Anda di halaman 1dari 23

1.

Kinetika Enzim Bebas dan Terimobilisasi


1.1 Pendahuluan

Pada praktikum ini anda akan mempelajari:

1. Cara menentukan parameter kinetika enzim


2. Membandingkan hasil parameter kinetika berdasarkan fitting non-linear
(Michaelis-Menten) dan resiprok (Lineweaver-Burk)
3. Membahas efek imobilisasi enzim terhadap parameter kinetika enzim

1.2 Dasar Teori

Pada kondisi kesetimbangan, kita mengenal istilah


[𝐸𝑆]
E+S ES → Keq =
[𝐸][𝑆] (1)

atau bisa ditulis sebaliknya yang adalah reaksi disosiasi


[𝐸][𝑆]
ES E + S → Kd = [𝐸𝑆] (2)

Kondisi ini tidak berlaku dalam reaksi enzimatis dimana substrat yang berikatan dengan enzim
akan dikonversi menjadi produk.
k1 k2
E+S ES → E + P
k-1
Dalam ranah kinetika reaksi, konstanta disosiasi dan konstanta Michaelis-Menten didefinisikan
sebagai:
𝑘−1
Kd =
𝑘1 (3)

Sementara

𝑘−1+𝑘2
Km = 𝑘1 (4)

Jelas terlihat perbedaan bahwa nilai Km pasti lebih besar dari Kd karena ada dua mekanisme
“disosiasi” kompleks enzim-substrat dalam reaksi enzimatis yaitu menjadi substrat atau produk.
Pengecualian terjadi apabila kondisi reaksi terjadi pada substrat
1
berlebih / enzim jenuh (konsentrasi enzim lebih kecil dari Km dan substrat), suatu kondisi yang
disebut sebagai kondisi tunak (steady state). Enzim yang terbebaskan dari kompleks selalu
diasumsikan untuk berikatan dengan substrat. Dalam kondisi ini, istilah konstanta disosiasi ada
dalam kondisi semu (apparent) Kd,app yang sebetulnya tidak lain adalah konstanta Michaelis-
Menten pula.

[𝐸][𝑆]
Km = [𝐸𝑆] (5)

Oleh karena kondisi steady-state, diasumsikan

[Etot] = [E] + [ES] (6)

Substitusi [E] ke persamaan (5)


[𝐸𝑆]
[Etot] = Km x + [ES]
[𝑆]

𝐾𝑚
[Etot] = [ES] ( + 1)
[𝑆]

[ES] = [𝐸𝑡𝑜𝑡]
𝐾𝑚
[𝑆]
+1 (7)

Diketahui laju reaksi pembentukan produk (d[P]/dt) adalah

v0 = k2 x [ES] (8)

dan

Vmax = k2 x [Etot] (9)

Substitusi [ES] persamaan (8) dan (9) ke persamaan (7):


[𝐸𝑡𝑜𝑡]
v0 = k2 x 𝐾𝑚
[𝑆]
+1

𝑉𝑚𝑎𝑥
v0 = 𝐾𝑚
dan disederhanakan menjadi
[𝑆]
+1

𝑉𝑚𝑎𝑥 ×[𝑆]
v0 = 𝐾𝑚+[𝑆] (10)

yang dikenal sebagai persamaan Michaelis-Menten


Plot vo vs [S] akan membentuk kurva hiperbolik ciri khas persamaan Michaelis-Menten.

Penentuan Vmax sulit dilakukan apabila menggunakan persamaan Michaelis-Menten sehingga


resiprok (kebalikan) dari persamaan dapat digunakan untuk melinearkan kurva hiperbolik diatas.
Resiprok pers. Michaelis-Menten dikenal sebagai plot Lineweaver-Burk:

1 𝐾𝑚+[𝑆]
= 𝐾𝑚 1 (11)
𝑉 𝑉𝑚𝑎𝑥 ×[𝑆] = 𝑉𝑚𝑎𝑥×[𝑆] + 𝑉𝑚𝑎𝑥

Plot Lineweaver-Burk dapat dibuat dengan menjadikan sumbu y = 1/v0 dan sumbu X = 1/[S].
Gradien dari persamaan tersebut mengartikan Km / vmax dan interpolasi terhadap sumbu Y adalah
1/vmax. Nilai Km juga dapat ditentukan dengan interpolasi terhadap sumbu X (-1/Km). Perlu
diperhatikan bahwa plot Lineweaver-Burk juga memiliki keterbatasan yang akan dijelaskan
dalam poin 1.4.

