Anda di halaman 1dari 29

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dislokasi adalah suatu keadaan dimana terjadi pergeseran secara total dari
permukaan sendi dan tidak lagi bersentuhan (Apley, 1995). Dislokasi menyebabkan
terlepasnya kompresi jaringan tulang dari kesatuan sendi. Dislokasi bisa mengenai
komponen tulangnya saja yang bergeser atau terlepasnya seluruh komponen tulang dari
tempat yang seharusnya. Dislokasi yang sering terjadi adalah dislokasi sendi bahu dan sendi
pinggul. Sendi Bahu merupakan salah satu sendi besar yang paling sering berdislokasi. Ini
disebabkan karena banyaknya rentang gerakan sendi bahu,mangkuk sendi glenoid yang
dangkal serta adanya kelonggaran ligament. Dislokasi bahu dapat terjadi pada bagian
anterior (paling sering, ditemukan pada 95% kasus), posterior atau errecta. Dislokasi
anterior terjadi biasanya pada posisi sendi bahu abduksi dan external rotasi. Dislokasi sendi
bahu sering ditemukan pada orang dewasa, jarang ditemukan pada anak-anak (Apley,1995)

Tingkat kejadian dislokasi bahu adalah sekitar 24 per 100.000 orang per tahun di
dunia. Dan sementara ini telah dilaporkan terdapat peningkatan angka kejadian lebih dari
dua kali lipat dari tingkat sebelumnya untuk dislokasi bahu pada populasi umum di Amerika
Serikat, dibandingkan dengan angka kejadian cedera muskuloskeletal yang lainnya yang
umum didapati di ruang gawat darurat, seperti luka pada lutut, punggung bawah dan kaki.
(Owens, 2010)

Dari sebuah studi pada penderita dislokasi yakni didapatkan dari 71,8 persen laki-
laki yang mengalami dislokasi , 46.8 persen penderita berusia antara 15-29 tahun; 48,3
persen terjadi akibat kegiatan olahraga, dan 37 persen dari semua cedera olahraga yaitu pada
olahraga sepakbola dan basket. Pada wanita, tingkat dislokasi yang lebih tinggi terlihat di
antara penderita yang berusia > 60 tahun. Peningkatan ini terutama diakibatkan oleh
kejadian terjatuh di rumah (Owens, 2010)

Tanda-tanda dislokasi sendi bahu yaitu, sendi bahu tidak dapat digerakakkan;
penderita mengendong tangan yang sakit dengan tangan yang lainnya; penderita tidak bisa
memegang bahu yang berlawanan; kontur bahu hilang, bongkol sendi tidak teraba pada
tempatnya; lengkung bahu hilang; tidak dapat digerak-gerakkan; lengan atas sedikit abduksi;
lengan bawah sedikit supinasi (Ardi, 2011)

1.2 Tujuan

Tujuan dari pembuatan laporan kasus ini adalah sebagai berikut:


1 Untuk mengetahui tentang dislokasi regio shoulder termasuk definisi, etiologi,
diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, dan prognosis.
2 Mendapatkan keterampilan dalam melakukan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
menggunakan pemeriksaan penunjang yang dibutuhkan dalam penegakkan diagnosis
dislokasi regio shoulder.
3 Mengkaji ketepatan dan kesesuaian kasus yang dilaporkan dengan teori berdasarkan
literatur.
BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PASIEN:

Nama: Kusnadi
Jenis Kelamin:Laki-laki
Tempat Tanggal Lahir: Magelang, 20 Oktober 1972
Umur: 42 tahun
Alamat: Waled
Agama: Islam
Pekerjaan: Petani

II. ANAMNESIS

Keluhan Utama: Sulit menggerakkan bahu sebelah kanan

Riwayat Penyakit Sekarang :


Bahu kanan sulit digerakkan sejak ± 1 bulan yang lalu. Ketika digerakkan, lengan
atas dan bahu terasa nyeri sehingga gerakan terbatas. Selain itu pasien juga mengeluhkan
adanya kelainan bentuk pada bahu sebelah kanan. Bahu kanan sulit digerakkan setelah jatuh
dan terkena gagang pacul. Pasien mengaku tidak didapatkan luka terbuka akibat kejadian
terserbut. Sesaat setelah kejadian, pasien mengeluhkan adanya nyeri. Sehari setelah
kejadian pasien langsung membawa diri ke tukang urut. Namun, sampai sekarang tidak ada
perubahan. Os meyangkal adanya bengkak pada sendi bahunya, demam(-), mual (- ) muntah
(-).Pasien juga mengaku mengkonsumsi obat Amoxicillin dengan maksud supaya tidak
terjadi infeksi. Setelah pasien merasakan adanya keterbatasan gerak pada bahu sebelah
kanan, pasien membawa diri ke RSUD Waled.

