Anda di halaman 1dari 242

JAKARTA KHUSUS MENULIS

BUSUR
MERAMU UNTUK MAJU

Pajak harus dapat
melindungi
berbagai aspek
ekonomi agar
masyarakat
maupun sektor
usaha dapat terus
tumbuh,
berkembang, dan
bersaing, baik
secara lokal
maupun global.
Pemahaman inilah
yang mesti terus
kita bangun
sehingga kita dapat
mewujudkan
Indonesia yang adil
dan sejahtera.”
—Suryo Utomo,
Direktur Jenderal Pajak
BUSUR
MERAMU UNTUK MAJU

Gita Danet Siburian, dkk


(JAKARTA KHUSUS MENULIS)

Penerbit
Direktorat Jenderal Pajak
Jakarta, Mei 2021
BUSUR: MERAMU UNTUK MAJU

TIM PENYUSUN

Penanggung Jawab
Budi Susanto

Ketua
Sanityas Jukti Prawatyani

Sekretariat
Ainur Rasyid, Achmad Rizky Prayogo, Wijanarko Pristiyanto Putro,
Hapsari Arum Kusumo, Zam Zam Mufid, Meilan Kurniati Gultom

Penulis
Gita Danet Siburian, dkk (Jakarta Khusus Menulis)

Desain dan Tata Letak


Yopi Fajar Candra Dinata, Rinaka Ikaprita Kurniaratih,
Ridho Damara, Uzlifa Nafi’atul Masfufah,
Wisnu Purnomo Aji, M Rian Afriadi Buddyawan

Penyunting
Theresia Friska Sipayung, Yuliana Fariani,
Johana Lanjar Wibowo, Dewi Damayanti,
Ahmad Dahlan, Martiana Dharmawani Sipahutar,
Lila Saraswaty, Dendi Amrin

Penerbit
Direktorat Jenderal Pajak
Jalan Gatot Subroto, Kav. 40-42, Jakarta 12190
Telp: (+62) 21 - 525 0208

ISBN 978-623-97203-0-8

Cetakan pertama, Juni 2021

©2021, Direktorat Jenderal Pajak

Hak cipta dilindungi undang-undang.


Dilarang keras menerjemahkan, menyalin, atau memperbanyak sebagian
atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dari pemegang hak cipta.
DAFTAR ISI
Sambutan Direktur Jenderal Pajak viii
Sambutan Kepala Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus x
Prakata xii

PAJAK DAN PANDEMI 1


Kontribusi Pajak di Masa Pandemi 3
Gita Danet Siburian
Inklusi Keuangan sebagai Upaya Pemulihan Ekonomi 10
Muhammad Hamam Al Hashfi
Pandemi Memetamorfosis Interaksi 15
Arles Parulian Ompusunggu
Setahun Pandemi Covid-19, Pajak Bisa Apa? 20
Mochammad Bayu Tjahjono
Kebijakan Pemerintah Saat Pandemi 26
Sahruni
Menjawab Polemik Pajak Pulsa, Kartu Perdana,
Token, dan Voucer 30
Dewi Damayanti
Kali Ini tentang Insentif PPnBM 36
Gandi Prayoso
Relaksasi PPnBM Mobil Baru, Solusi
atau Pemicu Masalah Baru? 41
Yopi Fajar Candra Dinata
Tantangan Pengenaan PPN PMSE 46
Mohamad Azhari
Meneropong Maslahat Insentif Restitusi PPN Dipercepat 50
Didik Yandiawan
Relaksasi Dahulu, Tepat Waktu Kemudian 55
Frida Herliani
Bangkitkan UMKM dengan Insentif Pajak 58
Dewi Damayanti
Upah Minimum Statis, Akankah Pajak Dinamis? 63
Annisa Dwi Putri
Mendulang Asa PPN PMSE 66
Dewi Damayanti
MENGGALI PELUANG 73
Memaknai Regulasi Bea Meterai 75
Didik Yandiawan
Mengoyak Ketimpangan Pajak 79
Johana Lanjar Wibowo
Pemanfaatan Data Uang Elektronik untuk Perpajakan 82
Qadri Fidienil Haq
Potensi Versus Interpretasi 87
Bambang Tejomurti
Solusi Penentuan Kewajaran Pembebanan Royalti 94
Arles Parulian Ompusunggu
Exploring State Revenue Potential from
the Interconnection between Corruption and Tax Crime 99
Martiana Dharmawani Sipahutar
Dua Sisi Mata Uang Implementasi KKP 103
Febryana Puspa Wardani
Belajar dari Strategi Para Hedge Fund 106
Kurniawan Iswanto
Potential Tax Loss from Bankruptcy 110
Aria Yudisatria
Menagih untuk Tidak Lupa 113
Mochammad Bayu Tjahjono
Digital Economy Poses Challenges In Collecting Tax
Revenues 119
Ronny Satriawan Sakti
Trust: Sebuah Kotak Pandora 124
Bambang Tejomurti
Preliminary Pricing Plan Konsep Pengawasan
Transaksi Afiliasi Sebelum Periode Transaksi 133
I Made Suryantara
Penyidikan Pasca Amnesti Pajak 141
Wijang
Pemeriksaan Pajak atas Biaya Jasa Intra-Grup Perusahaan 145
Arles Parulian Ompusunggu
Beda Mazhab SPT Tidak Benar 152
Vitra Yozi
Pemeriksaan Bersama, Upaya Pangkas Birokrasi 157
Qadri Fidienil Haq
MENJAGA KINERJA 163
KSO Lapor SPT Tahunan? 165
Taripar Doly
Digitalisasi Proses Penelitian Keberatan 169
Hanif Affandhi
Problematika Pembukuan Mata Uang Asing 174
Wijanarko Pristiyanto Putro
SPT Tahunan Kantor Perwakilan? 179
Taripar Doly
Sistem Pemotongan PPh Pasal 26
dan Asas Proporsionalitas 183
Ahmad Sadiq Urwah F. M.
Urgensi KLU untuk Menghitung Penyusutan 197
Bambang Tejo
Rekening Efek DJP untuk Efektivitas Penyitaan Saham 204
Lisa Alviani
Menyoal Pengurangan atau Penghapusan
Sanksi Administrasi 208
Waluyojati
Cooperative Compliance: Agar Tak Ada Dusta di Antara Kita 213
Widi Pramono
Rasionalisasi Nilai: Benteng Pertahanan Mencegah Fraud 218
Sanityas Jukti Prawatyani
Sambutan
Direktur Jenderal Pajak

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

P
uji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
semua nikmat dan rahmat-Nya untuk kita semua, sehingga kita
dapat mengabdi dan berkontribusi aktif untuk bangsa dan negara ini.
Sebagaimana telah kita ketahui, komunikasi merupakan hal
yang penting dalam hidup ini. Bentuk komunikasi tidak hanya
secara lisan, namun komunikasi tulisan juga sangat penting. Tulisan
merupakan dokumentasi yang dapat berumur panjang dan menjadi
jejak dalam menelusuri sebuah informasi atau kejadian yang telah
terjadi. Begitupun, tulisan hasil buah pikiran seseorang akan menjadi
jendela pengetahuan bagi para pembacanya.
Banyak orang yang mahir berkomunikasi secara lisan, namun
lemah saat berkomunikasi melalui tulisan. Tidak banyak orang yang
bisa menulis untuk menuangkan opininya terhadap sebuah peristiwa
atau kebijakan. Namun buku ini membuktikan bahwa pegawai
Direktorat Jenderal Pajak khususnya para pegawai di lingkungan
Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus, memiliki talenta untuk menulis
dan membukukannya dalam sebuah kumpulan buku opini.
Situasi pandemi Covid-19 yang memicu pemerintah untuk
menyusun berbagai kebijakan fiskal, telah memicu diskursus dari
berbagai pihak, termasuk para pegawai DJP sendiri. Hasil diskursus
tersebut banyak mewarnai isi buku ini dan menjadi pertanda
kepedulian para penulis untuk berperan dalam situasi yang
memprihatinkan ini.
{ vii

Buku ini juga menjadi sebuah bukti bahwa Direktorat Jenderal


Pajak memiliki SDM yang unggul. Di tengah kesibukan utama
menghimpun penerimaan negara, para pegawai di lingkungan
Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus masih mampu berpikir kritis dan
menuangkan ide-ide briliannya melalui tulisan berupa opini, yang
akhirnya bisa disatukan dalam buku ini. Tidak hanya menjadi sarana
bagi pegawai untuk menuangkan pendapat dan kajiannya, buku ini
juga menjadi sumber ilmu pengetahuan bagi para pembacanya.
Penghargaan dan apresiasi yang tinggi kepada Kantor Wilayah
DJP Jakarta Khusus yang telah membuat kegiatan “Jakarta Khusus
Menulis” hingga menghasilkan karya berupa buku kumpulan opini
yang berjudul BUSUR ini. Teruslah menulis dan menulis, dengan
demikian jiwa dan pemikiran kita akan kekal dalam sebuah karya.
Semoga buku ini memberikan banyak manfaat untuk pembaca dan
negeri kita tercinta.

Wassalaamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, Mei 2021

Suryo Utomo
Sambutan
Kepala Kantor Wilayah
DJP Jakarta Khusus

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

P
uji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat tak
terhingga yang diberikan dan menjadikan kita sebagai makhluk
yang paling sempurna dan berilmu, sehingga dapat melahirkan karya
yang bermanfaat.
Amanah Direktorat Jenderal Pajak sebagai institusi penghimpun
penerimaan negara, bukanlah hal yang mudah. Kantor Wilayah DJP
Jakarta Khusus yang merupakan bagian dari DJP diberikan tugas
mengelola wajib pajak penanaman modal asing, badan dan orang
asing, minyak dan gas bumi, serta perusahaan masuk bursa, tentunya
menghadapi banyak tantangan dalam menjalankan amanah tersebut.
Di tengah tantangan tersebut, banyak pendapat dan pandangan
yang berbeda-beda dalam menyikapi kebijakan dan peraturan di
bidang perpajakan. Selain itu, kebijakan fiskal dalam menyikapi
situasi pandemi saat ini juga menarik untuk ditilik, diperbincangkan,
dan dituliskan. Pandangan dan pendapat yang dituliskan oleh para
pegawai di lingkungan Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus ini, dirasa
penting diketahui oleh khalayak umum, sebagai sebuah pembelajaran
yang menarik untuk kita semua.
Dengan talenta dari para penulis, lahirlah salah satu karya
terbaik yaitu buku yang berjudul BUSUR. Busur melambangkan
kebijakan, aturan, proses bisnis, dan fungsi penunjang lainnya, yang
dapat melengkapi DJP untuk mencapai kinerja terbaiknya.
{ ix

Buku yang berisi kumpulan opini ini, merupakan karya autentik


dari para pegawai di lingkungan Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus.
Karya yang edukatif, informatif, dan berangkat dari berbagai perspektif
ini, diharapkan dapat memberikan pencerahan dan pengetahuan bagi
para pembacanya.
Apresiasi dan penghargaan kepada para penulis dan tim kerja
yang telah berkarya di tengah padatnya pekerjaan dan tugas yang
harus diselesaikan. Semoga buku ini dapat memberikan manfaat dan
menjadi sejarah dalam perjalanan reformasi DJP yang terus-menerus
menuju kesempurnaan.

Wassalaamu’alaikum Wr. Wb.

Jakarta, Mei 2021

Budi Susanto
Prakata

B
ermula dari sebuah gagasan untuk menggali bakat dan minat
di ranah tulis menulis, buku ini akhirnya mewujud. Tingginya
minat menulis di kalangan pegawai di lingkungan Kantor Wilayah
DJP Jakarta Khusus tidak perlu disangsikan lagi. Karya beberapa
pegawai bahkan sudah sering dimuat di media massa nasional.
Namun tentu tidak hanya mereka, masih ada pula pegawai lainnya
yang memiliki minat yang sama namun belum tergali dan belum
mendapat kesempatan untuk ditampilkan.
Minat untuk menulis ini perlu diasah dan hasilnya patut diwadahi.
Untuk itulah lewat kegiatan bertajuk “Jakarta Khusus Menulis”, para
pegawai diajak untuk menuangkan ide, gagasan, dan kisah mereka
ke dalam tulisan. Tujuannya selain untuk mewadahi talenta yang
patut dikembangkan, juga untuk menampilkan buah pikiran dan cerita
dalam sebuah media yang tak mudah usang, buku.
Buku yang memuat kumpulan tulisan opini pegawai ini,
merupakan bagian dari dua buku yang berisi ide, gagasan, dan
pendapat terkait kebijakan, peraturan, dan proses bisnis yang
dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Sudah barang tentu
tulisan yang dihasilkan pada saat Indonesia terdampak serangan virus
Covid-19 ini, banyak dipengaruhi oleh persoalan sekitar kebijakan dan
sikap penulis tentang pandemi. Memang benar, isi kepala penulis akan
selalu dipengaruhi dan tak akan jauh dari situasi yang melingkupinya.
BUSUR dipilih menjadi judul buku ini. BUSUR yang
merupakan alat untuk melesatkan anak panah, dirasa tepat untuk
merepresentasikan isi buku. BUSUR yang baik di tangan atlet yang
baik akan mengarahkan anak panah menuju sasaran yang ditetapkan.
{ xi

BUSUR-lah yang akan memberikan dorongan yang kuat dan tepat,


agar panah melesat sampai ke tujuan. Busur harus berpasangan
dengan panah untuk mencapai target yang dituju.
Demikian pula bagi Direktorat Jenderal Pajak, layaknya busur,
kebijakan, peraturan, dan proses bisnis yang tepat dan sesuai untuk
dijalankan, adalah kelengkapan atau alat yang berfungsi sebagai
pendorong untuk mencapai kinerja terbaiknya. Namun, busur perlu
panah, yaitu para pegawainya agar tujuan organisasi dapat tercapai.
BUSUR diharapkan akan menjadi jembatan yang menghubungkan
penulis dengan pembacanya. BUSUR yang dapat mempertemukan
gagasan dan pengetahuan. BUSUR yang MERAMU UNTUK MAJU.
Semoga buku ini dapat mengisi ruang kosong khazanah
pengetahuan kita dan memberi manfaat untuk kita semua.

Selamat membaca.

Tim Penyusun
“Buku Jakarta Khusus Menulis merupakan kumpulan tulisan
pegawai kanwil khusus tentang pengalaman yang dihadapi di
lapangan, pendapat mereka tentang ketentuan pajak, kasus yang
dihadapi dan solusinya, serta berbagai peristiwa sekitar perpajakan
yang amat bermanfaat sebagai bacaan pengetahuan dan rujukan
bekerja efektif dan efisien.”
Prof. Dr. Gunadi, M.Sc., Ak
Guru Besar Tetap Perpajakan FISIP Universitas Indonesia

“Inspiratif! Kumpulan tulisan perpajakan memberikan kanal baru


bagi khalayak yang ingin mengetahui dunia perpajakan dan ekonomi
dari sudut pandang pegawai pajak. Dikemas dengan bahasa yang
ringan dan mudah dipahami, kumpulan tulisan perpajakan ini mencoba
menghadirkan amosfer yang berbeda dalam edukasi perpajakan,
sehingga ke depannya diharapkan dapat menjadi media sosialisasi
dan informasi seputar perpajakan dan perekonomian Indonesia.
Literatur perpajakan dan perkonomian yang digagas oleh Kanwil DJP
Jakarta Khusus juga mencoba memberikan alternatif bacaan, baik
bagi akademisi, pelajar/mahasiswa, praktisi perpajakan, maupun
masyarakat luas. Buku kumpulan tulisan ini sekaligus mengajak kita
untuk turut aktif memberikan edukasi bidang perpajakan dan ekonomi
melalui tulisan yang ringan, lugas, dengan tutur bahasa yang mudah
dipahami. Selamat kami ucapkan kepada Kanwi DJP Jakarta Khusus,
semoga penerbitan kumpulan tulisan ini dapat menjadi motivasi
bagi unit vertikal DJP lainnya untuk berkontribusi melalui media
serupa. Bravo!!”
Ihsan Priyawibawa
Direktur Potensi, Penerimaan, dan Kepatuhan
Direktorat Jenderal Pajak
“Di tengah kesibukan sebagai penjaga keuangan negara
terutama di bidang penerimaan negara, inisiatif untuk pembuatan
buku “Jakarta Khusus Menulis” adalah kegiatan yang layak untuk
diapresiasi. Melalui tulisan, para pegawai dapat mengungkapkan

dapat meramaikan ruang publik dengan informasi yang akurat karena


ditulis berdasarkan data, fakta dan pengalaman para penulisnya.
Saya mendukung penuh kegiatan ini dan berharap nantinya
dapat berlangsung secara rutin agar para pegawai mendapatkan
kesempatan untuk mengaktualisasikan diri melalui tulisan.”
Semangat menulis!
Nufransa Wira Sakti
Staf Ahli Bidang Pengawasan Pajak
}
pendapat dan analisanya tentang kebijakan, proses bisnis dan regulasi
yang berlaku di Ditjen Pajak.
Kegiatan menulis di lingkungan kanwil DJP Jakarta Khusus ini
PAJAK
DAN
PANDEMI


Kontraksi ekonomi harus
diminimalkan, masyarakat
harus diberi bantuan dan
diselamatkan dari ancaman
kesehatan akibat pandemi.
Perlu anggaran yang kuat
untuk menghadapi Covid-19
dalam bidang kesehatan,
UMKM, perlindungan sosial,
dan sektor lainnya.”
—Sri Mulyani Indrawati,
Menteri Keuangan RI
Kontribusi Pajak
di Masa Pandemi
Gita Danet Siburian

P
andemi Covid-19 memiliki dampak yang cukup besar terhadap
kondisi perekonomian di banyak negara termasuk di Indonesia.
Banyak perusahaan dari berbagai sektor mengalami penurunan
omzet, menghentikan operasi sementara, atau bahkan ditutup
sebagai imbas dari pandemi tersebut. Dengan demikian tidak sedikit
pula tenaga kerja dari berbagai profesi/pekerjaan yang terkena
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ataupun mengalami penurunan
pendapatan sehingga banyak keluarga yang mengalami kesulitan
dalam pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga.
Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah telah
mengalokasikan anggaran dari APBN tahun 2020 sebesar Rp695,2
triliun yaitu untuk penanganan Covid-19 dan program Pemulihan
Ekonomi Nasional (PEN). Dari APBN di tahun 2021 ini untuk sementara
telah dialokasikan anggaran sebesar Rp627,93 triliun. Angka tersebut
bukanlah angka yang kecil mengingat pendapatan negara tentunya
akan mengalami penurunan akibat adanya pandemi. Pertanyaannya,
dari manakah sumber pendapatan negara tersebut?
Pajak menjadi salah satu instrumen yang diandalkan oleh
banyak negara, tidak terkecuali Indonesia, dalam merespons pandemi
Covid-19.
Perlu kita semua sadari bahwa kewajiban perpajakan merupakan
salah satu bentuk kontribusi kita untuk negeri. Di masa pandemi
seperti sekarang ini, setiap pajak yang kita serahkan kepada negara
memegang peranan penting dalam penanganan Covid-19. Pajak
4 } BUSUR

tersebut nantinya akan dipergunakan di antaranya dalam bentuk


pemenuhan fasilitas kesehatan, pembiayaan gugus tugas, jaminan
kesehatan nasional, bantuan sosial, dan lain sebagainya.
Pajak sesungguhnya merupakan salah satu bentuk
“penggalangan dana” kita untuk membantu masyarakat yang
terdampak Covid-19 namun bersifat wajib.
Jadi, tidaklah berlebihan jika kita menyimpulkan bahwa
sukses atau tidaknya negeri ini dalam memerangi Covid-19 juga
bergantung pada seberapa besar
kesadaran kita dalam memenuhi
Pajak sesungguhnya kewajiban perpajakan. Kita semua
merupakan salah berharap kesadaran masyarakat
satu bentuk a ka n pemenuhan kewaj i b a n
“penggalangan perpajakan semakin tinggi. Usaha
dana” kita untuk dalam meningkatkan kesadaran
membantu perpajakan tidak hanya menjadi
masyarakat yang tanggung jawab setiap individu
terdampak Covid-19 dalam masyarakat saja, akan
namun bersifat wajib tetapi perlu campur tangan dari
pemangku kewenangan dalam
membuat regulasi yang tegas dan
mudah dalam pelaksanaannya.
Selama ini, kendala terbesar dari kurangnya kesadaran
masyarakat akan kewajiban perpajakan adalah begitu rumitnya sistem
pembayaran dan pelaporan pajak, terutama bagi rakyat yang basis
keilmuannya bukan di bidang keuangan sehingga mereka enggan
dalam melakukan pembayaran ataupun melaporkan pajak. Sosialisasi
perlu dilakukan, terutama di daerah-daerah yang masyarakatnya
masih kurang dalam wawasan perpajakan.
PAJAK DAN PANDEMI { 5

Pada awal respons di pertengahan tahun 2020 yang lalu,


pemerintah menggunakan pajak untuk memitigasi efek wabah
Covid-19 terhadap perekonomian. Dengan pajak, pemerintah ingin
menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi, daya beli masyarakat, dan
produktivitas sektor tertentu yang terdampak pandemi Covid-19.
Sampai akhir tahun 2020, pemerintah telah memberikan berbagai
insentif pajak berupa pajak penghasilan (PPh) Pasal 21 ditanggung
pemerintah (DTP), pembebasan PPh Pasal 22 impor, diskon angsuran
PPh Pasal 25, pengembalian pendahuluan pajak pertambahan nilai
(PPN), serta insentif PPh final DTP untuk UMKM.
Pada tahun 2021, beberapa insentif juga masih berlanjut, bahkan
kelompok lapangan usaha yang berhak menerimanya pun diperluas.
Insentif pajak yang diberikan pada tahun ini yaitu PPh Pasal 21 DTP,
PPh final UMKM DTP, insentif PPh final jasa konstruksi, insentif PPh
Pasal 22 Impor, diskon angsuran PPh Pasal 25 dan insentif restitusi
PPN dipercepat serta pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM)
ditanggung pemerintah (DTP) pada kendaraan bermotor.
Di berbagai negara secara umum pajak memiliki beberapa
fungsi: budgetair, regulasi, distribusi, dan stabilisasi. Meski demikian,
mungkin kita tahu bahwa di negara kita Indonesia, fungsi dominan
yang tampil adalah fungsi budgetair, yang memungkinkan negara
memiliki persediaan uang yang cukup untuk mendanai banyak
belanja pemerintah. Oleh karena itu, kehadiran pajak di dalam
aktivitas masyarakat dan bisnis sehari-hari lebih banyak ditangkap
sebagai sarana untuk mengumpulkan uang dari warga negara secara
legal untuk diserahkan kepada negara melalui cara yang sah. Ini
suatu hal yang wajar yang membuat pajak akan selalu menjadi isu
yang relevan dan menarik untuk dibahas, sejak dahulu hingga kini
ketika dunia ini dilanda pandemi Covid-19.
6 } BUSUR

Dari sejumlah insentif dan kebijakan pajak yang diambil,


mayoritas menitikberatkan pada fungsi regulasi ketimbang budgetair.
Langkah ini ditempuh untuk menghadapi kondisi ekonomi yang tidak
mudah akibat pandemi Covid-19.
Dari sini bisa terlihat pajak memainkan peran sangat penting,
baik dari fungsi regulasi maupun budgetair. Dalam konteks pemberian
insentif dan sejumlah relaksasi, pemerintah telah menggunakan
instrumen pajak untuk menstimulus perekonomian secara langsung.
Jadi, bukan menggunakannya untuk menjadi sumber penerimaan
yang akhirnya dibelanjakan oleh negara.
Pertanyaan yang kemudian muncul adalah ketika ekonomi
melambat dan aktivitas bisnis melemah, masih relevankah pajak
terus-menerus hadir dengan membawa wajah fungsi budgetair?
Pemerintah, dalam hal ini tentunya paham betul bahwa
ekonomi yang melambat akibat pandemi telah membawa banyak
dampak negatif terhadap keberlangsungan kualitas hidup mendasar
masyarakat. Hilangnya pekerjaan, menurunnya penjualan, hingga
sepinya aktivitas perdagangan (barang dan jasa) adalah tiga dari
begitu banyak dampak lain yang terlihat masif.
Dengan berkurangnya perputaran uang, maka akan berkurang
pula jumlah penghasilan yang dapat diterima, dan pada gilirannya ini
menyebabkan kemampuan bisnis dan masyarakat dalam membayar
pajak juga mengalami penurunan. Oleh sebab itu, sekeras apapun
usaha pemerintah mengumpulkan penerimaan pajak, jika dihitung
secara realistis, tidak akan dapat mencapai target yang ditetapkan
tahun ini, yakni Rp1.444,5 triliun.
Pemerintah tentunya menimbang bahwa ada wajah lain yang
lebih tepat untuk ditampilkan di masa sulit seperti ini yakni: fungsi
PAJAK DAN PANDEMI { 7

stabilisasi. Dengan menghadirkan wajah fungsi stabilitasinya, pajak


dapat menjalankan peranan pentingnya dalam menjaga kestabilan
ekonomi negara, misalnya dengan memberikan insentif berupa
penghapusan, pengurangan, dan penundaan dari berbagai kewajiban
perpajakan bagi masyarakat dan bisnis. Insentif ini diharapkan
membuat bisnis dan ekonomi rakyat mampu bertahan di tengah
sulitnya situasi semasa pandemi.
Tidak ada yang tahu kapan pandemi ini akan berakhir, dengan
demikian adalah suatu hal yang bijaksana untuk menjadikan pajak
sebagai instrumen untuk mendukung agenda penanganan pandemi
Covid-19 dan perumusan strategi pemulihan ekonomi nasional (PEN).
Dengan kata lain, di masa pandemi, dengan berbagai penyesuaian,
peran pajak sebagai pengisi sumber utama pendanaan APBN
akan berjalan sama pentingnya dengan fungsi lain yang dapat
dioptimalkan. Di sinilah kita diperlihatkan bagaimana dua wajah fungsi
pajak berjalan beriringan: fungsi budgetair dan stabilisasi.
Mengukur kinerja Ditjen Pajak (DJP) semata berdasarkan capaian
target penerimaan, terlebih di situasi pandemi ini, adalah suatu hal
yang keliru. Oleh sebab itu, patut disayangkan bahwa apabila terdapat
media yang mengedepankan judul yang tidak menggambarkan
keadaan sebenarnya mengenai apa-apa saja yang sudah dilakukan
oleh DJP selama masa pandemi Covid-19 sejak bulan April tahun
2020 sampai dengan saat ini. Padahal, informasi mengenai ragam
insentif yang sudah digelontorkan pemerintah melalui DJP dapat
diakses secara langsung dan terbuka di banyak jaringan televisi,
media cetak, maupun media sosial.
Pandemi ini seharusnya menjadi kesempatan untuk mengedukasi
masyarakat mengenai betapa pentingnya peran DJP (melalui
8 } BUSUR

berbagai kebijakan insentif) dalam menyediakan bantalan, agar


ekonomi masyarakat dan bisnis tidak jatuh lebih dalam. Bahwa pajak
tentu bisa hadir semata bukan untuk tujuan mengumpulkan uang
secara legal demi pundi-pundi negara yang cukup untuk mendanai
jalannya kehidupan bernegara, justru pemerintah melalui DJP telah
menunjukkan bentuk kehadirannya secara langsung dan berdampak
untuk menstabilkan perekonomian.
Pandemi tentulah bukan suatu keadaan yang kita inginkan, tetapi
juga di tengah keterbatasan pilihan dan keadaan, maka tidaklah keliru
untuk menganggap bahwa pandemi Covid-19 ini sebagai momentum
edukasi betapa pentingnya pajak bagi masyarakat. Kesadaran
bersama dari setiap komponen masyarakat akan pentingnya pajak
tentu akan membuat negara lebih kuat menghadapi keadaan yang
mirip/sama di masa mendatang; sebab kepatuhan pajak yang selama
ini belum optimal terbukti menjadi suatu kendala di negara kita untuk
bertahan dengan baik di masa pandemi.
Jika negara ini diibaratkan suatu tubuh maka pajak adalah darah
yang memberi makan banyak fungsi tubuh tersebut, mulai dari otak,
mata, tangan, kaki, sampai dengan sistem organ lainnya. Kekuatan
sistem organ tersebutlah yang membuat tubuh dapat bertahan
menghadapi keadaan yang tidak baik. Dengan analogi yang sama,
kekuatan aspek-aspek bernegara (ekonomi, sosial, politik, keamanan,
pertahanan) yang didanai oleh pajaklah yang menjadi penentu daya
tahan negara menghadapi pandemi Covid-19.
Di saat pandemi, berharap penerimaan pajak tinggi tentu
bukanlah sikap yang bijak. Yang paling utama, pemerintah harus
meningkatkan kepercayaan, memberikan optimisme dengan
PAJAK DAN PANDEMI { 9

penanganan Covid-19 yang efektif dan stimulus fiskal yang tepat


sasaran sehingga masyarakat merasakan kehadiran negara.
Dengan begitu, diharapkan kesadaran membayar pajak masyarakat
dapat meningkat.
Semakin tinggi kesadaran pajak di lingkungan masyarakat
maka akan semakin kuat pula kontribusi pajak dalam penerimaan
negara, dan pada akhirnya akan semakin tangguh pulalah negara
dalam menjalankan fungsinya untuk memberikan perlindungan
bagi rakyatnya.
Inklusi Keuangan
sebagai
Upaya Pemulihan Ekonomi
Muhammad Hamam Al Hashfi

K
euangan inklusif adalah kondisi ketika setiap anggota
masyarakat mempunyai akses terhadap berbagai layanan
keuangan formal yang berkualitas secara tepat waktu, lancar,
dan aman dengan biaya terjangkau sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pada masa pandemi Covid-19, inklusi keuangan menjadi semakin
perlu digalakkan karena akses yang terjangkau dan penggunaan
terhadap produk dan layanan keuangan oleh individu dan entitas
seperti pembayaran, tabungan, kredit, dan asuransi merupakan alat
kebijakan penting untuk meningkatkan kesejahteraan, mengurangi
ketidaksetaraan, dan menjaga stabilitas ekonomi. Akses keuangan
akan mempercepat pemulihan ekonomi Indonesia dari dampak
pandemi Covid-19.
Indonesia memulai inklusi keuangan melalui program Strategi
Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) yang ditetapkan melalui Perpres
No. 82/2016 dan berlaku sejak tanggal diundangkan, 7 September
2016. Sejak ditetapkannya peraturan tersebut, setidaknya ada 76,19%
dari penduduk dewasa di Indonesia telah menggunakan layanan
keuangan. Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK)
yang dilakukan OJK pada 2019 mengemukakan bahwa untuk wilayah
perkotaan, indeks inklusi keuangan tercatat 83,60% sedangkan di
wilayah perdesaan sebesar 68,49%.
PAJAK DAN PANDEMI { 11

Pemerintah telah menetapkan Peraturan Presiden No. 114/2020


tentang Strategi Nasional Keuangan Inklusif terbaru yang mengatur
bahwa target keuangan inklusif ditetapkan oleh presiden. Di dalam
rapat terbatas 28 Januari 2020, presiden menetapkan target inklusi
keuangan untuk 2024 sebesar 90% dari penduduk Indonesia.
Saat ini, pemerintah memprioritaskan akses keuangan pada
golongan masyarakat yang belum terlayani secara maksimal oleh
lembaga keuangan formal, yaitu masyarakat berpenghasilan rendah,
pelaku usaha mikro dan kecil, serta masyarakat lintas kelompok
yang meliputi pekerja migran Indonesia, perempuan, kelompok
masyarakat pemerlu pelayanan kesejahteraan sosial, masyarakat di
daerah tertinggal, terdepan, dan terluar (3T) serta kelompok pelajar,
mahasiswa, dan pemuda.
Inklusi keuangan berkorelasi positif dalam meningkatkan
konsumsi rumah tangga serta pendapatan rumah tangga sebagai
sektor andalan Indonesia selain sektor riil.Dengan inklusi keuangan,
pemerintah melalui Kemenko Perekonomian meluncurkan jenis kredit
usaha rakyat (KUR) baru yaitu KUR Super Mikro yang utamanya
ditujukan bagi ibu rumah tangga dan para pegawai yang terkena
pemutusan hubungan kerja (PHK). Plafon KUR Super Mikro mencapai
Rp10 juta tanpa agunan. Dengan akses keuangan berupa KUR Super
Mikro tersebut, konsumsi rumah tangga menjadi meningkat dan
dunia usaha kembali bergeliat. Fasilitas kredit tersebut berperan
untuk membiayai usaha produktif sehingga konsumsi masyarakat
pada gilirannya akan naik karena pendapatan rumah tangga
yang meningkat.
Sejumlah program stimulus yang digulirkan pemerintah pada
tahun 2020 mau tidak mau memaksa masyarakat untuk memiliki
akun di lembaga jasa keuangan seperti bank; misalnya Bantuan bagi
12 } BUSUR

Pelaku Usaha Mikro (BPUM) yang merupakan bantuan pemerintah


dalam bentuk uang tunai yang diberikan kepada pelaku usaha mikro
perorangan untuk menjalankan usaha di tengah krisis akibat pandemi
Covid-19. BPUM diberikan satu kali dalam bentuk uang tunai senilai
Rp2,4 juta yang disalurkan langsung ke rekening penerima BPUM.
Selain itu, Program Kartu Prakerja yang diluncurkan pemerintah
sejak 20 Maret 2020 melalui Perpres No. 36 Tahun 2020 merupakan
hasil dari stimulus berupa bantuan pemerintah kepada masyarakat
akibat pandemi Covid-19 yang juga disalurkan melalui lembaga jasa
keuangan. Kartu Prakerja dirancang untuk meningkatkan kualitas
sumber daya manusia namun dalam perkembangannya, Program
Kartu Prakerja mengalami modifikasi menjadi program semi bantuan
sosial. Penerima Program Kartu Prakerja menerima dana pelatihan
senilai Rp1 juta per orang dan juga insentif senilai masing-masing
Rp600 ribu yang diberikan empat kali dalam empat bulan.
Kebijakan inklusi keuangan sangatlah penting untuk membantu
memperbaiki kesejahteraan masyarakat terutama selama pandemi
Covid-19. Penyaluran langsung bantuan sosial tunai ke rekening bank
penerima misalnya, membuat manfaat dari realisasi program PEN
dapat segera dirasakan masyarakat terutama keluarga berpenghasilan
rendah serta pelaku usaha mikro dan kecil. Berdasarkan riset beberapa
peneliti, kebijakan inklusi keuangan juga mempunyai korelasi positif
dengan perpajakan baik dari segi penerimaan, kepatuhan, maupun
insentif pajak.

Korelasi Inklusi Keuangan dan Perpajakan


Inklusi keuangan akan meningkatkan PDB dan ketika PDB
meningkat, penerimaan pajak juga diharapkan meningkat. Secara
umum ketika rasio penerimaan pajak terhadap PDB tinggi, tingkat
PAJAK DAN PANDEMI { 13

pertumbuhan PDB juga tinggi. Sebaliknya, pada saat rasio penerimaan


pajak terhadap PDB rendah, tingkat pertumbuhan PDB juga rendah.
Faktor pendorong Produk Domestik Bruto di Indonesia adalah konsumsi
dan investasi. Selain meningkatkan konsumsi rumah tangga, inklusi
keuangan juga akan mendorong sektor keuangan untuk membiayai
proyek yang menguntungkan sehingga mendukung kontribusi pajak.
Inklusi keuangan menyediakan akses kemudahan penggunaan
jasa dan produk keuangan sehingga meningkatkan penerimaan dari
pajak penghasilan (PPh) orang pribadi dan badan, serta PPh final
seperti dividen, sewa, dan royalti. Dengan adanya stimulus seperti
insentif pajak, bantuan sosial tunai, dan Program Kartu Prakerja yang
disalurkan melalui bank dan lembaga jasa keuangan, masyarakat
menjadi melek terhadap produk dan layanan jasa lembaga keuangan.
Inklusi keuangan juga membantu pengembangan UMKM.
Berdasarkan data BPS pada akhir tahun 2018, UMKM yang mencapai
60 juta unit berkontribusi atas 61,41% dari Produk Domestik Bruto
Indonesia senilai Rp14.387 triliun. Berdasarkan data DJP, rasio pajak
terhadap Produk Domestik Bruto tahun 2018 adalah 11,5%. Hal ini
cukup baik melihat bahwa UMKM khususnya saat pandemi ini cukup
adaptif dan transformatif terhadap perubahan.
Sekarang ini banyak UMKM yang sudah menerapkan akses
keuangan dalam transaksi, seperti pembayaran cashless melalui
uang elektronik dan dompet digital. Selain itu, pemerintah saat ini
tengah menggalakkan KUR berbunga rendah, KUR Super Mikro,
dan pembentukan holding BUMN ultra mikro. Fasilitas ini bertujuan
membiayai investasi produktif sehingga menciptakan lapangan kerja,
meningkatkan konsumsi, dan mengembangkan usaha. Berdasarkan
rasio bahwa ekspansi bisnis akan meningkatkan konsumsi swasta
dan rumah tangga sehingga pendapatan negara dari Pajak
14 } BUSUR

Pertambahan Nilai (PPN) barang dan jasa, Pajak Penghasilan, dan


PPh final akan tumbuh positif. Mengingat bahwa PPN berkontribusi
sekitar seperempat dari total pendapatan pajak, maka dampak dari
berbagai kebijakan yang merupakan perwujudan SNKI ini tentu
sangat berkorelasi positif terhadap penerimaan pajak
Kemudian daripada itu, inklusi keuangan juga akan meningkatkan
wawasan dan pengetahuan yang komprehensif sehingga diharapkan
dapat meningkatkan kepatuhan pajak. Dengan semakin bertambahnya
wawasan dan semakin tingginya tingkat pengetahuan masyarakat
akan layanan keuangan terintegrasi ini, diharapkan masyarakat
pun semakin sadar dalam menjalankan kewajiban perpajakannya.
Sebagaimana kita ketahui, kepatuhan pajak tidak hanya dipengaruhi
oleh tarif, audit atau sanksi, tetapi juga oleh faktor non ekonomis,
seperti jenis kelamin, agama, usia, dan pendidikan/pengetahuan.
Inklusi keuangan pun membantu pemerintah dalam menyalurkan
insentif pajak kepada dunia usaha seperti UMKM dengan tepat sasaran.
Insentif pajak sebagai bagian dari upaya percepatan pemulihan
ekonomi nasional diberikan dalam berbagai bentuk, seperti PPh
Pasal 21 ditanggung pemerintah, PPh UMKM ditanggung pemerintah,
pembebasan PPh Pasal 22 impor, pengurangan angsuran PPh Pasal
25 sebesar 50%, pengembalian pendahuluan PPN, dan penghapusan
PPnBM bagi kendaraan roda empat tertentu. Apabila pemerintah
melalui Bank Indonesia dan Kemenkeu mengevaluasi kebijakan
dengan mengkaji struktur insentif dan identifikasi penerimaan
insentif serta dampaknya terhadap pertumbuhan ekonomi, diyakini
bahwa hasilnya antara lain menunjukkan bahwa inklusi keuangan
terbukti berkorelasi positif dengan perpajakan karena seiring dengan
pulihnya ekonomi masyarakat yang ditopang oleh sektor konsumsi
dan investasi, penerimaan pajak juga berangsur membaik.
Pandemi
Memetamorfosis Interaksi
Arles Parulian Ompusunggu

P
embatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan meniadakan
pertemuan secara fisik di setiap kantor, baik swasta maupun
instansi pemerintah, telah diterapkan di Jakarta mulai 10 April 2020
sebagai akibat semakin merebaknya penduduk yang terinfeksi virus
Covid-19. Penerapan kebijakan lockdown ala Indonesia ini seakan
menghentikan kegiatan ekonomi di tengah masyarakat, termasuk
roda kegiatan birokrasi. Gedung kantor semegah kantor pusat
Kementerian Keuangan (Kemenkeu), bak museum tanpa penghuni
manusia di dalamnya. Ini memunculkan pertanyaan, bagaimana arah
pelayanan kepada masyarakat pasca pandemi ini?
Tak menunggu waktu lama, pimpinan Kemenkeu mengubah
bentuk pelayanan kepada masyarakat atau wajib pajak (WP), dari
pertemuan secara tatap muka menjadi pertemuan daring (online).
Pun, pola komunikasi berubah, bertemu tetapi tidak berjumpa
menjadi suatu hal yang niscaya terjadi. Tidak terkecuali, pelayanan
yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kepada WP, dari
yang tadinya offline berubah menjadi online.
Beruntungnya, jauh sebelum pandemi terjadi, pimpinan DJP
telah menginisiasi sistem interaksi antara WP dan aparat pajak secara
online. Layanan di setiap fungsi pelayanan, pengawasan, hingga
pemeriksaan, dapat diberikan dalam bentuk online dan terintegrasi
di sistem “DJPOnline”. Pembatasan karena bencana nonalam ini telah
16 } BUSUR

memicu munculnya inovasi, baik secara sistematis dari top-down


maupun penyesuaian yang dilakukan dari bawah secara bottom-up.
Hambatan yang muncul tidak selalu menjadi kendala dalam
menyelesaikan segala tantangan kerja. Batasan untuk tidak bertemu
muka secara langsung tidak menjadi alasan menunda pelaksanaan
tugas. Media daring, baik aplikasi gratisan hingga berbayar, menjadi
fasilitas pertemuan antara fiskus dan WP.
Ditambah lagi, subbagian umum dan kepatuhan internal sebagai
back office selalu tanggap memberi dukungan teknis dan nonteknis
kepada semua lini dan fungsi. Ujungnya, ke semuanya bersatu padu
menggapai satu tujuan guna mendongkrak penerimaan pajak ke
tingkat yang maksimal.
Dalam pemeriksaan pajak, kunjungan ke lokasi tempat usaha WP
menjadi hal yang mutlak. Apalagi jenis pemeriksaannya merupakan
pemeriksaan lapangan. Hal ini tidak bisa terlaksana lantaran pandemi
Covid-19. Namun, alasan pandemi bukan berarti kegiatan ini tak bisa
dilakukan, selalu ada jalan untuk bertemu meski hanya lewat jalur online.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE- 34/PJ/2020
menjadi pijakan. Dukungan landasan hukum operasional ini menjadi
panduan teknis utama bagi seluruh aparat pajak di lapangan dalam
situasi kenormalan baru (new normal). Pelaksanaan pekerjaan tidak
mengalami hambatan dengan adanya pengaturan bekerja dari rumah
(work from home) dan bekerja dari kantor (work from office).
Para pegawai bersinergi melaksanakan tugas pokoknya.
Aplikasi pertemuan daring, seperti: Zoom Meeting, Google Meet,
Microsoft Teams, menyuguhkan dukungan apik dan terjangkau secara
ekonomis, serta menjadi penawar dalam memfasilitasi pertemuan
daring dengan WP.
PAJAK DAN PANDEMI { 17

Kerja sama yang baik antara petugas pajak dan WP juga


dibutuhkan. Tujuannya agar proses pemeriksaan dapat terlaksana
dengan lancar tanpa mengabaikan aturan formal yang ditentukan
dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 17/PMK.03/2013
sebagaimana telah diubah dengan PMK Nomor 184/PMK.03/2015
tentang Tata Cara Pemeriksaan Pajak. Muaranya, petugas pajak
tak perlu khawatir akan terjadi maladministrasi di kemudian hari.
Pertemuan secara langsung dalam proses pelaksanaan pemeriksaan
tetap terlaksana, meskipun secara online.
Kondisi ini menuntut penguatan dalam dokumentasi hasil
pertemuan daring tersebut. Setelah pelaksanaan pertemuan, tim
pemeriksa pajak menuangkannya dalam berita acara pertemuan dan
permintaan keterangan. Selanjutnya kedua pihak menandatanganinya.
Dokumentasi ini penting karena dapat menjadi satu alat bukti
dalam pelaksanaan kegiatan pemeriksaan pajak. Data, informasi, dan
keterangan yang ada di dalam berita acara tersebut mempunyai
kekuatan hukum dan dapat dijadikan sebagai alat bukti sesuai
maksud pasal 69 ayat 1 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2002
tentang Pengadilan Pajak.
Dalam jangka panjang, agar tujuan organisasi tetap tercapai,
perlu dilakukan adaptasi terhadap pola dan metode kerja yang ada,
khususnya penerapan bekerja dari rumah (work from home) ini.
Ada beberapa penyempurnaan yang harus diupayakan. Pertama,
penguasaan teknologi infomasi oleh semua anggota atau karyawan,
utamanya email, video conference, yang didukung fasilitas jaringan
internet yang memadai. Kedua, penumbuhan semangat militansi
korps dan kesadaran sendiri atas target pekerjaan karena tidak ada
pengawasan secara langsung dari pimpinan.
18 } BUSUR

Ketiga, pengembangan aplikasi pemantauan aktivitas pegawai


selama WFH sehingga kehadiran tetap terkendali melalui sistem.
Keempat, komunikasi dan interaksi antar pegawai, baik yang WFH
maupun WFO, harus tetap terjalin dengan dedikasi demi suksesnya
tugas utama dalam melakukan pemeriksaan pajak.
Pertemuan dengan WP dapat teratasi secara daring. Meskipun
begitu, tetap saja ada siklus yang tidak dapat dilakukan, salah
satunya surprise audit atau audit dadakan ke tempat wajib pajak.
Pelaksanaannya tanpa diketahui oleh WP. Tim pemeriksa pajak
langsung datang ke tempat WP dan melakukan peminjaman buku,
catatan, dan dokumen yang ada.
Surprise audit ini menjadi roh dalam pemeriksaan pajak.
Tidak mau mengambil risiko, dalam situasi pandemi seperti ini,
pelaksanaannya tiba-tiba terhenti seperti berkendara di jalan
bebas hambatan, yang kemudian secara tiba-tiba rem mendadak.
Meskipun, jika mau, tim pemeriksa pajak tetap bisa melakukan
dengan protokol kesehatan yang sangat ketat. Pelan tetapi pasti,
output kinerja pemeriksaan bisa dicapai dengan hasil yang optimal
walau jauh dari sempurna.
Tidak ada yang bisa menjawab, kapan pandemi Covid-19 ini
berakhir. Yang terpenting sekarang, penyesuaian pola dan metode
bekerja guna mendukung misi dan visi DJP dalam tugas mulia
mengumpulkan penerimaan negara dari sektor perpajakan.
Orientasi bekerja secara otomatis bergeser dari era offline
menuju ke online. Pengembangan sistem DJP sendiri telah dan terus
diupayakan. Contohnya dengan penyempurnaan aplikasi, seperti:
E-filing, E-objection, E-Audit, dan E-Conseling yang dapat diakses di
mana saja dan kapan saja.
PAJAK DAN PANDEMI { 19

Implementasi yang tepat atas misi bekerja dari jauh, atau yang
dikenal sebagai remote working, sesuai dengan kebutuhan organisasi,
akan dapat menghasilkan output bagi peningkatan kinerja organisasi.
Terlebih, satu hal yang tidak boleh dilupakan, yaitu sinergi dan saling
mendukung di antara sesama pegawai dari unit kerja di Direktorat
Jenderal Pajak agar tujuan utama menghasilkan penerimaan bagi
negara dapat terlaksana dengan baik.
Pandemi Covid-19 telah menyadarkan kita bahwa perubahan
terus berlangsung dan mau tidak mau harus dihadapi dengan suasana
hati yang tegar dan ketulusan untuk dapat melewati dengan sukses.
Metamorfosis bentuk interaksi antara petugas pajak dengan WP yang
berorientasi digital menjadi pendorong dan penyemangat untuk terus
mengembangkan cara kerja yang efektif dan efisien.
Setahun Pandemi Covid-19,
Pajak Bisa Apa?
Mochammad Bayu Tjahjono

P
andemi Covid-19 membuka mata hati kita bahwa akan ada masa
kita diminta berjuang untuk lebih keras lagi dan lebih berani.
Selama ini kita mengganggap bahwa tantangan terbesar kita adalah
jauh dari keluarga atau bertemu dengan wajib pajak yang marah.
Setelah tantangan itu teratasi, muncul tantangan baru bahwa kita
diminta untuk mengantisipasi keadaan pandemi. Di tengah pandemi,
petugas pajak tidak bisa berpangku tangan karena kita dibutuhkan
oleh negara. Selain tenaga kesehatan, kita juga harus berjuang
mengumpulkan penerimaan pajak untuk mendukung penyelesaian
permasalahan Covid-19.
Kita perlu memberikan apresiasi kepada para petugas pajak
yang berada di garda depan mengamankan penerimaan pajak
memenuhi target. Kalau dilihat dalam situasi pandemi Covid-19,
pegawai di Direktorat Jenderal Pajak yang bekerja menjaga keuangan
negara menghadapi risiko sangat nyata dari Covid-19, namun tugas dan
tanggung jawab tetap harus dijalankan dengan penuh keberanian dan
keikhlasan. Banyak dari kita yang terkadang menganggap bahwa hanya
dokter dan perawat yang berjuang dalam menghadapi pandemi Covid-19.
Kenyataannya, banyak pegawai di luar tenaga kesehatan yang juga harus
berjuang supaya negara tetap berjalan dalam memenuhi kebutuhannya.
Dalam Kementerian Keuangan ada beberapa direktorat jenderal
(Ditjen) yang pegawainya menghadapi risiko sangat tinggi terpapar
Covid-19, yakni antara lain: Ditjen Pajak, Ditjen Bea Cukai, Ditjen
PAJAK DAN PANDEMI { 21