Pertanyaan:

1. Apa satuan dari konstanta Michaelis-Menten?


2. Apa makna fisik dari konstanta Michaelis-Menten? Apa makna dari suatu enzim A
memiliki konstanta Michaelis-Menten yang lebih tinggi daripada enzim B?

1.3 Eksperimental: Enzim Bebas dan Terimobilisasi


Idealnya enzim murni, kondisi buffer tertentu, konsentrasi kofaktor diperlukan untuk
mendapatkan parameter kinetika yang relevan. Walau demikian, sel utuh juga dapat digunakan
untuk menentukan aktivitas enzim invertase walau jalur metabolisme lain akan sangat
mempengaruhi relevansi hasil. Selain itu, imobilisasi terhadap enzim/sel utuh juga dapat
dilakukan untuk meningkatkan pengaplikasian teknologi enzim terhadap suatu proses reaksi.
Imobilisasi enzim memang mengkompromi laju reaksi akibat terbatasnya proses difusi substrat
terhadap enzim. Kelebihan proses imobilisasi enzim adalah mudahnya melakukan pemisahan
enzim dari produk tanpa terlalu merusak enzim
sehingga enzim dapat diregenerasi atau digunakan kembali untuk siklus reaksi berikutnya.
Untuk mempermudah konsep eksperimental virtual, substrat yang digunakan adalah
substrat berwarna. Enzim yang digunakan dalam praktikum ini adalah peroksidase yang mampu
mengoksidasi thioflavin-T menjadi senyawa tidak berwarna. Mekanisme dan kondisi reaksi
enzimatis tidak perlu diperhatikan dalam tahap ini.
Data:
Diketahui nilai koefisien atenuasi molar pada λ = 412 nm (ε 412) dari thioflavin-
T adalah 36000 M-1 cm-1. Asumsikan produk dan enzim tidak menyerap pada panjang
gelombang tersebut sehingga konsentrasi yang anda dapatkan adalah murni milik substrat
thioflavin-T.
Anda menyiapkan enzim peroksidase dengan konsentrasi 50 nM untuk direaksikan terhadap
beberapa konsentrasi thioflavin-T. Selain itu, enzim dengan konsentrasi final yang sama
diimobilisasi dengan menggunakan konsep gelasi alginat-CaCl2.

Berikut merupakan data absorbansi thioflavin-T hasil pengamatan:

Kondisi enzim bebas:

Absorbansi awal Konsentrasi Absorbansi Konsentrasi Laju


(25 x encer) awal akhir
akhir reaksi
(setelah 30 s) (mM / s)
0.2 0.08 (10x encer)
0.3 0.29 (10x encer)
0.4 0.49 (10x encer)
0.5 0.68 (10x encer)
0.6 0.9 (10x encer)
0.7 0.56 (20x encer)
0.8 0.68 (20x encer)
0.9 0.81 (20x encer)
0.95 0.87 (20x encer)
Kondisi terimobilisasi:

Absorbansi awal Konsentrasi Absorbansi Konsentrasi akhir Laju


(100 x encer) awal
akhir reaksi
(setelah 300 s) (mM / s)
0.2 0.7 (1x encer)
0.3 0.72 (10 x encer)
0.4 0.162 (100x encer)
0.5 0.248 (100x encer)
0.6 0.342 (100x encer)
0.7 0.439 (100x encer)
0.8 0.53 (100x encer)
0.9 0.63 (100x encer)
0.95 0.677 (100x encer)
Catatan: Perhatikan satuan konsentrasi yang digunakan. Konversi satuan kecepatan dalam tiap sekon.

