Anda di halaman 1dari 6

CERPEN DEMOKRASI

Suatu pagi Panca pergi ke pasar tanaman. Dia memilah-milah pot, pupuk, biji-biji sayuran dan
buah-buahan. Panca adalah orang yang gemar bercocok tanam. Ia menjadikannya sebagai hobi.
Setelah semua sudah didapat, ia bergegas pulang, untuk segera menanam hasil belanjaannya.
Bila kau lihat rumahnya, matamu akan dipenuhi beraneka tanaman hias dan pohon buah-
buahan. Selain sebagai “petani”, pekerjaan atau profesi utama Panca adalah penulis lepas.

Ketika sampai rumah, seorang teman satu profesinya mengirimkan info perlombaan karya tulis
yang diselenggarakan oleh Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu). Panca mulanya tak
begitu peduli. Perhatiannya masih pada tanaman hias yang baru ia beli. Ia taruh ponselnya. Lalu
mulai mengambil pot kecil seukuran genggamannya, mengisinya dengan pupuk pilihan dan
beberapa biji sayuran dan buah-buahan.

Baru selesai di pot ke-10, ponselnya kembali berdering. Ternyata satu lagi pesan masuk dari
orang yang sama. “Bro, ayo ikutan. Sudah waktunya yang muda turun tangan. Ini kesempatan
kita menyuarakan pendapat dan gagasan.” Panca hanya memberikan emoticon jempol dan
wajah senyum untuk membalas pesannya. Lalu ia meletakkan lagi ponselnya di meja. Ada satu
lagi yang dirasa harus ia selesaikan lebih dulu. Panca memang bukan tipe orang yang senang
menunda-nunda waktu. Ia mengambil air pakai gayung kecil, lalu menyiramkannya pada pot
tanaman tadi. Dibariskannya satu per satu dengan telaten. Selesai, ucapnya.

Di sela waktu istirahat, ia ambil kembali ponselnya dan segera membaca detail dari info lomba
yang tadi dikirimkan oleh kawannya. Di pamplet digital itu tertera tema perlombaan: “Bersama
Rakyat Awasi Pemilu, Bersama Bawaslu Tegakkan Keadilan Pemilu”. Ia terkekeh barang sesaat.
Tapi setelahnya diam merenung.

Pikirannya sedang menerawang jauh. Ia lupa kapan terakhir kali memberikan hak suaranya. Ia
sudah putus asa dengan para pemimpin di negeri ini. Banyak harapan besar yang ia percayakan
pada pemimpin tapi akhirnya ia malah merasa dikhianati dengan janji mereka saat
mencalonkan diri. Akan tetapi, di usia yang hampir menginjak angka 30 itu, ia mulai memikirkan
apa yang dikatakan temannya tadi. Pemuda memang seharusnya bergerak. Bahkan ambil
bagian pada hal-hal krusial dan fundamental seperti saat ini. Apalagi, dari info lomba tersebut ia
menangkap bahwa Bawaslu berusaha terbuka dan berterima dengan segala pandangan,
gagasan juga pendapat dari masyarakat, siapa pun mereka. Saat sedang memikirkan itu, seekor
kucing lewat di teras rumahnya dan tanpa sengaja menjatuhkan salah satu pot yang baru ia
letakkan. Panca segera menggusah kucing itu dan lekas membenahi tanamannya yang rusak
dan tercecar di lantai.

Ketika sedang membereskan pot, pupuk dan biji-biji yang jatuh berantakan, Panca terbetik
sesuatu dalam tempurung kepalanya. Ia mendapatkan satu garis yang terhubung antara tema
lomba tadi dengan apa yang sedari tadi ia kerjakan. Maka selesai dari situ, Panca bergegas
mengambil alat tempurnya. Ia siap untuk menulis. Ia siap menyuarakan pandangannya. Ia siap
untuk lomba Bawaslu kali ini.

Tugas dan wewenang Badan Pengawas Pemilihan Umum salah satunya adalah melakukan
monitoring, mengawal integritas dan kualitas demokrasi, termasuk menetapkan peserta Pemilu
dan bakal calon yang diusung dari masing-masing partai maupun melalui independen. Ia
memandang bahwa dirinya yang sebagai pencinta tanaman mengibaratkan diri sebagai
Bawaslu. Ketika ia berbelanja tadi, ia tentu tidak asal pilih bahan-bahan keperluan tanamannya.
Ia harus memilah pot yang kokoh tapi lentur, pupuk berkualitas, juga biji-biji sayuran dan buah-
buahan yang segar juga sehat. Itu tak beda dengan tugas Bawaslu.

