Anda di halaman 1dari 11

Fikri Faisal: Penilaian Respons Pengobatan Empiris pada Pasien Rawat Inap dengan Pneumonia Komunitas

Penilaian Respons Pengobatan Empiris pada


Pasien Rawat Inap dengan Pneumonia Komunitas
Fikri Faisal1, Erlina Burhan1, Wahju Aniwidyaningsih1, Aria Kekalih2
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi, Fakultas Kedokteran
1

Universitas Indonesia, RS Persahabatan Jakarta


2
Departemen Ilmu Kedokteran Komunitas, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Abstrak
Latar belakang: Pneumonia komunitas (CAP) salah satu penyebab kematian tertinggi pasien rawat inap. Tujuan penelitian ini untuk
mengetahui respons pengobatan selama perawatan pasien CAP secara empiris serta faktor yang berkaitan dengan pola bakteri, respons
pengobatan, gejala klinis, laboratorium, foto toraks, lama rawat, dan faktor komorbid di RS persahabatan.
Metode: Penelitian kohort prospektif pasien pneumonia komunitas yang menjalani rawat inap di RS Persahabatan selama 15 bulan.
Evaluasi dilakukan pada gejala klinis, hasil laboratorium, foto toraks dan hasil mikrobiologi. Sampel mikrobiologi dikumpulkan sebelum dan
sesudah pemberian antibiotik.
Hasil: Terkumpul 47 pasien, laki-laki 74,5% dan perempuan 25,5%. Rerata umur 61 tahun setelah pengobatan empiris, gejala klinis sesak
napas 51% berkurang 27,7% dan batuk 32% berkurang 23,4%. Nilai awal leukosit rerata 15,27 sel/mm3 berkurang 12,0 sel/mm3. Foto toraks
awal infiltrat 89,3% menurun 38,3%. Patogen pada sputum sebelum penggobatan Klebsiella pneumonia 34,0%. Hasil sputum pascaterapi
empiris eradikasi 91,5%. Pengobatan antibiotik tersering seftriakson. Faktor komorbid tersering keganasan rongga toraks. Lama rawat
minimal 4 hari dengan terapi sulih minimal 3 hari.
Kesimpulan: Pasien CAP paling dominan menunjukan gejala klinis sesak napas dan batuk, gambaran infiltrat pada foto toraks dan Gram-
negatif Klebsiella pneumonia pada sputum. Terjadi penurunan leukosit setelah pemberian antibiotik. (J Respir Indo. 2014; 34:60-70)
Kata kunci: pneumonia, leukosit, faktor risiko, mikroorganisme, resistensi.

Evaluation of Empirical Treatment Responsse in Hospitalized


Patient Community Acquired Pneumonia

Abstract
Background: Pneumonia is the first leading disease with the highest mortality in hospitalized patients. The purpose of this study are to
determine treatment responsse for the empirical treatment of CAP patients and the factors associated with patterns of bacteria, treatment
responsse, clinical symptoms, laboratory and chest X-ray, length of stay and comorbidities in Persahabatan Hospital, Jakarta.
Methods: Prospective cohort study in hospitalized community acquired pneumonia patients were evaluated at Persahabatan Hospital along
15 month. Clinical symptoms, laboratory findings, chest x-ray and microbiologic were evaluated. Microbiologic test conducted before and
after antibiotic administration.
Results: There were 47 patients, male 74.5% and female 25.5%. The average age was 61 years old. Clinical symptoms empirical before
treatment were dyspnea 51% decreased to 27.7% and cough 32% decreased to 23.4%. Leukocytes count was 15.27 cell/mm3 decreased
to 12.0 cell/mm3. Chest x-ray infiltrates 89.3% decreased to 38.3%. Before-treatment microbiological patterns were K. pneumoniae 34.0%.
Result after empirical treatment was eradication 91.5%. The most frequent innitial antibiotik administration was ceftriaxone.The most frequent
comorbidity was thoracic malignancy. The patients were hospitalized at least for 4 days with replacement therapy at least for 3 days.
Conclusion: Patients with CAP predominantly showed symptoms of dyspnea and cough, infiltrates on chest x-ray and Gram-negative Klebsiella
pneumonia in sputum samples. There were decrease of leucocyte counts after antibiotic administration. (J Respir Indo. 2014; 34: 60-70)
Keywords: pneumonia, leucocyte, risk factors, microorganism, resistence.

Korespondensi: dr. Fikri Faisal, Sp.P


Email: dr.fikrifaisal@gmail.com, Hp: 08129391448

60 J Respir Indo o
V l. 34 No. 2 April 2014
Fikri Faisal: Penilaian Respons Pengobatan Empiris pada Pasien Rawat Inap dengan Pneumonia Komunitas

PENDAHULUAN dah pasien CAP dirawat inap, mengetahui jenis


pemberian antibiotik secara empiris pada pasien
Pneumonia komunitas atau community acquired
CAP rawat inap, mengetahui lama rawat penderita
pneumonia (CAP) adalah pneumonia yang didapat
CAP, mengetahui lama pemberian antibiotik pada
di masyarakat. Pneumonia komunitas merupakan
pasien pneumonia komunitas yang dirawat, dan
salah satu penyebab utama morbiditas dan mortalitas
di dunia. Sekitar 5,6 juta pasien di Amerika menderita mengetahui faktor komorbid.

