BUSUR
MERAMU UNTUK MAJU
“
Pajak harus dapat
melindungi
berbagai aspek
ekonomi agar
masyarakat
maupun sektor
usaha dapat terus
tumbuh,
berkembang, dan
bersaing, baik
secara lokal
maupun global.
Pemahaman inilah
yang mesti terus
kita bangun
sehingga kita dapat
mewujudkan
Indonesia yang adil
dan sejahtera.”
—Suryo Utomo,
Direktur Jenderal Pajak
BUSUR
MERAMU UNTUK MAJU
Penerbit
Direktorat Jenderal Pajak
Jakarta, Mei 2021
BUSUR: MERAMU UNTUK MAJU
TIM PENYUSUN
Penanggung Jawab
Budi Susanto
Ketua
Sanityas Jukti Prawatyani
Sekretariat
Ainur Rasyid, Achmad Rizky Prayogo, Wijanarko Pristiyanto Putro,
Hapsari Arum Kusumo, Zam Zam Mufid, Meilan Kurniati Gultom
Penulis
Gita Danet Siburian, dkk (Jakarta Khusus Menulis)
Penyunting
Theresia Friska Sipayung, Yuliana Fariani,
Johana Lanjar Wibowo, Dewi Damayanti,
Ahmad Dahlan, Martiana Dharmawani Sipahutar,
Lila Saraswaty, Dendi Amrin
Penerbit
Direktorat Jenderal Pajak
Jalan Gatot Subroto, Kav. 40-42, Jakarta 12190
Telp: (+62) 21 - 525 0208
ISBN 978-623-97203-0-8
P
uji syukur kita panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas
semua nikmat dan rahmat-Nya untuk kita semua, sehingga kita
dapat mengabdi dan berkontribusi aktif untuk bangsa dan negara ini.
Sebagaimana telah kita ketahui, komunikasi merupakan hal
yang penting dalam hidup ini. Bentuk komunikasi tidak hanya
secara lisan, namun komunikasi tulisan juga sangat penting. Tulisan
merupakan dokumentasi yang dapat berumur panjang dan menjadi
jejak dalam menelusuri sebuah informasi atau kejadian yang telah
terjadi. Begitupun, tulisan hasil buah pikiran seseorang akan menjadi
jendela pengetahuan bagi para pembacanya.
Banyak orang yang mahir berkomunikasi secara lisan, namun
lemah saat berkomunikasi melalui tulisan. Tidak banyak orang yang
bisa menulis untuk menuangkan opininya terhadap sebuah peristiwa
atau kebijakan. Namun buku ini membuktikan bahwa pegawai
Direktorat Jenderal Pajak khususnya para pegawai di lingkungan
Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus, memiliki talenta untuk menulis
dan membukukannya dalam sebuah kumpulan buku opini.
Situasi pandemi Covid-19 yang memicu pemerintah untuk
menyusun berbagai kebijakan fiskal, telah memicu diskursus dari
berbagai pihak, termasuk para pegawai DJP sendiri. Hasil diskursus
tersebut banyak mewarnai isi buku ini dan menjadi pertanda
kepedulian para penulis untuk berperan dalam situasi yang
memprihatinkan ini.
{ vii
Suryo Utomo
Sambutan
Kepala Kantor Wilayah
DJP Jakarta Khusus
P
uji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala nikmat tak
terhingga yang diberikan dan menjadikan kita sebagai makhluk
yang paling sempurna dan berilmu, sehingga dapat melahirkan karya
yang bermanfaat.
Amanah Direktorat Jenderal Pajak sebagai institusi penghimpun
penerimaan negara, bukanlah hal yang mudah. Kantor Wilayah DJP
Jakarta Khusus yang merupakan bagian dari DJP diberikan tugas
mengelola wajib pajak penanaman modal asing, badan dan orang
asing, minyak dan gas bumi, serta perusahaan masuk bursa, tentunya
menghadapi banyak tantangan dalam menjalankan amanah tersebut.
