Anda di halaman 1dari 30

Hadits Ketika Marah

Makalah ini Diajukan untuk memenuhi nilai UAS

Mata Kuliah Hadits Maudhu’i

Disusun oleh:

Nurkarimah Imania (17210874)

Dosen Pengampu:
Sofyan Effendi, S.Th.I, MA

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN DAN DAKWAH

INSTITUT ILMU AL-QUR’AN JAKARTA

TH. 1440/2019
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT. yang telah melimpahkan


berbagai nikmat kepada sehingga masih diberikan kesehatan dan
kesempatan untuk mencari ilmu, khususnya ilmu agama. Tak lupa shalawat
serta salam senantiasa tercurahkan pada Nabi Muhammad Saw., kepada
keluarganya, sahabatnya dan pengikutnya hingga akhir zaman.

Dalam penyusunan makalah ini tak lupa kami ucapkan terimakasih


kepada Bapak Sofyan Effendy sebagai dosen pembimbing yang telah
membimbing dalam proses penyusunan makalah ini. Makalah ini disusun
untuk memenuhi tugas mata kuliah hadits maudhu’i. Adapun pembahasan
yang akan dibahas dalam makalah ini meliputi hadits-hadits yang
berhubungan dengan marah.

Kami berharap, semoga makalah ini dapat bermanfa’at bagi para


pembaca khususnya teman-teman semua. Dengan senang hati kami para
penulis menanti kritik dan sarannya yang sifatnya membangun demi
perbaikan makalah ini. Akhir kata kami ucapkan terimakasih.

Ciputat, 2 Desember 2019

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..............................................................................................i
DAFTAR ISI.........................................................................................................ii
BAB I.................................................................................................................iii
PENDAHULUAN................................................................................................iii
A. Latar Belakang Masalah........................................................................iii
B. Tujuan Penulisan...................................................................................iii
C. Pengertian Marah.................................................................................iii
BAB II................................................................................................................1
Pembahasan.....................................................................................................1
A. Larangan Jangan Marah.........................................................................1
B. Cara-cara Mengendalikan Amarah........................................................4
C. Pahala bagi yang menahan amarah......................................................9
D. Marah yang Diperbolehkan.................................................................13
E. Hukum Memutuskan Perkara dalam Keadaan Marah........................19
BAB III.............................................................................................................21
PENUTUP........................................................................................................21
Kesimpulan..................................................................................................21

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Hadis sebagai teks masa lalu yang shalih li kulli zaman wa makan
dituntut sesuai dengan berbagai kondisi dan waktu. Perkembangan hadis
di Indonesia sendiri sejauh ini sudah banyak para ulama yang
berkontribusi dalam dunia Hadis.
Peran ataupun fungsi penulis disini ialah untuk menjelaskan hadis-
hadis tentang Marah mulai dari hadis tentang larangan Marah, cara-cara
meredamkan amarah, Marah yang di contohkan Rsulullah Saw. dst.
Semoga apa yang telah dipaparkan dapat dipahami oleh pembaca dengan
sebaik-baiknya.

B. Tujuan Penulisan
1. Menjelaskan cara untuk Mengendalikan Amarah
2. Mengetahui Marah yang diperbolehkan
3. Mengetahu Balasan yang Menahan Amarah

C. Pengertian Marah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, marah adalah merasa (rasa
hati) sangat tidak senang karena dihina, diperlakukan tidak sepantasnya.
Dalam bahasa Arab kata marah disebut ‫ غضب‬yang berarti marah atau

yang lekas marah. Dalam kamus al-Munawwir, kata ‫غضب‬ diartikan

sebagai kemarahan. Sedangkan dalam kitab Al-‘Ain, ‫غضب‬ memiliki


pengertian pemarah.
Marah ialah bergejolaknya darah dalam hati untuk menolak
gangguan yang dikhawatirkan terjadi atau karena ingin balas dendam
kepada orang yang menimpakan gangguan yang terjadi padanya.

iii
Marah adalah dorongan hati yang keluar berupa tindakan balas
dendam terhadap orang lain. Hadis ini memberi bimbingan bahwa jika
ada suatu perkataan yang menyebabkan kemarahan dan keinginan untuk
cepat-cepat membalas dendam terhadap orang yang menyebabkan
marah, maka hendaknya dorongan nafsu seperti ini dicegah dan
dihilangkan.

iv
BAB II
Pembahasan

A. Larangan Jangan Marah


Rasa marah merupakan naluri manusia, yang bisa timbul bila ada
sesuatu maksdu yang terhalang atau terintangi. Rasa marah bisa
diketahui dengan marahnya muka dan mata karena darah yang terbakar.
Marah yang terpendam bisa terwujud caci dan maki di belakang orang
yang dimarahinya. Dan marah yang dikeluarkan dalam tindakan bisa
berupa pembunuhan, pemukulan, dan lain sebagainya.1
Sifat pemarah sebenarnya bukanlah perilaku orang yang beriman.
Karena itulah sifat tersebut dilarang oleh agama dan termasuk pula sifat
tercela.
Sifat pemarah akan menjauhkan orang lain dari kita. Semula maksud
dan niat kita baik, tapi karena marah-marah berkepanjangan, berbalik
menjadi perselisihan. Akibat dari pemarah itu menimbulkan
penyesalan.2

ِ ‫ َعن أَبِي ح‬،‫اش‬ ِ


،‫ص ي ٍن‬ َ ْ ٍ َّ‫ أَ ْخَب َرنَا أَبُو بَ ْك ٍر ُه َو ابْ ُن َعي‬،‫ف‬َ ‫وس‬ ُ ُ‫َح َّدثَني يَ ْحيَى بْ ُن ي‬
ِ ِ ‫ َعن أَبِي ُهرْي رةَ ر‬،‫َعن أَبِي ص الِ ٍح‬
‫ص لَّى‬َ ‫َن َر ُجاًل قَ ال للنَّبِ ِّي‬
َّ ‫ أ‬،ُ‫ض ي اللَّهُ َع ْن ه‬
َ َ َ َ ْ َ ْ
‫ "اَل‬:‫ قَ ال‬،‫َّد ِم َر ًارا‬
َ ‫ب" َف َرد‬ ْ ‫ض‬ َ ْ‫ "اَل َتغ‬:‫ قَ ال‬،‫ص نِي‬ ِ ‫ أَو‬:‫اهلل َعلَْي ِه وس لَّم‬
ْ َ ََ ُ
."‫ب‬
ْ ‫ض‬
َ ْ‫َتغ‬
Yahya bin Yusuf menyampaikan kepada kami dari Abu Bakar bin Ayyasy
yang mengabarkan dari Abu Hashin, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah
bahwa seorang lelaki berkata kepada Nabi Saw, “Berilah aku nasihat.”

1
Moh. Thalib, Sifat dan Sikap Tercela dalam Islam, (Surabaya: PT Bina Ilmu, 1983) cet. 1, hal.
11-12
2
Mahyuddin Ibrahim, 180 Sifat Tercela dan Terpuji, (Jakarta: Restu Agung, 1996), Cet. 4, hal.
84

1
1

Beliau bersabda, “jangan marah!” Beliau mengulanginya beberapa kali.


Beliau kembali bersabda, “Jangan marah!”3

Keterangan:
Dalam riwayat diterangkan bahwa laki-laki itu adalah Jariah Baljiem
Ibnu Qadamah, tetapi ada cerita lain yang mengatakan bahwa ia adalah
Sufyan bin Abdillah as- Tsaqafi. Memperhatikan bentuk hadts ini, Nabi
Saw. dalam setiap memberikan nasihat, selalu melihat orangnya. Orang
yang suka marah, dinasihati agar jangan marah.
Ibnu Tien berkata, “Dalam kalimat ‘jangan marah’ tersimpul segala
bentuk kebaikan dunia akhirat, sebab dengan marah mengakibatkan
terputusnya hubungan dan kasih sayang serta menunjukkan bahwa
orang yang suka marah itu kurang sempurna agamanya. Marah
timbulnya dari luapan nafsu (emosi) dari syetan. Siapa yang berusaha
keras untuk memeranginya berarti ia telah menjadi orang kuat yang
mampu menguasai dirinya.”4
Hadits ini berisi penolakan terhadap kejelekan manusia. Seorang
manusia dalam hidupnya berada di antara kesenangan dan kepahitan.
Kesenangan timbul dari bangkitnya nafsu untuk makan, minum dst,
sedangkan keahitan timbul dari bangkitnya marah.
Apabila manusia menjauhi marah, berarti dia sudah menolak separo
kejelekan, bahkan menolak sebagian besar kejelekan. Oleh sebab itulah,
malaikat selamat dari segala kejelekan karena mereka tidak memliki
rasa marah dan nafsu.5

‫ َع ْن أَبِي‬،‫صي ٍن‬ ِ ‫ َعن أَبِي ح‬،‫اش‬ ٍ ْ‫َح َّد َثنَا أَبُو ُك َري‬
َ ْ ٍ َّ‫ َح َّد َثنَا أَبُو بَ ْك ِر بْ ُن َعي‬:‫ال‬
َ َ‫ ق‬،‫ب‬
،‫ص لَّى اللَّهُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم‬
َ ‫اء َر ُج ٌل إِلَى النَّبِ ِّي‬ َ َ‫ َع ْن أَبِي ُه َرْي َرَة ق‬،‫ص الِ ٍح‬
َ ‫ َج‬:‫ال‬ َ

3
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Ensiklopedia Hadits 2; Shahih al-Bukhari 2,
(Jakarta: Almahira, 2012), hal.
4
Moh. Thalib, Sifat dan Sikap Tercela dalam Islam, cet. 1, hal. 12-13
5
Syekh Ahmad Hijaazi, Empat puluh dua Mutiara Hadits, (Bandung, Trigenda Karya, 1994),
hal. 194
2

َ ِ‫َّد ذَل‬
‫ك‬ ِ ‫ علِّمنِي َشيئًا والَ تُ ْكثِر علَ َّي لَعلِّي أ‬:‫ال‬
َ َ‫ ق‬،‫َع ِيه‬
َ ‫ َف َرد‬،‫ب‬
ْ ‫ض‬
َ ْ‫ الَ َتغ‬:‫ال‬ َ َ ْ َ ْ ْ َ َ ‫َف َق‬
.‫ب‬ ْ ‫ض‬َ ْ‫ الَ َتغ‬:‫ول‬ َ ِ‫ِم َر ًارا ُك ُّل ذَل‬
ُ ‫ك َي ُق‬

.‫ص َرٍد‬ ٍِ ِ َ‫َوفِي الب‬


ُ ‫ َو ُسلَْي َما َن بْ ِن‬،‫اب َع ْن أَبِي َسعيد‬
ِ ِ ِ ‫يث حس ن ص ِحيح غَ ِر‬ ِ
ْ ‫ َوأَبُ و َحص ي ٍن‬, ‫الو ْج ه‬
ُ‫اس ُمه‬ َ ‫يب م ْن َه َذا‬ ٌ ٌ َ ٌ َ َ ٌ ‫َو َه َذا َح د‬
ُّ ‫َس ِد‬
.‫ي‬ ِ
َ ‫ُعثْ َما ُن بْ ُن َعاص ٍم األ‬
Abu Kuraib menyampaikan kepada kami dari Abu Bakar bin Ayyasy, dari
Abu Hashin, dari Abu Shalih, dari Abu Hurairah bahwa seorang laki-laki
menghadap Nabi Saw. seraya berkata, “Ajarkanlah sesuatu kepadaku,
namun jangan engkau memperbanyaknya agar aku mudah
mengingatnya.” Beliau bersabda, “Jangan marah.” Beliau mengulangnya
beberapa kali. Setiap kalinya beliau bersabda, “Jangan marah.”

