Anda di halaman 1dari 62

BAB I

HAKIKAT BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

PENDAHULUAN

Istilah belajar sebenarnya telah lama dan banyak dikenal. Bahkan pada era sekarang ini,
hampir semua orang mengenal belajar. Namun apa sebenarnya belajar itu, rasanya masing-
masing orang mempunyai tangka[an yang tidak sama. Sejak manusia ada, sebenarnya ia telah
melaksanakan aktivitas belajar. Oleh sebab itu, kiranya tidak berlebihan apabila dikatakan
bahwa aktivitas itu telah ada sejak adanya manusia. Mengapa manusia melaksanakan
aktivitas belajar ? Jawabannya adalah karena belajar itu merupakan salah satu kebutuhan
manusia. Bahkan ada ahli yang mengatakan bahwa manusia adalah mahluk belajar. Oleh
karena manusia adalah mahluk belajar, maka sebenarnya di dalam dirinya terdapat potensi
untuk diajar.

Pada masa sekarang ini, belajar menjadi sesuatu yang tak dapat terpisahkan dari
kehidupan manusia. Hampir di sepanjang waktunya, manusia banyak melaksanakan “ritual”
belajar. Apa sebenarnya belajar itu, banyak ahli yang memberikan batasan. Belajar
mempunyai sejumlah ciri yang tak dapat dibedakan dengan kegiatan-kegiatan lain yang
bukan belajar. Oleh karena itu, tidak semuakegiatan yang meskipun mirip belajar dapat di
sebut dengan belajar. Dalam proses pengajaran, unsur proses belajar memegang peranan yang
penting/vital. Mengajar adalah proses membimbing kegiatan belajar dan kegiatan mengajar
hanya bermakna bila terjadi kegiatan belajar siswa. Oleh karena itu, adalah penting sekali
bagi setiap guru memahami sebaik-baiknya tentang prises belajar siswa, agar ia dapat
memberikan bimbingan dan menyediakan lingkungan belajar yang tepat dan serasi bagi
siswa.

1. PENGERTIAN BELAJAR
1.1 Pengertian Belejar Yang Dipergunakan Sehari-Hari
Dalam pengertian yang umum atau populer, belajar adalah mengumpulkan
sejumlah pengetahuan. Pengetahuan tersebut diperoleh dari seseorang yang lebih
tau atau yang sekarang ini dikenal dengan guru. Dalam belajar, pengetahuan
tersebut dikumpulkan sedikit demi sedikit hingga akhirnya menjadi banyak. Orang
yang banyak pengetahuannya diidentifikasi sebagai orang yang banyak belajar,
sementara orang yang sedikit pengetahuannya diidentifikasi sebagai orang yang
sedikit belajar, dan orang yang tidak tidak berpengetahuan diidentifikasi sebagai
orang yang tidak belajar.
Belajar dalam pengertian mengumpulkan sejumlah pengetahuan demikian,
tampaknya masih diikuti juga sampai sekarang. Orang baru dikatakan belajar
manakala sedang membaca bacaan, membaca sejumlah tugas mata kuliah atau
mata pelajaran, dan membaca buku pelajaran. Seorang murid yang sedang
mengerjakan tugas matematika biasa disebut sedang belajar. Orang yang sedang
menimba ilmu pengetahuan di bangku sekolah lazim juga dikenal sebagai pelajar.
Bahkan orang yang banyak menguasai ilmu pengetahuan lazim dikenal dengan

1
kaum terpelajar. Singkat perkataan, belajar dalam pengertian umum atau populer
adalah suatu upaya yang dimaksudkan untuk menguasai sejumlah pengetahuan.
Pengetahuan belajar demikian, secara konseptual tampaknya sudah banyak
ditinggalkan orang meskipun secara praktikal masih banyak yang menganut. Ini
karena berkembang pesatnya teknologi informasi seperti sekarang ini. Guru tidak
lagi dipandang sebagai satu-satunya sumber informasi yang dapat memberikan
informasi apa saja kepada para pembelajar. Hampir semua ahli telah mencoba
merumuskan dan membuat tafsirannya tentang “belajar”. Seringkali juga
perumusan dan penafsiran itu berbeda satu sama lain. Dalam uraian ini kita akan
berkenalan dengan beberapa perumusan saja, guna melengkapi dan memperluas
pandangan kita tentang mengajar.
Belajar adalah modifikasi atau memperteguh kelakuan melalui pengalaman
(learning is defined as the modification or strengthening of behavior through
experincing). Menurut pengertian ini, belajar adalah merupakan suatu proses, suatu
kegiatan, dan bukan suatu hasil atau tujuan. Belajar bukan hanya mengingat, akan
tetapi lebih luas daripada itu, yakni mengalami. Hasil belajar bukan suatu
penguasaan hasil latihan, melainkan perubahan kelakuan. Pengertian ini sangat
berbeda dengan pengertian lain tentang belajar, yang mengatakan bahwa belajar
adalah memperoleh pengetahuan, belajar adalah latihan-latihan pembentukan
kebiasaan secara otomatis, dan seterusnya.
Sejalan dengan perumusan di atas, ada pula tafsiran lain tentang belajar, yang
mengatakan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu
melalui interaksi dengan lingkungan.
Dibandingkan dengan pengertian pertama, maka jelas, tujuan belajar itu
prinsipnya sama, yakni perubahan tingkah laku, hanya berbeda cara dan usaha
pencapaiannya. Pengertian ini menitikberatkan pada interaksi antara individu
dengan lingkungan. Di dalam interaksi inilah terjadi serangkaian pengalaman
belajar. Wiliam Burton mengemukakan bahwa : A good learning situation consist
of a rkh and baried series of learning experiences unified around a vigorous
purpose, and carried on interaction with a rkh, varried and provocative
environment. Dari pengertian-pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa :
a. Situasi belajar harus bertujuan dan tujuan-tujuan itu diterima baik oleh
masyarakat. Tujuan merupakan salah satu aspek dalam belajar.
b. Tujuan dan maksud belajar timbul dari kehidupan anak sendiri.
c. Di dalam mencapai tujuan itu, siswa senantiasa akan menemui kesulitan,
rintangan-rintangan dan situasi yang tidak menyenangkan.
d. Hasil belajar yang utam adalah pola tingkah laku yang bulat.
e. Proses belajar terutama mengerjakan hal-hal yang sebenarnya. Belajar apa yang
diperbuat dan mengerjakan apa yang dipelajari.
f. Kegiatan-kegiatan dan hasil-hasil belajar dipersatukan dan dihubungkan dengan
tujuan dalam situasi belajar.
g. Siswa memberikan reaksi secara keseluruhan
h. Siswa mereaksi sesuatu aspek dari lingkungan yang bermakna baginya.

2
i. Siswa diarahkan dan dibantu oleh orang-orang yang berada dalam lingkungan
itu.
j. Siswa diarahkan ketujuan-tujuan, baik yang berkaitan maupun yang tidak
berkaitan dengan tujuan utama dan situasi belajar.
Tori belajar selalu bertolak dari sudut pandangan psikologi belajar tertentu.
Dengan berkembangnya psikologi dalam pendidikan, maka berbarengan dengan itu
berminculan pula berbagai teori tentang belajar. Justru dapat dikatakan, bahwa
dengan tumbuhnya pengetahuan tentang belajar, maka psikologi dalam pendidikan
menjadi berkembang secara pesat. Di dalam masa perkembangan psikologi
pendidikan di jaman mutakhir ini muncullah secara beruntun aliran psikologi
pendidikan masing-masing yaitu :
- Psikologi Behavioristik
- Psikologi Kognitif
- Psikologi Humanistik
Ketiga aliran psikologi pendidikan di atas tumbuh dan berkembang secara
beruntun, dari periode ke periode berikutnya. Dalam setiap perkembangan periode
aliran pendidikan tersebut bermunculan teori-teori tentang belajar. Bertolak dari
kenyataan itu, maka berbagai teori belajar yang ada dapat dikelompokkan menjadi
tiga kelompok teori belajar, masing-masing yaitu :
- Teori-teori belajar dari psikologi behavioristik
- Teori-teori belajar dari psikologi kagnitif
- Teori-teori belajar dari psikologi humanistik
Para penulis buku psikologi belajar, umumnya mendefinisikan belajar sebagai
sebuah perubahantingksh laku dalam diri seseorang yang relatif menetap sebagai
hasil dari sebuah pengalaman. Selain itu, ahli-ahli psikologi mempunyai pandangan
yang berada mengenai apa belajar itu. Dalam pandangan psikologis, setidak-
tidaknya ada empat pandangan mengenai belajar.
Pertama, pendangan yang berasal dari aliran psikologi behavioristik. Menurut
pandangan ini, belajar dilaksanakan dengan kontrol instrumental dari lingkungan.
Guru mengkondisikan sedemikian rupa sehingga pembelajar atau siswa mau
belajar. Mengajar dengan demikian dilaksanakan dengan kondisioning,
pembiasaan, peniruan. Hadiah dan hukuman sering ditawarkan dalam mengajar
dan belajar demikian. Kedaulatan guru dalam belajar demikian relatif tinggi,
sementara kedaulatan siswa sebaliknya, relatif rendah.
Kedua, pandangan yang berasal dari aliran psikologi humanistik. Pandangan
humanistik ini merupakan antitesa pandangan behavioristik. Dalam pandangan
demikian, belajar dapat dilakukan sendiri oleh siswa. Dalam belajar demikian
siswa senantiasa menemukan sendiri mengenai sesuatu tanpa banyak campur
tangan dari guru. Peranan guru dalam mengajar dan belajar demikian relatif
rendah, sementara kedaulatan guru relatif rendah.
Ketiga, pandangan yang berasal dari psikologi kognitif. Pandangan ini
merupakan konvergensi dari pandangan behavioristik dan humanistik. Menurut
pandangan demikian belajar merupakan perpaduan dari usaha pribadi dengan

3
kontrol instrumental yang berasal dari lingkungan. Oleh karena itu, metode belajar
yang cocok dalam pandangan ini adalah eksperimentasi. Berdasarkan diagram
sebagaimana pada diagram 1.1. diketahui, bahwa dalam pandangan psikologi
behavioristik, tanggung jawab siswa dalm belajar rendah, sedangkan tanggung
jawab guru dalam mengajar tinggi. Sebaliknya, dalam pandangan humanistik,
tanggung jawab guru rendah sedangkan tanggung jawab siswa tinggi. Sementara
itu, dalam pandangan psikologi kognitif, yanggung jawab guru dan siswa sama-
sama sedang.
Selain ketiga pandangan tersebut, ada pandangan keempat dari psikologi
gestalt. Menurut pandangan psikologi gestalt, belajar adalah usaha yang bersifat
totalitas dari individu, oleh karena totalitas lebih bermakna dibandingkan dengan
sebagian-sebagian.

1.2 Pengertian Belajar Menurut Psikologi Behavioristik


Behaviorisme adalah suatu studi tentang kelakuan manusia. Timbulnya aliran
ini disebabkan rasa tidak puas terhadap aliran psikologi daya dan teori mental state.
Sebabnya ialah karena aliran-aliran terdahulu hanya menekankan pada segi
kesadaran saja.
Berkat pandangan dalam psikologi dan natural science maka timbullah aliran
baru ini. Jiwa atau sensasi atau image tak dapat diterangkan melalui jiwa itu sendiri
karena sesungguhnya jiwa itu adalah respons-renspons psikologis. Aliran lama
memandang badan adalah sekunder, padahal sebenarnya justru menjadi titik
pangkal bertolak. Natural science melihat semua realita sebagai gerakan-gerakan
(movement), dan pandangan ini mempengaruhi timbulnya behaviorisme. Metode
intropeksi sesungguhnya tidak tepat, sebab menimbulkan pandangan yang berbeda-
beda terhadap objek luar. Karena itu harus disertai metode yang objektif dan
ilmiah. Dari eksperimen menunjukan bahwa tikus dapat membedakan antara warna
hijau dan warna merah dan dapat pula dilatih. Jadi kesadaran itu tiada gunanya.
Dalam behaviorisme, masalah matter (zat) menempati kedudukan yang utama.
Dengan tingkah laku segala sesuatu tentang jiwa dapat diterangkan. Behaviorisme
dapat menjelaskan segala kelakuan manusia secara seksama dan menyediakan
program pendidikan yang efektif. Dari uraian tersebut, ternyata konsepsi
behaviorisme besar pengaruhnya terhadap masalah belajar. Belajar ditafsirkan
sebagai latihan-latihan pembentukan hubungan antara stimulus dan respons.
Dengan memberikan ransangan (stimulus), maka anak akan mereaksi dengan
respons. Hubungan antara stimulus-respons ini akan menimbulkan kebiasaan-
kebiasaan otomatis pada belajar, jadi pada dasarnya kelakuan anak adalah terdiri
atas respons-respons tertentu terhadap stimulus-stimulus tertentu. Dengan latihan-
latihan pembentukan maka hubungan-hubungan itu akan semakin kuat. Inilah yang
disebut S-R Bond Theory.
Beberapa teori belajar dari psikologi behavioristik dikemukakan oleh para
psikolog behavioristik. Mereka ini sering disebut “Contemporary Behaviorist” atau
juga disebut “S-R Psychologist”. Mereka berpendapat bahwa tingkah laku manusia

4
itu dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau penguatan (reinforcement) dari
lingkungan. Dengan demikian, dalam tingkah laku belajar terdapat jalinan yang
erat antara reaksi-reaksi behavioral dengan stimulasinya.
Guru-guru yang menganut pandangan ini berpendapat bahwa tingkah laku
murid-murid merupakan reaksi-reaksi terhadap lingkungan mereka pada masa lalu
dan masa sekarang, dan baha segenap tingkah laku adalah merupakan hasil belajar.
Kita dapat menganalisis kejadian kejadian tingkah laku dengan cara mempelajari
latar belakang penguatan (reinforcement) terhadap tingkah laku tersebut.

Teori-teori yang mengawali perkembangan psikologi behavioristik

Sebagaimana yang disebutkan di atas, bahwa belajar menurut psikologi


behavioistik adalah suatu kontrol instrumental yang berasal dari lingkungan.
Belajar tidaknya seseorang bergantung pada faktor-faktor kondisional yang
diberikan oleh lingkungan. Oleh karena itu, teori ini juga dikenal dengan teori
conditioning. Tokoh-tokoh psikologi behavioristik mengenai belajar ini antara lain
adalah : Pvlov, Watson, Gutrie dan Skinner.
Psikologi aliran behavioristik mulai mengalami perkembangan dengan
lahirnya teori-teori tentang belajar yang dipelopori oleh Thondike, Pavlov, Wabon,
dan Ghuyhrie. Mereka masing-masing telah mengadakan penelitian yang
menghasilkan penemuan-penemuan yang berharga mengenai hal belajar.
Pada mulanya pendidikan dan pengajaran di Amerika Serikat didominasi oleh
pengaruh Thondike (1874-1949). Teori belajar Thondike disebut “conectionism”,
karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus
dan respons. Teori ini sering disebut “trial and error learning” individu yang belajar
melakukan kegiatan melalui proses “trial and error” dalam rangka memilih respons
yang tepat bagi stimulus tertentu. Thondike mendasarkan teorinya atas hasil-hasil
penelitiannya terhadap tingkah laku berbagai binatang antara lain kucing, tingkah
laku anak-anak dan orang dewasa.
Objek penelitian dihadapkan pada situasi baru yang belum dikenal dan
membiarkan objek melakukan berbagai aktivitas untuk merespons situasi itu.
Dalam hal itu, objek mencoba berbagai cara beraksi sehingga menemukan
keberhasilan dalam membuat koneksi sesuatu reaksi dengan stimulasinya. Ciri-ciri
belajar dengan “trial and error” yaitu :
1. Ada motif pendorong aktivitas
2. Ada berbagai respons terhadap situasi
3. Ada eliminasi respon-respon yang gagal/salah ; dan
4. Ada kemajuan reaksi-reaksi mencapai tujuan

Dari penelitiannya itu Thondike menemukan hukum-hukum :


(1) “Law of Readyness”, jika reaksi terhadap stimulus didukung oleh kesiapan
untuk bertindak atau bereaksi itu, maka reaksi menjadi memuaskan

5
(2) “Law of Exercise”, makin banyak dipraktekan atau digunakannya hubungan
stimulus respons, makin kuat hubungan itu. Praktek perlu disertai dengan
“reward”.
(3) “Law of Effect”, bilamana terjadi hubungan antara stimulus dan respons dan
dibarengi dengan “state of affairs” yang memuaskan, maka hubungan itu
menjadi lebih kuat.
(4) Bilamana hubungan dibarengi “state of affairs” yang mengganggu, maka
hubungan kekuatan menjadi berkurang.
Sementara Thondike mengadakan penelitiannya, di Rusia Ivan Pavlov (1849-
1936) juga menghasilkan teori belajar yang dosebut “classkal conditioning” atau
“stimulus subtitution”. Mula-mula teori conditioning ini dikembangkan oleh
Pavlov (1972).
Teori Pavlov berkembang dari percobaan laboratoris terhadap anjing. Dalam
percobaan ini, anjing diberi stimulus bersyarat sehingga terjadi reaksi bersyarat
pada anjing. Ia melakukan percobaan terhadap anjing. Anjing tersebut diberi
makanan dan diberi lampu. Pada saat diberi makanan dan lampu keluarkan respon
anjing tersebut berupa keluarnya air liur. Demikian juga jika dalam pemberian
makanan tersebut disertai dengan bel, air liur tersebut juga keluar. Pada saat bel
atau lampu diberikan mendahului makanan, anjing tersebut juga mengeluarkan air
liur. Makanan yang diberikan tersebut oleh Pavlov disebut sebagai perangsangan
yang tak bersyarat, sementara bel atau lampu yang menyertai disebut sebagai
perangsang bersyarat.
Terhadap perangsang tak bersyarat yang disertai dengan perangsang bersyarat
tersebut, anjing memberikan respons berupa keluarnya air liur. Selanjutnya, ketika
peransang bersyarat (bel/lampu) diberikan tanpa peransang tak bersyarat anjing
tersebut tetap memberikan respons dalam bentuk keluarnya air liur. Oleh karena
perangsang bersyarat (sebagai pengganti perangsang tak beryarat : makanan) ini
ternyata dapat menimbulkan respons, maka dapat berfungsi sebagai conditioned.
Karena itu, teori Pavlov ini dikenal dengan teori classkal conditioning. Menurut
Pavlov pengkondisian yang dilakukan pada anjing demikian ini, dapat juga berlaku
pada manusia.

Teori conditioning Pavlov tersebut dapat dimodelkan sebagai berikut :


- Air liur (berulang-ulang) → Bel/lampu + makanan
- Bel/lampu → Air liur
Teori conditioning ini lebih lanjut dikembangkan oleh Watson (1970) adalah
orang pertama di Amerika Serikat yang mengembangkan teori belajar berdasarkan
hasil penelitian Pavlov. Watson berpendapat, bahwa belajar merupakan proses
terjadinya refleks-refleks atau respons-respons bersyarat melalui stimulus
pengganti. Menurut Watson, manusia dilahirkan dengan beberapa refleks dan
reaksi-reaksi emosional berupa rasa takut, cinta dan marah. Semua tingkah laku
lainnya terbentuk oleh hubungan-hubungan stimulus-respons baru melalui
“conditioning”. Salah satu percobaannya adalah terhadap anak umur 11 bulan

6
dengan seekor tikus putih. Rasa takut dapat timbul tanpa dipelajari dengan proses
ekstinksi, dengan mengulang stimulus bersyarat tanpa dibarengi stimulus tak
bersyarat.
E.R. Guthrie memperluas temuan Watson tentang belajar. Ia mengemukakan
prinsip belajar yang disebut “The Law of Association” yang berbunyi : suatu
kombinasi stimulus yang telah menyertai suatu gerakan, cenderung akan
menimbulkan gerakan itu, apabila kombinasi stimulus itu muncul kembali. Dengan
kata lain, jika anda mengerjakan sesuatu dalam situasi tertentu, maka nantinya
dalam situasi yang sama anda akan mengerjakan hal yang serupa lagi. Menurut
Gutrie, belajar memerlukan reward dan kedekatan antara stimulus dan respons.
Gutrie berpendapat, bahwa hukuman itu tidak baik dan tidak pula buruk. Efektif
tidaknya hukuman tergantung pada apakah hukuman itu menyebabkan murid
belajar ataukah tidak ?
Teori belajar conditioning ini kemudian dikembangkan oleh Gutrie (1935-
1942). Gutrie berpendapat bahwa tingkah laku manusia dapat diubah : tingkah laku
jelek dapat diubah menjadi baik. Teori Gutrie berdasarkan atas model penggantian
stimulus satu ke stimulus yang lain. Responsi atas suatu situasi cenderung diulang
manakala individu menghadapi situasi yang sama. Inilah yang disebut dengan
asosiasi.
Menurut Gutrie, setiap situasi belajar merupakan gabungan berbagai stimulus
(dapat internal dan dapat eksternal) dan respons. Dalam situasi tertentu, banyak
stimulus yang berasosiasi dengan banyak respons. Asosiasi tersebut, dapat benar
dan dapat juga salah.

Ada tiga metode pengubahan tingkah laku menurut teori ini, yaitu :
a. Metode respons bertentangan. Misalnya saja, jika anak jijik terhadap sesuatu,
sebutlah saja misalnya boneka, maka permainan anak yang disukai diletakkan
di dekat boneka. Dengan meletakkan permaina di dekat boneka, dan ternyata
boneka tersebut tidak menjijikan, lambat laun anak tersebut tidak jijik lagi
terhadap boneka. Peletakkan permainan yang paling disukai tersebut dapat
dilakukan secara berulang-ulang.
b. Metode membosankan. Misalnya saja anak kecil suka mengisap rokok. Ia
disuruh merokok terus sampai bosan, dan setelah bosan, ia akan berhenti
merokok dengan sendirinya.
c. Metode mengubah lingkungan. Jika anak bosan belajar, maka lingkungan
belajarnya dapat diubah-ubah sehingga ada suasana lain dan memungkinkan
ia betah belajar.
Selanjutnya, Skinner mengembangkan teori conditioning dengan
menggunakan tikus sebagai kelinci percobaan. Dari hasil percobaannya, Skinner
membedakan respons menjadi dua, ialah respons yang muncul dari stimulus
tertentu dan operant (instrumental) respons yang timbul dan berkembang karena
diikuti oleh perangsang tertentu. Oleh karena itu, teori Skinner ini dikenal orang
dengan operant conditioning.

