Anda di halaman 1dari 24

KONSEP EKONOMI

MENURUT PEMIKIRAN AL – GHAZALI


(Kode B)

Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Ekonomi Mikro Islam

Oleh:

Yanis Khosni Azizah 091514553012

MAGISTER SAINS EKONOMI ISLAM


SEKOLAH PASCASARJANA
UNIVERSITAS AIRLANGGA
SURABAYA
2016
DAFTAR ISI

BAB I PENDAHULUAN................................................................................................. 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 2
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................................... 2
BAB II LANDASAN TEORI ............................................................................................. 3
2.1 Riwayat Hidup Al-Ghazali .......................................................................................... 3
2.1.1 Nama, Nasab, dan Kelahiran Beliau .................................................................... 3
2.1.2 Sifat Pribadi ......................................................................................................... 3
2.1.3 Pendidikan............................................................................................................ 5
2.1.4 Pengaruh Filsafat dalam Dirinya ......................................................................... 6
2.1.5 Situasi Politik ....................................................................................................... 7
2.1.6 Situasi Ekonomi ................................................................................................... 9
2.1.7 Masa Akhir Kehidupannya .................................................................................. 10
2.2 Karya – Karya Al - Ghazali ......................................................................................... 10
BAB III METODE PENULISAN...................................................................................... 14
BAB IV PEMBAHASAN ................................................................................................... 15
4.1 Pemikiran Ekonomi Al-Ghazali................................................................................... 15
4.1.1 Pertukaran Sukarela dan Evolusi Pasar................................................................ 15
4.1.1.1 Permintaan, Penawaran, Harga, Laba .......................................................... 16
4.1.1.2 Etika Perilaku Pasar ..................................................................................... 16
4.1.2 Aktivitas Produksi................................................................................................ 16
4.1.2.1 Produksi Barang-Barang Kebutuhan Dasar sebagai Kewajiban Sosial....... 17
4.1.2.2 Hirarki Produksi........................................................................................... 17
4.1.2.3 Tahapan Produksi, Spesialisasi, dan Keterkaitannya................................... 17
4.1.3 Barter dan Evolusi Uang...................................................................................... 18
4.1.3.1 Problema Barter dan Kebutuhan Terhadap Uang ........................................ 18
4.1.3.2 Uang yang Tidak Bermanfaat dan Penimbunan Bertentangan dengan Ilahi18
4.1.3.3 Pemalsuan dan Penurunan Uang.................................................................. 19
4.1.3.4 Larangan Riba.............................................................................................. 20
BAB V KESIMPULAN .................................................................................................... 21
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 22

1
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ekonomi merupakan pembahasan utama yang sangat dinamis sekaligus menjadi hal
paling penting yang mempengaruhi kehidupan manusia. Banyak literatur-literatur yang
menyuguhkan pemikiran-pemikiran tentang ekonomi. Namun sayangnya, literatur-literatur yang
banyak ditemukan di masyarakat dan dunia akademisi saat ini merupakan konsep-konsep
ekonomi yang dilahirkan dari pemikiran-pemikiran ahli ekonomi barat yang lebih cenderung
pada paham kapitalis dan sekulerisme. Pemikiran-pemikiran inilah yang saat ini telah menjadi
pedoman bagi masyarakat termasuk umat muslim dalam memahami dan mengimplementasikan
konsep ekonomi dalam kehidupannya.
Hal yang sangat memprihatinkan bagi kelangsungan hidup umat muslim adalah
terbatasnya literatur Islam yang membahas mengenai sejarah pemikiran ekonomi Islam atau
sejarah ekonomi Islam. Buku-buku sejarah Islam atau sejarah peradaban Islam sekalipun tidak
menyentuh sejarah pemikiran ekonomi Islam klasik. Kajian yang khusus tentang sejarah
pemikiran ekonomi Islam adalah tulisan Muhammad Nejatullah Ash-Shiddiqi yang berjudul,
Muslim Economic Thinking, A Survey of Contemporary Literature , dan Artikelnya berjudul
History of Islamic Economics Thought . Buku dan artikel tersebut ditulis pada tahun 1981 dan
tahun 1992. Paparannya tentang studi historis ini lebih banyak bersifat diskriptif. Ia belum
melakukan analisa kritik, khususnya terhadap “kejahatan” intelektual yang dilakukan ilmuwan
Barat yang menyembunyikan peranan ilmuwan Islam dalam mengembangkan pemikiran
ekonomi, padahal sejatinya banyak sekali kontribusi dan ide-ide besar yang dilahirkan oleh
tokoh-tokoh ilmuwan ekonomi Islam yang mempengaruhi lahirnya konsep dan pemikiran-
pemikiran ekonomi modern saat ini. Keterbatasan pembahasan dalam literatur-literatur tersebut
menyebabkan masyarakat termasuk umat muslim memiliki anggapan bahwa pelopor dari konsep
dan pemikiran ekonomi adalah para ahli ekonomi barat sehingga Islam dianggap tidak memiliki
kontribusi dalam perkembangan perekonomian modern saat ini.
Melihat fakta yang terjadi seperti di atas, penulis ingin membahas lebih dalam dan lebih
sistematis mengenai pemikiran dan konsep ekonomi berdasarkan ilmuwan Islam yang ahli di

1
bidang ekonomi. Dalam hal ini, penulis akan membahas tentang pemikiran ekonomi dari Al -
Ghazali.

1.2 Rumusan Masalah


Bagaimanakah Konsep Ekonomi Menurut Pemikiran dari Al- Ghazali?

2
BAB II
LANDASAN TEORI

2.1 Riwayat Hidup Al - Ghazali


2.1.1 Nama, Nasab dan Kelahiran Beliau
Beliau bernama Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Ath
Thusi, Abu Hamid Al Ghazali. Para ulama nasab berselisih dalam penyandaran nama Imam
Al Ghazali. Sebagian mengatakan, bahwa penyandaran nama beliau kepada daerah
Ghazalah di Thusi, tempat kelahiran beliau. Ini dikuatkan oleh Al Fayumi dalam Al
Mishbah Al Munir. Penisbatan pendapat ini kepada salah seorang keturunan Al Ghazali,
yaitu Majdudin Muhammad bin Muhammad bin Muhyiddin Muhamad bin Abi Thahir
Syarwan Syah bin Abul Fadhl bin Ubaidillah anaknya Situ Al Mana bintu Abu Hamid Al
Ghazali yang mengatakan, bahwa telah salah orang yang menyandarkan nama kakek kami
tersebut dengan ditasydid (Al Ghazzali) (Chamid, 2010).
Sebagian lagi mengatakan penyandaran nama beliau kepada pencaharian dan
keahlian keluarganya yaitu menenun. Sehingga nisbatnya ditasydid (Al Ghazzali). Demikian
pendapat Ibnul Atsir. Dan dinyatakan Imam Nawawi, “Tasydid dalam Al Ghazzali adalah
yang benar.” Bahkan Ibnu Assam’ani mengingkari penyandaran nama yang pertama dan
berkata, “Saya telah bertanya kepada penduduk Thusi tentang daerah Al Ghazalah, dan
mereka mengingkari keberadaannya.” Ada yang berpendapat Al Ghazali adalah
penyandaran nama kepada Ghazalah anak perempuan Ka’ab Al Akhbar, ini pendapat Al
Khafaji (Chamid, 2010).
Yang dijadikan sandaran para ahli nasab mutaakhirin adalah pendapat Ibnul Atsir
dengan tasydid. Yaitu penyandaran nama kepada pekerjaan dan keahlian bapak dan
kakeknya. Dilahirkan di kota Thusi tahun 450 H dan memiliki seorang saudara yang
bernama Ahmad (Chamid, 2010).
2.1.2 Sifat Pribadi
Kedudukan dan ketinggian jabatan beliau ini tidak membuatnya congkak dan
cinta dunia. Bahkan dalam jiwanya berkecamuk polemik (perang batin) yang membuatnya
senang menekuni ilmu-ilmu kezuhudan. Sehingga menolak jabatan tinggi dan kembali
kepada ibadah, ikhlas dan perbaikan jiwa. Pada bulan Dzul Qai’dah tahun 488 H beliau