Abu Isa berkata, “Terkait dengan bab ini ada pula hadits riwayat Abu
Sa’id dan Sulaiman bin Shurad. Hadits ini hasan shahih gharib dari jalur
ini. Nama Abu Hashin adalah Utsman bin Ashim al-Asadi.” (H.R. Tirmizi)

Keterangan:
“‫ب‬
ْ ‫ض‬
َ ‫ اَل َت ْغ‬:‫( ق ال‬Beliau bersabda, ‘Jangan engkau marah’)” Tentang
marah, Nabi Saw. telah menjelaskan bahwa hal itu merupakan bara api
yang dilemparkan oleh syaitan ke dalam hati anak Adam yang
menyebabkan hati bergejolak. Maka dari itu wajah orang yang sedang
marah akan memerah, urat lehernya mengembang, dan mungkin
rambut (pori-pori)nya pun akan berdiri.

Makna jangan engkau marah


Apakah yang dimaksud oleh Nabi Saw. dengan sabdanya, “Jangan
engkau marah” adalah engkau jangan marah, ataukah bermakna jangan
engkau ikuti keinginan marahmu?
Jika kita lihat kemungkinan makna yang pertama, maka menetapkan
(definisinya) sulit, karena dalam hal ini perangai manusia sangat
3

berbeda satu dengan yang lainnya, akan tetapi bisa kita katakan
marahlah secara tabi’at (biasa-biasa saja), artinya engkau bisa
mengendalikan dirimu dan mampu meredam amarah.

Adapun kemungkinan makna yang kedua, yaitu jika engkau ikuti


keinginan (ajakan) marahmu, maka makna seperti ini benar, sehingga
hal ini dilarang.”6
Al-Ghazali mengatakan, marah itu terbagi menjadi tiga tingkatan,
yaitu tingkat rendah, tingkat berlebih-lebihan, dan tingkat sederhana.
Orang yang bertenaga marah tingkat rendah, adalah sangat tercela.
Orang tersebut menjadi orang yang tidak bersemangat, tidak
berwibawa, dan sangat lemah pula menaggulangi bahaya mengancam
dirinya. Ia jarang sekali dapat marah, sampaipun pada tempat-tempat
yang seharusnyadansewajarnya ia harus marah.
Orang yang bertenaga marah berlebih-lebihan, juga sangan tercela,
bahkan lebih tercela dan lebih berbahaya dari pada yang bertenaga
marah tingkat rendah. Tenaga marah yang terlalu kuat, menyebabkan
orang menjadi pemarah, yaitu orang yang suka marah-marah
sampaipun pada soal-soa yang kecil dan sepele.
Adapun marah tingkat sederhana ialah marah yang baik dan terpuji,
marah yang sepenuhnya di bawah kekang kendali akal dan agama. Ia
bangkit dimana perlu dan menurut kadar yag sesuai. Ia juga dapat dan
mudah dipadamkan.7

B. Cara-cara Mengendalikan Amarah


Cara-cara pencegahan marah diterangkan dalam hadis-hadis
Rasulullah Saw. pemakaiannya tergantung kepada keadaan marahnya.
Jika penyebab kemarahan itu besar atau hebat maka cara
pencegahannya lebih tepat wudhu atau mandi. Dan jika penyebabnya
kecil atau ringan, maka bisa diambil cara yang ringan pula, dan cara yang
paling ringan adalah mengucapkan “a’udzu billah”.8

6
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsaimin, Syarah Hadits Arba’in, (Jakarta: Pustaka Ibnu
Katsir, 2012), Cet. 5, hal. 277
7
Humaidi Tatapangsara, Akhlaq yang Mulia, (Surabaya: PT Bina Ilmu, ) hal. 156-166
8
Moh. Thalib, Sifat dan Sikap Tercela dalam Islam, cet. 1, hal. 12
4

ِ ِ‫ َعن َع ْب ِد الْمل‬،‫يد‬ ِ ‫ ح َّد َثنَا ج ِرير بن َعب ِد الْح ِم‬،‫ف بن موس ى‬


‫ك‬ َ ْ َ ْ ُْ ُ َ َ َ ُ ُ ْ ُ ‫وس‬ ُ ُ‫َح َّد َثنَا ي‬
ِ ‫ َعن مع‬،‫الرحم ِن ب ِن أَبِي لَيلَى‬ ِ
‫ب‬ َّ َ‫اس ت‬
ْ :‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫اذ بْ ِن َجبَ ٍل‬ َُ ْ ْ ْ َ ْ َّ ‫ َع ْن َع ْب د‬،‫بْ ِن عُ َم ْي ٍر‬
‫ض بًا َش ِدي ًدا‬ ِ ِ ِ ِ
َ َ‫َح ُد ُه َما غ‬ َ‫بأ‬ َ ‫ َفغَض‬،‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم‬ َ ‫َر ُجاَل ن ع ْن َد النَّبِ ِّي‬
‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه‬
َ ‫ال النَّبِ ُّي‬ َ ‫ َف َق‬،‫ض بِ ِه‬ َ َ‫َن أَْن َفهُ َيتَ َم َّزعُ ِم ْن ِش َّد ِة غ‬
َّ ‫َحتَّى ُخيِّ َل إِلَ َّي أ‬
‫ب َع ْن هُ َم ا يَ ِج ُدهُ ِم َن‬ ِ
َ ‫ «إِنِّي أَل َ ْعلَ ُم َكل َم ةً لَ ْو قَالَ َه ا لَ َذ َه‬:]249:‫َو َس ل َم [ص‬
َّ
‫ك‬ َ ِ‫ اللَّ ُه َّم إِنِّي أَعُوذُ ب‬:‫ول‬
ُ ‫ " َي ُق‬:‫ال‬ َ َ‫ول اللَّ ِه؟ ق‬َ ‫ َما ِه َي يَا َر ُس‬:‫ال‬ َ ‫ب؟» َف َق‬ ِ‫ض‬ َ َ‫الْغ‬
‫ َو َج َع َل‬،‫ك‬ َ ‫ فَ أَبَى َوَم ِح‬،ُ‫ «فَ َج َع َل ُم َع اذٌ يَ أ ُْم ُره‬:‫ال‬ َ َ‫ان ال َّرِج ِيم " ق‬ ِ َ‫الش ْيط‬ َّ ‫ِم َن‬
»‫ضبًا‬ َ َ‫اد غ‬ ُ ‫َي ْز َد‬
Yusuf bin Musa menyampaikan kepada kami dari Jarir bin Abdul Hamid,
dari Abdul Malik bin Umair, dari Abdurrahman bin Abu Laila bahwa
Mu’adz bin Jabal berkata, “Dua lelaki saling mencaci maki dihadapan
Nabi Saw. salah satu dari mereka marah besar seakan aku melihat
batang hidungnya terpisah-pisah karena amat marahnya. Kemudian
Nabi Saw. bersabda, ‘Sungguh, aku mengetahui suatu kalimat yag jika
dia ucapkan niscaya akan hilang kemarahan yang dirasakannya.’” Mu’adz
bertanya, “apakah itu wahai Rasulullah?” beliau berkata, Hendaklah dia
mengucapkan, ‘Ya Allah, Aku berlindung kapada-Mu dari godaan setan
yang terkutuk.’” Perawi berkata, “Mu’adz lalu memberitahukan doa itu
kepada orang yang sedang marah, tetapi dia menolak dan keras kepala.
Akhirnya, bertambah besarlah kemarahannya.” 9

Keterangan:
Sedangkan obat yang berupa perbuatan adalah jika ia marah keadaan
berdiri hendaklah ia duduk, jika ia duduj hendaklah ia berbaring, karena
perubahan keadaan secara zhahir membwa perubahan secara bathin

9
Abu Dawud Sulaima bin al-Asy’ats al-Azdi as-Sijistani, Ensiklopedia Hadits 5; Sunan Abu
Dawud, (Jakarta: Almahira, 2012), hal. 1001.
5

(kejiwaan). Jika hal itu tidak berpengaruh banyak, maka hendakla ia


berwudhu’, karena hal ini akan melupakan keadaanya yang sedang
marah, dan wudhu’ bisa memadamkan apai kemarahan.10

