Anda di halaman 1dari 6

Permulaan abad ke-20 merupakan masa kebangkitan umat Islam.

Gerakan-gerakan modern Islam


muncul bersamaan dengan lahirnya kesadaran nasional yang diwujudkan dalam wujud
pergerakan nasional. Kedua gerakan itu berjalan beriringan dalam mewujudkan cita-cita bangsa
Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan.

Bagi umat Islam, usaha-usaha untuk menuju cita-cita ini ditempuh dalam bentuk organisasi-
organisasi Islam dengan corak dan gaya yang berbeda.

Pada awal abad ke-20, bermunculan organisasi-organisasi pembaharuan Islam di Indonesia yang
memiliki ciri sebagai gerakan tajdid, di antaranya Muhammadiyah di Yogyakarta, al-Irsyad di
Jakarta, dan Persatuan Islam (Persis) yang berdiri di Bandung. Semua gerakan ini berdasarkan
ajaran-ajaran salaf dan reformis.
Persis sendiri berawal dari suatu kelompok tadarusan di kota Bandung yang dipelopori oleh H.
Muhammad Zamzam dan H. Muhammad Yunus, dua orang saudagar dari Palembang. Bersama
dengan jamaahnya, mereka mengkaji serta menguji ajaran-ajaran Islam.

Kelompok tadarusan yang awalnya hanya berjumlah sekitar 20an orang ini pun semakin
mengetahui hakitat Islam yang sebenarnya. Mereka menjadi  sadar bahaya keterbelakangan,
kejumudan, penutupan pintu ijtihad, taklid buta, dan serangkaian bid’ah.

Mereka lalu berusaha melakukan gerakan tajdid dan pemurnian ajaran agama Islam dari paham-
paham yang menyesatkan.
Kesadaran terhadap kehidupan berjamaah, berimamah, dan berimarah dalam menyebarkan
syariat Islam menimbulkan semangat kelompok tadarusan ini untuk mendirikan sebuah
organisasi baru dengan ciri dan karakteristik yang khas. Sehingga berdirilah Persis pada tanggal
12 September 1923 di Bandung.

Penamaan organisasi ini diilhami dari firman Allah dalam surat Ali Imran ayat 103:

 ۚ ‫ َو ْاذ ُكرُوْ ا نِ ْع َمتَ هّٰللا ِ َعلَ ْي ُك ْم اِ ْذ ُك ْنتُ ْم اَ ْعدَٓا ًء فَا َ لَّفَ بَ ْينَ قُلُوْ بِ ُك ْم فَاَصْ بَحْ تُ ْم بِنِ ْع َمتِ ٖ ۤه اِ ْخ َوانًا‬  ۖ ‫َص ُموْ ا بِ َح ْب ِل هّٰللا ِ َج ِم ْيعًا َّواَل تَفَ َّرقُوْ ا‬
ِ ‫َوا ْعت‬
َ‫ك يُبَيِّنُ هّٰللا ُ لَـ ُك ْم ٰا ٰيتِ ٖه لَ َعلَّ ُك ْم تَ ْهتَ ُدوْ ن‬
َ ِ‫ َك ٰذل‬   ۗ ‫ار فَا َ ْنقَ َذ ُك ْم ِّم ْنهَا‬ ٰ
ِ َّ‫َو ُك ْنتُ ْم عَلى َشفَا ُح ْف َر ٍة ِّمنَ الن‬
wa’tashimuu bihablillaahi jamii’aw wa laa tafarroquu wazkuruu ni’matallohi ‘alaikum iz
kuntum a’daaa`an fa allafa baina quluubikum fa ashbahtum bini’matihiii ikhwaanaa, wa kuntum
‘alaa syafaa hufrotim minan-naari fa angqozakum min-haa, kazaalika yubayyinullohu lakum
aayaatihii la’allakum tahtaduun
“Dan berpegang teguhlah kamu semuanya pada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-
berai, dan ingatlah nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliah) bermusuhan, lalu
Allah mempersatukan hatimu, sehingga dengan karunia-Nya kamu menjadi bersaudara,
sedangkan (ketika itu) kamu berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu dari
sana. Demikianlah, Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu agar kamu mendapat
petunjuk.”

Persis pada Masa Kolonial

Sejak awal pendiriannya, Persis lebih menitikberatkan perjuangannya pada penyebaran


penyiaran paham al-Qur’an dan As-Sunnah kepada masyarakat Islam dan bukan untuk
memperbesar dan memperluas jumlah anggota dalam organisasi.

Organisasi ini berusaha keras untuk mengembalikan kaum muslimin kepada al-Quran dan hadis;
menghidupkan jihad dan ijtihad, membasmi bid’ah, khurafat, takhayul, taklid dan syirik,
memperluas tablig dan dakwah kepada segenap masyarakat; mendirikan pesantren dan sekolah
untuk mendidik kader Islam.

Persis pada umumnya kurang memberikan tekanan kepada kegiatan organisasi. Mereka tidak
terlalu berminat menambah sebanyak mungkin anggota. Pembentukan cabang tergantung pada
inisiatif peminat semata dan bukan didasarkan kepada suatu rencana yang dilakukan oleh
pimpinan pusat.

Pada tahun-tahun pertamanya, Persis hanya memiliki anggota sekitar 20an orang. Aktivitas pun
berakar pada shalat Jum’at ketika anggota datang bersama-sama dan mengikuti kursus-kursus
pengajaran agama yang diberikan sejumlah tokoh Persis. Perlu diketahui seluruh aktivitas
dakwah Persis diprakarsai dan dibiayai sendiri oleh kedua pendirinya yang berprofesi sebagai
wirausahawan.