Dari data tersebut, anda diminta untuk menentukan nilai Km dan vmax menggunakan dua metode,
yaitu fitting non-linear Michaelis-Menten, serta fitting linear Lineweaver-Burk. Diskusikan hasil
yang anda dapatkan:

1. Apa makna fisik dari Km dan vmax?


2. Bagaimana dampak imobilisasi terhadap parameter kinetika dan mengapa?
3. Apakah ada perbedaan dari signifikan dari hasil fitting linear dan non-linear?
1.4 Analisis Data
Hal yang sering terjadi adalah data Lineweaver-Burk tersebar di sumbu Y positif dari kurva yang
dibentuk. Hampir tidak mungkin mendapatkan titik interpolasi terhadap sumbu Y (X = 0) dimana
konsentrasi substrat adalah tak terhingga. Dalam hal ini, penentuan vmax dan Km juga
terkompromi. Fitting non-linear dapat dilakukan untuk mengantisipasi hal tersebut ditambah
dengan iterasi terautomatisasi oleh software. Software yang akan digunakan adalah QTIplot.
Untuk melakukan fitting, anda perlu melakukan input data sumbu X dan sumbu Y yang benar.
Perhatikan kurva Michaelis-Menten dan Lineweaver-Burk, unit apa yang digunakan untuk
penentuan sumbu kurva.
Berikut tampilan QTIplot secara umum. Setelah melakukan input data, plotting kurva secara
umum dapat dilakukan dengan memblok kolom sumbu Y, lalu klik toolbar Plot- pilihan yang
anda inginkan

Namun untuk kepentingan fitting kurva, kita akan menggunakan toolbar lain yaitu
Analysis → Fit Wizard (atau CTRL+Y)
Fit wizard sendiri telah menyimpan banyak persamaan seperti linearitas, eksponensial, dll.
Namun untuk kepentingan persamaan Michaelis-Menten, kita gunakan pada bagian Category =
User defined lalu tuliskan persamaan yang diinginkan dalam kotak yang
disediakan dibawah. Ingat, dalam hal ini sumbu X biarkan dalam “x” huruf kecil. Lalu klik tanda
panah disebelah kiri Fitting Session di bagian bawah layar. Perhatikan penulisan tanda kurung,
kali, bagi dalam persamaan ini. Beberapa tanda kurung hanya opsional.

Pada bagian fitting session, software akan mengandalkan proses iterasi untuk mendapatkan
fitting yang paling mendekati data realitas (ingat konsep χ2). Yang perlu anda lakukan adalah
klik fit di bagian yang dilabel warna merah pada gambar di bawah ini. Anda juga dapat merubah
warna kurva fitting yang akan dihasilkan “misal” menjadi warna merah dengan merubah bagian
“color” dalam bagian dataset menjadi merah. (Default = hitam)
Dapat dilihat, hasil fitting kurva Km dan vmax pada gambar di bawah. Dalam hal ini, Km yang
didapat bernilai ~3.0 (tanpa satuan) dengan vmax 0.8. Error yang didapat adalah error fitting
kurva, bukan standar deviasi. Pada kurva disebelah kanan, dapat dilihat pula kurva yang
dihasilkan dengan fitting yang ditandai oleh garis berwarna merah. Anda dapat mengedit
gambar, bermain dengan memberi judul sumbu X, sumbu Y, lalu simpan gambar dengan cara
klik kanan pada kurva → export. Hasil juga tercantum dalam bagian results & Log pada jendela
di atas kurva, nilai Km dan vmax fitting kurva saya highlight dengan warna biru.
Untuk fitting kurva linear, kita langsung gunakan contoh Lineweaver-Burk. Bisa
langsung menambah tabel baru dengan cara file – new – new table.
Ingat apa yang digunakan untuk sumbu X dan sumbu Y.

Dengan cara yang sama, blok sumbu Y – analysis – fit wizard.


