Anda di halaman 1dari 184

BAGIAN 1

HAKIKAT BELAJAR DAN PEMBELAJARAN

PENDAHULUAN
Istilah belajar sebenamya telah lama dan banyak dikenal. Bahkan pada era
sekarang ini, hampir semua orang mengenal istilah belajar. Namun apa sebenamya
belajar itu, rasanya masing-masing orang mempunyai tanggapan yang tidak sama.
Sejak manusia ada, sebenamya ia telah melaksanan aktivitas belajar. Oleh sebab itu,
kiranya tidak berlebihan jika dikatakan bahwa aktivitas itu telah ada sejak adanya
manusia. Mengapa manusia melaksanakan aktivitas belajar? Jawabannya adalah
karena belajar itu salah satu kebutuhan manusia. Bahkan ada ahli yang mengatakan
bahwa manusia adalah makhluk belajar. Oleh karena manusia adalah makhluk belajar,
maka sebenamya di dalam dirinya terdapat potensi untuk diajar.
Pada masa sekarang ini, belajar menjadi sesuatu yang tak dapat terpisahkan
dari kehidupan manusia. Hampir di sepanjang waktunya, manusia banyak
melaksanakan ritual-ritual belajar. Apa sebenamya belajar itu, banyak ahli yang
memberikan batasan. Belajar mempunyai sejumlah ciri yang tak dapat dibedakan
dengan kegiatan-kegiatan lain yang bukan belajar. Oleh karena itu, tidak semua
kegiatan yang meskipun mirip belajar dapat disebut dengan belajar. Dalam proses
pengajaran, unsur proses belajar memegang peranan yang penting/vital. Mengajar
adalah proses membimbing kegiatan belajar, dan kegiatan mengajar hanya bermaksan
bila terjadi kegiatan belajar siswa. Oleh karena itu, adalah penting sekali bagi setiap
guru memahami sebaik-baiknya tentang proses belajar siswa, agar ia dapat
memberikan bimbingan dan menyediakan lingkungan belajar yang tepat dan serasi
bagi siswa.

1. PENGERTIAN BELAJAR
1.1. Pengertian Belajar Secara Umum
Dalam pengertian yang umum atau populer, belajar adalah mengumpulkan
sejumlah pengetahuan. Pengetahuan tersebut diperoleh dari seseorang yang lebih tahu
atau yang sekarang ini dikenal dengan guru. Dalam belajar, pengetahuan tersebut
dikumpulkan sedikit demi sedikit hingga akhirnya menjadi banyak. Orang yang
banyak pengetahuannya diidentifikasi sebagai orang yang banyak belajar, sementara
orang yang sedikit pengetahuannya diidentifikasi sebagai orang yang sedikit belajar,
dan orang yang tidak berpengetahuan dipandang sebagai orang yang tidak belajar.
Belajar dalam pengertian mengumpulkan sejumlah pengetahuan demikian, tampaknya
masih diikuti juga sampai sekarang. Orang baru dikatakan belajar manakala sedang
membaca bacaan, membaca sejumlah tugas mata kuliah atau mata pelajaran, membaca
buku pelajaran. Seorang murid yang sedang mengerjakan tugas-tugas matematika
biasa disebut sedang belajar. Orang yang sedang menimba pengetahuan pada bangku
sekolah lazim juga dikenal sebagai pelajar. Bahkan orang yang banyak menguasai
ilmu pengetahuan lazim dikenal dengan kaum terpelajar. Singkat perkataan, belajar
dalam pengertian umum atau populer adalah suatu upaya yang dimaksudkan untuk
menguasai sejumlah pengetahuan. Pengetahuan belajar demikian, secara konseptual
tampakanya sudah mulai ditinggalkan orang, meskipun secara praktikal masih banyak
yang menganut. Ini karena berkembang pesatnya teknologi informasi seperti sekarang
ini. Guru tidak lagi dipandang sebagai satu-satunya sumber informasi yang dapat
memberikan informasi apa saja kepada para pembelajar. Pengertian ini sangat berbeda
dengan pengertian lain tentang belajar, yang mengatakan bahwa belajar adalah
memperoleh pengetahuan, belajar adalah latihan-latihan pembentukan kebiasaan
secara otomatis, dan seterusnya.
Sejalan dengan perumusan diatas, ada pula tafsiran lain tentang belajar, yang
menyatakan bahwa belajar adalah suatu proses perubahan tingkah laku individu
melalui interaksi dengan lingkungan. Berikut ini beberapa pengertian belajar menurut
para ahli:
1. James O. Whittaker (Djamarah, Syaiful Bahri , Psikologi Belajar;
Rineka Cipta; 1999) Belajar adalah Proses dimana tingkah laku
ditimbulkan atau diubah melalui latihan atau pengalaman.
2. Winkel, belajar adalah aktivitas mental atau psikis, yang
berlangsung dalam interaksi aktif dengan lingkungan yang
menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan,
pemahaman, ketrampilan, nilai dan sikap.
3. Cronchbach (Djamarah, Syaiful Bahri , Psikologi Belajar; Rineka
Cipta; 1999) Belajar adalah suatu aktifitas yang ditunjukkan oleh
perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman.
4. Howard L. Kingskey (Djamarah, Syaiful Bahri, Psikologi Belajar;
Rineka Cipta; 1999) Belajar adalah proses dimana tingkah laku
ditimbulkan atau diubah melalui praktek atau latihan.
5. Slameto (Djamarah, Syaiful Bahri, Psikologi Belajar; Rineka Cipta;
1999) Belajar adalah suatu proses usaha yang dilakukan individu
untuk memperoleh suatu perubahan tingkah laku yang baru
secara keseluruhan, sebagai hasil pengalaman individu itu sendiri
di dalam interaksi dengan lingkungannya.
6. Djamarah, Syaiful Bahri, (Psikologi Belajar; Rineka Cipta; 1999),
Belajar adalah serangkaian kegiatan jiwa raga untuk memperoleh
suatu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari pengalaman
individu dalam interaksi dengan lingkungannya yang menyangkut
kognitif, afektif dan psikomotor.
7. R. Gagne (Djamarah, Syaiful Bahri, Psikologi Belajar; Rineka Cipta;
1999), Belajar adalah suatu proses untuk memperoleh motivasi
dalam pengetahuan, ketrampilan, kebiasaan dan tingkah laku
8. Herbart (swiss) Belajar adalah suatu proses pengisian jiwa dengan
pengetahuan dan pengalamn yang sebanyak-banyaknya dengan
melalui hafalan.
9. Robert M. Gagne dalam buku: the conditioning of learning
mengemukakan bahwa: Learning is change in human disposition
or capacity, wich persists over a period time, and which is not
simply ascribable to process a groeth. Belajar adalah perubahan
yang terjadi dalam kemampuan manusia setelah belajar secara
terus menerus, bukan hanya disebabkan karena proses
pertumbuhan saja. Gagne berkeyakinan bahwa belajar
dipengaruhi oleh faktor dari luar diri dan faktor dalm diri dan
keduanya saling berinteraksi.
10. Lester D. Crow and Alice Crow (WWW. Google.com) Belajar adalah
acuquisition of habits, knowledge and attitudes. Belajar adalah
upaya-upaya untuk memperoleh kebiasaan-kebiasaan,
pengetahuan dan sikap.
11. Ngalim Purwanto (1992) (WWW. Google.com) Belajar adalah setiap
perubahan yang relatif menetap dalam tingkah laku, yang terjadi
sebagi hasil dari suatu latihan atau pengalaman.
12. Moh. Surya (1997) : belajar dapat diartikan sebagai suatu proses
yang dilakukan oleh individu untuk memperoleh perubahan
perilaku baru secara keseluruhan, sebagai hasil dari pengalaman
individu itu sendiri dalam berinteraksi dengan lingkungannya.
13. Witherington (1952) : belajar merupakan perubahan dalam
kepribadian yang dimanifestasikan sebagai pola-pola respons
yang baru berbentuk keterampilan, sikap, kebiasaan,
pengetahuan dan kecakapan.
14. Crow & Crow dan (1958) : belajar adalah diperolehnya
kebiasaan-kebiasaan, pengetahuan dan sikap baru.
15. Hilgard (1962) : belajar adalah proses dimana suatu perilaku
muncul perilaku muncul atau berubah karena adanya respons
terhadap sesuatu situasi
16. Di Vesta dan Thompson (1970) : belajar adalah perubahan
perilaku yang relatif menetap sebagai hasil dari pengalaman.
Dari pengertian-pengertian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa :
a. Situasi belajar harus bertujuan dan tujuan-tujuan itu diterima baik oleh
masyarakat. Tujuan merupakan salah satu aspek dari belajar.
b. Tujuan dan maksud belajar timbul dari kehidupan anak sendiri.
c. Di dalam mencapai tujuan itu, siswa senantiasa akan menemui kesulitan,
rintangan-rintangan dan situasi-situasi yang tidak menyenangkan.
d. Hasil belajar yang utama adalah pola tingkah laku yang bulat.
e. Proses belajar terutama mengerjakan hal-hal yang sebenamya. Belajar apa yang
diperbuat dan mengerjakan apa yang dipelajari.
f. Kegiatan-kegiatan dan hasil-hasil belar dipersatukan dan dihubungkan dengan
tujuan dalam situasi belajar.
g. Siswa memberikan reaksi secara keseluruhan.
h. Siswa mereaksi sesuatu aspek dari lingkungan yang bermakna baginya.
i. Siswa diarahkan dan dibantu oleh orang-orang yang berada dalam lingkungan itu.
j. Siswa diarahkan ke tujuan-tujuan lain, baik yang berkaitan maupun yang tidak
berkaitan dengan tujuan utama dalam situasi belajar.
Teori belajar selalu bertolak dari sudut pandangan psikologi belajar tertentu.
Dengan berkembangnya psikologi dalam pendidikan, maka berbarengan dengan itu
bermunculan pula berbagai teori tentang belajar. Justru dapat dikatakan, bahwa dengan
tumbuhnya pengetahuan tentang belajar, maka psikologi dalam pendidikan menjadi
berkembang secara pesat. Di dalam masa perkembangan psikologi pendidikan di jaman
mutakhir ini muncullah secara beruntun aliran psikologi pendidikan masing-masing
yaitu :
Psikologi behavioristik
Psikologi kognitif
Psikologi humanistik
Ketiga aliran psikologi pendidikan di atas tumbuh dan berkembang secara
beruntun, dari periode ke periode berikutnya. Dalam setiap periode perkembangan
aliran psikologi tersebut bermunculan teori-teori tentang belajar. Bertolak dari
kenyataan itu, maka berbagai teori belajar yang ada dapat dikelompokkan menjadi tiga
kelompok teori belajar, masing-masing yaitu :
Teori-teori belajar dari psikologi behavioristik.
Teori-teori belajar dari psikologi kognitif
Teori-teori belajar dari psikologi humanistik.
Para penulis buku psikologi belajar, umumnya mendefinisikan belajar sebagai suatu
perubahan tingkah laku dalam diri seseorang yang relatif menetap sebagai hasil dari
sebuah pengalaman. Selain itu, ahli-ahli psikologi mempunyai pandangan yang berada
mengenai apa belajar itu. Dalam pandangan psikologis, setidak-tidaknya ada empat
pandangan mengenai belajar.
Pertama, pandangan yang berasal dari aliran psikologi behavioristik.
Menurut pandangan ini, belajar dilaksanakan dengan kontrol instrumental dari
lingkungan. Guru mengkondisikan sedemikian sehingga pembelajar atau siswa mau
belajar. Mengajar dengan demikian dilaksanakan dengan kondisioning, pembiasaan,
peniruan. Hadiah dan hukuman sering ditawarkan dalam mengajar dan belajar
demikian. Kedaulatan guru dalam belajar demikian relatif tinggi, sementara
kedaulatan siswa sebalikya, relatif rendah.
Kedua, pandangan yang berasal dari psikologi humanistik. Pandangan
humanistik ini merupakan anti tesa pandangan behavioristik. Dalam pandangan
demikian, belajar dapat dilakukan sendiri oleh siswa. Dalam belajar demikian siswa
senantiasa menemukan sendiri mengenai sesuatu tanpa banyak campur tangan dari
guru. Peranan guru dalam mengajar dan belajar demikian relatif rendah, sementara
kedaulatan guru relatif rendah.
Ketiga, pandangan yang berasal dari psikologi kognitif. Pandangan ini
merupakan konvergensi dari pandangan behavioristik dan humanistik. Menurut
pandangan demikian belajar merupakan perpaduan dari usaha pribadi dengan kontrol
instrumental yang berasal dari lingkungan. Oleh karena itu, metode belajar yang cocok
dalam pandangan ini adalah eksperimentasi.
Selain ketiga pandangan tersebut, ada pandangan keempat dari psikologi
gestalt. Menurut pandangan psikologi gestalt, belajar adalah usaha yang bersifat
totalitas dari individu, oleh karena totalitas lebih bermakna dibandingkan dengan
sebagian-sebagian.

1.2. Pengertian Belajar Menurut Psikologi Behavioristik


Behaviorisme adalah suatu studi tentang kelakuan manusia. Timbulnya aliran
ini disebabkan rasa tidak puas terhadap teori psikologi daya dan teori mental state.
Sebabnya ialah karena aliran-aliran terdahulu hanya menekankan pada segi kesadaran
saja. Berkat pandangan dalam psikologi dan naturalisme science maka timbullah
aliran baru ini. Jiwa atau sensasi atau image tak dapat diterangkan melalui jiwa itu
sendiri karena sesungguhnya jiwa itu adalah respons-respons psikologis. Aliran lama
memandang badan adalah sekunder, padahal sebenamya justru menjadi titik pangkal
bertolak. Natural science melihat semua realita sebagai gerakan-gerakan (movement),
dan pandangan ini mempengaruji timbulnya behaviorisme. Metode instrospeksi
sesungguhnya tidak tepat, sebab menimbulkan pandangan yang berbeda-beda terhadap
objek luar. Dari eksperimen menunjukkan bahwa tikus dapat membedakan antara
wama hijau dan wama merah dan dapat pula dilatih. Jadi kesadaran itu tiada gunanya.
Dalam behaviorisme, masalah matter (zat) menempati kedudukan yang
utama. Dengan tingkah laku segala sesuatu tentang jiwa dapat diterangkan.
Behaviorisme dapat menjelaskan segala kelakuan manusia secara seksama dan
menyediakan perogram pendidikan yang efektif. Dari uraian tersebut, ternyata
konsepsi behaviorisme besar pengaruhnya terhadap masalah belajar. Belajar
ditafsirkan sebagai latihan-latihan pembentukan hubungan antara stimulus dan
respons. Dengan memberikan rangsangan (stimulus), maka anak akan mereaksi
dengan respons. Hubungan situmulus-respons ini akan menimbulkan kebiasaan-
kebiasaan otomatis pada belajar, jadi pada dasamya kelakuan anak adalah terdiri atas
respons-respons tertentu terhadap stimulus-stimulus tertentu. Dengan latihan-latihan
pembentukan maka hubungan-hubungan itu akan semakin menjadi kuat. Inilah yang
disebut S-R Bond Theory. Beberapa teori belajar dari psikologi behavioristik
dikemukakan oleh para psikolog behavioristik. Mereka ini sering disebut
Contemporary Behaviorists atau jg disebut S-R Psychologists. Mereka
berpendapat bahwa tingkah laku manusia itu dikendalikan oleh ganjaran (reward) atau
penguatan (reinforcement) dari lingkungan. Dengan demikian, dalam tingkah laku
belajar terdapat jalinan yang erat antara reaksi-rekasi behavioral dengan stimulasinya.
Guru-guru yang menganut pandangan ini berpendapat bahwa tingkah laku murid-
murid merupakan reaksi-reaksi terhadap lingkungan mereka pada masa lalu dan masa
sekarang, dan bahwa segenap tingkah laku adalah merupakan hasil belajar. Kita dapat
menganalisis kejadian tingkah laku dengan jalan mempelajari latar belakang
penguatan (reinforcement) terhadap tingkah laku tersebut.
Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa belajar menurut psikologi
behavioristik adalah suatu kontrol instrumental yang berasal dari lingkungan. Belajar
tidaknya seseorang bergantung kepada faktor-faktor kondisional yang diberikan oleh
lingkungan. Oleh karena itu, teori ini juga dikenal dengan teori conditioning. Tokoh-
tokoh psikologi behavioristik mengenai belajar ini antara lain adalah : Pavlov,
Watson, Guthrie dan Skinner. Psikologi aliran behavioristik mulai mengalami
perkembangan dengan lahirnya teori-teori tentang belajar yang dipelopori oleh
Thorndike, Pavlov, Wabon, dan Ghutrie. Mereka masing-masing telah mengadakan
penelitian yang menghasilkan penemuan-penemuan yang berharga mengenai hal
belajar. Pada mulanya pendidikan dan pengajaran di Amerika serikat di dominasi oleh
pengaruh Thorndike (1874-1949). Teori belajar Thorndike disebut connectionism,
karena belajar merupakan proses pembentukan koneksi-koneksi antara stimulus dan
respons. Teori ini sering disebut trial dan error learning individu yang belajar
melakukan kegiatan melalui proses trial and error dalam rangka memilih respon
yang tepat bagi stimulus tertentu. Thorndike mendasarkan teorinya atas hasil-hasil
penelitiannya terhadap tingkah laku berbagai binatang antara lain kucing, tingkah laku
anak-anak dan orang dewasa. Objek penelitian dihadapkan kepada situasi baru yang
belum dikenal dan membiarkan objek melakukan berbagai pada aktivitas untuk
merespon situasi itu. Dalam hal itu, objek mencoba berbagai cara beraksi sehingga
menemukan keberhasilan dalam membuat koneksi sesuatu rekasi dengan stimulasinya.
Ciri-ciri belajar dengan trial and error yaitu :
1. Ada motif pendorong aktivitas
2. Ada berbagai respon terhadap situasi
3. Ada eliminasi respon-respon yang gagal/salah
4. Ada kemajuan rekasi-reaksi mencapai tujuan.
Dari penelitiannya itu Thorndike menemukan hokum-hukum :
(1) Law of Readiness (hukum kesiapan), jika reaksi terhadap stimulus didukung
oleh kesiapan untuk bertindak atau bereaksi itu, maka reaksi menjadi memuaskan.
(2) Law of Exercise (hukum latihan), makin banyak dipraktekkan atau
digunakannya hubungan stimulus respon, makin kuat hubungan itu. Praktek perlu
disertai dengan reward.
(3) Law of Effect(hukum pengaruh) , bilamana terjadi hubungan antara stimulus
dan respon dan dibarengi dengan state of affairs yang memuaskan, maka
hubungan itu menjadi lebih kuat. Bilamana hubungan dibarengi state of affairs
yang mengganggu, maka kekuatan hubungan menjadi berkurang.
Selain mengemukakan tiga hukum belajar, Thorndike mengemukakan prinsip-prinsip
belajar, yaitu :
a. Pada saat seseorang berhadapan dengan sebuah situasi yang bagi dia termasuk
baru, berbagai ragam respon ia lakukan. Respon tersebut ada kalanya berbeda-
beda sampai yang bersangkutan memperoleh respon yang benar.
b. Apa yang ada pada diri seseorang, baik itu berupa pengalaman, kepercayaan,
sikap dan hal-hal lain yang telah ada pada dirinya, turut menentukan tercapainya
tujuan yang ingin dicapai.
c. Pada diri seseorang sebenamya terdapat potensi untuk mengadakan seleksi
terhadap unsur-unsur penting dari yang kurang atau penting hingga akhirnya
dapat menentukan respon yang tepat.
d. Orang cenderung memberikan respon yang sama terhadap situasi yang sama.
e. Orang cenderung mengadakan assosiative shiffing, ialah menghubungkan respon
yang ia kuasai dengan situasi tertentu tatkala menyadari bahwa respon yang ia
kuasai dengan situasi tersebut mempunyai hubungan.
f. Manakala suatu respon cocok dengan situasinya relatif mudah untuk dipelajari
(concept belongingness).
Sementara Thorndike mengadakan penelitiannya, di Rusia Ivan Pavlov
(1849-1936) juga menghasilkan teori belajar yang disebut classical conditioning
atau stimulus substitution. Mula-mula teori conditioning ini dikembangkan oleh
Pavlov (1972). Teori Pavlov berkembang dari percobaan laboratoris terhadap anjing.
Dalam percobaan ini, anjing diberi stimulus bersyarat sehingga terjadi reaksi bersyarat
pada anjing. Ia melakukan percobaan terhadap anjing. Anjing tersebut diberi makanan
dan diberi lampu. Pada saat diberi makanan dan lampu keluarkan respon anjing
tersebut berupa keluamya air liur. Demikian juga jika dalam pemberikan makanan
tersebut disertai dengan bel, air liur tersebut juga keluar. Pada saat bel atau lampu
diberikan mendahului makanan, anjing tersebut juga mengeluarkan air liur. Makanan
yang diberikan tersebut oleh Pavlov disebut sebagai perangsangan yang tak bersyarat,
sementara bel atau lampu yang menyertai disebut sebagai perangsang bersyarat.
Terhadap perangsang tak bersyarat yang disertai dengan perangsang bersyarat
tersebut, anjing memberikan respons berupa keluarnya air liur. Selanjutnya, ketika
perangsang bersyarat (bel, lampu) diberikan tanpa perangsang tak bersyarat anjing
tersebut tetap memberikan respon dalam bentuk keluarnya air liur. Oleh karena
perangsang bersyarat (sebagai pengganti perangsang tak bersyarat : makanan) ini
ternyata dapat menimbulkan respons, maka dapat berfungsi sebagai conditioned.
Karena itu, teori Pavlov ini dikenal teori classical conditioning. Menurut Pavlov
pengkondisian yang dilakukan pada anjing demikian ini, dapat juga berlaku pada
manusia. Teori kondisioning Pavlov tersebut dapat dimodelkan sebagai berikut :
Bel / Lampu + Makanan air liur (berulang-ulang)
Bel / Lampu air liur
Teori kondisioning ini lebih lanjut dikembangkan oleh Jhon B. Watson (1970)
adalah orang pertama di Amerika Serikat yang mengembangkan teori belajar
berdasarkan hasil penelitian Pavlov. Watson berpendapat, bahwa belajar merupakan
proses terjadinya refleks-refleks atau respons-respons bersyarat melalui stimulus
pengganti. Menurut Watson, manusia dilahirkan dengan beberapa refleks dan reaksi-
reaksi emosional berupa takut, cinta dan marah. Semua tingkah laku lainnya terbentuk
oleh hubungan-hubungan stimulus-respon baru melalui conditioning. Salah satu
percobaannya adalah terhadap anak bayi umur 11 bulan bernama Albert dengan seekor
tikus putih. Rasa takut dapat timbul tanpa dipelajari dengan proses ekstinksi, dengan
mengulang stimulus bersyarat tanpa di barengi stimulus tak bersyarat.
Edwin R. Guthrie memperluas penemuan Watson tentang belajar. Ia
mengemukakan prinsip belajar yang disebut The Law of Association yang berbunyi :
suatu kombinasi stimulus yang telah menyertai suatu gerakan, cenderung akan
menimbulkan gerakan itu, apabila kombinasi stimulus itu muncul kembali. Dengan
kata lain, jika anda mengerjakan sesuatu dalam situasi tertentu, maka nantinya dalam
situasi yang sama anda akan mengerjakan hal serupa lagi. Menurut Guthrie, belajar
memerlukan reward dan kedekatan antara stimulus dan respon. Guthrie berpendapat,
bahwa hukuman itu tidak baik dan tidak pula buruk. Efektif tidaknya hukuman
tergantung pada apakah hukuman itu menyebabkan murid belajar atau tidak.
Teori belajar kondisioning ini kemudian dikembangkan oleh Guthrie (1935-
1942). Guthrie berpendapat bahwa tingkah laku manusia dapat diubah : tingkah laku
jelek dapat diubah menjadi baik. Teori Guthrie berdasarkan atas model penggantian
stimulus satu ke stimulus yang lain. Responsi atas suatu situasi cenderung di ulang
manakala individu menghadapi situasi yang sama. Inilah yang disebut dengan
asosiasi. Menurut Guthrie, setiap situasi belajar merupakan gabungan berbagai
stimulus (dapat intemal dan dapat ekstemal) dan respon. Dalam situasi tertentu,
banyak stimulus yang berasosiasi dengan banyak respon. Asosiasi tersebut, dapat
benar dan dapat juga salah. Ada tiga metode pengubahan tingkah laku menurut teori
ini, yaitu :
a. Metode respon bertentangan. Misalnya saja, jika anak jijik terhadap sesuatu,
sebutlah misalkan saja boneka, maka permainan anak yang disukai tersebut
diletakkan di dekat boneka. Dengan meletakkan permainan di dekat boneka, dan
ternyata boneka tersebut sebenamya tidak menjijikkan, lambat laun anak tersebut
tidak jijik lagi kepada boneka. Peletakan permainan yang paling disukai tersebut
dapat dilakukan secara berulang-ulang.
b. Metode membosankan. Misalnya saja anak kecil suka mengisap rokok. Ia disuruh
merokok terus sampai bosan ; dan setelah bosan, ia akan berhenti merokok
dengan sendirinya.
c. Metode mengubah lingkungan. Jika anak bosan belajar, maka lingkungan
belajarnya dapat diubah-ubah sehingga ada suasana lain dan memungkinkan ia
betah belajar.
Selanjutnya, B. Frederick Skinner mengembangkan teori kondisioning
dengan menggunakan tikus sebagai kelinci percobaan. Dari hasil percobaannya
Skinner membedakan respon menjadi dua, ialah respon yang timbul dari stimulus
tertentu dan operant (instrumental) respons yang timbul dan berkembang karena
diikuti oleh perangsang tertentu. Oleh karena itu, teori Skinner ini dikenal dengan
operant conditioning. Seperti halnya Thorndike, Skinner menganggap reward atau
reinforcement sebagai faktor terpenting dalam proses belajar. Skinner berpendapat,
bahwa tujuan psikologi adalah meramal dan mengontrol tingkah laku. Skinner
membagi dua jenis respon dalam proses belajar, yakni :
(1). Responsents : respon yang terjadi karena stimulus khusus misalnya Pavlov
(2). Operants : respon yang terjadi karena situasi random
Perbedaan penting antara Pavlovs classical conditioning dan Skinners
operant conditioning ialah dalam classical conditioning, akibat-akibat suatu tingkah
laku itu. Reinforcement tidak diperlakukan karena stimulusnya menimbulkan respon
yang diinginkan. Operant conditioning, suatu situasi belajar dimana suatu respons
dibuat lebih kuat akibat reinforcement langsung. Dalam percobaannya terhadap tikus-
tikus dalam sangkar, digunakan suatu diskriminative stimulus (tanda untuk
memperkuat respons) misalnya tombol, lampu, pemindah makanan. Disamping itu,
digunakan pula suatu reinforcement stimulus, berupa makanan. Dalam pengajaran,
operants conditioning menjamin respon-respon terhadap stimulus. Apabila murid tidak
menunjukkan reaksi-reaksi terhadap stimulus guru tak mungkin dapat membimbing
tingkah lakunya ke arah tujuan behavior. Guru berperan penting di dlaam kelas untuk
mengontrol dan mengarahkan kegiatan belajar ke arah tercapainya tujuan yang telah
dirumuskan. Adapun jenis-jenis stimulus yang dapat digunakan dalam pembeajaran
adalah sebagai berikut:
(1) Positive reinforcement : Penyajian stimulus yang meningkatkan probabilitas suatu
respon.
(2) Negative reinforcement : Pembatasan stimulus yang tidak menyenangkan, yang
jika dihentikan akan mengakibatkan probabilitas respon.
(3) Hukuman : pemberian stimulus yang tidak menyenangkan misalnya :
Contradktion or reprimand. Bentuk hukuman lain berupa penangguhan stimulus
yang menyenangkan (reinforcing stimulus).
(4) Primary reinforcement : stimulus pemenuhan kebutuhan-kebutuhan fisiologis.
(5) Modifikasi tingkah laku guru : Perlakuan guru terhadap murid-murid berdasarkan
minat dan kesenangan mereka.
Jadwal reinforcement menguraikan tentang kapan dan bagaimana suatu respon
diperbuat ? Ada empat cara penjadwalan reinforcement :
1. Fixed-ratio schedule; yang didasarkan pada penyajian bahan pelajaran, yang
mana pemberi reinforcement baru memberikan penguatan respon setelah terjadi
jumlah tertentu dari respon.
2. Variable ratio schedule; yang didasarkan penyajian bahan pelajaran dengan
penguat setelah rata-rata respon
3. Fixed interval schedule; yang didasarkan atas satuan waktu tetapi diantara
reinforcement
4. variable interval schedule; pemberian renforcement menurut respon betul yang
pertama setelah terjadi kesalahan-kesalahan respon.
Secara singkat, konsep yang berhubungan dengan operant conditioning, di mana teori
ini dikembangkan melalui melalui percobaan atas seekor burung dan dengan kotak yang ada
pengungkitnya yang bila tertekan akan mengeluarkan makanan dan minuman, adalah sebagai
berikut:
a) Reinforcement positif dan Reinforcement negatif.
Penguatan positif adalah stimulus yang menimbulkan kemungkinan bertambahnya
tingkahlaku yang sama, sedangkan penguatan negatif adalah berakhirnya suatu kegiatan
untuk menghilangkan stimulus negatif.
b) Shaping yaitu proses pembentukan tingkahlaku yang makin mendekati tingkahlaku yang
diharapkan.
c) Pendekatan Suksesif yaitu proses pembentukan tingkahlaku yang menggunakan penguatan
pada saat yang tepat sehingga respons dapat diubah sesuai dengan yang disyaratkan.
d) Extinction yaitu proses penghentian kegiatan sebagai akibat dari ditiadakannya penguatan.
e) Chaining of respons yaitu respons dan stimulus yang berangkaian satu sama lain.
f) Skedul penguatan berupa berbagai variasi pemberian penguatan seperti: rasio tetap dan
bervariasi, interval tetap dan bervariasi.
Dalam hubungannya dengan penguatan, perlu diperhatikan 7 (tujuh) prinsip peng-gunaannya
dalam upaya mengendalikan perilaku, yaitu:
a. Didasarkan pada efek penguatan terhadap anak seperti pujian yang menyenangkan,
pengakuan kelompok (teman sekelas).
b. Diberikan secara otomatis tanpa memberitahukan atau menjanjikan sebelumnya.
c. Dihubungkan dengan tujuan belajar terdekat (terminal behavior).
d. Diberikan secara konsisten, dalam arti bahwa perilaku yang pada suatu waktu diberikan
hadiah, pada waktu lain hendaknya juga diberikan hadiah, bukan hukuman.
e. Diberikan sesegera mungkin, misalnya hasil tes-ujian setelah diperiksa dan diberi nilai
segera dikembalikan kepada anak yang bersangkutan.
f. Diberikan berdasarkan pertimbangan keadilan.
g. Penataan situasi belajar secara bertahap yang memungkinkan pemberian penguatan untuk
setiap tahap pengalaman belajar.

1.3. Pengertian Belajar Menurut Psikologi Kognitif


Ada beberapa ahli yang belum merasa puas terhadap penemuan-penemuan
para ahli sebelumnya mengenai belajar sebagai proses hubungan stimulus-respon-
reinforcement. Mereka berpendapat, bahwa tingkah laku seseorang tidak hanya
dikontrol oleh Reward dan reinforcement. Mereka ini adalah para ahli jiwa aliran
kognitif. Menurut pendapat mereka, tingkah laku seseorang senantiasa didasarkan
pada kognisi, yaitu tindakan mengenal atau memikirkan seseorang terlibat langsung
dalam situasi itu dan memperoleh insight untuk pemecahan masalah. Jadi kaum
kognitif berpandangan, bahwa tingkah laku seseorang lebih bergantung kepada insight
terhadap hubungan-hubungan yang ada dalam suatu situasi. Keseluruhan adalah lebih
dari bagian-bagiannya. Mereka memberi tekanan pada organisasi pengamatan atas
stimulus di dalam lingkungan serta faktor-faktor yang mempengaruhi pengamatan.
Menurut psikologi kognitif, belajar dipandang sebagai suatu usaha untuk mengerti
tentang sesuatu. Usaha untuk mengerti tentang sesuatu tersebut, dilakukan secara aktif
oleh pembelajar. Keaktifan tersebut dapat berupa mencari pengalaman, mencari
informasi, memecahkan masalah, mencermati lingkungan, mempraktekkan,
mengabaikan dan respon-respon yang lainnya guna mencapai tujuan. Para psikolog
kognitif berkeyakinan bahwa pengetahuan yang dipunyai sebelumnya, sangat
menentukan terhadap perolehan belajar :yang berhasil dipelajari yang berhasil diingat
dan yang mudah dilupakan.
Salah satu teori belajar yang berasal dari psikologi kognitif adalah teori
pemerosesan informasi. Menurut teori ini, belajar dipandang sebagai proses
pengolahan informasi dalam otak manusia. Sedangkan pengolahan oleh otak manusia
sendiri dimulai dengan pengamatan (penginderaan) atas informasi yang berada dalam
lingkungan manusia, penyimpanan (baik untuk jangka waktu pendek maupun
panjang), penyimpanan / pengkodean / penyandian terhadap informasi-informasi yang
tersimpan, dan setelah membentuk pengertian, kemudian dikeluarkan kembali oleh
pembelajar. Menurut teori ini suatu informasi yang berasal dari lingkungan
pembelajar, pada awalnya diterima oleh reseptor. Reseptor-reseptor tersebut
memberikan simbol-simbol informasi yang ia terima, dan kemudian diteruskan ke
registor penginderaan yang terdapat pada saraf pusat. Dengan demikian, informasi-
informasi yang diterima oleh registor penginderaan telah mengalami transformasi.
Informasi yang masuk ke dalam syaraf pusat tersdebut kemudian disimpan
dalam waktu pendek. Informasi-informasi yang disimpan dalam waktu sebentar ini,
sebagian diantaranya diteruskan ke memori jangka pendek, sedangkan selebihnya
hilang dari sistem. Proses pereduksian seperti ini dikenal juga dengan persepsi
selektif. Sementara memori jangka pendek lazim juga dikenal dengan memori kerja
dan kesadaran. Kapasitas memori jangka pendek ini amat terbatas, waktunya juga
pendek. Informasi dalam memori jangka pendek dapat ditranspormasi dalam bentuk
kode-kode dan selanjutnya, diteruskan ke memori jangka panjang. Saat transpormasi,
informasi-informasi baru terintegrasi dengan informasi-informasi lama yang sudah
tersimpan dalam memori jangka panjang bertahan lama, dan disiapkan untuk
dipergunakan di kemudian hari.
Pengeluaran kembali atas informasi-informasi yang terseimpan dalam
memori jangka panjang adalah dengan pemanggilan. Dalam pikiran yang sadar,
informasi mengalir dari memori jangka panjang ke memori jangka pendek, dan
kemudian kegenerator respon. Sementara untuk respon otomatis, informasi mengalir
langsung dari memori jangka panjang kegenerator respon selama
pemanggilan.menurut psikologi belajr kognitif, reinforcemen sangat penting juga
dalam belajar, meskipun alasan yang dikemukakan berbeda dengan psikologi
behavioristik. Sebab, manakala menurut psikolog behavioristik reinforcemen
berfungsi sebagai pemerkuat respon atau tingkah laku, maka menurut psikolog
kognitif, berfungsi sebagai sumber umpan balik, megurangi keragu-raguan hingga
mengarah kepada pengertian. Teori kognitif berpijak pada tiga hal yaitu :
(1) Perantara Sentral (central intermediaries) yaitu proses-proses pusat otak (central
brain), misalnya ingatan atau ekpektasi merupakan integrator tingkah laku yang
bertujuan. Pendapat ini berdasarkan pada inferensi tingkah laku yang tampak
(diamati)
(2) Pertanyaan tentang apa yang dipelajari ? Jawabannya adalah struktur kognitif,
bahwa yang dipelajari adalah fakta, kita mengetahui dimana adanya, yang
mengetahui altemate routes illustratis cognitive structure . variabel tingkah laku
non habitual adalah struktur kognitif sebagai bagian dari apa yang dipelajari.
(3) Pemahaman dalam pemecahan masalah. Pemecahan suatu masalah ialah dengan
cara menyajikan pengalaman lampau dalam bentuk struktur perseptual yang
mendasari terjadinya insight (pemahaman) di mana adanya pemgetian mengenai
hubungan-hubungan yang essensial. Perferensi yang digunakan adalah the
contemporary structuring of the problem.
Adapun Prinsip-prinsip belajar teori kognitif adalah sebagai berikut:
(1) Gambaran perseptual sesuai dengan masalah yang dipertunjukkan kepada siswa
adalah kondisi belajar yang penting. Suatu masalah belajar yang trstruktur dan
disajikan upaya gambaran-gambaran yang esensial terbuka terhadap inspeksi dari
siswa.
(2) Organisasi pengetahuan harus merupakan sesuatu mendasar bagi guru atau
perencana pendidikan. Susunanya dari yang sederhana ke yang kompleks, dalam
arti dari keseluruhan yang sederhana ke keseluruhan yang lebih kompleks.
Masalah bagian keseluruhan adalah masalah organisasi dan tidak bertalian dengan
teori pola kompleksitas. Sesuai dengan pandangan mengenai pertumbuhan
kognitif, maka organisasi pengetahuan tergantung pada tingkat perkembangan
siswa.
(3) Belajar dengan pemahaman (understanding) adalah lebih permanen (menetap) dan
lebih memungkinkan untuk ditransferkan, dibandingkan dengan rte leaming atau
belajar dengan formula. Berbeda dengan teori stimulus respon, teori yang
menitikberatkan pada pentingnya kebermaknaan dalam belajar dan mengingat
(retention).
(4) Umpan balik kognitif mempertunjukkan pengetahuan yang benar dan tepat dan
mengoreksi kesalahan belajr. Siswa menerima atau menolak sesuatu berdasarkan
konsekuensi dari apa yang telah diperbuatnya. Dalam hal ini kognitif setara
dengan penguatan (reinforcement) pada S-R theory, tetapi teori kognitif
cenderung menempatkan titik beratnya pada pengujian hipotesis melalui umpan
balik.
(5) Penetapan tujuan (goal setting) penting sebagai motivasi belajar. Keberhasilan dan
kegagalan menjadi hal yang menentukan cara menetapkan tujuan untuk waktu
yang akan datang.
(6) Berpikir defergen menuju ke ditemukannya pemecahan masalah atau terciptanya
produk yang berilai dan menyenagkan. Berbeda dengan berfikir konvergen yang
menuju ke mendapatkan jawaban-jawaban yang benar secara logika. Berfikir
defergen menuntut dukungan (umpan balik) bagi upaya tentatif seseoranng yang
orisinil agar supaya dia dapat mengamati dirinya sebagai kreatif potensial.

Teori Belajar Cognitive-Field dari Lewin


Bertolak dari penemuan Gestalt Psychology, Kurt Lewin (1892-1947)
mengembangkan suatu teori belajar cognitive field dengan menaruh perhatian kepada
kepribadian dan psikologi sosial. Lewin memandang masing-masing individu berada
di dalam suatu medan kekuatan, yang bersifat psikologis. Medan kekuatan psikologis
dimana individu bereaksi disebut life space. Life space mencakup perwujudan
lingkungan dimana individu bereaksi, misalnya : orang-orang yang ia jumpai, objek
materiil yang ia hadapi, serta fungsi-fungsi kejiwaan yang ia miliki. Lewin
berpendapat, bahwa tingkah laku merupakan hasil interaksi antar kekuatan-kekuatan,
baik dalam diri individu seperti tujuan, kebutuhan, tekanan kejiwaan, maupun dari
luar diri individu seperti sebagai akibat dari perubahan dalam struktur kognitif.
Perubahan struktur kognitif itu adalah hasil dari dua macam kekuatan, satu dari
struktur medan kognisi itu sendiri, yang lainnya dari kebutuhan dan motivasi intemal
individu. Lewin memberikan peranan yang lebih penting pada motivasi dari reward.

Teori Belajar Cognitive Development dari Piaget


Dalam teorinya Piaget memandang bahwa proses berfikir sebagai aktivitas
gradual dari fungsi intelektual dari konkret menuju abstrak. Piaget adalah seorang
psikolog developmental karena penelitiannya mengenai tahap-tahap perkembangan
pribadi serta perubahan umur yang mempengaruhi kemampuan belajr individu. Dia
adalah salah seorang psikolog suatu teori komperhensif tentang perkembangan
intelegensi atau proses berfikir. Menurut Piaget, pertumbuhan kapasitas mental
memberikan kemampuan-kemampuan mental baru yang sebelumnya tidak ada.
Pertumbuhan intelektual adalah tidak kuantitatif, melainkan kualitatif. Apabila ahli
biologi menekankan penjelasan tentang pertumbuhan struktur memungkinkan individu
mengalami penyesuaian diri dengan lingkungnya, maka Piaget tekanan
penyelidikannya lain. Piaget menyelidiki masalah yang sama dari segi penyesuaian
/adaptasi manusia serta meneliti perkembangan intelektual atau kognisi berdasarkan
dalil bahwa struktur intelektual terbentuk di dalam individu akibat interaksinya
dengan lingkungan. Piaget memakai istilah scheme secara interchageably, Piaget
memakai istilah scheme secara interchangeably dengan istilah struktur. Scheme adalah
pola tingkah laku yang dapat diulang-ulang. Scheme berhubungan dengan :
Refleks-refleks pembawaan, misalnya bemafas, makan, minum, dll.
Scheme mental, misalnya scheme of classifkation, scheme of operation (pola
tingkah laku yang masih sukar diamati seperti sikap), scheme of operation (pola
tingkah laku yang dapat diamati).
Menurut Piaget, intelegensi itu sendiri terdiri dari tiga aspek yaitu :
a. Struktur, disebut juga scheme seperti yang dikemukakan di atas.
b. Isi disebut juga content, yaitu pola tingkah laku spesifik tatkala individu
menghadapi sesuatu masalah.
c. Fungsi, disebut juga fungcion, yang berhubungan dengan cara seseorang
mencapai kemajuan intelektual, fungsi itu sendiri terdiri dari dua macam fungsi
invarian, yaitu organisasi dan adaptasi.
Organisasi, berupa kecakapan seseorang / organisme dalam menyusun proses-
proses fisik dan psikis dalam bentu sistem-sistem yang koheren.
Adaptasi, yaitu adaptasi individu terhadap lingkungannya. Adaptasi ini terdiri
dari dua macam proses komplementer yaitu asimilasi dan akomodasi.
Asimilasi : Proses penggunaan struktur atau kemampuan individu untuk
menghadapi masalah dalam lingkungannya.
Akomodasi : Proses perubahanrespon individu terhadap stimuli
lingkungannya.
Dengan penjelasan seperti di atas dapatlah kita ketahui tentang bagaimana
terjadinya pertumbuhan dan perkembangan individu. Pertumbuhan intelektual terjadi
karena adanya proses yang kontinu dari adanya equlibrium-equilibrium. Bila individu
dapat menjaga adanya equilibrium, individu akan dapat mencapai tingkat
perkembangan intelektual yang lebih tinggi. Pengaplikasian di dlaam belajar,
perkembangan kognitif bergantung kepada komodasi. Kepada siswa harus diberikan
suatu area yang belum diketahui agar ia dapat belajar, karena ia tak dapat belajar dari
apa yang telah diketahuinya saja. Ia tak dapat menggantngkan diri pada asimilasi.
Dengan adanya area baru ini siswa akan mengadakan usaha untuk dapat
mengakomodasi. Situasi atau area itulah yang akan mempermudahpertumbuhan
kognitif.
Jadi secara singkat dapat dikatakan bahwa pertumbuhan intelektual anak
mengandung tiga aspek, yaitu structure, content, dan function. Anak yang sedang
mengalami perkembangan. Struktur dan kontent intelektualnya berubah/ berkembang.
Fungsi dan adaptasi akan mtersusun sehingga berubah / berkembang. Fungsi dan
adaptasi akan tersusun sehingga melahirkan suatu rangkaian perkembangan, masing-
masing mempunyai struktur psikologis khusus yang menentukan kecakapan pikir
anak. Maka Piaget mengartikan inteligensi adalah sejumlah struktur piskologis yang
ada pada tingkat perkembangan khusus. Piaget mengidentifikasi empat faktor yang
mempengaruhi transisi tahap perkembangan anak, yaitu : Kematangan,
Pengalaman fisik / lingkungan, Transmisi social, dan equilibrium atau self
regulation. Selanjutnya ia membagi tingkat-tingkat perkembangan menjadi 4 yaitu:
1. Tingkat Sensori Motoris (0-2 tahun).
Bayi lahir dengan refleks bawaan, skema dimodifikasi dan digabungkan untuk
membentuk tingkah laku yang lebih kompleks. Pada masa kanak-kanak ini, anak
belum mempunyai konsepsi tentang objek yang tetap. Ia hanya dapat mengetahui
hal-hal yang ditangkap dengan inderanya.
2. Tingkat Pra Operasional (2-7 tahun)
Anak mulai timbul pertumbuhan kognitifnya, tetapi masih terbatas pada hal-hal
yang dapat ia jumpai (dilihat) di dalam lingkungannya saja. Baru pada menjelang
akhir tahun ke-2 anak telah mulai mengenal simbol/nama. Tingkat
3. Tingkat Operasi Konkret (7-11 tahun)
Anak telah dapat mengetahui simbol-simbol matematis, tetapi belum dapat
menghadapi hal-hal yang abstrak. Kecakapan kognitif anak :
Combinativy classification
Reversibility
Associativity
Identity
Serializing
4. Tingkat operasi formal ( > 11 tahun)
Anak telah mempunyai pemikiran abstrak pada bentuk-bentuk kompleks. Flavell
(1963) memberikan ciri-ciri sebagai berikut :
a. Pada pemikiran anak remaja adalah hypothetko-deductive.
Ia telah dapat membuat hipotesis-hipotesis dari suatu problema dan membuat
keputusan terhadap problema itu secara tepat, tetapi anak kecil belum dapat
menyimpulkan apakah hipotesisnya ditolak atau diterima.
b. Periode propositional thinking
Remaja telah dapat meberikan statemen atu proposisi berdasarkan pada data
yang konkret. Tetapi kaang-kadang ia berhadapan dengan proporsi yang
bertentangan dengan fakta.
c. Periode combinatorial thinking
Bila remaja itu mempertimbangkan tentang pemecahan problem ia telah dapat
memisahkan faktor-faktor yang menyangkut dirinya dan mengkombinasi
faktor-faktor itu.

Jerome Bruner Dengan Discovery Learning


Yang menjadi dasar ide J. Bruner ialah pendapat dari Piaget yang menyatakan
bahwa anak harus berperan secara aktif di dalam belajr di kelas. Untuk itu Bruner
memakai cara dengan apa yang disebutnya discovery learning, yaitu dimana murid
mengorganisasi bahan yang dipelajari dengan suatu bentuk akhir. Prosedur ini berbeda
dengan reception learning atau expository teaching, dimana guru menerangkan
informasi dan murid harus mempelajari semua bahan/informasi itu. Banyak pendapat
yang mendukung discovery learning itu, diantaranya Jhon Dewey (1933) dengan
complete art of reflective activity aau dikenal dengan problem solving. Ide Bruner itu
ditulis dalam bukunya Process of Education. Di dalam buku itu ia melaporkkan hasil
dari suatu konferensi diantara suatu para ahli science. Ahli sekolah/pengajaran dan
pendidik tentang pengajaran science. Dalam hal ini /ia mengemukakan pendapatnya,
bahwa mata pelajaran dapat diajarkan secara efektif dalam bentuk intelektual yang
sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Pada tingkat permulaan pengajaran
hendaknya dapat diberikan melalui cara-cara yang bermakna, dan makin meningkat ke
arah yang abstrak.
Bruner mendapat pertanyaan, bagaimana kita dapat mengembangkan program
pengajaran yang lebih efektif bagi anak yang muda ? Jawaban Bruner ialah dengan
mengkoordinasikan metode penyajian bahan itu, yang sesuai dengan tingkat kemajuan
anak. Tingkat-tingkat kemajuan anak dari tingkat kamajuan anak (anactive) ke
representasi konret (konek) dan akhirnya ke tingkat representasi yang abstrak
(symbolik). Demikian juga dalam penyesuaian kurikulum. Pemyataan lain dan process
of education ialah tentang bagaimana mata pelajaran itu harus diajarkan. Kurikulum
dari suatu mata pelajaran harus ditentukan oleh pengertian yang sangat fundamental
bahwa hal itu dapat dicapai berdasarkan prinsip-prinsip yang memberikan struktur
bagi mata pelajaran itu. Maka di dalam mengajar harus dapat diberikan kepada murid
struktur dari mata pelajaran itu, murid harus mempelajari prinsip-prinsip itu sehingga
terbentuklah suatu disiplin. Sekali murid mengetahui prinsip itu ia problem di dalam
disiplin itu. Bruner menyebutkan hendaknya guru harus memberikan kesempatan
kepada muridnya untuk menjadi seorang problem solver, seorang scientist, historin,
atau ahli matematika.Biarkanlah murid-murid kita menemukan arti bagi diri mereka
endiri, dan memungkinkan mereka untuk mempelajari konsep-konsep di dalam bahasa
yang dimengerti mereka.
Secara garis besar Bruner berpendapat dalam proses pembelajaran hendaknya guru
menguraikan pengalaman belajar yang perlu dialami para siswanya, menguraikan cara
mengorganisasi batang tubuh ilmu pengetahuan yang dipelajari, menguraikan urutan pokok-
pokok bahasan yang disajikan, dan menguraikan prosedur penggunaan penguatan dalam proses
belajar. Selanjutnya teknik-teknik penyajian yang dapat ditempuh adalah:
a) enaktif, berupa gerak konkret dalam kegiatan psikomotor.
b) Ikonik, berupa penggunaan gambar dalam menyajikan konsep, objek, atau prisip.
c) Simbolik, penggunaan kata-kata atau bahasa dalam menyajikan ide,objek, atau prinsip-
prinsip yang dipelajari.
Hal yang perlu diingat bahwa teknik penyajian dapat dilakukan secara kombinasi, dan bila
dilihat dari tahap-tahap perkembangan individu peseta didik disarankan untuk dilakukan secara
berurutan.

1.4. Pengertian Belajar Menurut Psikologi Humanistik


Pada akhir tahun 1940-an muncul suatu perspektif psikologi baru. Orang-
orang yang terlibat dalam penerapan psikologilah yang berjasa dalam perkembangan
ini, misalnya ahli-ahli psikologi klinik, pekerja-pekerja sosial dan konseler. Gerakan
ini erkembang, dan kemudian dikenal sebagai psikologi humanistik, eksestensial,
perceptual, atau fenomenologikal. Psikologi ini berusaha untuk memahami perilaku
seseorang dari sudut si pelaku (behaver), bukan dari pengamat (observer). Dalam
dunia pendidikan, aliran humanistik muncul pada tahun 1960 sampai 1970-an dan
mungkin perubahan-perubahan dan inovasi yang terjadi selama dua dekade yang
terakhir pada abad 20 ini pun juga akan menuju pada arah ini (John Jarolimak ek,
Cliffor D Foste, 1976, halaman 330)
Perhatian psikologi humanistik yang terutama tertuju pada masalah
bagaimana tiap-tiap individu dipengaruhi dan dibimbing oleh maksud-maksud pribadi
yang mereka hubungkan kepada pengalaman-pengalaman mereka sendiri. Menurut
para pendidik aliran humanistik penyusunan dan penyajian materi pelajaran barus
sesuai dengan perasaan dan perhatian siswa. Tujuan utama para pendidik ialah
membantu siswa untuk mengembangkan dirinya, yaitu membantu masing-masing
individu untuk mengenal diri mereka sendiri sebagai manusia yang unik dan
membantunya dalam mewujudkan potensi-potensi yang ada pada diri mereka
(Hamachek, 1977, p. 148). Psikologi humanistik berkeyakinan bahwa anak termasuk
makhluk yang unik, beragam, berbeda antara satu dengan yang lain. Keberagaman
yang ada pada diri anak, hendaknya dikukuhkan. Dengan demikian, seorang pendidik
atau guru bukanlah bertugas untuk membentuk anak menjadi manusia sesuai yang ia
kehendaki, melainkan memantapkan visi yang telah ada pada anak itu sendiril untuk
itu, seorang pendidik pertama kali membantu anak untuk memahami diri mereka
sendiri, dan tidak memaksakan pemahamannya sendiri mengenai diri siswa.
Keberagaman anak tidak saja dari segi lahir, melainkan yang terutama adalah dari segi
batinnya. Oleh karena itu, jika ingin memahami anak, tidak dapat dengan
menggunakan perspektif orang yang memahami, melainkan dengan menggunakan
perspektif orang yang dipahami.
Dalam menyoroti masalah perilaku, ahli-ahli psikologi behavioral dan
humanistik mempunyai pandangan yang sangat berbeda. Perbedaan ini dikenal
sebagai freedom of determination issue. Para behaviorest memandang orang sebagai
makhluk reaktif yang memberikan responsnya terhadap lingkungannya. Pengalaman
lampau dan pemeliharaan akan membentuk perilaku mereka. Sebaliknya para
humanistik mempunyai pendapat bahwa tiap orang itu menentukan perilaku mereka
sendiri. Mereka bebas dalam memilih kualitas hidup mereka, tidak terikat oleh
lingkungannya. Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa pandangan psikologi
humanistik merupakan anti tesa dari pandangan psikologi behavioristik. Maka dalam
pandangan psikologi behavioristik, belajar merupakan kontrol instrumental yang
dilakukan oleh lingkungan, maka dalam pandangan psikologi humanistik justru
sebaliknya. Belajar dilakukan dengan cara memberikan kebebasan yang sebesar-
besarnya kepada individu. Ada beberapa tokoh yang menonjol dalam aliran
humanistik seperti: Combs, Maslow, dan Rogers
1) Combs :
Combs dan kawan-kawan menyatakan apabila kita ingin memahami perilaku
orang kita harus mencoba memahami dunia persepsi orang itu. Apabila kita ingin
mengubah perilaku seseorang, kita harus berusaha mengubah keyakinan atau
pandangan orang itu, perilaku dalam lah yang membedakan seseorang dari yang lain.
Combs dan kawan-kawan selanjutnya mengatakan bahwa perilaku buruk itu
sesungguhnya tak lain hanyalah dari ketidakmauan seseorang untuk melakukan
sesuatu yang tidak akan memberikan kepuasan baginya. Apabila seorang guru
mengeluh bahwa siswanya tidak mempunyai motivasi untuk melakukan sesuatu, ini
sesungguhnya berarti, bahwa siswa itu tidak mempunyai motivasi untuk melakukan
sesuatu yang dikehendaki oleh guru itu. Apabila guru itu memberikan aktivitas yang
lain, mungkin sekali siswa akan memberikan reaksi yang positif. Para ahli humanistik
melihat adanya dua bagian pada leaming, yaitu: pemerolehan informasi baru dan
personalisasi informasi.
Combs berpendapat bahwa banyak guru membuat kesalahan dengan
berasumsi bahwa siswa mau belajar apabila subject matter-nya disusun dan disajikan
sebagaimana mestinya. Padahal arti tidaklah menyatu pada subject matter itu, dengan
kata lain di individulah yang memberikan arti tadi kepada subject matter itu. Sehingga
yang penting ialah bagaimana caranya membawa si siswa untuk memperoleh arti bagi
pribadinya dari subject matter itu, bagaimana siswa itu menghubungkan subject matter
itu dengan kehidupannya (Principles of Instruction Design oleh Robert M. Gayne &
Leshe J. Briggs, halaman 212). Combs memberikan lukisan persepsi diri dan persepsi
dunia seseorang seperti dua lingkaran (besar dan kecil) yang bertitik pusat satu.
Lingkaran kecil (1) adalah gambaran dari persepsi diri dan lingkaran besar (2) adalah
persepsi dunia. Makin jauh peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri makin berkurang
pengaruhya pada individu dan makin dekat peristiwa-peristiwa itu dari persepsi diri
makin besar pengaruhnya terhadap perilakunya. Jadi, hal-hal yang mempunyai sedikit
hubungan dengan diri, makin mudah hal itu terlupakan.

2) Abraham Maslow
Teori didasarkan atas asumsi bahwa di dalam diri kita ada dua hal yaitu suatu
usaha yang positif untuk berkembang dan kekuatan untuk melawan atau menolak
perkembangan itu, (maslow, 1968). Pada diri masing-masing orang mempunyai
berbagai perasaan takut seperti rasa takut untuk berusaha atau berkembang, takut
untuk mengambil kesempatan, takut membahayakan apa yang sudah ia miliki dan
sebagainya. Tetapi mendorong untuk maju ke arah keutuhan, keunikan diri,
menghadapi dunia luar dan pada saat itu juga ia dapat menerima diri sendifi (self).
Maslow membagi kebutuhan-kebutuhan (needs) manusia dalam bentuk hirarki
kebutuhan. Bila seseorang telah dapat memenuhi kebutuhan pertama, seperti
kebutuhan fisiologis, barulah ia dapat menginginkan kebutuhan yang terletak di
atasnya, ialah kebutuhan mendapatkan rasa aman dan seterusnya. Hirarki kebutuhan
manusia menurut Maslow ini mempunyai implikasi yang penting yang harus
diperhatikan oleh guru pada waktu ia mengajar anak-anak. Ia mengatakan bahwa
perhatian dan motivasi belajar tidak mungkin berkembang kalau kebutuhan dasar si
siswa belum terpenuhi.

3) Carl Rogers
Salah seorang tokoh psikologi humanistik adalah Carl Rogers, seorang ahli
psikoterapi. la mempunyai pandangan bahwa siswa yang belajar hendaknya tidak
dipaksa, melainkan dibiarkan belajar bebas. Tidak itu saja, siswa juga diharapkan
dapat membebaskan dirinya hingga ia dapat mengambil keputusan sendiri dan berani
bertanggung jawab atas keputusan-keputusan yang ia ambil atau pilih. Dalam belajar
demikian, anak tidak dketak menjadi oran lain melainkan dibiarkan dan dipupuk untuk
menjadi dirinya sendiri. la tidak direkayasa agar terikat kepada orang lain, bergantung
kepada pihak lain dan memenuhi harapan orang lain. la dibiarkan agar tetap bisa
menjadi arsitek buat dirinya sendiri. Rogers mengemukakan prinsip-prinsip belajar
humanistik sebagai berikut :
a. Hasrat Untuk Belajar
Hasrat untuk belajar merupakan suatu hal yang bersifat alamiah bagi manusia. Ini
disebabkan adanya hasrat ingin tahu manusia yang terus menerus terhadap dunia
dengan segala isinya. Hasrat ingin tahu yang demikian terhadap dunia
sekelilingnya, menjadikan penyebab seseorang senantiasa berusaha mencari
jawabannya. Dalam proses mencari jawaban inilah, seseorang mengalami
aktivitas-aktivitas belajar.
b. Belajar Bermakna.
Dalam pandangan psikologi humanistik makna sangat penting dalam belajar.
Seorang beraktivitas atau tidak senantiasa akan menimbang-nimbang apakah
aktivitas tersebut menipunyai makna buat dirinya. Sebab, sesuatu yang tak
bermakna bagi dirinya, tentu tidak akan ia lakukan.
c. Belajar Tanpa Hukuman.
Hukuman memang dapat saja membuat seseorang untuk belajar. Tetapi, hasil
belajar demikian tidak akan bertahan lama. la melakukan aktivitas sekedar
menghindari ancaman hukuman. Pada hal, manakala hukuman tak ada,
aktivitaspun tidak akan dilakukan. Oleh karena itu, agar anak belajar justru harus
dibebaskan dari ancaman hukuman. Belajar yang terbebas dari ancaman hukuman
demikian im menjadikan penyebab anak bebas melakukan apa saja, mencoba-
coba sesuatu yang bermanfaat buat dirinya. mengadakan eksperimentasi-
eksperimentasi hingga anak dapat menemukan sendiri mengenai sesuatu yang
baru. Kreativitas anak dalam belajar yang bebas dari ancaman hukuman dengan
sendirinya juga akan meningkat.
d. Belajar Dengan Inisiatif Sendiri.
Belajar dengan inisiatif sendiri pada diri pembelajar sebenamya menyiratkan
betapa tingginya motivasi internal yang dipunyai. Pembelajar yang banyak
berinisiatif tatkala belajar, senantiasa mencari cara-cara hingga dia berhasil dalam
belajarnya. Inisialif yang lahir dari diri sendiri im juga menunjukkan rendalmya
dependensi pembelajar terhadap orang lain. la akan bebas melakukan apa saja
dalam belajarnya. dan tidak terikat oleh rekayasa-rekayasa yang berasal dari
lingkungannya. Pada diri pembelajar yang kaya inisiatif, terdapat kemampuan
untuk mengarahkan dirinya sendiri, menentukan pilihannya sendiri serta berusaha
menimbang-nimbang sendiri mana hal yang baik bagi dirinya. la akan berusaha
dengan totalitas pribadinya untuk mencapai sesuatu yang ia cita-citakan.
e. Belajar dan Perubahan.
Dunia terus berubah, dan siapapun di dunia ini tak ada yang dapat menangkal
perobahan. Oleh karena itu, pembelajar haruslah dapat belajar dalam segala
kondisi dan situasi yang serba berubah. Kalau tidak, ia akan terlindas oleh
perubahan. Dengan demikian, belajar yang sekedar mengingat fakta, menghafal
sesuatu, dipandang tidak cukup. Orang harus dapat menyesuaikan dalam sebuah
dunia yang senantiasa berubah.
Dalam bukunya freedom to learn, ia menunjukkan sejumlah prinsip-prinsip
belajar humanistik yang penting, di antaranya adalah :
(1) Manusia itu mempunyai kemampuan untuk belajar secara alami.
(2) Belajar yang signifikan terjadi apabila subject matter di rasakan murid
mempunyai relevansi dengan maksud-maksudnya sendiri.
(3) Belajar yang menyangkut suatu perubahan di dalam persepsi mengenai dirinya
sendiri dianggap mengancam dan cenderung untuk ditolaknya.
(4) Tugas-tugas belajar yang mengancam diri adalah lebilh mudah dirasakan dan
diasimilasikan apabila ancaman- ancaman dari luar itu semakin kecil
(5) Apabila ancaman terhadap diri siswa rendah, pengalaman dapat diperoleh
dengan berbagai cara yang berbeda-beda dan terjadilah proses belajar
(6) Belajar yang bermakna diperoleh siswa dengan melakukannya.
(7) Belajar diperlancar bilamana siswa dilibatkan dalam proses belajar dan ikut
bertanggung-jawab terhadap proses belajar itu.
(8) Belajar atas inisiatif sendiri yang melibatkan pribadi
siswa seutuhnya baik perasaan maupun intelek, merupakan cara yang dapat
memberikan basil yang mendalam dan lestari.
(9) Kepercayaan tehadap diri sendiri, kemerdekaan. kreativitas lebih mudah dicapai
terutama siswa dibiasakan untuk mawas diri dan mengeritik dirinya sendiri dan
penilaian diri orang lain merupakan cara kedua yang penting.
(10) Belajar yang paling berguna secara sosial di dalam dunia modern ini adalah
belajar mengenai proses belajar. suatu keterbukaan yang terus-menerus terhadap
pengalaman dan penyatuannya ke dalam dirinya sendiri mengenai proses
perubahan itu.

1.5. Pengertian Belajar Menurut Psikologi Gestalt.


Dalam aliran ini ada beberapa istilah yang artinya sama ialah: field, pattera,
organisme, closure, integration, wholistik, configuration, dan gestalt. Karena itu
psikologi gestalt sering disebut psikologi organisme atau field theory. Menurut aliran
ini, jiwa manusia adalah suatu keseluruhan yang berstruktur. Suatu keseluruhan bukan
terdiri dari bagian-bagian atau unsur-unsur. Unsur-unsur itu berada dalam keseluruhan
menurut struktur yang telah tertentu dan saling berinteralisi satu sama lain, Contoh:
kepala manusia bukan merupakan penjumlahan daripada batok kepala, telinga, bidung,
mata, mulut, rambut, dagu, dan sebagainya, melainkan kepala itu adalah suatu
keseluruhan yang bermakna, di mana unsur-unsur tadi teletak pada struktumya
masing-masing. Mata tidak mungkin terletak di ibu jari, hidung tidak mungkin terletak
di tengah-tengah dada dan seterusnya. Pada struktumya masing-masing itulah bagian-
bagian dapat berfungsi sebagaimana mestinya. Bagian-bagian itu hanya bermakna
dalam hubungan keseluruhan itu. Lagi pula sesuatu hal, perbuatan, benda lain-lain
hanya bermakna dalam hubungan dengan situasi tertentu. Misalnya: emas (perhiasan)
hanya bermakna dalam situasi di mana ada pesta. para tamu umumnya memakai
perhiasan yang indah-indah, akan tetapi akan tidak bermakna dalam situasi padang
pasir di mana seseorang sedang mengalami rasa haus dan dahaga. Pandangan ini
sangat berpengaruh terhadap tafsiran tentang belajar. Beberapa pokok yang perlu
mendapat perhatian antara lain ialah :
(1) Timbulnya kelakuan adalah berkat interaksi, antara individu dan lingkungan
dimana faktor apa yang telah dimiliki (natural endowment) lebih menonjol.
(2) Bahwa individu berada dalam keadaan keseimbangan dinamis, adanya gangguan
terhadap keseimbangan itu akan mendorong timbulnya kelakuan.
(3) Mengutamakan segi pemahaman (insight)
(4) Menekankan kepada adanya situasi sekarang, dimana individu menemukan
dirinya
(5) Yang utama dan pertama adalah keseluruhan, dan bagian-bagian hanya bermakna
jika berada dalam keseluruhan itu.
Prinsip-Prinsip Belajar Gestalt (field theory )
1) Belajar dimulai dari suatu keseluruhan. Keseluruhan yang menjadi permulaan,
baru menuju ke bagian-bagian. Dari keseluruhan organisasi mata pelajaran
menuju tugas-tugas harian yang beruntun. Belajar dimulai dari satu unit yang
kompleks menuju ke hal-hal yang mudah dimengerti, deferensiasi pengetahuan
dan kecakapan.
2) Keseluruhan memberikan makna kepada bagian-bagian. Bagian-bagian terjadi
dalam suatu keseluruhan. Bagian-bagian itu hanya bermakna dalam rangka
keseluruhan tadi. Dengan demikian keseluruhan yang memberikan makna
terhadap suatu bagian, misal : sebuah ban mobil hanya bemakna kalau menjadi
bagian dari mobil, sebagai roda. Sebuah papan tulis hanya bermakna sebagai
papan tulis kalau ia berada dalam kelas, sebuah tiang kayu hanya bermakna
sebagai tiang kalau menjadi satu dari rumah dan sebagainya.
3) Individuasi bagian-bagian dari keseluruhan. Mula-mula anak melihat sesuatu
sebagai keseluruhan. Bagian-bagian dilihat dalam hubungan fungsional dengan
keseluruhan. Tetapi lambat laun ia mengadakan deferensiasi bagian-bagian itu
dari keseluruhan menjadi bagian-bagian yang lebih kecil atau kesatuan yang lebih
kecil contoh: mula-mula anak melihat mengenal wajah ibunya sebagai
keseluruhan kesatuan. Lambat laun dia dapat memisahkan mana mata ibu, mana
hidung ibu, mana telinga ibu, kemudian ia melihat bahwa wajah ibunya itu cantik
atau jelek, atau menarik dan sebagainya.
4) Anak belajar dengan menggunakan pemahaman atau insight. Pemahaman adalah
kemampuan melihat hubungan-hubungan antara berbagai faktor atau unsur dalam
situasi yang problematis, seperti simpanse dapat melihat hubungan antara
beberapa buah kotak menjadi sebuah tangan untuk mengambil buah pisang karena
ia sedang lapar.
Tokoh psikologi gestalt ini antara lain adalah Kohler, Koffka dan Wertheimer.
Menurut pandangan psikologi gestalt, belajar terdiri atas hubungan stimulus respon
yang sederhana tanpa adanya pengulangan ide atau proses berfikir. Psikologi kognitif
mulai berkembang dengan lahimya teori belajar Gestalt ini. Peletak dasar psikologi
gestalt adalah Mex Wertheimer (1880-1943) yang meneliti tentang pengamatan dan
problem solving. Sumbangannya ini diikuti oleh Kurt koffka (1886-1941) yang
menguraikan secara terperinci tentang hukum-hukum pengamatan, kemudian
Wolfgang Kohler (1887-1959) yang meneliti tentang insight pada simpanse.
Penelitian-penelitian mereka menumbuhkan psikologi gestalt yang menekankan
bahasan pada masalah konfigurasi, struktur dan pemetaan dalam pengalaman. Kaum
gestalt berpendapat, bahwa pengalaman itu berstruktur yang terbentuk dalam suatu
keseluruhan. Orang yang belajar, mengamati stimuli dalam keseluruhan yang
terorganisasi, bukan dalam bagian-bagian yang terpisah. Suatu konsep yang penting
dalam teori gestalt adalah tentang "insight", yaitu pengamatan/pemahaman mendadak
terhadap hubungan-hubungan antar bagian-bagian di dalam suatu situasi
permasalahan. Insight itu sering dihubungkan dengan pemyataan spontan "aha" atau
"oh", sec-now". Kohler (1927) menemukan tumbuhnya insight pada seekor simpanse
dengan menghadapkan simpanse pada masalah bagaimana memperoleh pisang yang
terletak di luar kurungan atau tergantung di atas kurungan. Dalam eksperimen itu
Kohler mengamati, bahwa kadangkala simpanse dapat memecahkan masalah secara
mendadak, kadangkala gagal meraih pisang, kadang kala duduk merenungkan
masalah, dan kemudian secara tiba-tiba menemukan pemecahan masalah. Wertheimer
(1945) menjadi orang gestalt yang mula-mula menghubungkan pekerjaannya dengan
proses belajar di kelas. Dari pengamatannya itu. ia menyesalkan penggunaan metode
menghafal di sekolah dan menghendaki agar murid belajar dengan pengertian bukan
hafalan akademis.
Menurut pandangan gestaltis, semua kegiatan belajar (baik pada simpanse
maupun pada manusia) menggunakan insight atau pemahaman terhadap hubungan-
hubungan, terutama hubungan-hubungan antara bagian dengan keseluruhan. Menurut
psikologi gestalt, tingkat kejelasan atau keberartian dari apa yang diamati dalam
situasi belajar adalah lebih meningkatkan belajar seseorang daripada dengan hukuman
dan ganjaran. Menurut psikologi gestalt setiap pengalaman itu senantiasa struktur.
Setiap respon yang diberikan oleh seseorang terhadap stimulan, sebenamya tidak
tertuju kepada suatu bagian melainkan teriuju kepada sesuatu yang bersifat kompleks.
Adapun hukum-hukum belajar menurut psikologi adalah sebagai berikut :
a. Hukum kesamaan (law of similarity). Menurut hukum ini, sesuatu yang sama
cenderung membentuk satu kesatuan.
Perhatikan gambar berikut ini:
$ Y @ h
$ Y @ h
$ Y @ h
b. Hukum penuh makna (law of pragnanz). Menurut hukum ini, pengamatan
terhadap sesuatu objek cenderung dikaitkan dengan makna objek tersebut bagi
seseorang. Makna objek tersebut bagi seseorang, bisa berupa bentuknya,
ukurannya, warnanya dan sebagainya.
c. Hukum kedekatan ( law of proximity ). Menurut hukum ini, sesuatu yang
berdekatan cenderung membentuk satu kesatuan, periksa gambar berikut ini

ab cd ef gh
d. Hukum ketutupan (law of closure ). Menurut hukum ini, hal-hal yang tertutup
membentuk suatu kesatuan. Perhatikan gambar berikut:

a b c d e f
e. Hukum-hukum kontinyutas ( law of goof continuation )
Menurut hukum ini, hal-hal yang merupakan kontinuitas membentuk suatu
kesatuan. Menurut psikologi gestalt, wawasan atau yang lazim disebut sebagai
insight dipandang sebagai inti belajar. Oleh karena itu, dalam belajar yang
mestinya ditanamkan adalah pengertian siswa mengenai sesuatu yang harus
dipelajari.

