Anda di halaman 1dari 20

Efek samping yang perlu diwaspadai saat memberikan bupivacaine adalah efek kardiovaskular dan

sistem saraf pusat. Bupivacaine memiliki interaksi dengan obat vasokonstriktor, propranolol,
penghambat neuromuskular, dan obat-obat lain.

Efek Samping

Bupivacaine menimbulkan efek samping sistemik yang lebih sering dibandingkan obat anestesi lokal
lainnya, seperti lidocaine. Munculnya efek samping ini biasanya karena peningkatan konsentrasi obat di
plasma yang disebabkan oleh dosis yang terlalu tinggi, absorpsi yang terlalu cepat, pemberian berulang,
penurunan fungsi hepar, adanya kondisi asidosis yang menyebabkan penurunan ikatan obat dengan
protein, jumlah protein yang berkurang, adanya kompetisi dengan obat lain, adanya obat yang masuk ke
intravaskular, atau metabolisme yang terlalu lambat. Efek samping ini lebih sering ditemukan pada
pasien neonatus, pasien yang mengalami asidosis atau penyakit sistemik, dan adanya obat lain yang
berinteraksi dengan bupivacaine.

Efek toksik terhadap sistem saraf dan jantung merupakan efek samping yang paling sering
membahayakan saat menggunakan bupivacaine sehingga pengawasan terhadap kedua sistem ini saat
pemberian bupivacaine diperlukan. Efek pada sistem saraf lebih sering ditemukan pada konsentrasi obat
yang lebih rendah dibandingkan dengan efek samping terhadap jantung. Efek samping pada sistem
pernapasan juga perlu diperhatikan jika pasien diberikan obat preanestesi, analgesik atau sedatif
intraoperasi, dan manipulasi saat pembedahan.

Kardiovaskular

Efek samping kardiovaskular yang bisa muncul adalah hipotensi, bradikardia, hipertensi, henti jantung,
aritmia jantung, penurunan curah jantung, blok jantung, takikardia ventrikel, fibrilasi ventrikel, depresi
miokardium, dan kolaps kardiovaskular.

Sistem Saraf

Efek samping sistem saraf pusat yang bisa terjadi antara lain parestesia, nyeri kepala pasca injeksi
duramater, pusing, paresis, distesia, kejang, parestesia sirkumoral, penurunan kesadaran, tremor,
disartria, paraplegia, paralisis, neuropati, araknoiditis, cedera nervus perifer, blok spinal total secara
tidak disengaja, kehilangan kontrol sfingter, meningismus, palsi nervus kranial, sinkop, blok spinal total,
bicara terbata-bata, hematoma spinal, dan disgeusia.[1,2,10,11]

Efek Samping Lain

Efek samping lain yang perlu diperhatikan adalah methemoglobinemia. Pasien yang mengalami
methemoglobinemia akan menunjukkan tanda dan gejala berupa perubahan warna kulit menjadi
sianosis, nyeri kepala, takikardia, sesak napas, dan pusing. Kondisi ini dapat terjadi seketika pasca
pemberian atau sampai beberapa jam setelahnya. Langkah awal yang dapat dilakukan adalah
menghentikan pemberian dan memberikan terapi suportif, seperti terapi oksigen dan hidrasi. Beberapa
pasien dapat membutuhkan penanganan lebih lanjut seperti terapi dengan metilen biru, transfusi tukar,
atau oksigen hiperbarik.[10]

Beberapa obat anestesi dapat menimbulkan hipertermia maligna, namun kejadiannya pada bupivacaine
belum diketahui secara pasti. Awalnya, pasien akan mengalami takikardia, takipnea, penurunan dan
peningkatan tekanan darah, serta asidosis metabolik. Jika hal ini terjadi, maka pasien akan jatuh ke
kondisi hipertermia. Penanganan pertama untuk kasus ini adalah pemberian oksigen, terapi suportif,
dan pemberian dantrolen.[10,11]

Efek samping selengkapnya dilampirkan pada Tabel 1.[18]

Tabel 1. Efek Samping Bupivacaine

Sistem Organ Efek Samping

Kardiovaskular Hipotensi, bradikardi (>10%); hipertensi (1–10%); henti jantung, aritmia jantung (<0.1%);
penurunan curah jantung, blok jantung, takikardi ventrikel, fibrilasi ventrikel, depresi miokardium,
kolaps kardiovaskular