Kali ini, anda boleh juga menuliskan secara utuh persamaan Lineweaver-Burk dalam “user
defined” (hati-hati sumbu X dan sumbu Y). Namun saya contohkan pula untuk plot linear biasa.
Dari category built-in → linear. Copy persamaan A*x+B di sebelah kanan ke kotak yang
disediakan. Klik panah di sebelah fitting session, lalu klik fit pada bagian iterasi.
Dari sini dapat dilihat pula A (yang adalah gradien) adalah 3.75; dan B (yang adalah interpolasi
dengan sumbu Y) adalah 1.25. Sebagai contoh, B adalah 1/vmax. Maka nilai vmax = 1/ 1.25 =
0.8. Bandingkan dengan fitting non-linear diatas (kondisi angka ideal).
2. Penentuan KI suatu Inhibitor Enzim
2.1 Pendahuluan

Pada praktikum ini anda akan mempelajari:

1. Cara menentukan Ki dari hasil eksperimental


2. Menentukan nilai IC50 dari suatu inhibitor kompetitif.

2.2 Dasar Teori

2.2.1 Mekanisme Kerja Inhibitor

Inhibitor enzim memiliki empat cara kerja yaitu

Kompetitif : Kondisi dimana inhibitor berikatan dengan enzim bebas, bersaing dengan substrat.
Lihat skema di bawah:

Jelas:
[𝐸][𝑆]
Steady state Km = [𝐸][𝐼]
[𝐸𝑆]
dan kesetimbanga KI = (1)
[𝐸𝐼]

[Etot] = [E] + [ES] + [EI] (2)

[Etot] = [E] + [E][S]/Km + [E][I]/KI

[𝑆] [𝐼]
[Etot] = [E] (1 + + ) sehingga
𝐾𝑚 𝐾𝐼

1
[E] = [Etot] x
[𝑆] [𝐼] (3)
1+ 𝐾𝑚+𝐾𝐼

Diketahui vo = k2 [ES] atau k2 x [E] [S] / Km (substitusi dari (1))


Maka

[𝑆]
v0 = k2 [Etot] x
[𝑆] [𝐼] dan mengacu pada modul sebelumnya definisi vmax
𝐾𝑚 (1+ 𝐾𝑚+𝐾𝐼 )

𝑉𝑚𝑎𝑥 × [𝑆]
v 𝐾𝑚 [𝐼]
=0 𝐾𝑚 +[𝑆] +
𝐾𝐼
)

𝑉𝑚𝑎𝑥 × [𝑆]
v0 = [𝐼]
𝐾𝑚 (1+ ) +[𝑆] (4)
𝐾𝐼

Unkompetitif : Kondisi dimana inhibitor hanya memiliki afinitas / berikatan apabila enzim telah
berikatan dengan substrat. Lihat skema di bawah:

ESI

Nonkompetitif: Kondisi dimana inhibitor memiliki afinitas / berikatan dengan kedua kondisi,
yaitu enzim bebas dan enzim-substrat. Dalam hal ini, inhibitor memiliki afinitas (Ka atau Keq =
1/Ki) yang sama untuk kedua kondisi.

Mixed: Sama dengan non-kompetitif. Kondisi dimana inhibitor memiliki afinitas / berikatan
dengan kedua kondisi, yaitu enzim bebas dan enzim-substrat. Dalam hal ini, inhibitor memiliki
afinitas (Ka atau Keq = 1/Ki) yang berbeda untuk enzim bebas atau kompleks enzim-substrat
(lihat KI dan KI’).
Pengkategorian inhibitor juga dapat didasarkan oleh berubahnya nilai Km dan Vmax dimana
dalam hal ini pengetahuan mengenai parameter kinetika enzim bebas perlu dicari tahu terlebih
dahulu.
1. Inhibitor kompetitif: Km meningkat
2. Inhibitor unkompetitif: Km dan Vmax menurun
3. Inhibitor mixed/nonkompetitif: Vmax menurun
Biasanya, istilah apparent akan digunakan untuk nilai Km dan Vmax dalam keberadaan inhibisi
karena bukan melambangkan nilai mutlak enzim yang sebenarnya. Nilai KI dapat dihitung secara
tidak langsung melalui rumus kinetika enzim biasa dengan mengkorelasikan nilai Km tanpa
inhibitor dengan Km dengan inhibitor dan Vmax.