2. CIRI - CIRI BELAJAR


Sebagaimana disebutkan diatas, bahwa belajar adalah perubahan tingkah laku
sebagai akibat dari adanya pengalaman. Oleh karena itu, ada sejumlah ciri belajar
yang dapat dibedakan dengan kegiatan-kegiatan lain selain belajar. Pertama, belajar
dibedakan dengan kematangan. Kedua, belajar dibedakan dengan perubahan kondisi
fisik dan mental. Ketiga hasil belajar bersifat relatif menetap. Berdasarkan pengertian
belajar diatas. maka pada hakikatnya "belajar menunjuk ke perubahan dalam tingkah
laku si subjek dalam situasi tertentu berkat pengalamannya yang berulang-ulang, dan
perubahan tingkah taku tersebut tak dapat dijelaskan atas dasar kecendrungan-
kecendrungan respon bawaan, kematangan atau keadaan temporer dari subjek
(misalnya keletihan, dsb)".
1) Belajar Berbeda Dari Kematangan.
Kematangan adalah sesuatu yang dialami oleh manusia karena perkembangan-
perkembangan bawaan. Tanpa melalui aktivitas belajarpun, pada saat tertentu,
orang akan mengalami kematangan. Oleh karena itu, kematangan akan dialami
oleh seseorang, meskipun ia sendiri tidak mensengaja. Kematangan yang ada pada
diri seseorang juga bukan karena satu upaya yang dilakukan oleh orang lain
(misalnya saja guru). Kematangan umumnya ditandai oleh adanya perubahan-
perubahan pada diri seseorang, baik yang bersifat fisik maupun psikis. Adanya
perubahan pada diri seseorang semisal dari belum bisa berjalan pada umur
tertentu menjadi bisa berjalan pada umur selanjutnya, tidaklah akibat dari
aktivitas belajar. Demikian juga, dari seseorang belum bisa berbkara kemudian
menjadi bisa berbkara, juga bukan karena aktivitas belajar melainkan karena
adanya proses kematangan. Berbeda dengan belajar, ia adalah suatu proses yang
disengaja dan secara sadar. Belajar adalah suatu aktivitas yang dirancang, atau
sebagai akibat interaksi antara individu dengan lingkungannya.
2) Belajar Dibedakan Dari Perubahan Kondisi Fisik dan Mental.
Belajar adalah proses perubahan tingkah laku yang disengaja. Perubahan tersebut
bisa berupa dari tidak tahu menjadi tahu, dari tidak mengerti menjadi mengerti,
dari tidak dapat mengerjakan sesuatu menjadi dapat mengedakan sesuatu, dari
memberikan respon yang salah atas stimulus-stimulus ke arah memberikan respon
yang benar. Berarti perubahan fisik dari kecil menjadi besar, dari kurus menjadi
gemuk, dan pendek menjadi semakin tinggi bukanlah karena proses belajar, dan
oleh karena itu tidak dapat disebut sebagai proses belajar.
3) Hasil Belajar Relatif Menetap
Hasil belajar relatif menetap, dan tidak berubah-ubah. Perubahan tingkah laku
yang sifatnya relatif tidak menetap, bukanlah karena proses belajar. Orang setiap
kali dapat berubah. Perubahan-perubahan demikian, tidak sama dengan
perubahan-perubahan dalam belajar. Oleh karena itu, tidak semua perubahan yang
ada pada diri seseorang dianggap sebagai hasil belajar. Hanya perubahan-
perubahan tertentu saja yang memenuhi syarat untuk disebut sebagai belajar.
Dari beberapa pengertian belajar tersebut diatas, kata kunci
dari belajar adalah perubahan perilaku. Dalam hal ini, Moh Surya
(1997) mengemukakan ciri-ciri dari perubahan perilaku, yaitu :
1. Perubahan yang disadari dan disengaja (intensional).
Perubahan perilaku yang terjadi merupakan usaha sadar dan
disengaja dari individu yang bersangkutan. Begitu juga dengan
hasil-hasilnya, individu yang bersangkutan menyadari bahwa dalam
dirinya telah terjadi perubahan, misalnya pengetahuannya semakin
bertambah atau keterampilannya semakin meningkat,
dibandingkan sebelum dia mengikuti suatu proses belajar. Misalnya,
seorang mahasiswa sedang belajar tentang psikologi pendidikan.
Dia menyadari bahwa dia sedang berusaha mempelajari tentang
Psikologi Pendidikan. Begitu juga, setelah belajar Psikologi
Pendidikan dia menyadari bahwa dalam dirinya telah terjadi
perubahan perilaku, dengan memperoleh sejumlah pengetahuan,
sikap dan keterampilan yang berhubungan dengan Psikologi
Pendidikan.
2. Perubahan yang berkesinambungan (kontinyu).
Bertambahnya pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki pada
dasarnya merupakan kelanjutan dari pengetahuan dan
keterampilan yang telah diperoleh sebelumnya. Begitu juga,
pengetahuan, sikap dan keterampilan yang telah diperoleh itu,
akan menjadi dasar bagi pengembangan pengetahuan, sikap dan
keterampilan berikutnya. Misalnya, seorang mahasiswa telah
belajar Psikologi Pendidikan tentang Hakekat Belajar. Ketika dia
mengikuti perkuliahan Strategi Belajar Mengajar, maka
pengetahuan, sikap dan keterampilannya tentang Hakekat
Belajar akan dilanjutkan dan dapat dimanfaatkan dalam mengikuti
perkuliahan Strategi Belajar Mengajar.
3. Perubahan yang fungsional.
Setiap perubahan perilaku yang terjadi dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan hidup individu yang bersangkutan, baik untuk
kepentingan masa sekarang maupun masa mendatang. Contoh :
seorang mahasiswa belajar tentang psikologi pendidikan, maka
pengetahuan dan keterampilannya dalam psikologi pendidikan
dapat dimanfaatkan untuk mempelajari dan mengembangkan
perilaku dirinya sendiri maupun mempelajari dan mengembangkan
perilaku para peserta didiknya kelak ketika dia menjadi guru.
4. Perubahan yang bersifat positif.
Perubahan perilaku yang terjadi bersifat normatif dan menujukkan
ke arah kemajuan. Misalnya, seorang mahasiswa sebelum belajar
tentang Psikologi Pendidikan menganggap bahwa dalam dalam
Prose Belajar Mengajar tidak perlu mempertimbangkan perbedaan-
perbedaan individual atau perkembangan perilaku dan pribadi
peserta didiknya, namun setelah mengikuti pembelajaran Psikologi
Pendidikan, dia memahami dan berkeinginan untuk menerapkan
prinsip prinsip perbedaan individual maupun prinsip-prinsip
perkembangan individu jika dia kelak menjadi guru.
5. Perubahan yang bersifat aktif.
Untuk memperoleh perilaku baru, individu yang bersangkutan aktif
berupaya melakukan perubahan. Misalnya, mahasiswa ingin
memperoleh pengetahuan baru tentang psikologi pendidikan, maka
mahasiswa tersebut aktif melakukan kegiatan membaca dan
mengkaji buku-buku psikologi pendidikan, berdiskusi dengan teman
tentang psikologi pendidikan dan sebagainya.
6. Perubahan yang bersifat pemanen.
Perubahan perilaku yang diperoleh dari proses belajar cenderung
menetap dan menjadi bagian yang melekat dalam dirinya.
Misalnya, mahasiswa belajar mengoperasikan komputer, maka
penguasaan keterampilan mengoperasikan komputer tersebut akan
menetap dan melekat dalam diri mahasiswa tersebut.
7. Perubahan yang bertujuan dan terarah.
Individu melakukan kegiatan belajar pasti ada tujuan yang ingin
dicapai, baik tujuan jangka pendek, jangka menengah maupun
jangka panjang. Misalnya, seorang mahasiswa belajar psikologi
pendidikan, tujuan yang ingin dicapai dalam panjang pendek
mungkin dia ingin memperoleh pengetahuan, sikap dan
keterampilan tentang psikologi pendidikan yang diwujudkan dalam
bentuk kelulusan dengan memperoleh nilai A. Sedangkan tujuan
jangka panjangnya dia ingin menjadi guru yang efektif dengan
memiliki kompetensi yang memadai tentang Psikologi Pendidikan.
Berbagai aktivitas dilakukan dan diarahkan untuk mencapai tujuan-
tujuan tersebut.
8. Perubahan perilaku secara keseluruhan.
Perubahan perilaku belajar bukan hanya sekedar memperoleh
pengetahuan semata, tetapi termasuk memperoleh pula perubahan
dalam sikap dan keterampilannya. Misalnya, mahasiswa belajar
tentang Teori-Teori Belajar, disamping memperoleh informasi atau
pengetahuan tentang Teori-Teori Belajar, dia juga memperoleh
sikap tentang pentingnya seorang guru menguasai Teori-Teori
Belajar. Begitu juga, dia memperoleh keterampilan dalam
menerapkan Teori-Teori Belajar.
Menurut Gagne (Abin Syamsuddin Makmun, 2003), perubahan
perilaku yang merupakan hasil belajar dapat berbentuk :
1. Informasi verbal; yaitu penguasaan informasi dalam bentuk
verbal, baik secara tertulis maupun tulisan, misalnya pemberian
nama-nama terhadap suatu benda, definisi, dan sebagainya.
2. Kecakapan intelektual; yaitu keterampilan individu dalam
melakukan interaksi dengan lingkungannya dengan menggunakan
simbol-simbol, misalnya: penggunaan simbol matematika.
Termasuk dalam keterampilan intelektual adalah kecakapan dalam
membedakan (discrimination), memahami konsep konkrit, konsep
abstrak, aturan dan hukum. Ketrampilan ini sangat dibutuhkan
dalam menghadapi pemecahan masalah.
3. Strategi kognitif; kecakapan individu untuk melakukan
pengendalian dan pengelolaan keseluruhan aktivitasnya. Dalam
konteks proses pembelajaran, strategi kognitif yaitu kemampuan
mengendalikan ingatan dan cara cara berfikir agar terjadi
aktivitas yang efektif. Kecakapan intelektual menitikberatkan pada
hasil pembelajaran, sedangkan strategi kognitif lebih menekankan
pada pada proses pemikiran.
4. Sikap; yaitu hasil pembelajaran yang berupa kecakapan individu
untuk memilih macam tindakan yang akan dilakukan. Dengan kata
lain. Sikap adalah keadaan dalam diri individu yang akan
memberikan kecenderungan vertindak dalam menghadapi suatu
obyek atau peristiwa, didalamnya terdapat unsur pemikiran,
perasaan yang menyertai pemikiran dan kesiapan untuk
bertindak.
5. Kecakapan motorik; ialah hasil belajar yang berupa kecakapan
pergerakan yang dikontrol oleh otot dan fisik.
Sedangkan menurut Bloom, perubahan perilaku yang terjadi
sebagai hasil belajar meliputi perubahan dalam kawasan (domain)
kognitif, afektif dan psikomotor, beserta tingkatan aspek-aspeknya.
Berikut beberapa faktor pendorong mengapa manusia memiliki
keinginan untuk belajar:
1. Adanya dorongan rasa ingin tahu
2. Adanya keinginan untuk menguasai Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi sebagai tuntutan zaman dan lingkungan sekitarnya.
3. Mengutip dari istilah Abraham Maslow bahwa segala aktivitas
manusia didasari atas kebutuhan yang harus dipenuhi dari
kebutuhan biologis sampai aktualisasi diri.
4. Untuk melakukan penyempurnaan dari apa yang telah
diketahuinya.
5. Agar mampu bersosialisasi dan beradaptasi dengan
lingkungannya.
6. Untuk meningkatkan intelektualitas dan mengembangkan potensi
diri.
7. Untuk mencapai cita-cita yang diinginkan.
8. Untuk mengisi waktu luang
Berdasar uraian-uraian di atas dapat disimpulkan bahwa Ciri-ciri
belajar adalah sebagai berikut :
1. Adanya kemampuan baru atau perubahan. Perubahan tingkah
laku bersifat pengetahuan (kognitif), keterampilan (psikomotorik),
maupun nilai dan sikap (afektif).
2. Perubahan itu tidak berlangsung sesaat saja melainkan menetap
atau dapat disimpan.
3. Perubahan itu tidak terjadi begitu saja melainkan harus dengan
usaha. Perubahan terjadi akibat interaksi dengan lingkungan.
4. Perubahan tidak semata-mata disebabkan oleh pertumbuhan fisik/
kedewasaan, tidak karena kelelahan, penyakit atau pengaruh
obat-obatan.

3. TUJUAN DAN UNSUR-UNSUR DINAMIS DALAM BELAJAR


Tujuan dan unsur-unsur dinamis dalam belajar adalah dua hal yang sangat
penting dalam belajar. Tujuan umumnya mengarahkan seseorang yang sedang belajar
ke arah kegiatan tertentu. Sementara unsur-unsur dinamis dalam belajar adalah suatu
perangkat yang turut menghantarkan seseorang yang sedang mencapai tujuan belajar.
Setiap manusia kreativitas, sepanjang aktivitas tersebut disadari, senantiasa
dimaksudkan bagi pencapaian tujuan tertentu. Demikian juga seseorang yang sedang
berkreativitas belajar. tentulah dimaksudkan bagi pencapaian tujuan. Paling tidak ada
tiga alasan mengapa tujuan belajar ini perlu dirumuskan oleh pembelajar. Pertama,
agar ia mempunyai arah dalam berkreativitas belajar. Kedua, agar ia dapat menilai
seberapa target belajar telah ia capai atau belum. dan Ketiga agar waktu dan tenaganya
tidak tersita untuk kegiatan selain belajar.

3.1. Tujuan Belajar Dalam Hubungannya Dengan Perubahan Tingkah Laku.


Salah satu ciri belajar pada diri seseorang adalah terdapatnya perubahan
tingkah laku pada dirinya. Adanya perubahan tingkah laku ini menjadikan seorang
pembelajar berubah dari suatu kondisi ke kondisi tertentu. Perubahan tingkah laku
dalam diri pembelajar umumnya dapat diamati (observable). Oleh karena itu, ketika
pembelajar mau mengadakan aktivitas belajarnya, perlu merumuskan tujuan belajar
buat dirinya sendiri. Dalam merumuskan tujuan belajar yang terkait dengan perubahan
tingkah laku ini, seseorang pembelajar pertama kali haruslah mengenali mengenai
dirinya sendiri. Pengenalan terhadap dirinya sendiri ini sangat penting guna
merumuskan kebutuhan kebutuhan belajarnya. Pengenalan mengenai diri sendiri ini
juga bisa terhindar dari mempelajari sesuatu yang sudah dikuasai, disamping dapat
terhindar juga dari mempelajari sesuatu yang tidak dimaksudkan untuk dipelajari.
Tujuan belajar yang dikaitkan dengan perubahan tingkah laku ini mengandung unsur-
unsur sebagai berikut:
a. Jelas siapa yang berubah (dalam hal ini adalah pembelajar sendiri, dan bukan
pengajar).
b. Jelas perubahannya, dari tidak bisa sesuatu menjadi bisa sesuatu.
c. Jelas waktunya, yaitu kapan perubahan tingkah laku tersebut berlangsung dan
tercapai.
d. Jelas ukuran perubahannya, yang lazim ditunjukkan secara kuantitatif.
e. Jelas cara menghukumya, yaitu perubahan tersebut dapat diukur dengan cara
bagaimana.
f. Dirumuskan dengan kata-kata yang kongkrit (observable).
Sebagai contoh, setelah menelaah Bagian 1, pembelajar dapat menjelaskan 4
ciri-ciri tingkah laku menyimpang secara lisan. Kata pertama, pembelajar,
menunjukkan dengan jelas siapa yang berubah tingkah lakunya setelah melakukan
aktivitas, dalam hal ini adalah pembelajar bukan pengajar (unsur pertama). Kata-kata
dapat menjelaskan menunjukkan terdapatnya perubahan tingkah laku pada diri
pembelajar: dari tidak bisa menjelaskan menjadi bisa menjelaskan (unsur kedua).
Kata-kata setelah menelaah bab I menunjukkan waktu perubahan (unsur ketiga). Kata-
kata 4 ciri-ciri tingkah laku menyimpang menunjukkan ukuran perubahan.
Bandingkan misalnya dengan kata-kata: ciri-ciri tingkah laku menyimpang. Kata-kata
ini tidak menunjukkan berapa jumlah ciri tingkah laku menyimpang (unsur keempat).
Kata secara lisan menunjukkan bagaimana perubahan tingkah laku tersebut diukur.
Sebab, pengukuran terhadap bisa tidaknya seseorang menjelaskan secara lisan dan
secara tertulis. membutuhkan cara pengukuran tersendiri. Oleh karena itu, bentuk
perubahan tingkah laku tesebut haruslah jelas (unsur kelima). Kata menjelaskan pada
rumusan tujuan menunjukkan bahwa ia dapat diamati secara konkrit. Bandingkan
misaInya dengan kata memahami, mengerti. merasakan, menikmati. Kata-kata
disebutkan terakhir ini tidak dapat diamati (tidak observable).
Bloom dan kawan-kawan (1956) membuat taksonomi tujuan belajar yang
terkait dengan perubahan tingkah laku ini. Ia mengkategorisasikan tujuan (bukan
memisahkan, karena semestinya tidak untuk dipisah-dipisahkan) menjadi tiga
kawasan, ialah kawasan tersebut, masing-masing mempunyai sub kawasan masing-
masing yang disusun mulai dari yang sederhana sampai dengan yang kompleks.
Kawasan pertama, cognitive terdiri dari knowledge, comprehension, applkation,
analysis, syntihesis don evaluation. secara berturut-turut akan dijelaskan sebagai
berikut :
a. Knowledge, dapat diartikan dengan pengetahuan. Sub kawasan ini mementingkan
aspek ingatan. Oleh karena itu, sub kawasan ini lebih tepat untuk diartikan
mengingat terhadap materi-materi yang pernah dipelajari. Mengingat kembali
terhadap fakta-fakta yang pernah dipelajari, teori-teori yang pernah ditelaah.
dalam kawasan kognitive ini dipandang berada pada tingkat terendah.
b. Comprehension dapat diartikan dengan kemampuan untuk menangkap
pengertian mengenai sesuatu. Pada sub kawasan ini, seseorang dapat
menterjemahkan sesuatu, mengambil kata lain dari suatu kata atau pengertian,
mengambil inti dari suatu bacaaan dan membuat prakiraan-prakiraan.
c. Application lazim diberi makna sebagai suatu kemampuan untuk menerapkan
apa-apa yang pernah dipelajari ke dalam situasi yang senyatanya. Pada sub
kawasan ini, seseorang yang sedang belajar mampu menerapkan, mengaplikasikan
konsep-konsep, teori-teori dalam situasi praktis.
d. Analysis adalah suatu kentamptian untuk merinci, menghubungkan, menguraikan
rincian dan saling hubungan antara bagian satu dengan bagian lainnya.
e. Synthesis adalah suatu kemamptian untuk menyatukan hal-hal yang tak menyatu
menjadi sebuah kesatuan yang utuh. Dengan kemampuan synthesis ini sesuatu
yang sebelumnya terbelah-belah terkristal dan kemudian dapat diformulasikan ke
dalam forinula yang tak terbelah.
f. Evaluation adalah suatu kemampuan unluk menentukan baik-buruk, berharga-
tidak berharga, bernilai-tidak bernilai
mengenai suatu hal. Penentuan tersebut didasarkan atas patokan-patokan yang
dilmat pada masa sebelumnya. Kemampuan mengadakan evaluasi ini termasuk
jenis kemampuan yang tertinggi dalam kawasan kognitive ini.
Kawasan kedua, affective meliputi lima sub kawasan berikut: receiving,
responding, valuing, organization, characteristization by a value or value complex .
Secara berturut-turut dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Receiving atau penerimaan, adalah kemampuan seseorang untuk menghadirkan
kediriannya pada sebuah even atau stimulus-stimulus yang ia terima.
Menghadirkan diri demikian ini, meskipun dalam tataran rendah. telah dapat
meliput kesadaran seseorang. Hasil belajar pada sub kawasan ini telah
memunculkan sebuah kesadaran yang paling simpel sampai dengan hadimya
perhatian yang terpilih.
b. Responding atau pemberian tanggapan. Kemampuan ini relatif febih tinggi
tingkatannya dibandingkan dengan sub kawasan receiving. Jika pada sub kawasan
receiving seseorang menghadirkan kediriannya pada sebuah even, maka dalam
sub kawasan responding ini seseorang memberikan tanggapan/ respon/jawaban
atas even-even yang ia terima.
c. Valuing atau pemberian nilai. Yang dimaksud dengan pemberian nilai di sini
adalah memberikan harga terhadap suatu fenomena, benda, kejadian atau even,
Sub kawasan ini menjadikan seseorang bisa menerima nilai tertentu dan
menunjukkan komitmennya pada nilai tertentu. Oleh karena itu, pada sub
kawasan ini seseoarang tampak tingkatan integritasnya: keajegan, integritas.
d. Organization atau pengorganisasian adalah upaya untuk memadukan berbagai
jenis nilai yang berbeda-beda. Dari nilai-nilai yang berbeda tersebut, kemudian
dibangun menjadi suatu sistem nilai. Ada semacam sintesa nilai-nilai yang
beragam, hingga menjadi suatu kesatuan nilai. Antara nilai satu dengan yang lain
dicoba hubungkan. Bila terdapat konflik di antara nilai-nilai tersebut dicoba
pecahkan.
e. Characterization of value or value complex atau karakterisasi dengan suatu nilai.
Pada sub kawasan ini seseorang mempunyai sistem nilai yang dapat
mengendalikan tingkah lakunya dalam kehidupan hingga dapat membentuk gaya
hidup yang khas, berbeda dengan orang lain. Hasil belajar pada sub kawasan ini
bisa menjadikan seseorang menyesuaikan diri secara personal, sosial dan
emosional.
Kawasan ketiga psycomotor, mencakup tujuh sub kawasan dari yang
tingkatan terendah hingga tingleatan tertinggi. Ke tujuh sub kawasan ini adalah
perception, set, guided respon, mechanism, complex overt respon, adaptation dan
origination. Sub-sub kawasan ini dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Perception atau persepsi. Yang dimaksud dengan persepsi di sini adalah
penggunaan indera untuk memperoleh petunjuk ke arah motorik. Pada sub kawasan
ini, seseorang mengindera stimulus-stimulus yang berasal dari lingkungannya guna
persiapan untu membimbing aktivitas-aktivitas motoriknya.
b. Set atau kesiapan. Sub kawasan ini meliputi mental set, physkal set dan emotional
set. Pada subleawasan ini, seseorang bersedia mengambil tindakan-tindakan
berdasarkan persepsinya terhadap stimulus atau fenomena-fenomena yang berasal
dari agkungannya.
c. Guided respon atau respon terpimpin. Pada sub kawasan ini seseorang mulai
berada pada proses belajar keterampilan yang lebib komplek. Pada sub kawasan
ini seseorang terlibat dalam proses peniruan yang diperformansikan, selanjumya
mencoba menggunakan tanggapan dalam menangkap suatu motorik.
d. Mechanism atau mekanisme. Pada sub kawasan ini responrespon yang telah
dipelajari oleh seseorang telah berubah menjadi kebiasaan dan gerakan-gerakan
yang ditampilkan, dilakukan dengan penuh kepercayaan dan kemahiran.
e. Complex over respons atau respon nyata yang kompleks. Pada sub kawasan ini
seseorang yang lagi belajar, melakukan gerakan dengan mudah disamping
mempunyai kontrol yang baik. Kadar motorik pada sub kawasan ini relatif cukup
tinggi. Sebab, gerakan-gerakan pada sub kawasan ini relatif cepat, cermat
termasuk pada hal-hal yang rumit dan tepat meskipun disertai dengan energi yang
minimal.
f. Adaptation atau penyesuaian. Yang dimaksud dengan penyesuaian adalah sebuah
keterampilan dimana seseorang dapat mengolah gerakan hingga sesuai dengan
tuntutan kondisional dan situational, termasuk yang problematis sekalipun.
g. Origination atu penciptaan. Sub kawasan ini termasuk paling tinggi tingkatannya
dibandingkan dengan sub kawasan sebelumnya, oleh karena unsur kreativitas
sudah masuk di sini. Performansi seseorang yang belajar pada sub kawasan ini
umumnya ditandai dengan hal-hal yang serba baru, misaInya membuat pola-pola
baru, merancang hal-hal baru.
3.2. Tujuan Belajar Sebagai Pembentukan Pemahaman Nilai dan Sikap.
a. Tujuan Belajar Sebagai Sasaran Pembentukan Pemahaman
Tujuan belajar memang merupakan sasaran bagi pembentukan pemahaman
seseorang terhadap hal-hal yang dipelajari. Pemahaman seseorang terhadap hal-hal
yang dipelajari, sebutlah saja dunia dengan segala isinya, sangatlah penting artinya
bagi pembelajar. Pemahaman pembelajar tehadap dunia dengan segala isinya tidak
saja mendatangkan kepuasan bagi pembelajar, melainkan dapat menempatkan diri
pembelajar pada posisi strategik. la akan mempunyai peta dimana ia harus
menempatkan diri, ia akan mengetalmi apa yang harus ia pertuat dan apa yang tidak ia
perbuat. Terjadinya bentrokan-bentrokan di dunia, sebenamya disebabkan kurang
adanya saling pemahaman di antara mereka. MimbuInya saling curiga, juga dapat
disebabkan kurang adanva saling pemahaman. Oleh karena itu terbentuknya
pemahaman pembelajaran terhadap sesuatu yang dipelajari, tidak saja bermanfaat bagi
dirinya sendiri, melainkan bermanfaat juga bagi lingkungannya
Pemahaman seseorang terhadap orang lain, malahan dapat menjadikan
seseorang melihat orang lain tidak semata dengan menggunakan perspektif sendiri. la
mencoba menangkap seseorang dengan menggunakan perspektif orang yang
dipandang. Dengan cara pandangan demikian, ia akan mengenal orang yang
dipandang tersebut dalam keadaan yang senyatanya, dan tidak terbatas pada
persepsinya sendiri. Pemahaman terhadap orang lain, juga menjadikan seseorang tidak
risau, jika melihat orang lain berbeda dengan dirinya. la. juga sekaligus tidak
membuat dirinya agar seperti orang lain, dan sebaliknya tidak menuntut orang lain
agar seperti dirinya. la akan menjadi dirinya sendiri, dan memahami jika orang lain
juga seperti dirinya. Singkat kata, pemahaman adalah suatu dasar bagi segala akan
seseorang. Ia memberikan kontribusi yang besar bagi sukses tidaknya seseorang.
Lebih jauh pemahaman menjadikan seseorang saling mengerti, dan lehih lanjut lagi
saling menghargai. Pemahaman sekaligus mencegah timbuInya saling curiga, dan
lebih jauh lagi mencegah timbuInya saling bentrokan.

b. Tujuan Belajar Sebagai Sasaran Pembentukan Nilai dan Sikap.


Setiap masyarakat, masyarakat manapun, pasti menganut sebuah nilai, Nilai
dinlaksud, adakalanya merupakan produk masyarakat pada kurun waktu yang sejaman
dengan mereka. Malahan, pada masa sekarang ini, nilai-nilai yang dianut oleh sebuah
masyarakat, dapat merupakan kristalisasi dari hasil dialog antara nilai-nilai yang
diwariskan oleh generasi sebelumnya dengan yang sejaman dengan mereka. Di era
globalisasi seperti saat sekarang, sebagai akibat dari melesatnya perkembangan
teknologi komunikasi, nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat, dapat merupakan
kristalisasi hasil dialog antara nilai-nilai yang selama ini dianut dengan nilai-nilai baru
yang datang dari dunia luar. Oleh karenanya, nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat
dewasa ini semakin beragam. Dalam belajar, ada nilai-nilai tertentu yang harus
diupayakan terbentuk pada diri pembelajar. Nilai-nilai yang dibentukkan pada diri
pembelajar tersebut, tentu nilai-nilai luhur yang secara universal dianut oleh hampir
setiap masyarakat, disamping nilai-nilai luhur yang spesifik dianut oleh masyarakat
dimana pembelajar tersebut berada. Nilai-nilai luhur yang hampir dianut oleh setiap
masyarakat secara universal misaInya adalah: kebenaran, kejujuran, keindahan,
kemerdekaan, saling membantu dan memberi manfaat. Sementara nilai-nilai luhur
yang dianut oleh masyarakat secara spesifik khususnya di lingkungan pembelajar
banyak ragamnya, seberagam jumlah pembelajar. Disamping tujuan belajar terkait
dengan pembentukan nilai, sekaligus juga terkait dengan pembentukan sikap.
Terbentuknya sebuah sikap, lazim juga didasarkan atas sehuah nilai. Meskipun nilai
bukanlah satu-satunya yang menentukan sikap. Berbedanya nilai-nilai yang dianut
oleb seseorang lazim menjadikan penyebab berbedanya seseorang dalam menyikapi
sesuatu. Sebab, nilai-nilai yang dianut seseorang turut menentukan persepsi seseorang
tentang sesuatu. Pada hal persepsi seseorang terhadap sesuatu lazimnya juga turut
menentukan sikap seseorang terhadap sesuatu.

c. Tujuan Belajar Sebagai Sasaran Pembentukan, Keterampilan-Keterampilan


Personil-Sosial, Kognitif dan Instrumental.
Setiap pembelajar, tentu memiliki kekhasan tertentu yang berbeda dengan
pembelajar lain. Oleb karena itu, dalam belaiar seorang pembelajar haruslah
mengembangkan kekhasan-kekhasan yang dimiliki. Keterampilan personal yang
dimiliki. Keterampilan p.ersonal yang dimiliki oleh pembelajar, haruslah dibentuk dan
dikembangkan secara terus menerus. Dengan cara demikian, maka pembelajar akan
berkembang seoptimal mungkin sesuai dengan ciri khas atau karakteristik yang ada
pada dirinya. Selain keterampilan-keterampilan personal dibentuk, keterampilan sosial
pembelajar juga perlu dibentuk. Pembentukan keterampilan sosial demikian tampak
urgensinya manakala dilihat kedudukan pembelajar yang tidak saja sebagai makhluk
individu melainkan juga sebagai makhluk sosial. Sebagai makhluk sosial, pembelajar
haruslah dapat berinteraksi secara baik dengan lingkungan sosiaInya, sesama manusia.
Maka dari itu, pembentukan keterampilan-keterampilan sosial pada diri pembelajar
dimaksudkan untuk menyiapkan pembelajar agar dapat hergabung dan berinteraksi
secara baik dengan lingkungan sosialnya. Dengan perkataan lain, jika pembentukan
keterampilan personal dimaksud untuk mengembangkan potensi-potensi bawaan yang
ada pada diri pembelajar, maka keterampilan sosial antara lain dimaksudkan
mengkomunikasikan keterampilan personal yang telah terbentuk dalam lingkungan
sosiaInya.
Pembentukan keterampilan kognitif dimaksudkan agar pembelajar secara
terus-menerus menimba ilmu pengetahuan, tanpa batas. Keterampilan kognitif pada
diri pembelajar menjadikan pembelajar haus secara terus menerus terhadap ilmu
pengetahuan. Dengan pengembangan yang terus menerus pembelajar tidak akan
ketinggalan dengan laju perkembangan ilmu pengetahuan yang demikian pesat.
Dengan pembentukan keterampilan kognitif ini maka pembelajar memandang belajar
bukan sebagai beban melainkan menjadi sebuah kebutuhan. Pembentukan
keterampilan instrumental pada diri pembelajar, mengarahkan pembelajar sadar pada
pembangunan yang sedang digalakkan. Jika keterampilan instrumental ini telah
terbentuk pada diri pembelajar, maka pembelajar punya kesadaran yang sedemikian
dalam terhadap pembangunan yang sedang dilaksanakan. Dengan demikian ia
mengambil bagian secara aktif di dalamnya, dan tidak sekedar sebagai penonton saja.
Kesadaran untuk secara terus menerus membangun dirinya sendiri dan membangun
masyarakat, lingkungan dan bangsanya adalah sasaran bagi pembentukan
keterampilan instrumental ini. Keterampilan instrumental ini adalah tindak lanjut
konkrit dari keterampilan-keterampilan yang ingin dibentuk sebelumnya: keterampilan
personal, sosial dan kognitif

3.3. Unsur - Unsur Dinamis Yang Terkait Didalam Proses Belajar


Yang dimaksud dengan unsur-unsur dinamis dalam belajar adalah unsur-unsur
yang dapat berubah dalam proses belajar. Perubahan unsur-unsur tersebut dapat
berupa: dan tidak ada menjadi ada atau sebaliknya, dari lemah menjadi kuat dan
sebaliknya, dari sedikit menjadi banyak dan sebaliknya. Unsur-unsur dinamis tersebut
meliputi: motivasi, bahan belajar, alat bantu belajar, suasana belajar dan kondisi
subjek pembelajar.
1. Motivasi dan Upaya Memotivasi Siswa Untuk Belajar
Motivasi berasal dari kata Inggris motivation yang berarti dorongan,
pengalasan dan motivasi. Kata kerjanya adalah to motivate yang berarti mendorong,
menyebabkan merangsang. Slotive sendiri berarti alasan, sebab, dan daya penggerak
(echols, 1984). Motif adalah keadaan dalam diri seseorang yang mendorong individu
tersebut untuk melakukan aktivitas-aktivitas rertentu guna mencapai tujuan yang
diinginkan (suryabrata, 1984). Secara serupa Winkels (1987) mengemukakan bahwa
motif adalah adanya penggerak dalam diri seseorang untuk melakukan alstivitas
tertentu demi mencapai suatu tujuan tertentu pula. Dalam kegiatan belajar mengajar,
dikenal adanya motivasi belajar, yaitu motivasi yang diterapkan dalam kegiatan
belajar. Motivasi belajar adalah keseluruhan daya penggerak psikis dalam diri siswa
yang menimbulkan kegiatan belajar mengajar. kelangsungan belajar itu demi
mencapai suatu tujuan (Winkels, 1987). Motivasi belajar memegang peranan penting
dalam memberikan gairah, semangat dan rasa senang dalam belajar sehingga yang
mempunyai motivasi tinggi mempunyai energi yang banyak untuk melaksanakan
kegiatan belajar. Siswa yang mempunyai motivasi tinggi sangat sedikit yang tertinggal
belajarnya dan sangat sedikit pula kesalahan dalam belajarnya (Palardi, 1975).
Secara garis besar motivasi dapat dibedakan menjadi dua ialah intrinsik dan
motivasi ekstrinsik. Motivasi intrinsik adalah motivasi yang berasal dari dalam tanpa
ada rangsangan dari luar, sedangkan motivasi ekstrinsik adalah motivasi yang berasal
dari luar. Ada beberapa ciri siswa yang mempunyai motivasi belajar yang tinggi. Ini
dapat dikenali melalui proses belajar mengajar di kelas, sebagaimana dikemukakan
Brown (1981) sebagai berikut: menarik kepada guru, artinya tidak membenci atau
bersikap acuh tak acuh, tertarik pada mata pelajaran yang diajarkan. mempunyai
antusias yang tinggi seta mengendalikan perhatiannya terutama kepada guru, ingin
selalu bergabung dalam kelompok kelas, ingin identitas dirinya diakui oleh orang lain,
tindakan, kebiasaan, dan moraInya selalu dalanu kontrol diri, selalu mengingat
pelajaran dan mempelajarinya kembali, dan selalu terkontrol oleh lingkungammya.
Sardiman (1986) mengemukakan bahwa ciri-ciri motivasi yang ada pada diri
seseorang adalah: tekun dalam menghadapi tugas atau dapat bekerja secara terus
menerus dalam waktu lama, ulet, menghadapi kesulitan, dan tidak mudah putus asa,
tidak cepat puas atas prestasi yang diperoleh, menunjukkan minat yang besar terhadap
bermacam-macam masalah belajar, lebih suka bekerja sendiri dan tidak bergantung
kepada orang lain, tidak cepat bosan dengan tugas-tugas yang rutin, dapat
mempertahankan pendapatnya, tidak mudah melepaskan apa yang diyakini: senang
mencari dan memecahkan masalah. Beberapa upaya yang dapat ditempuh untuk
memotivasi siswa agar belajar ialah :
a. Kenalkan siswa pada kemampuan yang ada pada dirinya sendiri. Dengan
mengenal kemampuan dirinya, siswa akan tahu kelebihan dan kekurangannya.
Dengan mengetahui kelebihan dirmya, ia mengukuhkan dan memperkuat
kelebihan tersebut. Dengan mengetabui kekurangan yang ada pada dirinya, siswa
akan berusaha menyempurnakan melalui aktivitas belajar. Di sini siswa akan
timbul motivasi belajarnya.
b. Bantulah siswa untuk merumuskan tujuan belajarnya. Sebab, dengan merumuskan
tujuan belajar ini, siswa akan mendapatkan jalan yang jelas dalam melaksanakan
aktivitas belajar. Siswa juga akan mempunyai target-target belajar, dan ia
berusaha untuk mencapainya.
c. Tunjukkan kegiatan-kegiatan atau aktivitas-aktivitas yang dapat mengarahkan
bagi pencapaian tujuan belajar. Dengan ditunjukkannya aktivitas-aktvitas yang
dapat mencapai tujuan, siswa tersebut tidak melakukan aktivitas lain yang tidak
ada kaitannya dengan pencapaian tujuan dan target belajar. Dengan cara demikian
waktu dan tenaga siswa dapat secara efektif dan efisien dipergunakan mencapai
target belajarnya.
d. Kenalkanlah siswa dengan hal-hal yang baru. Sebab hal-hal baru ini dapat
"menghidupkan kembali" hastat ingin tahu siswa. Adanya rasa ingin tahu yang
demikian besar, menimbulkan gairah bagi siswa untu beraktifitas belajar.
e. Buatlah variasi-variasi dalam kegiatan belajar mengajar, supaya siswa tidak
bosan. Sebab, kebosanan pada diri siswa, termasuk dalam aktivitas belajar, hanya
akan memperlemah motivasi saja.
f. Adakan evaluasi terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh siswa. Sebab,
evaluasi yang dilakukan terhadap keberhasilan belajar siswa ini, akan mendorong
siswa untuk belajar. karena ingin dikatakan berhasil belajarnya.
g. Berikan umpan balik terhadap tugas-tugas yang diberikan dan evaluasi yang telah
dilakukan. Dengan adanya umpan balik, siswa akan mengetahui mana aktivitas
belajarnya yang benar dan mana yang kurang benar, mana pekerjaannya yang
sesuai dan mana pekerjaannya yang tidak sesuai.

2. Bahan Belajar dan Upaya Penyediaannya


Bahan belajar sangat penting bagi siswa yang melakukan aktivitas belajar.
Tanpa ada yang dipelajari, kemungkinan siswa bisa belajar dengan baik. Oleh karena
itu, supaya siswa dapat belajar dengan baik, maka bahan belajar ini harus tersedia.
Yang dimaksud bahan belajar adalah sesuatu yang harus dipelajari oleh pembelajar
dalam melaksanakan aktivitas belajarnya. Bahan ini, bisa berasal dari guru, bisa
berasal dari buku-buku teks, paper, makalah, artikel, disamping dapat berasal dari
lapangan objek tertentu. Penyediaan bahan belajar ini sangat bergantung kepada
tujuan belajar, karakteristik siswa, siasat belajar yang harus ditempuh oleh siswa dan
faktor ketersediaaan tidaknya bahan belajar. Jika tujuan belajar yang ingin ditempuh
diaksentuasikan pada penguasaan pengetahuan, mungkin bahan belajarnya akan lain
dengan tujuan belajar yang diaksentuasikan pada penguasaan konsep-konsep, maka
pertyediaan bahan belajarnya lain sekali dengan tujuan belajar yang dimaksudkan
untuk memperoleh pengalaman langsung. Karakteristik siswa juga mempengaruhi
penyediaan bahan belajar. Pada siswa yang bertipe auditif, mungkin membutuhkan
bahan belajar yang berlainan dengan siswa yang bertipe visual. Siasat belajar yang
harus ditempuh oleh siswa juga menentukan bahan belajarnya. Siasat belajar dimana
guru menjadi tokoh sentralnya, umumnya gurulah yang menjadi penyedia bahan
belajar. Bahkan dalam siasat belajar semacam ini siswa menggantungkan bahan
belajar yang dipelajari dari ceramah atau penyampaian yang dilakukan oleh gurunya.
Sementara siasat belajar di mana siswa diharapkan bisa belajar secara mandiri, bahan
belajar tersebut telah disediakan secara utuh sekaligus beserta petunjuk atau cara
mempelajarinya. Pengajaran dengan bahan belajar modul dan balian belajar buku teks,
adalah sekian dari banyak contoh dan siasat belajar mandiri oleh siswa.
Apapun faktor yang menentukan bahan belajar ini, akhirnya juga bergantung
kepada faktor ketersediaan tidaknya. Mudah didapatkan tidaknya bahan belajar ini,
sangat menentukan penyediaan baban belajar. Apalagi kalau sulit atau tidak mudah
didapatkan, maka penyediaan bahan belajar ini sangat repot. Sungguhpun demikian
bahan belajar bagi siswa haruslah diupayakan penyediaannya. Dalam penyediaan
bahan belajar ini, faktor-faktor yang harus menjadi pertimbangan adalah :
a. Cukup menarik. Ini patut menjadi peninibangan, agar bahan belajar tersebut
menggugah rasa ingin tahu siswa dan menimbulkan hasrat belajar. Eka bahannya
sendiri tidak menarik, maka cara penyajiannya yang menaiik. Jadi kalau bahan
belajar tersebut terpaksa tidak menarik, haruslah dikemas dengan menggunakan
kemasan yang menarik.
b. Isinya relefan. Relevan isi ini, lazimnnya dikaitkan dengan tujuan belajar. Isi
bahan belajar haruslah mendukung dan memberi kontribusi bagi pencapain tujuan
belajar. Relevan isi ini, juga berkaitan dengan faktor kondisional dan situasional
siswa.
c. Mempunyai sekuensi yang tepat. Sekuensi atau urutan penyajian ini sangat
penting diperhatikan dalanu penyediaan bahan belajar. Seharusuya sekuensi bahan
ini dari yang sederhana menuju ke yang kompleks.
d. Informasi yang dibutuhkan ada. Ini sangat penting, agar bahan belajar yang akan
dipelajari tersebut tidak kering,
e. Ada soal latihan. Ini sangat penting, agar siswa dapat menguji diri sendiri,
seberapa banyak !a telah menguasai bahan yang dipelajari.
f. Ada jawaban kunci untuk soal latihan. Kegunaan kunci jawaban bagi soal latihan
ini adalah siswa dapat mencocokkan hasil-hasil latihannya dengan kunci.
g. Ada tes yang sesuai. Tes yang sesuai ini, tentu bergantung kepada bahan
belajarnya.
h. Terdapat petunjuk untuk mengadakan perbaikan. Baban belajar harus dilengkapi
dengan petunjuk bagaimana siswa harus memperbaiki belajarnya, jika ada
diantara bahan belajar yang belum terkuasai.
i. Ada petunjuk lanjutan untuk mempelajari bahan selanjumya. Setelah berhasil
menguasai bahan belajar tertentu siswa tidak akan menungggu petunjuk guru
untuk mempelajari bahan selanjutnya.

3. Alat Bantu Belajar dan Upaya Penyediaannya.


Alat bantu belajar termasuk salah satu unsur dinamis dalam belajar,
kesusukannya juga penting, oleh karena dapat membantu terhadap belajar siswa.
Dengan sebuah alat bania bahan belajar yang abstrak bisa konkrit. Dengan alat bantu
bahan belajar yang tidak menarik bisa menjadi menarik. Dengan alat bantu bahan
belajar yang meragukan dapat diyakinkan karena dapat dibuktikan secara empirik.Alat
bantu belajar lazim juga disebut media belajar dan piranti Belajar, meskipun tidak
semua median belajar dapat berfungsi sebagai alat bantu. Alat bantu belajar ada
kalanya dibeli di toko-toko buku. atau stationary, tetapi adakalanya dibuat sendiri oleh
pembelajar bersama-sama dengan gurunya. Pada kasus vang pertama pembelajar
mendapatkan secara given. Hal-hal yang dapat dijadikan sebagai patokan dalam upaya
menyediakan alat bantu belajar adalah :
a. Jenis kemampuan apa yang ditargetkan untuk dikuasai oleh pembelajar.
b. Faktor ketersediaan alat bantu tersebut
c. Faktor keterjangkauannya
d. Kepraktisan dan daya tahan alat bantu.
e. Keefektifan dan keefisienan alat bantu
Contoh alat bantu sederhana adalah pena. pensil, papan tulis, kapur tulis,
penggaris, penghapus. Contoh alat bantu yang penggunaannya membutuhkan
keterampilan tertentu adalah skala, rubrik, jangka, 0HP, video, tape recorder, dan
media audiovisual lainnya. Beherapa upaya penyediaan bahan antara lain adalab:
a. Pembelian, jika mampu
b. Pengajuan kepada pemerintah
c. Permobonan bantuan melalui sponsor
d. Membuat sendiri, jika bisa
e. Menggerakkan dan mengajak para pembelajar untuk menciptakan dengan
memanfaatkan alam sekitar

4. Suasana Belajar dan Upaya Pengembangannya


Dalam pandangan tradisional suasana belajar yang kondusif adalahh jika di
dalam sebuah kelas terasa tenang sementara para siswa bisa mendengarkan apa yang
diceramahkan gurunya. Oleh karena itu, pandangan tradisional tsb, maka kelas yang
baik dalam belajar mengajar adalah kelas yang siswanya duduk dengan tenang,
berdiam diri sambil mendengarkan pengajaran yang dilakukan guru. Umumnya, siswa
tidak berani mengajukan pertanyaan terhadap hal-hal yang deceermahkan guru,
terkecuali guru telah memberikan kesempatan. Dalam pandangan sekarang suasana
belajar yang kondusif adalah suasana yang mendukung bagi terciptanya kegiatan
belajar. Yaitu suasana yang interaktif dimana para siswa giat belajar. suasana yang
interaktif belajar di dalamnya, tentu tidak dibatasi ketika ditunggui oleh gurunya.
Pada saat guru sedang menunggui misalkan saja, siswa tetap aktif dan giat belajar.
Suasana belajar yang kondusif demikian tidak terjadi dengan sendirinya. la
harus dirancang oleh guru melalui sebuah rancangan pengajaran sebuah suasana
belajar dikatakan kondusif manakala :
a. Siswa tekun mengerjakan sesuatu yang semestinya dikerjakan.
b. Siswa aktif berinteraksi tidak saja hanya dengan gurunya melainkan aktif
berinteraksi dengan siswa-siswa yang lain.
c. Siswa secara bebas mengerjakan segala hal yang dapat mencapai tujuan
belajarnya.
d. Kreativitas siswa mendapatkan penghargaan yang sepantasnya, dan bakan
sebaliknya.
Agar suasana belajar tersebut kondusif, maka upaya-upaya yang dapat
dilakukan adalah :
a. Buatlah kontak pengajaran dengan para siswa
b. Rancanglah aktivitas belajar siswa
c. Berikan kebebasan kepada siswa untuk mengemukakan pendapatnya.
d. Buatlah suasana yang demokratis. agar tidak menakutkan bagi para siswa dalana
beraktivitas.
e. Rancanglah ruangan belajar sefleksibel mungkin hingga mudah dirubah-ubah.
f. Jangan gampang memberikan penghukumn terhadap siswa, lebih-lebibh jika
kepada siswa yang belum tentu bersalah.
g. Hargailah siswa-siswa mencoba cara-cara dan metede-metode baru

5. Kondisi Subjek Belajar dan Upaya Penyiapan dan Peneguhannya.


Kondisi subjek belajar sebenamya berbeda-beda. Kondisi subjek belajar yang
kelihatannya samapun, manakala diteliti lebib dalam, akan kelibatan perbedaannya.
Oleh karena stu, dalam kclompok siswa yang homogen pun, sebenamya kalau dilihat
lebih dalam akan tampak heterogenitasnya. Kondisi subjek belajar dapat dibedakan
atas hal-hal yang bersifat lahiriah, dan hal-hal yang bersifat batiniah atau hal-hal yang
bersifat fisik dan hal-hal yang hersifat psikologis. Dari segi lahiriah atau fisik, subjek
belajar bisa berbeda: ukuran tubuhnya, kekuatan tubuhnya, kesehatan fisiknya, daya
tahan fisiknya, kesegaran dan kebugam jasmaninya. Mereka yang berada pada kondisi
lebih, misalnya lebih besar/tingai. khib kuat lebih sehat lebih tinggi daya tahannya dan
khib segarIbLigar, umumnya tehih mendukung bagi aktivitas belajarnya dibandingkan
dengan mereka yang berada pada posisi kurang.
Dari segi psikis, kondisi subjek belajar juga berbeda dari segi: intelegensinya,
bakatnya, militansi kerjanya, motivasi instrinsik atau motivasi berprestasinya,
kematangannya aspirasi dan punya, ambisi-ambisinya. Mereka yang mempunyai
inteligensi tinggi umumnya lebih gampang berhasilnya dibandingkan yang
berintelegensi rendah. Demikian juga yang mempunyai bakat khusus, yang tinggi
militansi kerjanya, yang tinggi motivasi intrinsiknya, yang besar ambisinya, dan yang
lebih stabil emosinya. Oleh karena beragamnya kondisi subjek belajar tersebut, dan
tidak senantiasa menetapnya kondisi belajar tersebut, maka hs ada upaya-upaya unruk
menyiapkan mereka dan sekaligus meneguhkannya. Dengan penyiapan yang
terancang dan dengan upaya-upaya peneguhan diharapkan mendukung aktivitas
belajar. Upaya yang dapat dilakukan untuk mempersiapkan kondisi objek belajar
khususnya dari segi fisiknya adalah:
a. Memenuhi subjek belajar dengan gizi dan nutrisi-nutrisi yang diperlukan.
b. Penyegaran fisik subjek belajar dengan olahraga atau latihan-latihan fisik seperti
senam.
c. Memeriksakan tubuh subjek belajar secara teratax kepada dokter agar dapat
dicegah timbulnya penyakit yang memungkinkan terganggunya belajar mengajar.
Sementara itu, upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mempersiapkan psikis subjek
belajar adalah :
a. Memperkenalkan dengan lingkungan belajar yang mangkin baru bagi mereka.
b. Memelihara keseimbangan emosi mereka, agar secara psikologis mereka merasa
aman.
c. Mengasah kondisi psikis mereka dengan latihan-latihan.
d. Menerima mereka apa adanya dengan segala kelebihan dan kekurangannya
sehingga subjek belajar tidak merasa tertolak oleh lingkungannya.

4. PENGERTIAN DAN CIRI - CIRI PEMBELAJARAN.


4.1. Pengertian Pembelajaran Secara Umum
Pembelajaran adalah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsur-unsur
manusiawi, material, fasilitas, perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi
mencapai tujuan pembelajaran. Manusia terlibat dalam sistim pengajaran terdiri dari:
siswa, guru dan tenaga lainnya, misalnya tenaga laboratorium. Material meliputi buku-
buku, papan tulis, dan kapur, fotografi, slide, dan film audio dan video tape. Fasilitas
dan perlengkapan terdiri dari ruang kelas, perlengkapan audio visual juga komputer.
Prosedur meliputi jadwal dan metode penyampaian informasi, praktek, belajar, ujian
dan sebagainya. Rumusan tersebut tidak terbatas dalam ruang saja. Sistim
pembelajaran dapat dilaksanakan dengan cara membaca buku, belajar di kelas, atau di
sekolah, karena diwamai dengan organisasi dan interaksi antara berbagai komponen
yang saling berkaitan untuk pembelajaran peserta didik. Istilah pembelajaran
berhubungan erat dengan pengertian belajar dan mengajar. Belajar,
mengajar dan pembelajaran terjadi bersama-sama. Belajar dapat
terjadi tanpa guru atau tanpa kegiatan mengajar dan pembelajaran
formal lain. Sedangkan mengajar meliputi segala hal yang guru
lakukan di dalam kelas. Pengertian pembelajaran menurut kamus
bahasa Indonesia adalah proses, cara menjadikan orang atau
makhluk hidup belajar. Banyak para ahli mendefenisikan Pengertian
pembelajaran secara umum, antara lain:
1. Duffy dan Roehler (1989). Pembelajaran adalah suatu usaha yang
sengaja melibatkan dan menggunakan pengetahuan profesional
yang dimiliki guru untuk mencapai tujuan kurikulum.
2. Gagne dan Briggs (1979:3). Mengartikan instruction atau
pembelajaran ini adalah suatu sistem yang bertujuan untuk
membantu proses belajar siswa, yang berisi serangkaian peristiwa
yang dirancang, disusun sedemikian rupa untuk mempengaruhi
dan mendukung terjadinya proses belajar siswa yang bersifat
internal.
3. Undang-Undang No. 23 Tahun 2003 Tentang SISDIKNAS
Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik dengan
pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar.

4.2. Pengertian Pembelajaran Menurut Ahli Psikologi.


Istilah belajar dan mengajar adalah dua peristiwa yang berbeda tetapi terdapat
hubungan yang erat, bahkan terjadi kaitan dan interaksi saling mempengaruhi dan
saling menunjang satu sama lain. Banyak ahli yang telah merumuskan pengertian
mengajar berdasarkan pandangannya masing-masing. Perumusan dan tinjauan itu
masing-masing memiliki kebaikan dan kelemahan. berbagai rumusan yang ada pada
dasarnya berlandaskan pada teori tertentu.
a. Mengajar adalah upaya menyampaikan pengetahuan kepada peserta
didik/siswa di sekolah.
Rumusan ini sesuai dengan pendapat dalam teori pendidikan yang
mementingkan mata ajaran yang harus dipelajari oleh peserta didik. Dalam rumusan
ini terkandung konsep-konsep sebagai berikut:
1. Pembelajaran merupakan persiapan di masa depan
Masa depan kehidupan anak ditentukan oleb orang tua. Mereka dianggap paling
mengetahui apa dan bagaimana kehidupan itu. Itu sebabnya, orang tua
berkewajiban menentukan akan dijadikan apa peserta didik. Sekolah berfungsi
mempersiapkan mereka agar mampu hidup dalam masyarakat yang akan datang.
2. Pembelajaran merupakan proses penyampaian pengetahuan
Penyampaian pengetahuan dilaksanakan dengan menggunakan metode imposisi,
dengan cara menuangkan pengetahuan kepada siswa. Umumnya guru
menggunakan metode "formal step" dari J. Herbert berdasarkan asas asosiasi dan
reproduksi atas tanggapan/kesan. Cara penyampaian pengetahuan tersebut
berdasarkan ajaran dalann psikologi asosiasi.
3. Tinjauan utama pembelajaran ialah penguasaan pengetahuan.
Pengetahuan sangat penting bagi manusia. Barang siapa menguasai pengetahuan,
maka dia dapat berkuasa.: knowledge is power". Pengetalman bersumber dari
perangkat mata ajaran yang disampaikan di sekolah. Para pakar yang mendukung
teori ini berpendapat bahwa mata ajaran berasal dari pengalaman-pengalaman
orang tua, masa lampau yang berlangsung sepanjang kehidupan manusia.
Pengalaman-pengalaman itu diselidiki, disusun secara sistematis dan logis,
sehingga tercipta yang kita sebut mata ajaran (H. Alberty 1953). Mata ajaran itu
diuraikan, disusun dan dimuat dalam buku pelajaran dan berbagai referensi
lainnya.
4. Guru dipandang sebagai orang yang sangat berkuasa.
Peranan guru sangat dominan. Dia menentukan segala hal yang dianggap tepat
untuk disajikan kepada para siswanva. Guru dipandang sebagai orang yang serba
mengetahui, berarti guru adalah yang paling pandai. Dia mempersiapkim tugas-
tugas memberikan latihan-latihan dan menentukan peraturan kemajuan tiap siswa.
5. Siswa selalu bersikap dan betindak pasif
Siswa dianggap sebagai tong kosong, belum mengetahui apa-apa. Dia hanya
menerima apa yang diberikan okh gurunya. Siswa bersikap sebagai pendengar,
pengikut, pelaksana tugas. Kebutuhan, minat. tujuan, abilitas dan lain-lain yang
dimiliki oleh siswa diabaikan dan tidak mendapat perhatian guru.
6. Kegiatan pembelajaran hanya berlangsung dalam kelas.
Pembelajaran dilaksanakan dalam batas-batas ruang kelas saja, sedangkan
pembelajaran di luar kelas tak pernah dilakukan. Tembok sekolah menjadi
benteng yang kuat yang membatasi hubungan-hubungan dengan kehidupan
masyarakat. Para siswa duduk pada bangku yang berdiri kokoh, tak bisa dipindah-
pindahkan. Mereka duduk dengan rapi dan kaku secara rutin setiap hari. Ruangan
kelas dipandang sebagai ruang penyelamat, ruang memberi kehidupan. Belajar
dalam batas-batas ruangan itu adalah yang paling baik.
b. Mengajar adalah mewariskan kebudayaan kepada generasi muda melalui
lembaga pendidikan sekolah.
Rumusan ini bersifat lebih umum bila dibandinglean dengan rumusan
pertama, namun antara keduanya memiliki pola pikiran yang seirama. Implikasi dari
rumusan ini adalah sebagai berikut:
1. Pembelajaran bertujuan membentuk manusia berbudaya.
Peserta didik hidup dalam pola kebudayaan masyarakatnya. Manusia berbudaya
adalah manusia yang mampu hidup dalam pola tersebut. Peserta didik diajar agar
memiliki kemainpuan dan kepribadian sesuai dengan kehidupan budaya
masyarakat itu.
2. Pembelajaran berarti suatu proses pewarisan.
Para siswa dipandang sebagai keturunan orang tua dan orang tua adalah keturunan
neneknya dan seterusnya, demikian terus terjadi proses turun temurun. Dengan
sendirmya apa yang dimiliki oleh nenek moyang pada masa lampau itu harus
diwariskan kepada keturunan berikumya. Upaya pewarisan itu dilakukan metalui
berbagai prosedur: pengajaran, media hubungan pribadi dan sebagainya. Bila
dilakukan melalui pengajaran, maka proses yang telah dikemukakan dalam proses
perumusan pertama berlaku dan dilaksanakan dengan teknik yang sama.
3. Bahan pembelajaran bersumber dari kebudayaan.
Yang termasuk kebudayaan adalah kebiasaan orang berpikir dan berbuat seperti:
kehidupan keluarga, cara menyediakan makanan, bahasa, pemerintahan, ukuran
moral, kepereayaan agama, dan bentuk-bentuk ekspresi seni. Kebudayaan
merupakan kumpulan daripada warisan sosial dalam masyarakat. Berdasarkan
pada pengertian mi, kebudayaan itu bersifat non material., dan bersifat abstrak,
ada dalam jiwa dan kepribadian manusia. Benda-benda bersifat material
sesungguhnya adalah hasil dari keterampilan manusia (Worcester, 1969).
Kebudayaan dan hasil kebudayaan diwariskan kepada siswa yang umumnya
berupa benda-benda dan non benda, tertulis dan lisan, dan berbagai bentuk
tingkah laku norma dan lain-lain.
4. Siswa sebagai generasi muda ahli waris kebudayaan
Generasi muda berfungsi sebagai generasi penerus. Mereka perlu dipersiapkan
sedemikian rupa agar benar-benar siap melanjutkan hasil yang telah dicapai oleh
generasi yang ada sekarang. Kebudayaan yang diwariskan kepada mereka harus
dikuasai dan dikembangkan, sehingga mereka menjadi warga masyarakat yang
lebih berbudaya. Dalam hal ini, diakui bahwa anak sedang berada dalam tahap
perkembangan dan menuju ketingkatan yang lebih dewasa, dalam arti, menjadi
manusia yang berbudaya. Mereka harus mampu memanfaatkan teknologi, sebagai
aspek dari kebudayaan, untuk kehidupannya. serta mampu mengadakan
penemuan-penemuan baru, mengembangkan kebudayaan yang telah ada.
c. Pembelajaran adalah upaya mengorganisasi lingkungan untuk menciptakan
kondisi belajar bagi peserta didik.
Rumusan ini dianggap lebih maju dibandingkan dengan rumusan terdahulu,
sebab lebih menitik beratkan pada unsur peserta didik, lingkungan, dan proses belajar.
Perumusan ini sejalan dengan pendapat dari Me. Donald, yang mengemukakan
sebagai berikut:
educational, in the sense used here, is a process or an activity whkh is directed at
producing desirable changes in the behavior of human beings (Me. Donal, 1959)
artinya : Pendidikan adalah suatu proses atau kegiatan yang bertujuan menghasilkan
perubahan tingkah laku manusia. Implikasi dari pengertian tersebut adalah sebagai
berikut:
1. Pendidikan bertujuan mengembangkan atau mengubah tingkah aku peserta didik
Pribadi adalah suatu sistem yang bersifat unik, terintegrasi dan terorganisasi yang
meliputi semua jenis tingkah laku individu. Pada hakikatnya pribadi tidak lain
daripada tingkah laku itu sendiri. Kepribadian mempunyai ciri-ciri: (1).
Berkembang secara berkelanjutan sepanjang hidup manusia, (2). Pola organisasi
kepribadian berbeda-beda untuk setiap orang dan bersifat unik, (3). Kepribadian
hersifat dinamis, terus berubah meialui cara-cara tertentu. Tingkah laku manusia
memiliki dua aspek, yakni: (1). Aspek objektif, yang bersifat struktural, yakni
aspek jasmaniah, (2). Aspek subjektif, yang besifat fungsional, yakni aspek
rohaniah.
2. Kegiatan pembelajaran berupa pengorganisasian lingkungan
Perkembangan tingkah laku seseorang adalah berkat pengaruh dari lingkungan.
Lingkungan kita artikan secara luas, yang terdiri dari lingkungna alam dan
lingkungan sosial. Lingkungan sosial sering lebih berpengaruh terhadap tingkah
laku seseorang. Melalui interaksi antara individu dan lingkunganya, maka siswa
memperoleh pengalaman, yang pada gilirannya berpengaruh terhadap
perkembangan tingkah lakunya. Hal ini sesuai dengan pendapat bahwa
pendidikan adalah suatu proses sosialisasi di mana anak didik disiapkan sesuai
dengan norma-norma yang berlaku dalam masyarakat sekitamya. Sekolah
berfungsi menyediakan lingkungan yang dibutuhkan bagi perkembangan tingkah
laku siswa, antara lain menyiapkan program belajar, bahan belajar, metode
mengajar, alat mengajar dan lain-lain. Selain dari itu, pribadi guru sendiri,
suasana kelas, kelompok siswa, lingkungan di luar sekolah, semua menjadi
lingkungan belajar yang bermakna bagi perkembangan siswa.
3. Peserta didik sebagai suatu organisme yang hidup.
Peserta didik memiliki berbagai potensi yang siap untuk berkembang, misalnya,
kebutuhan, minat, tujuan, abilitas, intelegensi, emosi dan lain-lain. Tiap individu
peserta didik mampu berkembang menurut pola dan caranya sendiri. Mereka
dapat melakukan berbagai aktivitas dan mengadakan interaksi dengan
lingkungannya. Aktivitas belajar sesungguhnya bersumber dari dalam diri peserta
didik. Guru berkewajiban menyediakan lingkungan yang serasi agar aktivitas itu
menuju ke arah tujuan yang diinginkan. Dalam hal ini guru bertindak sebagai
organisator belajar bagi siswa yang potensial itu, sehingga tercapai tujuan
pembelajaran secara optimal.
d. Pembelajaran adalah upaya mempersiapkan peserta didik untuk menjadi
warga masyarakat yang baik.
Rumusan ini didukung oleh para pakar yang menganut pandangan bahwa
pendidikan itu berorientasi kepada kebutuhan tuntutan masyarakat. Implikasi dari
rumusan/pengertian ini,adalah sebagai berikut:
1. Tujuan pembelajaran
Pembentukan warga negara yang baik adalah warga negara yang dapat bekerja di
masyarakat. Seorang warga negara yang baik bukan menjadi konsumen, tetapi
yang lebih penting ialah menjadi seorang produsen. Untuk menjadi seorang
produsen, maka dia barus memiliki keterampilan berbuat dan bekerja,
menghasilkan barang-barang dan benda kebutuhan masyarakat. Motto yang
dikemukakan: "benign habitat for good living", artinya seorang warga negara
yang baik bila dapat menyumbangkan dirinya kepada kebidupan yang baik.
2. Pembelajaran berlangsung dalam suasanan kerja.
Program pembelajaran diselenggarakan dalam suasana kerja. dimana para siswa
mendapat latihan dan pengalaman praktis. Karena itu, suasana yang diperlukan
adalah suasana yang aktual, seperti dalam keadaan sesungguhnya. Para siswa
mengerjakan hal-hal menarik minatnya dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat.
3. Peserta didik/siswa sebagai calon warga negara yang memiliki potensi untuk
bekerja.
Siswa memiliki bermacam kemampuan, minat, dan Kebutuhan, antara lain
kebutuhan ingin berdiri sendiri, ingin punya pekerjaan. Siswa tidak menginginkan
berdiam dengan pasif, semua ingin melakukan kegiatan, bermain, atau bekerja.
Energi mereka miliki perlu mendapat penyaluran sebagaimana mestinya. Jikalau
energi itu tidak disalurkan, maka dapat menyebabkan tingkah laku yang tidak
diharapkan, Perumusan atas kebutuhan itu, pengembangan minat dan sikap,
penyaluran energi yang berlebihan sebaiknya dilakukan dengan cara menyediakan
kesempatan bekerja, mencari pengalaman yang praktis, dan memupuk
keterampilan jasmaniah-rohaniah. Dengan berkembang kemampuan kerja, maka
tuntutan dan harapan masyarakat dapat dipenuhi. Pada dasamya tidak ada
masyarakat yang menginginkan anak-anaknya menjadi barisan penganggur.
4. Guru sebagai pimpinan dan pembimbing bengkel kerja.
Sesuai dengan tujuan tersebut, sekolah merupakan suatu ruang workshop dan oleh
karenanya guru harus mampu memimpin dan membimbing siswa belajar bekerja
dalam bengkel sekolah. Guru-guru harus menguasai program keterampilan khusus
dan menguasai strategi pembelajaran keterampilan, serta menyediakan proyek-
proyek kerja yang menciptakan berbagai kesibukan yang bermakna. Dalam hal
mi, peranan guru dalam sekolah komprehensif adalah sangat penting.

e. Pembelajaran adalah suatu proses membantu siswa menghadapi kehidupan


masyarakat sehari-hari.
Pandangan ini didukung oleh para pakar yang berorientasi pada kehidupan
masyarakat. Sekolah dari masyarakat adalah suatu integrasi. Pendidikan adalah di sini
dan sekarang ini (G.E. Olson, 1945). Implikasi dari pengertian ini adalah sebagai
berikut:
1. Tujuan pembelajaran ialah mempersiapkan siswa untuk hidup dalam masyarakat.
Sekolah berfungsi menyiapkan siswa untuk menghadapi berbagai masalah dalam
kehidupan, mereka bukan dipersiapkan untuk menghadapi masa depan yang
masih jauh, 10 atau 20 tahun ke depan, melainkan untuk memecahkan masalah
seharihari dalam lingkungannya, di rumah dan di masyarakat.
2. Kegiatan pembelajaran berlangsung dalam hubungan sekolah don masyarakat.
Masyarakat diartikan sebagai laboratorium belajar yang paling besar. Sumber-
sumber masyarakat tak pernah habis sebagai sumber belajar. Prosedur
penyelenggaraan ialah dengan membawa siswa ke dalam masyarakat dengan
karyawisata, survei, berkemah dan lain-lain, atau dengan cara membawa
masyarakat ke dalam sekolah sebagai nara sumber. Dengan demikian, masyarakat
akan memberikan sumbangan yang besar terhadap pendidikan anak, dan
sebaliknya, sekolah akan memberikan bantuan dalam memecahkan masalah-
masalah dalam masyarakat. Sekolah juga berfungsi turut memperbaiki kehidupan
masyarakat sekitamya.
3. Siswa belajar secara aktif.
Siswa bukan saja aktif belajar di laboratorium sekolah, mencari pengalaman kerja
dalam berbagai lapangan kehidupan, -tapi juga aktif bekerja langsung di
masyarakat. Dengan cara ini. semua potensi yang mereka miliki menjadi hidup
dan berkembang. Siswa turut merencanakan, berdiskusi, meninjau. membuat
laporan, dan lain-lain, sehingga perkembangan pribadinya selaras dengan kondisi
lingkungan masyarakatnya.
4. Guru bertugas sebagai komunikator
Guru juga bertugas sebagai penghubung antara sekolah dan masyarakat. Guru
mempersiapkan rencana awal pembelajaran, kemudian menyusun rencana lengkap
bersama para siswa sebagai persiapan melaksanakan di lapangan. Guru harus
mengenal dengan baik keadaan masyarakat sekitamya, supaya dapat menyusun
proyek kerja bagi para siswa. Kelas -ialu melakukan inventarisasi masalah-
masalah yang muncul jalam masyarakat, kemudian diupayakan pemecahannya.
Pranan sebagai komunikator, bukan saja memerlukan pengetahuan dalam bidang
pendidikan dan apresiasi, namun diperlukan pula keterampilan berintegrasi dan
bekeda sama dengan masyarakat.
Berdasarkan teori-teori tersebut semakin jelaslah bahwa kegiatan dan proses
pembelajaran itu sangat kompleks. Pandangan-pandangan yang telah dibahas itu, akan
menjadi lebih jelas setelah mempelajari uraian-uraian berikumya.

4.3 Ciri-Ciri Pembelajaran


Ada tiga ciri khas yang terkandung dalam sistem pembelajaran, antara lain
adalah:
1. Rencana, ialah penataan ketenagaan, material, dan prosedur, yang merupakan
unsur-unsur sistem pembelajaran, dalam suatu rencana khusus.
2. Kesalingtergantungan (interdependence), antara unsur-unsur sistem pembelajaran
yang serasi dalam suatu kescluruhan. Tiap unsur bersifat essensial, dan
memberikan sumbangannya kepada sistem pembelajaran.
3. Tujuan, sistem pembelajaran mempunyai tujuan tertentu yang hendak dicapai.
Ciri ini menjadi dasar perbedaan antara sistem yang dibuat oleh manusia dan
sistem yang alami (natural). Sistem yang dibual oleh manusia, seperti: sistem
transportasi, sistem komunikasi, sistem pemerintahan, semuanya memiliki tujuan.
Sistim alami (natural) seperti sistem ekologi, sistem kehidupan hewan, memiliki
unsur-unsur yang saling ketergantungan satu sama lain, disusun sesuai dengan
rencana tertentu, tetapi tidak mempunyai tujuan tertentu. Tujuan sistem menuntun
proses merancang sistem. Tujuan sistem pembelajaran agar siswa belajar. Tugas
seorang perancang sistem ialah mengorganisasi tenaga. material, dan prosedur,
agar siswa belajar secara efisien dan efektif. Dengan proses mendisain sistem
pembelajaran si perancang membuat rancangan untuk memberikan kemudahan
dalam upaya mencapai tujuan sistem pembelajaran tersebut.

5. TUJUAN DAN UNSUR-UNSUR DINAMIS PEMBELAJARAN.


5.1. Tujuan Pembelajaran Yang Menunjang Tercapainya Tujuan Belajar.
Pembelajaran dimaksudkan terciptanya suasana sehingga siswaa belajar.
Tujuan pembelajaran haruslah menunjang dan dalam tercapainya tujuan belajar.
Dahulu, ketika pembelajaran dimaksudkan sebagai kadar penyampaian ilmu
pengetahuan, pembelajaran tak terkait dengan blajar. termasuk tujuannya. Sebab, jika
guru telah menyampaikan ilmu pengetahuan. tercapailah maksud atau tujuan
pembelajaran tersebut. Pembelajaran model dahulu itu, memang tidak dicoba
terkaitkan dengan belajar itu sendiri. Pembelajaran lebih onsentrasi pada kegiatan
guru dan tidak terkonsentrasi pada kegiatan siswa.Jika pada masa sekarang ini
pembelajaran dicoba terkaitkan dengan belajar, maka dalam merancang aktivitas
pembelajaran, guru harus belajar dari aktivitas belajar siswa. Aktivitas belajar siswa
harus dijadikan titik tolak dalam merancang pembelajaran. Implikasi dari adanya
keterkaitan antara kegiatan pembelajaran dan kegiatan belajar siswa tersebut adalah
usunnya tujuan pembelajaran yang dapat menunjang apainya tujuan belajar. Muatan-
muatan yang termaktub dalam tujuan belajar, haruslah termaktub juga dalam tujuan
pembelajaran. Contoh kongkrit tujuan pembelajaran yang kongruen dengan tujuan
belajar adalah sebagai berikut :

Tujuan Belajar Tujuan Pembelajaran


Setelah menelaah teks butir-butir pertama Setelah siswa dibelajarkan dengan cara
pancasila siswa dapat menjelaskan kaitan menelaah teks butir pertama pancasila
antara butir pertama dengan butir kedua siswa dapat menjelaskan kaitan antara butir
secara benar dengan menggunakan kata- pertama dengan butir kedua secara benar
kata sendiri. dengan menggunakan kata-kata sendiri.
Setelah mengamati berbagai tumbuh- Setelah siswa dibelajarkan dengan cara
tumbuhan di kebun percobaan sekolah, menclaah teks butir pertama pancasila,
siswa dapat membedakan antara tumbuh- siswa dapat menjelaskan kaitan antara butir
tumbuhan yang berkeping satu dan yang portama dengan butir kedua secara benar
berkeping dua. Setelah dibelajarkan dengan dengan menggunakan kata-kata yang ada
cara mengamati tumbuh-tumbuhan di pada teks Setelah mengamati berbagai
kebun percobaan sekolah, siswa dapat tumbuh-tumbuhan di kebun percobaan
menibedakan tumbuh-tumbuhan yang sekolah, siswa dapat membedakan antara
berkeping satu dengan tumbuhan berkeping tumbuh-tumbuhan yang berkeping satu
dua. dengan yang berkeping dua.
Setelah dibelajarkan dengan cara membaca Setelah menelaah teks butir-butir pertama
buku teks dan berdiskusi dengan teman- pancasila siswa dapat menjelaskan kaitan
temannya siswa dapat membedakan antara butir pertama dengan butir kedua
tumbuh-tumbuhan yang berkeping satu secara benar dengan menggunakan kata-
dengan yang berkeping dua. kata sendiri
Setelah menelaah teks butir-butir pertama Setelah siswa dibelajarkan dengan cara
pancasila, siswa dapat menjelaskan kaitan menelaah teks butir pertama pancasila,
antara butir pertama dengan butir kedua siswa dapat menjelaskan kaitan antara butir
secara benar dengan menggunakan kata- pertama dengan butir kedua secara benar
kata sendiri. dengan menggunakan kata-kata yang ada
pada teks
Dari contoh yang disebutkan tersebut sangatlah jelas, bahwa tujuan
pembelajaran yang kongruen dengan tujuan belajar siswa adalah :
1. Punya kesamaan tercapainya tujuan dari segi waktu, yaitu setelah siswa belajar
dan atau dibelajarkan.
2. Punya kesamaan tercapainya tujuan dari segi substansinya, aitu siswa bisa "apa"
setelah belajar dan atau dibelajarkan.
3. Punya kesamaan tercapainya tujuan dari segi cara mencapainya.
4. Punya kesamaan takaran dalam pencapaian tujuan.
5. Punya kesamaan dari segi pusat kegiatan, yaitu sama-sama berada pada diri siswa.
Agar tujuan pembelajaran yang kongruen dengan tujuan belajar tersebut jelas,
berikut disajikan contoh tujuan pembelajaran yang tidak kongruen dengan tujuan
belajar : Contoh yang disebutkan tersebut, jelas menunjukkan tidak kongruen antara
tujuan pembelajaran dengan tujuan belajar. Oleh karena itu tujuan pembelajaran
demikian ini tidak menunjang pencapaian tujuan belajar. Ada perbedaan titik tekan
antara tujuan belajar dengan tujuan pembelajaran. Pada contoh pertama dan kedua.
substansi tujuan belajar telah dikacaukan oleh substansi tujuan pembelajaran.
Sedangkan pada contoh ketiga dan keempat. tujuan belajar telah dikacaukan oleh
tujuan pembelajaran dari segi cara penyampaiannya.
Beberapa prinsip pembelajaran dikemukakan oleh Atwi Suparman
dengan mengadaptasi pemikiran Fillbeck (1974), sebagai berikut :
1. Respon-respon baru (new responses) diulang sebagai akibat dari
respon yang terjadi sebelumnya.
2. Perilaku tidak hanya dikontrol oleh akibat dari respon, tetapi juga
di bawah pengaruh kondisi atau tanda-tanda dilingkungan siswa.
3. Perilaku yang timbul oleh tanda-tanda tertentu akan hilang atau
berkurang frekuensinya bila tidak diperkuat dengan akibat yang
menyenangkan.
4. Belajar yang berbentuk respon terhadap tanda-tanda yang
terbatas akan ditransfer kepada situasi lain yang terbatas pula.
5. Belajar menggeneralisasikan dan membedakan adalah dasar
untuk belajar sesuatu yang kompleks seperti yang berkenaan
dengan pemecahan masalah.
6. Situasi mental siswa untuk menghadapi pelajaran akan
mempengaruhi perhatian dan ketekunan siswa selama proses
siswa belajar.
7. Kegiatan belajar yang dibagi menjadi langkah-langkah kecil dan
disertai umpan balik menyelesaikan tiap langkah, akan membantu
siswa.
8. Kebutuhan memecah materi kompleks menjadi kegiatan-kegiatan
kecil dapat dikurangi dengan mewujudkan dalam suatu model.
9. Keterampilan tingkat tinggi (kompleks) terbentuk dari
keterampilan dasar yang lebih sederhana.
10. Belajar akan lebih cepat, efisien, dan menyenangkan bila siswa
diberi informasi tentang kualitas penampilannya dan cara
meningkatkannya.
11. Perkembangan dan kecepatan belajar siswa sangat bervariasi, ada
yang maju dengan cepat ada yang lebih lambat.
12. Dengan persiapan, siswa dapat mengembangkan kemampuan
mengorganisasikan kegiatan belajarnya sendiri dan menimbulkan
umpan balik bagi dirinya untuk membuat respon yang benar.
Selanjutnya dalam buku Condition of Learning, Gagne (1997)
mengemukakan sembilan prinsip yang dapat dilakukan guru dalam
melaksanakan pembelajaran, sebagai berikut:
1. Menarik perhatian (gaining attention) : hal yang menimbulkan
minat siswa dengan mengemukakan sesuatu yang baru, aneh,
kontradiksi, atau kompleks.
2. Menyampaikan tujuan pembelajaran (informing learner of the
objectives) : memberitahukan kemampuan yang harus dikuasai
siswa setelah selesai mengikuti pelajaran.
3. Mengingatkan konsep/prinsip yang telah dipelajari (stimulating
recall or prior learning) : merangsang ingatan tentang
pengetahuan yang telah dipelajari yang menjadi prasyarat untuk
mempelajari materi yang baru.
4. Menyampaikan materi pelajaran (presenting the stimulus) :
menyampaikan materi-materi pembelajaran yang telah
direncanakan.
5. Memberikan bimbingan belajar (providing learner guidance) :
memberikan pertanyaan-pertanyaan yamng membimbing
proses/alur berpikir siswa agar memiliki pemahaman yang lebih
baik.
6. memperoleh kinerja/penampilan siswa (eliciting performance) ;
siswa diminta untuk menunjukkan apa yang telah dipelajari atau
penguasaannya terhadap materi.
7. memberikan balikan (providing feedback) : memberitahu seberapa
jauh ketepatan performance siswa.
8. Menilai hasil belajar (assessing performance) :memberiytahukan
tes/tugas untuk mengetahui seberapa jauh siswa menguasai
tujuan pembelajaran.
9. Memperkuat retensi dan transfer belajar (enhancing retention and
transfer): merangsang kamampuan mengingat-ingat dan
mentransfer dengan memberikan rangkuman, mengadakan
review atau mempraktekkan apa yang telah dipelajari.