Ia memandang pot sebagai simbol dari Komisi Pemilihan Umum (KPU). Pot itu yang akan
menampung suara rakyat, suara pupuk, akar dan biji pohon yang nanti akan tumbuh berbuah.
Karena, pupuk itu mewakili kami, menurut Panca, seluruh masyarakat yang memiliki hak suara.
Biji-biji sayuran dan buah-buahan itu adalah calon pemimpin. Kita akan melihat ketika salah
satu dari biji-bijian itu disemai, mana yang akan terpilih untuk tumbuh, naik ke atas dan
mendapatkan dukungan serta apresiasi yang berupa pujian dan kritikan, yang terwakili atas
terpaan angin, juga siraman dari air kran dan air hujan.

Bila semua sudah saling bersinergi, maka akan tumbuhlah pohon-pohon demokrasi. Yang
akarnya akan menjalar ke bawah, tanpa melupakan mereka yang mendukungnya, mereka yang
membuat dirinya terpilih. Itu artinya pohon yang tumbuh adalah bukti pemimpin yang mau
mendengarkan suara-suara rakyatnya, menepati janji politik saat mencalonkan diri. Bila semua
itu berjalan dengan baik, maka pohon demokrasi akan berbuah segar. Bisa dinikmati bersama,
yang artinya kehidupan orang-orang yang dipimpinnya akan hidup tenteram, makmur dan
sejahtera. Namun, bila pohon itu busuk atau mati (hatinya), maka dampaknya akan buruk bagi
masyarakat yang dipimpinnya. Mereka akan sengsara, melarat dan jatuh miskin.

Harapan dan keyakinan dalam diri Panca, saat memikirkan hal itu, seketika timbul. Ia
membayangkan bila rakyat dan Bawaslu bersinergi, tentu pemimpin idaman akan muncul.
Lewat rakyat dan Bawaslu-lah pemimpin akan terlahir, yang berarti menegakkan keadilan
bukan lagi omong kosong. Selama kita bersama-sama saling bantu dan gotong-royong untuk
mengawasi penyelenggaraan Pemilu nanti, tentu saja harapan memiliki pemimpin yang jujur,
berpihak pada kesejahteraan rakyat dan anti-korupsi akan benar-benar terwujud.

Karena, tulis Panca, seperti yang pernah ia baca dari sebuah buku karangan Jon Krakauer
berjudul Into The Wild, puncak dari kebahagiaan adalah berbagi, “happiness only real when
shared.” Maka setelah mengakhiri tulisan dan pendapatnya, ia bangkit dari kursinya. Ia menuju
teras dan mengambil beberapa pot tanaman yang tadi ia taruh. Kakinya membawa ia ke rumah
tetangga-tetangga. Ia membagikan pohon-pohon harapannya itu. Ia mengajak mereka untuk
bersama-sama gemar bercocok-tanam dan menghias lingkungan, demi merawat generasi
setelahnya. Lalu Panca kembali ke rumah, Panca duduk bersila sembari menghadap bakal calon
pohon-pohon yang tadi ia tanam dengan mata yang berkaca-kaca.
CERPEN DEMOKRASI

Belakangan ini pohon-pohon di sekitar tempat tinggal kita banyak yang menjadi korban dari
kerasnya ambisi sebagian orang yang ingin menjadi wakil dari kita. Ya sebentar lagi kita akan
"Berpesta Demokrasi, dan seperti biasanya keadaan pesta. Meriah, bahagia, dan yang pasti
memakan banyak biaya. Dan seperti pesta pada umumnya, setelah pesta usai, tak jarang
meninggalkan kesan positiv dan juga negativ. Selain itu juga, biasanya pesta sering menyisahkan
masalah tentang biaya.

Ya, "Pesta Demokrasi" itu tak pernah benar-benar berubah dari dahulu, setidaknya itu yang
saya lihat dari umur 10 tahun. Yang berubah hanyalah cara penyajian "Hidangan" pestanya saja.
Dahulu sebelum terjadinya kerusuhan di tahun 1997, saya masih sering menikmati meriahnya
"Pesta" itu, meskipun anak - anak seumuran saya belum boleh ikut "berpesta", namun kami
masi bisa menikmati alunan musik dangdut di tengah lapangan yang berubah menjadi "Lautan
Manusia" berwarna kuning. Hal tersebut bisa saya dapatkan sampai 3 kali seeminggu, selama
beberapa bulan meskipun tempat digelarnya acara tak hanya di satu tempat saja. Biasanya
tempat untuk menggelar acara terseebut hanya berjarak sekita 1 - 2Km dari satu tempat ke
tempat lainnya, dan itu selalu dipadati warga yang haus akan hiburan pada saat itu. Pada waktu
itu memang tak banyak warga yang memiliki pesawat televisi ataupun radio sebagai hiburan
mereka.