Di tengah tantangan tersebut, banyak pendapat dan pandangan
yang berbeda-beda dalam menyikapi kebijakan dan peraturan di
bidang perpajakan. Selain itu, kebijakan fiskal dalam menyikapi
situasi pandemi saat ini juga menarik untuk ditilik, diperbincangkan,
dan dituliskan. Pandangan dan pendapat yang dituliskan oleh para
pegawai di lingkungan Kantor Wilayah DJP Jakarta Khusus ini, dirasa
penting diketahui oleh khalayak umum, sebagai sebuah pembelajaran
yang menarik untuk kita semua.
Dengan talenta dari para penulis, lahirlah salah satu karya
terbaik yaitu buku yang berjudul BUSUR. Busur melambangkan
kebijakan, aturan, proses bisnis, dan fungsi penunjang lainnya, yang
dapat melengkapi DJP untuk mencapai kinerja terbaiknya.
{ ix
Budi Susanto
Prakata
B
ermula dari sebuah gagasan untuk menggali bakat dan minat
di ranah tulis menulis, buku ini akhirnya mewujud. Tingginya
minat menulis di kalangan pegawai di lingkungan Kantor Wilayah
DJP Jakarta Khusus tidak perlu disangsikan lagi. Karya beberapa
pegawai bahkan sudah sering dimuat di media massa nasional.
Namun tentu tidak hanya mereka, masih ada pula pegawai lainnya
yang memiliki minat yang sama namun belum tergali dan belum
mendapat kesempatan untuk ditampilkan.
Minat untuk menulis ini perlu diasah dan hasilnya patut diwadahi.
Untuk itulah lewat kegiatan bertajuk “Jakarta Khusus Menulis”, para
pegawai diajak untuk menuangkan ide, gagasan, dan kisah mereka
ke dalam tulisan. Tujuannya selain untuk mewadahi talenta yang
patut dikembangkan, juga untuk menampilkan buah pikiran dan cerita
dalam sebuah media yang tak mudah usang, buku.
Buku yang memuat kumpulan tulisan opini pegawai ini,
merupakan bagian dari dua buku yang berisi ide, gagasan, dan
pendapat terkait kebijakan, peraturan, dan proses bisnis yang
dilaksanakan oleh Direktorat Jenderal Pajak. Sudah barang tentu
tulisan yang dihasilkan pada saat Indonesia terdampak serangan virus
Covid-19 ini, banyak dipengaruhi oleh persoalan sekitar kebijakan dan
sikap penulis tentang pandemi. Memang benar, isi kepala penulis akan
selalu dipengaruhi dan tak akan jauh dari situasi yang melingkupinya.
BUSUR dipilih menjadi judul buku ini. BUSUR yang
merupakan alat untuk melesatkan anak panah, dirasa tepat untuk
merepresentasikan isi buku. BUSUR yang baik di tangan atlet yang
baik akan mengarahkan anak panah menuju sasaran yang ditetapkan.
{ xi
Selamat membaca.
Tim Penyusun
“Buku Jakarta Khusus Menulis merupakan kumpulan tulisan
pegawai kanwil khusus tentang pengalaman yang dihadapi di
lapangan, pendapat mereka tentang ketentuan pajak, kasus yang
dihadapi dan solusinya, serta berbagai peristiwa sekitar perpajakan
yang amat bermanfaat sebagai bacaan pengetahuan dan rujukan
bekerja efektif dan efisien.”
Prof. Dr. Gunadi, M.Sc., Ak
Guru Besar Tetap Perpajakan FISIP Universitas Indonesia
P
andemi Covid-19 memiliki dampak yang cukup besar terhadap
kondisi perekonomian di banyak negara termasuk di Indonesia.
Banyak perusahaan dari berbagai sektor mengalami penurunan
omzet, menghentikan operasi sementara, atau bahkan ditutup
sebagai imbas dari pandemi tersebut. Dengan demikian tidak sedikit
pula tenaga kerja dari berbagai profesi/pekerjaan yang terkena
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) ataupun mengalami penurunan
pendapatan sehingga banyak keluarga yang mengalami kesulitan
dalam pemenuhan kebutuhan dasar rumah tangga.