Riwayat Penyakit Dahulu:


 Riwayat trauma (+)
 Riwayat hipertensi, diabete smellitus, penyakit jantung, stroke disangkal
 Riwayat alergi obat, makanan,dan lain-lain disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga:


 Riwayat keluhan yang sama pada keluarga disangkal
 Riwayat hipertensi, diabetes mellitus, penyakit jantung, dan stroke disangkal

Riwayat Pengobatan:
 Pasien belum pernah berobat ke dokter, hanya minum obat Amoxillin dengan
tujuan agar tidak terkena infeksi

1. Status Generalis

Keadaan umum: sakit sedang


Kesadaran: Compos Mentis
GCS : E4V5M6=15

 Vital sign :

 Tekanandarah: 110/70mmHg
 Nadi: 68x/menit
 Suhu: 36.3˚C
 Pernafasan: 22x/menit

 Kepala dan Leher :


 Konjungtiva anemis : (-/-)
 Sklera ikterik : (-/-)
 Pupil isokor : (± 2mm/± 2mm)
 Sianosis : (-)
 Dyspneu : (-)
 Pembesaran KGB : (-)
 Jejas : (-)

Thorax
 Paru :
 I : simetris kanandan kiri, retraksi (-)
 P : gerakan nafas hemithorax kanandan kiri simetris
 P : perkusi paru sonor kanan dan kiri
 A : suara nafas dasar vesikuler, wheezing -/-, rhonki -/-
 Jantung :
 I: iktus kordis tidak terlihat
 P: iktus kordis terabadan kuat angkat
 P: batas jantung dalam batas normal
 A:bunyi jantung I dan II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen
 I : soefl
 A : bising usus (+) normal
 P : nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
 P : timpani

Ekstremitas
 Atas : Akral hangat +/+, oedem -/-, jejas -/-, memar -/-, luka -/-
 Bawah : Akral hangat +/+. Oedem -/-, jejas -/-, memar -/-, luka -/-

2. Status lokalis : Regio Glenohumeral dekstra

 Look
 Tampak deformitas pada sendi bahu, bahu kanan terlihat lebih rendah
dari bahu kiri
 Feel
 Tenderness (+), hangat (-), CRT <2”, pulsasi arteri radialis ++/++
 Move
 Terbatas akibat nyeri
 Kekuatan motorik :

- 33 55

55 55

- Range of Motion (ROM) : sendi glenohumeral

i. Abduksi : 20 ◦ menurun , normalnya : 180◦

ii. Adduksi : 60◦ menurun, normalnya : 75◦

iii. Fleksi : 20◦ menurun, normalnya : 160-180◦

iv. Ekstensi : 20◦ menurun, normalnya : 60◦


v. Rotasi lateral dan rotasi medial tidakdapat dilakukan karena nyeri
III. Hasil Pemeriksaan Radiologi

IV. Hasil Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Hasil Nilai normal


Hematologi
Hemoglobin 13,7 g/dL 13,5-17,5 g/dL
Leukosit 5,500/uL 4,100-10900/uL
Hematokrit 42% 41-53 %
Eritrosit 4,50 4,5-5,5 juta/uL
Trombosit 350000/uL 140000-440000 /uL
MCV 85 80-100fL
MCH 27 26-34pg
MCHC 33 31-36 g/dL
Hitung jenis:
Basofil 1 0-2%
Eosinofil 6 0-5%
Batang 0 2-6%
Segmen 46 47-80%
Limfosit 29 13-40%
7
Monosit 8 2-11%
LED 9 <10
Hemostasis
APTT 42,2 27-42
PT 14,6 12-19
Kimia darah
GDS 79 <140
Fungsi hati
SGOT 13 10-35 U/L
SGPT 6 9-43 U/L
Albumin 4,05 4,0-5,2
Fungsi ginjal
Kreatinin 0,7 0,5-1,5
Ureum 10 17-43
Elektrolit
Na 134 135-147mmol/L
K 3,3 3,5-5,0 mmol/L
Cl 106 96-108 mmol/L

V. RESUME

Bahu kanan sulit digerakkan sejak ± 1 bulan yang lalu. Ketika digerakkan, lengan atas
dan bahu terasa nyeri sehingga gerakan terbatas. Selain itu pasien juga mengeluhkan
adanya kelainan bentuk pada bahu sebelah kanan. Bahu kanan sulit digerakkan setelah
jatuh dan terkena gagang pacul. Pasien mengaku tidak didapatkan luka terbuka akibat
kejadian terserbut. Sesaat setelah kejadian, pasien mengeluhkan adanya nyeri. Sehari
setelah kejadian pasien langsung membawa diri ke tukang urut. Namun, sampai sekarang
tidak ada perubahan. Os meyangkal adanya bengkak pada sendi bahunya, demam(-),
mual (- ) muntah (-).Pasien juga mengaku mengkonsumsi obat Amoxicillin dengan
maksud supaya tidak terjadi infeksi. Setelah pasien merasakan adanya keterbatasan gerak
pada bahu sebelah kanan, pasien membawa diri ke RSUD Waled.

Status lokalis :Regio Glenohumeral dekstra

 Look
 Tampak deformitas pada sendi bahu, bahu kanan terlihat lebih
rendah dari bahu kiri
 Feel
8
 Tenderness (+), hangat (-), CRT <2”, pulsasi arteri radialis ++/++
 Move
 Terbatas akibat nyeri
 Kekuatan motorik :

- 33 55

55 55

- Range of Motion (ROM) : sendi glenohumeral

vi. Abduksi : 20 ◦ menurun , normalnya : 180◦

vii. Adduksi : 60◦ menurun, normalnya : 75◦

viii. Fleksi : 20◦ menurun, normalnya : 160-180◦

ix. Ekstensi : 20◦ menurun, normalnya : 60◦

Rotasi lateral dan rotasi medial tidakdapat dilakukan karena nyeri.