3
berhaji dan mengangkat saudaranya yang bernama Ahmad sebagai penggantinya (Siddiqi,
1992).
Pada tahun 489 H beliau masuk kota Damaskus dan tinggal beberapa hari.
Kemudian menziarahi Baitul Maqdis beberapa lama, dan kembali ke Damaskus beri’tikaf di
menara barat masjid Jami’ Damaskus. Beliau banyak duduk di pojok tempat Syaikh Nashr
bin Ibrahim Al Maqdisi di masjid Jami’ Umawi (yang sekarang dinamai Al Ghazaliyah).
Tinggal di sana dan menulis kitab Ihya Ulumuddin, Al Arba’in, Al Qisthas dan
kitabMahakkun Nadzar. Melatih jiwa dan mengenakan pakaian para ahli ibadah. Beliau
tinggal di Syam sekitar 10 tahun (Siddiqi, 1992).
Ibnu Asakir berkata, “Abu Hamid rahimahullah berhaji dan tinggal di Syam
sekitar 10 tahun. Beliau menulis dan bermujahadah dan tinggal di menara barat masjid
Jami’ Al Umawi. Mendengarkan kitab Shahih Bukhari dari Abu Sahl Muhammad bin
Ubaidilah Al Hafshi.”(Ghazafar, 1990).
Disampaikan juga oleh Ibnu Khallakan dengan perkataannya, “An Nidzam
(Nidzam Mulk) mengutusnya untuk menjadi pengajar di madrasahnya di Baghdad tahun
484 H. Beliau tinggalkan jabatannya pada tahun 488 H. Lalu menjadi orang yang zuhud,
berhaji dan tinggal menetap di Damaskus beberapa lama. Kemudian pindah ke Baitul
Maqdis, lalu ke Mesir dan tinggal beberapa lama di Iskandariyah. Kemudian kembali ke
Thusi.” (Ghazafar, 1990).
Ketika Wazir Fakhrul Mulk menjadi penguasa Khurasan, beliau dipanggil hadir
dan diminta tinggal di Naisabur. Sampai akhirnya beliau datang ke Naisabur dan mengajar
di madrasah An Nidzamiyah beberapa saat. Setelah beberapa tahun, pulang ke negerinya
dengan menekuni ilmu dan menjaga waktunya untuk beribadah. Beliau mendirikan satu
madrasah di samping rumahnya dan asrama untuk orang-orang shufi. Beliau habiskan sisa
waktunya dengan mengkhatam Al Qur’an, berkumpul dengan ahli ibadah, mengajar para
penuntut ilmu dan melakukan shalat dan puasa serta ibadah lainnya sampai meninggal dunia
(Ghazafar, 1990).
Imam al-Ghazali mempunyai daya ingat yang kuat dan bijak berhujjah. Beliau
digelar Hujjatul Islam karena kemampuannya tersebut. Beliau sangat dihormati di dua dunia
Islam yaitu Saljuk dan Abbasiyah yang merupakan pusat kebesaran Islam. Beliau berjaya
mengusai pelbagai bidang ilmu pengetahuan. Imam al-Ghazali sangat mencintai ilmu

4
pengetahuan. Beliau juga sanggup meninggalkan segala kemewahan hidup untuk bermusafir
dan mengambara serta meninggalkan kesenangan hidup demi mencari ilmu pengetahuan.
Sebelum beliau memulakan pengambaraan, beliau telah mempelajari karaya ahli sufi
ternama seperti al-Junaid Sabili dan Bayazid Busthami. Imam al-Ghazali telah mengembara
selama sepuluh tahun. Beliau telah mengunjungi tempat-tempat suci yang bertaburan di
daerah Islam yang luas seperti Mekkah, Madinah, Jerusalem, dan Mesir. Beliau terkenal
sebagai ahli filsafat Islam yang telah mengharumkan nama ulama di Eropa melalui hasil
karyanya yang sangat bermutu tinggi. Sejak kecil lagi berliau telah dididik dengan akhlak
yang mulia. Hal ini menyebabkan beliau benci kepada sifat riya, megah, sombong, takabur,
dan sifat-sifat tercela yang lain. Beliau sangat kuat beribadat, wara, zuhud, dan tidak gemar
kepada kemewahan, kepalsuan. Kemegahan, dan kepuran-puraan dan mencari sesuatu untuk
mendapat keredhaan dari Allah SWT. Beliau mempunyai keahlian dalam pelbagai bidang
ilmu terutamanya fiqih, usul fiqih, dan siyasah syariah. Oleh karena itu, beliau disebut
sebagai seorang faqih (Siddiqi, 1992).
2.1.3 Pendidikan
Pada tingkat dasar, beliau mendapat pendidikan secara gratis dari beberapa orang
guru karena kemiskinan keluarganya. Pendidikan yang diperoleh pada peringkat ini
membolehkan beliau menguasai Bahasa Arab dan Parsi dengan fasih. Oleh sebab minatnya
yang mendalam terhadap ilmu, beliau mula mempelajari ilmu ushuluddin, ilmu mantiq, usul
fiqih, filsafat, dan mempelajari segala pendapat keeempat mazhab hingga mahir dalam
bidang yang dibahas oleh mazhab-mazhab tersebut. Selepas itu, beliau melanjutkan
pelajarannya dengan Ahmad ar-Razkani dalam bidang ilmu fiqih, Abu Nasr al-Ismail di
Jarajan, dan Imam Harmaim di Naisabur. Oleh sebab Imam al-Ghazali memiliki ketinggian
ilmu, beliau telah dilantik menjadi mahaguru di Madrasah Nizhamiah (sebuah universitas
yang didirikan oleh perdana menteri) di Baghdad pada tahun 484 Hijrah. Kemudian beliau
dilantik pula sebagai Naib Kanselor di sana. Beliau telah mengembara ke beberapa tempat
seperti Mekkah, Madinah, Mesir dan Jerusalem untuk berjumpa dengan ulama-ulama di
sana untuk mendalami ilmu pengetahuannya yang ada. Dalam pengembaraan, beliau
menulis kitab Ihya Ulumuddin yang memberi sumbangan besar kepada masyarakat dan
pemikiran manusia dalam semua masalah (Ghazafar, 1990).