5.2. Unsur-Unsur Dinamis Pembelajaran Kongruen Dalam Proses Belajar


Siswa/Mahasiswa
a. Motivasi belajar menuntut sikap tanggap dari pihak guru serta kemampuan untuk
mendorong motivasi dengan berbagai upaya pembelajaran. Ada beberapa prinsip
yang dapat digunakan oleh guru dalam rangka memotivasi siswa agar belajar,
ialah:
1. Prinsip kebermaknaan, siswa termotivasi untuk mempelajari hal-hal yang
bermakna bagi dirinya,
2. Prasyarat, siswa lebih suka mempelajari sesuatu yang baru jika dia memiliki
pengalaman prasyarat (prerckuisit).
3. Model, siswa lebih suka memperoleh tingkah laku baru bila disajikan dengan
suatu model perilaku yang dapat diamati dan ditim.
4. Komunikasi terbuka, siswa lebih suka belajar bila penyajian ditata agar
supaya pesan-pesan guru terbuka terhadap pendapat siswa.
5. Daya tarik, siswa lebih suka belajar bila perhatiannya tertarik oleh penyajian
yang menyenangkan/menarik.
6. Aktif dan latihan, siswa lebih senang belajar bila dia dapat berperan aktif
dalam latihan/praktik dalam upaya mencapai tujuan pembelajaran
7. Latihan yang terbagi, siswa lebih suka belajar bila latihan-latihan
dilaksanakan dalamjangka waktu yang pendek.
8. Tekanan instruksional, siswa lebih suka belajar terus bila kondisi
pembelajaran menyenangkan baginya.
9. Keadaan yang menyenangkan, siswa lebih suka belajar terus bila kondisi-
kondisi pembelajaran menyenangkan bagmya.
b. Sumber-sumber yang digunakan sebagai bahan belajar terdapat pada:
1. Buku pelajaran yang sengaja disiapkan dan berkenan dengan mata ajaran
tertentu. Bahan-bahan tersebut dapat berupa sumber pokok dan sumber
pelengkap. Pemilihim buku-buku sumber telah ditetapkan dalam pedoman
kurikulum dan berdasarkan pilihan guru berdasarkan pertimbangan tertentu.
Buku-buku tersebut mungkin telah tersedia di perpustakaan sekolah, atau
harus dibeli di pasaran buku.
2. Pribadi guru sendiri pada dasamya merupakan sumber tak tertulis dan sangat
penting serta sangat kaya dan luas, yang perlu dimanfaatkan secara maksimal.
Itu sebabnya, guru senantiasa diminta agar terus belajar untuk memperkaya
dan memperluas serta mendalami ilmu pengetalman, sehingga pada waktunya
dapat dimanfaatkan sebagai sumber bahan belajar yang berdaya guna bagi
kepentingan proses belajar siswa.
3. Sumber masyarakat, juga merupakan sumber yang paling kaya bagi bahan
belajar siswa. Hal-hal yang tidak tertulis dalam buku dan belum terkuasai
oleh guru, ternyata ada dalam, masyarakat berupa objek, kejadian dan
peninggalan sejarah. Hal-hal tersebut dapat digunakan sebagai bahan belajar.
Untuk itu, guru perlu menyiapkan program pembelajaran dalam upaya
memanfaatkan masyarakat sebagai sumber bahan belajar bagi siswanya.
c. Pengadaan alat-alat bantu belajar dilakukan oleh guru, siswa sendiri dan bantuan
orang ma. Namun, harus dipertimbangkan kesesuaian alat bantu belajar itu
dengan tujuan belajar, kemampuan siswa sendiri, bahan yang dipelajari, dan
ketersediaannya di sekolah. Prinsip kesesuaian ini perlu diperhatikan karena
sering terjadi pemilihan dan penggunaan suatu alat bantu belajar ternyata tidak
cocok untuk pengajaran dan ternyata tidak banyak pengaruhya terhadap
keberhasilan belajar siswa. Prosedur yang harus ditempuh adalah:
1. Memilih dan menggunakan alat bantuan yang tersedia di sekolah sesuai dengan
rencana pembelajaran.
2. Siswa memilih dan membuat sendiri alat bantu yang diperlukan, berdasarkan
petunjuk dan bantuan guru.
3. Membeli di pasaran bebas scandamya alat yang diperlukan itu ada di pasaran
dan cocok dengan kegiatan belajar yang akan ditakukan.
d. Untuk menjamin dan membina suasana belajar yang efektif. guru dan siswa dapat
melakukan beberapa upaya sebapi berikut:
1. Sikap guru sendiri terhadap pembelajaran di kelas. Guru diharapkan bersikap
menunjang, membantu, adil, dan terbuka dalam kelas. Sikap-sikap tersebut
pada gilirannya akan menciptakan suasana yang menyenangkan dan
menggairahkan serta menciptakan antusiasme terhadap pelajaran yang sedang
diberikan.
2. Perlu adanya kesadaran yang tinggi di kalangan siswa untuk membina disiplin
dan tata tertib yang baik di dalam kelas. Suasana yang disiplin ini juga
ditentukan oleh perilaku guru, kemampuan guru memberikan pengajaran. serta
suasana dalam diri siswa sendiri.
3. Guru dan siswa berupaya menciptakan hubungan dan kerjasama yang serasi,
selaras dan seimbang dalam kela. yang dijiwai oleh rasa kekeluargaan dan
kebersamaan rasa tenggang rasa dan tanggung jawab untuk kepentingan
bersama ternyata lebih efektif dibandingkan dengan suasana dengan
persaingan, berusaha untuk kopentingan sendiri, dan pergaulan guru siswa
yang renggang dan kaku.
e. Subjek belajar yang berada dalam kondisi kurang mantap perlu diberikan binaan.
Pembinaan kesehatan, penyesuaian bahan belajar dengan tingkat kecerdasan
siswa, memperhatikan kesiapan belajar yang tepat waktunya, penyesuaian bahan,
belajar dengan kemampuan dan bakatnya, dan memberikan pengalaman-
pengalaman perekuisit, semua kondisi itu perlu terus dikontrol oleh guru.
Sediakan waktu yang khusus untuk mengenal dan mengetahui dengan seksama
semua kondisi subjek belajar. Bila diketahui terdapat ketidak seimbangan dan
gangguan pada kondisi mereka, maka guru perlu segera melakukan upaya untuk
memperbaiki dan meningkatkannya.

5.3. Unsur-Unsur Dinamis Pembelajaran Pada Diri Guru.


a. Motivasi untuk membelajarkan siswa.
Guru harus memiliki motivasi untuk membelajarkan siswa. Motivasi itu
sebaiknya timbul dari kesadaran yang tinggi untuk mendidik peserta didik
menjadi warga negara yang bak. Jadi guru memiliki hasrat untuk menyiapkan
siswa menjadi pribadi yang memiliki pengetahuan dan kemampuan tertentu.
Namun, diakui bahwa motivasi pembelajaran itu sering timbul karena insentif
yang diberikan, sehingga guru melaksanakan tugasnya sebaik mungkin. Kedua
jenis motivasi itu diperlukan untuk membelajarkan siswa.
b. Kondisi guru siap membelajarkan siswa.
Guru perlu memiliki kemampuan dan proses pembelajaran, disamping
kemampuan kepribadian dan kemampuan kemasyarakatan. Kemampuan dalam
proses pembelajaran sering disebut kemampuan profesional. Guru perlu berupaya
meningkatkan kemampuan-kemampuan tersebut agar senantiasa berada dalam
kondisi siap untuk membelajarkan siswa.
BAGIAN 2
TEORI, PRINSIP BELAJAR DAN APLIKASINYA

PENDAHULUAN
Banyak teori dan prinsip-prinsip belajar yang dikemukakan oleh para ahli
yang satu dengan yang lain memiliki persamaan dan perbedaan. Dari berbagai prinsip
belajar tersebut terdapat beberapa prinsip yamg relatif berlaku umum yang dapat kita
pakai sebagai dasar dalam upaya pembelajaran, baik bagi siswa yang perlu
meningkatkan upaya belajarnya maupun bagi guru dalam apaya meningkatkan
mengajarnya. Prinsip-prinsip itu berkaitan dengan perhatian dan motivasi, keaktifan,
keterlibatan langsung/berpengalaman, pengulangan, tantangan, balikan dan penguatan
serta perbedaan individual.

2.1. TEORI-TEORI BELAJAR


2.1.1. Teori Belajar Behaviorisme
Behaviorisme merupakan salah aliran psikologi yang
memandang individu hanya dari sisi fenomena jasmaniah, dan
mengabaikan aspek-aspek mental. Dengan kata lain, behaviorisme
tidak mengakui adanya kecerdasan, bakat, minat dan perasaan
individu dalam suatu belajar. Peristiwa belajar semata-mata melatih
refleks-refleks sedemikian rupa sehingga menjadi kebiasaan yang
dikuasai individu. Beberapa hukum belajar yang dihasilkan dari
pendekatan behaviorisme ini, diantaranya :
1). Connectionism ( S-R Bond) Menurut Thorndike.
Dari eksperimen yang dilakukan Thorndike terhadap kucing
menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya:
Law of Effect; artinya bahwa jika sebuah respons menghasilkan
efek yang memuaskan, maka hubungan Stimulus Respons
akan semakin kuat. Sebaliknya, semakin tidak memuaskan
efek yang dicapai respons, maka semakin lemah pula
hubungan yang terjadi antara Stimulus- Respons.
Law of Readiness; artinya bahwa kesiapan mengacu pada
asumsi bahwa kepuasan organisme itu berasal dari
pemdayagunaan satuan pengantar (conduction unit), dimana
unit-unit ini menimbulkan kecenderungan yang mendorong
organisme untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu.
Law of Exercise; artinya bahwa hubungan antara Stimulus
dengan Respons akan semakin bertambah erat, jika sering
dilatih dan akan semakin berkurang apabila jarang atau tidak
dilatih.
2). Classical Conditioning menurut Ivan Pavlov
Dari eksperimen yang dilakukan Pavlov terhadap seekor anjing
menghasilkan hukum-hukum belajar, diantaranya :
Law of Respondent Conditioning yakni hukum pembiasaan
yang dituntut. Jika dua macam stimulus dihadirkan secara
simultan (yang salah satunya berfungsi sebagai reinforcer),
maka refleks dan stimulus lainnya akan meningkat.
Law of Respondent Extinction yakni hukum pemusnahan yang
dituntut. Jika refleks yang sudah diperkuat melalui Respondent
conditioning itu didatangkan kembali tanpa menghadirkan
reinforcer, maka kekuatannya akan menurun.
3). Operant Conditioning menurut B.F. Skinner
Dari eksperimen yang dilakukan B.F. Skinner terhadap tikus dan
selanjutnya terhadap burung merpati menghasilkan hukum-hukum
belajar, diantaranya :
Law of operant conditining yaitu jika timbulnya perilaku diiringi
dengan stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut
akan meningkat.
Law of operant extinction yaitu jika timbulnya perilaku operant
telah diperkuat melalui proses conditioning itu tidak diiringi
stimulus penguat, maka kekuatan perilaku tersebut akan
menurun bahkan musnah.
Reber (Muhibin Syah, 2003) menyebutkan bahwa yang
dimaksud dengan operant adalah sejumlah perilaku yang
membawa efek yang sama terhadap lingkungan. Respons
dalam operant conditioning terjadi tanpa didahului oleh
stimulus, melainkan oleh efek yang ditimbulkan oleh reinforcer.
Reinforcer itu sendiri pada dasarnya adalah stimulus yang
meningkatkan kemungkinan timbulnya sejumlah respons
tertentu, namun tidak sengaja diadakan sebagai pasangan
stimulus lainnya seperti dalam classical conditioning.
4). Social Learning menurut Albert Bandura
Teori belajar sosial atau disebut juga teori observational learning
adalah sebuah teori belajar yang relatif masih baru dibandingkan
dengan teori-teori belajar lainnya. Berbeda dengan penganut
Behaviorisme lainnya, Bandura memandang Perilaku individu tidak
semata-mata refleks otomatis atas stimulus (S-R Bond), melainkan
juga akibat reaksi yang timbul sebagai hasil interaksi antara
lingkungan dengan skema kognitif individu itu sendiri. Prinsip
dasar belajar menurut teori ini, bahwa yang dipelajari individu
terutama dalam belajar sosial dan moral terjadi melalui peniruan
(imitation) dan penyajian contoh perilaku (modeling). Teori ini juga
masih memandang pentingnya conditioning. Melalui pemberian
reward dan punishment, seorang individu akan berfikir dan
memutuskan perilaku sosial mana yang perlu dilakukan.
Teori belajar sosial menekankan bahwa lingkungan-lingkungan yang dihadapkan pada
seseorang tidak random; lingkungan kerap kali dipilih dan diubah oleh individu melalui
perilakunya. Suatu perspektif belajar sosial menganalisis hubungan kontiniu antara
variabel-variabel lingkungan, ciri-ciri pribadi, dan perilaku terbuka / tertutup dari
seseorang. Perspektif ini menyediakan interpretasi-interpretasi tentang bagaimana terjadi
belajar sosial, dan bagaimana kita mengatur perilaku sendiri. Konsep-Konsep utama belajar
sosial observasional adalah sebagai berikut:
a). Pemodelan ( modelling )
Bandura menilai bahwa penganut Skinner memberi penekanan pada efek-efek dan
konsekuensi-konsekuensi pada perilaku, tanpa mengindahkan fenomena pemodelan,
yaitu meniru perilaku orang lain. Bandura merasa bahwa sebagian besar belajar yang
dialami manusia tidak dibentuk dari konsekuensi-konsekuensi, melainkan belajar dari
suatu model. Misalkan guru-guru olahraga mendemonstrasikan loncat tinggi, dan
para murid menirunya. Bandura menyebut ini no trial learning, sebab para siswa
tidak harus melalui proses pembentukan (shaping process), tetapi dapat dengan segera
menghasilkan respons yang benar.
b). Fase Belajar Sosial
Ada 4 (empat) fase belajar sosial observasional, yaitu fase perhatian (attentional
phase), fase ingatan (retention phase), fase reproduksi (reproduction phase), dan fase
motivasi (motivational phase).
1. Fase Perhatian.
Fase pertama dalam proses belajar sosial observasional adalah memberikan
perhatian pada suatu model. Pada umumnya orang akan memberikan perhatian
pada model-model yang menarik, berhasil, populer, unik, dan sebagainya. Itulah
sebabnya mengapa banyak remaja / siswa meniru pakaian, tata rambut, dan aksi-
aksi para bintang film. Dalam kelas pembelajaran misalnya, guru akan
memperoleh perhatian dari para siswa dengan menyajikan isyarat-isyarat yang
jelas dan menarik (misalnya dengan berkata:Nah, perhatikan bagaimana cara Ibu
agar ia tidak merasa sungkan menyatakan pendapatnya. Perhatian siswa juga akan
diperoleh dengan menggunakan/menampilkan hal-hal yang baru, aneh, tak terduga,
misalnya dengan berkata: Dengarkan baik-baik, ini akan muncul dalam ujian
minggu depan.
2. Fase Ingatan
Belajar observasional terjadi berdasarkan kontiguitas. Dua kejadian kontigous yang
diperlukan adalah perhatian pada penampilan model dan penyajian simbolik dari
penampilan itu dalam memori jangka panjang. Bandura melihat betapa pentingnya
peranan kata-kata, nama-nama, simbol atau bayangan-bayangan yang kuat yang
dikaitkan dengan kegiatan-kegiatan yang dimodelkan dalam upaya mengingat
sesuatu. Dari guru model (pamong) misalnya, para mahasiswa belajar bagaimana
berdiri di muka kelas, bagaimana memberikan pelajaran awal, menuliskan konsep-
konsep atau kata-kata baru di papan tulis, memberikan rangkuman, dan sebagainya.
3. Fase Reproduksi
Dalam fase ini bayangan (imagery) atau kode-kode simbolik verbal dalam memori
membimbing penampilan yang sebenarnya dari perilaku yang baru diperoleh. Telah
ditemukan, bahwa derajat ketelitian yang tertinggi dalam belajar observasional
terjadi bila tindakan terbuka mengikuti pengulangan secara mental (mental
rehearsal). Fase reproduksi mengijinkan model atau instruktur untuk melihat
apakah komponen-komponen suatu urutan perilaku telah dikuasai oleh murid. Ada
kalanya hanya sebagian urutan yang telah benar. Umpan balik yang bersifat
memperbaiki sangat diperlukan dan dilakukan sedini mungkin (khususnya pada
urutan perilaku yang kurang benar) sehingga perilaku tersebut tidak berkembang
menjadi suatu kebiasaan.
4. Fase Motivasi.
Dalam proses belajar sosial obsrvasional yang menjadi fase terakhir adalah
memberikan motivasi. Para siswa akan meniru suatu model karena mereka merasa
dengan berbuat demikian mereka akan meningkatkan kemungkinan untuk
memperoleh penguatan. Dalam kelas pembelajaran di sekolah misalnya, motivasi
kerap kali terdiri atas pujian atau nilai angka untuk penyesuaian dengan model
guru. Para siswa memperhatikan model itu, melakukan latihan, dan
menampilkannya, sebab mereka mengetahui bahwa inilah yang disukai oleh guru
dan menyenangkan guru.
c). Belajar vicarious
Telah diketahui bahwa sebagian besar orang yang belajar observasional termotivasi
oleh harapan bahwa meniru model dengan baik akan menuju pada reinforcement.
Tetapi ada orang yang belajar dengan melihat orang diberi reinforcement atau
dihukum atas perilaku-perilaku tertentu, ia pun menirunya, inilah yang disebut belajar
vicarious. Guru-guru dalam kelas pembelajaran sering menggunakan prinsip belajar
vicarious. Bila seorang murid berkelakuan kurang baik (misalnya tidak aktif diskusi),
maka guru akan memperhatikan anak-anak yang bekerja / diskusi, dan memuji
mereka. Anak yang tidak aktif diskusi akan mengamati keadaan itu (anak yang aktif
diskusi diberi penguatan / hadiah), karena itu ia pun meniru anak yang aktif
berdiskusi.
d). Self-Regulation.
Konsep penting lainnya dari belajar sosial observasional adalah pengaturan diri sendiri
(self-regulation). Bandura berhipotesis bahwa manusia mengamati perilakunya
sendiri, mempertimbangkan perilaku itu terhadap kriteria yang disusunnya sendiri,
dan kemudian memberikan reinforcement dan atau hukuman pada dirinya sendiri. Kita
semua dapat menyadari, bila kita berbuat masih kurang dari apa yang sebenarnya yang
dapat kita peroleh. Untuk dapat membuat pertimbangan itu kita harus mempunyai
harapan tentang penampilan kita sendiri. Seorang siswa tertentu mungkin sudah
merasa puas memperoleh 90% betul dalam suatu tes, tetapi anak yang lain mungkin
sangat kecewa.
Kajian konsep dasar belajar dalam Teori Behaviorisme
didasarkan pada pemikiran bahwa belajar merupakan salah satu jenis
perilaku (behavior) individu atau peserta didik yang dilakukan secara
sadar. Individu berperilaku apabila ada rangsangan (stimuli), sehingga
dapat dikatakan peserta didik di SD/MI akan belajar apabila menerima
rangsangan dari guru. Semakin tepat dan intensif rangsangan yang
diberikan oleh guru akan semakin tepat dan intensif pula kegiatan
belajar yang dilakukan peserta didik. Dalam belajar tersebut kondisi
lingkungan berperan sebagai perangsang (stimulator) yang harus
direspon individu dengan sejumlah konsekuensi tertentu. Konsekuensi
yang dihadapi peserta didik, ada yang bersifat positif (misalnya
perasaan puas, gembira, pujian, dan lain-lain sejenisnya) tetapi ada
pula yang bersifat negatif (misalnya perasaan gagal, sedih, teguran,
dan lain-lain sejenisnya). Konsekuensi positif dan negatif tersebut
berfungsi sebagai penguat (reinforce) dalam kegiatan belajar peserta
didik. Seringkali guru mengaplikasikan konsep belajar menurut teori
behaviorisme secara tidak tepat, karena setiap kali peserta didik
merespon secara tidak tepat atau tidak benar suatu tugas, guru
memarahi atau menghukum peserta didik tersebut. Tindakan guru
seperti ini (memarahi atau menghukum setiap kali peserta didik
merespon secara tidak tepat) dapat disebut salah atau tidak
profesional apabila hukuman (negative consequence) tidak
difungsikan sebagai penguat atau reinforce. Peserta didik seringkali
melakukan perilaku tertentu karena meniru apa yang dilihatnya
dilakukan orang lain di sekitarnya seperti saudara kandungnya,
orangtuanya, teman sekolahnya, bahkan oleh gurunya. Oleh sebab itu
dapat dikatakan, apabila lingkungan sosial di mana peserta didik
berada sehari-hari merupakan lingkungan yang mengkondisikan
secara efektif memungkinkan suasana belajar, maka peserta didik
akan melakukan kegiatan atau perilaku belajar yang efektif.
Sebetulnya masih banyak tokoh-tokoh lain yang mengembangkan
teori belajar behavioristik ini, seperti : Watson yang menghasilkan
prinsip kekerapan dan prinsip kebaruan, Guthrie dengan teorinya
yang disebut Contiguity Theory yang menghasilkan Metode Ambang
(the treshold method), metode meletihkan (The Fatigue Method) dan
Metode rangsangan tak serasi (The Incompatible Response Method),
Miller dan Dollard dengan teori pengurangan dorongan.

2.1.2. Teori Belajar Kognitivisme


Teori belajar kognitivisme mengacu pada wacana psikologi
kognitif, yang didasarkan pada kegiatan kognitif dalam belajar. Para
ahli teori belajar ini berupaya menganalisis secara ilmiah proses
mental dan struktur ingatan atau cognition dalam aktifitas belajar.
Cognition diartikan sebagai aktifitas mengetahui, memperoleh,
mengorganisasikan, dan menggunakan pengetahuan (Lefrancois,
1985). Tekanan utama psikologi kognitif adalah struktur kognitif, yaitu
perbendaharaan pengetahuan pribadi individu yang mencakup
ingatan jangka panjangnya (long-term memory). Psikologi kognitif
memandang manusia sebagai makhluk yang selalu aktif mencari dan
menyeleksi informasi untuk diproses. Perkatian utama psikologi
kognitif adalah upaya memahami proses individu mencari,
menyeleksi, mengorganisasikan, dan menyimpan informasi. Belajar
kognitif berlangsung berdasar schemata atau struktur mental individu
yang mengorganisasikan hasil pengamatannya. Struktur mental
individu tersebut berkembangan sesuai dengan tingkatan
perkembangan kognitif seseorang. Semakin tinggi tingkat
perkembangan kognitif seseorang semakin tinggi pula kemampuan
dan keterampilannya dalam memproses berbagai informasi atau
pengetahuan yang diterimanya dari lingkungan, baik lingkungan
phisik maupun lingkungan sosial. Itulah sebabnya, teori belajar
kognitivisme dapat disebut sebagai (1) teori perkembangan kognitif,
(2) teori kognisi sosial, dan (3) teori pemrosesan informasi.
1). Perkembangan Kognitif Menurut Piaget
Piaget merupakan salah seorang tokoh yang disebut-sebut
sebagai pelopor aliran konstruktivisme. Salah satu sumbangan
pemikirannya yang banyak digunakan sebagai rujukan untuk
memahami perkembangan kognitif individu yaitu teori tentang
tahapan perkembangan individu. Menurut Piaget bahwa
perkembangan kognitif individu meliputi empat tahap yaitu :
(1) Sensory Motor;
(2) Pre Operational;
(3) Concrete Operational;
(4) Formal Operational.
Pemikiran lain dari Piaget tentang proses rekonstruksi
pengetahuan individu yaitu asimilasi dan akomodasi. James Atherton
(2005) menyebutkan bahwa asisimilasi adalah the process by which
a person takes material into their mind from the environment, which
may mean changing the evidence of their senses to make it fit dan
akomodasi adalah the difference made to ones mind or concepts by
the process of assimilation. Asimilasi ditempuh ketika individu
menyatukan informasi baru ke perbendaharaan informasi yang sudah
dimiliki atau diketahuinya kemudian menggantikannya dengan
informasi terbaru. Individu mengorganisasikan makna informasi itu ke
dalam ingatan jangka panjang (long-term memory). Ingatan jangka
panjang yang terorganisasikan inilah yang diartikan sebagai struktur
kognitif. Struktur kognitif berisi sejumlah coding yang mengadung
segi-segi intelek yang mengatur atau memerintah perilaku individu;
perubahan perilaku mendasari penetapan tahap-tahap perkembangan
kognitif. Tiap tahapan perkembangan menggambarkan isi struktur
kognitif yang khas sesuai perbedaan antar tahapan. Tahapan
perkembangan belajar menurut Piaget di gambarkan pada diagram di
bawah ini :
1. Sensorimotor Inteligence (lahir s.d usia 2 tahun): perilaku terikat
pada panca indera dan gerak motorik. Bayi belum mampu berpikir
konseptual namun perkembangan kognitif telah dapat diamati
2. Preoperation Thought (2-7 tahun): tampak kemampuan
berbahasa, berkembang pesat penguasaan konsep. Bayi belum
mampu berpikir konseptual namun perkembangan kognitif telah
dapat diamati
3. Concrete Operation (7-11 tahun): berkembang daya mampu anak
berpikir logis untuk memecahkan masalah konkrit. Konsep dasar
benda, jumlah waktu, ruang, kausalitas
4. Formal Operations (11-15 tahun): kecakapan kognitif mencapai
puncak perkembangan. Anak mampu memprediksi, berpikir
tentang situasi hipotesis, tentang hakekat berpikir serta
mengapresiasi struktur bahasa dan berdialog. Sarkasme, bahasa
gaul, mendebat, berdalih adalah sisi bahasa remaja cerminan
kecakapan berpikir abstrak dalam/melalui bahasa.
Dikemukakannya pula, bahwa belajar akan lebih berhasil
apabila disesuaikan dengan tahap perkembangan kognitif peserta
didik. Peserta didik hendaknya diberi kesempatan untuk melakukan
eksperimen dengan obyek fisik, yang ditunjang oleh interaksi dengan
teman sebaya dan dibantu oleh pertanyaan tilikan dari guru. Guru
hendaknya banyak memberikan rangsangan kepada peserta didik
agar mau berinteraksi dengan lingkungan secara aktif, mencari dan
menemukan berbagai hal dari lingkungan. Implikasi teori
perkembangan kognitif Piaget dalam pembelajaran adalah :
Bahasa dan cara berfikir anak berbeda dengan orang dewasa.
Oleh karena itu guru mengajar dengan menggunakan bahasa
yang sesuai dengan cara berfikir anak.
Anak-anak akan belajar lebih baik apabila dapat menghadapi
lingkungan dengan baik. Guru harus membantu anak agar dapat
berinteraksi dengan lingkungan sebaik-baiknya.
Bahan yang harus dipelajari anak hendaknya dirasakan baru
tetapi tidak asing.
Berikan peluang agar anak belajar sesuai tahap
perkembangannya.
Di dalam kelas, anak-anak hendaknya diberi peluang untuk saling
berbicara dan diskusi dengan teman-temanya.
2). Kognisi Sosial Oleh L.S. Vygotsky
L.S. Vygotsky, mendasari pemikiran bahwa budaya berperan
penting dalam belajar seseorang. Budaya adalah penentu
perkembangan, tiap individu berkembang dalam konteks budaya,
sehingga proses belajar individu dipengaruhi oleh lingkungan utama
budaya keluarga. Budaya lingkungan individu membelajarkannya apa
dan bagaimana berpikir. Konsep dasar teori ini diringkas sebagai
berikut:
1. Budaya memberi sumbangan perkembangan intelektual individu
melalui 2 cara, yaitu melalui (i) budaya dan (ii) lingkungan
budaya. Melalui budaya banyak isi pikiran (pengetahuan) individu
diperoleh seseorang, dan melalui lingkungan budaya sarana
adaptasi intelektual bagi individu berupa proses dan sarana
berpikir bagi individu dapat tersedia.
2. Perkembangan kognitif dihasilkan dari proses dialektis (proses
percakapan) dengan cara berbagi pengalaman belajar dan
pemecahan masalah bersama orang lain, terutama orangtua,
guru, saudara sekandung dan teman sebaya.
3. Awalnya orang yang berinteraksi dengan individu memikul
tanggung jawab membimbing pemecahan masalah; lambat-laun
tanggung jawab itu diambil alih sendiri oleh individu yang
bersangkutan.
4. Bahasa adalah sarana primer interaksi orang dewasa untuk
menyalurkan sebagian besar perbendaharaan pengetahuan yang
hidup dalam budayanya.
5. Seraya bertumbuh kembang, bahasa individu sendiri adalah
sarana primer adaptasi intelektual; ia berbahasa batiniah (internal
language) untuk mengendalikan perilaku.
6. Internalisasi merujuk pada proses belajar. Menginternalisasikan
pengetahuan dan alat berpikir adalah hal yang pertama kali hadir
ke kehidupan individu melalui bahasa.
7. Terjadi zone of proximal development atau kesenjangan antara
yang sanggup dilakukan individu sendiri dengan yang dapat
dilakukan dengan bantuan orang dewasa.
8. Karena apa yang dipelajari individu berasal dari budaya dan
banyak di antara pemecahan masalahanya ditopang orang
dewasa, maka pendidikan hendaknya tidak berpusat pada individu
dalam isolasi dari budayanya.
9. Interaksi dengan budaya sekeliling dan lembaga-lembaga sosial
sebagaimana orangtua, saudara sekandung, individu dan teman
sebaya yang lebih cakap sangat memberi sumbangan secara
nyata pada perkembangan intelektual individu.

3). Pemprosesan Informasi Dari Robert Gagne


Asumsi yang mendasari teori ini adalah bahwa pembelajaran
merupakan faktor yang sangat penting dalam perkembangan.
Perkembangan merupakan hasil kumulatif dari pembelajaran.
Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi proses
penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan
keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi
terjadi adanya interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-
kondisi eksternal individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri
individu yang diperlukan untuk mencapai hasil belajar dan proses
kognitif yang terjadi dalam individu. Sedangkan kondisi eksternal
adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi individu
dalam proses pembelajaran. Model belajar pemrosesan informasi ini
sering pula disebut model kognitif information processing, karena
dalam proses belajar ini tersedia tiga taraf struktural sistem informasi,
yaitu:
Sensory atau intake register: informasi masuk ke sistem melalui
sensory register, tetapi hanya disimpan untuk periode waktu
terbatas. Agar tetap dalam sistem, informasi masuk ke working
memory yang digabungkan dengan informasi di long-term memory.
Working memory: pengerjaan atau operasi informasi berlangsung di
working memory, dan di sini berlangsung berpikir yang sadar.
Kelemahan working memory sangat terbatas kapasitas isinya dan
memperhatikan sejumlah kecil informasi secara serempak.
Long-term memory, yang secara potensial tidak terbatas kapasitas
isinya sehingga mampu menampung seluruh informasi yang sudah
dimiliki peserta didik. Kelemahannya adalah betapa sulit
mengakses informasi yang tersimpan di dalamnya.
Menurut Gagne tahapan proses pembelajaran meliputi delapan fase
yaitu, (1) motivasi; (2) pemahaman; (3) pemerolehan; (4)
penyimpanan; (5) ingatan kembali; (6) generalisasi; (7) perlakuan
dan (8) umpan balik.

2.1.3. Teori Belajar Konstruktivisme


Konsep belajar menurut teori belajar konstruktivisme yaitu
pengetahuan baru dikonstruksi sendiri oleh peserta didik secara aktif
berdasarkan pengetahuan yang telah diperoleh sebelumnya.
Pendekatan konstruktivisme dalam proses pembelajaran didasari oleh
kenyataan bahwa tiap individu memiliki kemampuan untuk
mengkonstruksi kembali pengalaman atau pengetahuan yang telah
dimilikinya. Oleh sebab itu dapat dikatakan bahwa pembelajaran
konstruktivisme merupakan satu teknik pembelajaran yang
melibatkan peserta didik untuk membina sendiri secara aktif
pengetahuan dengan menggunakan pengetahuan yang telah ada
dalam diri mereka masing-masing.
Guru hanya sebagai fasilitator atau pencipta kondisi belajar
yang memungkinkan peserta didik secara aktif mencari sendiri
informasi, mengasimilasi dan mengadaptasi sendiri informasi, dan
mengkonstruksinya menjadi pengetahuan yang baru berdasarkan
pengetahuan yang telah dimiliki masing-masing. Efektivitas dan
efisien belajar individu di sekolah sangat bergantung kepada peran
guru. Abin Syamsuddin (2003) mengemukakan bahwa dalam
pengertian pendidikan secara luas, seorang guru yang ideal
seyogyanya dapat berperan sebagai :
1. Konservator (pemelihara) sistem nilai yang merupakan sumber
norma kedewasaan;
2. Inovator (pengembang) sistem nilai ilmu pengetahuan;
3. Transmitor (penerus) sistem-sistem nilai tersebut kepada peserta
didik;
4. Transformator (penterjemah) sistem-sistem nilai tersebut melalui
penjelmaan dalam pribadinya dan perilakunya, dalam proses
interaksi dengan sasaran didik;
5. Organisator (penyelenggara) terciptanya proses edukatif yang
dapat dipertanggungjawabkan, baik secara formal (kepada pihak
yang mengangkat dan menugaskannya) maupun secara moral
(kepada sasaran didik, serta Tuhan yang menciptakannya).
Sedangkan dalam pengertian pendidikan yang terbatas, Abin
Syamsuddin dengan mengutip pemikiran Gage dan Berliner,
mengemukakan peran guru dalam proses pembelajaran peserta didik,
yang mencakup :
1. Guru sebagai perencana (planner) yang harus mempersiapkan
apa yang akan dilakukan di dalam proses belajar mengajar (pre-
teaching problems).;
2. Guru sebagai pelaksana (organizer), yang harus dapat
menciptakan situasi, memimpin, merangsang, menggerakkan, dan
mengarahkan kegiatan belajar mengajar sesuai dengan rencana,
di mana ia bertindak sebagai orang sumber (resource person),
konsultan kepemimpinan yang bijaksana dalam arti demokratik &
humanistik (manusiawi) selama proses berlangsung (during
teaching problems).
3. Guru sebagai penilai (evaluator) yang harus mengumpulkan,
menganalisa, menafsirkan dan akhirnya harus memberikan
pertimbangan (judgement), atas tingkat keberhasilan proses
pembelajaran, berdasarkan kriteria yang ditetapkan, baik
mengenai aspek keefektifan prosesnya maupun kualifikasi
produknya.
Selanjutnya, dalam konteks proses belajar mengajar di
Indonesia, Abin Syamsuddin menambahkan satu peran lagi yaitu
sebagai pembimbing (teacher counsel), di mana guru dituntut untuk
mampu mengidentifikasi peserta didik yang diduga mengalami
kesulitan dalam belajar, melakukan diagnosa, prognosa, dan kalau
masih dalam batas kewenangannya, harus membantu pemecahannya
(remedial teaching). Di lain pihak, Moh. Surya (1997) mengemukakan
tentang peranan guru di sekolah, keluarga dan masyarakat. Di
sekolah, guru berperan sebagai perancang pembelajaran, pengelola
pembelajaran, penilai hasil pembelajaran peserta didik, pengarah
pembelajaran dan pembimbing peserta didik. Sedangkan dalam
keluarga, guru berperan sebagai pendidik dalam keluarga (family
educator). Sementara itu di masyarakat, guru berperan sebagai
pembina masyarakat (social developer), penemu masyarakat (social
inovator), dan agen masyarakat (social agent). Lebih jauh,
dikemukakan pula tentang peranan guru yang berhubungan dengan
aktivitas pengajaran dan administrasi pendidikan, diri pribadi (self
oriented), dan dari sudut pandang psikologis.
Dalam hubungannya dengan aktivitas pembelajaran dan
administrasi pendidikan, guru berperan sebagai :
1. Pengambil inisiatif, pengarah, dan penilai pendidikan;
2. Wakil masyarakat di sekolah, artinya guru berperan sebagai
pembawa suara dan kepentingan masyarakat dalam pendidikan;
3. Seorang pakar dalam bidangnya, yaitu menguasai bahan yang
harus diajarkannya;
4. Penegak disiplin, yaitu guru harus menjaga agar para peserta
didik melaksanakan disiplin;
5. Pelaksana administrasi pendidikan, yaitu guru bertanggung jawab
agar pendidikan dapat berlangsung dengan baik;
6. Pemimpin generasi muda, artinya guru bertanggung jawab untuk
mengarahkan perkembangan peserta didik sebagai generasi
muda yang akan menjadi pewaris masa depan; dan
7. Penterjemah kepada masyarakat, yaitu guru berperan untuk
menyampaikan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan dan
teknologi kepada masyarakat.
Sementara itu, Doyle sebagaimana dikutip oleh Sudarwan
Danim (2002) mengemukan dua peran utama guru dalam
pembelajaran yaitu menciptakan keteraturan (establishing order) dan
memfasilitasi proses belajar (facilitating learning). Yang dimaksud
keteraturan di sini mencakup hal-hal yang terkait langsung atau tidak
langsung dengan proses pembelajaran, seperti : tata letak tempat
duduk, disiplin peserta didik di kelas, interaksi peserta didik dengan
sesamanya, interaksi peserta didik dengan guru, jam masuk dan
keluar untuk setiap sesi mata pelajaran, pengelolaan sumber belajar,
pengelolaan bahan belajar, prosedur dan sistem yang mendukung
proses pembelajaran, lingkungan belajar, dan lain-lain. Sejalan
dengan tantangan kehidupan global, peran dan tanggung jawab guru
pada masa mendatang akan semakin kompleks, sehingga menuntut
guru untuk senantiasa melakukan berbagai peningkatan dan
penyesuaian kemampuan profesionalnya. Guru harus harus lebih
dinamis dan kreatif dalam mengembangkan proses pembelajaran
peserta didik. Guru di masa mendatang tidak lagi menjadi satu-
satunya orang yang paling well informed terhadap berbagai informasi
dan pengetahuan yang sedang tumbuh, berkembang, berinteraksi
dengan manusia di jagat raya ini. Di masa depan, guru bukan satu-
satunya orang yang lebih pandai di tengah-tengah peserta didiknya.
Jika guru tidak memahami mekanisme dan pola penyebaran
informasi yang demikian cepat, ia akan terpuruk secara profesional.
Kalau hal ini terjadi, ia akan kehilangan kepercayaan baik dari peserta
didik, orang tua maupun masyarakat. Untuk menghadapi tantangan
profesionalitas tersebut, guru perlu berfikir secara antisipatif dan
proaktif. Artinya, guru harus melakukan pembaruan ilmu dan
pengetahuan yang dimilikinya secara terus menerus. Disamping itu,
guru masa depan harus paham penelitian guna mendukung terhadap
efektivitas pengajaran yang dilaksanakannya, sehingga dengan
dukungan hasil penelitiaan guru tidak terjebak pada praktek
pengajaran yang menurut asumsi mereka sudah efektif, namum
kenyataannya justru mematikan kreativitas para peserta didiknya.
Begitu juga, dengan dukungan hasil penelitian yang mutakhir
memungkinkan guru untuk melakukan pengajaran yang bervariasi
dari tahun ke tahun, disesuaikan dengan konteks perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang sedang berlangsung.
Tasker (1992:30) mengemukakan tiga penekanan dalam teori
belajar konstruktivisme sebagai berikut. Pertama adalah peran aktif
peserta didik dalam mengkonstruksi pengetahuan secara bermakna.
Kedua adalah pentingya membuat kaitan antara gagasan dalam
pengkonstruksian secara bermakna. Ketiga adalah mengaitkan antara
gagasan dengan informasi baru yang diterima. Wheatley (1991:12)
mendukung pendapat di atas dengan mengajukan dua prinsip utama
dalam pembelajaran dengan teori belajar konstrukltivisme. Pertama,
pengetahuan tidak dapat diperoleh secara pasif, tetapi secara aktif
oleh struktur kognitif peserta didik. Kedua, fungsi kognisi bersifat
adaptif dan membantu pengorganisasian melalui pengalaman nyata
yang dimiliki anak.
Dalam upaya mengimplementasikan teori belajar
konstruktivisme, Tytler (1996:20) mengajukan beberapa saran yang
berkaitan dengan rancangan pembelajaran, sebagai berikut: (1)
memberi kesempatan kepada peserta didik untuk mengemukakan
gagasannya dengan bahasa sendiri, (2) memberi kesempatan kepada
peserta didik untuk berfikir tentang pengalamannya sehingga
menjadi lebih kreatif dan imajinatif, (3) memberi kesempatan kepada
peserta didik untuk mencoba gagasan baru, (4) memberi pengalaman
yang berhubungan dengan gagasan yang telah dimiliki peserta didik,
(5) mendorong peserta didik untuk memikirkan perubahan gagasan
mereka, dan (6) menciptakan lingkungan belajar yang kondusif.
Diharapkan melalui pemeblajaran konstruktivisme, peserta didik
dapat tumbuh kembang menjadi individu yang penuh kepercayaan
diri yang memiliki sifat-sifat antara lain:
a. Bersikap terbuka dalam menerima semua pengalaman dan
mengembangkannya menjadi persepsi atau pengetahuan yang
baru dan selalu diperbaharui;
b. Percaya diri sehingga dapat berperilaku secara tepat dalam
menghadapi segala sesuatu;
c. Berperasaan bebas tanpa merasa terpaksa dalam melakukan
segala sesuatu tanpa mengharapkan atau tergantung pada
bantuan orang lain;
d. Kreatif dalam mencari pemecahan masalah atau dalam melakukan
tugas yang dihadapinya.

2.1.4. Teori Belajar Humanisme


Teori belajar humanisme memandang kegiatan belajar
merupakan kegiatan yang melibatkan potensi psikis yang bersifat
kognitif, afektif, dan konatif. Ibu, yang dicontohkan di atas hanya
melihat kegiatan belajar anaknya dari sisi afektif semata tanpa
menyadari bahwa sisi afektif (perasaan) dan konatif (psikomotorik)
turut pula berperan dalam belajar. Salah seorang tokoh teori belajar
humanisme adalah Carl Ransom Rogers (1902- 1987) yang lahir di
Oak Park, Illinois, Chicago, Amerika Serikat. Rogers terkenal sebagai
seorang tokoh psikologi humanis, aliran fenomenologis-eksistensial,
psikolog klinis dan terapis. Ide dan konsep teorinya banyak
didapatkan dalam pengalaman-pengalaman terapeutiknya yang
banyak dipengaruhi oleh teori kebutuhan (needs) yang diperkenalkan
Abraham H. Maslow.
Menurut teori kebutuhan Maslow, di dalam diri tiap individu terdapat
sejumlah kebutuhan yang tersusun secara berjenjang, mulai dari
kebutuhan yang paling rendah tetapi mendasar (physiological needs)
sampai pada jenjang paling tinggi (self actualization).
Setiap individu mempunyai keinginan untuk mengaktualisasi
diri, yang oleh Carl R. Rogers disebut dorongan untuk menjadi dirinya
sendiri (to becoming a person). Peserta didik pun memiliki dorongan
untuk menjadi dirinya sendiri, karena di dalam dirinya terdapat
kemampuan untuk mengerti dirinya sendiri, menentukan hidupnya
sendiri, dan menangani sendiri masalah yang dihadapinya. Itulah
sebabnya, dalam proses pembelajaran hendaknya diciptakan kondisi
pembelajaran yang memungkinkan peserta didik secara aktif
mengaktualisasi dirinya. Aktualisasi diri merupakan suatu proses
menjadi diri sendiri dan mengembangkan sifat-sifat dan potensi-
potensi psikologis yang unik. Proses aktualisasi diri seseorang
berkembang sejalan dengan perkembangan hidupnya karena setiap
individu, dilahirkan disertai potensi tumbuh-kembang baik secara fisik
maupun secara phisik masing-masing. Proses tumbuh-kembang pada
setiap individu mengikuti tahapan, arah, irama, dan tempo sendiri-
sendiri, yang ditandai oleh berbagai ciri atau karakteristiknya masing-
masing. Ada individu yang tempo perkembangannya cepat tetapi
iramanya tidak stabil dan arahnya tidak menentu, dan ada pula
individu yang tempo perkembangannya tidak cepat tetapi irama dan
arahnya jelas.
Dalam kaitannya dengan proses pendidikan formal (sekolah),
Slavin (1994:70- 110) mengelompokkan tahapan perkembangan
anak, yaitu (1) tahapan early childhood, (2) tahapan middle
childhood, dan (3) tahapan adolescence, dengan dimensi utama
perkembangan mencakup (a) dimensi kognitif, (b) dimensi fisik, dan
(c) dimensi sosioemosi. Tiap dimensi perkembangan tersebut memiliki
karakteristik yang berbeda antara tahapan perkembangan yang satu
dengan tahapan perkembangan yang lainnya. Pada tahapan early
childhood, perkembangan individu dalam dimensi perkembangan
kognitif lebih ditandai oleh penguasaan bahasa (language aquisition).
Individu pada tahapan perkembangan ini mendapatkan banyak sekali
perbendaharaan bahasa. Sejak lahir sampai pada usia 2 tahun
biasanya individu (bayi) mencoba memahami dunia sekitarnya
melalui penggunaan rasa (senses). Pengetahuan atau apa yang
diketahuinya lebih banyak didasarkan pada gerakan fisik, dan apa
yang dipahaminya terbatas pada kejadian yang baru saja dialaminya.
Pada tahapan perkembangan middle childhoods,
perkembangan kognitif seseorang mulai bergeser ke perkembangan
proses berpikir. Pada awalnya, proses berpikir individu pada tahapan
perkembangan ini dimulai dengan hal-hal konkrit operasional, dan
selanjutnya ke hal-hal abstrak konseptual. Apabila individu gagal
dalam perkembangan proses berpikir dalam hal-hal konkrit
operasional, maka besar kemungkinan mengalami kesulitan dalam
proses berpikir abstrak konseptual. Pada tahapan perkembangan
adollescence, perkembangan kognitif lebih ditandai oleh
perkembangan fungsi otak (brain) sebagai instrumen berpikir. Berpikir
formal operasional atau berpikir abstrak konseptual mulai
berkembang; di samping itu mulai berkembang pola pikir reasoning
(penalaran) baik secara induktif (khusus=>umum) maupun secara
deduktif (umum=>khusus). Dalam menghadapi segala kejadian atau
pengalaman tertentu, individu mengajukan hipotesis atau jawaban
sementara yang menggunakan pola pikir deduktif.

2.1.5. Teori Belajar Gestalt


Gestalt berasal dari bahasa Jerman yang mempunyai padanan
arti sebagai bentuk atau konfigurasi. Pokok pandangan Gestalt
adalah bahwa obyek atau peristiwa tertentu akan dipandang sebagai
sesuatu keseluruhan yang terorganisasikan. Menurut Koffka dan
Kohler, ada tujuh prinsip organisasi yang terpenting yaitu :
1. Hubungan bentuk dan latar (figure and gound relationship); yaitu
menganggap bahwa setiap bidang pengamatan dapat dibagi dua
yaitu figure (bentuk) dan latar belakang. Penampilan suatu obyek
seperti ukuran, potongan, warna dan sebagainya membedakan
figure dari latar belakang. Bila figure dan latar bersifat samar-
samar, maka akan terjadi kekaburan penafsiran antara latar dan
figure.
2. Kedekatan (proxmity); bahwa unsur-unsur yang saling berdekatan
(baik waktu maupun ruang) dalam bidang pengamatan akan
dipandang sebagai satu bentuk tertentu.
3. Kesamaan (similarity); bahwa sesuatu yang memiliki kesamaan
cenderung akan dipandang sebagai suatu obyek yang saling
memiliki.
4. Arah bersama (common direction); bahwa unsur-unsur bidang
pengamatan yang berada dalam arah yang sama cenderung akan
dipersepsi sebagi suatu figure atau bentuk tertentu.
5. Kesederhanaan (simplicity); bahwa orang cenderung menata
bidang pengamatannya bentuk yang sederhana, penampilan
reguler dan cenderung membentuk keseluruhan yang baik
berdasarkan susunan simetris dan keteraturan; dan
6. Ketertutupan (closure) bahwa orang cenderung akan mengisi
kekosongan suatu pola obyek atau pengamatan yang tidak
lengkap.
Terdapat empat asumsi yang mendasari pandangan Gestalt, yaitu:
1. Perilaku Molar hendaknya banyak dipelajari dibandingkan
dengan perilaku Molecular. Perilaku Molecular adalah perilaku
dalam bentuk kontraksi otot atau keluarnya kelenjar, sedangkan
perilaku Molar adalah perilaku dalam keterkaitan dengan
lingkungan luar. Berlari, berjalan, mengikuti kuliah, bermain
sepakbola adalah beberapa perilaku Molar. Perilaku Molar
lebih mempunyai makna dibanding dengan perilaku Molecular.
2. Hal yang penting dalam mempelajari perilaku ialah membedakan
antara lingkungan geografis dengan lingkungan behavioral.
Lingkungan geografis adalah lingkungan yang sebenarnya ada,
sedangkan lingkungan behavioral merujuk pada sesuatu yang
nampak. Misalnya, gunung yang nampak dari jauh seolah-olah
sesuatu yang indah. (lingkungan behavioral), padahal
kenyataannya merupakan suatu lingkungan yang penuh dengan
hutan yang lebat (lingkungan geografis).
3. Organisme tidak mereaksi terhadap rangsangan lokal atau unsur
atau suatu bagian peristiwa, akan tetapi mereaksi terhadap
keseluruhan obyek atau peristiwa. Misalnya, adanya penamaan
kumpulan bintang, seperti : sagitarius, virgo, pisces, gemini dan
sebagainya adalah contoh dari prinsip ini. Contoh lain, gumpalan
awan tampak seperti gunung atau binatang tertentu.
4. Pemberian makna terhadap suatu rangsangan sensoris adalah
merupakan suatu proses yang dinamis dan bukan sebagai suatu
reaksi yang statis. Proses pengamatan merupakan suatu proses
yang dinamis dalam memberikan tafsiran terhadap rangsangan
yang diterima.
Aplikasi teori Gestalt dalam proses pembelajaran antara lain :
1. Pengalaman tilikan (insight); bahwa tilikan memegang peranan
yang penting dalam perilaku. Dalam proses pembelajaran,
hendaknya peserta didik memiliki kemampuan tilikan yaitu
kemampuan mengenal keterkaitan unsur-unsur dalam suatu
obyek atau peristiwa.
2. Pembelajaran yang bermakna (meaningful learning);
kebermaknaan unsur-unsur yang terkait akan menunjang
pembentukan tilikan dalam proses pembelajaran. Makin jelas
makna hubungan suatu unsur akan makin efektif sesuatu yang
dipelajari. Hal ini sangat penting dalam kegiatan pemecahan
masalah, khususnya dalam identifikasi masalah dan
pengembangan alternatif pemecahannya. Hal-hal yang dipelajari
peserta didik hendaknya memiliki makna yang jelas dan logis
dengan proses kehidupannya.
3. Perilaku bertujuan (pusposive behavior); bahwa perilaku terarah
pada tujuan. Perilaku bukan hanya terjadi akibat hubungan
stimulus-respons, tetapi ada keterkaitannya dengan dengan
tujuan yang ingin dicapai. Proses pembelajaran akan berjalan
efektif jika peserta didik mengenal tujuan yang ingin dicapainya.
Oleh karena itu, guru hendaknya menyadari tujuan sebagai arah
aktivitas pengajaran dan membantu peserta didik dalam
memahami tujuannya.
4. Prinsip ruang hidup (life space); bahwa perilaku individu memiliki
keterkaitan dengan lingkungan dimana ia berada. Oleh karena itu,
materi yang diajarkan hendaknya memiliki keterkaitan dengan
situasi dan kondisi lingkungan kehidupan peserta didik.
5. Transfer dalam Belajar; yaitu pemindahan pola-pola perilaku
dalam situasi pembelajaran tertentu ke situasi lain. Menurut
pandangan Gestalt, transfer belajar terjadi dengan jalan
melepaskan pengertian obyek dari suatu konfigurasi dalam situasi
tertentu untuk kemudian menempatkan dalam situasi konfigurasi
lain dalam tata-susunan yang tepat.
Judd menekankan pentingnya penangkapan prinsip-prinsip
pokok yang luas dalam pembelajaran dan kemudian menyusun
ketentuan-ketentuan umum (generalisasi). Transfer belajar akan
terjadi apabila peserta didik telah menangkap prinsip-prinsip pokok
dari suatu persoalan dan menemukan generalisasi untuk kemudian
digunakan dalam memecahkan masalah dalam situasi lain. Oleh
karena itu, guru hendaknya dapat membantu peserta didik untuk
menguasai prinsip-prinsip pokok dari materi yang diajarkannya.

2.2. PRINSIP-PRINSIP BELAJAR YANG TERKAIT DENGAN PROSES


BELAJAR
2.2.1. Perhatian dan Motivasi
Perhatian mempunyai peranan yang penting dalam kegiatan belajar. Dari
kajian teori belajar pengolahan informasi terungkap bahwa tanpa adanya perhatian tak
mungkin terjadi belajar (Gage n Berliner, 1984: 335 ). Perhatian terhadap belajar akan
timbul pada siswa apabila bahan pelajaran sesuai dengan kebutuhannya. Apabila
bahan pelajaran itu dirasakan sebagai sesuatu yang dibutuhkan, diperlukan untuk
belajar lebih Ianjut atau diperlukan dalam kehidupan sehari-hari, akan membangkitkan
motivasi untuk mempelajarinya. Apabila perhatian alami ini tidak ada maka siswa
perlu dibangkitkan perhatiannya. Di samping perhatian, motivasi mempunyai peranan
yang sangat penting dalam kegiatan belajar. Motivasi adalah tenaga yang
menggerakkan dan mengarahkan aktivitas seseorang. Motivasi dapat dibandingkan
dengan mesin dan kemudi pada mobil (gage dan Berliner, 1984 : 372).
Demikian menurut H.L. Petri (Petri, Herbet L, 1986: 3). Motivasi dapat
merupakan tujuan dan alat dalam pembelajaran. Sebagai tujuan, motivasi merupakan
salah satu tujuan dalam mengajar. Guru berharap bahwa siswa tertarik dalam kegiatan
intelektual dan estetik sampai kegiatan belajar berakhir. Sebagai alat, motivasi
merupakan salah satu faktor seperti halnya intelegensi dan hasil belajar sebelumnya
yang dapat menentukan keberhasilan belajar siswa dalam bidang pengetahuan, nilai-
nilai, dan keterampilan. Motivasi mempunyai kaitan yang crat dengan minat. Siswa
yang memiliki minat terhadap sesuatu bidang studi tertentu cenderung tertarik
perhatiannya dan dengan demikian timbul motivasinya untuk mempelajari bidang
studi tersebut. Motivasi juga dipengaruhi oleh nilai-nilai yang dianggap penting dalan,
kehidupannya. Perubahan nilai-nilai yang dianut akan mengubah tingkah laku manusia
dan motivasinya. Karenanya, bahan-bahan pelajaran yang disajikan hendaknya
disesuaikan dengan minat siswa dan tridak bertentangan dengan nilai-nilai yang
berlaku dalam masyarakat. Sikap siswa, seperti haInya motif menimbulkan dan
mengarahkan aktivitasnya. Siswa yang menyukai matematika akan merasa senang
belajar matematika dan terdorong untulk belajar lebih giat, demikian pula sebaliknya.
Karenanya adalah kewajiban bagi guru untuk bisa menanamkan sikap positif pada diri
siswa terhadap mata pelajaran yang menjadi tanggung jawabnya. Insentif, suatu
hadiah yang diharapkan diperoleh sudah melakukan kegiatan, dapat menimbulkan
motif. Hal ini merupakan dasar teori belajar B.F. Skinner dengan operant
conditioning-nya' (Hal ini dibkarakan lebih lanjut dalam prinsip balikan dan
penguatan).
Motivasi dapat bersifat internal, artinya datang dari dirinya sendiri, dapat juga
bersifat eksternal yakni datang dari orang lain, dari guru, orang tua, teman dan
sebagainya. Motivasi juga dibedakan atas motif intrinsik dan motif ekstrinsik. Motif
intrinsik adalah tenaga pendorong yang sesuai dengan perbuatan yang dilakukan.
Sebagai contoh, seorang siswa yang dengan sungguh-sungguh mempelajari mata
pelajaran di sekolah karena ingin memiliki pengetahuan yang dipelajarinya.
Sedangkan motil ekstrinsik adalah tenaga pendorong yang ada di luar perbuatan yang
dilakukannya tetapi menjadi penyertaanya. Sebagai contoh, siswa belajar sungguh-
sungguh bukan disebabkan ingin memiliki pengetahuan yang dipelajarinya telapi
didorong oleh keinginan naik kelas atau mendapat ijazah. Naik kelas dan mendapat
ijazah adalah penyerta dari keberhasilan belajar. Motif intrinsik dapat bersifat internal,
datang dari diri sendiri, dapat juga bersifat eksternal, datang dari luar. Motif ekstrinsik
bisa bersifat eksternal, walaupun lebih banyak bersifat ekstemal. Motif ekstrinsik
dapat juga berubah menjadi motif intrinsik yang disebut 'transformasi motir'. Sebagai
contoh. seorang siswa belajar di Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK)
karena menuruti keinginan orang tuanya yang menginginkan anaknya menjadi guru.
Mula-mula motifnya adalah ekstrinsik, yaitu ingin menyenangkan orang tuanya, tetapi
setelah belajar beberapa lama di LPTK ia menyenangi pelajaran-pelajaran yang
digelutinya dan senang belajar untuk menjadi guru. Jadi motif pada siswa itu yang
semula ekstrinsik menjadi intrinsik. Disamping itu, Perhatian erat sekali kaitannya
dengan motivasi bahkan tidak dapat dipisahkan. Perhatian ialah pemusatan energi
psikis (fikiran dan perasaan) terhadap suatu objek. Makin terpusat perhatian pada
pelajaran, proses belajar makin baik dan hasilnya akan makin haik pula. Oleh karena
itu guru harus selalu berusaha supaya perhatian siswa terpusat pada pelajaran.
Memunculkan perhatian seseorang pada suatu objek dapat diakibatkan oleh dua hal.
Pertama, orang itu merasa bahwa objek tersebut mempunyai kaitan dengan dirinya
umpamanya dengan kebutuhan, cita cita, pengalaman, bakat, minat. Kedua, Objek itu
sendiri dipandang memiliki sesuatu yang lain dari yang lain, atau yang lain dari yang
biasa, lain dari yang pada umumnya muncul. Perhatikan contoh kasus dibawah ini:
1. Lamhot, salah seorang siswa disuatu sekolah dasar sangat tertarik dengan
penjelasan ibu gurunya tentang perpindahan penduduk. sehingga ia sungguh-
sungguh memperhatikan pelajaran tersebut, karena ia pernah dibawa orang tuanya
bertransmigrasi.
2. Sekelompok siswa disuatu sekolah dasar pada sutu waku mengikuti pelajaran
dengan penuh perhatian karena guru mengajarkan pelajaran tersebut dengan
menggunakan alat peraga yang sebelumnya guru tersebut belum pernah
melakukannya.
3. Sekelompok siswa sedang asyik mengerjakan tugas kelompok, dalam pelajaran
IPA. Kelihatannya mereka sangat sungguh-sungguh menerjakan tugas tersebut.
Biasanya mereka belajar cukup mendengarkan ceramah dari guru.
Ketiga contoh diatas menggambarkan siswa yang belajar dengan penuh
perhatian akan tetapi penyebabnya berbeda. Contoh pertama, Lamhot belajar dengan
penuh perhatian. Karena pelajaran tersebut memiliki kaitan dengan pengalamannya.
Pelajaran tersebut ada kaitan dengan diri siswa. Pada contoh kedua, siswa belajar
dengan penuh perhatian, karena guru mengajar dengan menggunakan alat peraga,
(cara guru mengajar lain dan kebiasaannya). Demikian pula contoh ketiga, siswa
belajar dengan penuh perhatian Karena guru menggunakan metode yang bervariasi
tidak hanya ceramah).
Dari uraian dan contoh diatas dapat disimpulkan, bahwa :
1. Belajar dengan permh perhatian pada pelajaran yang sedang dipelajari, proses dan
hasilnya akan lebih baik.
2. Upaya guru memumbuhkan dan meningkatkan perhatian siswa terhadap pelajaran
dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain:
a. Mengaitkan pelajaran dengan pengalaman, kebutuhan, cita-cita, bakat atau
minat siswa.
b. Menciptakan situasi pembelajaran yang tidak monoton. Umpamanya
penggunaan metode mengajar yang bervariasi, penggunaan media, tempat
belajar tidak terpaku hanya didalam kelas saja.

2.2.2. Keaktifan Belajar


Kecenderungan psikologi dewasa ini menganggap bahwa anak adalah
makhluk yang aktif. Anak mempunyai dorongan untuk berbuat sesuatu, mempunyai
kemampuan dan aspirasi sendiri. Belajar tidak bisa dipaksakan oleh orang lain dan
juga tidak bisa dilimpahkan kepada orang lain. Belajar hanya mungkin terjadi apabila
anak aktif mengalami sendri. Mon Dewey misalnya mengemukakan, bahwa belajar
adalah menyangkut apa yang harus dikerjakan siswa untuk dirmya sendiri. maka
inisiatif harus datang dari siswa sendiri. Guru sekedar pembimbing dan pengarah
(John Dewy 1916. dalam Dak ks, 1937:3 1). Menurut teori kognitif. belajar
menunjukkan adanya jiwa yang sangat aktif, jiwa mengolah informasi yang kita
terima, tidak sekadar menyimpannya saja tanpa mengadakan transformasi. (Gage and
Berliner, 1984 : 267). Menurut teori ini anak memiliki sifat aktif, konstruktif, dan
mampu merencanakan sesuatu. Anak mampu mencari, menemukan fakta,
menganalisis, menafsirkan dan menarik kesimpulan,
Thorndike mengemukakan keakifan siswa dalam belajar dengan bukum "lah.
of exercise " -nya yang menyatakan bahwa belajar memerlukan adanya latihan-latihan.
Mc Keachk berkenan dengan prinsip keaktifan mengemukakan babwa individu
merupakan "manusia belajar yang selalu ingin tahu, sosial, (MC Keachk, 1976:230
dari Gredler MEB terjemahan Munandir, 1991:105). Dalam setiap proses belajar,
siswa selalu menampakkan keaktifan. Keaktifan itu beraneka ragam bentuknya. Mulai
dari kegiatan fisik yang mudah kita amati sampai kegiatan psikis yang susah diamati.
Kegiatan fisik bisa berupa membaca, mendengar, menulis, berlatih keterampilan-
keterampilan, dan sebagainya. Contoh kegiatan psikis misaInya menggunakan
khasanah pengetahuan yang dimiliki dalam memecahkan masalah yang dihadapi,
membandingkan satu konsep dengan yang lain, menyimpulkan basil percobaan, dan
kegiatan psikis yang lain.
Seperti yang telah dibahas di depan bahwa belajar itu sendiri adalah akivitas,
yaitu aktivitas mental dan emosional. Bila ada siswa ) yang duduk di kelas pada saat
pelajaran berlangsung, akan tetapi mental emosionainya tidak terlibat akif didalam
situasi pembelajaran itu, Pada hakikatnya siswa tersebut tidak ikut belajar. Oleh
karena itu guru jangan sekali-kali membiarkan ada siswa yang tidak ikut aktif belajar.
Lebih jauh dari sekedar mengaktifkan siswa belajar, guru harus berusaha
meningkatkan kadar aktifitas belajar tersebut. Kegiatan mendengarkan penjelasan
guru, sudah menunjukkan adanya aktivitas belajar. Akan tetapi barangkali kadarnya
perlu ditingkatkan dengan metode mengajar lain.

2.2.3. Keterlibatan Langsung Dalam Belajar


Di muka telah dibicarakan bahwa belajar haruslah dilakukan sendiri oleh
siswa yang, belajar adalah mengalami, belajar tidak bisa dilimpahkan kepada orang
lain. Edgar Dale dalam penggolongan pengalaman belajar yang dituangkan dalam
kerueut pengalamannya mengemukakan bahwa belajar yang paling baik adalah belajar
melalui pengalaman langsung. Dalam belajar melalui pengalaman langsung siswa
tidak sekadar mengamati secara langsung tetapi ia harus menghayati, terlibat langsung
dalam perbuatan, dan bertanggung jawab tehadap hasilnya. Sebagai contoh seseorang
yang belajar membuat tempe, yang paling baik apabila ia terlihat secara langsng dalam
perbuatan (direct performance), bukan sekadar melihat bagaimana orang menikmati
tempe (demonstrating), apalagi sekadar mendengar orang bercerita bagaimana cara
pembuatan tempe (telling). Pentingnya ketelibatan langsung dalam belajar
dikemukakan oleh John Dewey dengan "leaming by doing"-nya. Belajar sebaiknya
dialami melalui perbuatan langsung. Belajar harus dilakukan oleh siswa secara aktif,
baik individual maupun kelompok, dengan cara memecahkan masalah (prolem
solving). Guru bertindak sebagai pembimbing dan fasilitator. Keterlibatan siswa di
dalam belajar jangan diartikan keterlibatan fisik semata, namun lebih dari itu terutama
adalah keterlibatan mental emosional, keterlibatan dengan kegiatan kognitif dalam
pencapaian dan perolehan pengetahuan, dalam penghayatan dan intemalisasi nilai-
nilai dalam pembentukan sikap dan nilat, dan juga pada saat mengadakan latihan-
latihan dalam pembentukan keterampilan.

2.2.4. Pengulangan Belajar


Prinsip belajar yang menekankan perlunva pengulangan barangkali yang
paling tua adalah yang dikemukakan oleh teori Psikologi Dava. Menurut teori ini
belajar adalah melatih daya-daya yang ada pada manusia yang terdiri atas daya
mengamat, menanggap, mengingat. mengkhayal, merasakan. berpikir. dan sebagainya.
Dengan mengadakan pengulangan maka daya-daya tersebut akan berkembang. Seperti
hainya pisau yang selalu diasah akan menjadi tajam, maka daya-daya yang dilatih
dengan pengadaan pengulangan-pengulangan akan menjadi sempuma. Teori lain yang
menekankan prinsip pengulangan adalah teori psikologi Asosiasi atau Koneksionisme
dengan tokoh yang terkenal Thorndike. Berangkat dari salah satu hukum belajarnya
law of exercise", ia mengemukakan bahwa belajar ialah pembentukan hubungan
antara stimulus dan respons. dan pengulangan terhadap pengalaman-pengalaman itu
memperbesar peluang timbulnya respons benar. Seperti kata pepatah "latihan
menjadikan sempuma" (Thomdike, 1931b:20. dari Gredlei, Marget E Bell, terjemahan
Munandir, 1991: 51).Psikologi Conditioning yang merupakan perkembangan lebih
lanjut dari Koneksionisme juga menekankan pentingnya pengulangan dalam belajar.
Kalau pada Koneksionisme, belajar adalah pembentukan hubungan stimulus dan
respons maka pada psikologi conditioning respons akan timbul bukan karena saja
stimulus, tetapi juga oleh stimulus yang dikondisikan. Banyak tingkah laku manusia
yang terjadi karena kondisi, misalnya siswa berbaris masuk ke kelas karena
mendengar bunyi lonceng, kendaman berhenti ketika lampu Ialu lintas berwarna
merah. Menurut teori ini perilaku individu dapat dikondisikan, dan belajar merupakan
upaya untuk mengkondisikan suatu perilaku atau respons terhadap sesuatu. Mengajar
adalah membentuk kebiasaan, mengulang-ulang sesuatu perbuatan sehingga menjadi
suatu kebiasaan dan pembiasaan tidak perlu selalu oleh stimulus yang sesungguhnya,
tetapi dapat juga oleh stimulus penyerta. Ketiga teori tersebut menekankan pentingnya
prinsip pengulangan dalam belajar walaupun dengan tujuan yang berbeda. Yang
pertama pengulangan untuk melatih daya-daya jiwa sedangkan yang kedua dan ketiga
pengulangan untuk respons yang benar dan membentuk kebiasaan- kabiasaan.
Walaupun kita tidak japat menerima bahwa belajar adalah pengulangan seperti yang
dikemukakan ketiga teori tersebut, karena tidak dapat dipakai untuk menerangkan
semua bentuk belajar, namun prinsip pengulangan masih relevan sebagai dasar
pembelajaran. Dalam belajar tetap diperlukan latihan/pengulangan. Metode drill dan
stereotyping adalah bentuk belajar yang menerapkan prinsip pengulangan (Gage dan
Berliner, 1984: 259).

2.2.5. Sifat Merangsang dan Menantang Dari Materi Yang Dipelajari


Teori Medan (Field Theory) dari Kurt Lewin mengemukakan bahwa dalam,
situasi belajar berada dalam suatu medan atau lapangan psikologis. Dalam situasi
belajar siswa menghadapi suatu tujuan yang ingin dicapai, tetapi selalu terdapat
hambatan yang mempelajari bahan belajar, maka timbullah motif untuk mengatasi
hambatan itu yaitu dengan mempelajari bahasa belajar tersebut. Apabila hambatan itu
telah diatasi, artinya tujuan belajar telah tercapai, maka ia akan masuk dalam medan
baru dan tujuan baru, demikian seterusnya. Agar pada anak timbul motif yang Kuat
untuk mengatasi hambatan dengan baik maka bahan belajar haruslah menantang.
Tantangan yang dihadapi dalam bahan belajar haruslah menantang.tantangan yang
dihadapi dalam bahan belajar membuat siswa bergairah untuk mengatasinya. Bahan
belajar yang baru, yang banyak mengandung masalah yang perlu dipecahkan membuat
siswa tertantang untuk mempelajarinya. Pelajaran yang memberi kesempatan pada
siswa untuk menermakan konsep-konsep, prinsip-prinsip, dan generalisasi akan
menyebabkan siswa berusaha meneari dan menemukan konsp-konsep, prinsip-prinsip,
dan generalisasi tersebut. Bahan belajar yang telah mendan saja kurang menarik bagi
siswa. Penggunaan metode eksperimen, inkuiri, diskoveri juga memberikan tantangan
bagi siswa untuk belajar secara lebili giat dan sungguh-sunggub. Penguatan positif
maupun negatif juga akan menantang siswa dan menimbulkan motif untuk
memperoleh gaujaran atau terhindar dari hukum yang tidak menyenangkan.

2.2.6. Pemberian Balikan Atau Umpan Balik dan Penguatan Belajar


Prinsip belajar yang berkaitan dengan balikan dan penguatan terutama
ditekankan oleh teori belajar operant Conditioning dari B.F. Skinner. Kalau pada teori
conditioning yang diberi kondisin adalah stimulusnya, maka pada operant
conditioning yang diperkuat adalah responsnya. Kunci dari teori belajar im adalah law
of effect - nya Thomdike. Siswa akan belajar lebih bersemangat apabila mengetahui
dan mendapatkan hasil yang haik. Hasil, apalagi hasil yang baik, akan merupakan
balikan yang menyenangkan dan berpengarub baik bagi usaha belajar selanjutnya.
Namum dorongan belajar itu menurut B.E Skinner tidak saja oleh penguatan yang
menyenangkan tetapi juga ada yang tidak menyenangkan. Atau dengan kata lain
penguatan positif maupun negatif dapat memperkuat belajar (gage dan Berliner, 1984:
272).
Siswa belajar sunggub-sungguh dan mendapatkan nilai yang baik dalam
ulangan. Nilai yamg baik itu mendorong anak untuk belajar lebih giat lagi. Nilai yang
baik dapat merupakan operant conditioning atau penguatan positif. Sebaliknya anak
yang mendapatkan nilai yang jelek pada waktu ulangan akan merasa takut tidak naik
kelas, karena takut tidak naik kelas ia terdorong tuk belajar lebih giat. Di sini nilai
buruk dan dan rasa takut lidak naik kelas juga bisa mendorong anak untuk belajar
lebih giat. Inilah yang disebut penguatan negatif. Di sini siswa mencoba menghindar
dari peristiwa yang tidak menyenangkan, maka penguatanatan negatif juga disebut
escape conditioning, Format sajian berupa tanya jawab, diskusi, eksperimen, metode
penemuan, dan sebagainya merupakan cara belajar-mengajar yang memungkinkan
terjadinya balikan dan penguatan. Balikan yang segera diperoleh siswa setelah belajar
melalui penggunaan metode-metode ini akan membuat siswa terdorong untuk belajar
lebih giat dan bersemangat.