VI. DIAGNOSIS KERJA

- Susp. Neglected Dislokasi Anterior Shoulder Joint Dekstra

VII. PENATALAKSANAAN

 Medikamentosa

 IVFD Ringer Laktat 20tpm/24 jam

 Hypobac 2x 200mg

 Ketorolac (analgetik) 3x 1amp

 Ranitidin 2x1 amp

 Operatif : Shoulder Herniatoplasty

9
VIII. PROGNOSIS

Ad vitam : Bonam

Ad Fungsionam :Dubia ad bonam

Ad sanactionam :Dubia ad bonam

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Anatomi dan Fisiologi Bahu

10
1) Shoulder Joint

Gerakan-gerakan yang terjadi di gelang bahu dimungkinkan oleh sejumlah


sendi yang saling berhubungan erat, misalnya sendi kostovertebral atas, sendi
akromioklavikular, sendi sternoklavikular, permukaan pergeseran skapulotorakal
dan sendi glenohumeral atau sendi bahu. Gangguan gerakan didalam sendi bahu
sering mempunyai konsekuensi untuk sendi-sendi yang lain di gelang bahu dan
sebaliknya (Spalteholz, 2000)

Sendi bahu dibentuk oleh kepala tulang humerus dan mangkok sendi,
disebut cavitas glenoidalis. Sendi ini menghasilkan gerakan fungsional sehari-hari
seperti menyisir, menggaruk kepala, mengambil dompet dan sebagainya atas kerja
sama yang harmonis dan simultan dengan sendi-sendi lainnya.
Cavitas glenoidalis sebagai mangkok sendi bentuknya agak cekung tempat
melekatnya kepala tulang humerus dengan diameter cavitas glenoidalis yang
pendek kira-kira hanya mencakup sepertiga bagian dan kepala tulang sendinya
yang agak besar, keadaan ini otomatis membuat sendi tersebut tidak stabil namun
paling luas gerakannya.

Beberapa karakteristik daripada sendi bahu, yaitu: (Sufitmi, 2004)

11
 Perbandingan antara permukaan mangkok sendinya dengan
kepala sendinya tidak sebanding.
 Kapsul sendinya relatif lemah.
 Otot-otot pembungkus sendinya relatif lemah,
seperti otot supraspinatus, infrapinatus, teres minor dan
subscapularis.
 Gerakannya paling luas.
 Stabilitas sendinya relatif kurang stabil.

Dengan melihat keadaan sendi tersebut, maka sendi bahu


lebih mudah mengalami gangguan fungsi dibandingkan dengan
sendi lainnya.

2) Kapsul Sendi

Kapsul sendi terdiri atas 2 lapisan (Haagenars)

a) Kapsul Sinovial

lapisan bagian dalam dengan karakteristik mempunyai jaringan fibrokolagen


agak lunak dan tidak memiliki saraf reseptor dan pembuluh darah.Fungsinya
menghasilkan cairan sinovial sendi dan sebagai transformator makanan ke
tulang rawan sendi. Bila ada gangguan pada sendi yang ringan saja, maka
yang pertama kali mengalami gangguan fungsi adalah kapsul sinovial, tetapi
karena kapsul tersebut tidak memiliki reseptor nyeri, maka kita tidak merasa
nyeri apabila ada gangguan, misalnya pada artrosis sendi (Spalteholz, 2000)

b) Kapsul Fibrosa

Karakteristiknya berupa jaringan fibrous keras dan memiliki saraf reseptor


dan pembuluh darah. Fungsinya memelihara posisi dan stabititas sendi,
memelihara regenerasi kapsul sendi, Sehingga dapat merasakan posisi sendi
dan merasakan nyeri bila rangsangan tersebut sudah sampai di kapsul fibrosa.
(Spalteholz, 2000)

3) Kartilago

12
Kartilago atau ujung tulang rawan sendi berfungsi sebagai bantalan sendi,
sehingga tidak nyeri sewaktu penderita berjalau. Namun demikian pada
gerakan tertentu sendi dapat nyeri akibat gangguan yang dikenal dengan
degenerasi kartilago. (Spalteholz, 2000)

3) Biomekanika sendi bahu

Gerakan dan luas gerak sendi bahu


Gerakan-gerakan dari bahu dibagi dua, yang didasarkan pada kelompok otot
penggeraknya. Gerakan tersebut antara lain gerakan skapula dan gerakan dari
humerus. Gerakan-gerakan tersebut antara lain : (Nordin, 1989)
1) Gerakan skapula
a. Elevasi dan depresi
Elevasi yaitu gerakan skapula ke atas sejajar dengan vertebra, dapat
dilakukan dengan mengangkat bahu ke atas. Sedangkan depresi adalah
kembalinya bahu dari posisi elevasi. Gerakan vertikal disertai dengan tilting.
Total luas geraknya adalah 10 – 12 cm.
b. Abduksi (protraksi) dan Aduksi (retraksi)
Protraksi adalah gerakan kelateral skapula menjauhi vertebra. Gerakan ini
dapat terjadi ketika bahu melakukan gerakan mendorong ke depan. Retraksi
yaitu gerakan skapula ke medial, dapat dilakukan dengan menarik bahu ke
belakang. Total luas geraknya adalah kira-kira 15 cm.
c. Upward rotation dan downward rotation
Upward rotation yaitu gerakan rotasi dari scapula pada bidang frontal
sehingga fossa glenoidalis bergerak ke atas. Sedangkan downward rotation yaitu
gerakan kembali dari upward rotation. Total luas gerak 600 , displacement sudut
bawah skapula 10 – 12 cm dan sudut superolateral 5 – 6 cm.
4. Upward tilt dan reduction of upward tilt.
Upward tilt yaitu gerakan skapula pada aksis frontal horisontal yang
menyebabkan permukaan posterior skapula bergerak ke atas. Gerakan ini terjadi
oleh karena rotasi dari klavikula, sehingga bagian superior skapula bergerak naik-
turun dan bagian inferiornya bergerak maju-mundur. Hal ini hanya terjadi jika