7
Seperti halnya Thondike, Skinner menganggap “reward” atau
“reinforcement” sebagai faktor terpenting dalam proses belajar. Skinner
berpendapat, bahwa tujuan psikologi adalah meramal dan mengontrol tingkah laku.
Skiner membagi dua jenis respons dalam proses belajar, yakni :
(1) Responsents : respons yang terjadi karena stimulus khusus misalnya Pavlov
(2) Operants : respons yang terjadi karena situasi random
Perbedaan penting antara Pavlov’s classkal conditioning dan Skinner’s
operant conditioning ialah dalam classkal conditioning, akibat-akibat suatu tingkah
laku. Reinforcement tidak diperlakukan karena stimulusnya menimbulkan respons
yang diinginkan. Operant conditioning, suatu situasi belajar dimana suatu respons
dibuat lebih kuat akibat reinforcement langsung. Dalam percobaannya terhadap
tikus-tikus dalam sangkar digunakan suatu “diskriminative stimulus” (tanda untuk
memperkuat respons) misalnya tombol, lampu, pemindah makanan. Di samping itu
digunakan pula suatu “reinforcement stimulus”, berupa makanan.
Dalam pengajaran, operants conditioning menjamin respons-respons terhadap
stimulus. Apabila murid tidak menunjukan reaksi-reaksi terhadap stimulus guru tak
mungkin dapat membi,bing tingkah lakunya ke arah tujuan behavior. Guru
berperan penting dalam kelas untuk mengontrol dan mengarahkan kegiatan belajar
ke arah tercapainya tujuan yang telah dirumuskan.

Jenis-jenis stimulus :
(1) Positive reinforcement : penyajian stimulus yang meningkatkan probabilitas
suatu respons
(2) Negative reinforcement : pembatasan stimulus yang tidak menyenangkan,
yang jika dihentikan akan mengakibatkan probabilitas suatu respons
(3) Hukuman : pemberian stimulus yang tidak menyenangkan misalnya :
“Contradiction or reprimand”. Bentuk hukuman lain berupa penangguha
stimulus yang menyenangkan (removing adalah pleasant or reinforcing
stimulus)
(4) Primary reinforcement : stimulus pemenuhan kebutuhan-kebutuhan fisiologis
(5) Modifikasi tingkah laku guru : perlakuan guru terhadap murid-murid
brdasarkan minat dan kesenangan mereka.

Jadwal reinforcement menguraikan tentang kapan dan bagaimana suatu respons


diperbuat ? ada empat cara penjadwalan reinforcement :
1. “Fixed-ratio schedule”, yang didasarkan penyajian bahan pelajaran, yang
mana pemberi reinforcement baru memberikan penguatan respons setelah
terjadi jumlah tetentu dari respons.
2. “Variable-ratio schedule”, yang didasarkan penyajian bahan pelajaran dengan
penguat setelah rata-rata respons.
3. “Fixed–interval schedule”, yang didasarkan atas satuan waktu tetapi diantara
reinforcement.

8
4. “Variable-interval schedule”, pemberian reinforcement menurut respons betul
yang pertama setelah terjadi kesalahan-kesalahan respons.

Paling tidak ada enam konsep operant conditioning ini, yaitu :


a. Penguatan positif dan negatif.
b. Shopping, ialah proses pembentukan tingkah laku yang makin mendekati
tingkah laku yang diharapkan.
c. Pendekatan suksesif, ialah proses pembentukan tingkah laku yang
menggunakan penguatan pada saat tepat hingga respons pun sesuai dengan
yang diisyaratkan.
d. Extention, ialah proses penghentian kegiatan sebagai akibat dari
ditiadakannya penguatan.
e. Chaining of respons, ialah respons dan stimulus yang berangkaian satu sama
lain.
f. Jadwal penguatan, ialah variasi pemberian penguatan : rasio tetap dan
bervariasi, interval tetap dan bervariasi.
Menurut Thondike, belajar dapat dilakukan dengan mencoba-coba (trial and
error). Mencoba-coba ini dilakukan, manakala seseorang tidak tahu bagaimana
harus memberikan respons atas sesuatu. Dalam mencoba-coba ini seseorang
mungkin akan menemukan respons yang tepat berkaitan dengan persoalan yang
dihadapinya.

Karaktristik belajar trial and error adalah sebagai berikut :


a. Adanya motivatie pada diri seseorang yang mendorong untuk melakukan
sesuatu
b. Seseorang berusaha melakukan berbagai macam respons dalam rangka
memenuhi motive-motivenya
c. Respons-respons yang dirasakan tidak bersesuaian dengan motivenya
dihilangkan
d. Akhirnya seseorang mendapatkan jenis respons yang paling tepat

Beberapa hukum belajar yang ditemukan oleh Thondike adalah sebagai berikut :
a. Hukum kesiapan (law of readiness). Jika seseorang siap melakukan sesuatu,
dan ia melakukannya, maka ia puas. Sebaliknya, jika ia siap melakukan
sesuatu, tetapi ia tidak melakukannya, maka ia tidak puas. Implikasi dari
hukum ini adalah, bahwa motivasi sangat penting dalam belajar. Sebab
pemuas yang antara lain berupa terpenuhinya motif-motif seseorang,
menjadikan seseorang belajar berulang-ulang.
b. Hukum latihan (law of exercise). Jika seseorang mengulang-ulang respons
tehadap suatu stimulus, maka akan memperkuat hubungan antara stimulus
dan respons. Sebaliknya jika respons tersebut tidak digunakan, hubungannya
dengan stimulus akan semakin lemah. Tetapi lemah dan kuatnya hubungan
antara respons dan stimulus tersebut tergantung kepada memuaskan tidaknya

9
respons yang diberikan. Implikasi hukum ini adalah bahan belajar dimulai
dari tingkatan yang mudah berangsir-angsur menuju yang sukar. Berangkat
dari yang sederhana berangsur-angsur menuju yang kompleks.
c. Hukum akibat (law of effect). Manakala hubungan antara respons dengan
stimulus menimbulkan kepuasan, maka tingkatan penguatannya kian besar.
Sebaliknya jika hubungan antara respons dengan stimulus menimbulkan
ketidakpuasan, maka tingkatan penguatannya kian lemah. Dengan perkataan
lain, hukum akibat ini punya keyakinan bahwa orang punya kecenderungan
mengulang respons yang memuaskan dengan menghindari respons yang tidak
memuaskan. Hukum ini membawa implikasi kebenaran bagi diadakannya
eksperimentasi dalam belajar.

Selain mengemukakan tiga hukum belajar, Thondike mengemukakan prinsip-


prinsip belajar, yaitu :
a. Pada saat seseorang berhadapan dengan sebuah situasi yang bagi dia
termasuk baru, berbagai ragam respons ia lakukan. Respons tersebut ada
kalanya berbeda-beda sampai yang bersangkutan memperoleh respona yang
benar.
b. Apa yang ada pada diri seseorang, baik itu berupa pengalaman, kepercayaan,
sikap dan hal-hal lain yang telah ada pada dirinya, turut menentukan
tercapainya tujuan yang ingin dicapai.
c. Pada diri seseorang sebenarnya terdapat potensi untuk mengadakan seleksi
terhadap unsur-unsur penting dari yang kurang atau penting hingga akhirnya
dapat menentukan respons yang tepat.
d. Orang cenderung memberikan respons yang sama terhadap situasi yang
sama.
e. Orang cenderung mengadakan assosiative shiffing, ialah menghubungkan
respons yang ia kuasai dengan situasi tertentu tatkala menyadari bahwa
respons yang ia kuasai dengan situasi tersebut mempunyai hubungan.
f. Manakala suatu respons cocok dengan situasinya relatif mudah untuk
dipelajari (concept belongingness).

1.3 Pengertian Belajar Menurut Psikologi Kognitif


Ada beberapa ahli yang belum merasa puas terhadap penemuan-penemuan
para ahli sebelumnya mengenai belajar sebagai proses hubungan stimulus-respons-
reinforcement. Mereka berpendapat, bahwa tingkah laku seseorang tidak hanya
dikontrol oleh reward dan reinforcement. Mereka ini adalah para ahli jiwa aliran
kognitif. Menurut pendapat mereka, tingkah laku seseorang senantiasa didasarkan
pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan seseorang terlibat
langsung dalam situasi itu dan memperoleh insight untuk pemecahan masalah. Jadi
kaum kognitif berpandangan, bahwa tingkah laku seseorang lebih bergantung
kepada insight terhadap hubungan-hubungan yang ada dalam suatu situasi.
Keseluruhan adalah lebih dari bagian-bagiannya. Mereka memberi tekanan pada

10
organisasi pengamatan atas stimulus di dalam lingkungan serta faktor-faktor yamg
mempengaruhi pengamatan.
Menurut psikologi kognitif, belajar dipandang sebagai suatu usaha untuk
mengerti tentang sesuatu. Usaha untuk mengerti tentang sesuatu tersebut,
dilakukan secara aktif oleh pembelajar. Keaktifan tersebut dapat berupa mencari
pengalaman, mencari informasi, memecahkan masalah, mencermati lingkungan,
mempraktekkan dan mengabaikan respon-respon lainnya guna mencapai tujuan.
Para psikolog kognitif berkeyakinan bahwa pengetahuan yang dipunyai
sebelumnya, sangat menentukan terhadap perolehan belajar yang berhasil dipelajari
, yang berhasil diingat dan yang mudah dilupakan.
Salah satu teori belajar yang diperoleh dari psikologi kognitif adalah teori
pemerosesan informasi. Menurut teori ini, belajar dipandang sebagai proses
pengolahan informasi dalam otak manusia. Sedang pengolahan oleh otak manusia
sendiri dimulai dengan penguatan (penginderaan) atas infornasi yang berada dalam
lingkungan manusia, penyimpanan (baik dalam jangka waktu pendek maupun
panjang), penyimpanan/pengkodean/penyajian terhadap informasi-informasi yang
tersimpan, dan setelah membentuk pengertian, kemudian dikeluarkan kembali oleh
pembelajar.
Menurut teori ini suatu informasi yang berasal dari lingkungan pembelajar,
pada awlnya diterima oleh reseptor. Reseptor-reseptor tersebut memberikan
simbol-simbol informasi yang ia terima, dan kemudian diteruskan ke registor
penginderaan yang terdapat pada saraf pusat. Dengan demikian, informasi-
informasi yang diterima leh registor penginderaan telah mengalami transformasi.
Informasi yang masuk ke saraf pusat tersebut kemudian disimpan dalm waktu
pendek. Informasi-informasi yang disimpan dalam waktu sebentar ini, sebagian
diantaranya diteruskan ke memori jangka pendek, sedangkan selebihnya hilang
dalam sistem. Proses pereduksian seperti ini juga dikenal dengan persepsi selektif.
Sementara memori jangka pendek lazim juga dikenal dengan memori kerja dan
kesadaran. Kapasitas memori jangka pendek ini amat terbatas, waktunya juga
pendek.
Informasi dalam memori jangka pendek dapat ditransformasi dalam bentuk
kode-kode dan selanjutnya, diteruskan ke memori jangka panjang. Saat
transformasi, informasi-informasi baru terintegrasi dengan informasi-informasi
lama yang sudah tersimpan dalam memori jangka panjang bertahan lama, dan
disiapkan untuk dipergunakan dikemudian hari.
Pengeluaran kembali atas informasi-informasi yang tersimpan dalam memori
jangka panjang adalah dengan pemanggilan. Dalam pikiran yang sadar, informasi
mengalir dari memori jangka panjang ke memori jangka pendek, dan kemudian ke
generator respons. Sementara untuk respons otomatis, informasi mengalir langsung
dari memori jangka panjang ke generator respons selama pemanggilan. Menurut
psikologi belajar kognitif, reinforcement sangat penting juga dalam belajar,
meskipun alasan yang dikemukakan berbeda dengan psikologi behavioristik.
Sebab, manakala menurut psikolog behavioristik reinforcement berfungsi sebagai

11
pemerkuat respons atau tingkah laku, maka menurut psikolog kognitif, berfungsi
sebagai umpan balik, mengurangi keragu-raguan hingga mengarah kepada
pengertian.

Teori kognitif berpijak pada tiga hal, yaitu :


(1) Perantara sentral (central intermediaries)
(2) Proses-proses pusat otak (central brain), misalnya ingatan atau ekspektasi
merupakan integrator tingkah laku yang bertujuan. Pendapat ini berdasarkan
inferensi tingkah laku yang tampak (diamati)
(3) Pertanyaan tentang apa yang diamati ? Jawabannya adalah struktur kognitif,
bahwa yang dipelajari adalah fakta, kita mengetahui dimana adanya, yang
mengetahui alternate routes illustratis cognitive structure, variabel tingkah
laku non habitual adalah struktur kognitif sebagai bagian dari apa yang
dipelajari
(4) Pemahaman dan pemecahan masalah. Pemecahan suatu masalah ialah dengan
caramenyajikan pengalaman lampau dalam bentuk struktur perseptual yang
mendasari terjadinya insight (pemahaman) dimana adanya pengertian
mengenai hubungan-hubungan yang essensial. Perferensi yang digunakan
adalah the contemporary structuring of the problem.

Prinsip-prinsip belajar kognitif :


(1) Gambaran perseptual sesuai dengan masalah yang dipertunjukkan kepada
siswa adalah kondisi belajar yang penting. Suatu masalah belajar yang
terstruktur dan disajikan upaya gambaran-gambaran yang essensial terbuka
terhadap inspeksi dari siswa.
(2) Organisasi pengetahuan harus merupakan sesuatu mendasar bagi guru atau
perencana pendidikan. Susunannya dari yang sederhana ke yang kompleks,
dalam arti dari keseluruhan yang sederhana ke keseluruhan yang lebih
kompleks. Masalah bagian keseluruhan adalah masalah organisasi dan tidak
bertalian dengan teori pola kompleksitas. Sesuai dengan pandangan mengenai
pertumbuhan kognitif, maka organisasi pengetahuan tergantung pada tingkat
perkembangan siswa.
(3) Belajar dengan pemahaman (understanding) adalah lebih permanen (menetap)
dan lebih memungkinkan untuk ditransferkan, dibandingkan rte learning atau
bel;ajar dengan formula. Berbeda dengan teori stimulus respons, teori yang
menitikberatkan pada pentingnya kebermaknaan dalam belajar dan mengingat
(retention).
(4) Umpan balik balik kognitif mempertunjukkan pengetahuan yang benar dan
tepat dan mngoreksi kesalahan belajar. Siswa menerima atau menolak sesuatu
berdasarkan konsekuensi dari apa yang telah diperbuatnya. Dalam hal ini
kognitif setara dengan penguatan (reinforcement) pada S-R Theory, tetapi
teori kognitif cenderung menempatkan titik beratnya pada pengujian hipotesis
melalui umpan balik.

12
(5) Penetapan tujuan (goal setting) penting sebagai motivasi belajar. Kebrhasilan
dan kegagalan menjadi hal yang menentukan cara menetapkan tujuan untuk
waktu yang akan datang.
(6) Berfikir defergen menuju ke ditemukannya pemecahan masalah atau
terciptanya produk yang bernilai dan menyenangkan. Berbeda dengan berfikir
konvergen yang menuju ke mendapatkan jawaban-jawaban yang benar secara
logika. Berfikir defergen menuntut dukungan (umpan balik) bagi upaya
tentatif seseorang yang orisinil agar dia dapat mengamati dirinya sebagai
kreatif yang potensial.

Teori Belajar Cognitive-Field dari Lewin


Bertolak dari penemuan Gestalt Psychology, Kurt Lewin (1892-1947)
mengembangkan suatu teori belajar cognitive field dengan menaruh perhatian
kepada kepribadian dan psikologi sosial. Lewin memandang masing-masing
individu berada di dalam medan suatu kekuatan, yang bersifat psikologis. Medan
kekuatan psikologis dimana individu bereaksi disebut life space. Life space
mencakup perwujudan lingkungan dimana individu bereaksi, misalnya : orang-
orang yang ia jumpai, objek materiil yang ia hadapi, serta fungsi-fungsi kejiwaan
yang ia miliki. Lewin berpendapat, bahwa tingkah laku merupakan hasil interaksi
antar kekuatan-kekuatan, baik dalam diri individu seperti tujuan, kebutuhan,
tekanan kejiwaan, maupun dari luar diri individu seperti sebagai akibat dari
perubahan dalam struktur kognitif. Perubahan struktur kognitif itu adalah hasil dari
dua macam kekuatan, satu dari struktur medan kognisi itu sendiri, yang lainnya
dari kebutuhan dan motivasi internal individu. Lewin memberikan peranan yang
lebih penting pada motivasi reward.

Teori Belajar Cognitive Development dari Piaget


Dalam teorinya Piaget memandang bahwa proses berfikir sebagai aktivitas
gradual dari fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak.
Piaget adalah seorang psikolog developmental karena penelitiannya mengenai
tahap-tahap perkembangan pribadi serta perubahan umur yang mempengaruhi
kemampuan belajar individu. Dia adalah salah seorang psikolog suatu teori
komprehensif tentang perkembangan intelegensi atau proses berfikir. Menurut
Piaget, pertumbuhan kapasitas mental memberi kemampuan-kemampuan mental
baru yang sebelumnya tidak ada. Pertumbuhan intelektual adalah tidak kuatitatif,
melainkan kualitatif. Apabila ahli biologi menekankan penjelasan tentang
pertumbuhan struktur memungkinkan individu mengalami penyesuaian diri dengan
lingkungan, maka Piaget tekanan penyelidikannya lain. Piaget menyelidiki masalah
yang sama dari segi penyesuaian/adaptasi manusia serta meneliti perkembangan
intelektual atau kognisi berdasarkan dalil bahwa struktur intelektual terbentuk di
dalam individu akibat interaksinya dengan lingkungan.

13
Piaget memakai istilah scheme secara interchageably, Piaget memakai istilah
scheme secara interchageably dengan istilah struktur. Scheme adalah pola tingkah
laku yang dapat diulang-ulang. Scheme berhubungan dengan :
- Refleks-refleks pembawaan, misalnya, bernafas, makan, minum
- Scheme mntal, misalnya scheme of classifikation, scheme of operation (pola
tingkah laku yang masih sukar diamati seperti sikap), scheme of operation
(pola tingkah laku yang dapat diamati)

Menurut Piaget, intelegensi itu sendiri terdiri dari tiga aspek yaitu :
a. Struktur, disebut juga scheme seperti yang dikemukakan di atas
b. Isi disebut juga content, yaitu pola tingkah laku spesifik tatkala individu
menghadapi sesuatu masalah.
c. Fungsi disebut juga fungcion, yang berhubungan dengan cara seseorang
mencapai kemajuan intelektual, funsi itu sendiri terdiri dari dua macam
fungsi invarian, yaitu organisasi dan adaptasi.
- Organisasi berupa kecakapan seseorang/organisme dalam menyusun
proses-proses fisik dan psikis dalam bentuk sistem-sistem yang koheren.
- Adaptasi yaitu adaptasi individu terhadap lingkungannya. Adaptasi ini
terdiri dari dua macam proses komplementer yaitu asimilasi dan
akomodasi.
+ Asimilasi : Proses penggunaan struktur atau kemampuan individu untuk
menghadapi masalah dalam lingkungannya.
+ Akomodasi : Proses perubahan respons individu terhadap stimuli
lingkungannya.
Dengan penjelasan seperti di atas dapatlah kita ketahui tenteng bagaimana
terjadinya pertumbuhan dan perkembangan individu.
Pertumbuhan intelektual terjadi karena adanya proses yang kuntinu dari
adanya equilibrium-equilibrium. Bila individu dapat menjaga adanya equilibrium,
individu akan mencapai tingkat perkembangan intelektual yang lebih tinggi.
Pengaplikasian di dalam belajar, perkembangan kognitif bergantung kepada
akomodasi. Kepada siswa harus diberikan suatu area yang belum diketahui agar ia
dapat belajar, karena ia tak dapat belajar dari apa yang telah diketahuinya saja. Ia
tak dapat menggantungkan diri pada asimilasi. Dengan adanya area baru ini siswa
akan mengadakan usaha untuk dapat mengakomodasi. Situasi atau area itulah yang
akan mempermudah pertumbuhan kognitif.
Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa pertumbuhan intelektual anak
mengandung tiga aspek, yaitu structure, content, dan fungcion. Anak yang sedang
mengalami perkembangan, struktur dan kontent intelektualnya
berubah/berkembang.
Fungsi dan adaptasi akan tersusun sehingga berubah/berkembang. Fungsi dan
adaptasi akan tersusun sehingga melahirkan suatu rangkaian perkembangan,
masing-masing mempunyai struktur psikologis khusus yang menentukan

14
kecakapan pikir anak. Maka Piaget mengartikan intelegensi adalah sejumlah
struktur psikologis yang ada pada tingkat perkembangan khusus.

Tahap-tahap perkembangan
Piaget mengidentifikasi empat faktor yang mempengaruhi transisi tahap
perkembangan anak, yaitu :
1. Kematangan
2. Penglaman fisik/lingkungan
3. Transmisi social
4. Equilibrium atau self regulation

Selanjutnya ia membagi tingkat-tingkat perkembangan tiap anak berbeda :


1. Tingkat sensori motoris 0.0-2.0 Tiap
2. Tingkat preoperasional 2.0-7.0 Anak
3. Tingkat operasi kokret 7.0-1.0 Berbeda
4. Tingkat operasi formal 11.0-Beda

Penjelasan :
1. Bayi lahir dengan refleks bawaan, skema dimodifikasi dan digabungkan untuk
membentuk tingkah laku yang lebih kompleks. Pada masa kanak-kanak ini,
anak belum mempunyai konsepsi tentang objek yang tetap. Ia hanya dapat
mengetahui hal-hal yang ditangkap dengan inderanya.
2. Tingkat preopasional anak mulai timbul pertumbuhan kognitifnya, tetapi
masih terbatas pada hal-hal yang dapat ia jumpai (dilihat) dalam
lingkungannya saja. Baru pada menjelang akhir tahun kedua anak telah mulai
mengenal simbol/nama.
Dalam hubungan ini Philips (1969) membagi atas :
1. Concreteness
2. Interversibility
3. Centering, (ini tampak adanya egocentrisme)
4. State vs tranformation, dan
5. Transductive reasoning

1. Tingkat Operasi Konkret


Anak telah dapat mengetahui simbol-simbol matematis, tetapi belum dapat
menghadapi hal-hal yang abstrak. Kecakapan kognitif anak :
(1) Combinativy Classifikation
(2) Reversibility
(3) Associativity
(4) Indentity
(5) Serializing
Anak mulai kurang egocentrisme-nya dan lebih sociocentris (anak mulai
membentuk peer group)

15
2. Tingkat Operasi Formal
Anak telah mempunyai pemikiran abstrak pada bentuk-bentuk kompleks.
Flavell (1963) memberikan ciri-ciri sebagai berikut :
a. Pada pemikiran anak remaja adalah hypothetko-deductive
Ia telah dapat membuat hipotesis-hipotesis dari suatu problema dan
membuat keputusan terhadap problema itu secara tepat, tetapi anak kecil
belum dapat menyimpulkan apakah hipotesisnya ditolak atau diterima.
b. Periode propositional thinking
Remaja telah dapat memberikan statement atau proposisi
berdasarkan pada data yang konkret. Tetapi kadang-kadang ia berhadapan
dengan proporsi yang bertentangan dengan fakta.
c. Periode combinatorial thinking
Bila remaja itu mempertimbangkan tentang pemecahan problem ia
telah dapat memisahkan faktor-faktor yang menyangkut dirinya dan
mengkombinasi faktor-faktor itu.