Sistem saraf pusat Parestesia, nyeri kepala pasca injeksi duramater, pusing (1–10%); paresis,
distesia, kejang, parestesia sirkumoral, penurunan kesadaran, tremor, disartria (0,1–1%); paraplegia,
paralisis, neuropati, araknoiditis, cedera nervus perifer, blok spinal total secara tidak disengaja (<0,1%);
kehilangan kontrol sfingter, meningismus, palsi nervus kranial, sinkop, blok spinal total, bicara terbata-
bata, hematoma spinal, disgeusia
GastrointestinalMual (>10%); muntah (1–10%); inkontinensia feses, kesulitan menelan, rasa baal pada
lidah

Lokal Anestesia persisten, edema

Geniotourinari Retensi urin, inkontinensia urin (1–10%); kehilangan sensasi di perineal, kehilangan
fungsi seksual

Respirasi Depresi napas (<0,1%); henti napas (terutama pada pemberian di area leher), edema
laring, bersin, paralisis respiratori, hipoksia, hiperkarbia

Sistem Indra Hiperakusis, tinitus, gangguan penglihatan (0,1–1%); diplopia (<0,1%); pandangan
buram, konstriksi pupil

Sistem Imun Reaksi alergi, syok anafilaksis (<0,1%)

PsikiatriCepat lelah, ansietas, depresi, agitasi, euforia, kebingungan

Hematologi Methemoglobinemia

Hepar Gangguan fungsi hari (peningkatan SGOT dan SGPT)

Kulit

Urtikaria, pruritus, eritema, angioedema, keringat berlebih, lesi kutan

Muskuloskeletal Kelemahan pada otot, nyeri punggung, kejang otot (0,1–1%); nyeri sendi, kaku,
penurunan atau kehilangan range oof motion, kondrolisis (terutama saat pemberian anestesi melalui
infus kontinyu intraartikular)

Interaksi Obat

Bupivacaine dapat berinteraksi dengan berbagai obat sehingga meningkatkan risiko efek samping.

Penggunaan bupivacaine dengan hyaluronidase dapat meningkatkan risiko kejadian reaksi sistemik
anestesi. Penggunaan dengan verapamil meningkatkan risiko blok jantung.

Bupivacaine dapat meningkatkan efek hipnotik propofol. Penggunaan bersama dengan ropivacaine
dapat meningkatkan efek intratekal. Penggunaan bersamaan dengan propranolol meningkatkan efek
toksik.
Risiko bradikardia, hipotensi, dan penurunan kesadaran meningkat jika bupivacaine digunakan bersama
dengan Angiotensin Converting Enzyme Inhibitor (ACEI) seperti captopril.

Pemberian bupivacaine dengan cisatracurium dan rapacuronium meningkatkan efek blok


neuromuskular.[1,2,10,11]

Tabel 2.

Selain interaksi dengan obat di atas, sediaan bupivacaine terkadang juga disertai dengan epinefrin,
sehingga interaksi antara epinefrin dengan obat lain juga perlu diperhatikan. Tidak ada interaksi antara
bupivacaine dengan makanan, etanol, atau pemeriksaan laboratorium.[1,2,10,11]

Tetracaine

Tetracaine hidroklorida (Tetrakain) merupakan obat anestesi topikal kerja cepat dengan durasi pendek
yang digunakan untuk mata.[1]

Nama kimia : C15H24N2O2.HCl / asam benzoat, 4-(butilamino)-,2-(dimetilamino)etil ester,


monohidroklorida.[2]

Tetes mata tetracaine hidroklorida diberikan pada mata sebelum menjalani prosedur yang
membutuhkan anestesi kerja cepat dengan durasi yang pendek seperti tonometri, gonioskopi, ekstraksi
benda asing di kornea, pemulasan konjungtiva, pelepasan jahitan dari kornea atau konjungtiva, operasi
katarak, pterigium, strabismus dan lain-lain.[3]

Bentuk sediaan yang tersedia di Indonesia berupa obat tetes mata tetracaine hidroklorida dengan
konsentrasi 0,5% dalam botol 5 ml.[4]

Efek terapi tetracaine adalah sebagai berikut, tetes mata tetracaine hidroklorida 0,5% bekerja dengan
menurunkan permeabilitas membran saraf sehingga menurunkan proses pertukaran natrium, kalium
dan ion lain, akibatnya potensial aksi tidak terbentuk dan konduksi impuls saraf tidak terjadi. Efek
anestesi biasanya dimulai 10-20 detik setelah pemberian dan bertahan hingga 10-20 menit (rata-rata 15
menit).
Dosis pada umumnya adalah 1-2 tetes pada mata yang akan dilakukan prosedur. Untuk memperpanjang
durasi anestesi, pemberian obat dapat diulang tiap 5 sampai 10 menit sekali, paling banyak 5 dosis.
Pada 30 detik pertama setelah pemberian obat pada umumnya akan timbul efek seperti sensasi
tersengat, terbakar, nyeri, dan mata berair yang akan berkurang dengan sendirinya dan diikuti dengan
rasa baal pada mata. Pemberian tetes mata tetracaine hidroklorida 0,5% hanya boleh dilakukan oleh
dokter sebelum melakukan prosedur.