Perbendaharaan, dan Ditjen Kekayaan Negara. Pasalnya, mereka


mesti berhubungan langsung dengan masyarakat dalam memberikan
pelayanan dan mengamankan penerimaan negara. Dari beberapa
ditjen tersebut, kasus Covid-19 terjadi paling banyak di Ditjen Pajak.
Sampai dengan awal tahun 2021, sejumlah 22 orang pegawai pajak
telah meninggal lantaran terpapar Covid-19. Situasi ini menggambarkan
bahwa menjaga penerimaan negara bukanlah tugas semudah yang
dibayangkan. Dalam situasi pandemi ini, langkah pegawai Direktorat
Jenderal Pajak dalam menjalankan tugas menjaga penerimaan negara
menjadi sangat menantang.
Hari ini, 2 Maret 2021, setahun sudah Covid-19 melanda Indonesia.
Banyak negara telah mengalami resesi akibat pandemi Covid-19,
termasuk Indonesia. Dalam mengahadapi resesi, semakin banyak
peran masyarakat yang ditanyakan dan salah satunya adalah peran
pajak. Bisa apa pajak setelah dilanda pandemi Covid-19 ? Realisasi
penerimaan pajak tahun 2020 hanya Rp1.070 triliun, mengalami
penurunan 19,7%. Bila dibandingkan dengan realisasi tahun 2019
yang mencapai Rp1.332 triliun Capaian ini hanya 89,3% dari target
penerimaan pajak yang dipatok senilai Rp1.198,8 triliun sebagaimana
tercantum dalam Peraturan Presiden Nomor 72 Tahun 2020 tentang
Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun 2020 tentang
Perubahan Postur dan Rincian APBN Tahun Anggaran 2020.
Mengapa penerimaan pajak? Penurunan ini sejalan dengan
penurunan aktivitas bisnis dan dengan demikian penghasilan hampir
seluruh sektor usaha akibat pandemi Covid-19. Banyak usaha yang
gulung tikar, semua sektor tanpa terkecuali mengalami tekanan
akibat pandemi Covid-19, bahkan sebagian pengusaha terpaksa
melakukan pemutusan hubungan kerja secara massal. Selain itu,
penurunan kinerja penerimaan pajak juga dipengaruhi oleh insentif
22 } BUSUR

perpajakan yang diberikan sangat luas oleh pemerintah. Penurunan


pembayaran perpajakan yang dialami oleh beberapa sektor industri
akibat pandemi Covid-19 adalah sebagai berikut: industri pengolahan
turun 20,21%, sektor perdagangan turun 18,94%, sektor jasa keuangan
dan asuransi turun 14,31%, sektor konstruksi dan real estate turun
22,56%, sektor transportasi dan pergudangan turun 15,41%, dan sektor
pertambangan turun paling drastis 43%.
Beberapa insentif perpajakan sebagaimana disebutkan
sebelumnya diberikan oleh pemerintah supaya dunia usaha dapat
menghindari kebangkrutan karena kebangkrutan akan memicu
pengangguran yang besar. Jumlah pengangguran di Indonesia saat
ini sudah mencapai 10 juta orang. Pemerintah bahkan berusaha untuk
membantu pembukaan lapangan kerja baru dengan memberikan
beberapa kebijakan, seperti penurunan tarif.
Meskipun performa tahun 2020 belum optimal, target penerimaan
pajak pada 2021 naik 14,9%, demi memenuhi kebutuhan pemerintah
dalam pemulihan ekonomi nasional akibat pandemi Covid-19.
Beberapa strategi khusus yang sudah disiapkan oleh Ditjen
Pajak guna mencapai target penerimaan adalah antara lain: pertama
terkait Bukti Potong/Pungut dan SPT Masa Pajak Penghasilan (PPh)
Unifikasi. Dirjen pajak telah menerbitkan Peraturan Dirjen Pajak No.
PER-23/PJ/2020. Beleid yang berlaku mulai 28 Desember 2020 ini
mencabut PER-20/PJ/2019. Untuk lebih memberikan kemudahan
serta kepastian hukum. Dalam Peraturan ini ditegaskan bahwa
pemotong/pemungut PPh wajib membuat bukti pemotongan/
pemungutan unifikasi dan menyerahkannya kepada pihak yang
dipotong dan/atau dipungut. Kemudian mereka wajib melaporkan
kepada Ditjen Pajak (DJP) menggunakan SPT Masa PPh unifikasi.
SPT Masa PPh unifikasi meliputi beberapa jenis PPh dalam satu kali
PAJAK DAN PANDEMI { 23

pelaporan, yaitu PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 22,
PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26. Bukti pemotongan/pemungutan
unifikasi dan SPT Masa PPh unifikasi berbentuk formulir kertas atau
dokumen elektronik yang dibuat dan disampaikan melalui aplikasi
e-bupot unifikasi.
Kedua, tentang peningkatan kepatuhan dengan meningkatkan
kuantitas imbauan Penyampaian SPT. Ditjen Pajak berupaya
meningkatkan kepatuhan wajib pajak dengan memperbanyak
pengiriman SMS dan surat elektronik kepada semua Wajib Pajak
untuk menyampaikan SPT, baik masa maupun tahunan.
Ketiga, mengenai integrasi data perpajakan. Integrasi antara
antara data yang dimiliki oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan
data perpajakan yang dimiliki DJP diharapkan dapat memudahkan
BUMN dalam melakukan kewajiban perpajakannya sekaligus
membantu DJP dalam melakukan penelusuran dan ekstensifikasi
jenis pajak pertambahan nilai (PPN). Hingga akhir tahun 2020, DJP
gencar menjalin kerja sama integrasi data perpajakan dengan BUMN.
Tercatat ada 14 BUMN yang telah menandatangani memorandum
of understanding (MoU) dan 6 BUMN yang sudah masuk dalam
tahap general ledger tax mapping. Setelah itu, DJP juga berencana
melakukan integrasi data dengan swasta sehingga real time
connection-nya akan jadi basis data. Manfaat dari integrasi data ini
bukan hanya karena memudahkan DJP dalam memperoleh data
yang dapat digunakan untuk tujuan perpajakan, namun proses bisnis
pemberian data oleh instansi, Lembaga, asosiasi, dan pihak lainnya
pun menjadi lebih sederhana.
Keempat, tentang peningkatan penerimaan dari sektor yang
tidak terdampak pandemi Covid-19. Tidak semua sektor terdampak
oleh pandemi Covid-19. Sektor industri kelapa sawit misalnya bahkan
24 } BUSUR

mengalami pertumbuhan harga. Demikian pula dengan sektor


industri dan jasa kesehatan serta perdagangan elektronik berupa
komputer dan telepon genggam/tablet. Sudah selayaknya terjadi
pertumbungan penerimaan secara signifikan dari sektor yang justru
mengalami peningkatan omzet akibat pandemi Covid-19 ini.
Kelima, terkait pengujian kepatuhan material. Peningkatan
kepatuhan wajib pajak dalam melaporkan SPT ternyata belum
dibarengi dengan peningkatan pembayaran pajak. Oleh karena itu,
Menteri Keuangan dan Dirjen Pajak menekankan pentingnya petugas
pajak untuk menguji kepatuhan material, tidak berpuas diri dengan
tercapainya target kepatuhan penyampaian SPT tahunan semata.
Data yang telah tersedia begitu banyak di DJP dari instansi, lembaga,
asosiasi, dan pihak lain seharusnya dioptimalkan untuk menguji
kepatuhan wajib pajak secara material.
Presiden telah menargetkan ekonomi nasional harus dapat
tumbuh positif di angka 5 persen pada 2021. Kunci pertumbuhan
ekonomi ada pada investasi dan untuk mengundang minat
investasi, diperlukan adanya kebijakan kemudahan berusaha secara
komprehensif meliputi segala sisi. Itulah salah satu alasan mengapa
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja menjadi
omnibus law yang diharapkan memodifikasi secara serentak dan
seketika berbagai undang-undang yang selama ini dipandang
kurang mendukung kemudahan berusaha di Indonesia. Salah satu
yang diubah oleh omnibus law adalah Undang-Undang Perpajakan.
Peraturan perpajakan menjadi lebih pasti dan jelas, serta lebih ramah
terhadap dunia usaha dengan sanksi bunga yang lebih beradaptasi
dengan perkembangan tingkat suku bunga pasar maupun sanksi
administrasi lainnya yang lebih rendah.
PAJAK DAN PANDEMI { 25

Selain perubahan peraturan perpajakan untuk menciptakan


iklim kemudahan berusaha, Ditjen Pajak juga memberikan insentif
perpajakan bagi begitu banyak kelompok lapangan usaha, seperti
PPh Pasal 21 Ditanggung Pemerintah, PPh final UMKM Ditanggung
Pemerintah, pengurangan 50% angsuran PPh Pasal 25, penurunan
tarif PPh badan menjadi 22%, pembebasan PPh Pasal 22 impor, dan
pengembalian pendahuluan PPN ditujukan untuk memberi ruang
bagi masyarakat wajib pajak untuk memulihkan ekonomi, baik untuk
UMKM maupun usaha berskala besar.
Kemudahan berusaha dan insentif perpajakan ini diharapkan
tidak hanya mempu mengundang investasi untuk masuk dan
bertumbuh di Indonesia, namun juga betah di Indonesia, sehingga
menggerakkan ekonomi secara berkesinambungan dan menyerap
tenaga kerja yang pada akhirnya menyejahterakan seluruh rakyat
Indonesia. Tahun 2021 adalah tahun pembuktian bahwa pajak bisa
berbuat banyak dalam membantu pemulihan ekonomi Indonesia.
Kebijakan Pemerintah
Saat Pandemi
Sahruni

M
asih ingatkah Anda kasus pertama Covid-19 di Indonesia? Ya,
dua kasus pasien positif Covid-19 di Indonesia yang diumumkan
pertama kali pada 2 Maret 2020. Yang sampai saat ini jumlahnya
terus-menerus bertambah. Sampai kapan kita semua akan berada
dalam keadaan seperti ini? Keadaan yang begitu jauh dari suasana
sebelumnya, keadaan yang begitu sulit dengan berbagai aturan,
keadaan yang tidak biasa, keadaan yang menimbulkan perubahan
pada segala aspek kehidupan. Semua terjadi saat pandemi melanda
bukan hanya Indonesia tentunya tetapi juga di dunia.
Dengan keadaan yang semakin sulit, situasi yang semakin
mencekam, ruang gerak yang semakin dibatasi untuk mencegah
penularan Covid-19, namun ada kehidupan yang harus terus dijalani,
ada keluarga yang harus dinafkahi, ada proyek yang harus terus
berlanjut, ada kantor yang harus terus beroperasi dan berbagai
macam kegiatan lainnya yang tidak mudah untuk ditunda.
Menurut WHO, Coronavirus disease that was discovere in 2019
yang artinya penyakit virus corona yang ditemukan pada 2019 atau
yang kita kenal dengan Covid-19. Virus ini telah mengubah dunia
dan melahirkan kebiasaan baru, bahkan kebijakan-kebijakan baru
yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Hal ini demi tetap berlangsungnya
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang tetap berjalan
dengan baik untuk memenuhi kehidupan masyarakat.
PAJAK DAN PANDEMI { 27

Di Direktorat Jenderal Pajak, cukup banyak kebijakan yang


akhirnya dikeluarkan untuk tetap menjaga penerimaan negara
dengan berpedoman pada kebijakan pemerintah, terutama untuk
Wajib Pajak yang terkena dampak dari virus ini.
Beberapa kebijakan yang akhirnya dikeluarkan oleh Pemerintah
akibat adanya virus ini, yaitu PMK-44/PMK.03/2020 Tentang Insentif
Pajak Untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Covid-19, yang kemudian
diganti dengan PMK-86/PMK.03/2020. Kebijakan ini dikeluarkan
tentunya bagi Wajib Pajak yang terkena dampak dari pandemi ini,
maka dari itu dilakukan perluasan sektor yang akan diberikan insentif
perpajakan yang diperlukan selama masa pemulihan ekonomi nasional.
Dengan adanya insentif ini tentunya diharapkan Wajib Pajak
dapat memanfaatkan dengan bijak dan benar. Selain PMK-86 ini
ada juga PER-04/PJ/2020 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan
Administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak, Sertifikat Elektronik, dan
Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak. Aturan ini menggantikan
PER-02/PJ/2018. Dalam PER-04 ini beragam kebijakan baru yang
telah diatur oleh Pemerintah untuk tetap memberikan pelayanan
kepada pemangku kepentingan selama masa pandemi.
Beberapa dari kebijakannya seperti penerbitan Nomor Pokok
Wajib Pajak yang dapat diajukan secara daring dengan fitur baru yang
sudah diperbaharui yaitu Wajib Pajak bisa langsung mendapatkan
NPWP tanpa approval dari petugas pajak di KPP terdaftar. Namun
walaupun tanpa approval dari petugas pajak di KPP, sistem akan bisa
menetapkan status bagi wajib pajak yang baru terdaftar sehingga
Wajib Pajak tersebut akan tetap bisa memperoleh NPWP tanpa harus
datang ke Kantor Pajak.
Terkait kebijakan ini, menurut penulis diperlukan data dan
sistem yang dapat merekam permohonan Wajib Pajak secara
28 } BUSUR

lengkap dan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, seperti sistem


akan menolak ketika Wajib Pajak menginput data yang tidak sesuai
dengan data di Dukcapil, maka perlu dilakukan sinkronisasi data
antara DJP dengan Dukcapil agar data Wajib Pajak yang masuk ke
sistem DJP adalah data yang sudah sesuai dengan Kartu Identitas
Wajib Pajak yang juga disyaratkan untuk dilampirkan dalam hal
permohonan pendaftaran NPWP, mengingat data Wajib Pajak ini
akan tersimpan dalam master file wajib pajak dan akan dijadikan
pedoman kepada petugas di KPP dalam melakukan penggalian
potensi kepada Wajib Pajak tersebut.
Selain itu, terkait dengan permohonan–permohonan lain wajib
pajak bisa mengajukan via email resmi ke KPP terdaftar dan segala
tindaklanjut akan dilakukan melalui email tersebut, namun Wajib
Pajak tentunya harus memberikan beberapa data untuk memastikan
bahwa yang mengajukan permohonan tersebut adalah benar Wajib
Pajak yang bersangkutan.
Oleh karena itu, diperlukan data proof of record ownership atau
disingkat PORO. PORO sendiri merupakan proses konfirmasi data
wajib pajak untuk memastikan bahwa yang menelpon atau melakukan
permohonan melalui email, adalah wajib pajak/pengurus badan
yang bersangkutan.
PORO untuk WP OP, meliputi: (a) NPWP; (b) nama; (c) Nomor
Identitas Kependudukan (NIK); (d) alamat tempat tinggal; (e) alamat
email yang terdaftar di DJP, dan (f) nomor telepon/handphone yang
terdaftar di DJP.
PORO untuk WP badan, meliputi: (a) NPWP;(b) nama; (c) alamat
email yang terdaftar di DJP; (d) nomor telepon/handphone yang
terdaftar di DJP; (e) EFIN salah satu pengurus yang tercantum
dalam SPT Tahunan PPh Badan yang sudah jatuh tempo; (f) nomor
PAJAK DAN PANDEMI { 29

handphone yang engajukan; dan (g) Tahun Pajak, Status, dan Nominal
SPT Tahunan Badan Terakhir yang dilaporkan.
Sedangkan, PORO untuk WP warisan belum terbagi, meliputi:
(a) NPWP; (b) nama; (c) alamat email yang terdaftar di DJP; dan (d)
nomor telepon/handphone yang terdaftar di DJP. Sementara itu, atas
WP instansi pemerintah, PORO-nya mencakup: (a) NPWP; (b) nama;
(c) lamat email yang terdaftar di DJP, (d) nomor telepon/handphone
yang terdaftar di DJP.
PORO ini sangat penting untuk memutuskan valid atau tidak
permohonan Wajib Pajak yang diajukan ke KPP terdaftar. Namun
menurut penulis petugas di KPP bisa meminta data tambahan kepada
Wajib Pajak untuk memastikan bahwa memang yang mengajukan
permohonan tersebut adalah Wajib Pajak yang bersangkutan. Hal
ini tentu bukanlah hal yang sulit untuk Wajib Pajak, justru sangat
memudahkan dalam pengajuan permohonan ke KPP.
Tentunya masih banyak lagi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan
oleh Pemerintah untuk tetap menjaga stabilitas ekonomi dan juga
dalam memberikan pelayanan kepada pemangku kepentingan. Virus
ini merupakan bencana besar bagi segala aspek kehidupan, maka
dari itu tentunya pemerintah pun langsung bergerak cepat untuk
menangani kondisi yang cukup buruk ini, kebijakan yang dikeluarkan
pun juga tentunya dengan memperhatikan protokol kesehatan guna
memutus rantai penularan Covid-19.
Kebijakan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah tentunya
sudah melewati proses yang panjang dan tidak mudah, tentu dengan
berbagai pro kontra dari beberapa pihak. Bukanlah hal yang mudah
untuk mengeluarkan kebijakan baru saat pandemi namun stabilitas
ekonomi dan produktivitas masyarakat yang diharapkan tetap
berjalan dengan baik demi berlangsungnya kehidupan yang layak.
Menjawab Polemik
Pajak Pulsa, Kartu Perdana,
Token, dan Voucer
Dewi Damayanti

K
eluarnya beleid tentang pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) dan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sehubungan dengan penjualan
Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer telah memicu polemik dalam
masyarakat. Mereka mengeluhkan bahwa di saat ekonomi tengah
didera krisis akibat pandemi, pemerintah malah mengenakan objek
pajak baru pada masyarakat. Benarkah demikian?
Keluarnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6/
PMK.03/2021 tentang Penghitungan dan Pemungutan PPN Serta PPh
atas Penyerahan/Penghasilan Sehubungan dengan Penjualan Pulsa,
Kartu Perdana, Token, dan Voucer tanggal 22 Januari 2021 adalah untuk
memberikan kepastian hukum dan menyederhanakan administrasi
dan mekanisme pemungutan PPN dan PPh bagi Wajib Pajak.
Selama ini terdapat beberapa permasalahan yang masih memicu
kontroversi yaitu: pertama banyak terjadi sengketa di lapangan terkait
pengenaan PPN dan PPh atas Pulsa, Token Listrik, dan Voucer. Kedua
permasalahan penerbitan Faktur Pajak atas transaksi pulsa dengan
(server) yang real-time. Ketiga permasalahan pengawasan PPh dan
PPN terhadap distributor pulsa tingkat pengecer. Keempat potensi
pengenaan PPN berganda atas distribusi voucer konten/aplikasi.
Permasalahan-permasalahan ini jika dibiarkan akan merugikan
masyarakat sendiri.
PAJAK DAN PANDEMI { 31

Untuk menyamakan persepsi maka ditegaskan pengertian


objek pajak yang dikenakan pajak dalam PMK ini. Pulsa adalah hak
penggunaan produk telekomunikasi dalam satuan perhitungan biaya
telepon dan/atau biaya data dengan sistem pembayaran di awal
periode pemakaian.
Kartu Perdana adalah kartu yang digunakan oleh pelanggan
jasa telekomunikasi untuk dapat menggunakan jasa telekomunikasi
pasca bayar atau prabayar.
Token adalah hak penggunaan tenaga listrik berupa digit angka
yang dimasukkan ke dalam meteran dengan sistem pembayaran di
awal periode pemakaian.
Dan Voucer adalah media pembayaran atas pembelian
barang dan jasa oleh pembeli atau penerima jasa untuk ditukarkan
dengan barang dan jasa yang berbentuk fisik atau elektronik, untuk
penggunaan diskon atau belanja.

Pengenaan PPN
Pulsa, Kartu Perdana dan Paket Data termasuk Barang Kena Pajak
(BKP). Atas penyerahan BKP tersebut oleh Pengusaha Penyelenggara
Jasa Telekomunikasi (Operator Seluler) dan Penyelenggara Distribusi
dikenai PPN.
Ketika Operator menyerahkan Pulsa, Kartu Perdana, dan Paket
Data kepada Distributor Tingkat Pertama ( Authorized Distributor),
kemudian Autorized Distributor kepada Distributor Tingkat Kedua
(Server), Server menyerahkan kepada Distributor Tingkat Ketiga dan
seterusnya hingga penyerahan itu mencapai konsumen akhir, maka
merupakan penyerahan BKP.
Hanya diatur bahwa pemungutan PPN wajib dilakukan sampai
Distributor Tingkat Kedua saja. Sementara untuk Distributor selanjutnya
32 } BUSUR

tidak ada kewajiban untuk memungut PPN, karena pemungutan PPN


telah dilaksanakan di depan oleh Distributor Tingkat Kedua.
Perhitungan PPN sampai dengan Distributor Tingkat Kedua
sebesar 10 persen dari Dasar Pengenaan Pajak (DPP) yaitu dari Harga
Jual. Dari Distributor Tingkat Kedua kepada Distributor Tingkat Ketiga
hingga konsumen akhir adalah sebesar Nilai Lain. Nilai lain dikenakan
karena Distributor Tingkat Kedua juga menghitung PPN untuk mata
rantai berikutnya yang tidak memiliki kewajiban memungut PPN.
Karena tidak memiliki kewajiban sebagai Pemungut PPN,
Distributor Tingkat Ketiga dan seterusnya tidak dikukuhkan sebagai
Pengusaha Kena Pajak (PKP), sepanjang usahanya semata-mata
melakukan penyerahan Pulsa, Kartu Perdana, dan Paket Data.
Namun ketika mereka menyerahkan BKP atau JKP lainnya, maka
dapat dikukuhkan sebagai PKP jika Peredaran Brutonya dalam satu
tahun pajak telah melewati batasan pengusaha kecil (lebih dari Rp4,8
miliar). Ini menjawab salah satu polemik.
Bagaimana halnya dengan pengenaan PPN atas Token
dan Voucer?
Token merupakan BKP yang perlakuan PPN-nya dipersamakan
dengan listrik. Listrik merupakan BKP strategis yang memperoleh
fasilitas pembebasan PPN, kecuali untuk perumahan dengan daya di
atas 6.600 watt. Token diserahkan PLN langsung ke pelanggannya.
Distributor Token hanya sebagai fasilitator untuk mendistribusikan
Token kepada konsumen dan menerima pembayaran dari konsumen.
PPN terutang atas Token adalah sebesar 10 persen dari DPP
(Penggantian) yaitu selisih dari nilai nominal Token dengan nilai yang
diminta tidak termasuk pajak (pajak daerah atas penerangan jalan dan
bea meterai) atas penjualan Token. PPN tidak dikenakan atas nilai Token
tetapi atas biaya administrasi yang dikenakan pihak Distributor Token.
PAJAK DAN PANDEMI { 33

Saat terutangnya PPN atas jasa Token sebagaimana diatur dalam


Pasal 17 ayat 5 PP nomor 1 tahun 2012 terkait penyerahan JKP yaitu
ketika komisi atau pendapatan administrasi tadi diakui oleh distributor
Token sebagai Piutang atau Penghasilan atau ketika penerbitan
invoice dilakukan oleh pihak Distributor Token.
Yang dimaksud dengan Voucer dalam beleid ini adalah alat
tukar pembayaran. Beberapa jenis Voucer yang dikenal yaitu: Voucer
Diskon, Voucer Belanja atau Konten, dan Voucer Program Loyalitas
atau Penghargaan Pelanggan. Ketika pihak distributor atau pedagang
menyerahkan Voucer bukan merupakan penyerahan yang terutang
PPN sebagai BKP tetapi atas jasa pemasaran/penyelenggaraan
Voucer tersebut. PPN akan dipungut atas penyerahan jasa
pemasaran tersebut.
DPP Voucer adalah sebesar 10 persen dari Penggantian atau
komisi atau imbalan yang diterima atau selisih antara nilai yang
ditagih dan nilai yang dibayar atas penjualan Voucer. Namun DPP
untuk Voucer Program Loyalitas selain dihitung dari Penggantian juga
dapat dihitung dari Nilai lain jika penyerahannya tidak berdasarkan
pada pemberian komisi dan tidak terdapat selisih (margin). Nilai
Lain yaitu sebesar 10 persen dari jumlah yang ditagih atau yang
seharusnya ditagih.
Pajak Masukan Penyelenggara Voucer atas Penggantian dapat
dikreditkan sesuai dengan ketentuan UU di bidang Perpajakan.
Sementara atas Nilai lain tidak dapat dikreditkan, karena PPN
yang dikenakan sudah memperhitungkan Pajak Masukan yang
dapat dikreditkan.
Pengusaha Penyelenggara Jasa Telekomunikasi, Penyelenggara
Distribusi, dan Penyelenggara Voucer yang telah dikukuhkan
sebagai PKP, namun tidak memungkinkan membuat Faktur Pajak
34 } BUSUR

sesuai ketentuan UU Perpajakan (penjualan real-time melalui


server), maka bukti penerimaan pembayaran (setruk) yang dibuat
dapat diperlakukan sebagai dokumen tertentu yang kedudukannya
dipersamakan dengan Faktur Pajak. Setruk tersebut dapat dikreditkan
sebagai PM asalkan mencantumkan identitas pihak yang menerima,
yaitu nama dan NPWP atau nomor induk kependudukan. Ini
memberikan kepastian hukum lainnya terkait penerbitan Faktur Pajak
atas transaksi yang real-time.

Pengenaan PPh
Penjualan Pulsa dan Kartu Perdana oleh Penyelenggara
Distribusi Tingkat Kedua sebagai Pemungut PPh Pasal 22, wajib
dipungut PPh. Penyerahan tersebut dilakukan kepada Penyelenggara
distribusi di bawahnya ataupun konsumen langsung, Penetapan
Penyelenggara Distribusi Tingkat Kedua sebagai Pemungut PPh
Pasal 22 sesuai ketentuan Pasal 22 UU PPh.
Saat terutangnya PPh Pasal 22 adalah saat diterimanya
pembayaran, termasuk penerimaan deposit. Pemungut wajib
melakukan pemungutan PPh Pasal 22 sebesar 0,5% dari Nilai
yang Ditagih atau Harga Jual atas penjualan kepada pelanggan
telekomunikasi secara langsung. PPh Pasal 22 bagi yang dipungut
dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak dalam tahun berjalan.
Pengecualian tidak dipungut PPh Pasal 22 adalah: Pertama,
batasan pembelian yang dilakukan paling banyak sebesar Rp2 juta
tidak termasuk PPN dan bukan merupakan pembayaran yang
dipecah dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari Rp2
juta. Kedua, Wajib Pajak Bank. Ketiga, Pengusaha Kecil yang memiliki
Surat Keterangan PP nomor 23 tahun 2018 dan telah terkonfirmasi
kebenarannya di sistem informasi Ditjen Pajak.
PAJAK DAN PANDEMI { 35

Atas imbalan sehubungan dengan jasa yang diterima atau


diperoleh Penyelenggara Distribusi atau Penyelenggara Voucer
dipotong PPh Pasal 23 sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto,
tidak termasuk PPN. PPh Pasal 23 yang telah dipotong tersebut juga
dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak tahun berjalan.
Pengecualian tidak dilakukan pemotongan PPh Pasal 23 jika,
Pertama, penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank.
Kedua, imbalan sehubungan dengan jasa tersebut telah dikenai
Pajak Penghasilan yang bersifat final berdasarkan peraturan
perundang-undangan di bidang perpajakan.
Perlu digarisbawahi adalah pengenaan PPh Pasal 23 bukan atas
nilai Token dan Voucer, tapi atas jasa yang diterima Penyelenggara.
Sehingga tidak ada pengenaan objek pajak baru dengan terbitnya
beleid ini. Justru untuk memberikan kepastian hukum dan kemudahan
bagi Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya.
Dengan kepastian hukum dan kemudahan, diharapkan
kepatuhan sukarela Wajib Pajak akan meningkatkan. Di sisi lain
akan memudahkan petugas pajak dalam melakukan pengawasan.
Muaranya adalah meningkatnya Rasio Pajak Indonesia di masa depan.
Kali Ini
tentang Insentif PPnBM
Gandi Prayoso

P
andemi Covid-19 yang terjadi setahun belakangan ini telah
mengganggu kesehatan perekonomian di Indonesia. Pemerintah
harus tetap semangat melanjutkan Program Pemulihan Ekonomi
Nasional (PEN) dengan berbagai langkah kebijakan yang telah disusun.
Pada akhir Februari 2021, pemerintah telah mengeluarkan
kebijakan berupa pemberian insentif perpajakan PPnBM untuk
kendaraan bermotor tertentu. Hal ini ditetapkan dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor PMK-20/PMK.010/2021 tentang Pajak
Penjualan atas Barang Mewah atas Penyerahan Barang Kena Pajak
yang Tergolong Mewah berupa Kendaraan Bermotor Tertentu yang
Ditanggung Pemerintah (PPnBM DTP) Tahun Anggaran 2021.
Pemberian insentif ini diharapkan dapat meningkatkan daya
beli masyarakat pada sektor industri kendaraan bermotor, sehingga
pertumbuhan ekonomi secara nasional pun terdorong. Dalam beleid
tersebut yang dimaksud kendaraan bermotor tertentu adalah
berbentuk sedan atau station wagon dengan kapasitas silinder
sampai dengan 1.500 cc dan selain sedan atau station wagon dengan
kapasitas penumpang kurang dari 10 orang dengan sistem 1 gardan
penggerak (4x2) kapasitas silinder sampai dengan 1.500 cc, serta
memenuhi local purchase paling sedikit 70%.
Insentif PPnBM DTP ini diberikan dalam tiga skema, sebagai
berikut: untuk Masa Pajak Maret s.d. Mei 2021 PPnBM DTP adalah
sebesar 100%, untuk Masa Pajak Juni s.d. Agustus 2021 PPnBM DTP
PAJAK DAN PANDEMI { 37

adalah sebesar 50%, dan untuk Masa Pajak September s.d. Desember
2021 PPnBM DTP adalah sebesar 25%.
Dari skema di atas pemerintah berharap dengan pemberian
insentif PPnBM DTP ini dapat memberikan kontribusi pertumbuhan
ekonomi nasional sebesar 0.9% s.d. 1% dengan multiplier effect-nya.
Jika dicermati, beleid ini merupakan suatu langkah kebijakan yang
diambil pemerintah dalam penanganan dan pemulihan ekonomi. Dari
sisi demand untuk mendorong investasi, sedangkan dari dunia usaha
mendongkrak sektor industri otomotif tanah air. Jika semua dapat berjalan
secara beriringan, maka pemerintah dapat menjaga pertumbuhan
ekonomi yang diproyeksikan di level 4.5% s.d. 5% pada tahun ini.
Bagi pelaku usaha industri otomotif, dengan penerapan
insentif PPnBM DTP ini dapat memberikan angin segar dan kembali
membangkitkan kinerja industri otomotif nasional. Kebijakan dan
stimulus dirancang guna meningkatkan produksi pabrikan dalam
negeri sehingga akan mendorong percepatan Program Pemulihan
Ekonomi Nasional (PEN).
Hanya saja dengan adanya kriteria dan persyaratan tertentu
untuk penyerahan kendaraan bermotor yang dapat memperoleh
insentif PPnBM DTP ini maka tidak semua mobil dapat menikmati
aturan ini. Tentunya akan ada beberapa pelaku usaha sektor industri
otomotif tidak dapat memacu penjualannya.
Ada persyaratan tambahan yang unik yaitu local purchase
minimal 70%. Local purchase ini ternyata berbeda dengan Tingkat
Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Berdasarkan Peraturan Menteri
Perindustrian Nomor 16/M-IND/PER/2/2011, TKDN adalah besarnya
komponen dalam negeri pada barang, jasa, dan gabungan barang
dan jasa. TKDN ini dihitung berdasarkan perbandingan antara harga
38 } BUSUR

barang jadi dikurangi harga komponen luar negeri terhadap barang


jadi. Sedangkan local purchase mengacu pada Keputusan Menteri
Perindustrian Nomor 169 Tahun 2021, meliputi pemenuhan jumlah
penggunaan komponen yang berasal dari hasil produksi dalam negeri
yang dimanfaatkan dalam kegiatan produksi.
Artinya dengan mekanisme local purchase, mobil luar negeri
yang diproduksi di Indonesia pun dapat menikmati insentif PPnBM
DTP. Jika berdasarkan TKDN maka
pabrikan luar negeri, meskipun sudah
Dengan adanya punya pabrik di Indonesia, tidak bisa
insentif PPnBM menikmati insentif PPnBM DTP ini.
DTP untuk Selain itu, hal ini tentunya akan mampu
kendaraan memberikan dampak signif ikan
bermotor tertentu terhadap kinerja industri kecil
ini diharapkan menengah dalam pembuatan bahan
memberikan baku dan komponen dalam negeri
dampak multiplier sehingga mereka dapat bertahan
effect ke berbagai menjalankan usahanya di tengah
sektor. tekanan pandemi Covid-19 yang pada
akhirnya akan mendukung pemulihan
ekonomi nasional di tahun ini.
Insentif perpajakan PPnBM DTP berlaku selama 9 bulan
terhitung Maret 2021. Dengan diterapkan stimulus ini dalam 3 skema
maka pemerintah tentunya akan melakukan evaluasi yang akan
diimplementasikan per triwulannya. Dengan persentase insentif
pada skema pertama sebesar 100% dari PPnBM DTP tentu cukup
signifikan menurunkan harga jual kendaraan bermotor tersebut.
Tambahan kebijakan DP 0% diharapkan pada triwulan pertama lebih
PAJAK DAN PANDEMI { 39

menarik minat konsumen pecinta otomotif tanah air sehingga daya


beli masyarakat pada sektor industri otomotif pun dapat tumbuh,
artinya dapat mendorong pertumbuhan ekonomi secara nasional.
Dengan adanya insentif PPnBM DTP untuk kendaraan bermotor
tertentu ini diharapkan memberikan dampak multiplier effect ke
berbagai sektor. Sektor tersebut seperti perbankan, asuransi, dan
lembaga pembiayaan. Skenario dampak ekonomi ini tentunya harus
sejalan dengan penanganan Covid-19 dan proses vaksinasi yang saat
ini sedang berlangsung.
Mekanisme pengawasan perlu dilakukan oleh pemerintah
agar pemberian insentif PPnBM DTP ini tepat sasaran dan tidak
dimanfaatkan baik untuk kepentingan pribadi semata maupun
penghindaran pajak.
Bentuk pengawasan sesuai beleid disebutkan bahwa Pengusaha
Kena Pajak industri otomotif yang menghasilkan dan melakukan
penyerahan berupa kendaraan bermotor yang PPnBM-nya
Ditanggung Pemerintah wajib membuat Faktur Pajak dengan
tambahan keterangan “PPnBM Ditanggung Pemerintah Eks PMK-20/
PMK.010/2021” dan dilaporkan dalam SPT Masa PPN sebagai laporan
realisasi PPnBM DTP. Dengan demikian, apabila atas penyerahan
tersebut tidak membuat Faktur Pajak dan/atau tidak melaporkan
Faktur Pajak sebagaimana dijelaskan sebelumnya maka dikenai
PPnBM sesuai ketentuan perundang-undangan.
Dalam beleid disebutkan juga bahwa Kepala Kantor Pelayanan
Pajak atas nama Direktur Jenderal Pajak dapat menagih PPnBM
yang terutang jika diperoleh data atau informasi yang menunjukkan:
kendaraan bermotor dimaksud tidak memenuhi kriteria dan
persyaratan, Kesalahan penerapan skema PPnBM DTP, dan
40 } BUSUR

Pengusaha Kena Pajak tidak melakukan kewajiban yang disebutkan


dalam paragraf sebelumnya.
Pada akhirnya pemberian insentif PPnBM untuk kendaraan
bermotor tertentu ini dapat memberikan dampak ekonomi positif
di berbagai sektor dan menggenjot pertumbuhan ekonomi
secara nasional. Semua bentuk dukungan sangat dibutuhkan
untuk menciptakan akselerasi pemulihan ekonomi. Penting juga
diperhatikan, proses vaksinasi yang saat ini sedang berlangsung
sebagai bentuk penanganan Covid-19 tentunya memberikan
dukungan pemulihan ekonomi Indonesia dari aspek kesehatan.
Relaksasi PPnBM Mobil Baru,
Solusi atau Pemicu Masalah Baru?
Yopi Fajar Candra Dinata

P
andemi Covid-19 yang melanda dunia sejak akhir tahun 2020
telah melemahkan berbagai sendi kehidupan di seluruh dunia.
Berdasarkan data worldometer.info, kasus Covid-19 di dunia telah
mencetak rekor angka sebesar 109 juta kasus sampai hari ini.
Penyumbang angka terbesar adalah negara Amerika Serikat dengan
total sebanyak 28 juta kasus diikuti India dengan total 10 juta kasus.
Dua negara dengan karakteristik berbeda namun menghadapi hal
yang sama menandakan bahwa pandemi ini tak pandang bulu dalam
menyerang korbannya.
Lantas bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Sampai
dengan hari ini total kasus Covid-19 di Indonesia tercatat sebanyak
1,2 juta. Angka yang tidak terlalu besar bila dibandingkan dengan
kasus di kedua negara di atas. Namun seberapa besar dampak yang
ditimbulkan bagi Indonesia?
Pemerintah Indonesia telah mengantisipasi dampak pandemi ini
dengan serangkaian kebijakan yang diambil silih berganti. Alih-alih
menerapkan fully-lockdown system, pemerintah menerapkan
kebijakan yang bernama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Langkah ini diambil dengan pertimbangan untuk memutus
mata rantai penyebaran virus Covid-19 sementara di sisi lain agar
roda ekonomi tetap berputar. Kebijakan PSBB yang diambil akan
dievaluasi setiap periode untuk diputuskan apakah akan dilanjutkan
pada periode selanjutnya atau tidak.
42 } BUSUR

Berdasarkan data dari Bank Dunia, Indonesia membutuhkan


waktu setidaknya 5 tahun untuk dapat pulih dari dampak yang
ditimbulkan pandemi ini. Sementara data dari Badan Pusat Statistik
menyatakan bahwa PDB Indonesia pada kuartal IV 2020 terkontraksi
sebesar 2,19 persen jika dibandingkan tahun sebelumnya. Pemerintah
mengantisipasi dengan memberikan berbagai insentif mulai dari
bantuan langsung tunai kepada masyarakat yang membutuhkan
sampai relaksasi pajak diberikan demi menopang perekonomian.
Salah satu sektor yang terkena dampak pandemi Covid-19 di
Indonesia adalah sektor otomotif. Penurunan daya beli masyarakat
akibat efek domino yang dihasilkan dari PSBB serta orang banyak yang
lebih merasa aman menyimpan uang tunai tak pelak “menggebuk”
sektor otomotif di Indonesia. Berdasarkan data dari Gabungan Industri
Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), penjualan mobil baru di
Indonesia tahun 2020 secara wholesales anjlok sampai 48,3 persen
bila dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya.
Hal ini memberi efek domino karena sektor otomotif berkaitan
dengan berbagai aspek mulai dari penyiapan bahan baku, proses
manufaktur, proses penjualan oleh dealer, sampai layanan pasca
jual. Lesunya penjualan mobil memberikan dampak pada setiap
rantai tersebut mulai dari pengurangan shift kerja sampai pemutusan
hubungan kerja oleh ATPM (Agen Tunggal Pemegang Merek) karena
biaya produksi lebih besar.
Fenomena di atas menjadi perhatian pemerintah karena efek
domino yang ditimbulkan menyasar berbagai sektor. Melalui revisi
Peraturan Pemerintah Nomor 73 Tahun 2019 tentang Barang Kena
Pajak yang Tergolong Mewah Berupa Kendaraan Bermotor yang
Dikenai Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PP No. 73 Tahun 2019,
pemerintah memberikan relaksasi atas PPnBM. Relaksasi ini akan
PAJAK DAN PANDEMI { 43

diberikan dalam 3 periode yaitu: relaksasi PPnBM sebesar 0% untuk


periode Maret s.d. Mei, sebesar 50% untuk Juni s.d. Agustus, dan 25%
untuk September s.d November.
Relaksasi ini diberikan kepada kendaraan bermotor dengan
kategori kubikasi mesin di bawah 1500 cc (1,5 liter), harga di bawah 300
juta, dan merupakan produksi nasional. Pemilihan kategori kendaraan
dengan kubikasi tersebut tentunya bukan tanpa alasan, mengingat
kebanyakan mobil yang beredar di Indonesia menggunakan kubikasi
mesin ukuran tersebut sehingga diharapkan akan menyasar kalangan
yang memang terkena dampak pandemi ini.
Dengan diberlakukannya revisi atas PP No. 73 Tahun 2019
tersebut, maka harga mobil akan terkoreksi sebesar 10 persen antara
10-20 juta. Hal ini diharapkan mampu untuk mendongkrak penjualan
mobil di Indonesia sehingga menggerakkan sektor lainnya termasuk
bahan baku, di mana sektor tersebut merupakan salah satu aspek
yang tidak bisa dilepaskan dari industri mobil.
Terdongkraknya ekonomi nasional, akan menimbulkan efek
berantai yang menimbulkan kenaikan ekonomi dari sektor manufaktur,
dealer, sampai layanan pasca jual yang melibatkan berbagai macam
pihak. Tak bisa dipungkiri bahwa industri otomotif adalah salah satu
daya tarik para investor baik lokal maupun asing. Apalagi mengingat
potensi jumlah penduduk Indonesia yang besar yaitu 260 juta jiwa.
Namun apakah semua kenaikan tersebut selalu memberikan
dampak positif di sektor lain?
Ada beberapa potensi yang akan timbul dikarenakan penjualan
mobil meningkat. Pertama, tingkat kemacetan meningkat. Berdasarkan
data yang dirilis produsen GPS (Global Positioning System) TomTom,
disebutkan bahwa Jakarta menjadi kota termacet nomor 10 di dunia,
bersanding dengan Istanbul, Manila, Mumbai, dan lainnya.
44 } BUSUR

Kemacetan memang menjadi momok yang menghantui


hampir setiap negara berkembang yang transportasi massalnya
belum terintegrasi seperti di negara maju. Begitu juga di Indonesia,
khususnya Jakarta. Berdasarkan data yang dirilis Gaikindo disebutkan
bahwa hampir 40 persen penjualan mobil nasional adalah di wilayah
DKI Jakarta dan Jawa Barat. Apalagi sebagai ibukota negara, pusat
pemerintahan, pusat ekonomi dan bisnis, Jakarta menanggung beban
berat karena setiap hari dihuni oleh jutaan orang dari kota-kota
satelit penyokongnya.
Tanpa relaksasi pajak pun, kemacetan sudah menjadi
rutinitas harian yang harus dihadapi warga Jakarta dan sekitarnya.
Berbagai kebijakan mulai dari 3-in-1 sampai ganjil genap pun telah
digalakkan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menekan laju
kemacetan setiap harinya. Namun hal tersebut dirasa belum cukup
efektif karena kemacetan masih terlihat apalagi pada jam sibuk di
jalan-jalan protokol.
Kenaikan penjualan mobil baru mungkin tidak terlalu berimbas
pada kota-kota kecil di luar Jakarta, namun di kota-kota besar lain
selevel ibukota provinsi, kemacetan bukan hal yang mustahil akan
terjadi juga. Kita tunggu saja bagaimana kondisi jalanan setelah
dilakukan relaksasi pajak atas mobil baru.
Kedua, turunnya harga mobil baru, juga akan memberikan
koreksi atas harga mobil bekas yang ada di pasaran. Mobil-mobil
bekas di pasaran sangat mungkin dijual dalam kondisi harga di
bawah harga beli pedagang, karena terdesak harga mobil baru
yang semakin murah. Penjualan suku cadang mobil ikut dapat
terdampak juga, karena mobil baru akan lebih jarang rusak dan masuk
bengkel dibandingkan mobil bekas, sehingga permintaan akan suku
cadang menurun.
PAJAK DAN PANDEMI { 45

Ketiga, sejalan dengan akibat pertama terkait kemacetan


yang meningkat, kenaikan penjualan kendaraan bermotor juga
turut menyumbang kenaikan tingkat polusi di beberapa kota besar.
Sebagaimana dirilis oleh AirVisual, Jakarta tak jarang menempati
10 besar kota paling berpolusi di dunia. Tentunya hal ini disebabkan
karena banyaknya kendaraan bermotor yang mengaspal di jalanan
Jakarta setiap harinya. Hal ini didukung dengan fakta bahwa selama
awal masa PSBB, jalanan lengang dan kondisi udara membaik.
Melihat berbagai fakta di atas, tak salah jika Pemerintah
memberikan relaksasi PPnBM atas penjualan mobil baru dengan
tujuan untuk menggerakkan ekonomi yang terkontraksi selama
pandemi meskipun harus mengesampingkan fakta bahwa naiknya
jumlah kendaraan akan memicu permasalahan lain. Namun tentunya
Pemerintah telah berpikir matang sebelum memutuskan untuk
mengeluarkan kebijakan ini, seyogianya kita dapat mendukung
terlaksananya kebijakan ini dengan baik.
Tantangan
Pengenaan PPN PMSE
Mohamad Azhari

S
aat ini banyak negara mengeluarkan kebijakan pada sektor
ekonomi untuk pemulihan perekonomian akibat dampak
pandemi Covid-19. Di Indonesia, Pemerintah menerbitkan berbagai
kebijakan di sektor ekonomi baik dari sisi fiskal maupun moneter
sebagai stimulus perekonomian. Dari sisi fiskal, salah satu kebijakan
yang diterbitkan yaitu perpajakan terkait perdagangan melalui sistem
elektronik atau disebut dengan PMSE.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang
Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, PMSE adalah perdagangan
yang transaksinya dilakukan melalui prosedur elektronik yang
dapat dilakukan oleh pelaku usaha, konsumen, pribadi, dan instansi
penyelenggara negara. Pelaku usahanya bisa dari dalam maupun
luar negeri. Pelaku usaha PMSE dapat melakukan usaha secara
langsung atau melalui sarana pihak penyelenggara PMSE atau yang
disebut dengan PPMSE. Pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan
perpajakan terkait perdagangan melalui sistem elektronik ini memiliki
harapan besar untuk mendapatkan tambahan penerimaan negara
karena tren transaksi perdagangan melalui sistem elektronik yang
terus meningkat.
Dalam Pasal 6 PERPU No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan
Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan
Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka
Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional
PAJAK DAN PANDEMI { 47

dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan, perlakuan perpajakan dalam


kegiatan Perdagangan Melalui Sistem Elektronik terdiri dari dua jenis
pajak yaitu pengenaan PPN atas pemanfaatan barang kena pajak
tidak berwujud dan/atau jasa kena pajak dari luar daerah pabean
di dalam daerah pabean dan pengenaan Pajak Penghasilan (PPh)
atau pajak transaksi elektronik atas kegiatan PMSE yang dilakukan
oleh subjek pajak luar negeri yang memenuhi ketentuan kehadiran
ekonomi signifikan.
Batasan mengenai pemungutan pajak ini dijelaskan dalam
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2020 tentang
Batasan Kriteria Tertentu Pemungut Serta Penunjukan Pemungut,
Pemungutan, Penyetoran, dan Pelaporan Pajak Pertambahan Nilai
Atas Pemanfaatan Barang Kena Pajak Tidak Berwujud Dan/Atau
Jasa Kena Pajak Dari Luar Daerah Pabean Di Dalam Daerah Melalui
Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Dalam konteks pengenaan
PPN, jumlah yang wajib dipungut adalah sebesar 10% dari Dasar
Pengenaan Pajak untuk nilai transaksi dengan pembeli di Indonesia
melebihi Rp600 juta dalam 1 tahun atau Rp50 juta dalam 1 bulan dan/
atau jumlah pengakses di Indonesia melebihi 12.000 dalam 1 tahun
atau 1.000 dalam 1 bulan. Jika pelaku usaha PMSE telah memenuhi
kriteria tersebut tetapi belum ditunjuk sebagai pemungut PPN, maka
dapat menyampaikan pemberitahuan secara mandiri ke Direktorat
Jenderal Pajak untuk penunjukkan.
Implementasi Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada perdagangan
melalui sistem elektronik (PMSE) merupakan langkah awal dan masih
terdapat tantangan ke depan yang harus dijawab atau diantisipasi
oleh pemerintah. Setidaknya terdapat tiga tantangan utama yang
perlu diperhatikan dalam penerapan pemungutan PPN PMSE di
Indonesia. Pertama, kemampuan Pemerintah yang dalam hal ini
48 } BUSUR

Kementerian Keuangan melalui Direktorat Jenderal Pajak dalam


menjaring para pelaku usaha digital luar negeri untuk masuk dalam
sistem administrasi pajak, terutama untuk ditunjuk sebagai pemungut
dan penyetor PPN PMSE. Kedua, memastikan kepatuhan pajak para
pelaku usaha asing yang sudah ditunjuk sebagai pemungut dan
penyetor PPN PMSE. Ketiga, memastikan peran kebijakan PPN PMSE
selaras dan mendukung kebijakan PPh pelaku usaha ekonomi digital.
Untuk menghadapi tantangan tersebut, diperlukan kemudahan dalam
pertukaran data informasi antarnegara. Organization for Economic
Co-Operation and Development (OECD)
yang merupakan organisasi untuk
Masalah kerja sama dan pembangunan, telah
bukanlah tanda menginisiasi Multilateral Competent
berhenti, itu Authority Agreement on Automatic
adalah pedoman Exchange of Financial Account Information
—Robert Schuller (MCA A ) dalam rangka Per tukaran
Informasi Secara Otomatis. Hal tersebut
bertujuan untuk menghindari fraud dalam
melakukan pelaporan keuangan. Sehingga, setiap otoritas pajak dapat
melakukan tracing data untuk kepentingan perpajakan sehingga
dalam implementasi kebijakan PPN PMSE yang berkaitan dengan
negara lain, dapat dilakukan tracing data untuk menghindari fraud.
Saat tulisan ini disusun sudah ada 16 pelaku usaha Perdagangan
Melalui Sistem Elektronik luar negeri yang telah dikenakan pungutan
PPN dan akan terus bertambah, di antaranya Netflix International
B.V., Amazon Web Service Inc., Spotify AB., Google Asia Pacific Pte.
Ltd., Google Ireland Ltd., Google LLC, Cleverbridge AG Corporation,
Hewlett-Packard Enterprise USA, Softlayer Dutch Holdings B.V.
(IBM), PT Bukalapak.com, PT Ecart Webportal Indonesia (Lazada),
PAJAK DAN PANDEMI { 49

PT Fashion Eservices Indonesia (Zalora), PT Tokopedia, PT Global


Digital Niaga (Blibli.com), Valve Corporation (Steam), dan beIN Sports
Asia Pte Limited.
Pemungut PPN PMSE akan diberikan nomor identitas perpajakan
(NPWP) sebagai sarana administrasi perpajakan yang dipergunakan
sebagai tanda pengenal diri atau identitas pemungut PPN PMSE
dalam melaksanakan hak dan memenuhi kewajiban perpajakannya.
Khusus untuk marketplace yang merupakan Wajib Pajak dalam negeri
yang ditunjuk sebagai pemungut, maka pemungutan PPN hanya
dilakukan atas penjualan barang dan jasa digital oleh penjual luar
negeri yang menjual melalui marketplace tersebut.
Pemerintah dalam hal ini Kementerian Keuangan melalui
Direktorat Jenderal Pajak terus mengidentifikasi dan aktif menjalin
komunikasi dengan sejumlah perusahaan lain yang menjual produk
digital luar negeri ke Indonesia untuk melakukan sosialisasi dan
mengetahui kesiapan mereka. Diharapkan dalam waktu dekat
jumlah pelaku usaha yang ditunjuk sebagai Pemungut PPN produk
digital dan penerimaan perpajakan melalui pengenaan PPN akan
terus meningkat.
Meneropong Maslahat
Insentif Restitusi PPN Dipercepat
Didik Yandiawan

S
inyal positif dari suar perekonomian berkedip samar dari
kejauhan. Meskipun didera ketidakpastian akibat gelombang
pandemi, setidaknya bahtera bernama “Indonesia Maju” terus melaju
menghadapi aneka tantangan menuju pelabuhan kesejahteraan.
APBN Kita Edisi Oktober 2020 menunjukkan bahwa rata-rata
Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur untuk kuartal ketiga
2020 berada di posisi yang lebih baik bila dibandingkan dengan
kondisi di kuartal kedua 2020. Fakta ini memberikan gambaran bahwa
aktivitas ekonomi di kuartal ketiga 2020 mengalami perbaikan. Di sisi
lain, masih diperlukan kesiapsiagaan dan peran pemerintah dalam
mengantisipasi dampak pembatasan sosial yang mengakibatkan
penurunan aktivitas produksi dan permintaan baru.
Secara fiskal, Pemerintah secara resmi menerbitkan Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia Nomor 86/PMK.03/2020
tentang “Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona
Virus Disease 2019” (PMK-86) yang berlaku mulai tanggal 16 Juli 2020
sekaligus mencabut PMK-44 tahun 2020. PMK-86 memperpanjang
jangka waktu pemberian insentif pajak hingga Desember 2020.
Tak hanya menyasar sektor industri manufaktur, insentif pajak
PMK-86 juga merangkul 1.189 klasifikasi lapangan usaha (KLU).
Industri agrikultur, logistik, transportasi, pendidikan, konstruksi,
telekomunikasi, jasa kesehatan, dan pertambangan menambah daftar
sektor usaha penerima insentif.
PAJAK DAN PANDEMI { 51

Berdasarkan PMK-86, insentif pajak yang masa berlakunya


diperpanjang sampai dengan Desember 2020 adalah Pajak
Penghasilan (PPh) Pasal 21 Ditanggung Pemerintah (DTP), PPh
Final Usaha Mikro, Kecil, dan Menegah (UMKM) DTP, Pengurangan
Angsuran PPh Pasal 25 sebesar 30%, Pembebasan PPh Pasal 22
Impor, dan Pengembalian Pendahuluan Pajak Pertambahan Nilai
(PPN). Pengembalian Pendahuluan PPN merupakan salah satu insentif
pajak yang populer dimanfaatkan oleh wajib pajak (WP) dari 716 KLU.
Hingga semester I 2020, insentif restitusi PPN dipercepat ini sudah
dinikmati oleh 3.816 WP dengan realisasi restitusi PPN hingga Rp3,59
triliun. Selanjutnya, berdasarkan siaran pers Direktorat Jenderal
Pajak (20/10), pencairan restitusi dipercepat hingga September 2020
mencapai Rp36,4 triliun atau tumbuh 30,7% (year on year/yoy).