Jerome Bruner dengan Discovery Learning-nya


Yang menjadi dasar ide J. Bruner adalah pendapat dari Piaget yang
menyatakan bahwa anak harus berperan secara aktif dalam belajar di kelas. Untuk
itu Bruner memakai cara dengan apa yang disebutnya discovery learning, yaitu
dimana murid mengorganisasi bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir.
Prosedur ini berbeda dengan reception learning atau eteaching, dimana guru
menerangkan informasi dan murid harus mempelajari semua bahan/informasi itu.
Banyak pendapat yang mendukung discovery learning itu, diantaranya J.
Dewey (1933) dengan complete art of reflective activity atau dikenal dengan
problem solving. Ide Bruner itu ditulis dalam bukunya Processof Education. Di
dalam buku itu ia melaporkan hasil dari suatu konferensi di antara suatu para ahli
science. Ahli sekolah/pengajaran dan pendidik tentang pengajaran science. Dalam
hal ini ia mengemukakan pendapatnya, bahwa mata pelajaran dapat diajarkan
secara efektif dalam bentuk intelektual yang sesuai dengan tingkat perkembangan
anak. Pada tingkat permulaan pengajaran hendaknya dapat diberikan melalui cara-
cara yang bermakana, dan makin meningkat ke arah yang abstrak.
Bruner mendapat pertanyaan, bagaimana kita dapat mengembangkan program
pengajaran yang lebih efektif bagi anak muda ? Jawaban Bruner ialah dengan
mengkoordinasikan metode penyajian bahan itu, yang sesuai dengan tingkat
kemajuan anak. Tingkat-tingkat kemajuan anak dari tingkat kemajuan anak
(anactive) ke representasi konkret (konek) dan akhirnya ke tingkat representasi
yang abstrak (symbolik). Demikian juga dalam penyesuaian kurikulum. Pernyataan
lain dan process of education ialah tentang bagaimana mata pelajaran itu harus
diajarkan. Kurikulum dari suatu mata pelajaran harus ditentukan oleh pengertian
yang sangat fundamental bahwa hal itu dapat dicapai berdasarkan prinsip-prinsip
yang memberikan struktur bagi mata pelajaran itu. Maka di dalam mengajar harus
dapat diberikan kepada murid struktur dari mata pelajaran itu, murid harus

16
mempelajari prinsip-prinsip itu sehingga terbentuklah suatu disiplin. Sekali murid
mengetahui prinsip itu ia problem di dalam disiplin itu. Bruner menyebutkan
hendaknya guru harus memberikan kesempatan kepada muridnya untuk menjadi
seorang problem solver, seorang scientist, historin, atau ahli matematika.
Biarkanlah murid-murid kita menemukan arti bagi diri mereka sendiri, dan
memungkinkan mereka untuk mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa yang
dimengerti mereka.
The fact of discovery Bruner :
1. Adanya suatu kenaikan berkala di dalam potensi intelektual
2. Ganjaran intrinsik lebih ditekankan daripada intrinsik
3. Murid yang mempelajari bagaimana menemukan berarti murid itu menguasai
metode discovery learning
4. Murid lebih senang mengingat-ingat informasi

1.4 Pengertian Bel;ajar Menurut Psikologi Humanistik


Pada akhir tahun 1940-anmuncul suatu perspektif psikologi baru. Orang-orang
yang terlibat dalam penerapan psikologilah yang berjasa dalam perkembangan ini,
misalnya ahli-ahli psiologi klinik, pekerja-pekerja sosial dan konseler. Gerakan ini
berkembang, dan kemudian dikenal dengan psikologi humanistik, eksestensial,
perceptual, dan fenomenologikal. Psikologi ini berusaha untuk memahami perilaku
seseorang dari sudut si pelaku (behaver), bukan dari pengamat (observer).
Dalam dunia pendidikan, aliran humanistik muncul pada tahun 1960 sampai
1970-an dan mungkin perubahan-perubahan dan inovasi yang terjadi selama dua
dekade yang terakhir pada abad 20 ini pun juga akan menuju pada arah ini (John
Jarolimak ek, Cliffor D Foste, 1976, halaman 330)
Perhatian psikologi humanistik yang terutama tertuju pada masalah bagaimana
tiap-tiap individu dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi yang
mereka hubungkan pada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Menurut para
pendidik aliran humanistik penyusunan dan penyajian materi pelajaran harus sesuai
dengan perasaan dan perhatian siswa.
Tujuan utama para pendidik ialah membantu siswa untuk mengembangkan
dirinya, yaitu membantu masing-masing individu untuk mengenal diri mereka
sendiri sebagai manusia yang unik dan membantunya dalam mewujudkan potensi-
potensi yang ada pada diri mereka (Hamachek, 1977, p. 148).
Psikologi humanistik berkeyakinan bahwa anak termasuk mahluk unik,
beragam, berbeda antara satu dengan yang lain.keberagaman yang ada pada diri
anak, hendaknya dikukuhkan. Dengan demikian, seorang guru atau pendidik
bukanlah bertugas untuk membentuk anak menjadi manusia sesuai yang ia
kehendaki melainkan memantapkan visi yang telah ada pada diri anak itu sendiri
untu itu, seorang pendidik pertama kali membantu anak untuk memahami diri
mereka sendiri, dan tidak memaksakan pemahamannya sendiri mengenai diri
siswa.

17
Keberagaman anak tidak saja dari segi lahir, melainkan yang terutama adalah
dari segi batinnya. Oleh karena itu, jika ingin memahami anak, tidak dapat dengan
menggunakan perspektif orang yang memahami, melainkan dengan menggunakan
perspektif orang yang dipahami.

Behaviorisme Versus Humanistik


Dalam menyoroti masalah perilaku, ahli-ahli psikologi behavioral dan
humanistik mempunyai pandangan yang sangat berbeda. Perbedaan ii dikenal
sebagai freedom of detemination issue. Para behaviorest memandang orang sebagai
mahluk reaktif yang memberikan responnya terhadap lingkungannya. Pengalaman
lampau dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Sebaliknya para
humanistik mempunyai pendapat bahwa tiap orang itu menentukan perilaku
mereka sendiri. Mereka bebas dalam memilih kualitas hidup mereka, tidak terikat
oleh lingkungannya.
Sebagaimanan disebutkan di atas, bahwa pandangan psikologi humanistik
merupakan antitesa dari pandangan psikologi behavioristik. Eka dalam pandangan
psikologi behavioristik, belajar merupakan kontrol instrumental yang dilakukan
oleh lingkungan, maka dalam pandangan psikologi humanistik justru sebaliknya.
Belajar dilakukan dengan cara memberikan kebebasan yang sebesar-besarnya
kepada individu.

Tokoh-Tokoh Humanistik
Ada beberapa tokoh yang menunjol dalam aliran humanistik seperti : Combs,
Maslov, dan Rogers.
1) Combs
Combs dan kawan-kawan menyatakan apabila kita ingin memahami
perilaku orang kita harus mencoba memahami dunia persepsi orang itu.
Apabila kita ingin mengubah perilaku seseorang, kita harus berusaha
mengubah keyakinan atau pangangan orang itu, perilaku dalamlah yang
membedakan seseorang dari yang lain. Combs dan kawan-kawan selanjutnya
mengatakan bahwa perilaku buruk itu sesungguhnya tak lain hanyalah dari
ketidakmauan seseorang untuk melakukan sesuatu yang tidak akan
memberikan kepuasan baginya. Apabila seorang guru mengeluh bahwa
siswanya tidak mempunyai motivasi untuk melakukan sesuatu, ini
sesungguhnya berarti, bahwa siswa itu tidak mempunyai motivasi untuk
melakukan sesuatu yang dikehendaki oleh guru itu. Apabila guru itu
memberikan aktivitas yang lain, mungkin sekali siswa akan memberikan
reaksi yang positif. Para ahli humanistik melihat adaya dua bagian pada
learning, yaitu :
1. Pemerolehan informasi baru
2. Personalisasi informasi, ini pada individu.
Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan
berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila subject matter-nya disusun dan

18
disajikan sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada subject
matter itu, dengan kata lain di individulah yang memberikan arti tadi kepada
subject matter itu. Sehingga yang penting ialah bagaimana cara membawa si
siswa untuk memperoleh arti bagi pribadinya dari subject matter itu dengan
kehidupannya (Principle of Instruction Design oleh Robert M. Gayne & Leshe
J. Briggs, halaman 212).
Combs memberikan lukisan persepsi diri dan persepsi dunia seseorang
seperti dua lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat satu. Lingkaran
kecil (1) adalah gambaran dari persepsi dan lingkaran besar (2) adalah
persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-persitiwa itu dari persepsi diri makin
berkurang pengaruhnya terhadap individu dan makin dekat peristiwa-peristiwa
itu dari persepsi diri makin besar pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-
hal yang mempunyai sedikit hubungan dengan diri, makin mudah hal itu
terlupakan.

2) Maslov
Teori didasarkan atas asumsi bahwa di dalam diri kita ada dua hal :
(1) Suatu usaha yang positif untuk berkembang
(2) Kekuatan untuk melawan atau menolak perkembangan itu (Maslov, 1968)
Pada diri masing-masing orang mempunyai berbagai perasaan takut
seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut untuk mengambil
kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan sebagainya.
Tetapi mendorong untuk maju ke arah keutuhan, keunikan diri, menghadapi
dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendiri (self).
Maslov membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia menjadi tujuh
hirarki. Bila seseorang telah dapat memenuhin kebutuhan pertama, seperti
kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan yang terletak
di atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan rasa aman dan seterusnya. Hirarki
kebutuhan manusia menurut Maslov ini mempunyai implikasi yang penting
yang harus diperhatikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia
mengatakan bahwa perhatian dan motivasi belajar tidak mungkin berkembang
kalau kebutuhan dasar si siswa belum terpenuhi.

3) Carl Rogers
Salah seorang tokoh psikologi humanistik adalah Carl Rogers, seorang
ahli psikoterapi. Ia mempunyai pandangan bahwa siswa yang belajar
hendaknya tidak dipaksa, melainkan dibiarkan belajar bebas. Tidak itu saja,
siswa juga diharapkan dapat membebaskan dirinya hingga ia dapat mengambil
keputusan sendiri dan berani bertanggung jawab atas keputusan-keputusan
yang ia ambil atau pilih. Dalam belajar demikian, anak tidak dicetak menjadi
orang lain melainkan dibiarkan dan dipupuk untuk menjadi dirinya sendiri. Ia
tidak direkayasa agar terikat kepada orang lain, bergantung kepada pihak lain

19
dan memenuhi harapan orang lain. Ia dibiarkan agar tetap bisa menjadi arsitek
buat dirinya sendiri.
Rogers menemukan prinsip-prinsip belajar humanistik sebagai berikut :
a. Hasrat untuk belajar
Hasrat untuk belajar merupakan suatu hal yang bersifat alamiah bagi
manusia. Ini disebabkan adanya hasrat ingin tahu manusia yang terus-menerus
terhadap dunia dengan segala isinya. Hasrat ingin tahu yang demikian
terhadap dunia sekelilingnya, menjadikan penyebab seseorang senantiasa
berusaha mencari jawabannya. Dalam proses mencari jawaban inilah,
seseorang mengalami aktivitas-aktivitas belajar.
b. Belajar bermakna
Dalam pandangan psikologi humanistik makna sangat penting dalam
belajar. Seseorang beraktivitas atau tidak senantiasa menimbang-nimbang
apakah aktivitas tersebut mempunyai makna buat dirinya. Sebab, sesuatu yang
tak bermakna baginya, tentu tidak akan dia lakukan.
c. Belajar tanpa hukuman
Hukuman memang dapat saja membuat seseorang untuk belajar.
Tetapi, hasil belajar demikian tidak akan bertahan lama. Ia melakukan
aktivitas sekedar menghindari ancaman hukuman. Padahal manakala hukuman
tidak ada, aktivitas pun tidak akan dilakukan. Oleh karena itu, agar anak
belajar justru harus dibebaskan dari ancaman hukuman.
Belajar yang terbebas dari ancaman hukuman demikian ini menjadikan
penyebab anak bebas melakukan apa saja, mencoba-coba sesuatu yang
bermanfaat buat dirinya, mengadakan eksperimentasi-eksperimentasi hingga
anak dapat menemukan sendiri mengenai sesuatu yang baru. Kreativitas anak
dalam belajar yang bebas dari ancaman hukuman dengan sendirinya juga akan
meningkat.
d. Belajar dengan inisiatif sendiri
Belajar dengan inisiatif sendiri pada diri pembelajar sebenarnya
menyiratkan betapa tingginya motivasi internal yang dimiliki. Pembelajar
yang banyak berinisiatif tatkala belajar, senantiasa mencari cara-cara hingga ia
berhasil dalam belajarnya. Inisiatif yang lahir dari diri sendiri ini juga
menunjukkan rendahnya dependensi pembelajar terhadap orang lain. Ia akan
bebas melakuka apa saja dalam belajarnya, dan tidak terikat oleh rekayasa-
rekayasa yang berasal dari lingkungannya. Pada diri pembelajar yang kaya
inisiatif, terdapat kemampuan untuk mengarahkan dirinya sendiri, menentukan
pilihannya sendiri serta menimbang-nimbang sendiri mana hal yang baik bagi
dirinya. Ia akan berusaha dengan totalitas pribadinya untuk mencapai sesuatu
yang ia cita-citakan.
e. Belajar dan perubahan
Dunia terus berubah, dan siapapun di dunia ini tidak ada yang dapat
menangkal perubahan. Oleh karena itu, pembelajar haruslah dapat belajar
dalam segala kondisi dan situasi yang serba berubah. Kalau tidak, ia akan

20
terlindas oleh perubahan.dengan demikian, belajar yang sekedar mengingat
fakta, menghafal sesuatu, dipandang tidak cukup. Orang harus dapat
menyesuaikan dalam sebuah dunia yang senantiasa berubah.
Dalam bukunya freedom to learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-
prinsip belajar humanistik yang penting, diantaranya adalah:
(1) Manusia itu mempunyai kemampuan untuk belajar secara alami
(2) Belajar yang signifikan terjadi apabila subject matter dirasakan murid
mempunyai relevansi dengan maksud-maksudnya sendiri
(3) Belajar yang menyangkut suatu perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya
sendiri dianggap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya
(4) Tugas-tugas belajar yang mengancam diri adalah lebih mudah dirasakan dan
diasimilasikan apabila ancaman-ancaman dari luar itu semakin kecil
(5) Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh
dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar
(6) Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya
(7) Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut
bertanggung jawab terhadap proses belajar itu
(8) Belajar atas inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi siswa seutuhnya baik
perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat memberikan hasil yang
mendalam dan lestari
(9) Kepercayaan terhadap diri sendiri, kemerdekaan, kreativitas lebih mudah
dicapai terutama siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengkritik dirinya
sendiri dan penilaian diri orang lain merupakan cara kedua yang penting
(10) Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah
belajar mengenai proses belajar suatu keterbuakaan yang terus-menerus
terhadap pengalaman dan penyatuannya ke dalam dirinya sendiri mengenai
proses perubahan itu.

1.5 Pengertian Belajar Menurut Psikologi Gestalt


Dalam aliran ini ada beberapa istilah yang artinya sama ialah : field, pattera,
organisme, closure, integration, wholistk, configuration, dan gestalt. Karena itu
psikologi gestalt sering disebut psikologi organisme atau field theory. Menurut
aliran ini, jiwa manusia adalah suatu keseluruhan yang berstruktur. Suatu
keseluruhan bukan terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur. Unsur-unsur itu
berada dalam keseluruhan menurut struktur yang telah tertentu dan saling
berinteralisi satu sama lain. Contoh : kepala manusia bukan merupakan
penjumlahan daripada batok kepala, telinga, hidung, mata, mulut, rambut, dagu,
dan sebagainya, melainkan kepala itu adalah suatu keseluruhan yang bermakna,
dimana unsur-unsur tadi terletak pada strukturnya masing-masing. Mata tidak
mungkin terletak di ibu jari, hidung tidak mungkin terletak di tengah-tengah dada
dan seterusnya. Pada strukturnya masing-masing itulah bagian-bagian dapat
berfungsi sebagaimana mestinya. Bagian-bagian itu hanya bermakna dalam
hubungan keseluruhan itu. Lagi pula sesuatu hal, perbuatan, benda lain-lain hanya

21
bermakna dalam hubungan dengan situasi tertentu. Misalnya : emas (perhiasan)
hanya bermakna dalam situasi dimana ada pesta. Para tamu umumnya memakai
perhiasan yang indah-indah, akan tetapi tidak bermakna dalam situasi padang pasir
dimana seseorang sedang mengalami rasa haus dan dahaga
Pandangan ini sangat berpengaruh terhadap tafsiran tentang belajar. Beberapa
pokok yang perlu mendapat perhatian antara lain ialah :
(1) Timbulnya kelakuan adalah berkat interaksi antara individu dan lingkungan
dimana faktor apa yang dimiliki (natural endowment) lebih menonjol
(2) Bahwa individu berada dalam keseimbangan dinamis, adanya gangguan
terhadap keseimbangan itu akan mendorong timbulnya kelakuan
(3) Mengutamakan segi pemahaman (insight)
(4) Menekankan pada adanya situasi sekarang, dimana individu menemukan
dirinya
(5) Yang pertama dan utama adalah keseluruhan, dan bagian-bagian hanya
bermakna jika berada dalam keseluruhan itu

Prinsip-prinsip belajar Gestalt (field theory)


1) Belajar dimulai dari suatu keseluruhan. Keseluruhan yang menjadi permulaan
baru menuju ke bagian-bagian. Dari seluruh organisasi mata pelajaran menuju
tugas-tugas harian yang beruntun. Belajar dimulai dari satu unit yang
kompleks menuju hal-hal yang mudah dimengerti, deferensiasi
pengetahuandan kecakapan.
2) Keseluruhan memberikan makna kepada bagian-bagian. Bagian-bagian terjadi
dalam suatu keseluruhan. Bagian-bagian itu hanya bermakna dalam rangka
keseluruhan tadi. Dengan demikian keseluruhan yang memberikan makna
terhadap suatu bagian, misal : sebuah ban mobil hanya bermakna kalau
menjadi bagian dari mobil, sebagai roda. Sebuah papan tulis hanya bermakna
sebagai papan tulis kalau ia berada dalam kelas, sebuah tiang kayu hanya
bermakna sebagai tiang kalaumenjadi satu dari rumah dan sebagainya.
3) Individuasi bagian-bagian dari keseluruhan. Mula-mula anak melihat sesuatu
sebagai keseluruhan. Bagian-bagian dapat dilihat dalam hubungan fungsional
dengan keseluruhan. Tetapi lambat laun ia mengadakan deferensiasi bagian-
bagian itu dari keseluruhan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil atau
kesatuan yang lebih kecil, contoh : mula-mula anak melihat mengenal ibunya
sebagai keseluruhan kesatuan. Lambat laun ia dapat memisahkan mana mata
ibu, mana hidung ibu, mana telinga ibu, kemudian ia melihat bahwa wajah
ibunya itu cantik atau jelek, atau menarik dan sebagainya.
4) Anak belajar dengan menggunakan pemahaman atau insight. Pemahaman
adalah kemampuan melihat hubungan-hubungan antara berbagai faktor atau
unsur dalam situasi yang problematis, seperti simpanse dapat melihat
hubungan antara beberapa buah kotak menjadi sebuah tangan untuk
mengambil buah pisang karena ia sedang lapar.

22
Tokoh psikologi Gestalt ini antara lain adalah Kohler, Koffka, dan
Wertheimer. Menurut pandangan psikologi Gestalt, belajar terdiri atas hubungan
stimulus respons yang sederhana tanpa adanya pengulangan ide atau proses
berfikir. Psikologi mulai berkembang dengan lahirnya teori belajar Gestalt ini.
Peletak dasar psikoloi Gestalt adalah Mex Wertheimer (1880-1943) yang meneliti
tentang pengamatan dan problem solving.
Sumbangannya ini diikuti oleh Krt Koffka (1886-1941) yang menguraikan
secara terperinci tentang hukum-hukum pengamatan, kemudian Wolgang Kohler
(1887-1959) yang meneliti tentang insight pada simpanse. Penelitian-penelitian
mereka menumbuhkan psikologi Gestalt yang menekankan bahasan pada masalah
konfigurasi, struktur dan pemetaan dalam pengalaman. Kaum gestalt berpendapat,
bahwa pengalaman itu berstruktur yang terbentuk dalam suatu keseluruhan. Orang
yang belajar, mengamati stimuli dalam keseluruhan yang terorganisasi, bukan
dalam bagian-bagian yang terpisah.
Suatu konsep yang penting dalam teori gestalt adalah tentang “insight”, yaitu
pengamatan/pemahaman mendadak terhadap hubungan antar bagian-bagian di
dalam suatu situasi permasalahan. Insight itu sering dihubungkan dengan
pernyataan spontan “aha” atau “oh”, “sec-now”.
Kohler (1927) menemukan tumbuhnya insight pada seekor simpanse dengan
menghadapkan simpanse dalam masalah bagaimana memperoleh pisang yang
terletak di luar kurungan atau tergantung di atas kurungan. Dalam eksperimen itu
Kohler mengamati, bahwa kadangkala simpanse dapat memecahkan masalah
secara mendadak, kadangkala meraih pisang, kadangkala duduk merenungkan
masalah, dan kemudian secara tiba-tiba menemukan pemecahan masalah.
Wertheimer (1945) menjadi orang gestalt yang mula-mula menghubungkan
pekerjaannya dengan proses belajar di kelas. Dari pengamatannya itu, ia
menyesalkan penggunaan metode menghafal di sekolah dan menghendaki agar
murid belajar dengan pengertian bukan hafalan akademis.
Menurut pandangan gestaltis, semua kegiatan belajar (baik pada simpanse
maupun pada manusia) menggunakan insight atau pemahaman terhadap hubungan-
hubungan terutamahubungan-hubungan antara bagian dengan keseluruhan.
Menurut menurut psikologi gestalt, tingkat kejelasan atau keberartian dari apa yang
diamati dalam situasi belajar adalah lebih meningkatkan belajar seseorang daripada
dengan hukuman dan ganjaran.
Menurut psikologi gestalt setiap pengalaman itu senantiasa struktur. Setiap
respons yang diberikan oleh seseorang terhadap stimulan, sebenarnya tidak tertuju
kepada suatu bagian melainkan tertuju kepada sesuatu yang bersifat kompleks.
Adapun hukum-hukum belajar menurut psikologi adalah sebagai berikut :
a. Hukum kesamaan (law of similarity). Menurut hukum ini sesuatu yang sama
cenderung membentuk satu kesatuan.
b. Hukum penuh makna (law of pragnanz). Menurut hukum ini, pengamatan
terhadap sesuatu objek cenderung dikaitkan dengan makna objek tersebut bagi

23
seseorang. Makna objek tersebut bagi seseorang, bisa berupa bentuknya,
ukurannya, warnanya dan sebagainya.
c. Hukum kedekatan (law of proximity). Menurut hukum ini, sesuatu yang
berdekatan cenderung membentuk satu kesatuan.
d. Hukum ketutupan (law of closure). Menurut hukum ini, hal-hal yang tertutup
membentuk suatu kesatuan.
e. Hukum-hukum kontinyuitas (law of continuation). Menurut hukum ini, hal-hal
yang merupakan kontinyuitas membentuk suatu kesatuan.
Menurut psikologi gestalt, wawasan atau yang lazim disebut insight dipandang
sebagai inti belajar. Oleh karena itu, dalam belajar yang mestinya ditanamkan
adalah pengertian siswa mengenai sesuatu yang harus dipelajari.