CAP setiap tahunnya dengan biaya pengobatan sekitar


METODE
US$ 12 miliar. Di Amerika pada tahun 2006 terdapat
1,2 juta orang dirawat karena CAP dengan kematian Penelitian menggunakan studi kohort prospek­tif
pada 55.477 pasien. Tatalaksana yang optimal harus yang dilakukan di ruang rawat inap RS Persahabatan
berdasarkan pola mikroorganisme penyebab CAP Jakarta sejak Agustus 2011 sampai November 2012.
yang tersering. Penilaian derajat berat penyakit juga Subjek penelitian adalah pasien diagnosis CAP
merupakan hal yang penting dalam tatalaksana CAP.1 dengan skor PORT ≥70 yang dirawat inap di Rumah
Dalam Survei Kesehatan Rumah Tangga Sakit Persahabatan Jakarta pada saat penelitian
(SKRT) 1992, infeksi saluran napas bawah di Indo­ berlangsung. Kriteria inklusi penelitian adalah laki-laki
nesia menempati urutan ketiga sebagai penyebab dan perempuan usia di atas 15 tahun yang memenuhi
kematian dan meningkat menjadi urutan pertama kriteria diagnosis CAP kategori sedang atau berat skala
pada tahun 2001. Data Departemen Pulmonologi RS port ≥70 dan dirawat inap. Pasien dengan dua atau
Persahabatan pada tahun 2002 menunjukkan bahwa lebih gejala dan tanda, seperti batuk, dahak purulen,
CAP menempati urutan kedua kasus infeksi terbanyak demam (>380 C) atau riwayat demam, pemeriksaan
setelah tuberkulosis. Angka kematian akibat CAP di RS fisis didapatkan ronki, leukositosis atau leukopenia
Persahabatan dan RS Dr Soetomo berkisar sekitar 10 - (leukosit >10.000 atau <4500), sesak (frekuensi napas
20%. Terapi antimikroba awal yang diberikan merupakan >24 kali/ menit), foto toraks yang dilakukan kurang dari
terapi empirik disebabkan oleh sulitnya menemukan 48 jam didapatkan gambaran infiltrat. Kriteria eksklusi
patogen penyebab. Sekitar 50% patogen penyebab penelitian ini adalah tidak ada dahak, pasien batuk
tidak dapat diidentifikasi meskipun menggunakan uji darah (hemoptisis masif), pneumonia pada orang
diagnostik invasif.2 yang menyalahgunakan obat narkotika, psikotropika
Patogen penyebab CAP tersering adalah pato­ dan zat adiktif (NAPZA), tidak bersedia ikut penelitian,
gen gram positif seperti Staphylococcus aureus dan pasien tuberkulosis, kecurigaan pada infeksi karena
Streptococcus pneumoniae. Di RS Persahabatan, virus H1N1, dan H5N1. Kriteria eksklusi lain adalah tidak
patogen penyebab CAP yang sering ditemukan ada­ bersedia melanjutkan pengobatan, pasien meninggal
lah patogen gram negatif seperti Klebsiella spp., dunia, dan gagal terapi. Perhitungan besar sampel
Pseudomonas spp., dan Acinetobacter spp.. Data berdasarkan rumus studi perbandingan dua proporsi.
pola bakteri di RS Persahabatan merupakan hal yang Dengan perhitungan rumus tersebut, maka besar
penting dalam tatalaksana pasien CAP sehingga biaya sampel yang digunakan adalah 41 pasien. Drop out
pengobatan dapat diupayakan serendah mungkin. rate diperkirakan 15% sehingga besar sampel yang
Tujuan penelitian ini terbagi menjadi dua, ditentukan untuk penelitian ini adalah 47 pasien untuk
yaitu tujuan umum dan tujuan khusus. Tujuan umum diamati sebelum dan sesudah pengobatan empiris.
untuk mengetahui respons pengobatan pasien CAP Pada tahap awal, analisis ini dilakukan dengan
setelah perawatan dan pola bakteri pada pasien rawat bentuk deskriptif berupa tabel frekuensi yang menam­
inap penderita CAP di RS Persahabatan. Tujuan khu­ pilkan data frekuensi dan persentase untuk tiap
sus untuk mengetahui pola bakteri penyebab CAP, variabel yang diperiksa. Analisis dilanjutkan dengan
mengetahui pola resistensi bakteri sebelum dan sesu­ tahap analitik, yaitu membandingkan proporsi hasil

J Respir Indo o
V l. 34 No. 2 April 2014 61
Fikri Faisal: Penilaian Respons Pengobatan Empiris pada Pasien Rawat Inap dengan Pneumonia Komunitas

penilaian klinis, mikrobiologis, dan radiologis pada Tabel 1. Hasil laboratorium awal dan akhir pengobatan
kelompok sebelum dan sesudah pengobatan empiris. Median Minimum Maximum P*
Analisis akan dilakukan dengan menggunakan uji Leukosit awal (sel/mm3) 15.270 9.910 42.370 0.001
Leukosit akhir (sel/mm3) 12.000 6.000 32.000
McNemar. Analisis data menggunakan bantuan Hb awal (gr%) 11,60 5,00 16,00 0.536
Hb akhir (gr%) 11,50 7,70 17,00
perangkat lunak program komputer. Ht awal (gr%) 35 11 49 0.059
Ht akhir (gr%) 33 25 51
Trombosit awal (sel/mm3) 260 76 790 0.789
HASIL Trombosit akhir ((sel/mm3) 279 106 678

*) Menggunakan Uji Wilcoxon : numerik berpasangan secara non


Karakteristik pasien parametrik karena sebaran tidak normal

Penelitian ini berhasil mengumpulkan 47 orang


Tabel 2. Perubahan foto toraks di awal dan akhir pengobatan.
pasien yang diamati respons terapinya. Sebagian
Foto Toraks Awal (%) Akhir (%) P
besar pasien adalah laki-laki sebanyak 35 orang
Infiltrat satu lobus 8 (17.1) 4 (8.5) 0.355
(74,5%), perempuan sebanyak 12 orang (25,5%). Infiltrat > satu lobus 5 (10.6) 3 (6.4) 0.714
Infiltrat bilateral 7 (14.9) 3 (6.4) 0.316
Median usia pasien adalah 61 tahun, dengan usia
Konsolidasi 3 (6.4) 2 (4.3) 1.000
termuda 28 tahun dan tertua 80 tahun. Pekerjaan Infiltrasi satu lobus + massa 12 (25.5) 8 (17.1) 0.313
Infiltrasi > satu lobus + massa 7 (14.8) 4 (8.5) 0.336
pasien bervariasi namun sebagian besar adalah
Efusi pleura 2 (4.3) 2 (4.3) 1.000
bekerja di sektor swasta sebanyak 15 orang (31,9%), *Uji McNemar
ibu rumah tangga sebanyak 11 orang (23,4%), dagang
sebanyak 3 orang (6,4%), pensiun sebanyak 3 orang Respons hasil foto toraks
(6,4%), buruh sebanyak 2 orang (4,3%), dan tidak Hasil pemeriksaan foto toraks didapatkan gam­
bekerja sebanyak 13 orang (27,7%).
baran sebelum pengobatan yang terbanyak adalah
infiltrat (42,6%), infiltrat dengan massa (46,7%),
Respons gejala klinis
konsolidasi (6,4%), dan efusi pleura (4,3%). Sebagian
Pada awal pengobatan keluhan pasien ter­
besar gambaran foto toraks terdapat infiltrat (89,3%)
banyak adalah sesak sebanyak 24 orang (51,0%)
dari total 47 pasien. Perbandingan hasil foto toraks
diikuti dengan batuk sebanyak 15 orang (32,0%),
pada awal dan akhir pengobatan setelah pemberian
demam sebanyak 6 orang (12,8%), dan yang paling
antibiotik selama lima sampai tujuh hari dengan terapi
jarang dikeluhkan adalah nyeri dada sebanyak 2
empiris ditemukan penurunan pada infiltrat sebanyak
orang (4,3%). Setelah pengobatan lima hari 24 pasien
38,1% dari total 47 pasien, konsolidasi menurun pada
keluhan sesak napas berkurang atau menghilang
satu pasien. Gambaran efusi pleura masih tetap
pada 13 orang (27,7%). Keluhan batuk yang dialami
tidak menggalami perubahan. Uji kesetaraan Mc
oleh 15 pasien berkurang pada 11 pasien (23,4%),
Nemar menunjukkan perubahan gambaran radiologi
sisanya batuk menetap. Pasien demam berjumlah 6
tersebut tidak bermakna pada kelainan dengan
orang (13,0%) dan berkurang pada separuh pasien.
infiltrat (p>0,001).
Keluhan nyeri dada hanya pada dua pasien dan
setelah pengobatan menetap. Pola bakteri penyebab pneumonia komunitas