5
2.1.4 Pengaruh Filsafat Dalam Dirinya
Pengaruh filsafat dalam diri beliau begitu kentalnya. Beliau menyusun buku yang
berisi celaan terhadap filsafat, seperti kitab At Tahafut yang membongkar kejelekan filsafat.
Akan tetapi beliau menyetujui mereka dalam beberapa hal yang disangkanya benar. Hanya
saja kehebatan beliau ini tidak didasari dengan ilmu atsar dan keahlian dalam hadits-hadits
Nabi yang dapat menghancurkan filsafat. Beliau juga gemar meneliti kitab Ikhwanush
Shafa dan kitab-kitab Ibnu Sina. Oleh karena itu, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
berkata, “Al Ghazali dalam perkataannya sangat dipengaruhi filsafat dari karya-karya Ibnu
Sina dalam kitab Asy Syifa’, Risalah Ikhwanish Shafa dan karya Abu Hayan At Tauhidi”.
Hal ini jelas terlihat dalam kitabnya Ihya’ Ulumuddin. Sehingga Syaikhul Islam Ibnu
Taimiyah berkata,“Perkataannya di Ihya Ulumuddin pada umumnya baik. Akan tetapi di
dalamnya terdapat isi yang merusak, berupa filsafat, ilmu kalam, cerita bohong sufiyah dan
hadits-hadits palsu.” (Ghazafar, 1990).
Demikianlah Imam Ghazali dengan kejeniusan dan kepakarannya dalam fikih,
tasawuf dan ushul, tetapi sangat sedikit pengetahuannya tentang ilmu hadits dan sunah
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang seharusnya menjadi pengarah dan penentu
kebenaran. Akibatnya beliau menyukai filsafat dan masuk ke dalamnya dengan meneliti dan
membedah karya-karya Ibnu Sina dan yang sejenisnya, walaupun beliau memiliki bantahan
terhadapnya. Membuat beliau semakin jauh dari ajaran Islam yang hakiki (Ghazafar, 1990).
Adz Dzahabi berkata, “Orang ini (Al Ghazali) menulis kitab dalam mencela
filsafat, yaitu kitab At Tahafut. Dia membongkar kejelekan mereka, akan tetapi dalam
beberapa hal menyetujuinya, dengan prasangka hal itu benar dan sesuai dengan agama.
Beliau tidaklah memiliki ilmu tentang atsar dan beliau bukanlah pakar dalam hadits-hadits
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang dapat mengarahkan akal. Beliau senang
membedah dan meneliti kitab Ikhwanush Shafa. Kitab ini merupakan penyakit berbahaya
dan racun yang mematikan. Kalaulah Abu Hamid bukan seorang yang jenius dan orang
yang mukhlis, niscaya dia telah binasa.” (Siddiqi, 1981).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Abu Hamid condong kepada filsafat.
Menampakkannya dalam bentuk tasawuf dan dengan ibarat Islami (ungkapan syar’i). Oleh
karena itu para ulama muslimin membantahnya. Hingga murid terdekatnya, (yaitu) Abu

6
Bakar Ibnul Arabi mengatakan, “Guru kami Abu Hamid masuk ke perut filsafat, kemudian
ingin keluar dan tidak mampu.” (Siddiqi, 1981).
2.1.5 Situasi Politik
Sungguh persengketaan agama di atas ufuk kota itu pada masa kehidupan Al
Ghazali masih beterbangan. Yang mana kesemuanya itu disebabkan oleh junlah masyarakat
beragam Kristen di sana juga banyak. Begitu pula dengan pengikut aliran (madzhab) Syi’ah
dari kelompok kaum Muslimin yang juga tumbuh subur di sana. Para ulama saat itu (yakni
pada masa hidupnya Iman Al Ghazali) cenderung untuk serius di dalam menuntut ilmu.
Hingga pada saat itu terdapat gerakan ilmiah yang sangat radikal dan berkelanjutan. Hanya
saja, sebagian dari mereka menuntut ilmu bukan atas dasar ingin mendapatkan ilmu
tersebut. Akan tetapi, sengaja hal itu dilakukan sabagai usaha untuk mendekatkan diri
kepada para pemimpin (penguasa). Oleh karena itu, mereka terlihat sangat serius di dalam
menuntut ilmu, hingga membuat hati para elit condong dan merasa senang kepada mereka.
Walaupun tujuan mereka dalam menambah ilmu pengetahuan ini lebih di dasarkan pada
usaha untuk meraih kedudukan, ketenaran dan nama harum; kecuali orang-orang yang
mendapatkan pemeliharaan dari Allah SWT (Ghazafar, 1990).
Ketika Imam Al Ghazali berkunjung ke Baghdad, ibu kota Daulah Abbasiyah,
dan bertemu dengan Wazir Nizham al Mulk. Darinya, Imam Al Ghazali mendapat
penghormatan dan penghargaan yang besar. Pada tahun 483 H (1090 M), Al Ghazali
diangkat menjadi guru di Madrasah Nizhamiyah. Pekerjaannya ini dilaksanakan dengan
sangat berhasil, sehingga para ilmuan pada masa itu menjadikannya sebagai referensi utama
(Ghazafar, 1990).
Dalam waktu yang sama, para elit itu membutuhkan untuk menjalin persahabatan
dan guna mendapat pertolongan dari para ulama. Sebab pada saat itu agama merupakan
sarana utama untuk mendirikan istana raja (kingdom) atau untuk menghancurkannya.
Perkumpulan elit politik dengan para ulama tersebut dimaksudkan agar tujuan mereka bisa
diselubungi dengan agama, hingga orang-orang awam akan menganggap, bahwa mereka
terhindar dari kerakusan yang bersifat pribadi. Sungguhelit politik telah mengetahui hal itu,
dan bagaimanakah pengaruh agama terhadap masyarakat awam serta kaum intelektual.
Mereka lebih cenderung menerima ajakan agama daripada segala motivasi yang lain
(Ghazafar, 1990).