13
bahu hiperekstensi. Reduction of upward tilt yaitu gerakan kembali dari upward
tilt.
2) Gerakan humerus
Posisi awal berdiri tegak dengan lengan di samping tubuh.
a. Fleksi dan ekstensi
Feksi adalah gerakan lengan atas dalam bidang sagital ke depan dari 00 ke 1800.
Gerak yang berlawanan ke posisi awal (00) disebut gerak depresi lengan. Gerak
ekstensi adalah gerak dari lengan dalam bidang sagital ke belakang dari 00 ke
kira-kira 600. Gerakan fleksi dibagi menjadi 3 fase. Fase 1, fleksi 00 sampai 500 -
600. Otot yang terlibat yaitu deltoid anterior, korakobrakhialis, pektoralis mayor
serabut klavikular. Gerakan fleksi bahu ini dibatasi oleh tegangan dari ligamen
korakohumeralis dan tahanan yang dilakukan oleh teres minor, teres major dan
infraspinatus. Fase II, Fleksi 600 - 1200.
Pada fase ini diikuti gerakan shoulder girdle, yaitu rotasi 600 dari skapula,
sehingga glenoid cavity menghadap ke atas dan ke depan, dan aksial pada sendi
sternoklavikular dan akromioklavikular, setiap sendi membantu 300. Gerakan ini
melibatkan otot trapezius, serratus anterior. Fleksi pada sendi skapulothorakis
dibatasi oleh tahanan lattisimus dorsi dan serabut kostosternal dari pektoralis
mayor. Fase III, fleksi 1200 - 1800. Jika hanya satu lengan yang fleksi dari spinal
kolumn. Bila kedua lengan fleksi maksimum akan terjadi gerakan lordosis dari
lumbal melebihi normal.
b. Abduksi dan adduksi
Gerak abduksi adalah gerak dari lengan menjauhi tubuh dalam bidang
frontal dari 00 ke 1800 Gerak adduksi adalah gerak kebalikan dari abduksi yaitu
gerak lengan menuju garis tengah tubuh. Tigafase gerakan abduksi, fase I,
abduksi 00 – 900 merupakangerakan start abduksi dari sendi bahu. Otot-otot yang
terlibat yaitu deltoid middle dan supraspinatus. Pada akhir abduksi 900 , shoulder
mengunci sebagai hasil greater tuberosity menyentuh superior margin dari
glenoid. Fase II, abduksi 900 –1500 , ketika abduksi 900, disertai fleksi sehingga
dapat aduksi sampai 1200 shoulder mengunci dan abduksi hanya dapat maju
dengan disertai gerakan shoulder girdle. Gerakan ini adalah ayunan dari skapula

14
dengan rotasi tanpa mengunci, sehingga kavitas glenoidalis menghadap agak
keatas dengan luas gerakan 600 Aksial rotasi pada sendi sternoklavikularis dan
akromioklavikularis, setiap sendi membantu gerakan 300. otot- otot yang terlibat
ialah trapezius atas dan bawah dan seratus anterior. Pada gerakan 1500 , yang
dihasilkan oleh rotasi skapula diketahui dengan adanya tahanan peregangan dari
otot-otot abduktor yaitu latissimus dorsi dan pektoralis mayor. Fase III, abduksi
1500 – 1800 dalam fase ini, abduksi mencapai posisi vertikal dan disertai gerakan
spinal kolumn . Bila gerakan hanya satu tangan disertai pemelesetan kelateral dari
spinal kolumn yang dihasilkan oleh otot spinal lawannya. Jika kedua lengan
abduksi bersama-sama sampai 1800 akan terjadi lumbar lordosis yang dipimpin
oleh otot spinal. (Nordin, 1989)

c. Fleksi dan Ekstensi lumbar


Gerak fleksi horisontal adalah gerak dari lengan dalam bidang horisontal mulai 00 –
1350. Gerak ekstensi horisontal ialah gerak lengan kebelakang dalam bidang horisontal
dari 00 – 450.
d. Rotasi
Rotasi dengan lengan disamping tubuh, siku dalam fleksi, bila lengan bawah digerakkan
menjauhi garis tengah tubuh disebut eksorotasi, bila lengan bawah digerakkan menuju
garis tengah tubuh disebut endorotasi. Luas geraknya 900 .
Rotasi dengan lengan dalam abduksi 900 dan telapak tangan menghadap kebawah, bila
lengan diputar kearah kranial disebut eksorotasi dan bila kearah kaudal disebut
endorotasi. Luas geraknya 900 . ( Nordin, 1989)
Pada sendi bahu meliputi :

1) Pada gerakan endorotasi caput humeris roll searah dengan gerakan endorotasi
dan slidenya ke posterior.