Biakan bakteri sputum pada penelitian ini sebagian


Respons hasil laboratorium
besar didapatkan hasil Gram negatif, yaitu Klebsiella
Evaluasi pascapengobatan lima hari ber­dasarkan pneumoniae, Acinetobacter baumanii, Escherichia
pemeriksaan laboratorium menunjukkan respons ter­ coli, meskipun gram positif Streptococcus viridans juga
baik terjadi pada leukosit menurun secara bermakna banyak ditemukan. Bakteri terbanyak hanya pada K.
dari median 15.270 sel/mm3 menjadi median 12.000 sel/ Pneumoniae yaitu 16 pasien (34,0%), sedangkan
mm3, sedangkan hasil hemoglobin (Hb), hematokrit (Ht), lainnya ditemukan bakteri Staphylococcus epidermidis,
dan trombosit tidak ditemukan perbedaan bermakna Enterobacter, Escherichia cloacae, dan Klebsiella
sebelum dan sesudah pengobatan. oxytica memiliki angka insiden yang rendah.

62 J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April 2014


Fikri Faisal: Penilaian Respons Pengobatan Empiris pada Pasien Rawat Inap dengan Pneumonia Komunitas

Tabel 3. Hasil mikrobiologi awal dan akhir, serta pengobatan Tabel 4. Pola resistensi bakteri antibiotik
antibiotik berdasarkan golongan. (semua bakteri pasien rawat inap).

  Hasil N % Resisten Intermediate Sensitif


Mikrobiologi awal Klebsiella pneumonia 16 34 Antibiotik P*
N % N % N %
Acinetobacter baumanii 99 19,1 Sefazolin 19 50,00 2 5,30 17 44,70 Referensi
Streptococcus viridans 6 12,8 Amoxiclav 17 37,80 10 22,20 18 40,00 0,791
Escherichia coli 5 10,7 Seftriakson 16 36,40 6 13,60 22 50,00 0,250
Pseudomonas aeruginosa 5 10,7 Ampi sulb 10 33,30 20 66,70 0,120
Kloramfenikol 12 32,40 5 20 54,10 0,118
Staphylococcus epidermidis 3 6,4 Sefotaksim 15 31,90 12 13,50 20 42,60 0,219
Enerobacter spp. 1 2,1 Gentamisin 14 29,80 25,50 33 70,20 0,276
Escherichia cloacae 1 2,1 Sefoperazon 12 27,90 2 29 67,40 0,016
Seftazidim 13 27,70 3 4,70 31 66,00 0,031
  Klebsiella oxytica 1 2,1
Levofloksasin 11 25,60 6,40 32 74,40 0,039
Mikrobiologi akhir Acinetobacter baumanii 1 2,1 Tetramisin 10 24,40 2 4,90 29 70,70 0,020
Enterobacter gergoviae 1 2,1 Kotrimoksazol 10 23,30 1 2,30 32 74,40 0,020
Escherichia coli 1 2,1 Amikasin 9 19,10 38 80,90 0,031
Pseudomonas aeruginosa 1 2,1 Siprofloksasin 8 17,40 8 17,40 30 65,20 0,007
Sefepim 4 8,50 3 6,40 38 80,90 0,001
  tidak tumbuh 43 91,5
Imipenem 45 100,00
Antibiotik Beta laktam 24 51,1 Pipracilin 11 100,00
Beta laktam + aminoglikosida 7 14,9
Fluorokuinolon 6 12,8 *) Uji McNemar: kategorik berpasangan antara resisten dengan non
resisten dengan menggunakan cefazolin sebagai referensi karena paling
Beta laktam + makrolid 5 10,6 banyak yang resisten
Fluorokuinolon + makrolid 2 4,3
Fluorokuinolon + aminoglikosida 2 4,3
  Fluorokuinolon + beta laktam 1 2,1 seftazidim + gentamisin sebesar 10,2%. Antibiotik
yang jarang digunakan kombinasi seftazidim + azitro­
Setelah pengobatan antibiotik secara terapi misin dan levofloksasin + seftazidim. Pembagian
em­piris selama lima sampai tujuh hari hasil kultur pengobatan empirik berdasarkan golongan, yaitu beta
bak­
teri yaitu tidak ditemukan bakteri (era­
dikasi) laktam 51,1%, fluorokinolon tunggal 12,8% kombinasi
sebanyak 43 pasien (91,5%), bakteri yang masih golongan betalaktam dan fluorokuinolon hanya 2,1%,
tetap (persisten) terdapat tiga pasien (6,4%) meru­ sisanya kombinasi golongan antibiotik lainnya.
pakan Acinetobacter baumanii, E. coli, Pseudomonas
aeruginosa, dan terdapat satu pasien (2,1%) yang di­ Faktor komorbid

dapat­kan mikorganisme awal Streptococcus viridans Faktor komorbid yang terbanyak ditemukan
setelah pengobatan didapatkan bakteri yang berbeda adalah keganasan rongga toraks yaitu pada 22
Enterobacter gergoviae (kolonisasi). dari 47 orang. Faktor komorbid lain yang ditemukan
adalah penyakit jantung kongestif sebanyak 9
Jenis pemberian antibiotik secara empiris pasien, diabetes melitus terdapat pada 7 pasien, dan
Antibiotik yang digunakan berdasarkan terapi gangguan fungsi ginjal sebanyak 5 pasien, hanya
empiris jenis sefalosporin generasi ke-3 (beta­laktam), empat orang pasien yang tanpa komorbid.
yaitu seftriakson (43%) dan sefta­zidim (26%) banyak
digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan obat Pola resistensi bakteri terhadap jenis antibiotik

lain. Kombinasi yang banyak digunakan adalah mak­ Pasien CAP dirawat inap dengan pola resistensi
rolid (azitromisin oral) dan aminoglikosida (gen­ta­misin). bakteri terhadap jenis antibiotik tertinggi 5 besar, yaitu
Golongan fluoro­kuinolon (levoflok­sa­sin) digu­nakan pada sefazolin 50,0%, diikuti amoxiclav 37,8%, sefriakson
23,5% pengobatan. Sefotaksim hanya digunakan 36,4%, ampi-sulbaktam 33,3%, dan kloramfenikol
pada 2 orang pasien (4,2%). 32,4%. Jenis antibiotik yang masih sensitif 100%
Antibiotik terbanyak yang digunakan seftriakson pada pada penderita CAP di RS Persahabatan
tunggal sebesar 31,9%, seftazidim 14,9%, dan levo­ adalah pada pengunaan imipenem sebanyak 45
flok­­sasin 12,7%, sedangkan kombinasi terbanyak sampel dan piperacilin 11 sampel. Uji kesetaraan