2. CIRI-CIRI BELAJAR
Sebagaimana disebutkan di atas, bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku
sebagai akibat dari adanya pengalaman. Oleh karena itu, ada sejumlah ciri belajar yang
dapat dibedakan dengan kegiatan-kegiatan lain selain belajar. Pertama, belajar
dibedakan dengan kematangan. Kedua, belajar dibedakan dengan perubahan kondisi
fisik dan mental. Ketiga, hasil belajar bersifat relatif menetap.
Berdasarkan pengertian di atas, maka pada hakikatnya “belajar menunjuk ke
perubahan dalam tingkah laku si subjek dalam situasi tetentu berkat pengalamannya
yang berulang-ulang, dan perubahan tingkah laku tersebut tak dapat dijelaskan atas
dasar kecenderungan-kecenderungan respon bawaan, kematangan atau keadaan
kontemporer dari subjek (misalnya keletihan, dsb).
1) Belajar berbeda dari kematangan
Kematangan adalah sesuatu yang dialami oleh manusia karena perkembangan-
perkembangan bawaan. Tanpa melalui aktivitas belajar pun, pada saat tertentu,
orang akan mengalami kematangan. Oleh karena itu, kematangan akan dialami
oleh seseorang, meskipu ia sendiri tidak menyengaja. Kematangan yang ada pada
diri seseorang juga bukan karena suatu upaya yang dilakukan oleh orang lain
(misalnya saja guru).
Kematangan umumnya ditandai oleh adanya perubahan-perubahan pada diri
seseorang, baik yang bersifat fisik maupun psikis. Adanya perubahan pada diri
seseorang semisal dari belum bisa berjalan pada umur tetentu menjadi bisa berjalan
pada umur selanjutnya, tidaklah akibat dari aktivitas belajar. Demikian juga, dari
seseorang belum bisa berbicara kemudian menjadi bisa berbicara, juga bukan dari
aktivitas belajar melainkan karena adanya proses kematangan. Berbeda dengan
belajar, ia adalah suatu proses yang disengaja dan secara sadar. Belajar adalah
suatu aktivitas yang dirancang, atau sebagai aktivitas interaksi antara individu
dengan lingkungannya.
2) Belajar dibedakan dari perubahan kondisi fisik dan mental
Belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang disengaja. Perubahan
tersebut bisa berupa dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi
mengerti, dari tidak dapat mengerjakan sesuatu menjadi dapat mengerjakan

24
sesuatu, dari memberikan respons yang salah atas stimulus-stimulus ke arah
memberikan respons yang benar. Berarti perubahan fosik dari kecil menjadi besar,
dari kurus menjadi gemuk, dan pendek menjadi semakin tinggi bukanlah karena
proses belajar, dan oleh karena itu tidak dapat disebut sebagai proses belajar.
3) Hasil belajar relatif menetap
Hasil belajar relatif menetap, dan tidak berubah-ubah. Perubahan tingkah laku
yang sifatnya relatif tidak menetap, bukanlah karena proses belajar. Orang setiap
kali dapat berubah. Perubahan-perubahan demikian, tidak sama dengan perubahan-
perubahan dalam belajar. Oleh karena itu, tidak semua perubahan yang ada pada
diri seseorang dianggap sebagai hasil belajar. Hanya perubahan-perubahan tetentu
saja yang memenuhi syaray untuk dikatakan belajar.

3. TUJUAN DAN UNSUR-UNSUR DINAMIS DALAM BELAJAR


Tujuan dan unsur-unsur dinamis dalam belajar adalah dua hal yang sangat penting
dalam belajar. Tujuan umumnya mengarahkan seseorang yang sedang belajar ke arah
kegiatan tertentu. Sementara unsur-unsur dinamis dalam belajar adalah suatu perangkat
yang turut menghantarkan seseorang yang sedang mencapai tujuan belajar.
Tujuan belajar tiap manusia kreativitas, sepanjang aktivitas tersebut disadari,
senantiasa dimaksudkan bagi pencapaian tujuan tetentu. Demikian juga seseorang yang
sedang berkreativitas belajar, tentulah dimaksudkan bagi pencapaian tujuan. Paling
tidak ada empat alasan mengapa tujuan belajar ini perlu dirumuskan oleh pembelajar.
Pertama, agar ia mepunyai arah dalam berkretivitas belajar. Kedua, agar ia dapat
menilai seberapa target belajar telah ia capai atau belum. Ketiga, agar waktu dan
tenaganya tidak tersita untuk kegiatan selain belajar.

3.1 Tujuan Belajar dalam Hubungannya dengan Perubahan Tingkah Laku


Salah satu ciri belajar pada diri seseorang adalah terdapatnya perubahan
tingkah laku pada dirinya. Adanya perubahan tingkah laku ini menjadikan seorang
pembelajar berubah dari suatu kondisi ke kondisi yang tertentu. Perubahan tingkah
laku dalam diri pembelajar umumnya dapat diamati (observable). Oleh karena itu,
ketika pembelajar mau mengadakan aktivitas belajarnya, perlu merumuskan tujuan
belajar buat dirinya sendiri.
Dalam merumuskan tujuan belajar yang terkait dengan perubahan tingkah laku
ini, seseorang pembelajar pertama kali haruslah mengenali mengenai dirinya
sendiri. Pengenalan terhadap dirinya sendiri ini sangat penting guna merumuskan
kebutuhan-kebutuhan belajarnya. Pengenalan mengenai diri sendiri ini juga bisa
terhindar dari mempelajari sesuatu yang sudah dikuasai, di samping dapat terhindar
juga dari mempelajari sesuatu yang tidak dimaksudkan untuk dipelajari.
Tujuan belajar yang dikaitkan dengan perubahan tingkah laku ini mengandung
unsur-unsur sebagai berikut :
a. Jelas siapa yang berubah (dalam hal ini adalah pembelajar sendiri, dan bukan
pengajar).
b. Jelas perubahannya, dari tidak bisa sesuatu menjadi bisa sesuatu.

25
c. Jelas waktunya, yaitu kapan perubahan tingkah laku tersebut berlangsung dan
tercapai.
d. Jelas ukuran perubahannya, yang lazim ditunjukkan secara kuantitatif.
e. Jelas cara menghukumnya, yaitu perubahan tersebut dapat diukur dengan cara
bagaimana.
f. Dirumuskan dengan kata-kata yang konkrit (observable).

Sebagai contoh, setelah menelaah Bab I, pembelajar dapat menjelaskan 4 ciri-


ciri tingkah laku menyimpang secara lisan. Kata pertama, pembelajar menunjukkan
dengan jelas siapa yang berubah tingkah lakunya setelah melakukan aktivitas.,
dalam hal ini adalah pembelajar bukan pengajar (unsur pertama). Kata-kata dapat
menjelaskan menunjukkan terdapatnya perubahan tingkah laku pada diri
pembelajar : dari tidak bisa menjelaskan menjadi bisa menjelaskan (unsur kedua).
Kata-kata setelah menelaah Bab I, menunjukkan waktu perubahan (unsur ketiga).
Kata-kata 4 ciri-ciri tingkah laku menyimpang menunjukkan ukuran perubahan.
Bandingkan misalnya dengan kata-kata : ciri-ciri tingkah laku menyimpang. Kata-
kata ini tidak menunjukkan berapa jumlah ciri tingkah laku menyimpang (unsur
keempat). Kata secara lisan menunjukkan bagaimana perubahan tingkah laku
tersebut diukur. Sebab, pengukuran terhadap bisa tidaknya seseorang menjelaska
secara lisan dan secara tertulis, membutuhkan cara pengukuran sendiri. Oleh
karena itu, bentuk perubahan tingkah laku tersebut haruslah jelas (unsur kelima).
Kata menjelaskan pada rumusan tujuan menunjukkan bahwa ia dapat diamati
secara konkrit. Bandingkan misalnya dengan kata memahami, mengerti,
marasakan, menikmati. Kata-kata tersebut terakhir ini tidak dapat diamati (tidak
observable). Bloomdan kawan-kawan (1956) membuat taksonomi tujuan belajar
yang terkait dengan perubahan tingkah laku ini. Ia mengkategorisasikan tujun
(bukan memisahkan, karena semestinya tidak untuk dipisah-pisahkan) menjadi tiga
kawasan, ialah kawasan tersebut masing-masing mempunyai sub kawasan masing-
masing yang disusun mulai dari yang sederhana sampai dengan yang kompleks.
Kawasan pertama, coknitive terdiri dari knowledge, comprehensin,
applikation, analisys, synthesis dan evaluation. Secara berturut-turut akan
dijelaskan sebagai berikut :
a. Knowledge, dapat diarikan dengan pengetahuan. Su kawasan ini
mementingkan aspek ingatan. Oleh karena itu sb kawasan ini lebih tepat untuk
diartikan mengingat terhadap materi-materi yang pernah diajari. Memgingat
kembali terhadap fakta-fakta yang pernah dipelajari, faktor-faktor yang pernah
ditelaah. Dalam kawasan kognitif ini dipandang pada tingkatan terendah.
b. Comprehension, dapat diartikan dengan kemampuan untuk menangkap
pengertian mengenai sesuatu. Pada sub kawasan ini seseorang dapat
menterjemahkan sesuatu, mengambil kata lain dari suatu kata atau pengertian,
mengambil inti dari suatu bacaan dan membuat prakiraan-prakiraan.
c. Applikation lazim diberi makna sebagai suatu kemampuan untuk menerapkan
apa-apa yang pernah dipelajari ke dalam situasi yang senyatanya. Pada sub

26
kawasan ini, seseorang yang sedang belajar mampu menerapkan,
mengaplikasikan konsep-konsep, teori-teori dalam situasi praktis.
d. Analysis adalah suatu keterampilan untuk merinci, menghubungkan,
menguraikan rincian dan saling hubungan antara bagian satu dengan bagian
lainnya.
e. Synthesis adalah suatu kemampuan untuk menyatukan hal-hal yang tak
menyatu menjadi sebuah kesatuan yang utuh. Dengan kemampuan synthesis
ini sesuatu yang sebelumnya terbelah-belah terkristal dan kemudian dapat
diformulasikan ke dalam formula yang tak terbelah.
f. Evaluation adalah suatu kemampuan untuk menentukan baik-buruk, berharga-
tidak berharga, bernilai-tidak bernilai mengenai sesuatu. Penentuan tersebut
didasarkan atas patokan-patokan yang dilihat pada masa sebelumnya.
Kemampuan mengadakan evaluasi ini termasuk jenis kemampuan yang
tertinggi dalam kawasan kognitif ini.

Kawasan kedua, affektive meliputi limat sub kawasan berikut ini : receiving,
responding, valuing, organization, characteristization by a value or value complex.
Secara berturut-turut dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Receiving atau penerimaan, adalah kemampuan seseorang untuk
menghadirkan kediriannya pada sebuah even atau stimulus-stimulus yang ia
terima. Menghadirkan diri demikian ini, meskipun dalam tataran rendah, telah
dapat meliput kesadaran seseorang. Hasil belajar pada sub kawasan ini telah
memunculkan sebuah kesadaran yang paling simpel sampai dengan hadirnya
perhatian yang terpilih.
b. Responding atau pemberian tanggapan. Kemampuan ini relatif lebih tinggi
tingkatannya dibanding sub kawasan receiving. Jika pada sub kawasan
receiving seseorang menghadirkan kediriannya pada sebuah even, maka dalam
sub kawasan responding ini seseorang memberikan tanggapan/respon/jawaban
atas even-even yang ia terima.
c. Valuing atau pemberian nilai. Yang dimaksud dengan pemberian nilai di sini
adalah memberikan harga terhadap suatu fenomena, benda, kejadian atau
even. Sub kawasan ini menjadikan seseorang bisa menerima nilai tertentu dan
menunjukkan komitmennya pada nilai tertentu. Oleh karena itu, pada sub
kawasan ini seseorang tampak tingkatan integritasnya : keajengan, integritas.
d. Organization atau pengorganisasian. Adalah upaya untukl memadukan
berbagai jenis nilai yang berbeda-beda. Dari nilai yang berbeda tersebut,
kemudian dibangun menjadi suatu sistem nilai. Ada semacam sintesa nilai-
nilai yang beragam, hingga menjadi suatu kesatuan nilai. Antara satu nilai
dengan yang lain dicoba hubungkan. Bila terdapt konflik di antara nilai-nilai
tersebut dicoba pecahkan.
e. Characteristization of value or value complex atau karakterisasi dengan suau
nilai. Pada sub kawasan ini seseorang mempunyai sistem nilai yang dapat
mengendalikan tingkah lakunya dalamkehidupan hingga dapat membentuk

27
gaya hidup yang khas, berbeda dengan orang lain. Hasil belajar pada sub
kawasn ini bisa menjadikan seseorang menyesuaikan diri secara personal,
sosial dan emosional.

Kawasan ketiga, mencakup tujuh sub kawasan dari tingkatan yang terendah
hingga tingkatan tertinggi. Ke tujuh sub kawasan ini adalah perception, set, gided
respon, mechanism, complex over respon, adaptation dan origination. Sub-sub
kawasan ini dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Perception atau persepsi. Yang dimaksud dengan persepsi disini adalah
penggunaan indera untuk memperoleh petunjuk ke arah motorik. Pada sub
kawasan ini seseorang mengindera stimulus-syimulus yang berasal dari
lingkungannya guna persiapan untuk membimbing aktivitas-aktivitas
motoriknya.
b. Set atau kesiapan. Sub kawasan ini meliputi mental set, physkal set dan
emotonal set. Pada sub kawasan ini, seseorang bersedia mengambil tindakan-
tindakan berdasarkan persepsinya terhadap stimulus atau fenomena-fenomena
yang berasal dari lingkungannya.
c. Guided respon atau respon terpimpin. Pada sub kawasan ini seseorang mulai
berada pada prosese belajar keterampilan yang lebih kompleks. Pada sub
kawasan ini seseorang terlibat dalam proses peniruan yang diperformansikan,
selanjutnya mencoba menggunakan tanggapan dalam menangkap suatu
motorik.
d. Mechanism atau mekanisme. Pada sub kawasan ini respon-respon yang telah
dipelajari oleh seseorang telah berubah menjadi kebiasaan dan gerakan-
gerakan yang ditampilkan, dilakukan dengan penuh kepercayaan dan
kemahiran.
e. Complex over respon atau respon nyata yang kompleks. Pada sub kawasan ini
seseorang yang lagi belajar, melakukan gerakan dengan mudah disamping
mempunyai kontrol yang baik. Kadar motorik pada sub kawasan ini relatif
cukup tinggi. Sebab, gerakan-gerakan pada sub kawasan ini relatif cepat,
cermat termasuk pada hal-hal yang rumit dan tepat meskipun disertai dengan
energi yang minimal.
f. Adaptation atau penyesuaian. Yang dimaksud dengan penyesuaian adalah
sebuah keterampilan dimana seseorang dapat mengolah gerakan hingga sesuai
dengan tuntutan kondisional dan situasional, termasuk yang problematis
sekalipun.
g. Origination atau penciptaan. Sub kawasan ini termasuk paling tinggi
tingkatannya dibanding dengan sub kawasan sebelumnya, oleh karen aunsur
kreativitas sudah masuk di sini. Performansi seseorang yang belajar pada sub
kawasan ini umumnya ditandai dengan hal-hal yang serba baru, misalnya
membuat pola-pola baru, merancang hal-hal baru.

28
3.2 Tujuan Belajar Sebagai Pembentukan Pemahaman Nilai dan Sikap
a. Tujuan belajar sebagai sasaran pembentukan pemahaman
Tujuan belajar memang merupakan sasaran bagi pembentukan
pemahaman seseorang terhadap hal-hal yang dipelajari. Pemahaman seseorang
terhadap hal-hal yang dipelajari, sebutlah saja dunia dengan isinya, sangatlah
penting artinya bagi pembelajar.
Pemahaman pembelajar terhadap dunia dengan segala isinya tidak saja
mendatangkan kepuasan bagi pembelajar, melainkan dapat menempatkan diri
pembelajar pada posisi strategik. Ia akan mempunyai peta dimana ia harus
menempatkan diri, ia akan mengetahui apa yang ia harus perbuat dan apa yang
tidak ia perbuat.
Terjadinya bentrokan-bentrokan di dunia, sebenarnya disebabkan
disebabkan kurang adanya saling pemahaman di antara mereka. Timbulnya
saling curiga, juga dapat disebabkan kurang adanya saling pemahaman. Oleh
karena itu terbentuknya pemehaman pembelajaran terhadap sesuatu yang
dipelajari, tidak saja bermanfaat bagi dirinya sendiri, melainkan juga
brmanfaat bagi lingkungannya.
Pemahaman seseorang terhadap orang lain, malahan dapat menjadikan
seseorang melihat orang lain tidak semata dengan menggunakan perspektif
sendiri. Ia mencoba menangkap seseorang dengan menggunakan perspektif
orang yang dipandang. Dengan cara pandangan demikian, ia akan mengenal
orang yang dipandang tersebut dalam keadaan yang senyatanya, dan tidak
terbatas pada persepsinya sendiri.
Pemahaman terhadap orang lain, juga menjadikan seseorang tidak
risau, jika melihat orang lain berbeda dengan dirinya. Ia juga sekaligus tidak
membuat dirinya agar seperti orang lain, dan sebaliknya tidak menuntut orang
lain agar seperti dirinya. Ia akan menjadi dirinya sendiri, dan memahami jika
orang lain juga seperti dirinya.
Singkat kata, pemahaman adalah suatu dasar bagi segala akan
seseorang. Ia memberikan kontribusi yang besar bagi sukses tidaknya
seseorang. Lebih jauh pemahaman menjadika seseorang saling mengerti, dan
lebih lanjut lagi saling menghargai. Pemahaman sekaligus mencegah
timbulnya saling curiga, dan lebih jauh lagi mencegah timbulnya saling
bentrokan.

b. Tujuan belajar sebagai sasaran pembentuka nilai dan sikap


Setiap masyarakat, masyarakat manapun, pasti menganut sebuah nilai.
Nilai dimaksud, adakalanya merupakan produk masyarakat pada kurun waktu
yang sejaman dengan mereka. Malahan, pada masa sekarang ini, nilai-nilai
yang dianut oleh sebuah masyarakat, dapat merupakan kristalisasi dari hasil
dialog antara nilai-nilai yang diwariskan oleh generasi sebelumnya dengan
yang sejaman dengan mereka.

29
Di era globalisasi seperti sekarang ini, sebagai akibat dari melesatnya
perkembangan teknologi komunikasi, nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat,
kristalisasi hasil dialog antara nilai-nilai yang selama ini dianut dengan nilai-
nilai baru yang datang dari dunia luar. Oleh karenanya, nilai-nilai yang dianut
oleh masyarakat dewasa ini semakin beragam.
Dalam belajar, ada nilai-nilai tertentu yang harus diupayakan terbentuk
pada diri pembelajar. Nilai-nilai yang dibentuk pada diri pembelajar tersebut,
tentu nilai-nilai luhur yang secara universal dianut oleh hampir setiap
masyarakat, disamping nilai-nilai luhur yang spesifik dianut oleh masyarakat
dimana pembelajar tersebut berada.
Nilai-nilai luhur yang hampir dianut oleh setiap masyarakat secara
universal misalnya adalah : kebenaran, kejujuran, keindahan, kemerdekaan,
saling membantu dan memberi menfaat. Sementara nilai-nilai luhur yang
dianut oleh masyarakat secara khususnya di lingkungan pembelajar banyak
ragamnya, seberagam jumlah pembelajar.
Disamping tujuan belajar terkait dengan pembentukan nilai, sekaligus
juga terkait dengan pembentukan sikap. Terbentuknya sebuah sikap, lazim
juga didasarkan atas sebuah nilai. Meskipun nilai bukanlah satu-satunya yang
menentukan sikap. Berbedanya nilai-nilai yang dianut oleh seseorang lazim
menjadikan penyebab berbedanya seseorang dalam menyikapi sesuatu.
Padahal persepsi seseorang terhadap sesuatu lazimnya juga turut menentukan
sikap seseorang terhadap sesuatu.

c. Tujuan belajar sebagai sasaran pembentukan keterampilan-keterampilan


personil-sosial, kognitif dan instrumental
Setiap pembelajar, tentu memiliki kekhasan tertentu yang berbeda
dengan pembelajar lain. Oleh karena itu, dalam belajar seorang pembelajar
haruslah mengembangkan kekhasan-kekhasan yang dimiliki. Keterampilan
personal yang dimilki pembelajar, haruslah dibentuk dan dikembangkan
secara terus menerus. Dengan cara demikian, maka pembelajar akan
berkembang seoptimal mungkin sesuai dengan ciri khas atau karakteristik
yang ada pada dirinya.
Selai keterampilan-keterampilan personal dibentuk, keterampilan
sosial pembelajar juga perlu dibentuk. Pembentukan keterampilan sosial
demikian tampak urgensinya manakala dilihat kedudukan pembelajar yang
tidak saja sebagai mahluk individu melainkan juga sebagai mahluk sosial.
Sebagai mahluk sosial, pembelajar haruslah dapat berinteraksi secara baik
dengan lingkungan sosialnya, sesama manusia. Maka dari itu, pembentukan
keterampilan-keterampilan sosial pada diri pembelajar dimaksudkan untuk
menyiapkan pembelajar agar dapat bergabung dan berinteraksi secara baik
dengan lingkungan sosialnya. Dengan perkataan lain, jika pembentukan
keterampilan personal dimaksudkan untuk mengembangkan potensi-potensi
bawaan pada diri pembelajar, maka keterampilan sosial antara lain

30
dimaksudkan mengkomunikasikan keterampilan personal yang telah terbentuk
dalam lingkungan sosialnya.
Pembentukan keterampilan kognitif dimaksudkan agar pembelajar
secara terus menerus menimba ilmu pengetahuan, tanpa batas. Keterampilan
kognitif pada diri pembelajar menjadikan pembelajar haus secara terus
menerus terhadap ilmu pengetahuan. Dengan pengembangan yang terus
menerus pembelajar tidak akan ketinggalan dengan laju perkembangan ilmu
pengetahuan yang demikian pesat. Dengan pembentukan keterampilan
kognitif ini maka pembelajar memandang belajar bukan sebagai beban
melainkan menjadi sebuah kebutuhan.
Pembentukan keterampilan instrumental pada diri pembelajar,
mengarahkan pembelajar sadar pada pembangunan yang sedang digalakkan.
Jika keterampilan instrumental ini telah terbentuk pada diri pembelajar, maka
pembelajar punya kesadaran yang sedemikian dalam terhadap pembangunan
yang sedang dilaksanakan. Dengan demikian ia mengambil bagian secara aktif
di dalamnya, dan tidak sekedar sebagai penonton saja. Kesadaran untuk secara
terus menerus membangun dirinya sendiri dan membangun masyarakat,
lingkungan dan bangsanya adalah sasaran bagi pembentukan keterampilan
instrumental ini. Katerampilan instrumental ini adalah tindak lanjut konkrit
dari keterampilan-keterampilan yang ingin dibentuk sebelumnya :
keterampilan personal, sosial dan kognitif.