‫ي‬ ِّ ‫ َع ْن َع ِد‬،‫ش‬ ِ ‫ َع ِن اأْل َ ْع َم‬،َ‫ َح َّد َثنَا أَبُو ُم َعا ِويَة‬،َ‫َح َّد َثنَا أَبُو بَ ْك ِر بْ ُن أَبِي َش ْيبَة‬
ِ ِ َ َ‫ ق‬،‫ص َرٍد‬ ٍ ِ‫بْ ِن ثَاب‬
ُ‫ص لَّى اهلل‬َ ‫ب َر ُجاَل ن ع ْن َد النَّبِ ِّي‬ َّ َ‫اس ت‬ ْ :‫ال‬ ُ ‫ َع ْن ُس لَْي َما َن بْ ِن‬،‫ت‬
‫ول اللَّ ِه‬
ُ ‫ال َر ُس‬َ ‫ َف َق‬،ُ‫اجه‬ ِ ِ
َ ‫ فَ َج َع َل أ‬،‫َعلَْيه َو َسلَّ َم‬
ُ ‫َح ُد ُه َما تَ ْح َم ُّر َع ْينَاهُ َوَت ْنتَف ُخ أ َْو َد‬
‫ب َع ْن هُ الَّ ِذي‬ ِ ُ ‫ " إِنِّي أَل َ ْع ِر‬:‫صلَّى اهلل َعلَي ِه وس لَّم‬
َ ‫ف َكل َم ةً لَ ْو قَالَ َه ا َه َذا لَ َذ َه‬ َ ََ ْ ُ َ
‫ َه ْل َت َرى بِي ِم ْن‬:‫الر ُج ُل‬ َّ ‫ال‬ َ ‫يم " َف َق‬ ِ ‫ان ال َّرِج‬ َّ ‫ أَعُ وذُ بِاللَّ ِه ِم َن‬:‫يَ ِج ُد‬
ِ َ‫الش ْيط‬
ٍ ُ‫جن‬
‫ون؟‬ ُ
Abu Bakar bin Abu Syaibah menyampaikan kepada kami dari Abu
Muawiyah, dari al-A’masy, dari Adi bin Tsabit bahwa Sulaiman bin
Shurad berkata, “Dua lelaki saling mencaci-maki di hadapan Nabi Saw.,
hingga salah seorang dari mereka memerah kedua matanya dan urat
lehernya tampak jelas (nai darah). Rasululah Saw. bersabda, ‘Sungguh,
aku mengetahui suatu kalimat yang jika dia ucapkan niscaya akan hilang
kemarahan yang dirasakannya. Aku berlindung kepada Allah dari godaan
syetan yang terkutuk.’ Namun, orang yang marah tersebut justru
menimpali, ‘Apakah engkau kira bahwa aku gila?!’” Sunan Abu Dawud
(Shahih)11

Adapun dalam Hadits Riwayat Bukhari

ِّ ‫ َع ْن َع ِد‬،‫ش‬
‫ي بْ ِن‬ ِ ‫ َع ِن األَ ْع َم‬،‫ َح َّد َثنَا َج ِري ٌر‬،َ‫َح َّد َثنَا عُثْ َم ا ُن بْ ُن أَبِي َش ْيبَة‬
ِ ِ َ َ‫ ق‬،‫ص َرٍد‬ ٍ ِ‫ثَ اب‬
َ ‫ب َر ُجالَن ع ْن َد النَّبِ ِّي‬
ُ‫ص لَّى اهلل‬ َّ َ‫اس ت‬
ْ :‫ال‬ ُ ‫ َح َّد َثنَا ُس لَْي َما ُن بْ ُن‬،‫ت‬
10
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsmaimin, Syarah Hadits Arbai’in, cet. 5, hal. 280
11
Abu Dawud Sulaima bin al-Asy’ats al-Azdi as-Sijistani, Ensiklopedia Hadits 5; Sunan Abu
Dawud, hal. 1001
6

ِ َ ْ‫ مغ‬،ُ‫احبه‬ ِ ‫ب‬ ِ ِ
‫اح َم َّر‬
ْ ‫ضبًا قَ د‬ ُ َ ‫ص‬ َ ُّ ‫س‬ ُ َ‫َح ُد ُه َما ي‬
َ ‫ َوأ‬،‫وس‬ ٌ ُ‫َعلَْيه َو َسلَّ َم َونَ ْح ُن ع ْن َدهُ ُجل‬
‫ لَ ْو قَالَ َه ا‬،ً‫ " إِنِّي أَل َ ْعلَ ُم َكلِ َم ة‬:‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم‬َ ‫ال النَّبِ ُّي‬
َ ‫ َف َق‬،ُ‫َو ْج ُه ه‬
‫ان ال َّرِج ِيم " َف َق الُوا‬ ِ َ‫الش ْيط‬ َّ ‫ أَعُ وذُ بِاللَّ ِه ِم َن‬:‫ال‬ َ َ‫ لَ ْو ق‬،‫ب َع ْن هُ َم ا يَ ِج ُد‬ َ ‫لَ َذ َه‬
‫ت‬ُ ‫ إِنِّي لَ ْس‬:‫ال‬ َ َ‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم؟ ق‬ َ ‫ول النَّبِ ُّي‬ َّ ِ‫ل‬
ُ ‫ أَالَ تَ ْس َم ُع َم ا َي ُق‬:‫لر ُج ِل‬
ٍ ُ‫بِم ْجن‬
‫ون‬ َ
Utsman bin Abu Syaibah menyampaikan kepada kami dari Jarir, dari al-
A’masy, dari Adi bin Tsabit bahwa Sulaiman bin Shurad berkata, “Dua
orang saling mencaci di hadapan Nabi Saw. saat kami sedang duduk di
dekat beliau. Satu di antara mereka mencaci temannya. Wajahnya pun
merah karena marah. Kemudian Nabi Saw. bersabda, ‘Sungguh, aku
mengetahui suatu ungkapan yang bila dikatakan, niscaya mampu
meredamkan apa yang sedang terjadi. Andai dia mengucapkan ‘Aku
berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk,’ para sahabat berkata
kepada lelaki itu, ‘Tidakkah engkau mendengar apa yang disabdakan
Nabi Saw?’ Dia menjawab, ‘Aku bukan orang gila (sehingga harus
membaca ta’awuz).”12

Keterangan:
Audaajuhu, urat-urat lehernya.
Alladzii yajidu, yang menyebabkan marah.
Ketika lelaki yang telah mendengar sabda ii dari Nabi Saw. pergi
menemui salah seorang di antara keduanya dan mengatakan
kepadanya, “Ucapkanlah olehmu, aku berlindung kepada Allah dari
setan yang terkutuk,” maka lelaki itu menjawab, “Apakah engkau kira
aku ini sudah gila?” ia berpahaman bahwa kalimat ta’awudz ini hanya
diucapkan oleh orang yang gila. Orang yang menjawab demikian ini
adalah orang munafik, atau dia dari kalangan orang Arab Badui yang

12
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Ensiklopedia Hadits 2; Shahih al-Bukhari
2, hal.
7

tidak mengerti bahwa marah itu berasal dari godaan setan, sedangkan
banyak ber-ta’awudz, dapat menyelapkannya.13

ِ ِ ِ ٍ
ُ ‫ َح َّد َثنَا إ ْب َراه‬: ‫ قَ ااَل‬،‫س ُن بْ ُن َعل ٍّي ال َْم ْعنَى‬
‫يم بْ ُن‬ َ ‫ َوال‬،‫َح َّد َثنَا بَ ْك ُر بْ ُن َخلَ ف‬
َ ‫ْح‬
،‫ي‬ِّ ‫الس ْع ِد‬
َّ ‫ َد َخلْنَا َعلَى ُع ْرَوةَ بْ ِن ُم َح َّم ٍد‬:‫ال‬ ُّ ‫ َح َّد َثنَا أَبُو َوائِ ٍل الْ َق‬،‫َخالِ ٍد‬
َ َ‫ ق‬،‫اص‬
‫ َح َّدثَنِي‬:‫ال‬ َ ‫ َف َق‬،َ‫ض أ‬ َّ ‫ض أَ ثُ َّم َر َج َع َوقَ ْد َت َو‬
َّ ‫ام َفَت َو‬ َ ‫ َف َق‬،ُ‫ض بَه‬َ ‫فَ َكلَّ َم هُ َر ُج ٌل فَأَ ْغ‬
‫ «إِ َّن‬:‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم‬ ِ ُ ‫ال رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َ َ‫ ق‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،َ‫ َع ْن َج دِّي َع ِطيَّة‬،‫أَبِي‬
ِ ِ َّ ‫ب ِم َن‬
ِ َ‫الش ْيط‬
ُ ‫ َوإِنَّ َم ا تُطْ َف أُ الن‬،‫الش ْيطَا َن ُخل َق م َن النَّا ِر‬
‫َّار‬ َّ ‫ َوإِ َّن‬،‫ان‬ َ ‫ض‬ َ َ‫الْغ‬
ِ ِ ِ
»ْ‫ضأ‬ َّ ‫َح ُد ُك ْم َفلْيََت َو‬
َ‫بأ‬ َ ‫ فَِإ َذا غَض‬،‫بال َْماء‬
Bakr bin Khalaf dan al-Hasan bin Ali menyampaikan kepada kami hadits
secara makna dari Ibrahim bin Khalid bahwa Abu Wa’il al-Qash berkata,
“Kami pernah menemui Urwah bin Muhammad as-Sa’di. Kemudian,
seorang laki-laki berbicara kepadanya dan membuatnya marah. Urwah
bin Muhammad as-Sa’di pun bangkit dan berwudhu, lalu kembai lagi
dan berkata, ‘Ayahku menyampaikan kepadaku dari kakekku, Athiyyah,
bahwa Rasulullah Saw. bersabda, ‘Sungguh, kemarahan itu berasal dari
setan dan setan diciptakan dari api. Sungguh, api itu dapat dipadamkan
dengan air. Jika salah seorang dari kalian marah, hendaklah dia
berwudhu.’”14

Keterangan:
Minasy-syaithaan, pengaruh dari godaanya.
Di dalam hadits ini terkandung pengertian bahwa setan itu sebagian dari
makhluk jin.
Falyatawadhadha’, maka hendaklah ia berwudhu seperti wudhu untuk
shalat.