7
Oleh karena itu, kaum Salajiqah (penguasa yang tengah memimpin pada saat itu)
mendirikan beberapa Madrasah di Baghdad, Naisabur, untuk mempelajari beberapa
pedoman dasar Ahlu Sunnah. Nizam al Mulk yang memiliki jasa terbesar dalam
membangun Madrasah diisukan dengan berita yang miring, serta dilaporkan kepada Syah
(raja), seperti yang dikutip oleh Dr Zaki Mubarok dalam kitab AL Akhlaq dikatakan:
“Bahwa sesungguhnya harta yang dipersiapkan oleh Nizam al Mulk untuk membangun
Madrasah (sekolah dimaksud) hampir menyamai dengan dana yang digunakan bagi tentara
yang benderanya dipagari dengan symbol Al Qusthaniyah(Konstantinopel).”. hingga Nizam
al Mulk harus menjawab kepada raja: “Sesungguhnya aku menyediakan tentara untukmu
yang boleh disebut dengan tentara malam. Dimana apabila tentaramu telah tidur di malam
hari, maka tentara malam ini akan segera melakukan shalat dengan berdiri di hadapan
Rabbnya, lalu mereka mencucurkan air mata seraya berdoa dengan lidah mendoakan engkau
dan juga kepada bala tentaramu. Engkau dan tentaramu berada di bawah perlindungan
mereka. Dengannya engkau bisa hidup tentram, dan dengan doa mereka engkau bisa
bermalam secara nyenyek, serta dengan berkah yang mereka mintakan engkau diberi hujan
dan juga diberi rezeki” (Ghazafar, 1990).
Antara ulama dan penguasa terdapat hubungan yang erat, karena terdorong untuk
menghadapi satu musuh secara bersama; yang itu membuat mereka tidur tidak nyenyak dan
membuat bingung mereka di waktu istirahat. Juga mengancam agama dan Negara mereka.
Musuh yang dimaksud adalah kaum Mu’tazilah dan ahli falsafah. Tidak heran apabila para
penguasa serta ulama selalu mengadakan perlawanan terhadap ahli falsafah dan Mu’tazilah.
Penguasa dan ulama selalu mengancam para ahli falsafah dan kaum Mu’tazilah dengan
pedang, yang mana kemudian dibalas oleh ahli falsafah dan kaum Mu’tazilah dengan
perkataan yang bersifat penghinaan. Tiada satu pun dari kalangan ulama yang memfokuskan
perhatiannya untuk menyerang mereka dengan akal pikiran yang netral dan kritikan yang
obyektif serta berani (Ghazafar, 1990).
Tindakan penyerangan yang berasal dari kalangan penguasa dan ulama terhadap
kaum intelektual yang ahli falsafah ini sempat menimbulkan suatu opini, bahwa mereka
(para ahli falsafah) adalah kelompok kafir dan Zindiq. Lalu predikat tesebut juga dilontarkan
oleh penguasa kepada orang-orang yang dikehendaki dari kalangan ulama dan para peneliti
(Ghazafar, 1990).

8
Oleh karena itu, pada tahun 488 H (1095 M), Imam Al Ghazali meninggalkan
Baghdad dan pergi ke Syiria untuk merenung, membaca, dan menulis selama kurang lebih 2
tahun. Kemudian, ia pindah ke Palestina untuk melakukan aktivitas yang sama dengan
mengambil tempat baitul Maqdis. Setelah menunaikan ibadah haji dan menetap beberapa
waktu di kota Iskandariah, Mesir, Imam Al Ghazali kembali ke tempat kelahirannya, Tus,
pada tahun 499 H (1105 M) untuk melanjutkan aktivitasnya, berkhalwat dan beribadah.
Proses pengasingannya tersebut berlangsung selama 12 tahun dan, dalam masa ini, ia
banyak menghasilkan berbagai karyanya yang terkenal, seperti Kitab ‘Ihya’ Ulumuddin”.
Pada tahun yang sama, atas desakan penguasa pada masa itu, yaitu wazir Fakhr al Mulk,
Imam al Ghazali kembali mengajar di Madrasah Nizhamiyyah di Naisabur, akan tetapi,
pekerjaannya itu hanya berlangsung dua tahun. Ia kembali lagi ke kota Tus untuk
mendirikan sebuah madrasah bagi para fuquha danmutashawwifin. Imam al Ghazali
memilih kota ini sebagai tempat menghabiskan waktu dan energinya untuk menyebarkan
ilmu pengetahuan, hingga meninggal dunia pada 14 Jumadil Akhir 505 H (19 Desember
1111 M) (Ghazafar, 1990).
2.1.6 Situasi Ekonomi
Kita ketahui bersama bahwa Imam al Ghazali hidup pada masa pemerintahan
daulah Abasiyah, persisnya pada masa dinasti Salajikah (saljuk), yang mana pada masa
pemerintahan daulah Abasiyah Islam telah mencapai masa puncak keemasannya. Kemajuan
pada bidang politik, ekonomi, dan pengetahuan yang luar biasa, yang bisa dikatakan
kemajuannya tidak pernah ada yang menandingi oleh kerajaan manapun di dunia ini. Jadi
bisa dikatakan kondisi perekonomi pada masa Imam al Ghazali sangat baik dan seimbang
(Chamid, 2010).
Dikatakan baik dan seimbang bukan tidak ada celah dan kelemahan dalam
perekonomian barter yang mana terjadi ketidak sesuaian keinginan antara dua pihak. Lebih
jauh Imam al Ghazali mengatakan bahwa untuk mewujudkan perekonomian barter,
seseorang memerlukan usaha yang keras. Pelaku ekonomi barter harus mencari seseorang
yang mempunyai keinginan yang sama dengannya. Para pelaku ekonomi barter tersebut juga
akan mendapatkan kesukaran dalam menentukan harga, khususnya ketika terjadi keragaman
barang dagangan, pertambahan produksi, dan perbedaan kebutuhan.[10] Di sinilah uang
dibutuhkan sebagai ukuran nilai suatu barang, sekalipun dalam perekonomian barter.