Penggunaan jangka panjang dan dosis yang berlebihan dapat meningkatkan risiko toksisitas pada kornea
berupa penipisan kornea, ulserasi hingga kekeruhan kornea yang berakibat pada kebutaan. Selain itu
risiko timbulnya efek samping sistemik seperti bradikardi, sesak, ansietas, kejang, dan lain-lain juga
meningkat.[1-3]

Kontraindikasi

Bupivacaine dikontraindikasikan pada pasien dengan riwayat hipersensitivitas terhadap anestesi lokal
jenis amida dan hipersensitivitas terhadap metilparaben. Bupivacaine dengan sediaan konsentrasi 0,75%
dikontraindikasikan untuk digunakan sebagai anestesi saat persalinan.[10,11]

Kontraindikasi bupivacaine juga berlaku pada pasien yang dikontraindikasikan untuk menerima anestesi
spinal dan epidural, misalnya karena infeksi atau peradangan di lokasi injeksi, bakteremia, abnormalitas
trombosit, trombositopenia, peningkatan waktu perdarahan, koagulopati yang tidak terkontrol,
pendarahan hebat, hipotensi berat, aritmia jantung, sepsis, atau dalam terapi antikoagulan.[10,11]

Peringatan

Pemberian bupivacaine perlu peringatan pada pasien dengan gangguan jantung, gangguan ginjal,
gangguan hepar, gangguan hematologi, anak, dan geriatri

Teknik Pemberian Bupivacaine


Sama seperti pemberian anestesi lokal lainnya, pemberian bupivacaine hanya dapat dilakukan oleh
tenaga terlatih. Pada saat pemberian, alat-alat medis untuk mengobati efek toksik dari obat harus
tersedia.[10,11,17]

Bupivacaine hanya digunakan untuk anestesi lokal. Pemberian dalam bentuk intravena dan intratekal
harus dihindari. Pemberian secara intravena yang tidak disengaja dapat menyebabkan terjadinya henti
jantung dan kejang, terutama pada penggunaan obat dengan konsentrasi 0,75%. Untuk meminimalisir
kejadian ini, maka aspirasi harus selalu dilakukan sebelum dan sesudah penyuntikan. Tidak adanya darah
pada spuit tidak menghilangkan total kemungkinan terjadinya obat masuk ke intravena secara tidak
sengaja, namun tindakan ini dapat meminimalisir kemungkinan tersebut.[11]

Penggunaan bupivacaine pada daerah akhir arteri perlu diperhatikan, terutama pada pasien yang
memiliki riwayat hipertensi atau pasien yang diberikan obat vasokonstriktor karena dapat meningkatkan
risiko cedera iskemik atau bahkan menimbulkan nekrosis.[10,11,17]

Pemberian Bupivacaine pada Regio Kepala dan Leher

Penggunaan bupivacaine pada regio kepala dan leher, termasuk retrobulbar, ganglion stelata, dan
anestesi pada gigi, meningkatkan risiko efek samping pada sistem saraf karena memiliki risiko masuknya
obat melalui intrarterial ke sirkulasi serebral. Oleh karena itu, pemantauan sistem ventilasi dan sirkulasi
perlu dilakukan.

Saat akan melakukan pembedahan di bagian mata, injeksi retrobulbar dapat digunakan. Akan tetapi,
penilaian kerja anestesi tidak dapat dilakukan dengan menanyakan ada atau tidaknya sensasi di kornea
kepada pasien karena sensasi ini timbul sebelum terjadinya akinesia pada otot muskular.[10,11,17]

Pemberian Bupivacaine pada Sendi

Pemberian anestesi lokal, termasuk bupivacaine, dalam bentuk infus kontinyu di intraartikular
menggunakan pompa elastomerik pasca pembedahan tidak direkomendasikan. Jika membutuhkan
anestesi lokal pada sendi, pemberian injeksi tunggal lebih disarankan karena risiko terjadinya kondrolisis
lebih kecil. Jika pasien sangat membutuhkan anestesi yang kontinyu, tanda dan gejala kondrolisis perlu
dipantau, seperti nyeri sendi, kaku, dan penurunan range of motion.[10,11,17]