13
Syekh Mansur Ali, Mahkota Pokok-Pokok Hadits Rasulullah Saw., (Bandung: Sinar Baru
Algensindo), Jilid 4, hal. 159
14
Abu Dawud Sulaima bin al-Asy’ats al-Azdi as-Sijistani, Ensiklopedia Hadits 5; Sunan Abu
Dawud, hal. 1002
8

Marah itu termasuk perkara yang kongkret/nyata yang tidak bisa


dihalangi dengan suatu hal. Lalu mengapa ketika marah, Syaari’ (Nabi
Saw.) menyuruh berwudhu? Sebagian ulama mengatakan bahwa orang
yang marah dikuasai oleh tabiat binatang dan hal ini tidak bisa ditolak.
Ada pula, orang yang marah bisa mengalahkan tabiatnya dengan cara
latihan. Dngan hal ini, keinginan unutk marah dapat dihindari. 15

‫ َع ْن‬،‫ َح َّد َثنَا َد ُاو ُد بْ ُن أَبِي ِه ْن ٍد‬،َ‫ َح َّد َثنَا أَبُ و ُم َعا ِويَ ة‬،‫َح َم ُد بْ ُن َح ْنبَ ٍل‬
ْ ‫َح َّد َثنَا أ‬
‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه‬ ِ َ ‫ إِ َّن رس‬:‫ال‬
َ ‫ول اللَّه‬ َُ َ َ‫ ق‬،‫ َع ْن أَبِي َذ ٍّر‬،‫َس َوِد‬ ْ ‫ب بْ ِن أَبِي اأْل‬ ِ ‫أَبِي َح ْر‬
ِ ِ ِ َ َ‫َو َس لَّ َم ق‬
َ ‫ فَِإ ْن َذ َه‬،‫س‬
ُ‫ب َع ْن ه‬ ْ ‫َح ُد ُك ْم َو ُه َو قَ ائ ٌم َفلْيَ ْجل‬ َ‫بأ‬ َ ‫ «إِ َذا غَض‬:‫ال لَنَ ا‬
»‫ضطَ ِج ْع‬
ْ َ‫ب َوإِاَّل َفلْي‬
ُ ‫ض‬
َ َ‫الْغ‬
Ahmad bin Hanbal menyampaikan kepada kami dari Abu Muawiyah,
dari Dawud bin Abu Hindun, dari Abu Harb bin Abu al-Aswad, dari Abu
Dzar bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda kepada kami, “jika salah
seorang dari kalian marah dalam keadaan berdiri, hendaklah dia duduk.
Jika dengan begitu kemarahan dapat hilang, itulah yang diharapkan.
Namun jika belum hilang, hendaklah dia berbaring.” Sunan H.R.Abu
Dawud (Dhaif)16

Keterangan:
Dikatakan demikian karena orang yang dalam posisi berdiri dalam
keadaan siap untuk memukul dan membalas, sedangkan orang yang
dalam posisi duduk tidak demikian keadaanya, terlebih lagi orang yang
dalam posisi berbaring, lebih jauh dari melakukan kedua hal itu.
Nabi Saw. memerintahkan duduk lalu berbaring kepada orang yang
sedang marah, maksudnya agar jangan terburu-buru melakukan suatu
perbuatan yang akhirnya dia akan menyesal.17

15
Syekh Ahmad, Empat Pulug Dua Mutiara Hadits, hal. 197
16
Abu Dawud Sulaima bin al-Asy’ats al-Azdi as-Sijistani, Ensiklopedia Hadits 5; Sunan Abu
Dawud, hal. 1001
17
Syekh Mansur Ali, Mahkota Pokok-Pokok Hadits Rasulullah Saw., hal. 160
9

Jika tidak cukup dengan hal-hal di atas. Bisa juga kita katakan, “Jika
engkau sedang marah, tinggalkanlah temtmu saat itu, dan inilah yang
banya dilakukan oleh orang-orang, artinya seseorang marah hendaklah
ia keluar dari tematnya hingga tidak terjadi apa yang dibenci seteah
itu.18

C. Pahala bagi yang menahan amarah


ِ ٍِ
‫ َع ْن‬،‫وب‬ َ ُّ‫ َع ْن َس عيد َي ْعني ابْ َن أَبِي أَي‬،‫ب‬ ٍ ‫ َح َّد َثنَا ابْ ُن َو ْه‬،‫الس ْر ِح‬
َّ ‫َح َّد َثنَا ابْ ُن‬
‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه‬ ِ َ ‫َن رس‬ ِ ٍ ٍ
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َّ ‫ أ‬،‫ َع ْن أَبِي ه‬،‫ َع ْن َس ْه ِل بْ ِن ُم َع اذ‬،‫أَبِي َم ْر ُح وم‬
‫ َد َع اهُ اللَّهُ َع َّز َو َج َّل‬،ُ‫اد ٌر َعلَى أَ ْن ُي ْن ِف َذه‬ِ َ‫ «من َكظَم غَيظًا و ُهو ق‬:‫ال‬
َ َ ْ َ ْ َ َ َ‫َو َسلَّ َم ق‬
ِ ِ ِ ِ ِ
»‫اء‬ َ ‫ْحوِر الْعي ِن َم ا َش‬ ُ ‫وس الْ َخاَل ئ ِق َي ْوَم الْقيَ َامة َحتَّى يُ َخِّي َرهُ اللَّهُ م َن ال‬
ِ ُ‫َعلَى ُرء‬
" ‫ون‬ ٍ ‫الر ْحم ِن بْن م ْيم‬ ‫د‬ ‫ب‬ ‫ع‬ : ٍ ‫ " اسم أَبِي مرح‬:‫ال أَبو داود‬
‫وم‬
َُُ َ َّ ُ ْ َ ُ َْ ُ ْ َ ُ َ ُ َ َ‫ق‬
Dari Ibnu as-Sarh menyampaikan kepada kami dari Ibnu Wahb, dari Sa’id
bin Abu Ayub, dari Abu Marhum, dari Sahl bin Mu’adz, dari ayahnya
bahwa Rasulullah Saw. besabda, “siapa yang menahan marahnya
padahal dia mampu melampiaskannya, niscaya Alah akan memanggilnya
pada Hari Kiamat di hadapan seluruh makhluk, dan memberinya
kebebasan untuk memilih bidadari surga mana saja yang dia kehendaki.”
H.R. Abu Dawud (Hasan)
Abu Dawud berkata, “Nama Abu Marhum adalah Abdurrahman bin
Maimun.” Sunan Abu Dawud (Hasan)19

‫ص ابِ ُّي‬ ٍ ‫ َح َّدثَنِي ُم َح َّم ُد بْ ُن َح ْف‬،‫َح َم َد بْ ِن َح ْنبَ ٍل‬ ِ


َ ‫ص ال ُْو‬ ْ ‫َح َّد َثنَا َع ْب ُد اللَّه بْ ُن أ‬
ُ ‫ َس ِم ْع‬:‫ال‬ َ َ‫يم بْ ِن أَبِي َع ْبلَ ةَ ق‬ ِ ِ ِ ِ ‫ْحم‬ ِ
‫ت‬ َ ‫ ثنا ُم َح َّم ُد بْ ُن ح ْميَ ٍر َع ْن إ ْب َراه‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫ص ُّي‬ ْ ‫ال‬

18
Syaikh Muhammad bin Shalih al-‘Utsmaimin, Syarah Hadits Arbai’in, hal. 281
19
Abu Dawud Sulaima bin al-Asy’ats al-Azdi as-Sijistani, Ensiklopedia Hadits 5; Sunan Abu
Dawud, hal. 1000
10

‫ ُدلَّنِي َعلَى‬،‫ول اللَّ ِه‬


َ ‫ يَا َر ُس‬:‫ْت‬
ُ ‫ ُقل‬:‫ال‬َ َ‫الد ْر َد ِاء ق‬ ُ ‫ تُ َحد‬،‫الد ْر َد ِاء‬
َّ ‫ِّث َع ْن أَبِي‬ َّ ‫أ َُّم‬
ِ ِ
(‫ْجنَّةُ» )مسند الشاميني الطرباين‬ َ ‫ك ال‬
َ َ‫ب َول‬
ْ ‫ض‬ َ ْ‫ «اَل َتغ‬:‫ال‬ َ ‫َع َم ٍل يُ ْدخلُني ال‬
َ َ‫ْجنَّةَ ق‬
Abdullah bin Ahmad bin Hambal menyampaikan kepada kami, dari
Muhammad bin Hafs al-Wushabiyyu al-Himshiyyi, ia berkata:
Muhammad bin Himyar menyampaikan kepada kami dari dari Ibrahim
bin Abu ‘Ablah berkata: Aku mendengar dari Ummu Darda,
menceritakan dari Abu Darda berkata: “Yaa Rasulullah, Tunjukkan
kepada ku amalan yang dapat memasukkanku ke shurga”, Rasulullah
Saw. bersabdaa “Jangan kamu marah, maka kamu akan masuk Surga”.
H.R. ath-Thabrani (shahih)

Atsar:
Umar ra, berkata: “Barang siapa bertaqwakepada Allah, maka ia tidak
menyembuhkan kearahannya, dan barang siapa takut kepaa Allah, maka
ia tidak berbuat apa yang dikehendakinya, dan jikalau tidak ada hari
kiamat, niscaya bukan apa yang kamu lihat.20

‫ص َدقَةُ بْ ُن َع ْب ِد اللَّ ِه َع ْن‬


َ ‫ نَ ا‬،َ‫ نَ ا َع ْم ُرو بْ ُن أَبِي َس لَ َمة‬،‫ي‬ ٍّ ‫نَ ا ُم َح َّم ُد بْ ُن َم ْه ِد‬
‫ َع ْن‬،َ‫ َع ْن أَبِي أ َُم َام ة‬, ‫اس ِم‬ ِ ‫ َع ِن الْ َق‬،‫الزبي ِر‬ ٍ
ْ َ ُّ ‫ َع ْن َج ْع َف ِر بْ ِن‬،‫ُع ْتبَ ةَ بْ ِن ُح َم ْي د‬
‫«م ْن َكظَ َم غَْيظًا َو ُه َو َي ْق ِد ُر َعلَى أَ ْن‬ َ :‫ال‬َ َ‫صلَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم ق‬ ِ ِ ‫رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ َُ
( ‫ضا َي ْوَم ال ِْقيَ َام ِة» )مسند الروياين‬ ِّ ُ‫ضيَهُ َمأَل َ اللَّهُ َج ْوفَه‬
َ ‫الر‬ ِ ‫يم‬
ُْ
Muhammad bin Mahdy meriwayatkan kepada kami, dari Amr bin Abu
Salamah, dari Shodaqih bin Abdillah, dari Uthbah bin Humaid, dari Ja’far
bin Zubair, dari Qasim, dari Abu Umamah, meriwayaatkan dari
Rasulullah Saw. dimana beliau bersabda “Barang siapa yang menahan
marah padahal dia mampu untuk melampiaskan marahnya itu namun ia
tidak melampiaskannya maka nanti pada hari kiamat Allah memenuhi
hatinya dengan keridhaan”.
20
Imam Al-Ghazali, Ihya’ Ulumiddin, ((Semarang, CV. Asy-Syifa’, 2009), hal. 539
11

