PENDAHULUAN
Urea merupakan produk akhir dari metabolisme asam amino yang bersifat racun
sehingga dapat membahayakan tubuh apabila menumpuk di dalam tubuh. Urea tersebut
terbentuk dari proses katabolisme protein yang dapat dipecah menjadi asam amino dan
sebagai indeks awal kegagalan fungsi ginjal dalam tubuh (Rahman, 2007).
Kelainan fungsi ginjal adalah kelainan yang sering terjadi pada orang dewasa. Kelainan
fungsi ginjal berdasarkan durasinya dibagi menjadi 2 yaitu gagal ginjal akut dan gagal ginjal
kronik. Gagal ginjal akut (GGA) adalah kemunduran yang cepat dari kemampuan ginjal
dalam membersihkan darah dari bahan-bahan racun, yang menyebabkan penimbunan limbah
metabolik didalam darah, salah satu contohnya adalah urea. Gagal ginjal kronik (GGK) telah
menjadi masalah utama kesehatan di seluruh dunia, karena merupakan salah satu faktor
penyebab terjadinya penyakit jantung dan pembuluh darah yang akan meningkatkan angka
Urea dalam darah atau disebut juga blood urea nitrogen (BUN) memliki kadar normal
5–25 mg/dl. Penetapan kadar urea dalam serum mencerminkan keseimbangan antara
produksi dan ekskresi (Shanmugam dkk, 2010). Pada gangguan ginjal yang parah kadar
blood urea nitrogen (BUN) dan kreatinin akan meningkat (Japaries, 1992). Untuk penderita
gagal ginjal, kadar urea memberikan gambaran tanda paling baik untuk timbulnya urea
toksik dan merupakan gejala yang dapat dideteksi dibandingkan kreatinin (Nasution, 2006).
1
Metode – metode yang digunakan untuk analisis kadar urea dalam urin antara lain
Potensiometri, kalorimetri dan spektrofotometri (Fatima dan Mishra, 2011). Namun dalam
reagen yang digunakan relatif tidak stabil yang mengakibatkan kehilangan ammonia selama
proses berlangsung (Rho, 1972). Dari ketiga metode ini, metode yang paling sering
digunakan pada penelitian yang dilakukan untuk mendeteksi urea dengan perolehan hasil
yang akurat adalah dengan menggunakan metode kalorimetri yaitu kalorimetri secara
langsung.
diasetil monoksim (DAM) yang ditemukan oleh Fearon merupakan dasar dari berbagai
metode penentuan kadar urea dalam cairan-cairan biologis (Wybenga dkk, 1971).
Akan tetapi reaksi antara urea dengan diasetil monoksim (DAM) tidak begitu mudah
dipahami (Rho, 1972). Salah satu kesulitan dalam menggunakan metode DAM adalah pada
sensitivitas blanko dan stabilitas warna yang terbentuk sehingga memungkinkan untuk
memakai reagen tambahan seperti tiosemikarbazida dan logam besi (III) (Beale and
Croft,1961).
Salah satu metode analisis yang dikembangkan saat ini ialah dengan menggunakan
sensor berbasis kertas. Pengembangan sensor kertas ini telah diteliti oleh Martinez dkk.,
(2007) untuk menentukan kadar asam urat dan glukosa dalam urin. Selain itu penelitian
yang melibatkan sensor berbasis kertas telah dilakukan dengan menggunakan sampel seperti
glukosa (Yu dkk., 2011), urin dan air liur (Klasner dkk., 2010) maupun asam urat (Dungchai
dkk.,2009). Keunggulan dari sensor kertas ialah lebih praktis, murah dan sederhana serta
2
Penelitian yang telah dilakukan oleh Fahmi (2011) melaporkan bahwa untuk
mendeteksi urea dapat dilakukan dengan menggunakan metode sensor kimia yang mudah,
aman, sensitif, dan spesifik. Pembuatan sensor urea dilakukan dengan immobilisasi reagen
DAM-TSC serta reagen asam fosfat dan asam sulfat ditambah dengan FeCl 3 pada plat silika
gel memakai metode adsorbsi fisika yang diharapkan dapat mengembangkan metode
penentuan urea secara kalorimetri dengan reagen tersebut. Namun metode tersebut masih
sangat mahal dan membutuhkan fasilitas laboratorium yang memadai. Pengukuran tersebut
juga dilakukan pada urea murni, sedangkan dalam sampel urin juga terdapat sekitar 95 % air
dan padatan terlarut di dalamnya seperti kreatinin, asam urat (C5H4N4O3) dan hormon.