J Respir Indo o
V l. 34 No. 2 April 2014 63
Fikri Faisal: Penilaian Respons Pengobatan Empiris pada Pasien Rawat Inap dengan Pneumonia Komunitas

Mc Nemar, didapatkan sefazolin dan ada beberapa antibiotik sefazolin, sensitif hampir 90% siproflokasin,
antibiotik yang risiko resistensi yang tidak berbeda levofloksasin dan amikasin. A. baumanii didapatkan 9
dengan sefazolin. bakteri antibiotik yang resisten hampir 40% sefriakson
dan amoksiklav, sensitif hampir 90% amikasin dan
Pola resistensi bakteri yang ditemukan pada
sefepim. Bakteri S. viridans didapatkan 6 bakteri resisten
pasien dengan resisten antibiotik
hampir 40% gentamisin dan amoksiklav, sensitif hampir
Hasil pemeriksaan didapatkan tiga jenis bak­ 100% tetramisin, kotrimoksazol, seftazidim, cefepim,
teri terbanyak yaitu K. pneumoniae, A. baumanii dan ampisilin sulbaktam.
dan S. viridans. K. pneumoniae resistensi hampir
semua obat, resistensi bakteri terhadap tetramisin, Lama rawat dan terapi sulih
sefotaksim dan ampi-sulbaktam ditemukan antara 50- Pada penelitian ini lama rawat pada penderita
60%. Resistensi terhadap gentamisin, kloramfenikol, pneumonia didapat di RS Persahabatan memerlukan
tetrasiklin, kotrimoksasol, sefazolin, sefotaksim, seftri­ lama rawat minimum 4 hari dan maksimum 30 hari
ak­son, sefoperazon, dan sefepim antara 35-50%. dengan nilai median 10 hari. Pasien paling banyak
Bakteri A. baumanii memiliki resistensi 35% terhadap
dirawat dengan lama perawatan selama 8 hari. Hal
Pola resistensi bakteri yang ditemukan pada pasien dengan resisten antibiotik
kloramfenikol dan sebagian besar intermediet ter­ ini disebabkan faktor komorbid pada penelitian ini
hadap Hasil pemeriksaan
tetrasiklin, didapatkansefepim
seftriakson, sefoperazon, tiga jenis yang
bakteri terbanyak
banyak K. pneumoniae,
yaitu penilaian.
mengganggu A.
Lama terapi
dan ampisilin-sulbaktam.
baumanii Persentase
dan S. viridans. resistensi S. resistensi
K. pneumoniae hampir
sulih dari semuapengobatan
injeksi menjadi obat, resistensi bakteri
oral mediannya
viridans cukup rendah antara 5-10%, sedangkan adalah 5 hari dengan paling minimal selama 3 hari
terhadap tetramisin, sefotaksim dan ampi-sulbaktam ditemukan antara 50-60%. Resistensi
resistensi yang bersifat intermediet sedikit lebih dan maksimum selama 9 hari. Lama rawat pasien
terhadap
tinggi yaitugentamisin, kloramfenikol, tetrasiklin, kotrimoksasol,
antara 8-22%. sefazolin,
paling cepat empat sefotaksim,
hari satu seftriakson,
pasien terlama 30 hari
Gambar tersebut menunjukkan hubungan jenis
sefoperazon, dan sefepim antara 35-50%. Bakteri A. baumanii
dengan memiliki
tiga pasien, resistensi
terbanyak 35% terhadap
hari ketujuh dengan
antibiotik resisten dan intermediet bakteri yang di­da­­ delapan pasien. Lama rerata terapi sulih pada
kloramfenikol danK. sebagian
patkan (A. baumanii, besar
pneumoniae, dan S.intermediate
viridans). terhadap tetrasiklin, seftriakson, sefoperazon,
penelitian ini adalah lima hari. Terapi sulih paling
sefepim danterbanyak
Jenis bakteri ampisilin-sulbaktam. Persentase
adalah K. pneumoniae di­ resistensi S. viridans
cepat dilakukan padacukup rendah
hari ketiga antara
dan yang 5-10%,
paling lama
dapat­
kan 16 bakteri resisten hampir 50% terhadap adalah
sedangkan resistensi yang bersifat intermediet sedikit lebihsembilan hari. Sebanyak
tinggi yaitu 10 orang
antara 8-22%. pasien,

Kuman Kuman Kuman Kuman Kuman Kuman Kuman Kuman Kuman Kuman Kuman Kuman Kuman Kuman Kuman

Gambar
Gambar 1.1. Grafik
Grafik Boxplot
Boxplot (kiri)
(kiri) lama lama perawatan
perawatan sesuai
sesuai dengan jenisdengan
antibiotikjenis
yang antibiotik yang
digunakan (1) digunakan
Sefotaksim (1) Sefotaksim (2)
(2) Sefotaksim+azitromisin
Sefotaksis+azitromisin (3) Seftriakson+gentamicin (4) levofloksasin (5) levofloksasin+azitromisin (6)
(3) Seftriakson+gentamicin (4) levofloksasin (5) levofloksasin+azitromisin (6) Seftriakson+azitromisin (7) Levofloksasin+gentamisin
(8) Seftriakson+azitromisin (7) Levofloksasin+gentamisin
Seftazidim+gentamisin (9) Seftriakson (8) Seftazidim+gentamisin
(10) Seftazidim (11) Levofloksasin+seftazidim. (9) Seftriakson
Gambaran resistensi (10)
(kanan) berbagai
Seftazidim
antibiotik terhadap(11)
kuman Levofloksasin+seftazidim.
penyebab Pneumonia Gambaran resistensi (kanan) berbagai antibiotik terhadap
kuman penyebab Pneumonia