Pasien dengan Gangguan Jantung

Pasien dengan gangguan jantung, terutama pasien dengan blok atrioventrikular, atau pasien yang
berisiko untuk mengalami gangguan jantung, seperti pasien yang sedang hipotensi, hipovolemi,
dehidrasi, atau syok, perlu dipantau fungsi jantungnya selama pemberian bupivacaine karena efek toksik
pada jantung akan lebih sulit ditoleransi pada kelompok pasien ini.[10,11,17]

Pasien Anak

Bupivacaine sebaiknya tidak diberikan pada neonatus, bayi, dan anak di bawah 12 tahun. Bupivacaine
dalam bentuk anestesi spinal sebaiknya tidak diberikan pada anak berusia di bawah 18 tahun.[10,11,17]

Pasien Geriatri

Pasien geriatri, terutama yang mengonsumsi obat antihipertensi memiliki risiko yang lebih tinggi untuk
mengalami hipotensi. Oleh karena itu dosis yang digunakan pada kelompok pasien ini lebih rendah.
[10,11,17]

Pasien dengan Gangguan Hepar

Pasien dengan gangguan hepar atau memiliki gejala yang mempengaruhi aliran darah ke hepar, seperti
gagal jantung kongestif, memerlukan penyesuaian dosis atau pemanjangan interval pemberian obat
karena metabolisme obat akan terhambat.[10,11,17]

Pasien dengan Risiko Kejang


Pasien dengan gangguan elektrolit atau pasien yang memiliki riwayat kejang berlu diperhatikan karena
bupivacaine memiliki efek samping berupa kejang.[10,11,17]

Pasien dengan Gangguan Ginjal

Pasien dengan gangguan ginjal memerlukan penyesuaian dosis karena sebagian besar bupivacaine akan
diekskresi melalui ginjal. Walaupun begitu, belum terdapat panduan khusus mengenai penyesuaian
dosis pada populasi pasien ini.[10,11,17]

Pasien dengan Risiko Methemoglobinemia

Pasien yang memiliki kondisi defisiensi G6PD (glucose-6-phosphate dehydrogenase), riwayat


methemoglobinemia sebelumnya, gangguan jantung, gangguan paru, bayi di bawah 6 bulan, atau
memiliki riwayat terpapar dengan agen oksidasi, memiliki risiko yang lebih tinggi untuk mengalami
methemoglobinemia. Pengawasan terhadap tanda dan gejala klinis methemoglobinemia perlu dilakukan

TETRAKAIN

Farmakologi tetracaine sebagai obat anestesi lokal tipe ester dan farmakokinetiknya terdiri dari aspek
absorpsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasinya.

Tetes mata tetracaine hidroklorida 0,5% sudah digunakan sejak 45 tahun lalu sebagai obat anestesi
topikal untuk mata. Tetracaine hidroklorida berbentuk bubuk halus, berwarna putih, seperti kristal, tidak
berbau dengan berat molekul 300,82 g/mol. Obat ini merupakan obat anestesi lokal tipe ester dan
turunan asam aminobenzoik. Tetes mata tetracaine hidroklorida 0,5% (setara 0,44% tetracaine) memiliki
pH 3,7-5,5. Selain mengandung bahan aktif tetracaine hidroklorida, tetes mata ini juga mengandung
natrium klorida, natrium asetat trihidrat, asam asetat, dan air sebagai bahan tidak aktif.[2,3]

 Farmakodinamik

Sebelum membahas mengenai farmakodinamik tetracaine, sebaiknya mengerti terlebih dahulu


mengenai farmakodinamik obat anestesi lokal secara umum.
Obat Anestesi Lokal

Secara umum, seluruh obat anestesi lokal berkerja dengan berikatan secara reversibel pada reseptor
spesifik di kanal natrium pada sel saraf sehingga menghambat perpindahan ion melalui kanal tersebut.
Anestesi lokal yang diaplikasikan dapat bekerja disemua sistem saraf baik sensorik maupun motorik.
Obat ini akan menghambat potensial aksi secara reversibel sehingga konduksi saraf tidak terjadi. Ketika
konsentrasi habis maka fungsi saraf akan kembali sepenuhnya tanpa adanya bukti kerusakan sel.[9,10]  