Selain itu terdapat juga ion – ion seperti natrium (Na +), kalsium (Ca2+),magnesium
(Mg2+), kalium (K+), klorida (Cl-),oksalat (C2O42-), bikarbonat (HCO3-) serta senyawa lainnya
dalam jumlah kecil, seperti ammonium (NH4+), sulfat (SO42-), fosfat (H2PO4-,HPO42- PO43-)
(Guyton,1996). Adanya ion dan senyawa tersebut di dalam urin akan mempengaruhi proses
analisis ureum, dan hingga saat ini belum pernah dilakukan penelitian terkait pengaruh zat
pengganggu tersebut.
Oleh karena itu, perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh ion atau
senyawa pengganggu terhadap penentuan kadar urea. Beberapa ion pengganggu yang
diketahui antara lain Fosfat, Kalium dan Oksalat. Kadar fosfat dalam tubuh diatur oleh ginjal
yang akan biasanya diekskresikan melalui urin. Jika ginjal mengalami gangguan dan tidak
bisa berfungsi dengan baik, ginjal tidak mungkin dapat membuang sisa fosfat dari dalam
tubuh. Akibatnya, kadar fosfat dalam darah akan meningkat yang mengakibatkan
3
Kalium juga merupakan elektrolit yang sangat penting untuk fungsi saraf dan otot,
terutama otot jantung, dan juga berperan sebagai pengatur tekanan darah. Kadar kalium di
dalam tubuh dikendalikan oleh ginjal. Jika kadar kalium berlebihan, ginjal akan membuang
kalium dari dalam tubuh melalui keringat atau melalui urine. Jika kadar kalium dalam darah
kurang dari 2,5 mmol/L, maka kondisi ini dapat digolongkan sebagai hipokalemia berat
yang dapat membahayakan jiwa. Kekurangan kalium bisa disebabkan oleh beberapa hal,
namun faktor yang paling sering menjadi penyebab hilangnya kalium secara berlebihan
urine dan factor lainnya adalah gagal ginjal kronis (Ganong, dkk 2008). Asam oksalat
bersama dengan mineral kalsium dalam tubuh manusia membentuk senyawa yang tak larut
dan tak dapat diserap tubuh berupa kristal seperti halnya jarum-jarum tajam. Kalsium dan
batu oksalat sebagai penyebab sekitar 80 persen penyakit batu ginjal pada orang dewasa.
Berdasarkan uraian di atas, maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul
“Pengaruh Ion Fosfat, Kalium dan Oksalat pada Analisis Urea Menggunakan Sensor
Berbasis Kertas”
4
1.2 Rumusan Masalah
Pengembangan beberapa metode untuk menentukan kadar urea dalam urin telah berhasil
dilakukan. Akan tetapi, metode-metode tersebut membutuhkan waktu yang lama dan biaya
yang mahal. Oleh karena itu,telah dikembangkan suatu metode untuk menentukan kadar
urea yaitu metode sensor berbasis kertas. Namun, pengujian tersebut hanya dilakukan
dengan tujuan untuk mengembangkan metode, sementara dalam sampel urin dapat dilakukan
berbagai uji kadar zat atau senyawa kimia yang terkandung didalamnya salah satu contohnya
adalah urea. Selain itu juga, terdapat beberapa ion pengganggu di dalam sampel urin seperti
natrium, kalsium, kalium, okasalat, magnesium, fosfat, ammonia, bikarbonat, klorida, dll.