64 J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April 2014


Gambar tersebut menunjukkan hubungan jenis antibiotik resisten dan intermediat bakteri
Fikri Faisal: Penilaian Respons Pengobatan Empiris pada Pasien Rawat Inap dengan Pneumonia Komunitas

terapi sulih dilakukan pada hari keempat. Sebanyak PEMBAHASAN


delapan orang pasien terapi sulih dilakukan pada
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui
hari keenam. Lama rawat yang tercepat dilakukan
respons pengobatan pasien CAP secara empiris,
pada hari keempat adalah menggunakan antibiotik serta faktor yang berkaitan dengan pola bakteri,
monoterapi jenis sefotaksim sedangan golongan respons pengobatan, klinis, laboratorium, foto
beta laktam dikombinasi (seftriakson) dengan makrolid toraks, lama rawat inap, jenis pemberian antibiotik,
(azitromisin oral) dilakukan pada hari keenam. Kom­­ lama pemberian, dan mengetahui faktor komorbid
binasi levofloksasin dan seftazidim mendapat pera­ di RS persahabatan. Studi kohort prospektif yang
watan sampai hari ke-30. dilakukan di ruang rawat inap RS Persahabatan
Terapi sulih yang terbanyak mulai hari keem­ Jakarta. Diagnosis CAP dengan skor PORT ≥70 atau
pat adalah menggunakan antibiotik monoterapi jenis dirawat inap di RS Persahabatan Jakarta Agustus
sefotaksim sedangan golongan fluorokuinolon dila­ 2011 sampai November 2012, telah dikumpulkan
kukan pada hari keenam. Seftriakson dan sefta­ sebanyak 47 pasien yang akan diteliti sesuai
zidim terapi sulih dilakukan masing-masing pada perhitungan statisitik.
hari ketujuh dan kedelapan. Kombinasi levofloksasin Karakteristik jenis kelamin oleh Rusli dkk.2
dan seftazidim pada hari kesembilan pada satu melaporkan laki-laki 62% perempuan 38%. Soeharno
orang pasien. Pada gambar 2 menunjukkan lama dkk.3 melaporkan laki-laki lebih banyak dari pada
rawat berkorelasi dengan hari terapi sulih dilakukan. perempuan. Penelitian ini sebagian besar merupakan
Terapi sulih cepat dilakukan maka cepat pula lama pasien laki-laki yaitu 74,5% dan perempuan 25,5%.
perawatannya begitu pula sebaliknya. Hasil ini sama dilaporkan oleh Mangunegoro dkk.4,
Tabel 5 menerangkan lama rawat dengan laki-laki lebih banyak menderita infeksi saluran napas
faktor komorbid dan pemberian antibiotik seperti bawah dibandingkan perempuan. Wattanatchum
halnya fakkor komorbid keganasan, antibiotik yang dkk.5 juga mendapatkan proporsi laki-laki lebih
banyak digunakan adalah golongan betalaktam tinggi dibanding perempuan yaitu 53,1% pasien
dengan lama rawat median 21 hari dan maksimum rawat jalan dan 67,3% pasien rawat inap. Fogarty
30 hari. Pada kondisi tidak disertai komorbid maka dkk.6 mendapatkan dalam penelitiannya laki-laki
lama rawat adalah maksimal sembilan hari. Bila lebih banyak daripada perempuan yaitu 68%.
disertai komorbid lama rawat adalah 30 hari dengan Gutierrez dkk.7 mendapatkan 62,5% pasien laki-laki.
terapi sulih dilakukan pada hari kesembilan. Seperti yang ditemukan dalam beberapa penelitian

Tabel 5. Profil lama rawat berdasarkan golongan anibiotik dan penyakit komorbid.

Komorbid Lama Antibiotik Beta Laktam+ Beta Fluorokuinolon Fluorokuinolon Fluorokuinolon Fluorokuinolon
rawat Beta Aminoglikosida Laktam+ + Aminoglikosida + Beta laktam + Makro lid
Laktam Makro lid
Tumor Med 21 17 20 12 10
Mini 5 6 20 8 10
Maks 30 22 20 16 10
Lain-lain Med 8 10 7 6 12 30 7
Min 5 10 7 4 11 30 7
Maks 21 10 10 8 12 30 7
Tidak ada Med 9 10
kelainan Min 7 9
maks 10 10
Med: median Min: minimal Maks: maksimal

J Respir Indo o
V l. 34 No. 2 April 2014 65
Fikri Faisal: Penilaian Respons Pengobatan Empiris pada Pasien Rawat Inap dengan Pneumonia Komunitas

sebelumnya, laki-laki mendominasi proporsi kejadian tidak selalu ada, namun dapat bermanifestasi atau
pneumonia komunitas berhubungan dengan usia, bergejala lain seperti delirium, kebingungan dan
penyakit komorbid, lamanya merokok, dan paparan jatuh.32 Wattanathum dkk.5 mendapatkan keluhan
debu lingkungan bekerja. Pada penelitian ini pasien sesak napas merupakan gejala yang dikeluhkan
terbanyak berkerja di swasta yaitu 15 (32,0%). oleh pasien yang dirawat inap dibandingkan rawat
Hal-hal di atas menjelaskan banyaknya laki-laki jalan (80,3% vs. 36,7%) sedangkan keluhan batuk
menderita pneumonia dibandingkan perempuan. dikeluhkan oleh pasien tersebut.
Rerata usia pasien ialah 61 tahun. Usia termuda
28 tahun dan usia tertua 80 tahun. Rusli dkk.2 men­ Respons laboratorium
dapatkan usia 18 sampai 80 tahun dengan rerata 60 Penurunan jumlah leukosit sesudah pemberian
tahun. Soeharno. dkk. mendapatkan usia termuda 19
3
antibiotik rerata 15.270 sel/mm3 menjadi 12.000 sel/
tahun, usia tertua 80 tahun, dan rerata usia 58 tahun. mm3 pada akhir perawatan dengan nilai p<0,001.
Hasil ini berbeda dengan penelitian Mangunnegoro Mangunnegoro dkk.4 melaporkan jumlah leukosit
dkk . yang melaporkan usia rerata penderita 42,4
4
menurun pada hari ke-10. Kolling dkk.11 mendapatkan
tahun. Gutierrez dkk. mendapatkan usia tua lebih
7
dalam penelitiannya jumlah leukosit saat masuk yaitu
sering terjadi pneumonia usia lebih dari 75 tahun 12.500 sel/mm3 dan terjadi penurunan jumlah pada
akan meningkat 87 per 10.000 orang per tahun. Ruiz 24 jam berikutnya. Rekruitmen dan aktivasi leukosit
dkk. melaporkan rerata usia pasien penelitiannya
8
merupakan salah satu mekanisme pertahanan paru,
68±18 tahun. Bohte dkk. melaporkan rerata usia 65
9
khususnya granulosit polimorfonuklear atau PMN.
tahun dengan rentang 17-92 tahun. Ochoa-Gondar Ruiz dkk.8 mendapatkan peningkatan jumlah leukosit
dkk. 10
melaporkan kejadian pneumonia komunitas di atas 12.000 pada 60% kasus. Dalam penelitian ini
akan meningkat seiring bertambahnya usia. Hal ter­ didapatkan hanya penurunan jumlah leukosit yang
sebut disebabkan meningkatnya risiko penyakit dihitung dengan uji kesetaraan bermakna, sedangkan
kronik dan risiko kematian meningkat pada usia tua. hemoglobin dan trombosit tidak bermakna.