‫يم‬ ِ ِ ِ ‫ َع ِن اأْل َ ْع َم‬،َ‫ َح َّد َثنَا أَبُو ُم َعا ِويَة‬،َ‫َح َّد َثنَا أَبُو بَ ْك ِر بْ ُن أَبِي َش ْيبَة‬
َ ‫ َع ْن إ ْب َراه‬،‫ش‬
‫ص لَّى‬ ِ ُ ‫ال رس‬ َ َ‫ ق‬،‫ َع ْن َع ْب ِد اللَّ ِه‬،‫ث بْ ِن ُس َويْ ٍد‬ ِ ‫ َع ِن الْحا ِر‬،‫الت َّْي ِم ِّي‬
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ َ َ‫ ق‬:‫ال‬ َ
ِ ِ ِ
ْ َ‫ الَّذي اَل ي‬:‫الص َر َعةَ في ُك ْم؟» قَ الُوا‬
ُ‫ص َرعُه‬ ُّ ‫«م ا َتعُ ُّدو َن‬ َ :‫اهللُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم‬
»‫ب‬ ِ‫ض‬ َ َ‫سهُ ِع ْن َد الْغ‬ َ ‫ك َن ْف‬ُ ِ‫ َولَ ِكنَّهُ الَّ ِذي يَ ْمل‬، ‫ «اَل‬:‫ال‬ َ َ‫ال ق‬ُ ‫الر َج‬ ِّ
Abu Bakar bin Abu Syaibah menyampaikan kepada kami dari Abu
Muawiyah, dari al-A’masy, dari Ibrahim at-Taimi, dari al-Harits bin
Suwaid, dari Abdullah bahwa Rasulullah saw. bersabda, “seperti apakah
orang yang kuat menurut kalian?” Para sahabat menjawab, “orang yang
tidak dapat dikalahkan orang lain.” Beliau menjawab, “Tidak. Akan
tetapi, sejatinya orang kuat adalah orang yang mampu mengendalikan
jiwanya ketika sedang marah.” Sunan Abu Dauwud (Dhaif)21

Keterangan:
Kuat dalam hadits ini artinya kuat dalam arti moril, yaitu
kesanggupan untuk melawan hawa nafsunya, mencegah dari berbuat
kejahatan, serta menahan nafsu. Hadits ini mengisyaratkan, bahwa
melawan nafsu itu lebih sukar dari pada mengalahkan musuh.22

‫يد بْ ِن‬ِ ‫ َعن س ِع‬،‫اب‬ ِ


َ ْ ٍ ‫ َع ِن ابْ ِن ش َه‬،‫ك‬ ٌ ِ‫ أَ ْخَب َرنَ ا َمال‬،‫ف‬َ ‫وس‬ ِ
ُ ُ‫َح َّد َثنَا َع ْب ُد اللَّه بْ ُن ي‬
‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه‬ ِ َ ‫َن رس‬
َ ‫ول اللَّه‬
ِ
ُ َ َّ ‫ أ‬،ُ‫ َع ْن أَبِي ُه َرْي َرَة َرض َي اللَّهُ َع ْن ه‬،‫ب‬ ِ ِّ‫س ي‬
َ ‫الم‬ُ
‫س هُ ِع ْن َد‬ ُ ِ‫الش ِدي ُد الَّ ِذي يَ ْمل‬
َ ‫ك َن ْف‬ َّ ‫ إِنَّ َم ا‬،‫الص َر َع ِة‬
ُّ ِ‫الش ِدي ُد ب‬
َّ ‫س‬ َ ‫ «لَْي‬:‫ال‬ َ َ‫َو َسلَّ َم ق‬
ِ‫ض‬
»‫ب‬ َ َ‫الغ‬
Abdullah bin Yusuf menyampaikan kepada kami dari Malik yang
mengabarkan dari Ibnu Shihab, dari dari Sa’id bin Musayyib, dari Abu
Hurairah ra. Bahwa Rasulullah Saw. bersabda: orang kuat bukanlah yang
21
Abu Dawud Sulaima bin al-Asy’ats al-Azdi as-Sijistani, Ensiklopedia Hadits 5; Sunan Abu
Dawud, (Jakarta: Almahira, 2012), hal. 1001
22
Moh. Thalib, Sifat dan Sikap Tercela dalam Islam, cet. 1, hal. 11
12

sering mengalahkan orang lain bergulat, tetapi dia adalah orang yang
mampu mengendalikan diri saat marah”. H.R Bukhari23

Keterangan:
Kesempurnaan kekuatan seorang hamba adalah dengan
mengendalikan pengaruh dari hawa amarah yang bergejolak, maka
sebaik-baik manusia adalah seseorang yang syahwat serta hawa
nafsunya mengikuti syari’at. Kemarahan yang ada pada dirinya dan
pembelaanya diperutukkan kepada kebenaran untuk menipis
kebathilan. Dan seburuk-buruk manusia adalah seseorang yang dikuasai
oleh syahwat da amarahnya.
Barang siapa yang diberi taufik untuk menepis hawa amarah maka
dia telah beruntung dan telah selamat, jika tidak demikian maka
hidupnya tidak akan bersih, dan hatinya tidak akan tentram, dan tidak
akan menanjak menuju kesempurnaan.24
Inilah makna kekuatan yang dicintai oleh Allah Ta’ala yang disebutkan
dalam sabda Rsulullah Saw.

ِ ِ ِ ِ
،‫يس‬َ ‫ َح َّد َثنَا َع ْب ُد اهلل بْ ُن إ ْدر‬: ‫ قَ ااَل‬،‫ َوابْ ُن نُ َم ْي ٍر‬،َ‫َح َّد َثنَا أَبُو بَ ْك ِر بْ ُن أَبي َش ْيبَة‬
‫ َع ْن أَبِي‬،‫ َع ِن اأْل َ ْع َر ِج‬،‫ َع ْن ُم َح َّم ِد بْ ِن يَ ْحيَى بْ ِن َحبَّا َن‬،‫َع ْن َربِ َيع ةَ بْ ِن عُثْ َم ا َن‬
‫ َخ ْي ٌر‬،‫ي‬ُّ ‫ «ال ُْم ْؤِم ُن الْ َق ِو‬:‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم‬ ِ ُ ‫ال رس‬
َ ‫ول اهلل‬ ُ َ َ َ‫ ق‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،َ‫ُه َرْي َرة‬
‫ص َعلَى َم ا‬ ْ ‫اح ِر‬ ْ ‫ َوفي ُك ٍّل َخ ْي ٌر‬،‫يف‬
ِ ِ ‫الض ِع‬ َّ ‫اهلل ِم َن ال ُْم ْؤِم ِن‬
ِ ‫ب إِلَى‬ ُّ ‫َح‬ َ ‫َوأ‬
ِ ِ ْ ‫ و‬،‫ك‬
‫ فَاَل َت ُق ْل لَ ْو أَنِّي‬،ٌ‫ك َش ْيء‬ َ َ‫َص اب‬َ ‫ َوإِ ْن أ‬،‫اس تَع ْن بِاهلل َواَل َت ْع َج ْز‬ َ َ ُ‫َي ْن َفع‬
‫ فَِإ َّن لَ ْو َت ْفتَ ُح َع َم َل‬،‫اء َف َع َل‬ ِ ِ
َ ‫ َولَك ْن قُ ْل قَ َد ُر اهلل َوَما َش‬،‫ْت َكا َن َك َذا َوَك َذا‬ ُ ‫َف َعل‬
ِ َ‫الش ْيط‬
»‫ان‬ َّ

23
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Ensiklopedia Hadits 2; Shahih al-Bukhari
2, (Jakarta: Almahira, 2012)
24
Muhammad bin Ibrahim Al Hamad, Akhlak-akhlak Buruk Fenomena, Sebab terjadinya,
cara mengatasinya, (Pustaka Darul Ilmi, 2007) Cet. 1, Hal. 18
13

Abu Bakr bin Abu Syaibah menyampaikan kepada kami, dari Ibnu
Numair, ia berkata: Abdullah bin Idris menyampaikan kepada kami, dari
Rabi’ah bin ‘Utsman, dari Muhammad bin Yahya bin Habban, dari al-
A’raj, dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu , beliau berkata, Rasûlullâh
Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,  Mukmin yang kuat lebih baik
dan lebih dicintai Allâh Azza wa Jalla daripada Mukmin yang lemah; dan
pada keduanya ada kebaikan. Bersungguh-sungguhlah untuk
mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu dan mintalah pertolongan
kepada Allâh (dalam segala urusanmu) serta janganlah sekali-kali
engkau merasa lemah. Apabila engkau tertimpa musibah, janganlah
engkau berkata, Seandainya aku berbuat demikian, tentu tidak akan
begini dan begitu, tetapi katakanlah, Ini telah ditakdirkan Allâh, dan
Allâh berbuat apa saja yang Dia kehendaki, karena ucapan seandainya
akan membuka (pintu) perbuatan syaitan. (H.R. Muslim)