Oleh karena itu harus dilakukannya suatu uji yang dapat menunjukan adanya ion-ion
pengganggu tersebut.
1. Bagaimana pengaruh variasi konsentrasi fosfat, kalium dan oksalat pada analisis
1. Mempelajari pengaruh ion Fosfat, Kalium dan Oksalat pada analisis urea
2. Mempelajari pengaruh variasi konsentrasi ion Fosfat, Kalium dan Oksalat pada
5
1.4 Manfaat Penenlitian
2. Sebagai bahan acuan dalam bidang kesehatan terutama untuk uji urea dalam
6
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Urea
Urea merupakan molekul dari amonia yang dibentuk pada proses deaminasi asam amino
dalam hati yang juga dikenal dengan istilah karbamide (Khairi, 2005). Pada dasarnya urea
merupakan limbah yang dihasilkan oleh metabolisme protein. Cairan tubuh kita terdiri dari
sebagian urea. Ketika berada pada level tidak normal mungkin akan menjadi beracun bagi tubuh
kita. Oleh karena itu perlu adanya pengawasan teratur yang digunakan untuk tujuan klinis
Urea merupakan molekul kecil yang mudah mendifusi kedalam cairan ekstrasel, tetapi
akhirnya dipekatkan dalam urin dan diekskresikan. Jika keseimbangan nitrogen dalam keadaan
normal, ekskresi urea kira-kira 25 mg per hari (Widman K, 1995). Urea adalah produk akhir
metabolisme nitrogen yang penting pada manusia, yang disintesis dari ammonia, karbon dioksida
dan nitrogen amida aspartat (Murray dkk, 1999). Rumus struktur dari urea adalah sebagai
berikut:
Dari uraian metabolisme asam amino diketahui bahwa NH 3 dapat dilepaskan dari asam
amino melalui reaksi transaminasi, deaminasi, dan dekarboksilasi. Pada reaksi transaminasi
7
gugus NH₂ yang dilepaskan diterima oleh asam keto, sehingga terbentuk asam amino baru dan
asam keto lain. Sedangkan pada reaksi deaminasi, gugus NH₂ dilepaskan dalam bentuk ammonia
yang kemudian dikeluarkan dari dalam tubuh dalam bentuk urea dalam urine. Beberapa produk
ammonia pada proses katabolisme asam amino digunakan untuk sintesis nitrogen bimolekul
seperti nukleotida. Kelebihan ammonia dirubah menjadi urea untuk proses ekskresi
(Miles,2003).
Urea atau karbamida merupakan suatu senyawa organik dengan rumus kimia (NH 2)2CO.
Molekul urea memiliki dua gugus amina (-NH2) yang digabungkan oleh gugus fungsi karbonil.
Urea pertama kali ditemukan dalam urin pada tahun 1773 oleh kimiawan perancis Hilaire Roulle.
Pada tahun 1828,seorang kimiawan Jerman Friedrich Wohler memperoleh urea dengan
mereaksikan perak tiosianat dengan ammonium klorida dalam sebuah percobaan yang gagal
untuk memperoleh ammonium tiosianat. Urea memiliki peran penting dalam metabolisme
senyawa yang mengandung nitrogen pada hewan mamalia. Urea berbentuk padat, tidak
berwarna, bersifat netral, sangat larut dalam air dan relatif tidak beracun. Urea disintesis didalam
tubuh berbagai organisme sebagai bagian dari siklus urea, yang dapat berasal dari oksidasi asam-
2.2.1 Urin
Urin atau air seni adalah cairan sisa yang diekskresikan oleh ginjal yang kemudian akan
dikeluarkan dari dalam tubuh melalui proses urinalisasi. Urinalisasi merupakan suatu metode
analisa untuk mendapatkan bahan – bahan atau zat – zat yang dimungkinkan terkandung dalam
urin dan juga untuk melihat adanya kelainan pada urin. Urin disaring di dalam ginjal, dibawa
8
melalui ureter menuju kandung kemih, akhirnya dibuang keluar tubuh melalui uretra (Confer dan
panciera, 2003). Fungsi utama urin adalah untuk membuang zat sisa seperti racun atau obat-
Komposisi zat – zat dalam urin bervariasi tergantung jenis makanan serta air yang diminum.