3.3 Unsur-Unsur Dinamis yang Terkait di Dalam Proses Belajar


Yang dimaksud dengan unsur-unsur dinamis dalam belajar adalah unsur-unsur
yang dapat berubah dalam proses belajar. Perubahan unsur-unsur tersebut dapat
berupa : tidak ada menjadi ada atau sebaliknya, dari lemah menjadi kuat dan
sebaliknya, dari sedikit menjadi banyak dan sebaliknya. Unsur-unsur dinamis
tersebut meliputi : motivasi, bahan belajar, alat bantu belajar, suasana belajar dan
kondisi subjek pembelajar. Berikut ini akan dijelaskan tentang :
1) Motivasi dan upaya memotivasi siswa untuk belajar
2) Bahan belajar dan upaya penyediaannya
3) Alat bantu belajar dan upaya penyediaannya
4) Suasana belajar dan upaya pengembangannya
5) Kondisi subjek pembelajar dan upaya penyiapan dan peneguhannya

1. Motivasi dan Upaya Memotivasi Siswa Untuk Belajar


Motivasi berasal dari bahasa Inggris, motivation yang berarti
dorongan, pengalasan, dan motivasi. Kata kerjanya adalah to motivate yang
berarti mendorong, menyebabkan, meransang. Slotive sendiri berarti alasan,
sebab, dan daya penggerak (Echols, 1984). Motif adalah keadaan dalam diri
seseorang yang mendorong individu tersebut untuk melakukan aktivitas-
aktivitas tertentu guna mencapai tujuan yang diinginkan (Suryabrata, 1984).
Secara serupa Winkels (1987) mengemukakan bahwa motif adalah adanya

31
penggerak dalam diri seseorang untuk melakukan aktivitas tertentu demi
mencapai suatu tujuan tertentu pula.
Dalam kegiatan belajar mengajar, dikenal adanya motivasi belajar,
yaitu motivasi yang diterapkan dalam kegiatan belajar. Motivasi belajar adalah
keseluruhan daya penggerak psikis dalam diri siswa yang menimbulkan
kegiatan belajar mengajar. Kelangsungan itu demi mencapai suatu tujuan
(Winkels, 1987). Motivasi belajar memegang peranan penting dalam
memberikan gairah, semangat dan rasa senang dalam belajar sehingga yang
mempunyai motivasi tinggimempunyai energi yang banyak untuk
melaksanakan kegiatan belajar. Siswa yang mempunyai motivsi tinggi sangat
sedikit yang tertinggal belajarnya dan sangat sedikit pula kesalahan dalam
belajarnya (Palardi, 1975).
Secara garis besar motivasi dapat dibedakan menjadi dua ialah
intrinsik dan ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah motivsi yang berasal dari
dalam tanpa ada ransangan dari luar, sedangkan motivasi ekstrinsik adalah
motivasi yang berasal dari luar.
Ada beberapa ciri siswa yang memiliki motivasi belajar yang tinggi.
Ini dapat dikenali melalui pros belajar mengajar di kelas, sebagaimana
dikemukakan Brown (1981) sebagai berikut : menarik kepada guru, artinya
tidak membenci atau bersikap acuh tak acuh, tertarik pada mata pelajaran yang
diajarkan, mempunyai antusias yang tinggi serta mengendalikan perhatiannya
terutama kepada guru, ingin selalu bergabung dalam kelompok kelas, ingin
identitas dirinya diakui oleh orang lain, tindakan, kebiasaan, dan moralnya
selalu dalam kontrol diri, selalu mengingat pelajaran dan mempelajarinya
kembali, dan selalu terkontrol oleh lingkungannya.
Soedirman (1986) mengemukakan bahwa ciri-ciri motivasi yang ada
pada diri seseorang antara lain : akan tekun dalam menghadapi tugas, dapat
bekerja secara terus menerus dalam waktu lama, ulet dalam menghadapi
kesulitan, tidak mudah putus asa, tidak cepat puas atas prestasi yang diperoleh,
menunjukkan minat yang besar terhadap bermacam-macam masalah belajar,
lebih suka bekerja sendiri dan tidak bergantung kepada orang lain, tidak cepat
bosan dengan tugas-tugas yang rutin, dapat mempertahankan pendapatnya,
tidak mudah melepaskan apa yang diyakini, senang mencari dan memecahkan
masalah.
Beberapa upaya yang dapat ditempuh untuk memotivasi siswa agar belajar
ialah :
a. Kenalkan siwa pada kemampuan yang ada pada dirinya sendiri. Dengan
mengenalkan kemampuan dirinya, siswa akan tahu kelebihan dan
kekurangannya. Dengan mengetahui kelebihan dirinya, ia mengukuhkan
dan memperkuat kelebihan tersebut. Dengan mengetahui kekurangan yang
ada pada dirinya, siswa akan menyempurnakan melalui aktivitas belajar.
Disini siswa akan tumbuh motivasi belajarnya.

32
b. Bantulah siswa untuk merumuskan tujuan belajarnya. Sebab, dengan
merumuskan tujuan belajar ini, siswa akan mendapatkan jalan yang jelas
dalam melaksanakan aktivits belajar. Siswa juga akan mempunyai target-
target belajar, dan ia berusaha untuk mencapainya.
c. Tunjukkan kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas yang dapat
mengarahkan bagi pencapaian tujuan belajar. Dengan ditunjukkan
aktivitas-aktivitas yang dapat mencapai tujuan, siswa tersebut tidak akan
melakukan aktivitas lain yang tidak ada kaitannya dengan pencapaian
tujuan dan target belajar. Dengan cara demikian waktu dan tenaga siswa
dapat secara efektif dan efisien dipergunakan mencapai target belajarnya.
d. Buatlah variasi-variasi dalam kegiatan belajar mengajar, supaya siswa
tidak bosan. Sebab, kebosanan pada diri siswa, termasuk dalam aktivitas
belajar, hanya akan memperlemah motivasi saja.
e. Adakan evaluasi terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh siswa.
Sebab, evaluasi yang dilakukan terhadap keberhasilan belajar siswa ini,
akan mendorong siswa untuk belajar, karena ingin dikatakan berhasil
belajarnya.
f. Berikan umpan balik terhadap tugas-tugas yang diberikan dan evaluasi
yang telah dilakukan. Dengan adanya umpan balik, siswa akan mengetahui
mana aktivitas belajarnya yang benar dan mana yang kurang benar, mana
pekerjaannya yang sesuai dan mana pekerjaannya yang tidak sesuai.

2. Bahan Belajar dan Upaya Penyediaannya


Bahan belajar sangat penting bagi siswa yang melakukan aktivitas
belajar. Tanpa ada yang dipelajari, kemungkinan siswa tidak bisa belajar
dengan baik. Oleh karena itu, supaya siswa dapat belajar dengan baik, maka
bahan blajar ini harus tersedia.
Yang dimaksud bahan belajar ialah sesuatu yang harus dipelajari oleh
pembelajar dalam melaksanakan aktivitas belajarnya. Bahan ini, bisa berasal
dari guru, bisa berasal dari buku-buku teks, paper, majalah, artikel, disamping
dapat berasal dari lapangan objek tertentu.
Penyediaan bahan belajar ini sangat bergantung kepada tujuan belajar,
karakteristik siswa, siasat belajar yang harus ditempuh oleh siswa dan faktor
ketersediaan tidaknya bahan belajar. Jika tujuan belajar yang ingin ditempuh
diaksentuasikan pada penguasaan pengetahuan, mungkin bahan belajarnya
akan lain dengan tujuan belajar yang diaksentuasikan pada penguasaan
konsep-konsep, maka penyediaan bahan belajarnya lain sekali dengan tujuan
belajar yang dimaksudkan untuk memperoleh pengalaman langsung.
Karakteristik siswa juga mempengaruhi penyediaan bahan belajar. Pada siswa
yang bertipe auditif, mungkin membutuhkan bahan belajar yang berlainan
dengan siswa yang bertipe visual.
Siasat belajar yang harus ditempuh oleh siswa juga menetukan bahan
belajarnya. Siasat belajar dimana guru menjadi tokoh sentralnya, umumnya

33
gurulah yang menjadi penyedia bahan blajar. Bahkan dalam siasat semacam
ini siswa menggantungkan bahan belajar yang dipelajari dari ceramah atau
penyampaian yang dilakukan oleh gurunya. Sementara siasat belajar dimana
siswa diharapkan bisa belajar secara mandiri, bahan tersebut telah disediakan
secara utuh sekaligus beserta petunjuk atau cara mempelajarinya. Pengajaran
dengan bahan belajar modul dan bahan belajar buku teks, adalah sekian dari
banyak contoh dan siasat belajar mendiri oleh siswa.
Apapun faktor yang menentukan bahan belajar ini, akhirnya juga
bergantung kepada faktor ketersedian tidaknya. Mudajh didapatkan tidaknya
bahan belajar ini, sangat menentukan penyediaan bahan belajar. Apalagi kalau
sulit atau tidak mudah didapatkan, maka penyediaan bahan belajar ini sangat
repot.
Sungguhpun demikian, bahan belajar bagi siswa haruslah diupayakan
penyediaannya. Dalam penyediaan bahan belajar ini, faktor-faktor yang harus
menjadi pertimbangan adalah :
a. Cukup menarik. Ini patut menjadi pertimbangan, agar bahan belajar
tersebut menggugah rasa ingin tahu siswa dan menimbulkan hasrat belajar.
Jika bahannya sendiri tidak menarik, maka cara penyajiannya yang
menarik. Jadi kalau bahan belajar tersebut terpaksa tidak menarik, haruslah
dikemas dengan menggunakan kemasan yang menarik.
b. Isinya relevan. Relevan isi ini lazimnya dikaitkan dengan tujuan belajar.
Isi bahan belajar haruslah mendukung dan memberikan kontribusi bagi
pencapaian tujuan belajar. Relevan isi ini, juga berkaitan dengan faktor
kondisional dan situiasional siswa.
c. Mempunyai sekuensi yang tepat. Sekuensi atau urutan penyajian ini sangat
penting diperhatikan dalam penyediaan bahan belajar. Seharusnya
sekuensi bahan ini dari yang sederhana menuju ke yang kompleks.
d. Informasi yang dibutuhkan ada. Ini sangat penting agar bahan belajar yang
akan dipelajari tersebut tidak kering.
e. Ada soal latihan. Ini sangat penting, agar siswa dapat menguji diri sendiri,
seberapa banyak ia telah menguasai bahan yang dipelajari.
f. Ada jawaban kunci untuk soal latihan. Kegunaan kunci jawaban bagi soal
latihan ini adalah siswa dapat mencocokan hasil-hasil latihannya dengan
kunci.
g. Ada tes yang sesuai. Tes yang yang sesuai ini tentu bergantung pada bahan
belajarnya.
h. Terdapat petunjuk untuk mengadakan perbaikan. Bahan belajar harus
dilengkapi dengan petunjuk bagaimana siswa harus memperbaiki
belajarnya, jika ada di antara bahan belajar yang belum terkuasai.
i. Ada petunjuk lanjutan untuk mempelajari bahan selanjutnya. Setelah
berhasil menguasai bahan belajar tertentu siswa tidak akan menunggu
petunjuk guru untuk mempelajari bahan selanjutnya.

34
3. Alat Bantu Belajar dan Upaya Penyediaannya
Alat bantu belajar termasuk salah satu unsur dinamis dalam belajar,
kesusukannya juga penting, oleh karena dapat membantu terhadap belajar
siswa. Dengan sebuah alat bantu bahan belajar yang abstrak bisa konkrit.
Dengan alat bantu bahan belajar yang tidak menarik bisa menjadi menarik.
Dengan alat bantu bahan belajar yang meragukan dapat diyakinkan karena
dapat dibuktikan secara empirik. Alat bantu belajar lazim juga disebut media
belajar dan piranti belajar, meskipuntidak semua media belajar dapat berfungsi
sebagai alat bantu. Alat bantu belajar ada kalanya dapat dibeli di toko-toko
buku atau stationary, tetapi adakalnya dibuat sendiri oleh pembelajar bersama-
sama dengan gurunya. Pada kasus yang pertama pembelajar mendapatkan
secara given.
Hal-hal yang dapat dijadikan patokan dalam upaya menyediakan alat
bantu belajar adalah :
a. Jenis kemampuan apa yang ditargetkan untuk dikuasai oleh pembelajar.
b. Faktor ketersediaan alat bantu tersebut.
c. Faktor keterjangkauannya.
d. Kepraktisan dan daya tahan alat bantu.
e. Keefektifan dan keefisienan alat bantu.
Contoh alat bantu sederhana adalah pena, pensil, papan tulis, kapur
tulis, penggaris, penghapus. Contoh alat bantu yang penggunaannya
membutuhkan keterampilan tertentu adalah skala, rubrik, jangka, OHP, video,
tape recorder, dan media audiovisual lainnya. Beberapa upaya penyediaan
bahan antara lain :
a. Pembelian, jika mampu
b. Pengajuan kepada pemerintah
c. Permohonan bantuan melalui sponsor
d. Membuat sendiri, jika bisa
e. Menggerakan dan mengajak para pembelajar untuk mencipatakan dengan
memanfaatkan alam sekitar

4. Suasana dan Upaya Pengembangannya


Dalam pandangan tradisional suasana belajar yang kondusif adalah jika
di dalam sebuah kelas terasa tenang sementara para siswa bisa mendengarkan
apa yang diceramahkan gurunya. Oleh karena itu pandangan tradisional
tersebut maka kelas yang baik dalam belajar mengajar adalah kelas yang
siswanya duduk dengan tenang, berdiam diri sambil mendengarkan pengajaran
yang dilakukan oleh guru. Umumnya, siswa tidak berani mengajukan
pertanyaan terhadap hal-hal yang diceramahkan guru, kecuali guru telah
memberikan kesempatan.
Dalam pandanagan sekarang suasana belajar yang kondusif adalah
suasana yang mendukung bagi terciptanya kegiatan belajar. Yaitu suasana
yang interaktif dimana para siswa giat belajar, suasana yang interaktif belajar

35
di dalamnya, tentu tidak dibatasi ketika ditunggui oleh gurunya. Pada saat
guru sedang menunggui misalnya saja, siswa tetap aktif dan giat belajar.
Suasana belajar yang kondusif demikian tidak terjadi dengan sendirinya. Ia
harus dirancang oleh guru melalui sebuah rancangan pengajaran sebuah
suasana belajar dikatakan kondusif manakala :
a. Siswa tekun mengerjakan sesuatu yang semestinya dikerjakan
b. Siswa aktif berinteraksi tidak hanya dengan gurunya melainkan aktif
berinteraksi dengan siswa-siswa lain
c. Siswa secara bebas mengerjakan segala hal yang dapat mencapai tujuan
belajarnya
d. Kreativitas siswa mendapatkan penghargaan yang yang sepantasnya, dan
bahkan sebaliknya.

Agar suasana belajar tersebut kondusif, maka upaya-upaya yang dapat


dilakukan :
a. Buatlah kontak pengajaran dengan para siswa
b. Rancanglah aktivitas belajar siswa
c. Berikan kebebasan kepada siswa untuk mengemukakan pendapatnya
d. Buatlah suasana yang demokratis agar tidak menakutkan bagi para siswa
dalam beraktivitas
e. Rancanglah ruangan belajar sefleksibel mungkin hingga mudah dirubah-
rubah.
f. Jangan gampang memberikan hukuman terhadap siswa, lebih-lebih jika
kepada siswa yang belum tentu bersalah
g. Hargailah siswa-siswa yang mencoba cara-cara dan metode-metode baru

5. Kondisi Subjek Pembelajar dan Upaya Penyiapan Dan Peneguhannya


Kondisi subjek belajar sebenarnya berbeda-beda. Kondisi subjek
belajar yang kelihatannya sama pun, manakala diteliti lebih dalam akan
kelihatan perbedaannya. Oleh karena itu, dalam kelompok siswa yang
homogen pun, sebenarnya kalau dilihat lebih dalam akan tampak
heterogenitasnya. Kondisi subjek belajar dapat dibedakan atas hal-hal yang
bersifat lahiriah, dan hal-hal yang bersifat batiniah atau hal-hal yang bersifat
fisik dan hal-hal yang bersifat psikologis. Dari segi lahiriah atau fisik, subjek
belajar bisa berbeda : ukuran tubuhnya, kekuatan tubuhnya, kesehatan
fisiknya, daya tahan fisiknya, kesegaran dan kebugaran jasmaninya. Mereka
yang berada pada kondisi lebih, misalnya lebih besar/tinggi, lebih kuat, lebih
sehat, lebih tinggi daya tahannya, dan lebih segar bugar, umumnya lebih
mendukung pada aktivitas belajarnya dibandingkan dengan mereka yang
berada pada posisi kurang.
Dari segi psikis, kondisi subjek belajar juga berbeda dari segi :
intelegensinya, bakatnya, militansi kerjanya, motivasi intrinsik atau motivasi
berprestasinya, kematangan aspirasinya dan punya ambisi-ambisi.

36
Mereka yang punya intelegensi tinggi umumnya lebih gampang
berhasilnya dibandingkan yang berintelegensi rendah. Demikian juga yang
mempunyai bakat khusus, yang tinggi militansi kerjanya, yang tinggi motivasi
intrinsiknya, yang besar ambisinya dan yang lebih stabil emosinya.
Oleh karena beragamnya kondisi subjek belajar tersebut, dan tidak
senantiasa menetapnya kondisi belajar tersebut, maka harus ada upaya-upaya
untuk menyiapkan mereka dan sekaligus meneguhkannya. Dengan penyiapan
yang terancang dan dengan upaya-upaya peneguhan diharapkan mendukung
aktivitas belajar. Upaya yang dapat dilakukan untuk mempersiapkan kondisi
subjek belajar khususnya dari segi fisiknya adalah :
a. Memenuhi subjek belajar dengan gizi dan nutrisi-nutrisi yang diperlukan
b. Penyegaran fisik subjek belajar dengan olahraga atau latihan-latihan fisik
seperti senam
c. Memeriksakan tubuh subjek belajar secara teratur kepeda dokter agar
dapat dicegah timbulnya penyakit yang memungkinkan terganggunya
belajar mengajar

Sementara itu, upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mempersiapkan


psikis subjek belajar adalah :
a. Memperkenalkan dengan lingkungan belajar yang mungkin baru bagi
mereka
b. Memelihara keseimbangan emosi mereka, agar secara psikologis mereka
merasa aman
c. Mengasah kondisi psikis mereka dengan latihan-latihan
d. Menerima mereka apa adanya dengan segala kelebihan dan kekurangannya
sehingga subjek belajar tidak merasa tertolak oleh lingkungannya

4. PENGERTIAN DAN CIRI-CIRI PEMBELAJARAN


4.1 Pengertian Pembelajaran Yang Ditarik Dari Pengertian Popular
Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur
manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang saling
mempengaruhi mencapai tujuan pembelajaran. Manusia terlibat dalam sistem
pengajaran terdiri dari : siswa, guru dan tenaga lainnya, misalnya tenaga
laboratorium. Material meliputi buku-buku , papan tulis dan kapur, fotografi, slide,
film audio dan video tape. Fasilits dan perlengkapan terdiri dari ruang kelas,
perlengkapan audio visual juga komputer. Prosedur meliputi jadwal dan metode
penyampaian informasi, praktek, belajar, ujian dan sebagainya. Rumusan tersebut
tidak terbatas dalam ruang saja. Sistem pembelajaran dapat dilaksanakan dengan
cara membaca buku, belajar di kelas, atau di sekolah, karena diwarnai dengan
organisasi dan interaksi antara berbagai komponen yang saling berkaitan untuk
pembelajaran peserta didik.