D. Marah yang Diperbolehkan


Secara umum marah itu merupakan tercela. Tapi ada marah yang
terpuji, yaitu marah karena larangan Allah dilanggar. Itu artinya, marah
karena larangan Allah dilanggar, tidak tercela, bahkan terpuji. Nabi
sendiri pernah marah beberapa kali.25
،‫ َع ْن َس الِ ٍم‬،‫يد‬
ٍ ‫يد ب ِن أَبِي س ِع‬
َ
ِِ ٍ ‫ح َّد َثنَا ُقَتيب ةُ بن س ِع‬
ٌ ‫ َح َّد َثنَا لَْي‬،‫يد‬
ْ ‫ َع ْن َس ع‬،‫ث‬ َ ُ ْ َْ َ
‫ص لَّى‬ ِ َ ‫ت رس‬ ِ ُ ‫ ي ُق‬،‫ت أَب ا ُهرْي رَة‬ ِ َ َ‫ ق‬،‫َّص ِريِّين‬
َ ‫ول اهلل‬ ُ َ ُ ‫ َس م ْع‬:‫ول‬ َ َ َ َ ُ ‫ َس م ْع‬:‫ال‬ َ ْ ‫َم ْولَى الن‬
‫ب‬
ُ ‫ض‬ َ ‫ب َك َم ا َي ْغ‬ ُ ‫ض‬َ ‫ َي ْغ‬،‫ش ٌر‬ َ َ‫«الله َّم إِنَّ َم ا ُم َح َّم ٌد ب‬ُ :‫ول‬ ُ ‫ َي ُق‬،‫اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم‬
‫ أ َْو‬،ُ‫ فَأَيُّ َم ا ُم ْؤِم ٍن آذَ ْيتُ ه‬،‫يه‬ِ ِ‫ت ِع ْن َد َك َع ْه ًدا لَن تُ ْخلِ َفن‬
ْ ُ ‫ َوإِنِّي قَ ِد اتَّ َخ ْذ‬،‫ش ُر‬ َ َ‫الْب‬
»‫ك َي ْوَم ال ِْقيَ َام ِة‬
َ ‫ ُت َق ِّربُهُ بِ َها إِلَْي‬،ً‫ َو ُق ْربَة‬،ً‫اج َعل َْها لَهُ َك َّف َارة‬
ْ َ‫ ف‬،ُ‫ أ َْو َجلَ ْدتُه‬،ُ‫َسبَْبتُه‬
Qutaibah bin Sa’id menyampaikan kepada kami, dari Sa’id bin Abu Sa’id,
dari Salim, berkata: Aku mendengar dari Abu Hurairah, ia berkata: Aku
mendengar Rasulullah Saw. bersabda: “Wahai Allah Sesungguhnya
Muhammad Saw. juga manusia biasa, bisa marah seperti hal nya

25
Musthafa al-‘Adawi, Fiqh Akhlak, (Jakarta: Qisthi Press, 2005), hal. 389
14

manusia lain marah, dan sesungguhnya aku telah mengambil perjanjian


disisi-Mu untuk tidak meninggalkannya. Maka siap saja orang muslim
yang aku caci, atau kutuk atau aku pukul, maka jadikanlah ia sebagai
tebusan, dan pendekatan yang mendekatkan dirinya kepada Mu pada
hari kiamat”. H.R. Muslim

Keterangan:
Hadis tersebut menunjukkan bahwa Rasul sendiri menyatakan dirinya
juga bisa marah seperti orang pada umumnya. Bedanya, marahnya Nabi
Muhammad bukan berdasarkan nafsu, melainkan bentuk ketaatan
kepada Allah Swt.
Adakah yang salah dengan marahnya Nabi Muhammad? Sebagai
manusia biasa, marahnya beliau adalah suatu hal yang bisa dianggap
naluriah.

‫ َع ْن‬،‫اس ِم‬ ِ ‫ َع ِن ال َق‬،‫ي‬ ِّ ‫الزْه ِر‬


ُّ ‫ َع ِن‬،‫يم‬ ِ ِ
ُ ‫ َح َّد َثنَا إ ْب َراه‬،‫ص ْف َوا َن‬ َ ‫س َرةُ بْ ُن‬َ َ‫َح َّد َثنَا ي‬
‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم َوفِي‬َ ‫ َد َخ َل َعلَ َّي النَّبِ ُّي‬:‫ت‬ ْ َ‫ قَال‬،‫ض َي اللَّهُ َع ْن َها‬ِ ‫شةَ ر‬
َ َ ‫َعائ‬
ِ

‫ال‬
َ َ‫ ق‬:‫ت‬ ْ َ‫ َوقَ ال‬،ُ‫الس ْت َر َف َهتَ َك ه‬
ِّ ‫ َفَتلَ َّو َن َو ْج ُه هُ ثُ َّم َتنَ َاو َل‬،‫ص َوٌر‬ ِ ِ ِ ِ ‫البي‬
ُ ‫ت ق َر ٌام فيه‬ َْ
‫ين‬ ِ َّ ِ ِ
َ ‫َّاس َع َذابًا َي ْوَم القيَ َام ة الذ‬ ِ ‫َش ِّد الن‬ َ ‫ «إِ َّن ِم ْن أ‬:‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم‬
َ ‫النَّبِ ُّي‬
ُّ ‫ص ِّوُرو َن َه ِذ ِه‬
»‫الص َوَر‬ َ ُ‫ي‬
Yasarah bin Shafwan menyampaikan kepada kami dari Ibrahim, “Nabi
Saw. pernah mamasuki rumahku, dan di dalamnya terdapat kain tipis
yang bergambar. Wajah beliau pun memerah. Beliau segera mengambil
kain penutup dan menutupinya.” Aisyah berkata, “Nabi Saw. bersabda,
‘Di antara orang yang paling berat siksanya pada Hari Kiamat kelak
adalah orang yang menggambar seperti gambar-gambar ini.’” H.R.
Bukhari26

Keterangan:
26
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Ensiklopedia Hadits 2; Shahih al-Bukhari
2, hal.
15

1. Disyari’atkan dan diperbolehkannya marah karena adanya


pelanggaran terhadap perintah agama.
2. Diharamkannya membuat patung atau menggambar,bahkan jika
gambar tersebut dibuat dengan tujuan untuk hormati dan dianggap
suci.
3. Besarnya upaya Islam menjauhkan umatnya dari kesyirikan dan
pemujaan kepada selain Allah.27
ٍِ ِ ِ ِ
‫س بْ ُن‬ ُ ‫ َح َّد َثنَا َق ْي‬،‫يل بْ ِن أَبي َخال د‬ َ ‫ َع ْن إ ْس َماع‬،‫ َح َّد َثنَا يَ ْحيَى‬،‫س َّد ٌد‬ َ ‫َح َّد َثنَا ُم‬
ِ ‫ود ر‬ ٍ ٍ
ُ‫ص لَّى اهلل‬ َ ‫ أَتَى َر ُج ٌل النَّبِ َّي‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،ُ‫ض َي اللَّهُ َع ْن ه‬ ِ
َ ُ‫ َع ْن أَبي َم ْس ع‬،‫أَبي َح ا ِزم‬
ِ
ِ ٍِ ِ ِ ِ ِ َ ‫َعلَْي ِه َو َس لَّم َف َق‬
ُ ‫َج ِل فُالَن م َّما يُط‬
‫يل‬ ْ ‫ م ْن أ‬،‫ص الَة الغَ َداة‬ َ ‫َّر َع ْن‬ ُ ‫ إنِّي أَل َتَ أَخ‬:‫ال‬ َ
‫ض بًا ِفي‬ َ َ‫َش َّد غ‬َ‫طأ‬ ُّ َ‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّم ق‬
َ
ِ َ ‫ت رس‬
َ ‫ول اللَّه‬ ُ َ ُ ْ‫ فَ َم ا َرأَي‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،‫بِنَ ا‬
ِ َ َ‫ ق‬،‫َم ْو ِعظَ ٍة ِم ْن هُ َي ْوَمئِ ٍذ‬
َ ‫ إِ َّن م ْن ُك ْم ُمَن ِّف ِر‬،‫َّاس‬
‫ فَ أَيُّ ُك ْم‬،‫ين‬ ُ ‫ «يَا أ َُّي َه ا الن‬:‫ال‬ َ ‫ َف َق‬:‫ال‬
»‫اج ِة‬
َ ‫الح‬ َ ‫يض َوال َكبِ َير َوذَا‬ َ ‫الم ِر‬
ِ ِ ‫صلَّى بِالن‬
َ ‫ فَِإ َّن في ِه ُم‬،‫َّاس َفلْيَتَ َج َّوْز‬ َ ‫َما‬
Musaddad menyampaikan kepada kami dari Yahya, dari Ismail bin Abu
Khalid, dari Qais bin Abu Hazim bahwa Abu Mas’ud berkata, “Seorang
lelaki mendatangi Nabi Saw., lalu berkata, ‘Tadi pagi, aku tidak ikut
shalat Subuh berjamaah gara-gara si fulan mengimami kami dengan
bacaan yang panjang.’” Dia melanjutkan, “Sebelumnya aku tidak pernah
melihat Rasulullah Saw. semarah itu ketika menasehati seseorang.
Beliau bersabda, ‘Wahai manusia, sungguh, di antara kalian terdapat
golongan yang membuat orang-orang semakin menjauh. Siapa saja di
antara kalian yang mengimami shalat, hendaklah dia meringankannya.
Sebab, di antara para jamaah terdapat orang sakit. Orang yang sudah
tua, dan orang yang memiliki kepentingan.’” H.R. Bukhari28

Keterangan:
27
Ahmad Muhammad Yunus, Ensiklopedia Tematis ayat al-Qur’an dan Hadits, (Jakarta:
Widya Cahaya, 2009) hal. 381
28
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Ensiklopedia Hadits 2; Shahih al-Bukhari
2, hal.
16

1. Disyari’atkan untuk marah dalam urusan agama dan diperbolehkan


melakukan pengaduan terhadap suati masalah yang menyusahkan
masyarakat.
2. Disyariatkan melakukan shalat yang ringan dalam shalat berjama’ah.
3. Tidak boleh melakukan perbuatan yang menyebabkan enggan untuk
melakukan ibadah.
4. Diantara aspek imamah ialah memperhatikan kondisi jama’ah.29