Urin normal berwarna jernih transparan, sedangkan warna kuning muda pada urin berasal dari
zat warna empedu ( bilirubin dan biliverdin). Kandungan urin terdiri dari sekitar 95% air dan
padatan terlarut di dalamnya seperti urea (CON2H4) atau (NH2)2CO, kreatinin, asam urat
(C5H4N4O3), dan hormon. Selain itu terdapat juga ion : natrium (Na +), kalium (K+), klorida (Cl-),
magnesium (Mg2+), kalsium (Ca2+), oksalat (C2O42-) serta senyawa lainnya dalam jumlah kecil,
Komposisi urin berubah sepanjang proses reabsorbsi ketika molekul yang penting bagi tubuh,
misalnya glukosa diserap kembali kedalam tubuh melalui molekul pembawa (Kus Irianto, 2004).
1. Proses Filtrasi
Filtrasi terjadi pada glomerulus yang disebabkan karena permukaan aferen lebih besar dari
permukaan eferen sehingga terjadi penyerapan darah. Cairan yang tersaring ditampung oleh
simpai bowman yang terdiri dari glukosa, air, natrium, klorida, sulfat, bikarbonat, dan lain – lain
2. Proses Reabsorbsi
Fungsi utama tubulus proksimal adalah reabsorbsi yaitu proses dikembalikannya air bersama
glukosa, asam amino, asam urat, dan protein yang berhasil menembus filter glomerulus ke aliran
darah. Tubulus proksimal juga mengembalikan elektrolit, natrium, klorida dan bikarbonat.
9
2.2.2 Gagal Ginjal
Gagal ginjal merupakan kondisi dimana ginjal kehilangan kemampuannya untuk menyaring
cairan dan sisa-sisa makanan. Kelainan fungsi ginjal berdasarkan durasinya dibagi menjadi 2
yaitu gagal ginjal akut dan gagal ginjal kronik. Gagal ginjal akut (GGA) adalah kemunduran
yang cepat dari kemampuan ginjal dalam membersihkan darah dari bahan-bahan racun, yang
menyebabkan penimbunan limbah metabolik didalam darah, salah satu contohnya adalah urea.
Gagal ginjal kronik (GGK) telah menjadi masalah utama kesehatan di seluruh dunia,
karena merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya penyakit jantung dan pembuluh darah
yang akan meningkatkan angka kesakitan dan kematian (Setyaningsih dkk, 2013). Pada keadaan
ini kemampuan ginjal untuk mengeluarkan hasil-hasil metabolisme tubuh terganggu sehingga
sisa–sisa metabolisme tersebut terakumulasi dan menimbulkan gejala klinik sebagai sindrom
uremik (peningkatan kadar ureum dan kreatinin darah (Sidabutar dan Suhardjono,1992).
Kegagalan ginjal dikarenakan kerusakan ginjal ditandai dengan gejala adanya protein dalam
urin (proteinuria atau albuminuria), darah dalam urin (hematuria) dan kenaikan tingkat urea atau
kreatinin (sisa produksi metabolisme protein) dalam darah (Reksodiputro dan Prayoga, 2001).