Dalam keasikanku menikmati goyangan para biduan cantik yang berpakaian sexy. Pemikiranku
pada saat itu, mereka pastilah bukan dari daerah sekitar kami. Karena mereka sangat cantik,
dan pakaian mereka bagus - bagus, tak seperti wanita - wanita yang ada di lingkungan
sekitarku. Karena, biasanya wanita di lingkungan sekitarku rata - rata berpakaian lusuh, dan tak
jarang pakaian mereka merupakan warisan dari kakak mereka ataupun ibu mereka. Pikirku, Aku
yang masih berumur 10tahunan saja sudah bisa menilai tentang keindahan akan mahluk indah
diatas panggung itu, yang nota bene belum diperbolehkan mengikuti puncak acara "Pesta
Demokrasi" yang akan digelar, apalagi mereka para pria kampung lusuh yang selalu dihadapkan
dengan wanita-wanita berwajah serta berpakaian lusuh setiap harinya. Pastinya mereka akan
berterimakasih sekali kepada sang empunya pesta, yang merubah hijaunya lapangan bola kami
menjadi "lautan manusia" berwarna kuning.

Di setiap acara mereka yang ada, sering ku bertanya dalam hati. Jumlah peserta dalam "pesta"
besar terseebut terdiri dari tiga buah warna, tapi kenapa semua keramaian didominasi peserta
berwarna kuning? Memang, sesekali ku lihat ada peserta dari ”pesta” yang berwarna hijau
membuat acara serupa, dan juga dihadiri warga yang ramai. Namun perbandingan jumlah acara
dangdut yang digelar mereka tidak sama. Menurut pengamatanku dulu 5:1, dari lima kali acara
yang digelar peserta kuning, peserta yang berwarna hijau menggelar hanya sekali. Dan yang
lebih membingungkanku lagi, ialah peserta berwarna merah tak pernah kulihat menggelar
acara serupa, setidaknya untuk daerah sekitar lingkunganku. Hanya sesekali saja kulihat mereka
lalu lalang menggunakan sepeda motordi jalan utama propinsi kami. Itupun jumlah mereka tak
banyak. Padahal pada saat itu aku selalu menunggu mereka menggelar acara serupa, karena
aku begitu penasaran dengan mereka yang bisa merebut rasa loyalitas ke-dua orangtuaku.