Meneropong Maslahat Insentif Restitusi PPN Dipercepat


Dalam konteks insentif restitusi PPN dipercepat, PMK-86
mengatur beberapa hal. Pertama, kompensasi kelebihan pembayaran
pajak dari masa pajak sebelumnya dapat diperhitungkan dalam
pemberian insentif restitusi PPN dipercepat dengan nominal
maksimum senilai Rp5 miliar. Kedua, bahwa restitusi PPN dipercepat
tetap diberikan kepada pengusaha kena pajak (PKP) meskipun
kelebihan pembayaran pajak disebabkan oleh adanya kompensasi
masa pajak sebelumnya. Ketiga, masa berlaku insentif restitusi PPN
dipercepat diperpanjang dari yang awalnya diberikan mulai April
2020 hingga September 2020, menjadi hingga Desember 2020 yang
disampaikan paling lama tanggal 31 Januari 2021.
Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Penanaman Modal Asing Empat
sebagai salah satu unit kerja di lingkungan Kanwil DJP Jakarta
Khusus mencatat peningkatan jumlah Pengusaha Kena Pajak (PKP)
52 } BUSUR

yang memanfaatkan restitusi PPN dipercepat. Selain WP Kriteria


Tertentu dan PKP Berisiko Rendah, tercatat belasan WP di luar
kriteria tersebut memanfaatkan insentif tersebut. Selain penambahan
batasan nominal, jangka waktu pencairan yang relatif cepat menjadi
daya tarik tersendiri bagi PKP.
Dalam beberapa kesempatan layanan konsultasi, WP
menyampaikan bahwa kebutuhan untuk menjaga arus kas pada
masa pandemi terbantu dengan insentif tersebut. Namun demikian,
belum dapat diukur dengan pasti apakah pemanfaatan insentif
tersebut berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan pemenuhan
kewajiban perpajakan oleh PKP. Tak jarang ditemui kenyataan bahwa
Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan Keterangan (SP2DK)
yang diterbitkan oleh Account Representative (AR) Pengawasan
tidak mendapat respons sebagaimana WP merespon haknya.
Bahkan, terjadi sejumlah perubahan perilaku WP dalam pengajuan
permohonan insentif tersebut, di antaranya nominal pajak masukan
yang mendekati batasan maksimum, hingga perubahan pola klaim
status SPT lebih bayar PPN dari kompensasi menjadi restitusi.

DJP Perlu Perkuat Tata Kelola Restitusi PPN Dipercepat


Penatausahaan insentif restitusi PPN dipercepat dilaksanakan
dengan PMK-39 Tahun 2018 tentang Tata Cara Pengembalian
Pendahuluan Kelebihan Pembayaran Pajak didukung dengan tata
kelola berdasarkan SE-47 Tahun 2020. Terkait hal tersebut, DJP
dihadapkan pada dua isu. Pertama, dalam pemberian insentif restitusi
PPN dipercepat, batasan nilai nominal maksimum senilai Rp5 miliar
yang berlaku nasional menjadi “beban” tersendiri meningkatnya
volume penyelesaian pekerjaan maupun tekanan terhadap peneriman
neto tahun berjalan, utamanya bagi KPP Pratama. Kedua, dari segi
PAJAK DAN PANDEMI { 53

proses bisnis dan evaluasi terhadap penyelesaian permohonan


WP, perlu upaya lanjutan terkait pengujian pajak yang berhak
dikembalikan melalui mekanisme pemeriksaan pajak.
Untuk menjembatani kedua isu tersebut, perlu dilakukan kajian
lebih mendalam mengenai spirit pemberian insentif restitusi PPN
dipercepat. Melalui Rencana Strategis DJP 2020-2024 (renstra), DJP
memiliki tiga strategi dalam upaya pelaksanaan arah kebijakan
Pengelolaan Fiskal yang Sehat dan Berkelanjutan, yaitu penyusunan
regulasi, pemberian insentif, dan penyempurnaan regulasi dalam
rangka Pemulihan Ekonomi Nasional yang terdampak pandemi
Covid-19. Renstra tersebut dijabarkan ke dalam sejumlah inisiatif
terkait pengembangan layanan perpajakan berbasis digital yang
berfokus pada user experience dan user friendly dengan dukungan
kerangka regulasi dan kelembagaan yang efektif.
Dalam tataran praktik, DJP perlu mengkaji klasifikasi dan batasan
nominal maksimum senilai Rp5 miliar ke dalam skema nominal yang
berjenjang sesuai dengan karakteristik WP sesuai dengan level KPP.
Misalnya, WP terdaftar di KPP Pratama yang memanfaatkan insentif
restitusi PPN dipercepat batasan nominal maksimumnya dapat
diturunkan menjadi Rp1 miliar. Hal ini menjaga terjadinya perubahan
perilaku bagi WP maupun PKP yang tidak ditetapkan dengan SK WP
Patuh dan PKP Berisiko Rendah.
Selanjutnya, dalam pemantauan internal, perlu dicermati
mengenai keseimbangan antara hak yang diterima dan kewajiban
yang dilaksanakan oleh WP. Sejauh ini, modul kepatuhan berbasis
risiko belum menjangkau hak WP yang diberikan oleh KPP melalui
sejumlah layanan, khususnya layanan unggulan. Adanya data
pemicu berupa pemenuhan hak WP oleh DJP, misalnya pencairan
restitusi PPN dipercepat, dapat menjadi indikator tambahan bagi AR
54 } BUSUR

Pengawasan maupun Fungsional Pemeriksa dan Fungsional Penilai


Pajak dalam mempertimbangkan langkah-langkah pengamanan
penerimaan negara melalui proses bisnis pengawasan.
Sejalan dengan semangat dalam menghadapi pandemi
Covid-19, fungsi pajak sebagai pelindung tetap dikedepankan.
Pemberian insentif restitusi PPN dipercepat adalah salah satu dari
sejumlah upaya pemerintah dalam memberikan insentif mendukung
sektor usaha terdampak pandemi. Evaluasi berkelanjutan dan tata
laksana berbasis teknologi informasi yang efektif dan efisien akan
menjaga laju bahtera “Indonesia Maju” dalam mencapai pelabuhan
kesejahteraan tetap dalam jalur yang seharusnya. Hal ini sejalan
dengan pernyataan seorang Hakim Amerika Serikat, Arthur T.
Vanderbilt, bahwa pajak adalah urat nadi pemerintah dan tidak ada
wajib pajak yang diizinkan untuk lolos dari pembayaran bagiannya
yang adil dari beban kontribusinya.
Relaksasi Dahulu,
Tepat Waktu Kemudian
Frida Herliani

T
anggal 17 Maret 2020, pertama kali mengenal work from
home (WFH) atau bekerja dari rumah. Tujuannya dalam rangka
pencegahan virus Covid-19, sesuai dengan anjuran pemerintah.
Satu hal yang langsung terpikir dalam benak saya, “Apa kabar
SPT Tahunan?”
Bulan Maret dan April setiap tahunnya menjadi agenda “hajatan
besar” bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Ya, pada bulan itulah
batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan
Pajak Penghasilan (PPh). Maret untuk wajib pajak (WP) orang pribadi
dan April untuk WP badan, terkecuali bagi WP yang melakukan
pembukuan selain periode Januari-Desember.
Penulis bekerja di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Penanaman
Modal Asing (PMA) Enam. WP yang terdaftar di KPP PMA Enam
hanyalah WP badan (perusahaan) yang notabene penyampaian
SPT Tahunannya melalui e-filing. Namun, sebagai bentuk sinergi
dan gotong royong, KPP PMA Enam juga turut membentuk satuan
tugas (satgas) dalam rangka penerimaan SPT Tahunan orang pribadi.
Saat itu hanya bisa mengaduh dalam hati. Meminjam gaya Mpok
Alpa yang sempat viral di media sosial, “Duh, layout ruangan udah
dicakep-cakepin, meja peneliti udah dirapi-rapiin, petugas jaga udah
siap senyum tiga jari, eeehh….si korona dateng. Bubar udeh.”
Namun, di sisi lain, “Bagaimana ya nasib WP?” gumamku.
Dengan adanya PSBB, otomatis beberapa jenis usaha tidak lagi dapat
56 } BUSUR

beroperasi. Terdengar pula, kabar banyaknya pegawai yang terancam


putus hubungan kerja (PHK) karena pemberi kerja terdampak
Covid-19. Di tengah kekisruhan itu, mungkinkah masih menyisakan
sedikit waktu untuk menunaikan kewajiban pelaporan SPT Tahunan?
Bersyukur, pemerintah pusat tidak terlarut dalam pandemi. Tanggal
20 Maret 2020, terbitlah peraturan pemerintah melalui Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-156/PJ/2020 tentang Kebijakan
Perpajakan Sehubungan dengan Penyebaran Wabah Virus Covid-19.
Dalam Keputusan Dirjen Pajak tersebut, beberapa hal yang
diatur di antaranya adalah mengenai batas waktu pelaporan SPT
Tahunan WP orang pribadi (OP), yaitu yang semula 31 Maret 2020
menjadi 30 April 2020. Memang tidak secara eksplisit disebutkan
bahwa batas waktu pelaporan menjadi 30 April 2020. Akan tetapi,
disebutkan bahwa 14 Maret 2020 sampai dengan 30 April 2020
ditetapkan sebagai keadaan kahar (force majeur).
WP OP yang memenuhi kewajiban perpajakannya (SPT Tahunan
PPh OP) pada periode tersebut, tidak dikenakan sanksi administrasi.
Ini berarti bahwa WP OP diperkenankan untuk menyampaikan
SPT Tahunan sampai dengan 30 April 2020 tanpa khawatir dikenai
sanksi administrasi.
Penulis sebagai petugas pajak pun merasa lega, WP diberikan
tenggat waktu lebih banyak untuk memenuhi kewajiban perpajakannya.
Lepas satu kekhawatiran perihal SPT Tahunan WP OP, namun
bagaimana dengan WP badan? Dalam kondisi pandemi seperti ini,
apakah diberikan keringanan juga?
Ternyata, hal ini pun sudah dipikirkan oleh para pimpinan kita.
Terbitlah Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-06/PJ/2020.
Peraturan ini berisikan tata cara penyampaian, penerimaan, dan
pengolahan surat pemberitahuann pajak penghasilan tahun pajak 2019
PAJAK DAN PANDEMI { 57

sehubungan dengan pandemi Covid-19. Penyampaian SPT Tahunan,


baik WP OP ataupun badan diatur lebih jelas lewat peraturan ini.
Khusus untuk SPT Tahunan WP badan, diberikan kemudahan,
yaitu WP dapat menyampaikan SPT Tahunan dengan penyederhanaan
kelengkapan dokumen yang harus dilampirkan. Namun, batas
waktu penyampaian SPT tetap 30 April 2020. Sementara, dokumen
kelengkapannya dapat disampaikan selambat-lambatnya pada bulan
Juni 2020. Selain itu, WP badan tetap dipersilakan apabila hendak
melakukan penundaan penyampaian SPT Tahunan melalui prosedur
perpanjangan (formulir SPT Y).
Melalui kebijakan ini, Pemerintah sedang melaksanakan
perannya sebagai pengayom rakyat. Kewenangan dikeluarkan
dengan pendekatan yang humanis tanpa mengabaikan kondisi WP.
Adanya pandemi ini selayaknya menjadi pelajaran bagi kita
semua. Walaupun, sudah barang tentu para pemimpin bangsa ini akan
selalu mencarikan solusi terbaik apabila masyarakat menghadapi
kondisi kahar, seperti saat ini.
Dari sisi petugas pajak seperti saya, ini merupakan sebuah
sentilan untuk senantiasa menuntaskan pekerjaan. Jangan sampai
pekerjaan dibiarkan bertumpuk-tumpuk sehingga ketika terjadi
kondisi kahar, kita tidak perlu khawatir dengan gunungan pekerjaan
yang tertunda.
Dari sisi WP, ini menjadi sebuah pengingat agar tidak menunda
kewajiban perpajakan sampai batas jatuh tempo. Apabila dapat dilakukan
di awal waktu, alangkah lebih baiknya jika kewajiban perpajakan
ditunaikan di awal waktu, tanpa menunggu batas jatuh tempo.
Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi besok lusa.
Yang terpenting, tetaplah lebih elok untuk tidak menunda
tunainya kewajiban.
Bangkitkan UMKM
dengan Insentif Pajak
Dewi Damayanti

D
alam Informality Exit and Exclusion, para ahli ekonomi Bank Dunia
mengungkapkan hasil penelitian yang mereka lakukan pada
tahun 2007, bahwa meningkatnya pelaku usaha di sektor informal
telah menghambat pertumbuhan dan peningkatan kesejahteraan
sosial di Amerika Latin dan Karibia.
Tingginya pelaku usaha sektor informal tersebut dipicu oleh
beberapa faktor yaitu: pertama, terciptanya segmentasi di pasar
tenaga kerja, telah menyebabkan sulitnya pekerja meninggalkan
sektor informal guna meraih kesempatan kerja di sektor formal yang
lebih mapan karena adanya jaminan sosial dari negara.
Kedua, peraturan perizinan yang rumit menghambat perusahaan
kecil untuk meninggalkan sektor informal beralih ke sektor formal
yang lebih menjanjikan.
Ketiga, beberapa perusahaan besar ketika dihadapkan
pada masalah beban pajak yang berlebihan dan peraturan yang
menghambat, sebagian dari mereka menghadapinya dengan cara
tetap berada di sektor informal dan sebagai akibatnya, mereka
mengabaikan potensi pertumbuhan usaha dan keuntungan
skala efisiensi.
Permasalahan yang dialami oleh negara-negara berkembang
lainnya termasuk Indonesia, sebenarnya tak berbeda jauh dengan
negara-negara di Amerika Latin dan Karibia. Di Indonesia, mereka
yang berada di sektor informal sebagian besar adalah pelaku Usaha
PAJAK DAN PANDEMI { 59

Mikro Kecil Menengah (UMKM). Mereka banyak yang belum memiliki


izin usaha serta NPWP, dan legalitas usaha lainnya.
Di Indonesia, kontribusi UMKM cukup besar dalam menyerap
pasar tenaga kerja. Data dari Kementerian Koperasi dan UKM RI
menunjukkan bahwa pada tahun 2017, UMKM mampu menyerap 97%
tenaga kerja nasional, artinya hanya 3% yang diserap perusahaan
besar. Kontribusi UMKM terhadap perekonomian nasional pada
2017 mampu menyumbang 60% dari Produk Domestik Bruto atau
menghasilkan pendapatan sekitar Rp8.160 miliar dari total PDB
Indonesia sekitar Rp13.600 miliar.
Kini pandemi Covid-19 melumpuhkan sebagian besar pelaku
UMKM. Keberlangsungan UMKM memang sangat tergantung pada
daya beli masyarakat, sementara saat ini daya beli dapat dipastikan
menurun disebabkan oleh banyak masyarakat yang mengalami
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) akibat terhentinya sebagian besar
kegiatan produksi barang, jasa, dan perdagangan.
Untuk membantu pelaku UMKM agar tetap bertahan di tengah
krisis, pemerintah dapat mengambil langkah-langkah sebagai berikut:
pertama meningkatkan kemudahan berusaha. Data Ease of Doing
Business (EODB) rankings dari World Bank menunjukkan bahwa pada
tahun 2019, peringkat global Indonesia menempati posisi 73. Namun
dari 10 indikator EODB tersebut, indikator Memulai Usaha berada
pada peringkat 140 dari 190 negara.
Oleh karena itu, pemerintah baik di tingkat pusat maupun daerah
harus menerbitkan kebijakan yang memberi kemudahan berusaha
bagi masyarakat, memangkas jalur birokrasi, mempermudah
perizinan, dan mengoptimalkan pemanfaatan kanal secara daring
bagi mereka yang ingin mendaftarkan usahanya sehingga minat
pelaku UMKM untuk melegalkan usahanya akan meningkat.
60 } BUSUR

Kedua, menciptakan kesetaraan usaha antara perusahaan besar


dengan UMKM untuk berkontribusi bersama-sama menggerakkan
perekonomian dengan mempermudah akses dan memperluas
pangsa pasar UMKM, misalnya, ketika ada pengadaan barang dan
jasa, Pemerintah harus memprioritaskan para pelaku UMKM tersebut.
Ketiga, mengurangi beban UMKM dengan menyederhanakan
aturan perpajakan. Ditjen Pajak melalui Peraturan Pemerintah (PP)
Nomor 23 Tahun 2018 telah memberikan kemudahan dan keadilan
dengan mengenakan Pajak Penghasilan (PPh) Final sebesar 0,5%
bagi Wajib Pajak yang mempunyai penghasilan bruto tidak melebihi
Rp4,8 miliar dalam satu tahun pajak. Dalam hal ini, Wajib Pajak tidak
perlu membuat pembukuan yang rumit yang memerlukan biaya
besar untuk membayar jasa akuntan, cukup melakukan pencatatan
yang sederhana sehingga akan memangkas biaya operasional yang
seharusnya dikeluarkan.

Insentif Pajak
Di masa pandemi ini, insentif bagi kalangan UMKM bahkan
diatur secara khusus dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
Nomor 44/PMK.03/2020 Tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak
Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) berlaku
pada tanggal 27 April 2020, sebagaimana diubah dengan PMK nomor
86/PMK.03/2020 tanggal 16 Juli 2020, dan kemudian diubah terakhir
dengan PMK nomor 110/PMK.03/2020 tanggal 14 Agustus 2020.
Regulasi tersebut memberikan relaksasi kepada Wajib Pajak
yang memiliki Peredaran Bruto tertentu sesuai ketentuan yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 yang
seharusnya atas penghasilannya dikenakan Pajak Penghasilan (PPh)
Final sebesar 0,5% menjadi Ditanggung Pemerintah, terhitung sejak
PAJAK DAN PANDEMI { 61

Masa Pajak April 2020 sampai dengan Desember 2020. Relaksasi


pajak akan mengurangi beban yang harus ditanggung UMKM.
Insentif pajak ini hanya salah satu dari upaya pemerintah
menyelamatkan UMKM dari dampak pandemi Covid-19. Namun
demikian, Ditjen Pajak tak bisa berjuang sendirian, diperlukan
sinergi dari instansi lain yang terkait baik ditingkat pusat maupun
daerah. Kementerian Koperasi
dan UKM yang menaungi UMKM
perlu memberikan pelatihan Dengan insentif
dan pendampingan sehingga pajak dan sinergi
UMKM sanggup berkompetisi di dari berbagai sektor
pasar domestik maupun global. pada UMKM, tidak
Ke m e nte ria n Perdagangan mustahil usainya
perlu memberikan kemudahan pandemi ini akan
UMKM untuk melegalkan menjadi momentum
usahanya sehingga memudahkan bagi UMKM untuk
pemerintah untuk memberikan bangkit kembali
jaminan sosial dan perlindungan dan berkontribusi
hukum. Intinya, diperlukan sinergi lebih maksimal
dari seluruh instansi sek tor dalam perekonomian
yang terkait. Indonesia
Pelaku UMKM sendiri
harus jeli membaca peluang.
Bergesernya perilaku konsumsi masyarakat Indonesia secara daring
dalam masa pandemi ini adalah kesempatan untuk memasuki pasar
e-commerce. Berdasarkan data Statistik, tren penjualan e-commerce
di Indonesia terus meningkat, bahkan di tahun 2023 diperkirakan
akan mencapai US$16,3 miliar dari sebelumnya US$7,7 miliar pada
tahun 2017 atau tumbuh rata-rata 13% pertahun. Riset dari McKinsey
62 } BUSUR

menunjukkan potensi penambahan pengguna internet di Indonesia


sebesar 57 juta orang hingga tahun 2020.
Masih rendahnya jumlah pelaku UMKM yang memasuki pasar
digital dibandingkan yang berusaha secara tradisional selama ini bisa
jadi disebabkan oleh masih banyaknya mereka yang pengetahuannya
minim tentang seluk-beluk dunia e-commerce. Untuk itu perlu sinergi
dan pendampingan dari Kementerian Koperasi dan UKM, sharing dari
pelaku e-commerce yang lebih dahulu berkiprah, dan fasilitas dari
penyedia marketplace untuk menciptakan ekosistem yang kondusif
untuk UMKM.
Dengan insentif Pajak dan sinergi dari berbagai sektor pada
UMKM, tidak mustahil usainya pandemi ini akan menjadi momentum
bagi UMKM untuk bangkit kembali dan berkontribusi lebih maksimal
dalam perekonomian Indonesia.
Upah Minimum Statis,
Akankah Pajak Dinamis?
Annisa Dwi Putri

M
enteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah melalui Surat
Edaran Nomor M/11/HK.04/X/2020 tentang Penetapan Upah
Minimum Tahun 2021 pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019
(Covid-19) telah menetapkan bahwa tidak terdapat kenaikan upah
minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK)
pada tahun 2021. Upaya yang digalang oleh Pemerintah Pusat tersebut
dalam rangka mempertahankan keberlangsungan usaha sektor riil,
memberikan gambaran pada khalayak umum bahwa potensi sektor
riil di tahun 2021 mendatang akan cenderung statis. Namun demikian,
Menaker tetap membuka peluang kepada masing-masing pimpinan
provinsi untuk menetapkan apakah tetap ada kenaikan UMP dengan
menggunakan pertimbangan perekonomian daerah tersebut hingga
31 Oktober 2020.
Pascatenggat waktu pengumuman UMP masing-masing
provinsi telah habis, tercatat hanya 5 (lima) dari total 34 (tiga
puluh empat) provinsi di Indonesia yang memutuskan untuk tetap
menaikkan UMP pada tahun 2021 mendatang. Adapun kelima provinsi
yang memutuskan untuk tetap menaikkan UMP pada tahun 2021
mendatang adalah DKI Jakarta, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, dan
Sulawesi Tengah dengan persentase kenaikan tertinggi pada provinsi
Jawa Timur yaitu 5,65%. Berdasarkan data tersebut, jelas bahwa pada
2021, tingkat UMP dapat dikatakan cenderung statis.
64 } BUSUR

Kondisi statis pada tingkat UMP dalam aspek perpajakan,


akan berpengaruh secara langsung pada potensi multiplier effect
dari disposable income individu terdampak. Maka, tergambarkan
bahwa bila ditilik dari potensi tersebut, tahun 2021 akan cenderung
menjadi tahun yang kurang menyenangkan dalam penggalian
potensi perpajakan yang mungkin tercipta dari peningkatan daya
beli masyarakat.
Meskipun dari sisi potensi multiplier effect perputaran disposable
income jelas potensi perpajakan akan cenderung terpukul, para
fiskus sejatinya harus tetap dapat
optimis menyambut tahun 2021.
Orang pesimis Hal tersebut dilandasi oleh potensi
melihat kesulitan kembali hidupnya usaha yang telah
dalam setiap terpukul sepanjang tahun 2020
kesempatan, orang akibat pandemi. Adapun kebijakan
optimis melihat p e m e r i nt a h u ntu k ce n d e r u n g
kesempatan dalam mempertahankan tingkat UMP tahun
setiap kesulitan. 2020 di tahun 2021 mendatang,
— Winston Churchill dapat menjadi batu pijakan yang
cukup kuat bagi para industri untuk
mencoba kembali bangkit dengan
mendapatkan acuan hukum dalam menjaga stabilitas keuangan
untuk struktur biaya upah dan gaji. Dilain sisi, dari sudut pandang
tenaga kerja tingkat UMP yang cenderung statis di saat terdapat
distorsi kuat akibat pandemi juga akan cenderung memberikan
kemampuan pemberi kerja untuk menghindari kemungkinan
pemberhentian kerja.
Berdasarkan kondisi-kondisi yang telah disebutkan sebelumnya,
dapat digambarkan bahwa tahun 2021 akan cenderung menjadi
PAJAK DAN PANDEMI { 65

momen para pelaku usaha untuk kembali berlomba pada track yang
sebelumnya tanpa arah jelas akibat pandemi. Semangat yang telah
diberikan oleh pemerintah pusat untuk mendorong perekonomian
kembali bangkit, tentunya tidak akan disia-siakan oleh para pelaku
usaha dengan meningkatkan kembali kemampuan produksinya.
Implikasi dari hal tersebut jelas, bahwa tahun 2021 dapat berpotensi
menjadi tahun yang lebih baik dari segala aspek perekonomian
dan tentunya akan secara tidak langsung mendorong peningkatan
potensi perpajakan.
Oleh karena itu, menyongsong tahun 2021 para fiskus harus
tetap dalam kondisi optimis. Menjalani tahun 2021 dengan semangat
bangkit sejatinya akan menjadi gairah nasional yang mendorong
kondisi menjadi lebih baik. Meskipun UMP statis, semangat untuk
tetap optimis akan mendorong penerimaan pajak tetap dinamis. DJP
Kuat, Indonesia Maju.
Mendulang Asa
PPN PMSE
Dewi Damayanti

A
nda pernah berlangganan streaming film atau membeli buku
elektronik dari penjual luar negeri dengan harga lebih murah
dibandingkan penjual dalam negeri? Jika pernah, kini Anda tidak
akan menemukan kesempatan itu lagi.
Mengapa? Mulai 1 Juli 2020, ketika Anda membeli barang kena
pajak tidak berwujud (BKPTB) atau jasa kena pajak (JKP) secara
digital dari penjual luar negeri tidak akan luput dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) juga.
Hal ini tertuang dalam regulasi terbaru, yaitu Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) Nomor 48/PMK.03/2020. Di sana disebutkan
bahwa pemungutan PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik
(PMSE) dapat dilakukan oleh pelaku usaha luar negeri. Sebagai
konsekuensinya, pelaku usaha luar negeri yang melakukan transaksi
BKPTB atau JKP secara digital ke Indonesia harus memungut PPN
PMSE dan menyetorkannya ke pemerintah Indonesia.
Bukan rahasia lagi, selama ini pembelian BKPTB atau JKP melalui
PMSE dari pelaku usaha luar negeri tidak dipungut PPN karena
mereka bukan sebagai pemungut PPN. Konsumen dalam negeri akan
memperoleh harga lebih murah jika melakukan pembelian BKPTB
atau JKP dari pelaku usaha luar negeri. Secara naluriah konsumen
akan lebih memilih yang lebih murah, bukan?
Yang termasuk dalam BKPTB atau JKP sendiri, antara lain:
e-Book, e-Magazine, computer software, aplikasi digital, games digital,
PAJAK DAN PANDEMI { 67

multimedia, data elektronik, virtual good, virtual coin, streaming film,


web hosting, dan video conference.
Transaksi pembelian BKPTB atau JKP secara digital dapat
dilakukan pelaku usaha PMSE, baik orang pribadi atau badan,
yang terdiri dari: pedagang luar negeri, penyedia jasa luar negeri,
penyelenggara PMSE (PPMSE) luar negeri, dan penyelenggara PMSE
(PPMSE) dalam negeri. Contoh PPMSE di dalam negeri, antara lain:
Lazada, Tokopedia, dan Bukalapak. Sedangkan, di tataran luar negeri,
sebut saja Alibaba dan Amazon.
Ketika belum ada aturan mengenai pemungutan PPN PMSE bagi
pelaku usaha luar negeri, tidak terjadi level playing field (kesetaraan
usaha) antara pelaku usaha dalam negeri dengan luar negeri yang
sama-sama menjual BKPTB atau JKP secara digital. Sebagai ilustrasi,
bisa digambarkan dalam transaksi berikut ini.
Ahmad membeli buku elektronik seharga Rp1 juta kepada
Rahmat melalui internet di dalam daerah pabean. Rahmat
merupakan seorang Pengusaha Kena Pajak (PKP) sehingga ia akan
memungut PPN PMSE sebesar 10% kepada Ahmad atas transaksi
yang dilakukan tersebut. Ahmad harus membayar tagihan sebesar
Rp1.100.000,00.
Lain halnya, jika penjualan buku elektronik lewat internet tersebut
dilakukan oleh pelaku usaha luar negeri. Sebut saja Mr. Andrew, warga
negara Inggris, melakukan penjualan buku elektronik lewat internet
kepada Ahmad di Indonesia sebesar Rp1 juta. Pembayaran yang akan
dilakukan oleh Ahmad adalah sebesar Rp1 juta karena Mr. Andrew
bukan sebagai pemungut PPN PMSE.
Dengan hadirnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 48/
PMK.03/2020, Pemerintah berusaha menciptakan kesetaraan usaha
antara pelaku usaha luar negeri dengan dalam negeri. Selain itu,
68 } BUSUR

kebijakan ini juga menutup celah hilangnya potensi pajak sehingga


optimalisasi penerimaan pajak dapat tercapai.
Masih berkaitan contoh di atas, ketika Ahmad melakukan
transaksi pembelian buku elektronik secara digital kepada Rahmat
atau Mr. Andrew, dia harus membayar dengan harga yang sama yaitu
Rp1.100.000,00 karena keduanya sebagai pelaku usaha PMSE juga
ditetapkan sebagai pemungut PPN PMSE.
Lebih lanjut, batasan kriteria tertentu pelaku usaha PMSE yang
bisa ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE diatur dalam Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-12/PJ/2020. Batasannya, meliputi:
nilai transaksi dengan pembeli di Indonesia melebihi Rp600 juta
dalam satu tahun, atau Rp50 juta dalam satu bulan dan/atau jumlah
pengakses di Indonesia melebihi 12.000 dalam satu tahun atau 1.000
dalam satu bulan.
Di tahap pertama Ditjen Pajak telah menunjuk enam pelaku
usaha luar negeri sebagai Pemungut PPN PMSE. Keenamnya, yaitu:
Amazon Web Services Inc, Google Asia Pacific Pte. Ltd, Google Ireland
Ltd, Google LLC, Netflix International B.V., dan Spotify AB.
Selanjutnya, dalam Siaran Pers Nomor SP-41/2020 tanggal 8
September 2020, Ditjen Pajak kembali menunjuk dua belas pelaku
usaha sebagai pemungut PPN PMSE. Mereka adalah sebagai
berikut: Linkedln Singapore Pte. Ltd, McAfee Ireland Ltd, Microsoft
Ireland Operations Ltd, Mojang AB, Novi Digital Entertainment Pte.
Ltd, PCCW Vuclip (Singapore) Pte. Ltd, Skype Communication SARL,
Twitter Asia Pacific Pte. Ltd, Twitter International Company, dan Zoom
Video Communications, Inc. Sementara, di jajaran pelaku usaha dalam
negeri yang telah ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE, yaitu: PT
Jingdong Indonesia Pertama dan PT Shopee Internasional Indonesia.
PAJAK DAN PANDEMI { 69

Lagi, dalam Siaran Pers Nomor SP-47/2020 tanggal 17


November 2020, pelaku usaha yang ditunjuk sebagai pemungut
PPN PMSE bertambah sepuluh, yaitu: Cleverbrigde AG Corporation,
Hawlett-Packard Enterprise USA, Softlayer Dutch Holdings B.V. (IBM),
PT Bukalapak.com, PT Ecart Webportal Indonesia (Lazada), PT
Fashion Eservices Indonesia (Zalora), PT Tokopedia, PT Global Digital
Niaga (Blibli.com), Valve Corporation (Steam), dan beIN Sport Asia
Pte Limited.
Seluruh pemungut PPN PMSE tersebut terdaftar di KPP Badan
dan Orang Asing (Badora). Dengan begitu, KPP Badora memiliki
privilege untuk mengampu dan mendorong keberadaan pemungut
PPN PMSE agar mampu berkontribusi secara maksimal untuk
negara. Di sisi lain, KPP Badora juga harus memberikan bimbingan
terkait kewajiban yang harus dilakukan pemungut PPN PMSE yang
telah ditunjuk.

Kewajiban Pemungut PPN PMSE


Bagi pelaku usaha yang telah ditetapkan sebagai pemungut
PPN PMSE, ada beberapa kewajiban yang harus dilakukan. Pertama,
memungut PPN PMSE sebesar 10% dikalikan dengan dasar pengenaan
pajak (DPP), yaitu nilai berupa uang yang dibayar pembeli, tidak
termasuk PPN yang dipungut.
Untuk transaksi oleh penjual yang ditunjuk sebagai pemungut
PPN PMSE secara langsung kepada pembeli, PPN yang terutang
wajib dipungut, disetorkan, dan dilaporkan oleh penjual. Sedangkan,
transaksi yang dilakukan oleh penjual melalui PPMSE, PPN yang
terutang wajib dipungut, disetorkan, dan dilaporkan oleh penjual
atau PPMSE yang ditunjuk sebagai pemungut PPN PMSE dengan
70 } BUSUR

menerbitkan commercial invoice, billing, order receipt, atau


dokumen sejenis.
Kedua, pemungut PPN PMSE wajib menyetorkan PPN yang
dipungut untuk setiap masa pajak paling lama diterima oleh bank/
pos persepsi atau lembaga persepsi lainnya pada akhir bulan
berikutnya setelah masa pajak berakhir. Penyetoran ini dilakukan
dengan menggunakan mata uang Rupiah, Dolar Amerika Serikat,
atau mata uang asing lainnya yang ditetapkan oleh Ditjen Pajak.
Ketiga, wajib melaporkan PPN yang dipungut dan telah disetor
secara triwulanan untuk periode 3 (tiga) masa pajak, paling lama akhir
bulan berikutnya setelah periode triwulan berakhir. Periode triwulan
terdiri dari: Januari s.d. Maret, April s.d. Juni, Juli s.d. September, dan
Oktober s.d. Desember. Laporan triwulanan paling sedikit memuat:
jumlah pembeli, jumlah pembayaran (nilai transaksi tidak termasuk
PPN), jumlah PPN yang dipungut, dan jumlah PPN yang disetor untuk
setiap masa pajak.
Apabila setelah laporan triwulan yang dilaporkan diketahui
terdapat kekurangan PPN atau kelebihan PPN, Pemungut PPN
PMSE wajib melakukan pembetulan laporan triwulan yang
bersangkutan. Laporan triwulanan diperlakukan sebagai SPT Masa
PPN PMSE. Apabila diminta Ditjen Pajak, Pemungut PPN PMSE wajib
menyampaikan laporan rincian transaksi PPN yang dipungut untuk
setiap periode satu tahun kalender.
PMK Nomor 48/PMK.03/2020 menambah optimistis Pemerintah
dalam mencapai target penerimaan pajak. Sejak ditetapkannya
pemungut PPN PMSE terhadap enam pelaku usaha di gelombang
pertama, Ditjen Pajak telah mencatat terjadi penambahan setoran
penerimaan pajak dari pemungutan PPN PMSE sebesar Rp. 97 miliar.
PAJAK DAN PANDEMI { 71

Tambahan penerimaan tersebut tercatat masuk ke kas negara pada


periode September 2020.
Terbitnya kepastian hukum telah mendatangkan iklim positif
terhadap perpajakan kita. Tak berlebihan jika kita menaruh harapan
pada kontribusi pemungut PPN PMSE tersebut akan mampu
mendongkrak penenerimaan pajak di masa yang akan datang.
}
MENGGALI
PELUANG


Tindakan jauh
lebih penting
daripada
kata-kata.”
—Bung Hatta,
Wakil Presiden RI
Pertama
Memaknai Regulasi
Bea Meterai
Didik Yandiawan

K
ementerian Keuangan telah menerbitkan peraturan pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai
(UU BM). Isinya tentang pembayaran bea meterai, ciri umum dan ciri
khusus meterai tempel, meterai dalam bentuk lain, dan penentuan
keabsahan meterai, serta pemeteraian kemudian. Melalui Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 4/PMK.03/2021 inilah, tahun ini dimulailah
babak baru pemungutan bea meterai Indonesia. Sebagai bagian dari
amanat UU BM, Kementerian Keuangan memperkenalkan wujud
baru meterai tempel. Warnanya merah muda dengan tarif tunggal
senilai Rp10.000,00. Meterai ini resmi menggantikan meterai desain
tahun 2014.
Dengan sejumlah ciri umum dan khususnya, meterai tempel
terbaru mengusung tema ornamen nusantara. Ini mewakili
kebanggaan atas kekayaan yang dimiliki Indonesia dan semangat
nasionalisme. Ada beberapa ciri umum meterai tempel terbaru
dengan efek raba ini. Pertama, tampilan gambar lambang negara
Garuda Pancasila. Kedua, angka “10000” dan tulisan “SEPULUH RIBU
RUPIAH” yang menunjukkan tarif bea meterai. Ketiga, teks mikro
modulasi “INDONESIA”, blok ornamen khas Indonesia. Terakhir, tulisan
“TGL. 20 “.
Sedangkan, ciri khususnya bisa dikenali seperti ini. Meterai
tempel ini berbentuk persegi empat dengan warna dominan merah
muda berperekat di sisi belakang. Serat berwarna merah dan kuning
76 } BUSUR

tampak pada kertas beserta efek perubahan warna dari magenta


menjadi hijau pada blok ornamen khas Indonesia.
Ciri khusus lainnya, yaitu: garis hologram pengaman berbentuk
persegi panjang yang memuat gambar lambang negara Garuda
Pancasila, bintang, dan raster berupa logo Kementerian Keuangan,
serta tulisan “djp”. Pada bagian bawahnya, terdapat 17 digit nomor
seri. Sebagian cetakan berpendar kuning di bawah sinar ultraviolet.
Selain itu, terdapat perforasi berbentuk bintang pada bagian tengah
di sebelah kanan, bentuk oval di sisi kanan dan kiri, serta bentuk
bulat pada setiap sisinya.

Bea Meterai Indonesia Murah dan Sederhana


UU BM telah menggantikan UU Nomor 13 Tahun 1985 tentang
Bea Meterai yang telah eksis selama 35 tahun lamanya. Kendati objek
dan saat terutang bea meterai tidak mengalami perubahan signifikan,
UU BM kali ini memperkenalkan tarif tunggal. Sebelumnya, Indonesia
mengenal dua jenis tarif bea meterai, yaitu: Rp3.000,00 dan Rp6.000,00.
Kebijakan tarif tunggal ini diambil Pemerintah setelah
mempertimbangkan berbagai dinamika ekonomi, hukum, sosial,
teknologi informasi, dan kebutuhan tata kelola bea meterai yang
berkeadilan. Penyesuaian tarif tersebut diikuti dengan kenaikan batas
nilai dokumen yang dikenai tarif bea meterai. Sekarang dokumen
yang memuat nilai nominal di bawah Rp5 juta tidak lagi dikenai bea
meterai. Adapun dokumen tertentu yang bersifat perdata, dokumen
lelang, maupun dokumen yang menjadi alat bukti pengadilan tetap
terutang bea meterai.
Tarif bea meterai Indonesia terbilang murah dan sederhana.
Berbicara soal murah, beberapa negara menerapkan bea meterai
dengan tarif yang relatif tinggi. Misalnya: Singapura, Australia, dan
MENGGALI PELUANG { 77

Korea Selatan. Bahkan, Korea Selatan menerapkan tarif bea meterai


berkisar antara 100.000 hingga 350.000 won, atau senilai maksimal
Rp4,5 juta. Sementara itu, kesederhanaan struktur tarif bea meterai
Indonesia tercermin melalui penerapan tarif tunggalnya. Satu
dokumen terutang bea meterai hanya terutang senilai Rp10.000,00.
Selain tata cara pembayaran dengan menggunakan
meterai tempel, PMK Nomor 4/PMK.03/2021 ini juga mengatur
izin penggunaan dan pembayaran meterai dalam bentuk lain.
Bentuk lain meterai, meliputi: meterai teraan, komputerisasi, dan
percetakan. Beleid ini juga mengatur perihal keabsahan meterai
dan pemeteraian kemudian.
Bukan itu saja, dalam ketentuan peralihan, masyarakat
diperkenankan membubuhkan meterai pada dokumen dengan
kombinasi meterai tempel senilai Rp3.000,00 dan/atau Rp6.000,00
dengan nilai meterai minimal sebesar Rp9.000,00. Meterai tempel
edisi lama ini harus segera digunakan sampai dengan 31 Desember
2021 karena meterai tersebut tidak dapat ditukarkan dengan uang
dan dalam bentuk apapun.

Agar Isu Lama Tak Bersemi Kembali


Menjaring kepatuhan pemungutan bea meterai memang bukan
hal mudah. Terlebih lagi, dalam beberapa tahun terakhir terdapat dua
permasalahan yang dihadapi pemerintah. Pertama, kerugian negara
yang diakibatkan pemalsuan meterai tempel. Kedua, kepatuhan
masyarakat dalam disiplin melaksanakan ketentuan UU BM.
Kasus pemalsuan meterai tempel pernah terjadi pada tahun
2019. Polda Metro Jaya berhasil meringkus pemalsu meterai tempel
yang merugikan negara hingga Rp30 miliar. Namun demikian, harus
diakui bahwa peredaran meterai palsu masih sulit dibasmi. Agar
78 } BUSUR

tak terjerat, masyarakat pengguna diimbau untuk meneliti kualitas


meterai. Masyarakat harus memastikan meterai yang mereka gunakan
merupakan meterai asli, bukan palsu maupun rekondisi.
Caranya, masyarakat dapat memperoleh meterai tempel melalui
Kantor PT Pos Indonesia (kantor pos). Kantor pos juga menyediakan
layanan pembelian meterai tempel secara daring melalui laman
www.meterai.posindonesia.co.id di masa pemberlakuan pembatasan
kegiatan masyarakat (PPKM) ini.
Sanksi pidana juga diatur dalam UU BM ini. Ancamannya
penjara paling lama tujuh tahun dan denda paling banyak Rp500 juta.
Tujuannya agar menimbulkan efek jera bagi pelakunya. Setiap orang
yang memakai, menjual, menawarkan, menyerahkan, dan mempunyai
persediaan meterai palsu untuk dijual juga bisa dikenakan sanksi
pidana. Tak hanya itu, ancaman pidana juga menanti bagi setiap
orang yang menghilangkan tanda yang berguna untuk menunjukkan
suatu meterai tidak dapat dipakai lagi.
Lalu, bagaimana upaya peningkatan kepatuhan dan kedisiplinan
masyarakat dalam pengenaan bea meterai, baik perorangan maupun
badan? Pemerintah melalui DJP dapat meningkatkan edukasi
masyarakat melalui imbauan untuk membubuhkan meterai dalam
setiap peristiwa maupun objek yang terutang bea meterai.
Kerja sama dengan pihak ketiga dalam berbagai bentuk juga
diperlukan. Khususnya, dalam menjaring potensi bea meterai melalui
pemeteraian digital juga diupayakan agar potensi penerimaan negara
dari bea meterai dapat terjaring dengan efektif dan masif. Tuntutan
zaman berupa transaksi dan transmisi dokumen digital memastikan
DJP turut ambil bagian dalam memasyarakatkan penerapan UU
BM ini.
Mengoyak
Ketimpangan Pajak
Johana Lanjar Wibowo

T
arget penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) 2021 sebesar Rp1.229,6 triliun. Angka
ini tumbuh 2,56 persen dari target 2020 (Rp1.198,8 triliun). Sementara
itu, realisasi sementara penerimaan pajak 2020 tercatat sebesar
Rp1.070,0 triliun. Capaian ini mengalami shortfall Rp128,8 triliun atau
10,7 persen lebih rendah. Dengan kata lain, target penerimaan pajak
2021 tumbuh 14,91 persen dibandingkan realisasi sementara 2020.
Struktur target penerimaan pajak 2021 masih didominasi oleh
Pajak Penghasilan (PPh) Badan. PPh Pasal 25/29 Badan ditargetkan
sebesar Rp215,085 triliun. Sektor orang pribadi (OP), yang meliputi
PPh Pasal 21 dan PPh 25/29 OP, hanya sebesar Rp144,683 triliun.
Hal ini menimbulkan kerentanan terhadap penerimaan pajak
karena berkorelasi langsung pada sektor tertentu. Lalu, bagaimana
menjawab ketimpangan pajak itu?
Untuk menjawab pertanyaan itu, diperlukan strategi Direktorat
Jenderal (Ditjen) Pajak dalam penggalian potensi pajak pada orang
pribadi. Muaranya adalah peningkatan kepatuhan wajib pajak orang
pribadi. Ditjen Pajak mencatat rasio penyampaian SPT Tahunan PPh
pada tahun 2019 oleh wajib pajak (WP) orang pribadi (OP) karyawan
sebesar 73,23 persen, sedangkan OP non karyawan sebesar 61,66
persen. Angka ini justru turun dari tahun sebelumnya (2018), yaitu
rasio penyampaian SPT Tahunan PPh oleh WP OP karyawan sebesar
71,83%, OP non karyawan 74,28%.
80 } BUSUR

Rasio ini barulah kepatuhan formal dalam penyampaian SPT


Tahunan. Kepatuhan formal ini perlu diikuti dengan kepatuhan
material dalam pembayaran pajak.