Kita akan belajar menghitung nilai KI secara langsung tanpa perlu mengetahui parameter
kinetika enzim terlebih dahulu. Dalam modul ini, diasumsikan sudah diketahui bahwa mode
inhibisi enzim adalah tipe kompetitif. Satu parameter yang sering digunakan dalam penelitian
biologis adalah IC50. Dalam hal ini, IC50 adalah konsentrasi inhibitor yang mampu mengurangi
aktivitas enzim sebanyak 50 %. Dari persamaan laju enzim terinhibisi kompetitif, persamaan
dapat diturunkan sebagai berikut:

𝑉 ×[𝑆]
vI = 𝐾𝑚 𝑚𝑎𝑥 [𝐼]
(1+ )+[𝑆] Lih (4)
𝐾𝐼

Ketika [I] disebut I50, V0 = 2 Vi dimana V0 mengacu pada persamaan Michaelis-Menten maka:

𝑉𝑚𝑎𝑥 ×[𝑆] 2×𝑉𝑚𝑎𝑥×[𝑆]


= (5)
[𝐼50]
𝐾𝑚+[𝑆]
𝐾𝑚 (1+ )+[𝑆]
𝐾𝐼

Setelah penurunan dan kali silang :


[𝐼50]
𝐾𝑚 × 𝐾𝑖
1+ =2
𝐾𝑚+[𝑆]
[ 𝑆]
[I50] = 𝐾 (1 + ) (6)
𝑖 𝐾𝑚

(Informasi tambahan) Sebaliknya, Ki juga bisa dicari dari hubungan:

𝐼50
K [𝑆]
(1+ )
=i 𝐾𝑚

Penurunan persamaan ini dipelopori oleh Cheng-Prusoff. Selain itu, dapat dilihat bahwa
nilai I50 sangat bergantung pada konsentrasi substrat yang digunakan sehingga terkadang boleh
juga digunakan rasio [I50]/[S] untuk dapat membandingkan hasil dengan penelitian lain.

Persamaan diatas berlaku umum tidak hanya untuk inhibitor kompetitif dalam kasus
enzimatis, namun juga untuk misal kasus persaingan 2 obat dalam 1 reseptor biomolekul yang
sama. Persamaan diatas dapat digunakan untuk membandingkan efektivitas 2 obat yang misal
didesain untuk menarget suatu DNA / protein kanker dengan mode interaksi yang sama. Dalam
hal tersebut persamaan hanya diubah menjadi:
𝐼50
K [𝑂𝑏𝑎𝑡𝐴]
=d,2 (1+
𝐾𝑑,1
)

dimana Kd adalah konstanta disosiasi untuk masing-masing senyawa.

Permasalahan dalam proses pengikatan ligan adalah equilibrium vs steady state. Dalam
kesetimbangan, Ki setara Kd sedangkan Km dalam enzim adalah Kd,app (semu) dalam steady
state, atau konsentrasi substrat untuk memberikan 50 % V max. Dalam kondisi tertentu, Kd
memang juga bisa dikorelasikan dengan konsentrasi obat yang mampu mengikat reseptor
sebanyak 50 %. Namun untuk amannya, definisi yang telah

dibenarkan menjadi [I50] = 𝐾𝑑2 [𝑂𝑏𝑎𝑡𝐴] ) dimana EC50 adalah konsentrasi obat A yang
(1 + 𝐸𝐶50

efektif menghambat 50 % / mengikat reseptor sebanyak 50 % tanpa keberadaan inhibitor,