9
Dengan demikian, dalam pandangan al Ghazali, uang hanya berfungsi sebagai satuan hitung
dan alat tukar. Ia mengatakan bahwa zat uang itu sendiri tidak dapat memberikan manfaat.
Dan ini berarti bahwa uang bukan merupakan alat penyimpan kekayaan (Chamid, 2010).
2.1.7 Masa Akhir Kehidupannya
Akhir kehidupan beliau dihabiskan dengan kembali mempelajari hadits dan
berkumpul dengan ahlinya. Berkata Imam Adz Dzahabi, “Pada akhir kehidupannya, beliau
tekun menuntut ilmu hadits dan berkumpul dengan ahlinya serta menelaah shahihain
(Shahih Bukhari dan Muslim). Seandainya beliau berumur panjang, niscaya dapat
menguasai semuanya dalam waktu singkat. Beliau belum sempat meriwayatkan hadits dan
tidak memiliki keturunan kecuali beberapa orang putri.” (Chamid, 2010).
Abul Faraj Ibnul Jauzi menyampaikan kisah meninggalnya beliau dalam kitab Ats
Tsabat Indal Mamat, menukil cerita Ahmad (saudaranya); Pada subuh hari Senin, saudaraku
Abu Hamid berwudhu dan shalat, lalu berkata, “Bawa kemari kain kafan saya.” Lalu beliau
mengambil dan menciumnya serta meletakkannya di kedua matanya, dan berkata, “Saya
patuh dan taat untuk menemui Malaikat Maut.” Kemudian beliau meluruskan kakinya dan
menghadap kiblat. Beliau meninggal sebelum langit menguning (menjelang pagi hari).
Beliau wafat di kota Thusi, pada hari Senin tanggal 14 Jumada Akhir tahun 505 H dan
dikuburkan di pekuburan Ath Thabaran (Chamid, 2010).
2.2 Karya-karya Al – Ghazali
Beliau seorang yang produktif menulis. Karya ilmiah beliau sangat banyak sekali. Di
antara karyanya yang terkenal disebutkan dalam Siddiqi (1981) ialah:
Pertama, dalam masalah ushuluddin dan aqidah:
1. Arba’in Fi Ushuliddin. Merupakan juz kedua dari kitab beliau Jawahirul Qur’an.
2. Qawa’idul Aqa’id, yang beliau satukan dengan Ihya’ Ulumuddin pada jilid pertama.
3. Al Iqtishad Fil I’tiqad.
4. Tahafut Al Falasifah. Berisi bantahan beliau terhadap pendapat dan pemikiran para
filosof dengan menggunakan kaidah mazhab Asy’ariyah.
5. Faishal At Tafriqah Bainal Islam Wa Zanadiqah.
Kedua, dalam ilmu ushul, fikih, filsafat, manthiq dan tasawuf, beliau memiliki karya yang sangat
banyak. Secara ringkas dapat kita kutip yang terkenal, di antaranya:

10
1. Al Mustashfa Min Ilmil Ushul. Merupakan kitab yang sangat terkenal dalam ushul fiqih.
Yang sangat populer dari buku ini ialah pengantar manthiq dan pembahasan ilmu
kalamnya. Dalam kitab ini Imam Ghazali membenarkan perbuatan ahli kalam yang
mencampur adukkan pembahasan ushul fikih dengan pembahasan ilmu kalam dalam
pernyataannya, “Para ahli ushul dari kalangan ahli kalam banyak sekali memasukkan
pembahasan kalam ke dalamnya (ushul fiqih) lantaran kalam telah menguasainya.
Sehingga kecintaannya tersebut telah membuatnya mencampur adukkannya.” Tetapi
kemudian beliau berkata, “Setelah kita mengetahui sikap keterlaluan mereka
mencampuradukkan permasalahan ini, maka kita memandang perlu menghilangkan dari
hal tersebut dalam kumpulan ini. Karena melepaskan dari sesuatu yang sudah menjadi
kebiasaan sangatlah sukar……”. Lebih jauh pernyataan beliau dalam Mukaddimah
manthiqnya, “Mukadimah ini bukan termasuk dari ilmu ushul. Dan juga bukan
mukadimah khusus untuknya. Tetapi merupakan mukadimah semua ilmu. Maka siapa
pun yang tidak memiliki hal ini, tidak dapat dipercaya pengetahuannya”. Kemudian hal
ini dibantah oleh Ibnu Shalah. beliau berkata, “Ini tertolak, karena setiap orang yang
akalnya sehat, maka berarti dia itu manthiqi. Lihatlah berapa banyak para imam yang
sama sekali tidak mengenal ilmu manthiq!”. Demikianlah, karena para sahabat juga tidak
mengenal ilmu manthiq. Padahal pengetahuan serta pemahamannya jauh lebih baik dari
para ahli manthiq.
2. Mahakun Nadzar.
3. Mi’yarul Ilmi. Kedua kitab ini berbicara tentang mantiq dan telah dicetak.
4. Ma’ariful Aqliyah. Kitab ini dicetak dengan tahqiq Abdulkarim Ali Utsman.
5. Misykatul Anwar. Dicetak berulangkali dengan tahqiq Abul Ala Afifi.
6. Al Maqshad Al Asna Fi Syarhi Asma Allah Al Husna. Telah dicetak.
7. Mizanul Amal. Kitab ini telah diterbitkan dengan tahqiq Sulaiman Dunya.
8. Al Madhmun Bihi Ala Ghairi Ahlihi. Oleh para ulama, kitab ini diperselisihkan
keabsahan dan keontetikannya sebagai karya Al Ghazali. Yang menolak penisbatan ini,
diantaranya ialah Imam Ibnu Shalah dengan pernyataannya, “Adapun kitab Al Madhmun
Bihi Ala Ghairi Ahlihi, bukanlah karya beliau. Aku telah melihat transkipnya dengan
khat Al Qadhi Kamaluddin Muhammad bin Abdillah Asy Syahruzuri yang menunjukkan,
bahwa hal itu dipalsukan atas nama Al Ghazali. Beliau sendiri telah menolaknya dengan

11
kitab Tahafut”. Banyak pula ulama yang menetapkan keabsahannya. Di antaranya yaitu
Syaikhul Islam, menyatakan, “Adapun mengenai kitab Al Madhmun Bihi Ala Ghairi
Ahlihi, sebagian ulama mendustakan penetapan ini. Akan tetapi para pakar yang
mengenalnya dan keadaannya, akan mengetahui bahwa semua ini merupakan
perkataannya”. Kitab ini diterbitkan terakhir dengan tahqiq Riyadh Ali Abdillah.
9. Al Ajwibah Al Ghazaliyah Fil Masail Ukhrawiyah.
10. Ma’arijul Qudsi fi Madariji Ma’rifati An Nafsi.
11. Qanun At Ta’wil.
12. Fadhaih Al Bathiniyah dan Al Qisthas Al Mustaqim. Kedua kitab ini merupakan
bantahan beliau terhadap sekte batiniyah. Keduanya telah terbit.
13. Iljamul Awam An Ilmil Kalam. Kitab ini telah diterbitkan berulang kali dengan tahqiq
Muhammad Al Mu’tashim Billah Al Baghdadi.
14. Raudhatuth Thalibin Wa Umdatus Salikin, diterbitkan dengan tahqiq Muhammad Bahit.
15. Ar Risalah Alladuniyah.
16. Ihya’ Ulumuddin. Kitab yang cukup terkenal dan menjadi salah satu rujukan sebagian
kaum muslimin di Indonesia. Para ulama terdahulu telah berkomentar banyak tentang
kitab ini, di antaranya: Abu Bakar Al Thurthusi berkata, “Abu Hamid telah memenuhi
kitab Ihya’ dengan kedustaan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Saya
tidak tahu ada kitab di muka bumi ini yang lebih banyak kedustaan darinya, kemudian
beliau campur dengan pemikiran-pemikiran filsafat dan kandungan isi Rasail Ikhwanush
Shafa. Mereka adalah kaum yang memandang kenabian merupakan sesuatu yang dapat
diusahakan”. Dalam risalahnya kepada Ibnu Mudzaffar, beliau pun menyatakan, “Adapun
penjelasan Anda tentang Abu Hamid, maka saya telah melihatnya dan mengajaknya
berbicara. Saya mendapatkan beliau seorang yang agung dari kalangan ulama. Memiliki
kecerdasan akal dan pemahaman. Beliau telah menekuni ilmu sepanjang umurnya,
bahkan hampir seluruh usianya. Dia dapat memahami jalannya para ulama dan masuk ke
dalam kancah para pejabat tinggi. Kemudian beliau bertasawuf, menghijrahi ilmu dan
ahlinya dan menekuni ilmu yang berkenaan dengan hati dan ahli ibadah serta was-was
syaitan. Sehingga beliau rusak dengan pemikiran filsafat dan Al Hallaj (pemikiran
wihdatul wujud). Mulai mencela ahli fikih dan ahli kalam. Sungguh dia hampir
tergelincir keluar dari agama ini. Ketika menulis Al Ihya’ beliau mulai berbicara tentang