Untuk mengatasi masalah tersebut, pemerintah telah
mengalokasikan anggaran dari APBN tahun 2020 sebesar Rp695,2
triliun yaitu untuk penanganan Covid-19 dan program Pemulihan
Ekonomi Nasional (PEN). Dari APBN di tahun 2021 ini untuk sementara
telah dialokasikan anggaran sebesar Rp627,93 triliun. Angka tersebut
bukanlah angka yang kecil mengingat pendapatan negara tentunya
akan mengalami penurunan akibat adanya pandemi. Pertanyaannya,
dari manakah sumber pendapatan negara tersebut?
Pajak menjadi salah satu instrumen yang diandalkan oleh
banyak negara, tidak terkecuali Indonesia, dalam merespons pandemi
Covid-19.
Perlu kita semua sadari bahwa kewajiban perpajakan merupakan
salah satu bentuk kontribusi kita untuk negeri. Di masa pandemi
seperti sekarang ini, setiap pajak yang kita serahkan kepada negara
memegang peranan penting dalam penanganan Covid-19. Pajak
4 } BUSUR
K
euangan inklusif adalah kondisi ketika setiap anggota
masyarakat mempunyai akses terhadap berbagai layanan
keuangan formal yang berkualitas secara tepat waktu, lancar,
dan aman dengan biaya terjangkau sesuai dengan kebutuhan dan
kemampuan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pada masa pandemi Covid-19, inklusi keuangan menjadi semakin
perlu digalakkan karena akses yang terjangkau dan penggunaan
terhadap produk dan layanan keuangan oleh individu dan entitas
seperti pembayaran, tabungan, kredit, dan asuransi merupakan alat
kebijakan penting untuk meningkatkan kesejahteraan, mengurangi
ketidaksetaraan, dan menjaga stabilitas ekonomi. Akses keuangan
akan mempercepat pemulihan ekonomi Indonesia dari dampak
pandemi Covid-19.
Indonesia memulai inklusi keuangan melalui program Strategi
Nasional Keuangan Inklusif (SNKI) yang ditetapkan melalui Perpres
No. 82/2016 dan berlaku sejak tanggal diundangkan, 7 September
2016. Sejak ditetapkannya peraturan tersebut, setidaknya ada 76,19%
dari penduduk dewasa di Indonesia telah menggunakan layanan
keuangan. Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK)
yang dilakukan OJK pada 2019 mengemukakan bahwa untuk wilayah
perkotaan, indeks inklusi keuangan tercatat 83,60% sedangkan di
wilayah perdesaan sebesar 68,49%.
PAJAK DAN PANDEMI { 11
P
embatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dengan meniadakan
pertemuan secara fisik di setiap kantor, baik swasta maupun
instansi pemerintah, telah diterapkan di Jakarta mulai 10 April 2020
sebagai akibat semakin merebaknya penduduk yang terinfeksi virus
Covid-19. Penerapan kebijakan lockdown ala Indonesia ini seakan
menghentikan kegiatan ekonomi di tengah masyarakat, termasuk
roda kegiatan birokrasi. Gedung kantor semegah kantor pusat
Kementerian Keuangan (Kemenkeu), bak museum tanpa penghuni
manusia di dalamnya. Ini memunculkan pertanyaan, bagaimana arah
pelayanan kepada masyarakat pasca pandemi ini?
Tak menunggu waktu lama, pimpinan Kemenkeu mengubah
bentuk pelayanan kepada masyarakat atau wajib pajak (WP), dari
pertemuan secara tatap muka menjadi pertemuan daring (online).
Pun, pola komunikasi berubah, bertemu tetapi tidak berjumpa
menjadi suatu hal yang niscaya terjadi. Tidak terkecuali, pelayanan
yang diberikan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) kepada WP, dari
yang tadinya offline berubah menjadi online.
Beruntungnya, jauh sebelum pandemi terjadi, pimpinan DJP
telah menginisiasi sistem interaksi antara WP dan aparat pajak secara
online. Layanan di setiap fungsi pelayanan, pengawasan, hingga
pemeriksaan, dapat diberikan dalam bentuk online dan terintegrasi
di sistem “DJPOnline”. Pembatasan karena bencana nonalam ini telah
16 } BUSUR
Implementasi yang tepat atas misi bekerja dari jauh, atau yang
dikenal sebagai remote working, sesuai dengan kebutuhan organisasi,
akan dapat menghasilkan output bagi peningkatan kinerja organisasi.