Respons gejala klinis Respons hasil foto toraks

Gejala klinis pneumonia yang sering ditemui Pemeriksaan foto toraks merupakan prosedur
yaitu sesak napas, demam, nyeri pleuritik dan batuk sederhana yang dikerjakan pasien pneumonia.
berdahak mukopurulen. Pada penelitian ini, setelah Sebe­lum pengobatan gambaran foto toraks sebagian
perawatan lima sampai tujuh hari sesak napas dan besar 89,3% terdapat gambaran infiltrat, konsolidasi
batuk dirasakan berkurang pada sebagian besar 6,4%, efusi pleura 4,3%. Pada akhir pengobatan
pasien. Secara statistik uji keseteraan bermakna. pascapemberian antibiotik selama lima sampai tujuh
Pada penelitian ini pemeriksaan didapatkan sesak hari dengan terapi empiris ditemukan penurunan
napas 24 pasien (51,0%), batuk 15 pasien (32,0 %), gambaran infiltrat sebanyak 38,1% dari total 47
demam 6 pasien (13,0 %), dan nyeri dada 2 pasien pasien, konsolidasi 4,3% menurun pada satu pasien
(4,3%). Ewig dkk . melaporkan gejala dan tanda CAP
8
sedangkan efusi pleura masih tetap tidak menggalami
adalah sesak napas 67 %, batuk 77 % dan demam 51 perubahan. Soepandi dkk.12 melaporkan gambaran
%. Sedangkan Mangunegoro dkk4 melaporkan batuk radiologis pada hari ke 14 menunjukkan perbaikan
88,5 % pasien, sesak napas 91% pasien dan demam 88,2% - 90,9%. Bruns dkk.13 mendapatkan seluruh
100% melaporkan sesak dan demam membaik atau pasien dalam penelitiannya dengan gambaran infiltrat
menghilang pada hari ke-4. Gejala dan tanda CAP multilobus 33,7% dan atelektasis 6,3%. Setelah
akan berkurang atau menghilang pada 48-72 jam pengobatan, infiltrat mengalami perbaikan. Soeharno
setelah pemberian antibiotik intravena. Pasien CAP dkk.3 melaporkan pada awal terapi terdapat gam­
yang berumur lebih 60 tahun gejala klinis respirasi baran infiltrat. Selain untuk diagnosis dan melihat

66 J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April 2014


Fikri Faisal: Penilaian Respons Pengobatan Empiris pada Pasien Rawat Inap dengan Pneumonia Komunitas

komplikasi, gambaran konsolidasi sering ditemukan seftriakson 18%, dan persisten seftriakson 9%.
pada pneumonia tipikal atau infiltrat difus bilateral Pada kedua kelompok ini tidak didapatkan perbedaan
sering ditemukan pada pneumonia atipikal. Pada bermakna secara statistik. Rusli dkk.17 pada tahun 2004
akhir pengobatan, perubahan terbanyak perbaikan di RS Persahabatan melaporkan bakteri terbanyak
infiltrat dan konsolidasi yang belum mengalami per­ pada pemeriksaan sputum Gram negatif (Klebsiella
baikan. Perbaikan klinis lebih cepat dari pada per­­­baikan pneumoniae, Pseudomonas spp.S.aureus dan
radiologis. Siegel dkk. mendapatkan gambaran foto
14
Sterpto­coccus spp). Soeharno dkk. pada tahun 2003
3

toraks pada pasien CAP yang dirawat resolusi radiologis melaporkan bakteri patogen Gram negatif (Klebsiella
pada minggu kedua 29% dan 83% pada minggu ke- Pneumoniae, Pseudomonas spp dan Acinetobacter
4. Bruns AH dkk.13 pasien pneumonia pada hari ke-7 baumannii) sedangkan Streptococcus spp dan S.
(25%) memiliki perbaikan pada foto toraks, perbaikan aureus jarang dijumpai. Pada penelitian ini hasil
klinis (56%). Pada hari ke-28 (53%) memiliki perbaikan pemeriksaan bakteri yaitu Bakteri terbanyak hampir
pada foto toraks (78%) memiliki kesembuhan klinis. sama yaitu Gram negatif disebabkan karakteristik
pasien, diagnosis, sampel (sputum), lokasi tempat
Respons mikroorganisme
penggambilan RS Persahabatan. Pasien yang berobat
Laporan tahunan pola bakteri dari peme­ telah mendapatkan terapi khususnya antibiotik pada
riksaan sputum di RS Persahabatan tahun 2010 waktu rawat jalan. Hasil yang sama juga didapatkan
ditemukan lima besar bakteri yaitu Klebsiella di beberapa pusat paru di Indonesia (Medan, Jakarta
pneumonia (25%), Streptococcus viridians (15,5%), dan Makasar) melaporkan Bakteri patogen terbanyak
Pseudomonas aeriginosa (9,4), Acinetobacter bau­ Klebsiella pneumoniae 45,18%. Hal ini berbeda
mannii (9,4%) dan Escherichia coli (5,2). Pada dengan penelitian di negara lain, patogen yang sering
penelitian ini didapatkan biakan bakteri sputum pada dijumpai adalah S. Pneumonia 23-40%, H. influenzae
sebagian besar didapatkan hasil Gram negatif yaitu 2,5%, S. aureus 0,47% sedangkan bakteri Gram
Klebsiella pneumoniae, Acinetobacter baumannii, negatif jarang dijumpai. Perbedaan ini disebabkan
Escherichia coli, dan Pseudomonas aeruginosa. karena tempat penelitian sehingga pola bakterinya
Dua bakteri Gram negatif yang terbanyak adalah berbeda dan penggunaan antibiotik yang secara luas
Klebsiella pneumoniae dan Acinetobacter baumanii. di masyarakat Indonesia khususnya Jakarta. Paganin
Bakteri ketiga terbanyak adalah Gram positif, dkk.15 mendapatkan Streptococcus pneumoniae dan
yaitu Streptococcus viridans, pola bakteri angka Klebsiella pneumoniae adalah dua patogen terbanyak
insidennya rendah. Staphylococcus epidermidis, pada pasien dengan pneumonia berat. Ruiz dkk.8
Enterobacter, Escherichia cloacae dan Klebsiella melaporkan dalam penelitiannya penyebab terbanyak
oxytica. Pemberian antibiotik dilakukan secara adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophylus
terapi empiris selama lima sampai tujuh hari, lalu influenza, Influenza A dan B. Arancibia F dkk.16
dilakukan pemeriksaan ulang bakteri. Hasil kultur mendapatkan Bakteri Gram negatif penyebab CAP
bakteri yang mengalami eradikasi (tidak ditemukan) terbanyak adalah Pseudomonas aeruginosa dan
sebanyak 91,5%, bakteri yang menetap atau Escherichia coli. Penyebab umum pneumonia lainnya
(persisten) 6,4% yaitu Acinetobacter baumanii, adalah Streptococcus aeruginosa dan Klebsiella
Escherichia colli dan Pseudomonas aeruginosa. pneu­moniae. Angka kejadian pneumonia yang
Awal mikroorganisme adalah Streptococcus viridans disebabkan oleh bakteri Gram negatif meningkat
dan setelah pengo­batan yang didapatkan hasil bakteri pada pasien dengan kemungkinan aspirasi, riwayat
yang berbeda Enterobacter gergoviae (kolonisasi) perawatan di rumah sakit sebelumnya, riwayat
2,1%. Soeharno dkk.3 eradikasi bakteriologis pada penggu­
naan antibiotik, dan keadaan disertai ko­
kedua kelompok levofloksasin didapatkan 88%, mor­
bid penyakit paru. Faktor risiko tersebut juga
seftriakson 73%, kolonisasi levofloksasin 12%, merupakan faktor risiko kematian pasien pneu­monia.