12
ilmu ahwal dan rumus-rumus sufiyah, padahal belum mengenal betul dan tidak memiliki
keahlian tentangnya. Sehingga dia berbuat kesalahan fatal dan memenuhi kitabnya
dengan hadits-hadits palsu.” Imam Adz Dzahabi mengomentari perkataan ini dengan
pernyataannya, “Adapun di dalam kitab Ihya’ terdapat sejumlah hadits-hadits yang batil
dan terdapat kebaikan padanya, seandainya tidak ada adab dan tulisan serta zuhud secara
jalannya ahli hikmah dan sufi yang menyimpang”. Imam Subuki dalam telah
mengumpulkan hadits-hadits yang terdapat dalam kitab Al Ihya’ dan menemukan 943
hadits yang tidak diketahui sanadnya. Abul Fadhl Abdurrahim Al Iraqi mentakhrij hadits-
hadits Al Ihya’ dalam kitabnya, Al Mughni An Asfari Fi Takhrij Ma Fi Al Ihya Minal
Akhbar. Kitab ini dicetak bersama kitab Ihya Ulumuddin. Beliau sandarkan setiap hadits
kepada sumber rujukannya dan menjelaskan derajat keabsahannya. Didapatkan banyak
dari hadits-hadits tersebut yang beliau hukumi dengan lemah dan palsu atau tidak ada
asalnya dari perkataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Maka berhati-hatilah para
penulis, khathib, pengajar dan para penceramah dalam mengambil hal-hal yang terdapat
dalam kitab Ihya Ulumuddin.
17. Al Munqidz Minad Dhalalah. Tulisan beliau yang banyak menjelaskan sisi biografinya.
18. Al Wasith.
19. Al Basith.
20. Al Wajiz.
21. Al Khulashah.

13
BAB III
METODE PENULISAN

Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif deskriptif. Pengertian dari


kualitatif deskriptif yaitu suatu prosedur penelitian yang menggunakan data deskriptif berupa
kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang dan pelaku yang dapat diamati. Sama halnya
menurut Furchan (1982), pendekatan kualitatif adalah suatu prosedur penelitian yang
menghasilkan data deskriptif berupa ucapan atau tulisan dan prilaku yang dapat diamati dari
subyek itu sendiri. Begitu juga menurut Kasiran (2010), penelitian kualitatif adalah penelitian
yang bersifat atau memiliki karakteristik bahwa datanya dinyatakan dalam keadaan kewajaran
atau sebagaimana adanya (natural setting) dengan tidak dirubah dalam bentuk simbol atau
bilangan, sedangkan perkataan penelitian pada dasarnya berarti rangkaina keggiatan atau proses
pengungkapan rahasia sesuatu yang belum diketahui dengan mempergunakan cara bekerja atau
metode yang sistematis, terarah dan dapat dipertanggungjawabkan.
Biografi Penelitian
Jenis penelitian kualitatif deskriptif yang digunakan dalam tulisan ini adalah jenis
kualitatif deskriptif biografi. Kualitatif deskriptif biografi adalah studi tentang individu dan
pengalamannya yang dituliskan kembali dengan mengumpulkan dokumen dan arsip-arsip.
Tujuan penulisan jenis ini adalah mengungkap turning point moment atau epipani yaitu
pengalaman menarik yang sangat mempengaruhi atau mengubah hidup seseorang. Penulis
menginterpretasi subjek seperti subjek tersebut memposisikan dirinya sendiri (Kaisran, 2010).

14
BAB IV
PEMBAHASAN

4.1 Pemikiran Ekonomi Al – Ghazali


Sebagaimana halnya para cendekiawan muslim terdahulu, perhatian Al- Ghazali terhadap
kehidupan masyarakat tidak terfokus pada satu bidang tertentu, tetapi meliputi seluruh aspek
kehidupan manusia.Pemikiran ekonomi Al- Ghazali didasarkan pada pendekatan Tasawuf. Corak
pemikiran ekonominya tersebut dituangkan dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din, al- Mustashfa,
Mizan Al- ‘Amal, dan At- Tibr al Masbu fi Nasihat Al- Muluk. Dengan memperhatikan para
perilaku individu yang dibahasnya menurut perspektif Al-Qur’an , sunnah dan fatwa sahabat
tabi’in serta petuah- petuah para sufi terkemuka (Zarqa, 1980).
Al-Ghazali merupakan cendikiawan muslim pertama yang merumuskan konsep fungsi
kesejahteraan (maslahah) sosial yang pertama.Pemikiran sosio ekonomi Al-Ghazali berakar dari
sebuah konsep yang dia sebut sebagai “ Fungsi Kesejahteraan Sosial Islami”. Menurut Al-
Ghazali kesejahteraan dari semua masyarakat tergantung pada pencarian dan pemeliharan lima
tujuan dasar atau maqashid assyariah.Ia menitikberatkan bahwa sesuai tuntunan wahyu, tujuan
utama kehidupan umat manusia adalah untuk mencapai kebaikan di dunia dan akhirat ( maslahat
al-dinwa al-dunya) (Zarqa, 1980).
Al-Ghazali mendefinisikan aspek ekonomi dari fungsi kesejahteraan sosialnya dalam
sebuah kerangka hierarki utilitas individu dan sosial yang tripartie yakni Daruriat, Hajiyat dan
Tahsiniyat. Hierarki tersebut merupakan sebuah klasifikasi peninggalan tradisi Aristotelian yang
disebut sebagai kebutuhan oridinal yang terdiri dari kebutuhan dasar, kebutuhan terhadap
barang- barang eksternal dan kebutuhan terhadap barang- barang psikis (Zarqa, 1980).
Mayoritas pembahsan Al-Ghazali mengenai berbagai permasalahan ekonomi terdapat
dalam kitab Ihya ‘Ulum al-Din. Beberapa tema ekonomi yang dapat diangkat dari pemikiran Al-
Ghazali diantaranya mencakup pertukaran sukarela dan evolusi pasar, aktivitas produksi, barter
dan evolusi uang,serta peran negara dan keuangan public (Zarqa, 1980).
4.1.1 Pertukaran Sukarela dan Evolusi Pasar
Pasar merupakan suatu tempat bertemunya antara penjual dengan pembeli. Proses
timbulnya pasar yang beradasarkan kekuatan permintaan dan penawaran untuk
menentukan harga dan laba. Tidak disangsikan lagi, Al-Ghazali tampaknya membangun