Integrasi Data
Ditjen Pajak telah menghimpun data dan/atau informasi yang
berkaitan dengan perpajakan dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi,
dan pihak lain (ILAP). Hal ini tertuang dalam PP Nomor 31 Tahun 2012. Data
dan informasi tersebut berkaitan dengan: kekayaan atau harta, utang,
penghasilan yang diperoleh atau diterima, biaya yang dikeluarkan dan/
atau yang menjadi beban, transaksi keuangan, dan kegiatan ekonomi.
Hal ini diatur lebih lanjut melalui PMK Nomor 228/PMK.03/2017.
Keseluruhannya sebanyak 68 ILAP yang wajib menyampaikan data dan
informasi perpajakan. Selain itu, data dan/atau informasi perpajakan dapat
berasal dari implementasi Automatic Exchange of Information (AeoI) dan
akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Pengaturannya
dalam peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) Nomor
1 tahun sebagaimana telah ditetapkan menjadi UU Nomor 9 tahun 2017.
Sejalan dengan itu, integrasi data melalui Nomor Induk Kependudukan
(NIK) sebagai identitas tunggal harus segera diimplementasikan. Integrasi
data antara SPT dan LHKPN, misalnya. Usulan itu disampaikan oleh Wakil
Ketua KPK Alexander Marwata, “Mengintegrasikan LHKPN dengan SPT
sehingga data harta yang di SPT itu mengambil dari laporan LHKPN, itu
yang kita harapkan.” (Media Indonesia, 2019).
Bukan tanpa sebab, isian keduanya relatif sama. SPT berisikan
laporan penghitungan dan pembayaran pajak, penghasilan yang
termasuk objek pajak maupun bukan objek pajak, serta harta dan
kewajiban. Sedangkan LHKPN terdiri atas laporan seluruh penghasilan,
pengeluaran, harta, dan kewajiban bagi penyelenggara negara.
MENGGALI PELUANG { 81

Komisi Pemberantasan Korupsi mencatat, ada 364.390 wajib lapor


LHKPN tahun 2019. Selama ini, penyelenggara negara melaporkan
harta kekayaannya dalam formulir LHKPN. Ketika melaporkan SPT
Tahunan, mereka sebagai wajib pajak harus melaporkan kembali
hartanya ke dalam SPT. Oleh karena itu, diperlukan integrasi data
antara SPT dan LHKPN.
Integrasi data tersebut tidak hanya
data yang berasal dari LHKPN. Seluruh
data dan/atau informasi perpajakan Integrasi data
yang telah dihimpun oleh Ditjen Pajak menjadi bagian dari
dapat terintegrasi dengan pengisian penguatan fungsi
SPT. Isian penghasilan, harta, dan pelayanan (tax
kewajiban dalam SPT dapat otomatis service). Muaranya,
terisi bersumber pada data dan/ mendorong
informasi tersebut. Selanjutnya, wajib terciptanya
pajak mengkonfirmasi atau menyetujui kepatuhan wajib
atas kebenaran isian tersebut. pajak secara
Integrasi data lewat NIK menjadi sukarela
strategi yang diupayakan oleh
Ditjen Pajak. Pertama, penggunaan
NIK dalam pengisian identitas pembeli pada faktur pajak, dalam
hal pembeli belum memiliki NPWP. Kedua, NIK digunakan sebagai
identitas atas pemotongan pajak penghasilan pemotongan di bukti
potong pajak, dalam hal pihak yang dipotong belum memiliki NPWP.
Wacana ini harus segera diimplementasikan. Integrasi data
menjadi bagian dari penguatan fungsi pelayanan (tax service). Muaranya,
mendorong terciptanya kepatuhan wajib pajak secara sukarela. Selain
itu, dalam rangka perluasan basis data perpajakan, sehingga Ditjen
Pajak dapat menggali potensi dari pengawasan transaksi tersebut.
Pemanfaatan Data Uang Elektronik
untuk Perpajakan
Qadri Fidienil Haq

S
ejak beberapa tahun terakhir, penggunaan transaksi non tunai
melalui uang elektronik berkembang pesat. Berdasarkan data
yang dirilis oleh Bank Indonesia, pada tahun 2019, penggunaan uang
elektronik mencapai 5,2 miliar transaksi meningkat jauh dibanding
tahun 2016, yang hanya sebanyak 683 juta.
Dalam kondisi pandemi Covid-19, jumlah uang elektronik yang
beredar di Indonesia tetap meningkat signifikan setiap bulannya.
Pada bulan Juli 2020, jumlah uang elektronik beredar mencapai 359
juta instrumen. Pada akhir tahun 2019 jumlah uang elektronik yang
beredar sebanyak 292 juta instrumen. Sedangkan, pada akhir tahun
2016 hanya sebanyak 51 juta instrumen.
Salah satu alasan peningkatan jumlah uang elektronik beredar
adalah tingkat penerimaan teknologi informasi (Neda, 2014). Di
Indonesia, inklusivitas teknologi uang elektronik ini semakin luas
seiring dengan kampanye masif dari penerbit uang elektronik.
Berbagai keuntungan seperti diskon, cashback, dan loyalty point yang
diberikan penerbit uang elektronik kepada konsumen pengguna turut
meningkatkan penggunaan uang elektronik.
Tidak hanya di Indonesia, penggunaan uang elektronik juga
populer di berbagai negara lain. Pada tahun 2019, jumlah transaksi
menggunakan uang elektronik di Cina telah mencapai 90% dari
seluruh transaksi pembayaran, merupakan yang terbanyak di dunia
(Klein, 2020). Pemerintah Jepang juga telah mendorong penggunaan
MENGGALI PELUANG { 83

uang elektronik dengan mengembalikan (refund) pajak penjualan


atas pembayaran dengan menggunakan uang elektronik. Di Amerika
Serikat, penggunaan uang elektronik juga semakin populer sejak
beberapa perusahaan raksasa di Amerika seperti Apple dan Paypal
memperkenalkan uang elektronik.
Dibanding uang fisik, penggunaan uang elektronik jauh lebih
mudah dipantau. Teknologi informasi
yang digunakan uang elek tronik
memudahkan penyimpanan data Dalam konteks
transaksinya. Data transaksi ini dapat perpajakan,
berupa identitas pengirim uang, penggunaan
penerima uang, nilai transaksi, dan uang elektronik
waktu terjadinya transaksi yang dapat ini memberikan
digunakan untuk berbagai kepentingan. keuntungan ke
pemerintah dalam
Pemanfaatan Data Perpajakan pengawasan
Dal am kontek s perpajakan, kepatuhan Wajib
penggunaan uang elek tronik Pajak.
ini memberikan keuntungan ke
p e m e rint ah dal am p e ngawa s an
kepatuhan Wajib Pajak. Menurut Immordino dan Russo (2020),
penggunaan pembayaran non-tunai dapat mencegah penggelapan
pajak. Pemerintah dapat mengumpulkan data terkait penggunaan
uang elektronik atas penjualan suatu Wajib Pajak. Data ini dapat
dikombinasikan dengan data pembayaran non tunai lainnya yang
digunakan Wajib Pajak. Dengan demikian, peredaran usaha Wajib
Pajak dapat diketahui dengan lebih akurat.
Jumlah peredaran usaha ini dapat menjadi dasar informasi
bagi pemerintah untuk melakukan imbauan atau penegakan hukum
84 } BUSUR

kepada Wajib Pajak agar melaksanakan kewajiban perpajakan dengan


benar. Wajib Pajak dapat diberikan NPWP atau dikukuhkan sebagai
PKP secara jabatan jika telah memenuhi ketentuan batasan PKP
namun belum melaksanakan kewajibannya. Peredaran usaha ini juga
dapat menjadi salah satu bukti dalam pemeriksaan pajak apabila
Wajib Pajak tidak melaporkan kegiatan usahanya dengan benar.
Selain itu, penggunaan uang elektronik pada sektor UMKM
juga dapat menjadi salah satu solusi bagi pemerintah untuk dapat
mengetahui shadow economy, dimana ekonomi tidak dapat ditangkap
oleh perpajakan. Uang fisik adalah salah satu faktor yang berpengaruh
dalam shadow economy dan penghindaran pajak. Jika ada tidak uang
fisik, shadow economy dapat menurun 15-20% (Schneider, 2019).
Selama ini banyak transaksi pada UMKM yang menggunakan
uang fisik sehingga sulit dideteksi. Padahal, berdasarkan data
Kementerian Koperasi dan UKM, kontribusi UMKM terhadap
Produk Domestik Bruto pada tahun 2019 mencapai 60% dari PDB.
Transaksi dengan pembayaran menggunakan uang fisik ini sulit
diawasi oleh pemerintah karena sulitnya mendapatkan data yang
akurat. Sebaliknya, uang elektronik dapat menyediakan data atas
transaksi dengan mudah dan dapat diandalkan oleh pemerintah untuk
mengetahui aktivitas ekonomi yang terjadi.
Pemerintah harus menangkap peluang peningkatan penggunaan
uang elektronik ini untuk kepentingan perpajakan dengan
mempersiapkan setidaknya dua landasan. Pertama, pemerintah harus
menyempurnakan regulasi terkait akses informasi keuangan. Saat ini,
regulasi tersebut diatur berdasarkan PERPU Nomor 1 Tahun 2017 yang
disahkan berdasarkan UU Nomor 9 Tahun 2017 dan Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 70/PMK.03/2017 sebagaimana diubah terakhir
dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 19/PMK.03/2018.
MENGGALI PELUANG { 85

Dalam peraturan Menteri Keuangan tersebut, objek akses


informasi keuangan adalah lembaga jasa keuangan. Sedangkan,
uang elektronik saat ini menjadi ranah pengawasan Bank Indonesia
berdasarkan UU Bank Indonesia dan Peraturan Bank Indonesia Nomor
20/6/PBI/2018. Karena itu, regulasi tersebut harus disempurnakan
agar Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mempunyai landasan hukum
yang jelas dan kuat untuk mengakses data uang elektronik yang
diawasi Bank Indonesia.
Kedua, pemerintah, Bank Indonesia, dan penerbit uang
elektronik perlu memiliki landasan pemahaman yang sama dalam
pemanfaatan data uang elektronik untuk kepentingan perpajakan.
Dengan pemahaman yang sama, sinergi ketiganya dapat terlaksana
dan memudahkan tatanan operasional. Sosialisasi kepada berbagai
pihak dapat dilakukan dalam rangka memberi landasan pemahaman
atas pentingnya data uang elektronik untuk kepentingan penerimaan
negara. Di samping itu, pemerintah wajib memberikan jaminan penuh
bahwa seluruh data uang elektronik yang digunakan pemerintah
tersebut terjaga kerahasiaannya dari pihak yang tidak berkepentingan.

Pengembangan Teknologi Informasi


Pemanfaatan data uang elektronik tentunya membutuhkan
dukungan infrastruktur teknologi informasi yang memadai. Pemerintah
perlu mengembangkan infrastruktur teknologi informasinya untuk
dapat mengolah data uang elektronik. Infrastruktur ini juga dapat
digunakan untuk mengolah berbagai data eksternal yang dikumpulkan
oleh DJP dari berbagai macam pihak dengan mengintegrasikan data
uang elektronik untuk membentuk database yang andal.
Pemerintah juga perlu membangun suatu sistem akses
informasi secara online atas data uang elektronik. Akses secara
86 } BUSUR

online akan memudahkan perusahaan penerbit uang elektronik


untuk memberikan data yang terstruktur dalam jumlah sangat besar
dengan cepat. Saat ini, sebagian besar akses informasi keuangan
masih menggunakan cara manual sehingga membuat pemberian
data oleh lembaga keuangan kurang efektif dan efisien.
Pengembangan teknologi informasi dapat membantu analisis
atas data uang elektronik yang cepat dan akurat sehingga akan
mendukung pengawasan dan pendeteksian ketidakpatuhan Wajib
Pajak terhadap aturan perpajakan dalam waktu singkat.
Dengan pemanfaatan data uang elektronik untuk perpajakan,
pengawasan yang dilakukan pemerintah dapat mendorong
peningkatan kepatuhan Wajib Pajak. Dampak akhirnya penerimaan
pajak dapat bertambah seiring dengan meluasnya basis pajak.
Potensi
Versus Interpretasi
Bambang Tejomurti

P
ajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) memiliki
fungsi menegakkan prinsip pemerataan atau equality, yakni
mempersempit jarak antara si kaya dan si miskin. Sistem demokrasi
yang kita anut tidak melulu menomorsatukan para pemegang modal
karena pada dasarnya Pancasila dalam salah satu silanya masyarakat
dalam praktik berbangsa harus me-”rakyat”. Tentu, perbedaan tarif
telah diukur secara matang tergantung objek pajak. Namun, hal ini
tidak dapat dipungkuri akhirnya juga melihat siapa subjek pajaknya.
PPnBM tidak dapat dikreditkan dan hanya dikenakan satu kali,
baik pada saat impor maupun hasil dari pabrikan domestik. Hal ini
berbeda dengan PPN yang hanya memiliki satu macam tarif, yakni
10 persen. PPnBM saat ini meliputi seluruh jenis barang yang bersifat
dan berkarakter mewah. Kemewahan tidak hanya dipengaruhi oleh
harga, tetapi juga kemampuan barang tersebut menaikkan harkat
dan martabat pemiliknya. Keadaan yang mana merupakan gaya
hidup atau style, bertambahnya kepercayaan diri, dan value, turut
memengaruhi apakah suatu barang dapat dikelompokkan dalam
jenis “mewah” atau tidak.
PPnBM dikenakan sejak diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai. PPnBM
merupakan pengenaan pajak tambahan di samping pengenaan
PPN terhadap suatu barang tertentu yang tergolong mewah. PPnBM
dikenakan atas penyerahan suatu barang di dalam negeri sebesar
88 } BUSUR

tarif tertentu atas harga jual barang tersebut atau yang disebut dasar
pengenaan pajak.
Sebagai pelaksanaannya, dikeluarkan Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 22 Tahun 1985. Selanjutnya, mobil digolongkan sebagai
barang mewah yang dikenakan tarif sebesar 10% untuk jenis kombi
dan minibus, serta 20% untuk sedan, jeep, station wagon, mobil balap,
dan van. Angkutan barang atau angkutan umum dikecualikan dari
pengenaan PPnBM. Pengenaan PPnBM diberlakukan merata tanpa
membedakan harga ataupun kapasitas mesin kendaraan.
Kondisi pasar mobil sangat potensial bagi penerimaan pajak
dan varian dari produk mobil sangat beragam. Alasan inilah yang
melatarbelakangi terbitnya peraturan yang khusus mengenai
pengenaan PPnBM serta tarifnya atas produk otomotif. Melalui
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 267/KMK.01/1988, PPnBM
atas otomotif mulai menggunakan tarif tersendiri. Peraturan itu
terus-menerus disesuaikan mengikuti perkembangan industri
kendaraan.
Tercatat setidaknya sudah 11 kali peraturan pelaksanaan dari
UU PPN tersebut dalam bentuk Keputusan Menteri Keuangan (KMK)
mengalami perubahan maupun revisi. Peraturan terakhirnya yang
masih berlaku adalah KMK Nomor 355/KMK.04/2003 tentang Jenis
Kendaraan Bermotor yang Dikenakan PPnBM.
Dalam KMK tersebut, seperti saat ini, pengenaan PPnBM
dilakukan secara progresif dengan dua dasar pembedaan, yaitu
kapasitas mesin dan model/tipe. Semakin besar kapasitas mesin
suatu mobil, maka mobil tersebut dianggap semakin mewah. Lalu,
berdasarkan tipe/modelnya, sedan atau station wagon dianggap
lebih mewah dibanding tipe lainnya. Ini tercermin dari besarnya tarif
yang dikenakan.
MENGGALI PELUANG { 89

Pengaturan pengenaan PPnBM atas mobil ini, baik secara


kapasitas mesin maupun tipe, merupakan suatu upaya pengamanan
penerimaan pajak. Pengaturan tersebut juga merupakan cerminan dari
penerapan fungsi regular dari pajak itu sendiri. Secara tidak langsung,
pajak memberikan regulasi di pasar mobil yang menyebabkan pasar
mobil tersegmentasi secara alami berdasarkan besarnya tarif PPnBM.
Kondisi ini menciptakan suatu struktur persaingan yang khas di
pasar mobil.

Permasalahan
Sejalan dengan berkembangnya inovasi, terutama dalam bidang
desain, saat ini mulai terjadi suatu “kebingungan” di kalangan industri
berkaitan dengan perkembangan inovasi tipe mobil. Salah satunya
disebabkan karena kekurangjelasan secara hukum mengenai definisi
dari tipe/model suatu mobil. Sampai saat ini, masih belum ada definisi
yang tegas mengenai tipe mobil station wagon. Meskipun, secara
awam hal ini bukanlah suatu hal yang sulit untuk menyebutkan bahwa
mobil ”Yaris” merupakan mobil dengan tipe “station wagon,” misalnya.
Saat ini beberapa pabrikan mengeluarkan ”sedan hatchback”
yang dipersamakan sebagai minibus seperti yang tertera di STNK.
Akan tetapi, permasalahan tersebut masih bisa ditoleransi dan
bisa diterima masyarakat industri mobil. Mereka sudah memiliki
suatu pengklasifikasian tersendiri. Secara gentlement aggreement,
di kalangan pelaku industri mobil telah ada “definisi” mengenai
sedan dan minibus. Sedan merupakan kendaraan 3 kabin (mesin,
penumpang, dan bagasi), sedangkan minibus/MPV memiliki 2 kabin
(mesin dan penumpang).
Namun, di mana definisi dari station wagon? Toyota Yaris
atau kompetitornya Honda Jazz, Suzuki Swift, dan sejenisnya
90 } BUSUR

dikomersialkan sebagai hatchback bukan minibus, karena penggunaan


istilah ini sangat berpengaruh terhadap positioning produk tersebut
di pasar. Ikon groovy dan jazzy disesuaikan dengan gaya hidup yang
berjiwa muda, sehingga apakah masih dapat diterima bahwa memiliki
kendaraan tersebut “orang biasa”?. Perlu diketahui di Eropa kendaraan
jenis “hatchback” baru muncul sekitar tahun 1970-an, jenis kendaraan
tersebut sebelumnya dikenal sebagai “small station wagon”.
Namun saat ini muncul permasalahan yang cukup ”mengganggu”,
kala suatu pabrikan mobil merilis suatu model yang secara awam
berbentuk ”station wagon” namun diklaim sebagai mobil minibus
(secara pajak). Ini dikarenakan jendela belakang berteknologi liftback
seperti yang ada pada mobil minibus lain. Para pelaku industri yang
lain beranggapan bahwa tindakan ini merupakan suatu jenis cheating
untuk merebut pasar. Karena telah melenceng dari gentlement
aggreement yang ada.
Akibat dari tindakan ini, tipe mobil tersebut dapat dipasarkan
dengan harga yang lebih murah dikarenakan hanya dikenakan tarif
10% (lainnya/minibus) dibandingkan jika dia digolongkan sebagai
station wagon yang akan dikenakan tarif 30%. Secara ekonomi, ini
tentu memberikan keuntungan bagi masyarakat konsumen untuk
mendapatkan mobil dengan harga yang lebih murah. Namun jika
dilihat secara fiskal, sudah jelas ada potensi penerimaan PPnBM
per unit yang hilang. Bahkan efek jangka panjangnya akan memberi
yurisprudensi bagi para pelaku industri lain untuk berperilaku yang
sama. Ini berarti secara fiskal akan timbul lagi suatu potential loss.
Permasalahan semakin ruwet jika kita runut lagi bahwa
penentuan golongan suatu mobil bukan hanya menyangkut
kewenangan Departemen Keuangan (DJP) dalam hal fiskal, namun
juga terkait dengan kewenangan dari Departemen Perindustrian
MENGGALI PELUANG { 91

dalam hal teknis dan uji tipe. Sehingga memerlukan koordinasi yang
memadai antar lembaga.
Namun dalam praktiknya terkesan kementerian yang
bertanggung jawab dalam penggolongan jenis kendaraan (Departemen
Perindustrian/Deperin) diketahui tidak konsisten atau terkesan
menghindari penggunaan definisi station wagon, meskipun mengakui
bahwa sedan dan station wagon memiliki ciri yang berbeda. Padahal
Ditjen Bea Cukai yang berwenang dalam hal importasi kendaraan,
tergantung dari penetapan jenis kendaraan dari Deperin tersebut.
Kemudian ditambah lagi muncul tipe minibus dalam STNK kendaraan.
Surat dari Deperin Nomor 118/IATT.2/3/2006 tanggal 10 Maret
2006 perihal Identifikasi Toyota Yaris 1.5 atas permintaan Ditjen
Bea Cukai melalui suratnya nomor S-320/BC.2/2006 tanggal 21
Februari 2006 mengenai pendapat identifikasi Toyota Yaris 1.5, sangat
menyentuh rasa keadilan, dimana ybs tidak “berani” mendefinisikan
station wagon itu apa tapi langsung menyimpulkan bahwa kendaraan
tersebut bukan sedan atau station wagon. Kemudian adanya Surat
Keputusan Direktur Jenderal Industri Logam Mesin dan Aneka Nomor
024/SK/ILMEA/XI/2003 tanggal 4 Nopember 2003 yang mengatur
jenis/tipe kendaraan, tidak menyebutkan definisi station wagon
ataupun hatchback. Setelah dicermati, surat keputusan tersebut
mengatur tentang ketentuan industri perakitan dan tingkat keteruraian
kendaraan bermotor dan komponen untuk tujuan perakitan yakni CKD
(Completely Knocked Down) dan IKD (Incompletely Knocked Down)
bukan CBU (Completely Built Up).
Kementerian Perindustrian (dulu deperindag) sendiri telah
mengakui adanya jenis kendaraan sedan dan station wagon. Namun
anehnya dalam rilisnya (website) tidak ada kendaraan bertipe station
wagon tetapi yang muncul adalah sedan dan penumpang 4x2 dan 4x4.
92 } BUSUR

Melihat kasus sebelumnya dimana kendaraan double cabin


yang merupakan model baru yang ada di pasar tidak ter-cover dalam
pengenaan tarif PPnBM, kemudian dikenakan 20% setelah keluarnya
KMK Nomor 355 Tahun 2003, maka jenis kendaraan “hatchback” juga
harus diperlakukan hal yang sama. Sangat tidak adil PPnBM yang
bertujuan pemerataan justru tidak bertaring saat membedakan antara
dua jenis kendaraan akibat mis-interpretasi meskipun di tingkat
konsumen dan para ahli sudah jelas pengertiannya.
Saat ini penggolongan jenis hatchback dalam hal ini Toyota
Yaris, tidak jelas dimasukkan dalam kelompok yang mana. Apakah
Sedan? atau station wagon atau kendaraan jenis lainnya. Melihat
dari defenisi kamus Wikipedia dan sebagainya, hatchback dapat
dikelompokan dalam station wagon ukuran “small” sedangkan dari
sisi bentuk, bahan, dan ekspektasi konsumen “Toyota Yaris” setingkat
dengan “Toyota Vios” yang merupakan jenis sedan.
Undang-Undang PPN Nomor 42 Tahun 2009, telah menyatakan
bahwa kendaraan sedan dan station wagon adalah jenis yang
berbeda, oleh karena itu ketentuan ini harus selaras dengan praktik
yang ada di lapangan di mana pihak-pihak yang berkepentingan dan
bertanggung jawab terhadap pengelompokan jenis kendaraan ini,
harus secara bijaksana menetapkan tanpa dipengaruhi kepentingan
segelintir pengusaha yang berpotensi merugikan negara.
Menurut penulis, perlu dilakukan yudicial review terhadap Surat
Deperin Nomor 118/IATT.2/3/2006 tanggal 10 Maret 2006 yang
menyatakan bahwa Toyota Yaris bukan jenis kendaraan sedan atau
station wagon karena dasar perundang-undangan yang dipakai dalam
surat tersebut, ternyata bukan ditujukan untuk kendaraan CBU. Akibat
surat tersebut, timbul potensi PPnBM impor yang hilang sebesar
20% dari nilai impor.
MENGGALI PELUANG { 93

Apabila ada keengganan pelaku pasar dan pemilik otoritas


kebijakan untuk menyatakan bahwa hatchback bukan jenis sedan/
station wagon maka demi prinsip keadilan harus dibuat jenis tarif
yang lebih tinggi dari saat ini (10%). Karena sesungguhnya hatchback
mempunyai spesifikasi mirip dengan station wagon, hanya size
dan volume badan (body) relatif lebih kecil, namun tetap dapat
dikategorikan sebagai station wagon.
Untuk memperkuat analisis perlu dilakukan survei yang dilakukan
pihak ketiga (mis. AC Nielsen) untuk menentukan persepsi konsumen
terhadap kendaraan Toyota Yaris atau sejenisnya karena kuatnya
pengaruh unsur lifestyle. Hasil survei tersebut dapat dijadikan dasar
bagi Kementerian Keuangan, sesuai amanat KMK Nomor 355 Tahun
2003, untuk menentukan jenis kendaraan tertentu masuk jenis yang
mana, apakah berjenis sedan, station wagon, atau lainnya (minibus).
Solusi Penentuan
Kewajaran Pembebanan Royalti
Arles Parulian Ompusunggu

P
emeriksaan pajak atas transaksi afiliasi berupa pengalihan
dan pemanfaatan harta tak berwujud antara anak perusahaan
di Indonesia dan induk perusahaan di luar negeri (LN) sering
menimbulkan perbedaan pendapat di antara pihak wajib pajak (WP)
dan fiskus. Produk hukum yang dihasilkan berupa Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar dan digugat banding oleh WP sampai ke
Pengadilan Pajak tidak selalu dapat memuaskan kedua pihak karena
perbedaan pendapat bisa terjadi yang bermuara ke Peninjauan
Kembali di Mahkamah Agung.
Silang pendapat bermula dari perbedaan interpretasi dan
penentuan atas penetapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha
(PKKU) yang wajib diterapkan terhadap transaksi pengalihan harta
tidak berwujud yang dilakukan WP dengan pihak yang mempunyai
hubungan istimewa. Sebagai penjabaran atas ketentuan Pasal 18
ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh) yang diatur
dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-40/PJ/2010
jo. PER-32/PJ/2011, para pihak selalu berbeda pendapat pada saat
pelaksanaan pemeriksaan pajak.
Pemerintah Indonesia yang masih membutuhkan dana investasi
asing baik dalam bentuk portofolio instrumen pasar modal dan
investasi langsung di perusahaan anak sebagai subsidiary companies
tentu menginginkan efek lanjut dari keuntungan perusahaan berupa
pembayaran pajak dan penyerapan tenaga kerja. Sehingga keterkaitan
MENGGALI PELUANG { 95

antar induk perusahaan dan anak ditengarai menimbulkan potensi


terjadinya transaksi antar afiliasi barang berwujud dan barang/jasa
tidak berwujud.
Rambu pengatur koridor dalam menilai kewajaran penyajian
transaksi pengalihan harta tidak berwujud sudah secara gamblang
diatur dalam PER-22/PJ/2013 yang dijabarkan dalam Surat Edaran
Dirjen Pajak Nomor SE-53/PJ/2013 yang mengacu ke PER-23/PJ/2013
tentang Standar Pemeriksaan. Penerapan penyajian lebih lanjut atas
beban harta tidak berwujud dalam bentuk klaim atas intangible
property seperti merek, paten, lisensi, teknologi know-how diarahkan
guna terlaksananya pencatatan klaim dan pembebanan biaya.
Perbedaan pandangan antara WP dan f iskus dalam
mengidentifikasi keberadaan harta tak berwujud yang berperan
berkontribusi terhadap penghasilan yang diperoleh, muncul dari
kisaran kompensasi yang dibayarkan anak perusahaan ke induk di
LN. Memang tidak ada larangan untuk membebankan beban royalti
sebagai pengurang penghasilan bruto bagi WP dalam negeri (DN)
sebagai konsekuensi keterikatan dengan afiliasi yang merupakan
pemilik intelectual property (IP) royalti tersebut.
Sesuai penegasan dalam Surat Dirjen Pajak Nomor S-153/
PJ.04/2010, untuk meyakinkan keberadaan harta tidak berwujud
dapat dibuktikan dari adanya bukti kepemilikan oleh pemilik atau
licensor berikut nilai yang diklaim atas harta tidak berwujud tersebut.
Prosedur audit yang dilakukan dalam pengujian perlu dilakukan
selain pembuktian otentifikasi kontrak royalti adalah membuktikan
adanya pendaftaran di Direktorat Paten negara domisili licensor dan
di Direktorat Paten Kementerian Hukum dan HAM Indonesia sebagai
upaya perlindungan atas jenis asset tidak berwujud perusahaan.
96 } BUSUR

Prosedur yang dapat dilakukan adalah mendapat informasi


dan bukti seluas-luasnya mengenai umur IP yang diklaim oleh
licensor berikut nilai invention cost yang dicatat di neraca dalam
rangka penemuan hak atas aset tidak berwujud tersebut. Melalui
dokumentasi permintaan keterangan yang dituangkan dalam Berita
Acara Permintaan Keterangan (BAPK) akan diperoleh informasi detail
perihal pemahaman atas analisis fungsi asset dan risiko tentang
kegiatan usaha yang sebenarnya dan kebijakan akuntansi apakah
nilai moneter aset tidak berwujud dicatat di neraca licensor atau
dibebankan sekaligus dalam biaya eksplorasi dan penelitian saat
terjadi penemuan awal.
Perlu didapatkan informasi yang lengkap apakah pihak licensor
bisa membuktikan adanya biaya Developing, Enhancing, Maintaning,
Protecting, and Exploiting (DEMPE) atas IP tersebut. Hal ini juga
menjadi perhatian dan ruang yang perlu dibuktikan sebagaimana
diatur dalam artikel 6.7 OECD Transfer Pricing Guidelines 2017 sehingga
bisa dilakukan pengecekan apakah secara akuntansi terdapat
pengeluaran yang dibebankan sekaligus atau dikapitalisasi di dalam
laporan keuangan licensor.
Setelah pengujian atas eksistensi IP Royalti terlaksana maka
pembuktian selanjutnya yang tak kalah penting adalah uji manfaat
ekonomis atas pemanfaatan harta tidak berwujud dari induk atau
afiliasi perusahaan sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 17 ayat
(7) huruf b PER-32/PJ/2011. Memang tidak mudah membuktikan
secara empiris ukuran dalam bentuk angka tersaji sebagai indikator
yang bisa memastikan adanya manfaat ekonomis terutama jika
dibandingkan dengan kinerja operasional perusahaan atau industri
sejenis. Pembanding termudah adalah kinerja perusahaan itu
MENGGALI PELUANG { 97

sendiri apakah ada peningkatan jika dibandingkan dengan periode


tahun-tahun sebelumnya dengan pengunaan atau pemanfaatan harta
tidak berwujud dari pihak afiliasi.

Solusi Alternatif
Pada umumnya basis penghitungan pembayaran royalti
didasarkan atas jumlah omzet anak perusahaan setiap tahun yang
ditetapkan prorata dalam kontrak yang ditandatangani induk dan anak
perusahaan di Indonesia. Induk atau afiliasi perusahaan di LN akan
tetap mendapatkan remunerasi berupa pembayaran royalti dari anak
perusahaan meski dalam keadaan merugi. Tentu hal ini tidak selalu
menguntungkan bagi otoritas pajak Indonesia yang seolah tidak
berdaya melakukan counter bagi penilaian kewajaran dan penilaian
manfaat ekonomis dari suatu IP yang terjadi antar pihak afiliasi.
WP berargumen bahwa penentuan tarif pembayaran royalti
sudah memenuhi kaidah yang diatur dalam Pasal 17 ayat (7) PER-32/
PJ/2011 terutama bahwa transaksi pembebanan royalti sudah
mempunyai nilai yang sama dan sebanding dengan pihak-pihak
yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Apalagi sudah diperkuat
dengan alasan yang sahih dan valid seperti analisis kesebandingan
dan data pembanding eksternal yang disajikan di dalam dokumentasi
Master File Lokal WP yang disampaikan secara resmi dan dibuat
secara ex-ante sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 213/
PMK.03/2016.
Alternatif untuk menentukan apakah terdapat manfaat ekonomis
yang diterima oleh anak perusahaan atas pemanfaatan harta tidak
berwujud adalah mengukur kembali dasar penghitungan beban
royalti dari basis omzet menjadi basis laba (profit based royalties).
98 } BUSUR

Hal ini sesuai pendapat dari Robert Goldscheider (1995) dan diadopsi
dalam Paragraph 6.183 of OECD Transfer Pricing Guidelines 2017.
Secara sederhana penghitungan tarif royalti dibandingkan antara
persentase laba usaha sebelum beban royalti (Operating Profit Before
Royalty) baik menurut laporan keuangan WP dan persentase menurut
standar yang wajar menurut benchmarking DJP. Kemudian selisihnya
akan menjadi koreksi atas royalti yang seharusnya bisa dibebankan
sebagai pengurang penghasilan bruto.
Biaya royalti yang dikelompkkan dalam komponen COGS
dan/atau pengurang penghasilan bruto dalam penghitungan laba
rugi komersial dikeluarkan dan dibandingkan dengan persentase
yang ditetapkan atau disetujui oleh para pihak sehingga didapat
solusi yang tidak merugikan kedua pihak. Penyelesaian seperti
ini bisa ditempuh dalam bingkai perjanjian secara resmi melalui
mekanisme pelaksanaan kesepakatan harga transfer (Advance
Pricing Agreement/APA) sebagaimana diatur dalam PMK Nomor
22/PMK.03/2020 dan/atau alternatif perjanjian Mutual Agreement
Procedure (MAP) sesuai PMK Nomor 49/PMK.03/2019.
Tentu tidak mudah mewujudkan langkah seperti ini karena harus
ada kesamaan visi dari pihak WP dan fiskus dengan satu pandangan
untuk meminimalisasi sengketa transfer pricing yang melelahkan dan
butuh waktu lama untuk penyelesaian di Pengadilan Pajak hingga
Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Bagi WP dengan adanya
alternatif mengurangi potensi sengketa di tingkat pemeriksaan akan
memudahkan upaya dalam melakukan konsolidasi operasional
usaha dari grup perusahaan antar afiliasi termasuk kelompok usaha
di Indonesia.
Exploring State Revenue Potential
from the Interconnection
between Corruption and Tax Crime
Martiana Dharmawani Sipahutar

I
ndonesia Corruption Watch stated that there were 169 corruption
cases revealed in semester I of 2020 which caused losses to the
State finance for approximately IDR18.1 trillion. This number of losses
to State finance has been the highest in the last 6 years which in total
reached IDR43,2 trillion. How much taxes could be collected from
these cases? The minimum unpaid income tax at the rate of 5% and
its administrative fine would be a total of IDR4.32 trillion.
Did these corruptors pay taxes? Possibly. Did they pay taxes
in correct amounts? In terms of income tax, most probably not.
Criminals tend to disguise their acts and certainly the result of their
acts. According to Law No. 6 of 1983 (Tax Law) as lastly amended by
Law No. 11 of 2020, whomsoever deliberately or due to his negligence,
fails to file a tax return or files an incorrect or incomplete tax return,
or attached incorrect information which may cause losses to the
revenue of the State shall be punished by imprisonment and fine
accordingly. How did Indonesian Tax Authority react to this? The
answer has yet to be found.
The interconnection between corruption and income tax crime
is actually crystal clear because Indonesia adopted a broad definition
of income which covers any additional economic capability received
or obtained by taxpayer, whether originating from Indonesia and
from outside of Indonesia, which can be used for consumption or
100 } BUSUR

to add the assets of taxpayer, with any name and in any form. This
means tax is neutral, it considers no ethical issue in income source.
Regarding corruption, it is safe to say that based on Income Tax Law,
any additional economic capability received or obtained by corruptor
taxpayer as a result of criminal act of corruption is also considered
as income and therefore should be subject to tax. The question is:
how should these corruptors taxpayers be taxed?
Prior to answering the question, it is important to understand
that although criminal act of corruption is defined in the Law No. 31 of
1999 (Anti-Corruption Law) as the act of enriching oneself or another
person or a corporation by abusing the authority, opportunity or
facilities given to him/her related to his/her position which creates
losses to the State finance or State economy, in practice, the clause of
“create losses to the State finance or State economy” was interpreted
as “create losses to the State budget in the expenditure side, not in
the revenue side”.
How about the act which creates losses to the State budget in
the revenue side? Since mostly the revenue side of the State budget
is sourced from taxation, therefore, the act of enriching oneself or
another person or a corporation by abusing the authority, opportunity
or facilities given to him/her related to his/her position which creates
tax losses will most likely fall under the category of tax crime, not
the criminal act of corruption. As a result, law enforcement should
be handled only by tax investigators, not police, not prosecutor, not
even Corruption Eradication Commission (CEC) investigators.
The idea of collaboration between CEC and Directorate General
of Taxes (DGT) in enforcing tax penalties on corruptors has been
discussed in the “Workshop on Optimizing Cooperation Between Law
Enforcers and Tax Authorities in an Effort to Recover State Losses Due
MENGGALI PELUANG { 101

to Corruptions and Tax Crimes” in Jakarta on November 28, 2019. CEC


requested for DGT’s assistance in the form of 10 tax investigators to
help them recover State losses found in corruption cases; however,
such assistance has not yet come into actualization until now.
In the event, CEC also launched a paper titled “Study of
Optimizing the Recovery of State Losses by Imposing Tax Obligations
on Criminal Cases of Corruption” which elaborated the differences
between case handling of tax crime and corruption and disharmony
between laws.
Anti-Corruption Law rules that returning of losses of the State
finance or the State economy does not eliminate the conviction of
perpetrators of criminal acts of corruption whereas Tax Law provides
two privileges for tax criminals to eliminate the conviction, i.e., to
(1) avoid investigation by disclosing the erroneous and paying any
underpaid tax along with an administrative penalty in the form of fine
as much as the amount of the underpaid tax; and/or to (2) terminate
an investigation of a criminal tax offence by fully paying tax which is
unpaid, is underpaid, or should not have been refunded, increased by
an administrative fine equal to three times the tax unpaid, underpaid,
or which should not have been refunded.
The issue of authority is also another major issue to be settled.
Tax Law only authorizes tax investigators to conduct tax investigations,
but tax investigators are not amongst law enforcement officers
authorized to handle criminal act of corruption and vice versa. It is
concluded in the paper that joint prosecution between corruption
and tax crime is not yet possible under current laws.
Nevertheless, let’s not forget the fact that there is no restriction
for tax office to raise assessments or conduct tax investigations on
corruptor taxpayers. If joint investigation and joint prosecution are
102 } BUSUR

not yet possible, why not conducting a simultaneous tax investigation


for every corruption case handled by CEC? Corruptor taxpayers
should be taxed on their income like any other taxpayers. Generous
invitation of CEC should be seen as an opportunity to collaborate in
any possible way which is not limited to joint investigation and joint
prosecution only.
It is obvious that conducting simultaneous tax investigation for
every corruption case will generate tax revenue for the State. When
a corruptor taxpayer decides to use privileges to avoid tax criminal
sanction, the amount of underpaid tax and relevant tax fine will be
accounted as tax revenue. On the other hand, when a corruptor
taxpayer decides to not exercise privileges to avoid tax criminal
sanction and chooses to proceed to trial, the amount of criminal fine
will be accounted as non-tax revenue. Either way, it will be accounted
as State revenue which hopefully will help to achieve the revenue
side of Indonesia’s 2021 State Budget that comprises of IDR1,444.5
trillion of tax revenue and IDR298.2 trillion of non-tax revenue.
Dua Sisi Mata Uang
Implementasi KKP
Febryana Puspa Wardani

D
alam pengelolaan keuangan negara lingkup satuan kerja
(satker), istilah uang persediaan tentu tak asing lagi kita temui.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 170/PMK.05/2010
tentang Penyelesaian Tagihan atas Beban Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara pada Satuan Kerja, uang persediaan (UP) adalah
sejumlah uang yang disediakan untuk satker dalam melaksanakan
kegiatan operasional kantor sehari-hari. UP merupakan uang muka
kerja dengan jumlah tertentu yang bersifat daur ulang (revolving),
UP diberikan kepada bendahara pengeluaran (BP) untuk membiayai
kegiatan operasional kantor sehari-hari yang tidak dapat dilakukan
dengan pembayaran langsung (LS).
Selama ini, uang negara yang berada di kas BP sangat besar.
Dalam tahun anggaran berjalan saja, UP yang dikuasai oleh BP
Satker mencapai 7-9 triliun rupiah. Uang itu menganggur (idle cash).
Padahal, apabila berada dan dikelola oleh Bendahara Umum Negara,
uang tersebut dapat memberikan nilai tambah (advalue) melalui
penempatan-penempatan jangka pendek yang berisiko rendah.
Untuk mengurangi UP yang menganggur (idle cash) dan biaya
dana (cost of fund) dari transaksi UP, melalui Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 196/PMK.05/2018, Menteri
Keuangan mengeluarkan kebijakan baru. Pembayaran belanja negara
bisa menggunakan kartu kredit Pemerintah. Terobosan ini mulai
berlaku sejak Juli 2019.
104 } BUSUR

Tak ada gading yang tak retak, implementasi penggunaan


KKP menghadapi kendala dalam hal proses pemotongan dan
pemungutan pajak. Sebelum melakukan pembayaran tagihan KKP, BP
wajib melakukan pemungutan atau pemotongan pajak atas tagihan
tersebut. Dengan kata lain, jumlah yang dibayarkan kepada penyedia
barang/jasa, sejumlah tagihan dikurangi dengan pajaknya. Teori
itu mudah namun kenyataannya sulit diterapkan. Banyak penyedia
barang/jasa tidak bersedia untuk dipungut atau dipotong pajak.
Sebagai contoh, seorang BP melakukan belanja kebutuhan
obat-obatan kantor di apotek Century. Tagihan pembelian
obat-obatannya sebesar Rp3.000.000,00. BP tersebut berencana
membayar tagihan tersebut dengan KKP. Dikarenakan nominal
belanja obat-obatan tersebut di atas Rp2.000.000,00, maka BP
harus memungut PPN dan PPh Pasal 22 terlebih dahulu ketika
pembayaran dilakukan.
Muncul pertanyaan, apakah Century bersedia bila tagihan
sebesar Rp3.000.000,00 tersebut dibayarkan kurang dari nilai yang
tertagih karena dipungut PPN dan PPh Pasal 22 terlebih dahulu oleh
BP? jawabannya adalah tidak.
BP tetap menggesek KKP senilai Rp3.000.000,00 untuk
melunasi tagihan tersebut. Bagaimana dengan PPN dan PPh Pasal
22 yang harus dipungut oleh BP? Bisa jadi, BP menggunakan uang
pribadinya hanya untuk memenuhi kewajibannya untuk memungut
dan menyetor pajak.
Kondisi inilah yang melatarbelakangi diterbitkannya Peraturan
Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 231/PMK.03/2019.
Instansi pemerintah diberikan pengecualian pemotongan dan
pemungutan pajak untuk transaksi yang menggunakan KKP.
Berapapun nilai transaksi dengan KKP yang dilakukan, BP dapat
MENGGALI PELUANG { 105

membayar transaksi kepada penyedia barang/jasa tanpa melakukan


pemotongan dan pemungutan pajak atas transaksi tersebut.
Lantas, kembali muncul pertanyaan bagaimana dengan potensi
pajak yang hilang karena tidak dilakukannya pemotongan dan
pemungutan pajak atas transaksi dengan KKP?
Layaknya uang logam. Pada satu sisi, BP menerima kemudahan
dalam bertransaksi dengan menggunakan KKP. BP tidak perlu
menggunakan UP ketika bertransaksi dan tidak perlu pusing
memikirkan pajak yang perlu dipotong atau dipungut. Namun, di
sisi lain terdapat potensi pajak yang hilang akibat transaksi dengan
menggunakan KKP.
Implementasi KKP diharapkan dapat meminimalisasi
penggunaan uang tunai dalam transaksi keuangan negara. Bukan
itu saja, dengan KKP ini keamanan dalam bertransaksi meningkat.
Selain itu, penggunaan KKP dapat mengurangi potensi fraud dari
transaksi secara tunai dan mengurangi cost of fund/idle cash dari
penggunaan UP.
Hanya saja, lebih baik apabila tidak ada perbedaan perlakuan
perpajakan atas transaksi tunai ataupun transaksi dengan
menggunakan KKP. Tentu hal ini perlu menjadi perhatian pemerintah,
agar dapat dirumuskan kebijakan KKP yang tetap dapat dimanfaatkan
oleh instansi pemerintah tanpa menyebabkan hilangnya potensi
penerimaan negara dari pajak.
Bak dua sisi mata uang, bukan berarti salah satu sisi positif dan
sisi yang lain negatif. Implementasi KKP diharapkan memberikan dua
sisi yang sama-sama positif bagi semua pihak.
Belajar dari
Strategi Para Hedge Fund
Kurniawan Iswanto

A
wal tahun ini santer terdengar kabar bagaimana sebuah saham
kecil membuat “keributan” di bursa saham Amerika Serikat atau
Wall Street. Saham kecil itu milik perusahaan video game bernama
GameStop. Saham yang awalnya bernilai $5 per lembar saham
tiba-tiba melonjak menjadi $350 per lembarnya.
Seperti kita ketahui sejak pandemi Covid-19 melanda di tahun
2020 banyak perusahaan di dunia terkena dampaknya, termasuk juga
GameStop. Bahkan GameStop sempat menutup berbagai tokonya di
Amerika Serikat, sehingga mustahil dengan kondisi seperti ini dapat
menyebabkan harga saham perusahaan tersebut meroket.
Setelah diselidiki, kenaikan harga saham tersebut bukan
disebabkan oleh kinerja perusahaan GameStop. Melejitnya harga
saham tersebut ternyata sudah direncanakan oleh sekelompok orang
yang tergabung dalam sebuah forum bernama Wallstreetbets yang
terdapat di situs Reddit.
Forum tersebut merencanakan untuk membeli saham GameStop
yang salah satu tujuannya adalah membuat rugi Hedge Funds.
Pengelola investasi global (Hedge Fund) adalah kontrak investasi
kolektif privat yang dikenakan biaya imbal jasa berbasis kinerja
(performance fee) dan biasanya ditawarkan secara terbatas kepada
investor kelas atas.
Alasan Wallstreetbets “mempermainkan” harga saham GameStop
adalah karena para Hedge Funds ini suka melakukan short-selling
MENGGALI PELUANG { 107

yang membuat rugi berbagai pihak. Singkat cerita rencana tersebut


berhasil, kerugian yang diterima para Hedge Funds tersebut mencapai
19 Miliar Dolar Amerika.
Penulis tidak ingin masuk ke pembahasan teknik bagaimana
hal ini bisa terjadi. Penulis justru tertarik bagaimana sekelompok
orang biasa ini bisa “mengubrak-abrik” perusahaan keuangan
yang berpengalaman dalam kegiatan perdagangan saham ini.
Bagaimana orang-orang yang tidak saling kenal mau bahu-membahu
mewujudkan suatu rencana dari orang yang tidak mereka kenal juga.
Apakah hal seperti ini bisa juga diterapkan dalam suatu organisasi?
Setidaknya penulis mencermati ada 4 hal yang memengaruhi
keberhasilan dari rencana tersebut. Keempat hal tersebut adalah:
adanya “musuh” bersama, motivasi ekonomi, aplikasi pendukung,
dan rencana yang terukur dan bisa dieksekusi.