2.3. IMPLIKASI PRINSIP-PRINSIP BELAJAR


Siswa sebagai "primus motor (motor utama) dalam kegiatan pembelajaran,
dengan alasan apapun tidak dapat mengabaikan begitu saja adanya prinsip- prinsip
belajar. Justru pada siswa akan berhasil dalam pembelajaran, jika mereka menyadari
implikasi prinsip-prinsip belajar terhadap diri mereka.
2.3.1. Perhatian dan Motivasi
Siswa dituntut untuk memberikan perhatian terhadap semua ungsangan yang
mengarah ke arah pencapaian tujuan belajar. Adanya tuntutan untuk selalu
memberikan perhatian ini, menyebabkan siswa harus membangkitkan perhatiannya
kepada segala pesan yang dipelajarinya. Pesan-pesan yang menjadi isi pelajaran
seringkali dalam bentuk rangsangan suara, warna. bentuk, gerak, dan rangsangan lain
yang dapat diindra. Dengan demikian siswa diharapkan selalu melatih indranya untuk
memperhatikan rangsangan yang muncul dalam prosses pembelajaran.
Peningkatan/pengembangan minat im merupakan salah satu faktor yang
mempengaruhi motivasi (Gage dan Berliner, 1984:373). Contob kegiatan atau perilaku
siswa, baik fisik atau psikis, seperti mendengarkan ceramah guru, membandingkan
konsep sebelumnya dengan konsep yang baru diterima, mengamati secara cermat
gerakan psikomotorik yang dilakukan guru, atau kegiatan sejenis lainnya. Senma
kegiatan atau perilaku tersebut harus dilakukan oleh siswa secara sadar sebagai upaya
untuk meningkatkan motivasi belajarnya. Sedangkan implikasi prinsip motivasi bagi
siswa adalah disadarinya oleh siswa bahwa motivasi belajar yang ada pada diri mereka
harus dibangkitkan dan mengembangkan secara terus menerus. Untuk dapat
membangkitkan dan mengembangkan motivasi belajar mereka secara terus menerus,
siswa dapat melakukannya dengan menentukan atau mengetahm tujuan belajar yang
hendak dicapai. menanggapi secara positif pujian atau dorongan dari orang lain,
menentukan target atau sasaran penyelesaian tugas belajar, dan perilaku sejenis
lainnya. Dari contoh-contoh perilaku siswa untuk meningkatkan dan membangkitkan
motivasi belajar, dapat ditandai bahwa perilaku-perilaku tersebut bersifat psikis.

2.3.2. Keaktifan
Sebagai "primus motor" dalam kegiatan pembelajaran maupun kegiatan
belajar, siswa dituntut untuk selalu aktif memproses dan mengolah perolehan
belajarnya. Untuk dapat memproses dan mengolah perolehan belajarnya secara efektif,
perilaku-perilaku seperti mencari sumber informasi yang dibutuhkan, menganalisis
hasil percobaan, ingin tahu hasil dan kimia, membuat karya tulis, membuat kliping,
dan prilaku sejenis lainnya. Implikasi prinsip keaktifan bagi siswa lebih lanjut
menuntut keterlibatan langsung siswa dalam proses pembelajaran.

2.3.3. Keterlibatan langsung/ berpengalaman


Hal apapun yang dipelajari siswa, maka ia harus mempelajarinya sendiri.
Tidak ada seorangpun dapat melakukan kegiatan belajar tersebut untuknya (Davies,
1987:32). Pemyataan ini. secara mutlak menuntut adanyan keterlibatan langsung dari
"tiap siswa dalam kegiatan belajar pembelajaran. Implikasi prinsip ini dituntut pada
para siswa agar tidak segan-segan mengerjakan segala tugas belajar yang diberikan
kepada mereka. Dengan keterlibatan langsung inj, secara logis akan menyebabkan
mereka memperoleh pengalaman atau berpengalaman. Bentuk-bentuk perilaku yang
merupakan implikasi prinsip keterlibatan langsung bagi siswa misalnya adalah siswa
ikut dalam pembuatan lapangan bola voli, siswa melakukan reaksi kimia, siswa
berdiskusi untuk membuat laporan, siswa membaca puisi di depan kelas, dan perilaku
sejenis lainnya. Bentuk perilaku keterlibatan langsung siswa tidak secara mutlak
menjamin terwujudnya prinsip keaktifan pada diri siswa. Namun demikian, perilaku
keterlibatan siswa secara langsung dalam kegiatan belajar pembelajaran dapat
diharapkan mewujudkan keaktifan siswa.

2.3.4. Pengulangan
Penguasaan secara penuh dari setiap langkah kemungkinkan belajar secara
keseluruhan lebih berarti (Davies, 1987:32 ). Dari pemyataan inilah pengulangan
masih diperlukan merasa bosan dalam melakukan pengulangan. Bentuk-bentuk
perilaku pembelajaran yang merupakan implikasi prinsip pengulangan, diantaranya
menghafal unsur-unsur kimia setidp valensi, mengerjakan soal-soal lingkungan,
Jachan, menghafal nama-nama latin tumbuhan, atau menghafal tahun-tahun terjadinya
peristiwa sejarah.

2.3.5. Tantangan
Prinsip belajar ini bersesuaian dengan pemyataan bahwa apabila siswa
diberikan tanggung jawab untuk mempelajari sendiri, maka ia lebih termotivasi untuk
belajar, ia akan belajar dan mengingat secara lebih baik (Davies, 1987: 32). Hal ini
berarti siswa selalu menghadapi tantangan untuk memperoleh. memproses, dan
mengolah setiap pesan yang ada dalam kegiatan pembelajaran. Implikasi prinsip
tantangan bagi siswa adatah tuntutan dimilikinya kesadaran pada diri siswa akan
adanya kebutuhan untuk selalu memperoleh, memproses. dan mengolah pesan. Sclain
itu, siswa juga harus memiliki keingintahuan yang besar terhadap segala permasalahan
yang dihadapinya. Bentuk-bentuk perilaku siswa yang merupakan implikasi dari
prinsip tantangan ini diantaranya adalah melakukan eksperimen, melaksanakan tugas
terbimbing maupun mandiri, atau mencari tahu pemecahan suatu masalah.

2.3.6. Balikan dan Penguatan


Siswa selalu membutuhkan suatu kepastian dari kegiatan yang dilakukan,
apakah benar atau salah? Dengan demikian siswa akan selalu memiliki pengetahuan
tentang hasil (knowledge of result), yang sekaligus merupakan penguat (reinforce)
bagi penguatan bentuk-bentuk perilaku siswa yang memungkinkan diantaranya adalah
dengan segera mencocokkan jawaban dengan kunci jawaban, menerima kenyataan
terhadap skor atau nilai yang dicapai, atau menerima teguran dari gurulorang tua
karena hasil belajar yang jelek.

2.3.7. Perbedaan Individual


Setiap siswa memiliki karakteristik sendiri-sendiri yang berbeda satu dengan
yang lain. Karena hal inilah, setiap siswa belajar menurut tempo (kecepatan)nya
sendiri dan untuk setiap kelompok umur terdapat variasi kecepatan belajar (Davies,
1987: 32). Kesadaran bahwa dirinya berbeda dengan siswa lain, akan membantu siswa
menentukan cara belaiar dan sasaran belajar bagi dirinya sendiri. Implikasi adanya
prinsip perbedaim individual diantaranya adalah menentukan tempat duduk di kelas,
menyusun jadwal belajar, atau memilih bahwa implikasi adanya prinsip perbedaan
individu bagi siswa dapat berupa perilaku fisik maupun psikis. Untuk memperjelas
implikasi prinsip-prinsip belajar bagi siswa, anda dapat mengidentifikasi dari kegiatan
siswa dalam kegiatan pembelajaran sebagai indikatornya. Belajar tidak dapat
diwakilkan kepada orang lain. Tidak belajar, berarti tidak akan memperoleh
kemampuan. Belajar dalam arti proses mental dan emosional terjadi secara individual.
Jika kita mengajar disuatu kelas sudah barang tentu kadar aktivitas belajar para siswa
beragam.
Disamping itu, siswa yang belajar sebagai pribadi tersendiri, yang memiliki
perbedaan dari siswa lain. Perbedaan itu mungkin dalam hal pengalaman, minat,
bakat, kebiasaan belajar, kecerdasan, tipe belajar dan sebagainya.. Guru yang
menyamaratakan siswa menganggap semua siswa sama. sehingga memperlakukan
mereka sama kepada semua. pada prinsipnya bertentangan dengan hakikat manusia,
khususnya siswa. Guru yang bijaksana akan menghargai dan memperlakukan siswa
sesuai dengan hakikat mereka masingmasing. Suatu tindakan guru yang dipandang
tepat terhadap seorang siswa, belum tentu tepat untuk siswa yang lain. Akan tetapi ada
perlakuan yang memang harus sama terhadap semua. Demikian pula yang
menyangkut pelajaran. Pelajaran mana yang harus dipelajari oleh semua siswa dan
peIajaran mana yang boleh dipilih oleh siswa sesuai dengan bakat mereka. Perlakuan
guru terhadap siswa yang cepat harus berbeda dii i perlakuaii terhadap siswa yang
termasuk lamban. Siswa yang lamban perlu banyak dibantu sedangkan siswa yang
cepat dapa diberi kesempatan lebih dulu maju atau melakukan pengayaan. Didalam
menggunakan metode mengajar, guru perlu menggunakan metode mengajar yang
bervariasi, sebab mungkin siswa yang kita ajar memiliki tipe belajar yang berbeda.
Siswa yang memiliki tipe belajar yang auditif akan lebih mudah belajar melalui
pendengaran. Siswa yang memiliki tipe belajar yang motorik akan memiliki tipe
belajar visual akan lebih mudah belajar melalui penglihatan. sedangkan siswa yang
memiliki tipe belajar motorik akan lebih mudah belajar melalui perbuatan. Untuk
keperluan itu semua guru perlu memahami pribadi masing-masing yang menjadi
bimbingannya.
Oleh karena itu catatan pribadi siswa sangat bermanfaat. Setiap siswa perlu
diktat tentang kecerdasannya, bakatnya, tipe belajarnya, latar belakang kehidupan
orang tuanya, kemampuan panca indranya, penyakit yang dideritanya, bahkan
kejadian sehari-hari yang dianggap penting. Semua itu harus dkatat pada catatan
pribadi siswa. Buku catatan pribadi siswa itu harus diisi secara rutin dan terus
mengikuti pribadi siswa tersebut ke kelas dan ke jenjang pendidikan berikutnya. Buku
catatan pribadi tiap siswa kelas 1 setelah mereka naik kelas 2 harus diserahkan pada
guru kelas 2 untuk digunakan dan diisi dengan data baru, begitulah seterusnya sampai
kejenjang pendidikan berikutnya. Siswa merupakan individual yang unik artinya tidak
ada dua orang siswa yang sama persis, tiap siswa memiliki perbedaim satu dengan
lain. Perbedaan itu terdapat pada karakteristik psikis, kepribadian dan sifat-sifatnya.
Perbedaan individual ini pada cara dan hasil belajar siswa. Karenanya perbedaan
individu perlu diperhaikan pleh guru dalam upaya pembelajaran. Sistem pendidikan
klasikal yang dilakukan disekolah kita kurang memperhatikan masalah perbedaan
individual, umumnya pelaksanaan pembelajaran dikelas dengan melihat siswa sebagai
individu dengan kemampuan rata-rata, kebiasaan yang kurang lebih sama, demikian
pula dengan pengetahuannya.
Pembelajaran yang bersifat klasikal yang mengabaikan perbedaan individual
dapa diperbaiki dengan beberapa cara. Antara lain penggunaan metode atau strategi
belajar mengajar yang ervariasi sehingga perbedaan perbedaan kemampuan siswa
dapat terlayani. Juga penggunaan media instruksional akan membantu melayani
perbedaan siswa dalam cara belajar. Usaha lain untuk memperbaiki pembelajaran
klasikal adalah dengan memberikan tambahan pelajaran atau pengayaan pelajaran bagi
siswa yang pandai, dan memberikan bimbingan belajar bagi anak yang kurang.
Disamping in dalam memberikan tugas hendaknya disesuikan dengan minat dan
kemampuan siswa sehingga bagi siswa yang pandai, sedang, maupun kurang akan
merasakan berhasil didalam belajar. Sebagai unsur primer dan sekunder dalam
pembelajaran, maka dengan sendirinya dan guru teimplikasi adanya prinsip-prinsip
belajar. Implikasi prinsip-prinsip belajar bagi siswa dan guru, tampak dalam setiap
kegiatan perilaku mereka selama proses pembelajaran berlangsung. Namun demikian,
perlu disadari bahaya implementasi prinsip-prinsip belajar sebagai implikasi prinsip-
prinsip belajar bagi siswa dan guru tidak semuanya terwujud dalam setiap proses
pembelajaran.
BAGIAN 3
KURIKULUM PEMBELAJARAN

PENDAHULUAN
Kurikulum dan pendidikan adalah dua hal yang erat berkaitan, tak dapat
dipisahkan sama dengan yang lain. Sistem pendidikan yang dijalankan pada zaman
modern ini tak mungkin tanpa melibatkan keikutsertaan kurikulum. Tak mungkin ada
Kegiatan pendidikan tanpa kurikulum. Kebutuhan akan adanya aktivitas pendidikan
selalu berarti kebutuhan adanya kurikulum. Dalam kurikulum itulah tersimpul segala
sesuatu yang harus lijadikan pedoman bagi pelaksanaan pendidikan. Pemikiran
tentang adanya kurikulum adalah setua dengan adanya sistem pendidikan itu sendiri.
Hubungan antara pendidikan dan kurikulum adalah hubungan antara tujuan dan isi
pendidikan. Suatu tujuan, tegasnya tujuan pendidikan yang ingin dicapai, akan dapat
terlaksana jika alat sarana, isi, atau tegasnya kurikulum yang dijadikan dasar acuan ini
relevan. Artinya sesuai dengan tujuan pendidikan tersebut. Hal itu dapat diartikan
bahwa kurikulum dapat membawa kita ke arah tercapainya tujuan pendidikan. karena
kurikulum merupakan isi dan sarana untuk mencapai tujuan pendidikan, maka
kurikulum berisi nilai-nilai atau cita-cita yang sesuai dengan pandangan hidup bangsa.
Pada hakekatnya, proses pendidikan yang dijalankan adalah usaha untuk
merealisasikan nilai-nilai dan ide-ide tersebut.
Pada dasamya tujuan pendidikan yang pokok (atau hakiki, esensial, prinsipil
ini tetap karena ia berhubungan dengan sistem nilai atau pandangan hidup suatu
bangsa. Akan tetapi. hal itu tidak berarti kurikulum pun harus statis, tak pernah
mengalami perubahan. Kurikulum pun harus selalu dikembangkan sesuai dengan
perkembangan kebutuhan masyarakat.. masyarakat yang dinamis akan selalu
mengalami perkembangan, selalu menuntut adanya perubahan sesuai dengan
perubahan zaman. Pada hakekamya, hal itupun dapat dipandang sebagai akibat sistem
pendidikan yang dijalankan yang sudah diperhitungkan. Dengan kata lain adanya
keadaan masyarakat yang dinamis dan terbukti terhadap adanya usaha-usaha
pembaharuan sesuai dengan perkembangan zaman tersebut, merupakan keberhasilan
sistem pendidikan, tanpa mengakibatkan berbagai faktor lain yang juga berperan.
Dalam banyak hal, kurikulum dapat dijadikan ukuran kualitas proses dan keluaran
pendidikan yang dijalankan. Dalam suatu kurikulum sekolah telah tergambar tentang
berbaga pengetahuan, keterampilan, sikap serta nilai-nilai yang diharapkan dimiliki
oleh setiap lulusan suatu sekolah. Akan tetapi kurikulum bukanlah merupakan satu-
satunya faktor penentu "kualitas seperti yang disarankan didalamnya. Masih terdapat
berbagai faktor lain yang turut menunjang kualitas atau keberhasilan kegiatan
pendidikan yang dijalankan. Misalnya saja masalah sarana dan prasarana, situasi dan
kondisi lingkungan, kualitas guru sebagai pelaksana pendidikan dan sebagainya.
Penting bagi guru adalah ia harus benar-benar menyadari peranannya sebagai
pelaksana pendidikan yang amat menentukan. Hal itu menuntut kepadanya untuk
memahami dan menguasai berbagai masalah pendidikan, antara lain masalah
kurikulum.

3.1. PENGERTIAN KURIKULUM


3.1.1 Kurikulum Sebagai Jembatan Meraih Ijazah
Istilah "kurikulum" memiliki berbagai tafsiran yan dirumuskan oleh pakar-
pakar dalam bidang pengembang kurikulum sejak dulu sampai dengan dewasa. ini.
Tafsiran-tafsi tersebut berbeda-beda satu sama lainnya, sesuai dengan titik berat inti
dan pandangan dari pakar bersangkutan. Istilah kurikulum berasal dari bahasa latin
yakni "currculae", artinya jarak yang harus ditempuh oleh seorang pelari. Pada waktu
itu, pengerti kurikulum ialah jangka waktu pendidikan yang harus ditemp oleh siswa
yang bertujuan untuk memperoleh Ijazah. Dengan menempuh suatu kurikulum, siswa
dapat memperoleh ijazah. Dalam hal ini, ijazah pada hakekatnya merupakan suatu
bukti, bahwa siswa telah menempuh suatu Kurikulum yang berupa rencana pelajaran,
sebagaimana halnya seorang pelari telah menempuh suatu jarak antara satu tempat ke
tempat lainnya dan akhirnya mencapai finish. Dengan kata lain, suatu kurikulum
dianggap sebagai jembatan yang sangat penting untuk mencapai titik akhir dari suatu
perjalanan dan ditandai oleh perolehan suatu ijazah tertentu.

Pengertian Kurikulum (Oleh Burhan Nurgiyantoro dalam bukunya Dasar-Dasar


Pengembangan Kurikulum Sekolah)
Istilah kurikulum semula berasal dari istilah yang dipergunakan dalam dunia
taktik curere yang berarti "berlari' . Istilah tersebut erat hubungannya dengan kata
curier atau kurir yang berarti penghubung atau seseorang yang bertugas
menyampaikan sesuatu kepada orang atau tempat lain. Seseorang kurir harus
menempuh suatu perjalanan untuk mencapai tujuan, maka istilah kurikulum kemudian
diartikan sebagai orang sebagai suatu jarak yang harus ditempuh (S. Nasution, 1980 :
5). Dari istilah atletik kurikulum mengalami perpindahan arti kedunia pendidikan.
Sebagai misal pengertian kurikulum seperti yang tercantum dalam Webster's
Intemational Dktionary ". Curriculum ; Course ; a specified fixed course of study, is in
a school or collage. as one leading to degree.
Kurikulum kemudian diartikan sebagai sejumlah mata pelajaran atau ilmu
pengetalman yang ditempult atau dikuasai untuk mencapai suatu tingkat tertentu atau
ijazah. Disamping itu, kurikulum juga diartikan sebagai suatu rencana yang disengaja
dirancang untuk mencapai sejumlah tujuan pendidikan. Itulah sebabnya orang pada
waktu lalu juga menyebut kurikulum dengan istilah Rencana Pelajaran" yang
merupakan terjemahan istilah Leerplan. Rencana pelajaran merupakan salah satu
komponen dalam asas-asas didaktik yang harus dikuasai (atau paling tidak diketahui)
oleh seorang guru atau calon guru.
Pengertian kurikulum sebagai yang tercantum dalam kamus Webster yang
dikutip diatas, kiranya ada kesesuaiannya dengan perumusan yang dikemukakan oleh
Stenhouse berikut : Currkulum is the planned conipesite effort of any school to guide
pupil leaming to ward prederennined learning outcome (Larence Stenhouse, 1976 : 4).
Defenisi-defenisi kurikulum yang bersifat tradisional biasanya masih
menampakkan adanya kecenderungan penekanan pada rencana pelajaran untuk
menyampaikan mata-mata peiajaran (subject matter) kepada anak didik yang biasanya
berisi kebudayaan. (hasil budidaya) masa lampau atau sejumlah ilmu pengetahuan.
Anak yang berhasil melewati tahap ini akan atau herhak memperoleh ijazah.
Kabudayaan atau sejumlah ilmu pengetahuan yang akan disampaikan tersebut
bersumber pada buku-buku yang baik atau dianggap bermutu, sehingga kurikulum
terutama dalam hal tujuan instruksional dan pemilihan bahan pengajaran lebih banyak
ditentukan atau dipengaruhi oleh buku- buku tersebut. Dihubungkan dengan
kebutuhan pengalaman anak yang diharapkan terpenuhi melalui kegiatan belajar-
mengajar sekolah, ternyata hal tersebut kurang menguntungkan karena ia membatasi
pengalaman anak dalam proses belajar-mengajar kelas saja dan kurang
inemperhatikan pengalaman-pengalaman lain yang diperoleh di luar kelas. Kurikulum
yang bersi demikian. hanya menekankan aspek intelektual saja yang harus dikuasai
siswa dan mengabaikan aspek-aspek yang lain yang juga sangat berpengaruh dalam
perkembangan kejiwaan siswa. Kurikulum macam ini biasanya disebut Subject
Centere Curiculum, yaitu kurikulum yang berpusat pada materi pelajaran Sejalan
dengan perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat, pendirian tradisional
mengenai kurikulum tersebut ditinggalkan orang karena dianggap terlalu sempit dan
atau paling tidak orang berusaha mencari kemungkinan-kemungkinan baru, sebab
pada kenyataanya pula seperti halnya dengan masalah-masalah lain, belum dapat
meninggalkan (atau mungkin meninggalkan) sama sekali pendirian tradisonal.
dasarkan pendirian diatas, yakni pendirian tradisional, kurikulum dijalankan (mau tak
mau) berpusat pada guru atau but Teacher Centered Curiculum. Pandangan yang lebih
kemudian ingin mengubah pandangan tersebut dengan memperhatikan minat dan
kebutuhan anak, karena anaklah sebenamya yang menjadi subjek didik. Anak tak
boleh hanya dipeerlakukan sebagai objek yang statis, melainkan harus diperhatikan
kebutuhannya sesuai dengan perkembangan jiwanya karena itu, terjadilah pergeseran
dalam dunia pendidikan dari suject atau teacher centered ke student centered.
Kurikulum yang sesuai dengan pandangan terakhir itu disebut Child Centered
curiculum. Hal itu terutama disebabkan oleh pengaruh penemuan-penemuan dibidang
psikologi. khususnya psikologi kembangan.
Adanya pergeseran tentang kurikulum tersebut juga terlibat pada defenisi-
defenisi kurikulum yang dikemukakan orang. misalnya menurut George A.
Beauchamp (1964 : 4) kurikulum adalahah "It as all activities of children under the
jurisdktion of the schoolDalam pengertian ini kurikulum mencakup segala kegiatan,
yang disediakan dan direncanakan sekolah. Konsep lain misalnya mengatakan bahwa
kurikulum tidak terbatas pada kegiatan saja, melainkan meneakup seluruh pengalaman
yang diperoleh siswa, baik intelektual, emosional, sosial maupun pengalaman galaman
yang lain.
Sebagai bahan perbandingan mengenai pengertian kriikulum menurut konsep
batu, barikut dikemukakan lagi denisi-defenisi yang lain.
A sequence of potensial experiences it set up in the school for the purpose of
disciplining children and yuouth in group ways of thingking and acting (Smith dalam
Beauchamp : 5). Atau Curriculum is all of the planned experiences providedby the
school to assist the pupils in attaining children the designated learning outcomes to the
best their abilitie (Neagly dalam Lawrence : 4).
David Pratt dalam Curriculum Design and Development (1980 : 4) mendefenisikan
kurikulum secara sederhana, yaitu sebagai seperangkat organisasi pendidikan formal
atau pusat-pusal latihan. Selanjutnya ia membuat implikasi secara lebih ekplisit
tentang defenisi yang dikemukakannya tersebut menjadi enam hal. yaitu :
1. Kurikulum adalah suatu rencana atau intentions, ia mungkin hanya berupa
perencanaan (mental) saja. tapi pada umumnya diwujudkan dalam bentuk tulisan.
2. Kurikulum bukanlah kegiatan, melainkan perencanaan atau rancangan kegiatan;
3. Kurikulum berisi berbagai macam hal seperti masalah apa yang harus
dikembangkan pada diri siswa, evaluasi untuk menafsirkan hasil belajar, bahan
dan peralatan yang dipergunakan, kualitas guru yang dituntut dan sebagainya.
4. Kurikulum melibatkan maksud atau pendidikan formal, maka ia sengaja
mempromosikan belajar dan menolak sifat rambang tanpa rencana, atau kegiatan
tanpa belajar.
5. Sebagai perangkat organisasi pendidikan, kurikulum menyatukan berbagai
komponen seperti tujuan, isi. sistem penilaian dalam satu kesatuan yang tak
terpisahkan. Atau dengan kata lain, kurikulum adalah sebuah sistem
6. Pendidikan dan latihan dimaksudkan untuk menghindari kesalahpahaman yang
terjadi jika suatu hal dilalaikan.
Defenisi diatas yang kemudian disertai dengan berbagai implikasinya, dapat
memberikan gambaran yang lebih nyata tentang kurikulum, walau mungkin tidak
sepenuhnya kita terima atau pahami. Misalnya saja dikatakan bahwa kurikulum
mungkin hanya berupa perencanaan secara mental, dalam arti tidak diwujudkan dalam
bentuk tertulis. Bagaimana jadinya jika ada (mungkin hanya sebagian) kurikulum
yang tidak ditutis, tentunya akan mengundang berbagai permasalahan. Kurikulum
merupakan suatu yang dijadikan pedoman dalam segala kegiatan pendidikan yang
dilakukan, termasuk kegiatan belajar mengajar di kelas. Dalam hal ini kita dapat
memandang bahwa kurikulum merupakan suatu program yang didesain, direncanakan,
dikembangkan dan akan dilaksanakan dalam situasi belajar mengajar yang sengaja
diciptakan di sekolah. Atas dasar hal tersebut, kurikulum kemudian dapat
didefenisikan sebagai suatu program pendidikan yang direncanakan dan dilaksanakan
untuk mencapai sejumlah tujuan pendidikan tertentu (Winarno Surahmad, 1977 : 5).
Kiranya defenisi tersebut lebih sederhana dan jelas rumusannya. Pendidikan
merupakan suatu pendidikan yang mempunyai tujuan-tujuan tertentu, merupakan
program yang direncanakan, disusun dan diatur untuk kemudian dilaksanakan di
sekolah melalui cara-cara yang telah ditentukan pula. Jika defenisi diatas
diperbandingkan dengan defenisi-defenisi yang dikemukakan lebih dahulu, sebenamya
tidak ada perbedaan yang prinsipil. Sentua defenisi yang ditunjuk sama-sama
menyebut kurikulum sebagai rencana-rencana kegiatan yang berhubungan dengan
kegiatan belajar yang dilakukan siswa yang tentunya dimaksudkan untuk memperoleh
sejumlah pengalaman (baca tujuan) tertentu.

3.1.2 Kurikulum Sebagai Materi Pelajaran


Kurikulum ialah sejumlah mata ajaran yang harus ditempuh dan dipelajari
oleh siswa unluk mempoleh sejumlah pengetahuan. Mata ajaran dipandang sebagai
pengalaman orang tua atau pengalaman orang-orang pandai masa yang telah disusun
secara sistematis dan logis. Misalinya, pengalaman dan penemuan-penemuan masa
lampau, maka diadakan pemilihan dan selanjutnya disusun secara sistematis, artinya
menurut urutan tertentu, dan logis, artinya dapat diterima dan pikiran. Mata ajaran
tersebut mengisi materi pelajaran yang disampaikan pada siswa sehingga memperoleh
sejumiah pengetahuan yang berguna baginya. Semakin banyak pengalaman dan
penemuan-penemuan maka semakin banyak pula mata ajaran yang harus disusun
dalam kurikulum dan harus dipelajari oleh siswa disekolah.

3.1.3 Kurikulum Sebagai Rencana Kegiatan Pembelajaran


Kurikulum adalah suatu program pendidikan yang disediakan untuk
pembelajaran siswa. Dengan program ini siswa inelakukan berbagai kegiatan belajar,
sehingga menjadi perubahan dan perkembangan tingkah laku siswa sesuai dengan
tujuan pendidikan dan pembelajaran. Dengan kata lain sekolah menyediakan
lingkungan yang memberikan kesempatan belajar bagi siswa. Itu sebabnya, suatu
kurikulum harus disusun sedemikian rupa agar maksud tersebut dapat tercapai.
Kurikulum tidak terbatas pada mata ajaran saja, melainkan melipiuti segala sesuatu
yang dapat mempengaruhi perkembangan siswa, seperti bangunan, perpustakaan,
gambar-gambar, halaman, perlengkapan dll. Hal ini berarti semua hal dan semua orang
yang terlibat dalam memberikan bantuan kepada siswa termasuk ke dalam kurikulum.

3.1.4 Kurikulum Sebagai Pengalaman Belajar


Perumusan atau pengertian kurikulum lainnya agar berbeda dengan
pengertian-pengertian sebelumnya yang lebih menekankan bahwa kurikulum
merupakan serangkaian pengalaman belajar. Pengertian ini menunjukkan bahwa
kegiatan-kegiatan kurikulum tidak terbatas dalam ruang kelas saja, melainkan
mencakup juga kegiatan-kegiatan diluar kelas. Tak ada pemisahan yang tegas dntara
ekstra dan intra kurikulum. Semua kegiatan yang memberikan pengalaman belajar
bagi siswa pada hakekatnya adalah kurikulum.Kurikulum adalah seperangkat rencana
dan peraturan mengenai isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman penyelenggaraan kegiatan belajar mengajar. Isi kurikulum merupakan
susunan dan bahan kajian dan untuk mencapai tujuan penyelenggaraan satuan
pendidikan yang bersangkutan, dalam rangka upaya pencapai tujuan pendidikan
nasional.

3.2. LANDASAN PENGEMBANGAN KURIKULUM


Dalam buku ajar Teori Belajar dan Pembelajaran, Landasan setidaknya
mempunyai makna berikut:
1. Landasan adalah sebuah pondasi yang di atas di bangun sebuah bangunan.
2. Landasan adalah pikiran-pikiran abstrak yang dijadikan titik tolak atau titik
berangkat bagi pelaksanaan suatu kegiatan.
3. Landasan adalah pandangan pandangan abstrak yang telah teruji , yang yang
dipergunakan sebagai titik tolak dalam menyusun konsep, pelaksanaan konsep dan
evaluasi konsep.
Menurut Hornby c.s dalam The Advance Learners Dictionary of Current
English (Redja Mudyahardjo, 2001:8) mengemukakan definisi landasan sebagai
berikut: Foundation that on which an idea or belief rest; an underlying principles
as the foundations of religious belief; the basis or starting point. Jadi menurut
Hornby landasan adalah suatu gagasan atau kepercayaan yang menjadi sandaran,
sesuatu prinsip yang mendasari, contohnya seperti landasan kepercayaan agama, dasar
atau titik tolak. Dengan demikian landasan pengembangan kurikulum dapat diartikan
sebagai suatu gagasan, suatu asumsi, atau prinsip yang menjadi sandaran atau titik tolak
dalam mengembangkan kurikulum. Landasan pengembangan kurikulum memiliki
peranan yang sangat penting, sehingga apabila kurikulum diibaratkan sebagai sebuah
bangunan gedung yang tidak menggunakan landasan atau fundasi yang kuat, maka
ketika diterpa angin atau terjadi goncangan, bangunan gedung tersebut akan mudah
rubuh dan rusak. Demikian pula halnya dengan kurikulum, apabila tidak memiliki dasar
pijakan yang kuat, maka kurikulum tersebut akan mudah terombang-ambing dan yang
akan dipertaruhkan adalah manusia (peserta didik) yang dihasilkan oleh pendidikan itu
sendiri. Ada lima landasan yang digunakan dalam pengembangan kurikulum, yaitu :
Landasan Filosofis, landasan Psikologis, landasan Sosiologis , landasan Organisatoris,
dan landasan ilmu pengetahuan dan teknologi.

3.2.1. Landasan Filosofis


Filosofis artinya berdasarkan filsafat. Sedangkan Filsafat itu sendiri berasal
dari bahasa yunani, yaitu dari kata philos dan sophia. Philos, artinya cinta yang
mendalam, dan sophia adalah kearifan atau kebijaksanaan. Dengan demikian, filsafat
secara harfiah dapat diartikan sebagai cinta yang mendalam akan kearifan. Filsafat
sangat penting karena harus dipertimbangkan dalam mengambil keputusan tentang
aspek kurikulum. Untuk itu tiap keputusan harus ada dasarnya. Jadi filsafat adalah cara
berfikir yang sedalam-dalamnya, yakni sampai akar-akarnya tentang hakikat sesuatu.
Para pengembang kurikulum harus mempunyai filsafat yang jelas tentang apa yang
mereka junjung tinggi. Terdapat berbagai aliran filsafat yang masing-masing dengan
dasar pemikiran sendiri, berikut adalah beberapa aliran dalam filosofis pendidikan:
a). Aliran Perennialisme
Aliran ini bertujuan mengembangkan kemampuan intelektual anak melalui
pengetahuan yang abadi, universal dan absolut atau perennial. Kurikulum yang
diinginkan oleh aliran ini terdiri atas subyek atau mata pelajaran yang terpisah
sebagai disiplin ilmu dengan menolak penggabungan seperti IPA atau IPS. Hanya
mata pelajaran yang sungguh mereka anggap dapat mengembangkan kemampuan
intelektual seperti matematika, fisika, kimia, biologi yang diajarkan, sedangkan yang
berkenaan dengan emosi dan jasmani seperti seni rupa, olah raga sebaiknya
dikesampingkan. Pelajaran yang diberikan termasuk pelajaran yang sulit karena
memerlukan intelegensi tinggi. Kurikulum ini memberi persiapan yang sungguh-
sungguh bagi studi diperguruan tinggi.
b). Aliran Idealisme
Filsafat ini berpendapat bahwa kebenaran itu berasal dari dunia supra-natural dari
tuhan. Boleh dikatakan semua agama menganut filsafat idealisme.filsafat ini
umumnya diterapkan disekolah yang berorientasi religius. Semua siswa diharuskan
mengikuti pelajaran agama, menghadiri khotbah dan membaca kitab suci. Biasanya
disiplin termasuk ketat, pelangggaran diberi hukuman yang setimpal bahkan dapat
dikeluarkan dari sekolah.namun pendidikan intelektual juga sangat diutamakan
dengan menetukan satandar mutu yang tinggi.
c). Aliran Realisme
Filsafat realisme mencari kebenaran di dunia ini sendiri. Melalui pengamatan dan
penelitian ilmiah dapat ditemukan hukum-hukum alam. Mutu kehidupan senantiasa
dapat ditingkatkan melalui kemajuan dalam ilmu pengetahuan dan teknologi. Tujuan
hidup ialah memperbaiki kehidupan melalui penelitian ilmiah.
d). Aliran Pragmatisme
Aliran ini juga disebut aliran instrumentalisme atau utilitarianisme dan berpendapat
bahwa kebenaran adalah buatan manusia berdasarakan pengalamannya. Tidak ada
kebenaran mutlak, kebenaran adalah tentatif (sementara) dan dapat berubah. Tugas
guru bukan mengajar dalam arti menyampaikan pengetahuan, melainkan memberi
kesempatan kepada anak untuk melakukan berbagai kegiatan guna memecahkan
masalah. Pengetahuan yang diperoleh bukan dengan mempelajari mata pelajaran,
melainkan karena digunakan secara fungsional dalam memecahkan masalah.
e). Aliran Eksistensialisme
Filsafat ini mengutamakan individu sebagai aktor dalam menentukan apa yang baik
dan benar. Norma-norma hidup berbeda secara individual dan ditentukan masing-
masing secara bebas, namun dengan pertimbangan jangan menyinggung perasaan
orang lain. Tujuan hidup adalah menyempurnakan diri, merealisasikan diri. Sekolah
yang berdasarkan eksistensialisme mendidik anaka aggar menentukan pilihan dan
keputusan sendiri dengan menolak otoritas orang lain. Ia harus bebas berpikir dan
mengambil keputusan sendiri secara bertanggung jawab. Sekolah ini menolak segala
kurikulum, pedoman, instruksi, buku wajib, dll dari pihak luar. Anak harus mencari
identitasnya sendiri, menentukan standarnya sendiri dan kurikulumnya sendiri.
Dengan sendirinya mereka tidak dipersiapkan untuk menempuh ujian nasional.
Filsafat pendidikan mengandung nilai-nilai atau cita-cita masyarakat.
Berdasarkan cita-cita tersebut terdapat landasan, man dibawa kemana pendidikan
anak. Filsafat pendidikan menggambarkan manusia yang ideal yang diharapkan oleh
masyarakat. Dengan kata lain filsafat pendidikan merupakan pandangan hidup
masyarakat. Filsafat pendidikan menjadi landasan untuk merancang tujuan
pendidikan, prinsip pendidikan serta seperangkat pengalaman belajar lainnya. Hal ini
menunjukkan pada kebutuhan pembangunan sesuai dengan sektor-sektor yang perlu
dibangun itu sendiri, yakni bidang industri, pertanian, tenaga kerja, perdagangan,
transportasi dll. Pembangunan SDM yang berkualitas diarahkan untuk meningkatkan
kwalitas SDM yang mampu mendukung -pembangunan ekonomi dan pembangunan
dibidang-bidang lainnya. Implikasi dari upaya pembangunan tersebut maka
diperlukannya peningkatan produktifitas, peningkatan pendidikan nasional yang
merata dan bermutu, peningkatan dan perluasan pendidikan keahlian sesuai dengan
kebutuhan bidang-bidang pembangunan tersebut. dan pembangunan iptek yang
mantap.
Gambaran tentang proses dan tujuan pembangunan tersebut diatas sekaligus
menggambarkan kebutuhan pembangunan secara keseluruhan. Hal mana memberikan
implikasi tertentu terhadap pendidikan di perguruan tinggi. Dengan kata lain
penyelenggara pendidikan di perguruan tinggi harus disesuaikan dan diarahkan pada
upaya-upaya dan kebutuhan pembangunan, yang mencangkup pembangunan ekonomi
dan pengembangan SDM yang berkwalitas. Penyelenggaraan pendidikan diarahkan
untuk menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki
kemampuan keilmuan dan keahlian, yang berisi mendukung tercapainya cita-cita
nasional. yakni suatu masyaral yang maju, mandiri dan sejahtera.

3.2.2. Landasan IPTEK dan Seni


Pembangunan didukung oleh perkembangan iptek dalam rangka
mempercepat terwujudnya ketangguhan dan Keunggu bangsa. Dukungan iptek
terhadap pembangunan dimaksud untuk memacu pembangunan untuk menuju
terwujudnya masyarakat yang mandiri, maju dan sejahtera. Di sisi lain perkembangan
iptek itu sendiri berlangsung semakin cepat berbarengan dengan persaingan antar
bangsa semakin meluas sehingga diperlukan penguasan dan pengembangan iptek yang
pada gilirannya mengandung implikasi tertentu terhadpa pengembangan sumber daya
manusia supaya memiliki kemampua dalam penguasaan dan pemanfaatan serta
pengembangan dalam bidang iptek. Untuk mencapai tujuan dan kemampuan tersebut,
beberapa hal yang dapat dijadikan dasar:
1. Pembangunan iptek harus beraada dalam keseimbangan yang dinamis dan efektif
dengan pembinaan SDM. pengembangan sarana dan prasarana iptek, pelaksanaan
penelitian pengembangan serta rekayasa produksi barang dan jasa.
2. Pembangunan iptek tertuju pada peningkatn kwalitas, yaitu untuk meningkatkan
kwalitas kesejahteraan dan kehidupan bangsa.
3. Pembangunan iptek harus sclaras dengan nilai-nilai agama, nilai luhur budaya
bangsa, kondisi sosial budaya dan lingkungan hidup.
4. Pembangunan iptek harus berpijak pada upaya peningkatan produktifitas, efisiensi
dan efektifitas penelitian dan pengembangan yang lebih tinggi.
5. Pembangunan iptek berdasarkan pada asas pemanfaatan yang dapat memberikan
nilai tambah dan memberikaxt pemecahan masalah konkrit dalam pembangunan.
Penguasaan, pemanfaatan, dan pengembangan iptek dilaksanakan oleh
berbagai pihak, yakni :
1. Pemerintah, mengembangkan dan memanfaatkan iptek untuk menunjang
pembangunan di segala bidang.
2. Masyarakat, yang memanfaatkan iptek untuk pengembangan masyarakat secara
swadaya.
3. Akademisi terutama dilingkungan perguruan tinggi yang memanfaatkan iptek
untuk disumbangkan pada pembangunan.
4. Pengusaha, untuk kepentingan meningkatkan produktifitas.
Dalam abad pengetahuan sekarang ini, diperlukan masyarakat yang
berpengetahuan melalui belajar sepanjang hayat dengan standar mutu yang tinggi. Sifat
pengetahuan dan keterampilan yang harus dikuasai masyarakat sangat beragam dan
canggih, sehingga diperlukan kurikulum yang disertai dengan kemampuan meta-kognisi
dan kompetensi untuk berfikir dan belajar bagaimana belajar (learning to learn) dalam
mengakses, memilih dan menilai pengetahuan, serta mengatasi siatuasi yang ambigu
dan antisipatif terhadap ketidakpastian. Perkembangan dalam bidang Ilmu Pengetahuan
dan Teknologi, terutama dalam bidang transportasi dan komunikasi telah mampu
merubah tatanan kehidupan manusia. Oleh karena itu, kurikulum seyogyanya dapat
mengakomodir dan mengantisipasi laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi,
sehingga peserta didik dapat mengimbangi dan sekaligus mengembangkan ilmu
pengetahuan dan teknologi untuk kemaslahatan dan kelangsungan hidup manusia.

3.2.3. Landasan Psikologis


a). Psikologi Perkembangan Peserta Didik
Implikasi dari perkembangan peserta didik terhadap pengembangan kurikulum
yaitu: Setiap anak diberi kesempatan untuk berkembang sesuai dengan bakat, minat
dan kebutuhannya. Disamping disediakan pelajaran yang sifatnya umum (Program
inti) yang wajib dipelajari setiap anak di sekolah, disediakan pula pelajaran pilihan
yang sesuai dengan minat anak. Kurikulum disamping menyediakan bahan ajar
yang bersifat kejuruan juga menyediakan bahan ajar yang nersifat akademik. Bagi
anak yang berbakat dibidang akademik diberi kesempatan untuk melanjutkan studi
ke jenjang pendidikan selanjutnya. Kurikulum memuat tujuantujuan yang
mengandung pengetahuan, nilai atau sikap, dan keterampilan yang menggambarkan
keseluruhan pribadi yang utuh lahir dan batin.
b). Psikologi Belajar
Psikologi atau teori belajar yang berkembang pada dasarnya dapat dikelompokkan
kedalam tiga rumpun yaitu:
1) Teori Daya (Disiplin Mental).
Menurut teori ini sejak kelahirannya (heredities)anak telah memiliki potensi-
potensi atau daya-daya tertentu (Faculties) yang masing-masing memiliki fungsi
tertentu, seperti potensi/daya mengingat, daya berpikir daya mencurahkan
pendapat daya mengamati, daya memecahkan masalah, dan daya-daya lainnya.
Karena itu pengertian mengajar menurut teori ini adalah melatih peserta didik
dalam daya- daya itu, cara mempelajarinya pada umumnya melalui hapalan dan
latihan.
2) Teori Behavorisme
Rumpun teori ini mencakup tiga teori, yaitu teori Koneksionisme atau teori
Asosiasi, teori Kondisioning, dan teori Reinforcement (Operent Conditioning),
Rumpun teori Behaviorisme berangkat dari asumsi bahwa individu tidak
membawa potensi sejak lahir. Perkembangan individu ditentukan oleh
lingkungan (keluarga, sekolah, masyarakat) Teori Koneksionisme atau teori
Asosiasi adalah kehidupan tunduk kepada hukum stimulus-respon atau aksi-
reaksi. Belajar pada dasarnya merupakan hubungan antara stimulus-respon.
Belajar merupakan upaya untuk membentuk hubungan stimulus-respon. Belajar
merupakan upaya untuk membentuk hubungan stimulus-respon sebanyak-
banyaknya.
3) Teori Organismik atau Gestalt
Teori ini mengacu kepada pengertian bahwa keseluruhan lebih bermakna dari
pada bagian-bagian, keseluruhan bukan kumpulan dari bagian-bagian. Manusia
dianggap sebagai mahluk organisme yang melakukan hubungan timbal balik
dengan lingkungan secara keseluruhan, hubungan ini dijalin oleh stimulus dan
respon.

3.2.4. Landasan Sosilogis


Sosiologi adalah ilmu pengetahuan yang menyelidiki berbagai gejala sosial
hubungan antar individu, antar golongan, antar lembaga sosial atau masyarakat. Di
dalam kehidupan kita tidak hidup sendiri, namun hidup dalam suatu masyarakat. Dalam
lingkungan itulah kita memiliki tugas yang harus dilaksanakan dengan penuh tanggung
jawab sebagai bakti kepada masyarakat yang telah memberikan jasanya kepada kita.
Tiap masyarakat memiliki norma dan adat kebiasaan yang harus dipatuhi. Norma dan
adat kebiasaan tersebut memiliki corak nilai yang berbeda-beda, selain itu masing-
masing dari kita juga memiliki latar belakang kebudayaan yang berbeda. Hal inilah
yang menjadi pertimbangan dalam pengembangan sebuah kurikulum, termasuk
perubahan tatanan masyarakat akibat perkembangan IPTEK. Sehingga masyarakat
dijadikan salah satu asas dalam pengembangan kurikulum. Ada beberapa faktor yang
memberikan pengaruh terhadap pengembangan kurikulum dalam masyarakat, antara
lain ;
a). Kebutuhan masyarakat
Kebutuhan masyarakat tak pernah tak terbatas dan beraneka ragam. Oleh karena itu
lembaga pendidikan berusaha menyiapkan tenaga-tenaga terdidik yang terampil yang
dapat dijadikan sebagai penggali kebutuhan masyarakat.
b). Perubahan dan perkembangan masyarakat
Masayarakat adalah suatu lembaga yang hidup, selalu berkembang dan berubah.
Perubahan dan perkembangan nilai yang ada dalam masyarakat sering menimbulkan
konflik antar generasi. Dengan diadakannya pendidikan diharapkan konflik yang
terjadi antar generasi dapat teratasi.
c. Tri pusat pendidikan
Yang dimaksud dengan tri pusat pendidikan adalah bahwa pusat pendidikan dapat
bertempat di rumah, sekolah , dan di masyarakat. Selain itu mass media, lembaga
pendidikan agama, serta lingkungan fisik juga dapat berperan sebagai pusat
pendidikan.

3.2.5. Landasan Organisatoris


Landasan ini berkenaan dengan organisasi kurikulum. Dalam pengembangan
kurikulum perlu di susun suatu desain yang tepat dan fungsional. Dilihat dari
organisasinya ada tiga tipe bentuk kurikulum:
a. Kurikulum yang berisi sejumlah mata pelajaran yang terpisah-pisah(separated
subject curriculum)
b. Kurikulum yang berisi sejumlah mata pelajaran yang sejenis di hubung-
hubungkan(Correlated curriculum).
c. Kurikulum yang terdiri dari peleburan semua/ hampir semua mata
pelajaran(integrated curriculum).
3.3. KOMPONEN-KOMPONEN PENGEMBANGAN KURIKULUM
Kurikulum memiliki lima komponen utama, yaitu : (1) tujuan; (2) materi; (3)
strategi pembelajaran; (4) organisasi kurikulum dan (5) evaluasi. Kelima komponen
tersebut memiliki keterkaitan yang erat dan tidak bisa dipisahkan. Untuk lebih jelasnya,
di bawah ini akan diuraikan tentang masing-masing komponen tersebut.
3.3.1. Tujuan
Mengingat pentingnya pendidikan bagi manusia, hampir di setiap negara telah
mewajibkan para warganya untuk mengikuti kegiatan pendidikan, melalui berbagai
ragam teknis penyelenggaraannya, yang disesuaikan dengan falsafah negara, keadaan
sosial-politik kemampuan sumber daya dan keadaan lingkungannya masing-masing.
Kendati demikian, dalam hal menentukan tujuan pendidikan pada dasarnya memiliki
esensi yang sama. Seperti yang disampaikan oleh Hummel (Uyoh Sadulloh, 1994)
bahwa tujuan pendidikan secara universal akan menjangkau tiga jenis nilai utama yaitu:
1. Autonomy; gives individuals and groups the maximum awarenes, knowledge, and
ability so that they can manage their personal and collective life to the greatest
possible extent.
2. Equity; enable all citizens to participate in cultural and economic life by coverring
them an equal basic education.
3. Survival ; permit every nation to transmit and enrich its cultural heritage over the
generation but also guide education towards mutual understanding and towards
what has become a worldwide realization of common destiny.)
Dalam perspektif pendidikan nasional, Tujuan Pendidikan Nasional dapat
dilihat secara jelas dalam Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistrm
Pendidikan Nasional, bahwa : Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan
kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam
rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi
peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga
negara yang demokratis serta bertanggung jawab..
Tujuan pendidikan nasional yang merupakan pendidikan pada tataran
makroskopik, selanjutnya dijabarkan ke dalam Tujuan Institusional yaitu tujuan
pendidikan yang ingin dicapai dari setiap jenis maupun jenjang sekolah atau satuan
pendidikan tertentu. Dalam Permendiknas No. 22 Tahun 2007 dikemukakan bahwa
tujuan pendidikan tingkat satuan pendidikan dasar dan menengah dirumuskan mengacu
kepada tujuan umum pendidikan berikut.
1. Tujuan pendidikan dasar adalah meletakkan dasar kecerdasan, pengetahuan,
kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti
pendidikan lebih lanjut.
2. Tujuan pendidikan menengah adalah meningkatkan kecerdasan, pengetahuan,
kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri dan mengikuti
pendidikan lebih lanjut.
3. Tujuan pendidikan menengah kejuruan adalah meningkatkan kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia, serta keterampilan untuk hidup mandiri
dan mengikuti pendidikan lebih lanjut sesuai dengan kejuruannya.
Tujuan pendidikan institusional tersebut kemudian dijabarkan lagi ke dalam
Tujuan Kurikuler; yaitu tujuan pendidikan yang ingin dicapai dari setiap mata
pelajaran yang dikembangkan di setiap sekolah atau satuan pendidikan. Berikut ini
disampaikan beberapa contoh tujuan kurikuler yang berkaitan dengan pembelajaran
ekonomi, sebagaimana diisyaratkan dalam Permendiknas No. 23 Tahun 2007 tentang
Standar Kompetensi dan Kompetensi Dasar :
1. Tujuan Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SMP/MTS:
Mengenal konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan
lingkungannya
Memiliki kemampuan dasar untuk berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu,
inkuiri, memecahkan masalah, dan keterampilan dalam kehidupan sosial
Memiliki komitmen dan kesadaran terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
Memiliki kemampuan berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam
masyarakat yang majemuk, di tingkat lokal, nasional, dan global.
2. Tujuan Mata Pelajaran Ekonomi di SMA:
Memahami sejumlah konsep ekonomi untuk mengkaitkan peristiwa dan masalah
ekonomi dengan kehidupan sehari-hari, terutama yang terjadi dilingkungan
individu, rumah tangga, masyarakat, dan negara
Menampilkan sikap ingin tahu terhadap sejumlah konsep ekonomi yang
diperlukan untuk mendalami ilmu ekonomi
Membentuk sikap bijak, rasional dan bertanggungjawab dengan memiliki
pengetahuan dan keterampilan ilmu ekonomi, manajemen, dan akuntansi yang
bermanfaat bagi diri sendiri, rumah tangga, masyarakat, dan negara
Membuat keputusan yang bertanggungjawab mengenai nilai-nilai sosial
ekonomi dalam masyarakat yang majemuk, baik dalam skala nasional maupun
internasional
3. Tujuan Mata Pelajaran Kewirausahaan pada SMK/MA:
Memahami dunia usaha dalam kehidupan sehari-hari, terutama yang terjadi di
lingkungan masyarakat
Berwirausaha dalam bidangnya
Menerapkan perilaku kerja prestatif dalam kehidupannya
Mengaktualisasikan sikap dan perilaku wirausaha.
4. Tujuan Mata Pelajaran Ilmu Pengetahuan Sosial di SMK/MA:
Memahami konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat dan
lingkungannya
Berpikir logis dan kritis, rasa ingin tahu, memecahkan masalah, dan
keterampilan dalam kehidupan sosial
Berkomitmen terhadap nilai-nilai sosial dan kemanusiaan
Berkomunikasi, bekerjasama dan berkompetisi dalam masyarakat yang majemuk
di tingkat lokal, nasional, dan global.
Tujuan-tujuan pendidikan mulai dari pendidikan nasional sampai dengan
tujuan mata pelajaran masih bersifat abstrak dan konseptual, oleh karena itu perlu
dioperasionalkan dan dijabarkan lebih lanjut dalam bentuk Tujuan Instruksional
Pembelajaran. Tujuan Instruksional pembelajaran merupakan tujuan pendidikan yang
lebih operasional, yang hendak dicapai dari setiap kegiatan pembelajaran dari setiap
mata pelajaran. Pada tingkat operasional ini, tujuan pendidikan dirumuskan lebih
bersifat spesifik dan lebih menggambarkan tentang what will the student be able to do
as result of the teaching that he was unable to do before (Rowntree dalam Nana
Syaodih Sukmadinata, 1997). Dengan kata lain, tujuan pendidikan tingkat operasional
ini lebih menggambarkan perubahan perilaku spesifik apa yang hendak dicapai peserta
didik melalui proses pembelajaran. Merujuk pada pemikiran Bloom, maka perubahan
perilaku tersebut meliputi perubahan dalam aspek kognitif, afektif dan psikomotor.
Lebih jauh lagi, dengan mengutip dari beberapa ahli, Nana Syaodih Sukmadinata (1997)
memberikan gambaran spesifikasi dari tujuan yang ingin dicapai pada tujuan
pembelajaran, yakni :
1. Menggambarkan apa yang diharapkan dapat dilakukan oleh peserta didik, dengan :
(a) menggunakan kata-kata kerja yang menunjukkan perilaku yang dapat diamati;
(b) menunjukkan stimulus yang membangkitkan perilaku peserta didik; dan (c)
memberikan pengkhususan tentang sumber-sumber yang dapat digunakan peserta
didik dan orang-orang yang dapat diajak bekerja sama.
2. Menunjukkan perilaku yang diharapkan dilakukan oleh peserta didik, dalam
bentuk: (a) ketepatan atau ketelitian respons; (b) kecepatan, panjangnya dan
frekuensi respons.
3. Menggambarkan kondisi-kondisi atau lingkungan yang menunjang perilaku peserta
didik berupa : (a) kondisi atau lingkungan fisik; dan (b) kondisi atau lingkungan
psikologis.
Upaya pencapaian tujuan pembelajaran ini memiliki arti yang sangat penting..
Keberhasilan pencapaian tujuan pembelajaran pada tingkat operasional ini akan
menentukan terhadap keberhasilan tujuan pendidikan pada tingkat berikutnya. Terlepas
dari rangkaian tujuan di atas bahwa perumusan tujuan kurikulum sangat terkait erat
dengan filsafat yang melandasinya. Jika kurikulum yang dikembangkan menggunakan
dasar filsafat klasik (perenialisme, essensialisme, eksistensialisme) sebagai pijakan
utamanya maka tujuan kurikulum lebih banyak diarahkan pada pencapaian penguasaan
materi dan cenderung menekankan pada upaya pengembangan aspek intelektual atau
aspek kognitif. Apabila kurikulum yang dikembangkan menggunakan filsafat
progresivisme sebagai pijakan utamanya, maka tujuan pendidikan lebih diarahkan pada
proses pengembangan dan aktualisasi diri peserta didik dan lebih berorientasi pada
upaya pengembangan aspek afektif. Pengembangan kurikulum dengan menggunakan
filsafat rekonsktruktivisme sebagai dasar utamanya, maka tujuan pendidikan banyak
diarahkan pada upaya pemecahan masalah sosial yang krusial dan kemampuan bekerja
sama. Sementara kurikulum yang dikembangkan dengan menggunakan dasar filosofi
teknologi pendidikan dan teori pendidikan teknologis, maka tujuan pendidikan lebih
diarahkan pada pencapaian kompetensi. Dalam implementasinya bahwa untuk
mengembangkan pendidikan dengan tantangan yang sangat kompleks boleh dikatakan
hampir tidak mungkin untuk merumuskan tujuan-tujuan kurikulum dengan hanya
berpegang pada satu filsafat, teori pendidikan atau model kurikulum tertentu secara
konsisten dan konsekuen. Oleh karena itu untuk mengakomodir tantangan dan
kebutuhan pendidikan yang sangat kompleks sering digunakan model eklektik, dengan
mengambil hal-hal yang terbaik dan memungkinkan dari seluruh aliran filsafat yang
ada, sehingga dalam menentukan tujuan pendidikan lebih diusahakan secara berimbang.

3.3.2. Materi Pembelajaran


Dalam menentukan materi pembelajaran atau bahan ajar tidak lepas dari
filsafat dan teori pendidikan dikembangkan. Seperti telah dikemukakan di atas bahwa
pengembangan kurikulum yang didasari filsafat klasik (perenialisme, essensialisme,
eksistensialisme) penguasaan materi pembelajaran menjadi hal yang utama. Dalam hal
ini, materi pembelajaran disusun secara logis dan sistematis, dalam bentuk :
1. Teori; seperangkat konstruk atau konsep, definisi atau preposisi yang saling
berhubungan, yang menyajikan pendapat sistematik tentang gejala dengan
menspesifikasi hubungan hubungan antara variabel-variabel dengan maksud
menjelaskan dan meramalkan gejala tersebut.
2. Konsep; suatu abstraksi yang dibentuk oleh organisasi dari kekhususan-kekhususan,
merupakan definisi singkat dari sekelompok fakta atau gejala.
3. Generalisasi; kesimpulan umum berdasarkan hal-hal yang khusus, bersumber dari
analisis, pendapat atau pembuktian dalam penelitian.
4. Prinsip; yaitu ide utama, pola skema yang ada dalam materi yang mengembangkan
hubungan antara beberapa konsep.
5. Prosedur; yaitu seri langkah-langkah yang berurutan dalam materi pelajaran yang
harus dilakukan peserta didik.
6. Fakta; sejumlah informasi khusus dalam materi yang dianggap penting, terdiri dari
terminologi, orang dan tempat serta kejadian.
7. Istilah, kata-kata perbendaharaan yang baru dan khusus yang diperkenalkan dalam
materi.
8. Contoh/ilustrasi, yaitu hal atau tindakan atau proses yang bertujuan untuk
memperjelas suatu uraian atau pendapat.
9. Definisi:yaitu penjelasan tentang makna atau pengertian tentang suatu hal/kata
dalam garis besarnya.
10. Preposisi, yaitu cara yang digunakan untuk menyampaikan materi pelajaran dalam
upaya mencapai tujuan kurikulum.
Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat progresivisme lebih
memperhatikan tentang kebutuhan, minat, dan kehidupan peserta didik. Oleh karena itu,
materi pembelajaran harus diambil dari dunia peserta didik dan oleh peserta didik itu
sendiri. Materi pembelajaran yang didasarkan pada filsafat konstruktivisme, materi
pembelajaran dikemas sedemikian rupa dalam bentuk tema-tema dan topik-topik yang
diangkat dari masalah-masalah sosial yang krusial, misalnya tentang ekonomi, sosial
bahkan tentang alam. Materi pembelajaran yang berlandaskan pada teknologi
pendidikan banyak diambil dari disiplin ilmu, tetapi telah diramu sedemikian rupa dan
diambil hal-hal yang esensialnya saja untuk mendukung penguasaan suatu kompetensi.
Materi pembelajaran atau kompetensi yang lebih luas dirinci menjadi bagian-bagian
atau sub-sub kompetensi yang lebih kecil dan obyektif.
Dengan melihat pemaparan di atas, tampak bahwa dilihat dari filsafat yang melandasi
pengembangam kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan materi pembelajaran,.
Namun dalam implementasinya sangat sulit untuk menentukan materi pembelajaran
yang beranjak hanya dari satu filsafat tertentu., maka dalam prakteknya cenderung
digunakan secara eklektik dan fleksibel. Berkenaan dengan penentuan materi
pembelajaran dalam Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, pendidik memiliki
wewenang penuh untuk menentukan materi pembelajaran, sesuai dengan standar
kompetensi dan kompetensi dasar yang hendak dicapai dari setiap kegiatan
pembelajaran. Dalam prakteknya untuk menentukan materi pembelajaran perlu
memperhatikan hal-hal berikut :.
1. Sahih (valid); dalam arti materi yang dituangkan dalam pembelajaran benar-benar
telah teruji kebenaran dan kesahihannya. Di samping itu, juga materi yang
diberikan merupakan materi yang aktual, tidak ketinggalan zaman, dan memberikan
kontribusi untuk pemahaman ke depan.
2. Tingkat kepentingan; materi yang dipilih benar-benar diperlukan peserta didik.
Mengapa dan sejauh mana materi tersebut penting untuk dipelajari.
3. Kebermaknaan; materi yang dipilih dapat memberikan manfaat akademis maupun
non akademis. Manfaat akademis yaitu memberikan dasar-dasar pengetahuan dan
keterampilan yang akan dikembangkan lebih lanjut pada jenjang pendidikan lebih
lanjut. Sedangkan manfaat non akademis dapat mengembangkan kecakapan hidup
dan sikap yang dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari.
4. Layak dipelajari; materi memungkinkan untuk dipelajari, baik dari aspek tingkat
kesulitannya (tidak terlalu mudah dan tidak terlalu sulit) maupun aspek
kelayakannya terhadap pemanfaatan materi dan kondisi setempat.
5. Menarik minat; materi yang dipilih hendaknya menarik minat dan dapat
memotivasi peserta didik untuk mempelajari lebih lanjut, menumbuhkan rasa ingin
tahu sehingga memunculkan dorongan untuk mengembangkan sendiri kemampuan
mereka.
Terlepas dari filsafat yang mendasari pengembangan materi, Nana Syaodih
Sukamadinata (1997) mengetengahkan tentang sekuens susunan materi pembelajaran,
yaitu :
1. Sekuens kronologis; susunan materi pembelajaran yang mengandung urutan waktu.
2. Sekuens kausal; susunan materi pembelajaran yang mengandung hubungan sebab-
akibat.
3. Sekuens struktural; susunan materi pembelajaran yang mengandung struktur materi.
4. Sekuens logis dan psikologis; sekuensi logis merupakan susunan materi
pembelajaran dimulai dari bagian menuju pada keseluruhan, dari yang sederhana
menuju kepada yang kompleks. Sedangkan sekuens psikologis sebaliknya dari
keseluruhan menuju bagian-bagian, dan dari yang kompleks menuju yang
sederhana. Menurut sekuens logis materi pembelajaran disusun dari nyata ke
abstrak, dari benda ke teori, dari fungsi ke struktur, dari masalah bagaimana ke
masalah mengapa.
5. Sekuens spiral ; susunan materi pembelajaran yang dipusatkan pada topik atau
bahan tertentu yang populer dan sederhana, kemudian dikembangkan, diperdalam
dan diperluas dengan bahan yang lebih kompleks.
6. Sekuens rangkaian ke belakang; dalam sekuens ini mengajar dimulai dengan
langkah akhir dan mundur kebelakang. Contoh pemecahan masalah yang bersifat
ilmiah, meliputi 5 langkah sebagai berikut : (a) pembatasan masalah; (b)
penyusunan hipotesis; (c) pengumpulan data; (d) pengujian hipotesis; dan (e)
interpretasi hasil tes.
7. Dalam mengajarnya, guru memulai dengan langkah (a) sampai (d), dan peserta
didik diminta untuk membuat interprestasi hasilnya (e). Pada kasempatan lain guru
menyajikan data tentang masalah lain dari langkah (a) sampai (c) dan peserta didik
diminta untuk mengadakan pengetesan hipotesis (d) dan seterusnya.
8. Sekuens berdasarkan hierarki belajar; prosedur pembelajaran dimulai menganalisis
tujuan-tujuan yang ingin dicapai, kemudian dicari suatu hierarki urutan materi
pembelajaran untuk mencapai tujuan atau kompetensi tersebut. Hierarki tersebut
menggambarkan urutan perilaku apa yang mula-mula harus dikuasai peserta didik,
berturut-berturut sampai dengan perilaku terakhir.

3.3.3. Strategi Pembelajaran


Telah disampaikan di atas bahwa dilihat dari filsafat dan teori pendidikan
yang melandasi pengembangan kurikulum terdapat perbedaan dalam menentukan tujuan
dan materi pembelajaran, hal ini tentunya memiliki konsekuensi pula terhadap
penentuan strategi pembelajaran yang hendak dikembangkan. Apabila yang menjadi
tujuan dalam pembelajaran adalah penguasaan informasi-intelektual,sebagaimana yang
banyak dikembangkan oleh kalangan pendukung filsafat klasik dalam rangka pewarisan
budaya ataupun keabadian, maka strategi pembelajaran yang dikembangkan akan lebih
berpusat kepada guru. Guru merupakan tokoh sentral di dalam proses pembelajaran dan
dipandang sebagai pusat informasi dan pengetahuan. Sedangkan peserta didik hanya
dianggap sebagai obyek yang secara pasif menerima sejumlah informasi dari guru.
Metode dan teknik pembelajaran yang digunakan pada umumnya bersifat penyajian
(ekspositorik) secara massal, seperti ceramah atau seminar. Selain itu, pembelajaran
cenderung lebih bersifat tekstual.
Strategi pembelajaran yang berorientasi pada guru tersebut mendapat reaksi
dari kalangan progresivisme. Menurut kalangan progresivisme, yang seharusnya aktif
dalam suatu proses pembelajaran adalah peserta didik itu sendiri. Peserta didik secara
aktif menentukan materi dan tujuan belajarnya sesuai dengan minat dan kebutuhannya,
sekaligus menentukan bagaimana cara-cara yang paling sesuai untuk memperoleh
materi dan mencapai tujuan belajarnya. Pembelajaran yang berpusat pada peserta didik
mendapat dukungan dari kalangan rekonstruktivisme yang menekankan pentingnya
proses pembelajaran melalui dinamika kelompok. Pembelajaran cenderung bersifat
kontekstual, metode dan teknik pembelajaran yang digunakan tidak lagi dalam bentuk
penyajian dari guru tetapi lebih bersifat individual, langsung, dan memanfaatkan proses
dinamika kelompok (kooperatif), seperti : pembelajaran moduler, obeservasi, simulasi
atau role playing, diskusi, dan sejenisnya. Dalam hal ini, guru tidak banyak melakukan
intervensi. Peran guru hanya sebagai fasilitator, motivator dan guider. Sebagai
fasilitator, guru berusaha menciptakan dan menyediakan lingkungan belajar yang
kondusif bagi peserta didiknya. Sebagai motivator, guru berupaya untuk mendorong dan
menstimulasi peserta didiknya agar dapat melakukan perbuatan belajar. Sedangkan
sebagai guider, guru melakukan pembimbingan dengan berusaha mengenal para peserta
didiknya secara personal. Selanjutnya, dengan munculnya pembelajaran berbasis
teknologi yang menekankan pentingnya penguasaan kompetensi membawa implikasi
tersendiri dalam penentuan strategi pembelajaran. Meski masih bersifat penguasaan
materi atau kompetensi seperti dalam pendekatan klasik, tetapi dalam pembelajaran
teknologis masih dimungkinkan bagi peserta didik untuk belajar secara individual.
Dalam pembelajaran teknologis dimungkinkan peserta didik untuk belajar tanpa tatap
muka langsung dengan guru, seperti melalui internet atau media elektronik lainnya.
Peran guru dalam pembelajaran teknologis lebih cenderung sebagai director of learning,
yang berupaya mengarahkan dan mengatur peserta didik untuk melakukan perbuatan-
perbuatan belajar sesuai dengan apa yang telah didesain sebelumnya.
Berdasarkan uraian di atas, ternyata banyak kemungkinan untuk menentukan
strategi pembelajaran dan setiap strategi pembelajaran memiliki kelemahan dan
keunggulannya tersendiri. Terkait dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan,
belakangan ini mulai muncul konsep pembelajaran dengan isitilah PAKEM, yang
merupakan akronim dari Pembelajaran Aktif, Kreatif, Efektif dan Menyenangkan. Oleh
karena itu, dalam prakteknya seorang guru seyogyanya dapat mengembangkan strategi
pembelajaran secara variatif, menggunakan berbagai strategi yang memungkinkan siswa
untuk dapat melaksanakan proses belajarnya secara aktif, kreatif dan menyenangkan,
dengan efektivitas yang tinggi.

3.3.4. Organisasi Kurikulum


Beragamnya pandangan yang mendasari pengembangan kurikulum
memunculkan terjadinya keragaman dalam mengorgansiasikan kurikulum. Setidaknya
terdapat enam ragam pengorganisasian kurikulum, yaitu:
1. Mata pelajaran terpisah (isolated subject); kurikulum terdiri dari sejumlah mata
pelajaran yang terpisah-pisah, yang diajarkan sendiri-sendiri tanpa ada hubungan
dengan mata pelajaran lainnya. Masing-masing diberikan pada waktu tertentu dan
tidak mempertimbangkan minat, kebutuhan, dan kemampuan peserta didik, semua
materi diberikan sama
2. Mata pelajaran berkorelasi; korelasi diadakan sebagai upaya untuk mengurangi
kelemahan-kelemahan sebagai akibat pemisahan mata pelajaran. Prosedur yang
ditempuh adalah menyampaikan pokok-pokok yang saling berkorelasi guna
memudahkan peserta didik memahami pelajaran tertentu.
3. Bidang studi (broad field); yaitu organisasi kurikulum yang berupa pengumpulan
beberapa mata pelajaran yang sejenis serta memiliki ciri-ciri yang sama dan
dikorelasikan (difungsikan) dalam satu bidang pengajaran. Salah satu mata
pelajaran dapat dijadikan core subject, dan mata pelajaran lainnya dikorelasikan
dengan core tersebut.
4. Program yang berpusat pada anak (child centered), yaitu program kurikulum yang
menitikberatkan pada kegiatan-kegiatan peserta didik, bukan pada mata pelajaran.
5. Inti Masalah (core program), yaitu suatu program yang berupa unit-unit masalah,
dimana masalah-masalah diambil dari suatu mata pelajaran tertentu, dan mata
pelajaran lainnya diberikan melalui kegiatan-kegiatan belajar dalam upaya
memecahkan masalahnya. Mata pelajaran-mata pelajaran yang menjadi pisau
analisisnya diberikan secara terintegrasi.
6. Ecletic Program, yaitu suatu program yang mencari keseimbangan antara
organisasi kurikulum yang terpusat pada mata pelajaran dan peserta didik.
Berkenaan dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, tampaknya lebih
cenderung menggunakan pengorganisasian yang bersifat eklektik, yang terbagi ke
dalam lima kelompok mata pelajaran, yaitu : (1) kelompok mata pelajaran agama dan
akhlak mulia; (2) kelompok mata pelajaran kewarganegaraan dan kepribadian; (3)
kelompok mata pelajaran ilmu pengetahuan dan teknologi; (4) kelompok mata pelajaran
estetika; dan (5) kelompok mata pelajaran jasmani, olahraga dan kesehatan. Kelompok-
kelompok mata pelajaran tersebut selanjutnya dijabarkan lagi ke dalam sejumlah mata
pelajaran tertentu, yang disesuaikan dengan jenjang dan jenis sekolah. Di samping itu,
untuk memenuhi kebutuhan lokal disediakan mata pelajaran muatan lokal serta untuk
kepentingan penyaluran bakat dan minat peserta didik disediakan kegiatan
pengembangan diri.