J Respir Indo o
V l. 34 No. 2 April 2014 67
Fikri Faisal: Penilaian Respons Pengobatan Empiris pada Pasien Rawat Inap dengan Pneumonia Komunitas

Fein dkk.17 mendapatkan Bakteri penye­bab pneumonia lama pula perawatannya. Data RS Persahabatan
rawat inap berusia di atas 60 tahun dengan komorbid 2001 melaporkan terapi sulih 5,36 hari. Norrby dkk.18
adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophylus melaporkan 4 hari. Rusli dkk.2 lama pemberian antibiotik
influenza, infeksi poli­mikrobial, bakteri Gram negatif, intravena 2,75 hari. File dkk.19 melaporkan pemberian
legionella sp, Streptococcus aureus dan chlamydia antibiotik intravena rerata kelompok levo­floksasin dan
pneumoniae. seftriakson 3,4 hari. Lebih lamanya terapi sulih dalam
penelitian ini mungkin karena adanya faktor komorbid
Pemberian antibiotik secara empiris
yang ditemukan pada hampir sebagian pasien.
Antibiotik intravena diberikan secepat mungkin
(kurang dari 8 jam setelah pasien dirawat). Pasien yang Faktor komorbid
memberikan respons baik yaitu terdapat perbaikan klinis Penegakkan diagnosis pneumonia pada pasien
dan laboratorium maka pemberian antibiotik intravena dengan komorbid ini berdasarkan gejala klinis, labo­
diganti menjadi oral. Jenis pemberian antibiotik tunggal ratorium, foto toraks, dan ditemukannya bakteri pada
secara empiris terbanyak adalah golongan sefalosporin sputum. Faktor komorbid terbanyak ditemukan ber­
(beta laktamase) yaitu seftriakson (43%) dan seftazidim dasarkan foto toraks adalah keganasan yaitu pada 22
(26%) yang dikombinasikan dengan obat lain. Kombinasi dari 47 pasien. Foto toraks pascaterapi menunjukkan
yang banyak digunakan golongan makrolid (azitromisin) gambaran massa yang menetap. Leukositosis pada
dan golongan aminoglikosida (gentamisin). Golongan pasien keganasan, selain merupakan tanda infeksi juga
fluoroksuinolon (levofloksasin injeksi) digunakan pada dapat merupakan sindrom paraneoplastik, peningkatan
23%. Pola resistensi mikroorganisme terhadap jenis hematopoetic growth factor, dan glukokortikoid dan
antibiotik pada pasien rawat inap sebagian besar resis­ vaso­presor. Uji prokalsitonin (PCT) sebaiknya dilakukan
ten terhadap sefazolin (50,0%). Jenis bakteri terbanyak untuk mendukung diagnosis pneumonia.
adalah K. pneumonia. Faktor komorbid lain yang ditemukan adalah
penyakit jantung kongestif, diabetes mellitus, dan
Lama rawat penyakit ginjal hanya 4 orang pasien yang tanpa
Lama rawat pada pasien CAP ini memerlukan komorbid. Soeharno dkk.3 melaporkan komorbid
minimum 4 hari dan maksimum 30 hari dengan nilai terbanyak gagal jantung kongestif, penyakit serebro­
median 10 hari. Lama rawat tercepat adalah 4 hari vaskuler dan keganasan. Rusli dkk.2 gagal jantung
pada pasien dengan antibiotik cefotaksim sebanyak merupakan komorbid terbanyak, hal ini sama dengan
2 pasien dan terlama adalah 30 hari pasien dengan faktor komorbid menurut studi PORT yaitu keganasan,
kombinasi levofloksasin + seftazidim pada 1 pasien. gagal jantung kongestif, penyakit serebrovaskuler,
Data laporan tahunan RS Persahabatan pada tahun gagal hati, dan gagal ginjal. Zieba dkk.20 infeksi
2001 rerata pasien CAP 8,5 hari. Rusli dkk.2 melaporkan paru pada pasien keganasan sering ditemukan
lama rawat penderita pneumonia risiko sedang atau bakteri Gram negatif 70%, jamur 12%, dan organisme
berat 5,5 hari terdiri atas levofloksasin 4,57 ± 4,51 hari virus. Mycobacterium tuberculosis, Pneumocyitis jiro­
dan kelompok seftriakson 5,74 ± 5,70 hari. Lama rawat vencii, dan bakteri Gram positif 12%. Norrby dkk.18
pada penelitian ini didapatkan lebih lama dikarenakan komorbid terbanyak gagal jantung kongestif. Loeb
faktor perancu komorbid oleh karena itu, kami tidak dkk.21 melaporkan penyakit paru obstruksi kronik
melakukan analisis untuk variabel ini. (PPOK) sebagai komorbid CAP sebesar 39% diikuti
peminum alkohol 35%. Zieba dkk.20 mendapatkan
Terapi sulih
dalam penelitiannya bahwa diagnosis pneumonia
Lama terapi sulih dari injeksi menjadi oral nilai sebanyak 58,5% dan merupakan penyebab kematian
median 5 hari dengan minimal 3 hari dan maksimum sekunder pada pasien dengan kanker paru. Bakteri
9 hari. Semakin lama terapi sulih dilakukan semakin yang paling banyak ditemukan adalah Streptococcus