sedangkan I50 adalah konsentrasi inhibitor (obat 2) yang mampu melepaskan 50 % obat 1 dari
reseptor reseptor.
2.2.2. Menentukan Konstanta Afinitas Inhibitor-enzim
Dalam reaksi enzimatis (steady state non-equilibrium), penghitungan mudah
menentukan KI (konstanta kesetimbangan inhibitor enzim) sebetulnya dapat dilakukan dengan
menggunakan persamaan Cheng-Prusoff diatas, yaitu mencari IC50 terlebih dahulu lalu
mengkorelasikannya untuk menghitung KI. Teknis eksperimental yang biasa dilakukan adalah
melakukan reaksi enzimatis dalam 1 konsentrasi substrat serta memberikan variasi pada
konsentrasi inhibitor. Hal yang menyulitkan dalam hal ini adalah kita perlu menyiapkan banyak
sistem reaksi dengan konsentrasi inhibitor berbeda-beda untuk menentukan IC50.
Penentuan konstanta afinitas (Ka) / konstanta pengikatan / konstanta kesetimbangan
inhibitor enzim tidak berbeda dengan konsep kesetimbangan pada umumnya karena inhibitor
tidak bisa dikonversi menjadi produk. Konsep ini berlaku universal untuk interaksi ligan –
reseptor. Model eksperimen yang biasa dilakukan adalah melakukan titrasi. Titrasi dapat
dilakukan 2 arah, inhibitor menuju enzim, atau enzim menuju inhibitor. Pemilihan teknik sangat
bergantung dengan metode analisis yang anda gunakan.
Salah satu metode yang relevan adalah pengamatan konsentrasi menggunakan
spektroskopi UV-VIS. Dalam kondisi ini, teknik yang dapat diadopsi adalah memberikan
inhibitor berlebih pada kuvet sehingga absorbansi awal inhibitor bebas dapat terukur dengan
akurat. Kemudian perlahan-lahan enzim akan dititrasi terhadap larutan dalam kuvet. Apabila
inhibitor berikatan dengan enzim, absorbansi inhibitor akan berubah. Perubahan absorbansi ini
yang kemudian akan dihitung untuk mendapatkan nilai K I. Dalam hal ini, sistem reaksi kimia
inhibitor-enzim bukan dalam kondisi steady-state namun dalam kondisi kesetimbangan. Oleh
sebab itu, titrasi untuk memvariasikan konsentrasi inhibitor dapat dilakukan dalam 1 eksperimen
yang sama.
Perlu diketahui bahwa pembatasan dari kedua teknik yang disebutkan diatas adalah
inhibitor diasumsikan memiliki hanya satu nilai KI dan satu mode pengikatan saja terhadap
enzim.

Diketahui:
[𝐸𝐼]
E+I EI → Ka = [𝐸𝑏𝑒𝑏𝑎𝑠][𝐼𝑏𝑒𝑏𝑎𝑠]
(7)
Apabila [Etot] = [Ebebas] + [EI]; dan [Itot] = [Ibebas] + [EI] maka

[𝐸𝐼]
Ka = [𝐸𝑡𝑜𝑡−𝐸𝐼][𝐼𝑡𝑜𝑡−𝐸𝐼] (8)

Kali silang

[EI]2 – [EI] (1/Ka + Etot + Itot) + Etot x Itot = 0

Penyelesaian dari persamaan kuadrat diatas (rumus klasik) adalah dan memilih nilai simbol
negatif:

1
[EI] = 1
( +𝐸 + 𝐼 ( 1 +𝐸 + 𝐼 2 ×𝐼 ) (9)
−√
2 𝐾𝑎 𝑡𝑜𝑡 𝑡𝑜𝑡 𝑡𝑜𝑡 𝑡𝑜𝑡) −4× 𝑡𝑜𝑡
𝐾𝑎
𝐸𝑡𝑜𝑡

Untuk menyederhanakan fitting kurva kedepannya, Etot memiliki hubungan dengan Itot dalam
bentuk rasio (x). dimana x = [Etot] / [Itot]. Asumsi disini adalah stoikiometri enzim – inhibitor
adalah 1:1. Oleh karena kita memiliki inhibitor dalam kondisi awal titrasi, Etot dikonversi
menjadi Itot.

1 1
[EI] = 1
( +𝑥 ×𝐼 + 𝐼 − √( +𝑥 ×𝐼 + 𝐼 )2 − 4 × 𝑥 × 𝐼 ×𝐼 ) (10)
2 𝐾𝑎 𝑡𝑜𝑡 𝑡𝑜𝑡 𝐾𝑎 𝑡𝑜𝑡 𝑡𝑜𝑡 𝑡𝑜𝑡 𝑡𝑜𝑡

Persamaan diatas dapat dinormalisasi dengan membagi persamaan terhadap Itot

2
[𝐸𝐼]
==
1
(
1
+ 𝑥 + 1 − √(
1 + 𝑥 + 1) − 4 𝑥) (11)
𝐼𝑡𝑜𝑡 2 𝐾𝑎 × 𝐼𝑡𝑜𝑡 𝐾𝑎 × 𝐼𝑡𝑜𝑡

Normalisasi terhadap Itot akan digunakan untuk mengkaitkan persamaan di atas dengan
hasil eksperimental yang didapat dari absorbansi yang didapatkan. Ingat lagi rumus Lambert-
Beer dimana absorbansi setara dengan koefisien atenuasi molar. Permasalahan yang terjadi
adalah seiring terjadinya ikatan, nilai koefisien atenuasi molar inhibitor bebas dan kompleks EI
akan berbeda.
Diketahui