3.3.5. Evaluasi Kurikulum


Evaluasi merupakan salah satu komponen kurikulum. Dalam pengertian
terbatas, evaluasi kurikulum dimaksudkan untuk memeriksa tingkat ketercapaian
tujuan-tujuan pendidikan yang ingin diwujudkan melalui kurikulum yang bersangkutan.
Sebagaimana dikemukakan oleh Wright bahwa : curriculum evaluation may be defined
as the estimation of growth and progress of students toward objectives or values of the
curriculum Sedangkan dalam pengertian yang lebih luas, evaluasi kurikulum
dimaksudkan untuk memeriksa kinerja kurikulum secara keseluruhan ditinjau dari
berbagai kriteria. Indikator kinerja yang dievaluasi tidak hanya terbatas pada efektivitas
saja, namun juga relevansi, efisiensi, kelaikan (feasibility) program. Sementara itu,
Hilda Taba menjelaskan hal-hal yang dievaluasi dalam kurikulum, yaitu meliputi ;
objective, its scope, the quality of personnel in charger of it, the capacity of students,
the relative importance of various subject, the degree to which objectives are
implemented, the equipment and materials and so on.
Pada bagian lain, dikatakan bahwa luas atau tidaknya suatu program evaluasi
kurikulum sebenarnya ditentukan oleh tujuan diadakannya evaluasi kurikulum. Apakah
evaluasi tersebut ditujukan untuk mengevaluasi keseluruhan sistem kurikulum atau
komponen-komponen tertentu saja dalam sistem kurikulum tersebut. Salah satu
komponen kurikulum penting yang perlu dievaluasi adalah berkenaan dengan proses
dan hasil belajar siswa. Agar hasil evaluasi kurikulum tetap bermakna diperlukan
persyaratan-persyaratan tertentu. Dengan mengutip pemikian Doll, dikemukakan syarat-
syarat evaluasi kurikulum yaitu acknowledge presence of value and valuing,
orientation to goals, comprehensiveness, continuity, diagnostics worth and validity and
integration.
Evaluasi kurikulum juga bervariasi, bergantung pada dimensi-dimensi yang
menjadi fokus evaluasi. Salah satu dimensi yang sering mendapat sorotan adalah
dimensi kuantitas dan kualitas. Instrumen yang digunakan untuk mengevaluasi diemensi
kuantitaif berbeda dengan dimensi kualitatif. Instrumen yang digunakan untuk
mengevaluasi dimensi kuantitatif, seperti tes standar, tes prestasi belajar, tes diagnostik
dan lain-lain. Sedangkan, instrumen untuk mengevaluasi dimensi kualitatif dapat
digunakan, questionnare, inventori, interview, catatan anekdot dan sebagainya
Evaluasi kurikulum memegang peranan penting, baik untuk penentuan kebijakan
pendidikan pada umumnya maupun untuk pengambilan keputusan dalam kurikulum itu
sendiri. Hasil-hasil evaluasi kurikulum dapat digunakan oleh para pemegang kebijakan
pendidikan dan para pengembang kurikulum dalam memilih dan menetapkan kebijakan
pengembangan sistem pendidikan dan pengembangan model kurikulum yang
digunakan. Hasil hasil evaluasi kurikulum juga dapat digunakan oleh guru-guru,
kepala sekolah dan para pelaksana pendidikan lainnya dalam memahami dan membantu
perkembangan peserta didik, memilih bahan pelajaran, memilih metode dan alat-alat
bantu pelajaran, cara penilaian serta fasilitas pendidikan lainnya. (disarikan dari Nana
Syaodih Sukmadinata, 1997)
Selanjutnya, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengemukakan tiga
pendekatan dalam evaluasi kurikulum, yaitu : (1) pendekatan penelitian (analisis
komparatif); (2) pendekatan obyektif; dan (3) pendekatan campuran multivariasi.
Di samping itu, terdapat beberapa model evaluasi kurikulum, diantaranya adalah Model
CIPP (Context, Input, Process dan Product) yang bertitik tolak pada pandangan bahwa
keberhasilan progran pendidikan dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti : karakteristik
peserta didik dan lingkungan, tujuan program dan peralatan yang digunakan, prosedur
dan mekanisme pelaksanaan program itu sendiri. Evaluasi model ini bermaksud
membandingkan kinerja (performance) dari berbagai dimensi program dengan sejumlah
kriteria tertentu, untuk akhirnya sampai pada deskripsi dan judgment mengenai
kekuatan dan kelemahan program yang dievaluasi. Model ini kembangkan oleh
Stufflebeam (1972) menggolongkan program pendidikan atas empat dimensi, yaitu :
Context, Input, Process dan Product. Menurut model ini keempat dimensi program
tersebut perlu dievaluasi sebelum, selama dan sesudah program pendidikan
dikembangkan. Penjelasan singkat dari keempat dimensi tersebut adalah, sebagai
berikut :
1. Context; yaitu situasi atau latar belakang yang mempengaruhi jenis-jenis tujuan dan
strategi pendidikan yang akan dikembangkan dalam program yang bersangkutan,
seperti : kebijakan departemen atau unit kerja yang bersangkutan, sasaran yang
ingin dicapai oleh unit kerja dalam kurun waktu tertentu, masalah ketenagaan yang
dihadapi dalam unit kerja yang bersangkutan, dan sebagainya.
2. Input; bahan, peralatan, fasilitas yang disiapkan untuk keperluan pendidikan, seperti
: dokumen kurikulum, dan materi pembelajaran yang dikembangkan, staf pengajar,
sarana dan pra sarana, media pendidikan yang digunakan dan sebagainya.
3. Process; pelaksanaan nyata dari program pendidikan tersebut, meliputi :
pelaksanaan proses belajar mengajar, pelaksanaan evaluasi yang dilakukan oleh
para pengajar, penglolaan program, dan lain-lain.
4. Product; keseluruhan hasil yang dicapai oleh program pendidikan, mencakup :
jangka pendek dan jangka lebih panjang.
3.4. PRINSIP-PRINSIP PENGEMBANGAN KURIKULUM
Pengembangan kurikulum adalah istilah yang komprehensif, didalamnya
mencakup: perencanaan, penerapan dan evaluasi. Perencanaan kurikulum adalah
langkah awal membangun kurikulum ketika pekerja kurikulum membuat keputusan dan
mengambil tindakan untuk menghasilkan perencanaan yang akan digunakan oleh guru
dan peserta didik. Penerapan Kurikulum atau biasa disebut juga implementasi
kurikulum berusaha mentransfer perencanaan kurikulum ke dalam tindakan operasional.
Evaluasi kurikulum merupakan tahap akhir dari pengembangan kurikulum untuk
menentukan seberapa besar hasil-hasil pembelajaran, tingkat ketercapaian program-
program yang telah direncanakan, dan hasil-hasil kurikulum itu sendiri. Dalam
pengembangan kurikulum, tidak hanya melibatkan orang yang terkait langsung dengan
dunia pendidikan saja, namun di dalamnya melibatkan banyak orang, seperti : politikus,
pengusaha, orang tua peserta didik, serta unsur unsur masyarakat lainnya yang merasa
berkepentingan dengan pendidikan. Prinsip-prinsip yang akan digunakan dalam
kegiatan pengembangan kurikulum pada dasarnya merupakan kaidah-kaidah atau
hukum yang akan menjiwai suatu kurikulum. Dalam pengembangan kurikulum, dapat
menggunakan prinsip-prinsip yang telah berkembang dalam kehidupan sehari-hari atau
justru menciptakan sendiri prinsip-prinsip baru. Oleh karena itu, dalam implementasi
kurikulum di suatu lembaga pendidikan sangat mungkin terjadi penggunaan prinsip-
prinsip yang berbeda dengan kurikulum yang digunakan di lembaga pendidikan lainnya,
sehingga akan ditemukan banyak sekali prinsip-prinsip yang digunakan dalam suatu
pengembangan kurikulum.
Dalam hal ini, Nana Syaodih Sukmadinata (1997) mengetengahkan prinsip-
prinsip pengembangan kurikulum yang dibagi ke dalam dua kelompok : (1) prinsip
prinsip umum : relevansi, fleksibilitas, kontinuitas, praktis, dan efektivitas; (2) prinsip-
prinsip khusus : prinsip berkenaan dengan tujuan pendidikan, prinsip berkenaan dengan
pemilihan isi pendidikan, prinsip berkenaan dengan pemilihan proses belajar mengajar,
prinsip berkenaan dengan pemilihan media dan alat pelajaran, dan prinsip berkenaan
dengan pemilihan kegiatan penilaian. Sedangkan Asep Herry Hernawan dkk (2002)
mengemukakan lima prinsip dalam pengembangan kurikulum, yaitu:
1. Prinsip Relevansi; secara internal bahwa kurikulum memiliki relevansi di antara
komponen-komponen kurikulum (tujuan, bahan, strategi, organisasi dan evaluasi).
Sedangkan secara eksternal bahwa komponen-komponen tersebutmemiliki
relevansi dengan tuntutan ilmu pengetahuan dan teknologi (relevansi
epistomologis), tuntutan dan potensi peserta didik (relevansi psikologis) serta
tuntutan dan kebutuhan perkembangan masyarakat (relevansi sosilogis).
2. Prinsip Fleksibilitas; dalam pengembangan kurikulum mengusahakan agar yang
dihasilkan memiliki sifat luwes, lentur dan fleksibel dalam pelaksanaannya,
memungkinkan terjadinya penyesuaian-penyesuaian berdasarkan situasi dan
kondisi tempat dan waktu yang selalu berkembang, serta kemampuan dan latar
bekang peserta didik.
3. Prinsip Kontinuitas; yakni adanya kesinambungandalam kurikulum, baik secara
vertikal, maupun secara horizontal. Pengalaman-pengalaman belajar yang
disediakan kurikulum harus memperhatikan kesinambungan, baik yang di dalam
tingkat kelas, antar jenjang pendidikan, maupun antara jenjang pendidikan dengan
jenis pekerjaan.
4. Prinsip Efisiensi; yakni mengusahakan agar dalam pengembangan kurikulum
dapat mendayagunakan waktu, biaya, dan sumber-sumber lain yang ada secara
optimal, cermat dan tepat sehingga hasilnya memadai.
5. Prinsip Efektivitas; yakni mengusahakan agar kegiatan pengembangan kurikulum
mencapai tujuan tanpa kegiatan yang mubazir, baik secara kualitas maupun
kuantitas.
Terkait dengan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan, terdapat
sejumlah prinsip-prinsip yang harus dipenuhi, yaitu :
1. Berpusat pada potensi, perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik
dan lingkungannya. Kurikulum dikembangkan berdasarkan prinsip bahwa peserta
didik memiliki posisi sentral untuk mengembangkan kompetensinya agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang
demokratis serta bertanggung jawab. Untuk mendukung pencapaian tujuan tersebut
pengembangan kompetensi peserta didik disesuaikan dengan potensi,
perkembangan, kebutuhan, dan kepentingan peserta didik serta tuntutan
lingkungan.
2. Kurikulum dikembangkan dengan memperhatikan keragaman karakteristik peserta
didik, kondisi daerah, dan jenjang serta jenis pendidikan, tanpa membedakan
agama, suku, budaya dan adat istiadat, serta status sosial ekonomi dan gender.
Kurikulum meliputi substansi komponen muatan wajib kurikulum, muatan lokal,
dan pengembangan diri secara terpadu, serta disusun dalam keterkaitan dan
kesinambungan yang bermakna dan tepat antarsubstansi.
3. Tanggap terhadap perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni. Kurikulum
dikembangkan atas dasar kesadaran bahwa ilmu pengetahuan, teknologi dan seni
berkembang secara dinamis, dan oleh karena itu semangat dan isi kurikulum
mendorong peserta didik untuk mengikuti dan memanfaatkan secara tepat
perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni.
4. Relevan dengan kebutuhan kehidupan. Pengembangan kurikulum dilakukan dengan
melibatkan pemangku kepentingan (stakeholders) untuk menjamin relevansi
pendidikan dengan kebutuhan kehidupan, termasuk di dalamnya kehidupan
kemasyarakatan, dunia usaha dan dunia kerja. Oleh karena itu, pengembangan
keterampilan pribadi, keterampilan berpikir, keterampilan sosial, keterampilan
akademik, dan keterampilan vokasional merupakan keniscayaan.
5. Menyeluruh dan berkesinambungan. Substansi kurikulum mencakup keseluruhan
dimensi kompetensi, bidang kajian keilmuan dan mata pelajaran yang direncanakan
dan disajikan secara berkesinambungan antarsemua jenjang pendidikan.
6. Belajar sepanjang hayat. Kurikulum diarahkan kepada proses pengembangan,
pembudayaan dan pemberdayaan peserta didik yang berlangsung sepanjang hayat.
Kurikulum mencerminkan keterkaitan antara unsur-unsur pendidikan formal,
nonformal dan informal, dengan memperhatikan kondisi dan tuntutan lingkungan
yang selalu berkembang serta arah pengembangan manusia seutuhnya.
7. Seimbang antara kepentingan nasional dan kepentingan daerah. Kurikulum
dikembangkan dengan memperhatikan kepentingan nasional dan kepentingan
daerah untuk membangun kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Kepentingan nasional dan kepentingan daerah harus saling mengisi dan
memberdayakan sejalan dengan motto Bhineka Tunggal Ika dalam kerangka
Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Pemenuhan prinsip-prinsip di atas itulah yang membedakan antara penerapan
satu Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan dengan kurikulum sebelumnya, yang justru
tampaknya sering kali terabaikan. Karena prinsip-prinsip itu boleh dikatakan sebagai
ruh atau jiwanya kurikulum. Dalam mensikapi suatu perubahan kurikulum, banyak
orang lebih terfokus hanya pada pemenuhan struktur kurikulum sebagai jasad dari
kurikulum . Padahal jauh lebih penting adalah perubahan kutural (perilaku) guna
memenuhi prinsip-prinsip khusus yang terkandung dalam pengembangan kurikulum.
Disamping itu, Pengembangan kurikulum dapat dilakukan melalui dua pendekatan yaitu
: (1) pendekatan top-down the administrative model dan (2) the grass root model.
1. The administrative model;
Model ini merupakan model pengembangan kurikulum yang paling lama dan paling
banyak digunakan. Gagasan pengembangan kurikulum datang dari para administrator
pendidikan dan menggunakan prosedur administrasi. Dengan wewenang
administrasinya, membentuk suatu Komisi atau Tim Pengarah pengembangan
kurikulum. Anggotanya, terdiri dari pejabat di bawahnya, para ahli pendidikan, ahli
kurikulum, ahli disiplin ilmu, dan para tokoh dari dunia kerja dan perusahaan. Tugas
tim ini adalah merumuskan konsep-konsep dasar, landasan-landasan, kebijaksanaan
dan strategi utama dalam pengembangan kurikulum. Selanjutnya administrator
membentuk Tim Kerja terdiri dari para ahli pendidikan, ahli kurikulum, ahli disiplin
ilmu dari perguruan tinggi, dan guru-guru senior, yang bertugas menyusun kurikulum
yang sesungguhnya yang lebih operasional menjabarkan konsep-konsep dan
kebijakan dasar yang telah digariskan oleh Tim pengarah, seperti merumuskan
tujuan-tujuan yang lebih operasional, memilih sekuens materi, memilih strategi
pembelajaran dan evaluasi, serta menyusun pedoman-pedoman pelaksanaan
kurikulum bagi guru-guru. Setelah Tim Kerja selesai melaksanakan tugasnya,
hasilnya dikaji ulang oleh Tim Pengarah serta para ahli lain yang berwenang atau
pejabat yang kompeten. Setelah mendapatkan beberapa penyempurnaan dan dinilai
telah cukup baik, administrator pemberi tugas menetapkan berlakunya kurikulum
tersebut. Karena datangnya dari atas, maka model ini disebut juga model Top
Down. Dalam pelaksanaannya, diperlukan monitoring, pengawasan dan bimbingan.
Setelah berjalan beberapa saat perlu dilakukan evaluasi.
2. The grass root model;
Model pengembangan ini merupakan lawan dari model pertama. Inisiatif dan upaya
pengembangan kurikulum, bukan datang dari atas tetapi dari bawah, yaitu guru-guru
atau sekolah. Model pengembangan kurikulum yang pertama, digunakan dalam
sistem pengelolaan pendidikan/kurikulum yang bersifat sentralisasi, sedangkan
model grass roots akan berkembang dalam sistem pendidikan yang bersifat
desentralisasi. Dalam model pengembangan yang bersifat grass roots seorang guru,
sekelompok guru atau keseluruhan guru di suatu sekolah mengadakan upaya
pengembangan kurikulum. Pengembangan atau penyempurnaan ini dapat berkenaan
dengan suatu komponen kurikulum, satu atau beberapa bidang studi ataupun seluruh
bidang studi dan seluruh komponen kurikulum. Apabila kondisinya telah
memungkinkan, baik dilihat dari kemampuan guru-guru, fasilitas biaya maupun
bahan-bahan kepustakaan, pengembangan kurikulum model grass root tampaknya
akan lebih baik. Hal itu didasarkan atas pertimbangan bahwa guru adalah perencana,
pelaksana, dan juga penyempurna dari pengajaran di kelasnya. Dialah yang paling
tahu kebutuhan kelasnya, oleh karena itu dialah yang paling kompeten menyusun
kurikulum bagi kelasnya. Pengembangan kurikulum yang bersifat grass roots,
mungkin hanya berlaku untuk bidang studi tertentu atau sekolah tertentu, tetapi
mungkin pula dapat digunakan untuk seluruh bidang studi pada sekolah atau daerah
lain. Pengembangan kurikulum yang bersifat desentralistik dengan model grass
rootsnya, memungkinkan terjadinya kompetisi dalam meningkatkan mutu dan sistem
pendidikan, yang pada gilirannya akan melahirkan manusia-manusia yang lebih
mandiri dan kreatif. Terkait dengan pengembangan Kurikulum Tingkat Satuan
Pendidikan, tampaknya lebih cenderung dilakukan dengan menggunakan pendekatan
the grass-root model. Kendati demikian, agar pengembangan kurikulum dapat
berjalan efektif tentunya harus ditopang oleh kesiapan sumber daya, terutama sumber
daya manusia yang tersedia di sekolah.

3.5. FUNGSI KURIKULUM


Setiap lembaga pendidikan formal maupun nonfomal dalam
penyelenggaraan kegiatan sehari-harinya berlandaskan kurikulum-kurikulum itu
sendiri dalam hal ini dapat berupa : (1). Rancangan kurikulum, yaitu buku kurikulum
suatu lembaga pendidikan; (2) Pelaksanann kurikulum, yaitu proses pendidikan untuk
mencapai tujuan pendidikan ; dan (3). Evaluasi kurikulum, yaitu penilaian atau
penelitian basil-hasil pendidikan. Dengan lingkup pendidikan formal. kegiatan
merancang melaksanakan dan menitai kurikulum tersebut, yaitu yang dimaksudkan
untuk mencapai tujuan pendidikan, dilaksanakan sebagai program pengajaran.
Berbicara masalah fungsi kurikulum kita dapat meninjaunya dari tiga segi, yaitu
fungsi bagi sekolah yang bersangkutan, bagi sekolah pada tingkat diatasnya dan fungsi
bagi masyarakat (Winarno Surahmad ; 1996).
1. Fungsi Bagi Sekolah Yang Bersangkutan
Fungsi kurikulum bagi sekolah yang bersangkutan ini paling tidak dapat disebutkan
dua macam. Pertama, sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan yang
diinginkan. Manifestasi kurikulum dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah
adalah berupa program pengajaran. Program pengajaran itu sendiri merupakan
suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen yang kesemuanya dimaksudkan
sebagai uapaya untuk mencapai tujuan pendidikan. Tujuan pendidikan yang akan
dicapai tersebut disusun secara berjenjang mulai dart tujuan pendidikan yang
bersifat nasional sampai tujuan instruksional. Jika tujuan instruksional tercapai
(hasilnya langsung dapat diukur melalui kegiatan belajar mengajar di kelas) pada
gilirannya akan tercapai pula tujuan-tujuan pada jenjang diatasnya. Setiap
kurikulum sekolah pasti didalamnya tereantum tujuan-tujuan pendidikan yang akan
atau harus dicapai melalui kegiatan pengajaran. Kedua, kurikulum dijadikan
pedoman untuk mengatur kegiatn-kegiatan pendidikan yang dilaksanakan di
sekolah. Dalam pelaksanaan pengajaran misalnya, telah ditentukan macam-
macam bidang studi, alokasi waktu, pokok bahasan atau materi pengajamn untuk
tiap semester, sumber bahan, metode atau cara pengajaran, alat dan media
pengajaran yang diperlukan. Disamping itu. kurikulum juga mengatur hal-hal
yang berhubungan dengan jenis program cara penyelenggaraan, strategi
pelaksanaan, penanggung jawab, sua dan prasarana dan sebagainya.
2. Fungsi Bagi Sekolah Tingkat Diatasnya
Dalam hal ini kurikulum dapat untuk mengontrol atau memelihara keseimbangan
proses pendidikan. Dengan mengetahui kurikulum sekolah pada tingkat tertentu,
maka kurikulum pada tingkat diatasnya dapat mengadakan penyesuaian Misalnya
saja, jika suatu bidang studi telah diberikan pada kurikulum sekolah ditingkat
bawahnya, harus dipertimbangkan lagi pemilihannya pada kurikulum, sekolah
tingkatan diatasnya terutama dalam hal pemulihan bahan pengajaran. Penyesuaian
bahan tersebut dimaksudkan untuk menghindari keterulangan penyampaian yang
bisa berakibat pemborosan waktu dan yang lebih penting lagi adalah untuk
menjaga kesinambungan bahan pengajaran itu. Disamping itu, terdapat juga
kurikulum yang berfungsi untuk menyiapkan tenaga pengajar. Bila satu sekolah
atau lembaga pendidikan bertujuan menghasilkan tenaga guru (LPTK),. Maka
lembaga tersebut harus mengetahui kurikulum sekolah pada tingkat dibawahnya
tempat calon guru yang dipersiapkan itu akan mengaju. Misalnya murid SPG
harus mengetabui kurikulum SD, mahasiswa IKIP/FKG harus menguasai
kurikulum kurikulum SMTP dan SMTA. Jika di SD, SMP dan SMA kegiatw
pengajaran disampaikan dengan sistem PPSI, maka sekolah-sekolah yang
bertugas mengadakan guru untuk sekolah-sekolah tersebut harus membekali
calon-calonnya dengan kemampuan menurut PPSI.
3. Fungsi Bagi Masyarakat
Pada tamatan sekolah memang dipersiapkan untuk terjun dimasyarakat atau
tugasnya untuk bekerja sesuai dengan keterampilan profesi yang dimilikinya.
Oleh karena itu, kurikulum sekolah haruslah mengetahui atau mencerminkan hal-
hal yang menjadi kebutuhan masyarakat atau para pemakai keluaran sekolah.
Untuk keperluan itu perlu ada kerja sama antara piliak sekolah dengan pihak luar
dalam hal pemberrahan kurikulum yang diharapkan. Dengan demikian,
masyarakat atau para pemakai lulusan sekolah dapat memberikan bantuan, kritik
atau saran-saran yang berguna bagi penyempumaan program pendidikan di
sekolah. Dewasa ini kesesuaian antara program kurikulum dengan kebutuhan
masyarakat harus benar-benar diusahakan. Hal itu mengingat seringnya terjadi
kenyataan balwa lulusan selsolah halum siap pakai atau tidak sesuai dengan
tenaga yang dibutuhkan dalm lapangan pekerjaan. Akibatnya, walau semakin
menumpuk tenaga kerja yang ada, kita tak dapat mengisi lapangan pekerjaan yang
tersedia karena tidak memiliki keterampilan atau keterampilan yang dimilikinya
tidak sesuai dengan yang dibutuhkan pada lapangan pekerjaan. Untuk mengatasi
kesenjangan tersebut, ada seorang tokoh pendidikan yang mengemukakan agar
sekolah tingluat SD sudah dibuat menjadi dua jalur, yaitu jalur akademis
(dipersiapkan untuk melanjutkan sekolah) dan jalur vokasional (dipersiapkan
untuk segera bekerja). Hal itu berdasarkan kenyataan penelitian bahwa masih
sebagian besar anak tamatan SD yang tidak meneruskan pendidikan ke tingkat di
atasnya. Sering terjadi karena suatu tingkat keterampilan yang dibutuhkan dalam
suatu tingkat pekerjaan, maka hal itu segera diajarkan di sekolah. Sebagai contoh
hal yang berhubungan dengan keguruan misalnya dapat disebutkan perabekalan
keterampilan menibuat satuan pelajaran. Pada waktu itu, yaitu permulann
diterapkannya PPSI dalam sistem pengajaran di Indonesia sesuai dengan tuntutan
kurikulum '75, calon guru segera diberi keterampilan membuatnya (sekarang
Model Perencanaan Pengajaran). Boleh dikatakan bahwa pembekalan atau
pengajaran keterampilan tersebut semata-mata disebabkan tuntutan pekerjaan
kelak. Penyiapan keterampilan para tamatan sekolah untuk bakal terjun di
masyarakat kerja, juga ditentukan oleh suatu misi sekolah, apakah ia sekolah
umum atau kejuruan. Misi suatu sekolah apakah ia bertugas mempersiapkan
tamatannya untuk meneruskan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi (jalur
akademis), atau untuk bekerja (jaIur vokasional), atau untuk kedua-duanya, akan
mewamai pendidikan keterampilan yang diajarkan oleh pibak sekolah yang
bersangkutan. Dengan adanya hal itu, para pemakai lulusan sekolah tentunya
sudah tanggap, Julusan dengan keterampilan mana (atau apa) yang mereka
butuhkan dan itu harus dialamatkan pada sekolah yang sesui dengan misinya.

3.6. PERKEMBANGAN DAN PERUBAHAN KURIKULUM DI INDONESIA


Dalam sejarah penggunaan kurikulum di Indonesia setelah merdeka, ada
sepuluh kurikulum yang pernah dipakai yaitu kurikulum pasca kemerdekaan 1947,
1949, 1952, 1964, 1968, 1975, 1984, 1994, dan KBK yang disempurnakan menjadi
kurikulum KTSP atau Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Pada setiap periode
kurikulum yang pernah diberlakukan tersebut model konsep kurikulum yang digunakan,
prinsip dan kebijakan pengembangan yang digunakan, serta jumlah jenis mata pelajaran
berikut kedalaman dan keluasannya tidak sama. Variabilitas kurikulum yang digunakan
berimplikasi terhadap variabilitas penuangan mata pelajaran yang harus dipelajari.
Secara umum bisa dijelaskan karena adanya substansi determinan atau landasan
kurikulum yang digunakan tidak sama. Meskipun unsur-unsur umum determinan
kurikulum itu sama yaitu faktor filosofis, sosiologis, psikologis, dan ilmu pengetahuan
dan teknologi, namun pada setiap masa memiliki suatu kecederungan tersendiri yang
menjadi warna dominan dari kurikulum itu sendiri, sebagai alat pencapaian tujuan
pendidikan. Perbedaan ini juga turut menentukan mata pelajaran apa saja yang harus
dipelajari, juga prinsip-prinsip cara mempelajari mata pelajaran yang ada dalam struktur
kurikulum yang bersangkutan.
Landasan filosofis, berkaitan dengan pandangan hidup negara. Filosofis negara
ini akan mengarahkan pada penentuan tujuan umum pendidikan nasional. Perbedaan
filosofis negara, atau adanya perbedaan konsistensi pengamalan nilai-nilai filosifis akan
mempengaruhi filsafat pendidikian dan filsafat kurikulum yang digunakan. Tentu ini
pun akan mengarah pada susunan mata pelajaran yang harus dipelajari. Landasan
sosiologis, berkaitan dengan sistem nilai, norma, adat isitiadat, tata aturan
bermasyarakat dan bernegara juga berpengaruh terhadap penggunaan sistem kurikulum.
Dalam aspek sosiologis di dalamnya adalah sistem politik yang berlaku, ikut
menentukan tentang apa yang harus dipelajari, kedalaman dan keluasannya, serta teknis
pengembangannya. Contoh ketika sistem politik negara menggunakan sistem
sentralistik, maka pengembangan kurikulum didominasi oleh pemerintah pusat, kurang
atau bahkan mungkin tidak melibatkan pemerintah daerah atau guru sama sekali.
Namun ketika sistem politik berubah menjadi desetralisasi, kebijakan pengembangan
kurikulum pun berubah, yang tadinya terpusat sebagian didesentralisasikan ke daerah
(pemerintah daerah dan sekolah, guru). Contoh lainnya, terdapat perbedaan kurikulum,
jenis dan jumlah mata pelajaran antara negara yang demokratis dan negara yang tidak
terlalu menonjolkan demokratis. Bahkan sesama negara demokratis pun masih terdapat
variabilitas. Determinan berikutnya yaitu unsur psikologis. Situasi kondisi sasaran
kurikulum ikut mempengaruhi konsep dan model kurikulum. Akan terdapat perbedaan
mata pelajaran, setidaknya tingkat kesulitan dan cakupannya, antara jenjang pendidikan
satu dengan lainnya. Antara pendidikan normal dan pendidikan luar biasa. Selain dari
pada itu, pandangan psikologi atas bagaimana manusia belajar bermacam-macam, di
antaranya ada behavioristik, kognitivistik, dan konstruktivistik. Ketiga jenis pandangan
tersebut berbeda antara satu dengan yang lainnya. Penggunaan salah satu dari tiga
pandangan atas belajar di atas, akan berpengaruh terhadap apa yang harus dipelajari dan
bagaimana cara mempelajarinya. Determinan terakhir yaitu bidang ilmu pengetahuan
dan teknologi. Termasuk di dalamnya ilmu pengetahuan dan teknologi kurikulumnya itu
sendiri. Kemajuan IPTEK akan melahirkan tuntutan untuk mempelajari IPTEK
kontemporer. IPTEK kontemporer memiliki karakteristik tersendiri tentang bagaimana
cara untuk mempelajarinya.
Uraian di atas, menjelaskan kepada kita bahwa perkembangan mata pelajaran
dipengaruhi oleh model konsep kurikulum yang digunakan. Suatu jenis model
kurikulum itu sendiri memiliki karakteristik disain (tujuan, materi, strategi, dan
evaluasi) tersendiri. Di bawah ini tabel perbandingan jurusan dan mata pelajaran yang
hilang dan muncul pada kurikulum kurikulum 1964 sampai dengan KTSP.
Tabel 1 : Perbandingan Jurusan dan Mata Pelajaranyang Hilang dan Muncul pada
Kurikulum 1964 sampai dengan KTSP (Belen, 2007)
Jurusan yang Jurusan yang Mapel yang Mapel yang
No. Kurikulum
hilang muncul hilang muncul
Jurusan Budaya
1 1964 Prakarya
SMA
Matematika
Pendidikan
2 1968 Berhitung Kesehatan
Keluarga
Kecakapan Khusus
Muncul Broadfield:
SMA: Jurusan Matematika, IPA,
Bahasa Indonesia
IPA, IPS, Bahasa. IPS Bahasa
Jurusan Tulisan Arab
3 1975 Jurusan Budaya Indonesia, Civics
Budaya SMA Bahasa Jawa
menjadi jurusan menjadi PMP
Kuno
bahasa (Pendidikan Moral
Pancasila)
SMA: Program B
Tata Buku.
(Vokasional) tak
Pendidikan
dilaksanakan. Akuntansi,
Keterampilan
Jurusan IPS dan Sosiologi,
dan Pendidikan
Bahasa tetap. Pendidikan Sejarah
Seni tergabung
Jurusan IPA di Perjuangan Bangsa
menjadi
4 1984 bagi dua: Jurusan (PSPB), Tata
Pendidikan
ilmu-ilmu fisik Negara, Muatan
Kertakes.
dan jurusan ilmu- Lokal,
Pada Pendidikan
ilmu hayati. Keterampilan,
Bahasa Indonesia
Jurusan Agama Budaya.
dikenalkan
untuk Madrasah
Pragmatic.
Aliyah.
Tata buku, PMP menjadi
Program B Pendidikan PPKn. B. Indonesia
SMA, Keterampilan dan B. Inggris
Jurusan Ilmu- dan Pendidikan menggunakan
Penjurusan di
ilmu Fisik Seni tergabung communicative
5 1994 kelas 3 SMA:
dan Ilmu- menjadi kertakes.approach. Muncul
IPA, IPS, Bahasa.
ilmu Hayati Pada Pendidikan bahasa Jepang dan
digabung ke Bahasa Indonesia Mandarin.
jurusan IPA. dikenalkan Muatan Lokal di
Pragmatic SD dan SMP.
6 KBK Jurusan Penjurusan PPKn menjadi Bahasa Inggris SD
Agama SMA kembali ke kelas PKn. Di SMA dan Komputer SD
2 SMA. Antropologi menjadi pilihan.
Tematik untuk digabungkan ke ICT di SMA.
kelas I dan II SD. Sosiologi. Diberi Konsep Kimia
dimasukkan ke
jam untuk
IPA. Konsep
pembiasaan di
Sosiologi
SD dan SMP.
dimasukkan ke
Muatal lokal tak
IPS. Pembiasaan di
ditangani.
SD dan SMP.
Antropologi
terpisah dari
Sosiologi di SMA.
IPA dan IPS
terpadu di SMP.
Muatan Lokal
Tematik kelas I-
7 KTSP dihidupkan lagi
III SD.
bahkan sampai
SMA.
Pengembangan
Diri (Pembiasaan)
bahkan sampai
SMA.

Kenapa kurikulum harus berubah? demikian pertanyaan yang kerapkali


dilontarkan orang, ketika menanggapi terjadinya perubahan kurikulum yang terjadi di
Indonesia. Jawabannya pun sangat beragam, bergantung pada persepsi dan tingkat
pemahamannya masing-masing. Sepanjang sejarahnya, di Indonesia telah mengalami
beberapa kali perubahan hingga ada kesan di masyarakat bahwa ganti menteri, ganti
kurikulum. Perubahan kurikulum pada dasarnya memang dibutuhkan manakala
kurikulum yang berlaku (current curriculum) dipandang sudah tidak efektif dan tidak
relevan lagi dengan tuntutan dan perkembangan jaman dan setiap perubahan akan
mengandung resiko dan konsekuensi tertentu. Perubahan kurikulum yang berskala
nasional memang kerapkali mengundang sejumlah pertanyaan dan perdebatan,
mengingat dampaknya yang sangat luas serta mengandung resiko yang sangat besar,
apalagi kalau perubahan itu dilakukan secara tiba-tiba dan dalam waktu yang singkat
serta tanpa dasar yang jelas.
Namun dalam konteks KTSP, perubahan kurikulum pada tingkat sekolah justru
perlu dilakukan secara terus menerus. Dalam hal ini, perubahan tentunya tidak harus
dilakukan secara radikal dan menyeluruh, namun bergantung kepada data hasil evaluasi.
Mungkin cukup hanya satu atau beberapa aspek saja yang perlu dirubah. Kita maklumi
bahwa semenjak pertama kali diberlakukan KTSP yang terkesan mendadak, kegiatan
pengembangan kurikulum di sekolah sangat mungkin diawali dengan keterpaksaan
demi mematuhi ketentuan yang berlaku, sehingga model yang dikembangkan mungkin
saja belum sepenuhnya menggambarkan kebutuhan dan kondisi nyata sekolah. Oleh
karena itu, untuk memperoleh model kurikulum yang sesuai, tentunya dibutuhkan
perbaikan perbaikan yang secara terus-menerus berdasarkan data evaluasi, hingga
pada akhirnya dapat ditemukan model kurikulum yang lebih sesuai dengan karakteristik
dan kondisi nyata sekolah. Justru akan menjadi sesuatu yang aneh dan janggal, kalau
saja suatu sekolah semenjak awal memberlakukan KTSP hingga ke depannya tidak
pernah melakukan perubahan-perubahan apapun. Hampir bisa dipastikan sekolah yang
demikian, sama sekali tidak menunjukkan perkembangan alias stagnan.
Oleh karena itu, dalam rangka menemukan model kurikulum yang sesuai di
sekolah, seyogyanya di sekolah dibentuk tim pengembang kurikulum tingkat sekolah
yang bertugas untuk memanage kurikulum di sekolah. Memang saat ini, di sekolah-
sekolah sudah ditunjuk petugas khusus yang menangani kurikulum (biasanya dipegang
oleh wakasek kurikulum). Namun pada umumnya mereka cenderung disibukkan dengan
tugas -tugas yang hanya bersifat rutin dan teknis saja, seperti membuat jadwal pelajaran,
melaksanakan ulangan umum atau kegiatan yang bersifat rutin lainnya. Usaha untuk
mendesain, mengimplementasikan, dan mengevaluasi serta mengembangan kurikulum
yang lebih inovatif tampaknya kurang begitu diperhatikan. Dengan adanya Tim
Pengembang Kurikulum di sekolah maka kegiatan manajemen kurikulum mungkin akan
jauh lebih terarah, sehingga pada gilirannya pendidikan di sekolah pun akan jauh lebih
efektif dan efisien.

3.7. PENGELOLAAN KURIKULUM SEKOLAH STANDAR NASIONAL


Pasal 1 butir 19 Undang-undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem
Pendidikan Nasional menjelaskan bahwa kurikulum adalah seperangkat rencana dan
pengaturan mengenai tujuan, isi dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai
pedoman menyelenggarakan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan
tertentu. Kurikulum nasional yang bersifat minimal pada dasarnya dapat dimodifikasi
untuk melayani kebutuhan siswa yang memiliki kecerdasan dan kemampuan luar biasa.
Namun, pada kenyataannya masih terdapat dua kendala yaitu : 1) Sekolah menjalankan
kurikulum nasional yang bersifat minimal tanpa mengolah dan memodifikasi kurikulum
guna melayani kebutuhan peserta didik tertentu yang berhak memperoleh pendidikan
khusus. 2) ketentuan yang ada belum mengakomodir kebutuhan peserta didik yang
berhak memperoleh pendidikan khusus. Dengan demikian SKM/SSN di SMA adalah
kurikulum SMA yang disusun berdasarkan SI dan SKL yang berlaku secara nasional,
sehingga lulusan SKM/SSN memiliki kualifikasi dan standar kompetensi sesuai dengan
standar nasional pendidikan. Setiap guru yang mengajar di Sekolah Kategori
Mandiri/Sekolah Standar Nasional perlu terlebih dulu melakukan analisis materi
pelajaran untuk menentukan sifat materi yang esensial dan kurang. Suatu materi
dikatakan memiliki konsep esensial bila memenuhi unsur kreteria berikut ini : (1)
Konsep dasar, (2) Konsep yang menjadi dasar untuk konsep berikut, (3) Konsep yang
berguna untuk aplikasi, (4) Konsep yang sering muncul pada Ujian Akhir (Munandar,
2001).
Berdasarkan paparan di atas dapat dikemukakan bahwa kurikulum dan materi
pelajaran yang digunakan dalam penyelenggaraan SKM/SSN adalah kurikulum yang
disusun satuan pendidikan dengan pengorganisasian materi kurikulum dibuat menjadi
materi umum/wajib dan materi khusus/pilihan. Bentuk pengelolaan yang sesuai dengan
uraian di atas adalah kurikulum yang disusun menggunakan pendekatan satuan kredit
semester. Pada penerapan SKS, kurikulum dan beban belajar peserta didik dinyatakan
dalam satuan kredit semester (SKS). Mata pelajaran dikelompokkan menjadi tiga, yaitu
mata pelajaran umum (MPU), mata pelajaran dasar (MPD), dan mata pelajaran pilihan
(MPP). MPU harus diambil oleh semua peserta didik sebagai proses pembentukan
pribadi yang memiliki akhlak mulia, kepribadian, estetika, jasmani yang sehat, dan jiwa
sebagai warganegara yang baik. MPD harus diambil peserta didik sebagai landasan
menguasai semua bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. MPP adalah sejumlah mata
pelajaran yang disusun menjadi program bidang tertentu yang dipilih sesuai dengan
minat, potensi dan kebutuhan serta orientasi bidang studi di perguruan tinggi. Namun,
mata pelajaran dari program tertentu boleh juga diambil oleh peserta didik yang telah
memilih program lain untuk memperkaya bidang karirnya.
BAGIAN 4
KONSEP PENDEKATAN, STRATEGI, METODE,
TEKNIK, TAKTIK DAN MODEL PEMBELAJARAN

PENDAHULUAN
Dalam proses pembelajaran dikenal beberapa istilah yang memiliki kemiripan
makna, sehingga seringkali orang merasa bingung untuk membedakannya. Istilah-istilah
tersebut adalah: (1) Pendekatan Pembelajaran, (2) Strategi Pembelajaran, (3) Metode
Pembelajaran, (4) Teknik Pembelajaran, (5) Taktik Pembelajaran, dan (6) Model
Pembelajaran. Berikut ini akan dipaparkan pengertian istilah istilah tersebut, dengan
harapan dapat memberikan kejelasan tentang penggunaan istilah tersebut.

4.1. PENDEKATAN PEMBELAJARAN


Pendekatan adalah sebagai titik tolak atau sudut pandang kita terhadap proses
pembelajaran. Pendekatan ini masih bersifat umum, strategi dan metode yang digunakan
dapat bersumber atau tergantung dari pendekatan tertentu. Contoh pendekatan yang
berpusat pada guru (teacher centre), pendekatan ini menurunkan strategi pembelajaran
langsung, strategi pembelajaran deduktif atau strategi pembelajaran ekspositori.
Pendekatan pembelajaran merupakan jalan yang akan ditempuh oleh guru dan siswa
dalam mencapai tujuan pembelajaran. Pendekatan pembelajaran juga merupakan
aktivitas guru di dalam memilih kegiatan pembelajaran, apakah guru akan menjelaskan
suatu materi pembelajaran yang sudah tersusun dalam urutan tertentu, ataukah dengan
menggunakan materi yang terkait satu dengan lainnya dalam tingkat kedalaman yang
berbeda, atau bahkan merupakan materi yang terintegrasi dalam suatu kesatuan multi
disiplin ilmu. Syaiful Sagala (2003:71-94) membagi pendekatan atas delapan kelompok,
yaitu pendekatan konsep, pendekatan proses, pendekatan deduktif, pendekatan induktif,
pendekatan ekspositori, pendekatan heuristik, pendekatan kecerdasan, dan pendekatan
konstektual.

4.1.1. Pendekatan Konsep


Hal yang harus disadari saat ini adalah pentingnya belajar konsep tentang
sesuatu. Konsep yang dimaksud disini tidak lain dari kategori-kategori yang kita berikan
dari stimulus atau rangsangan yang ada di lingkungan kita. Konsep yang ada di dalam
struktur kognitif individu merupakan hasil dari pengalaman yang ia peroleh. Jika
keadaannya demikian, sebagian konsep yang dimiliki individu merupakan hasil dari
proses belajar yang mana proses hasil dari proses belajar ini akan menjadi pondasi
(building blocks) dalam struktur berpikir individu. Konsep-konsep inilah yang dijadikan
dasar oleh seseorang dalam memecahkan masalah, mengetahui aturan-aturan yang
relevan, dan hal-hal lain yang ada keterkaitannya dengan apa yang harus dilakukan oleh
individu. Definisi konsep menurut sebagian besar orang adalah sesuatu yang diterima
dalam pikiran atau ide yang umum dan abstrak. Menurut salah satu ahli, konsep adalah
suatu abstraksi yang mewakili suatu kelas objek, kejadian, kegiatan, atau hubungan
yang mempunyai atribut yang sama (Croser, 1984). Tujuh dimensi konsep menurut
Flavell (1970) adalah: atribut, struktur, keabstrakan, keinklusifan,
generalitas/keumuman, ketepatan, dan kekuatan atau power. Dari uraian diatas dapat
disimpulkan bahwa konsep merupakan suatu abstraksi mental dari pengalaman
responsif terhadap stimulus. Menurut teori Ausubel (1968), individu memperoleh
konsep melalui dua cara, yaitu melalui formasi konsep dan asimilasi konsep. Formasi
konsep menyangkut cara materi atau informasi diterima peserta didik. Formasi konsep
diperoleh individu sebelum ia masuk sekolah, karena proses perkembangan konsep
yang diperoleh semasa kecil termodifikasi oleh pengalaman sepanjang perkembangan
individu. Formasi konsep merupakan proses pembentukan konsep secara induktif dan
merupakan suatu bentuk belajar menemukan (discovery learning) melalui proses
diskriminatif, abstraktif dan diferensiasi. Contoh pemerolehan konsep pada anak adalah
ketika anak melihat benda atau orang yang ada di lingkungan terdekatnya. Misalnya,
pada saat seorang anak yang baru berumur 2 tahun memanggil Bapak dan Ibunya
pertama kali karena setiap hari Bapak dan Ibunya selalu bersama-sama anak tersebut.
Anak menyebut diri yang memandikan dan meninabobokkan saat tidur adalah Ibu dan
menggendong serta mengajaknya bermain adalah Bapak.
Sedangkan asimilasi konsep menyangkut cara bagaimana peserta didik dapat
mengaitkan informasi atau materi pelajaran dengan struktur kognitif yang telah ada.
Asimilasi konsep terjadi setelah anak mulai memasuki bangku sekolah. Asimilasi
konsep ini terjadi secara deduktif. Biasanya anak diberi atribut sehingga mereka belajar
konseptual, misalnya atribut dari gajah adalah hewan dan belalai. Dengan demikian
anak dapat membedakan antara konsep gajah dengan hewan-hewan lain. Empat tingkat
pencapaian konsep menurut Klausmeier (Dahar, 1996:88) adalah sebagai berikut:
1). Tingkat konkret
Pencapaian tingkat ini ditandai dengan adanya pengenalan anak terhadap suatu
benda yang pernah ia kenal. Misalnya pada suatu saat anak bermain kelereng dan
pada waktu yang lain dengan tempat yang berbeda ia menemukan lagi kelereng,
lalu ia bisa mengidentifikasi bahwa itu adalah kelereng maka anak tersebut sudah
mencapai tingkat konkret. Dengan demikian dapat dikatakan juga anak mampu
membedakan stimulus yang ada di lingkungannya terhadap kelereng tersebut. Pada
saat ini anak sudah mampu menyimpan gambaran mental dalam struktur
kognitifnya.
2). Tingkat identitas
Seseorang dapat dikatakan telah mencapai tingkat konsep identitas apabila ia
mengenal suatu objek setelah selang waktu tertentu, memiliki orientasi ruang yang
berbeda terhadap objek itu, atau bila objek itu ditentukan melalui suatu cara indra
yang berbeda. Misalnya mengenal kelereng dengan cara memainkannya, bukan
hanya dengan melihatnya lagi.
3). Tingkat klasifikatori
Pada tingkat ini anak sudah mampu mengenal persamaan dari contoh yang berbeda
tetapi dari kelas yang sama. Misalnya anak mampu membedakan antara apel yang
masak dengan apel yang mentah.
4). Tingkat formal
Pada tingkat ini anak sudah mampu membatasi suatu konsep dengan konsep lain,
membedakannya, menentukan ciri-ciri, memberi nama atribut yang membatasinya,
bahkan sampai mengevaluasi atau memberikan contoh secara verbal.

4.1.2. Pendekatan Proses


Pendekatan proses adalah suatu pendekatan pengajaran yang memberikan
kesempatan kepada siswa untuk ikut menghayati proses penemuan atau penyususunan
suatu konsep sebagai suatu keterampilan proses. Pembelajaran dengan menekankan
kepada belajar proses dilatarbelakangi oleh konsep-konsep belajar Naturalisme-
Romantis dan teori Kognitif Gestalt. Natualisme-Romantis menekankan kepada
aktivitas siswa, sedangkan Kognitif Gestalt menekankan pemahaman dan kesatupaduan
yang menyeluruh. Pendekatan proses di dalam pembelajaran dikenal pula sebagai
keterampilan proses, guru menciptakan bentuk kegiatan pengajaran bervariasi, agar
siswa terlibat dalam berbagai pengalaman. Siswa diminta untuk merencanakan,
melaksanakan, dan menilai sendiri suatu kegiatan. Siswa melakukan kegiatan
percobaan, pengamatan, pengukuran, perhitungan, dan membuat kesimpulan sendiri.
Dalam pendekatan proses ini, siswa tidak hanya belajar dari guru, tetapi juga dari
sesama temannya, dan dari manusia-manusia sumber di luar sekolah. Kegiatan-kegiatan
yang dapat dilakukan oleh siswa dalam pembelajaran yang menggunakan pendekatan
proses adalah: (1) mengamati gejala yang timbul, (2) mengklasifikasikan sifat-sifat yang
sama, (3) mengukur besaran-besaran yang bersangkutan, (4) mencari hubungan antar
konsep-konsep yang ada, (5) mengenal adanya suatu masalah, merumuskan masalah,
(6) memperkirakan penyebab suatu gejala, merumuskan hipotesa, (7) meramalkan
gejala yang mungkin akan terjadi, (8) berlatih menggunakan alat-alat ukur, (9)
melakukan percobaan, (10) mengumpulkan, menganalisis, dan menafsirkan data, (11)
berkomunikasi, dan (12) mengenal adanya variabel, mengendalikan suatu variabel.
Pelaksanaan proses dimulai dari yang sederhana, selanjutnya diikuti proses yang lebih
kompleks. Keunggulan pendekatan proses adalah:
a. Memberi bekal cara memperoleh pengetahuan, hal yang sangat penting untuk
pengembangan pengetahuan dan masa depan.
b. Pendahuluan proses bersifat kreatif, siswa aktif, dapat meningkatkan keterampilan
berpikir dan cara memperoleh pengetahuan.

Sedangkan kelemahannya adalah :


a. Memerlukan banyak waktu sehingga sulit untuk dapat menyelesaikan bahan
pengajaran yang ditetapkan dalam kurikulum.
b. Memerlukan fasilitas yang cukup baik dan lengkap sehingga tidak semua sekolah
dapat menyediakannya.
c. Merumuskan masalah, menyusun hipotesis, merancang suatu percobaan untuk
memperoleh data yang relevan adalah pekerjaan yang sulit, tidak setiap siswa
mampu melaksanakannya.
Pendekatan proses pada hakekatnya adalah memproses informasi, yaitu
informasi pembelajaran. Menurut para ahli psikologi pemprosesan informasi
menguraikan peristiwa-peristiwa psikologi sebagai stranformasi-stranformasi informasi
dari input ke ouput. Di samping itu juga pendekatan proses ini menggambarkan bahwa
kegiatan pembelajaran yang berlangsung di sekolah bersifat formal. Proses
pembelajaran disengaja dan direncanakan dengan bimbingan guru dan pendidik lainnya
agar siswa mencapai tujuan dan menguasai bahan pelajaran yang diberikan guru sesuai
kurikulum yang ada.

4.1.3. Pendekatan Deduktif


Pendekatan deduktif adalah proses penalaran yang bermula dari keadaan
umum ke keadaan khusus, sebagai pendekatan pengajaran yang bermula dengan
menyajikan aturan, prinsip umum diikuti contoh-contoh khusus atau penerapan aturan
prinsip umum ke dalam keadaan khusus. Langkah-langkah yang dapat digunakan dalam
pendekatan deduktif pada pembelajaran adalah: (1) memilih konsep, prinsip, aturan
yang akan disajikan dengan pendekatan deduktif, (2) menyajikan aturan, prinsip yang
bersifat umum lengkap dengan defenisi dan buktinya, (3) disajikan contoh-contoh
khusus agar siswa dapat menyusun hubungan antara keadaan khusus itu dengan aturan
prinsip umum, dan (4) disajikan bukti-bukti untuk menunjang atau menolak kesimpulan
bahwa keadaan khusus itu merupakan gambaran dari keadaan umum. Sedangkan
berpikir deduktif disebut juga berpikir dengan menggunakan silogisme terdiri dari tiga
preposisi statement yang terdiri dari premise yaitu dasar penarikan kesimpulan
sebagai pernyataan akhir yang mengandung suatu kebenaran. Berpikir deduktif
prosesnya berlangsung dari yang umum menuju ke yang khusus. Dalam berpikir
deduktif ini orang bertolak dari suatu teori, prinsip, ataupun kesimpulan yang dianggap
benar dan sudah bersifat umum. Dari situ diterapkan kepada fenomena-fenomena yang
khusus, dan mengambil kesimpulan khusus yang berlaku bagi fenomena tersebut.

4.1.4. Pendekatan Induktif


Berpikir induktif ialah suatu proses dalam berpikir yang berlangsung dari
khusus menuju ke yang umum. Orang mencari ciri-ciri atau sifat-sifat tertentu dari
berbagai fenomena, kemudian menarik kesimpulan bahwa ciri-ciri atau sifat-sifat itu
terdapat pada semua jenis fenomena. Dalam konteks pembelajaran pendekatan induktif
adalah pendekatan pengajaran yang bermula dengan menyajikan sejumlah keadaan
khusus kemudian dapat disimpulkan menjadi suatu fakta, prinsip atau aturan. Langkah-
langkah yang dapat digunakan dalam pendekatan induktif adalah: (1) memilih konsep,
prinsip, aturan yang akan disajikan dengan pendekatan induktif, (2) menyajikan contoh-
contoh khusus konsep, prinsip, atau aturan yang memungkinkan siswa memperkirakan
(hipotesis) sifat umum yang terkandung dalam contoh-contoh itu, (3) disajikan bukti-
bukti yang berupa contoh tambahan untuk menunjang atau menyangkal perkiraan itu,
dan (4) disusun pernyataan mengenai sifat umum yang telah terbukti berdasarkan
langkah-langkah yang terdahulu.

4.1.5. Pendekatan Ekspositori


Pendekatan ini berdasarkan pada pandangan bahwa tingkah laku kelas dan
penyebaran pengetahuan dikontrol dan ditentukan oleh guru. Hakekat mengajar menurut
pendekatan ini adalah menyampaikan ilmu pengetahuan kepada siswa. Siswa dipandang
sebagai objek yang menerima apa yang diberikan oleh guru. Biasanya guru
menyampaikan informasi mengenai bahan pengajaran dalam bentuk penjelasan dan
penuturan secara lisan, yang dikenal dengan istilah kuliah atau ceramah. Dalam
pendekatan ini siswa diharapkan dapat menangkap dan mengingat informasi yang telah
diberikan guru, serta mengungkapkan kembali apa yang dimilikinya melalui respon
yang ia berikan pada saat diberikan pertanyaan oleh guru. Secara garis besar
prosedurnya ialah: (1) persiapan, yaitu guru menyiapkan bahan selengkapnya secara
sistematik dan rapi, (2) pertautan (aperception) bahan terdahulu, yaitu guru bertanya
atau memberikan uraian singkat untuk mengarahkan perhatian siswa kepada materi
yang telah diajarkan, (3) penyajian terhadap bahan yang baru, yaitu guru menyajikan
dengan cara memberi ceramah atau menyuruh siswa membaca bahan yang telah
dipersiapkan diambil dari buku, teks tertentu yang ditulis oleh guru, dan (4) evaluasi,
yaitu guru bertanya dan siswa menjawab sesuai dengan bahan yang dipelajari, atau
siswa yang disuruh menyatakan kembali dengan kata-kata sendiri pokok-pokok yang
telah dipelajari secara liasan atau tulisan. Pendekatan ekspositori digunakan guru untuk
menyajikan bahan pelajaran secara utuh atau menyeluruh, lengkap, dan sistematis
dengan penyampaian secara verbal. Dengan demikian pendekatan ekspositori ini
merupakan proses belajar yang berorientasi pada prinsip belajar tuntas (mastery
learning).

4.1.6. Pendekatan Heuristik


Kata heuristik berasal dari bahasa Yunani, yaitu heuriskein yang berarti
saya menemukan. Metode heuristik ini dipromosikan oleh Amstrong abad ke 19,
menurut metode ini peserta didik sendiri yang harus menemukan fakta ilmu
pengetahuan. Pendekatan heuristik adalah pendekatan pengajaran yang yang
menyajikan sejumlah data dan siswa diminta untuk membuat kesimpulan menggunakan
data tersebut, implementasinya dalam pengajaran menggunakan metode penemuan dan
metode inkuiri. Metode penemuan didasarkan pada anggapan bahwa materi suatu
bidang studi tidak saling lepas, tetapi ada kaitan antara materi-materi tersebut. Prinsip
pendekatan heuristik adalah: (1) aktivitas siswa menjadi fokus perhatian utama dalam
belajar, (2) berpikir logis adalah cara yang paling utama dalam menemukan sesuatu, (3)
proses mengetahui dari sesuatu yang sudah diketahui menuju kepada yang belum
diketahui adalah jalan pelajaran yang paling rasional dalam pelajaran di sekolah, (4)
pengalaman yang penuh tujuan adalah tonggak dari usaha pembelajaran siswa ke arah
belajar berbuat, bekerja, dan berusaha, dan (5) perkembangan mental seseorang
berlangsung selama ia berpikir dan belajar mandiri. Dengan prinsip ini menunjukkan
bahwa pendekatan heuristik dapat mendorong siswa bersikap berani untuk berpikir
ilmiah dan mengembangkan berpikir mandiri. Pendekatan heuristik ini mempunyai
kelemahan antara lain adalah : (1) tidak semua siswa cocok dengan pendekatan ini,
kadang-kadang siswa lebih senang diberi pelajaran oleh gurunya melalui ceramah dan
tanya jawab, (2) guru kurang biasa menggunakan pendekatan ini di dalam pembelajaran
disekolah karena faktor kemampuan, (3) pendekatan ini kurang cocok bagi siswa yang
lamban, dan (4) pendekatan ini menuntut perlengkapan yang memadai, terutama bagi
pekerjaan di laboratorium. Untuk mengatasi kelemahan-kelemahan di atas, maka
prosedur heuristik untuk menemukan jawaban dilakukan dengan cara tidak ketat,
misalnya menganjurkan siswa-siswa menemukan jawaban atas masalah pelik dengan
memikirkan masalah yang ada persamaannya yang lebih sederhana atau berpikir secara
analogi, berdasarkan simetri, atau dengan melukiskannya atau membuat diagram. Siswa
dibimbing oleh guru agar menemukan sendiri konsep yang dicari, tetapi konsep itu
belum tentu telah diketahui oleh guru sebelumnya.

4.1.7. Pendekatan Kecerdasan


Munzert, A.W. (1994) mengartikan kecerdasan sebagai sikap intelektual
mencakup kecepatan memberikan jawaban, penyelesaian, dan kemampuan
memecahkan masalah. Kemudian David Weschler memberi rumusan tentang
kecerdasan sebagai suatu kapasitas umum dari individu untuk bertindak, berpikir
rasional, dan berinteraksi dengan lingkungan secara efektif. Sedangkan Howard
Gardner yang terkenal dengan kecerdasan gandanya, menganggap kecerdasan sebagai
kemampuan memecahkan masalah atau menciptakan produk dan kecerdasan tersebut
dapat dikembangkan serta tidak bersifat tetap. Gardner sebagai pencetus Theory of
Multiple Intelligences menyatakan bahwa kecerdasan adalah bahasa-bahasa yang
dibicarakan oleh semua orang dan sebagian dipengaruhi oleh kebudayaan tempat
seseorang dilahirkan. Kecerdasan merupakan alat untuk belajar, menyelesaikan
masalah, dan menciptakan semua hal yang bisa digunakan manusia. Gardner (dalam
Hamzah, 2009:11) mendeskripsikan delapan kecerdasan manusia, yaitu: (1) kecerdasan
linguistik (linguistic intelligences), (2) kecerdasan logika-matematis (logical-
mathematical intelegences), (3) kecerdasan spasial (spatial intelligences), (4)
kecerdasan badani-kinestetik (body-kinesthetic intelligences), (5) kecerdasan musikal
(musical intelligences), (6) kecerdasan interpersonal (interpersonal intelligences), (7)
kecerdasan intrapersonal (intrapersonal intelligences) dan (8) kecerdasan naturalis
(naturalist intelegences). Selanjutnya Daniel Goleman mengemukan kecerdasan dengan
kecerdasan emosi (Emotional Quotient) yang disingkat EQ. Menurut pendapatnya
kecerdasan emosi adalah kemampuan individu dalam menggunakan atau mengelola
emosinya secara efektif untuk mencapai tujuan, membangun hubungan yang produktif
dengan orang lain dan meraih keberhasilan (ditempat kerja). Selanjutnya menurut
Daniel Goleman bahwa IQ akan dapat bekerja secara efektif apabila seseorang mampu
memfungsikan kecerdasan emosinya. Intelegence Ouotien (IQ) hanyalah merupakan
satu unsur pendukung keberhasilan seseorang, keberhasilan itu akan tercapai tergantung
kepada kemampuan seseorang itu menggabungkan antara IQ dan EQ. Kecerdasan emosi
mencakup semua sikap atau kemampuan pribadi (Personal Competence) seperti: (1)
Mengenali emosi diri/kesadaran diri (Self Awarenes), (2) Mengelola emosi/Pengaturan
Diri (Self Regulation), (3) Motivasi diri (Self Motivation), (4) Mengenal emosi orang
lain/Empati (Social Awarenes), dan (5) Membina hubungan sosial (Social Skill).
Kecerdasan spiritual (spiritual intelegence) menurut Danah Zohar dan Ian
Marshall (2000) berkenaan dengan kecakapan internal, bawaan dari otak dan psikis
manusia, menggambarkan sumber yang paling dalam dari hati semesta itu sendiri.
Kecerdasan spiritual merupakan kecerdasan rohaniah, yang menuntun diri kita menjadi
manusia yang utuh , berada pada bagian yang paling dalam dari diri kita, terkait dengan
kebijaksanaan yang berada di atas ego. Kecerdasan spritual adalah kecerdasan yang
bukan saja mengetahui nilai-nilai yang ada, tetapi juga secara kreatif menemukan nilai-
nilai baru. Kecerdasan spiritual (SQ) merupakan landasan yang diperlukan untuk
memfungsikan IQ dan EQ secara efektif, yaitu memfasilitasi suatu dialog antara akal
dan emosi. Kecerdasan emosi (EQ) tidak bisa menjembatani kesenjangan antara emosi-
emosi. Demikianlah bahwa Tuhan menciptakan manusia dilengkapi dengan tiga potensi
dasar IQ, EQ, dan SQ tinggal bagaimana kita mengelolanya. Menilik beragamnya
kecerdasan manusia, menjadi peran guru dan konselor amat penting untuk memberikan
arahan pada apa yang cocok dan sesuai bagi siswanya. Oleh karena itu pelayanan
belajar di sekolah yang difasilitasi oleh pemerintah merupakan bagian dari jaminan
kualitas. Karena jaminan kualitas ini yang akan memberi arah kepada para siswanya
untuk mampu bertahan dan juga mampu berkembang sesuai potensi kecerdasannya.

4.1.8. Pendekatan Konstektual


Pendekatan konstektual (Contextual Teaching and Learning) disingkat CTL
merupakan konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang
diajarkannya dengan situasi dunia nyata siswa, dan mendorong siswa membuat
hubungan antara pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan
mereka sebagai anggota keluarga dan masyarakat. Sedangkan pembelajaran konstektual
adalah konsep belajar yang membantu guru mengaitkan antara materi yang diajarkan
dengan situasi duna nyata siswa dan mendorong siswa membuat hubungan antara
pengetahuan yang dimilikinya dengan penerapannya dalam kehidupan mereka sehari-
hari.
Menurut Depdiknas (2008, 6-7) pembelajaran kontekstual dengan pendekatan
konstruktivisme dipandang sebagai salah satu strategi yang memenuhi prinsip
pembelajaran berbasis kompetensi. Dengan lima strategi pembelajaran kontekstual
(contextual teaching and learning), yaitu relating, experiencing, applying, cooperating,
dan transferrini diharapkan peserta didik mampu mencapai kompetensi secara
maksimal. Tujuh konsep utama pembelajaran kontekstual, yaitu:
a. Konstruktivisme (Constructivisme)
Belajar adalah proses aktif mengonstruksi pengetahuan dari abstraksi pengalaman
alami maupun manusiawi, yang dilakukan secara pribadi dan sosial untuk mencari
makna dengan memproses informasi sehingga dirasakan masuk akal sesuai dengan
kerangka berpikir yang dimiliki Belajar berarti menyediakan kondisi agar
memungkinkan peserta didik membangun sendiri pengetahuannya Kegiatan belajar
dikemas menjadi proses mengonstruksi pengetahu-an, bukan menerima
pengetahuan sehingga belajar dimulai dari apa yang diketahui peserta didik. Peserta
didik menemukan ide dan pengetahuan (konsep, prinsip) baru, menerapkan ide-ide,
kemudian peserta didik mencari strategi belajar yang efektif agar mencapai
kompetensi dan memberikan kepuasan atas penemuannya itu.
b. Menemukan (Inquiry)
Siklus inkuiri: observasi dimulai dengan bertanya, mengajukan hipotesis,
mengumpulkan data, dan menarik simpulan. Langkah-langkah inkuiri dengan
merumuskan masalah, melakukan observasi, analisis data, kemudian
mengomunikasikan hasilnya
c. Bertanya (Questioning)
Berguna bagi guru untuk: mendorong, membimbing dan menilai peserta didik;
menggali informasi tentang pemahaman, perhatian, dan pengetahuan peserta didik.
Berguna bagi peserta didik sebagai salah satu teknik dan strategi belajar.
d. Masyarakat Belajar (Learning Community)
Dilakukan melalui pembelajaran kolaboratif. Belajar dilakukan dalam kelompok-
kelompok kecil sehingga kemampuan sosial dan komunikasi berkembang
e. Pemodelan (Modelling)
Berguna sebagai contoh yang baik yang dapat ditiru oleh peserta didik seperti cara
menggali informasi, demonstrasi, dan lain-lain. Pemodelan dilakukan oleh guru
(sebagai teladan), peserta didik, dan tokoh lain.
f. Refleksi (Reflection)
Tentang cara berpikir apa yang baru dipelajari, Respon terhadap kejadian,
aktivitas/pengetahuan yang baru, Hasil konstruksi pengetahuan yang baru.
Bentuknya dapat berupa kesan, catatan atau hasil karya.
g. Penilaian Sebenarnya (Autentic Assesment)
Menilai sikap, pengetahuan, dan ketrampilan, Berlangsung selama proses secara
terintegrasi, Dilakukan melalui berbagai cara (test dan non-test). Alternative
bentuk: kinerja, observasi, portofolio, dan/atau jurnal.
Sebuah kelas dikatakan menggunakan pendekatan konstektual, jika
menerapkan konsep utama pembelajaran konstektual ini di dalam pembelajarannya.
Penerapan pendekatan konstektual secara garis besar langkah-langkahnya adalah; (1)
kembangkan pemikiran bahwa anak akan belajar lebih bermakna dengan cara bekerja
sendiri, menemukan sendiri, dan menkonstruksi sendiri pengetahuan dan keterampilan
barunya, (2) laksanakan sejauh mungkin kegiatan inkuiri (menemukan) untuk semua
pokok bahasan, (3) mengembangkan sikap ingin tahu siswa dengan bertanya, (4)
menciptakan masyarakat belajar, (5) menghadirkan model sebagai contoh pembelajaran,
(6) melakukan refleksi di akhir pertemuan, dan (7) melakukan penilaian yang
sebenarnya dengan berbagai cara. Dengan konsep ini, hasil pembelajaran diharapkan
lebih bermakna bagi siswa. Proses pembelajaran berlangsung alamiah dalam bentuk
kegiatan siswa bekerja dan mengalami, bukan transfer pengetahuan dari guru ke siswa,
proses pembelajaran lebih dipentingkan dari pada hasil, dimana siswa belajar
mengkostruksi sendiri. Dalam konteks ini siswa perlu mengerti apa makna belajar, apa
manfaatnya, dalam status apa mereka, dan bagaimana mencapainya. Para siswa
menyadari bahwa yang mereka pelajari akan berguna dan sebagai bekal hidupnya
kemudian hari. Para siswa mempelajari apa yang bermanfaat bagi dirinya ddan
berupaya menanggapinya, itulah sebabnya para siswa tersebut memerlukan tenaga
pengajar yang profesional sebagai pengarah dan pembimbing mereka dalam belajar.
Berdasarkan penjelasan berbagai macam pendekatan di atas, maka diharapkan guru
sebagai garda terdepan di dalam program mencerdaskan kehidupan bangsa ini harus
bisa memilih pendekatan mana yang cocok digunakan di sekolahnya masing-masing.
Karena tidak ada pendekatan, strategi, metode atau pun model yang cocok untuk semua
kondisi yang ada atau diistilahkan dengan pendekatan atau strategi atau metode sapu
jagat. Setiap sekolah pasti mempunyai kondisi yang berbeda antara satu sekolah
dengan sekolah lainnya baik dari kemampuan siswa maupun sarana prasarana dan lain-
lainnya.

4.2. STRATEGI PEMBELAJARAN


Dari pendekatan pembelajaran yang telah ditetapkan selanjutnya diturunkan ke
dalam Strategi Pembelajaran. Secara umum strategi adalah merupakan suatu garis-garis
besar haluan untuk bertindak dalam usaha mencapai sasaran yang telah ditetapkan.
Strategi juga dapat dikatakan sebagai taktik atau metode yang digunakan untuk
menghadapi seseorang sehingga tercapai suatu tujuan tertentu. Bila dihubungkan
dengan kegiatan belajar mengajar, strategi diartikan sebagai pola-pola umum kegiatan
guru dan peserta didik dalam perwujudan proses pembelajaran untuk mencapai tujuan
yang telah ditetapkan sebelumnya. Berdasarkan pengertian dan ruang lingkup strategi
tersebut di atas, terdapat empat jenis strategi dasar dalam belajar mengajar, yaitu :
Mengidentifikasi serta menetapkan spesifikasi dan kualifikasi perubahan tingkah
laku dan kepribadian peserta didik.
Memilih sistem pendekatan belajar mengajar berdasarkan aspirasi dan pandangan
hidup masyarakat.
Memilih dan menetapkan prosedur, metode, dan tehnik belajar mengajar yang
dianggap paling tepat dan efektif.
Menetapkan norma-norma dan batas minimal keberhasilan atau kriteria serta
standar keberhasilan sehingga menjadi tolak ukur guru dalam melakukan evaluasi
pembelajaran.
Newman dan Logan (Abin Syamsuddin Makmun, 2003) mengemukakan empat
unsur strategi dari setiap usaha, yaitu:
1. Mengidentifikasi dan menetapkan spesifikasi dan kualifikasi hasil (out put) dan
sasaran (target) yang harus dicapai, dengan mempertimbangkan aspirasi dan selera
masyarakat yang memerlukannya.
2. Mempertimbangkan dan memilih jalan pendekatan utama (basic way) yang paling
efektif untuk mencapai sasaran.
3. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah (steps) yang akan dtempuh
sejak titik awal sampai dengan sasaran.
4. Mempertimbangkan dan menetapkan tolok ukur (criteria) dan patokan ukuran
(standard) untuk mengukur dan menilai taraf keberhasilan (achievement) usaha.
Jika kita terapkan dalam konteks pembelajaran, keempat unsur tersebut adalah:
1. Menetapkan spesifikasi dan kualifikasi tujuan pembelajaran yakni perubahan profil
perilaku dan pribadi peserta didik.
2. Mempertimbangkan dan memilih sistem pendekatan pembelajaran yang dipandang
paling efektif.
3. Mempertimbangkan dan menetapkan langkah-langkah atau prosedur, metode dan
teknik pembelajaran.
4. Menetapkan norma-norma dan batas minimum ukuran keberhasilan atau kriteria
dan ukuran baku keberhasilan.
Sementara itu, Kemp (Wina Senjaya, 2008) mengemukakan bahwa strategi
pembelajaran adalah suatu kegiatan pembelajaran yang harus dikerjakan guru dan
siswa agar tujuan pembelajaran dapat dicapai secara efektif dan efisien. Selanjutnya,
dengan mengutip pemikiran J. R David, Wina Senjaya (2008) menyebutkan bahwa
dalam strategi pembelajaran terkandung makna perencanaan. Artinya, bahwa strategi
pada dasarnya masih bersifat konseptual tentang keputusan-keputusan yang akan
diambil dalam suatu pelaksanaan pembelajaran. Dilihat dari strateginya, pembelajaran
dapat dikelompokkan ke dalam dua bagian pula, yaitu: (1) exposition-discovery
learning dan (2) group-individual learning (Rowntree dalam Wina Senjaya, 2008).
Ditinjau dari cara penyajian dan cara pengolahannya, strategi pembelajaran dapat
dibedakan antara strategi pembelajaran induktif dan strategi pembelajaran deduktif.
Strategi pembelajaran sifatnya masih konseptual dan untuk mengimplementasikannya
digunakan berbagai metode pembelajaran tertentu. Dengan kata lain, strategi
merupakan a plan of operation achieving something sedangkan metode adalah a way
in achieving something (Wina Senjaya (2008).

4.3. METODE PEMBELAJARAN

Kegiatan belajar mengajar yang melahirkan interaksi unsur-unsur manusiawi


adalah sebagai suatu proses dalam rangka mencapai tujuan pengajaran. Guru dengan
sadar berusaha mengatur lingkungan belajar agar bergairah bagi anak didik. Dengan
seperangkat teori dan pengalaman yang dimiliki, guru gunakan untuk mempersiapkan
program pengajaran dengan baik dan sistematis. Salah satu usaha yang tidak pernah
ditinggalkan adalah bagaimana memahami kedudukan metode sebnagai salah satu
komponen yang ikut ambil bagian bagi keberhasilan kegiatan belajar mengajar. Dari
analisis yang dilakukan lahirlah pemahaman tentang kedudukan metode sebagai alat
motivasi ekstrinsik, sebagai strategi pengajaran, dan sebagai alat untuk mencapai tujuan.
Metode yang digunakan guru dalam setiap kali pertemuan kelas bukanlah asal pakai,
tetapi telah melalui seleksi yang berkesesuaian dengan perumusan tujuan pembelajaran
khusus. Pemilihan dan penentuan metode dalam kegiatan belajar mengajar bertolak dari
nilai strategis metode, efektifitas penggunaan metode, pentingnya pemilihan metode,
hingga faktor-faktor yang mempengaruhi pemilihan metode pengajaran tersebut.
Metode Pembelajaran merupakan cara melakukan atau menyajikan, menguraikan,
memberi contoh, dan memberi latihan isi pelajaran kepada siswa untuk mencapai tujuan
tertentu. Dapat dikatakan metode pembelajaran merupakan bagian dari strategi
instruksional. Tetapi tidak semua metode pembelajaran sesuai digunakan untuk
mencapai tujuan pembelajaran tertentu. Penulisan mengenai metode di bawah ini tidak
mengikuti suatu urutan tertentu, tetapi dilakukan secara acak. Diungkapkan pula kapan
baiknya metode tersebut dilaksanakan serta keunggulan dan kekurangan metode
tersebut. Sebelum memutuskan metode mana yang akan dipakai dalam proses belajar
mengajar, maka seorang pengajar perlu memperhatikan beberapa pertimbangan berikut :
a. Tujuan pembelajaran.
Pertimbangan ini merupakan syarat mutlak dalam pemilihan metode yang akan
digunakan. Sebagai contoh, seorang guru kesenian menetapkan cara memainkan
alat musik dengan benar. Dalam hal ini metode yang dapat membantu adalah
metode ceramah, dimana diterangkan bagian-bagian dari masing-masing alat musik
dan cara penggunaannya. Kemudian metode demonstrasi, siswa dapat
mendemonstrasikan cara memainkan suatu alat musik dengan benar, selanjutnya
metode pembagian tugas, siswa kita tugasi, bagaimana memegang gitar, bass, drum,
dan apa tugas mereka, dan bagaimana mereka dapat bekerjasama dan memainkan
suatu lagu dengan baik dan benar.
b. Pengetahuan awal siswa
Metode yang akan kita gunakan tergantung pada pengetahuan awal yang dimiliki
para siswa. Jika siswa tidak memiliki prinsip, konsep, dan fakta atau memiliki
pengalaman, maka kemungkinan besar mereka belum dapat dipergunakan metode
yang bersifat belajar mandiri. Metode yang dapat digunakan hanyalah ceramah,
demonstrasi, penampilan, latihan dengan teman, sumbang saran, praktikum,
bermain peran, dan lain-lain.
c. Bidang studi/pokok bahasan/aspek
Pada SLTP dan Sekolah Menengah, program studi diatur dalam tiga kelompok. (1)
program pendidikan umum (kognitif), (2) program pendidikan akademik, dan (3)
pendidikan keterampilan (psikomotorik). Maka metode yang akan kita gunakan
lebih berorientasi pada masing-masang ranah diatas yang terdapat dalam pokok
bahasan/aspek.
d. Alokasi waktu dan sarana penunjang
Dalam satu jam pelajaran, kita perlu membagi waktu yang akan dipergunakan oleh
masing-masing metode. Misalnya, pelajaran Kimia, metode yang akan dipakai
adalah praktikum, bukan berarti metode lain tidak kita gunakan. Metode ceramah
sangat perlu untuk memberi petunjuk, aba-aba, dan arahan, dengan alokasi waktu
sekian menit. Kemudian memungkinkan metode diskusi, karena dari hasil
praktikum, siswa memerlukan diskusi kelompok untuk memecahkan problem yang
dihadapi.
e. Jumlah siswa
Idealnya metode yang diterapkan melalui pertimbangan rasio guru dan siswa agar
proses belajar mengajar efektif. Dalam kelas yang besar dan siswa yang banyak,
metode ceramah yang lebih efektif, akan tetapi yang perlu diingat bahwa metode
ceramah memiliki banyak kelemahan.

f. Pengalaman dan kewibawaan pengajar.