37
4.2 Pengertian pembelajaran yang ditarik dari pengertian belajar menurut ahli
psikologi
Istilah belajar dan mengajar adalah dua peristiwa yang berbeda tetapi terdapat
hubungan yang erat, bahkan terjadi dan kaitan saling mempengaruhi dan saling
menunjang satu sama lain. Banyak ahli yang telah merumuskan pengertian
mengajar berdasarkan pandangannya masing-masing. Perumusan dan tinjauan itu
masing-masing memiliki kebaikan dan kelemahan. Berbagai rumusan yang ada
pada dasarnya berlandaskan pada teori tertentu.

a. Mengajar adalah upaya menyampaikan pengetahuan kepada peserta


didik/siswa di sekolah
Rumusan ini sesuai dengan pendapat dalam teori pendidikan yang
mementingkan mata ajaran yang harus dipelajari oleh peserta didik. Dalam
rumusan ini terkandung konsep-konsep sebagai berikut :
1. Pembelajaran merupakan persiapan di masa depan
Masa depan kehidupan anak ditentukan oleh orang tua. Mereka
dianggap paling mengetahui apa dan bagaimana kehidupan itu. Itu
sebabnya, orang tua berkewajiban menentukan akan dijadikan apa peserta
didik. Sekolah berfungsi mempersiapkan mereka agar mampu hidup dalam
masyarakat yang akan datang.
2. Pembelajaran merupakan proses penyampaian pengetahuan
Penyampaian pengetahuan dilaksanakan dengan menggunakan metode
imposisi, dengan cara menuangkan pengetahuan kepada siswa. Umumnya
guru menggunakan metode “formal step” dari J. Herbart berdasarkan atas
asosiasi dan reproduksi atas tanggapan/kesan. Cara penyampaian
pengetahuan tersebut berdasarkan ajaran dalam psikologi asosiasi.
3. Tinjauan utama pembelajaran ialah penguasaan pengetahuan
Pengetahuan sangat penting bagi manusia. Barang siapa menguasai
pengetahuan, maka dia dapat berkuasa : “knowledge is power”.
Pengetahuan bersumber dari perangkat mata ajaran yang disampaikan di
sekolah. Para pakar yang mendukung teori ini berpendapat bahwa mata
ajaran berasal dari pengalaman-pengalaman orang tua, masa lampau yang
berlangsung sepanjang kehidupan manusia. Pengalaman-pengalaman itu
diselidiki, disusun secara sistematis dan logis, sehingga tercipta yang kita
sebut mata ajaran (H. Alberty 1953). Mata ajaran itu diuraikan, disusun
dan dimuat dalam buku pelajaran dan berbagai referensi lainnya.
4. Guru dipandang sebagai orang yang sangat berkuasa
Peranan guru sangat dominan. Dia menetukan segala hal yang
dianggap tepat untuk disajikan kepada siswanya. Guru dipandang sebagai
orang yang serba mengetahui, berarti guru adalah yang paling pandai. Dia
mempersiapkan tugas-tugas memberikan latihan-latihan dan menentukan
peraturan kemajuan tiap siswa.
5. Siswa selalu bersikap dan bertindak pasif

38
Siswa dianggap sebagai tong kosong, belum mengetahui apa-apa. Dia
hanya menerima apa yang dibeikan oleh gurunya. Siswa bersikap sebagai
pendengar, pengikut, pelaksana tugas. Kebutuhan, minat, tujuan, abilitas,
dan hal-hal lain yang dimiliki oleh siswa diabaikan dan tidak mendapat
perhatian guru.
6. Kegiatan pembelajaran hanya berlangsung dalam kelas
Pembelajaran dilaksanakan dalam batas-batas ruang kelas saja,
sedangkan pembelajaran di luar kelas tak pernah dilakukan. Tembok
sekolah menjadi benteng yang kuat yang membatasi hubungan-hubungan
dengan kehidupan masyarakat. Para siswa duduk pada bangku yang berdiri
kokoh, tak bisa dipindah-pindahkan. Mereka duduk dengan rapi dan kaku
secara rutin setiap hari. Ruangan kelas dipandang sebagai ruang
penyelamat, ruang pemberi kehidupan. Belajar dalam batas-batas ruangan
itu adalah yang paling baik. Wrighstone berkata sebagai berikut :
.......... the immediate implications of the older principles when they are
applied to the classroom :
(1) The classroom is a restrukted from of social life, and children’s
experiences are limited there in to academik lessons.
(2) The qukkest an most through method of learning lessons is to allot
acertain portion of the school day it instruction in separate subjects.
(3) Children’s interst whkh do not confrom to the set curriculum should be
the regarded.
(4) The real objectives of classroom instruction, consist to a belajar degree
in the aguisition of the content matter of each subject.
(5) Teaching the conventional subjects is the wisest method of achieving
social progress (J. Wayner Wrighstone).

b. Mengajar adalah mewariskan kebudayaan kepada generasi muda melalui


lembaga pendidikan sekolah
Rumusan ini bersifat lebih umum ila dibandingkan dengan rumusan
pertama, namun antara keduanya memiliki pola pikiran yang seirama.
Implikasi dari rumusan ini adalah sebagai berikut :
1. Pembelajaran bertujuan membentuk manusia yang berbudaya
Peserta didik hidup dalam pola kebudayaan masyarakatnya. Manusia
berbudaya adalah manusia yang mampu hidup dalam pola tersebut. Peserta
didik diajar agar memilki kemampuan dan kepribadian sesuai dengan
kehidupan budaya masyarakat itu.
2. Pembelajaran berarti suatu proses pewarisan
Para siswa dipandang sebagai keturunan orang tua dan orang tua
adalah keturunan neneknya dan seterusnya, demikian terus terjadi proses
turun temurun. Dengan sendirinya apa yang dimilki oleh nenek moyang
pada masa lampau itu harus diwariskan kepada keturunan berikutnya.
Upaya pewarisan itu dilakukan melalui berbagai prosedur : pengajaran,

39
media hubungan pribadi dan sebagainya. Bila dilakukan melalui
pengajaran, maka proses yang telah dikemukakan dalam proses perumusan
pertama berlaku dan dilaksanakan dengan teknik yang sama.
3. Bahan pembelajaran bersumber dari kebudayaan
Yang termasuk kebudayaan adalah kebiasaan orang berpikir dan
berbuat seperti : kehidupan keluarga, cara menyediakan makanan, bahasa,
penerintahan, ukuran moral, kepercayaan agama, dan bentuk-bentuk
ekspresi seni. Kebudayaan merupakan kumpulan daripada warisan sosial
dalam masyarakat. Berdasarkan pada pengertian ini, kebudayaan itu
bersifat non material, dan bersifat abstrak, ada dalam kepribadian dan jiwa
manusia. Benda-benda bersifat material sesungguhnya adalah hasil dari
keterampilan manusia (Worcester, 1969). Kebudayaan dan hasil
kebudayaan diwariskan kepada siswa yang umumnya berupa benda-benda
dan non benda, tertulis dan lisan, dan berbagai bentuk tingkah laku dan
norma dan lain-lain.
4. Siswa sebagai generasi muda ahli waris kebudayaan
Generasi muda berfungsi sebagai generasi penerus. Mereka perlu
dipersiapkan sedemikian rupa agar benar-benar siap melanjutkan hasil
yang telah dicapai oleh generasi yang ada sekarang. Kebudayaan yang
diwariskan kepada mereka harus dikuasai dan dikembangkan, sehingga
mereka menjadi warga masyarakat yang lebih berbudaya. Dalam hal ini,
diakui bahwa anak sedang berada dalam tahap perkenbangan dan menuju
ke tingkatan yang lebih dewasa, dalam arti, menjadi manusia yang
berbudaya. Mereka harus mampu memanfaatkan teknologi, sebagai aspek
dari kebudayaan untuk kehidupannya. Serta mampu mengadakan
penemuan-penemuan baru, mengembangkan kebudayaan yang telah ada.

c. Pembelajaran adalah upaya mengorganisasi lingkungan untuk menciptakan


kondisi belajar bagi peserta didik
Rumusan ini dianggap lebih maju dibandingkan dengan rumusan
terdahulu, sebab lebih menitikberatkan pada unsur peserta didik, lingkungan
dan proses belajar. Perumusan ini sejalan dengan pendapat dari Me. Donald,
yang mengemukakan sebagai berikut :
“Educational, inthe sense used here, is a process or an activity whkh is
directed at producing desirable changes inthe behavior of human beings” (Me.
Donald, 1959).
Artinya : pendidikan adalah suatu proses atau kegiatan yang bertujuan
menghasilkan perubahan tingkah laku manusia. Implikasi dari pengertian
tersebut adalah sebagai berikut :
1. Pendidikan bertujuan mengembangkan atau mengubah tingkah laku
peserta didik.
Pribadi adalah suatu sistem yang bersifat unik, terintegrasi dan
terorganisasi yang meliputisemua jenis tingkah laku individu. Pada

40
hakikatnya pribadi tidak lain daripada tingkah laku itu sendiri. Kepribadian
mempunyai ciri-ciri :
(1) Berkembang secara berkelanjutan sepanjang hidup manusia
(2) Pola organisasi kepribadian berbeda-beda untuk setiap orang dan
bersifat unik
(3) Kepribadian bersifat dinamis, terus berubah melalui cara-cara tertentu
Tingkah laku manusia memilki dua aspek, yakni :
(1) Aspek objektif, yang bersifat struktural, yakni aspek jasmaniah
(2) Aspek subjektif, yang bersifat fungsional, yakni aspek rohaniah
2. Kegiatan pembelajaran berupa pengorganisasian lingkungan
Perkembangan tingkah laku seseorang adalah berkat pengaruh dari
lingkungan. Lingkungan kita artikan secara luas, yang terdiri dari
lingkungan alam dan lingkungan sosial. Lingkungan sosial sering lebih
berpengaruh terhadap tingkah laku seseorang. Melalui interaksi antara
individu dan lingkungannya, maka siswa memperoleh pengalaman yang
pada gilirannya berpengaruh terhadap perkembangan tingkah lakunya. Hal
ini sesuai dengan pendapat bahwa pendidikan adalah suatu proses
sosialisasi dimana anak didik disiapkan sesuaidengan norma-norma yang
berlaku dalam masyarakat sekitarnya. Sekolah berfungsi menyediakan
lingkungan yang dibutuhkan bagi perkembangan tingkah laku siswa,
antara lain menyiapkan program belajar, bahan belajar, metode mengajar,
alat mengajar dan lain-lain. Selain dari itu, pribadi guru sendiri, suasana
kelas, kelompok siswa, lingkungan di luar sekolah, semua menjadi
lingkungan belajar yang yang bermakna bagi perkembangan siswa.
3. Peserta didik sebagai suatu organisme yang hidup
Peserta didik memiliki berbagai potensi yang siap untuk berkembang,
misalnya kebutuhan, minat, tujuan, abilitas, intelegensi, emosi dan lain-
lain. Tiap individu peserta didik mampu berkembang menurut pola dan
caranya sendiri. Mereka dapat melakukan berbagai aktivitas dan
mengadakan interaksi dengan lingkungannya.
Aktivitas belajar sesungguhnya bersumber dari dalam diri peserta
didik. Guru berkewajiban menyediakan lingkungan yang serasi agar
aktivitas itu menuju ke arah tujuan yang diinginkan. Dalam hal ini guru
bertindak sebagai organisator belajar bagi siswa yang potensial itu,
sehingga tercapai tujuan pembelajaran secara optimal.
d. Pembelajaran adalah upaya mempersiapkan peserta didik untuk menjadi warga
masyarakat yang baik
Rumusan ini didukung oleh para pakar yang menganut pandangan
bahwa pendidikan itu berorientasimpada kebutuhan tuntutan masyarakat.
Implikasi dari rumusan/pengertian ini, adalah sebagai berikut :
1. Tujuan pembelajaran
Pembentukan warga negara yang baik adalah warga negara yang dapat
bekerja di masyarakat. Seorang warga negara yang baik bukan menjadi

41
kosumen, tetapi yang lebih penting ialah menjadi seorang produsen. Untuk
menjadi seorang produsen, maka dia harus memiliki keterampilan berbuat
dan bekerja, menghasilkan barang-barang dan benda kebutuhan
masyarakat. Motto yang dikemukakan : “benign habitat for good living’,
artinya seorang warga negara yang baik bila dapat menyumbangkan
dirinya kepada kehidupan yang baik.
2. Pembelajaran berlangsung dalam suasana kerja
Program pembelajaran diselenggarakan dalam suasana kerja, dimana
para siswa mendapat latihan dan pengalaman praktis. Karena itu, suasana
yang diperlukan adalah suasana yang aktual, seperti dalam keadaan yang
sesungguhnya. Para siswa mengerjakan hal-hal menarik minatnya dan
sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
3. Peserta didik/siswa sebagai calon warga negara yang memilki potensi
untuk bekerja
Siswa memilki bermacam kemampuan, minat, dan kebutuhan ntara
lain kebutuhan ingin berdiri sendiri, ingin punya pekerjaan. Siswa tidak
menginginkan berdiam dengan pasif, semua ingin melakukan kegiatan,
bemain, atau bekerja. Energi mereka perlu mendapat penyaluran
sebagaimana mestinya. Jikalau energi itu tidak disalurkan, maka dapat
menyebabkan tingkah laku yang tidak diharapkan. Perumusan atas
kebutuhan itu, pengembangan minat dan sifat, penyaluran energi yang
berlebihan sebaiknya dilakukan dengan cara menyediakan kesempatan
bekerja, mencari pengalaman yang praktis, dan memupuk keterampilan
jasmaniah-rohaniah. Dengan berkembang kemampuan kerja, maka
tuntutan dan harapan masyarakat dipenuhi. Pada dasarnya tidak ada
masyarakat yang menginginkan anak-anaknya menjadi barisan
penganggur.
4. Guru sebagai pimpinan dan pembimbing bengkel kerja
Sesuai dengan tujuan tersebut, sekolah merupakan suatu ruang
workshop dan karenanya guru harus mampu memimpin dan membimbing
siswa belajar bekerja dalam bengkel sekolah. Guru-guru harus menguasai
program keterampilan khusus dan menguasai strategi pembelajaran
keterampilan, serta menyediakan proyek-proyek kerja yang menciptakan
berbagai kesibukan yang bermakna. Dalam hal ini, peranan guru dalam
sekolah komprehensif adalah sangat penting.
e. Pembelajaran adalah suatu proses membantu siswa menghadapi kehidupan
masyarakat sehari-hari
Pandangan ini didukung oleh para pakar yang berorientasi pada
kehidupan masyarakat. Sekolah dari masyarakat adalah suatu integrasi.
Pendidikan adalah di sini dan sekarang ini (G.E Olson. 1945).implikasi dari
pengertian ini adalah sebagai berikut :

42
1. Tujuan pembelajaran ialah mempersiapkan siswa untuk hidup dalam
masyarakat
Sekolah berfungsi menyiapkan siswa untuk menghadapi berbagai
masalah dalam kehidupan, mereka bukan dipersiapkan untuk menghadapi
masa depan yang masih jauh, 10 atau 20 tahun ke depan, melainkan untuk
memecahkan masalah sehari-hari dalam lingkungannya, di rumah dan di
masyarakat.
2. Kegiatan pembelajaran berlangsung dalam hubungan sekolah dan
masyarakat
Masyarakat diartikan sebagai laboratorium belajar yang paling besar.
Sumber-sumber masyarakat tak pernah habis sebagai sumber belajar.
Prosedur penyelenggaraan ialah dengan membawa siswa ke dalam
masyarakat dengan karyawisata, survei, berkemah, dan lain-lain, atau
dengan cara membawa masyarakat ke dalam sekolah sebagai narasumber.
Dengan demikian, masyarakat akan memberikan sumbangan yang besar
terhadap pendidikan anak, dan sebaliknya, sekolah akan memberikan
bantuan dalam memecahkan masalah-masalah dalam masyarakat. Sekolah
juga berfungsi turut memperbaiki kehidupan masyarakat sekitarnya.
3. Siswa belajar secara aktif
Siswa bukan saja aktif belajar di laboratorium sekolah, mencari
pengalaman kerja dalam berbagai lapangan kehidupan, tapi juga aktif
bekerja langsung di masyarakat. Dengan cara ini, semua potensi yang
mereka miliki menjadi hidupdan berkembang. Siswa turut merencanakan,
berdiskusi, meninjau, membuat laporan, dan lain-lain, sehingga
perkembangan pribadinya selaras dengan kondisi lingkungan
masyarakatnya.
4. Guru bertugas sebagai komunikator
Guru juga bertugas sebagai penghubung antara sekolah dan
masyarakat. Guru mempersiapkan rencana awal pembelajaran, kemudian
menyusun rencana lengkap bersama para siswa sebagai persiapan
melaksanakan di lapangan. Guru harus mengenal dengan baik keadaan
masyarakat sekitarnya, supaya dapat menyusun proyek kerja bagi para
siswa. Lalu melakukan inventarisasi masalah-masalah yang muncul dalam
masyarakat, kemudian diupayakan pemecahannya. Peranan sebagai
komunikator, bukan saja memerlukan pengetahuan dalam bidang
pendidikan dan apresiasi, namun diperlukan pula keterampilan
berintegerasi dan bekerja sama dengan masyarakat. Berdasarkan teori-teori
tersebut semakin jelaslah bahwa kegiatan dan proses pembelajaran itu
sangat kompleks. Pandangan-pandangan yang telah dibahas itu, akan
menjadi lebih jelas setelah mempelajari uraian-uraian berikutnya.

43
4.3 Ciri-Ciri Pembelajaran
Ada tiga ciri khas yang terkandung dalam sistem pembelajaran, antara lain
adalah :
1. Rencana, ialah penataan ketenagaan, material, dan prosedur yang merupakan
unsur-unsur sistem pembelajaran, dalam suatu rencana khusus.
2. Kesalingtergantungan (interdependence), antara unsur-unsur sistem
pembelajaran yang serasi dalam suatu keseluruhan. Tiap unsur
bersifatessensial, dan memberikan sumbangannyakepada sistem pembelajaran.
3. Tujuan, sistem pembelajaran mempunyai tujuan tertentu yang hendak dicapai.

Cara ini menjadi dasar perbedaan antara sistem yang dibuat oleh manusia dan
sistem yang alami (natural). Sistem yang dibuat oleh manusia seperti : sistem
transportasi, sistem komunikasi, sistem pemerintahan, semuanya memilki tujuan.
Sistem alami (natural) seperti : sistem ekologi, sistem kehidupan hewan, memiliki
unsur-unsur yang saling ketergantungan satu sama lain, disusun sesuai dengan
rencana tertentu, tetapi tidak mempunyai tujuan tertentu. Tujuan sistem menuntun
proses merancang sistem. Tujuan sistem pembelajaran agar siswa belajar. Tugas
seorang perancang sistem ialah mengorganisasi tenaga, material, dan prosedur agar
siswa belajar secara efisien dan efektif. Dengan proses mendesain sistem
pembelajaran si perancang membuanrancangan untuk memberikan kemudahan
dalam upaya mencapai tujuan sistem pembelajaran tersebut.

5. TUJUAN DAN UNSUR-UNSUR DINAMIS DALAM PEMBELAJARAN


5.1 Tujuan Pembelajaran Yang Menunjang Tercapainya Tujuan Belajar
Pembelajaran dimaksudkan terciptanya suasana sehingga siswa belajar.
Tujuan pembelajaran haruslah menunjang dan dalam tercapainya tujuan belajar.
Dahulu, ketika pembelajaran dimaksudkan sebagai kadar penyampaian ilmu
pengetahuan, pembelajaran tak terkait dengan belajar, termasuk tujuannya. Sebab,
jika guru telah menyampaikan ilmu pengetahuan, tercapailah maksud atauntujuan
pembelajaran tersebut.
Pembelajaran model dahulu itu, memang tidak dicoba dikaitkan dengan
belajar itu sendiri. Pembelajaran lebih dikonsentrasikan pada kegiatan guruvdan
tidak terkonsentrasi pada kegiatan siswa.
Jika pada masa sekarang ini pembelajaran dicoba dikaitkan dengan belajar,
maka dalam merancang aktivitas pembelajaran, guru harus belajar dari aktivitas
belajar siswa. Aktivitas belajar siswa harus dijadikan titik tolak dalam merancang
pembelajaran. Implikasi dari adanya keterkaitan antara kegiatan pembelajaran dan
kegiatan belajar siswa tersebut adalah tersusunnya tujuan pembelajaran yang dapat
menunjang tercapainyatujuan belajar. Muatan-muatan yang termaktub dalam
tujuan belajar, haruslah juga termaktub dalam tujuan pembelajaran.
Contoh konkrit tujuan pembelajaran yang kongruen dengan tujuan belajar adalah
sebagai berikut :
Tujuan belajar

44
Tujuan pembelajaran
 Setelah menelaah teks butir-butir pertama pancasila siswa dapat menjelaskan
kaitan antara butir pertama dengan butir kedua secara benar dengan
menggunakan kata-kata sendiri.
 Setelah siswa dibelajarkan dengan cara menelaah teks butir pertama pancasila
siswa dapat menjelaskan kaitan antara butir pertama dengan butir kedua secara
benar dengan menggunakan kata-kata sendiri.
 Setelah mengamati berbagai tumbuh-tumbuhan di kebun percobaan sekolah,
siswa dapat membedakan antara tumbuh-tumbuhan yang berkeping satu dan
yang berkeping dua.
 Setelah dibelajarkan dengan cara mengamati tumbuh-tumbuhan di kebun
percobaan sekolah, siswa dapat membedakan tumbuh-tumbuhan yang
berkeping satu dengan tmbuhan berkeping dua.
 Setelah siswa dibelajarkan dengan cara menelaah teks butir pertama pancasila,
siswa dapat menjelaskan kaitan antara butir pertama dengan butir kedua secara
benar dengan menggunakan kata-kata yang ada pada teks
 Setelah mengamati berbagai tumbuh-tumbuhan di kebun percobaan sekolah,
siswa dapat membedakan antara tumbuh-tumbuhan yang berkeping satu
dengan yang berkeping dua.
 Setelah dibelajarkan dengan cara membaca buku teks dan berdiskusi dengan
teman-temannya siswa dapat membedakan tumbuh-tumbuhan yang berkeping
satu dengan yang berkeping dua
 Setelah menelaah teks butir-butir pertama pancasila siswa dapat menjelaskan
kaitan antara butir pertama dengan butir kedua secara benar dengan
menggunakan kata-kata sendiri
 Setelah menelaah teks butir-butir pertama pancasila siswa dapat menjelaskan
kaitan antara butir pertama dengan butir kedua secara benar dengan
menggunakan kata-kata sendiri
 Setelah siswa dibelajarkan dengan cara menelaah teks butir pertama pancasila,
siswa dapat menjelaskan kaitan antara butir pertama dengan butir kedua secara
benar dengan menggunakan kata-kata yang ada pada teks

Dari contoh yang disebutkan tersebut sangatlah jelas, bahwa tujuan


pembelajaran yang kongruen dengan tujuan belajar siswa adalah :
1. Punya kesamaan tercapainya tujuan dari segi waktu, yaitu setelah siswa
belajar dan atau dibelajarkan.
2. Punya kesamaan tercapainya tujuan dari segi substansinya, yaitu siswa bisa
“apa” setelah belajar dan atau dibelajarkan.
3. Punya kesamaan tercapainya tujuan dari segi cara mencapainya.
4. Punya kesamaan takaran dalam pencapaian tujuan.
5. Punya kesamaan dari segi pusat kegiatan, yaitu sama-sama berada pada diri
siswa.

45
Agar tujuan pembelajaran yang kongruen dengan tujuan belajar tersebut jelas,
berikut disajikan contoh tujuan pembelajaran yang tidak kongruen dengan tujuan
belajar :
Contoh yang disebutkan tersebut, jelas menunjukkan tidak kongruen antara
tujuan pembelajaran dengan tujuan belajar. Oleh karena itu tujuan pembelajaran
demikian ini tidak menunjang pencapaian tujuan belajar. Ada perbedaan titik tekan
antara tujuan belajar dengan tujuan pembelajaran. Pada contoh pertama dan kedua,
substansi tujuan belajar telah dikacaukan oleh substansi tujuan pembelajaran.
Sedangkan pada contoh ketiga dan keempat tujuan belajar telah dikacaukan oleh
tujuan pembelajaran dari segi cara penyampaiannya.