68 J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April 2014


Fikri Faisal: Penilaian Respons Pengobatan Empiris pada Pasien Rawat Inap dengan Pneumonia Komunitas

pneumonia. Dalam penilaian PORT, keganasan roksim asetil oral pada pneumonia komonitas
merupakan nilai tambah (+30). risiko sedang dan berat di rumah sakit persaha­
Penelitian ini masih memiliki keterbatasan, di batan. Tesis. Departemen Pulmonologi dan Ilmu
antaranya pengambilan sputum hanya dari upaya Kedokteran Respirasi FKUI. Jakarta; 2003.
pasien tanpa intervensi atau tindakan invasif. Selain 4. Mangunnegoro H, Suryatenggara W,Giriputro
itu, pemeriksaan sputum mikrobiologi di luar jam kerja S, Sianturi A, Peran sparfloksasin pada pengo­
tidak dapat diperiksakan. Konfirmasi atau ekspertise batan infeksi saluran napas bawah di komunitas
foto toraks dengan radiologi secara tidak langsung. J Respir Indo. 2000; 20:156-6.
Hasil kultur resistensi mikrobiologi memerlukan waktu 5. Wattatanathum A, Chaoprasong C, Nunthapisud
yang lama. P, Chantarachada S, Limpairoijn N, jatakanon
A, et al. Community-acquired pneumonia in
KESIMPULAN southeast asia : the microbial differences be­
Gejala utama pneumonia komunitas adalah tween ambulatory and hospitalized patients.
sesak napas dan batuk. Pada pemeriksaan labo­ Chest.2005;123:1512-9.
ratorium leukosit umumnya terjadi perbaikan menuju 6. Fogarty C, Siami G, Kohler R, File TM, Tennenberg
normal setelah pemberian antibiotik empiris. Foto AM, Olson WH, et al. Multicenter, open-label,
toraks setelah pemberian antibiotik empiris 5-7 hari randomized study to compare the safety and ef­
menunjukkan pengurangan infiltrat. Bakteri Gram ficacy of levofloxacin versus ceftriaxone sodium
negatif terbanyak adalah Klebsiella pneumonia, and erythromycin followed by clarithromycin and
Acinetobacter baumanii, dan Gram positif adalah amoxicillin-clavulanate in the treatment of serious
Streptococcus viridians. Jenis antibiotik yang masih community-acquired pneumonia in adults. CID.
sensitif terhadap Klebsiella pneumoniae adalah 2004;1:16-23.
siproflokasin, levofloksasin, dan amikasin. Antibiotik 7. Gutierrez F, Masia M, Mirete C, Soldan B,
yang masih sensitif 100% adalah golongan imipenem Rodrigues JC, Padilla S, et al. The influence of
dan piperasilin. Rerata lama rawat pasien minimal age and gender on the population-based in­
empat hari dan terapi sulih terjadi minimal pada hari cidence of community-acquired pneumonia
ke-3. Rerata lama pemberian antibiotik intravena lima caused by diffe­rent microbial pathogens. J Infect.
hari. Faktor komorbid terbanyak adalah keganasan 2006;53:166-74.
rongga toraks. 8. Ruiz M, Ewig S, Marcos AM, Martinez JA,
Arancibia F, Mensa J, et al. Aetiology of
DAFTAR PUSTAKA Community-Acquired Pneumonia: Impact of Age,
Comorbidity, and Severity. Am J Respir Crit Care
1. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Pneumonia:
Med. 2009;160:397–405.
pedoman diagnosis dan penatalaksanaan di Indo­
9. Bohte R, Furth RV, Van den Broek PJ. Aetiology
nesia. Jakarta: Balai Penerbit FKUI; 2003. h. 1-34.
of community-aquired pneumonia : a prospective
2. Rusli A. Perbandingan terapi sulih levofloxasin
study among adults requiring admission to hospi­
intravena oral dengan seftriakson intravena dan
tal. Thorax. 2005;50:543-7.
sefuroxsim asetil oral pada penatalaksaan pneu­
10. Corcoles AV, Ochoa-Gondar O, Ester F, Sarra N,
monia komonitas risiko sedang atau berat. Tesis.
Ansa X, Saun N. Evolution of vaccination rates af­
Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran
ter the implementation of a free systemic pneuo­
Respirasi FKUI. Jakarta; 2004.
mococcal vaccination in Catalonian older adults:
3. Soeharno W. Penilaian efikasi terapi sulih dini
4 years follow up. BMC Public Health. 2006;6:1-6.
levofloxasin intravena dilanjutkan oral diband­
11. Kolling U K, Hansen F, Braun J, Rink L, Katus
ingkan seftriakson inrtavena dilanjutkan sefu­

J Respir Indo o
V l. 34 No. 2 April 2014 69
Fikri Faisal: Penilaian Respons Pengobatan Empiris pada Pasien Rawat Inap dengan Pneumonia Komunitas

H A, Dalhoff K. Leucocyte responsse and anti- monia. Am J Respir Crit Care. 2007;162:154-60.
inflammatory cytokines in community acquired 17. Fein AM. Pneumonia in the elderly: overview
pneumonia. Thorax. 2004;56:121–5. of diagnostic and therapeutic approaches. Clin
12. Soepandi PZ, Mangunnegoro H, Rogayah R, Infect Dis. 2009;(28):726-9.
Abubakar S, Mariono SA, Sumiati. Terapi sulih mok­ 18. Norrby RS, Peterman W, Wilcox AP, Vetter N,
sifloksasin intravena-oral pada pengobatan pneu­ Salewski, A comparative study of levofloxacin
monia ko muniti. J Respir Indo. 2004;24:174-7. and ceftiaxone in treatment of hospitalized pa­
13. Bruns AH, Bewick T, Greenwood S, Lim WS. The tients with pneumonia. Scan J Infect Dis. 2008;
impact of an early chest radiograph on outcome 30: 397-404.
in patientshospitalized with community-acquired 19. File TM, Segret J, Dunbar L, Player R, Kohler R,
pneumonia. Clin Med. 2010;10(6):563-7. Williams RR. A multicenter, randomized study
14. Siegel RE. Strategies for early discharge of the comparing the efficacy and safety of intravenous
hospitalized patients with community acquired and/or oral levofloxacin versus ceftriaxone and/
pneumonia. Clin Chest Med. 1999;20:549-605. or cefuroxime axetil on treatment of adults with
15. Paganin F, Lilienthal F, Bourdin A, Lugagne community-acquired pneumonia. Antimicrob
N, Tixier F, Genin R, et al. Severe community- Agent and Chemoth. 1997; 41(9):1965-72.
acquired pneumonia: assessment of micro­ 20. Zięba M, Baranowska A, Krawczyk M, Noweta
bial aetiology as mortality factors. Eur Respir J. K, Rzymowska IG, Kwiatkowska S. Pneumonia
2004;24:779-85. as a cause of death in patients with lung cancer.
16. Arancibia F, Ewig S, Martinez JA, Ruiz M, Bauer Radiol Oncol. 2003; 37(3): 167-74.
T, Marcos MA, et al. Antimicrobial treatment fail­ 21. Loeb M. Pneumonia in older persons.Clin Infect
ures in patiens with community-acquired pneu­ Dis. 2004;37(10):1335-9.

70 J Respir Indo Vol. 34 No. 2 April 2014

Anda mungkin juga menyukai