“Musuh” bersama
Dalam kasus GameStop ini “musuh” bersama itu adalah para
Hedge Funds, orang-orang yang sering kali mengambil keuntungan
dari orang-orang biasa yang ingin berinvestasi. Sehingga ketika ada
ajakan untuk menghancurkan “musuh” ini tentu saja, orang-orang
tersebut mendukungnya.
Untuk institusi pemerintahan seperti DJP tentu tidak mudah
mencari “musuh bersama” ini. Institusi pemerintahan kok mencari
“musuh”? Tentu yang dimaksud “musuh” ini adalah suatu kiasan
misalnya para pengemplang pajak. Berita tentang para pengemplang
pajak ini seharusnya lebih sering ditampilkan. Supaya para pegawai
DJP terutama yang berada di frontline tahu bahwa tidak semua Wajib
Pajak itu baik. Bahwa ada oknum Wajib Pajak yang berusaha mencari
celah untuk mengemplang pajak.
108 } BUSUR

Motivasi Ekonomi
Hasil dari rencana GameStop tersebut adalah melonjaknya
harga saham dari $5 per lembar menjadi $350 per lembar.
Sehingga banyak dari mereka yang ikut dalam rencana tersebut
mendapatkan keuntungan dari selisih harganya. Sering kali orang
tidak mau membicarakan motivasi ekonomi dalam suatu perjuangan.
Terkesan tidak ikhlas jika memasukkan unsur ekonomi atau uang
ketika berjuang.
Padahal, itu bukan hal yang memalukan. Justru ketika seseorang
ataupun organisasi mengharapkan keikhlasan dari orang-orang yang
diajaknya berjuang tanpa adanya imbalan, maka orang atau organisasi
tersebut sedang melakukan eksploitasi demi keuntungannya sendiri.
Sebagai suatu institusi yang berperan penting dalam keuangan
negara, seharusnya DJP mengetahui “How much is my value and how
much should I be rewarded?”

Aplikasi pendukung
Salah satu hal yang mungkin tidak diketahui dari kasus
GameStop ini adalah digunakannya aplikasi RobinHood untuk
melakukan pembelian saham GameStop tersebut. Fitur-fitur yang
terdapat dalam aplikasi ini lebih memudahkan dalam transaksi jual
beli saham dibandingkan aplikasi sejenis lainnya.
Sering kali dalam sebuah organisasi, alat-alat pendukung tidak
mendapat perhatian penting. Contoh mudahnya komputer. Di saat
Windows sudah meluncurkan Windows 10 dan Office 365, seberapa
sering kita lihat suatu organisasi masih menggunakan Windows Vista
atau 7 dengan Office 2007 yang ketika mengolah data tiba-tiba keluar
pesan “Not Responding”?
MENGGALI PELUANG { 109

Di masa yang semakin canggih, DJP harus memiliki anggaran


untuk meremajakan atau meng-update perangkat hardware atau pun
software yang dimiliki oleh unit-unit kerjanya.

Rencana yang terukur dan bisa dieksekusi


Dalam kasus GameStop, salah satu alasan kenapa saham
GameStop yang dipilih karena besarnya nilai short-sell yang diambil
oleh para Hedge Funds. Short-sell adalah investor/trader meminjam
dana untuk menjual saham yang belum dimiliki dengan harga tinggi
dengan harapan akan membeli pada saat harga saham turun. Jika
ternyata harganya malah naik, maka si pelaku short-sell membayar
lebih tinggi untuk membeli saham tadi atau mengalami kerugian.
Itulah yang diincar orang-orang dari forum Reddit tadi. Mereka
mulai membeli saham GameStop hingga harganya mulai naik. Semakin
banyak yang beli, semakin tinggi harganya dan mereka tidak melepas
saham tersebut. Hasilnya para pelaku short-sell ini terpaksa membeli
saham itu dengan harga yang lebih tinggi, yang tentu saja semakin
mendorong harga saham tersebut ke atas. Rencana tersebut sederhana,
terukur dan mudah dieksekusi namun memberikan hasil yang luar biasa.
Suatu organisasi seharusnya bisa menyederhanakan suatu
rencana besar yang canggih ke dalam potongan-potongan rencana
yang sederhana, sehingga bisa dipahami oleh semua anggota
organisasi. Mungkin hal ini tidak mudah bagi institusi sebesar
dan memiliki banyak fungsi seperti DJP. Namun beberapa tahun
belakangan ini, penulis melihat bahwa DJP memiliki renstra, road
map dan rencana-rencana lainnya yang semakin terukur. Sehingga
penulis yakin di tahun-tahun mendatang, DJP dapat memetik hasil
dari rencana-rencana yang sedang dilaksanakan ini.
Potential Tax Loss
from Bankruptcy
Aria Yudisatria

T
here is almost no good result in the perspective of tax office
in bankruptcy case. In Oil and Gas Tax Office’s cases, the State
never had a fair share when its taxpayer was declared bankrupt
by the court. Three out of five cases have been ongoing since five
years ago while the other two had been decided that taxpayer assets
were fully used to pay the secured creditors and employees’ wages.
Same things might happen in taxpayer bankruptcy cases in other
tax offices. This phenomenon should be a concern for Directorate
General of Taxes (DGT) for there is a substantial potential tax loss
from bankruptcy case.

Problems in Bankruptcy Case


The first main issue is disharmony between Law Number 6
of 1983 on General Provisions and Tax Procedures (Tax Law) and
Law Number 37 of 2004 on Bankruptcy and Suspension of Payment
(Bankruptcy Law) as well as Civil Code about “pre-emptive rights”.
According to Tax Law, the priority level of tax due is at the top
of other credit. In contrary, the elucidation of Article 21 paragraph
(1) of Tax Law stated that “this paragraph stipulates the status of the
State as a preferential creditor having pre-emptive rights over assets
of the tax bearer which will be publicly auctioned”. The difference
between Article 21 and its elucidation creates ambiguity for judges
to decide the priority rank of creditors’ claims. Most judges and
MENGGALI PELUANG { 111

curators classify tax office as preferential creditor, not top creditor


like secured creditor.
On the other hand, Indonesian Civil Code rules that privilege
is a right acknowledged by the law applicable to one creditor over
the other, based upon the nature of the debt. Pledge and mortgage
are superior to privilege, with the exception of the circumstances
in which the law expressly stipulates otherwise. Bankruptcy Law
does not stipulate differently. As a result, in practice tax office’s
pre-emptive rights over tax bearer’s assets come secondly after the
secured creditors.
Another issue is the absence of standard operating procedure
for tax office in facing bankruptcy trial. Facing a trial is different
from facing administrative procedure since either the process or
the outcome might vary from one case to another. It is necessary to
make a guidance on what must be done in a bankruptcy case.
The next problem is inexistence of a certain timeline in bankruptcy.
There is no fixed schedule and no rule on time limit in a bankruptcy trial
that makes it even more complicated and tiring. The average time of a
bankruptcy case to settle is three years. In most cases, the tax bearer
has already fled abroad or disappeared when a case is finally decided.
In addition to that, there is a big chance for tax due to expire because
the time limit to collect tax due is only five years.
There is also a specific issue due to the unique characteristic
of oil and gas taxpayers. The assets of Contractors of Partnership
Contract in Oil and Gas Upstream Industry (Kontraktor Kontrak
Kerjasama: K3S) belong to the Government. Hence, tax bailiff finds
it difficult to trace the K3S’s assets. Moreover, most of K3Ss are
foreign taxpayers that when dealing with bankruptcy, their assets
are undoubtedly inaccessible with ordinary efforts.
112 } BUSUR

What DGT Should Do


Based on the aforementioned problems, the first thing should be
done by DGT is harmonization of related laws. Elucidation of Article 21
of Tax Law needs to be revised. The State should not be categorized
as preferential creditors, but super preferential creditor. Tax Law has
to be consistent both in its body and elucidation that the State has
pre-emptive rights that is above all creditors.
Currently, the draft of new Bankruptcy Law is under discussion
at the level of Ministries, said Radita Ajie, the Director-General of
Legal Regulation in the Ministry of Law and Human Rights. DGT
should use this momentum to take part in the discussion so that the
new Bankruptcy Law will be synchronized with Tax Law. The position
of tax due should be crystal clear amongst credits in the new law.
Along with that, it is strongly suggested to have certain time frame
in the new law to enhance certainty for both debtor and creditor.
As for internal guidance, it is time for DGT to set a standard
operating procedure (SOP) on taxpayer bankruptcy handling that
covers its impacts both on the collectability and expiration of
tax payable.
The other thing that DGT should concern about is how to
administer and manage taxpayer bankruptcy case. In early 2020,
DGT put a new menu in SIDJP to register taxpayer under bankruptcy
potential. It was a good start but surely not the end. DGT must
continue building an embedded menu in its core system to administer
taxpayer bankruptcy case: both its ongoing process and follow-up.
To sum up, DGT will prevent tax loss potential from bankruptcy
by actively participating in the discussion of new bankruptcy law,
setting an SOP on taxpayer bankruptcy handling, and providing online
monitoring on taxpayer bankruptcy in its core information system.
Menagih
untuk Tidak Lupa
Mochammad Bayu Tjahjono

S
aat ini usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mengalami
berbagai permasalahan, seperti: penurunan penjualan,
permodalan, distribusi terhambat, kesulitan bahan baku, produksi
menurun, dan PHK buruh. Hal ini menjadi ancaman bagi perekonomian
nasional. UMKM sebagai penggerak ekonomi domestik dan penyerap
tenaga kerja tengah menghadapi penurunan produktivitas yang
berakibat pada penurunan profit secara signifikan.
Pemerintah yang dari tahun 2014 terus mendorong UMKM
bersaing, seperti menghadapi benturan di tahun 2020. Untuk
membangkitkan kembali kondisi ini, diperlukan solusi mitigasi dan
pemulihan. Langkah mitigasi prioritas jangka pendek adalah dengan
menciptakan stimulus pada sisi permintaan dan mendorong platform
digital (online) untuk memperluas kemitraan.
Upaya lainnya yaitu melalui kerja sama dalam pemanfaatan
inovasi dan teknologi yang dapat menunjang perbaikan mutu dan
daya saing produk, proses pengolahan produk, kemasan, dan
sistem pemasaran.
Di bidang perpajakan, pemerintah juga memberikan beberapa
fasilitas. Salah satunya yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23
Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha
yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran
Bruto Tertentu. Peraturan ini diterbitkan untuk menggantikan
peraturan sebelumnya yakni PP Nomor 46 Tahun 2013 yang dinilai
114 } BUSUR

memiliki sejumlah kekurangan, sehingga perlu disesuaikan dengan


kondisi perekonomian terkini. Hal yang paling menjadi sorotan
adalah perubahan pengenaan tarif PPh Final dari yang semula 1%
menjadi 0,5%.
Beberapa hal penting lainnya yang perlu diperhatikan dari PP
Nomor 23 Tahun 2018, selain pengenaan tarif yang bersifat final
adalah sebagai berikut.
Pertama, tarif PPh Final bersifat opsional dalam PP 23,
pemerintah telah memutuskan untuk menurunkan tarif PPh Final
dari 1% menjadi 0,5%. Peraturan ini bersifat opsional. Wajib pajak (WP)
bisa memakai PP 23 atau dengan menggunakan norma sebagaimana
diatur pada Pasal 17 dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008
tentang Pajak Penghasilan.
Dengan demikian, WP memiliki dua pilihan. Keduanya memiliki
keuntungan dan kekurangan. Apabila memakai PP 23, kondisi laporan
keuangan WP, baik untung maupun rugi tetap harus membayar sesuai
omzet. Sedangkan, apabila menggunakan norma, perhitungan tarif
PPh akan mengacu pada lapisan penghasilan kena pajak. Selain itu,
WP juga terbebas dari PPh apabila mengalami kerugian fiskal.
Kedua, memiliki batas waktu. Ada batas waktu dalam
menggunakan PPh Final 0,5%, hal ini yang mungkin dilupakan oleh
WP. Adapun rinciannya, yaitu: (1) empat tahun pajak bagi WP badan
berbentuk koperasi, CV, atau Firma; (2) tiga tahun pajak bagi WP
badan berbentuk Perseroan Terbatas; (3) tujuh tahun untuk WP orang
pribadi (OP).
Setelah batas waktu tersebut berakhir, WP akan kembali
menggunakan skema sebagaimana diatur dalam Pasal 17
Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008. Hal ini bertujuan untuk
MENGGALI PELUANG { 115

mendorong WP agar menyelenggarakan pembukuan dan


pengembangan usaha.
Ketiga, berpenghasilan di bawah 4,8 miliar, ambang batas
untuk WP yang dikenai PPh Final dalam PP Nomor 23 Tahun 2018
tidak berubah, yakni tetap untuk penghasilan di bawah 4,8 miliar.
Batasan nilai tersebut menargetkan UMKM sebagai target pajak.
Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan tax base dan merangkul
sebanyak mungkin UMKM untuk terlibat dalam sistem perpajakan.
Keempat, WP yang tidak dapat memanfaatkan PPh Final 0,5%.
Ada tiga jenis WP, yaitu: (1) WP dengan penghasilan yang diperoleh
di luar negeri yang pajaknya terutang atau telah dibayarkan di luar
negeri; (2) WP yang penghasilannya telah dikenai PPh yang bersifat
final dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
khusus; dan (3) WP dengan penghasilan yang dikecualikan sebagai
objek pajak.
WP yang menggunakan PP 23 harus ingat bahwa fasilitas ini
mempunyai batasan waktu. WP yang menggunakan fasilitas ini sejak
amnesti pajak, apabila WP badan, sudah seharusnya menggunakan
pembukuan. Sedangkan, untuk WP orang pribadi tahun pajak 2020
atau tahun pajak 2021 adalah tahun terakhir, selanjutnya dapat
menggunakan norma perhitungan penghasilan neto.
Mungkin kita sudah mulai melupakan norma penghitungan
penghasilan neto (NPPN). NPPN adalah cara lain untuk menghitung
penghasilan neto sebelum nantinya dikenakan tarif Pasal 17
Undang-Undang PPh.
Kenapa disebut NPPN? Hal ini disebabkan penghasilan neto
yang digunakan untuk menghitung pajak tidak menggambarkan
penghasilan sebenarnya. Untuk menghitung penghasilan neto
116 } BUSUR

sebenarnya, maka WP harus menyelenggarakan pembukuan. Dengan


demikian, penggunaan norma penghitungan penghasilan neto untuk
WP yang belum menggunakan pembukuan.
Akan tetapi, jika WP tidak mampu melakukan pembukuan, WP
boleh menghitung penghasilan lain dengan NPPN. NPPN bertujuan
untuk menyederhanakan penghitungan dalam mencari penghasilan
neto dan membayar pajak.
Apabila kita melakukan pembukuan untuk menghitung Pajak
Penghasilan, WP harus tahu terlebih dahulu penghasilan neto. Dalam
mendapatkan penghasilan neto, diperlukan pengetahuan akutansi dan
pengetahuan biaya mana yang bisa dibebankan dan mana yang tidak
bisa dibebankan secara perpajakan. Setelah mendapatkan penghasilan
neto, pajak penghasilan yang harus dibayar adalah perkalian tarif
dengan penghasilan neto, yang telah diatur dalam Pasal 17 UU PPh.
Penghasilan neto disebut juga penghasilan kena pajak yang menjadi
dasar penerapan tarif sebagaimana diatur pada Pasal 16 UU PPh.
NPPN adalah norma yang bisa digunakan oleh WP dalam
penghitungan penghasilan neto dalam satu tahun pajak sebagai
dasar penghitungan dari Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 yang
terutang. Secara khusus, norma penghitungan penghasilan neto
bertujuan untuk menyederhanakan penghitungan dalam mencari
penghasilan neto. Sehingga, dapat memperkirakan estimasi pajak
yang harus dibayar. Setelah mengetahui besaran penghasilan
neto, WP bisa menghitung besaran PPh terutang untuk kebutuhan
pembayaran dan pelaporan pajak

Dasar Hukum dan Syarat Norma Penghitungan Neto


Setiap aturan pasti memiliki dasar hukum. Dasar hukum NPPN
diatur dalam Pasal 14 UU No. 36 Tahun 2008 mengenai Perubahan
MENGGALI PELUANG { 117

Keempat atas UU No. 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan.


Sedangkan, tindak lanjutnya dapat dilihat dalam Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-17/PJ/2015 mengenai Norma
Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN).
Lalu, apa saja syarat WP untuk menggunakan norma
penghitungan ini? WP orang pribadi yang melakukan kegiatan usaha
atau pekerjaan bebas dengan peredaran bruto kurang dari Rp4,8
miliar per tahun wajib menyelenggarakan pencatatan, kecuali jika WP
memilih menyelenggarakan pembukuan. Jika bruto lebih dari Rp4,8
miliar per tahun, maka WP harus menyelenggarakan pembukuan.
WP orang pribadi yang wajib menyelenggarakan pencatatan dan
menerima penghasilan tidak dikenai Pajak Penghasilan (PPh) yang
bersifat final, dapat menghitung penghasilan neto menggunakan
norma NPPN.
Jadi, menurut UU di atas, cara menghitung penghasilan neto
bisa dilakukan dengan 2 cara, yaitu menggunakan pembukuan atau
menggunakan NPPN.
Besaran NPPN tidak sama, pada dasarnya persentase NPPN ini
terbagi atas 3 kelompok menurut wilayahnya. Untuk lebih jelasnya
kita dapat melihat pada lampiran PER-17/PJ/2015 tentang NPPN.
Persentase NPPN menurut wilayah yaitu: (1) kelompok satu yaitu,
sepuluh ibukota provinsi yang meliputi Medan, Palembang, Jakarta,
Bandung, Semarang, Surabaya, Denpasar, Manado, Makassar,
dan Pontianak; (2) kelompok kedua adalah Ibukota provinsi selain
10 ibukota kelompok pertama; (3) daerah lainnya yang meliputi
untuk WP orang pribadi yang menghitung penghasilan neto
menggunakan NPPN, WP orang pribadi yang ternyata tidak atau
tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak
bersedia memperlihatkannya, dan WP badan yang tidak atau
118 } BUSUR

tidak sepenuhnya menyelenggarakan pembukuan atau tidak


bersedia memperlihatkannya.
Jadi untuk menemukan persentase NPPN yang tepat, Anda bisa
cek kode klasifikasi lapangan usaha (KLU) yang cocok dengan SPT,
kelompok usaha, dan tarif yang sesuai dengan kelompok wilayah.
Untuk WP yang sejak tax amnesty sudah menggunakan PP 46
kemudian PP 23 maka perlu mempelajari lagi mengenai penggunaan
norma. Seperti menagih untuk tidak lupa, bahwa PP 46 atau PP 23
mempunyai batasan waktu.
Digital Economy Poses Challenges
In Collecting Tax Revenues
Ronny Satriawan Sakti

T
he only constant in life is change (Heraclitus). As more generation
of young people continue to dominate business realm globally,
information technology also rises more rapidly to the occasion. World
biggest firms such as Google, Facebook, Western Union, Twitter,
Alibaba, Amazon, etc. have information technology highly-integrated
in their businesses. They have huge influences on the world of digital
economy and often referred as Over the Top (OTT) corporations
because they simply operate over the internet across the globe with
lack of physical presence. Each of them leads on business sector of
billion-dollar value. Ironically, in spite of enormous turnovers stated
by these giant firms in their financial reports, they paid only irrelevant
amounts of taxes from time to time.
As an example, in United Kingdom, Amazon had sales of £3.35
billion in 2011, but only reported tax expense of £1.8 million. Google’s
UK unit also paid just £6 million to the UK Treasury in 2011 on its
UK turnover of £395 million. How about in Indonesia? Until 2017,
Google, Facebook, Western Union, Twitter, and Yahoo never paid
any corporate income tax in Indonesia.
Prior to 2017, the only regulation that required foreign OTT
providers to have a permanent establishment (PE) in Indonesia was
Circular Letter of the Minister of Communication and Information
Technology number 3 of 2016 concerning Application and Content
Service Provision throughout the Internet.
120 } BUSUR

Apparently, the rapid growth of digital economy supported


by sophisticated information technology has not yet followed by
the development of both domestic and international tax rules of
most countries, including Indonesia. Domestic rules failed to tax
these OTTs. Same thing happened with tax treaties and even the
MLI between one state and another. Regardless of G20 countries’
commitment to work together with the OECD to tax digital economy,
no agreement has been reached this far.
Did Indonesia stop trying to tax these OTTs in the absence of
international consensus? No, it did not. In 2015 and 2016, Directorate
General of Taxes (DGT) through Permanent Establishments and
Expatriates Tax Office (KPP Badora) and Special Jakarta Regional Tax
Office started its efforts to tax Google, Facebook, Twitter, and Yahoo.
In Indonesia, Google had a representative office (RO) called
PT Google Indonesia. Facebook had RO named BHLN Facebook
Singapore now known as PT Facebook Indonesia. These firms created
“Perseroan Terbatas” as their ROs basically to avoid paying income tax
in Indonesia because the range of activities allowed to be conducted
by an RO will not constitute as a PE based on Article 5 paragraph 4 of
the OECD Model Tax Convention. Indonesia Investment Coordinating
Board rules that an RO may not undertake trading activities and
operational business activities or own production facilities. ROs are
mainly reserved for the purpose of advertising or for the supply of
information activities on behalf of the parent company.
Nevertheless, DGT deemed these companies to have PEs in
Indonesia: BUT Google Asia Pacific Pte Ltd, BUT Facebook Singapore
Pte Ltd, BUT Twitter Asia Pacific Pte Ltd, and BUT Yahoo Singapore
Pte Ltd. Google and Facebook PEs were deemed to be located in
MENGGALI PELUANG { 121

the same place of business of their ROs. KPP Badora then conducted
tax audits in 2016 on the four PEs.
Tax audits got complicated because these OTTs insisted that
the businesses being carried out in Indonesia were solely marketing
or preparatory and auxiliary activities, thus they did not create PEs
in Indonesia. Consequently, they were not obliged to pay income tax
in Indonesia. They fought hard against DGT’s efforts both technically
and politically.
It was obvious that taxing these tech giants was a lot easier
said than done. As previously mentioned, this was mainly because
tax laws have not caught up with the changing businesses run by
multinational tech firms. According to current international tax law,
the existence of a PE in a source country is the only way for tax
authority to tax business income earned by nonresident taxpayer.
It is true that based on domestic law and tax treaties, a PE can
take various forms, such as fix place like a building, room, or various
thing related to business such as a computer device, networking
server, etc. However, in reality, digital corporations can run businesses
without a PE. As a result, they can earn big income from a source
country without paying income tax in that country by diverting income
to a lower tax jurisdiction. Old set of PE rules made what these digital
companies did was not a tax crime, but a legal tax avoidance.
Despite the challenges posed by these OTTs and the absence
of legal supports in both domestic tax rules and tax treaties, DGT
persistently tried to tax digital presence as a new form of PE. Things
got changed when BUT Google Asia Pacific Pte Ltd refused to be
audited by KPP Badora. It constituted a tax crime and consequently,
its tax audit was then escalated to preliminary investigation.
122 } BUSUR

With the evidence collected during preliminary investigation


and political willingness of Director General of Taxes and the Minister
of Finance, finally in November 2017, Google paid income tax in
Indonesia. It was a national pride that Indonesia was being one of
only four countries that could tax Google, along with United Kingdom,
Australia, and India. Shortly after Google, Facebook, Twitter, and
Yahoo also agreed to pay taxes in Indonesia.
Interesting fact found in the process of tax audit was that
digital economy in the form of digital advertising on Google and
Facebook in Indonesia collected 70 percent of Indonesia’s total
digital advertising revenues of $830 million in 2015, mostly went
into Google’s bank accounts. Similar condition was also found in
other businesses such as Western Union. With almost 300 million
citizens, most of whom are young and internet literate, Indonesia
is undeniably one of the largest markets for digital advertising.
Moreover, according to the World bank, Indonesia is the biggest
economic in Southeast Asia.
Based on that data, it is obvious that Indonesia in an urgent need
to improve the applicability of its tax rules and treaties to keep pace
with the rapid development of digital economy. Should Indonesia
feel satisfied by taxing Google, Facebook, Twitter, and Yahoo? What
about Netflix, Spotify, and other OTTs?
A new hope emerged when Law Number 2 of 2020 was issued
on 31 March 2020. Article 6 paragraph (6) opens the chance to
tax foreign companies with significant presence on their income
that sourced in Indonesia. Nonetheless, a year later, this rule has
not yet come into action. The only tax applied is value-added tax
MENGGALI PELUANG { 123

which basically is a tax on consumption and paid by the customers,


not the digital service providers. The application of this new rule
of digital service tax is urgent to prevent potential loss from tax
avoidance by huge-tech companies and other corporations with
similar conditions. Taxing income simply with traditional approach
is no longer an option.
Trust:
Sebuah Kotak Pandora
Bambang Tejomurti

B
anyak dari kita belum mengenal apa itu trust. Dan mengapa kita
sebagai aparat pajak harus mengetahuinya?
Perhatian penulis tertuju pada tajuk berita online “Perusahaan
property, PT Lippo Karawaci Tbk, pada hari ini, Selasa 15 Desember
mengumumkan bahwa mayoritas Unitholders Lippo Malls Indonesia
Retail Trust (LMIR Trust) telah memberikan dukungannya terhadap
akuisisi Lippo Mall Puri melalui transaksi yang nilainya mencapai
Rp3,5 triliun” (VOI.id, 2021).
Mengingatkan penulis saat bertugas di kantor yang lama
beberapa tahun yang lalu. Saat itu penulis melakukan penelitian
atas perusahaan yang terdaftar di BEI tersebut, PT Lippo Karawaci
Tbk (LPKR) menjual Lippo Mall Kuta ke perusahaan Dana Investasi
Real Estat (DIRE) alias real estate investment trust (REITs) yang ada di
Singapura yaitu Lippo Malls Indonesia Retail Trust (Bisnis.com, 2017).
Transaksi yang menjadi perhatian adalah sejauh mana otoritas
pajak dapat menjangkau pemasukan yang signifikan ke kas negara.
Salah satunya adalah menganalisis apakah transaksi yang dilakukan
dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 18 ayat (3) UU PPh. Sulit menemukan regulasi sebuah badan
usaha terkait trust, sehingga analisis kewajaran transaksi dapat
dilakukan. Karena dalam dokumen yang dirilis hanya menyebutkan
ikut “mendirikan” dan “mensponsori” trust dimaksud.
MENGGALI PELUANG { 125

Apa itu Trust


Awal mula trust berasal dari Inggris dengan sistem hukum
common law-nya. Trust timbul karena adanya equity, dan tanpa adanya
equity maka tidak ada trust. Secara historis, equity adalah sistem yang
berada di luar sistem common law dan merupakan prinsip-prinsip
etikal yang dikembangkan oleh Court of Chancery. Court of Chancery
sendiri merupakan suatu pengadilan yang memiliki extraordinary
jurisdiction yang dibentuk untuk menyelesaikan perkara-perkara yang
tidak dapat diselesaikan di dalam pengadilan common law.
Dalam akuntansi, trust adalah peleburan beberapa perusahaan
yang kemudian berdiri dengan nama yang baru. Tujuan dari tindakan
tersebut meliputi keinginan untuk memperoleh pengaruh, kekuasaan,
atau monopoli dari bidang usaha terkait.
Ada beberapa definisi trust menurut para ahli. Trust merupakan
penggabungan perusahaan dalam satu bidang sebagai metode untuk
keperluan pengawasan produksi dan distribusi atas barang maupun
jasa. Termasuk di dalamnya untuk maksud monopoli pasar. Trust
dapat pula diartikan sebagai proses pengelolaan harta oleh pihak
lain (Edilius dan Sudarsono) 1 .
Trust tidak lain adalah bentuk konsentrasi terpusat pengelolaan
aset kekayaan dari beberapa badan usaha yang disatukan. Secara
teknis, perusahaan yang terlibat kehilangan kemerdekaan karena
kepemilikan saham berada di tangan pengelola utama. Sebutan lain
untuk perusahaan trust adalah konsolidasi (Komaruddin) 2 .
Trust umumnya memiliki ciri atau karakteristik (1) adanya
penyerahan suatu benda kepada  Trustee, atau suatu pernyataan

1 Edilius – Sudarsono, 1994. Kamus Ekonomi Uang dan Bank, Jakarta, Rineka Cipta, hal. 248.
2 Komarudin, 1982. Ekonomi Perusahaan dan Manajemen. Jakarta, Alumni, hal. 152
126 } BUSUR

Trusts; (2) adanya pemisahan kepemilikan benda tersebut dengan


harta kekayaan milik Trustee yang lain; (3) pihak yang menyerahkan
benda tersebut (settlor), kehilangan kewenangannya atas benda
tersebut; (4) adanya pihak yang memperleh kenikmatan (beneficiary)
atau suatu tujuan penggunaan benda tersebut, yang dikaitkan dengan
kewajiban  trustee  untuk melaksanakannya; dan (5)   adanya unsur
kepercayaan dalam penyelenggaraan kewajiban  trustee  tersebut,
khususnya yang berkaitan dengan benturan kepentingan.
(Maurizio Lupoi) 3 .
Sedangkan dalam tradisi hukum common law dalam
perkembangannya bertambah dengan memiliki ciri dan karakteristik
sebagai berikut :
1. Trust melibatkan eksistensi dari 3 pihak, yaitu  settlor, trustee,
dan  beneficiary. Eksistensi dari 3 pihak ini dapat terjadi karena
kehendak (dalam hal kematian – trust will) atau berdasarkan pada
perjanjian (dalam hal penyerahan benda terjadi selama settlor
masih hidup – inter vivos trusts);
2. Dalam suatu trust selalu terjadi penyerahan benda atau hak
kebendaan atas suatu benda. Hak kebendaan yang diserahkan
ini dapat merupakan hak kebendaan yang paling luas (yaitu hak
milik) maupun hak kebendaan yang merupakan turunan dari
hak milik (misalnya dalam hal pemberian jaminan kebendaan
dalam Indenture Trusts). Penyerahan hak kebendaan ini dilakukan
oleh settlor kepada trustee.
3. P e n y e r a h a n benda atau hak kebendaan
oleh settlor kepada trustee tersebut senantiasa dikaitkan dengan
kewajiban trustee untuk menyerahkan kenikmatan atau manfaat
atau hasil pengelolaan benda atau hak kebendaan yang diserahkan

3 Maurizio Lupoi, 2000. Trust: A comparative study. Cambridge University Press


MENGGALI PELUANG { 127

oleh settlor tersebut kepada  beneficiary. Kewajiban tersebut


disebutkan dengan tegas di dalam pernyataan atau perjanjian
yang menciptakan trusts, peraturan perundang-undangan, atau
putusan hakim.
4. B e n d a atau hak kebendaan yang diserahkan
oleh  settlor  kepada  trustee  meskipun tercatat atas
nama  trustee  haruslah merupakan kekayaan yang terpisah
dari trustee;
5. Pada umumnya  settlor, trustee, dan  beneficiary  adalah 3 pihak
yang berbeda. Walau tidak selalu atau sering terjadi, settlor
dimungkinkan untuk dapat menjadi  beneficiary, demikian juga
dengan trustee, dalam hal tertentu dapat juga menjadi beneficiary.

Kelebihan dan Kekurangan Trust


Dalam menerapkan sistem perusahaan  trust, terdapat
keuntungan-keuntungan yang diperoleh oleh pihak yang terlibat 4 ,
yaitu:
• Manajemen perusahaan, baik operasional maupun finansial,
menjadi lebih baik.
• Sumber permodalan perusahaan lebih baik dan terjamin sebab
ada lebih dari satu pihak penyokong dana.
• Skala obligasi dan saham yang dimiliki lebih luas baik dari
kepemilikan maupun persentase untuk penjualan pada publik.
Dengan demikian, profit perusahaan dari sumber pendapatan
sampingan pun semakin tinggi.
• Produktivitas perusahaan dengan sistem  trust  lebih baik
dibandingkan sebagai perusahaan tunggal.

4 https://akuntanmuslim.com/trust-adalah/
128 } BUSUR

Di sisi lain, kekurangan dari sistem perusahaan trust adalah :


• Risiko kerugian perusahaan tidak hanya menjadi tanggung jawab
satu pihak, namun ditanggung bersama.
• Kebebasan aktivitas operasional dan finansial masing-masing
perusahaan hilang.
• Ketergantungan tinggi terhadap modal mesin dan barang sehingga
bila persediaan tidak mencukupi, operasional perusahaan akan
mengalami gangguan yang cukup fatal hingga menyebabkan
keseluruhan jaringan bisnis melemah.

Penghindaran Pajak
Dalam bentuk skema, trust dapat digambarkan seperti di
bawah ini:
ILUSTRASI TRANSAKSI

ABC trust yang


berdomisili dan didirikan
di negara S memiliki
kepemilikan di A Ltd dan
A Ltd PT. DEF 2 perusahaan lainnya
yang juga berdomisili di
negara S. Kemudian A
dan B Ltd yang memiliki
saham mayoritas di PT.
A Ltd DEF mengambil alih
ABC kepemilikian properti
TRUST
yang dimiliki PT. ABC. PT.
PROPERTY ABC ini adalah bagian
(Mall, Hotel)
dari kelompok usaha
(grup) yang ikut
A Ltd mensponsori dan
mendirikan ABC Trust.

PT. ABC
MENGGALI PELUANG { 129

Direktur Perpajakan Internasional Direktorat Jenderal Pajak


(DJP), Dr. John Hutagaol, menyatakan potensi penghindaran pajak
melalui skema trust bakal mengganggu target penerimaan dari
amnesti pajak. Skema trust, lanjutnya, merupakan skema investasi
yang unik di mana melibatkan tiga pihak, yakni Settlor, Benificiary, dan
Trustee. Settlor bertindak sebagai pemilik modal atau harta, sementara
Trustee berperan sebagai manajer investasi, dan Benificiary bertindak
serupa Broker yang juga mendapat keuntungan.
Persoalannya adalah belum ada aturan yang jelas, malah belum
ada aturan yang mengatur trustee ini sehingga dapat dipakai upaya
penghindaran pajak. Meskipun demikian tidak selamanya investasi
melalui skema trust adalah bentuk penghindaran pajak. Di Indonesia
sendiri, bentuk investasi serupa dengan trust sudah berjalan, seperti
wali amanat, kontrak investasi kolektif (KIK), dan dana investasi real
estate (DIRE).

Apakah Trust ataupun DIRE


Diatur dalam UU Perpajakan Kita?
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 192/
PMK.03/2018 tentang Pelaksanaan Pengkreditan Pajak atas
Penghasilan dari Luar Negeri, trust adalah skema, pengaturan, atau
hubungan berdasarkan perjanjian tertulis antara orang atau badan
yang bertindak selaku pendiri dan orang atau badan yang bertindak
selaku pemegang kepemilikan atas suatu harta dengan kewajiban
untuk mengelola harta tersebut untuk kepentingan penerima manfaat.
Apabila kita melihat Pasal 1 angka 3 Undang-Undang KUP
disebutkan bahwa badan adalah sekumpulan orang dan/atau modal
yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang
tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan terbatas, perseroan
130 } BUSUR

komanditer, perseroan lainnya, badan usaha milik negara, atau badan


usaha milik daerah dengan nama dan dalam bentuk apa pun, firma,
kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan,
organisasi massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya,
lembaga, dan bentuk hukum lainnya termasuk kontrak investasi
kolektif dan bentuk usaha tetap.
Kementerian Keuangan melalui siaran pers tanggal 21 September
2016, menyampaikan bahwa Kontrak Investasi Kolektif Dana Investasi
Real Estat (KIK-DIRE) merupakan salah satu produk keuangan yang
dipergunakan untuk menghimpun dana masyarakat pemodal yang
selanjutnya diinvestasikan pada aset berupa real estat dan aset
berkaitan dengan real estat. Sebagai produk keuangan, KIK-DIRE
tidak hanya merupakan bentuk alternatif investasi bagi pemodal,
tetapi juga dapat berfungsi sebagai sumber alternatif pendanaan
untuk pengembangan/pembangunan properti dan infrastruktur baru.
Kategori trust yang paling mendekati adalah bentuk hukum
lainnya sebagaimana disebutkan UU di atas yakni termasuk Kontrak
Investasi Kolektif. Mari kita lihat definisi Kontrak Investasi Kolektif itu
sendiri. Berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor
SE-09/PJ. 42/1998 tanggal 16 Maret 1998 tentang Penegasan
Perlakuan PPh atas Kontrak Investasi Kolektif (KIK) dalam Transaksi
Efek Beragun Aset (EBA) disebutkan bahwa Kontrak Investasi Kolektif
adalah kontrak antara Manajer Investasi dan Bank Kustodian yang
mengikat pemegang Unit Penyertaan di mana Manajer Investasi diberi
wewenang untuk mengelola portofolio investasi kolektif dan Bank
Kustodian diberi wewenang untuk melaksanakan Penitipan Kolektif.
Apakah trust sama dengan KIK? Sekilas memang terlihat serupa,
baik dari sisi definisi maupun penerapannya di lapangan. Yang
berbeda adalah KIK lebih kepada kebutuhan di sektor real estat.
MENGGALI PELUANG { 131

Banyaknya pertanyaan akan pentingnya regulasi terkait transaksi


yang terkait dengan keberadaan trust ini mempersulit kita dari sisi
kepastian hukum, terutama bagi aparat pajak dalam menggali potensi
penerimaan pajak.
Adanya potensi penghindaran pajak dari pemilik harta trust dari
skema trust, karena skema tersebut merupakan skema investasi
yang unik. Skema yang melibatkan
tiga pihak yakni Settlor, Benificiary,
dan Trustee. Settlor menyerahkan Potensi pajak yang
hartanya yang juga bisa berupa aset demikian besar
ataupun saham secara penuh untuk terutama dari
dikelola trustee yang biasanya berada Trust-Trust yang
di luar negeri untuk diinvestasikan. terafiliasi maupun
Maka settlor sudah tidak tidak dari luar
berhak atas harta tersebut selama negeri, perlu dibuat
masa waktu perjanjian. Settlor juga ketentuan yang
bisa mengarahkan keuntungan dari mengatur bentuk
investasi tersebut di berikan kepada Trust dan cara
beneficiary. Trustee itu fungsinya pemajakannya di
seperti manajer investasi yang Indonesia
mengelola trust fund yang diberikan
oleh settlor. Singapura dan Hong
Kong menganut prinsip pajak teritorial yaitu memajaki penghasilan
yang bersumber dari negara itu saja. Sehingga atas penghasilan tadi
yang diperoleh WNI melalui trust dari Singapura, itu tidak dipajaki
sama sekali. Sehingga settlor bebas dari pungutan pajak baik dari
Indonesia, Singapura maupun Hong Kong. Itulah mengapa Singapura
menjadi ladang investasi trust bagi perusahaan properti sebagai
132 } BUSUR

sarana melakukan transaksi jual beli aset di Indonesia, contohnya


seperti yang dilakukan Grup Lippo.
Oleh sebab itu dapat dikatakan skema investasi ini sangat diminati
para konglomerat dan sudah pasti terindikasi penghindaran pungutan
pajak. Meskipun skema ini tidak selalu dimanfaatkan untuk tujuan
buruk, namun DJP memandang adanya indikasi kuat mekanisme trust
memiliki ruang yang cukup untuk menghindari pajak.
Namun sayangnya Undang-Undang KUP sendiri belum mengatur
secara spesifik dan detail terkait trust dalam regulasi perpajakan kita.
Definisi trust baru ditemukan dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 192/PMK.03/2018 tentang Pelaksanaan Pengkreditan Pajak
atas Penghasilan dari Luar Negeri. Sehingga dengan potensi pajak
yang sedemikian besar terutama dari trust-trust terdaftar di negara
yang tarif pajaknya lebih rendah sehingga kepastian mengenai
hubungan istimewa dan tata cara pelaporannya, perlu dibuat
ketentuan yang mengatur definisi dan tata cara pemajakan trust.
Preliminary Pricing Plan
Konsep Pengawasan Transaksi
Afiliasi Sebelum Periode Transaksi
I Made Suryantara

K
onsep memaksimalkan laba dalam perusahaan multinasional
saat ini dipermudah oleh kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi. Pajak sebagai salah satu unsur biaya tentu menjadi salah
satu perhatian utama yang dapat ditekan dengan memanfaatkan
perbedaan tarif dan disparitas rezim pajak di negara atau yurisdiksi
perusahaan multinasional tersebut beroperasi. Transaksi afiliasi yang
jamak terjadi antara perusahaan dalam satu grup tidak jarang menjadi
salah satu upaya memaksimalkan laba tersebut.
Harga transfer (Transfer Pricing) dinyatakan sebagai salah satu
teknik penghindaran pajak yang biasa diterapkan multinational
corporations yang dapat merugikan ratusan miliar dolar Amerika
Serikat (Contractor, 2016). Praktik Transfer Pricing yang agresif menjadi
salah satu sumber terkikisnya basis pajak di berbagai negara, termasuk
Indonesia. Wardhana berpendapat bahwa penurunan pendapatan
Pajak Badan dan bukti-bukti dialihkannya laba di Indonesia ke negara
lain merupakan petunjuk kuat penerapan strategi Transfer Pricing
tersebut (Wardhana, 2019).
Penulis menyadari berbagai masalah dalam pengawasan dan
pemeriksaan atas transaksi yang berpotensi menggunakan Transfer
Pricing sebagai sarana penghindaran pajak. Pemahaman yang tidak
merata dan kepentingan yang sangat berbeda antara Wajib Pajak
134 } BUSUR

dengan Fiskus menjadi salah satu kendala pengawasan kewajiban


perpajakan atas transaksi afiliasi.
Ketidaksiapan Wajib Pajak dalam pembuktian kewajaran dan
kelaziman usaha serta perbedaan pendekatan antara sesama
Fiskus ( Account Representative/AR maupun Pemeriksa Pajak)
juga menambah permasalahan. Hal-hal tersebut berujung pada
banyaknya kasus Transfer Pricing yang bermuara di Pengadilan Pajak.
Banyaknya sengketa dan besarnya nilai koreksi akan meningkatkan
Compliance Costs dan menurunkan tingkat kepastian untuk Wajib
Pajak serta banyaknya sumber daya, termasuk waktu dan tenaga
yang dialokasikan oleh Fiskus.
Berbagai upaya telah diupayakan DJP untuk mengurangi
kendala-kendala di atas dengan tetap mempertahankan basis
pemajakan yang adil. Kebijakan penanganan yang lebih khusus
sesuai Surat Edaran Dirjen Pajak nomor 7/PJ/2020, serta pemanfaatan
Advance Pricing Agreement (APA) melalui Peraturan Menteri Keuangan
nomor 22/PMK.03/2020 dan Peraturan Dirjen Pajak nomor 17/PJ/2020.
Regulasi tersebut merupakan usaha untuk meningkatkan pengawasan
transaksi afiliasi serta menekan biaya dan sumber daya, baik di level
perusahaan maupun negara, terkait dengan skema Transfer Pricing.
Namun demikian, Penulis memandang bahwa tidak semua
perusahaan multinasional memandang APA sebagai solusi terbaik
dan proses negosiasi biasanya memakan waktu yang lama dan
belum tentu berhasil. Dengan demikian, berdasarkan pengamatan
dan pengalaman selama ini, Penulis menawarkan pendekatan yang
berbeda dalam rangka menjawab berbagai permasalahan Transfer
Pricing yang diharapkan menjawab sebagian permasalahan di atas.
Selama ini sengketa terkait pengujian transaksi afiliasi sebagian
besar mulai muncul pada saat Pemeriksaan Pajak. Dalam beberapa
MENGGALI PELUANG { 135

kasus, perbedaan pendapat telah terjadi di level pengawasan,


pada saat AR menganalisis kepatuhan kewajiban perpajakan atas
tahun pajak-tahun pajak sebelumnya. Ini merupakan pendekatan
pengawasan/pemeriksaan pada saat seluruh transaksi telah terjadi.
Misalnya untuk pembukuan suatu perusahaan yang berakhir
pada 31 Desember 2018 dan SPT Tahunan dilaporkan tanggal 30
Juni 2019. Penerapan Kewajaran dan Kelaziman Usaha (PKKU)
atas transaksi afiliasi yang dilaporkan dalam SPT tersebut akan
dianalisis AR setelah Juni 2019, sedangkan jika dilakukan Pemeriksa
Pajak maka kemungkinan pemeriksaan dimulai beberapa bulan
setelah SPT dilaporkan. Ini berarti terdapat jeda yang cukup
lama antara berakhirnya tahun buku dengan mulai dilakukannya
pengawasan/pengujian.
Pengalaman menunjukkan bahkan dalam rentang jangka waktu
tersebut, Wajib Pajak belum tentu telah menyiapkan Dokumentasi
Harga Transfer (TP Doc) sebagaimana dimaksud dalam Peraturan
Menteri Keuangan nomor 213/PMK.03/2016 atau Wajib Pajak tidak
dapat mendemonstrasikan penerapan PKKU atas transaksi-transaksi
afiliasinya. Fiskus juga mengalami kesulitan jika data dan informasi
terkait transaksi tersebut tidak lengkap atau pemahaman atas proses
bisnis dan value chain grup belum memadai.
Hal ini akan meningkatkan risiko ketidakpatuhan, risiko sengketa,
risiko pembuktian oleh Wajib Pajak serta pengawasan/pengujian
oleh Fiskus yang tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya
akan meningkat, dan lebih banyak waktu dan tenaga yang harus
dialokasikan oleh kedua belah pihak.
Penulis berpendapat bahwa sebagian besar permasalahan di
atas dapat dieliminasi jika pemahaman atas transaksi afiliasi, baik oleh
Wajib Pajak dan fiskus, telah dituntaskan di awal periode, yaitu pada
136 } BUSUR

saat transaksi afiliasi belum dilakukan. Sebuah konsep yang penulis


perkenalkan sebagai Preliminary Pricing Plan (PPP) yaitu pemahaman
atas pembentukan harga atau laba (Pricing Policy) transaksi afiliasi
sebelum transaksi dilakukan.
Pemahaman ini termasuk mengerti proses pembentukan harga/
laba, pihak-pihak yang terlibat, variabel yang diterapkan, asumsi yang
dipakai, dan margin/mark-up yang diterapkan sesuai dengan strategi
perusahaan baik jangka pendek (tahun depan) maupun jangka yang
lebih panjang. Sebagai ilustrasi, untuk transaksi afiliasi tahun 2021,
maka PPP sudah harus dipahami oleh kedua belah pihak pada paling
lambat akhir 2020.
Konsep ini sejalan dengan prinsip ex-ante dalam penerapan PKKU
serta prinsip bahwa seluruh transaksi afiliasi harus wajar dan lazim
sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) dan Pasal 2 ayat (6) PMK-213/
PMK.03/2016. Pada dasarnya, seluruh transaksi afiliasi (terlepas ada
tidaknya TP Doc) harus wajar dan lazim dan pengujiannya dilakukan sesuai
dengan data dan informasi yang tersedia pada saat dilakukannya transaksi.
Hal tersebut menimbulkan konsekuensi bahwa Transfer Pricing
dapat dideteksi dini dengan memahami pembentukan harga yang
diterapkan Wajib Pajak sebelum transaksi afiliasi benar-benar terjadi
sehingga tidak harus menunggu berakhirnya tahun buku atau setelah
SPT Tahunan dilaporkan.
Contoh: atas transaksi afiliasi berupa rencana penjualan
produk akhir dari PT A ke A Ltd di luar negeri pada tahun 2021,
maka selambat-lambatnya akhir 2020, PT A telah menentukan
harga penjualan itu seperti telah ditetapkan margin sebesar 10% dari
Harga Pokok Produksi dengan skema FOB (Freight on Board) dan
pembayaran dilunasi seminggu setelah barang tiba di pelabuhan
tujuan. Logikanya, perusahaan yang memiliki tata kelola yang baik
MENGGALI PELUANG { 137

akan memiliki rencana strategis pada tahun mendatang seperti


rencana penjualan dan target laba yang akan dibukukan. Ini berarti
bahwa suatu perusahaan akan menentukan harga atau tingkat laba
atau biaya yang akan dikeluarkan sebelum terjadinya transaksi.
Jika harga atau tingkat laba atau biaya transaksi afiliasi berada
pada titik atau rentang yang tidak mendukung rencana tersebut,
maka Wajib Pajak (sebagaimana pihak independen bertransaksi)
akan melakukan renegosiasi atau upaya lain sehingga harga/laba/
biaya menjadi wajar dan lazim. Informasi-informasi tersebut harus
dapat diungkapkan oleh Wajib Pajak, dipahami oleh fiskus, dan jika
terdapat ketidakwajaran atau penerapan PKKU yang tidak tepat,
dapat didiskusikan terlebih dahulu antara Wajib Pajak dengan Fiskus.
PPP ini mendorong KPP yang diwakili oleh AR dan Pemeriksa
Pajak untuk duduk bersama dengan Wajib Pajak untuk mendiskusikan
kemungkinan transaksi afiliasi dan pembentukan harga yang
diterapkan untuk tahun pajak yang akan datang.
Beberapa informasi yang dapat didokumentasikan pada
pertemuan tersebut adalah: jenis transaksi afiliasi yang akan terjadi
dan pihak-pihak yang terlibat, kontrak atau perjanjian atau dokumen
lain yang menjadi dasar transaksi, gambaran akurat tentang transaksi
yang akan dilakukan (delineation of a transaction), proses penentuan
harga atau rentang laba yang akan dilakukan Wajib Pajak untuk
menjamin bahwa transaksi telah arm’s length, pembanding atau
calon pembanding yang akan dipergunakan, rencana/target laba
atau rentang laba atau harga yang ditetapkan untuk tahun depan,
dan data/informasi lain yang tersedia pada saat itu.
PPP merupakan gambaran dan proses alamiah suatu perusahaan
dalam menentukan harga atau tingkat laba atau biaya yang akan dibayar
atas suatu transaksi dengan pihak independen untuk memaksimalkan
138 } BUSUR

laba atau mencapai target tertentu lainnya. Normalnya, perusahaan


akan mempertimbangkan berbagai variabel sebelum memutuskan
untuk melakukan transaksi. Ekspektasi mengoptimalkan laba dan
pencapaian beberapa sasaran strategis lain untuk mempertahankan
dan meningkatkan pasar selalu menjadi pertimbangan utama.
Perusahaan independen, misalnya, akan menolak suatu kontrak
yang merugikan mereka atau tidak bermanfaat untuk kelangsungan
usaha atau melakukan negosiasi/memberikan penawaran baru/mencari
supplier lain jika barang yang mereka akan beli terlalu mahal. Perusahaan
akan menolak menjual produknya atau memberikan insentif tertentu
jika target laba atas harga yang ditawarkan pembeli tidak terpenuhi.
seperti ini idealnya juga terjadi pada saat Wajib Pajak melakukan
penilaian atas kewajaran transaksi afiliasinya. PPP menjadi dokumen
yang dapat dijadikan patokan untuk menilai apakah proses tersebut
benar-benar terjadi.
Industri dan lingkungan usaha bersifat dinamis dan perbedaan
antara rencana dengan realisasi sering tidak dapat dihindarkan. PPP
bukan merupakan dokumen baku yang tidak dapat disesuaikan.
Namun, jika kenyataannya asumsi yang dipergunakan tidak tepat
atau terdapat kejadian luar biasa yang memengaruhi target atau
rencana dalam PPP, penyesuaian-penyesuaian untuk meningkatkan
kesebandingan dalam pengujian kewajaran dan kelaziman usaha
dapat dilakukan dengan itikad baik. Penyesuaian ini dilakukan pada
saat transaksi dilakukan sehingga terhindar dari upaya penyesuaian di
akhir periode saat TP Doc disusun hanya untuk menjustifikasi bahwa
transaksi telah arm’s length.
PPP dapat menggeser risiko Transfer Pricing ke tahap awal dan
saat transaksi terjadi, sehingga akurasi pengujian akan lebih baik
dan sumber daya akan lebih sedikit dipergunakan. Dibandingkan
MENGGALI PELUANG { 139

dengan pengawasan dan pengujian setelah berbulan-bulan


atau bertahun-tahun transaksi selesai dilakukan, skema PPP
memungkinkan Wajib Pajak mendemonstrasikan bahwa tidak
terdapat Transfer Pricing yang tidak adil dan DJP dapat mengantisipasi
lebih awal jika risiko tersebut muncul.
Beberapa manfaat jika PPP dilaksanakan terangkum di bawah
ini, yaitu: Fiskus dapat mengetahui risiko
dan potensi transfer pricing sebelum
transaksi terjadi, sehingga mitigasi dapat PPP dapat
dilaksanakan. AR dapat memberikan menggeser risiko
konseling untuk melakukan koreksi Transfer Pricing
fiskal atau menyarankan negosiasi ke tahap awal dan
kepada pihak afiliasi jika transaksi tidak saat transaksi
memenuhi PKKU. terjadi, sehingga
Kemudian Wajib Pajak dapat akurasi pengujian
memenuhi kewaj i b a n nya u ntu k akan lebih baik
membuktikan bahwa transaksi afiliasi dan sumber daya
telah arm’s length setiap saat dan sesuai akan lebih sedikit
prinsip ex-ante, sesuai dengan regulasi dipergunakan
saat ini. Sehingga berkurangnya beban
dan waktu penyiapan TP Doc, karena
pengujian telah dilakukan di sepanjang tahun. Wajib Pajak dapat
dengan cepat memenuhi permintaan peminjaman dokumen tersebut
setelah SPT Tahunan dilaporkan.
Di sisi lain, AR dan Pemeriksa memiliki data dan informasi yang
jauh lebih lengkap tentang transaksi afiliasi pada saat pengawasan
atau pemeriksaan, sehingga proses konseling atau pengujian akan
lebih cepat. Pemeriksa Pajak tidak akan melakukan tahapan pengujian
dari awal dan dapat mempergunakan PPP sebagai titik tolak untuk
140 } BUSUR

dibandingkan dengan performa sebenarnya untuk memberikan


indikasi apakah terjadi transaksi yang tidak wajar/tidak lazim. Ini akan
mengurangi kemungkinan perbedaan pendapat dan sengketa pajak
karena telah terdapat kesepahaman mendasar di awal tahun pajak.
PPP juga Memperkecil kemungkinan metode cherry picking
dalam proses pencarian pembanding karena TP Doc disiapkan dari
awal pada saat tahun pajak berakhir. Dengan PPP, Wajib Pajak telah
merencanakan untuk menentukan metode dan pembanding tertentu
yang tersedia saat itu, sehingga pemilihan metode dan pembanding
yang hanya menguntungkan atau semata-mata melegitimasi
kewajaran transaksi afiliasi dapat dihindarkan.
Tak kalah pentingnya adalah meningkatkan kepercayaan (trust)
antara Wajib Pajak dengan fiskus (AR/Pemeriksa Pajak) karena data/
informasi telah diungkap di awal dan proses pembentukan harga/
laba dapat dipantau sepanjang waktu. Kepercayaan merupakan salah
satu faktor yang menentukan kepatuhan pemenuhan kewajiban
perpajakan (Damayanti, 2015).
Konsep PPP yang ditawarkan penulis merupakan bentuk
pengawasan dini atas transaksi afiliasi oleh DJP sekaligus memberikan
kesempatan Wajib Pajak untuk memenuhi kewajiban perpajakan
dalam pengujian kewajaran dan kelaziman transaksi dengan lebih
terbuka, lebih dapat dipercaya, dan mengurangi beban dalam
dokumentasi dan pemeriksaan.
PPP dapat menjawab berbagai masalah Transfer Pricing yang
muncul di tahun-tahun terakhir. Dengan berbagai manfaat yang timbul
baik untuk otoritas maupun dunia usaha diharapkan konsep ini dapat
diimplementasikan untuk meningkatkan trust, mitigasi risiko Transfer
Pricing, dan mengurangi dampak pengikisan basis pajak di Indonesia.
Penyidikan
Pasca Amnesti Pajak
Wijang