ِ َ‫ َع ْن أَن‬،‫ َع ْن ُح َم ْي ٍد‬،‫يل بْ ُن َج ْع َف ٍر‬


‫س بْ ِن‬ ِ ِ
ُ ‫ َح َّد َثنَا إ ْس َماع‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،ُ‫َح َّد َثنَا ُقَت ْيبَ ة‬
‫ك‬َ ِ‫ش َّق ذَل‬ َ َ‫ ف‬،‫الق ْبلَ ِة‬
ِ ‫َن النَّبِ َّي ص لَّى اهلل َعلَي ِه وس لَّم رأَى نُ َخام ةً فِي‬
َ َ َ ََ ْ ُ َ َّ ‫ أ‬،‫ك‬ ٍ ِ‫مال‬
َ
‫ام فِي‬ َ ‫ َف َق‬،‫ام فَ َح َّكهُ بِيَ ِد ِه‬ ِ ِ ِ ِ
َ َ‫َح َد ُك ْم إِذَا ق‬َ ‫ "إِ َّن أ‬:‫ال‬ َ ‫ َف َق‬،‫َعلَْيه َحتَّى ُرئ َي في َو ْج ِهه‬
‫َح ُد ُك ْم قِبَ َل‬ ِ ِ ِ ِِ
َ ‫ فَاَل َي ْب ُزقَ َّن أ‬،‫ أ َْو إِ َّن َربَّهُ َب ْينَهُ َوَب ْي َن الق ْبلَة‬،ُ‫صالته فَِإنَّهُ ُينَاجي َربَّه‬ َ
ِ ِ‫ َفبص َق ف‬،‫ف ِر َدائِ ِه‬
‫يه‬ ََ َ ‫ت قَ َد َم ْي ِه" ثُ َّم أ‬
َ ‫َخ َذ طَ َر‬ َ ‫س ا ِرِه أ َْو تَ ْح‬ ِ ِِ ِ
َ َ‫ َولَك ْن َع ْن ي‬،‫ق ْبلَت ه‬
."‫ "أ َْو َي ْف َع ُل َه َك َذا‬:‫ال‬ َ ‫ َف َق‬،‫ض‬ ٍ ‫ضهُ َعلَى َب ْع‬ َ ‫ثُ َّم َر َّد َب ْع‬
Qutaibah menyampaikan kepada kami dari Ismail bin Ja’far, dari
Humaid, dari Anas bin Mali ra., ia berkata: Nabi Saw. melihat dahak di
arah kiblat.melihat itu beliau tidak senang, sehingga wajahnya berubah,
lalu berdiri dan dibuang dengan tangannya, seraya bersabda: “Apabila
salah seorang di antara kalian mengerjakan shalat, berarti dia sedang
berbisik dengan Tuhannya. Sedang Tuhan berada di antara ia dan kiblat.
Oleh karena itu, jangan meludah ke arah kiblat, tetapi meludahlah ke
arah kiri atau ke bawah kaki.” Kemudian beliau mengambil ujung
sorbannya dan meludah di situ serta melipat-lipatnya seraya bersabda:
“Atau lakukanlah seperti ini!”30

Keterangan:

29
Ahmad Muhammad Yunus, Ensiklopedia Tematis ayat al-Qur’an dan Hadits, hal. 381
30
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Ensiklopedia Hadits 2; Shahih al-Bukhari
2, hal.
17

1. Disyari’atkan untuk marah dalam urusan agama dan diperbolehkan


melakukan pengaduan terhadap suati masalah yang menyusahkan
masyarakat
2. Seseorang boleh berludah di pakaian yang dipergunakan untuk
shalat, jika memang terpaksa.
3. Keharusan menghormati arah kiblat dengan tidak boleh
meludahinya.
4. Menjaga perasaan orang lain adalah termasuk akhlaqul karimah.31

ِ ‫ َعن َع ْب ِد اللَّ ِه ر‬،‫ َعن نَافِ ٍع‬،ُ‫ ح َّد َثنَا جويْ ِري ة‬،‫اعيل‬ ِ
‫ض َي‬ َ ْ ْ َ َُ َ َ ‫وس ى بْ ُن إِ ْس َم‬ َ ‫َح َّد َثنَا ُم‬
‫ َرأَى فِي قِ ْبلَ ِة‬،‫ص لِّي‬ ِ
َ ُ‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ه َو َس لَّ َم ي‬ َ ‫ َب ْينَ ا النَّبِ ُّي‬:‫ال‬ َ َ‫ ق‬،ُ‫اللَّهُ َع ْن ه‬
‫َح َد ُك ْم إِذَا َك ا َن فِي‬َ ‫ «إِ َّن أ‬:‫ال‬ َ َ‫ ثُ َّم ق‬،‫ظ‬َ َّ‫ َفَتغَي‬،‫ فَ َح َّك َه ا بِيَ ِد ِه‬،ً‫الم ْس ِج ِد نُ َخ َام ة‬َ
»‫الصالَ ِة‬
َّ ‫ال َو ْج ِه ِه ِفي‬ َ َ‫َّم َّن ِحي‬ ِ
َ ‫ فَالَ َيَتنَخ‬،‫ال َو ْج ِهه‬ َ َ‫ فَِإ َّن اللَّهَ ِحي‬،‫الصالَ ِة‬
َّ
Musa bin Ismail menyampaikan kepada kami dari Juwairiyah, dari Nafi’
bahwa Abdullah bin Umar berkata, “Saat Nabi Saw. hendak shalat,beliau
melihat ada dahak di arah kiblat masjid. Lalu, beliau membersihkannya
sendiri dengan tangan. Beliau marah, kemudian berkata, ‘Sungguh, jika
seorang dari kalian shalat, maka Allah berada di hadapannya. Untuk itu,
janganlah seseorang berdahak ke arah depannya dalam shalat (H.R.
Bukhari).32

Keteranga:
1. Kewajiban untuk menyuruh kepada kebaikan, melarang kemungkara
dan menghilangkannya dengan tangan (tangan) jika memang
dimungkinkan
2. Masjid adalah tempat suci sehingga tidak boleh dikotori.
3. Pentingnya kebersihan terutama di tempat-tempat ibadah33

31
Ahmad Muhammad Yunus, Ensiklopedia Tematis ayat al-Qur’an dan Hadits, hal. 383
32
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Ensiklopedia Hadits 2; Shahih al-Bukhari
2, hal.
33
Ahmad Muhammad Yunus, Ensiklopedia Tematis ayat al-Qur’an dan Hadits, hal. 383.
18

‫ أَ ْخَب َرنَ ا َربِ َيع ةُ بْ ُن أَبِي َع ْب ِد‬،‫يل بْ ُن َج ْع َف ٍر‬ ِ ِ


ُ ‫ َح َّد َثنَا إ ْس َماع‬،‫َح َّد َثنَا ُم َح َّم ٌد‬
َّ ‫ أ‬:‫الج َهنِ ِّي‬ ٍ ِ ِ ِ ِ ‫ َعن ي ِزي َد م ولَى‬،‫ال َّر ْحم ِن‬
‫َن َر ُجاًل‬ ُ ‫ َع ْن َزيْ د بْ ِن َخال د‬،‫الم ْنبَعث‬ ُ َْ َْ َ
:‫ال‬ َ ‫ َف َق‬،‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّ َم َع ْن اللُّ َقطَ ِة‬ ِ َ ‫] رس‬28:‫س أ ََل [ص‬
َ ‫ول اللَّه‬ َُ َ
ِ ِ ْ ‫ ثُ َّم‬،‫اص َها‬ ِ
َ ‫ فَِإ ْن َج‬،‫اس َت ْنف ْق ب َه ا‬
‫اء َرُّب َه ا‬ َ ‫ف ِوَك‬
َ ‫اء َه ا َوع َف‬ ْ ‫ ثُ َّم ا ْع ِر‬،ً‫«ع ِّر ْف َه ا َس نَة‬
َ
‫ك‬َ َ‫ فَِإنَّ َما ِه َي ل‬،‫«خ ْذ َها‬
ُ :‫ال‬ َ َ‫ضالَّةُ الغَنَ ِم؟ ق‬َ َ‫ ف‬،‫ول اللَّ ِه‬َ ‫ يَا َر ُس‬:‫ال‬ َ َ‫ِّها إِلَْي ِه» ق‬
َ ‫فَأَد‬
‫ب‬ ِ َ َ‫ض الَّةُ ا ِإلبِ ِل؟ ق‬ َ َ‫ ف‬،‫ول اللَّ ِه‬ ِ ْ‫ك أ َْو لِل ِّذئ‬ ِ ‫أَو أِل‬
َ ‫ َفغَض‬:‫ال‬ َ ‫ يَ ا َر ُس‬:‫ال‬َ َ‫ب» ق‬ َ ‫َخي‬ ْ
ِ ِ ُ ‫رس‬
- ُ‫اح َم َّر َو ْج ُه ه‬ ْ ‫ أَ ِو‬- ُ‫ت َو ْجنَتَاه‬ ْ ‫صلَّى اهللُ َعلَْيه َو َسلَّ َم َحتَّى‬
ْ ‫اح َم َّر‬ َ ‫ول اللَّه‬ َُ
»‫اها َرُّب َها‬ ِ ِ
َ ‫ َحتَّى َي ْل َق‬،‫ َم َع َها ح َذا ُؤ َها َوس َقا ُؤ َها‬،‫ك َولَ َها‬ َ َ‫«ما ل‬َ :‫ال‬ َ َ‫ثُ َّم ق‬
Muhammad menyampaikan kepada kami dari Ismail bin Ja’far, dari
Rabi’ah bin Abu Abdurrahman, dari Yazid maula al-Munba’its, dari Zaid
bin Khalid al-Juhani bahwa seorang bartanya kepada Rasulullah Saw.
tentang berang temuan. Lalu beliau bersabda, “Umumkanlah barang
temuan tersebut selama setahun, lalu kenalilah tali dan penutup barang
itu. Peliharalah barang temuan itu dan jika pemilik aslinya datang, maka
berikanlah kepadanya.” Dia kembali bertanya, “Wahai Rasulullah,
bagaimana hukum kambing yang hilang?” beliau menjawab, “Ambillah
karena itu milikmu, milik saudaramu atau milik serigala.” Dia bertanya
lagi, “bagaimana hukum unta yang hilang?” perawi berkata, “Rasulullah
Saw. marah hingga kedua pipi – atau wajah – beliau memerah. Beliau
pun bersabda, ‘Apa hakmu atas unta itu, padahal ia punya alas kaki dan
persediaan air sampai pemiliknya bisa menemukannya.” (H.R. Bukhari) 34

Keterangan:
Dari hadits-hadits diatas dapat dikatakan bahwa Rasulullahpun
pernah marah. Akan tetapi marah yang dilakukan tidaklah membalas
dengan hukuman untuk (membela) dirinya, tetapi beliau membalas
34
Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari, Ensiklopedia Hadits 2; Shahih al-Bukhari
2.
19

dengan hukuman jika perkara-perkara yang diharamkan Allah dilanggar.