Pengalaman akan membuat seorang pengajar dapat menentukan dengan tepat
metode mana yang akan dipergunakan. Kewibawaan merupakan kelengkapan
mutlak yang bersifat abstrak karena guru akan berhadapan dan mengelola siswa
dengan latar belakang yang berbeda beda.
Berikut ini akan dipaparkan beberapa jenis metode pembelajaran yang dapat
digunakan dalam proses pembelajaran, yaitu:
1. Metode Ceramah
Metode ceramah adalah suatu cara mengajar yang paling tradisional dan telah lama
dilaksanakan oleh para guru. Dengan penyajian materi melalui penuturan dan
penerangan lisan guru kepada siswa. Metode ini digunakan bila pelajaran tersebut
banyak mengandung hal-hal yang memerlukan penjelasan dari guru. Metode ini
hendaknya digunakan bersama-sama metode lain, seperti metode tanya-jawab. Pada
metode ceramah ini, siswa dilatih untuk menjadi pendengar yang balk. Agar siswa
tetap berperan secara aktif dalam proses belajar-mengajar yang menggunakan
metode ceramah ini, maka siswa perlu dilatih mengembangkan kemampuan untuk
mendengarkan, memahami suatu informasi, dan mencatatnya dengan baik. Siswa
hendaknya diminta mengajukan pertanyaan atau memberikan tanggapan terhadap
informasi-informasi tertentu. Metode ini tidak senantiasa jelek bila penggunaannya
betul-betul disiapkan dengan baik, didukung dengan alat dan media, serta
memperhatikan batas-batas penggunaanya. Metode ceramah dapat dilakukan oleh
guru :
a. Untuk memberikan pengarahan, petunjuk di awal pembelajaran.
b. Waktu terbatas, sedangkan materi / informasi banyak yang akan disampaikan.
c. Lembaga pendidikan memiliki sedikit staf pengajar, sedangkan jumlah siswa
banyak.
Keterbatasan metode ceramah adalah sebagai berikut :
a. Keberhasilan siswa tidak terukur,
b. Perhatian dan motivasi siswa sulit diukur.
c. Peran serta siswa dalam pembelajaran rendah.
d. Materi kurang terfokus.
e. Pembicaraan sering melantur.
2. Metode Demonstrasi
Metode demontrasi adalah suatu cara mengajar dengan mempertunjukkan cara
kerja suatu benda. Benda itu dapat berupa benda sebenarnya atau suatu model. Hal-
hal lain yang dapat dipertunjukkan adalah cara menggunakan alat atau serangkaian
percobaan. Yang terakhir ini dilakukan bila alat-alat yang digunakan itu jumlahnya
tidak memadai, percobaan itu mengandung hal-hal yang berbahaya, atau ada alat-
alat yang mudah pecah. Dalam metode ini, antara lain dapat dikembangkan
kemampuan siswa untuk mengamati, menggolongkan, menarik kesimpulan,
menerapkan konsep, prinsip atau prosedur dan mengkomunikasikannya kepada
siswa-siswa lain. Demonstrasi dapat dilakukan oleh guru atau siswa yang sudah
dilatih sebelumnya. Metode ini biasanya disatukan dengan metode eksperimen.
Pelaksanaan :
a. Manakala kegiatan pembelajaran bersifat formal, magang, atau latihan kerja.
Bila materi pelajaran berbentuk keterampilan gerak, petunjuk sederhana untuk
melakukan keterampilan dengan menggunakan bahasa asing, dan prosedur
melaksanakan suatu kegiatan.
b. Manakala guru, pelatih, instruktur bermaksud menyederhanakan penyelesaian
kegiatan yang panjang, baik yang menyangkut pelaksanaan suatu prosedur
maupun dasar teorinya.
c. Pengajar bermaksud menunjukkan suatu standar penampilan.
d. Untuk menumbuhkan motivasi siswa tentang latihan/praktik yang kita
laksanakan.
e. Untuk dapat mengurangi kesalahan-kesalahan bila dibandingkan dengan
kegiatan hanya mendengar ceramah atau membaca di dalam buku, karena
siswa memperoleh gambaran yang jelas dari hasil pengamatannya.
f. Bila beberapa masalah yang menimbulkan pertannyaan pada siswa dapat
dijawab lebih teliti waktu proses demonstrasi atau eksperimen.
g. Bila siswa turut aktif bereksperimen, maka ia akan memperoleh pengalaman
praktik untuk mengembangkan kecakapan dan memperoleh pengakuan dan
pengharapan dari lingkungan sosial
Batasan Metode Demonstrasi:
a. Akan menjadi tidak wajar bila alat yang didemonstrasikan tidak dapat diamati
dengan seksama oleh siswa.
b. Kurang efektif bila tidak diikuti dengan metode eksperimen
c. Tidak semua hal dapat didemonstrasikan di dalam kelompok.
d. Terkadang saat suatu alat dibawa ke kelas untuk didemonstrasikan, terjadi proses
yang berlainan dengan proses di dalam situasi nyata.
e. Bila setiap orang diminta mendemonstrasikan dapat menyita waktu yang banyak,
dan membosankan bagi peserta yang lain.
3. Metode Eksperimen (Praktikum)
Bila pada metode Demonstrasi, yang terlibat lebih banyak adalah guru, maka pada
metode ini siswa akan lebih banyak aktif. Metode Eksperimen ialah suatu cara
memberikan kesempatan kepada siswa secara perseorangan atau kelompok untuk
berlatih melakukan suatu proses percobaan secara mandiri. Melalui metode ini
siswa sepenuhnya terlibat, antara lain dalam merencanakan eksperimen,
menemukan fakta, mengumpulkan data, menarik kesimpulan, merumuskan konsep,
prinsip, atau hukum. Selanjutnya, siswa pun dapat melakukan pengujian
kesimpulan atau pembuktian/penelitian kembali terhadap konsep atau prinsip yang
telah ditemukannya itu melalui eksperimen verikatif. Metode ini sangat bermanfaat
untuk mengembangkan sikap ilmiah pada diri siswa. Untuk dapat melaksanakan
metode ini, maka pengajar harus :
a. Memberikan penjelasan yang cukup kepada siswa selama siswa berpraktik.
b. Melakukan tindakan pengamanan sebelum kegiatan dimulai untuk keselamatan
siswa yang digunakan.
Metode ini tepat digunakan bila :
a. Pelajaran telah mencapai tingkat lanjutan
b. Kegiatan pembelajaran bersifat formal, latihan kerja, atau magang.
c. Siswa mendapat kemungkinan untuk menerapkan apa yang dipelajarinya ke
dalam situasi sesungguhnya.
d. Kondisi praktek sama dengan kondisi kerja
e. Dapat disediakan bimbingan kepada siswa secara dekat selama praktik
f. Kegiatan ini menjadi remedial bagi siswa.
Keterbatasan :
a. Membutuhkan waktu panjang, karena siswa harus mendapatkan kesempatan
berpraktik sampai baik.
b. Membutuhkan fasilitas dan alat khusus yang mungkin mahal, sulit diperoleh,
dan dipelihara secara terus menerus.
c. Membutuhkan pengajar yang lebih banyak, karena setiap pengajar hanya dapat
membantu sejumlah kecil siswa.

4. Metode Proyek
Metode proyek merupakan suatu cara memberikan kesempatan kepada siswa untuk
mengamati, membaca, meneliti, menghubungkan dan mengembangkan sebanyak
mungkin pengetahuan yang telah diperoleh dari berbagai mata pelajaran. Metode
proyek membahas suatu tema atau unit pelajaran. Kemudian siswa diminta untuk
membuat lapran dari tugas yang diberikan kepadanya dalam bentuk makalah.
Melalui metode ini diharapkan siswa dapat dilatih baik secara individual maupun
kelompok untuk menelaah suatu materi pelajaran dengan wawasan yang lebih luas
memantapkan pengetahuan yang telah diperoleh, meningkatkan penghargaan
terhadap lingkungan, memahami dan berupaya memecahkan masalah yang
dihadapi dalam kehidupan sehari-hari, serta menyalurkan minat yang
memungkinkan baik dilihat dari segi waktu atau bahan pelajaran dari berbagai mata
pelajaran.
5. Metode Diskusi
Metode diskusi ialah suatu cara penguasaan bahan pelajaran melalui wahana tukar
pendapat dan informasi berdasarkan pengetahuan dan pengalaman yang telah
diperoleh guna memecahkan suatu masalah, memperjelas sesuatu bahan serta
pelajaran dan mencapai kesepakatan. Melalui metode ini berbagai keterampilan
seperti beratnya, berkomunikasi, menafsirkan, dan menyimpulkan dapat
dikembangkan. Demikian pula keberanian mengemukakan pendapat, sikap-sikap
kritis, skeptis, toleran, kemampuan mengendalikan emosi, dan sebagainya dapat
dibina melalui penggunaan metode ini. Metode ini dilaksanakan oleh pengajar bila :
a. Menyediakan bahan, topik, atau masalah yang akan didiskusikan
b. Menyebutkan pokok-pokok masalah yang akan dibahas, atau memberikan studi
khusus kepada siswa sebelum mengadakan diskusi.
c. Menugaskan siswa untuk menjelasakan, menganalisis, dan meringkas.
d. Membimbing diskusi, tidak memberi ceramah.
e. Sabar terhadap kelompok yang lamban dalam berdiskusi.
f. Waspada terhadap kelompok yang tampak kebingungan atau berjalan dengan
tidak menentu.
g. Melatih siswa dalam menghargai pendapat orang lain.
Metode ini tepat digunakan bila :
a. Siswa berada di tahap menengah atau tahap akhir proses belajar,
b. Pelajaran formal atau magang
c. Perluasan pengetahuan yang telah dikuasai siswa,
d. Belajar mengidentifikasi dan memecahkan masalah serta mengambil keputusan.
e. Membiasakan siswa berhadapan dengan berbagai pendekatan, interpretasi, dan
kepribadian.
f. Menghadapi masalah secara berkelompok
g. Membiasakan siswa untuk beragumentasi dan berfikir rasional.
Keterbatasan :
a. Menyita waktu lama dan jumlah siswa harus sedikit.
b. Mempersyaratkan siswa memiliki latar belakang yang cukup tentang topik atau
masalah yang didiskusikan.
c. Tidak tepat bila digunakan pada tahap awal proses belajar bila siswa baru
diperkenalkan kepada bahan pelajaran baru.
d. Apatis bagi siswa yang tidak terbiasa berbicara dalam forum.
6. Metode Widyawisata
Metode Widyawisata ialah suatu cara penguasaan bahan pelajran dengan membawa
siswa langsung kepada objek yang akan dipelajari yang terdapat di luar kelas atau
di lingkungan kehidupan nyata. Metode widyawisata antara lain diterpakan karena
obyek yang akan dipelajari hanya terdapat di tempat tertentu. Selain itu,
pengalaman langsung dapat membuat siswa lebih tertarik kepada pelajaran yang
disajikan sehinggga lebih ingin mendalami hal yang diminatinya dengan mencari
informasi dari buku-buku sumber lainnya serla menumbuhkan rasa cinta kepada
Iingkungan alam dan lingkungan budaya. Metode widyawisata berfungsi pula
memberikan variasi belajar kepada siswa. Agar widyawisata ini dapat mencapai
hasil yang optimal, maka diperlukan adanya perencanaan yang matang,
pelaksanaan yang efektif dan efisien, serta adanya kegiatan tindak lanjut seperti
evaluasi, pelaporan, diskusi, deklamasi, pameran sederhana, pemuatan karangan
siswa pada koran sekolah, majalah dinding atau media lainnya, dan sebagainya.
7. Metode Bermain peran
Metode bermain peran ialah suatu cara penguasaan bahan pelajaran melalui
pengembangan imajinatif, daya ekspresi, dan penghayatan ini dilakukan dengan
memerankan seseorang dari sejarah, dunia pengetahuan, dan lain-lain, atau peran
lainnya dari dunia hewan dan tumbuhan. Kegiatan memerankan seseorang atau
sesuatu akan membuat siswa mudah memahami dan seringkali menghayati hal-hal
yang dipelajarinya.
8. Metode Tanya Jawab
Merupakan suatu cara penyajian bahan pelajaran melalui berbagai bentuk
pertanyaan yang dijawab oleh siswa. Metode ini sering digunakan dalam proses
belajar mengajar bersama-sama dengan metode lain. Tanya jawab ini dapat
dilakukan pada awal, di tengah-tengah, atau pada akhir kegiatan belajar mengajar.
Tanya jawab ini sering dilakukan pada untuk mengetahui sejauh mana bahan
pelajaran yang sedang atau telah dibahas itu dipahami siswa. Dari hasil tanya-
jawab, guru dapat memperjelas atau meluruskan pemahaman siswa mengenai suatu
bahan pelajaran tertentu. Dalam metode ini, dapat dikembangkan kemampuan
seperti mengajukan dan merumuskan pertanyaan serta mengkomunikasikan.
Metode ini sangat tepat bila pelaksanaannya bertujuan untuk:
a. Meninjau ulang pelajaran atau ceramah yang lalu, agar siswa memusatkan lagi
perhatian pada jenis dan jumlah kemajuan yang telah dicapai sehingga mereka
dapat melanjutkan pelajarannya.
b. Menyelingi pembicaraan agar tetap mendapatkan perhatian siswa, atau dengan
perkataan lain untuk mengikut sertakan mereka.
c. Mengarahkan pengamatan dan pemikiran mereka.
Metode ini tidak wajar digunakan untuk :
a. Menilai kemajuan peserta didik.
b. Mencari jawaban dari siswa, tetapi membatasi jawaban yang dapat diterima.
c. Memberi giliran pada siswa tertentu.
Kebaikan metode tanya jawab adalah :
a. Tanya jawab dapat memperolah sambutan yang lebih aktif bila dibandingkan
dengan metode ceramah yang bersifat menolong.
b. Memberi kesempatan kepada siswa untuk mengemukakan pendapat sehingga
nampak mana yang belum jelas atau belum dimengerti.
c. Mengetahui perbedaan-perbedaan pendapat yang ada, yang dapat dibawa ke arah
suatu diskusi.
Kelemahannya adalah bahwa tanya jawab bis menimbulkan penyimpangan dari
pokok persoalan. Lebih-lebih jika kelompok siswa yang memberi jawaban atau
mengajukan pertannyaan yang dapat menimbulkan masalah baru dan menyimpang
dari pokok persoalan.
9. Metode Latihan
Metode latihan merupakan suatu metode yang memberikan kesempatan kepada
siswa untuk berlatih melakukan suatu keterampilan tertentu berdasarkan penjelasan
atau petunjuk guru. Melalui metode ini dapat dikembangkan keterampilan melalui
pembiasaan.
10. Metode Pameran (penampilan)
Metode pameran digunakan untuk memberikan kesempatan kepada siswa untuk
menyajikan dan menjelaskan apa yang dipelajarinya. Pameran yang dimaksud dapat
berupa pameran kelas atau pameran sekolah dengan memamerkan grafik, model,
alat, gambar ukiran, patung, tanaman, dan hasil karya lainnya yang dibuat oleh
siswanya. Metode pameran dapat merupaan kegiatan puncak dari serangkaian
kegiatan lain yang menggunakan widyawisata atau metode proyek. Pameran dapat
digunakan sebagai sarana penilaian keberhasilan suatu kegiatan belajar.
11. Metode permainan
Metode permainan adalah suatu permainan adalah suatu cara penyajian bahan
pelajaran melalui berbagai bentuk permainan. Permainan dimaksud dapat berupa
teka-teki, papan bergambar (sejenis ular tangga), kotak rahasia, atau kartu gambar
yang dibuat oleh siswa atau oleh guru. Metode ini dapat digunakan untuk
memberikan pengalaman menarik bagi siswa dalam memahami suatu konsep,
menguatkan konsep yang telah dipahami, atau memecahkan masalah. Metode ini
bermanfaat karena dapat mengembangkan motivasi instrinsik, memberikan
kesempatan untuk berlatih mengambil keputusan, dan mengembang pengendalian
emosi bila menang atau kalah, serta lebih menarik dan menyenangkan sehingga
memudahkan siswa untuk memahami bahan pelajaran yang disajikan. Dengan
demikian, tujuan pembelajaran akan tercapai secara tidak Iangsung. Metode ini
sering digunakan dalam mata pelajaran Matematika, IPA, PPKN, Pendidikan
Jasmani dan Kesehatan, dan sebagainya.
12. Metode Cerita
Metode cerita adalah suatu cara penanaman nilai-nilai kepada siswa dengan
mengungkapkan kepribadian tokoh-tokoh melalui penuturan hikayat, legenda,
dongeng, dan sejarah lokal. Metode ini dapat digunakan untuk membantu
penghayatan nilai dan moral serta pembentukan sikap. Hal ini terjadi karena metode
ini lebih mudah untuk membawa emosi siswa ke suasana cerita sehingga siswa
menjadi tertarik dan mungkin terharu sehingga akan mempermudah pembentukan
sikap.
13. Metode Simulasi
Metode simulasi adalah suatu cara penyajian bahan pelajaran melalui kegiatan
praktik langsung tentang pelaksanaan nilai-nilai, penerapan pengetahuan dan
keterampilan yang berlangsung dalam kehidupan sehari-hari. Metode ini
menampilkan simbol-simbol, protipe, atau peralatan yang menggantikan suatu
proses, kejadian atau benda yang sebenarnya. Metode ini dapat mengembangkan
pemahaman pengetahuan dan penghayatan siswa terhadap sikap dan nilai yang
berlaku di masyarakat. Yang perlu diperhatikan :
a. Pada tahap permulaan, diperlukan tingkat di bawah realitas. Siswa diharapkan
mengidentifikasi lokasi tujuan, sifat-sifat benda, tindakan yang sesuai dengan
kondisi tertentu, dan lain sebagainya.
b. Pada tahap pertengahan, diperlukan tingkat realitas yang memadai. Siswa
diharapkan dapat mempelajari sesuatu dalam kaitan dengan pengetahuan yang
lebih luas dan memulai mengkoordinasikan keterampilan-keterampilan.
c. Pada tahap akhir, diperlukan tingkat realitas yang lebih tinggi.
d. Siswa diharapkan dapat melakukan pekerjaan seperti seharusnya dalam kondisi
nyata.

Metode ini dapat dilakukan pada situasi :


a. Semua tahap belajar
b. Pendidikan formal atau magang
c. Memberikan kegiatan-kegiatan yang analogis
d. Memungkinkan praktik dan umpan balik dengan resiko kecil.
e. Diprogramkan sebagai alat pelajaran mandiri
Kelemahan :
a. Biaya pengembangan tinggi dan perlu waktu lama
b. Fasilitas dan alat yang dibutuhkan mungkin sulit diperoleh dan harga yang
mahal dan pemeliharaan yang sulit.
c. Resiko sangat tinggi bagi siswa maupun pengajar
14. Metode Studi Mandiri
Metode ini berbentuk pelaksanaan tugas membaca atau penelitian oleh siswa tanpa
bimbingan atau pengajaran khusus. Metode ini dilakukan dengan cara :
a. Memberikan daftar bacaan kepada siswa sesuai dengan kebutuhannya,
b. Menjelaskan hasil yang diharapkan dicapai oleh siswa pada akhir kegiatan studi
mandiri.
c. Mempersiapkan tes untuk menilai keberhasilan siswa.
Metode ini sangat tepat dilakukan bila :
a. Pada tahap akhir proses belajar
b. Dapat digunakan pada semua mata pelajaran
c. Menunjang metode pembelajaran yang lain
d. Meningkatkan kemampuan kerja siswa
e. Mempersiapkan siswa untuk kenaikan tingkat atau jabatan
f. Memberi kesempatan kepada siswa untuk memperdalam minatnya tanpa
dicampuri siswa lain
Metode ini hanya dapat digunakan saat siswa mampu menentukan sendiri tujuannya
dan dapat memperoleh sumber-sumber yang diperlukan untuk mencapai tujuan
tersebut.
15. Metode Pembelajaran Terprogram
Metode ini menggunakan bahan pengajaran yang disiapkan secara khusus. Isi
pengajaran di dalamnya harus dipecah menjadi langkah-langkah kecil, diurup
secara ceramat, diarahkan untuk mengurangi kesalahan, dan diikuti dengan umpan
balik segera. Siswa mendapat kebebasan untuk belajar menurut kecepatan masing
masing. Yang perlu diperhatikan saat menggunakan metode ini :
a. Siswa harus benar-benar memiliki seluruh bahan, alat-alat dan perlengkapan lain
yang dibutuhkan untuk menyelesaikan pelajaran.
b. Siswa harus benar-benar tahu bahwa bahan itu bukan tes. Respon yang dibuat
siswa selama proses belajar dimaksudkan untuk membantu belajar, bukan untuk
dijadikan dasar penilaian.
c. Tersedia sumber yang dapat membantu siswa bila ia mengalami kesulitan
d. Secara berkala, siswa harus dicek kemampuannya untuk membuatnya benar-
benar belajar.
Kapan menggunakan metode ini ?
a. Saat siswa kurang mendapatkan interaksi sosial.
b. Pada semua tahap belajar, dari permulaan sampai dengan proses akhir belajar.
c. Merupakan pelajaran formal, belajar jarak jauh, dan magang.
d. Mengatasi kesulitan perbedaan individual
e. Mempermudah siswa belajar dalam waktu yang diinginkan
Kelemahan :
a. Kurang fleksibel karena bahan pelajaran yang telah dikumpulkan dengan baik
membuat setiap siswa melalui urutan kegiatan belajar yang sama.
b. Biaya pengembangan yang tinggi
c. Siswa kurang mendapatkan interaksi sosial.
16. Metode Latihan bersama Teman
Metode ini memanfaatkan siswa yang telah lulus atau telah berhasil untuk melatih
temannya dan ia bertindak sebagai pelatih dan pembimbing (asisten guru). Metode
yang dipakai terserah kepada siswa pembimbing tersebut. Yang perlu diperhatikan :
a. bila hal ini merupakan pengalaman yang pertama bagi siswa pembimbing, maka
guru harus mengawasi dan mengarahkan siswa pembimbing terlebih dahulu.
b. Setelah siswa pembimbing mengenal tugas tersebut, maka ia mulai dilatih
keterampilan dalam pelaksanaan tugasnya.
c. Setelah siswa yang dibimbingnya berhasil/lulus, maka ia menjadi pembimbing
bagi siswa yang lain.
Metode ini dapat dilaksanakan dalam situasi :
a. Semua tahap yang membutuhkan latihan satu persatu.
b. Latihan kerja, latihan formal dan magang
Kelemahan :
a. Terbatasnya siswa yang dapat dilatih sebagai pembimbing dalam satu periode
tertentu.
b. Kegiatan latihan harus senantiasa dikontrol secara langsung untuk memelihara
kualitas.
17. Metode Pemecahan Masalah (Brainstorming)
Metode ini merupakan metode yang merangsan berfikir dan menggunakan
wawasan tanpa melihat kualitas pendapat yang disampaikan oleh siswa. Guru
hanya melihat jalan pikiran siswa, pendapat, serta motivasi mengeluarkan pendapat
siswa. Jangan sekali-kali tidak menghargai pendapat siswa sekalipun pendapat
tersebut salah menurut guru. Metode ini dapat dilaksanakan bila siswa telah
mencapai tingkat yang lebih tinggi dengan prestasi yang tinggi pula, tetapi metode
ini perlu diwaspadai karena akan menimbulkan rasa frustasi di kalangan siswa
karena tidak menemukan solusi dari proses yang kita lakukan. Akan tetapi guru
dapat menggambarkan bahwa yang diminta adalah buah pikiran dengan alasan-
alasan rasional, bukan hanya sekedar solusi.
18. Metode Studi Kasus / Penugasan
Merupakan suatu cara pemberian kesempatan kepada siswa untuk melaksanakan
tugas berdasarkan petunjuk langsung, masalah, kejadian, atau situasi tertentu yang
telah dipersiapkan guru. Kemudian siswa ditugasi untuk mencari alternatif
pemecahanan. Dalam melaksanakan tugas ini siswa dapat memperoleh pengalaman
secara langsung dan nyata. Tugas dapat diberikan secara berkelompok atau
perorangan. Melalui metode ini siswa dapat mengembangkan berbagai
keterampilan dan pembiasaan untuk mandiri, jujur, mengembangkan pola fikir
kritis dan menemukan solusi baru dari suatu tugas yang harus dipecahkan. Metode
ini dapat diterapkan bila siswa telah memiliki pengetahuan awal tentang masalah
yang disampaikan.
19. Metode Insiden
Metode ini hampir sama dengan metode studi kasus, akan tetapi siswa dibekali
denagn data dasar yang tidak lengkap tentang suatu kejadian atau peristiwa. Mereka
harus mencari data tambahan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan kepada
mereka tentang kejadian dan peristiwa tersebut. Data ini sudah tersedia di sekolah
dan ada pada guru, maka guru mempersiapkan data itu untuk diberikan kepada
siswa yang membutuhkannya. Metode ini memiliki keunggulan dibanding studi
metode kasis, siswa belajar memahami suatu permasalahan, kemudian berusaha
memecahkannya. Dalam hal ini akan menumbuh kembangkan cara berfikir siswa
sebagaimana yang dikehendaki dalam studi mandiri, siswa berfikir kritis dan
kreatif.
20. Metode Seminar
Metod ini merupakan kegiatan belajar sekelompok siswa untuk membahas topik
atau masalah tertentu. Setiap anggota kelompok seminar dituntut agar berperan
aktif, dan kepada mereka dibebankan tanggung jawab untuk mendapatkan solusi
dari topik atau masalah yang diberikan. Guru bertindak sebagai narasumber.
Seminar merupakan pembahasan yang bersifat ilmiah, topik pembicaraan adalah
hal-hal yang bertalian dengan masalah kehidupan sehari hari. Sebuah seminar
adalah sebuah kegiatan pembahasan yang mencari pedoman-pedoman atau
pemecahan-pemecahan masalah tertentu. Itulah sebabnya maka seminar selalu
diakhiri dengan kesimpulan dan kesepakatan semua peserta. Malahan tidak jaran,
seminar melahirkan rekomendasi dan resolusi.

21. Metode Simposium


Metode ini adalah metode yang memaparkan suatu seri pembicara dalam berbagai
kelompok topik dalam bidang materi tertentu. Materi-materi tersebut disampaikan
oleh ahli dalam bidangnya, setelah itu peserta dapat menyampaikan pertanyaan dan
sebagainaya kepada pembicara. Sebuah simposium hampir menyerupai panel,
karena simposium harus pula terdiri dari beberapa pembicara, sedikitnya dua orang.
Tetapi simposium berbeda dengan panel di dalam cara pembahasan persoalan.
Sifatnya lebih formal. Seorang anggota simposium terlebih dahulu menyiapkan
pembicaraannya menurut satu titik pandangan tertentu. Terhadap sebuah persoalan
yang sama diadakan pembahasan dari berbagai sudut pandangan dan disoroti dari
titik tolak yang berbeda-beda. Bentuk pola lain metode simposium dapat
dikelompokkan pada sejumlah aspek, dan setiap aspek disoroti tersendiri dan
khusus, tidak perlu dari berbagai sudut pandangan. Bagian prasana menyiapkan
tulisan yang dibagi-bagikan kepada peserta dan diadakan sanggahan dari ahli
tertentu yang disebut penyanggah utama. Pendengar dapat memberi pandangan
umum dan pertanyaan sesudah penyanggah utama.
22. Metode Tutorial
Metode ini merupakan cara penyampaian bahan pelajaran yang telah dikembangkan
dalam bentuk modul untuk dipelajari siswa secara mandiri. Siswa dapat
mengkonsultasikan tentang msalah-masalah dan kemajuan yang ditemuinya secara
periodik. Metode ini biasanya dilakukan pada SLTP terbuka, paket B, C, dan belajar
jarak jauh dengan tatap muka yang terjadwal.
23. Metode Deduktif
Metode ini merupakan penjelasan tentang prinsip-prinsip isi pelajaran, kemudian
dijelaskan dalam bentuk penerapannya atau contoh-contohnya dalam situasi
tertentu. Metode ini menjelaskan teoritis ke bentuk realitas atau menjelaskan hal-
hal yang bersifat umum ke yang bersifat khusus. Guru menjelasakan teori-teori
yang telah ditemui para ahli, kemudian menjabarkan kenyataan yang terjadi atau
mengambil contoh-contoh. Seperti makhluk yang bernyawa akan mati. Manusia,
binatang, dan tumbuhan adalah makhluk bernyawa, maka ia akan mati. Metode ini
tepat dipergunakan bila :
a. Siswa belum mengenal pengetahuan yang sedang dipelajari.
b. Isi pelajaran meliputi terminologi, teknis dan bidang yang kurang
membutuhkan proses berfikir kritis.
c. Pengajaran mengenai pelajaran tersebut mempunyai persiapan yang baik dan
pembicaraan yang baik.
d. Waktu yang tersedia sedikit.
24. Metode Induktif
Metode ini dimulai dengan pemberian berbagai kasus , fakta , contoh, atau sebab
yang mencerminkan suatu konsep atau prinsip. Kemudian siswa dibimbing untuk
berusaha keras menemukan atau menyimpulkan prinsip dasar dari pelajaran
tersebut. Metode ini disebut metode discovery atau socratic. Metode ini tepat
dipergunakan manakala :
a. Siswa telah mengenal atau mempunyai pengalaman yang berhubungan dengan
mata pelajaran tersebut.
b. Yang diajarkan berupa keterampilan komunikasi antara pribadi, sikap,
pemecahan, dan pengambilan keputusan.
c. Pengajar mempunyai keterampilan fleksibel, terampil mengajukan
pertannyaan, terampil mengulang pertannyaan, dan sabar.
25. Metode Computer Assisted Learning (CAL)
Metode ini digunakan untuk kegiatan belajar yang berstruktur, dimana komputer
diprogramkan untuk permasalahan-permasalahan (sistem Pakar). Siswa diminta
untuk memecahkan masalah tersebut atau mencari jawaban dengan
mempergunakan komputer dan seketika itu juga jawaban siswa diproses secara
elektronik. Dalam beberapa detik siswa sudah mendapat jawaban atau umpan balik
jawaban tersebut. CAL memberikan siswa untuk maju sesuai dengan kecepatan
masing-masing mereka.

4.4. TEHNIK PEMBELAJARAN


Selanjutnya metode pembelajaran dijabarkan ke dalam teknik dan taktik
pembelajaran. Dengan demikian, teknik pembelajaran dapat diartikan sebagai cara
yang dilakukan seseorang dalam mengimplementasikan suatu metode secara spesifik.
Misalkan, penggunaan metode ceramah pada kelas dengan jumlah siswa yang relatif
banyak membutuhkan teknik tersendiri, yang tentunya secara teknis akan berbeda
dengan penggunaan metode ceramah pada kelas yang jumlah siswanya terbatas.
Demikian pula, dengan penggunaan metode diskusi, perlu digunakan teknik yang
berbeda pada kelas yang siswanya tergolong aktif dengan kelas yang siswanya
tergolong pasif. Dalam hal ini, guru pun dapat berganti-ganti teknik meskipun dalam
koridor metode yang sama.
Menurut Kamus Besar bahasa Indonesia (2005: 1158) teknik adalah metode
atau sistem mengerjakan sesuatu, cara membuat atau seni melakukan sesuatu. Gerlach
dan Ely (Hamzah B Uno, 2009: 2) mengartikan teknik sebagai jalan, alat, atau media
yang digunakan oleh guru untuk mengarahkan kegiatan peserta didik kearah tujuan
yang ingin dicapai. Teknik secara harfiah juga diartikan sebagai cara yang dilakukan
seseorang dalam mengaplikasikan dan mempraktikkan suatu metode.
Dari pendapat diatas, dapat disimpulkan bahwa tehnik adalah cara yang
dilakukan pengajar dalam menerapkan metode pembelajaran tertentu. Adapun jenis-
jenis teknik pembelajaran, diantaranya meliputi teknik syarahan, Teknik perbincangan,
Teknik projek, Teknik penyelesaian masalah, Teknik dapatan, Teknik permainan, Teknik
kooperatif, dll.
Menurut Shintiaminandar, jenis teknik pembelajaran terbagi dua, yaitu:
1) Teknik Pembelajaran Teknik Umum (Teknik Umum Mengajar) adalah cara-cara
yang dapat digunakan untuk semua bidang studi; 2) Teknik Khusus (Teknik Khusus
Pengajaran Bidang Studi Tertentu) adalah cara mengajarkan (menyajikan atau
memantapkan) bahan- bahan pelajaran bidang studi tertentu.
Dengan mengetahui pengertian dan jenis teknik pembelajaran di atas,
diharapkan dapat membantu pengajar dalam memilih teknik pembelajaran yang tepat
ketika hendak menggunakan suatu metode pembelajaran tertentu terhadap keadaan
spesifik yang dihadapi selama proses pembelajaran.

4.5. TAKTIK PEMBELAJARAN


Taktik pembelajaran merupakan gaya seseorang dalam melaksanakan
metode atau teknik pembelajaran tertentu yang sifatnya individual. Misalkan, terdapat
dua orang sama-sama menggunakan metode ceramah, tetapi mungkin akan sangat
berbeda dalam taktik yang digunakannya. Dalam penyajiannya, yang satu cenderung
banyak diselingi dengan humor karena memang dia memiliki sense of humor yang
tinggi, sementara yang satunya lagi kurang memiliki sense of humor, tetapi lebih
banyak menggunakan alat bantu elektronik karena dia memang sangat menguasai
bidang itu. Dalam gaya pembelajaran akan tampak keunikan atau kekhasan dari masing-
masing guru, sesuai dengan kemampuan, pengalaman dan tipe kepribadian dari guru
yang bersangkutan. Dalam taktik ini, pembelajaran akan menjadi sebuah ilmu
sekalkigus juga seni (kiat)

4.6. MODEL PEMBELAJARAN


Apabila antara pendekatan, strategi, metode, teknik dan bahkan taktik
pembelajaran sudah terangkai menjadi satu kesatuan yang utuh maka terbentuklah apa
yang disebut dengan model pembelajaran. Jadi, Model Pembelajaran pada dasarnya
merupakan bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang
disajikan secara khas oleh guru. Dengan kata lain, model pembelajaran merupakan
bungkus atau bingkai dari penerapan suatu pendekatan, metode, dan teknik
pembelajaran.
Berkenaan dengan Model Pembelajaran, Bruce Joyce dan Marsha Weil
(Dedi Supriawan dan A. Benyamin Surasega, 1990) mengetengahkan 4 (empat)
kelompok model pembelajaran, yaitu: (1) model interaksi sosial; (2) model pengolahan
informasi; (3) model personal-humanistik; dan (4) model modifikasi tingkah laku.
Kendati demikian, seringkali penggunaan istilah model pembelajaran tersebut
diidentikkan dengan strategi pembelajaran. Untuk lebih jelasnya, posisi hierarkis dari
masing-masing istilah tersebut, kiranya dapat divisualisasikan sebagai berikut:
Mencermati upaya reformasi pembelajaran yang sedang dikembangkan di
Indonesia, para guru atau calon guru saat ini banyak ditawari dengan aneka pilihan
model pembelajaran, yang kadang-kadang untuk kepentingan penelitian (penelitian
akademik maupun penelitian tindakan) sangat sulit menermukan sumber-sumber
literarturnya. Namun, jika para guru (calon guru) telah dapat memahami konsep atau
teori dasar pembelajaran yang merujuk pada proses (beserta konsep dan teori)
pembelajaran sebagaimana dikemukakan di atas, maka pada dasarnya guru pun dapat
secara kreatif mencobakan dan mengembangkan Model Pembelajaran tersendiri yang
khas, sesuai dengan kondisi nyata di tempat kerja masing-masing, sehingga pada
gilirannya akan muncul model-model pembelajaran versi guru yang bersangkutan, yang
tentunya semakin memperkaya khazanah model pembelajaran yang telah ada.
BAGIAN 5
KONSEP DASAR MEDIA PEMBELAJARAN
5.1. PERAN MEDIA DALAM KOMUNIKASI DAN PEMBELAJARAN
Media adalah kata jamak dari medium, yang artinya perantara.
Dalam proses komunikasi, media hanyalah satu dari empat komponen
yang harus ada. Komponen yang lain, yaitu : sumber informasi,
informasi dan penerima informasi. Seandainya satu dari empat
komponen tersebut tidak ada, maka proses komunikasi tidak mungkin
terjadi. Interaksi dan saling ketergantungan keempat komponen
tersebut adalah seperti di bawah:

Penerima Informasi
Sumber Informasi Media Informasi

Penerima Informasi Sumber Informasi

Gambar 1 Proses Komunikasi

Gambar 1. menunjukkan bahwa konsep sumber atau penerima


informasi adalah konsep relatif. Di saat tertentu, seseorang dapat
berperan sebagai sumber informasi, namun pada saat lain (atau pada
saat yang sama), bias juga menjadi penerima informasi. Namun tidak
semua proses informasi berlangsung secara dua arah atau timbal
balik semacam ini.
Dalam pembelajaran (instructional), sumber informasi adalah
dosen, guru, instruktur, peserta didik, bahan bacaan dan sebagainya.
Menurut Schramm (1977), media pembelajaran adalah teknologi
pembawa pesan (informasi) yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan
pembelajaran. Briggs (1977) mendifinisikan media pembelajaran sebagai
sarana fisik untuk menyampaikan isi / materi pembelajaran. Sedang
menurut Arief S. Sadiman (1986) media pembelajaran adalah segala
sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim
ke penerima, sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian
dan minat siswa sehingga proses belajar terjadi.

5.2. MANFAAT MEDIA PEMBELAJARAN


Secara umum manfaat media dalam pembelajaran adalah
memperlancar interaksi guru dan siswa, dengan maksud membantu
siswa belajar secara optimal. Namun demikian, secara khusus
manfaat media pembelajaran dikemukakan oleh Kemp dan Dayton
(1985), yaitu :
a. Penyampaian materi pembelajaran dapat diseragamkan
Guru mungkin mempunyai penafsiran yang beraneka ragam
tentang sesuatu hal. Melalui media, penafsiran yang beragam ini
dapat direduksi dan disampaikan kepada siswa secara seragam.
b. Proses pembelajaran menjadi lebih menarik
Media dapat menyampaikan informasi yang dapat didengar
(audio) dan dapat dilihat (visual), sehingga dapat mendeskripsikan
prinsip, konsep, proses atau prosedur yang bersifat abstrak dan
tidak lengkap menjadi lebih jelas dan lengkap.
c. Proses pembelajaran menjadi lebih interaktif
Jika dipilih dan dirancang dengan benar, media dapat membantu
guru dan siswa melakukan komunikasi dua arah secara aktif. Tanpa
media, guru mungkin akan cenderung berbicara satu arah.
d. Jumlah waktu belajar-mengajar dapat dikurangi
Sering kali terjadi, para guru banyak menghabiskan waktu untuk
menjelaskan materi ajar. Padahal waktu yang dihabiskan tidak
perlu sebanyak itu, jika mereka memanfaatkan media
pembelajaran dengan baik.
e. Kualitas belajar siswa dapat ditingkatkan
Penggunaan media tidak hanya membuat proses pembelajaran
lebih efisien, tetapi juga membantu siswa menyerap materi ajar
secara lebih mendalam dan utuh.
f. Proses pembelajaran dapat terjadi dimana saja dan kapan saja
Media pembelajaran dapat dirancang sedemikian rupa sehingga
siswa dapat belajar dimana saja dan kapan saja mereka mau,
tanpa tergantung pada keberadaan guru.
g. Sikap positif siswa terhadap proses belajar dapat ditingkatkan
Dengan media, proses pembelajaran menjadi lebih menarik. Dan
hal ini dapat meningkatkan kecintaan dan apresiasi siswa
terhadap ilmu pegetahuan dan proses pencarian ilmu.
h. Peran guru dapat berubah ke arah yang lebih positif dan produktif
Dengan media, guru tidak perlu mengulang-ulang penjelasan dan
mengurangi penjelasan verbal (lisan), sehingga guru dapat
memberikan perhatian lebih banyak kepada aspek pemberian
motivasi, perhatian, bimbingan dan sebagainya.

5.3. JENIS DAN KARAKTERISTIK MEDIA PEMBELAJARAN


Sesuai dengan klasifikasinya, maka setiap media pembelajaran
mempunyai karakteristik sendiri-sendiri. Karakteristik tersebut dapat
dilihat menurut kemampuan media pembelajaran untuk
membangkitkan rangsangan indera penglihatan, pendengaran,
perabaan, pengecapan, maupun pembauan/penciuman. Dari
karakteristik ini, untuk memilih suatu media pembelajaran yang akan
digunakan oleh seorang guru pada saat melakukan proses belajar
mengajar, dapat disesuaikan dengan suatu situasi tertentu. Media
pembelajaran seperti yang telah dijelaskan di atas, berdasarkan
tujuan praktis yang akan dicapai dapat dibedakan menjadi tiga
kelompok.
1. Media Grafis
Media grafis adalah suatu jenis media yang menuangkan pesan
yang akan disampaikan dalam bentuk simbol-simbol komunikasi
verbal. Simbol-simbol tersebut artinya perlu difahami dengan
benar, agar proses penyampaian pesannya dapat berhasil dengan
balk dan efisien. Selain fungsi tersebut secara khusus, grafis
berfungsi untuk menarik perhatian, memperjelas sajian ide,
mengilustrasikan atau menghiasi fakta yang mungkin akan cepat
terlupakan bila tidak digrafiskan (divisualkan). Bentuk-bentuk
media grafis antara lain adalah: (1) gambar foto, (2) sketsa, (3)
diagram, (4) bagan/chart, (5) grafik, (6) kartun, (7) poster, (8) peta,
(10) papan flannel, dan (11) papan buletin.
2. Media Audio
Media audio berkaitan dengan indera pendengaran. Pesan yang
disampaikan melalui media audio dituangkan ke dalam lambang-
lambang auditif, balk verbal maupun non-verbal. Bebarapa media
yang dapat dimasukkan ke dalam kelompok media audio antara
lain: (1) radio, dan (2) alat perekam pita magnetik, alat perekam
pita kaset.
3. Media Projeksi
Media projeksi diam memiliki persamaan dengan media grafis,
dalam art dapat menyajikan rangsangan-rangsangan visual.
Bahan-bahan grafis banyak digunakan juga dalam media projeksi
diam. Media projeksi gerak, pembuatannya juga memerlukan
bahan-bahan grafis, misalnya untuk lembar peraga (captions).
Dengan menggunakan perangkat komputer (multi media),
rekayasa projeksi gerak lebih dapat bervariasi, dan dapat
dikerjakan hampir keseluruhannya menggunakan perangkat
komputer. Untuk mengajarkan skill (keterampilan motorik)
projeksi gerak mempunyai banyak kelebihan di bandingkan
dengan projeksi diam. Beberap media projeksi antara lain adalah:
(1) Film Bingkai, (2) Film rangkai, (3) Film gelang (loop), (4) Film
transparansi, (5) Film gerak 8 mm, 16 mm, 32 mm, dan (6)
Televisi dan Video.

5.4. NILAI PRAKTIS MEDIA PEMBELAJARAN


Sebagai komponen dari sistem instruksional, media
mempunyai nilai-nilai praktis berupa kemampuan, antara lain
untuk:
1. Konkritisasi konsep yang abstrak (sistem peredaran darah)
2. Membawa pesan dari objek yang berbahaya dan sukar, atau
bahkan tak mungkin dibawa ke dalam lingkungan belajar
(binatang buas, letusan gunung berapi)
3. Menampilkan objek yang terlalu besar (Candi Borobudur, Monas)
4. Menampilkan objek yang tidak dapat diamati oleh mata
telanjang (bakteri, struktur logam)
2. Mengamati gerakan yang terlalu cepat (lompat indah, putaran
roda, yang keduanya di-slow motion)
3. Memungkinkan siswa berinteraksi langsung dengan lingkungan
4. Memungkinkan pengamatan dan persepsi yang seragam bagi
pengalaman belajar siswa.
5. Membangkitkan motivasi siswa
6. Memberi kesan perhatian individual bagi anggauta kelompok
belajar
7. Menyajikan informasi belajar secara konsisten dan dapat diulang
maupun disimpan menurut kebutuhan

5.5. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PEMILIHAN


MEDIA PEMBELAJARAN
Dalam menentukan media pembelajaran yang akan dipakai
dalam proses belajar mengajar, pertama-tama seorang guru harus
mempertimbangkan tujuan yang ingin dicapai, kondisi dan
keterbatasan yang ada dengan mengingat kemampuan dan
karakteristik media yang akan dipilihnya. Dengan mengajukan
beberapa pertanyaan, maka pemilihan media dapat dilakukan
berdasarkan:
1. Apakah media yang bersangkutan relevan dengan tujuan
instruksional yang ingin dicapai ?
2. Apakah ada sumber informasi, katalog mengenai media yang
bersangkutan?
3. Apakah perlu dibentuk tim untuk memonitor yang terdiri dari
para calon pema-kai? (Sadiman, 1986).
Dalam pemilihan media, salah satu cara yang dapat
digunakan untuk memilih yaitu dengan menggunakan matriks
seperti pada Tabel I. halaman berikut. Selain dari itu, dapat
dikemukakan pula bahwa beberapa faktor yang mempengaruhi
pemilihan media antara lain adalah : (1) tujuan instruksional yang
ingin dicapai, (2) karakteristik siswa, (3) jenis rangsangan belajar
yang diinginkan (audio atau visual), keadaan latar atau lingkungan,
dan gerak atau diam, (4) keterssediaan sumber setempat, (5)
apakah media siap pakai, ataukah media rancang, (6) kepraktisan
dan ketahanan media, (7) efektifitas biaya dalam jangka waktu
panjang.
Tabel 3. Matriks Pemilihan Media Pembelajaran
Tujuan
Belajar Info Pengenalan Prinsip
Prosedur Keterampilan Sikap
Media Faktual Visual Konsep
Visual Diam sedang tinggi sedang sedang rendah Rendah

Filem sedang tinggi ting,gi tinggi sedang Sedang


Televisi sedang sedang ting,gi sedang sedang Sedang
Objek 3 Dimensi rendah tinggi rendah rendah rendah Rendah
Rekaman Audio sedang rendah rendah sedang rendah Sedang

Pclaj. Terprogram sedang sedang sedang tinggi rendah Sedang

Demonstrasi sedang scdang rendah tinggi sedang Sedang


Buku Tercetak sedang rendah sedang sedang rendah Sedang

Sajian Lisan sedang rendah sedang sedang rendah Sedang

5.6. KRITERIA PEMILIHAN MEDIA PEMBELAJARAN


Salah satu penyebab mengapa orang memilih media adalah untuk
memenuhi kebutuhan atau mencapai tujuan yang diinginkan . Sekiranya suatu media
yang ada telah sesuai dengan tujuan yang hendak dicapai maka media tersebut dapat
dimanfaatkan. Yang menjadi masalah sekarang adalah apakah yang menjadi kriteria
sesuai tidaknya sesuatu media tertentu dengan tujuan yang hendak dicapai. Dick dan
Carey (1978) menyebutkan beberapa patokan yang perlu dipertimbangkan dalam
memilih media yaitu (1) ketersediaan sumber, (2) ketersediaan tenaga, dana, dan
fasilitas, (3) keluwesan, kepraktisan dan daya tahan media, serta (4) efektivitas
media untuk waktu yang panjang. Selanjutnya Dick dan Carey menyajikan suatu
kriteria pemilihan media pembelajaran sebagai berikut:
1. Tujuan
Apabila yang diajarkan guru adalah suatu proses, maka media gerak seperti
video, film atau TV merupakan pilihan yang sesuai. Sementara jika suatu
keterampilan dalam menggunakan suatu alat tertentu, maka benda yang
sesungguhnya atau mock-up nya merupakan pilihan yang sesuai. Dan kalau
hanya ingin memperkenalkan faktor atau konsep tertentu, maka media foto, slide
merupakan pilihan yang tepat.
2. Karakteristik Siswa.
Berapa jumlah siswa, dimana lokasinya, bagaimana belajarnya, dan bagaimana
karakteristik lainnya yang mempengaruhi pemilihan media itu.
3. Karakteristik Media.
Dalam pemilihan media perlu mempertimbangkan kelebihan dan keterbatasan
masing-masing media. Media foto misalnya tentu kurang sesuai untuk
mengajarkan gerakan, sebaliknya media TV akan terlalu mahal untuk
mengajarkan fakta yang teak bergerak yang dapat dijelaskan hanya dengan
menggunakan slide.
4. Alokasi Waktu.
Cukupkah waktu untuk kegiatan perancangan, pengembangan, pengadaan atau
penyajian sesuai dengan waktu proses pembelajaran yang telah ditentukan.
5. Ketersediaan Media.
Tersediakan media yang diperlukan, Tersediakah layanan purnajualnya, Adakah
tenaga dan sumber pengelolanya dan pengeperasiannya ?.
6. Efektivitas.
Apakah efektif untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan, Efektifkah untuk
penggunaan dalam jangka waktu yang lama?.
7. Kompatibelitas dan Biaya .
Apakah penggunaan media tersebut tidak bertentangan dengan norma-norma
yang berlaku, tersediakan sarana penunjang (suku cadang, dan sebagainya)
pengoperasiannya, praktis dan luweskan penggunaannya, bagaimana daya
tahannya ?. Cukupkah dana yang diperlukan untuk pengadaan, pengelolaan, dan
pemeliharaannya, dan bagaimana efisiensi dan efektivitas biayanya ?.

BAGIAN 6
KEMAMPUAN KEMAMPUAN DASAR MENGAJAR

PENDAHULUAN
Mengajar merupakan perbuatan yang kompleks yaitu penggunaan secara
integratif sejumlah keterampilan untuk menyampaikan pesan pembelajaran.
Pengintegrasian keterampilan dimaksud dilandasi seperangkat teori dan diarahkan
untuk suatu wawasan, sedangkan aplikasinya terjadi secara unik, dalam arti secara
simultan dipengaruhi berbagai komponen belajar mengajar seperti tujuan
pembelajaran, subjek didik, fasilitas lingkungan belajar dan tidak kalah pentingnya
adalah guru itu sendiri, dalam arti keterampilan-keterampilan, kebiasaan, serta
wawasannya tentang diri peserta didik dan misinya sebagai pendidik. Keterampilan-
keterampilan yang dimiliki guru tersebut berupa : keterampilan bertanya dasar dan
lanjut, keterampilan memberikan penguatan, keterampilan mengadakan variasi,
keterampilan menjelaskan, keterampilan membuka dan menutup pelajaran,
keterampilan memimpin diskusi kelompok kecil, keterampilan mengelola kelas, dan
keterampilan mengajar kelompok kecil/perorangan, dapat membantu proses
penyampaian atau penerusan ilmu pengetahuan kepada anak didiknya. Berikut ini
merupakan penjelasan dari masing-masing keterampilan mengajar yang seyogianya
dimiliki oleh setiap guru dalam suatu peristiwa pembelajaran.

6.1. Keterampilan Bertanya Dasar dan Lanjut


Dalam proses pembelajaran, pertanyaan yang diajukan guru ditujukan agar
siswa memperoleh pengetahuan dan peningkatan kemampuan berpikir. Pertanyaan,
baik berupa kalimat tanya ataupun kalimat suruhan. Kalimat tanya, misalnya:
Siapakah Presiden Republik Indonesia yang pertama ? . Sedangkan kalimat suruhan,
misalnya : Jelaskan pendapatmu mengenai keadaan air tanah di pulau Jawa pada
tahun 2030 jika kelestarian lingkungan diabaikan. Kalimat ini menurut siswa
mengembangkan kemampuan berpikirnya, menyusun apa yang telah diketahuinya
untuk membentuk suatu ramalan/prediksi.
Keterampilan bertanya dibedakan atas keterampilan bertanya dasar dan
bertanya lanjut. Keterampilan bertanya dasar mempunyai beberapa komponen dasar
yang perlu diterapkan dalam mengajukan segala jenis pertanyaan, sedangkan
keterampilan bertanya lanjut merupakan lanjutan dari keterampilan bertanya dasar
yang lebih mengutamakan usaha mengembangkan kemampuan berpikir siswa,
memperbesar partisipasi dan mendorong siswa berinisiatif sendiri. Ada beberapa hal
menjadi alasan penting mengapa keterampilan bertanya sangat perlu dimiliki guru
antara lain :
Telah berakarnya kebiasaan mengajar dengan menggunakan metode ceramah
yang cenderung menempatkan guru sebagai sumber informasi.
Harus diakui latar belakang kehidupan anak dalam lingkungan keluarga dan
masyarakat yang kurang biasa mengajukan pertanyaan dan pendapat.
Penggalakan penerapan gagasan Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) yang
menuntut siswa lebih banyak terlibat dalam proses pembelajaran.
Pandangan yang salah mengenai tujuan pertanyaan yang hanya untuk
mengevaluasi belajar siswa.
Tujuan yang hendak dicapai dalam hal penggunaan keterampilan bertanya dasar
dan lanjut ini adalah :
1) Membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa terhadap sustu pokok bahasan.
2) Memuaskan perhatian siswa terhadap suatu pokok bahasan atau konsep.
3) Mendiagnosis kesulitan-kesulitan khusus yang menghambat siswa belajar.
4) Mengembangkan cara belajar siswa aktif ( CBSA ).
5) Memberi kesempatan pada siswa untuk mengasimilasikan informasi.
6) Mendorong siswa mengemukakan pandangannya.
7) Menguji dan mengukur hasil belajar siswa.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penggunaan keterampilan bertanya dasar
dan lajut:
1. Kehangatan dan keantusiasan
Guru perlu menunjukkan sikap yang hangat, baik waktu mengajukan pertanyaan
maupun ketika menerima jawaban siswa. Pemberian penguatan (verbalnon
verbal), sikap dan gaya guru, suara, ekspresi wajah, menampakkan ada tidaknya
kehangatan dan keantusiasan. Cara lain yang dapat menunjukkan adanya
kehangatan dan keantusiasan adalah guru menggunakan jawaban siswanya
sebagai titik tolak uraian pelajaran.
2. Hindarkan kebiasaan-kebiasaan, seperti :
Mengulangi pertanyaan sendiri
Mengulangi jawaban siswa
Menjawab pertanyaan sendiri
Pertanyaan yang memancing jawaban serentak
Mengajukan pertanyaan ganda
Menentukan siswa tertentu untuk menjawab sebelum guru mengajukan
pertanyaan.

Komponen-komponen keterampilan bertanya dasar :


1) Pengungkapan pertanyaan secara jelas dan singkat
Pertanyaan harus diungkapkan secara jelas dan singkat, dalam artian gunakan
kata-kata dan atau istilah yang dapat dipahami siswa sesuai dengan tingkat
perkembangan bahasanya, serta pertanyaan jangan terlalu panjang dan berbelit-
belit. Bandingkan pertanyaan berikut ini : Apa yang menyebabkan sehingga
penyusunan isi buku-buku paket bila dibandingkan dengan kurikulum 1994,
tidaklah serasi ?. dengan Mengapa urutan isi buku paket tidak serasi dengan
kurikulum 1994 ? .
2 ) Pemberian Acuan
Acuan dapat diartikan sebagai informasi yang relevan dengan jawaban yang
diharapkan. Pemberian acuan (structuring) memungkinkan siswa memakai dan
mengolah informasi untuk menemukan jawaban. Misalnya : Kita telah
mengetahui bahwa erosi tanah dapat disebabkan air dan angin, terutama bila tidak
ada atau sedikit sekali tumbuh-tumbuhan yang tumbuh di permukaan tanah yang
bagaimana lagi yang mudah terjadi erosi tanah oleh air?.
3 ) Pemusatan
Pemusatan (focusing) dalam bertanya diartikan jika penanya memusatkan
perhatian siswa hanya kepada satu hal tertentu dari sekian banyak yang diamati.
Misalnya : Tarian mana yang paling anda senangi dari sekian banyak jenis tarian
yang dipertunjukkan kemarin di Taman Ismail Marzuki ?.
1) Pemindahan Giliran
Kadang-kadang satu pertanyaan (pertanyaan luas) perlu dijawab oleh lebih dari
seorang siswa, karena seringkali jawaban belum benar atau belum memadai.
Untuk itu guru dapat menggunakan teknik pemindahan giliran (redirecting).
Mula-mula guru mengajukan pertanyaan kepada seluruh kelas, kemudian
ditujukan kepada siswa tertentu, selanjutnya kepada siswa yang lain,dan
seterusnya.
2) Penyebaran
Untuk melibatkan siswa sebanyak-banyaknya di dalam proses pembelajaran, guru
perlu menyebarkan giliran menjawab pertanyaan secara acak. Guru hendaknya
berusaha agar semua siswa mendapat giliran secara merata. Perbedaaan dengan
pemindahan giliran adalah kalau pada pemindahan giliran beberapa siswa
secara bergiliran diminta menjawab pertanyaan yang sama, maka pada
penyebaran beberapa pertanyaan yang berbeda disebarkan kepada siswa yang
berbeda pula dalam menjawabnya.
3) Pemberian waktu berpikir
Setelah mengajukan pertanyaan ke seluruh siswa, guru perlu memberikan waktu
beberapa detik untuk berpikir sebelum menghunjuk salah seorang siswa untuk
menjawab.
4 ) Pemberian tuntunan
Jika jawaban siswa salah atau sama sekali tidak dapat memberikan jawaban,
hendaknya guru memberikan tuntunan agar siswa dapat memberikan jawaban
yang benar. Ada tiga cara yang dilakukan dalam memberikan tuntunan
(prompting), yaitu :
Mengungkapkan sekali lagi pertanyaan itu dengan cara yang lebih sederhana
dengan susunan kata-kata yang lebih mudah dimengerti.
Mengajukan pertanyaan lain yang lebih sederhana yang jawabannya dapat
dipakai menuntun siswa menemukan jawaban pertanyaan.
Mengulangi penjelasan-penjelasan sebelumnya yang berhubungan dengan
pertanyaan itu.

Komponen-komponen keterampilan bertanya lanjut :


1. Pengubahan Tuntunan Tingkat Kognitif Dalam Menjawab Pertanyaan
Pertanyaan yang diajukan dapat mengundang proses mental yang berbeda-beda.
Ada yang menuntut proses mental yang rendah, ada pula pertanyaan menuntut
proses mental yang tinggi. Oleh karena itu, dalam mengajukan pertanyaan guru
hendaknya berusaha mengubah tuntutan tingkat kognitif dalam menjawab
pertanyaan dari tingkat yang sekadar mengingat kembali fakta-fakta yang
telah dipelajari ke berbagai tingkat kognitif lainnya yang lebih tinggi seperti
pemahaman, penerapan, dan seterusnya.
2. Pengaturan urutan pertanyaan
Untuk mengembangkan tingkat kognitif siswa dari yang rendah ke yang lebih
tinggi dan kompleks, hendaknya guru mengatur urutan pertanyaan. Misalnya
pertama guru mengajukan pertanyaan pemahaman, setelah itu pertanyaan
penerapan, kemudian pertanyaan analisis, sintesis, sampai ke pertanyaan evaluasi.
Sebaliknya jangan dibolakbalik secara tidak teratur agar tidak membingungkan
siswa.
3. Penggunaan Pertanyaan Pelacak
Jika jawaban yang diberikan siswa dinilai masih perlu ditingkatkan menjadi lebih
sempurna, maka guru dapat menggunakan pertanyaan pelacak (probing) kepada
siswa tersebut. Sedikitnya ada 7 ( tujuh ) teknik pertanyaan pelacak, yaitu :
Klarifikasi, meminta kejelasan jawaban.
Meminta siswa memberikan alasan.
Meminta kesepakatan pandangan atas jawaban siswa tertentu, yang ditujukan
kepada siswa-siswa lainnya.
Meminta ketepatan jawaban.
Meminta jawaban yang lebih relevan.
Meminta contoh.
Meminta jawaban yang lebih kompleks.
4. Peningkatan Terjadinya Interaksi
Agar siswa lebih terlibat secara pribadi dan lebih bertanggung jawab atas
kemajuan dan hasil diskusi (tanya-jawab), guru hendaknya mengurangi perannya
sebagai penanya sentral. Cara yang ditempuh guru antara lain adalah :
Meminta siswa mendiskusikan lebih dahulu dengan teman-teman sebelum
menjawab pertanyaan guru.
Pertanyaan yang diajukan siswa jangan langsung dijawab guru, sebaiknya
dilontarkan kepada kelas (semua siswa).

Jenis-jenis (penggolongan) pertanyaan :


1. Pertanyaan Ingatan ( knowledge)
Pertanyaan yang menghendaki siswa mengenal atau mengingat informasi. Kata-
kata yang biasanya digunakan dalam pertanyaan adalah : siapa, apa, di mana,
kapan, dan sebagainya. Contoh : Siapakah nama pahlawan nasional dari tanah
Batak ?.
2. Pertanyaan Pemahaman (Comprehension)
Pertanyaan yang meminta siswa membuktikan bahwa ia telah memiliki
pengertian yang cukup untuk mengorganisasikan dan menyusun materi-materi
yang telah diketahui. Kata-kata yang biasanya digunakan dalam pertanyaan
adalah : deskripsikan, uraikan, bandingkan, sederhanakan, bedakan, dan lain
sebagainya. Contoh : Jelaskan perbedaan antara pahlawan nasional dengan
pahlawan revolusi.
3. Pertanyaan Penerapan (Application)
Pertanyaan yang meminta siswa untuk menerapkan informasi-informasi yang
telah mereka ingat dalam mengatasi suatu masalah. Kata-kata yang biasanya
digunakan adalah : gunakan, pilih, manfaatkan, buat contoh, dan lain sebagainya.
Contoh : Tuliskan suatu contoh dari aturan/prinsip yang baru kita diskusikan.
4. Pertanyaan Analisis (Analysis)
Pertanyaan yang menghendaki siswa untuk berpikir secara kritis dan mendalam.
Kata-kata yang sering digunakan dalam pertanyaan adalah : membuat
pertimbangan, membuat kesimpulan, identifikasi sebab/motif, dan lain
sebagainya. Contoh : Mengapa kita menggunakan cara belajar siswa aktif ?
5. Pertanyaan Sintesis (Synthesis)
Pertanyaan yang menghendaki siswa menampilkan pikiran yang kreatif variatif,
membuat prediksi, memecahkan masalah. Kata-kata yang sering ditemukan
dalam pertanyaan ini adalah : memperkirakan, menghasilkan, mengembangkan,
mengkonstruksi, bagaimana kita bisa meningkatkan.?, apa yang akan terjadi
jika..?, dan lain sebagainya. Contoh : Akibat-akibat apa yang akan terjadi jika
perang RI dengan GAM terus berlangsung
6. Pertanyaan Evaluasi (Evaluation)
Seperti halnya pertanyaan analisis dan sintesis yang dikemukaan diatas, demikian
halnya pertanyaan evaluasi tergolong pertanyaan tingkat tinggi yang menuntut
proses mental yang tinggi pula. Pertanyaan evaluasi tidak mempunyai suatu
jawaban benar tunggal. Pertanyaan evaluasi menghendaki siswa dapat membuat
keputusan baik tidaknya satu ide, isu, pemecahan masalah. Kata-kata yang sering
dalam pertanyaan ini : argumentasi, memutuskan, beri pendapatmu, mana
pemecahan yang paling baik, apakah hal itu akan lebih baik?. Contoh :
Pendekatan mana yang paling baik untuk mengatasi masalah itu ?.

6.2. Keterampilan Memberi Penguatan


Penguatan adalah respons terhadap suatu tingkah laku yang dapat
meningkatkan kemungkinan berulangnya kembali tingkahlaku tersebut.
Dalam kegiatan belajar mengajar, penghargaan dalam bentuk senyuman
ataupun kata kata pujian merupakan penguatan terhadap tingkah laku dan
penampilan siswa. Adapun tujuan pemberian penguatan adalah :
Meningkatkan perhatian siswa.
Membangkitkan dan memelihara motivasi siswa
Memudahkan siswa belajar
Mengontrol dan memodifikasi tingkah laku siswa yang kurang positif serta
mendorong munculnya tingkah laku yang produktif.

Prinsip penggunaan penguatan :


Kehangatan dan keantusiasan
Kebermaknaan
Menghindari penggunaan respons yang negatif.

Cara penggunaan keterampilan memberikan penguatan :


1) Penguatan kepada pribadi siswa tertentu.
2) Pengutan kepada kelempok siswa / kelas.
3) Penguatan dilakukan dengan segera.
4) Penguatan yang bervariasi.

Komponen-komponen memberi penguatan :


Penguatan berupa mimik dan gerakan badan
Penguatan dengan cara mendekati siswa
Penguatan dengan sentuhan
Penguatan dengan kegiatan yang menyenangkan bagi siswa
Penguatan berupa simbol atau benda.
Penguatan tak penuh.

6.3. Keterampilan Mengadakan Variasi


Manusia cenderung mengalami suatu perubahan-perubahan dari apa
yang telah pernah dialaminya. Bila menghadapi keadaan yang itu-itu saja
akan menimbulkan kebosanan. Sebaiknya dengan adanya variasi dalam
kehidupannya, menjadikan hidup lebih menarik. Demikian halnya dalam
kehidupan belajar di kelas, para siswa menginginkan adanya tampilan-
tampilan baru baik dari guru mapun aspek-aspek lainnya yang dikelola guru
yang terlibat dalam proses pembelajaran. Adapun tujuan mengadakan
variasi adalah :
Menimbulkan dan meningkatkan perhatian siswa.
Memberi kesempatan berkembangnya bakat ingin mengetahui dan menyelidiki
hal-hal yang baru.
Memberi kesempatan kepada siswa untuk mendapatkan cara belajar yang paling
disenanginya.
Meningkatkan kadar cara belajar siswa aktif (CBSA)

Prinsip-prinsip penggunaannya :
1) Variasi harus sesuai dengan tujuan pembelajaran yang hendak dicapai.
2) Variasi harus digunakan secara lancar dan berkesinambungan.
3) Variasi harus disusun dan direncanakan dengan baik dalam persiapan atau
perencanaan pembelajaran.

Komponen-komponen mengadakan variasi :


1. Variasi dalam gaya mengajar guru, meliputi :
Penggunaan variasi suara.
Pemusatan perhatian.
Kesenyapan.
Mengadakan kontak pandang.
Gerakan badan dan mimik.
Pergantian posisi guru dalam kelas.
2. Variasi dalam penggunaan media dan bahan pelajaran, meliputi :
Variasi alat/bahan yang dapat dilihat
Variasi alat/bahan yang dapat di dengar
Variasi alat/bahan yang dapat dirabah dan dimanipulasi.
3. Variasi pola interaksi dan kegiatan siswa
Pada dasarnya hal ini menekankan perlunya adanya variasi interaksi antara guru
dengan siswa, siswa dengan siswa. Pola umumnya interaksi tersebut sangat
beragam, mulai dari kegiatan belajar-mengajar yang didominasi guru sampai
dengan kegiatan belajar-mengajar yang didominasi siswa. Dengan demikian
variasi berkenaan dengan strategi dan metode serta susunan kelas dalam proses
kegiatan belajar mengajar.

6.4.Keterampilan Menjelaskan
Keterampilan menjelaskan diartikan sebagai keterampilan guru
mengorganisasikan isi pelajaran dalam urutan yang terencana sehingga dengan
mudah dapat dipahami siswa. Penyampaian informasi yang terencana dengan baik
dan disajikan dengan urutan yang cocok merupakan ciri utama kegiatan menjelaskan.
Dengan penjelasan akan menunjukkan hubungan, misalnya antara sebab dan akibat,
antara yang diketahui dengan yang belum diketahui, antara hukum (dalil, defenisi)
yang berlaku umum dengan bukti/contoh sehari-hari. Perlu diketahui, menjelaskan
bebeda dengan menceritakan. Menceritakan adalah membuat suatu gambaran tentang
suatu keadaan/peristiwa. Misalnya seseorang siswa menceritakan tamasya ke pulau
bali, bagaimana keindahan alamnya, keramah-tamahan penduduknya, tari-tarian yang
terkenal. Sementara contoh dari menjelaskan misalnya : Guru menjelaskan kepada
siswa mengapa pesawat terbang yang beratnya berton-ton itu dapat terbang ke
angkasa.
Tujuan keterampilan menjelaskan :
1) Membimbing siswa memahami dengan jelas jawaban tentang mengapa
2) Membantu siswa mendapatkan dan memahami hukum, dalil, prinsip-prinsip
umum secara objektif dan bernalar.
3) Melibatkan siswa untuk berpikir dengan memecahkan masalah atau pertanyaan.
4) Mendapat balikan dari siswa mengenai kadar pemahamannya dan untuk
mengatasi kesalahan pengertian mereka.
5) Mendorong siswa menghayati dan mendapatkan proses penalaran dan
penggunaan bukti dalam penyelesaian keadaan/situasi yang meragukan/belum
pasti

Prinsip prinsip penggunaan keterampilan menjelaskan :


Penjelasan dapat diberikan di awal, tengah, maupun akhir jam pelajaran,
tergantung keperluannya, yang dapat diselingi dengan tanya-jawab.
Penjelasan harus relevan dengan tujuan pembelajaran
Penjelasan dilakukan bila ada pertanyaan siswa ataupun telah direncanakan guru
Perencanaan harus bermakna bagi siswa
Penjelasan harus sesuai dengan latar belakang dan kemampuan siswa

Komponen-komponen keterampilan menjelaskan :


1) Merencanakan
a. Yang berhubungan dengan isi pesan (materi pelajaran), mencakup :
Menganalisis masalah secara keseluruhan, termasuk mengidentifikasi
unsur-unsur apa yang akan dihubungkan dalam suatu penjelasan.
Misalnya pesawat terbang dapat terbang karena ada unsur sayap dan
angin
Menentukan jenis hubungan yang ada antara unsur-unsur yang
dihubungkan. Misalnya unsur yang satu berbeda dan bertentangan dengan
yang lain. Sebagai contoh kecepatan angin yang berbeda pada bagian atas
dan bawah sayap pesawat menyebabkan pesawat dapat terangkat naik.
Menggunakan hukum, rumus atau generalisasi yang sesuai dengan
hubungan yang telah ditentukan. Misalnya prinsip sayap pesawat terbang
dapat diterapkap/dipakai dalam mendesain mobil balap.
b. Yang berhubungan dengan penerima pesan (siswa), mencakup :
Apakah penjelasan cukup relevan denga pertanyaan yang diajukan siswa
atau dengan situasi yang kelihatannya membingungkan mereka.
Apakah penjelasan itu memadai, yakni mudah diserap siswa melalui apa
yang telah diketahuinya.
2) Menyajikan suatu penjelasan
Suatu perencanaan penjelasan yang baik tidak akan berhasil apabila penyajiannya
tidak baik. Penyajian penjelasan harus memperhatikan hal-hal berikut :
Kejelasan
Gunakan bahasa yang jelas dan lancar, dengan mengindari kata-kata yang
tidak perlu, seperti ee, aa, mm, atau ungkapan yang meragukan seperti
kira-kira sekian , satu atau dua minggu, dan lain sebagainya.
Penggunaan contoh dan ilustrasi
Upaya contoh dan ilustrasi yang dekat dengan lingkungan kehidupan sekitar
siswa
Pemberian tekanan
Meliputi tekanan suara guru ketika menjelaskan hal hal yang penting, serta
membuat struktur sajian yaitu menunjukkan arah dan tujuan utama dari sajian
Balikan
Dalam menyajikan penjelasan hendaknya guru memberi kesempatan kepada
siswa untuk menunjukan pemahaman ataupun keraguannya atas penjelasan,
dan atau langsung bertanya kepada siswa siswa Apakah kalian telah
mengerti ?.
6.5. Keterampilan Membuka dan Menutup Pelajaran
Yang dimaksud dengan membuka pelajaran adalah kegiatan yang
dilakukan guru untuk menciptakan suasana siap mental dan menimbulkan
perhatian siswa agar terpusat pada hal-hal yang akan dipelajari. Kegiatan
seperti itu tidak hanya dilakukan pada setiap awal pelajaran , tetapi juga pada
awal setiap penggal kegiatan atau inti pelajaran.
Tujuan keterampilan membuka dan menutup pelajaran :
1) Menimbulkan perhatian dan motivasi siswa untuk menghadapi tugas-tugas yang
akan dikerjakan.
2) Siswa mengetahui batas-batas tugas yang akan dikerjakan.
3) Siswa mempunyai gambaran yang jelas tentang pendekatan-pendekatan yang
mungkin ditempuh dalam mempelajari bagianbagian dari pelajaran.
4) Siswa mengetahui hubungan antara pengalamanpengalaman yang telah
dikuasainya dengan hal-hal yang dipelajari.
5) Siswa dan guru mengetahui tingkat keberhasilan dalam proses belajarmengajar.