Absorbansi inhibitor terukur A = Akompleks + Ainhibitor bebas

Absorbansi inhibitor total mula-mula = A0 = ε x [Itot]

A = [EI] x εkom + Ibebas x ε; dimana Ibebas = Itot – [EI]. (12)

Mengukur Ibebas dalam suatu kondisi campuran sangat sulit. Sehingga:

A = (εkom – ε) [EI] + Itot x ε (13)

Normalisasi terhadap A0 :

𝐴
= 𝗌𝑘𝑜𝑚 – 𝗌
× [𝐸𝐼] + 1
𝐴0 𝗌 × 𝐼𝑡𝑜𝑡

𝐴 𝗌𝑘𝑜𝑚 [𝐸𝐼]
=( − 1)
+1 (14)
𝐴0 𝗌 𝐼𝑡𝑜𝑡

Dimana 𝜀𝒌𝒐𝒎 bisa dimisalkan sebagai E (end point of titration) yang memiliki makna
𝜀

rasio absorbansi dalam kondisi inhibitor semuanya berikatan dengan enzim dibagi dengan
absorbansi awal saat inhibitor bebas tanpa keberadaan enzim. Oleh sebab itu dalam teknisnya,
titrasi harus dilakukan sampai nilai absorbansi yang terukur tidak berubah, yaitu semua inhibitor
jenuh oleh enzim karena kurva titrasi akan berbentuk hiperbola. E > 1 artinya absorbansi
inhibitor meningkat seiring pengikatan dengan reseptor. E < 1 artinya absorbansi inhibitor
menurun seiring pengikatan dengan reseptor. Dengan adanya nilai E ini, kita dapat mengabaikan
perubahan nilai koefisien atenuasi molar inhibitor yang berubah akibat interaksi dengan enzim.
Kita kembali ke persamaan kuadrat diatas:
Kita memiliki [𝐸𝐼] dari persamaan (11). Nilai ini disubstitusikan saja terhadap persamaan
𝐼𝑡𝑜𝑡
𝐴
𝐴0 (14) menjadi:

2
𝐴
=1+
𝐸−1
(
1
+ 𝑥 + 1 − √(
1 + 𝑥 + 1) − 4 𝑥) (15)
𝐴0 2 𝐾𝑎 × 𝐼𝑡𝑜𝑡 𝐾𝑎 × 𝐼𝑡𝑜𝑡
Persamaan (15) diatas akan membentuk kurva hiperbola dimana sumbu Y adalah A/A 0 dan
sumbu X adalah [Etot] / [Itot]. Anda telah mengetahui Itot di awal titrasi. Konsentrasi Etot
didapatkan setiap titik titrasi yang dilakukan. Persamaan inilah yang akan anda gunakan untuk
menentukan konstanta afinitas dari inhibitor.
Pendekatan di atas ini berlaku universal dan valid karena penurunan rumus langsung
menggunakan konsentrasi enzim dan inhibitor bebas, bukan konsentrasi enzim total atau
inhibitor total yang hanya valid dalam kondisi steady state. Selain itu, nilai KI, (atau Kd) suatu
inhibitor yang kuat biasanya ada dalam skala mikromolar bahkan nanomolar. Melihat definisi Kd
adalah konsentrasi ligan yang mampu mengikat 50 % populasi enzim, pendekatan steady state
jelas membutuhkan konsentrasi eksperimental inhibitor dan enzim awal yang sangat kecil dan
sulit dideteksi apabila tidak menggunakan instrumen analitik yang sensitif. Sebaliknya,
konsentrasi enzim / inhibitor yang terlalu besar menciptakan kondisi tidak adanya inhibitor /
enzim yang bebas. Kondisi yang baik dalam menentukan nilai Kd atau Ka suatu ligan – reseptor
adalah konsentrasi total reseptor yang lebih kecil dari Kd supaya nilai Kd tidak terlalu
“overestimated”. Penggunaan persamaan kuadrat di atas serta iterasi software lanjutan mampu
mengurangi error ketergantungan nilai Kd terhadap konsentrasi awal eksperimental.