Obat anestesi lokal yang pertama ditemukan adalah kokain. Kokain merupakan turunan ester dari asam
benzoat. Zat ini selain memiliki efek anestesi juga memiliki toksisitas dan sifat adiktif yang tinggi
sehingga tidak lagi digunakan, namun karakteristiknya dijadikan prototipe obat anestesi lokal lainnya.
Obat anestesi lokal yang paling sering digunakan adalah procaine, lidocaine, bupivacaine dan tetracaine.
[9,10]

Obat anestesi topikal dapat bekerja apabila dapat mencapai permukaan dalam dari membran. Secara
molekular, obat anestesi lokal memiliki bagian hidrofilik dan hidrofobik yang dipisahkan oleh ikatan
ester atau amid. Sifat hidrofobik meningkatkan potensi dan durasi kerja obat. Reseptor pada kanal
natrium juga bersifat hidrofobik sehingga agen hidrofobik lebih mudah berikatan dan lebih lama
dimetabolisme oleh plasma esterase dan enzim hepar.[9,10]

Reseptor anestesi lokal terletak pada segmen S6 domain I,III dan IV pada subunit α dari kanal natrium
yang terletak pada transmembran intrasel. Selain berikatan dengan reseptor di kanal natrium, obat
anestesi lokal dalam konsentrasi yang tinggi juga dapat menghambat kanal kalium. Pada penggunaan
dengan konsentrasi yang normal, obat anestesi topikal menghambat konduksi impuls namun tidak
diikuti dengan perubahan potensial membran saat istirahat. [9,10]

Farmakodinamik Tetracaine

Saat diaplikasikan pada permukaan mata, tetracaine akan berpenetrasi ke ujung saraf sensorik pada
kornea. Molekul hidrofobik dari tetracaine akan berikatan dengan reseptor khusus pada kanal ion
natrium di transmembran intrasel. Akibanya permeabilitas membran terhadap ion natrium berkurang.
Kondisi tersebut menghambat terjadinya depolarisasi sel dan kegagalan pembentukan potensial aksi
sehingga konduksi impuls saraf tidak terjadi.[1-3]

Efektivitas Tetracaine dibandingkan Anestesi Lokal Mata Lainnya

Berdasarkan studi prospektif yang membandingkan efektivitas tetracaine hidroklorida 0,5% dengan
propakain 0,5% didapatkan hasil bahwa tetracaine 0,5% secara klinis memiliki efektivitas yang setara
bahkan lebih baik dibandingkan dengan propakain sebagai obat anestesi lokal yang telah diakui untuk
digunakan pada berbagai tindakan mata seperti operasi refraktif, tonometri dan sebelum injeksi
intravitreal. Studi oleh Rifkin et al. pada pasien yang menjalani injeksi intravitreal menunjukkan bahwa
pasien dengan anestesi topikal menggunakan tetracaine hidroklorida 0,5% memiliki nilai Visual Analog
Pain 15 menit setelah penyuntikan yang lebih rendah secara signifikan dibandingkan pasien yang
menggunakan propakain hidroklorida (p<0,01). Selain itu, tetracaine 0,5% juga memiliki efektivitas yang
setara dengan lidocaine 2% dalam memberikan efek anestesi untuk operasi kornea.[2,11]

Farmakokinetik

Aspek farmakokinetik tetracaine terdiri dari aspek absorpsi, distribusi, metabolisme, dan eliminasinya.

Absorpsi

Tetracaine diserap secara cepat melalui kapiler di konjungtiva.[2,3,4]

Distribusi

Onset kerja tetracaine antara 10-20 detik (rata-rata 15 detik) setelah pemberian

Efek anestesi bertahan selama 10-20 menit dengan rata-rata 15 menit.


Tetracaine memiliki ikatan yang tinggi dengan protein plasma.[2,3,4]

Metabolisme

Tetracaine dihidrolisasi oleh enzim pseudokolinesterase di plasma, jaringan okular dan sebagian kecil
sisanya di hepar

Hasil metabolisme berupa metabolit yang mengandung asam aminobenzoik (PABA) dan
dietilaminoetanol.[2,3,4]

Eliminasi

Durasi kerja tetracaine dapat ditambah dengan aplikasi berulang.

Tetracaine dieliminasi dalam bentuk metabolit melalui renal dan diekskresikan lewat urin.[2,3,4]

Formulasi tetracaine berupa bentuk sediaan obat tetes mata, gel, larutan dan bubuk untuk injeksi, serta
krim dan salep, cara penggunaan, dan cara penyimpanan obat.