Setelah begitu rutinnya acara dangdutan itu digelar,maka ”Pesta” yang ditunggu datang jua.
Pemandangan yang sedikit berbeda dihari itu menghiasi perjalananku menuju sekolah.
Seingatku dulu, kami tetap bersekolah meskipun pesta itu berlangsung. Dan para guru ku di
sekolahku pada saat itu, entah kenapa tak ada yang mengikuti ”pesta” tersebut. Seusai jam
pelajaran sekolah, bapakku menjemputku pulang menggunakan motornya. Tapi aku seedikit
bingung, karena bapakku tidak langsung mengajakku pulang. Kami mampir ke tempat acara
”pesta demokrasi” tersebut digelar di kampung kami. Ternyata bapakku ingin menyaksikan hasil
dari pesta tersebut, karena dia berharap ”Jagoannya” bisa menang, walalupun itu adalah suatu
hal yang mustahil. Tapi setidaknya dia sudah cukup bangga jika, jagoannya memberikan
perlawanan.
Tak terlalu lama kami menunggu sesi penghitungan suara, dan hasilnya sudah bisa diprediksi
oleh anak kecil sekalipun. Kuning juara satu, disusul dengan si hijau, dan diikuti si merah yang
selalu dianggap ”Pecundang”. Dan benar saja,kedudukannya seperti biasa. Namun kekalahan
itu, benar-benar membuat wajah bapakku ikut memerah seperti warna jagoan yang dipilihnya.
Bukan karena kekalahannya dia marah, tapi jumlah pemilih jagoannya yang menurutnya tidak
masuk akal. Jagoannya hanya mendapat suara di bawah 10 suara. Dalam logikanya, itu tak
masuk akal. Dengan geram dia mendatangi lurah kami, dan mencoba protes atas hasilnya. Dia
berlogika, dengan jumlah suara dari satu keluarga kami saja sudah terkumpul tiga suara,
bapakku, ibuku, serta kakak perempuanku. Terlebih ditambah dengan suara dari keluarga
tetangga sebelah rumah kami dan beberapa tetangga kami lainnya. Setidaknya bisa terkumpul
20an suara. Sontak hal tersebut memancing emosi tetangga kami yang memilih jagoan yang
sama. Tapi meskipun mereka mengotot, tetap tak bisa berbuat banyak untuk melawan ”Abdi
Masyarakat” tertinggi di kampung kami tersebut.
Kejadian di hari itu, ternyata berimbas kepada kami. Kami sering kali dipersulit dalam mengurus
surat-surat yang bersangkutan dengan kelurahan. Rupanya sang ”Abdi Masyarakat” tersebut
masih kesal dengan tindakkan bapakku dulu, dan menolak asumsinya yang mengatakan, belum
tentu istri ataupun keluarga dari pemilih tersebut, juga memilih jagoan yang sama. Namun
logika yang didapatnya dari pengamatan bapakku terhadap seluruh temannya yang memiliki
pilihan yang sama dengan dirinya, adalah pemilih loyal yang tak akan pernah ”Terbeli” . Karena
menurutnya, mereka adalah para penerus cita-cita pendiri bangsa ini, mereka yang pernah
menyaksikan dan mengetahui kejamnya pemilik peserta yang berwarna kuning itu,yang
berkuasa dijaman itu. Memang semua temannya yang memiliki pilihan yang sama dengannya,
adalah pendatang dengan profesi sebagai wira swasta atau pegawai swasta di daerah, dan
pendidikkan mereka juga minimal lulus SLTA, pendidikan yang sangat lumayan tinggi di
jamannya.
Begitulah gambaran kecil dari pengalamanku menyaksikan ”Pesta Demokrasi” bangsa ini
digelar. Hal tersebut juga yang membuat diriku selalu ingin tahu tentang fakta-fakta yang
terjadi disaat proses runtuhnya rezim kekuasaan ”God Father” peserta berwarna kuning
tersebut. Dan yang kutahu pun, dia jatuh karena pemimpin dari ”jagoan” yang dipilih bapakku
dulu. Dan yang paling kuingat ialah senyuman puas bapakku, dikala ”Pesta” itu untuk pertama
kalinya dimenangkan oleh jagoannya.
Seiring berjalannya waktu, ternyata jagoannya telah salah menerima seorang pengkhianat yang
akhirnya menjatuhkannya lagi. Ya, benar sekali, penghianat itu telah memakai cara kotor yang
sama dengan Atasannya dulu. Meskipun sekarang dia tidak mengenakan baju yang sama,
namun dia menggunakan cara yang tak jauh berbeda. Manipulasi suara di daerah terpencil,
yang jika dikumpulkan seluruh jumlah warganya sudah bisa mengalahkan ”Jagoan” bapakku.
Masih menurut pengalamn bapakku, di jaman kekuasaan ”penghianat” sama gila nya dengan
mantan atasannya dulu. Aku pun mengamininya, karena pengamatanku dari hal sepele seperti
bangunan ataupu infra struktur yang dibuat di jaman ”penghianat” serta atasannya tersebut,
banyak yang sudah rusak, bahkan hancur. Kurasa itu karena terlalu tamaknya mereka
mengambil keuntungan dari setiap proyek yang di gelar pada masa pemerin tahannya.
CERPEN DEMOKRASI

Pada suatu malam, terlihat sepasang kekasih sedang larut dalam percakapan ringan di bawah
rindangnya cahaya bulan yang bergelayut di langit. Mereka berdua tampak sibuk menyeruput
kopi bertempatkan gelas plastik yang dipesannya dari hasil tangan tukang kopi keliling, tepat di
depan bangunan yang menjadi salah satu ikon di kota tersebut. Sebut saja di depan Gedung
Sate, Bandung.
“Kenapa lebih pilih tempat ini?” tanya gadis itu pada kekasihnya,
“Sengaja”
“Biar dunia tahu kalo kita pasangan kere?”
“Iya. Ha ha ha”.
Mereka kemudian memuntahkan tawa secara bersamaan.
“Masih mau jadi kepanjangan lidah rakyat?” tanya gadis itu lagi,
“Iya”
“Kere kok sombong!”
“Ha ha ha. Lho, kenapa memang?”
“Zaman sekarang, mau berbuat baik saja semuanya harus pake modal. Setidaknya kamu harus
punya semua perangkat-perangkat legitimasi. Baik data, intelijen, media dan seterusnya dan
sebagainya”
“Iya. Terus?”
“Kamu punya apa?”
“Punya kamu”
“Ha ha ha”.
Tidak butuh waktu lama, dua gelas kopi mereka menjadi tidak berasap lagi. Dijamah dinginnya
kota Bandung malam itu. Untungnya Bandung sudah menjadi kota yang padat kendaraan
sekarang. Sehingga, asap knalpot kendaraan yang lalu-lalang ikut berhasil membantu
menghangatkan kembali kopi mereka yang hampir membeku.
“Kalau mau dapat hasil yang besar, otomatis umpannya juga harus besar. Segalanya serba
transaksional. Itu sudah seperti jadi rahasia umum. Sementara kita tahu, pemilih di Indonesia
didominasi oleh jenis yang demikian. Ini celah yang dimanfaatkan oleh para pelaku. Ditambah
lagi, para pemilih intelektual, ideologis atau yang lainnya seperti malah kehilangan wajahnya.
Itu juga sebabnya politik uang tetap jadi peluru andalan pada setiap momentum pesta
demokrasi” sambung gadis itu,
“Predator. He he he”
“Maksudnya?”

