entitas);

Aspek keuangan yang dijadikan fokus (user's focus) dalam menghitung angka materilitas
adalah :

a) Earning - Based yaitu angka materilitas mengacu pada laba yang meliputi pretax
income, normalized earning, EBIT, EBITDA, atau gross margin.
b) Activty - Based yaitu angka materilitas mengacu pada kinerja entitas yaitu pendapatan
dan biaya
c) Capital - Based yaitu angka materilitas mengacu pada permodalan yang meluputi
ekuitas dan aset.

Masing-masing entitas memiliki karaktaristik yang berbeda-beda dalam menentukan acuan


dalam menghitung materilitas audit, berikut ini penentuannya berdasarkan karakteristik
entitas (characteristics of the entity) :

a) Entitas Profit Oriented lebih cocok menggunakan earning-based atau activity-based,


sedangkan entitas Non-profit oriented lebih tetapt menggunakan activity-based atau
capital - based
b) Untuk entitas yang sudah konsisten memperoleh laba setiap tahunnya (profitable)
lebih cocok menggunakan earning-based, sedangka untuk entitas yang rugi atau masih
titik impas (break event or loss making) lebih cocok menggunakan activity - based
atau capital - based.
c) Untuk entitas yang sudah lama berdiri (mature) lebih cocok menggunakan earning-
based atau activity-based, sedangkan untuk entitas yang baru memulai operasional
(start-up) lebih cocok menggunakan activity-based atau capital-based.

Lantas berapa persen (%) angka materialitas dari setiap basis laporan keuangan yang
dijadikan acuan? tidak ada standar baku yang diatur oleh SA. Namun angka persentase yang
pada umumnya digunakan dalam menentukan materialitas audit adalah sebagai berikut :

a) Pretax income 5% - 10%


b) EBIT 5% - 10%
c) EBITDA 2% - 5%
d) Gross Margin 1% - 4%
e) Revenues 1/2% - 2%
f) Operating Expenses 1/2% - 2%
g) Equity 1% - 5%
h) Aset 1/2% - 2%

Faktor - faktor yang menentukan besaran persentase dapat diilustrasikan sebagai berikut :

a) Number of shareholders, semakin banyak pemegang saham maka semakin rendah


persentase materialitas begitu pun sebaliknya, karena risikonya semakin tinggi.
b) Traded debt or covenant, jika entitas memiliki hutang atau perjanjian yang
diperdagangkan maka tingkat materialitas rendah, jika tidak memiliki maka
materialitas tinggi.
c) Likekliy to go public in two or three years, jika entitas sudah ada rencana akan
melakukan go public pada beberapa tahun ke depan maka tingkat materialitas rendah,
begitu pun sebaliknya.
d) Changes in the business environment, jika terjadi perubahan lingkungan bisnis yang
signifikan maka persentase materialitas rendah, begitu pun sebaliknya.
e) Viability of the business, jika kelangsungan usaha entitas baik maka tingkat
materialitas tinggi, namun jika tidak baik (poor) maka tingkat matarialitas rendah.
f) External financing, jika perusahaan memiliki pembiayaan dari pihak eksternal yang
terus meningkat, maka persentase materialitas rendah, begitu pun sebaliknya.

3. Hubungan materialitas dengan salah saji


Hubungan materialitas dengan salah saji sangat erat karena konsep materialitas
memang ditujukan untuk menemukan salah saji dalam laporan yang diaudit.
Pada saat auditor melaksanakan prosedur audit untuk setiap segmen audit, auditor
mendokumentasikan semua kesalahan penyajian Yang ditemukannya. Kesalahan
penyajian dalam suatu akun bisa terdiri dari dua tipe, yaitu: kesalahan penyajian
diketahui (known misstatement) dan kesalahan penyajian diperkirakan (likely
misstatement). Kesalahan Penyajian diketahui adalah kesalahan penyajian dalam
akun, yang bisa ditentukan jumlahnya. Sebagai contoh, ketika mengaudit aset tetap
auditor menjumpai adanya leased aset yang dikapitalisasi, padahal seharusnya
diperlakukan sebagai beban karena merupakan operating aset.
Ada dua tipe kesalahan penyajian diperkirakan. Pertama adalah kesalahan
penyajian yang timbut dari perbedaan pertimbangan yang dibuat auditor dengan
pertimbangan manajemen dalam menaksir saldo akun. Sebagai contoh adalah
perbedaan dalam menaksir cadangan kerugian piutang atau kewajiban garansi. Kedua,
adatah proyeksi kesalahan penyajian yang didasarkan pada pengujian auditor atas
suatu sampel dari populasi. Sebagai contoh, misalkan auditor menemukan 6 kesalahan
penyajian yang dibuat klien dalam suatu sampel yang terdiri dari 200 dalam pengujian
harga perotehan persediaan. Auditor menggunakan temuan kesalahan penyajian ini
untuk menaksir total perkiraan kesalahan penyajian dalam persediaan (tahap 3),
Jumlah total ini disebut suatu '(proyeksi" atau ekstrapolasi' karena yang diaudit hanya
suatu sampel tidak keseluruhan populasi. Jumlah proyeksi kesalahan penyajian untuk
setiap akun dikumpulkan dalam kertas kerja (tahap 4), dan selanjutnya gabungan
seluruh kesalahan penyajian ini dibandingkan dengan materialitas (tahap 5).