Demikian juga beliau tidak pernah memukul pembantu atau seseorang,
kecuali jika berjihad di jalan Allah.
،َ‫ش ة‬ َ ِ‫ َع ْن َعائ‬،‫ َع ْن أَبِي ِه‬،‫ش ٍام‬ َ ‫ َع ْن ِه‬،َ‫ُس َامة‬َ ‫ َح َّد َثنَا أَبُ و أ‬،‫ب‬ٍ ْ‫َح َّد َثنَاهُ أَبُ و ُك َري‬
‫ َواَل‬،‫ط بِيَ ِد ِه‬
ُّ َ‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه َو َس لَّم َش ْيئًا ق‬
َ
ِ ُ ‫ض رب رس‬
َ ‫ول اهلل‬ ُ َ َ َ َ ‫«م ا‬ َ :‫ت‬ ْ َ‫قَ ال‬
،‫ط‬ ُّ َ‫ َوَم ا نِي ل ِم ْن هُ َش يءٌ ق‬،‫اهلل‬ ِ ‫يل‬ ِ ‫ إِاَّل أَ ْن يج‬،‫ادمًا‬
ِ ِ‫اه َد فِي َس ب‬ َُ
ِ ‫ واَل َخ‬،‫ام رأَ ًة‬
َ َْ
ْ َ
ِ ‫ك َش يء ِمن مح ا ِرِم‬
‫ َفَي ْنتَ ِق َم لِلَّ ِه َع َّز‬،‫اهلل‬ ِ ِ ‫َفي ْنتَ ِقم ِمن‬
َ َ ْ ٌ ْ َ ‫ إِاَّل أَ ْن ُي ْنَت َه‬،‫ص احبِه‬ َ ْ َ َ
»‫َو َج َّل‬
Abu Kuraib menyampaikan kepada kami, dari Abu Usamah, dari Hisyam,
dari bapaknya, dari ‘Aisyah Radhiyallahu ‘anha, dia berkata,“Rasulullah
Shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah sama sekali memukul sesuatu
dengan tangannya, juga tidak pernah memukul wanita (istri), dan tidak
pernah memukul seorang pembantu. Beliau memukul jika berjihad di
jalan Allah. Dan tidaklah beliau disakiti dengan sesuatu sama sekali, lalu
beliau membalas terhadap pelakunya. Kecuali jika ada sesuatu di antara
perkara-perkara yang diharamkan Allah dilanggar, maka beliau akan
membalas dengan hukuman karena Allah ‘Azza Wa Jalla.”

E. Hukum Memutuskan Perkara dalam Keadaan Marah

ُ ‫ َس ِم ْع‬،‫ك بْ ُن ُع َم ْي ٍر‬ ِ ِ‫ ح َّد َثنَا َع ْب ُد المل‬،ُ‫ ح َّد َثنَا ُش ْعبة‬،‫آدم‬


‫ت َع ْب َد‬ َ َ َ َ ُ َ ‫َح َّد َثنَا‬
‫ بِ أَ ْن‬،‫ َوَك ا َن بِ ِس ِج ْس تَا َن‬،‫ب أَبُو بَ ْك َرَة إِلَى ابْنِ ِه‬ َ َ‫ َكت‬:‫ال‬َ َ‫ ق‬،‫الر ْح َم ِن بْ َن أَبِي بَ ْك َرَة‬ َّ
‫ص لَّى اهللُ َعلَْي ِه‬ َ ‫ت النَّبِ َّي‬ُ ‫ فَ ِإنِّي َس ِم ْع‬،‫ض بَا ُن‬ ْ َ‫ت غ‬ َ ْ‫ض َي َب ْي َن ا ْثَن ْي ِن َوأَن‬ ِ ‫الَ َت ْق‬

ْ َ‫ضيَ َّن َح َك ٌم َب ْي َن ا ْثَن ْي ِن َو ُه َو غ‬


»‫ضبَا ُن‬ ِ ‫ «الَ ي ْق‬:‫ول‬ ُ ‫َو َسلَّ َم َي ُق‬
َ
Adam menyampaikan kepada kami, dari Syu’bah, dari ‘Abdul Malik bin
‘Umair, dari Abdurrahman bin Abu Bakrah, ia berkata: Abu Bakrah
menulis surat untuk anaknya yang ketika itu berada di Sijistan yang
isinya: Jangan engkau mengadili diantara dua orang ketika engkau
20

marah, sebab aku mendengar Rasulullah Saw. bersabda Seorang hakim


tidak boleh memutuskan perkara di antara dua orang dalam keadaan
marah.” H.R. Bukhari
Keterangan:
Lebih jelasnya, dalam hadits Salman bersama Hudzaifah berikut ini: Abu
Daud meriwayatkan dari Amru bin Abi Qurrah, “Hudzaifah sedang
berada di Madinah. Ia menyampaikan hal-hal yang pernah disampaikan
oleh Rasulullah ketika beliau dalam keadaan marah. Kontan, orang-
orang yang mendengarnya kabur meninggalkannya dan menemui
Salman. Mereka menceritakan apa yang dikatakan Hudzaifah itu dan
sikapnya ketika itu. Kata Salman, ‘Hudzaifah lebih tahu apa yang ia
katakan.’
Orang-orang pun kembali kepada Hudzaifah dan berkata, ‘Yang
engkau sampaikan itu telah kami ceitakan kepada Salman, dan ia tidak
membenarkanmu dan tidak pula menyalahkanmu.’ Maka Hudzaifah pun
menemui Salman yang sedang di kebun sayuran. Katanya, “Wahai
Salman, apa alasanmu tidak membenarkan apa yng aku dengar dari
Rasulullah?’ Jawab Salman, ‘Jika Rasulullah marah, maka beliau akan
berkata kepada kaumnya dengan marah, dan jika hatinya sedang
senang, maka beliau akan berkata kepada kaumnya dengan hati yang
senang. Berhentilah mengatkana itu, hingga engkau bisa menyampaikan
kepada orang lain akan kesenangan orang lain, dan bisa menyampaikan
kemarahan orang lain kepada orang lain. Atau memang engkau
menginginkan perbedaan dan perpecahan?
Aku pernah mendengar Rasulullah berkhutbah, ‘Siapapun dari
umatku yang aku matki atau kutuk ketika aku marah, maka (maklumilah
bahwa) aku adalah anak Adam yang bisa marah seperti mereka. Pada
hakikatnya aku diutus sebagai rahmat bagi alam semesta. Semoga Allah
menjadikan (makian dan kutukanku) itu sebagai rahmat bagi mereka di
hari Kiamat.’ Sungguh, engkau berhenti melakukan itu atau aku akan
melaporkanmu kepada Umar?”35

35
Musthafa al-‘Adawi, Fiqh Akhlak, hal. 391-392
21
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan

1. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, marah adalah merasa (rasa


hati) sangat tidak senang karena dihina, diperlakukan tidak
sepantasnya. Dalam bahasa Arab kata marah disebut ‫ غضب‬yang
berarti marah atau yang lekas marah. Dalam kamus al-Munawwir,
kata ‫ غضب‬diartikan sebagai kemarahan.26 Sedangkan dalam kitab

Al-‘Ain, ‫ غضب‬memiliki pengertian pemarah.


2. Cara-cara pencegahan marah diterangkan dalam hadis-hadis
Rasulullah Saw. pemakaiannya tergantung kepada keadaan
marahnya. Jika penyebab kemarahan itu besar atau hebat maka
cara pencegahannya lebih tepat wudhu atau mandi. Dan jika
penyebabnya kecil atau ringan, maka bisa diambil cara yang ringan
pula, dan cara yang paling ringan adalah mengucapkan “a’udzu
billah”.
3. Dari hadits-hadits yang telah dipaparkan, dapat dikatakan bahwa
Rasulullahpun pernah marah. Akan tetapi marah yang dilakukan
tidaklah membalas dengan hukuman untuk (membela) dirinya,
tetapi beliau membalas dengan hukuman jika perkara-perkara
yang diharamkan Allah dilanggar. Demikian juga beliau tidak
pernah memukul pembantu atau seseorang, kecuali jika berjihad
di jalan Allah.

1
2
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad Syekh. Empat Pulug Dua Mutiara Hadits. Bandung: Trigenda


Karya. 1994.

Al-‘Adawi Musthafa. Fiqh Akhlak. Jakarta: Qisthi Press. 2005.

Abu Abdullah Muhammad bin Ismail al-Bukhari. Ensiklopedia Hadits 2;


Shahih al-Bukhari 2. Jakarta: Almahira. 2012.

Abu Dawud Sulaima bin al-Asy’ats al-Azdi as-Sijistani. Ensiklopedia


Hadits 5; Sunan Abu Dawud. Jakarta: Almahira. 2012.

Al-‘Utsmani Syaikh Muhammad bin Shalih. Syarah Hadits Arba’in.


Jakarta: Pustaka Ibnu Katsir. 2012. Cet. 5.

Ali Syekh Mansur. Mahkota Pokok-Pokok Hadits Rasulullah Saw..


Bandung: Sinar Baru Algensindo. Jilid 4.

Tatapangsara Humaidi. Akhlaq yang Mulia. Surabaya: PT Bina Ilmu.

Ibrahim Mahyuddin. 180 Sifat Tercela dan Terpuji. Jakarta: Restu


Agung. 1996. Cet. 4

Muhammad bin Ibrahim Al Hamad. Akhlak-akhlak Buruk Fenomena,


Sebab terjadinya, cara mengatasinya. Pustaka Darul Ilmi. 2007.
Cet. 1.

Hijaazi Syekh Ahmad. Empat puluh dua Mutiara Hadits. Bandung:


Trigenda Karya, 1994.

Thalib Moh., Sifat dan Sikap Tercela dalam Islam. Surabaya: PT Bina
Ilmu. 1983. cet. 1.

Yunus Ahmad Muhammad. Ensiklopedia Tematis ayat al-Qur’an dan


Hadits. Jakarta: Widya Cahaya 2009

Anda mungkin juga menyukai