Bentuk Sediaan

Sediaan yang tersedia di Indonesia meliputi:

Obat tetes mata tetracaine hidroklorida 0,5% dalam botol berukuran 5 ml

Selain tersedia dalam bentuk tetes mata, tetracaine juga tersedia dalam beberapa bentuk lain namun
tidak tersedia di Indonesia, seperti:
tetracaine HCL gel 0,5% untuk anestesi lokal mata

tetracaine larutan injeksi 1% dan bubuk untuk injeksi (20mg) untuk anestesi spinal

tetracaine krim 1% dan salep 0,5% untuk anestesi lokal kulit[4].

Cara Penggunaan

Pemberian tetracaine hidroklorida sebagai obat anestesi topikal dilakukan oleh dokter sebelum
melakukan tindakan pada mata. Apabila pasien menggunakan lensa kontak, sebelum diteteskan pada
permukaan mata, lensa kontak harus dilepas terlebih dahulu.

Tidak diperbolehkan untuk menggosok mata setelah obat diteteskan. Setelah tindakan pada mata
selesai, sebaiknya dilakukan pemasangan penutup mata untuk mencegah masuknya kotoran ataupun
refleks menggosok mata.[1-3]

Cara Penyimpanan

Simpan pada suhu 2-25 derajat Celsius. Setelah digunakan, buang bagian yang tersisa karena sediaan
tidak mengandung pengawet. Letakkan pada wadah yang terhindar dari sinar langsung. Hindari
pembekuan.[1-3]

Indikasi pemberian tetes mata tetracaine hidroklorida 0,5% untuk prosedur pada mata yang
membutuhkan anestesi topikal kerja cepat dengan durasi yang pendek. Dosis pemberian disesuaikan
dengan lama durasi anestesi yang dibutuhkan.
Prosedur Singkat

Tetracaine dapat digunakan untuk prosedur singkat berupa tonometri dan gonometri.

Tonometri

Tonometri merupakan prosedur yang dillakukan untuk mengukur tekanan intraokular. Tekanan
intraokular dipengaruhi oleh keseimbangan antara jumlah aqueous humor yang diproduksi dan yang
keluar dari mata. Tekanan bola mata dianggap meningkat apabila tekanan melebihi 21 mmHg.
Peningkatan tekanan intraokular berhubungan dengan penurunan tajam penglihatan. Apabila
peningkatan tekanan intraokular disertai dengan kerusakan nervus optik maka disebut sebagai
glaukoma, sedangkan peningkatan tekanan intraokular tanpa kerusakan nervus optik disebut sebagai
hipertensi okuli. Pemeriksaan tonometri mengukur tekanan intraokular berdasarkan perlawanan kornea
terhadap tekanan yang diberikan. Ada berbagai jenis pemeriksaan tonometri, yaitu tonometri aplanasi,
tonometri indentasi (tonometer Schiotz), dan tonometri non-kontak.  Pada pemeriksaan menggunakan
tonometri aplanasi sebuah probe kecil akan digunakan untuk meratakan bagian kornea. Tekanan yang
dibutuhkan untuk meratakan permukaan kornea tersebut yang akan dibaca oleh alat. Sedangkan
tonometri Schiotz menggunakan alat dengan permukaan cekung yang terhubung dengan pemberat.
Permukaan cekung tersebut akan disentuhkan ke permukaan kornea. Kemampuan kornea untuk
menahan pemberat tersebut dibaca dan disesuaikan dengan tabel standar berdasarkan ukuran
pemberat. Kedua jenis tonometri ini membutuhkan anestesi topikal sebelum pengukuran dilakukan.
Sedangkan tonometri non-kontak menggunakan tekanan udara untuk menilai tekanan bola mata,
karena alat tidak langsung menyentuh permukaan mata maka tidak diperlukan anestesi sebelum
pelaksanaan prosedur.[12]