15
dasar- dasar dari apa yang kemudian dikenal sebagai “ Semangat Kapitalisme” (Lowry,
1987).
Bagi Al-Ghazali, pasar berevolusi sebagai bagian dari ‘’hukum alam’’ segala
sesuatu, yakni sebuah ekspresi berbagai hasrat yang timbul dari diri sendiri untuk saling
memuaskan kebutuhan ekonomi. Al- Ghazali jelas-jelas menyatakan “ mutualitas” dalam
pertukaran ekonomi yang mengharuskan spesialisasi dan pembagian kerja menurut
daerah dan sumber daya (Lowry, 1987).
4.1.1.1 Permintaan, Penawaran, Harga, dan Laba
Al- Ghazali dalam Sidani (2014) berbicara tentang “harga yang berlaku
seperti yang ditentukan oleh praktek- praktek pasar”, sebuah konsep yang
dikemudian hari dikenal sebagai al-tsaman al- adil (harga yang adil) dikalangan
ilmuan muslin atau equilibrium price (harga keseimbangan) dari kalangan Eropa
kontemporer.
Beberapa paragraf dari tulisannya juga jelas menunjukkan bentuk kurva
penawaran dan permintaan. Untuk kurva penawaran yang ”naik dari kiri bawah ke
kanan atas” dinyatakan oleh dia sebagai ”jika petani tidak mendapatkan pembeli
dan barangnya, ia akan menjualnya pada harga yang lebih murah”. Sementara
untuk kurva permintaan yang ”turun dari kiri atas ke kanan bawah” dijelaskan
oleh dia sebagai ”harga dapat diturunkan dengan mengurangi permintaan”(Sidani,
2014).
4.1.1.2 Etika Perilaku Pasar
Dalam pandangan Al- Ghazali ,fungsi pasar harus berdasarkan etika dan
moral pelakunya.secara khusus memperingatkan larangan mengambil keuntungan
dengan cara menimbun makanan dan barang- barang lainnya, memberikan
informasi yang salah mengenai berat, jumlah dan harga barangnya ”(Sidani,
2014).
4.1.2 Aktivitas Produksi
Al-Ghazali memberikan perhatian yang cukup besar ketika menggambarkan
berbagai macam aktivitas produksi dalam sebuah masyarakat. Ia mengklasifikasi aktivitas
produksi menurut kepentingan sosialnyaa serta menitikberatkan perlunya kerjasama dan

16
koordinasi.Fokus utamanya adalah tentang jenis aktivitas yang sesuai dengan dasar-dasar
etos islam (Lowry, 1987).
4.1.2.1 Produksi Barang-Barang Kebutuhan Dasar sebagai Kewajiban Sosial
Al-Ghazali menganggap kerja adalah bagian dari ibadah,ia memandang
bahwa produksi barang kebutuhan dasr merupakaan kewajiban (fard al
kifayah).Dalam hal ini,Negara harus bertanggung jawab dalam menjamin
kebutuhan masyarakatnya dalam hal kebutuhan pokok. Disamping itu,al-ghazali
beralasan bahwa ketidakseimbangan antara jumlah barang kebutuhan pokok yang
tersedia dengan yang dibutuhkan cenderung akan merusak masyarakat (Lowry,
1987).
4.1.2.2 Hirarki Produksi
Klasifikasi yang diberikan Al-Ghazali mirip dengan Klasifikasi
Kontemporer yakni; Premiier, Skunder, Tersier seperti yang dijelaskan dalam
Siddiqi (1992). Ia membagi dalam 3 kelompok berikut :
∑ Indrustri dasar
Merupakan industri yang menjaga kelangsungan hidup manusia
∑ Aktivitas penyongkong
Aktivitas yang bersifat tambahan bagi industri dasar
∑ Aktivitas komplementer
Yakni aktivitas yang berkaitan dengan industry dasar
4.1.2.3 Tahapan Produksi, Spesialisasi, dan Keterkaitanya
Al-Ghazali juga mengakui adanya tahapan produksi yang beragam
sebelum produk tersebut dikonsumsi.berkaitan dengan ini ia menyatakan :
“Petani meemproduksi gandum,tukang giling merubahnya menjadi tepung,lalu
tukang roti membuat roti dari tepung ini” (Siddiqi, 1992).
Al-Ghazali mengakui adanya tahapan produksi yang beragam sebelum
produk dikonsumsi. Selanjutnya , ia menyadari “ kaitan” yang sering kali terdapat
dalam mata rantai produksi – sebuah gagasan yang sangat dikenal dalam
pembahasan kontemporer (Siddiqi, 1992).

17
Tahapan dan keterkaitan produksi yang beragam mensyaratkan adanya
pembagian kerja , koordinasi dan kerja sama. Ia juga menawarkan gagasan
mengenai spesialisasi dan saling ketergantungan dalam keluarga (Siddiqi, 1992).
4.1.3 Barter dan Evolusi Uang
Al-ghazali menjelaskan bagaimana uang mengatasi permasalahan yang timbul
dari system barter.ia juga mebahas berbagai akinat negative dari pemalsuan dan
penurunan nilai mata uang (Lowry, 1987).
4.1.3.1 Problema Barter dan Kebutuhan Terhadap Uang
Al-Ghazali seperti yang dijelaskan dalam Lowry (1987) mempunyai
wawasan yang sangat kompherhensif mengenai berbagai problema barter yang
dalam istilah modern disebut sebagai:
∑ Kurang memiliki angka penyebut yang sama( lack of common denominator)
∑ Barang tidak dapat dibagi- bagi(indivisibility of goods) dan
∑ Keharusan adanya dua keinginan yang sama (double coincidence of wants)
Walaupun dapat dilakukan, pertukaran barter menjadi sangat tidak efisien
karena adanya perbedaan karakteristik barang- barang ( seperti unta dengan
kunyit).
Fungsi uang menurut Ghazali adalah:
∑ Sebagai satuan hitung (unit of account)
∑ Media penukaran (medim of exchange)
∑ Sebagai penyimpan kekayaan (store of value)
Adapun fungsi uang yang ketiga ini menurutnya adalah bukan fungsi uang
yang sesungguhnya. Sebab, ia menganggap fungsi tersebut adalah sama saja
dengan penimbunan harta yang nantinya akan berakibat pada pertambahan jumlah
pengangguran dalam kegiatan ekonomi dan hal tersebut merupakan perbuatan
zalim.
4.1.3.2 Uang yang Tidak Bermanfaat dan Penimbunan Bertentangan Dengan
Ilahi
Al- Ghazali menekankan bahwa uang tidak di inginkan karena uang itu
sendiri. Uang baru akan memiliki nilai jika digunakan dalam suatu pertukaran.
Lebih jauh, ia menyatakan bahwa tujuan satu- satunya dari emas dan perak adalah