2.3.1 Fosfat
Kalium merupakan salah satu elektrolit yang berperan penting dalam tubuh. Kalium adalah
ion bermuatan positif dan terdapat di dalam sel. Kalium diabsorpsi di usus halus dan sebanyak
80-90% kalium yang dikonsumsi diekskresi melalui urin, sisanya dikeluarkan melalui feses,
10
keringat dan cairan lambung (Robert, 1988).
asam basa, transmisi saraf dan relaksasi otot. Kalium juga berperan penting dalam penyampaian
implus-implus saraf ke serat-serat otot dan juga dalam kemampuan otot untuk berkontraksi
(Nasution dan Darwin, 1998). Kadar normal kalium dalam serum/plasma pada orang dewasa
adalah 3.5-5.1 mEq/L dan pada anak-anak adalah 3.4-4.7 mEq/L. Kadar normal kalium dalam
urin pada orang dewasa adalah 25-125 mEq/L/hari dan pada anak-anak adalah 10-60mEq/L/hari.
Penelitian Wulandari (2007) menyatakan bahwa kandungan kalium dalam daun tempuyung
adalah sebesar 8,2 %. Kadar kalium yang tinggi dalam daun tempuyung akan menyingkirkan
kalsium untuk bergabung dengan senyawa karbonat, oksalat atau urat yang merupakan
pembentuk batu ginjal, sehingga endapan batu ginjal dapat larut dan keluar bersama urine.
Oksalat (C2O42-) merupakan anion dari senyawa asam oksalat (H2C2O4). Asam oksalat dalam
keadaan murni berupa senyawa kristal, larut dalam air (8% pada 10oC) dan larut dalam alkohol.
Asam oksalat membentuk garam netral dengan logam alkali (NaK),yang larut dalam air (5-25%),
sementara itu dengan logam dari alkali tanah, termasuk Mg atau dengan logam berat,
Pada umumnya oksalat dapat membentuk kristal dengan kalsium. Oksalat dalam air kemih
berasal dari dalam tubuh (endogen), dan juga berasal dari makanan yang kita makan serta hasil
11
metabolisme vitamin C. Membatasi konsumsi masukan kalsium berarti mengurangi makanan
yang mengandung kalsium tinggi (Cahanar dan Suhanda, 2006). Banyak ion logam yang
membentuk endapan tak larut dengan asam oksalat, misalnya kalsium oksalat (CaOOC-COOCa),
yaitu penyusun utama jenis batu ginjal yang sering ditemukan. Terjadinya kalsium oksalat
(CaC2O4) dalam batu ginjal atau kandung kemih dapat menyebabkan gagal ginjal.
Hal ini terjadi karena tidak adanya keseimbangan dalam kerja ginjal, sehingga garam-garam
pada ginjal tidak terangkut keluar bersama urin dan akhirnya mengendap dan mengumpul
menjadi kristal kapur. Endapan inilah yang menjadi batu ginjal (Jaka Sulaksana, dkk, 2004).
Tubuh yang kekurangan cairan dapat menyebabkan terjadinya batu ginjal karena urin
terlalu pekat sehingga terjadi kekeruhan dalam urin. Akibatnya terjadi penyumbatan pada saluran
dari ginjal menuju kandung kemih. Batu ginjal terbentuk dari bahan-bahan kimia seperti kalsium,
asam urat, fosfat, dan bahan kimia lain (Soenanto dan Sri Kuncoro, 2005).
Pengembangan sensor berbasis kertas didasarkan pada biayanya yang murah, mudah
didapat dan praktis untuk digunakan. Kertas dapat digunakan sebagai media reaksi kolorimetrik.
Kertas yang biasanya digunakan sebagai media utama reaksi ini adalah kertas saring Whatman.