Organisasi ini mendapat bentuknya yang jelas setelah masuknya Ahmad Hassan pada tahun 1926
dan Mohammad Natsir pada 1927. Menurut Dadan Wildan dalam Sejarah Perjuangan Persis,
Sejak masuknya Ahmad Hassan, Persis memiliki guru utama dalam menyampaikan ajaran
Islamnya.

persatuan islam persis

Ahmad Hassan

Ahmad Hassan merupakan seorang pendatang dari Singapura. Ia adalah keturunan keluarga India
Tamil yang menetap di wilayah itu. Meskipun tidak menuntaskan pendidikan sekolah dasar,
tetapi Ahmad Hassan sejak kecil telah memperoleh pendidikan agama yang kuat dari berbagai
ulama terkenal di Singapura dan Sumatra.

Tidak hanya berdakwah melalui jamaah tadarus, Persis juga menerbitkan risalah dan majalah,
antara lain: Pembela Islam (1929-1935), al-Fatwa (1933-1935), Soal Jawab (1931-1940), al-
Lisan (1935-1942, at-Taqwa (1937-1941), Lasykar Islam (1937), dan al-Hikam (1939).

Pada periode awal ini Persis menghadapi tantangan yang berat dalam menyebarkan ide-ide dan
pemikirannya. Di samping masyarakat yang jumud, tantangan juga datang dari pemerintah
kolonial. Kondisi ini menyebabkan para Persis banyak melakukan perdebatan dalam
menyukseskan dakwahnya.

Pada tahun 1940, Ahmad Hassan beserta 25 muridnya pindah ke Bangil, Jawa Timur dan
pesantren yang berada di Bandung dilanjutkan oleh K.H. Endang Abdurrahman.
Pada masa penjajahan Jepang, organisasi ini kurang berkembang karena menentang
kebijaksanaan penjajah yang mewajibkan melakukan Sei kerei (penghormatan kepada kaisar
Jepang dengan cara membungkukkan badan ke arah Tokyo).

Menjelang kemerdekaan, Persis mulai tertarik dengan masalah-masalah politik. Para tokoh Persis
berpandangan bahwa kembali ke al-Quran dan Sunah itu tidak hanya terbatas dalam akidah dan
ibadah, tetapi lebih luas dari pada ini, termasuk berjuang dalam politik untuk memenangkan
ideologi Islam.

Persis pada Masa Kemerdekaan

Pada tanggal 8 November 1945, Persis turut mempelopori lahirnya Partai Masyumi di
Yogyakarta, sebagai wadah politik umat Islam di Indonesia. Persis menjadi anggota istimewa di
dalam Masyumi di samping Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama.

Selain bergabung dengan Masyumi, Persis juga melakukan reorganisasi untuk menyusun
kembali sistem organisasi yang sebelumnya dibekukan oleh Jepang. Setelah reorganisasi tahun
1948, Persis berada di bawah kepemimpinan K. H Isa Anshary dari tahun 1948-1960.

Saat itu Persis dihadapkan pada pergolakan politik yang belum stabil. Persis mengeluarkan
sejumlah manifesto politik yang isinya sebagian besar menolak konsepsi Soekarno tentang
Nasakom, bahkan Isa Anshary membentuk front anti komunis yang dalam prakteknya justru
membahayakan umat Islam.

Pada muktamar Persis ke-7 di Bangil (2-5 Agustus 1960), berkembang wacana agar Persis
dirubah formatnya dari organisasi massa menjadi organisasi politik dengan nama baru Jama’ah
Muslimin. Wacana tersebut dilontarkan oleh Isa Anshary.

Sementara itu pihak lain menginginkan Persis tetap eksis sebagai ormas Islamyang bergerak di
bidang dakwah dan pendidikan.
Gagasan dari Isa Anshary di atas ditolak oleh K.H. E. Abdurrahman yang lebih memilih
mempertahankan bentuk asli organisasi. Dalam hal ini Abdurrahman mendapat dukungan kuat
dari pimpinan pusat pemuda Persis. Melalui pertarungan yang alot, akhirnya Abdurrahman
terpilih menjadi ketua umum Persis melalui referundum.

persatuan islam persis

K.H Endang Abdurrahman

Bergantinya tampuk kepemimpinan dan perubahan situasi negara rupanya mempengaruhi pada
penampilan Persis di publik. Jika pada masa kepemimpinan K.H. Isa Anshary, Persis lebih kental
dan akrab dengan politik praktis, maka pada masa kepemimpinan baru ini Persis tidak begitu
memperdulikan politik. Bahkan Abdurrahman mengeluarkan Tausiah (fatwa) yang melarang
semua anggota dan pesantren serta ustaz untuk aktif di bidang politik praktis.

Selama masa kepemimpinan K.H. E. Abdurrahman dari tahun 1962-1983, Persis menunjukkan
kecenderungan pada kegiatan-kegiatan sekitar tabligh dan pendidikan dari tingkat pusat hingga
cabang.

K.H. E. Abdurrahman lebih mengorientasikan Persis sebagai organisasi agama, sebab itu ia
mengambil pola kepemimpinan ulama, bukan kepemimpinan politik.

Pada masa inilah Persis kembali kepada garis perjuangannya, sehingga tidak salah jika K.H. E.
Abdurrahman dikatakan sebagai penegak khittah Persis.

Persis pada masa kini

Pada masa kini Persis berjuang menyesuaikan diri dengan kebutuhan umat pada masanya yang
lebih realistis dan kritis. Gerak perjuangan Persis tidak terbatas pada persoalan persoalan ibadah
dalam arti sempit, tetapi meluas kepada persoalan-persoalan strategis yang dibutuhkan oleh umat
Islam terutama pada urusan muamalah dan peningkatan pengkajian pemikiran keislaman.

Anda mungkin juga menyukai