Prinsip prinsip penggunaan keterampilan membuka dan menutup


pelajaran :
1. Bermakna
Dalam upaya menimbulkan perhatian dan motivasi siswa, guru hendaknya
memilih cara yang relevan dengan isi dan tujuan pembelajaran. Cara atau upaya
yang sifatnya dicari cari atau dibuat buat hendaknya dihindarkan. Guyonan
atau lawakan yang tidak berhubungan dengan pelajaran bisa saja sementara
memikat siswa, akan tetapi akan gagal dalam mewujutkan penguasaan pelajaran.
2. Berurutan dan Berkesinambungan
Aktivitas yang ditempuh oleh guru dalam memperkenalkan dan merangkum
kembali pokok-pokok penting pelajaran hendaknya merupakan bagian dari
kesatuan yang utuh. Dalam mewujudkan prinsip ini diusahakan suatu susunan
yang tepat, berhubungan dengan minat siswa, ada kaitan yang jelas antara bagian
yang satu dengan yang lainnya, atau ada kaitannya dengan pengalaman dan
pengetahuan yang telah dimiliki siswa.
Komponen-komponen keterampilan membuka pelajaran :
1). Menarik perhatian siswa, dapat dilakukan dengan :
Gaya mengajar guru yang menarik dan variatif
Penggunaan alat-alat bantu belajar-mengajar yang menarik dan variatif
Pola interaksi belajar-mengajar yang hidup dan variatif
2). Menimbulkan motivasi
Sedikitnya ada 4 (empat) cara guru dalam upaya menimbulkan motivasi, yaitu :
a. Menunjukkan kehangatan dan keantusiasan
b. Menimbulkan rasa ingin tahu
c. Mengemukakan ide yang bertentangan
d. Memperhatikan minat siswa
3). Memberi acuan
Dalam hubungannya dengan membuka pelajaran, memberi acuan diartikan
sebagai upaya dalam mengemukakan secara spesifik dan singkat serangkaian
alternatif yang memungkinkan siswa memperoleh gambaran yang jelas mengenai
hal-hal yang akan dipelajari, dan cara-cara yang ditempuh siswa dalam
mempelajari materi pelajaran. Cara yang dapat dilakukan guru dalam
memberikan acuan, meliputi :
a. Mengemukakan tujuan dan batas-batas tugas
b. Mengingatkan masalah pokok yang akan dibahas
c. Mengajukan pertanyaan-pertanyaan
d. Membuat kaitan antara pelajaran baru dengan pengetahuan/pengalaman yang
telah dimiliki siswa

Komponen-komponen menutup pelajaran :


1. Meninjau kembali
Menjelang akhir pelajaran atau akhir setiap penggal pelajaran, guru harus
meninjau kembali apakah inti pelajaran telah dikuasai siswa. Dua cara yang dapat
dilakukan yaitu :

a. Merangkum inti pelajaran


Pada dasarnya kegiatan merangkum inti pelajaran dapat berlangsung
sepanjang proses pembelajaran. Misalnya pada saat guru selesai menjelaskan
satu bait sajak, ketika guru membuat kesimpulan secara lisan hasil diskusi
yang ditugaskan pada siswa, dan tentu saja pada saat pelajaran diakhiri.
Merangkum inti pelajaran dapat juga dilakukan siswa dengan bantuan guru.
b. Membuat ringkasan
Cara lain yang dapat ditempuh untuk memantapkan pokok-pokok materi yang
diajarkan adalah membuat ringkasan. Hal ini sangat membantu siswa yang
tidak memiliki buku sumber, dan atau siswa yang lamban untuk dapat
mempelajarinya kembali. Membuat ringkasan dapat dilakukan siswa,
kelompok siswa, dan atau guru bersama-sama dengan siswa.
2. Mengevaluasi
Salah satu cara untuk mengetahui apakah siswa sudah memperoleh wawasan
yang utuh tentang suatu konsep yang diajarkan selama jam pelajaran adalah
dengan evaluasi. Bentuk-bentuk evaluasi yang dapat dilakukan guru adalah :
a. Mendemonstrasikan keterampilan atas apa yang telah dipelajari.
b. Mengaplikasikan ide baru pada situasi lain.
c. Mengekspresikan pendapat siswa sendiri.
d. Mengajukan soal-soal tertulis.

6.6.Keterampilan Memimpin Diskusi Kelompok Kecil


Diskusi kelompok adalah suatu proses yang teratur yang melibatkan
sekelompok orang dalam interaksi tatap muka dalam upaya berbagi
pengalaman atau informasi, mengambil keputusan, atau memecahkan suatu
permasalahan. Dalam kegiatan belajar-mengajar, keterampilan membimbing
diskusi kelompok dikaitkan dengan usaha peningkatan kadar CBSA (Cara
Belajar Siswa Aktif) yang membawa perubahan besar dalam peran guru.
Peningkatan kadar CBSA sejalan dengan tujuan pengajaran yang ingin
dicapai yang bersifat konfrehensif, yang tidak saja mementingkan
pembentukan pengetahuan, tetapi juga sangat mementingkan pembentukan
keterampilan psikomotorik dan pembinaan sikap, menuntut strategi belajar-
mengajar yang memungkinkan siswa terlibat secara optimal. Diskusi
kelompok merupakan salah satu strategi yang memungkinkan siswa
menguasai suatu konsep atau memecahkan suatu masalah melalui suatu
proses yang memberi kesempatan untuk berpikir, berinteraksi sosial, serta
berlatih bersikap positif. Dengan demikian diskusi kelompok dapat
meningkatkan kreativitas, membina kemampuan berkomunikasi, termasuk
didalamnya keterampilan berbahasa. Percakapan dalam kelompok siswa
hanya dapat dinamakan diskusi bila memenuhi persyaratan-persyaratan
sebagai berikut :
1. Melibatkan kelompok yang besarnya kurang lebih 3 sampai 9 orang.
2. Berlangsung dalam interaksi tatap muka yang informal, yang berarti semua orang
harus mendapat kesempatan berkomunikasi secara bebas dn langsung.
3. Mempunyai tujuan yang hendak dicapai dengan kerjasama antar anggota
kelompok.
4. Berlangsung menurut proses yang teratur dan sistematis menuju suatu
kesimpulan.

Prinsip-prinsip pelaksanaan diskusi :


(1) Diskusi hendaknya berlangsung dalam iklim terbuka yaitu dalam suasana
persahabatan yang ditandai dengan kehangatan antar pribadi, kesediaan menerima
dan mengenal lebih jauh topik diskusi, keantusiasan berpartisipasi, kesediaan
menghargai pendapat orang lain, sehingga semua orang menganggap diskusi
sebagai suatu kegiatan yang menyenangkan.
(2) Diskusi yang efektif harus didahului dengan perencanaan dan persiapan yang
matang, yang mencakup :
pemilihan topik atau masalah yang didiskusikan.
Perencanaan dan penyiapan yang berhubungan dengan topik, sehingga siswa-
siswa memiliki latar belakang yang sama dalam diskusi.
Penyiapan diri guru sebagai pemimpin diskusi yang juga berperan sebagai
sumber informasi, motivator, dan fasilitator.
Penetapan besar kelompok, berdasarkan pengalaman, pengetahuan, tingkat
kekompakkan (kekohesivan)
Pengaturan tempat duduk yang memberi kesempatan bagi semua anggota
bertatap muka satu dengan yang lain.

Komponen-komponen keterampilan memimpin diskusi kelompok kecil :


1). Memusatkan perhatian, dapat dilakukan guru dengan cara :
Merumuskan tujuan pada awal diskusi, serta topik masalah diskusi.
Menyatakan masalah-masalah khusus yang mungkin dihadapi dalam diskusi.
Merangkum hasil pembicaraan pada tahap-tahap tertentu sebelum
melanjutkan pada masalah berikutnya.
2). Memperjelas masalah dan urunan pendapat, dengan cara :
Menguraikan kembali atau merangkum urunan tersebut hingga menjadi jelas.
Meminta komentar siswa untuk membantu memperjelas ide, gagasan.
Menguraikan gagasan siswa dengan memberi informasi tambahan.
3). Menganalisis pandangan siswa, dengan cara :
Meneliti apakah gagasan dan alasan-alasan siswa mempunyai dasar yang kuat.
Memperjelas hal-hal yang disepakati dan yang tidak disepakati.
4). Meningkatkan urunan siswa, dengan cara :
Mengajukan pertanyaan-pertanyaan kunci yang menantang siswa berpikir.
Memberikan contoh-contoh baik verbal maupuan non-verbal yang sesuai.
Menghangatkan suasana dengan mengajukan pertanyaan yang dapat
mengundang perbedaan pendapat
Memberi waktu yang cukup untuk berpikir tanpa kometar-komentar guru.
Memberi dukungan terhadap urunan siswa, misalnya dengan mendengar
penuh perhatian, komentar yang positif.
5). Menyebarkan kesempatan berpartisipasi, dengan cara :
Mencoba memancing urunan siswa yang enggan berpartisipasi dengan
mengarahkan pertanyaan langsung secara bijaksana, misalnya : saya yakin
Tulusmen dapat memberi contoh ! Coba Tulusmen !
Mencegah terjadinya pembicaraan serentak, dengan memberi giliran lebih
dahulu kepada siswa yang pendiam dan atau yang sungkan.
Mencegah secara bijaksana siswa yang suka memonopoli pembicaran
Mendorong siswa mengomentari urunan temannya
Meminta persetujuan siswa untuk melanjutkan diskusi, bila kemacetan dalam
diskusi telah dapat diatasi.
6). Menutup diskusi, dengan cara :
Membuat rangkuman hasil diskusi bersama-sama denganpara siswa.
Memberi bayangan tentang tindak lanjut diskusi, dan atau topik diskusi
lainnya
Mengajak siswa menilai proses dan hasil diskusi yang telah dicapai.
6.7.Keterampilan Mengelola Kelas
Yang dimaksud dengan keterampilan mengelola kelas adalah
keterampilan guru menciptakan dan memelihara kondisi belajar yang optimal,
dan keterampilan mengembalikan kondisi belajar yang optimal bila terdapat
gangguan dalam proses belajar-mengajar baik yang bersifat gangguan kecil
dan sementara, maupun yang bersifat berkelanjutan. Pengembalian pada
kondisi belajar yang optimal termasuk tindakan guru dalam mendisiplinkan
kelas. Penggunaan keterampilan mengelola kelas mempunyai tujuan, baik
untuk siswa maupun untuk guru.
1. Tujuan keterampilan mengelola kelas untuk siswa :
(a) Mendorong siswa mengembangkan tanggungjawab pribadi atas
tingkahlakunya, serta untuk mengendalikan dirinya.
(b) Membantu siswa mengerti akan arah tingkahlaku yang sesuai dengan tata
tertib kelas, dam melihat atau merasakan teguran guru sebagai peringatan dan
bukan kemarahan.
(c) Menimbulkan rasa berkewajiban melibatkan diri dalam tugas dan bertingkah
laku wajar sesuai dengan aktivitas-aktivitas kelas.
2. Tujuan keterampilan mengelola kelas untuk guru :
(a) Mengembangkan pengertian dan keterampilan dalam memelihara kelancaran
penyajian secara tepat, baik dan lancar.
(b) Memiliki kesadaran terhadap kebutuhan siswa dan mengembangkan
kompetensinya di dalam memberikan pengarahan yang jelas kepada siswa.
(c) Memberi respon secara efektif terhadap tingkahlaku siswa yang menimbulkan
gangguan-gangguan kecil atau ringan, serta memahami dan menguasai
seperangkat kemungkinan strategi yang dapat digunakan dalam hubungan
dengan masalah tingkahlaku siswa yang berlebih-lebihan atau terus-menerus
menentang di kelas.

Prinsip-prinsip penggunaan keterampilan mengelola kelas :


1) Kehangatan dan keantusiasan.
Kehangatan dan keantusiasan gurur dapat memudahkan terciptanya iklim kelas
yang menyenangkan, yang merupakan salah satu syarat kegiatan belajar-mengajar
optimal.
2) Tantangan.
Penggunaan kata-kata, tindakan, atau bahan-bahan yang menantang akan
meningkatkan gairah siswa untuk belajar sehingga mengurangi kemungkinan
munculnya tingkah laku menyimpang.
3) Bervariasi.
Penggunaan variasi dalam media, gaya mengajar, interaksi belajar-mengjar
merupakan kunci pengelolaan kelas untuk menghindari kejenuhan, serta
pengulangan-pengulangan aktivitas yang menyebabkan menurunnya kegiatan
belajar dan tingkahlaku positif.
4) Keluwesan
Untuk mencegah gangguan-gangguan yang mungkin timbul diperlukan
keluwesan tingkah laku guru untuk dapat merubah strategi mengajarnya dengan
memanipulasi berbagai komponen keterampilan mengajar yang lain.
5) Penekanan pada hal-hal yang positif
Hal ini dapat dilakukan dengan memberi aksentuasi terhadap tingkah laku siswa
yang positif dan menghindari ocehan dan atau celaan terhadap tingkahlaku yang
kurang wajar, memberi penguatan terhadap tingkahlaku siswa yang positif, dan
menyadari akan kemungkinan kesalahan-kesalahan yang dapat dibuatnya
sehingga akan mengganggu kelancaran dan kecepatan belajar siswa.
6) Penanaman disiplin diri
Penanaman disiplin diri pada siswa akan lebih berhasil apabila guru sendiri
menjadi contoh teladan dalam pengendalian diri dan pelaksanaan tugas
tanggungjawab.

Komponen-komponen keterampilan mengelola kelas :


1. Keterampilan yang berhubungan dengan penciptaan dan pemeliharan kondisi
belajar yang optimal, meliputi :
a). Menunjukkan sikap tanggap
Keterampilan ini menggambarkan tingkahlaku guru yang dapat dilihat siswa
bahwa guru sadar serta tanggap terhadap perhatian mereka. Kesan
ketanggapan ini dapat ditunjukkan guru dengan berbagai cara, yaitu :
Memandang secara seksama.
Gerak mendekati
Memberikan pertanyaan-pertanyaan
Memberikan reaksi terhadap gangguan dan ketidakacuhan siswa.
b). Membagi Perhatian
Pengelolaan kelas yang efektif terjadi bila guru mampu membagi
peerhatiaanya kepada beberapa kegiatan yang berlangsung dalam waktu yang
bersamaan. Hal ini menunjukkan bahwa guru mampu menangani lebih dari
satu kegiatan dalam satu waktu. Membagi perhatian dapat dilaksanakan
dalam dua cara yaitu secara visual, dan verbal.
c). Memusatkan perhatian kelompok, dengan cara menyiagakan siswa dan
menuntut tanggungjawab siswa.
d). Memberikan petunjuk-petunjuk yang jelas
Hal ini berhubungan dengan petunjuk guru yang disampaikan secara jelas dan
bersifat langsung kepada siswa, baik secara kelompok, perorangan, maupun
seluruh kelas dalam hubungan aktivitas-aktivitas yang harus dilakukan siswa
selama proses belajar-mengajar berlangsung.
e). Menegur
Tidak semua tingkah laku siswa yang mengganggu kelas atau kelompok
dalam kelas dapat dicegah atau dihindari dengan berhasil, sehingga seringkali
guru perlu bertindak mengatasi gangguan tersebut dengan menegur secara
verbal atau memperingati siswa yang bersangkutan dengan tegas dan jelas
atas tingkah laku yang harus dihentikan, menghindari peringatan yang kasar
dan menyakitkan serta penghinaan, menghindari ocehan dan ejekan yang
berkepanjangan, dan membuat aturan-aturan kelas yang disepakati bersama.
a) Memberi penguatan
Di samping penguatan yang ditujukan terhadap siswa tertentu yang
menunjukkan tingkahlaku positif di dalam kelas, pemberian penguatan disini
dimaksudkan juga untuk menjadi contoh bagi siswa-siswa lain yang
cenderung menunjukkan tingkah laku yang mengganggu di kelas.

2. Keterampilan yang berhubungan dengan pengembalian kondisi belajar yang


optimal.
Harus diakui dalam kasus-kasus tertentu, guru menghadapi siswa-siswa yang
terus saja mengganggu proses pembelajaran di kelas. Adalah bukan kesalahan
profesional guru apabila ia tidak dapat menangani setiap persoalan yang tibul di
kelas. Untuk itu ia harus melaporkan/meminta pertolongan kepada pimpinan
sekolah atau konselor sekolah, bahkan orangtua siswa. Namun pada tingkat
tertentu guru dapat menggunakan seperangkat strategi untuk tindakan perbaikan
terhadap tingkahlaku siswa yang terus saja mengganggu. Strategi dimaksud
adalah sebagai berikut :
Modifikasi tingkah laku, dengan cara :
(a) Meningkatkan tingkah laku yang di inginkan, melalui penguatan pada
tingkah laku yang di inginkan meskipun tampak sesekali.
(b) Pembentukan tingkah laku yang baru, dengan teknik modelling.
(c) Mengurangi dan menghilangkan tingkah laku yang tidak diinginkan,
melalui :penghapusan penguatan, pemberian hukuman, membatalkan
kesempatan, dan pengurangan hak.
Pengelolaan kelompok
Guru dapat menggunakan alternatif lain dalam mengatasi masalah-masalah
pengelolaan kelas dengan menerapkan pendekatan pemecahan masalah
kelompok dengan cara : memperlancar tugas-tugas kelompok dan memelihara
kegiatan-kegiatan kelompok.
Menemukan dan memecahkan tingkah laku yang menimbulkan masalah ,
dengan cara :
(a) Pengabaian yang direncanakan (planned ignoring)
(b) Campur tangan dengan isyarat (signal interference).
(c) Mengawasi dari dekat (proximity control).
(d) Mengakui perasaan yang mendasari suatu perbuatan negatif (recognizing
underlying feelings).
(e) Mengungkapkan perasaan siswa (increasing awareness)
(f) Memindahkan benda-benda yang bersifat mengganggu (removal of
seductive items).
(g) Menysusn kembali program belajar (restructuring the programme)
(h) Menghilangkan ketegangan dengan humor (tesion decontamination
through humor)
(i) Memindahkan penyebab gangguan (anticeptic bouncing)
(j) Pengekangan fisik (phisycal restrain)
(k) Pengasingan (exclusion placement plan).

Hal-hal yang harus dihindari dalam menggunakan keterampilan mengelola kelas :


(1) Campur tangan yang berlebihan (teacher intrucsion)
(2) Kelenyapan (fade away).
(3) Ketidaktepatan memulai dan mengakhiri kegiatan (stops and strats).
(4) Penyimpangan (digression).
(5) Bertele-tele (overdwelling).
(6) Pengulangan penjelasan yang tidak perlu (fragmenting).

6.8.Keterampilan Mengajar Kelompok Kecil dan Perorangan


Sesuai makna yang tersirat pada kata kelopok kecil dan perorangan,
maka secara fisik yang menandai bentuk pengajaran ini adalah terbatasnya
jumlah siswa yang dihadapi guru, yaitu sekitar 3 8 orang untuk kelompok
kecil, dan hanya satu orang untuk pengajaran perorangan. Ini tidak berarti
sepanjang pembelajaran di kelas,guru hanya mengahadapi satu kelompok dan
satu orang siswa. Guru menghadapi beberapa kelompok siswa, yang masing-
masing mempunyai kesempatan untuk bertatap muka/berinteraksi dengan
guru. Adapun tujuan diadakannya keterampilan mengajar kelompok kecil dan
perorangan adalah :
1) Terjadinya hubungan interpersonal yang sehat dan akrab antara guru dengan
siswa dan antara siswa dengan siswa.
2) Siswa belajar sesuai dengan kecepatan, cara, kemampuan dan minatnya sendiri.
3) Siswa mendapat bantuan dari guru sesuai dengan kebutuhannya.
4) Siswa dilibatkan dalam penentuan cara-cara belajar yang akan ditempuh, materi
dan alat yang akan digunakan,dan bahkan tujuan yang akan dicapaiI
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam menggunakan keterampilan mengajar
kelompok kecil dan perorangan :
Bagi guru yang sudah biasa dengan pengajaran klasikal, sebaiknya mulai dengan
pengajaran kelompok kecil, kemudian secara bertahap mengarah pada pengajaran
perorangan. Sedangkan bagi calon guru sebaiknya mulai dengan pengajaran
perorangan, kemudian secara bertahap ke pengajaran kelompok.
Tidak semua topik dapat dipelajari secara efektif dalam kelompok kecil apalagi
perorangan. Hal-hal yang bersifat umum seperti pengarahan, informasi umum,
dan sebagainya, sebaiknya diberikan dalam bentuk kelas besar.
Dalam pengajaran kelompok kecil, langkah pertama yang harus dilakukan guru
adalah mengorganisasikan siswa, sumber, ruangan, serta waktu yang diperlukan.
Kegiatan pengajaran kelompok kecil yang efektif diakhiri dengan suatu kulminasi
yang dapat berupa : rangkuman, pemantapan, laporan, dan sebagainya; yang
semuanya memungkinkan siswa untuk belajar.
Dalm pengajaran perorangan guru sangat perlu mengenal siswa secara pribadi,
hingga kondisi belajar dapat diatur dengan tepat.
Kegiatan dalam pengajaran perorangan dapat berupa bekerja bebas dengan bahan
yang telah siap pakai (misalnya paket belajar), dapat belajar dengan jadual harian
siswa sendiri.

Komponen-komponen keterampilan mengajar kelompok kecil dan perorangan :


1. Keterampilan mengadakan pendekatan secara pribadi, meliputi :
(a) Menunjukkan kehangatan dan kepekaan terhadap kebutuhan siswa, baik
dalam kelompok kecil maupun perorangan.
(b) Mendengarkan secara simpatik ide-ide yang dikemukakan siswa
(c) Memberikan respon positif terhadap buah pikiran siswa.
(d) Membangun hubungan saling mempercayai.
(e) Menunjukkan kesiapan untuk membantu siswa tanpa kecenderungan
mendominasi / mengambil alih tugas siswa.
(f) Menerima perasaan siswa dengan penuh pengertian dan keterbukaan.
(g) Berusaha mengendalikan situasi hingga siswa merasa aman, penuh
pemahaman, meras dibantu, serta merasa menemukan alternatif pemecahan
masalah.

2. Keterampilan mengorganisasikan, meliputi :


(a) Memberikan orientasi umum tentang tujuan, tugas, atau masalah yang akan
dipecahkan sebelum kelompok/perorangan.
(b) Memvariasikan kegiatan yang mencakup : penetapan/penyediaan ruangan
kerja, peralatan, cara kerja, aturan-aturan yang perlu dilaksanakan, serta
alokasi waktu.
(c) Membentuk kelompok yang tepat, dalam jumlah, tingkat kemampuan siswa.
(d) Mengkoordinasi kegiatan dengan cara melihat kemajuan serta penggunaan
materi dan sumber, hingga dapat memberikan bantuan pada saat yang tepat.
(e) Membagi perhatian pada berbagai tugas dan kebutuhan siswa, hingga guru
siap datang membantu siapa saja yang memerlukannya.
(f) Mengakhiri kegiatan dengan suatu kulminasi yang berupa : laporan hasil yang
dicapai siswa, disertai penyimpulan tentang kemajuan dalam kegiatan
tersebut.

3. Keterampilan membimbing dan memudahkan siswa belajar, meliputi :


(a) Memberikan penguatan yang sesuai untuk mendorong kemajuan belajar
siswa.
(b) Mengadakan supervisi proses awal yang mencakup sikap tanggap guru
terhadap siswa untuk mengetahui kelancaran kegiatan.
(c) Mengadakan supervisis proses lanjut yang memusatkan perhatian pada
penekanan dan pemberian bantuan secara selektif setelah kegiatan
berlangsung beberapa lama, dengan cara memberikan pelajaran atau
bimbingan tambahan (tutoring), melibatkan diri sebagai peserta, memimpin
kelompok bila perlu, dan bertindak sebagai katalisator yaitu meningkatkan
kemampuan berpikir melalui pertanyaan, komentar, dan saran.
(d) Mengadakan supervisi pemanduan yang memusatkan perhatian pada
penilaian pencapaian tujuan dari berbagai kegiatan yang dilakukan dalam
rangka menyiapkan rangkuman dan pemantapan yang pada akhirnya
memungkinkan siswa saling belajar serta memperoleh wawasan secara
menyeluruh tentang kegiatan tersebut.

4. Keterampilan merencanakan dan melaksanakan kegiatan belajar-mengajar,


meliputi :
(a) Membantu siswa menetapkan tujuan pembelajaran yang dapat dilakukan
dengan diskusi atau menyadiakan bahan-bahan yang menarik dan merangsang
siswa.
(b) Merencanakan kegiatan belajar bersama siswa yang mencakup kriteria
keberhasilan, langkah-langkah kerja/kegiatan, waktu, serta kondisi belajar.
(c) Berperan sebagai penasehat bagi siswa bila diperlukan.
(d) Membantu siswa menilai pencapaian dalam kemajuan belajarnya.

Keseluruhan keterampilan mengajar tersebut dapat digunakan guru dalam


proses pembelajaran, sehingga tujuan yang hendak dicapai dapat terwujud.
Disamping itu, seorang guru harus mampu memilih metode apa yang cocok dalam
menggunakan keterampilan yang sedang diperankan sehingga terjadi kesesuaian
antara materi yang diajarkan dengan tujuan yang hendak dicapai.
BAGIAN 7
MOTIVASI PEMBELAJARAN
7.1. Pengertian dan Pentingnya Motivasi
Motivasi berasal dari kata Inggris motivation yang berarti dorongan,
pengalasan dan motivasi. Kata kerjanya adalah to motivate yang berarti mendorong,
menyebabkan dan merangsang. Motivate sendiri berarti alasan, sebab dan daya
penggerak (Echols, 1984). Motif adalah keadaan dalam diri seseorang yang
mendorong individu tersebut amok melakukan aktifitas-aktifitas tertentu guna
mencapai tujuan yang diinginkan (Suryabrata, 1994). Secara serupa Winkels (1987)
mengemukakan bahwa motif adalah penggerak dalam diri seseorang mau
melakukan aktifitas-aktifitas tertentu dalam mencapai suatu tujun tertentu pula.
Dalam kegiatan belajar mengajar, dikenal adanya motivasi belajar, yaitu
motivasi yang diterapkan dalam kegiatan belajar. Motivasi belajar adalah
keseluruhan dari penggerak psikis dalam diri siswa yang menimbulkan kegiatan
belajar, menjamin kelangsungan belajar itu demi mencapai suatu tujuan (Winskel,
1987). Motivasi belajar memegang peranan penting dalam memberikan gairah,
semangat dan rasa senang dalam belajar sehingga yang mempunyai motivasi tinggi
mempunyai energi linggi yang banyak untuk melaksanakan kegiatan belajar. Siswa
yang mempunyai motiasi belajar tinggi sangat sedikit yang tertinggal belajarnya dan
sangat sedikit putus kesalahan dalam belajarnya (Palardi, 1975).
Ada beberapa ciri siswa yang mempunyai motivasi belajar yang tinggi. Ini
dapat dikenali dalam proses belajar mengajar di kelas, sebagaimana dikemukakan
Brown (1981) sebagai berikut: tertarik kepada guru, artinya tidak membenci atau
bersikap acuh tak acuh ; tertarik pada mata pelajaran yang diajarkan ; mempunyai
antusias yang tinggi serta mengendalikan perhatiannya terutama kepada guru, ingin
selalu bergabung dalam kelompok kelas; ingin identitas dirinya diakui oleh orang
lain; tindakan, kebiasaan, dan moralnya selalu dalam kontrol diri; selalu mengingat
pelajaran dan mempelajarinya kembali; dan selalu terkontrol oleh lingkungannya.
Sardiman (1986) mengemukakan bahwa ciri-ciri motivasi yang ada pada diri
seseorang adalah: tekun dalam menghadapi tugas atau dapat bekerja secara. terus
menerus dalam waktu lama; ulet dalam menghadapi kesulitan dan tidak mudah
putus asa, tidak cepat puas atas prestasi yang diperoleh; menunjukkan minat yang
besar terhadap bermacam-macam masalah belajar; lebih suka bekerja sendiri dan
tidak bergantung kepada orang lain; tidak cepat bosan dengan tugas-tugas rutin;
dapat mempertahankan pendapatnya; tidak mudah melepaskan apa yang diyakini;
senang mencari dan memecahkan masalah.
Suatu hal yang penting adalah bahwa motivasi pada setiap tingkat yang
diatas hanya dapat dibangkitkan apabila telah diperngaruhii tingkat motivasi di
bawahnya. Bila kita ingin anak belajar dengan baik (tingkat 5), maka haruslah
terpengaruh tingkat 1-4. Anak yang lapar, merasa tidak aman, yang tidak dikasihi,
yang tidak diterima sebagai anggota masyarakat kelas, yang guncang harga dirinya,
tidak akan dapat belajar dengan baik. Motivasi kelakuan manusia merupakan topik
yang sangat luas. Banyak macam motivasi dan para ahli meneliti tentang bagaimana
asal dan perkembangannya dan menjadi suatu "daya" dalam mengarahkan kelainan
seseorang. Motivasi diakui sebagai hal yang sangat penting bagi pelajaran di
sekolah.
Ada sejumlah tokoh yang meneliti soal motivasi belajar ini. Hewitt (1968)
mengemukakan bahwa "attentional set merupakan dasar bagi perkembangan
motivasi yakni yang bersifat sosial. artinya anak itu suka bekerja sama dengan anak-
anak lain dan dengan guru, ia mengharapkan penghargaan dari teman-temannya dan
mencegah celaan mereka, dan ingin mendapatkan harga dirinya di kalangan kawan
sekelasnya. Selanjutnya anak itu memperoleh motivasi anak menguasai pelajaran
(matery), termasuk penguasaan kemampuan intelektual. Dengan reinforcement yakni
penghargaan atas keberhasilannya motivasi itu dapat dipupuk. Taraf motivasi
tertinggi menurut hewitt ialah motivasi untak "achievemenf' atau keberhasilan yang
merupakan syarat agar anak im didorong oleh kemauannya sendiri dan merasa
kepuasan dalam mengatasi tugas-tugas yang kian bertambah sulit dan berat. Bila taraf
ini tercapai, maka anak itu sanggup untuk belajar sendiri. Juga peneliti lain
mengemukakan pentingnya reinforcement berupa pujian, penghargaan yang
diberikan bila hasil belajar anak mendekati bentuk kelakuan yang di inginkan, dan
tidak perlu di tunggu sampai hasil belajarnya benar sepenuhnya. Siswa perlu
diberitahukan tentang hasil pekerjaanya sehingga ia dapat menilai keberhasilannya
dan kegagalannya. Akhirnya anak itu harus meningkat dalam bentuk penghargaan
dari yang konkrit kepada rasa putas atas keberhasilannya menurut standar yang
ditentukannya sendiri.
Secara konseptual motivasi berkaitan erat dengan prestasi atau perolehan
belajar. Pembelajaran yang tinggi motivasi, umumnya tinggi pula perolehan
belajarnya. Sebaliknya, pembelajaran yang rendah motivasinya, rendah pula
perolehan belajarnya. Demikin juga pembelajuan yang sedang-sedang saja
motivasinya, umumnya perolehan belajannya juga sedang-sedang saja. Banyak riset
yang membuktikan bahwa tingginya motivasi dalam belajar berhubungan dengan
tingginya prestasi belajar. Bahkan pada saat ini, kaitan antara motivasi dengan
perolehan dan atau prestasi ini tidak hanya dalam belajar. Dalam kerjapun, motivasi
mi juga sangat prating. Salah satu hasil peneliti juga menunjukkan bahwa siswa
yang mempunyai motivasi-berprestasi umumnya juga mempunysu prestasi yang
lebih tinggi. Pegawai atau karyawan yang mempunyaj motivasi berprestasi tinggi
juga menunjukkan performansi profesional yang diharapkan atau di atas rata-rata
teman atau sejawatnya.
Bahkan dewasa ini, ada juga yangg mengembangkan motivasi berprestasi
atau motivasi belajar ini menjadi motif berkompetensi yang dimaksud dengan
berkompetensi adalah dorongan-dorongan untuk menguasai kompetensi
keahliannya. Terbukti dengan jelas, bahwa mereka yang mempunyai motivasi
kompetensi yang tinggi cenderung lebih mengusai bidang-bidangnya dibandingkan
dengan mereka yang rendah motif kompetensinya. Oleh karena itu, motivasi belajar
sangat urgen dalam peningkatan perolehan belajar. Dalam khasanah kepustakaan
kependidikan, motivasi sering-sering disebut secara berulang-ulang sebagai variabel
yang banyak menentuk perolehan belajar. Bahkan, orang yang sukses disegala
bidang, lebih banyak disebabkan oleh tingginya motivasi yang mereka punyai. Juga
untuk belajar diperlukan motivasi "motivation is dan essential condition of
learning". Hasil belajarpun banyak ditentuk oleh motivasi. Makin tepat motivasi
yang kita berikut, makin berhasil pelajaran itu. Motivasi menentukan intensitas
usaha anak belajar. Berdasarkan hal tersebut motivasi mempunyai tiga fungsi:
(a) Mendorong manusia untuk berbuat, jadi sebagal penggerak atau motor yang
melepaskan energi.
(b) Menentukan arah perbuatan, yakni kearah tujuan yang hendak dicapai.
(c) Menyeleksi perbuatan. yakni menentukan perbuatan-perbuatan apa yang harus
dijalankan yang serasi guna mencapai Tujuan itu, dengan menyampingkan
perbuatan-perbuatan yang tak bermanfaat bagi tujuan ini. Seorang yang betul-
betul bertekad menang dalam pertandingan, tak akan menghabiskan waktunya
bermain karena, sebab tidak serasi dengan tujuan.
Dalam bahasa sehari-hari motivasi dinyatakan dengan; hasrat, keinginan,
maksud, tekad, kenuman, dorongan, kebutahan, kehendak, cita-cita, keharusan,
kesedihan dan sebagainya.

7.2. Sifat Motivasi Intrinsik dan Ekstrinsik


Motivasi dapat di bedakan atas motivasi intrinsik dan motivasi ekstrinsik.
Yang dimaksud dengan motivasi intrinsik adalah motivasi yang berasal dari dalam
individu. Ausubel (1968) berpendapat babwa modyasi yang dikaitkan dengan
motivasi sosial tidak begitu penting dibandingkan dengan motivasi yang bertalian
dengan penguasaan tugas dan keberhasilan. Motivasi serupa ini bersifat intrinsik
dan keberhasilannya akan memberi rasa kepuasan. Selain ini keberhasilan itu
mempertinggi harga dirinya dan rasa kemampuannya.
Dalam hal pertama ia didorong oleh motivasi intrinsik yakni ia ingin
mencapai tujuan yang terkandung didalam perbuatan belajar itu. Dalam belajar
telah terkandung tujuan menambah pengetahuan "intrinsk motivations are inherent
in the learning situasions and meet pupil needs and purposes". Demikian pula bila
semang main badminton untuk menikmatinya, didorong oleh motivasi intrinsik,
yakni 'for the pleasure of the activity".
Motivasi belajar secara intrinsik sebenamya memang telah ada. Ini sesuai
dengan teori, yang memandang bahwa segala tindakan manusia, termasuk belajar,
adalah karena terdapatnya tanggungjawab internal pada diri manusia itu. Manusia,
dalam sudut pandang teori ini, memang termsuk makhluk yang baik: tinggi
tanggungjawabnya, suka bekerja termasuk belajar, tinggi militansi kerja atau
belajarnya, selaia ingin berprestasi. Berarti, dalam diri manusia sebenarnya terdapat
dorongan-dorongan yang kuat untuk belajar.
Sungguhpun demikian, rekayasa lingkungan perlu diberikan agar seseorang
tetap belajar. Rekayasa lingkungan antara lain dapat berupa motivasi ekstrinsik.
Mengapa motivasi ekstrinsik perlu diberikan, tak lain karena seseorang tidak
senantiasa bemda dalam keadaan menetap. Bisa terjadi, seseorang yang mempunyai
motivasi belajar intrinsik yang demikian tinggi tiba-tiba melemah. Supaya
melemahnya motivasi intrinsik ini tidak sampai berada pada tingkatan yang sangat
rendah, perlu dikontrol dengan menggunakan motivasi ekstrinsik.
Pada orang yang tingleat motivasi intrinsiknya rendah, justru motivasi
ekstrinsik ini sangat diperlukan. Motivasi ekstrinsik yang diberikan secara tepat,
justru secara berlahan dapat mencangkokkan motivasi intrinsik mtuk belajar
manakala belajar yang direkayasa dengan motivasi ekstrinsik tersebut telah menjadi
kebiasaan bagi pembelajar. Bahkan kalau sudah sampai di tahap mempribadi,
seseorang akan tinggi motivasi belajarnya secara intrinsik.
Adakah suatu kenyataan, bahwa anak manusia itu tidak sama, termasuk
motivasinya. Ketidaksamaan dalam motivasi intrinsik yang dipunyai ini, dapat
dikurangi dengan memberikan motivasi eksuinsik.
Bila seorang belajar untuk mencari penghargaan berupa angka, hadiah,
diploma, dan sebagainya. Ini didorong oleh motivasi ekstrinsik, oleh sebab tujuan-
tujuan itu terletak di luar perbuatan itu, yakni tidak terkandung didalam perbuatan
itu sendiri. "The goal is artifkially introduced". Tujuan itu bukan sesuatu yang wajar
dalam kegiatan. Anak-anak didorong oleh motivasi intrinsik, bila mereka belajar
agar lebib sanggup mengatasi kesulitan kesulitan hidup, agar memperoleh
pengertian, pengetahum, sikap yang baik, penguasaan kecakapan. Hasil-hasil itu
sendiri telah merupakan hadiah.
"The reward of a thing well done is to have done it"(Emerson). Ganjarant
bagi sesuatu yang dilakukan dengan baik ialah telah melakukannya. Jadi motivasi
ekstrinsik disini tidak perlu.
Akan tetapi di sekolah sering digunakan motivasi ekstrinsik seperti angka-
angka, pujian, ijazah, kenaikan tingkat, celaan, hukuman, dan sebagainya. Motivasi
eksifinsik dipakai oleh sebab pelajaran-pelajaran sering tidak dengan sendirinya
menarik dan guru sering kurang mampu untuk membangkitkan minat anak.
Membangkitkan motivasi tidak mudah. Untuk itu guru perlu mengenal
murid, dan mempunyai kesanggupan Kreatif untuk menghubungkan pelajaran
dengan kebutuhan dan minat anak.

7.3.Motivasi dalam Belajar dan Unsur-Unsur yang mempengaruhi motivasi belajar


Motivasi sangat krusial dalam belajar dan pembelajaran. pada hal, motivasi
belajar tersebut juga dipengaruhi oleh banyak unsur antara lain: cita-cita aspirasi
penubelajar, kemampuan pembelajar, kondisi pembelajar, kondisi lingkungan
belajar, unsur-unsur dinamis belajar. Pembelajaran dan upaya-upaya guru dalam
membelajarkan pembelajar. Oleh karena itu, unsur-unsur yang mempengaruhi
tersebut, perlu diketahui dan diperhatikan oleh guru yang membelajarkan
pembelajar. Agar dapat mendukung lebih optimal terhadap motivasi belajar. Jika
unsur-unsur yang mempenguuhi tersebut tidak diketahui dan tidak diperhatikan,
bisa menjadi penyebab rendahnya motivasi belajar para pembelajar.
Sebagai konsekuensi atas perhatian guru terhadap unsurunsur yang
mempengaruhi motivasi belajar dan unsur-unsur yang mempengamhi tersebut, guru
hendaknya senantiasa berupaya meningkatkan motivasi belajar. Upaya
meningkatkan motivasi belajar tersebut dilakukan dengan cara mengoptimalkan
penerapan prinsip-prinsip belajar, mengoptimalkan unsur-unsur belajr /
pembalajaran, mengoptimalkan pemanfaatan pengalaman kemampuan yang di
miliki oleh pembelajar dan mengembangkan cita-cita dan aspirasi pembelajar.
Ausubel mengatakan adanya hubungan antara motivasi dan belajar. Motivasi
bukan mempakan syarat mutlak untuk belajar tak perlu lebih dahulu ditunggu
adanya motivasi sebelum kita mengajarkan sesuatu. Bahkan kita dapat mengabaikan
motivasi dan memusatkan perhatian kepada pengajaran itu sendiri. Bila belajar itu
berhasil, maka akan timbul motivasi itu dengn sendirinya dan keinginan untuk lebih
banyak belajar. Sukses dalam belajar akan membangkitkan motivasi untuk belaiar.
Menurut Skinner(1968) masalah motivasi bukan soal memberikan motivasi,
akan tetapi mengatur kondisi belai sehingga memberikan reinforcement.
Motivasi yang dianggap lebih tinggi tarafnya daripada penguasaan tugas
ialah "achievement motivation" yakni motivasi untuk mencapai atau menghasilkan
sesuatu. Motivasi ini lebib mantap dan memberikan dorongan kepada sejumlah
besar kegiatan, termasuk yang berkaitan dengan pelajari, di sekolah. McClelland
(1965) yang menyelidiki berbagai hal yang dapat mempertinggi motivasi ini,
misalnya dengan merumuskan tujum dengan jelas, mengetahui kemajuan yang
dicapai, merasa turut benanggungjawab, dan lingkungan sosial yang menyokong.
Peneliti lain, White (1959) mengemukakan konsep kompetensi. Motivasi
kompetensi mempunyai dasar biologis, jadi juga terdapat pada binatang, antara lain
motivasi menyalidiki aktivitas manipulasi. Ada pula peneliti yang mencari motiyasj
positif yang dinyatakan dengan istilah "mastery, "egoinvolvement" (keterlibatan
diri), dan lain-lain. White berpendapat bahwa kegiatan anak tak dapat dijelaskan
dengan dorongan untuk memuaskan kebutuhan makan, minum, dan sebagainya.
Akan tetapi karena kegiatan untuk berinteraksi secara efektif dengan lingkungannya
yang memberikan rasa mampu. Setiap orang ingin menguasai lingkungannya.
Walaupun teori-teori motivasi berbeda-beda, nanum dalam praktek
pendidikan penerapannya bersamaan. Pelajar harus diberikan ganjaran (reward)
berupa pujian, angka ang baik, rasa keberhasilan atas hasil belajarnya, sehingga ia
lebih tertarik oleh pelajaran. Keberhasilan dalam interaksi dengan lingkungan
belajar, penguasaan tujuan program pendidikan memberikan rasa kepuasan dan
karena ini merupakan sumber motivasi yang terus menerus bagi pelajar, sehingga ia
sanggup belajar sendiri sepanjang bidupnya, yang dapat dianggap sebagai salah
samtu hasil pendidikan yang paling penting.
Unsur-Unsur Yang Mempengaruhi Motivasi
Ada beberapa unsur yang mempengaruhi motivasi belajar. Unsur-unsur
tersebut adalah :
1. Cita-cita / aspirasi pembelajar
2. Kemampuan pembelajar
3. Kondisi pembelajar
4. Kondisi lingkungan belajar
5. Unur-unsur dinamis belajar Ipembelajaran
6. Upaya guru dalam membelajarkan pembelajar

Unsur-unsur tersebut dijelaskan sebagaimana pada uraian berikut :


a. Cita-cita / aspirasi pembelajaran
Setiap manusia senantiasa mempunyai cita-cita atau aspirasi tertentu
didalam hidupnya temasuk pembelajar. Cita-cita atau aspirasi ini senantiasa ia kejar
dan ia perjuangkan. Bahkan tidak juang, meskipun rintagan yang ditemui sangat
banyak dalam mengejar cita-cita dan aspirasi tersebut seseorang tetap berusaha
semaksimal mungkin karena hal tersebut berkaitan dengan cita-cita dan aspirasinya.
Oleh karena itu, cita-cita dan aspirasi sangat mempengaruhi terhadap motivasi
belajar seseorang.
Seseorang yang bercita-cita menjadi dokter, pada saat masih sedang belajar
dijenjang pendidikan dasar, tentu menggemari terhadap mata pelajaran-mata
pelajaran dan bacaan-bacaan yang berkaitan erat dengan ilmu kesehatan. Meskipun
mata pelajaran tersebut masih terintegrasi dengan mata pelajaran IPA, ia akan lebih
bergairah dengan mata pelajaran tersebut. Oleh karena itu. ia akan lebih temotivasi
mempelajari mata pelajaran tersebut dibandingkan dengan mata pelajaran yang
lainnya.
Sebaliknya seseorang yang kebetulan berstatus mahasisma dan dahulunya
bercita-cita menjadi ahli hukum tetapi ia dipaksa oleh orang tuanya mengambil
jurusan teknik elektro. Dapat dipastikan kesungguhan belajarnya akan berkurang
karena apa yang ia pelajari tidak sesuai dengan cita-cita dan aspirasinya.
Ketidaksungguhan dalam belajar demikian ini tentu lantaran jurusan yang
dipaksakan oleh orang tuanya tidak cocok dengan cita-cita dan aspirasinya. Ia
kendor motivasinya, bisa jadi, pada saat-saat masih disekolah menengah ia tinggi
motivasi belajarnya sebaliknya pada saat sudah menjadi mahasiswa motivasi yang
tinggi tersebut berubah menjadi rendah. Itulah sebabnya, maka cita-cita dan aspirasi
pembelajaran ini perlu diperhitungkan dalam rangka meningkatkan motivasi belajar
seseorang, karena cita-cita atau aspirasi ini mempengaruhi motivasi belaiar.
Jika kaitan antara cita-cita atau aspirasi pembelajar dengan motivasi dan
perolehan belajar ini diskemakan seperti tampak dibawah ini:

CITA-CITA / ASPIRASI PEMBELAJAR


MOTIVASI BELAJAR PEMBELAJAR
PEROLEHAN BELAJAR PEMBELAJAR
b. Kemampuan PeMbelajar
Kemampuan manusia satu dengan yang lain tidaklah sama. Menuntut
seseorang sebagaimana orang lain dari bingkai penglihatan demikian tentulah tidak
diberikan. Sebab, orang yang mempunyai kemampuan rendah akan sangat susah
menyerupai orang yang mempunyai kemampuan tinggi; dan sebaliknya orang yang
berkemampun tinggi, akan menjadi malas jika dituntut sebagaimana mereka yang
berkemampuan rendah.
Oleh karena itu, kemampuan pembelajar ini haruslah diperhatikan dalam
proses belajar pembelajaran. Kemampuan pembelajar erat hubungannya dan bahkan
mempengaruhi motivasi belajar pembelajar. Bisa terjadi, seseorang menjadi rendah
motivasi belajarnya terhadap bidang tertentu oleh karena yang bersangkutan rendah
kemampuannya dibidang tersebut.
Jika kaitan antara kemampunn pembelajar dengan motivasi dan perolehan
belajar ini diskemakan sebagai berikut:

Kemampuan Pembelajaran
Motivasi Belajar Pembelajaran
Perolehan Belajar Pembelajaran

c. Kondisi pembelajar
Kondisi pembelajar dapsat dibedakan atas kondisi fisiknya dan kondisi
psikologisnya. Dua macam kondisi ini, fisik dan psikologis, umumnya saling
mempengamhi satu sama lain. Jiwa yang sehat terdapat pada tubuh yang sehat.
Dalam realitasnya juga berlaku kebalikannya. Bila seseorang kondisi psikologisnya
tidak sehat, bisa berpengaruh juga terhadap ketahanan dan kesehatan fisiknya.
Sangatlah jelas dan sering dirasakan oleh siapapun jika kondisi fisik dalam
keadaan lelah, umumnya motivasi belajar seseorang akan menurun. Sebaliknya jika
kondisi fisik berada dalam keadaan bugar dan segar, motivasi belajar bisa
meningkat. Berarti, kondisi fisik seseorang mempengaruhi motivasi belajarnya.
Orang yang sudah sangat lelah tidak baik kalau belajar. Demikian juga kalau sedang
sakit, tidak bails untuk dipaksa belajar.
Dalam kondisi psikologis terganggu, sebutlah misalnya stress, juga tidak
bisa mengkonsentrasikan diri terhadap hal-hal yang dipelajari. Kmena tidak bisa
konsentrasi, mka gairah belajarnya menurun. Keadaan demikian ini, bisa
menjadikan seseorang belajar merasa terpaksa dan tidak banyak bemotivasi.
Jelaslah bahwa kondisi pembelajar, baik yang bersifat fisik maupun psikis,
sama-sama berpengaruh terhadap motivasi belajarnya. Ada kalanya seseorang yang
pada masa-masa sebelumnya bemotivasi belajar tinggi, tiba-tiba menjadi rendah
hanya karena kondisi fisik dan psikologisnya terganggu atau sakit. Tidak jarang,
seseorang yang motivasi belajarnya biasa-biasa saja, tiba-tiba berubah karena
kondisi fisik dan psikologisnya dalam keadaan prima.
Jika diskemakan, kondisi pembelajar dalam kaitannya dengan motivasi dan
perolehan belajar adalah sebagai berikut:

Kemampuan Pembelajaran
Motivasi Belajar Pembelajaran
Perolehan Belajar Pembelajaran

d. Kondisi lingkungan belajar


Sudah umum diketahui bahwa yang menentukan motivasi belajar seseorang,
selain faktor individu juga faktor lingkungan. lebih-lebih lingkungan belajar. Sebab,
individu secara sadar ataukah tidak, senantiasa tersosialisasi oleb lingkungannya.
Lingkungan belajar ini meliputi : lingkungan fisik dan lingkungan sosial.
Yang dimaksud dengan lingkurigan fisik adalah tempat dimana pembelajar
tersebut belajar. Apakah tempat belajarnya nyaman ataukah tidak, apakah tempatnya
segar atau pengap. Hal-hal demikian ini berpengaruh terhadap motivasi belajar.
Demikian juga yang amburadul, tidak memberikan gairah bagi belajar seseorang.
Sebaiknya tempat yang teratur, yang tertata rapi, mendorong seseorang bergairah
belajar. Tempat belajar yang berisik oleh suara bisa menganggu belajar, yang
tenang, bisa menimbulkan gairah belajar. Jadi lingkungan fisik berpengaruh
terhadap motivasi belajar.
Lingkungan sosial adalah suatu lingkungan seseorang dalm kaitannya
dengan orang lain. Contohnya berupa lingkungan sepermainan, lingkungan sebaya,
kelompok belajar. Sungphpun faktor pribadi pribadi seseorang lebih menentukan
terhadap diri sendiri tetapi harus diakui bahwa lingkungan sosial juga menentukan
motivasi belajar seseorang. Contohnya jika dalam lingkungan sosial seseorang tidak
terbiasa dengan aktivitas belajar maka bukan budaya belajar itu yang dikembangkan
oleh seseorang.
Dalam lingkungan yang kompetitif untuk belajar, seseorang yang berada
dilingkungan tersebut akan terbawa serta untuk belajar seperti orang lain. Baik
secara sadar atau tidak. Kaitan antara kondisi lingkungan belajar dengan motivasi
dan perolehan belajar adalah sebagai berikut :

Kemampuan Pembelajaran
Motivasi Belajar Pembelajaran
Perolehan Belajar Pembelajaran

e. Unsur-Unsur Dinamis belajar pembelajar


Unsur dinmis belajar pembelajar meliputi hal-hal sebagai berikut :
a. Motivasi dan upaya memotivasi siswa untuk belaiar
b. Bahan belajar dan upaya penyediannya
c. Alat bantu belajar dan upaya penyediaannya
d. Suasana belajar dan upaya pengembangannya
e. Kondisi subjek belajar dan upaya penyiapan dan peneguhannya
Oleh karena itu, unsur- unsur dinamis dennkian ini patut diperhatikan agar
motivasi belajar pembelajar menjadi tinggi. tingginya motivasi belajar berimplikasi
bagi maksimainya perolehan belajar pembelajar.
Unsur dinamis belajar dan pembalajar Motivasi belajar pembelajar
Perolehan belajar pembelajar jika kaitan antara unsur-unsur dinamis dalam belajar
dengan motivasi dan perolehan belajar adalah sebagai berikut :

Unsur dinamis belajar dan pembelajar


Motivasi Belajar Pembelajaran
Perolehan Belajar Pembelajaran

f. Upaya Guru dalam Membelajarkan Pembelajar


Upaya guru dalam membelajarkan pembelajar juga berpengaruh terhadap
motivasi belajar. Guru yang tinggi gairahnya dalam membelajarkan pembelajar,
menjadikan pembelajar juga bergairah belajar, guru yang sungguh-sunggub dalam
membelajukan pembelajar, menjadikan tingginya motivasi belajar pembelajar. Pada
guru yang demikian umumnya mempersiapkan diri dengan matang dan senantiasa
memberikan yang terbaru dan terbaik kepada pembelajar. Oleh karena yang di
berikan tersebut menarik. Terbaik dan mungkin terbaru. Maka tingkat aktualitasnya
sangat tinggi dimata pembelajar. Sebagai akibatnya, hal-hal yang disajikan oleh
guru menjadi menarik dimata pembelajar. Menariknya hal-hal yang diberikan ini
hisa menjadikan tingginya motivasi pembelajar.
Sebaliknya pada guru yang tidak bergairah dalar membelajarkan pembelajar,
umumnya mengulang saja pelajaran yang di berikan dari tahun ketahun. Proses
belajar pembelajar terasa kering dan kehilangan nuansa. Akibat dari proses belajar
pembelajaran demikian ini, pembelajar tidak bergairah dan babkan mungkin
kehilangan motivasi. Hal demikian bisa lebib parah lagi. manakala guru yang
membelajarkan tersebut sudah puas dengan keadaan yang demikian ini.
Oleh karena itu, upaya guru untuk membelajarkan pembelajar sangat krusial
dalam meningkatkan motivasi pembelajar. Jika di skemakan antara upaya guru
untuk membelajarkan pembelajar dengan motivasi dan perolehan belajar pembelajar
adalah sebagai berikut :

Upaya guru membelajarkan Pembelajaran


Motivasi Belajar Pembelajaran
Perolehan Belajar Pembelajaran
Upaya Meningkatkan Motivasi Belajar
Upaya belajar senantiasa bergelombang. Adakalanya bergerak naik dan
adakalanya bergerak turun. Tidak jarang motivasi belajar hanya mendatar saja. Oleh
karena demikian " watak" motivasi tersebut, maka diperlukan upaya untuk
meningkatkannya. Dengan demikian, motivasi belajar yang di punyai oleh
pembelajar bisa cenderung naik dan atau minimal Menetap.
Ada beberapa upaya yang dapat dilakukan oleh guru guna meningkatkan
motivasi pembelajar, yaitu :
1. Mengoptimalkan penerapan prinsip-prinsip belajar
2. Mengoptimalkan unsur-unsur dinamis belajar / pembelajaran
3. Mengoptimalkan pemanfaatan pengalaman / kemampuan yang telah dimiliki
dalam belajar
4. Mengembangkan cita-cita / aspirasi dalam belajar

Secara berturut-turut, ketiga cara tersebut di kemukakan sebagai berikut :


1. Mengoptimalkan penerapan prinsip-prinsip belajar
Ada beberapa prinsip yang harus dipedomani dalam belajar. Prinsip tersebut
adalah :
a. Prinsip perhatian dan motivasi belajar
b. Prinsip keaktifan belajar
c. Prinsip keterlibatan langsung pembelajar
d. Prinsip pengulangan belajar
e. Prinsip sifat perangsang dan menantang dari materi yang dipelajari
f. Prinsip pemberian balikan dan penguruan dalam belajar
g. Prinsip perbedaan individual antar belajar
Ketujuh prinsip ini diterapkan secara optimal agar pembelajar mempunyai
motivasi yang tinggi dalam belajar.
Ada dua cara dalam mengoptimalkan penerapan prinsip belajar tersebut.
Pertama, menyusun strategi-strategi sehingga prinsip-prinsip tersebut dapat
terterapkan secara optimal. Strategi disini, dari pandangan-pandangan dan temuan-
temuan teoritik dan dapat pula digali dari kiat guru sendiri. Temuan-temuan ahli
psikologi pendidikan dan temuan-temuan ahli pengajaran part[ digali hingga dapat
dimanfaatkan untuk mengoptimalkan penerapan prinsip-prinsip belajar.
Kedua, menjauhkan konstrain-konstrain (kendala-kendala) yang ditemui
dalam mengoptimalkan penerapan prinsip-prinsip belajar. Kendala demikian ini
patut dijauhkan, agar tidak mengganggu bagi penerapan prinsip-prinsip belajar.

2. Mengoptimalkan Unsur-Unsur Dinamis Belajar / Pembelajaran


Mengingat unsur-unsur belajar / pembelajaran dapat mempengaruhi
motivasi, maka ia perlu di optimalkan penerapannya. Pengoptimalan demikian mi
perlu dilakukan agar motivasi belajar siswa juga optimal.
Cara mengoptimalkan unsur-unsur dinamis dalam belajar / pembelajaran
dalah : pertama, menyediakan secara kreatif berbagai unsur belajar pembelajaran
tersebut dalm setting belajar pembelajaran. Penyediaan secara kreatif ini perlu
dilakukan, katena umumnya ketika tidak ada guru dan menerima kondisi tersebut
apa adanya. Contohnya peralatan pengajaran yang tidak tersedia dapat disediakan
dengan merancang sendiri bersama-sama dengan pembelajar.
Kedua, memanfaatkan sumber-sumber diluar sekolah sehingga keterbatasan
yang dimiliki oleh sekolah dapat ditanggulangi. Hal demikian dapat dilakukan
dengan banyak mengadakan kerjasama dengan sejumlah lembaga diluar sekolah
bahkan diluar dunia pendidikan.

3. Mengoptimalkan Pemanfaatan Pengalaman / Kemampuan Yang Telah


Dimiliki Dalam belajar
Setiap pembelajar mempunyai kemampuan dan pengalamn-pengalaman tertentu
yang berbeda antara satu dengan yang lain. Kemampuan dan pengalaman yang
berbeda demikian ini hendaknya tidak justru menjadi konstrain dalam aktivitas
belajarnya. Kemampuan atau pengalaman masa Ialu ini bisa didapatkan oleh
pembelajw melalui aktivitas belajar, dan bisa juga didapatkan oleh pembelajar
melalui aktivitas lain atau aktivitas non belajar.
Pengalaman dan kemampuan masa Ialu ini bisa menjadi konstrain untuk belajar
berikutnya, tetapi tidak jarang bisa mendukung aktivitas belajar. Pengalaman dan
kemampuan masa lain bisa menjadi konstrain belajar, manakala dipandang
bertentangan dengan pengalaman belajar berikutnya oleh pembelajar. Pengalaman
dan kemampuan masa Ialu bisa mendukung terhadap aktivitas belajar manakala
sesuai dengan pengalaman belajar berikutnya. Tidak itu saja pengalamana atau
kemampuan masa lalu malahan bisa menjadi prasyarat bagi pengalaman berikutnya.
dan jika kasus yang trakhir ini terjadi, maka pembelajar tidak dapat mempelajari
mata pelajaran berikutnya, tanpa yang bersangkutan telah mempunyai kemampuan
dan pengalaman yang diprasyaratkan. Dkk dan Cany (1981) menyebut pengalamn
dan kemampuan demikian dengan entry behavior.
Yang harus diupayakan guru agar kemampuan atau pengalaman masa lalu
justru mendukung terhadap aktivitas belajar adalah :
a. Biarkan pembelajar dapat menangkap apa yang dipelajari sekarang ini dari
perspektif kemmpuan dan pengalaman masa lalunya. Jangan dipaksa
menggunakan perspektif gurunya.
b. Kaitkan aktivitas belajar pada masa sekarang ini dengan kemampuan dan
pengalaman yang sudah dipunyai oleh pembelajar.
c. Gali dulu pengalaman dari kemampuan yang sudah dimiliki oleh pembelajar
melalui tes lisan atau tertulis sebelum menyampaikan materi berikutnya.
d. Beri kesempatan kepada pembelajar untuk membandingkan apa yang sekarang
dipelajari dengan kemampuan dan pengalaman yang telah dimiliki.
4. Mengembangkan Cita-Cita / Aspirasi Dalam Belajar
Cita-cita adalah sesuatu yang dikejar oleh seseorang. Kegiatan-kegiatan
seseorang, utamanya kegiatan belajar. Lebih banyak teraksentuasi pada pengejaran
dan atau pencapaian cita-cita atau aspirasi tersebut. Maka dari itu cita-cita atau
sapirasi tersebut harus senantiasa dikembangkan dalam pembelajaran.
Penjurusan yang ada disekolah-sekolah kita, tidak lain adalah demi
penampungan aspirasi dan cita-cita yang berbeda dari masing-masing pembelajar.
Demikian juga dengan adanya kurikulum muatan tokal, yang antara daerah yang
satu dengan yang lain berbeda, adalah dalam rangka menampung aspirasi dan cita-
cita yang berbeda antara, pembelajar didaerah satu dengan daerah lainnya.
Persoalannya adalah, apakah memang benar bahwa dalam pemilihan jurusan
tersebut memang benar-benar sesuai dengan cita-cita dan aspirasi pembelajar ?
mengingat yang menjadi pertimbangan dalam penjurusan tersebut tidak semata-
mata cita-cita dan aspirasi melainkan banyak hal lain seperti daya tampung masing-
masing jurusan, tersedia tidaknya prasarana dan sarana.
Aspirasi / cita-cita dapat dikembangkan dalam belajar pembelajaran, dengan
beberapa langkah sebagai berikut :
a. Kenalilah aspirasi dan cita-cita pembelajar. Pengenalan ini dapat dilakukan
dengan melalm penyebaran daftar isian yang dapat memuat sejumlah cita-cita
atau aspirasi pembelajar. Dari sejumlah aspirasi atau cita-cita tersebut,
pembelajar masih diliarapkan anak merangking dari yang paling diminaati
sampai dengan yang paling tidak diminati. Pengenalan aspirasi ini dapat
dilakukan dengan mengadakan tes minat kepada pembelajar. Dengan tes minat,
akan diketabui jenis-jenis pekerjaan apa dimasa depan yang paling diminati dan
menjadi cita-cita pembelajar.
b. Hasil pengenalan atas cita-cita aspirasi tersebut dapat dikomunikasikan kepada
siswa dan orangmanya. Orang tua ini patut juga diberi tahu, agar tidak
memaksakan kehendaknya kepada putra-putrinya, karena mungkin pembelajar
tersebut mempunyai cita-cita atau aspirasi yang berbeda dengan orangtuanya.
c. Sediakan program-program yang dapat mengembanglum aspirasi dan cita cita
tersebut. Setelah program-program tersebut disediakan, barulah para
pembelajar diberi kesempatan untuk mengambil program yang sesuai dengan
aspirasi dan cita-citanya. Persoalannya hanyalah, apakah mungkin hat demikian
dilakukan disekolah-sekolah kita mengingat kurikulum yang tersentralkan dari
pusat ?
Jenis Motivasi Yang Didasarkan Motif Primer Dan Sekunder Motivasi dapat
dibedakan menjadi dua jenis, yaitu :
1. Motivasi Primer
Motivasi primer adalah motivasi yang didasarkan pada motif-motif dasar.
Motif-motif dasar tersebut umumnya berasal dari segi biologis atau jasmani
manusia. Manusia adalah makluk berjasmani, sehingga perilakunya terpengaruh
oleh tasting atau kebutuhan jasmaninya.
Ahli lain, Freud berpendapat bahwa insting memiliki empat ciri, yaitu
tekanan, sasaran, objek dan sumber.tekanan adalah kekuatan yang memotivasi
individu amok bertingkah laku. Semakin besar energi dalana insting, maka tekanan
terhadap individu semakin besar. Sasaran insting adalah kepuasan atau kesenangan.
Kepuasan tercapai, bila tekanan energi dalam insting berkurang. Sebagai ilustrasi,
keinginan makan berkurang bila individu masih kenyang. Objek insting adalah hal-
hal yang mermaskan insting. Hal-hal yang memutuskan insting tersebut dapat
berasal dari luar individu atau dari dalam individu. Adapun sumber insting adalah
keadaan kejasmaniah individu. Segenap insting manusia dapat di bedakan menjadi
dua jenis, yaitu insting kehidupan (life instinest ) dan insting kematian (death
instinest ). Insting kehidupan terdiri dari insting yang bertujuan memelihara
kelangsungan hidup. lnsting kehidupan tersebut berupa makan. minum, istirahat dan
memelihara keturunan. Insting kematian tertuju pada penghancuran seperti,
merusak, menganiaya, atau membunuh orang lain atau diri sendiri. Menurut Freud
energi bekerja memelihara keseimbangan fisik. Insting bekerja seumur hidup. Yang
mengalami perubahan adalah cara pemuasan atau objek pemuasan.

2. Motivasi Sekunder
Motivasi sekunder adalah motivasi yang dipelajari. Hal ini berbeda dengan
motivasi primer. Sebagai ilusirasi, orang yang lapar akan tertarik pada makanan
tanpa berpikir. Untuk memperoleh makanan tersebut orang harus bekerja terlebih
dahulu. Agar dapat bekerja dengan baik, orang harus belajar bekerja. Bekerja
dengan haik merupakan motivasi sekunder, bila orang bekerja dengan baik, maka ia
memperoleh gaji berupa uang. Uang tersebut berupa penguat motivasi sekunder,
Uang merupakan penguat unnum. Setelah in bekerja dengan baik maka ia dapat
membeli makanan untuk menghilangkan rasa lapar.
Menurut beberapa ahli, manusia adalah makluk sosial. Perilakunya tidak
hanya terpengaruh oleh faktor biologis saja. Tetapi juga faktor-faktor sosial.
Perilaku manusia terpengaruh oleh tiga komponen penting seperti afektif, koqnitif,
dan konatif. Komponen afektif adalah aspek emosional. komponen ini terdiri dari
motif sosial, sikap dan emosi. Komponen koqnitif adalah aspek intelektual yang
terkait dengan pengetahuan. Komponan konatif adalah terkait dengan kemauan dan
kebiasaan bertindak. Perilaku motivasi sekunder juga terpengaruh oleh adanya
sikap. Sikap adalah suatu motif yang dipelajari. Ciri-ciri sikap, yakni :
- merupakan kecenderungan berpikir, merasa, kemudian bertindak
- memiliki daya dorong bertindak
- relatif bersikap tetap
- kecenderungan melakukan penilaian
- dapat timbul dari dari pengalaman, dapat dipelajari atau berubah.
Perilaku juga terpengaruh oleh emosi. Emosi menunjukkan adanya sejenis
kegoncangan seseorang. Kegoncangan tersebut disertai proses jasmani, perilaku dan
kesadaran. Emosi memiliki fungsi sebagai pembangkit tenaga, pemberi informasi
pada oranglain, pembawa pesan dalam hubungan dengan orang lain, sumber
informasi tentang diri seseorang.
Perilaku juga terpengaruh oleh adanya pengetahuan yang dipercaya.
Pengetahuan yang dipercaya tersebut adakalanya berdasarkan akal, ataupun tak
berdasar akal sehat pengetahuan tersebut dapat mendorong terjadinya perilaku.
BAGIAN 8
PENDEKATAN CBSA DALAM PEMBELAJARAN
8.1. KONSEP CBSA DALAM PEMBELAJARAN
Cara belajar siswa aktif merupakan suatu upaya dalam pembaruan
pendidikan dan pembelajaran. Kendatipun cara ini tergolong baru, namun
sesungguhnya konsep ini telah lama dikembangkan, hanya perwujudannya yang
masih baru dalam sistem pembelajaran di sekolah-sekolah kita. Karena itu, ada
baiknya guru-guru mengenal dan memahaminya lebih seksama agar mampu
menerapkan secara efektif.

8.1.1. Pengertian Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA)


CBSA adalah suatu pendekatan dalam pembelajaran yang menitik beratkan
pada keaktifan siswa, yang merupakan inti dari kegiatan belajar. Pada hakekatnya,
keaktifan belajar terjadi dan terdapat pada semua perbuatan belajar, tetapi kadamya
yang berbeda tergantung pada kegiatannya, materi yang dipelajari dan tujuan yang
hendak dicapai.
Dalam CBSA, kegiatan belajar diwujudkan dalam berbagai bentuk kegiatan,
seperti: mendengarkan, berdiskusi, membuat sesuatu, menulis laporan, memecahkan
masalah, memberikan prakarsa/gagasan, menyusun rencana, dan sebagainya-
Keaktifan itu da yang dapat diamati dan ada pula yang tidak dapat diamati secara
langsung. Setiap kegiatan tersebut menuntut keterlibatan intelektual-emosional
siswa dalam proses pembelajaran melalui asimilasi, dan akomodasi kognitif untuk
mengembangkan pengetahuan, tindakan, serta pengalaman langsung dalam rangka
membentuk keterampilan (motorik, kognitif dan sosial), penghayatan serta
internalisasi nilat-nilai dalam pembentukan sikap (Raka Joni, 1980, h. 2).
Sejak dimunculkannya pendekatan CBSA dalam lingkungan pendidikan
ditanah air, konsep CBSA telah mengalami perkembangan yang cukup jauh.
Pendekatan CBSA dinilai sebagai suatu sistem belajar mengajar yang menekankan
keaktifan siswa secara fisik, mental, intelektual dan emosional guna memperole
hasil belajar yang bempa perpaduan antara matra kognitif, afekisi. dan
psikomotorik, (A. Yasin, 1984,h.24).
Dalam kerangka sistem belajar mengajar, terdapat komponen proses yakni
keaktifan fisik, mental, intelektual dan emosional dan komponen produk, yakni
hasil belajar berupa keterpaduan aspek-aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik
Secara lebili rinci komponen produk tersebut mencakup berbagai kemampuan:
menamati, menginterprestasikan, meramalkan. mengkaji, menggeneralisasikan,
menemukan, mendiskusikan, dan mengkomonikasikan hasil penemuan. Aspek-
aspek kemampun tersebut dikembangkan secara terpadu melalui sistem
pembelajaran berdasarkan pendekatan CBSA.

8.1.2 Rasional CBSA dalam pembelajaran


Penerapan dan pendayagunaan konsep CBSA dalam pembelajaran
merupakan kebutuhan dan sekaligus sebaga. keharusan dalam kaitannya dengan
upaya merealisasikan Sistem Pendidikan Nasional untuk mencapai tujuan
pendidikan nasional yang pada gilirannya berimplikasi terhadap sistem
pembelajaran yang efektif.
Siswa peserta didik dipandang dari dua sisi yang berkaitan, yakni sebagai
objek pembelajaran dan sebagai subjek yang belajar. Siswa sebagai subjek
dipandang sebagai manusia yang potensial sedang berkembang, memiliki
keinginan-keinginan-harapan dan tujuan hidup, aspirasi dan motivasi dan berbagai
kemungkinan potensi lainnya. Siswa sebagai objek dipandan: sebagai yang
memiliki potensi yang perlu dibina, diarahkan dan dikembangkan melalui proses
pembelajaran. Karena itu proses pembelajaran harus dilaksanakan berdasarkan
prinsip-prinsip manusiawi (humanistik), misainya melalm suasana kekeluargaan
terbuka dan bergairah serta berpariasi sesuai dengan keadaan perkembangan siswa
bersangkutan.
Pelaksanaan proses pembelajaran dititik beratkan pada keaktifan siswa
belajar dan keaktifan guru menciptakan lingkungan belajar yang serasi dan
menantang. Penerapan CBSA dilakukan dengan cara mengfungsionalisasikan
seluruh potensi manusiawi siswa melalui penyediaan lingkungan belajar yang
meliputi aspek-aspek bahan pelajaran, guru, media pembelajaran, suasana kelas dan
sebagainya. Cara belajar di sesuaikan dengan minat dim pemberian kemudahan
kepada siswa untuk memperoleh pemahaman, pendalaman, dan pengendapan
sehingga hasil belajar berintemalisasi dengan pribadi siswa. Dalam kondisi ini
semua unsur pribadi siswa aktif seperti emosi, perasaan, intelektual, pengindran,
fisik dan sebagainya.
CBSA dapat berlangsung dengan efektif, bila guru melaksanakan peran dan
fungsinya secara aktif dan kreatif, mendorong dan membantu serta berupaya
mempenguruhi siswa untuk mencapai tujuan pembelajaran dan belajar yang telah
ditentukan. Keaktifan guru dilakukan pada tahap-tahap kegiatan perencanaan,
pelaksanaan, pellilaian dan tindak lanjut pembelajaran.Peranan guru bukan sebagai
orang yang menuangkan materi pelajaran kepada siswa, melainkan bertindak
sebagai pembantu dan pelayanan bagi siswanya. Siswa aktif belajar, sedangkan guru
memberikan fasilitas belajar, bantuan dan pelayanan. Beherapa kegiatan yang dapat
dilakukan oleh guru, ialah:
1) menyiapkan lembaran kerja
2) Menyusun tugas bersama siswa;
3) Memberikan informasi tentang kegiatan yang akan dilakukan;
4) Memberikan bantuan dan pelayanan kepada siswa apabila siswa mendapat
kesulitan;
5) Menyampaikan pertanyaan yang bersifat asuhan;
6) Membantu mengarahkan rumusan kesimpulan umum;
7) Memberikan bantuan dan pelayanan khusus kepada siswa yang lambat;
8) Menyalurkan bakat dan minat siswa;
9) Mengamati setiap aktivitas siswa.
Kegiatan-kegiatan tersebut menunjukkan, bahwa pembelajaran berdasarkan
pendekatan CBSA tidak diartikan guru menjadi fasif, melainkan tetap harus aktif
namun tidak bersikap mendominasi siswa dan menghambat perkembangan
potensinya Guru bertindak sebagai guru inquiry, dan fasilitator.

8.1.3 Kadar Cara Belajar Siswa Aktif


Kadar CBSA ditandai oleh semakin banyaknya dan bervariasinya keaktifan
dan keterlibatan siswa dalam proses belajar mengajar. Semakin banyak dan semakin
beragamnya keaktifan dan keterlibatan siswa, maka semakin tinggi pula kadar ke-
CBSA-annya. Sebaliknya, semakin sedikit keaktifan dan keterlibatan siswa dalam
proses belajar mengajar, maka berarti semakin rendah kadar CBSA tersebut.
Kadar CBSA itu dalam rangka sistem belajar mengajar menunjukkan ciri-
ciri, sebagai berilmu :
1) Pada tingkat masukan, ditandai oleh:
a. Adanya keterlibatan siswa dalam merumuskan kebutuhan pembelajaran
sesuai dengan kemampuan, minat, pengalaman, motivasi, aspirasi yang telah
dimiliki sebagai baban masukan untuk melakukan kegiatan belajar.
b. Adanya keterlibatan siswa dalam menyusun rancangan belajar dan
pembelajaran, yang menjadi acuan baik bagi siswa mupun bagi guru.
c. Adanya keterlibatan siswa dalam memilih dan menyediakan sumber bahan
pembelajaran.
d. Adanya keterlibatan siswa dalam pengadaan media pembelajaran yang akan
digunakan sebagai alat bantu belajar.
e. Adanya kesadaran dan keinginan belajar yang tinggi serta motivasi untuk
melakukan kegiatan belajar.
2) Pada tingkat proses, kadar CBSA ditandai dengan:
a. Adanya keterlibatan siswa secara fisik, mental, emosional, intelektual, dan
personal dalam proses belajar.
b. Adanya berbagai keaktifan siswa mengenal, memahami, menganalisis,
berbuat, memutuskan, dan berbagai kegiatan belajar lainnya yang
mengandung unsur kemandirian yang cukup tinggi.
c. Keterlibatan secara aktif oleh siswa dalam menciptakan suasana belajar yang
serasi, selaras dan seimbang dalam proses belajar dan pembelajaran.
d. Keterlibatan siswa menunjang upaya guru menciptakan lingkungan belajar
untuk memperoleh pengalaman belajar serta turut membantu
mengorganisasikan lingkungan belajar itu, baik secara individual maupun
secara kelompok.
e. Keterlibatan siswa dalam meneari imformasi dari berbagai sumber yang
berdaya guna dan tepat guna bagi mereka sesuai dengan rencana kegiatan
belajar yang telah mereka rumuskan sendiri.
f. Keterlibatan siswa dalam mengajukan prakarsa, memberikan jawaban atas
penanyaan guru, mengajukan penanyaan/ masalah dam berupaya
menjawabnya sendiri, menilai jawaban dari rekannya, dan memecahkan
masalah yang timbul selama berlangsungnya proses belajar mengajar
tersebut.
3) Pada tingkat produk, kadar CBSA ditandai oleh:
a. Ketertibatan siswa dalam menilai diri sendiri, menilai teman sekelas.
b. Keterlibatan siswa secara mandiri mengerjakan tugas menjawab tes dan
mengisi instrumen penilaian lainnya yang diajukan oleh guru.
c. Keterlibatan siswa menyusun laporan baik tertulis maupun lisan yang
berkenaan dengan hasil belajar.
d. Keterlibatan siswa dalam menilai produk-produk kerja sebagal hasil belajar
dan pembelajaran.
Berdasarkan ciri-ciri tersebut dapat ditentukan derajat kadar CBSA dalam
suatu proses belajar mengajar, dan bila mungkin di klasifikasikan menjadi: kadar
tinggi, kadar sedang, dan kadar rendah. Kendatipun tampak, bahwa keaktifan guru
sangat menonjol, namun tidak berarti keaktifan guru di abaikan. Tanpa upaya dan
pengaruh serta arahan guru sebagai fasilitator dan pengorganisasian belajar, maka
kadar CBSA yang diinginkan tak mungkin tercapai. Guru tetap bertanggungjawab
menciptakan lingkungan belajar yang mampu mengundang / menantang siswa
untuk belajar.