Kertas saring Whatman banyak digunakan sebagai penyaring dalam pemisahan campuran zat
tertentu. Parameter penting dalam kertas saring ini adalah kekuatan serap, retensi partikel dan
kecepatan menyaring. Kecepatan menyaring berhubungan dengan seberapa cepat kertas menahan
retensi partikel sedangkan kekuatan serap berhubungan dengan ukuran porositas, dimana hal ini
12
NO2
O H
O N O C N
C NH
O
HC N
O2N H
CH3
Dalam pengembangannya sebagai sensor, kertas digunakan sebagai sumbu fluida tempat
berlangsungnya reaksi antara analit dan reagen yang akan memberikan signal khusus untuk
kepentingan analisis. Pengembangan sensor kertas ini mulai diteliti oleh Martinez dkk., (2007)
untuk menentukan kadar asam urat dan glukosa dalam urin. Martinez dkk., (2007),
Hydrophobic dimana akan dihasilkan dinding yang bersifat hidrofobik sehinga cairan terkurung
di dalamnya dan mengalir melalui aliran kapiler menuju zona pendeteksian protein dan glukosa.
Penelitian Khan dkk., (2010) melaporkan bahwa kertas dapat digunakan sebagai pendeteksi tipe
Beberapa aplikasi sensor kertas yang telah berhasil dilakukan antara lain :
a. Diagnosa kesehatan
Dalam bidang kesehatan, kertas sangat menarik dan potensial dijadikan perangkat lab on a
chip sehingga mudah dibawa untuk keperluan deteksi serta diagnosis. Beberapa penelitian yang
melibatkan sensor berbasis kertas telah dilakukan dengan menggunakan sampel seperti glukosa
(Yu dkk., 2011), urin dan air liur (Klasner dkk.,2010) maupun asam urat (Dungchai dkk., 2009).
Sensor kertas digunakan dalam mengontrol kulaitas makanan karena lebih mudah dan praktis
13
digunakan di lapangan apabila dibandingkan dengan instrumen di laboratorium. Penelitian
berbasis kertas telah dilakukan Hossain dkk., (2009) untuk mendeteksi pestisida di dalam
c. Pemantauan lingkungan
Dalam pemantauan lingkungan, deteksi dari logam-logam berat maupun polutan lainnya
sangat diperlukan. Telah dilakukan untuk penentuan kadar nitrat, nitrit (Jayawardane dkk.,2014)
14
BAB III
METODE PENELITIAN
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan Januari - April 2019 di Laboratorium
Alat yang digunakan dalam penelitian ini meliputi peralatan gelas, pipet mikro, botol
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah urea sintetik, Diasetil Monoxim
(DAM), Tiosemikarbazide (TSC), Asam Sulfat (H2SO4), Fosfat, Kalium, Oksalat, kertas
Pembuatan sensor
Validasi Metode
Analisis Data
15
3.4 Prosedur Kerja
Sensor yang akan digunakan untuk menentukan kadar urea dibuat dari kertas saring
berlapis tunggal (Kertas saring Whatman 42) yang dipotong dengan diameter 0,6 cm
menggunakan pelubang kertas sebagai zona reaksi, kemudian diimobilasi dengan (DAM-
Larutan induk dibuat dengan konsentrasi masing – masing pengganggu (fosfat, kalium
dan oksalat) sebesar 200 ppm. Larutan induk yang sudah tersedia kemudian diencerkan
menjadi beberapa konsentrasi dengan interval yang sama untuk masing – masing zat
pengganggu.
Sensor berbasis kertas yang sudah dibuat dicobakan pada larutan standar urea dengan
konsentrasi 20, 40, 60, 80, 100, 120 dan 140 ppm. Intensitas warna yang tampak kemudian
16
c#2010 Express dan dibuat kurva standar dengan memplotkan nilai intensitas warna dengan
konsentrasi urea.
3.4.4 Pengaruh zat pengganggu terhadap sensor berbasis kertas pada penentuan
kadar urea
Masing – masing senyawa fosfat dengan konsentrasi 15, 20, 25, 30 dan 35 ppm, kalium
dengan konsentrasi 20, 25, 30, 35 dan 40 ppm, oksalat dengan 25, 30, 35, 40 dan 45
konsentrasi ditambahkan pada urea dengan kadar optimalnya, kemudian diukur intensitas
warnanya menggunakan sensor berbasis kertas. Intensitas warna yang tampak difoto
menggunakan HP lalu dianalisis menggunakan Microsoft Visual c# 2010 Express dan dibuat
kurva standarnya.