5.2 Unsur-unsur dinamis pembelajaran kongruen dalam proses belajar


siswa/mahasiswa
a. Motivasi belajar menuntut sikap tanggap dari pihak guru serta kemampuan
untuk mendorong motivasi dengan berbagai upaya pembelajaran. Ada
beberapa prinsip yang dapat digunakan oleh guru dalam rangka memotivasi
siswa agar belajar, ialah :
1. Prinsip kebermaknaan, siswa termotivasi untuk mempelajari hal-hal yang
bermakna bagi dirinya.
2. Prasyarat, siswa lebih suka mempelajari sesuatu yang baru jika dia
memiliki pemngalaman prasyarat (prerekuisit).
3. Model, siswa lebih suka memperoleh tingkah laku baru bila disajikan
dengan suatu model prilaku yang dapat diamati dan ditiru.
4. Komunikasi terbuka, siswa lebih suka belajar bila penyajian ditata agar
pesan-pesan guru terbuka terhadap pendapat siswa.
5. Daya tarik, siswa lebih suka belajar bila perhatiannya tertarik oleh
penyajian yang menyenangkan/menarik.
6. Aktif dan latihan, siswa lebih senang belajar bila dapat berperan aktif
dalam latihan/praktik dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran.
7. Latihan yang terbagi, siswa lebih suka belajar bila latihan-latihan
dilaksanakan dalam jangka waktu yang pendek.
8. Tekanan instruksional, siswa lebih suka belajar terus bila kondisi
pembelajaran menyenangkan baginya.
9. Keadaan yang menyenangkan, siswa lebih suka belajar terus bila kondisi-
kondisi pembelajaran menyenangkan baginya.

b. Sumber-sumber yang digunakan sebagai bahan belajar terdapat pada :


1. Buku pelajaran yang sengaja disiapkan dan berkenaan dengan mata ajaran
tertentu. Bahan-bahan tersebut dapat berupa sumber pokok dan sumber
pelengkap. Pemilihan buku-buku sumber telah ditetapkan dalam pedoman
kurikulum dan berdasarkan pilihan guru berdasarkan pertimbangan

46
tertentu. Buku-buku tersebut mungkin telah tersedia di perpustakaan
sekolah atau harus dibeli di pasaran buku.
2. Pribadi guru sendiri pada dasarnya merupakan sumber tak tertulis dan
sangat penting serta sangat kaya dan luas, yang perlu dimanfaatkan secara
maksimal. Itu sebabnya, guru senantiasa diminta agar terus belajar untuk
memperkaya dan memperluas serta mendalami ilmu pengetahuan,
sehingga pada waktunya dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan belajar
yang berdaya guna bagi kepentingan proses belajar siswa.
3. Sumber masyarakat, juga merupakan sumber yang paling kaya bagi bahan
belajar siswa. Hal-hal yang tidak tertulis dalam buku dan belum terkuasai
oleh guru ternyata ada dalam masyarakat, berupa objek, kejadian dan
peninggalan sejarah. Hal-hal tersebut dapat digunakan sebagai bahan
belajar. Untuk itu, guru perlu menyiapkan program pembelajaran dalam
upaya memanfaatkan masyarakat sebagai sumber bahan belajar bagi
siswanya.

47
BAB III
PENDEKATAN CBSA DAN PENDEKATAN
KETERAMPILAN POSES DALAM PEMBELAJARAN

Setelah mempelajari isi dan menyelesaikan tugas-tugas dalam bab ini, anda diharapkan
mampu :

1. Menjelaskan pengertian pendekatan CBSA.


2. Menjelaskan rasionalisasi penerapan pendekatan CBSA dalam pembelajaran.
3. Mengidentifikasi kadar penerapan CBSA dalam pembelajaran.
4. Mengenal rambu-rambu penyelenggaraan CBSA dalam pengajaran.
5. Merancang CBSA dalam pembelajaran.
6. Menjelaskan rasionalisasi penerapan pendekatan keterampilan proses dalam
pembelajaran.
7. Menjelaskan pengertian pendekatan keterampilan proses dalam kaitannya dengan CBSA.
8. Mengenal kemampuan/keterampilan dasar yang prlu dilatihkan dalam penerapan
pendekatan keterampilan proses.
9. Merancang penerapan pendekatan keterampilan proses dalam suatu pembelajaran.

Latar Belakang
Penyelenggaraan pembelajaran merupakan salah satu tugas utama guru, dimana
pembelajaran dapat diartikan sebagai kegiatan yang ditunjukan untuk membelajarkan siswa.
Untuk dapat membelajarkan siswanya salah satu cara yang dapat ditempuh oleh guru ialah
dengan menerapkan pendekatan CBSA dan Pendekatan Keterampilan Proses (PKP) dalam
proses pembelajaran. Baik CBSA maupun PKP merupakan pendekatan pembelajaran yang
tersurat dan tersirat dalam kurikulum yang berlaku.
Anda sebagai calon guru, tentunya berkepentingan untuk mengetahui apa dan
bagaimana cara belajar siswa aktif itu serta apa dan bagaimana pula PKP. Sebagai calon
tenaga profesional, Anda tentu bertanya mengapa CBSA dan PKP ?

A. Pengertian Pendekatan CBSA


Setiap proses pembelajaran pasti menampakkan keaktifan orang yang belajar atau
siswa. Pernyataan ini tidak dapat kita bantah atau kita tolak kebenarannya. Adanya
kenyataan ini menyebabkan sulitnya mendefinisikan pengertian CBSA secara tepat.
Kepastian adanya keaktifan siswa dalam setiap proses pembelajaran, memberikan
kepastian kepada kita bahwa pendekatan CBSA bukanlah suatu hal yang dikotomis. Hal
ini berarti, setiap peristiwa pembelajaran yang diselenggarakan oleh guru dapat dipstikan
adanya penerapan pendekatan CBSA dan tidak mungkin tidak terjadi penerapan
pendekatan CBSA dalam peristiwa pembelajaran.
Keaktifan siswa dalam peristiwa pembelajaran mengambil beraneka bentuk
kegiatan, dari kegiatan fisik yang mudah diamati sampai kegiatan psikis yang sulit
diamati. Kegiatan fisik yang dapat diamati diantaranya dalam bentuk kegiatan membaca,
mendengarkan, menulis, meragakan, dan mengukur. Sedangkan contoh-contoh kegiatan
psikis seperti mengingat kembali isi pelajaran pertemuan sebelumnya, menggunakan
48
hasanah pengetahuannya yang dimilki dalam memecahkan yang dihadapi, menyimpulkan
hasil eksperimen membandingkan satu konsep dengan konsep yang lain, dan kegiatan
psikis lainnya.
Namun demikian, semua kegiatan tersebut harus dapat dipulangkan kepada suatu
karakteristik, yaitu keterlibatan intelektual-emosional siswa dalam kegiatan pembelajaran.
Keterlibatan tersebut terjadi pada waktu kegiatan kognitif dalam pencapaian atau
pemerolehan pengetahuan pada saat siswa mengadakan latihan-latihan dalam
pembentukan keterampilan, dan sewaktu siswa menghayati dan menginternalisasi nilai-
nilai dalam pembentukan sikap dan nilai. Dengan kata lain keaktifan dalam pendekatan
CBSA menunjuk kepada keaktifan mental baik intelektual maupun emosional, meskipun
untuk merealisasikan dalam banyak hal dipersyaratkan atau dibutuhkan keterlibatan
langsung dalam berbagai bentuk kektifan fisik.
Berdasarkan uraian dalam dua alinea sebelumnya, dapatlah kiranya kita mengambil
kesimpulan mengenai pengertian pendekatan CBSA. Dimana pendekatan CBSA dapat
diartikan sebagai anutan pembelajaran yang mengarah kepada pengoptimalisasian
pelibatan intelektual-emosional siswa dalam proses pembelajaran, dengan pelibatan fisik
siswa apabila diperlukan. Pelibatan intelektual-emosional/fisik, serta optimalisasi dalam
pembelajaran diarahkan untuk membelajarkan siswa bagaimana memperoleh dan
memproses perolehan belajarnya tentang pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai.

B. Rasionalisasi CBSA dalam Pembelajaran


Kita telah memasuki ambang “masyarakat belajar”, yaitu masyarakat yang
menghendaki pendidikan masa seumur hidup (Husen, 1988;41). Untuk mempersiapkan
siswa menghadapi hal tersebut perlu memikirkan jawaban atas pertanyaan : Cara-cara
bagaimana siswa mempperoleh dan meresapkan pengetahuan, keterampilan, dan sikap
yang menjadi kebutuhannya ? Dengan kata lain guru hendaknya tidak hanya
menyibukkan dirinya dengan kegiatan pemaksimalan penyajian isi pelajaran saja. Yang
lebih penting dari pada itu, guru hendaknya memikirkan cara siswa belajar.
Untuk menjawab permasalahan yang terkandung dalam pertanyaan di atas, perlu
kiranya mengkaji konsep belajar terlebih dahulu.
Sudah sejak lama manusia mencoba mengkaji konsep belajar. John Dewey misalnya
(1916 dalam Davies 1987:31) menekankan bahwa :
Oleh karena belajar menyangkut apa yang harus dikerjakan murid-murid untuk
dirinya sendiri, maka inisiatif harus datang dari murid-murid sendiri. Guru adalah
pembimbing dan pengarah yang mengemudikan perahu, tetapi tenaga untuk
menggerakkan perahu tersebut haruslah berasal dari murid yang belajar.
Sedangkan Gage and Berliner secara sederhana mengungkapkan bahwa belajar
dapat didefinisikan sebagai suatu proses yang membuat seseorang mengalami perubahan
tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman yang diperolehnya (Gage dan Berliner,
1984:252).
Dari batasan belajar yang dikemukakan Dewey serta Gage dan Berliner, kita dapat
menandai bahwa belajar merupakan suatu proses yang melibatkan manusia secara orang
perorang sebagai suatu kesatuan organisasi sehingga terjadi perubahan pada pengetahuan,

49
keterampilan, dan sikapnya. Dengan demikian, dalam belajar orang tidak mungkin
melimpahkan tugas-tugas belajarnya kepada orang lain. Orang yang belajar adalah orang
yang mengalami sendiri proses belajarnya.
Walaupun telah lama kita menyadari bahwa belajar memerlukan keterlibatan secara
aktif orang yang belajar, kenyataan masih menunjukan kecenderungan yang berbeda.
Dalam proses pembelajaran masih tampak adanya kecenderungan meminimalkan peran
dan keterlibatan siswa. Dominasi guru dalam proses pembelajaran menyebabakan siswa
lebih banyak berperan dan terlihat secara pasif, mereka lebih banyak menunggu sajian
dari guru dari pada mencari dan menemukan sendiri pengetahuan, keterampilan , serta
sikap yang mereka butuhkan. Apabila kondisi proses pembelajaran yang memaksimalkan
peran dan keterlibatan guru serta meminimalkan peran dan keterlibatan siswa terjadi pada
pendidikan dasar termasuk pada sekolah dasar akan mengakibatkan sulit tercapainya
tujuan pendidikan dasar yakni meletakkan dasar yang dapat dipakai sebagai batu loncatan
untuk menggapai pendidikan yang lebih tinggi, di samping kemampuan dan kemauan
untuk belajar terus-menerus sepanjang hayatnya.
Bertolak dari pemikiran-pemikiran yang terkandung dalam konsepsi pendidikan
seumur hidup dan konsepsi belajar serta kenyataan proses pembelajaran, maka
peningkatan penerapan CBSA merupakan kebutuhan yang harus segera terpenuhi. Guru
hendaknya tidak lagi mengajar sekadar sebagai kegiatan menyampaikan pengetahuan,
keterampilan, dan sikap kepada siswa. Guru hendaknya mengajar untuk membelajarkan
siswa dalam konteks belajar bagaimana belajar mencari, menemukan, dan meresapkan
pengetahuan, keterampilan, dan sikap.
Dengan penerapan CBSA, siswa diharapkan akan lebih mampu mengenal dan
mengembangkan kapasitas belajar dan potensi yang dimilikinya secara penuh, menyadari
dan dapat menggunakan potensi sumber belajar yang terdapat di sekitarnya. Selain itu,
siswa diharapkan lebih terlatih untuk berprakarsa, berpikir secara teratur, kritis, tanggap
dan dapat menyelesaikan masalah sehari-sehari, serta lebih terampil dalam menggali,
menjelajah, mencari, dan mengembangkan informasi yang bermakna baginya (Raka Joni,
1992:1). Pencapaian keadaan siswa yang diharapkan melalui penerapan CBSA ini, akan
memungkinkan pembentukan sebagai “pengabdi abadi pencari kebenaran ilmu”.
Di sisi lain, dengan penerapan CBSA guru diharapkan bekerja secara profesional,
mengajar secara sistematis, dan berdasarkan prinsip didaktik metodik yang berdaya guna
dan berhasil guna (efisien dan efektif). Artinya guru dapat merekayasa sistem
pembelajaran yang mereka laksanakan secara sistematis, dengan pemikiran mengapa dan
bagaimana menyelenggarakan kegiatan pembelajaran aktif (Raka Joni,1992:11). Lambat
laun penerapan CBSA pada gilirannya akan mencetak guru-guru yang potensial dalam
menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan alam dan sosial budaya.

C. Kadar CBSA dalam Pembelajaran


Berdasarkan pembahasan sebelumnya, kita dapat menandai adanya rentangan
derajat/kadar ke-CBSA-an dari peristiwa pembelajaran. Rentangan (kontinum) ini terjadi
sebagai akibat dari adanya kecenderungan peristiwa pembelajaran, yakni pembelajaran
yang berorientasi pada guru dan pembelajaran yang berorientasi pada siswa. CBSA akan

50
lebih tampak dan menunjukkan kadar yang tinggi apabila pembelajaran lebih berorientasi
pada siswa, dan akan terjadi sebaliknya apabila arah pembelajaran cenderung berorientasi
kepada guru.
Mc Keachie mengemukakan tijuh dimensi proses pembelajaran yang
mengakibatkan terjadinya kadar ke-CBSA-an. Adapun dimensi-dimensi yang dimaksud
adalah :
(i) Partisipasi siswa dalam menetapkan tujuan kegiatan pembelajaran.
(ii) Tekanan pada aspek afektif dalam pembelajaran.
(iii) Partisispasi siswa dalam kegiatan pembelajaran, terutama yang berbentuk interaksi
antarsiswa.
(iv) Kekohesifan (kekompakan) kelas sebagai kelompok.
(v) Kebebasan atau lebih tepat kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk
mengambil keputusan-keputusan penting dalam kehidupan sekolah, dan
(vi) Jumlah waktu yang digunakan untuk menanggulangi masalah pribadi siswa, baik
yang berhubungan maupun yang tidak berhubungan dengan sekolah/pembelajaran.
Yamamoto meninjau ke-CBSA-an suatu proses pembelajaran dari segi kesadaran
siswa dan guru yang terlibat di dalamnya. Lebih jauh Yamamoto mengungkapkan bahwa
proses belajar yang optimal terjadi apabila siswa yang belajar maupun guru yang
membelajarkan memiliki kesadaran dan kesengajaan terlibat dalam proses pembelajaran.
Kesadaran dan kesengajaan melibatkan diri dalam proses pembelajaran pada diri siswa
dan guru akan dapat memunculkan berbagai interaksi pembelajaran.
Lindgren mengemukakan empat kemungkinan interaksi pembelajaran yakni :

G (i)
- Interaksi satu arah dimana guru
bertindak sebagai penyampai
pesan dan siswa penerima pesan.
S1 S2 S3 S4

(ii) Interaksi dua arah antara guru-siswa dimana guru memperoleh balikan dari siswa.
G

S1 S2 S3 S4

(iii) Interaksi dua arah antara guru-siswa, dimana guru mendapat balikan dari siswa.
Selain itu, siswa saling berinteraksi atau saling belajar satu dengan yang lain.

51
G

S1 S2 S3 S4
(iv) Interaksi optimal antara guru-siswa, dan antara siswa-siswa.
G

S1 S4

S2 S3

Raka Joni (1992:19-20) mengungkapkan bahwa sekolah yang ber-CBSA dengan


baik mempunyai karakteristik sebagai berikut :

(1) Pembelajaran yang dilakukan lebih berpusat pada siswa, sehingga siswa berperan
lebih aktif dalam mengembangkan cara-cara belajar mandiri, siswa berperan serta
pada perencanaan, pelaksanaan dan penilaian proses belajar, pengalaman siswa lebih
diutamakan dalam memutuskan titik tolak kegiatan.
(2) Guru adalah pembimbing dalam terjadinya pengalaman belajar, guru bukan satu-
satunya sumber informasi, guru merupakan salah satu sumber belajar, yang
memberikan peluang bagi siswa agar dapat memperoleh pengetahuan/keterampilan
melalui usaha sendiri, dapat mengembangkan motivasi dari dalam dirinya, dan dapat
mengembangkan pengalaman untuk membuat suatu karya.
(3) Tujuan kegiatan tidak hanya untuk sekedar mengejar standar akademis, selain
pencapaian standar akademis, kegiatan ditekankan untuk mengembangkan
kemampuan siswa secara utuh dan seimbang.
(4) Pengelolaan kegiatan pembelajaran lebih menekankan pada kreativitas siswa, dan
memperhatikan kemajuan siswa untuk menguasai konsep-konsep dengan mantap.
(5) Penilaian, dilaksanakan untuk mengamati dan mengukur kegiatan dan kemajuan
siswa, serta mengukur berbagai keterampilan yang dikembangkan misalnya
keterampilan berbahasa, keterampilan siosial, keterampilan matematik, keterampilan
proses dalam IPA dan keterampilan lainnya, serta mengukur hasil belajar siswa.

Berdasarkan pembahasan sebelumnya, dapat dikatakan secara singkat bahwa kadar


CBSA bergantung pada dan dipengaruhi oleh keaktifan siswa dalam merencanakan,
melaksanakan, dan menilai proses pembelajaran dan hasil pembelajaran. Keaktifan siswa
diharapkan menampakkan secara nyata terutama pada saat pelaksanaan proses
pembelajaran, baik secara perorangan ataupun secara kelompok. Keterlibatan secara aktif
tersebut mencakup keterlibatan fisik maupun Intelektual, emosional.

52
D. Rambu-Rambu Penyelenggaraan CBSA
Hakikat CBSA adalah keterlibatan intelektual emosional siswa secara optimal
dalam proses pembelajaran; dan setiap proses pembelajaran memiliki kadar CBSA yang
berbeda-beda. Agar kita dapat menemukan kadar CBSA dari suatu proses pembelajaran,
maka perlu mengenal terlebih dahulu rambu-rambu penyelenggaraan CBSA. Yang
dimaksud dengan rambu-rambu CBSA adalah gejala-gejala yang tampak pada perilaku
siswa dan guru baik dalam program maupun dalam proses pembelajaran.
Rambu-rambu yang dimaksud adalah :
(1) Kuntitas dan kualitas pengalaman yang membelajarkan, meliputi antara lain :
- Kuantitas dan kualitas yang melibatkan siswa untuk belajar langsung dari
pengalaman belajar yang diciptakan.
- Kuantitas dan kualitas aktivitas bahan pembelajaran yang memberikan pengalaman
belajar kepada siswa untuk memperoleh dan menemukan pengetahuan,
keterampilan dan sikap yang dibutuhkan.
(2) Prakarsa dan keberanian siswa dalam mewujudkan minat, keinginan dan dorongan-
dorongan yang ada pada dirinya, meliputi antara lain :
- Kuantitas dan kualitas usul dan saran dari siswa terhadap bentuk kegiatan belajar
yang diminati.
- Kuantitas dan kualitas usul dan saran dari siswa terhadap prosedur kegiatan belajar.
- Kuantitas dan kualitas usul dan saran dari siswa terhadap topik-topik pembahasan.
- Prakarsa siswa dalam menentukan kelompok kerja dan
- Prakarsa siswa dalam mengusulkan sumber-sumber belajar yang akan
dimanfaatkan dalam proses pembelajaran.
(3) Keberanian dan keinginan siswa untuk ikut serta dalam proses pembelajaran meliputi
antara lain :
- Ketersediaan siswa dalam mencari dan menyediakan sumber belajar yang
dibutuhkan dalam proses pembelajaran.
- Kesediaan siswa untuk mengerjakan tugas-tugas belajar yang ada dalam proses
pembelajaran dan
- Kuantitas dan kualitas untuk berbuat dan menghasilkan lebih dari pada yang
diharapkan.
(4) Usaha dan kreativitas siswa dalam proses pembelajaran meliputi antara lain :
- Kuantitas dan kualitas usaha yang dilakukan siswa dalam mencari dan menemukan
sumber-sumber belajar yang ditentukan.
- Kuantitas dan kualitas yang diajukan siswa dalam memecahkan permasalahan yang
ada dalam proses pembelajaran dan
- Keberanian siswa untuk memilih cara kerja yang berbeda dari cara kerja yang telah
ditentukan guru.
(5) Keingintahuan yang ada pada diri siswa, meliputi antara lain :
- Kuantitas dan kualitas pertanyaan yang diajukan kepada guru.
- Kuantitas dan kualitas pertanyaan yang menyimpang dari topik bahasan dan

53
- Kuantitas dan kualitas pertanyaan yang mengarah kepada penjelasan masalah-
masalah yang ada pada topik.
(6) Rasa lapang dan bebas yang ada pada diri siswa, meliputi antara lain :
- Sebaran siswa yang mengemukakan ususl dan saran.
- Kuantitas dan kualitas respon guru terhadap usul dan saran siswa serta
- Penerimaan guru terhadap usul dan saran yang menyimpang.
(7) Kuantitas dan kualitas yang dilakukan guru dalam membina dan mendorong
keaktifan siswa, meliputi antara lain :
- Kuntitas dan kualitas yang diberikan oleh guru atas pertanyaan dan jawaban siswa.
- Kuantitas dan kesempatan yang diberikan kepada siswa untuk menyelesaikan tugas
yang diberikan secara tuntas.
(8) Kualitas guru sebagai inovator dan fasilitator, meliputi antara lain :
- Kuantitas dan kualitas sumber-sumber belajar baru yang disediakan guru.
- Kemauan guru menyediakan sumber-sumber belajar yang dibutuhkan siswa dalam
belajar.
- Kemauan dan kesediaan guru untuk membantu siswa yang membutuhkan serta
- Kuantitas dan kualitas guru dalam menggunakan cara pembelajaran yang baru.
(9) Tingkat sikap guru yang tidak mendominasi dalam proses pembelajaran, meliputi
antara lain :
- Kualitas dalam menentukan bentuk dan jenis kegiatan belajar yang dilakukan oleh
guru.
- Kuantitas jawaban yang diberikan oleh guru dalam menjawab pertanyaan siswa.
(10) Kuantitas dan kualitas metode dan media yang dimanfaatkan guru dalam proses
pembelajaran, meliputi antara lain :
- Fleksibilitas penerapan strategi dan metode pengajaran,
- Kuantitas jenis media yang digunakan, dan
- Jenis-jenis kegiatan/keterampilan dilibatkan dalam penggunaan media.
(11) Keterikatan guru dalam proses pembelajaran, meliputi antara lain :
- Keterikatan guru terhadap tujuan pembelajaran yang dirumuskan dalam program
pembelajaran,
- Keterikatan guru terhadap prosedur pembelajaran yang ditetapkan dalam program
pembelajaran dan
- Keterikatan guru terhadap sumber belajar yang telah ditetapkan dalam program
pembelajaran.
(12) Variasi interaksi guru-siswa dalam proses pembelajaran, meliputi antara lain :
- Kuantitas interaksi searah guru-siswa
- Kuantitas interaksi dua arah guru-siswa
- Kuantitas interaksi dua arah guru siswa dan siswa-siswa, serta
- Kuantitas interaksi multi arah guru-siswa.
(13) Kegiatan dan kegembiraan siswa dalam belajar, meliputi antara lain :
- Kuantitas siswa yang mencatat informasi/pesan yang disajikan guru
- Kuantitas siswa yang mengganggu belajar siswa lain.

54
Dari rambu-rambu yang diuraikan sebelumnya, kita dapat melihat bahwa rambu-
rambu tersebut berada dalam suatu rentangan. Contoh visualisasi rentangan rambu-rambu
kuantitas siswa yang mencatat informasi/pesan yang disajikan guru adalah :

Sedikit sekali Sedikit Banyak Banyak sekali


1 2 3 4
1-25%dari jmh siswa 26-50% dari jmh siswa 51-75% dari jmh siswa 76-99% dari jmh siswa

Rambu-rambu CBSA tersebut akan dapat dugunakan untuk mengetahui kadar ke-
CBSA-an suatu proses pembelajaran apabila dirumuskan kembali ke dalam bentuk
panduan observasi atau instrument yang lain. Panduan observasi atau instrument yang
digunakan untuk menentukan kadar CBSA dari suatu program/proses pembelajaran,
dapat diarahkan untuk keperluan klasikal perorangan.