Auditor membuat proyeksí langsung dari kesalahan penyajian diketahui dari sampel
ke populasi dan menambahkan satu taksíran untuk kesalahan sampling, Perhitungan
proyeksi langsung taksiran kesalahan penyajian,

Kesalahan ponyajian bersih dalam sampel Total Nilai= Proyeksi langsung


x Populasi taksiran kesalahan
Total sampel penyajian

Estimasi untuk kesalahan sampling diperlukan karena auditor mengambil sampel hanya
sebagian dari populasi dan oleh karenanya ada risiko bahwa sampel tidak secara akurat
mencerminkan populasi
Apabila pendekatan yang diterapkan auditor ditakukan secara berurutant maka temuan audit
dari akun-akun yang diaudit lebih dahulu akan bisa digunakan untuk merevisi kesalahan
penyajjan bisa ditoleransi yang telah ditetapkan untuk .akun-akun yang diaudit kernudian,

4. Jenis-jenis resiko audit


Risiko audit adalah ukuran tentang seberapa besar auditor bersedia untuk
menerima bahwa laporan keuangan mungkin mengandung kesalahan penyajian
material setelah audit selesai dikerjakan dan memberinya pendapat wajar tanpa
pengecualian. Apabila auditor memutuskan untuk menurunkan risiko audit, hal itu
berarti bahwa auditor ingin lebih pasti bahwa laporan keuangan tidak mengandung
kesalahan penyajian material.
Sering kali auditor tidak menggunakan istilah risiko audit tetapi istilah lain seperti
missal asuransi audit (audit assurance) atau tingkat asuransi
Jenis-jenis Risiko audit ada 3 jenis risiko audit yang wajib diuji dan
dipertimbangkan oleh seorang auditor sebelum menjalankan proses audit, yaitu:
1. Risiko Deteksi
Standar audit (SA 200. 13 (e)) mendefinisikan risiko deteksi sebagai berikut:
Risiko deteksi adalah risíko bahwa prosedur yang dilaksanakan oleh
auditor untuk menurunkan risiko audit ke tingkat rendah yang dapat diterima
tidak akan mendeteksi suatu kesalahan penyajian yang ada dan yang mungkin
material, baik secara individual maupun secara kolektif ketika digabungkan
dengan kesalahan penyajian lainnya,
Dengan lain perkataan, risiko deteksi adalah risiko yang timbul karena bukti
audit tidak berhasil mendeteksi kesalahan penyajian yang melebihi kesalahan
penyajian yang bisa ditoleransi (atau disebut juga materialitas pelaksanaan).
Ada dua hal yang perlu diketahui tentang risiko deteksi (atau lebih tepat
disebut risiko deteksi yang direncanakan), yaitu:
- Risiko deteksi merupakan dependen dari tiga factor lain yang tercakup
dalam model. Risiko ini akan berubah hanya apabila auditor mengubah
salah satu (atau lebih) factor lain dalam model risiko
- Risiko audit menentukan jumlah bukti substantif yang direncanakan akan
dikumpulkan auditor yang berkebalikan dengan ukuran risiko deteksi.
Apabila risiko deteksi berkurang, auditor harus mengumpulkan bukti yang
lebih banyak untuk mencapai risiko deteksi yang telah berkurang tersebut.

2. Risiko Inheren
Standar audit (SA 200.13 (n)) mendefinisikan risiko inheren sebagai berikut:
Risiko inheren: Kerentanan suatu asersi tantang suatu golongan transaksi,
saldo akun, atau pengungkapan terhadap suatu kesalahan penyajian yang
mungkin material, baik secara individual maupun secara kolektif ketika
digabungkan dengan kesalahan penyajian lainnya, sebelum
mempertimbangkan pengendalian internal yang terkait
Dengan perkataan lain, risiko inheren adalah penilaian auditor mengenai
kemungkinan adanya kesalahan penyajian material yang disebabkan karena
kekeliruan atau kecurangan sebelum mempertimbangkan efektivitas
pengendalian internal. Apabila auditor berkesimpulan bahwa kemungkinan
besar terdapat kesalahan penyajian, maka auditor akan berkesimpulan bahwa
risiko inherennya tinggi. Pada saat mempertimbangkan risiko inheren
pengendalian internal kita kesampingkan karena dalam model risiko audit,
pengendalian internal dipertimbangkan tersendiri sebagai risiko pengendalian.
Risiko inheren yang tinggi, selain akan meningkatkan bukti yang harus
dikumpulkan, juga menuntut digunakannya staf audit yang lebih
berpengalaman dan review terhadap pengujian audit lebih cermat. Sebagai
contoh, apabiia risiko inheren untuk keuangan persediaan sangat tinggit masuk
diakal apabila auditor akan menugasi staf yang sudah berpengalaman untuk
melakukan pengujian lebih intensif terhadap keuangan persediaan dan
melakukan review yang mendalam terhadap hasil audit.