Tabel 1. Rancangan Acak Lengkap Variasi Konsentrasi Zat Pengganggu Ion Kalsium
Konsentrasi Ula
(ppm) ngan
U1 U2 U3 U4 U5
M1 M1U1 M1U2 M1U3 M1U4 M1U5
M2 M2U1 M2U2 M2U3 M2U4 M2U5
M3 M3U1 M3U2 M3U3 M3U4 M3U5
M4 M4U1 M4U2 M4U3 M4U4 M4U5
M5 M5U1 M5U2 M5U3 M5U4 M5U5
Dibuat perlakuan yang sama untuk kalium dan oksalat tetapi dengan variasi konsentrasi
yang berbeda.
17
Konsentrasi Urea Pengganggu
(M)
A B C
K KA1 KB1 KC1
K KA2 KB2 KC2
K KA3 KB3 KC3
K KA4 KB4 KC4
K KA5 KB5 KC5
Keterangan : A = Fosfat + Kalium ; B = Kalium + Oksalat ; C = Fosfat + Oksalat
dengan cara menentukan nilai presisi, akurasi, perolehan kembali dan limit deteksi.
- Uji presisi
Masing-masing ion fosfat dengan konsentrasi 15, 20, 25, 30 dan 35 ppm, kalium
dengan konsentrasi 20, 25, 30, 35 dan 40 ppm, oksalat dengan 25, 30, 35, 40 dan 45
pengukuran tiap individual dan dibandingkan dengan nilai rata-rata hasil pengukuran.
Dengan :
S : Standar Deviasi
18
x́: Mean (rata-rata)
RSD : Relative Standart Deviation
- Uji akurasi
Masing-masing fosfat dengan konsentrasi 15, 20, 25, 30 dan 35 ppm, kalium
dengan konsentrasi 20, 25, 30, 35 dan 40 ppm, oksalat dengan 25, 30, 35, 40 dan 45
standarnya. Dari kurva yang diperoleh diambil salah satu titik untuk diukur kemudian
- Perolehan kembali
Perolehan kembali ditentukan dari kurva kalibrasi hasil pengukuran yang dperoleh kemudian
ditentukan % R dengan menggunakan persamaan:
( C s−C u )
% Perolehan Kembali = ×100%
Ca
Dengan :
Cs : konsentrasi hasil pengukuran saat di spike
19
Cu : konsentrasi sampel murni
Ca : konsentrasi ureum yang ditambahkan
- Limit deteksi
Limit deteksi ditentukan dengan membandingkan kurva standar pada pengukuran
urea murni dengan kurva standar pengukuran konsentrasi urea yang telah dicampur
DAFTAR PUSTAKA
Beale, R, N., Croft, D., 1961. A sensitive method for the colorimetric determination of urea. J.
20
GUn. Pathol. 14, 418.
Brahmana, T., Lubis, H., 2013. Serum Blood Urea Nitrogen (BUN) sebagai Penanda
Independen Kematian di Rumah Sakit pada Penderita Infark Miokard Akut ST Elevasi
tanpa Reperfusi Dini, The Journal of Medical School, Fakultas Kedokteran, Universitas
Sumatera Utara, Medan.
Dungchai, W., Chailapakul, O., Henry, C.s., 2011. A Low-Cost, Simple, and Rapid Fabrication
Method for Paper-Based Microfluidics Using Wax Screen-Printing, Analytical
Chemistry, 136, 77-82.
Eggenstein, C., Borchdat, M., Diekmann, C., Grunding, B., Dumschat, C., Camman, K., Knoll,
M., & Spener, F. 1999. A Disposable Biosensor for Urea Determination in Blood Based
on an Ammonium-Sensitive Transduce. Biosensors & Bioelectronics 14: 33-41.