2) Pada gerakan abduksi caput humeris roll searah dengan gerakan abduksi dan
slidenya ke caudal.
15
3) Pada gerakan eksorotasi caput humeris roll searah gerak eksorotasi dan slide
ventral agak medial

3.2 Definisi dislokasi

Dislokasi adalah suatu keadaan dimana terjadi pergeseran secara total dari
permukaan sendi. Dislokasi ditandai dengan keluarnya bongkol sendi dari mangkok sendi
atau keluarnya kepala sendi dari mangkoknya. Bila hanya sebagian yang bergeser
disebut subluksasi dan bila seluruhnya disebut dislokasi. Dikatakan Recurrent apabila
terjadi suatu dislokasi berulang sedangkan Habitual apabila dislokasi dapat
diprofokasikan sendiri oleh penderitanya, keadaan ini bersifat kongenital atau akibat
injeksi berkali-kali (biasanya antibiotika) ke dalam otot (Apley, 1995).

Sendi Bahu merupakan salah satu sendi besar yang paling sering berdislokasi. Ini
disebabkan karena beberapa faktor, dangkalnya mangkuk sendi glenoid; besarnya rentang
gerakan; keadaan yang mendasari misalnya ligamentosa yang longgar atau displasia
glenoid; dan mudahnya sendi itu terserang selama aktivitas yang penuh tekanan pada
tungkai atas (Apley, 1995)

3.3 Etiologi dislokasi

Dari segi Etiologi, Dislokasi dapat disebabkan oleh:


 Cedera olah raga. Olahraga yang biasanya menyebabkan dislokasi adalah sepak
bola dan hoki, serta olah raga yang beresiko jatuh misalnya : terperosok akibat
bermain ski, senam, volley. Pemain basket dan pemain sepak bola paling sering
mengalami dislokasi pada tangan dan jari-jari karena secara tidak sengaja
menangkap bola dari pemain lain.
 Trauma yang tidak berhubungan dengan olah raga seperti benturan keras pada
sendi saat kecelakaan motor biasanya menyebabkan dislokasi.
 Terjatuh dari tangga atau terjatuh saat berdansa diatas lantai yang licin
 Patologis : terjadinya ‘tear’ ligament dan kapsul articuler yang merupakan
kompenen vital penghubung tulang.(Sufitmi, 2004)

3.4 Patofisiologi dislokasi

16
Dislokasi terjadi karena kekuatan yang menyebabkan gerakan rotasi
eksterna dan ekstensi sendi bahu. Kaput humerus didorong kedepan dan
menimbulkan avulsi kapsul sendi dan kartilago beserta periosteum labrum
glenoidalis bagian anterior. (crenshaw, 1992 ; Rasjad, 2007)
Pada dislokasi berulang labrum dan kapsul sering terlepas dari lingkar
anterior glenoid. Tetapi pada beberapa kasus labrum tetap utuh dan kapsul serta
ligamentum glenohumerus keduanya terlepas atau terentang kearah anterior dan
inferior. Selain itu mungkin ada indentasi pada bagian posterolateral kaput
humerus (lesi Hill-Sachs), yaitu suatu fraktur kompresi akibat kaput humerus
menekan lingkar glenoid anterior setiap kali mengalami dislokasi. (Rasjad, 2007)
Dislokasi biasanya disebabkan oleh jatuh pada bagian lengan. Humerus
terdorong kedepan , merobek kapsul atau menyebabkan tepi glenoid teravulsi.
Kadang-kadang bagian posterolateral kaput hancur. Mesti jarang, prosesus
akromium dapat mengungkit kaput ke bawah dan menimbulkan luksasio erekta
(dengan tangan mengarah ; lengan ini hampir selalu jatuh membawa kaput ke
posisi di bawah karakoid).

3.5 Klasifikasi dislokasi


1. Dislokasi anterior
Dislokasi anterior disebut juga sebagai dislokasi pregnoid, subkorakoid dan
subklavikuler. Dislokasi bahu anterior merupakan kondisi dimana keluarnya caput
humeri dari cavitas artikulare sendi bahu yang dangkal. Dislokasi sendi bahu
anterior biasanya terjadi setelah cedera akut karena lengan dipaksa berabduksi,
berotasi eksterna dan ekstensi sendi bahu.
2. Dislokasi posterior
Dislokasi posterior lebih jarang ditemukan dan biasanya disebabkan karena
trauma langsung pada sendi bahu dalam keadaan rotasi interna.

3. Dislokasi inferior atau luksasi erekta


Kaput humerus mengalami jepitan di bawah glenoid dimana lengan mengarah ke
atas sehingga terjadi dislokasi inferior.
4. Dislokasi disertai dengan fraktur tuberositas mayor humerus
17
Jenis ini biasanya adalah dislokasi tipe anterior disertai fraktur. Apabila reposisi
pada dislokasi, biasanya fraktur akan tereposisi dan melekat kembali pada
humerus.