P
emberlakuan amnesti pajak menerapkan adanya uang tebusan
diperlukan sebagai pendapatan atas pajak penghasilan dalam
APBN. Semua wajib pajak bisa memanfaatkan amnesti pajak ini
kecuali wajib pajak yang sedang memiliki masalah hukum. Dalam
beberapa kasus, undang-undang yang melegalkan pengampunan
pajak memberikan hukuman yang lebih berat bagi pengampunan
pajak yang terlambat menjalankan kewajibannya.
Tindak pidana di bidang perpajakan adalah suatu perbuatan yang
melanggar peraturan perundang-undangan pajak yang menimbulkan
kerugian keuangan negara, pelakunya diancam dengan hukuman
pidana. Hal ini yang melatarbelakangi bahwa walaupun sudah mengikuti
amnesti pajak, tetapi terhadap wajib pajak yang melakukan pelanggaran
tetap akan dikenai sanksi perpajakan sebagaimana diatur dalam UU
KUP Pasal 43 ayat (1) yang menyatakan bahwa ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39 A, berlaku juga bagi wakil, kuasa,
pegawai dari wajib pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan,
yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Contoh kasus tindak pidana perpajakan yang pernah ditangani
oleh Kantor Wilayah Jakarta Khusus, bahwa diduga kuat dalam kurun
waktu sekurang-kurangnya sejak tahun pajak 2010 sampai dengan
2013 telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan melalui wajib
pajak PT. MPI dengan salah satu tersangkanya adalah DT.
142 } BUSUR

Bahwa Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983


tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor Undang-Undang Nomor
16 Tahun 2009 (UU KUP) yang dipersangkakan kepada tersangka DT
sesuai dengan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 ayat
(1) huruf d jo. Pasal 39A UU KUP. Sehingga terhadap tersangka DT dapat
dipersangkakan melakukan tindak pidana sesuai Pasal 43 ayat (1) UU KUP.
Keterkaitan UU Nomor 11 Tahun 2016 Tentang Pengampunan
Pajak (amnesti pajak) dengan UU Nomor 16 Tahun 2009 Tentang
KUP, walaupun wajib pajak telah mengikuti amnesti pajak tetapi
masih dapat dimintai pertanggungjawaban mengenai tindak pidana
perpajakan sebagaimana diatur dalam pasal Pasal 43 UU KUP tersebut
Kasus DT memang unik. Kasus tersebut telah terjadi sebelum
diundangkannya UU Pengampunan Pajak. Sedangkan penyidikannya
dilakukan setelah UU Pengampunan Pajak berakhir. Wajib pajak
telah melaksanakan kewajiban dalam UU Pengampunan Pajak
dengan mengungkap Harta dan membayar uang tebusan, sampai
didapatkannya surat keterangan. Sesuai Pasal 11 ayat (5) UU
Pengampunan Pajak, wajib pajak tersebut berhak atas fasilitas
pengampunan pajak, termasuk di dalamnya tidak dikenai sanksi
administrasi dan sanksi pidana di bidang perpajakan.
Pasal 1 angka 1 UU Pengampunan Pajak telah menentukan,
pengampunan pajak adalah penghapusan pajak yang seharusnya
terutang dan tidak dikenai sanksi administrasi perpajakan dan sanksi
pidana di bidang perpajakan sesuai mekanisme yang diatur. Objek dari
pengampunan pajak adalah kewajiban perpajakan sampai dengan
akhir tahun pajak terakhir (vide Pasal 3 ayat (4) UU Pengampunan
Pajak). Kewajiban tersebut terdiri dari kewajiban Pajak Penghasilan
dan Pajak Pertambahan Nilai atau Pajak Pertambahan Nilai dan
MENGGALI PELUANG { 143

Pajak Penjualan atas Barang Mewah. Artinya ketika terhadap suatu


kewajiban perpajakan telah diberikan pengampunan pajak sesuai
mekanisme yang berlaku, maka persoalan kewajiban perpajakan
tersebut sudah selesai. Pelanggaran atas kewajiban perpajakan
tersebut, yang dalam hal ini adalah penerbitan faktur pajak palsu,
jelas merupakan tindak pidana perpajakan yang diatur dalam UU KUP.
Artinya jika terjadi pelanggaran atas kewajiban perpajakan, yang
dalam hal ini adalah penerbitan faktur pajak tidak sah (semestinya), jelas
merupakan tindak pidana perpajakan
yang diatur dalam UU KUP. Hal inilah
yang melatarbelakangi walaupun sudah Selama unsur-unsur
mengikuti program amnesti pajak, masih pelanggaran yang
dapat dimintai pertangunggjawaban telah dilakukan
terhadap pelanggaran sebagaimana telah terpenuhi
tercantum dalam pasal 43 UU KUP, atau maka sanksi pidana
dengan kata lain selama unsur-unsur perpajakan masih
pelanggaran yang telah dilakukan dapat dilakukan
telah terpenuhi maka sanksi pidana pasca amnesti pajak
perpajakan masih dapat dilakukan
pasca amnesti pajak.
Pasal 11 ayat (5) huruf C UU Pengampunan Pajak mengatur bahwa
wajib pajak yang telah diterbitkan surat keterangan, memperoleh
fasilitas pengampunan pajak berupa tidak dilakukan pemeriksaan
pajak, pemeriksaan bukti permulaan, dan penyidikan tindak pidana
di bidang perpajakan, atas kewajiban perpajakan dalam masa pajak,
bagian tahun pajak, dan tahun pajak, sampai dengan akhir tahun
pajak terakhir. Konteks penghentian pemeriksaan pajak, pemeriksaan
bukti permulaan, dan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan
hanya terkait kewajiban perpajakan wajib pajak dimaksud. Hal ini
144 } BUSUR

selaras dengan ketentuan pasal 3 ayat (4) UU Pengampunan Pajak


yang mengatur bahwa pengampunan pajak meliputi pengampunan
atas kewajiban perpajakan sampai dengan akhir tahun pajak terakhir,
yang belum atau belum sepenuhnya diselesaikan oleh wajib pajak.
Pasal 43 ayat (1) UU KUP yang menyatakan bahwa ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39 A, berlaku juga bagi
wakil, kuasa, pegawai dari wajib pajak, atau pihak lain yang menyuruh
melakukan, yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang
membantu melakukan tindak pidana di bidang perpajakan. Dengan
demikian, DJP tetap dapat melakukan pemeriksaan bukti permulaan,
dan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan terhadap wajib pajak
apabila wajib pajak dimaksud terlibat dalam tindak pidana perpajakan
yang dilakukan oleh wajib pajak lainnya.
Wajib pajak orang pribadi DT telah memperoleh surat keterangan
TA, demikian juga PT CMM, di mana DT sebagai direktur. Namun
demikian DT disangkakan pasal 43 UU KUP atas tindak pidana pasal
39 ayat (1) huruf d dan/atau pasal 39A UU KUP yang dilakukan wajib
pajak lainnya, DT disangkakan sebagai pihak lain yang membantu.
Penyidikan dengan tersangka DT ini telah diputus Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan dengan Nomor Putusan PN Jakarta Selatan
Nomor 1173/PID.SUS/2019/PN JKT.SEL tanggal 9 Januari 2020 bahwa
DT terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana menerbitkan dan turut serta menggunakan faktur pajak yang
tidak berdasarkan transaksi yang sebenarnya secara berlanjut; dan
dijatuhi hukuman penjara selama dua tahun; dan denda sejumlah 2 x
Rp3.097.473.361,00 = Rp6.194.946.722,00 (enam miliar seratus sembilan
puluh empat juta sembilan ratus empat puluh enam ribu tujuh ratus
dua puluh dua rupiah); jika pidana denda tersebut tidak dibayar oleh
terdakwa diganti dengan pidana kurungan selama enam bulan.
Pemeriksaan Pajak
atas Biaya Jasa
Intra-Grup Perusahaan
Arles Parulian Ompusunggu

P
emeriksaan pajak atas pembebanan biaya jasa intra-grup
merupakan pengujian atas penerapan prinsip kewajaran dan
kelaziman usaha (PKKU) yang terjadi antar pihak-pihak entitas yang
memiliki hubungan istimewa dalam satu grup usaha terafiliasi.
Perlu dipahami jenis-jenis transaksi yang terjadi antar pihak
afiliasi. Pertama, transaksi penjualan, pembelian barang berwujud
dan tidak berwujud. Kedua, sewa, royalti atau imbalan lain akibat
penyediaan atau pemanfaatan harta berwujud dan tidak berwujud.
Ketiga, penghasilan atau pengeluaran yang berkenaan dengan
pemanfaatan atau penyerahan jasa. Keempat, alokasi biaya. Kelima,
transaksi perolehan dan penyerahan akibat instrumen keuangan.
Definisi secara luas dari hubungan istimewa yang dianut
dalam perpajakan adalah sesuai terminologi dalam Pasal 18 ayat 4
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
(UU PPh) dan Pasal 2 ayat 2 Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009
(UU PPN).
Uji awal untuk menandakan adanya transaksi afiliasi, jika wajib
pajak (WP) mempunyai kepemilikan langsung atau tidak langsung
sebesar 25 % pada WP lain, WP menguasai WP lainnya atau di
bawah penguasaan yang sama baik langsung atau tidak langsung,
terdapat hubungan sedarah atau semenda dalam garis keturunan
146 } BUSUR

lurus atau ke samping satu derajat dan di antara WP terdapat


penguasaan manajemen atau teknologi meski tidak ada hubungan
kepemilikan saham.
Direktur Jenderal Pajak (Dirjen Pajak) sesuai amanah pasal 18
ayat 3 UU PPh, wajib menguji apakah WP dalam menerapkan prinsip
PKKU atau arm’s length principle telah sesuai dengan transaksi yang
tidak dipengaruhi hubungan istimewa dengan menggunakan metode
perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga
penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya.
Pelaksanaan wewenang tersebut dilakukan melalui standard
operating procedure prinsip penerapan PKKU sesuai Peraturan Dirjen
Pajak Nomor PER-32/PJ/2011 jo. Per-43/PJ/2010. Kemudian prosedur
pemeriksaan mengacu kepada pedoman yang diatur dalam Peraturan
Dirjen Pajak Nomor PER-22/PJ/2011 jo. SE-50/PJ/2013 jo. S-153/
PJ.04/2010.
Tulisan ini secara khusus membahas proses pengujian
pemeriksaan pajak atas transaksi jasa intra-grup yang terjadi dalam
satu grup afiliasi antara WP di dalam negeri dan grup afiliasi di
luar negeri.
Pemeriksaan yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak
(DJP) adalah pemeriksaan lapangan di tempat kedudukan dan tempat
kegiatan usaha. Meski dalam situasi adanya pembatasan sosial
berskala besar terdapat kendala pertemuan hanya secara online,
namun tidak mengurangi makna dari wujud pemeriksaan lapangan
yang dilakukan.
Tahapan awal yang dilakukan adalah mengumpulkan,
mengidentifikasi, mempelajari data mengenai transaksi jasa
intra-grup antara WP dan lawan transaksi berdasarkan laporan
SPT Tahunan PPh Badan yang disampaikan dalam isian lampiran
MENGGALI PELUANG { 147

khusus 3A/3 B. Selanjutnya ditelusur ke dokumen Transfer Pricing


Documentation (TP Doc) atau Local File.
Telaah atas TP Doc sesuai Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 213/PMK.03/2016 adalah mengacu ke OECD Guidance on
Transferpricing Documentation and Country by Country reporting tahun
2014. Bahwa perlu dilakukan penelitian lebih dini agar diperoleh
informasi mengenai karakteristik usaha dan fungsi yang sebenarnya
dari wajib pajak dalam transaksi afiliasi dan independen.
Contoh: berdasarkan SPT Tahunan PPh badan PT D tahun 2018,
diperoleh data dan informasi sebagai berikut: PT D terdaftar di KPP
PMA 1 dan lokasi pabrik di Delta Silicon Industrial Park, Cikarang
dan dimiliki oleh dua entitas yang terafiliasi di Singapura, yaitu: DD
Singapore Pte. Ltd (99,5%) dan D Asia Pte. Ltd Singapore (0,5%). PT
D merupakan perusahaan yang berdiri sejak tahun 1998 bergerak di
bidang industri manufaktur dan distribusi produk kemasan kertas,
karton dan plastik orientasi ekspor sebesar 99% ke afiliasi di LN.
Sesuai informasi dalam lampiran khusus SPT Tahunan PPh
Badan tahun 2018 diperoleh informasi adanya transaksi barang/
jasa tidak berwujud berupa: penyerahan/pemanfaatan barang tidak
berwujud, peminjaman uang dari perusahaan afiliasi, dan penyerahan
jasa. Namun perlu di telisik lebih lanjut jenis dan wujud transaksi
tersebut melalui perolehan data dari TP Doc dan dikonfirmasi dengan
permintaan keterangan secara tertulis dan dilanjutkan dengan
pengamatan proses bisnis di tempat usaha WP.
Transaksi jasa antar perusahaan terdiri atas: pembayaran jasa
manajemen berupa corporate fee ke afiliasi D Packaging Pte. Ltd
Australia, pembayaran jasa intra perusahaan (corporate fees) ke D
Holding Pte. Ltd Singapura, dan pembayaran bunga pinjaman afiliasi
ke D Engineering Pty Ltd Australia dan DD Packaging Pte. Ltd Singapura.
148 } BUSUR

PT D dalam praktiknya menggunakan trade mark, manufacturing


technology, knowhow licensed dari D Packaging Pty Ltd Australia.
Identifikasi transaksi jasa afiliasi tersebut kemudian digabung dengan
skema transaksi barang berwujud untuk menentukan skema transaksi
afiliasi dan rantai suplai.
Sebelum dilakukan penerapan prinsip kewajaran dan
kelaziman usaha, maka dilakukan penentuan karakteristik usaha
wajib pajak. Sumber utama informasi adalah dari TP doc, untuk
menentukan karakteristik usaha dan dituangkan dalam isian sesuai
lampiran Per-22/PJ/2013. Penekanan diarahkan sesuai kondisi dan
keadaan operasional yang dilaksanakan oleh WP pihak afiliasi dan
pihak independen.
Selanjutnya dilakukan konfirmasi pengecekan atas kebenaran
informasi yang dilaporkan WP secara self assessment di TP Doc
dan telah diisikan dalam lampiran isian Per-22/PJ/2013. Melalui
permintaan keterangan dan pencocokan di lapangan, akan didapat
informasi yang valid mengenai karakteristik usaha dan pola hubungan
transaksi jasa intra perusahaan.
Langkah pengujian yang perlu dilakukan sebagai program
pemeriksaan terhadap kebenaran pembebanan jasa intra perusahaan
dari perusahaan induk atau pihak afiliasi sebagaimana dianut dari Bab
VI dan Bab VIII OECD Guideliness tahun 2017 adalah sebagai berikut:
menentukan eksistensi yaitu apakah jasa benar-benar telah dilakukan
oleh penyedia jasa, meyakinkan manfaat ekonomi perusahaan selaku
penerima jasa intra group services, membandingkan apakah jasa tidak
berwujud tersebut memenuhi prinsip kewajaran yang diatur dalam
ketentuan yang standar.
Beberapa prosedur audit yang relevan dalam membuktikan uji
eksistensi transaksi Intra company services adalah sebagai berikut:
MENGGALI PELUANG { 149

memahami dan mengidentifikasi jenis jasa intra company. Pengertian


Jasa intra company yang dianut oleh UU PPh jo. Per-22/PJ/2013
merujuk kepada rumusan yang diatur dalam Chapter VI paragraph
7,5 OECD Transfer Pricing Guidelines (2017).
Kemudian meyakinkan adanya dokumentasi terkait pemberian
jasa intra-grup yaitu: dokumen berupa memo rapat, analisis ekspektasi
efisiensi biaya dan profit terkait keputusan pemberian jasa; bagan
organisasi pemberi jasa; dokumentasi terkait proses negosiasi tarif
jasa dan hasil pemberian jasa; kualifikasi staf yang memberikan jasa
adalah sesuai yang dibutuhkan perusahaan;
Skema sesuai Pasal 14 ayat 2 Per-32/PJ/2011, seperti di bawah ini:

SKEMA PENGUJIAN TRANSAKSI PEMBERIAN JASA INTRA-GROUP

Memastikan
eksistensi atau Jasa tidak
realisasi dan jasa Pernah terjadi
yang diberikan TIDAK
TI Jasa tidak
DA
YA K dapat
dibebankan
Memastikan jasa Jasa tidak
yang diberikan memberikan
memberikan K
manfaat DA
manfaat ekonomi TIDAK TI

YA

Melakukan
penghitungan YA Jasa dapat
kewajaran dibebankan
pembayaran sebagian atau
jasa intra-group seluruhnya

Prosedur audit untuk memastikan adanya manfaat ekonomi


yang diterima WP dari pemberi jasa sesuai maksud pasal 14 ayat 3
Per-32/PJ/2011 adalah: pertama, pembuktian atas dokumen terkait
150 } BUSUR

penentuan nilai penyerahan/pemanfaatan jasa yang memuat rincian


basis biaya terkait jasa dan mark up atas biaya terkait jasa tersebut
yang dibuat oleh pemberi jasa sebagai bahan untuk menentukan
tagihan jasa.
Kedua, memastikan bahwa penyerahan jasa benar-benar terjadi
dan dapat menambah nilai ekonomis dan komersial nilai perusahaan.
Hal ini penting diketahui untuk memastikan jasa tersebut: bukan jasa
duplikasi dari jasa yang telah ada, bukan kepentingan pemegang
saham (shareholder activity), merupakan jasa yang tidak direncanakan
(incidental benefit) oleh wajib pajak, jasa diberikan bukan karena
alasan kelompok usaha (passive association).
Pengujian untuk menentukan kewajaran transaksi jasa intra-grup
perusahaan ditinjau dari nilai ekonomis yang diperoleh perusahaan
apabila pemberi jasa adalah pihak independen. Prosedur pemeriksaan
yang lazim dilakukan sesuai lampiran SE-50/PJ/2013 yaitu:
melakukan reviu dokumen yang menjadi dasar pembebanan jasa
intra-grup tersebut, meneliti komponen basis biaya yang sebenarnya
dikeluarkan oleh penyedia jasa serta kesesuaiannya dengan jasa
yang diberikan dan manfaat ekonominya bagi wajib pajak.
Kemudian meneliti metode pembebanan jasa yang digunakan
(metode pembebanan jasa terdiri dari metode langsung dan metode
tidak langsung), meneliti dasar alokasi pembebanan jasa yang
mengharuskan jumlah biaya yang dialokasikan untuk anggota grup
sebanding dengan manfaat yang diharapkan dari jasa.
Terakhir, meneliti apakah terdapat pembanding atas jasa
intra-grup serta mark up-nya dan menerapkan metode transfer pricing
yang paling sesuai dengan kondisi dan fakta. Dengan menggunakan
MENGGALI PELUANG { 151

metode: Metode Perbandingan Harga antara Pihak yang Independen


(Comparable Uncontroled Price), Metode Biaya-Plus, dan Transactional
Net Margin Method.
Tentu tidak mudah memang menelisik kasus terjadi yang
berbeda ditemui di setiap perusahaan. Sehingga dibutuhkan intuisi dan
pengalaman teknis dalam pelaksanaan pemeriksaan atas pengujian
transaksi intra-grup perusahaan. Oleh karena itu harus benar-benar
diyakinkan bahwa jasa yang diberikan oleh pihak grup perusahaan
tidak masuk ke dalam kategori duplikasi jasa yang sebenarnya hanya
cara untuk mengalihkan keuntungan anak perusahaan dari Indonesia
ke induk perusahaan di LN.
Beda Mazhab
SPT Tidak Benar
Vitra Yozi

H
ukum pajak masuk dalam ranah hukum publik, yakni hukum
yang mengatur hubungan antara Masyarakat (Wajib Pajak/
WP) dengan Negara (Direktorat Jenderal Pajak). Tujuan penerapan
hukum pajak sama dengan dengan hukum lainnya, di antaranya untuk
menimbulkan efek jera bagi si pelaku.
Penerapan hukum pajak agak berbeda dengan penerapan
hukum publik lainnya, contohnya hukum pidana. Secara umum
penerapan hukum pidana pasti berujung di pengadilan atau penjara.
Namun, tidak demikian halnya dengan hukum pidana pajak. Tujuan
utama penegakan hukum pidana pajak harus selaras dengan tujuan
pajak itu sendiri, yakni menarik uang dari masyarakat yang telah
memiliki kewajiban pajak untuk dimasukkan ke dalam anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN). Memenjarakan wajib pajak
bukanlah tujuan utama dari penerapan pidana pajak.
Kondisi di atas dipertegas dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), yang
menyatakan bahwa penegakan hukum pajak tidak akan dilanjutkan ke
penyidikan, sepanjang WP dengan kemauan sendiri mengungkapkan
ketidakbenaran perbuatannya, karena kealpaannya (Pasal 38 KUP).
Ada dua kondisi. Pertama, tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan
(SPT). Kedua, menyampaikan SPT yang isinya tidak benar atau tidak
lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar.
MENGGALI PELUANG { 153

Meskipun perbuatan (kealpaan) tersebut dapat merugikan


keuangan negara, perkaranya tidak akan dilanjutkan pada tahap
penyidikan, termasuk apabila perbuatan tersebut dilakukan dengan
sengaja (Pasal 39 ayat (1) UU KUP). Hal ini didukung oleh Pasal 7
ayat (1) Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 74 tahun 2011. Diperjelas
lagi, proses penegakan hukum atas perbuatan tersebut di atas baik
karena kealpaan maupun kesengajaan, dapat dihentikan melalui
pengungkapan ketidakbenaran perbuatan (Pasal 8 UU KUP) sepanjang
mulainya penyidikan belum diberitahukan kepada penuntut umum.

Permasalahan
Uraian di atas telah menjelaskan bahwa perbuatan tidak
menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT yang isinya tidak benar
atau tidak lengkap dapat diakhiri melalui permohonan pengungkapan
ketidakbenaran perbuatan, sehingga kasusnya tidak naik ke tingkat
penyidikan. Namun, dalam praktiknya, terdapat perbedaan pendapat
di antara penyidik pajak dalam memahami maksud dari menyampaikan
SPT yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sebagaimana diatur
dalam Pasal 39 ayat (1) huruf d UU KUP.
Sebagai contoh, atas tahun pajak 2019 WP melakukan dugaan
tindak pidana perpajakan. Ada dua delik yang disangkakan. Pertama,
tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut (Pasal
39 ayat (1) huruf i UU KUP) sebesar Rp1 miliar. Kedua, menyampaikan
SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai yang isinya tidak benar atau tidak
lengkap (39 ayat (1) huruf d UU KUP).
Setelah seluruh proses pemeriksaan bukti permulaan
dilaksanakan, diketahui sebagai berikut. WP tidak menyetorkan pajak
yang telah dipotong atau dipungut sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu
154 } BUSUR

miliar Rupiah), sehingga analisis hasil pengamatan dalam rangka


penanganan informasi, data, laporan, dan pengaduan (IDLP) terbukti.
WP tidak melaporkan semua penyerahan Barang Kena Pajak dalam
SPT PPN dan terdapat PPN yang belum dipungut tahun 2019 sebesar
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah), namun tidak diungkapkan
dalam analisis IDLP.
Terdapat dua pandangan (mazhab) dalam penyelesaian
pemeriksaan bukti permulaan, khususnya dalam menetapkan jumlah
kerugian negara. Mahzab pertama menyatakan jumlah kerugian
negara hanya sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) sesuai
hasil analisis IDLP karena tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong
atau dipungut adalah perbuatan pidana berdasarkan Pasal 39 ayat (1)
huruf i KUP. Sedangkan, alpa/sengaja karena tidak memungut PPN
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) tidak masuk ranah pidana
pajak berdasarkan pasal 38 dan 39 KUP.
Sementara itu, mahzab kedua berpandangan jumlah kerugian
negaranya sebesar Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta
Rupiah). Kerugian negara sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu miliar
rupiah) sesuai analisis IDLP, karena tidak menyetorkan pajak yang
telah dipotong atau dipungut adalah perbuatan pidana berdasarkan
Pasal 39 ayat (1) huruf i KUP. Sisanya sebesar Rp500.000.000,00 (lima
ratus juta rupiah), karena tidak memungut PPN, dapat menyebabkan
SPT Masa PPN tahun 2019 tidak benar, sehingga perbuatan ini
tergolong menyampaikan SPT yang isinya tidak benar atau tidak
lengkap berdasarkan Pasal 39 ayat (1) huruf d KUP.

Pembahasan
Pasal 3 ayat (1) UU KUP menegaskan tentang kewajiban mengisi
SPT dengan benar, lengkap dan jelas, dalam bahasa Indonesia
MENGGALI PELUANG { 155

dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, satuan mata uang


Rupiah, dan menandatangani serta menyampaikannya ke kantor
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) tempat WP terdaftar atau tempat
lainnya yang ditetapkan oleh DJP.
Benar adalah benar dalam perhitungan, termasuk benar dalam
penerapan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan,
dalam penulisan, dan sesuai dengan keadaan yang sebenarnya.
Lengkap berarti memuat semua unsur-unsur yang berkaitan dengan
objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam SPT.
Jelas mengandung maksud melaporkan asal-usul atau sumber dari
objek pajak dan unsur-unsur lain yang harus dilaporkan dalam SPT.
Mazhab pertama di atas menetapkan jumlah kerugian negara
Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) dan telah mencakup untuk
dua unsur pasal yang dituduhkan dalam analisis IDLP (Pasal 39 ayat
(1) huruf i dan d UU KUP). Perbuatan tidak menyetorkan PPN yang
telah dipungut (huruf i) otomatis mengakibatkan SPT Masa PPN yang
disampaikan menjadi tidak benar (huruf d). Kealpaan/kesengajaan
karena tidak memungut PPN sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus
juta rupiah) tidak termasuk perbuatan pidana.
Sedangkan, mazhab kedua menetapkan jumlah kerugian negara
Rp1.500.000.000,00 (satu miliar lima ratus juta rupiah), dengan rincian:
(1) Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah) karena tidak menyetorkan
pajak yang telah dipungut (huruf i), yang otomatis mengakibatkan
SPT masa PPN yang disampaikan menjadi tidak benar, dan (2)
Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) karena alpa/sengaja
tidak memungut PPN telah menyebabkan SPT Masa PPN tahun 2019
menjadi tidak benar. Bahkan semua yang menyebabkan SPT Masa
PPN tahun 2019 tidak benar yang diketahui saat pemeriksaan bukti
permulaan adalah perbuatan pidana.
156 } BUSUR

Mazhab pertama beranggapan bahwa tuduhan Pasal 39 ayat (1)


huruf i dan huruf d tersebut saling berhubungan atau berkaitan, dan
merupakan satu kesatuan. Sedangkan, mahzab kedua berkeyakinan
bahwa pengertian juncto dalam Pasal 39 ayat (1) huruf i jo huruf d
adalah saling berhubungan atau berkaitan, namun tidak berarti satu
tuduhan (Pasal).
Berkaitan uraian di atas, diperlukan peraturan teknis atau
penegasan atas hal ini agar perbedaan pandangan ini tidak
berlarut-larut. Ujungnya, terwujudnya kepastian hukum dalam
pelaksanaan administrasi perpajakan.
Pemeriksaan Bersama,
Upaya Pangkas Birokrasi
Qadri Fidienil Haq

S
elain sebagai sumber energi utama bagi masyarakat, Minyak
dan Gas Bumi (Migas) merupakan salah satu sumber penting
dalam penerimaan negara Indonesia. Kontribusi Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP) Migas pada tahun 2019 mencapai Rp121,1
triliun sedangkan Pajak Penghasilan (PPh) Migas mencapai Rp59,2
triliun. Pada tahun 2020, dengan kondisi pandemi Covid-19, target
PNBP Migas adalah sebesar Rp53,3 triliun dan PPh Migas sebesar
Rp31,9 triliun.
Dalam menjalankan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi Migas,
pemerintah Indonesia bekerja sama dengan berbagai perusahaan
Hulu Migas di seluruh dunia. Hal ini disebabkan industri Hulu Migas
membutuhkan modal yang tidak sedikit dan teknologi yang canggih
sehingga belum dapat disediakan oleh pemerintah Indonesia
sepenuhnya. Risiko menjalankan kegiatan ini juga sangat besar,
sehingga tidak mungkin pemerintah menanggung seluruhnya
menggunakan belanja negara.
Dengan kontrak kerja sama Hulu Migas yang disepakati,
pemerintah Indonesia dan perusahaan Hulu Migas sebagai
Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) akan berbagi hasil lifting
Migas. Lifting ini sebelumnya akan dikurangkan biaya yang telah
dikeluarkan oleh KKKS. Selain itu, KKKS akan mendapatkan
pengembalian biaya yang telah dikeluarkan tersebut (cost recovery)
dalam bentuk lifting Migas.
158 } BUSUR

Karena lifting Migas yang dihasilkan dan biaya yang telah


dikeluarkan KKKS akan berdampak kepada bagi hasil Migas yang
diterima oleh negara, pemerintah berkewajiban mengaudit biaya
yang dikeluarkan oleh KKKS, apakah telah sesuai dengan kontrak
kerja sama dan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam menjalankan fungsi audit tersebut, terdapat dua lembaga
pemerintah yang berwenang yaitu Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) dan Satuan Kerja Khusus Migas (SKK Migas).
Selain dua lembaga tersebut, terdapat lembaga pemerintah
lain yang kewenangannya tidak berbeda jauh, yaitu DJP. DJP
berwenang untuk mengaudit apakah KKKS telah memenuhi
kewajiban perpajakannya dengan benar dalam bentuk pemeriksaan
pajak sebagaimana kewenangan pemeriksaan pada umumnya. Lifting
Migas hak KKKS merupakan penghasilan kena pajak. Biaya yang
dikeluarkan KKKS merupakan pengurang penghasilan kena pajak.
Semakin besar biaya ini akan semakin kecil PPh Migas yang menjadi
kewajiban KKKS.
Adanya tiga lembaga pemerintah yang berwenang melakukan
audit terhadap penghasilan dan cost recovery dari KKKS, sehingga
KKKS dapat menghadapi tiga kali pemeriksaan atas objek
pemeriksaan yang sama. KKKS memiliki beban dan tanggung jawab
lebih banyak untuk memenuhi kewajiban dalam pemeriksaan. Tentu
hal ini membuat pemeriksaan atas KKKS menjadi tidak efisien dan
ekonomis. Di samping itu, setiap pemeriksaan yang dilakukan
lembaga pemerintah dapat menghasilkan pendapat yang berbeda
terhadap kasus yang sama sehingga tidak terdapat kepastian hukum
untuk KKKS.
Untuk meningkatkan iklim industri Hulu Migas yang positif,
pemerintah lalu mengambil kebijakan yang solutif atas permasalahan
MENGGALI PELUANG { 159

pemeriksaan ini. Pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan


Nomor 34/PMK.03/2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Pemeriksaan
Bersama atas Pelaksanaan Kontrak Kerja Sama Berbentuk Kontrak
Bagi Hasil dengan Pengembalian Biaya Operasi di Bidang Usaha
Hulu Minyak dan Gas Bumi.
Dalam peraturan ini, pemeriksaan atas KKKS akan dilakukan
melalui pemeriksaan bersama yang dilakukan oleh tiga instansi
yaitu DJP, BPKP, dan SKK Migas dengan membuat satuan tugas
pemeriksaan bersama. Pemeriksaan akan dilakukan oleh satu tim
dengan sumber daya manusia berasal dari gabungan tiga instansi
tersebut. Sehingga pemeriksaan terhadap KKKS atas suatu objek
pemeriksaan dapat dilakukan cukup sekali saja. Perbedaan pendapat
pun dapat terselesaikan dengan lebih terkoordinasi dan memberi
kepastian hukum bagi KKKS.
Saat ini, hampir tiga tahun peraturan tersebut berlaku.
Pemeriksaan bersama telah rutin dijalankan oleh ketiga instansi.
Konsep pemeriksaan bersama lebih efisien dan ekonomis
dibandingkan pemeriksaan yang dilakukan masing-masing instansi
sebelumnya. Namun dalam usianya yang relatif muda, masih terdapat
banyak hal yang perlu dibenahi agar pemeriksaan bersama dapat
lebih optimal.
Peningkatan dan pemerataan kompetensi Pemeriksa dengan
pendidikan dan pelatihan yang terstruktur dan rutin adalah hal
utama yang perlu mendapat perhatian. Dalam pemeriksaan terhadap
kegiatan Hulu Migas, memahami proses bisnis sangat penting
agar pemeriksa dapat melakukan pengujian yang efektif dengan
keterbatasan waktu yang singkat.
Sedangkan proses bisnis Hulu Migas bukanlah bisnis yang
mudah dipelajari dalam waktu singkat. Istilah asing dan banyaknya
160 } BUSUR

peraturan terkait adalah hal yang jamak ditemui. Kadang kala,


pemeriksa tidak hanya menghadapi masalah keuangan saja, tetapi
juga masalah teknik, hukum, teknologi, lingkungan, dan lingkup
ilmu lainnya.
Terlebih, pegawai BPKP dan DJP dalam pemeriksaan
bersama adalah ASN yang lumrah berpindah tempat jabatan. Silih
bergantinya pegawai dalam instansi tersebut akan berimplikasi
kepada kompetensi pemeriksa. Bagi pemeriksa baru yang belum
mengenal industri Hulu Migas, tentu
saja kompetensi yang dimilikinya
Pemeriksaan belum teruji. Hal ini akan berpengaruh
bersama kepada kualitas pemeriksaan.
merupakan Penyempurnaan aturan
langkah pemeriksaan bersama atas ruang
maju dalam lingkup pemeriksaan bersama perlu
menyederhanakan dilakukan, terutama terkait PPh
birokrasi pada 26 ayat (4) atas penghasilan KKKS
industri Hulu ( Branch Prof it Tax/BPT ). Dal am
Migas Peraturan Menteri Keuangan Nomor
34/PMK.03/2018, BPT termasuk ruang
lingkup pemeriksaan bersama. Dalam
pelaksanaannya, BPT ini masih menjadi topik diskusi hangat apakah
termasuk dalam lingkup pemeriksaan bersama atau pemeriksaan
pajak tersendiri yang dilakukan DJP.
Hal ini disebabkan karena setelah KKKS dilakukan pemeriksaan
bersama untuk tahun berjalan, KKKS harus menyampaikan SPT
Tahunan PPh. Kenyataannya, terdapat KKKS yang menyampaikan SPT
Tahunan PPh yang menyatakan lebih bayar atas BPT, sehingga sesuai
ketentuan Wajib Pajak tersebut wajib diperiksa kembali oleh DJP.
MENGGALI PELUANG { 161

Kewajiban pemeriksaan atas SPT LB oleh DJP ini, menimbulkan


dua kali proses pemeriksaan atas objek yang sama yaitu BPT. Padahal,
mekanisme penyelesaian sengketa atas pemeriksaan bersama dan
pemeriksaan pajak tidaklah sama.
Sengketa pemeriksaan bersama diselesaikan melalui arbitrase
dengan landasan kontrak kerja sama, sedangkan sengketa
pemeriksaan pajak diselesaikan melalui pengadilan dengan landasan
UU KUP. Hasil dua pemeriksaan yang berbeda ini menimbulkan
ketidakpastian hukum sehingga menyebabkan pemeriksaan bersama
atas BPT tidak optimal.
Simpang siur masalah BPT atas KKKS terjadi karena terdapat
perbedaan pendapat terkait tarif BPT yang dipotong oleh KKKS.
Sebagian KKKS berpendapat bahwa tarif BPT mengikuti tarif Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda (P3B) antarnegara. Sedangkan DJP
berpendapat bahwa tarif BPT tidak mengikuti P3B, tetapi berdasarkan
kontrak dan Plan of Development yang telah disepakati pemerintah
Indonesia dan KKKS.
Pemeriksaan bersama merupakan langkah maju dalam
menyederhanakan birokrasi pada industri Hulu Migas. Evaluasi
atas pelaksanaannya harus terus dilakukan agar semakin optimal
pelaksanaannya sehingga berdampak positif pada industri Hulu
Migas dan target lifting Migas sebesar satu juta barel pada tahun
2030 dapat tercapai.
MENJAGA
KINERJA


Perubahan terjadi
sangat mendasar
dan kita tidak
bisa atasi masalah
baru dengan solusi
kemarin.”
—Rhenald Kasali,
Guru Besar Bidang Ilmu
Manajemen Fakultas
Ekonomi UI
KSO
Lapor SPT Tahunan?
Taripar Doly

K
erja Sama Operasi (KSO) atau konsorsium atau sering dikenal
dengan nama Joint Operation (JO) adalah merupakan kerja sama
dua badan atau lebih yang bersifat sementara. Tugasnya hanya
melaksanakan satu pekerjaan (proyek) tertentu sampai proyek
tersebut selesai dilaksanakan.
Karena merupakan kerja sama dua badan atau lebih maka
dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan tidak dikategorikan
sebagai subjek pajak. Subjek Pajak dalam Pasal 2 ayat (1) UU Pajak
Penghasilan mengategorikan subjek pajak atas: Orang Pribadi,
Warisan yang belum terbagi sebagai kesatuan menggantikan yang
berhak, Badan, dan Bentuk Usaha Tetap.
Definisi Badan dalam penjelasan Undang-Undang PPh adalah
sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha
yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan
lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah
dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi,
dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga,
dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan
bentuk usaha tetap.
Maka, dapat dikatakan bahwa KSO bukan merupakan subjek
pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
166 } BUSUR

Bentuk KSO
Bentuk KSO terbagi atas dua jenis yaitu: KSO bersifat administrasi
dan KSO bersifat bukan administrasi.
KSO Bersifat Administrasi apabila setiap kontrak dengan
pihak pemberi kerja (Project Owner) ditandatangani atas nama KSO
sehingga seolah-olah KSO merupakan entitas tersendiri terpisah dari
perusahaan para anggotanya.
Tanggungjawab pekerjaan terhadap pemilik proyek berada
pada entitas KSO, bukan pada masing-masing anggota KSO. Terkait
pembagian modal kerja atau pembiayaan, pengadaan peralatan,
tenaga kerja, serta pembagian hasil sehubungan dengan pelaksanaan
proyek didasarkan pada porsi pekerjaan masing-masing yang
disepakati dalam sebuah perjanjian KSO.
KSO Bersifat Bukan Administrasi, dalam praktiknya sering
disebut sebagai konsorsium, di mana kontrak dengan pemilik proyek
dibuat langsung atas nama masing-masing perusahaan anggota
sehingga KSO hanya bersifat sebagai alat koordinasi.
Tanggung jawab pekerjaan terhadap pemilik proyek berada
pada masing-masing anggota. Pendapatan dan biaya proyek
dibukukan oleh masing-masing anggota KSO. Tagihan ke pemilik
proyek diajukan sendiri oleh masing-masing anggota KSO atau dapat
juga diajukan melalui KSO namun faktur pajak dan bukti potong atas
nama perusahaan masing-masing.

Kewajiban Perpajakan
KSO bersifat administrasi tetap wajib memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP). NPWP diperuntukkan dalam rangka pemenuhan
kewajiban perpajakan, yaitu: Pajak Pertambahan Nilai (PPN) apabila
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak
MENJAGA KINERJA { 167

(JKP) dan pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan apabila


KSO memberikan sejumlah uang karena pekerjaan, kegiatan, atau
jasa yang diberikan oleh Subjek Pajak.
Hal tersebut dipertegas dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak
nomor PER-04/PJ/2000 tentang petunjuk pelaksanaan administrasi
NPWP, sertifikat elektronik, dan pengukuhan pengusaha kena pajak.
Paragraf 2 Pasal 6 ayat (1) PER-04/PJ/2000 menyebutkan NPWP
merupakan nomor identitas yang digunakan Wajib Pajak dalam
administrasi pelaksanaan hak dan/atau pemenuhan kewajiban perpajakan.
Sementara Pasal 6 ayat (3) PER-04/PJ/2000 menyatakan
bahwa kewajiban perpajakan untuk KSO meliputi: pemenuhan
kewajiban Pajak Penghasilan Badan atas nama KSO (Joint Operation),
pemotongan atau pemungutan Pajak Penghasilan, dan pemungutan
PPN jika KSO melakukan penyerahan Barang Kena Pajak atau Jasa
Kena Pajak atas nama KSO.
Dalam beberapa diskusi, banyak yang menyimpulkan bahwa
KSO mempunyai kewajiban perpajakan berupa Surat Pemberitahuan
Tahunan (SPT Tahunan) Badan terlebih dengan keluarnya penegasan
pada PER-04/PJ/2020 tanggal 13 Maret 2020 tersebut.
Ketentuan yang sama tersirat bahwa penegasan pengertian
“Badan” dalam pasal 1 angka 9 PER-04/PJ/2020. Badan adalah
sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha
yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan
lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah
dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi,
dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi massa,
organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk
badan lainnya, termasuk kontrak investasi kolektif, bentuk usaha
168 } BUSUR

tetap, kerja sama operasi (Joint Operation), serta kantor perwakilan


perusahaan asing dan kontrak investasi bersama.
Menambahkan KSO sebagai perwujudan dari pengertian badan
adalah untuk mengembalikan status subjek pajak pada substansinya
kaitannya dengan administrasi perpajakan.
Hal ini juga dipertegas dalam Pasal 42 ayat (4) poin b.3 PER-04/
PJ/2020 bahwa pengurus dalam hal permintaan sertifikat elektronik
menunjukkan asli dan fotokopi SPT Tahunan Pajak seluruh anggota
KSO. Artinya kewajiban perpajakan khususnya SPT Tahunan PPh Badan
wajib disampaikan dalam hal ini bentuk KSO adalah masing-masing
anggota KSO.
Dengan demikian, Kewajiban PPh Badan tetap dikenakan atas
penghasilan yang diperoleh pada masing-masing badan (perusahaan)
yang menjadi anggota KSO tersebut sesuai dengan porsi/bagian
pekerjaan atau penghasilan yang diterimanya.
Sementara Atas biaya-biaya yang dikeluarkan oleh KSO
wajib disampaikan dalam Surat Pemberitahuan PPh Pasal 21/26
sebagaimana diatur dalam pasal 2 PER-14/PJ/2013 bahwa Surat
Pemberitahuan Masa Pajak Penghasilan Pasal 21 dan/atau Pasal
26 salah satunya terdiri dari Formulir 1721-V (Daftar Biaya) hanya
disampaikan pada masa pajak Desember oleh Wajib Pajak yang tidak
wajib menyampaikan SPT Tahunan, antara lain Wajib Pajak Cabang,
Bentuk Kerja Sama Operasi (Joint Operation).
Digitalisasi
Proses Penelitian Keberatan
Hanif Affandhi

B
anyaknya keputusan keberatan yang diajukan banding dengan
tingkat kemenangan pemohon banding yang relatif tinggi
merupakan penanda bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk
mengevaluasi proses penelitian keberatan. Penyelesaian keberatan
yang transparan, akuntabel, dan efektif menjadi sebuah keharusan.
Digitalisasi proses penelitian keberatan menjadi salah satu jalan
untuk mencapainya.
Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) menjadi momentum
bagi DJP untuk berinovasi dan mempercepat upaya perubahan
pelayanan tanpa tatap muka atau secara daring. Salah satu inovasi
yang dilakukan adalah peluncuran e-objection pada tanggal 1 Agustus
2020 berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-14/
PJ/2020 tentang Tata Cara Penyampaian Surat Keberatan Secara
Elektronik. Hal ini memberikan wajib pajak dua pilihan saluran untuk
menyampaikan surat keberatan yaitu secara langsung (tatap muka)
di Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar atau melalui
e-objection yang terdapat pada DJP Online sebagai saluran digital
yang menghubungkan wajib pajak dengan DJP.
Saat ini, e-objection pada DJP Online berfungsi sebatas saluran
dalam menyampaikan surat keberatan. Namun demikian, adanya
e-objection dapat menjadi batu pijakan untuk melakukan digitalisasi
dalam setiap tahapan proses penelitian keberatan yang diharapkan
170 } BUSUR

dapat meningkatkan transparansi, akuntabilitas, dan efektivitas


proses penyelesaian keberatan wajib pajak.
Pada dasarnya, tahapan proses penelitian keberatan meliputi
penelitian formal, pembuatan matriks sengketa, permintaan dokumen
pemeriksaan, permintaan dokumen bukti wajib pajak, klarifikasi
sengketa pajak, penyusunan laporan penelitian, pembahasan hasil
penelitian keberatan, dan diakhiri dengan penerbitan surat keputusan.
Seluruh tahapan kegiatan tersebut melibatkan tiga pihak
utama, yaitu:
1. wajib pajak sebagai pihak yang mengajukan keberatan;
2. pemeriksa pajak sebagai pihak yang hasil kerjanya diajukan
keberatan; serta
3. penelaah keberatan sebagai pihak yang meneliti kebenaran atas
keberatan yang diajukan wajib pajak dan hasil pemeriksaan yang
dilakukan pemeriksa pajak.