“Para pelaku politik yang harusnya mengedepankan pendidikan politik berdasar humanitas
politik, justru malah menjadikan animalitas politik sebagai prinsip dasar. Insting kebinatangan
dalam rangka merayakan nafsu. Etika politik sudah tidak lagi dipakai. Hak politik para pemilih,
lebih banyak didapat dari hasil dagang rupiah. Modal politiknya bukan lagi lewat menanam
sebanyak-banyaknya investasi sosial, melainkan, sebesar-besarnya money politik yang
dibagikan.
Degradasi kultural politik, jelas-jelas dikembangbiakkan oleh tingkah-tingkah seperti ini. Mental
para pemangsa. Siapa sasaran mangsanya? Jelas para pemilih. Akibatnya, para pemilih
kecanduan menjadi para peminta-minta karena terus diajarkan suap sebagai hal yang lumrah.
Sisanya, meroketnya jumlah angka golput yang diproduksi sebab dari hilangnya rasa
kepercayaan”
“Pasti ada pemicunya kan?”
“Iya. Salah satunya disebabkan oleh terus meningkatnya konservatifisme politik di kalangan
kelas menengah. Ini menjadi sinyal negatif bagi demokrasi kita. Khususnya untuk Indonesia.
Money politik merupakan bentuk kegiatan pengkerdilan. Bahkan parahnya, sudah seperti
menjadi kurikulum wajib setiap penyelenggaraan pesta demokrasi. Sementara para pemilih kita
terus-terusan dibius transaksi gelap ini. Bahkan pundi-pundi kegiatan ini justru banyak
didistribusi dari sosok-sosok yang seharusnya menjadi panutan.
Demokrasi tidak akan menghasilkan apapun, jika dalam prosesnya saja sudah diciderai, bahkan
dibuat cacat. Para pemilih harus benar-benar tahu, selagi suaranya dihargai sampah, maka
output produk-produk kebijakan orang yang membeli suaranya juga tidak akan jauh-jauh dari
sampah”.
Tiba-tiba saja gadis tersebut menatap tajam mata pasangannya. Tanpa diduga sebelumnya,
tetesan air mengalir deras di pipi gadis itu. Suasana sejenak berubah menjadi haru. Tatapannya
berubah menjadi nanar. Namun amat disayangkan, yang mengalir bukanlah air mata,
melainkan air yang tersembur dari bibir pasangannya saat bicara.
“Kenapa, kok, tatapannya jadi berubah begitu?”
“Tidak apa-apa. Pokoknya, semuamu aku jatuh cinta” jawab gadis tersebut,
“Ha ha ha”
“Terus!!!”
“Terus?”
“Iya”
“Pemimpin yang lahir dari serangan fajar, kelak, kursinya akan jadi pasar. Jadi pantas, jika
selama ini suara kamu tidak pernah didengar. Karena hak bicara kamu saja sudah dimahar.
Jangan harap bisa menuntut ini dan itu lagi. Sebab, sesuatu yang sudah dibeli, otomatis itu
sudah tidak lagi menjadi hak kamu. Kecuali kamu menolak untuk menjualnya. Itu perkara lain
lagi. Dia tidak punya hak untuk menolak sebagai pelayan tuannya. Sebagai kepanjangan tangan
suara yang telah diwakilkan kepadanya”

“Lantas kapan pemilu bisa bersih?”


“Pemilu baru akan bersih, jika semua taraf ekonomi rakyatnya sudah berada di atas rata-rata.
Dan rakyat, tidak lagi menjadi alat perangnya para penguasa”
“Lho, kopiku mana? Kok, habis juga?”
“Iya, tidak sengaja keminum juga”
“Haus?”
“Iya”.
Setelah itu, hujan tawa.

Anda mungkin juga menyukai