E. Penerapan CBSA
Dari uraian tentang pengertian rasionalisasi, kadar, dan rambu-rambu CBSA kita
dapat menandai adanya prasyarat tertentu yang harus dimiliki oleh guru untuk
meningkatkan kadar CBSA suatu proses pembelajaran. Peningkatan kadar CBSa dari
suatu proses pembelajaran berarti pula mengarahkan proses pembelajaran yang
berorientasi pada siswa atau dengan kata lain menciptakan pembelajaran berdasarkan
siswa (Student Based Instruction). Kosekkuensi yang harus diterima dari adanya
pembelajaran berdasarkan siswa ialah :
(1) Guru merupakan seorang pengelola (manager) dan perancang (designer) dari
pengalaman belajar.
(2) Guru dan siswa menerima peran kerja sama (partnership).
(3) Bahan-bahan pembelajaran dipilih berdasarkan kelayakannya.
(4) Penting untuk melakukan identifikasi dan penuntasan syarat-syarat belajar (learning
requirements).
(5) Siswa dilibatkan dalam proses pembelajaran.
(6) Tujuan ditulis secara jelas.
(7) Semua tujuan diukur/dites.
(Gale, 1975 : 204).
Adanya konsekuensi dari penerapan pembelajaran berdasarkan siswa yang akan
dapat meningkatkan kadar CBSA suatu proses pembelajaran lebih jauh menuntut agar
guru :
(1) Memiliki khasanah pengetahuan yang luas tentang teknik/cara penyampaian atau
sistem penyampaian dan
(2) Memiliki kriteria tertentu untuk memilih sistem penyampaian yang tepat untuk
memberikan pengalaman belajar kepada siswa yang terlibat dalam proses
pembelajaran.
Selain itu, nilai intrinsik gerakan untuk meningkatkan kadar CBSA dalam proses
pembelajaran juga muncul sebagai reaksi terhadap kecenderungan umum penerapan
pembelajaran berdasarkan guru (Teacher Based Instruction). Pembelajaran berdasarkan

55
guru menunjukan peran guru sebagai leveransir (pun,eyor/informasi), sehingga
pembelajaran hanya sekadar proses perekaman informasi oleh siswa. Dalam situasi
pembelajaran berdasarkan guru, strategi belajar yang dominan adalah strategi yang
bersifat skspositorik. Sistem penyampaian ini paling banyak diminati karena banyak
memberikan otoritas kepada guru, ada kalanya dengan variasi yang kurang bermutu.
Adanya pembelajaran berdasarkan guru ini mengakibatkan kecenderungan umum
untuk menyandarkan diri kepada ceramah sebagai sistem penyampaian. Kecenderungan
ini dapat dimaklumi, mengingat ceramah sebagai sistem penyampaian yang memberikan
kesempatan paling besar kepada guru untuk melaksanakan tugasnya sebagai leveransir
informasi sekaligus menunjukkan otoritasnya sbagai “yang maha tau”.
Ditinjau dari karakteristik tiap-tiap sistem penyampaian menunjukkan kadar
potensial keterlibatan mental guru-siswa yang berbeda-beda. Untuk memberikan
gambaran yang lebih jelas, di bawah ini dapat diperiksa diagram tentang kadar potensial
keterlibatan mental guru-siswa dalam proses pembelajaran berdasarkan tinjauan
karakteristik tiap-tiap sistem penyampaian.

F. Pendekatan Keterampilan Proses sebagai Bagian dari CBSA


1. Rasionalisasi Pendekatan Keterampilan Proses dalam Pengajaran
Kegiatan pembelajaran dimaksudkan agar tercipta kondisi yang
memungkinkan terjadinya belajar pada diri siswa. Dalam suatu kegiatan
pembelajaran, dapat dikatakan terjadi belajar, apabila terjadi proses perubahan
tingkah laku pada diri siswa sebagai hasil dari suatu pengalaman. Dari jabaran
kegiatan pembelajaran tersebut, maka dapat diidentifikasikan dua aspek penting yang
ada dalam kegiatan pembelajaran tersebut. Aspek pertama adalah aspek hasil belajar
yakni perubahan tingkah laku pada diri siswa. Aspek kedua adalah proses belajar,
yakni sejumlah pengalaman intelektual, emosional dan fisik pada diri siswa.
Bertolak dari pembahasan sebelumnya, dapat secara jelas kita lihat bahwa
tujuan pokok penyelenggaraan kegiatan belajar di sekolah haruslah “membelajarkan
siswa bagaimana belajar”. Tujuan pokok kegiatan pembelajaran ini mengandung
makna untuk meletakkan landasan bagi belajar seumur hidup. Tujuan ini harus
tercapai, kalau kita ingin memenuhi tuntutan percepatan perubahan yang berlangsung
terus-menerus. Pada masa sekarang ini, bukanlah waktunya lagi bagi guru untuk
menjadi orang pertama-tama yang bertindak sebagai komunikator “fakta-fakta,
konsep, dam prinsip-prinsip yang mantap”. Adanya berbagai penemuan penelitian,
menyebutkan “fakta, konsep, prinsip” seringkali berumur semakin “pendek”. Oleh
karena itu, tujuan pokok penyelenggaraan kegiatan pembelajaran di sekolah secara
operasional adalah membelajarkan siswa agar mampu memproses dan memperoleh
pengetahuan, keterampilan dan sikap bagi dirinya sendiri. Bertolak dari hal ini, hal-
hal pokok yang hendaknya menjadi pengalaman siswa adalah berupa cara-cara
penting untuk memproses dan memperoleh pengetahuan, keterampilan dan sikap yang
menjadi kebutuhannya.

56
Penyelenggaraan pembelajaran seperti diidealkan pada alinea sebelumnya
seringkali tidak terwujud dalam realitasnya di sekolah. Kegiatan pengajaran seringkali
didasarkan pada dua premis yang terkadang tidak diungkapkan secara jelas.
Premis pertama mengungkapakan bahwa siswa belajar sesuatu bukan karena
hal yang dipelajari menarik atau menyenangkan baginya, tetapi siswa belajar hanya
ingin menghindarkan diri dari ketidaksenangan bila ia tidak belajar. Berdasarkan
premis ini, timbul tindakan yang mengkondisikan adanya ancaman tidak naik kelas,
nilai rendah, hukuman, dan yang lain, agar siswa belajar.
Premis kedua mengungkapkan bahwa guru merupakan “Motor Penggerak”
yang membuat siswa terus-menerus belajar, dari pihak siswa tiada kegiatan belajar
spontan. Siswa seringkali dipandang sebagai “gentong kosong” yang harus diisi guru
dengan air pengetahuan.
Adanya dua premis seperti diungkapkan tersebut, mengakibatkan kegiatan
pembelajaran cenderung menjadi kegiatan “penjajahan” atau “penjinakan”, karena
siswa benar-benar dijadikan objek kegiatan pembelajaran.
Berdasarkan uraian tentang kegiatan pembelajaran yang ideal dan realitas
penyelenggaraan kegiatan di sekolah, timbul pertanyaan apakah yang bisa dilakukan
untuk mengidealkan kegiatan pembelajaran di sekolah? Salah satu jawaban atas
pertanyaan tersebut adalah penerapan Pendekatan Keterampilan Proses (PKP).
Apabila dikaji lebih lanjut, kita akan tiba pada kesimpulan bahwa penerapan
PKP dalam kegiatan pembelajaran didasarkan pada hal-hal berikut :
a. Percepatan perubahan ilmu pengetahuan dan teknologi
Percepatan perubahan IPTEK ini, tidak memungkinkan bagi guru bertindak
sebagai satu-satunya orang yang menyalurkan semua fakta dan teori-teori. Untuk
mengatasi hal-hal ini perlu pengembangan keterampilan memperoleh dan
memproses semua fakta, konsep, dan prinsip pada diri siswa.
b. Pengalaman intelektual, emosional, dan fisik dibutuhkan agar didapatkan hasil
belajar yang optimal.
Ini berarti kegiatan pembelajaran yang mampu memberi kesempatan kepada siswa
memperlihatkan unjuk-kerja melalui sejumlah keterampilan memproses semua
fakta, konsep dan prinsip yang sangat dibutuhkan.
c. Pemahaman sikap dan nilai sebagai pengabdi pencarian abadi kebenaran ilmu.
Hal ini menuntut adanya pengenalan terhadap tata cara pemerosesan dan
pemerolehan kebenaran ilmu yang bersifat kesementaraan. Hal ini akan
mengarahkan siswa pada kesadaran keterbatasan manusiawi, apabila dibandingkan
dengan keterbatasan dan keunggulan ilmu pengetahuan dan teknologi.

2. Pengertian Pendekatan Keterampilan Proses dan Keterkaitannya dengan CBSA


Pendekatan Keterampilan Proses dapat diartikan sebagai wawasan atau anutan
pengembangan keterampilan-keterampilan intelektual, sosial dan fisik yang
bersumber dari kemampuan-kemampuan yang mendasar yang pada prinsipnya telah
ada dalam diri siswa (Depdikbud,1968 b:7). Dari batasan PKP tersebut, kita
memperoleh suatu gambaran bahwa PKP bukanlah tindakan instruksional yang

57
berada diluar kemampuan siswa. Justru PKP dimaksudkan untuk mengembangkan
kemampuan-kemampuan yang dimiliki oleh siswa.
a. Pendekatan Keterampilan Proses memberikan kepada siswa pengertian yang tepat
tentang hakekat ilmu pengetahuan. Siswa dapat mengalami ransangan ilmu
pengetahuan dan dapat lebih baik mengerti fakta dan konsep ilmu pengetahuan.
b. Mengajar dengan keterampilan proses berarti memberi kesempatan kepada siswa
bekerja dengan ilmu pengetahuan, tidak sekadar menceritakan atau mendengarkan
cerita tentang ilmu pengetahuan. Di sisi lain, siswa merasa bahagia sebab mereka
aktif dan tidak menjadi pelajar yang pasif.
c. Menggunakan keterampilan proses untuk mengajar ilmu pengetahuan, membuat
siswa belajar proses dan produk ilmu pengetahuan sekaligus (Funk,1985:xiii).
Dari pembahasan tentang pengertian PKP pada dua alinea sebelumnya kita
mendapatkan bahwa PKP memberikan kesempatan siswa untuk secara nyata
bertindak sebagai seorang ilmuan. Konsekuensi logis yang harus diterima dengan
penerapan PKP ini, guru tidak saja dituntut untuk mengembangkan keterampilan-
keterampilan memproses dan memperoleh ilmu pengetahuan. Lebih daripada itu, guru
hendaknya juga menanamkan sikap dan nilai sebagai ilmuan kepada para siswanya.
Kesimpulan yang dapat ditarik dari uraian tentang Pendekatan Keterampilan
Proses ini adalah :
a. PKP sebagai wahana penemuan dan pengembangan fakta, konsep dan prinsip ilmu
pengetahuan bagi diri siswa.
b. Fakta, konsep dan prinsip ilmu pengetahuan yang ditemukan dan dikembangkan
siswa berperan pula menunjang pengembangan keterampilan proses pada diri
siswa.
c. Interaksi antara pengembangan keterampilan proses dengan fakta, konsep, serta
prinsip ilmu pengetahuan pada akhirnya akan mengembangkan sikap dan nilai
ilmuan pada diri siswa.
Dengan demikian unsur keterampilan proses ilmu pengetahuan serta sikap dan
nilai yang terjadi dalam kegiatan pembelajaran yang menerapkan PKP, saling
berinteraksi dan berpengaruh satu dengan yang lain.
Pengertian Pendekatan Keterampilan Proses (PKP) seperti dikemukakan
sebelumnya, menunjukkan kepada kita bahwa penerapan PKP selalu menuntut adanya
keterlibatan fisik maupun mental-intelektual siswa. Lebih daripada itu, PKP tidak
mungkin dilaksanakan dalam kegiatan pembelajaran yang tidak menerapkan CBSA,
PKP berjalan secara optimal apabila kadar CBSA pembelajaran tinggi, dan
sebaliknya. Dengan kata lain PKP berinteraksi secara timbal balikdengan penerapan
CBSA dalam proses pembelajaran.

3. Jenis-Jenis Keterampilan dalam Keterampilan Proses


Ada beberapa keterampilan dalam keterampilan proses, keterampilan-
keterampilan tersebut terdiri dari keterampilan-keterampilan dasar (basic skills) dan
keterampilan-keterampilan terintegrasi (Integrated skills). Keterampilan-keterampilan
dasar terdiri dari 6 keterampilan yaitu :

58
1. Mengobservasi 4. Mengukur
2. Mengklasifikasi 5. Menyimpulkan
3. Memprediksi 6. Mengkomunikasikan

Sedangkan keterampilan-keterampilan terintegrasi terdiri dari :


1. Mengidentifikasi variabel
2. Membuat tabulasi data
3. Menyajikan data dalam bentuk grafik
4. Menggambarkan hubungan antara variabel
5. Mengumpulkan data dan mengolah data
6. Menganalisa penelitian
7. Menyusun hipotesis
8. Mendefinisikan variabel secara operasional
9. Merancang penelitian dan melaksanakan eksperimen (Funk, 1985:xiii).
Sejumlah keterampilan proses yang dikemukakan oleh Funk, dalam kurikulum
(pedoman proses belajar-mengajar) dikelompokkan menjadi 7 keterampilan proses.
Adapun 7 keterampilan proses tersebut adalah mengamati, menggolongkan,
menafsirkan, meramalkan, menerapkan, merencanakan penelitian, dan
mengkomunikasian (Dedikbud, 1986 b:9-10).
Funk (1985) lebih lanjut mengemukakan, meskipun keterampilan-
keterampilan tersebut saling bergantung, masing-masing menitikberatkan pada suatu
area keterampilan khusus. Selain itu, keterampilan-keterampilan proses merupakan
dasar yang sebelumnya menyediakan suatu landasan menuju keterampilan-
keterampilan terintegrasi yang lebih kompleks.
Contoh : Untuk dapat mentabulasikan data terlebih dahulu seseorang harus dapat
mengukur.
Dari pernyataan kalimat-kalimat sebelumnya, kita dapat memperoleh
gambaran bahwa keterampilan-keterampilan proses suatu saat dapat dikembangkan
secara terpisah, saat yang lain harus dikembangkan secara terintegrasi satu dengan
yag lain. Keterampilan-keterampilan proses yang perlu dikembangkan, tidak dapat
dikembangkan pada semua bidang studi untuk semua keterampilan yang ada. Hal ini
menuntut adanya kemampuan guru mengenal karakteristik bidang studi dan
pemahaman terhadap masing-masing keterampilan proses.
Penjelasan dari tiap-tiap keterampilan proses, akan terurai pada pembahasan
berikut ini. Pembahasan menyangkut mengapa suatu keterampilan proses penting
59
dikembangkan, pengertian keterampilan proses tersebut, dan kegiatan-kegiatan yang
menunjukkan penampakkan dari keterampilan proses tersebut.

a. Keterampilan proses dasar sebagai berikut :


(1) Observasi
Melalui kegiatan mengamati, siswa belajar tentang dunia sekitar yang
fantastis. Manusia mengamati objek-objek dan fenomena alam dengan
melibatkan indera penglihat, pembau, pengecap, peraba, pendengar. Informasi
yang diperoleh itu dapat menuntut interpretasi siswa terhadap lingkungan dan
menelitinya lebih lanjut. Kemampuan mengamati merupakan keterampilan
paling dasar dalam proses dan memperoleh ilmu serta hal terpenting untuk
mengembangkan keterampilan proses yang lain. Mengamati merupakan
tanggapan terhadap berbagai objek dan peristiwa alam dengan pancaindera.
Melalui observasi siswa dapat mengumpulkan data tentang tanggapan-
tanggapan terhadap objek yang diamati.
(2) Klasifikasi
Sejumlah besar objek, peristiwa, dan segala yang ada dalam kehidupan
di sekitar, lebih mudah dipelajari apabila dilakukan dengan cara menetukan
berbagai jenis golongan. Menggolongkan dan mengamati persamaan,
perbedaan dan hubungan serta pengelompokkan objek berdasarkan kesesuaian
dengan berbagai tujuan. Keterampilan mengidentifikasi persamaan dan
perbedaan berbagai objek peristiwa berdasarkan sifat-sifat khususnya sehingga
didapatkan golongan atau kelompok sejenis dari objek peristiwa yang
dimaksud.
(3) Komunikasi
Manusia mulai belajar pada awal-awal kehidupan bahwa komunikasi
merupakan dasar untuk memecahkan masalah. Keterampilan menyampaikan
sesuatu secara lisan maupun tulisan termasuk komunikasi.
“Mengkomunikasikan dapat diartikan sebagai menyampaikan dan
memperoleh fakta, konsep, dan prinsip ilmu pengetahuan dalam bentuk suara,
visual, atau suara dan visual” (Dimyati dan Mudjiono,2002:143). Contoh
membaca peta, tabel, grafik, bagan, lambang-lambang, diagram, demonstrasi
visual.
(4) Pengukuran
Mengukur dapat diartikan sebagai membandingkan yang diukur
dengan satuan ukuran tertentu yang telah ditetapkan sebelumnya.
Keterampilan dalam menggunakan alat dalam memperoleh data dapat disebut
pengukuran.
(5) Prediksi
Prediksi merupakan keterampilan meramal yang akan terjadi
berdasarkan gejala yang ada. Keteraturan dalam lingkungan kita mengizinkan
kita untuk mengenal pola dan untuk memprediksi terhadap pola-pola apa yang
mungkin dapat diamati. Dimyati dan Mudjiono (2002:144) menyatakan bahwa

60
“memprediksi dapat diartikan sebagai mengantisipasi atau membuat ramalan
tentang segala hal yang akan terjadi pada waktu mendatang, berdasarkan
perkiraan pada pola atau kecenderungan tertentu, atau hubungan antara fakta,
konsep, dan prinsip dalam pengetahuan”.
(6) Inferensi
Melakukan inferensi adalah menyimpulkan. Ini dapat diartikan
sebagai suatu keterampilan untuk memutuskan keadaan suatu objekatau
peristiwa berdasarkan fakta, konsep dan prinsip yang diketahui.
b. Keterampilan Proses Terintegrasi (integrated skill)
Keterampilan terintegrasi merupakan perpaduan dua keterampilan proses dasar
atau lebih. Keterampilan terintegrasi terdiri atas : mengidentifikasi variabel,
tabulasi, grafik, deskripsi hubungan variabel, perolehan dan proses data, analisis
penyelidikan, hipotesis eksperimen.
(1) Identifikasi variabel
Keterampilan mengenal ciri khas dari faktor yang ikut menentukan perubahan.
(2) Tabulasi
Keterampilan penyajian data dalam bentuk tabel, untuk mempermudah
pembacaan hubungan antar komponen (penyusunan data menurut lajur-lajur
yang tersedia).
(3) Grafik
Keterampilan penyajian dengan garis atau batang tentang turun naiknya suatu
keadaan.
(4) Deskripsi hubungan variabel
Keterampilan membuat sinopsis/pernyataan hubungan faktor-faktor yang
menentukan perubahan.
(5) Perolehan dan proses data
Keterampilan melakukan langkah secara urut untuk memperoleh data.
(6) Analisis penyelidikan
Keterampilan menguraikan pokok persoalan atas bagian-bagian dan
terpecahkannya permasalahan berdasarkan metode yang konsisten untuk
mencapai pengertian tentang prinsip-prinsip dasar.
(7) Hipotesis
Keterampilan merumuskan dugaan sementara.
(8) Eksperimen
Keterampilan melakukan percobaan untuk membuktikan suatu
teori/penjelasan berdasarkan pengamatan atau penalaran.
Keterampilan proses seperti yang diutarakan oleh Funk di atas merupakan
keterampilan proses yang harus diaplikasikan pada pendidikan di sekolah oleh guru.
Pembelajaran sains menekankan padapembentukan keterampilan memperoleh
pengetahuan dan pengembangan sikap ilmiah. Hal ini bisa tercapai apabila dalam
pembelajaran menggunakan pendekatan keterampilan proses baik keterampilan proses
dasar maupun keterampilan proses terintegrasi (terpadu) seperti terungkap di atas.

61
Keterampilan memperoleh pengetahuan yang ingin dibentuk adalah daya
pikir dan kreasi. Daya pikir dan daya kreasi merupakan indikator perkembangan
kognitif. Para ahli psikologi pendidikan menemukan bahwa perkembangan kognitif
bukan merupakan akumulasi kepingan informasi atau kepingan perubahan informasi
yang terpisah, tetapi merupakan pembentukan oleh anak suatu kerangka atau jaringan
mental untuk memahami lingkungan.

4. Penerapan Keterampilan Proses dalam Pembelajaran


Penerapan PKP dalam pembelajaran bukan merupakan hal yan mengada-ada,
akan tetapi merupakan hal yang wajar dan harus dilaksanakan oleh setiap guru dalam
pembelajarannya. Untuk dapat menerapkan PKP dalam pembelajaran kita perlu
mempertimbangkan dan memperhatikan karakteristik siswa dan karakteristik mata
pelajaran/bidang studi. Selain itu kita perlu menyadari bahwa dalam suatu kegiatan
pembelajaran dapat terjadi pengembangan lebih dari satu macam keterampilan proses.
Untuk keterampilan dasar yakni mengobservasi, mengklasifikasi,
memprediksi, mengukur, menyimpulkan dan mengkomunikasikan pengembangannya
tidak hanya berhenti pada jenjang sekolah dasar.
Dalam pembelajaran Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) maupun
Sekolah Menengah Atas (SMA) atau Sekolah Menengah Kejuruan (SMK), penerapan
pengembangan keterampilan dasar tetap dilakukan. Penerapan keterampilan dasar
PKP pada semua jenjang pendidikan diperlukan untuk mendukung penerapan
keterampilan terintegrasi PKP.
Dalam penerapan keterampilan dasar PKP tidak diperlukan lagi uraian
teorinya bagi siswa SLTP dan sekolah menengah, yang siswa mampu melakukannya.
Penerapan keterampilan terintegrasi PKP dalam pembelajaran jenjang
pendidikan SLTP dan sekolah menengah atas (SMA) memerlukan perubahan teori
dari tiap keterampilan yang ada di dalamnya. Penjelasan teori tentang masing-masing
keterampilan terintegrasi akan membantu memudahkan siswa mempraktikannya.
Mengingat keterampilan terintegrasi dalam PKP merupakan keterampilan
melaksanakan suatu kegiatan penelitian, maka penerapannya dalam pembelajaran
hendaknya dilakukan dengan urutan yang hierarkis. Dengan kata lain sebelum suatu
keterampilan dikuasai, siswa jangan berpindah kepada keterampilan yang lainnya.

62

Anda mungkin juga menyukai