3.6 Diagnosis
Diagnosis kasus dislokasi bahu anterior ditegakkan melalui anamnesis
(autoanamnesis atau alloanamnesis), pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis dapat memberikan informasi riwayat trauma dan mekanisme terjadinya
trauma tersebut, sehingga dapat lebih membantu menegakkan diagnosis dan
mengetahui penyulit-penyulit yang mungkin telah ada dan yang dapat muncul
kemudian. Selain itu juga diperlukan informasi mengenai riwayat penyakit pasien dan
riwayat trauma sebelumnya, untuk mempertimbangkan penanganan yang akan
diambil. (Crenshaw, 1992; Rasjad, 2007)
Dari pemeriksaan fisik ditemukan beberapa tanda diantaranya adanya nyeri,
terdapat tonjolan pada bagian depan bahu, posisi lengan abduksi – eksorotasi, tepi
bahu tampak menyudut, nyeri tekan, dan adanya gangguan gerak sendi bahu. Ada 2
tanda khas pada kasus dislokasi sendi bahu anterior ini yaitu sumbu humerus yang
tidak menunjuk ke bahu dan kontur bahu berubah karena daerah dibawah akromion
kosong pada palpasi. Penderita merasakan sendinya keluar dan tidak mampu
menggerakkan lengannya dan lengan yang cedera ditopang oleh tangan sebelah lain
dan ia tidak dapat menyetuh dadanya. Lengan yang cedera tampak lebih panjang
daripada normal, bahu terfiksasi sehingga mengalami fleksi dan lengan bawah
berotasi kearah interna. Posisi badan penderita miring kearah sisi yang sakit.
Pemeriksa terkadang dapat membuat skapula bergerak pada dadanya namun tidak
akan dapat menggerakkan humerus pada scapula. Jika pasien tidak terlalu banyak
menggerakka bahunya , maka pada kasus ini kaput humerus yang tergeser dapat
diraba dibawah prosesus korakoideus (Crenshaw, 1992).
Diagnosis klinik untuk kasus dislokasi sendi bahu anterior ini dapat
menggunakan tanda cemas (apprehension sign). Pemeriksaan ini dilakukan dengan

18
cara mengangkat lengan kedalam abduksi, rotasi luar dan kemudian ekstensi secara
hati-hati dalam posisi duduk atau berbaring. Pada saat kritis pasien akan merasa
bahwa kaput humerus seperti akan telepas kebagian anterior dan tubuhnya menegang
karena cemas. Uji ini harus diulangi dengan menekan bagian depan bahu, dimana
dengan manuver ini pasien akan merasa lebih aman dan tanda cemasnya negatif
(Rasjad, 2007)
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah rontgen foto bahu
anteroposterior (AP) dan lateral. Rontgen bagian AP akan memperlihatkan bayangan
yang tumpang tindih antara kaput humerus dan fossa glenoid, kaput biasanya terletak
di bawah dan medial terhadap mangkuk sendi. Foto lateral yang diarahkan pada daun
skapula akan memperlihatkan kaput humerus keluar mangkuk sendi (Apley, 2010).
Selain itu juga dianjurkan melakukan pemeriksaan pandangan oblik agar dapat
dipastikan tidak terdapat dislokasi posterior kasus.Diagnosis banding dari kasus
dislokasi anterior ini juga dapat disingkirkan dengan pemeriksaan pandangan
oblik.Pemeriksaan pandangan oblik memang lebih sulit dilakukan namun lebih
mudah diintepretasi (Sufitmi, 2004)

3.7 Gambaran Klinis


Didapatkan nyeri yang hebat serta gangguan pergerakan sendi bahu. Kontur sendi
bahu menjadi rata karena kaput humerus bergeser ke depan. Penderita mengendong
tangan yang sakit dengan tangan yang lainnya; penderita tidak bisa memegang bahu yang
berlawanan, bongkol sendi tidak teraba pada tempatnya; lengkung bahu hilang; bahu
tidak dapat digerak-gerakkan; lengan atas sedikit abduksi; lengan bawah sedikit supinasi.

3.8 Penanganan

Penanganan Umum

Penanganan umum untuk semua pasien trauma tetap berpegang pada prinsip
ATLS (Advanced Trauma Life Support) yakni selalu menangani hal-hal yang mengancam
nyawa terlebih dahulu meliputi airway, breathing dan circulation. Pada dislokasi akut
jarang diperlukan tindakan terbuka, meskipun demikian tindakan yang dilakukan dengan
19
paksa harus dilakukan secara hati-hati karena dapat menyebabkan kerusakan jaringan
yang lebih berat ataupun komplikasi fraktur. Yang perlu diingat adalah dapat terjadi
interposisi jaringan lunak yang menghalangi usaha reposisi kita yang sering kali
memaksa kita untuk melakukan tindakan terbuka ( Crenshaw, 1992)

Dislokasi akut semestinya dilakukan reposisi sesegera mungkin untuk mencegah


komplikasi lebih lanjut, meskipun perlu disadari reposisi yang segera ini belum menjamin
bahwa komplikasi lanjut (seperti fraktur-dislokasi, cedera saraf, cedera pembuluh darah,
dll) tidak akan terjadi. Tindakan reposisi sering kali memerlukan bantuan anestesi agar
tidak terasanya nyeri, meskipun demikian kadang dapat dilakukan tanpa pembiusan yaitu
pada periode shock jaringan.

Closed reduction

Ekstremitas superior (Shoulder)

Penatalaksanaan kasus dislokasi anterior bahu dilakukan secara konservatif dan


operatif. Terapi cedera ini secara konservatif sering memberikan hasil yang memuaskan
bila tidak disertai cedera lain didaerah tersebut seperti fraktur pada caput humeri atau
tuberculum majus dan cedera neuromuscular. Pilihan terapi konservatif berupa reposisi
tertutup dengan manuver Kocher (siku posisi 90º dan dilakukan traksi sesuai garis
humerus. Lakukan rotasi lateral, kemudian adduksi lalu lakukan rotasi medial abduksi),
immobilisasi dengan verban Velpeau atau collar cuff selama lebih kurang 3 minggu.