Pihak lain yang mungkin terlibat adalah pemotong atau


pemungut pajak jika keberatan yang diajukan wajib pajak terkait
dengan pemotongan atau pemungutan pajak. Namun, kasus ini relatif
jarang terjadi.
Digitalisasi proses penelitian keberatan ini dimaksudkan agar
komunikasi tiga pihak yang terlibat dalam setiap tahapan tersebut
dilakukan secara digital menggunakan saluran yang saat ini telah
dimiliki oleh DJP.

Sarana dan Prasarana


Pada saat ini, DJP telah memiliki DJP Online sebagai saluran
digital yang menghubungkan DJP dengan wajib pajak. Dalam hal
ini, setiap wajib pajak telah memiliki akun DJP Online sebagai sarana
MENJAGA KINERJA { 171

interaksi antara DJP dan wajib pajak. Selain untuk menyampaikan


SPT dan mengajukan e-objection, DJP Online diharapkan dapat
dikembangkan untuk komunikasi yang lebih luas, misalnya untuk
melakukan permintaan dokumen keberatan, klarifikasi sengketa, dan
undangan untuk hadir dalam pembahasan hasil penelitian keberatan.
Di lain pihak, DJP juga telah memiliki beberapa saluran digital
bagi pemeriksa pajak dan penelaah keberatan yang dapat digunakan
sebagai sarana untuk mewujudkan digitalisasi proses penelitian
keberatan. Baik pemeriksa pajak maupun penelaah keberatan
memiliki akun Sistem Informasi Direktorat Jenderal Pajak (SIDJP),
dan Office Kemenkeu yang dapat dikembangkan untuk menjadi
saluran komunikasi digital antara pemeriksa pajak dengan penelaah
keberatan dalam proses penelitian keberatan. Peminjaman dokumen
pemeriksaan, dan klarifikasi sengketa pajak dengan pemeriksa dapat
dilakukan menggunakan media tersebut.
Selain SIDJP dan Office Kemenkeu, DJP juga telah memiliki
aplikasi Dekstop Pemeriksa, dan Aplikasi Laporan Pemeriksaan
Pajak (ALPP) untuk mendukung proses keberatan secara digital.
Kedua aplikasi tersebut dapat menyediakan informasi terkait proses
pemeriksaan dan dokumen hasil pemeriksaan yang akan digunakan
untuk proses penelitian keberatan.
Adapun prasarana yang diperlukan untuk mewujudkan proses
ini adalah koneksi internet dan listrik yang saat ini telah tersedia
hingga pelosok tanah air sehingga proses digitalisasi ini tentunya
dapat segera diwujudkan dengan mengembangkan sarana dasar
(DJP Online, SIDJP, Desktop Pemeriksaan dan ALPP) yang diperlukan
dan telah dimiliki oleh DJP.
Pengembangan dari sarana yang telah dimiliki tersebut
ditujukan untuk menghubungkan DJP Online dengan SIDJP, Dekstop
172 } BUSUR

Pemeriksaan, dan ALPP sehingga pada saat wajib pajak mengajukan


keberatan atas suatu surat ketetapan pajak, pemeriksa pajak sebagai
pihak yang terlibat dalam pembuatan surat ketetapan pajak tersebut
akan menerima notifikasi yang memberikan informasi bahwa hasil
pemeriksaanya diajukan keberatan.

Dampak Digitalisasi
E-objection yang diharapkan berkembang menuju penelitian
keberatan secara digital, telah membuka jalan yang mudah dan
murah bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan atas surat
ketetapan pajak atau pemotongan dan pemungutan yang menurut
wajib pajak tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal
ini dapat meningkatkan kemungkinan wajib pajak mengajukan
keberatan sehingga perlu diantisipasi dengan menjaga kualitas hasil
pemeriksaan dan penanganan permohonan keberatan yang tepat.
Dengan terhubungnya tiga pihak dalam proses keberatan
secara digital diharapkan akan meningkatkan akurasi proses tersebut.
Keberatan yang diajukan secara digital oleh wajib pajak akan
secara otomatis terhubung dengan akun pemeriksa pajak, desktop
pemeriksaan, dan aplikasi ALPP yang memberi notifikasi untuk
menyediakan dokumen pemeriksaan terkait keberatan tersebut.
Dengan demikian, penelaah keberatan dapat membaca laporan
hasil pemeriksaan sebagai bahan untuk menyusun matriks sengketa
dan dapat meminta buku, catatan, dan informasi yang tepat kepada
wajib pajak.
Adanya jejak digital dalam setiap tahap penelitian keberatan juga
akan meningkatkan kehati-hatian setiap pihak dalam melaksanakan
proses penelitian keberatan. Argumentasi yang disampaikan oleh
wajib pajak pada saat mengajukan keberatan melalui e-objection akan
MENJAGA KINERJA { 173

terekam dan tidak dapat terhapus sebagai acuan dalam penelitian


keberatan. Begitu pula dengan klarifikasi sengketa pajak yang
disampaikan oleh pemeriksa pajak dan wajib pajak akan terekam
secara digital sehingga setiap pernyataan yang ditulis dalam saluran
digital tersebut harus dapat dipertanggungjawabkan.
Jejak digital dalam proses penelitian keberatan juga dapat
meningkatkan akuntabilitas dari sisi pengawasan dan penjaminan
mutu. Pengawasan dan evaluasi atas proses penelitian keberatan
yang dilakukan oleh internal Kementerian Keuangan (Subdit Evaluasi
Direktorat Keberatan dan Banding, Direktorat KITSDA, dan Inspektorat
Jenderal Kementerian Keuangan) dapat dilakukan dengan meneliti
catatan digital mengenai korespondensi yang terjadi antara wajib
pajak, penelaah keberatan, dan pemeriksa pajak selama proses
penelitian keberatan.
Pada akhirnya proses keberatan secara digital menjadi sebuah
jalan yang memudahkan wajib pajak dalam mengajukan keberatan
dan akan memacu penelaah keberatan serta pemeriksa pajak untuk
selalu berhati-hati dan bertanggung jawab dalam melaksanakan
setiap tahapan pekerjaan sehingga memberikan hasil yang
berkualitas. Dengan demikian, efektivitas kerja DJP dapat meningkat
yang ditandai dengan berkurangnya jumlah sengketa pajak yang
diajukan banding, dan bertambahnya tingkat kemenangan DJP atas
sengketa di pengadilan pajak.
Problematika
Pembukuan Mata Uang Asing
Wijanarko Pristiyanto Putro

P
embukuan merupakan hal penting yang lazim dilakukan
oleh setiap entitas. Pembukuan akan menghasilkan laporan
keuangan yang sangat berguna dalam pengambilan keputusan
suatu perusahaan. Dalam praktik perpajakan, pembukuan merupakan
sesuatu yang penting karena laporan keuangan yang merupakan
produk dari pembukuan akan menjadi dasar penghitungan pajak
yang terutang. Oleh karena itu, pembukuan perlu dilakukan dengan
benar, taat asas, dan patuh pada ketentuan yang berlaku.
Dalam ketentuan perpajakan, pada prinsipnya, pembukuan
wajib pajak (WP) harus dilakukan dalam bahasa Indonesia dan satuan
mata uang Rupiah. Namun, perkembangan bisnis memungkinkan WP
bertransaksi secara global. Untuk dapat menyesuaikan dengan praktik
internasional, ketentuan pajak Indonesia membuka kesempatan
bagi WP untuk melaksanakan pembukuan dalam bahasa dan mata
uang asing. Sampai dengan saat ini, bahasa dan mata uang yang
diperbolehkan untuk digunakan WP dalam pembukuan ialah bahasa
Inggris dan Dolar Amerika Serikat.
WP diwajibkan untuk mengajukan permohonan izin kepada
Menteri Keuangan sebelum menyelenggarakan pembukuan dalam
bahasa dan mata uang asing. Sedikitnya, terdapat delapan kriteria
WP yang dapat memanfaatkan fasilitas ini. Pertama, WP penanaman
modal asing (PMA). Kedua, bentuk usaha tetap (BUT). Ketiga, WP
MENJAGA KINERJA { 175

kontrak karya. Keempat, WP kontraktor kontrak kerja sama minyak


dan gas bumi (KKKS Migas).
Kelima, WP yang terdaftar pada bursa efek luar negeri. Keenam,
WP kontrak investasi kolektif (KIK) penerbit reksadana Dolar Amerika
Serikat. Ketujuh, WP yang berafiliasi dengan induk di luar negeri.
Kedelapan, WP yang menggunakan mata uang fungsional Dolar
Amerika Serikat.
Terdapat pengecualian bagi WP kontrak karya dan KKKS
Migas. WP tersebut tidak perlu mengajukan permohonan izin
namun tetap diwajibkan untuk menyampaikan pemberitahuan untuk
menyelenggarakan pembukuan dengan menggunakan bahasa
Inggris dan satuan mata uang Dolar Amerika Serikat.
WP yang telah memperoleh izin pembukuan dalam mata uang
asing wajib melaksanakan pembukuan sesuai izin yang diperoleh,
paling singkat lima tahun. Apabila WP melanggar ketentuan tersebut,
izinnya akan dicabut dan WP tidak diperbolehkan menyelenggarakan
pembukuan dengan menggunakan bahasa Inggris dan satuan mata
uang Dolar Amerika Serikat selama-lamanya.
WP yang akan menyelenggarakan pembukuan dengan
menggunakan bahasa Inggris wajib mengajukan permohonan
maupun menyampaikan pemberitahuannya dalam jangka waktu tiga
bulan sejak tanggal pendirian bagi WP baru atau sebelum dimulainya
tahun buku yang bersangkutan.
Misalnya, WP dengan tahun buku Januari s.d. Desember akan
menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang
Dolar Amerika Serikat mulai tahun pajak 2021, WP yang bersangkutan
wajib untuk mengajukan permohonan izin atau menyampaikan
pemberitahuan paling lambat tanggal 30 September 2020.
176 } BUSUR

Penerbitan izin pembukuan dalam bahasa dan mata uang


asing ini pada awalnya merupakan kewenangan Menteri Keuangan
yang dilimpahkan kepada Direktur Jenderal Pajak, yang selanjutnya
kepada Direktur Peraturan Perpajakan. Namun, sejak tahun 2008
hingga sekarang, wewenang itu dilimpahkan kepada Kepala Kantor
Wilayah Direktorat Jenderal Pajak. Dalam praktiknya, pengawasan
atas hal ini tidak dapat dilakukan secara maksimal. Penyebabnya yaitu
administrasi permohonan izin maupun pemberitahuan sama-sama
dilakukan secara manual.
Semenjak tahun pajak 2019, terdapat proses bisnis baru yang
mengatur bahwa WP yang akan menyampaikan SPT 1771$ akan
diverifikasi oleh sistem terlebih dahulu. Hal tersebut menyebabkan
banyak WP yang tidak dapat menyampaikan SPT Tahunan karena
izin maupun pemberitahuan yang dimilikinya hilang. Hilangnya
keputusan tersebut sebenarnya bukan menjadi masalah. Hal ini
karena dimungkinkan untuk diterbitkan kembali surat keputusan
yang hilang, rusak, maupun tidak dapat ditemukan lagi.
Bukan itu saja, beberapa WP juga tidak dapat menyampaikan
SPT Tahunan disebabkan lantaran WP tersebut belum pernah
mendapatkan izin pembukuan ataupun belum pernah menyampaikan
pemberitahuan untuk menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa
Inggris dan mata uang Dolar Amerika Serikat.
Permasalahan ini paling banyak terjadi pada WP KKKS Migas.
Padahal, sebenarnya atas WP ini telah diwajibkan menyelenggarakan
pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang Dolar Amerika
Serikat ketika menandatangani kontrak kerja sama dengan pemerintah.
Untuk dapat menyampaikan SPT 1771$ tahun pajak 2019,
beberapa WP KKKS Migas menyampaikan pemberitahuan pembukuan
dalam bahasa dan mata uang asing pada tahun 2020 dan diajukan
MENJAGA KINERJA { 177

untuk tahun pajak beberapa tahun ke belakang. Hal tersebut tentunya


tidak memenuhi ketentuan batas waktu yang mensyaratkan bahwa
pemberitahuan wajib disampaikan 3 (tiga) bulan sejak tanggal
pendirian atau 3 (tiga) bulan sebelum dimulainya pembukuan dalam
bahasa Inggris dan mata uang Dolar Amerika Serikat. Banyak WP
yang akhirnya tidak dapat menyampaikan SPT 1771$ untuk tahun
pajak 2019, padahal tahun-tahun sebelumnya WP tersebut telah
melaporkan SPT-nya dalam mata uang Dolar Amerika Serikat.
Apa yang menyebabkan WP KKKS Migas tidak menyampaikan
pemberitahuannya secara tepat waktu? Terdapat beberapa
kemungkinan yang menyebabkan terjadinya hal tersebut. Menurut
penulis, penyebab utama WP KKKS Migas tidak menyampaikan
pemberitahuan disebabkan karena kurangnya informasi yang diterima
WP terkait kewajiban tersebut. Kewajiban pembukuan dalam bahasa
Inggris dan mata uang Dolar Amerika Serikat telah diatur pada kontrak
kerja sama. Kontra kerja sama ini berkedudukan setara dengan
Undang-Undang sehingga banyak WP yang beranggapan bahwa
kewajiban tersebut bersifat otomatis tanpa perlu menyampaikan
pemberitahuan terlebih dahulu.
Penulis berpandangan bahwa ketentuan pemberitahuan bagi
WP yang terikat perjanjian dengan pemerintah baik melalui Kontrak
Karya maupun Kontrak Kerja Sama Migas perlu dikaji kembali. Terutama
terkait dengan ketentuan batas waktu penyampaian pemberitahuan
untuk menyelenggarakan pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata
uang Dolar Amerika Serikat. Ketentuan perpajakan tersebut diharapkan
agar dapat diselaraskan dengan ketentuan kewajiban pembukuan yang
tercantum dalam kontrak karya ataupun kontrak kerja sama.
Selain itu, penulis berpandangan bahwa sudah selayaknya
bahwa tindak lanjut permohonan izin dan pemberitahuan pembukuan
178 } BUSUR

dalam bahasa Inggris dan mata uang Dolar Amerika Serikat dapat
dilakukan menggunakan sistem aplikasi. Selain memberikan
kemudahan bagi WP, penggunaan sistem tersebut akan memudahkan
Direktorat Jenderal Pajak untuk melaksanakan pengawasan atas
penyelenggaraan pembukuan yang dilakukan oleh WP.
Selaras dengan pendapat penulis di atas, pada akhir tahun 2020,
Direktur Jenderal Pajak telah menerbitkan peraturan pelaksanaan
yang salah satunya mengatur penggunaan tanda tangan digital yang
berimplikasi pada penyampaian maupun penyelesaian tindak lanjut
permohonan dan pemberitahuan yang dilakukan secara elektronik
melalui laman Direktorat Jenderal Pajak. Kebijakan tersebut
diharapkan dapat memberikan kemudahan baik kepada WP maupun
kepada Direktorat Jenderal Pajak.
Selain itu, untuk meningkatkan pemahaman WP terutama WP
Kontrak Karya dan WP KKKS Migas, diharapkan agar Direktorat
Jenderal Pajak aktif menginformasikan kewajiban pemberitahuan
pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang Dolar Amerika
Serikat. Dengan melaksanakan hal tersebut, problematika pembukuan
mata uang asing yang selama ini masih terjadi akan dapat dihilangkan.
SPT Tahunan
Kantor Perwakilan?
Taripar Doly

K
antor perwakilan atau sering disebut dengan istilah Representative
Office (RO) atau Liaison Office (LO) adalah kantor yang dipimpin oleh
satu atau lebih perorangan warga negara asing (WNA) atau warga negara
Indonesia (WNI) yang ditunjuk oleh perusahaan asing atau gabungan
perusahaan asing di luar negeri sebagai perwakilan di Indonesia.
Kantor perwakilan perusahaan asing di Indonesia terdiri dari
empat macam yaitu: Kantor Perwakilan Perusahaan Asing (KPPA),
Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing (KP3A), Kantor
Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing (BUJKA), dan Kantor
Perwakilan Perusahaan Asing Minyak dan Gas Bumi (KPPA Migas).
Kantor Perwakilan Perusahaan Asing (KPPA) adalah kantor yang
didirikan oleh perusahaan asing atau gabungan perusahaan asing
di negara lain sebagai perwakilannya di Indonesia, yang bertujuan
untuk mengurus kepentingan perusahaan afiliasinya dan untuk
mempersiapkan pendirian dan pengembangan usaha perusahaan
Penanaman Modal Asing (PT PMA).
KPPA yang didirikan melakukan penelitian pasar, hingga
melakukan penilaian apakah produk perusahaannya dapat dan
cocok dipasarkan di Indonesia. Setelah yakin bahwa produknya
dapat diterima dan berkembang di Indonesia, maka perusahaan
asing terkait dapat mendirikan PT PMA tersebut.
Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing (KP3A)
adalah kantor yang dipimpin oleh perorangan WNI atau WNA yang
180 } BUSUR

ditunjuk oleh perusahaan asing atau gabungan perusahaan asing di


luar negeri sebagai perwakilannya di Indonesia. Tujuan mendirikan
kantor perwakilan pada dasarnya hanyalah bersifat promosi, untuk
melaksanakan survei, melakukan penelitian pasar, hingga penilaian
apakah produk perusahaannya dapat dan cocok dipasarkan di Indonesia.
KP3A dapat berbentuk agen penjualan (selling agent) atau agen
pabrik (manufactures agent) atau agen pembelian (buying agent). KP3A
dapat dibuka di ibu kota provinsi dan kabupaten/kota di seluruh wilayah
Republik Indonesia. Dalam melaksanakan kegiatannya, KP3A dilarang
melakukan kegiatan perdagangan dan transaksi penjualan, baik dari
tingkat permulaan sampai dengan penyelesaiannya seperti mengajukan
tender, menandatangani kontrak, menyelesaikan klaim dan sejenisnya.
Kantor Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing (BUJKA)
adalah kantor perwakilan di Indonesia dari badan usaha yang didirikan
menurut hukum dan berdomisili di negara asing, yang dipersamakan
dengan badan hukum Perseroan Terbatas yang bergerak di bidang
usaha jasa konstruksi.
Dalam penyelenggaraan kegiatannya di Indonesia, BUJKA wajib
membentuk ikatan kerja sama operasi dengan Badan Usaha Jasa
Konstruksi di Indonesia didasari dengan prinsip-prinsip kesamaan
layanan jasa konstruksi dan kesetaraan kualifikasi jasa konstruksi.
Kantor Perwakilan Perusahaan Asing Minyak dan Gas Bumi
(KPPA Migas) yaitu kantor yang didirikan oleh perusahaan asing atau
gabungan perusahaan asing di negara lain sebagai perwakilannya
di Indonesia, yang bergerak di sub sektor minyak dan gas bumi.
Kantor perwakilan ini dapat dipimpin oleh perorangan warga negara
Indonesia atau warga negara asing.
Sama halnya dengan kantor perwakilan lainnya, KPPA Migas
wajib memiliki Izin KPPA Migas dari Pelayanan Terpadu Satu Pintu
MENJAGA KINERJA { 181

(PTSP) Pusat di Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) jika ingin


melaksanakan kegiatannya di Indonesia.

Kantor Perwakilan sebagai Subjek Pajak


Dalam Pasal 2 ayat (1) UU Pajak Penghasilan mengategorikan
subjek pajak atas: Orang Pribadi, Warisan yang belum terbagi sebagai
kesatuan menggantikan yang berhak, Badan, dan Bentuk Usaha Tetap.
Kantor perwakilan adalah salah satu dari suatu Bentuk Usaha
Tetap (BUT). Pengertian BUT dijabarkan dalam Pasal 2 ayat (5)
Undang-Undang PPh yaitu: bentuk usaha yang digunakan oleh orang
pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi
yang berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh
tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, dan badan yang
tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia untuk
menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia.
Dalam pasal 2 ayat (1a) UU Pajak Penghasilan dijelaskan
bahwasanya BUT merupakan subjek pajak yang perlakuan
perpajakannya dipersamakan dengan subjek pajak badan.
Sementara definisi “Badan” dijelaskan dalam Pasal 1 angka 9
Peraturan Direktur Jenderal Pajak nomor PER-04/PJ/2020, yaitu: Badan
adalah sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang
meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya,
badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah dengan nama dan
dalam bentuk apa pun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiun, persekutuan,
perkumpulan, yayasan, organisasi massa, organisasi sosial politik, atau
organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya, termasuk kontrak
investasi kolektif, bentuk usaha tetap, kerja sama operasi (joint Operation),
serta kantor perwakilan perusahaan asing dan kontrak investasi bersama.
182 } BUSUR

Tujuan menambahkan kantor perwakilan perusahaan asing sebagai


perwujudan dari pengertian badan adalah untuk mengembalikan status
subjek pajak pada substansinya kaitannya dengan administrasi perpajakan.

Kewajiban Kantor Perwakilan Asing


Setiap wajib pajak yang telah memenuhi persyaratan subjektif dan
objektif wajib mendaftarkan diri untuk diberikan NPWP, begitu pula bagi
wajib pajak badan baik berorientasi pada
profit (profit oriented) maupun yang tidak
Perpajakan berorientasi pada profit (non profit oriented).
internasional Karena NPWP merupakan nomor
bukan berarti identitas yang digunakan wajib pajak
meniadakan dalam administrasi pelaksanaan hak
pajak maupun da n/at au p e m e nu ha n kewajib a n
menimbulkan perpajakan, maka kantor perwakilan
pajak baru, sebagai kendaraan yang dipergunakan
namun lebih oleh badan yang berstatus wajib pajak
kepada luar negeri (WPLN) wajib memiliki NPWP
pembagian hak dan melaksanakan kewajiban perpajakan
pemajakan sesuai ketentuan perundang-undangan.
Wal aupun kantor per wakil an
merupakan wajib pajak luar negeri yang
terikat dengan perjanjian perpajakan internasional, namun kewajiban
menyampaikan SPT Tahunan PPh Badan tetap menjadi kewajiban
yang harus dilaksanakan sesuai dengan ketentuan perpajakan
domestik di Indonesia. Karena perpajakan internasional bukan berarti
meniadakan pajak maupun menimbulkan pajak baru, namun lebih
kepada pembagian hak pemajakan.
Sistem Pemotongan PPh Pasal 26
dan Asas Proporsionalitas
Ahmad Sadiq Urwah F. M.

S
alah satu manfaat Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
(P3B) dapat berupa penurunan tarif PPh atau pembebasan
dari pengenaan PPh di yurisdiksi sumber penghasilan. Prosedur
administratif pemberian manfaat P3B di Indonesia perlu dirumuskan
kembali dengan mempertimbangkan asas proporsionalitas.
Bukan tanpa alasan, dimasukkannya asas proporsionalitas
dalam formulasi kebijakan terkait pada masa yang akan datang,
diharapkan dapat lebih memberikan kepastian hukum (certainty).
Selain itu, untuk mengedepankan prinsip keadilan (fairness) dalam
alokasi beban administratif (administrative cost) kepada administrasi
perpajakan atau Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan beban kepatuhan
(compliance cost) bagi pemotong PPh Pasal 26. Untuk memastikan
bahwa pemberian manfaat P3B hanya diberikan kepada pihak yang
berhak dan atas transaksi yang bonafide.
Pengadopsian asas proporsionalitas dalam mekanisme
penerapan P3B ini pada akhirnya juga diharapkan akan mengurangi
sengketa pajak yang hanya akan menyebabkan penggunaan sumber
daya di pihak DJP dan pemotong PPh Pasal 26 menjadi tidak efisien.

Mekanisme Pemotongan
Berbeda halnya dengan pembayar pajak dalam negeri dan SPLN
yang memiliki BUT di Indonesia, mekanisme self-assessment untuk
SPLN yang tidak memiliki BUT di Indonesia, selanjutnya disingkat
184 } BUSUR

SPLN, tidak dapat dilaksanakan dengan efektif karena tidak adanya


kehadiran fisik SPLN dimaksud. Cara yang paling efektif dalam
memastikan pemenuhan kewajiban pajak SPLN atas penghasilan
yang bersumber dari Indonesia hanya dapat dilakukan melalui
mekanisme pemotongan oleh pihak lain dalam hal ini adalah pihak
yang memberikan atau membayar penghasilan atau lebih dikenal
dengan sebutan pemotong PPh Pasal 26.
Mekanisme pemotongan secara umum dipandang sebagai
mekanisme yang sederhana (simple), murah (cost-efficient), tentu saja
ini dari sudut pandang administrasi perpajakan, dan dianggap paling
sesuai dengan salah satu prinsip pemajakan dari Adam Smith dalam
The Wealth of Nations, yaitu prinsip convenience (pay as you earn).
Prinsip pay as you earn ini kurang lebih mengatakan bahwa pajak
sebaiknya dipungut pada waktu dan dengan tata cara yang paling
menyenangkan (convenient) bagi pembayar pajak untuk membayarnya.
Pengenaan pajak melalui mekanisme pemotongan ini umumnya
dilakukan pada tingkat bruto (gross level) dengan cara mengalikan tarif
pajak dengan besarnya penghasilan bruto. Cara ini selain sederhana,
juga dianggap tidak memberikan beban kepatuhan (compliance cost)
yang tinggi bagi pihak yang ditetapkan sebagai pemotong PPh Pasal 26.

Mekanisme Pemberian Manfaat P3B


Bagi yurisdiksi sumber, terdapat dua mekanisme pemberian
manfaat P3B (treaty benefits) yang dapat dipilih. Pertama, pemberian
manfaat P3B di tingkat pemotongan (relief at source). Kedua, melalui
pengembalian pajak (relief via refund).
Yurisdiksi sumber penghasilan ialah negara atau yurisdiksi
tempat suatu penghasilan bersumber. Meskipun pada praktiknya
berbeda-beda di tiap yurisdiksi, suatu penghasilan dapat dianggap
MENJAGA KINERJA { 185

bersumber dari suatu yurisdiksi misalnya, jika aset atau harta yang
mendatangkan suatu penghasilan terletak atau berada di yurisdiksi
dimaksud. Contoh lain, untuk jenis penghasilan berupa dividen,
bunga, dan royalti, yurisdiksi sumber pengasilan tersebut adalah
yurisdiksi pihak yang melakukan pembayaran atas jenis-jenis
penghasilan tersebut. Di Indonesia, yurisdiksi sumber penghasilan
dapat dilihat dalam Pasal 24 Undang-Undang PPh.
Di dalam ketentuan P3B sendiri, tidak terdapat pasal yang
mengatur mengenai cara yurisdiksi sumber memberikan manfaat
P3B kepada penduduk yurisdiksi residen. Namun begitu, commentary
atas Pasal 1 Model OECD memberikan petunjuk.
Dalam terjemahan bebas, paragraf commentary di atas
menjelaskan sebagai bahwa suatu P3B tidak mengatur mengenai
prosedur atau mekanisme penerapan batasan tarif atau pembebasan
dari pemajakan di yurisdiksi sumber. Dengan demikian, masing-masing
yurisdiksi dapat memilih mekanisme pemberian manfaat P3B sesuai
dengan hukum domestiknya. Meskipun begitu, secara umum,
pemberian manfaat P3B melalui penurunan tarif atau pembebasan
pada level pemotongan dianggap lebih disukai karena pemberian
manfaat P3B ini dapat dilakukan secara lebih cepat. (OECD, 2017)

Penerapan Ketentuan P3B di Indonesia


Lalu, bagaimana penerapan ketentuan P3B di Indonesia?
Otoritas perpajakan Indonesia juga memiliki pengaturan sendiri
mengenai bagaimana cara menerapkan ketentuan P3B (atau tata
cara pemberian manfaat P3B). Pengaturan di Indonesia mengenai
tata cara pemberian manfaat P3B sudah melalui berbagai fase, mulai
dari Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-08/PJ.35/1993
hingga terakhir PER-28/PJ/2018.
186 } BUSUR

Secara default, pemberian manfaat P3B dilakukan melalui


mekanisme relief at source oleh pemotong PPh Pasal 26. Mekanismenya
lewat penerapan tarif pajak yang lebih rendah (tarif menurut P3B) atau
mengecualikan (membebaskan) suatu penghasilan dari pemotongan
PPh Pasal 26. Cara ini dipandang paling sesuai dengan interpretasi
ketentuan P3B. Akan tetapi, secara tekstual sebagaimana diuraikan
sebelumnya, dalam batang tubuh P3B, tidak ada kewajiban bagi
suatu yurisdiksi dalam P3B untuk memberikan manfaat P3B melalui
mekanisme relief at source.
Pada kenyataannya, praktik yang diadopsi oleh yurisdiksi
lain juga berbeda-beda. Sebagai contoh, Jerman secara default
memberikan manfaat P3B melalui mekanisme refund dan hanya
dalam kasus tertentu, seperti pembayaran royalti kepada pihak
afiliasi yang berdomisili di yurisdiksi uni Eropa. Pihak afiliasi tersebut
dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pengenaan pajak
di depan (in advance).
Sementara itu, praktik pemberian manfaat P3B di Amerika Serikat
secara umum dilakukan melalui mekanisme relief at source. Jika pihak
penerima penghasilan memberikan informasi terlebih dahulu kepada
pihak pemberi atau pembayar penghasilan melalui penggunaan
formulir khusus yang diterbitkan oleh Internal Revenue Service (IRS).
PER-28/PJ/2018 juga memuat pengaturan bahwa dalam hal relief
at source tidak dapat dilakukan akibat adanya kesalahan penerapan
P3B, keterlambatan pemenuhan persyaratan administratif, atau
akibat adanya putusan bersama (mutual agreement), WPLN dapat
mengajukan permohonan pengembalian atas kelebihan pembayaran
pajak yang seharusnya tidak terutang kepada DJP.
Dengan demikian, PER-28/PJ/2018 pada dasarnya memberikan
jalan bahwa manfaat P3B tidak hanya dapat diklaim oleh SPLN melalui
MENJAGA KINERJA { 187

mekanisme relief at source tetapi juga dapat dilakukan melalui


mekanisme refund.

Asas Proporsionalitas
Selain aspek keadilan dan kepastian hukum yang selalu dijadikan
pertimbangan dalam pembuatan suatu kebijakan perpajakan, terdapat
asas proporsionalitas yang tidak kalah pentingnya. Terlebih lagi ketika
negara melalui peraturan perundang-undangan memberikan beban
tambahan kepada pihak yang dituju oleh kebijakan tersebut.
Asas proporsionalitas merupakan salah satu asas utama dalam
hukum publik modern. Meskipun belum banyak disinggung dalam
literatur hukum perpajakan, relevansi untuk memasukkan asas
proporsionalitas ini ke dalam pembuatan kebijakan atau regulasi di
bidang perpajakan semakin mendapatkan tempat.
Adam Zalasiński (2014) berpendapat asas proporsionalitas
dalam bidang perpajakan berperan untuk menentukan besarnya
kewenangan negara untuk memungut pajak dan menentukan
ruang lingkup atau batasan-batasannya. Hal ini diperlukan karena
kewenangan untuk memungut pajak tersebut dapat berakibat pada
berkurangnya hak konstitusional pembayar pajak, khususnya hak
kebendaan (property rights).
Selain itu, asas proporsionalitas ini berperan untuk menjaga
keseimbangan kewenangan negara untuk memungut pajak dalam
rangka pembiayaan pengeluaran publik. Di sisi lain, asas ini
diperlukan untuk mencegah timbulnya kesewenang-wenangan
yang dapat merugikan hak konstitusional pembayar pajak secara
tidak proporsional.
Asas proporsionalitas juga semakin relevan dalam pembuatan
kebijakan sebagai akibat semakin berkembangnya kesadaran
188 } BUSUR

masyarakat akan hak-hak konstitusionalnya. Jika dikaitkan dengan


tema diskusi dalam tulisan ini, asas proporsionalitas merupakan asas
atau prinsip yang mewajibkan agar administrasi perpajakan dapat
menyeimbangkan tujuan yang ingin dicapai dengan besarnya beban
yang dapat ditanggung oleh individu atau entitas pembayar pajak.
Dalam konteks Indonesia, asas proporsionalitas ini juga menjadi
semakin relevan mengingat Undang-Undang PPh yang dibuat oleh
badan legislatif (parlemen) yang merupakan wujud representasi
rakyat thus pembayar pajak ternyata masih sangat general sehingga
dibutuhkan regulasi lanjutan yang notabene dibuat oleh eksekutif
dalam bentuk Peraturan Pemerintah dan Peraturan Menteri.
Asas proporsionalitas ini dapat digunakan untuk menjaga agar
regulasi lanjutan tadi tidak membuat pengaturan yang menimbulkan
beban berlebihan (excessive burden) sehingga dapat dianggap
melampaui kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang PPh.

Pembahasan
Dalam ketentuan P3B, pengaturan utama mengenai pihak yang
mendapatkan manfaat P3B diatur dalam beberapa pasal (articles).
Article 1 – Persons Covered mengatur bahwa hanya orang atau badan
(persons) yang merupakan penduduk dari yurisdiksi yang terikat
dalam P3B yang dapat memanfaatkan P3B dimaksud. Dengan
demikian, penduduk di luar yurisdiksi yang terikat dalam P3B tidak
dapat mengklaim P3B tersebut dengan beberapa pengecualian
misalnya terkait Article 24 – Non-Discrimination.
Selanjutnya, Article 2 – Taxes Covered mengatur bahwa orang
atau badan hanya dapat memanfaatkan P3B untuk jenis pajak yang
diatur dalam ruang lingkup (scope) suatu P3B yang umumnya hanya
mencakup pajak atas penghasilan. Hal ini berarti, untuk jenis pajak
MENJAGA KINERJA { 189

lain (selain pajak yang dikenakan atas penghasilan) tidak dicakup


di dalam P3B.
Kemudian definisi penduduk atau subjek pajak dalam negeri
sebagaimana dimaksud dalam Article 1 di atas, berdasarkan Article
4 – Resident, didasarkan pada definisi yang terdapat dalam ketentuan
domestik masing-masing yurisdiksi.
Jika merujuk pada pengaturan-pengaturan dalam P3B tersebut
di atas, proses pemberian manfaat P3B ini seharusnya sederhana dan
cukup diwakili oleh selembar surat keterangan domisili (certificate
of domicile atau certificate of residency). Surat keterangan domisili
yang diterbitkan otoritas suatu yurisdiksi biasanya berisi keterangan
mengenai identitas pembayar pajak, dan bahwa pembayar pajak
tersebut merupakan penduduk dari yurisdiksi tersebut yang atas
penghasilan yang diperolehnya dikenai pajak di yurisdiksi tersebut.
Dengan demikian, penggunaan surat keterangan domisili tadi
oleh SPLN dalam mengklaim pengurangan atau pembebasan PPh di
yurisdiksi sumber sudah memenuhi ketentuan formal (administratif)
Article 1, Article, 2 dan Article 4 di atas sekaligus.
Pada praktiknya, proses pemberian manfaat P3B ini tidak
sesederhana itu. Hal ini disebabkan adanya kepentingan bagi
yurisdiksi sumber (yurisdiksi yang hak pemajakan berdasarkan
ketentuan domestiknya dikurangi atau bahkan dihilangkan oleh
ketentuan P3B). Tujuannya, untuk memastikan bahwa orang atau
badan yang mengklaim manfaat P3B adalah orang atau badan yang
memang berhak (entitled). Selain itu, agar pemberian manfaat P3B ini
diberikan hanya untuk transaksi yang bonafide atau transaksi yang
memiliki substansi ekonomis dan sesuai dengan keadaan sebenarnya.
Dalam rangka memastikan bahwa P3B dimanfaatkan oleh
pihak-pihak yang berhak saja dan dan didasarkan pada substansi
190 } BUSUR

transaksi yang sebenarnya, pengaturan mengenai pemberian manfaat


P3B setidaknya harus mempertimbangkan dan menyeimbangkan 2
(dua) aspek utama yang sekilas saling bertentangan.
Dua aspek utama tersebut sama pentingnya. Pertama,
pemberian manfaat P3B tersebut dapat dilakukan secara cepat dan
tidak menimbulkan beban administratif dan kepatuhan (administrative
and compliance cost) yang berlebihan.
Dalam mempertimbangkan aspek ini, sering kali terlupakan
bahwa pihak yang terlibat tidak hanya SPLN dan administrasi
perpajakan saja, tetapi juga, dalam konteks pemotongan (withholding),
adalah pihak yang ditunjuk atau ditetapkan oleh Undang-Undang
PPh sebagai pemotong PPh Pasal 26 sehingga beban kepatuhan
yang ditanggung oleh pemotong PPh Pasal 26 tersebut seharusnya
ikut dipertimbangkan.
Apalagi, pihak yang sebenarnya dituju oleh Undang-Undang
PPh untuk dikenai PPh adalah SPLN penerima penghasilan dan
pemotong PPh Pasal 26 sejatinya hanya merupakan perpanjangan
tangan administrasi perpajakan saja untuk memungut pajak.
Kedua, bahwa pengaturan mengenai tata cara pemberian
manfaat P3B harus dapat memastikan bahwa manfaat P3B hanya
diberikan kepada pihak yang berhak terkait transaksi yang bonafide.
Secara gamblang, dapat dikatakan bahwa kedua aspek ini
memiliki tujuan yang berlainan dan sekilas bertentangan. Pemenuhan
aspek pertama dapat menjadikan aspek kedua terabaikan atau bahkan
dapat menimbulkan risiko pemberian manfaat P3B kepada pihak atau
transaksi yang tidak seharusnya mendapatkan manfaat P3B.
Di sisi lain, pemenuhan aspek kedua untuk memastikan apakah
pihak yang mengklaim manfaat P3B merupakan pihak yang betul-betul
berhak mendapatkan manfaat P3B kerap kali membutuhkan adanya
MENJAGA KINERJA { 191

informasi, kelengkapan, atau dokumentasi tambahan yang bisa jadi


dapat menyulitkan SPLN untuk memenuhinya tanpa menimbulkan
beban kepatuhan tambahan.
Tidak hanya itu, pihak yang ditetapkan sebagai pemotong
PPh Pasal 26 juga akan menanggung secara renteng jika terjadi
kesalahan, kelalaian, atau sengketa dengan DJP. Untuk itu bagi
pembuat kebijakan, pengaturan mengenai pemberian manfaat P3B
terhadap SPLN harus mampu menyeimbangkan dan tidak sekadar
mempertimbangkan kedua aspek ini.
Berdasarkan hal-hal di atas, menarik untuk melihat apakah
prosedur pemberian manfaat P3B yang diterapkan oleh DJP
sudah menyeimbangkan kedua kepentingan ini dan tidak sekadar
memasukkan kedua aspek tadi ke dalam pertimbangan.
Sejatinya PPh merupakan pajak yang dikenai atas penghasilan
yang diterima oleh subjek pajak. Dengan demikian, secara ringkas
dapat dikatakan bahwa Undang-Undang PPh tidak dimaksudkan untuk
mengenakan PPh kepada pihak-pihak di dalam negeri yang kebetulan
ditunjuk atau ditetapkan sebagai pemotong pajak atau pemungut pajak.
Meskipun pada akhirnya, kesalahan atau kelalaian dalam melaksanakan
ketentuan perundang-undangan perpajakan dibebankan kepada para
pemotong pajak atau pemungut pajak yang telah ditetapkan. Hal ini
semata-mata untuk memastikan bahwa ketentuan tersebut dapat
terlaksana secara efektif sesuai maksud dan tujuannya.
Terkait mekanisme pemotongan PPh Pasal 26 ini, dalam rangka
memastikan bahwa manfaat P3B hanya diberikan kepada pihak
yang berhak dan untuk transaksi yang secara substansi pantas
mendapatkan manfaat P3B tersebut, penulis mengusulkan agar tata
cara penerapan P3B harus menyeimbangkan kedua aspek ini dengan
memperhatikan asas proporsionalitas bagi pemotong PPh Pasal 26.
192 } BUSUR

Asas proporsionalitas secara singkat merupakan suatu asas


hukum yang menekankan pemberian hak dan kewajban kepada suatu
pihak, dalam hal ini pemotong PPh Pasal 26, secara adil dan masuk akal
(fair and reasonable) sehingga tidak menimbulkan beban kepatuhan
tambahan yang tidak proporsional. Penulis menilai bahwa peraturan
tentang tata cara pemberian manfaat P3B yang terdapat dalam PER-28/
PJ/2018 belum sepenuhnya memperhatikan asas proporsionalitas ini.
Mekanisme penerapan PER-28/PJ/2018 ini secara umum,
mengharuskan pemotong PPh Pasal 26 untuk menerapkan
ketentuan P3B jika wajib pajak luar negeri (WPLN) menyampaikan
SKD WPLN yang berisi keterangan atau informasi telah terpenuhinya
ketentuan berikut.
Pertama, WPLN yang bersangkutan bukan subjek pajak dalam
negeri Indonesia. Kedua, WPLN yang bersangkutan merupakan
penduduk yurisdiksi mitra P3B. Ketiga, tidak terjadi penyalahgunaan
P3B (treaty abuse). Keempat, WPLN penerima penghasilan merupakan
beneficial owner, jika dipersyaratkan dalam ketentuan P3B terkait.
Dalam rangka memastikan ketentuan tersebut di atas terpenuhi,
DJP perlu mempertimbangkan apakah posisi pemotong PPh Pasal
26 secara umum berada dalam posisi terinformasi dengan baik
(well-informed) sehingga mampu menentukan apakah SPLN penerima
penghasilan yang merupakan penduduk yurisdiksi mitra P3B berhak
sesuai dengan ketentuan PER-28/PJ/2018 untuk mendapatkan
manfaat P3B?
Permasalahan lain yang perlu dipertimbangkan, tentu saja,
apakah informasi yang disediakan oleh SPLN terkait melalui Form
DGT sudah sesuai dengan keadaaan yang sebenarnya?
Belum lagi, respons atau pertanyaan (pernyataan) yang ada
dalam contoh Form DGT merupakan pemberian informasi dari pihak
MENJAGA KINERJA { 193

yang berkepentingan (SPLN selaku penerima penghasilan) sehingga


sangat sulit memastikan objektifitasnya. Jawaban negatif atas
pertanyaan di atas, berisiko menimbulkan beban kepatuhan yang
sangat besar kepada pihak pemotong PPh Pasal 26.
Meskipun di dalam PER-28/PJ/2018 secara rinci telah berusaha
memberikan detail mengenai apa yang dimaksud penyalahgunaan
P3B atau hal yang dimaksud beneficial owner tetapi penulis ragu
mengenai apakah pemotong PPh Pasal 26 dapat memastikan
terpenuhinya ketentuan tersebut dengan hanya mendasarkan pada
informasi yang tersedia pada Form DGT.
Jika DJP membebankan kewajiban untuk membuktikan atau
mengecek kebenaran pengisian informasi yang disampaikan oleh
WPLN melalui Form DGT, pertanyaan selanjutnya apakah pemotong
PPh Pasal 26 memiliki akses terhadap informasi dan kapabilitas
melakukan penelitian atas informasi tersebut? Secara umum,
pemotong PPh Pasal 26 tidak berada dalam posisi itu, terlebih lagi
jika transaksi yang dilakukan merupakan transaksi dengan pihak-pihak
yang independen.
Selain persoalan di atas, terdapat kemungkinan bahwa pengisian
tersebut hanya dilakukan oleh WPLN dalam rangka memastikan
bahwa manfaat P3B berupa penurunan tarif pajak atau pembebasan
dari pengenaan pajak di Indonesia dapat dinikmati secara langsung
(relief at source) dan tidak melalui mekanisme pengembalian pajak
yang seharusnya tidak terutang (refund) yang manfaatnya tidak dapat
dinikmati oleh SPLN penerima penghasilan secara langsung.
Selain itu, check list atau pertanyaan-pertanyaan yang terdapat
dalam Form DGT sangatlah subjektif yang artinya sangat tergantung
pada penilaian WPLN itu sendiri selaku pihak yang mengklaim
manfaat P3B. Misalnya, terkait pertanyaan (atau pernyataan) pada
194 } BUSUR

Part V butir 7 – The entity has its own management to conduct the
business and such management has an independent discretion.
Penulis sangsi jika ada WPLN penerima penghasilan yang akan
menjawab negatif (tidak) ada atas pertanyaan ini. Contoh lain, terkait
pertanyaan (pernyataan) pada Part V butir 9 – The entity has sufficient
and qualified personel to conduct the business. Bagi WPLN yang hanya
memiliki satu pegawai pun sepertinya akan tetap menjawab afirmatif
atas pertanyaan ini.
Dengan demikian, yang terjadi adalah penelitian yang dilakukan
pemotong PPh Pasal 26 atas Form DGT yang diterima maksimal hanya
merupakan penelitian formal atas kesesuaian pengisiannya saja.
Sebagai perbandingan, IRS Amerika Serikat tidak mengenakan sanksi
kepada pihak pembayar penghasilan yang ditunjuk sebagai pemotong
pajak jika terdapat kesalahan (dengan kesengajaan) dalam pengisian
formulir klaim manfaat P3B, bukti, atau pernyataan yang dilakukan
oleh penerima penghasilan sepanjang pihak pembayar penghasilan
tidak memiliki pengetahuan atau alasan untuk mengetahui terjadinya
kesalahan tersebut.
Berdasarkan PER-28/PJ/2018 dan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak sebelumnya yang substansi pengaturannya kurang lebih sama,
kesalahan pemotongan PPh Pasal 26 sepenuhnya menjadi beban
yang harus ditanggung oleh pemotong PPh Pasal 26 itu sendiri.
Meskipun penulis tidak memiliki data pastinya, diperkirakan
kesalahan pemotongan PPh Pasal 26 (dari perspektif DJP) diperkirakan
cukup banyak dan dengan nilai yang cukup signifikan. Hal ini bisa
dilihat dari banyaknya sengketa banding di Pengadilan Pajak dan
peninjauan kembali PPh Pasal 26 di Mahkamah Agung.
Meskipun pihak-pihak yang ditetapkan sebagai pemotong
PPh Pasal 26 sudah ditetapkan oleh Undang-Undang PPh, namun
MENJAGA KINERJA { 195

sudah saatnya DJP meninjau kembali mekanisme pemberian manfaat


P3B di level pemotongan ini dengan mempertimbangkan asas
proporsionalitas ini.