18
untuk dipergunakan sebagai uang (dinar dan dirham). Ia tidak menyukai mereka
yang menimbun kepingan- kepingan uang atau mengubahnya menjadi bentuk lain
(Lowry, 1987).
Al-Ghazali menjelaskan bahwa orang yang melakukan penimbunan uang
merupaka orang yang berbuat zalim dan menghilangkan hikmah yang terkandung
dalam penciptaannya. Allah berfirman dalam surat at-Taubah ayat 24 yang artinya
sbb: ”dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak
menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka (bahwa
mereka akan mendapat) siksa yang pedih.” (Lowry, 1987).
4.1.3.3 Pemalsuan dan Penurunan Nilai Uang
Peredaran uang palsu, yaitu dengan kandungan emas atau perak yang tidak
sesuai dengan ketentuan pemerintah, beliau kecam keras. Menurutnya mencetak
atau mengedarkan uang palsu lebih berbahaya daripada mencuri 1.000 Dirham.
Perbuatan mencuri adalah satu dosa, sedangkan mencetak dan mengedarkan uang
palsu adalah dosa yang terus berlipat setiap kali uang itu dipergunakan. Dengan
beredarnya uang palsu maka tidak hanya satu pihak yang dirugikan, tetapi banyak
pihak dan terus bertambah dari waktu ke waktu seiring dengan terus bergulirnya
uang palsu tersebut pindah dari satu tangan ke tangan berikutnya. Seseorang yang
mendapatkan uang palsu akan mencoba untuk membelanjakan lagi uang tersebut
ke orang lain dengan sembunyi-sembunyi atau menipu, karena dia tidak mau
menanggung rugi, dan begitu seterusnya. Dengan demikian nilai mudharatnya
bisa jadi akan lebih besar daripada uang senilai 1.000 Dirham. Implikasi makro
beredarnya uang palsu ini juga akan dapat mendorong tingkat inflasi, karena akan
menambah jumlah uang beredar di masyarakat di luar uang resmi yang
dikeluarkan pemerintah. Berikut ini kutipan pernyataan beliau dalam Lowry
(1987).:
Memasukkan uang palsu dalam peredaran merupakan suatu kezaliman yang
besar. Semua yang memegangnya dirugikan… peredaran suatu dirham palsu
lebih buruk daripada mencuri seribu dirham, karena tindakan mencuri
merupakan sebuah dosa, yang langsung berakhir setelah dosa itu diperbuat;

19
tetapi pemalsuan uang merupakan sesuatu yang berdampak pada banyak orang
yang menggunakannya dalam transaksi selama jangka waktu yang lama.
Selanjutnya, beliau membolehkan peredaran uang yang tidak mengandung
emas dan perak, asalkan pemerintah menyatakan uang tersebut sebagai alat bayar
yang resmi. Bila terjadi penurunan nilai uang akibat dari kecurangan, maka
pelakunya harus dihukum. Namun apabila pencampuran logam dalam koin
merupakan tindakan resmi pemerintah dan diketahui oleh semua penggunanya,
maka hal tersebut dapat diterima.Kemudian, secara tidak langsung beliau
membolehkan kemungkinan penggunaan uang representatif (token money). Hal
tersebut dapat disimak dari pernyataan beliau berikut ini :
Zaif (suasa, logam campuran), maksudnya adalah unit uang yang sama sekal
tidak mengandung perak; hanya polesan; atau dinar yang tidak mengandung
emas. Jika sekeping koin mengandung sejumlah perak tertentu, tetapi dicampur
dengan tembaga, dan itu merupakan koin resmi dalam Negara tersebut, maka hal
ini dapat diterima, baik muatan peraknya diketahui ataupun tidak. Namun, jika
koin itu tidak resmi, koin itu dapat diterima hanya jika muatan peraknya
diketahui (Lowry, 1987).
4.1.3.4 Larangan Riba
Al- Ghazali menyatakan bahwa menetapkan bunga atas utang piutang
berarti membelokkan uang darifungsi utamanya, yakni untuk mengukur kegunaan
objek pertukaran. Oleh karena itu, bila jumlah uang yang diterima lebih banyak
dari pada jumlah uang yang diberikan , akan terjadi perubahan standar nilai.
Perubahan ini terlarang (Chamid, 2010).

20
BAB V
KESIMPULAN

Al-Ghazali mendefinisikan aspek ekonomi dari fungsi kesejahteraan sosialnya dalam


sebuah kerangka hierarki utilitas individu dan sosial yang tripartie yakni Daruriat, Hajiyat dan
Tahsiniyat. Beberapa tema ekonomi yang dapat diangkat dari pemikiran Al-Ghazali diantaranya
mencakup pertukaran sukarela dan evolusi pasar, aktivitas produksi, barter dan evolusi
uang,serta peran negara dan keuangan public. Pemikiran ekonomi Al- Ghazali didasarkan pada
pendekatan Tasawuf. Corak pemikiran ekonominya tersebut dituangkan dalam kitab Ihya ‘Ulum
al-Din, al- Mustashfa, Mizan Al- ‘Amal, dan At- Tibr al Masbu fi Nasihat Al- Muluk. Dengan
memperhatikan para perilaku individu yang dibahasnya menurut perspektif Al-Qur’an , sunnah
dan fatwa sahabat tabi’in serta petuah- petuah para sufi terkemuka.

21
DAFTAR PUSTAKA

Chamid, Nur. 2010. Jejak Langkah Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Furchan, Arief. 1982. Pengantar Penelitian dalam Pendidikan. Surabaya: Usaha
Nasional.
Ghazafar dan Abdul Azim Islahi,. 1990. Economic Thought of an Arab Scholastic : Abu
Hamid al-Ghazali,History of political Economy 22. Durham : Duke University Press.
Kasiran. 2010. Metodologi Penelitian Kualitatif dan Kuantitatif. Malang: UIN Press.
Lowry S. Todd. 1987. The Archaeology of Economic Ideas: the Classical Greek
Tradition. Durham: Duke University Press
Sidani, Yusuf & Akram Al Ariss. 2014. New Conceptual Foundations for Islamic
Business Ethics: The Contributions of Abu-Hamid Al-Ghazali: Journal of Bus Ethics (2015)
129:847–857 DOI 10.1007/s10551-014-2136-5.
Siddiqi, M. Nejatullah. 1981. Muslim Economic Thinking, A Survey of Contemporary
Literature. Jeddah: International Centre for Research in Islamic Economics, King Abdul Aziz
University.
Siddiqi, M. Nejatullah. 1992. History of Islamic Economic Thought in Ausaf Ahmad and
K.R. Awan (ed.), Lectures in Islamic Economics, Jeddah: IRTI/IDB.
Zarqa, Anas. 1980. Islamic Ekonomics: an Appoach to human Welfare. dalam Khursid
Ahmad (ed.), studies in IslamicEconomics. Leicester: The Islamic Foundation

22

Anda mungkin juga menyukai