20
Reduksi dislokasi harus segera dilakukan untuk kasus dislokasi anterior bahu yang baru
terjadi. Reduksi segera ini dapat dilakukan dengan 2 metode (Crenshaw, 1992 ; Rasjad,
2007) :

1. Metode Stimson

Metode ini mudah dilakukan dan tidak memerlukan anestesi .Penderita diminta tidur
telungkup dengan lengan yang terkena dibiarkan menggantung ke bawah dengan
memberikan beban tergantung dari kekuatan otot si penderita yang diikatkan pada
pergelangan tangan. Pada saat otot bahu dalam keadaan relaksasi, diharapkan terjadi
reposisi akibat berat lengan yang tergantung disamping tempat tidur tersebut. Metode
ini dilakukan selama 10-15 menit (Wibowo, 1995)

21
Cara reposisi dislokasi bahu dengan metode Stimson

2. Metode Hippocrates

Metode ini dilakukan jika metode stimson tidak memberikan hasil dalam waktu 15
menit. Reposisi dilakukan dalam keadaan anestesi umum. Lengan pasien ditarik
kearah distal punggung dengan sedikit abduksi, sementara kaki penolong berada
diketiak pasien untuk mengungkit kaput humerus kearah lateral dan posterior. Setelah
reposisi, bahu dipertahankan dalam posisi endorotasi dengan penyangga ke dada
selama paling sedikit 3 minggu.

22
Untuk kedua metode ini, pasien diminta mengabduksikan lengannnya secara lembut
kemudian lakukan pemeriksaan untuk memastikan tidak ada saraf aksilaris atau
muskulokutaneus yang cedera. Lakukan kembali pemeriksaan Rontgen untuk
konfirmasi.

Open reduction (Crenshaw, 1992)

Indikasi

 Bila gagal dicapai reposisi anatomis yang dikehendaki

 Bila hasil reposisi tidak stabil. Biasanya bila ada fragment tulang (fraktur
dilokasi)

 Terjadi cedera saraf setelah tindakan reposisi tertutup

 Adanya cedera vascular sebelum reposisi dan masih tetap terjadi setelah reposisi

 Kasus lama (neglected case). Operasi dilakukan dengan metode Bristow. labium
glenoid dan kapsul yang robek dan metode Putti-Platt untuk memendekkan
kapsul anterior dan subskapularis dengan perbaikan tumpang tindih. Metode
operasi lain yang dilakukan adalah metode Bankart untuk memperbaiki.

3.9 Komplikasi (Rasjad, 2007)

Komplikasi yang dapat terjadi pada dislokasi anterior adalah timbulnya dislokasi
kambuhan, lesi pleksus brakialis dan nervus aksilaris, serta interposisi tendo bisep
kaput longum. Robekan arteri aksilaris jug dapat terjadi. Langkah antisipatif yang
dapat dilakukan sebelum dirujuk adalah dengan melakukan penekanan kuat pada
aksila. Komplikasi lanjut dapat berupa kaku sendi dan dislokasi rekurens. Dislokasi
rekuren anterior terjadi karena pengobatan awal (immobilisasi) yang tidak adekuat
sehingga terjadi dislokasi. Dislokasi terjadi karena adanya titik lemah pada selaput
sendi disebelah depan dan terjadi karena trauma yang ringan. Dislokasi rekuren dapat
mudah terjadi apabila lengan dalam keadaan abduksi, ekstensi dan lateral rotasi
(Appley, 1995)

23
3.10 Prognosa (Rasjad, 2007)

Tingkat kesembuhan pada kasus ini baik jika tidak timbul komplikasi.

BAB IV

PEMBAHASAN

Dislokasi bahu anterior merupakan kondisi dimana keluarnya caput humeri dari
cavitas artikulare sendi bahu yang dangkal. Dislokasi sendi bahu anterior biasanya terjadi
setelah cedera akut karena lengan dipaksa berabduksi, berotasi eksterna dan ekstensi
sendi bahu.
Anamnesa
Kasus Teori
1. Pasien mengeluhkan nyeri dan Gejala klinis pada dislokasi bahu
keterbatasan pada bahu kanan. anterior yang biasanya didapatkan pada
24
2. Bahu kanan sulit digerakkan sejak anamnesa:
± 1 bulan yang lalu. Bahu kanan 1. Pasien datang dengan suatu trauma
sulit digerakkan setelah jatuh dan atau terdapat riwayat trauma.
terkena gagang pacul. Terdapat 2. Didapatkan nyeri yang hebat serta
keterbatasan gerak pada lengan gangguan pergerakan sendi bahu.
kanan atas dan pasien selalu 3. Daerah yang mengalami dislokasi
memegangnya untuk menopang akan ditopang dengan lengan
agar tidak terlalu nyeri . lainnya untuk mengurangi
pergerakan dan nyeri yang muncul.