Simpulan
Penulis mengusulkan agar pemberian manfaat P3B di tingkat
pemotongan sebagaimana diatur dalam PER-28/PJ/2018 untuk dapat
ditinjau ulang dengan mempertimbangkan aspek beban administrasi
dan beban kepatuhan dan aspek pengamanan penerimaan dengan
memastikan bahwa manfaat P3B hanya diberikan untuk SPLN
yang berhak dan atas transaksi yang bonafide. Selain itu, asas
proporsionalitas pemberian beban untuk melakukan pemotongan
pajak kepada pemotong PPh Pasal 26 di dalam negeri perlu
mendapatkan perhatian khusus.
Agar prosedur pemberian manfaat P3B ini tetap dapat dilakukan
sesuai dengan pengaturan yang ada dalam Undang-Undang PPh
dan tetap sejalan dengan rekomendasi sebagaimana terdapat dalam
Commentary Model OECD yang penulis kutip di bagian sebelumnya,
penulis mengusulkan agar pemberian manfaat P3B di tingkat
pemotongan ini dilakukan berdasarkan besaran risiko untuk tiap-tiap
transaksi pembayaran atau pemberian penghasilan kepada SPLN
(risk-based relief ).
Untuk transaksi yang tidak terlalu berisiko, pemberian
manfaat P3B dapat dilakukan langsung di tingkat pemotongan oleh
pemotong PPh Pasal 26 meskipun tetap didahului dengan prosedur
penelitian yang tidak terlalu dalam. Sementara untuk transaksi yang
yang dianggap berisiko tinggi, pemberian manfaat P3B ini dapat
dilakukan melalui mekanisme pengembalian pajak yang seharusnya
tidak terutang.
196 } BUSUR

Terdapat beberapa faktor yang dapat dijadikan pertimbangan


dalam menentukan besaran risiko suatu transaksi, antara lain,
yurisdiksi mitra (dengan anggapan bahwa terdapat P3B dengan
yurisdiksi mitra yang secara umum dianggap rawan digunakan dalam
skema penyalahgunaan P3B), jenis penghasilan (bahwa secara umum
transaksi pembayaran bunga dianggap lebih berisiko dibandingkan
transaksi pembayaran dividen misalnya), nilai transaksi, lawan
transaksi (pihak independen atau pihak afiliasi), dan sebagainya.
Untuk transaksi yang dianggap berisiko tinggi, proses pemberian
manfaat P3B dilakukan melalui mekanisme pengembalian pajak
yang seharusnya tidak terutang sehingga dilakukan oleh DJP sendiri
dengan kapasitas dan kewenangannya berada dalam terposisi yang
lebih terinformasi untuk menentukan apakah suatu manfaat P3B dapat
diberikan atau tidak. Dengan mengadopsi risk-based relief dalam
regulasi mengenai pemberian manfaat P3B, pembuat kebijakan dapat
dipandang telah mempertimbangkan asas proporsionalitas karena
pembebanan kewajiban pemotongan pajak kepada pemotong PPh
Pasal 26 dilakukan dengan lebih proporsional.
Pada akhirnya, pengadopsian risk-based relief ini selain
diharapkan dapat memastikan pemberian manfaat P3B hanya kepada
pihak-pihak yang memang juga dimaksudkan untuk mengurangi
beban kepatuhan yang ditanggung oleh pemotong PPh Pasal 26
dan juga menimalkan jumlah sengketa antara DJP dan pemotong
PPh Pasal 26.
Urgensi KLU
untuk Menghitung Penyusutan
Bambang Tejo

D
alam sistem administrasi perpajakan nasional, ada wajib pajak
(WP) terregistrasi sebagai industri minyak goreng kelapa
sawit (10432), yakni yang mencakup usaha pengolahan lebih
lanjut (pemurnian, pemucatan, dan penghilangan bau yang tidak
dikehendaki) dari minyak mentah kelapa sawit atau crude palm oil
(CPO) menjadi minyak goreng kelapa sawit.
Namun, pada kenyataannya WP tersebut seharusnya berkode
lapangan usaha (KLU) 10431 atau industri minyak makan kelapan sawit
(crude palm oil). Proses transformasi tandan buah segar (TBS) kelapa
sawit menjadi CPO sangat berbeda dengan proses penyulingan CPO
menjadi minyak goreng. Mesin dan peralatannya pun berbeda. WP
seperti ini banyak terdaftar di kantor pelayanan pajak yang mengurusi
perusahaan modal asing (PMA).
KLU yang ada sepertinya belum dapat mendefinisikan secara
jelas jenis usaha WP. Hal ini bisa mengakibatkan hilangnya potensi
pajak yang cukup besar, khususnya berkaitan dengan penyusutan
aktiva tetap, terutama pengelompokan mesin yang digunakan dalam
industri yang bersangkutan.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Kondisi ini erat kaitannya dengan
penggunaan mesin. Dalam tulisan ini, Penulis akan membahasnya
dihubungkan dalam industri makanan atau kimia. Peraturan perpajakan
terkaitnya, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.03/2009
198 } BUSUR

tentang Jenis-Jenis Harta Yang Termasuk Dalam Kelompok Harta


Berwujud Bukan Bangunan Untuk Keperluan Penyusutan.
Selain itu, ada juga Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor
KEP-321/PJ./2012 tentang Perubahan atas Keputusan Direktur Jenderal
Pajak KEP-233/PJ/2012 tentang Klasifikasi Lapangan Usaha Wajib Pajak,
diatur bahwa kode KLU dipergunakan untuk penatausahaan data Wajib
Pajak, seperti data Kelompok Kegiatan Ekonomi Wajib Pajak dalam
Master File Wajib Pajak dan Kelompok Kegiatan Ekonomi pada Surat
Pemberitahuan. KLU yang digunakan harus sesuai dengan kegiatan
ekonomi yang sebenarnya dijalankan oleh Wajib Pajak. Penentuan
KLU bagi Wajib Pajak yang memiliki lebih dari satu kegiatan ekonomi
didasarkan pada kegiatan ekonomi yang dominan.
Kita ambil contoh WP yang memproduksi monosodium glutamat
(msg) yang mencatatkan diri memiliki KLU 10772, yakni industri
bumbu masak dan penyedap masakan. Apabila kita melihat pada
penjelasannya, kelompok ini mencakup usaha pembuatan bumbu
masak dalam keadaan sudah diramu atau belum, baik berbentuk
bubuk ataupun lainnya, seperti: bumbu gulai, bumbu kari, bumbu
merica, bubuk jahe, bubuk jinten, bubuk pala, bubuk cabai dan bubuk
kayu manis.
Bukan hanya itu, KLU ini termasuk juga usaha industri penyedap
masakan, baik yang asli, natura, maupun sintesa khemis (seperti:
vetsin, serbuk panili). Selain itu, industri bumbu-bumbu, saus, dan
rempah-rempah, seperti: mayonais, tepung mustar dan mustar olahan.
Yang menjadi perdebatan adalah apakah MSG itu adalah vetsin
seperti yang diuraikan dalam KEP-321/PJ/2012? Ataukah merupakan
produk kimia organis?
Apabila merujuk pada kamus besar bahasa indonesia (KBBI),
vetsin dapat diartikan sebagai bumbu tambahan untuk menyedapkan
MENJAGA KINERJA { 199

masakan berupa serbuk berwarna putih bersih, monosodium glutamat


sebagai bahannya. Sebagai contoh, masakan cina akan terasa lebih
sedap jika dibubuhi vetsin secukupnya. Nah, tentu tidak salah apabila
dikatakan bahwa MSG itu adalah vetsin.
Definisi vetsin atau monosodium glutamat, juga dikenal
sebagai natrium glutamat dan MSG, adalah garam sodium dari alami
non-esensial asam amino asam glutamat. MSG dibuat melalui proses
fermentasi dari tetes-gula (molases) oleh bakteri (Brevibacterium
lactofermentum). Dalam peroses fermentasi ini, pertama-tama akan
dihasilkan Asam Glutamat. Asam Glutamat yang terjadi dari proses
fermentasi ini, kemudian ditambah soda (Sodium Carbonate), sehingga
akan terbentuk Monosodium Glutamat (MSG). MSG yang terjadi ini,
kemudian dimurnikan dan dikristalisasi, sehingga merupakan serbuk
kristal-murni, yang siap di jual di pasar. (wordpress.com)
Oleh sebab itu, apabila kita melihat uraian di atas dalam membuat
produk MSG ternyata lebih mendekati pada KLU berkode 20118, yakni
industri kimia dasar organik yang menghasilkan bahan kimia khusus.
Kelompok ini mencakup usaha industri kimia dasar organik yang
menghasilkan bahan kimia khusus, seperti bahan kimia khusus untuk
minyak dan gas bumi, pengolahan air, karet, kertas, konstruksi, otomotif,
bahan tambahan makanan (food additive), tekstil, kulit, elektronik,
katalis, minyak rem (brake fluid), serta bahan kimia khusus lainnya.
Seperti yang telah kita sama sama ketahui vestin dapat diartikan
sebagai bumbu tambahan untuk penyedap masakan. Namun, apakah
MSG atau vetsin tersebut masuk dalam jenis bahan tambahan
makanan (food additive) sebagaimana dimaksud dalam KLU 20118
(industri kimia dasar organik yang menghasilkan bahan kimia khusus).
Berdasarkan beberapa literatur dan sumber, food/feed additive
atau additive dapat diuraikan sebagai berikut. Pertama, food additives
200 } BUSUR

are substances added to food to preserve flavor or enhance taste,


appearance, or other sensory qualities. Some additives have been used
for centuries as part of an effort to preserve food, for example vinegar
(pickling), salt, (salting), smoke (smoking), sugar (crystallization), etc.
(Wikipedia)
Kedua, aditif makanan atau bahan tambahan makanan adalah
bahan yang ditambahkan dengan sengaja ke dalam makanan dalam
jumlah kecil, dengan tujuan untuk memperbaiki penampakan, cita
rasa, tekstur, dan memperpanjang daya simpan. Selain itu, dapat
meningkatkan nilai gizi, seperti: protein, mineral, dan vitamin.
Penggunaan aditif makanan telah digunakan sejak zaman
dahulu. Bahan aditif makanan ada dua, yaitu: bahan aditif makanan
alami dan buatan (sintetis) (Wikipedia)
Additive adalah suatu bahan atau kombinasi bahan yang
ditambahkan, biasanya dalam kuantitas yang kecil, kedalam
campuran makanan dasar atau bagian dari padanya, untuk memenuhi
kebutuhan khusus, contohnya additive bahan konsentrat, additive
bahan suplemen, additive bahan premix, additive bahan makanan
(Hartadi et. al., 1991).
Additive adalah susunan bahan atau kombinasi bahan tertentu
yang sengaja ditambahkan ke dalam ransum pakan ternak untuk
menaikkan nilai gizi pakan guna memenuhi kebutuhan khusus atau
imbuhan yang umum digunakan dalam meramu pakan ternak.
Murwani (2002) menyatakan bahwa additive adalah bahan
pakan tambahan yang diberikan pada ternak dengan tujuan untuk
meningkatkan produktivitas ternak maupun kualitas produksi.
Sedangkan, menurut Murtidjo (1993), additive adalah imbuhan yang
umum digunakan dalam meramu pakan ternak.
MENJAGA KINERJA { 201

Penambahan bahan biasanya hanya dalam jumlah yang sedikit,


misalnya additive bahan konsentrat, additive bahan suplemen
dan additive bahan premix. Maksud dari penambahan adalah
untuk merangsang pertumbuhan atau merangsang produksi.
Macam-macam additive antara lain antibiotika, hormon, arsenikal,
sulfaktan, dan transquilizer.
Feed additive merupakan bahan makanan pelengkap yang
dipakai sebagai sumber penyedia vitamin-vitamin, mineral-mineral
dan atau juga antibiotika (Anggorodi, 1985). Fungsi feed additive adalah
untuk menambah vitamin-vitamin, mineral dan antibiotika dalam
ransum, menjaga dan mempertahankan kesehatan tubuh terhadap
serangan penyakit dan pengaruh stres, merangsang pertumbuhan
badan (pertumbuhan daging menjadi baik) dan menambah nafsu
makan, meningkatkan produksi daging maupun telur.
Sudah jelas bahwa MSG atau vetsin yang berfungsi memperbaiki
citra rasa dapat termasuk dalam pengertian food additive (bahan
tambahan makanan) atau masuk dalam KLU 20118. Namun, akan
timbul kontradiksi apabila kita mengacu pada KLU 10772. Kembali
lagi, dari uraian di atas, perbedaan jenis mesin yang digunakan
akan berpengaruh pada penentuan masuk kelompok penyusutan
yang sesuai sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 96/PMK.03/2009.
Dalam PMK tersebut, terdapat dua kategori kelompok penyusutan
yang disalahartikan oleh WP dan fiskus, yakni: industri makanan
dan minuman atau industri kimia. Hal ini berpengaruh pada beban
penyusutan yang dapat dinikmati secara fiskal oleh WP. Penyusutan
mesin dalam untuk industri makanan dan minuman masuk pada
kelompok 2 sedangkan untuk industri kimia masuk pada kelompok 3.
202 } BUSUR

Kriteria mesin yang masuk dalam kelompok 2 atas industri


makanan dan minuman, sedikitnya atas empat poin. Pertama, mesin
yang mengolah produk asal binatang, unggas dan perikanan, misalnya
pabrik susu, pengalengan ikan. Kedua, mesin yang mengolah produk
nabati, misalnya mesin minyak kelapa, margarin, penggilingan kopi,
kembang gula, mesin pengolah biji-bijian seperti penggilingan beras,
gandum, tapioka.
Ketiga, mesin yang menghasilkan/memproduksi minuman
dan bahan-bahan minuman segala jenis. Keempat, mesin yang
menghasilkan/memproduksi bahan-bahan makanan dan makanan
segala jenis.
Sedangkan, kriteria mesin yang masuk dalam kelompok 3 atas
industri kimia yaitu mesin peralatan yang mengolah/menghasilkan
produk industri kimia dan industri yang ada hubungannya dengan
industri kimia. Hal ini meliputi bahan kimia anorganis, persenyawaan
organis dan anorganis dan logam mulia, elemen radioaktif,
isotop, bahan kimia organis, produk farmasi, pupuk, obat celup,
obat pewarna, cat, pernis, minyak eteris, dan resinoida-resinoida
wangi-wangian, obat kecantikan dan obat rias, sabun, detergen
dan bahan organis pembersih lainnya, zat albumin, perekat, bahan
peledak, produk piroteknik, korek api, alloy piroforis, barang fotografi
dan sinematografi.)
Selama ini WP mengartikan mesin dalam KLU 10772 atau industri
bumbu masak dan penyedap masakan masuk ke kelompok 2. Hal
ini didasari oleh pandangan mayoritas pelaku industri dan fiskus
bahwa tambahan makanan sama dengan bahan-bahan makanan,
tanpa melihat lagi kriteria dalam penyusutan pada industri kimia
yang masuk kelompok 3, yakni persenyawaan organis dan bahan
kimia organis (lihat definisi MSG).
MENJAGA KINERJA { 203

Dari uraian di atas, Penulis memiliki beberapa pandangan


mengenai hal ini. Pertama, diperlukan kehati-hatian penetapan
KLU oleh WP saat pendaftaran dalam sistem administrasi pajak dan
juga harus diikuti pengawasan oleh fiskus secara melekat, apabila
terdapat perubahan harus segera diusulkan dilakukan perubahan
KLU. Karena fungsi KLU salah satunya adalah untuk pengambilan
kebijakan sektoral.
Kedua, diperlukan kepastian hukum apakah vetsin termasuk
dalam bumbu masakan sebagaimana disebutkan dalam KLU 10772
atau tambahan makanan sesuai KLU 20118.
Ketiga, diperlukan uraian yang jelas perihal bahan-bahan
makanan lainnya sebagaimana disebutkan dalam kelompok 2 PMK 96
Tahun 2009 untuk industri makanan dan minuman, dan contoh produk
terkait persenyawaan organis/bahan kimia organis sebagaimana
termasuk dalam kelompok 3 PMK 96 Tahun 2009.
Rekening Efek DJP
untuk Efektivitas Penyitaan Saham
Lisa Alviani

M
enteri Keuangan telah mengeluarkan peraturan baru terkait
penagihan pajak melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor
189/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak
atas Jumlah Pajak Yang Masih Harus Dibayar (PMK-189). Berbeda
dengan peraturan sebelumnya, PMK-189 ini mengatur tentang
penagihan pajak secara lebih detail, di mana semua jenis penagihan
pajak dijelaskan secara rinci, mulai dari proses Surat Teguran sampai
dengan Penyanderaan. Tentu kita tidak akan membahas semua jenis
penagihan pajak tersebut karena alurnya sangat panjang. Fokus kita
pada tindakan pemblokiran dan Penyitaan.
Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU
PPSP) menyebutkan bahwa Penyitaan adalah tindakan Juru Sita Pajak
untuk menguasai barang Penanggung Pajak, guna dijadikan jaminan
untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan.
Barang apa yang boleh disita juga dijelaskan dalam UU PPSP, salah
satunya adalah saham. Saham terbagi menjadi dua, yaitu saham yang
diperdagangkan di bursa efek dan yang tidak diperdagangkan di
bursa efek. Tulisan ini lebih berfokus pada pemblokiran dan penyitaan
saham yang diperdagangkan di bursa efek.
Bagaimana proses pemblokiran dan penyitaan saham yang
dimiliki oleh Wajib Pajak maupun Penanggung Pajak? Hal ini akhirnya
dijelaskan dalam PMK-189, bahwa Juru Sita melaksanakan penyitaan
terhadap surat berharga yang diperdagangkan di Lembaga Jasa
MENJAGA KINERJA { 205

Keuangan (LJK) sektor pasar modal dengan melakukan pemblokiran


terlebih dahulu. Jika sekilas dilihat, prosedur ini sama dengan
prosedur Penyitaan pada LJK sektor perbankan yang didahului
dengan pemblokiran rekening Wajib Pajak yang tersimpan pada
bank. Pemblokiran dilaksanakan agar tidak ada transaksi keluar atas
rekening tersebut.
Ketika membahas pemblokiran dan penyitaan saham yang
terdaftar di Bursa Efek, tentu kita bertanya-tanya, siapa yang
menyimpan saham tersebut? Apakah yang diblokir adalah sahamnya?
Jawabannya akan mudah jika pertanyaannya diganti dengan
tabungan, karena sudah jelas bahwa tabungan tersimpan pada bank
dan yang akan diblokir adalah nomor rekening yang dimiliki oleh
Wajib Pajak atau Penanggung Pajak.
Lalu bagaimana dengan saham? Setiap investor pasar modal
memiliki rekening efek yang diterbitkan oleh Kustodian Sentral
Efek Indonesia (KSEI). Pada dasarnya sama dengan rekening yang
tersimpan pada bank, rekening efek ini digunakan oleh investor
pasar modal untuk melakukan transaksi jual beli saham. Proses
jual beli saham yang terjadi di Bursa Efek Indonesia bermuara pada
serah terima uang dan/atau serah terima efek yang tercatat pada
rekening efek. Dana yang keluar masuk akibat transaksi jual beli
saham dan hasil dari pembagian dividen akan tercatat pada rekening
efek nasabah.
Penjelasan di atas mendeskripsikan bahwa ketika akan
melakukan penyitaan saham, Juru Sita Pajak akan melakukan
pemblokiran rekening efek. Pemblokiran atas rekening efek dilakukan
untuk mencegah adanya transaksi dana keluar dari rekening
efek. Sesuai dengan ketentuan pada PMK-189, Juru Sita Pajak
menyampaikan permintaan nomor rekening efek dan pemberitahuan
206 } BUSUR

atas saldo harta kekayaan Penanggung Pajak kepada KSEI sebelum


melakukan pemblokiran.
KSEI wajib memberitahukan nomor rekening efek dan saldo
pada rekening efek paling lama satu bulan sejak diterimanya
permohonan. Setelah mendapat jawaban dari KSEI, Juru Sita Pajak
mengajukan permintaan pemblokiran rekening efek sebesar nilai
utang pajak Wajib Pajak atau Penanggung Pajak kepada Otoritas Jasa
Keuangan (OJK), sesuai dengan yang tertulis dalam Undang-Undang
Pasar Modal.
Proses pemblokiran rekening efek diharapkan dapat menjadi
pelecut bagi Wajib Pajak atau Penanggung Pajak untuk segera
memenuhi kewajiban perpajakannya. Sesuai dengan Undang-Undang
Pasar Modal, Wajib Pajak atau Penanggung Pajak tidak dapat
melakukan penarikan atau mutasi rekening ketika telah dilakukan
pemblokiran atas rekening efek tersebut. Jika terdapat permintaan
penarikan atau mutasi rekening dari Wajib Pajak atau Penanggung
Pajak, KSEI dapat menolak permintaan tersebut.
Dengan tidak dapatnya Wajib Pajak atau Penanggung Pajak
melakukan penarikan atau mutasi rekening, maka secara tidak
langsung, mereka akan dipaksa untuk segera melunasi utang
pajaknya agar dapat segera melakukan transaksi jual beli saham
maupun penarikan dividen lagi. Hal tersebut tentu menjadi proses
yang mudah karena proses tersebut hampir sama ketika dilakukan
pemblokiran nomor rekening yang tersimpan pada bank atas
tabungan atau deposito. Proses tersebut juga menjadi salah satu
indikator bahwa pemblokiran rekening efek menjadi Penagihan Pajak
yang efektif.
Lalu apa yang terjadi ketika Wajib Pajak atau Penanggung Pajak
tidak segera melunasi utang pajaknya setelah dilakukan pemblokiran?,
MENJAGA KINERJA { 207

ya, akan dilakukan proses penyitaan. PMK-189 menjelaskan bahwa


Juru Sita Pajak melakukan penyitaan terhadap rekening efek setelah
mengetahui nomor rekening efek dan saldo rekening Wajib Pajak
atau Penanggung Pajak serta jika utang pajak tidak segera dilunasi.
Penyitaan dilakukan dengan membuat berita acara pelaksanaan sita
dan menyampaikan salinannya kepada Wajib Pajak atau Penanggung
Pajak. Amanat UU PPSP menyatakan bahwa jika utang pajak tidak
dilunasi setelah empat hari kerja sejak Berita Acara dibuat, saham
yang telah disita melalui penyitaan rekening efek tersebut, dijual di
bursa efek oleh Pejabat.
Masalah timbul pada langkah ini, DJP tidak mempunyai rekening
efek untuk menampung saham yang telah disita, sehingga tidak dapat
melakukan penjualan atas saham tersebut. KSEI sendiri tidak dapat
menjadi tempat penitipan rekening efek atas saham yang telah disita,
seperti ketika bank menjadi tempat penitipan atas rekening yang
telah dilakukan penyitaan. Unit instansi lain yang dapat melakukan
penyitaan, seperti kepolisian dan KPK mempunyai rekening efek
untuk menampung saham yang disita.
Untuk meningkatkan efektivitas penagihan pajak berupa
penyitaan saham, apakah DJP tidak berencana membuat rekening
efek? Mengingat juga di tengah pandemi ini masyarakat jadi gemar
melakukan investasi dalam bentuk saham, sebagai bentuk penegakan
hukum di bidang perpajakan berupa berupa Penagihan Pajak, salah
satu caranya adalah dengan menampung sita saham dalam rekening
efek milik DJP.
Menyoal Pengurangan atau
Penghapusan Sanksi Administrasi
Waluyojati

S
istem perpajakan di Indonesia menganut sistem self assessment,
yaitu wajib pajak menghitung, memperhitungkan, menyetorkan
dan melaporkan pajak yang terutang. Sementara Direktorat Jenderal
Pajak (DJP) hanyalah mengawasi melalui serangkaian tindakan
pengawasan maupun penegakan hukum (pemeriksaan dan
penyidikan pajak).
Untuk memenuhi kewajiban perpajakan tersebut, sangat
diperlukan pengetahuan perpajakan dari wajib pajak. Meskipun tidak
ada data pasti tentang tingkat pengetahuan masyarakat mengenai
perpajakan, namun kita sering mendengar pandangan masyarakat
bahwa pajak adalah sesuatu yang rumit dan tidak mudah.
Walaupun tidak ada bukti empiris, namun masih adanya
kesalahan pengisian maupun keterlambatan penyampaian Surat
Pemberitahuan (SPT) Tahunan maupun SPT Masa menjadi gambaran
bahwa masyarakat kita masih kurang menguasai ilmu perpajakan.
Hal ini berpotensi mengakibatkan dikenakannya sanksi administrasi
ataupun denda kepada Wajib Pajak.
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(UU KUP) telah memberikan ruang untuk mengatur ketentuan
pengurangan sanksi administrasi yaitu dalam Pasal 36 UU KUP, yaitu:
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak karena jabatan atau permohonan Wajib
Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi
berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan
MENJAGA KINERJA { 209

ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan, dalam hal


sanksi tersebut dikenakan karena kekhilafan Wajib Pajak atau bukan
karena kesalahannya.
Pasal ini memberikan kewenangan atributif kepada Dirjen Pajak
untuk mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi yang
diberikan hanya karena alasan kekhilafan atau bukan kesalahan
wajib pajak.
Dalam penerapan ketentuan terhadap kewenangan Pasal 36 UU
KUP tersebut Dirjen Pajak dihadapkan pada penafsiran “kekhilafan
atau bukan kesalahan wajib pajak”. Tidak terdapat penjelasan
mengenai unsur “kekhilafan” dalam peraturan perpajakan yang ada
saat ini, Penjelasan Pasal 36 UU KUP menyebutkan: dalam praktik
dapat ditemukan sanksi administrasi yang dikenakan kepada wajib
pajak tidak tepat karena kekeliruan petugas pajak yang dapat
membebani wajib pajak yang tidak bersalah atau tidak memahami
peraturan perpajakan.
Pada dasarnya “kekhilafan” sesuatu yang cukup sukar untuk
ditentukan batas-batasnya, apabila dikaitkan dengan “kelalaian”,
“kesengajaan” atau “kealpaan”. Seringkali penggunaan istilah ini dalam
peraturan perundang-undangan, membuka ruang subjektivitas dari
pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk Dirjen Pajak atau pejabat
fiskus lainnya. Untuk menilai kekhilafan wajib pajak dan berapa besar
pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi dapat diberikan
merupakan wewenang atributif dan hak prerogatif Dirjen Pajak yang
diatur Undang-undang.
Selain itu, termasuk dalam pengertian “bukan karena
kesalahannya” di sini juga ketidaktelitian pihak lain selain wajib
pajak, misalnya ketidaktelitian konsultan pajak ataupun mitra bisnis
wajib pajak yang melakukan pemungutan pajak sehubungan dengan
210 } BUSUR

transaksi bisnis wajib pajak. Namun sayangnya, hal ini tidak termasuk
dalam pengertian yang diatur dalam UU perpajakan.
Regulasi lebih lanjut mengenai ketentuan Pasal 36 UU
KUP ada dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Terdapat
beberapa PMK mengenai Pengurangan atau Penghapusan Sanksi
Administrasi antara lain: PMK Nomor 8/PMK.03/2013 tentang Tata
Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan
Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak atau Surat
Tagihan Pajak, PMK Nomor 29/PMK.03/2015 tentang Penghapusan
Sanksi Administrasi Bunga, serta PMK Nomor 91/PMK.03/2015
tentang Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi atas
Keterlambatan Penyampaian Surat Pemberitahuan, Pembetulan Surat
Pemberitahuan, dan Keterlambatan Pembayaran atau Penyetoran
Pajak. Peraturan Menteri Keuangan tersebut merupakan ketentuan
pelaksanaan Pasal 36 ayat (1) huruf a yang merupakan wewenang
atributif dari Menteri Keuangan.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut terdapat
pengaturan tentang batasan unsur khilaf atau kesalahan wajib
pajak yang dapat dilakukan pengurangan atau penghapusan ada
yang tidak.
Dalam PMK Nomor 91/PMK.03/2015 mengatur bahwa yang
termasuk dalam unsur khilaf atau bukan kesalahan wajib pajak
terbatas atas: pertama, keterlambatan penyampaian SPT Tahunan
Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya dan/
atau SPT Masa untuk Masa Pajak Desember 2014 dan sebelumnya.
Kedua, keterlambatan pembayaran atau penyetoran atas
kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT
Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya.
MENJAGA KINERJA { 211

Ketiga, keterlambatan pembayaran atau penyetoran pajak yang


terutang untuk suatu saat atau Masa Pajak sebagaimana tercantum
dalam SPT Masa untuk Masa Pajak Desember 2014 dan sebelumnya.
Keempat, pembetulan yang dilakukan oleh Wajib Pajak dengan
kemauan sendiri atas SPT Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun
Pajak 2014 dan sebelumnya dan/atau SPT Masa untuk Masa Pajak
Desember 2014 dan sebelumnya yang mengakibatkan utang pajak
menjadi lebih besar, yang dilakukan pada tahun 2015.
Sedangkan dalam PMK Nomor 3/PMK.03/2013 tidak membatasi
unsur khilaf atau bukan kesalahan wajib pajak. Pasal 4 PMK Nomor
3/PMK.03/2013 mengatur lebih lanjut mengenai sanksi administrasi
yang dapat dikurangkan atau dihapuskan yaitu: pertama, sanksi
administrasi yang tercantum dalam surat ketetapan pajak, kecuali
sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak
Kurang Bayar yang diterbitkan berdasarkan ketentuan Pasal 13A
Undang-Undang KUP.
Kedua, sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan
Pajak yang terkait dengan penerbitan surat ketetapan pajak, kecuali
sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan Pajak yang
diterbitkan berdasarkan Pasal 25 ayat (9) dan Pasal 27 ayat (5d)
Undang-Undang KUP.
Ketiga, sanksi administrasi yang tercantum dalam Surat Tagihan
Pajak selain Surat Tagihan Pajak sebagaimana dimaksud pada huruf b.
Selanjutnya Pasal 12 ayat (2) PMK Nomor 3/PMK.03/2013 juga
memberikan perluasan pengertian unsur kekhilafan atau bukan
kesalahan yaitu pengurangan atau penghapusan sanksi administrasi
menjadi kurang dari 24 (dua puluh empat) bulan dapat dilakukan
apabila memenuhi kriteria: pertama, wajib Pajak yang dikenai sanksi
212 } BUSUR

administrasi karena kesalahan Direktorat Jenderal Pajak selain yang


tercakup dalam kesalahan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16
Undang-Undang KUP.
Kedua, wajib pajak yang dikenai sanksi administrasi karena
keadaan yang disebabkan oleh pihak ketiga dan bukan karena
kesalahan Wajib Pajak.
Ketiga, wajib pajak yang dikenai sanksi administrasi terkena
bencana alam, kebakaran, huru-hara/kerusuhan massal, atau
kejadian luar biasa lainnya.
Keempat, wajib pajak mengalami kesulitan likuiditas sehingga
memengaruhi kelangsungan usahanya. Ketentuan ini mengatur
bahwa unsur kesulitan likuiditas menjadi salah satu unsur yang
menjadi penyebab pemberian pengurangan atau penghapusan
sanksi administrasi.
Dari uraian di atas terlihat bahwa pengaturan lebih lanjut unsur
“kekhilafan” atau “bukan kesalahan wajib pajak” dalam Peraturan
Menteri Keuangan memberikan pembatasan maupun perluasan dari
ketentuan yang ada dalam UU KUP.
Cooperative Compliance:
Agar Tak Ada Dusta di Antara Kita
Widi Pramono

H
ubungan fiskus dengan wajib pajak (WP) di Indonesia kerap kali
disebut mirip hubungan Tom and Jerry. Keduanya senantiasa
bertengkar dan tidak pernah akur. Fiskus menganggap WP tidak jujur
dan berusaha untuk mengecilkan kewajiban pajaknya. Sementara,
WP merasa sudah jujur pun masih dikejar-kejar oleh fiskus.
Hal ini yang barangkali dirasakan oleh WP. Fiskus saat ini
menganut pendekatan penegakan hukum yang mana otoritas
pajak memaksa WP mematuhi ketentuan perpajakan dengan cara
melakukan pemeriksaan dan mengenakan sanksi. Tentu, hubungan
seperti itu tidak sehat dan hal ini disadari oleh berbagai pihak yang
berkecimpung di bidang perpajakan.
Selain itu, bertambahnya beban untuk meningkatkan kepatuhan
pajak di tengah keterbatasan sumber daya yang dimiliki otoritas pajak
memaksa otoritas pajak untuk memperkenalkan pola baru dalam
hubungan antara fiskus dengan WP. Pola baru hubungan otoritas pajak
dengan wajib pajaknya itu disebut cooperative compliance. Di beberapa
negara Eropa sendiri sudah mulai mengenalnya sejak tahun 2008.
Cooperative compliance model awalnya muncul pada pertemuan
Forum on Tax Administration (FTA) OECD pada tahun 2008. Saat itu
muncul desakan agar otoritas pajak menghadirkan pola baru dalam
hubungannya dengan WP besar berdasarkan rasa saling percaya
(trust) dan kerjasama (cooperation). Saat itu model ini diberi nama
“enhanced relationship”.
214 } BUSUR

Pada tahun 2017, OECD menerbitkan sebuah publikasi berjudul


Co-operative Compliance: A Framework, from Enhanced Relationship to
Co-operative Compliance. Istilah enhanced relationship diubah menjadi
cooperative compliance karena dianggap kurang menggambarkan
secara akurat tentang model ini. Istilah cooperative compliance dipilih
karena dianggap lebih jelas menggambarkan model ini mulai dari
prosesnya yaitu kerja sama (cooperative) sampai tujuannya yaitu
meningkatkan kepatuhan pajak (compliance).
Cooperative compliance model pada dasarnya adalah model
baru yang disarankan oleh OECD untuk meningkatkan kepatuhan
pajak dengan cara menciptakan kerja sama, kolaborasi, dan rasa
saling percaya antara otoritas pajak dengan WP.
Cooperative compliance menggambarkan perubahan pola pikir
otoritas perpajakan dari pendekatan penegakan hukum yang keras
menjadi pendekatan yang lebih responsif dan kolaboratif.
Untuk mewujudkan cooperative compliance, diperlukan 3
syarat utama, yaitu: saling percaya (mutual trust), saling memahami
(understanding), dan keterbukaan/transparansi (transparency) antara
WP dengan otoritas pajak.
Cooperative compliance dikembangkan dengan slogan “certainty
in exchange for transparency,” artinya kurang lebih pertukaran antara
transparansi dengan kepastian. WP yang transparan/terbuka terhadap
otoritas pajak akan mendapatkan kepastian tentang perpajakannya.
Model ini memang dibangun dengan prinsip win-win solution sehingga
kedua belah pihak baik fiskus maupun WP memperoleh manfaat
yang besar.
Di satu sisi wajib pajak dapat memperoleh banyak manfaat
dari pola hubungan ini. Pertama, meningkatkan kepastian pajak.
Cooperative compliance menyediakan sarana untuk diskusi berbagai
MENJAGA KINERJA { 215

masalah perpajakan dengan otoritas pajak secara regular. Hal ini bisa
mengurangi secara signifikan kemungkinan terjadi sengketa pajak.
Kedua, manajemen risiko yang lebih terukur dan mudah.
Masalah perpajakan telah terintegrasi dalam proses perpajakan WP
dan didukung oleh kontrol dari otoritas pajak sehingga risiko relatif
lebih terkontrol.
Ketiga, mengurangi biaya kepatuhan. Berkurangnya kemungkinan
sengketa juga membuat biaya kepatuhan menjadi lebih kecil.
WP bisa menghindari kemungkinan terkena denda administrasi,
bisa menyampaikan SPT secara lebih cepat, bisa mengurangi
ketergantungan kepada konsultan pajak, dan turunnya sengketa
pajak otomatis juga menurunkan biaya sanksi berupa denda akibat
sengketa pajak.
Keempat, dialog yang lebih baik. Audit pajak apabila diperlukan,
akan dilakukan secara lebih fokus dan dilakukan lebih nyaman. Dialog
dengan otoritas pajak juga akan meningkat secara subtansial.
Kelima, reputasi terjaga. WP bisa memperoleh manfaat reputasi
yang baik atau bahkan meningkat. Pemangku kepentingan akan
menilai perusahaan sebagai partner terpercaya dan warga negara
yang baik. Pemegang saham dan investor akan memperoleh
keyakinan yang lebih baik tentang investasinya.
Keenam, iklim investasi yang lebih baik. Meningkatnya
hubungan baik antara WP dan otoritas pajak akan mendorong
investasi karena investor merasa mendapatkan kepastian perpajakan
terhadap investasinya.
Otoritas pajak juga bisa mendapatkan berbagai manfaat dari
hubungan ini. Di antaranya sebagai berikut. Pertama, meningkatkan
kepatuhan pajak. Cooperative compliance memberikan sebuah negara
dengan keunggulan kompetitif. Peningkatan kepatuhan dilakukan
216 } BUSUR

dengan cara menyediakan saran secara cepat atas permasalahan


pajak yang timbul. Hal ini akan berdampak kepada perilaku WP.
Kedua, mengamankan basis perpajakan, Sebagai hasil dari
peningkatan kepatuhan, dalam jangka panjang penerimaan pajak
dari pembayaran sukarela (voluntary payment) akan meningkat. Dalam
jangka pendek, penyelesaian sengketa pajak terdahulu sebagai
langkah pertama mewujudkan hubungan baru, akan menghasilkan
penerimaan yang signifikan.
Ketiga, meningkatkan kepastian. Diskusi terbuka antara WP dan
otoritas pajak akan menurunkan risiko pemeriksaan pajak yang tidak
tepat dan mengurangi upaya hukum.
Keempat, compliance risk management yang lebih baik. Sebagai
bagian dari risk-based compliance strategy, cooperative compliance
membantu otoritas pajak untuk memfokuskan sumber daya yang
dimiliki pada kasus yang berisiko tinggi.
Kelima, menghemat sumber daya dengan mengurangi scope
audit. Berkat transparansi dan pengungkapan penuh (full disclosure),
otoritas pajak bisa memperoleh pemahaman yang lebih baik dalam
masalah terkini yang dihadapi WP. Hasilnya, otoritas pajak bisa
mengurangi ruang lingkup audit dan menghemat sumber daya.
Keenam, meningkatkan kapabilitas. Dengan cooperative
compliance otoritas pajak bisa meningkatkan pemahaman pada dunia
bisnis, mengembangkan pemahaman tentang bagaimana perusahaan
dikelola dan dikontrol untuk memastikan laporan mereka akurat.
Akan tetapi, ada hal yang perlu diingat. Membangun cooperative
compliance tentu saja tidak semudah membalikkan telapak tangan,
banyak upaya yang harus dilakukan. Kesulitan utama adalah
membangun rasa saling percaya (mutual trust).
MENJAGA KINERJA { 217

Kesulitan ini diakui oleh Menteri Keuangan Prancis Gerald


Darmanin, saat meluncurkan program cooperative compliance yang
disokong oleh OECD pada tahun 2019. Dia mengatakan bahwa trust
itu bukan soal keputusan tetapi trust itu dibangun bertahun-tahun
dan bertahap, tetapi masing-masing pihak harus berani memulai.
Meskipun tidak mudah, jika mengingat begitu besarnya manfaat
dari cooperative compliance ini dan pengalaman dari berbagai
negara di dunia, DJP sebagai otoritas pajak di Indonesia perlu segera
merintis pendekatan cooperative compliance agar kepatuhan pajak
semakin meningkat.
Rasionalisasi Nilai:
Benteng Pertahanan Mencegah Fraud
Sanityas Jukti Prawatyani

B
elum lama ini, publik kembali dikejutkan oleh berita kasus suap
pajak yang ditengarai melibatkan pegawai pajak berinisial APA
dan DR. Meski belum sepenuhnya terungkap, kasus ini menambah
panjang kasus fraud di Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sebelumnya,
beberapa kasus suap pajak juga terjadi dan melibatkan pegawai yang
memiliki akses langsung terhadap hasil pemeriksaan pajak..
Risiko terjadinya fraud atau kecurangan dalam organisasi hampir
selalu menjadi risiko utama yang harus menjadi prioritas mitigasi
karena akan berdampak pada rusaknya reputasi organisasi. Kasus
penyuapan pegawai pajak juga telah merusak reputasi DJP. Rusaknya
reputasi ini akan berdampak pada ketidakpercayaan masyarakat untuk
patuh membayar pajak. Ujung-ujungnya, penerimaan pajak menjadi
rendah dan kebutuhan negara untuk membiayai pembangunan tidak
dapat disokong lagi oleh pajak, sehingga negara harus mencari
sumber-sumber pembiayaan di luar pajak.
Mengapa fraud masih terus terjadi, padahal berbagai perangkat
pengendalian internal telah diterapkan di Kementerian Keuangan
(Kemenkeu), baik itu perbaikan proses bisnis, penerapan manajemen
risiko, pengawasan oleh Unit Kepatuhan Internal, maupun penerapan
kode etik serta kode perilaku? Bahkan untuk memitigasi risiko fraud
akibat tingginya tekanan kebutuhan ekonomi, kepada pegawai
Kemenkeu sudah diberikan penghasilan yang cukup tinggi dalam
bentuk tunjangan kinerja.
MENJAGA KINERJA { 219

Menurut Cressey dan Sutherland dalam penelitiannya mengenai


penggelapan uang perusahaan (Cressey, D.R. (1960)), fraud dapat
terjadi karena tiga hal yakni tekanan (pressure), kesempatan
(opportunity), dan rasionalisasi (rationalization). Walaupun terdapat
tekanan dan kesempatan, pelaku fraud harus terlebih dahulu
melakukan proses rasionalisasi atau mencari alasan pembenaran
untuk melakukan fraud. Tanpa adanya rasionalisasi, niat melakukan
fraud karena adanya kesempatan atau tekanan tidak akan berujung
pada tindakan fraud. Proses rasionalisasi ini dipengaruhi oleh
berbagai faktor sebagai bahan pertimbangan bagi seseorang
dalam memutuskan sebuah perbuatan; dalam hal ini, memutuskan
untuk melakukan fraud atau tidak. Teori ini dikenal dengan Cressey’s
Fraud Triangle.

PRESSURE

OPPORTUNITY RATIONALIZATION

Dalam kedua kasus fraud yang telah inkracht di atas, faktor


berupa tekanan dan rasionalisasi mungkin berbeda, namun faktor
kesempatan atau adanya peluang bisa jadi sama. Kesempatan berupa
peluang tersebut, akhirnya dimanfaatkan pelaku untuk melakukan
220 } BUSUR

fraud. Ingat, dalam kedua kasus dimaksud, kepala kantor berperan


dalam melakukan kejahatan.
Bagaimana dengan faktor tekanan? Situasi tekanan yang dapat
memengaruhi keputusan seseorang melakukan fraud misalnya
kebutuhan ekonomi, gaya hidup, kebutuhan untuk pengobatan
kesehatan, dan lain-lain. Adapun faktor rasionalisasi dapat berupa
pernyataan-pernyataan bahwa pemberian uang oleh pihak lain
adalah hal yang lumrah, hanya sebagai ucapan terima kasih, jumlah
yang diberikan tidak seberapa, atau orang lain juga melakukan hal
yang sama.
Wolfe dan Hermanson (2004) lebih lanjut menambahkan adanya
faktor individual capability yang menyebabkan fraud dapat terjadi.
Artinya, tanpa memiliki kapabilitas pribadi, meskipun terdapat tekanan
dan kesempatan, seseorang mungkin tidak mampu melakukan
fraud. Kapabilitas pribadi tersebut adalah kemampuan individu
untuk melihat kelemahan suatu sistem. Pelaku dapat dipastikan
merupakan individu yang mampu melihat kelemahan prosedur dan
memanfaatkannya menjadi sebuah kesempatan untuk melakukan
rasionalisasi yang berujung fraud.
Masih menurut Weber (Weber, 1978), rasionalisasi ini juga
terbagi dua, yakni rasionalisasi formal dan rasionalisasi nilai. Dalam
rasionalisasi formal, justifikasi atas tindakan fraud didasarkan pada
kalkulasi “untung rugi”, misalnya membandingkan nilai suap dengan
besarnya denda dan lamanya hukuman penjara yang dijatuhkan bagi
pelaku. Sementara itu, dalam rasionalisasi nilai, tidak ada batasan
nilai uang yang jelas karena menggunakan berbagai kriteria untuk
tujuan akhir seperti nilai-nilai etika, politik, agama, dan lain-lain.
Dalam kenyataannya, rasionalisasi ini sering bercampur aduk,
rasionalisasi formal dapat mendominasi rasionalisasi nilai, begitu
MENJAGA KINERJA { 221

pun sebaliknya. Dominasi salah satu rasionalisasi akan memengaruhi


tindakan yang dihasilkan.
Berdasarkan penelitian Nugraha, S. (2019), kejahatan korupsi
para mantan pegawai pajak yang telah dijatuhi hukuman penjara
didasarkan pada rasionalisasi formal. Dengan kata lain, pertimbangan
akhir para pelaku lebih didasarkan pada hitungan “untung rugi”.
Menurut perhitungan pelaku, besarnya nilai kejahatan korupsi yang
diperoleh masih lebih bernilai jika dibandingkan dengan besarnya
ganjaran yang (mungkin) harus dibayar apabila kejahatan terungkap.
Adapun nilai moral, etika, atau ajaran agama, kurang mendominasi
untuk menjadi justifikasi dalam mempertimbangkan tindakan
yang diambil.
Jika rasionalisasi formal mendominasi rasionalisasi nilai,
dan hasil kalkuasi mununjukkan “keuntungan”, maka pelaku akan
melanjutkan untuk melakukan fraud. Tindakan fraud urung dilakukan
apabila hitung-hitungan menunjukkan sebaliknya. Di sisi lain, apabila
rasionalisasi nilai lebih mendominasi, maka pertimbangan yang
muncul adalah misalnya, apakah uang yang dijanjikan sepadan
dengan rasa malu yang ditanggung, bagaimana reaksi keluarga
dan kolega, apakah siap menanggung dosa, dan sebagainya.
Pertimbangan atas kesadaran pada rasa malu dan rasa bersalah ini,
pada lingkungan yang masih menjunjung norma kemasyarakatan,
akan mendorong pelaku untuk tidak melanjutkan ke tindakan fraud.
Untuk konteks pencegahan, adalah lebih baik apabila rasionalisasi
nilai mendominasi rasionalisasi formal.
Rasionalisasi nilai yang mempertimbangkan rasa malu dan
rasa bersalah ini perlu ditanamkan sebagai budaya organisasi untuk
mencegah fraud. Apa yang membedakan budaya malu dengan
budaya rasa bersalah? Dalam shame culture, seseorang tidak akan
222 } BUSUR

melakukan fraud karena faktor eksternal yaitu rasa malu apabila


perbuatannya diketahui oleh pihak lain. Lain halnya dengan guilt
culture, dimana seseorang merasa bersalah karena melakukan
perbuatan yang tidak benar, sekalipun tidak ada orang lain yang
mengetahuinya. Faktor internal menjadi kunci bagi seseorang untuk
tidak melakukan fraud. Apabila keduanya dibandingkan, tentu faktor
internal lebih baik menjadi pendorong utama karena akan lebih kuat
tertanam dan bertahan lama. Tidak melakukan fraud dengan alasan
bahwa hal tersebut merupakan perbuatan yang salah, lebih baik
daripada tidak melakukan fraud karena malu apabila hal tersebut
diketahui oleh pihak lain.
Jika rasionalisasi selalu menjadi benteng akhir dari seseorang
dalam memutuskan perilaku mana yang akan diambil, maka untuk
menyelamatkan organisasi dari fraud, perlu dilakukan program
pembinaan yang dapat memengaruhi pertimbangan pegawai atas
tindakan yang akan diambil. Karena rasionalisasi nilai harus diberi
ruang untuk mendominasi, maka DJP perlu segera menyusun
program internalisasi shame culture dan guilt culture.
Menghilangkan fraud pada organisasi sebesar DJP memang
bukanlah perkara mudah namun, selalu ada langkah pertama untuk
langkah-langkah selanjutnya tanpa harus menunggu konferensi pers
KPK yang mempertontonkan tersangka korupsi berompi warna oranye.


Kalau seseorang
tidak amanah soal
uang, dipastikan dia
tidak akan amanah
dalam segala
hal lainnya”
—Mar’ie Muhammad (Mr. Clean)
Mantan Menteri Keuangan RI

Merumahkan
beragam ide dalam
sebuah karya,
adalah fondasi
membangun
Kanwil Jakarta
Khusus yang kuat,
kuat, dan kuat.
Kuat Keluarganya,
kuat komitmennya,
dan kuat
kalbunya.”
—Budi Susanto,
Kakanwil
DJP Jakarta Khusus
T ingginya minat menulis di kalangan pegawai di lingkungan Kantor Wilayah
DJP Jakarta Khusus tidak perlu disangsikan lagi. Beberapa karya pegawai
bahkan sudah sering dimuat di media massa nasional. Namun masih terdapat
karya pegawai yang berkualitas yang belum memiliki wadah untuk ditampilkan.
Buku ini merupakan jawaban dari tantangan tersebut, dan menjadi media yang
tak mudah usang untuk menyimpan kumpulan buah pikiran.

Buku yang memuat kumpulan tulisan opini pegawai ini, merupakan bagian dari
dua buku karya “Jakarta Khusus Menulis”, yang berisi ide, gagasan, dan pendapat
terkait kebijakan, peraturan, dan proses bisnis yang dilaksanakan oleh Direktorat
Jenderal Pajak. Kumpulan tulisan yang dihasilkan pada saat Indonesia terdampak
serangan virus Covid-19 ini, banyak dipengaruhi oleh persoalan sekitar kebijakan
dan sikap penulis terhadap dampak pandemi.

Busur, yang merupakan alat yang untuk melesatkan anak panah menuju sasaran
yang ditetapkan, dirasa tepat untuk merepresentasikan isi buku. Bagi Direktorat
Jenderal Pajak, kebijakan, peraturan, dan proses bisnis yang tepat dan sesuai
untuk dijalankan, adalah kelengkapan atau alat yang berfungsi sebagai
pendorong untuk mencapai kinerja terbaiknya, layaknya sebuah busur.

BUSUR, diharapkan akan menjadi jembatan yang menghubungkan penulis


dengan pembacanya. BUSUR yang dapat mempertemukan gagasan dan
pengetahuan. BUSUR yang MERAMU UNTUK MAJU.

ISBN 978-623-97203-0-8
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
Jalan Gatot Subroto, Kav. 40-42,
Jakarta 12190
Indonesia
Telp: (+62) 21 - 525 0208 9 7 8 6 2 3 9 7 2 0 3 0 8

Anda mungkin juga menyukai