Fahmi, M., 2015. Performansi Analitik Sensor Urea Terimobilisasi Reagen Diasetil
Monoksim (DAM) dan Tiosemikarbazida (TSC) secara Adsorpsi pada Plat Silika Gel,
Skripsi, Fakultas Sains dan Teknologi, Universitas Islam Negeri Maulana Malik
Ibrahim, Malang.
Fatima, I., Mishra, S., 2011. Development of Potentiometric Urea Biosensor For Clinical
Purpose, Indo Global Journal of Pharmaceutical Sciences, ISSN 2249 – 1023, India.
Johanes, R., Purwanto, S., Kaligis, M., 2010. Kadar Klorida Serum pada Latihan Fisik
Intensitas
Sedang Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Jurnal MIPA,
Fakultas Kedokteran Universitas Sam Ratulangi, Manado.
Loho, I., Rambert, G., Wowor, M., 2016. Gambaran kadar ureum pada pasien penyakit ginjal
kronik stadium 5 non dialisis, Jurnal e-Biomedik (eBm), Vol 4 No. 2
Khan, M.s., Thouas, G., Shen, W., Whyte, G., Garnier, G., 2010. Paper diagnostic for
Instantaneous Blood Typing, Analytical Chemistry, 82, 4158-4164.
Klasner, S.A., Price, A.K., Hoeman, K.W., Wilson, R.S., Bell, K.J., Cullbertson, C.T., 2010.
Paper-Based Microfluidic Devices for Analysis of Clinically Relevant Analyst Present in
Urine and Saliva, Analytical Chemistry , 397, 1821-1829.
Martinez, A.W., Phillips, S.T., Butte, M.J., Whitesides, G.M., 2007. Patterned Paper As a
Platform for Inexpensive, Low Volume, Portable Bioassays, Angewandte Chemie
21
International Edition 46, 1318–1320.
Rahmatullah, M., Boyde, T.R.C., 1980. Improvements In The Determination Of Urea Using
Diacetyl Monoxime; Method With And Without Deproteinasation, Clinical Chimica Acta,
107: 3-9.
Rho, J, H., 1971. Direct Flourometric Determination Of Urea In Urine. Clinical Chemistry. Vol.
18. No. 5.
Rupilu, R., 2015. Pengembangan Sensor Berbasis Kertas untuk Penentuan Kadar Kreatinin,
Skripsi, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Nusa Cendana, Kupang.
Setyaningsih, A., Puspita, D., Rosyidi, M., 2013. Perbedaan Kadar Ureum dan Kreatinin pada
Klien yang Menjalani Hemodialisa dengan Hollow Fiber Baru dan Hollow Fiber Re
Use di RSUD Ungaran, Jurnal Keperawatan Medikal Bedah . Vol 1 No. 1, 15-24.
Shanmugam, S., Kumar., Sathish, T., Selvam., Panneer, K., 2010. Laboratory Handbook On
Biochemistry. New Delhi: PHI Learning Private Limited.
Widmann, F.K., 1995. Tinjauan klinis atas hasil pemeriksaan laboratorium. Ed. 9. Alih bahasa
Siti Boedina Kresno; Ganda Soebrata, J. Latu. Jakarta: EGC.
Yaswir Rismawati dan Ferawati Ira., 2012. Fisiologi dan Gangguan Keseimbangan Natrium,
Kalium dan Klorida serta Pemeriksaan Laboratorium, Jurnal Kesehatan Andalas, Vol 1
No. 2
Yu, J.H., Ge, L., Huang, J.D., Wang, S.M., Ge, S.G., 2011. Microfluidic Paper-Based
Chemiluninescence Biosensor for Simultaneous Determination of Glucosa and Uric
Acid, Lab on a chip, 11, 1286-129.
22