Pemeriksaan Fisik
Kasus Teori
Pada pemeriksaan fisik didapatkan: Pada pemeriksaan fisik:
Regio Shoulder Dextra Inspeksi:
Look :  Terdapat perubahan posisi
Deformitas (+), edema (-), luka (-) anggota gerak, dimana terdapat
Feel : tonjolan pada bagian depan
Nyeri Tekan (+), krepitasi (-), a. bahu akibat humerus yang
Radialis (+), capillary refill time < bergeser ke arah anterior
2’  Ekspresi wajah terlihat
kesakitan akibat menahan nyeri
Move :
 Tidak terdapat luka pada daerah
Sendi bahu : ekstensi (+) terbatas,
trauma
fleksi (+) terbatas, internal rotasi
 Didapatkan lengan dalam
(+) terbatas, eksternal rotasi (+)
terbatas. keadaan abduksi – eksorotasi,

Sendi siku : ekstensi (+) normal, tepi bahu tampak menyudut,

fleksi (+) normal, supinasi (+) nyeri tekan, dan adanya

normal, pronasi (+) normal. gangguan gerak sendi bahu


Palpasi:
Nyeri tekan (+)
Krepitasi (-)

25
Pergerakan:
 Setiap pergerakan akan
menyebabkan nyeri. Penderita
tidak mampu menggerakkan
lengannya dan lengan yang
cedera ditopang oleh tangan
sebelah lain dan ia tidak dapat
menyetuh dadanya.
 Ada
keterbatasan/ketidakmampuan
dalam melakukan suatu gerakan.

Pemeriksaan Penunjang
Kasus Teori
 Rontgen Shoulder Dextra AP Pada pemeriksaan penunjang
(terdapat dislokasi anterior) didapatkan:
 Laboratorium Darah  Pemeriksaan Radiologis

Leukosit : 11.800 K/µL (membantu dalam hal penegakkan


Hemoglobin : 11,1 g/dl jenis dan letak dislokasi) yang
Hematokrit : 35,9 % umumnya diambil pada dua sisi
Trombosit : 120.000 K/µL proyeksi yakni AP dan Lateral.
BT : 2’  Pemeriksaan Laboratorium
CT : 8’  Pemeriksaan darah lengkap
GDS : 101 mg/dl
HBs Ag : negatif
Ab HIV : negatif

Penatalakasanaan
Kasus Teori
IVFD RL 20 tpm  Penanganan pasien dengan trauma
Drip tramadol 1 ampul tetap memperhatikan prinsip ATLS
Konsul PPDS OT, advice : yakni ABC
26
1. MRS  Penatalaksanaan kasus dislokasi
2. Pasang spalk dan perban anterior bahu dapat dilakukan secara
elastis konservatif dan operatif
3. Direncanakanreposisi  Pilihan terapi konservatif berupa
lengan dengan general anestesi reposisi tertutup dengan manuver
malam ini jam 22.00 Kocher dilanjutkan immobilisasi
dengan verban Velpeau atau collar
Laporan Operasi : cuff selama lebih kurang 3 minggu.
a. Dilakukan  Dilakukan reduksi secara terbuka
reposisi secara reduksi tertutup apabila reposisi secara tertutup
(manuver Kocher) dengan gagal dilakukan ataupun karena
menggunakan general anestesi. sebab lain.
b. Dilakukan
balutan perban elastis secara
“Velpeauw Bandage”.

BAB V

KESIMPULAN

Telah dilaporkan pasien pria Tn. K dengan usia 47 tahun dengan keluhan utama
bahu kanan sulit digerakkan. Dari hasil pemeriksaan fisik pada regio shoulder dextra
tampak deformitas, bahu kanan lebih rendah daripada bahu kiri, tidak tampak edema,
adanya nyeri tekan, dan pergerakan ekstensi, fleksi, internal rotasi, serta eksternal rotasi
terbatas. Kemudian dilakukan pemeriksaan radiologi yang didapatkan adanya dislokasi
anterior regio shoulder dextra. Dari hasil anamnesa, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan
penujang ditegakkan diagnosa sebagai dislokasi shouder anterior sinistra dan dilakukan
tindakan close reduction.

27
DAFTAR PUSTAKA

1. Apley, A Graham & Solomon, Louis. 1995. Ortopedi dan Fraktur sistem Apley.
Jakarta : Widya Medika.

2. Brett Owens, MD, study co-author. March, 2010. Studies show high rates of shoulder
dislocation in young men and elderly women an orthopedic surgeon at the Keller
Army Hospital at West Point, New York and Associate Professor at the Uniformed
Services University of Health Sciences

28
3. Crenshaw. AH:Dislocation in Campbell’s Operative Orthopaedics,8th ed. Vol II
1992.Mosby Year Book, St.Louis Baltimore Boston Chicago London Philadelphia
Sydney Toroto.

4. Eko Ardi P, M.Subhan Zuhdi, Tony Wahyu P, Satrio Yudi Er.2011. Dislokasi Pada
Sendi Bahu. Digitasl Library USU.

5. Hardianto Wibowo, dr, Pencegahan dan penatalaksaan cedera olahraga, cetakan I,


EGC, 1995.

6. Nordin, M and Frankel H victor : Basic Biomechanic of the Muskuloskeletal system.


Lea and Febriger Philadelphia, London , tahun 1989 , halaman 225-234.

7. Rasjad, Chairuddin.Pengantar Ilmu Bedah Ortopedi edisi V.2007. Yarsif Watampone :


Jakarta.

8. Sufitni. Cedera pada Extremitas Superior. Anatomi Fakultas


Kedokteran.2004.Universitas Sumatera Utara.

9. Werner Spalteholz, 2000. Hand atlas of human anatomy, seven edition in English. JB
Lippincott Company

29

Anda mungkin juga menyukai