8.1.4 Rambu-Rambu Penyelenggaraan CBSA


Pembelajaran berdasarkan CBSA menuntut kondisi-kondisi tertentu untuk
menjamin kadar CBSA yang tinggi guna mencapai tujuan pembelajaran atau hasil
belajar siswa pada tingkat optimal. Penyelenggaraan pembelajaran CBSA tersebut
ditandai oleh indikator-indikator sebagai berikut:
1) Derajat partisipasi dan responsif siswa yang tinggi. Para siswa berperan serta
secara aktif dan bersikap responsif dalam proses pembelajaran. Siswa tidak
tinggal diam hanya menunggu stimuli yang disampaikan oleh guru, melainkan
berperan aktif menentukan stimuli misalnya merumuskan suatu masalah dan
mencari jawahan serdiri (responsif) atas masalah tersebut. Pada waktu guru
menyajikan suatu topik, siswa aktif-responsif mempertanyakan materi yang
terkandung didalamnya. Kedua contoh tersebut sebagai landa, bahwa siswa
berperan serta dalam proses pembelajaran.
2) Keterlibatan siswa dalam pelaksanaan pembuatan tugas. Pada dasarnya sejak
disusunnya perencanaan tugas-tugas, para siswa telah dapat diaktifkan peran
sertanya. Siswa dapat mengajukan usul dan minat tugas yang diinginkannya
dengan asumsi bahwa tugas tersebut sesuai dengan kemampuannya. Pada
waktu pembuatan tugas, siswa melaksanakan kegiatan kelompok atau dengan
belajar mandiri. Pada waktu penilaian tugas (hasil pekerjaannya), siswa
hendaknya aktif menilai tugas-tugas temannya dan hasil kerjanya sendiri dalam
bentuk menilai dirinya sendiri (self evaluation). Hal ini menunjukan, bahwa
tersedia berbagai kemungkinan dimana siswa dapat berperan aktif dalam
pelaksarman tugas-tugas yang dikondisikan dalam pembelajaran.
3)Peningkatan kadar CBSA dalam proses pembelajaran juga ditentukan oleh faktor
guru. Guru hendaknya menyadari tujuan-tujuan belajar yang ingin dicapai, baik
dalam arti efek instruksional maupun efek pengiring, dan dalam pada itu
memiliki wawasan dan penguasaan yang memadai tentang bermacam-macam
stategi belajar mengajar yang dimanfaatkan untuk mencapai tujuan belajar.
Sudah barang tentu penguasaan teknik yang mantap juga merupakan persyaratan
sebelum seorang guru bisa secara Kreatif merancang dan menginformasikan
program belajar mengajar (T.R aka Joni, 1985, h. 18),
4)Pendekatan CBSA pada dasarnya dapat diterapkan sentua strategi dan metode
mengajar, walaupun kadaannya berbeda- beda. Penggunaan metode mengajar,
secara berpariasi dapat memberikan peluang penerapan CBSA dengan kadar
yang tinggi. Namun demikian, pemilihan metode tersebut tetap harus ditandasi
oleh tujuan yang hendak dicapai, bahan pelajaran yang hendak dipelajari, kondisi
subjek belajar itu sendiri (motivasi, pengalaman awal, kondisi kesehatan,
keadaan mental, dan lain-lain), serta penguasaan guru terhadap metode tersebut.
Dengan demikian, keaktivan siswa belajar tetap terarah, terbimbing, dan
diharapkan mencapai hasil secara optimal.
5)Penyediaan media dan peralatan serta berbagai fasilitas belajar tetap diperlukan,
agar tercipta lingkungan belajar yang menantang dan merangsang serta
meningkatkan kegiatan belajar siswa. Pengetahuan dan keterampilan dalam
bidang kemediaan dan teknologi hardware sangat diisyaratkan. Media dan alat
merupakan alat bantu bagi siswa kendatipun mereka diminta untuk memilih dan
menggunakannya sendiri sesuai dengan aktivitas belajarnya.
6)Keaktifan belajar berdasarkan CBSA tidak jarang menimbulkan kesulitan balajar
pada siswa, misalnya teknik-teknik belajar, memilih bahan, menilai hasil
kegiatan, tim masalah-masalah lain. Itu sebabnya, bimbingan dan pembelajaran
remedial pada waktu tertentu diperlukan untuk membantu siswa bersangkutan,
sehingga kecepatan belajar dan penyelesaian tugas-tugas tetap terus berlangsung
menyertai rekan-rekannya yang tidak mendapat kesulitan.
7)Kondisi lingkungan kelas/sekolah turut berpengaruh terhadap pelaksanaan
pembelajaran berdasarkan CBSA. Pengaturan, dan pembinaan lingkungan ini
perlu mendapat dari pihak guru melalui kerja sama dengan guru-guru lainnya
serta para siswa sendiri. Termasuk dalam lingkungan kelas juga suasana. disiplin
kelas yang baik.
8.2 PENERAPAN CBSA
Pendekatan CBSA dapat diterapkan dalam pembelajaran dalam bentuk dan
teknik:

Pemanfaatan waktu luang


Pemanfaatan waktu luang di rumah oleh siswa memungkinkan dilakukanya
kegiatan belajar aktif, dengan cara menyusun rencana belajar, memilah bahan untuk
dipelajari, dan menilai penguasaan bahan sendiri. Jika pemanfaman waktu tersebut
dilakukan secara saksama dan berkesinambungan akan memberikan manfaat yang
baik dalam menunjang keberhasilan belajar di sekolah.

Pembelajaran Individual
Pembelajaran individual adalah pembelajaran yang disesuaikan dengan
karakteristik perbedaan individu tiap siswa, seperti: minat abilitet, bakat,
kecerdasan, dan sebagainya. Guru dapat mempersiapkan / merencanakan tugas-
tugas belajar bagi para siswa, sedang pilihan dilakukan oleh siswa masing-masing,
dan selanjutnya tiap siswa aktif belajar secara perseorangan. Teknik lain, kegiatan
belajar dilakukan dalam bentuk kelompok, yang terdiri dari siswa yang memiliki
kemampuan, minat bakat yang sama.

Belajar kelompok
Belajar kelompok memiliki kadar CBSA yang cukup tinggi. teknik
pelaksanaannya dapat dalam bentuk kerja kelompok, diskusi kelompok, diskusi
kelas, diskusi terbimbing, dan diskusi ceramah. Dalam situasi belajar kelompok,
masing-msing anggota dapat mengajukan gagasan, pendapat, pertanyaan, jawaban,
keritik dan sebagainya. Siswa aktif berpartisipasi, berelasi dan berinteraksi satu
dengan yang lainya.

Bertanya jawab
Kegiatan tanya jawab antara guru dan siswa, antara siswa dengan siswa, dan
antara kelompok siswa dengan kelompok lainnya memberikan peluang cukup
banyak bagi setiap siswa belajar aktif. Kadar CBSA-nya akan lebih besar jika
pertanyaan-pertanyaan timbul dan diajukan oleh pihak siswa dan dijawab oleh
siswa lainnya. Guru bertindak sebagai pengatur lalulintas atau distributor, dan
dianggap perlu guru melakukan koreksi dan perbaikan terhadap pertanyaan dan
jawaban-jawaban tersebut.

Belajar Inquiry/discovery (belajar mandiri)


Dalam strategi belajar ini siswa melakukan proses mental intelektual dalann
upaya memecahkan masalah. Dia sendiri merumuskan suatu masalah,
mengumpulkan data, menguji hipotesis, dan menarik kesimpulan serta
mengaplikasikan hasil belajarnya. Dalam konteks ini, keaktifan siswa belajar
memang lebih menonjol, sedangkan kegiatan guru hanya mengarah membimbing,
memberikan fasilitas yang memungkinkan siswa melakukan kegiatan inquirynya.
Strategi dan kemampun inquiry ini, akan diuraikan lebih lanjut dalam pembahasan
mengenai keterampilan proses sebagai bagian dari CBSA.

Pengajaran unit
Strategi pengajaran ini berpusat pada suatu masalah atau suatu proyek. Pada
tahap-tahap kegiatan belajar ditempuh tahap-tahap kegiatan utama, yakni: tahap
pendahuluan dimana siswa melakukan orientasi dan perencanaan awal; tahap
pengembangan dimana siswa melakukan kegiatan mencari sendin informasi
selanjumya menggunakan informasi itu dalam kegiatan praktik, tahap kegiatan
kulminasi, dimana siswa mengalami kegiatan penilaian, pembuatan laporan dan
tiddak lanjut.
Berdasarkan beberapa contoh strategi pembelajaran tersebut di atas, maka
semakin jelas tentang bagai mana penerapan pendekatan CBSA tersebut dalam
proses pembelajaran. kendatipun dengan kadar yang berbeda-beda.

8.3 PENDEKATAN KETERAMPILAN PROSES SEBAGAI BAGIAN DARI


CBSA
8.3.1. Rasional keterampilan proses dalam pembelajaran
Pembelajaran adalah suatu proses interaksi (hubungan timbal balik) antara
guru dengan siswa. Dalam proses tersebut memberikan bimbingan dan
menyediakan berbagai kesempatan yang dapat mendorong siswa belajar dan untuk
memperoleh pengalaman sesuai dengan tujuan pembelajaran. Tercapainya tujuan
pembelajaran ditandai oleh tingkat penguasaan kemampuan dan pembentukan
kepribadian.
Proses pembelajaran melibatkan terbagi kegiatan dan tindakan yang perlu
dilakukan oleh siswa untuk memperoleh basil belajar yang baik. Kesempatan untuk
melakukan kegiatan dan perolehan hasil belajar ditentukan oleh pendekatan yang
digunakan oleh guru-siswa dalam proses pembelajaran tersebut.
Suatu prinsip untuk memilih pendekatan pembelajaran ialah belajar melalui
proses mengalami secara langsung untuk memperoleh basil belajar yang bermakna.
Proses tersebut dilaksanakan melalui interaksi antara siswa dengan lingkungannya.
Dalam proses im siswa bermotivasi dan sering melakukan kegiatan belajar yang
menarik dan bermakna bagi dirinya. Ini berarti, peranan pendekatan belajar
mengajar sangat penting dalam kaitannya dengan keberhasilan belajar.
Dalam kurikulum telah ditegaskan, bahwa penerapan pendekatan dalam
proses belajar mengajar diarahkan untuk mengembangkan kemampuan-kemampuan
dasar dalam diri siswa supaya mampu menemukan dan mengelola perolehannya.
Pendekatan mi disebut "pendekatan proses". Proses pembelajaran yang menerapkan
pendekatan ini mengacu kepada siswa agar belajar berorientasi pada belajar
bagaimana belajar (Depdikbud, 1980).

8.3.2 Pengertian keterampilan proses dan kaitannya dengan CBSA


Pendekatan dalam keterampilan proses ialah pendekatan pembelajaran yang
bertujuan mengembangkan sejumiah kemampuan fisik dan mental sebagai dasar
untuk mengembangkan kemampuan yang lebih tinggi pada diri siswa. Kemampuan-
kemampun fisik dan mental tersebut pada dasarnya leiah dimiliki oleh siswa
meskipun masih sederhana dan perlu dirangsang agar. Menunjukkan jati dirinya.
Dengan mengembangkan keterampilan-keterampilan memproses perolehan, anak
akan mampu menemukan dan mengembangkan sendiri fakta dan konsep
menumbuhkan dan mengembangkan sikap dan nilai yang dituntut. Keterampilan-
keterampilan itu sendiri menjadi roda penggerak dan penemuan dan pengembangan
fakta dan konsep serta pertumbuhan dan pengembangan sikap dan nilai. Seluruh
gerak atau tindakan dalan proses belajar mengajar akan menciptakan kondisi cara
belajar siswa aktif (Conny Se a 1990).
Pengertian tersebut menunjukkan, bahwa dengan keterampilan proses siswa
berupaya menemukan mengembangkan konsep dalam materi ajaran. Konsep-
konsep yang telah dikembangkan int berguna untuk menunjang pengembangan
kemampuan selanjutnya. Interaksi antara kemampuan dan konsep melalui proses
balajar mengajar selanjutnya mengembangkan sikap dan nilai pada diri siswa
misalnya kreativitas, kritis, ketelitian, dan kemampu memecahkan masalah.
Pendapat yang senada diungkapkan oleh Gagne yang merumuskan
pengertian keterampilan proses dalam bidang ilmu pengetahuan alam (sains):
pengetahuan tentang konsep-konsep dari prinsip-prinsip yang dapat diperoleh siswa
bila dia memilhi kemampum-kemampuan dasar tertentu, yaitu keterampilan proses
sains yang dibutuhkan untuk menggunakan sains. Keterampilan-keterampilan dalam
bidang sains itu meliputi: mengamati. menggolongkan, berkomunikasi, mengukur,
mengenal dengan menggunakan hubungan ruang/waktu, menarik kesimpulan
menyusun definisi operasional, mengendalikan variabel. menafsirkan data, dan
bereksperimen.
Berdasarkan konsep pemikiran di atas maka pendekatan keterampilan proses
diartikan sebagai pendekatan dalam perencanaan pembelajaran yang
menitikberatkan pada aktivitas dan kreativitas. siswa untuk mengembangkan
kemampuan fisik dan mental yang sudah dimiliki ketingkat yang lebih tinggi dalam
memproses perolehan belajamya. Hal ini menunjukkan, babwa ketempilan proses
erat kaitannya dengan CBSA.
8.3.3 Kemampuan keterampilan dasar yang perlu dilatih dalam keterampilan
proses
Keterampilan proses sebagai suatu pendekatan proses pembelajaran
mengarah pada pengembangan kennampman fisik dan mental yang mendasar
sebagai pendorong untuk mengembangkan kemampman yang lebih tinggi pada diri
siswa. Ada tujuh jenis kemampuan yang hendak dikembangkan melalui proses
pembelajuan berdasarkan pendekatan keterampilan proses, yakni:
1) Mengamati ; Siswa harus mampu menggunakan alat-alat inderanya : melihat,
mendengar, meraba, mencium dan merasa. Dengan kemampuan ini, dia dapat
mengumpulkan data / informasi yang relevan dengan kepentingan belajarnya.
2) Menggolongkan / mengklasifikasikan ; Siswa harus terampil mengenal
perbedaan dan persaman atas hasil pengamatannya terhadap suatu objek, serta
mengadakan klasifikasi berdasarkan ciri khusus, tujuan, atau kepentingan
tertentu. Pembuatan klasifikasi memerlukan kecermatan dalam melakukan
pengamatan.
3) Menafsirkan (meginterpretasikan) ; Siswa harus memiliki keterampilan
menafsirkan fakta, data, informasi, atau peristiwa. Keterampilan ini diperlukan
untuk melakukan percobaan atau penelitian sederhana.
4) Meramalkan ; Siswa harus memiliki keterampilan menghubungkan data, fakta,
dan informasi. Siswa dituntut terampil mengantisipasi dan meramalkan
kegiatan atau peristiwa yang mungkin terjadi pada masa yang akan datang.
5) Menerapkem; siswa harus mampu menerapkan konsep yang telah dipelajari dan
dikuasai ke dalam situasi dan pengalaman baru. Keterampilan ini digunakan
untuk menjelaskan tentang apa yang akan terjadi dan dialami oleh siswa dalam
proses belajarnya.
6) Merencanakan penelitian; siswa harus mampu menentukan masalah dan
variabel-vatiabel yang akan diteliti, tujuan, dan ruang lingkup penelitian. Dia
harus menentukan langkah-langkah kerja pengumpulan dan pengolahan data
serta prosedur melakukan penelitian.
7) Mengkomunikasikan; Siswa harus mampu menyusun dan menyampaikan
laporan secara sistimatis dan menyampaikan perolehannya, baik proses maupun
hasil belajarnya kepada siswa lain dan peminat lainnya.

8.3.4 Penerapan keterampilan proses dalam pembelajaran


Siswa bentuk penerapan keterampilan proses dalam pembelajaran adalah
pemecahan masalah atau inquiry (penemuan).
1) Pengertian pemecahan masalah
Masalah pada hakekatnya merupakan bagian dalam kehidupan manusia. Tiap
orang tidak pernah luput dari masalah, baik yang bersifat sederhana maupun yang
sulit. Masalah yang sederhana dapat dijawab melalui proses berpikir yang
sederhana, sedangkan masalah yang rumit memerlukan langkah-langkah pemecahan
yang rumit pula. Masalah pada hakekatnya adalah mengundang jawaban. Suatu
pertanyaan mempunyai peluang tertentu untuk dijawab dengan tepat, bila
pertanyaan iu dirumuskan dengan baik dan sistematis. lni berarti, pemecahan suatu
masalah menuntut kemampuan tertentu pada diri individu yang hendak
memecahkan masalah tersebut.
Pemecahan masalah adalah suatu proses mental dan intelektual dalam
menemukan suatu nasalah dan memecahkannya berdasarkan data dan informasi
yang akurat, sehingga dapat diambil kesimpulan yang tepat dan cermat. Proses
penecahan masalah memberikan kesempatan peserta didik berperan aktif dalam
mempelajari, mencari dan menemukan sendiri informasil data untuk diolah menjadi
konsep, prinsip, read, atau kesimpulan. Dengan kata lain, pemecahan masalah
menuntut kemampuan memproses infomasi untuk membuat keputusan tertentu.
Kemampuan memecahkan masalah harus ditunjang oleh kemampuan penalaran,
yakni kemampuan melihat hubungan sebab akibat. Kemampuan penalaran
memerlukam upaya peningkatan kemampuan dalam mengamati, bertanya,
berkomunikasi dan berinteraksi dengan lingkungan. Pemikiran terarah pada hal-hal
yang bertalian dengan upaya mencari jawaban terhadap persoalan yang dibadapi.
Upaya ini memerlukan berpikir kneatif dan kemampuan menjajaki bidang-bidang
baru serta menghasilkan temuan-temuan baru.
Para peserta didik harus dilatih tentang tata cara memecahkan masalah dengan
mengembangkan kemampun berpikir yang terarah untuk menghasilkan gagasan
mengenai berbagai kemungkinan memecahkan masalah, dalam kaitannya dengan
upaya mencapai tujuan.
2) Langkah-langkah pemecahan masalah
Dalam proses pembelajaran, di samping perlunya penalaran yang baik, tetapi
juga penting menguasai lingkungan langkah-langkah memecahkan masalah secara
tepat. Langkah-lmgkah tersebut pada umumnya terdiri dari
1. Siswa menghadapi masalah, artinya dia menyadari adanya suatu masalah
tertentu;
2. Siswa merumuskan masalah, artinya menjabarkan masalah dengan jelas dan
spesifikasi;
3. Siswa merumuskan hipotesis, artinya merumuskan kemungkinan-kemungkinan
jawaban atas masalah tersebut, yang masih perlu diuji kebenarannya;
4. Siswa mengumpulkan dan mengolah data / informasi dengan teknik dan
prosedur tertentu.
BAGIAN 9
MODEL PROSEDUR PENGEMBANGAN SISTEM
INSTRUKSIONAL (PPSI)
PENDAHULUAN
Model adalah seperangkat prosedur yang berurutan untuk mewujudkan suatu
proses, seperti penilaian suatu kebutuhan, pemilihan media, dan evaluasi. (Briggs,
1978, p. 23). Sedangkan Istilah pengembangan sistem instruksional (instructional
systems development) dan disain instruksional (instructional design) sering
dianggap sama, atau setidak-tidaknya tidak dibedakan secara tegas dalam
penggunaannya, meskipun menurut arti katanya ada perbedaan antara disain dan
pengembangan. Kata disain berarti membuat sketsa atau pola atau outline
atau rencana pendahuluan. Sedang mengembangkan berarti membuat tumbuh
secara teratur untuk menjadikan sesuatu lebih besar, lebih baik, lebih efektif, dan
sebagainya.
Beberapa definisi yang menunjukkan persamaan antara keduanya adalah sebagai
berikut :
1. Pengembangan sistem istruksional adalah suatu proses sedara sistematis dan
logis untuk mempelajari problem-problem pengajaran, agar mendapatkan
pemecahan yang teruji validitasnya, dan praktis bisa dilaksanakan (Ely, 1979,
p.4).
2. Sistem instruksional adalah semua materi pelajarari dan metode yang telah
diuji dalam praktek yang dipersiapkan untuk mencapai tujuan dalam keadaan
senyatanya (Baker; 1971, p: 16).
3. Desain instruksional adalah keseluruhan proses analisis kebutuhan dan tujuan
belajar serta pengembangan teknik mengajar dan materi pengajarannya untuk
memenuhi kebutuhan tersebut. Termasuk di dalamnya adalah pengem-bangan
paket pelajaran, kegiatan mengajar, uji coba, revisi, dan kegiatan
mengevaluasi hasil belajar (Briggs, 1979, p. 20).
4. Desain sistem instruksional ialah pendekatan secara sistematis dalam
perencanaan dan pengembangan sarana serta alat untuk mencapai kebutuhan
dan tujuan instruksional. Semua komponen sistem ini (tujuan, materi, media,
alat, evaluasi) dalam hubungannya satu sama lain dipandang sebagai kesatuan
yang teratur sistematis. Komponen-komponen tersebut terlebih dulu diuji coba
efektifitasnya sebelum disebarluaskan penggunaannya (Briggs, 1979, p. XXI).
Sesuai dengan pengertian tersebut di atas, maka yang dimaksud dengan model
pengembangan sistem instruksional adalah seperangkat prosedur yang berurutan
untuk melaksanakan pengembangan sistem instruksional.

9.1. DASAR DASAR PENGEMBANGAN SISTEM INSTRUKSIONAL


Untuk memahami dasar-dasar pengembangan sistem instruksional, perlu
diketahui terlebih dahulu apakah yang dimaksud dengan Pengajaran (instruction).
Menurut Merril (1971, p. 10), pengajaran adalah suatu kegiatan di mana seseorang
dengan sengaja diubah dan dikontrol, dengan maksud agar ia dapat bertingkah laku
atau bereaksi trrhadap kondisi tertentu. Pengajaran merupakan salah satu bagian dari
keseluruhan kegiatan mengajar. Termasuk di dalamnya adalah menyiapkan
pengalaman yang siap dipakai, mengerjakan tugas-tugas administrasi, mengadakan
pendekatan terhadap siswa,dan sebagainya. Pengajaran berbeda dengan
pengembangan kurikulum. Pengembangan kurikulum meliputi penyusunan disain
suatu bidang studi (subject matter) dari suatu tingkat sekolah atau lembaga
pendidikan tertentu. Pengajaran lebih menekankan pada aspek bagaimana (how to),
sedang pengembangan kurikulum lebih menekankan pada aspek apa (what to).
Keputusan yang berkenaan dengan kurikulum berorientasi kepada isi atau materi
(content oriented), sedang putusan yang berkenan dengan pengajaran adalah
berorientasi kepada proses (process oriented). Pengajaran erat berkait dengan belajar
namun tak persis sama. Belajar merupakan suatu proses yang berlangsung sepanjang
kehidupan makhluk hidup. Pengajaran hanya berlangsung manakala usaha tertentu
telah dibuat untuk mengubah suatu keadaan sedemikian rupa, sehingga suatu hasil
belajar tertentu dapat dicapai. Dengan demikian kesengajaan merupakan
karakteristik dari suatu pengajaran.
Apakah yang dimaksudkan dengan Pengembangan Sistem lnstruksional?
Dihubungkan dengan pengertian Instruction seperti tersebut di atas, maka definisi
pengembangan sistem instruksional adalah suatu. proses menentukan dan
menciptakan situasi dari kondisi tertentu yang menyebabkan siswa dapat berinteraksi
sedemikian rupa sehingga terjadi perubahan di dalam tingkah lakunya (Carey, 1977,
p. 6). Pengembangan sistem instruksional lebih lanjut meliputi proses monitoring
interaksi siswa dengan situasi dan pengalaman belajar, agar para penyusun disain
instruksional dapat menilai efektifitas suatu disain. Pengembangan sistem
instruksional senantiasa didasarkan atas pengalaman empiris, dan prinsip-prinsip
yang telah teruji kebenarannya, dalam arti telah ditentukan berdasar prosedur yang
sistematis, pengamatan yang tepat, dan percobaan yang terkontrol. Hal ini berbeda
dengan metode atau cara mengajar yang diperoleh secara tradisional dan
dikembangkan melalui pengalaman semata-mata.
Apakah yang dikerjakan oleh para pengembang sistem dan disain
instruksional? Kegiatan pokok bagi para pengembang sistem dan disain instruksional
meliputi:
1. Menentukan hasil belajar dalam arti prestasi siswa yang bisa diamati dan diukur
(learning outcomes).
2. Identifikasi karakteristik siswa yang akan belajar.
3. Berdasar 1 dan 2 tersebut, memilih dan menyelenggarakan kegiatan belajar
mengajar bagi para siswa.
4. Menentukan media untuk kegiatan tersebut.
5. Menentukan situasi dan kondisi, dalam mana responsi siswa akan diamati dan
dipandang sebagai salah satu contoh dari tingkah laku yang diharapkan.
6. Menentukan kriteria, seberapa prestasi siswa telah dianggap cukup.
7. Memilih metode yang tepat untuk menilai kemampuan siswa untuk
mendemonstrasikan tingkah laku seperti tersebut pada angka 1.
8. Menentukan metode untuk memonitor responsi siswa- sewaktu
9. Berada dalam proses pengajaran dan sewaktu dievaluasi.
10. Mengadakan perbaikan yang diperlukan dalam kegiatan belajar mengajar bila
ternyata responsi siswa tidak sesuai dengan hasil yang telah ditentukan.

9.2. PROSES PENGEMBANGAN SISTEM INSTRUKSIONAL


Prosedur atau proses yang ditempuh oleh para pengembang sistem instruksional
bisa meliputi dua cara:
1. Dengan pendekatan secara empiris
Proses ini dilaksanakan tanpa menggunakan dasar-dasar teori secara sistematis.
Di sini paket atau bahan pengajaran disusun berdasar pengalaman si
pengembang, siswa disuruh mempelajari lalu hasilnya diamati. Bila hasilnya tak
sesuai dengan apa yang diharapkan, materi pengajaran tersebut direvisi dan
pekerjaan penyusunan paket (materi) pengajaran diulang. Adapun pendekatan
semacam ini mempunyai beberapa kelemahan diantaranya :
a. Setiap pengembang harus mulai dari awal untuk mencari atau menemukan
semua langkah dan dasar yang diperlukan untuk mengembangkan suatu
materi pengajaran.
b. Berulang kalinya pembuatan materi (paket) pengajaran baru. Hal ini berarti
menghendaki berulang kau uji coba, dan ini berarti kurang efisien.
2. Dengan mengikuti atau membuat suatu model (paradigm approach).
Menurut pendekatan ini, hasil belajar yang diharapkan, bisa diklasifikasikan
sesuai dengan tipe-tipe tertentu. Untuk, tiap tipe tujuan khusus (objective) dapat
dipilihkan cara-cara tertentu untuk mencapainya, kondisi tertentu untuk
mengamati responsi siswa bisa diciptakan, dan perubahan-perubahan bilamana
perlu bisa diadakan. Di dalam penyusunan disain instruksional, diadakan
langkah-langkah secara sistematis, sehingga uji coba secara empiris terhadap
suatu program dapat mendorong untuk adanya informasi mengenai efektifitas
suatu program, yang sekaligus bisa untuk menguji model tersebut.

9.3. MODEL MODEL PENGEMBANGAN SISTEM INSTRUKSIONAL


Ada beberapa model pengembangan instruksional, antara lain
pengembangan instruksional model Banathy, PPSI, model Kemp, model Briggs,
model Gerlach & Ely, model IDI (Instruksional Development Institute), dan lain-
lainnya.
1. Model Bela H. Banathy
Pengembangan Instruksional model Banathy ini dapat diinformasikan dalam
enam langkah sebagai berikut:
Langkah pertama; merumuskan tujuan (Formulate objectives)
Langkah kedua; mengembangkan test (develop test)
Langkah ketiga; menganalisis kegiatan belajar (analyze learning task)
Langkah keempat; mendesain struktur instruksional (design system)
Langah kelima; melaksanakan kegiatan dan mengetes hasil (Implement and test
output)
Langkah keenam; mengadakan perbaikan (change to improve)
2. Model Pengembangan Sistem Instruksional (MPSI)
Istilah pengembangan sistem instruksional (instructional systems development)
dan disain instruksional (instructional design) sering dianggap sama, atau
setidak-tidaknya tidak dibedakan secara tegas dalam penggunaannya, meskipun
menurut arti katanya ada perbedaan antara disain dan pengembangan. Kata
disain berarti membuat sketsa atau pola atau outline atau rencana
pendahuluan. Sedang mengembangkan berarti membuat tumbuh secara
teratur untuk menjadikan sesuatu lebih besar, lebih baik, lebih efektif, dan
sebagainya.
3. Model Briggs
Model Brigs ini berorientasi pada rancangan sistim dengan sasaran dosen atau
guru yang akan bekerja sebagai perancang kegiatan instruksional maupun tim
pengembangan instruksional yang susunan anggotanya meliputi: dosen,
administrator, ahli bidang studi, ahli evaluasi, ahli media dan perancang
instruksional (Mudhoffir, 1986 : 34)
Brigs berkeyakinan bahwa banyak pengetahuan tentang belajar mengajar dapat
diterapkan untuk semua jajaran dalam bidang pendidikan dan latihan. Karena itu
dia berpendapat bahwa model ini juga sesuai untuk pengembangan program
latihan jabatan, tidak hanya terbatas pada program-program akademis saja. Di
samping itu, model ini dirancang sebagai metodologi pemecahan masalah
instruksional. Dalam pengembangan instruksional ini berlaku prinsip keselarasan
antara tujuan yang akan dicapai, strategi pencapaiannya dan evaluasi
keberhasilannya, yang ketiganya merupakan tiang pancang desain
instruksionalnya Briggs.
4. Model Kemp
Pengembangan instruksional yang dikembangkan oleh Kemp (1977) ini juga
disebut sebagai Desain Instruksional, yang terdiri dari 10 langkah.
a. Penentuan tujuan instruksional umum (TIU); yaitu tujuan yang ditetapkana
menurut masing-masing pokok bahasan.
b. Menganalisis karakteristik siswa; dalam analisis ini memuat hal-hal yang
berkenaan dengan latar belakang pendidikan siswa, sosial budaya yang
memungkinkan dapat mengikuti program kegiatan belajar, serta langkah-
langkah apa yang perlu ditetapkan.
c. Menentukan tujuan instruksional khusus (TIK); yakni tujuan yang ditetapkan
secara operasional, spesifik dan dapat diukur. Dengan demikian siswa dapat
mengetahui apa yang akan mereka lakukan, bagaimana melakukannya dan
apa ukuran yang digunakan bahwa mereka dapat mencapai tujuan belajar
tersebut.
d. Menentukan materi pelajaran;yang sesuai dengan tujuan instruksional
khusus yang telah ditetapkan.
e. Mengadakan penjajakan awal (preassesment); langkah ini sama halnya
dengan test awal yang fungsinya untuk mengetahui kemampuan yang
dimiliki siswa, apakah telah memenuhi syarat belajar yang ditentukan
ataukah belum.
f. Menentukan strategi belajar dan mengajar yang relevan; sebagai patokan
untuk memilih strategi yang dimaksud, Kemp menentukan 4 kriteria;
1) Efisiensi;
2) Keefektifan;
3) Ekonomis;
4) Kepraktisan.
Dalam memilih strategi belajar-mengajar tersebut harus melalui analisis
alternatif.
g. Mengkoordinasi sarana penunjang yang dibutuhkan, meliputi:
1) Biaya;
2) Fasilitas;
3) Peralatan;
4) Waktu dan
5) Tenaga
h. Mengadakan evaluasi; hasil evaluasi tersebuut digunakan untuk mengontrol
dan mengkaji sejauhmana keberhasilan suatu program yang telah
direncanakan mencapai sasaran yang diinginkan. Hasil evaluasi merupakan
umpan balik untuk merevisi kembali tentang; program instruksional yang
telah dibuat, instrument tes, metode strategi yang dipakai dan sebagainya.
5. Model IDI
Pengembangan instruksional model ID (Instruksional Development Institute)
merupakan suatu hasil konsorsium antar perguruan tinggi di Amerika Serikat
yang dikenal dengan Uniiversity Consorsium Instructional Development and
Technology (UCIDT). Model IDI ini telah dikembangkan dan diuji-cobakan pada
beberapa negara di Asia dan Eropa dan telah berhasil di 334 institusi pendidikan
di Amerika. Sebagaimana halnya dengan model-model pengembangan
instruksional lainnya, model ini juga menggunakan model pendekatan sistim
yang meliputi tiga tahapan, yakni;
a) Tahap pembatasan (define)
Identifikasi masalah, dimulai dengan analisis kebutuhan atau yang disebut
need assesment. Pada dasarnya need assisment ini berusaha menemukan
suatu perbedaan (descrypancy) antara apa yang ada dan apa yang idealnya
(yang diinginkan). Karena banyaknya kebutuhan pengajaran, maka perlu
diadakan prioritas mana yang didahulukan dan mana yang dikemudian.
b) Tahap Pengembangan
Identifikasi tujuan; tujuan instruksional yang hendak dicapai perlu
diidentifikasikan terlebih dahulu, baik tujuan instruksional umum (TIU)
dalam hal ini IDI menyebutkan dengan Terminal Objectives dan tujuan
instruksional khusus (TIK) yang disebut Enabling Objectives. TIK adalah
penjabaran yang lebih rinci dari TIU, maka TIK dianggap penting sekali
dalam pengembangan instruksional, disamping itu TIK perlu karena;
1) Membantu siswa dan guru untuk memahami secara jelas apa-apa yang
diharapkan sebagai hasil kegiatan instruksional;
2) TIK merupakan building blocks dari pengajaran yang diberikan
3) TIK merupakan penanda tingkah laku yang harus diperlihatkan oleh
siswa sesuai dengan kegiatan instruksional yang diberikan.
Penentuan metode;
1) Untuk mencapai tujuan-tujuan yang telah ditetapkan perlu
ditempuh suatu cara, dalam hal ini metode apa yang cocok
digunakan untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkn tersebut.
2) Bagaimanakah urutan isi/ bahan yang akan disajikan?
3) Bentuk instruksional apakah yang dipilih sesuai dengan
karakteristik siswa dalam situasi dan kondisinya? Apakah
dipakai metode ceramah, diskusi, praktikum, karyawisata, tugas
individual dan lain-lainnya?
c) Tahap penilaian
Tes uji coba;
Setelah prototipa program instruksional tersebut disusun, maka
langkah berikutnya harus diadakan uji-coba. Uji-coba ini dapat
dilakukan pada sampel audien untuk menentukan kelemahan dan
kebaikan serta efesiensi dan keefektifan suatu program yang
dikembangkan.
Analisis hasil
Hasil uji coba yang dilakukan perlu dianalisis terutama yang
berkenaan dengan;
1) Apakah tujuan dapat dicapai, bila tidak atau belum semuanya,
dimanakah letak kesalahannya?
2) Apakah metode atau teknik yang dipakai sudah cocok
denganpencapaian tujuan-tujuan tersebut, mengingat
karakteristik siswa yang telah diidentivikasi?
3) Apakah tidak ada kesalahan dalam pembuatan instrumen
evaluasi?
4) Apakah sudah dievaluasi hal-hal yang seharusnya perlu
dievaluasi?
6. Model PPSI
PPSI merupakan singkatan dari prosedur pengembangan sistem intruksional.
Istilah sistem instruksional mengandung pengertian bahwa PPSI menggunakan
pendekatan sistem dimana pembelajaran adalah suatu kesatuan yang
terorganisasi, yang terdiri dari seperangkat komponen yang saling berhubungan
dan bekerjasama satu sama lain secara fungsional dan terpadu dalam rangka
mencapai tujuan yang diharapkan. Dengan demikian PPSI adalah suatu langkah-
langkah pengembangan dan pelaksanaan pembelajaran sebagai suatu sistem
dalam rangka untuk mencapai tujuan yang diharapkan secara efektif dan efisien
(Harjanto, 2008 : 75). Model pengembangan intruksional PPSI ini memiliki 5
langkah pokok yaitu:
a. Perumusan tujuan/kompetensi
Merumuskan tujuan/kompetensi beserta indicator ketercapaiannya yang
harus memenuhi 4 kriteria sebagai berikut:
1) Menggunakan istilah yang operasional
2) Berbentuk hasil belajar
3) Berbentuk tingkah laku
4) Hanya satu jenis tingkah laku
b. Pengembangan alat penilaian
1) Menentukan jenis tes/intrumen yang akan digunakan untuk menilai
tercapai tidaknya tujuan
2) Merencanakan pertanyaan (item) untuk menilai masing-masing tujuan
c. Kegiatan belajar
1) Merumuskan semua kemungkinan kegiatan belajar untuk mencapai
tujuan
2) Menetapkan kegiatan belajar yang tak perlu ditempuh
3) Menetapkan kegiatan yang akan ditempuh
d. Pengembangan program kegiatan
1) Merumuskan materi pelajaran
2) Menetapkan model yang dipakai
3) Alat pelajaran/buku yang dipakai
4) Menyusun jadwal
e. Pelaksanaan
1) Mengadakan pretest
2) Menyampaikan materi pelajaran
3) Mengadakan posttest
4) Perbaikan
9.4. Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI)
1. Pengetahuan Sistem Insturksional
Sistem Instruksional menunjukkan pada pengertian pengajaran sebagai
sistem, yaitu sebagai suatu kesatuan yang terorganisasi, yang terdiri atas sejumlah
komponen yang saling berhubungan satu sama lain dalam rangka mencapai tujuan
yang diinginkan. Sebagai suatu sistem, pengajaran mengandung sejumlah komponen,
antara lain: materi pelajaran, metode, dan alat evaluasi, yang kesemuanya itu
berinteraksi satu sama lain dalam rangka mencapai tujuan pengajaran yang telah
dirumuskan. Dengan kata lain, agar tujuan itu dapat tercapai, semua komponen yang
ada di dalamnya harus diorganisasikan sedemikian rupa, sehingga komponen-
komponen tersebut dapat bekerja sama dengan harmonis. Oleh karena itu, di dalam
mengembangkan suatu pengajaran atau Sistem Instruksional, tidak hanya
memperhatikan komponen materi, metode, atau evaluasi saja, tetapi juga melihat
pengajaran sebagai suatu keseluruhan sebagai suatu sistem.
Meskipun tujuan-tujuan pengajaran yang telah dirumuskan sebaik mungkin,
apabila tidak disertai dengan materi pelajaran yang sesuai, metode/alat yang tepat,
prosedur evaluasi yang mantap, maka tipis kemungkinan tujuan-tujuan tersebut dapat
dicapai. Pengertian Sistem Instruksional dapat dikembangkan dalam ruang lingkup
yang sangat terbatas, yang disebut micro-system, misalnya sistem dalam pengajaran
mengenai suatu topik pelajaran tertentu.

2. Langkah langkah Pokok di Dalam Mengembangkan Sistem Instruksional


Apabila kita ingin mengajarkan suatu topik pelajaran kepada siswa, perlu
ditempuh sejumlah langkah-langkah tertentu sebagai berikut:
a. Merumuskan Tujuan-tujuan Pengajaran (Instruksional) yang Ingin Dicapai
Tujuan-tujuan instruksional di sini maksudnya adalah perumusan tentang tingkah
laku atau kemampuuan-kemampuan yang diharapkan dapat dimiliki oleh para
siswa setelah ia mengikuti pengajaran yang telah diberikan. Kemampuan-
kemampuan yang diharapkan itu dirumuskan secara spesifik atau khusus dan
operasional sehingga nantinya dapat dinilai. Dengan demikian, tujuan yang
dirumuskan tersebut tidak akan menimbulkan tafsiran yang berbeda-beda pada
orang lain yang membaca rumusun tujuan tersebut. Telah dinyatakan bahwa
tujuan instruksional mengandung perumusan tingkah laku/ kemampuan yang
dimiliki siswa setelah menyelesaikan suatu kegiatan belajar tertentu. Perhatikan
pernyataan di bawah ini :
Mengajarkan kepada siswa tentang jenis-jenis bangun datar.
Dari pernyataan di atas, dapat disimpulkan bahwa pernyataan di atas bukan
merupakan perumusan tujuan, sebab pernyataan tersebut tidak mengambarkan
kemampuan yang dimiliki oleh siswa setelah mengikuti sesuatu kegiatan belajar
tertentu. Sebaliknya pernyataan di atas lebih merupakan suatu proses mengajar,
bukan tujuan instruksional.
Perhatikanlah contoh di bawah ini yang memperlihatkan perbedaan antara
tujuan instruksional dan proses mengajar.
Tujuan Instruksional Proses Mengajar
Siswa dapat menyebutkan dengan tepatMengajarkan kepada siswa tentang jenis-
jenis-jenis bangun datar. jenis bangun datar.
Siswa dapat menghitung luas bujurMengajarkan kepada siswa cara menghitung
sangkar yang diketahui panjang salahluas bujur sangkar.
satu sisinya.

Perumusan kemampuan siswa merupakan syarat mutlak dalam tujuan instruksional.


Perumusan tersebut hendaknya cukup jelas sehingga tidak menimbulkan tafsiran yang
berbeda. Untuk itu hendaknya digunakan istilah-istilah tertentu yang operasional
sehingga dapat diukur, tetapi jika yang digunakan istilah-istilah yang kurang
operasional dapat menimbulkan berbagai interpretasi yang berbeda.
Contoh istilah-istilah yang operasional: menuliskan, menyebutkan, memiliki,
membedakan, memecahkan (soal), membandingkan, menghitung dan sebagainya.
Contoh istilah-istilah yang kurang operasional: memahami, mengetahui, menikmati,
menghargai, mempercayai, meyakinkan dan sebagainya.

Kriteria dalam Merumuskan Tujuan Instruksional


Sebagai pedoman bagi guru-guru dalam menyusun tujuan-tujuan instrusional, maka
kriteria yang harus diperhatikan dalam merumuskan tujuan-tujuan yang ingin dicapai
dalam suatu topik pelajaran tertentu adalah:
a) Harus menggunakan istilah-istilah yang operasional.
Contoh:
- Tepat : siswa dapat memberikan contoh tentang penerapan matematika pada
kehidupan sehari-hari.
- Kurang tepat : siswa mengetahui tentang penerapan matematika pada
kehidupan sehari-hari.
b) Harus dalam bentuk hasil belajar
Tujuan instruksional hendaknya menggambarkan hasil belajar yang diharapakan
pada diri siswa setelah ia menempuh suatu kegiatan belajar tertentu, jadi yang
dilukiskan di sini bukan apa-apa yang ia pelajari, tapi hasil apa yang ia peroleh
setelah mempelajari sesuatu.
Contoh:
- Tepat: siswa dapat mengubah bilangan pecahan ke dalam bentuk bilangan
desimal.
- Kurang tepat: cara-cara mengubah bilangan pecahan ke dalam bentuk
bilangan desimal.
c) Harus berbentuk tingkah laku siswa
Isi perumusan tujuan instruksional hendaknya bertolak pada perubahan tingkah
laku siswa yang diharapkan, bukan pada proses mengajar guru.
Contoh:
- Tepat: siswa dapat menemukan dengan tepat nilai p dalam suatu persamaan
kuadrat.
- Kurang tepat: membina kemampuan memecahkan paersamaan kuadrat.
d) Hanya meliputi satu jenis tingkal laku.
Perumusan tujuan hendaknya meliputi hanya satu jenis tingkah laku/ kemampuan
saja. Bila terkandung lebih dari satu kemampuan dalam suatu perumusan tujuan
sering timbul kesulitan dalam mengevaluasi sampai dimana tujuan tersebut telah
tercapai, sebab mungkin salah satu aspek kemampuan lainnya belum tercapai.
Contoh:
- Tepat: siswa dapat menghitung rata-rata suatu populasi.
- Kurang tepat: siswa dapat menghitung rata-rata dan variansi dari suatu
populasi.
b. Mengembangkan Alat Evaluasi
Setelah semua tujuan-tujuan instruksional selesai dirumuskan, maka langkah
selanjutnya mengembangkan alat evaluasi untuk menilai sampai dimana tujuan-
tujuan tersebut telah tercapai. Untuk menilai tercapai atau tidaknya tujuan-tujuan
tersebut, maka perlu ditentukan terlebih dahulu jenis-jenis tes yang akan
digunakan, tes tersebut dapat berupa tes lisan, tes tulisan maupun tes perbuatan.
1) Bila suatu tujuan berbunyi sebagai berikut:
Siswa dapat menyebutkan macam-macam bangun ruang. Maka jenis tes
untuk menilai tercapai tidaknya tujuan tersebut adalah jenis tes lisan.
2) Bila suatu tujuan berbunyi sebagai berikut:
Siswa dapat menyelesaikan pertidaksamaan trigonometri. Maka jenis tes
untuk menilai tercapai tidaknya tujuan tersebut adalah tes tertulis.
3) Bila suatu tujuan berbunyi sebagai berikut:
Siswa dapat membuat salah satu bangun ruang dari kertas manila. Maka
jenis tes untuk menilai tercapai tidaknya tujuan ini adalah jenis tes
perbuatan, dimana siswa melakukan sesuatu dan penilaian oleh guru
dilakukan melalui observasi terhadap perbuatan siswa.
Kemudian langkah selanjutnya dalam mengembangkan alat evaluasi adalah
merumuskan pertanyaan-pertanyaan (items) untuk menilai masing-masing
tujuan. Pertanyaan tersebut dapat berupa uraian atau pertanyaan-pertanyaan
dengan pilihan jawaban terbatas, ataupun bentuk-bentuk lainnya seperti bentuk
melengkapi dan pertanyaan-pertanyaan yang menuntut jawaban-jawaban singkat.
c. Menetapkan Kegiatan-kegiatan Belajar yang Perlu Ditempuh.
Langkah selanjutnya adalah menetapkan kegiatan belajar apakah yang perlu
ditempuh, agar mereka dapat melakukan hal-hal yang telah dirumuskan tujuan
inatruksional. Langkah-langkah pokok untuk melaksanakan tugas ini agar lebih
baik adalah:
1. Merumuskan semua kemungkinan kegiatan belajar yang diperlukan untuk
mencapai tujuan instruksional.
2. Menetapkan dari sekian kegiatan-kegiatan belajar tersebut yang tidak perlu
ditempuh lagi oleh siswa berhubung mereka telah mengetahuinya. Untuk itu
perlu diadakan sebuah tes, yaitu Input Test yang bertujuan untuk menilai
pengetahuan/ keterampilan siswa dalam kegiatan-kegiatan belajar ynag telah
dirumuskan, sehingga dengan demikian dapat ditentukan kegiatan-kegiatan
belajar mana yang perlu dan mana yang tidak perlu lagi ditempuh siswa untuk
mnecapai suatu tujuan instruksional tertentu.
Misalnya pada pelajaran bangun ruang, setelah diadakan Input Test ternyata
semua siswa telah mengetahui macam-macam bangun ruang, tetapi mereka
belum mengetahui cara mencari volume bangun ruang tersebut.
3. Menetapkan kegiatan-kegiatan belajar mana yang nantinya akan ditempuh
siswa. Setelah kegiatan-kegiatan belajar tersebut dirumuskan, maka langkah
selanjutnya adalah menetapkan kemampuan-kemampuan dasar tertentu,
seperti kemampuan di bidang bahasa, bilangan, dan ruang.
d. Merencanakan Program Kegiatan
1. Merumuskan materi pelajaran
Setelah kegiatan belajar yang akan ditempuh oleh siswa dirumuskan, maka
langkah selanjutnya merumuskan pokok-pokok materi pelajaran yang akan
diberikan kepada siswa sesuai dengan jenis-jenis kegiatan belajar yang telah
ditetapkan.
2. Metode yang digunakan
Untuk memilih metode-metode mana yang tepat untuk menyampaikan
materi pelajaran kepada siswa, perlu ketahui dulu sejumlah metode yang
dapat digunakan dalam mengajar. Seperti metode ceramah, demonstrasi,
pemberian tugas dan sebagainya.
3. Menyusun jadwal
Atas dasar banyaknya materi yang ingin disampaikan dan metode-metode
yang digunakan, maka kita coba untuk memperhitungkan dalam beberapa
jam pelajaran materi tersebut dapat disampaikan seluruhnya. Dengan cara
inilah kita dapat menyusun jadwal pengajaran mengenai topik yang akan
diberikan.
e. Melaksanakan Program.
1. Mengadakan Pre-Test
Tujuan dari Pre-Test ini adalah untuk menilai sampai dimana siswa telah
menguasai kemampuan-kemampuan yang tercantum dalam tujuan-tujuan
instruksional, sebelum mereka mengikuti program pengajaran yang telah
disiapkan. Hasil Pre-Test ini berfungsi sebagai bahan perbandingan dengan
hasil post-test setelah mereka selesai mengikuti program pengajaran tertentu.
Test yang diberikan dalam pre-test berupa tes lisan, tes tulisan, atau tes
perbuatan.
2. Menyampaikan materi pelajaran kepada siswa
Dalam menyampaikan materi pelajaran pada prinsipnya, berpegang pada
rencana yang telah disusun dalam langkah Perencanaan Program Kegiatan,
baik mengenai materi, metode maupun alat yang digunakan. Disamping itu,
sebelum guru-guru mulai menyampaikan materi pelajaran hendaknya
dijelaskan dulu tujuan-tujuan instruksional yang ingin dicapai kepada siswa
sehingga sebelum pelajaran dimulai mereka telah mengetahui kemampuan-
kemampuan apakah yang diharapkan dari mereka setelah selesai mengikuti
pengajaran.
3. Mengadakan Post-Test (Evaluasi)
Post-Test diberikan setelah siswa mengikuti program pengajaran. Test yang
diberikan dalam Post-Test identik tes yang diberikan pada Pre-Test. Jadi
perbedaan antara Pre-Test dan Post-Test hanyalah dalam waktu dan fungsi
masing-masing, yaitu:
- Pre-Test diadakan sebelum pengajaran dimulai sedangkan Post-Test
diadakan setelah siswa selesai mengikuti pengajaran yang diberikan.
- Pre-Test berfungsi untuk menilai kemampuan siswa mengenai materi
pelajaran sebelum pengajaran diberikan, sedangkan Post-Test berfungsi
untuk menilai kemampuan siswa mengenai materi pelajaran setelah
pengajaran diberikan.
Setelah post-test selesai dilakukan dan diperiksa, maka selanjutnya
membandingkannya dengan nilai pre-test.
Ada dua cara yang dapat dilakukan untuk membandingkan hasil Pre-Test dan Post-
Test:
(1) Hasil keseluruhan test
Untuk melakukan perbandingan ini langkah-langkah yang ditempuh:
a) Menghitung angka rata-rata yang dicapai siswa pada Pre-Test.
b) Menghitung angka rata-rata yang dicapai siswa pada Post-Test.
Dengan melihat perbedaan rata-rata antara Pre-Test dan Post-Test dapat kita
simpulkan sampai dimana manfaat program pengajaran yang telah diberikan
dalam mencapai tujuan-tujuan instruksional yang telah dirumuskan.
(2) Pertanyaan demi pertanyaan
Disini semua pertanyaan tes dianalisa dengan cara yang sama, sehingga
kelemahan yang terdapat dalam bagian-bagian tertentu pada program yang telah
disusun dapat diketahui. Dengan melakukan dua jenis perbandingan tersebut,
maka sekurang-kurangnya kita dapat mengetahui 3 hal:
a. Hasil belajar yang dicapai masing-masing siswa dengan program pengajaran
yang kita adakan.
b. Sampai dimana program yang kita adakan telah berhasil mencapai tujuan-
tujuna yang telah dirumuskan.
c. Kelemahan-kelemahan yang masih terdapat dalam begian-bagian tertentu
dari program yang kita berikan, sehingga memberikan pedoman pada kita
untuk melakukan revisi.
BAGIAN 10
KONSEP DASAR EVALUASI BELAJAR DAN
PEMBELAJARAN

10.1. PENGERTIAN KEDUDUKAN DAN SYARAT-SYARAT UMUM


EVALUASI
Mengapa evaluasi hasil belajar pembelajaran perlu dilakukan? Karena
dengan evaluasilah, akan diketahui apakah proses belajar mengajar, dimana
pembelajaran dan guru berinteraksi, telah mencapai sasaran yang dikehendaki
ataukah belum. Secara rinci, alasan-alasan bagi perlunya evaluasi pembelajar adalah
sebagai berikut:
1. Kemampuan mengajar guru akan diketahui, setelah diadakan evaluasi.
2. Taraf penguasa pembelajaran terhadap materi pelajaran yang diberikan akan
diketahui setelah diadakan evaluasi.
3. Letak kesulitan pembelajar akan diketahui setelah diadakan evaluasi.
4. Tingkat kesukaran dan kemudahan bahan pelajaran yang diberikan pembalajar
akan diketahui setelah diadakan evaluasi.
5. Termanfaatkan didalmya sarana dan fasilitas pendidikan akan diketahui setelah
adanya evaluasi.
6. Remidi-remidi spa saja yang dapat diberikan kepada pembelajaran yang
mengalami kesulitan juga. akan diketalmi setelah melihat hasil
7. Tujuan tujuan pengajaran yang telah dirumuskan akan diketabui seberapa
tingkat pencapaiannya setelah diadakan evaluasi.
8. Pembelajar dapat dikelompokkan kedalam kelompok mana juga akan diketahui
setelah evaluasi.
9. Pembelajar maua yang perlu mendapatkan prioritas dalam bimbingan
penyuluhan, dan mana yang tidak menjadi prioritas akan diketahui setelah
evaluasi.
Jelaslah bahwa evaIuasi sangat penting dilakukan guna memberikan
pelayanan sebaik mungkin, dari lebih jauh sangat penting bagi pencapaian tujuan
pendidikan.

10.1.1 Pengertian evaluasi


Kata evaluasi merupakan pengindonesiaan dari kata evaluation dalam
bahasa inggris, yang lazim diartikan dengan penaksiran atau penilaian. Kata
kerjanya adalah evaluate yang berarti menaksir atau menilai. Sedangkan orang yang
menilai atau menaksir disebut sebagai evaluator (Echols, 1975).
Secara harfiah kata evaluasi berasal dan bahasa Inggris Evaluation; dalam
bahasa Arab: al-taqdir; dalam bahasa Indonesia berarti: pnilaian. Akar katanya
adalah value; dalam Babasa Arab ; al-qimah; dalam bahasa Indonesia berarti; nilai.
Dengan demikian secara harfiah, evaluasi pendidikan (educationnal evaluation = al-
Taqdir al-Tarbawiy) dapat diartikan sebagai penilaian-penilaian dalam (bidang)
pendidikan atau penilaian mengenai hal-hal yang berkaitan dengan kegiatan
pendidikan.
Adapun dui segi istilah, sebagaimana dikemukakan oleh Edwind Wandt dam
Gerald W. Brown (1977): Evaluation refer to act or process to determining the value
of some thing. Menurut definisi int, maka istilah evaluasi itu menunjuk kepada atau
mengandung pengertian: suatu tindakan atau suatu proses untuk menentukan nilai
dari sesuatu. Apabila definisi evaluasi yang dikemukakan oleh Edwin Wandt dan
geral W Brown itu untuk memberikan definisi tentang evaluasi pendidikan, maka
evaluasi pendidikan itu dapat diberi pengertian sebagai; suatu tindakan atau
kegiatan (yang dilaksanakan dengan maksud) atau suatia proses (yang berlangsung
dalam rangka) menetukan nulai dari segala sesuatu dalam dunia pendidikan (yaitu
segala sesuatu yang berhubungan dengan, atau yang terjadi di lapangan
pendidikan). Atau singkatnya: Evaluasi pendidikan adalah kegiatan atau proses
penentuan nilai pendidikan, sehingga dapat diketahui mutu atau hasil-hasilnya.
Mengingat sangat luasnya pembicaraan tentang penilaian pendidikan, maka
dalam buku ini, pembicaraan hanya akan dibatasi pada penilaian atau evaluasi yang
dilaksanakan di sekolah. Berbkara tentang pengertian evaluasi pendidikan, di tanah
air kita, lembaga administrasi negara mengemukakan batasan mengenai Evaluasi
Pendidikan sebagai berikut:
1) Proses/kegiatan untuk menentukan kemajuan pendidikan, dibanding tujuan
yang telah ditentukan;
2) Usaha untuk memperoleh informasi berupa umpan balik (feed back) bagi
penyempurnaan pendidikan
Secara teminologis, evaluasi dikemukak oleh para ahli sebagai berikut:
1. Grounlund (1976) mengartikan evaluasi sebagai berikut:
.... a systematk process of determining the extent to whkh instructional
objectives are achieved by pupil.
2. Nurkancana (1983) menyatakan bahwa evaluasi dilakukan berkenaan dengan
proses kegiatan untuk menentukan nilai sesuatu.
3. Raka Joni (1975) mengartikan evaluasi sebagai berikut: 'suatu proses dimana
kita mempertimbangkan sesuatu barang atau gejala dengan mempertimbangkan
patokan-patokan tertentu, patokan-patokan mana mengandung pengertian baik
tidak baik, memadai tidak memadai, memenuhi syarat tidak memenuhi symat
dengan perkataan lain kita menggunakan Value Judgement.
Berdasarkan pengertian pengertian diatas, sangatlah jelas bahwa evaluasi
adalah suatu proses menentukan nilai seseorang dengan menentukan patokan-
patokan tertentu untuk mencapai suatu Tujuan. Evaluasi hasil belajar pembelajaran
adalah suatu proses menentukan nilai prestasi belajar pembelajar dengan
menentukan patokan patokan tertentu guna mencapai tujuan pengajaran yang telah
ditentukan sebelumnya.

10.1.2 Perbedaan Pengukuran dan Penilaian


Sebelum dilakukan evaluasi terkhir dahulu dilakukan pengukuran.Secara
etimologis, pengukuran merupakan terjemahan darl measurement (Echols,1975).
Secara terminologis, pengukuran diartikan sebagai suatu usaha untuk mengetalmi
sesuatu sebagaimana adanya. Oleh karena sesuatu yang diukur itu bermaksud
diketahui secara apa adanya, maka dalam pengukuran sedikitpun penafsiran
mengenai sesuatu. Sebagaimana adanya mengandung sesuatu pengertian bahwa
sesuatu yang diukur tidak holeh dibandingkan dengan sesuatu yang lainnya. Jika
pengertian evaluasi dan pengukuran tersebut ditarik ke setting belajar dan
pembelajaran, maka dapat dikemukakan pengertian sebagai berikut:
1. Pengukuran adalah suatu upaya atau aktivitas yang dimaksudkan untuk
mengetahui belajar pembelajaran sebagaimana adanya, meliputi: hasil belajar
pembelajaran. proses belajar pembelajaran, mereka yang terlibat dalam belajar
pembelajaran (pembelajar dan guru).
2. Penilaian atau evaluasi adalah suatu aktivitas yang bermaksud menentukan nilai
belajar pembelajaran (baik belumnya/tidaknya, berhasil belumnya/tidaknya,
memadai belum/tidaknya, belajar pembelajaran, yang meliputi hasil belajar,
proses belajar dan mereka yang terlibat dalam belajar pembelajaran ).
Oleh karena pengukuran adalah salah satu kegiatan yang berada dalam
evaluasi, maka orang yang mengevaluasi sebenamya juga melakukan aktivitas
pengukuran. Evaluasi pendidikan. dengan demikian juga mencakup penguluaran
pendidikan. Evaluasi belajar pembelajaran juga mencakup pengukuran belajar dan
pembelajaran.

10.1.3 Pengertian Evaluasi Dalam Proses Pendidikan


Berbicara tentang pengertian istilah evaluasi pendidikan ditanah air kita,
Lembaga Administrasi Negara mengemukakan batasan mengenai evaluasi
pendidikan sebagai berikut: Evaluasi pendidikan adalah:
1. Proses atau kegiatan untuk menentukan kemajuan pendidikan, dibandingkan
dengan tujuan yang telah ditentukan
2. Usaha untuk memperoleh informasi berupa umpan balik (feed back) bagi
penyempurnaan pendidikan
Bertitik tolak dari uraian diatas, maka proses penilaian dilakukan
pembandingan antara informasi- infomasi yang telah berhasil dihimpun dengan
kriteria tertentu, untuk kemudian diambil keputusan atau dirumuskan kebijaksanaan
tertentu. Kriteria atau tolak ukur yang dipegangi tidak lain adalah tujuan yang sudah
ditentikan terlebih dahulu sebelum kegiatan pendidikan itu dilaksanakan..

10.2 KEDUDUKAN EVALUASI DALAM PROSES PENDIDIKAN


Kedudukan evaluasi dalam belajar dari pembelajaran sungguh sangat
penting, dan bahkan dapat dipandang sebagai bagian yang tak terpisalikan dengan
keseluruhan proses belajar dan pembelajaran. Penting karena dengan evaluasi atom
diketahui apakah belajar dan pembelajaran tersebut telah mencapai tujuuan ataukah
belum. Dengan evaluasi juga akan diketahui faktor-faktor apa saja yang menjadikan
penyebab belajar dan pembelajaran tersebut berhasil dart faktor-faktor apa saja yang
menjadikan penyebab belajar dan pembelajaran tidak atau belum berhasil. Tidak
hanya itu, dengan evaluasi juga diketahui dimanakah letak kegagalan dan
kesuksesan belajar dan pembelajaran. Padahal dikehuinya hal tersebut, akan dapat
dijadikan sebagai titik tolak dalam mengadakan perbaikan belajar duo
pembelajaran. Evaluasi juga punya kedudukan yang tak terpisahkan dari belajar dan
pembelajaran secara keseluruhan, karena strategi belajar dan pembelajaran, proses
belajar dan pembelajaran menempatkan evaluasi sebagai salah satu langkahnya.
Hampir semua ahli prosedur sistem instruksional menempatkan evaluasi ini sebagai
langkah-langkahnya. Perhatikan pula langkah-langkah pembelajaran yang
dikemukakan oleh para ahli berikut, pasti kita akan tahu betapa tidak dapat
terpisahkan evaluasi tersebut dengan keseluruhan proses belajar dan pembelajaran.
1. Mentout Kauffman, langkah-langkah yang harus ditempuh dalitm belajar
pembelajaran adalah dengan menggunakan model pemecahan masalah sebagai
berikut:
a. Identifikasi masalah.
b. Menentukan syarat-syarat dan altematif pemecahan masalah
c. Memilih strategi pemecahan masalah.
d. Melaksanakan pemecahan msalah.
e. Menentukan keefektifan hasil
f. Mengadakan revisi atas keseluruhan langkah a sampai dengan Imgkah c.
Jelaslah bahwa langkah c (menentukan keefektifan hasil) pada dasarnya tidak
berbeda dengan evaluasi itu sendiri. Dan dari langkah menentukan keefektifan
basil tersebut baru dapat dilakukan revisi atas keseluruhan langkah sebelumnya.
2. Menurut Glaser, proses belajar pembelajaran haruslah menempuh prosedur-
prosedur sebagai berikut :
a. Merumuskan teori pembelajaran (instuksional objectives) b. Memutuskan
situasi permulaan siswa
b. Menentukan prosedur pembelajaran.
c. Penilaian terhadap perfomansi
d. Umpan balik.
Jelaslah bahwa evaluasi (sebagaimana pada langkah d) sangat diperlukan
dan merupakan bagian yang tidak dapat terpisahkan dalam proses belajar
pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA

Prof, Dr Oemar Hamalik, Proses Belajar Mengajar, Bumi aksara 2001 Jakarta
Dr. Dimyati , Drs, Mudjiono, Belajar dan Pembelanjran, Rineka Cipta 2006 Jakarta
Arikunto, Sraihimi (2007). Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta : PT Bumi
Aksara
Abin Syamsuddin Makmun. 2003. Psikologi Pendidikan. Bandung: Rosda Karya
Remaja.Dedi Supriawan dan A. Benyamin Surasega, 1990. Strategi Belajar
Mengajar (Diktat Kuliah). Bandung: FPTK-IKIP Bandung.
Udin S. Winataputra. 2003. Strategi Belajar Mengajar. Jakarta: Pusat Penerbitan
Universitas Terbuka.
Wina Senjaya. 2008. Strategi Pembelajaran; Berorientasi Standar Proses
Pendidikan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Beda Strategi, Model, Pendekatan, Metode, dan Teknik Pembelajaran
(http://smacepiring.wordpress.com/
Dimyati dan Mudjiono. 2009. Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: PT Rineka Cipta
Siregar, Eveline dan Nara, Hartini. 2010. Buku Ajar Teori Belajar dan Pembelajaran.
Jakarta : UNJ
Syaodih Sukmadinata, Nana. 2004. Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek.
Bandung: PT Remaja Rosdakarya
http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/07/08/pengertian-kurikulum
http://zulharman79.wordpress.com/2007/08/04/evaluasi-kurikulum-pengertian-
kepentingan-dan-masalah-yang-
dihadapi/http://destalyana.blogspot.com/2007/09/beberapa-pengertian-
kurikulum.html
Daeng Sudirwo. 2002 Otonomi Perguruan Tinggi Hubungannya dengan Otonomi
Daerah. Manajerial. Vol .01. No1:72-79
Deddiknas. 2003. Standar Kompetensi Bahan Kajian; Pelayanan Profesional
Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
________. 2003. Kegiatan Belajar Mengajar yang Efektif; Pelayanan Profesional
Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang
________. 2003. Penilaian Kelas; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
E. Mulyasa.2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep; Karakteristik dan
Implementasi. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
_________. 2004. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi; Panduan
Pembelajaran KBK. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
_________. 2006. Kurikulum yang Disempurnakan. Bandung : P.T. Remaja
Rosdakarya
Nana Syaodih Sukmadinata. 1997. Pengembangan Kurikum; Teori dan Praktek.
Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.
Permendiknas No. 22, 23 dan 24 Tahun 2007
Tim Pengembang MKDK Kurikulum dan Pembelajaran.2002. Kurikulum dan
Pembelajaran. Bandung : Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas
Ilmu Pendidikan UPI.
Uyoh Sadulloh.1994. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: P.T. Media Iptek
Abraham Maslow, 2004, Psikologi Sains. Teraju. Jakarta.
Abudin Nata, 2008, Manajemen Pendidikan-Mengatasi Pendidikan Islam di
Indonesia. Media Grafika. Jakarta.
_____________, 2005, Filsafat Pendidikan Islam. Gaya Media Pratama. Jakarta.
Assegaf Abdurrachman & Suyadi, 2008, Pendidikan Islam Madzhab Kritis-
Perbandingan Teori Pendidikan Timur dan Barat. Gama Media. Yogyakarta.
Beane, James A., et. all, 1986, Curriculum Planning and Development. Boston. Allyn
and Bacon, Inc.
Fudyartanto, Ki RBS., 2002, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru. Global
Pustaka Utama. Jogjakarta.
Oemar Hamalik, 2008, Manajemen Pengembangan Kurikulum. PT. Remaja
Rosdakarya. Bandung.
_____________, 2008, Dasar-dasar Pengembangan Kurikulum. PT. Remaja
Rosdakarya. Bandung.
Purwanto, M. Ngalim, 2007, Ilmu Pendidikan Teoritis dan Praktis. PT. Remaja
Rosdakarya. Bandung.
Schubert, William H., 1986, Curriculum: Perspective, Paradigm and Possibility. New
York: McMillan Publishing Co.
Sukmadinata, Nana Saodih, 2008, Pengembangan Kurikulum-Teori dan Praktek. PT.
Remaja Rosdakarya. Bandung.
Syaiful Sagala, 2007, Manajemen Strategik dalam Peningkatan Mutu Pendidikan.
Alfabeta. Bandung.
Tim Dosen Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), 2009, Manajemen Pendidikan.
Alfabeta. Bandung.
Uyoh Sadulloh, 2007, Pengantar Filsafat Pendidikan. Alfabeta. Bandung.
M. Ihsan Dacholfany dan Ayi Sofyan. 2009 KURIKULUM BERDASARKAN
FILSAFAT BEHAVIORISME. Tugas Makalah Bidang Studi Manajemen Kurikulum
Program S3 PPS Universitas Islam Nusantara Dari Dosen: Prof. Dr. Harry Soedrajat
Depdiknas. 2003. Standar Kompetensi Bahan Kajian; Pelayanan Profesional
Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
________. 2003. Kegiatan Belajar Mengajar yang Efektif; Pelayanan Profesional
Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang
________. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi; Pelayanan Profesional
Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
________. 2003. Model Pelatihan dan Pengembangan Silabus; Pelayanan
Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
________. 2003. Pengelolaan Kurikulum di Tingkat Sekolah; Pelayanan
Profesional Kurikulum Berbasis Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
________. 2003. Penilaian Kelas; Pelayanan Profesional Kurikulum Berbasis
Kompetensi. Jakarta: Puskur Balitbang.
E. Mulyasa.2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep; Karakteristik dan
Implementasi. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
_________. 2004. Implementasi Kurikulum Berbasis Kompetensi; Panduan
Pembelajaran KBK. Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
_________. 2006. Kurikulum yang Disempurnakan. Bandung : P.T. Remaja
Rosdakarya
Nana Syaodih Sukmadinata. 1997. Pengembangan Kurikum; Teori dan Praktek.
Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.
Permendiknas No. 22, 23 dan 24 Tahun 2007
Tim Pengembang MKDK. 2002.. Kurikulum dan Pembelajaran. Bandung :
Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan
UPI.
Uyoh Sadulloh.1994. Pengantar Filsafat Pendidikan. Bandung: P.T. Media Iptek
Nana Syaodih Sukmadinata. 1997. Pengembangan Kurikum; Teori dan Praktek.
Bandung: P.T. Remaja Rosdakarya.
Tim Pengembang MKDK Kurikulum dan Pembelajaran. 2002. Kurikulum dan
Pembelajaran. Bandung : Jurusan Kurikulum dan Teknologi Pendidikan Fakultas
Ilmu Pendidikan UPI.
Calvin S. Hall & Gardner Lindzey. 1993. Teori-Teori Psikodinamik (Klinis);
Psikologi Kepribadian 1. (terj. A. Supratiknya). Yogyakarta : Kanisius.
Depdiknas. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 22 Tahun 2006
tentang tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah,.
Jakarta : Depdiknas.
____. 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 23 Tahun 2006 tentang
Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan, Jakarta : Depdiknas.
____, 2006. Peraturan Menteri Pendidikan Nasional No. 24 Tahun 2006 tentang
Pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 22 Tahun 2006
tentang Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah dan
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 23 Tahun 2006 tentang
Standar Kompetensi Lulusan untuk Satuan Pendidikan Dasar Dan Menengah,
Jakarta : Depdiknas.
E. Mulyasa. 2003. Kurikulum Berbasis Kompetensi. Konsep,Karakteristik dan
Implementasi.Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
. 2004. Implementasi Kurikulum 2004; Panduan Pembelajaran KBK.
Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya
Nana Syaodih Sukmadinata. 2005. Landasan Psikologi Proses Pendidikan.
Bandung : P.T. Remaja Rosdakarya.
Pietrefosa, J.F. 1971. The Authentic Counselor. Chicago : Rand McNally College
Pub. Co.
Prayitno, dkk. 2004. Pedoman Khusus Bimbingan dan Konseling, Jakarta :
Depdiknas.
-, dkk. 2004. Panduan Kegiatan Pengawasan Bimbingan dan Konseling,
Jakarta : Rineka Cipta.
Roger Combie White. 1997. Curriculum Innovation; A Celebration of Classroom
Practice (Terj. Aprilia B. Hendrijani. Buckingham : Open University Press
Sofyan S. Willis. 2004. Konseling Individual; Teori dan Praktek. Bandung :
Alfabeta.
Sudarwan Danim. 2002. Inovasi Pendidikan: Dalam Upaya Meningkatkan
Profesionalisme Tenaga Kependidikan. Bandung : Pustaka Setia.
Suyanto dan Djihad Hisyam. 2000. Refleksi dan Reformasi Pendidikan Indonesia
Memasuki Millenium III. Yogyakarta : Adi Cita.
*)) Akhmad Sudrajat, M.Pd. adalah Pengawas Bimbingan dan Konseling
Dinas Pendidikan Kabupaten Kuningan dan Dosen Pengajar di FKIP
UNIKU
Mudhoffir. 1986. Teknologi Instruksional, Bandung : CV. Remadja Karya.
Harjanto, 2010,Perencanaan Pengajaran, Jakarta : Rineka Cipta.
http://hadzuka.blogspot.com/2010/11/model-pengembangan-
instruksional.html
http://stitattaqwa.blogspot.com/2011/10/model-pengembangan-sistem-
instruksional.html
Arifin, Zainal. 2009. Evaluasi Pembelajaran. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Arikunto, Suharsimi.(2009). Dasar-dasar evaluasi pendidikan edisi revisi. Jakarta: PT
Bumi Aksara
Herliani, Elly. 2009. Penilaian Hasil Belajar. PPPPTKIPA: Jakarta
Sudjana, Nana. 1995. Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar. Bandung: Remaja
Rosda Karya.
Amirin, Tatang M. 2011. Pengertian sarana dan prasarana pendidikan.
tatangmanguny.wordpress.com
Munib, Achmad. 2009. Pengantar Ilmu Pendidikan. Semarang: Unnes Press
Handout Makul Manajemen Pendidikan, Pengampu : Dr. H. Samino, M.M
(http://askarinote.tk/?p=92)
KBK. (2002). Penilaian berbasis kelas.Jakarta: Pusat Kurikulum Balitbangepdiknas
http://id.shvoong.com/social-sciences/education/2192862-penilaian-proses-belajar
mengajar/#ixzz1aLSIBH4udiakses pada Senin, 10 Oktober 2011
http://blog.tp.ac.id/penilaian-hasil-pembelajarangentur1971.blogspot.com/
/penilaian-proses-belajar-mengajar.html
www.docstoc.com//PEDOMAN-PENILAIAN-PROSES-PEMBELA
file.upi.edu/Direktori//asesmen_proses_dan_hasil_belajar.pdf
http://karim71.blogspot.com/2009/12/pengertian-peserta-didik.html
Bersumber dari : http://www.abyfarhan.com/2011/12/penilaian-proses-dan-hasil-
belajar.html#ixzz2dCBvbfHB
Follow us: @aby_farhan on Twitter

Anda mungkin juga menyukai