Catatan: Konstanta inhibitor KI adalah 1/Ka.


2.3 Eksperimental
Diketahui suatu molekul kecil diketahui dapat menghambat aktivitas peroksidase dengan
berikatan pada sisi aktifnya. Molekul ini memiliki absorbansi pada panjang gelombang 380 nm
dan pada panjang gelombang ini diketahui enzim tidak memiliki absorbansi. Untuk mencari tahu
nilai KI pestisida terhadap peroksidase, sebanyak 50 μM larutan molekul disiapkan dalam kuvet
dengan path length 1 cm. Enzim dititrasi terhadap kuvet dan didapatkan data sebagai berikut :
Tahap titrasi [Enzim]/[Pestisida] A360 Normalized A360
1 0.2 0.993
2 0.4 0.891
3 0.6 0.81
4 0.8 0.744
5 1 0.66
6 1.25 0.6
7 1.5 0.54
8 2 0.489
9 3 0.435
10 4 0.408
11 5 0.393
12 6 0.387
13 7 0.384
14 8 0.384

Dari data di atas maka:


1. Tentukan nilai KI dari inhibitor tersebut berdasarkan data diatas !
2. Dengan menggunakan data Km dan Vmax dari praktikum sebelumnya, yaitu pada kondisi
enzim bebas tanpa imobilisasi. Prediksikan IC50 inhibitor yang dibutuhkan untuk menghambat
aktivitas degradasi dari 1 mM thioflavin-T !
3. Apa makna fisik dan beda dari Km, KI dan IC50?
2.4 Analisis Data

Fitting kurva dapat dilakukan dengan cara yang sama, yaitu pada QTIplot – fit wizard-
user defined. Hanya saja masih terdapat parameter Itot. Hal ini dapat dilakukan dengan
mencentang tanda constant pada fit wizard pada baris milik I tot. Hanya saja, persamaan yang
rumit akan menyulitkan proses iterasi. Dalam hal ini, proses iterasi dapat dibantu dengan
memberikan “initial guesses”.
Misal dalam contoh dibawah, Itot diketahui = 0.2 mM. Itot harus dibuat konstan. E (huruf Q
digunakan pada gambar di bawah) dapat diinput dengan nilai berupa absorbansi ternormalisasi
pada titik akhir titrasi = inhibitor jenuh oleh enzim. Misal dalam contoh dibawah adalah sekitar
0.4. Untuk mempermudah situasi, E bisa dibuat konstan terlebih dahulu. Apabila fitting kurva
sudah terlihat sesuai dengan kurva eksperimental, hapus centang pada kotak konstan E dan
lakukan fit kembali. Nilai Ka = bisa ditebak dahulu atau dibiarkan kosong. Satuan Ka adalah M-1
(Molar-1). Semua satuan diinput dalam Molar.
Persamaan (15) yang perlu diinput memang panjang dan memerlukan kehati- hatian
dalam penulisan tanda operasi matematis dan tanda kurung,
Referensi:
1. Textbook Biokimia Enzim manapun
2. Copeland, R. A., & Retey, J. (1996). Enzymes: a practical introduction to structure,
mechanism, and data analysis (pp. 195-197). New York:: VCH Publishers.
3. Cohlberg, J. A. (1979). Km as an apparent dissociation constant. Journal of Chemical
Education, 56(8), 512.
4. Yung-Chi, C., & Prusoff, W. H. (1973). Relationship between the inhibition constant (KI)
and the concentration of inhibitor which causes 50 per cent inhibition (I50) of an
enzymatic reaction. Biochemical pharmacology, 22(23), 3099-3108.
5. Craig, D. A. (1993). The Cheng-Prusoff relationship: something lost in the translation.
Trends in pharmacological sciences, 14(3), 89-91.
6. Stootman, F. H., Fisher, D. M., Rodger, A., & Aldrich-Wright, J. R. (2006). Improved
curve fitting procedures to determine equilibrium binding constants.
Analyst, 131(10), 1145-1151.

Anda mungkin juga menyukai