Gonioskopi

Pemeriksaan gonioskopi merupakan alat diagnostik yang digunakan untuk memvisualisasi struktur di
bilik mata depan antara kornea dan iris. Pemeriksaan ini khususnya digunakan untuk mengevaluasi
sudut bilik mata depan yang dengan pemeriksaan slit lamp biasa tidak dapat dievaluasi karena cahaya
dari struktur tersebut dipantulkan sempurna ke stroma kornea. Pada pemeriksaan dengan gonioskopi,
sebuah lensa diletakkan di depan mata dan seberkas sinar terang akan diarahkan ke dalam mata. Lensa
ini berfungsi untuk mengeliminasi hambatan akibat air mata dan udara sehingga kondisi sudut bilik mata
depan dapat diobservasi, khususnya pada pasien dengan glaukoma. Pada pasien dengan glaukoma,
evaluasi sudut bilik mata depan dapat digunakan untuk menentukan tipe dari glaukoma tersebut. Dalam
proses pemeriksaan, sebelum lensa khusus diletakkan di depan mata, dilakukan pemberian obat tetes
anestesi. Pemeriksaan ini berlangsung singkat kurang dari 5 menit.[13]  

Operasi Minor dan Pelepasan Jahitan

Tetracaine juga dapat digunakan untuk operasi minor dan pelepasan jahitan sebagai berikut:

Pengambilan Benda Asing Mata

Ekstraksi benda asing mata baik di kornea, konjungtiva, maupun di bagian mata lainnya memerlukan
pemberian anestesi topikal untuk persiapannya.

Injeksi Intravitreal

Injeksi intravitreal merupakan prosedur yang dilakukan untuk memasukkan obat kedalam vitreus.
Prosedur ini pada umumnya digunakan pada terapi penyakit retina seperti age related macular
degeneration, retinopati diabetes, endoftalmitis, uveitis dan oklusi vena retina. Injeksi intravitreal
memiliki keuntungan berupa perbaikan penglihatan atau pencegahan perburukan pada pasien
dengan age related macular degeneration dan retinopati diabetes. Serta pada kondisi endoftalmitis,
injeksi intravitreal membantu meningkatkan efektivitas antibiotik langsung ke fokus infeksi. Jenis obat
yang dapat disuntikkan berupa kortikosteroid, antibiotik dan obat lain seperti anti-VEGF. Injeksi
intravitreal biasanya dilakukan berulang. Pemberian anestesi topikal sebelum tindakan terbukti efektif
untuk mengurangi nyeri selama dan pasca tindakan.[14]

Conjunctival Scraping

Conjunctival scraping merupakan tindakan yang dilakukan untuk mengambil spesimen konjungtiva yang
digunakan untuk pemeriksaan sitologi. Sebelum pengambilan sampel, mata terlebih dahulu diberikan
anestesi topikal, kemudian kelopak mata atas dieversi. Konjungtiva tarsal kemudian dipulas dengan
menggunakan spatula steril dan hasil pulasan tersebut difiksasi ke kaca objek untuk dilakukan
pemeriksaan.[15]
Pelepasan Jahitan Kornea atau Konjungtiva

Tetracaine juga digunakan saat prosedur pelepasan jahitan kornea atau konjungtiva.

Operasi Mata Lainnya

Selain tindakan-tindakan di atas, tetracaine juga digunakan untuk tindakan berikut ini:

Operasi strabismus

Operasi katarak

Operasi lasik

Operasi pterigium[1]

Dosis yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan lamanya durasi anestesi dengan pembagian sebagai
berikut:

Anestesi durasi pendek (tonometri, gonioskopi)

1-2 tetes pada mata yang akan menjalani prosedur sesaat sebelum tindakan

Prosedur operasi minor (ekstraksi benda asing, pelepasan jahitan)


1-2 tetes pada mata yang akan menjalani prosedur, diulang tiap 5-10 menit, sebanyak 1 sampai 3 dosis.

Prosedur operasi yang lama (ekstraksi katarak, strabismus, pterigium)

1-2 tetes pada mata yang akan menjalani prosedur, diulang tiap 5-10 menit, sebanyak 3 sampai 5
dosis[3,16]

Efek samping tetracaine berupa efek samping pada mata, sistem kardiovaskular, sistem imun, infeksi,
sistem saraf, dan sistem pernapasan. Interaksi obat tetracaine yang paling perlu diwaspadai adalah
peningkatan risiko methemoglobinemia.

Efek Samping

Pada saat diteteskan ke mata, akan timbul efek samping ringan, berupa:

Nyeri

Sensasi tidak nyaman

Sensasi tersengat

Sensari panas atau terbakar

Mata berair

Efek samping ini biasanya dirasakan pada saat awal pemberian (kurang lebih selama 30 detik) dan akan
hilang dengan sendirinya diikuti dengan perasaan baal pada mata.[1,3,16]

Selain efek samping ringan tersebut, beberapa efek samping lain pernah dilaporkan setelah penggunaan
tetes mata tetracaine hidroklorida. Namun perlu diingat bahwa pemberian obat ini diikuti oleh prosedur
pada mata dan pemberian obat-obatan lain sehingga kejadian yang dilaporkan dapat dipengaruhi oleh
faktor-faktor tersebut. Efek samping tersebut dikelompokkan berdasarkan sistem tubuh sebagai berikut:
Sistem Kardiovaskular

Tetracaine dapat menyebabkan efek samping kardiovaskular berupa bradikardia.