3. Risiko Pengendalian
Standar audit (SA 200. 13 (n)) mendefinisikan risiko pengendalian sebagai
berikut:
Risiko pengendalian: Risiko bahwa suatu kesalahan penyajian yang
mungkin terjadi dalam suatu asersi tentang suatu golongan transaksi saldo
akun atau pengungkapan yang mungkin material, baik secara individual
maupun secara kolektif ketika digabungkan dengan kesalahan penyajian
lainnya, tidak akan dapat dicegah, atau dideteksi dan dikoreksi, secara tepat
waktu oleh pengendalian internal entitas.
Dengan perkataan lain, risiko pengendalian mengukur penilaian auditor
tentang apakah kesalahan penyajian yang melebihi jumlah kesalahan
penyajian bisa ditoleransi pada suatu segmen akan dapat dicegah atau
dideteksi secara tepat waktu oleh sistem pengendalian internal klien. Misalkan
auditor berkesimpulan bahwa pengendalian internal sama sekali tidak efektif
untuk mencegah atau mendeteksi kesalahan penyajian, sebagaimana
kesimpulan auditor terhadap pengendalian internat atas persediaan dan
penggudangan.

5. Hubungan masing-masing resiko audit


Model risiko audit menunjukan hubungan yang erat, seperti antara risiko
inheren dengan risiko pengendalian. Gabungan risiko inheren dengan risiko
pengendalian disebutkan dalam standar auditing sebagai risiko kesalahan
penyajian material. Auditor bisa melakukan penilaian gabungan risiko
kesalahan penyajian material atau auditor bisa juga menilai risiko inheren dan
risiko pengendalian secara terpisah (ingat risiko inheren adalah dugaan
kesalahan penyajian sebelum mempertimbangkan pengaruh pengendalian
internal).
Seperti halnya risiko inheren, hubungan antara risiko pengendalian dengan
risiko deteksi adalah kebalikan, sedangkan hubungan antara risiko
pengendalian dengan bukti substansif yang harus dikumpulkan berbanding
lurus. Apabila auditor menyimpulkan bahwa pengendalian internal efektif,
maka risiko deteksi dapat dinaikan dengan demikian bukti yang dikumpulkan
bisa dikurangi. Auditor bisa menaikkan risiko deteksi apabila pengendalian
efektif, karena pengendalian internal yang efektif mengurangi kemungkinan
terjadinya kesalahan penyajian dalam laporan keuangan.
Model Risko Audit Model risiko audit menyatakan hubungan antara
komponen-komponen risiko audit sebagai berikut;

RA = RB x RP X RD

Dalam model di atas simbol-simbol berarti sebagai berikut;

RA= Risiko Audit.

RB= Risiko Bawaan

RP= Risiko Pengendalian

RD= Risiko Deteksi

Untuk menggambarkan penggunakan model diatas, misalkan auditor telah


membuat perhitungan risiko berikut untuk suatu asersi tertentu, Misalnya
Asersi penilaian atau pengalokasian atas persediaan:

RB = 50%

RP = 50%

Misalkan auditor telah menetapkan risiko audit (RA) keseluruhan sebesar 5%


risiko deteksi dapat ditentukan dengan menggunakan model untuk RD sebgai
berikut:

RD = RA/ (RBX RP). = 0,05/(0,5X0,5). = 20%

KESIMPULAN

Materialitas merupakan konsep yang diterapkan oleh auditor pada tahan


perencanaan dan pelaksanaan audit, serta pada saat mengevaluasi dampak kesalahan
penyajian yang terindefikasi dalam audit dan kesalahan penyajian yang tidak
dikoreksi. Materialitas dan risiko adalah dua haL yang fundamentaL dalam
perencanaan audit dan merancang suatu strategi audit. Hubungan materialitas dengan
salah saji sangat erat karena konsep materialitas memang ditujukan untuk menemukan
salah saji dalam laporan yang diaudit. Risiko audit adalah ukuran tentang seberapa
besar auditor bersedia untuk menerima bahwa laporan keuangan mungkin
mengandung kesalahan penyajian material setelah audit selesai dikerjakan dan
memberinya pendapat wajar tanpa pengecualian. Sering kali auditor tidak
menggunakan istilah risiko audit tetapi istilah lain seperti missal asuransi audit (audit
assurance) atau tingkat asuransi. Hubungan masing-masing risiko audit sangat erat
dalam menentukan apakah ada salah saji dan juga menentukan opini audit.

Anda mungkin juga menyukai