Mata

Pada mata, tetracaine dapat menimbulkan efek samping sebagai berikut:

Edema kornea

Kekeruhan kornea

Penipisan kornea

Iritasi mata

Edema mata

Ptosis

Perasaan mengganjal

Midriasis

Konjungtiva hiperemi

Keratitis ulseratif

Pandangan buram

Ketajaman penglihatan berkurang

Fotofobia

Sistem Imun

Tetracaine dapat menyebabkan reaksi alergi berupa hiperemia, kemosis, lakrimalisasi dan gatal.
Infeksi

Tetracaine juga dapat menyebabkan terjadinya endoftalmitis.

Sistem Saraf

Pada sistem saraf, tetracaine dapat menyebabkan efek samping berupa:

Mual, muntah

Parestesia

Paralisis nervus VII

Kejang

Ansietas

Tremor

Sistem Pernapasan

Tetracaine dapat menyebabkan efek samping pada sistem pernapasan sebagai berikut:

Tenggorokan terasa ketat

Mengi

Sesak nafas[1,3,16]

Interaksi Obat

Penggunaan bersama tetracaine dengan beberapa obat berikut dapat menyebabkan interaksi obat
sehingga membutuhkan pengawasan yang ketat.
Pada umumnya efek interaksi obat yang timbul pada penggunaan bersama tetracaine dan obat-obatan
tersebut adalah peningkatan risiko kejadian methemoglobinemia dengan beberapa obat sebagai
berikut:

antimalarial - chloroquine, primaquine, quinine

antiinfeksi - dapsone, nitrofurantoin, sulfisoxazol, sulfadiazine

antianginal - isosorbid dinitrat, nitrogliserin, nitroprusid

antikonvulsan - fenobarbital, phenytoin

paracetamol [16]

Efek lain didapatkan akibat interaksi tetracaine dengan hyaluronidase. Penggunaan bersama tetracaine
dengan hyalurodinase mempercepat onset anestesi lokal dan mengurangi pembengkakan, namun
terjadi juga peningkatan penyerapan obat secara sistemik. Hal ini akan menyebabkan lebih pendeknya
durasi kerja obat dan peningkatkan risiko timbulnya efek samping dan reaksi sistemik.[16]

Kontraindikasi penggunaan tetracaine bila terjadi reaksi hipersensitivitas atau riwayat hipersensitivitas
terhadap tetracaine atau komponen lain dalam sediaannya. Peringatan untuk tidak menggunakan obat
ini secara intraokular.

Kontraindikasi

Tidak boleh digunakan pada pasien dengan reaksi hipersensitivitas pada komponen dalam sediaan.
Reaksi alergi yang timbul dapat berupa sesak, mengi, pembengkakan pada wajah, bibir, lidah atau
bagian tubuh lainnya, bercak merah, gatal atau urtikaria di kulit. Tetracaine juga tidak boleh digunakan
oleh pasien tanpa pengawasan dokter.[1,3]

Peringatan

Tetes mata tetracaine hidroklorida 0,5% tidak boleh digunakan untuk injeksi ataupun pemberian
intraokular. Pemberian obat intraokular dapat menyebabkan kerusakan sel endotelial kornea.
Penggunaan jangka panjang dapat menyebabkan berkurangnya kemampuan anestesi, mengurangi
durasi anestesi dan menghambat proses penyembuhan pada kornea. Kondisi ini dapat menyebabkan
frekuensi penggunaan obat menjadi lebih sering, akibatnya siklus ini terus berulang dan menyebabkan
kondisi kerusakan kornea yang semakin parah.

Penggunaan jangka panjang ataupun dosis berlebihan juga dapat menimbulkan efek toksik pada epitel
kornea, menyebabkan keratitis berat hingga kerusakan kornea permanen berupa kekeruhan kornea
hingga kebutaan.

Tetracaine tidak boleh digunakan apabila sudah melewati tanggal kadaluarsa, kemasan tidak tertutup
rapat, larutan mengandung kristal, keruh atau berubah warna.[1,2,3]

Anda mungkin juga menyukai