Terlebih, satu hal yang tidak boleh dilupakan, yaitu sinergi dan saling
mendukung di antara sesama pegawai dari unit kerja di Direktorat
Jenderal Pajak agar tujuan utama menghasilkan penerimaan bagi
negara dapat terlaksana dengan baik.
Pandemi Covid-19 telah menyadarkan kita bahwa perubahan
terus berlangsung dan mau tidak mau harus dihadapi dengan suasana
hati yang tegar dan ketulusan untuk dapat melewati dengan sukses.
Metamorfosis bentuk interaksi antara petugas pajak dengan WP yang
berorientasi digital menjadi pendorong dan penyemangat untuk terus
mengembangkan cara kerja yang efektif dan efisien.
Setahun Pandemi Covid-19,
Pajak Bisa Apa?
Mochammad Bayu Tjahjono
P
andemi Covid-19 membuka mata hati kita bahwa akan ada masa
kita diminta berjuang untuk lebih keras lagi dan lebih berani.
Selama ini kita mengganggap bahwa tantangan terbesar kita adalah
jauh dari keluarga atau bertemu dengan wajib pajak yang marah.
Setelah tantangan itu teratasi, muncul tantangan baru bahwa kita
diminta untuk mengantisipasi keadaan pandemi. Di tengah pandemi,
petugas pajak tidak bisa berpangku tangan karena kita dibutuhkan
oleh negara. Selain tenaga kesehatan, kita juga harus berjuang
mengumpulkan penerimaan pajak untuk mendukung penyelesaian
permasalahan Covid-19.
Kita perlu memberikan apresiasi kepada para petugas pajak
yang berada di garda depan mengamankan penerimaan pajak
memenuhi target. Kalau dilihat dalam situasi pandemi Covid-19,
pegawai di Direktorat Jenderal Pajak yang bekerja menjaga keuangan
negara menghadapi risiko sangat nyata dari Covid-19, namun tugas dan
tanggung jawab tetap harus dijalankan dengan penuh keberanian dan
keikhlasan. Banyak dari kita yang terkadang menganggap bahwa hanya
dokter dan perawat yang berjuang dalam menghadapi pandemi Covid-19.
Kenyataannya, banyak pegawai di luar tenaga kesehatan yang juga harus
berjuang supaya negara tetap berjalan dalam memenuhi kebutuhannya.
Dalam Kementerian Keuangan ada beberapa direktorat jenderal
(Ditjen) yang pegawainya menghadapi risiko sangat tinggi terpapar
Covid-19, yakni antara lain: Ditjen Pajak, Ditjen Bea Cukai, Ditjen
PAJAK DAN PANDEMI { 21
pelaporan, yaitu PPh Pasal 4 ayat (2), PPh Pasal 15, PPh Pasal 22,
PPh Pasal 23, dan PPh Pasal 26. Bukti pemotongan/pemungutan
unifikasi dan SPT Masa PPh unifikasi berbentuk formulir kertas atau
dokumen elektronik yang dibuat dan disampaikan melalui aplikasi
e-bupot unifikasi.
Kedua, tentang peningkatan kepatuhan dengan meningkatkan
kuantitas imbauan Penyampaian SPT. Ditjen Pajak berupaya
meningkatkan kepatuhan wajib pajak dengan memperbanyak
pengiriman SMS dan surat elektronik kepada semua Wajib Pajak
untuk menyampaikan SPT, baik masa maupun tahunan.
Ketiga, mengenai integrasi data perpajakan. Integrasi antara
antara data yang dimiliki oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan
data perpajakan yang dimiliki DJP diharapkan dapat memudahkan
BUMN dalam melakukan kewajiban perpajakannya sekaligus
membantu DJP dalam melakukan penelusuran dan ekstensifikasi
jenis pajak pertambahan nilai (PPN). Hingga akhir tahun 2020, DJP
gencar menjalin kerja sama integrasi data perpajakan dengan BUMN.
Tercatat ada 14 BUMN yang telah menandatangani memorandum
of understanding (MoU) dan 6 BUMN yang sudah masuk dalam
tahap general ledger tax mapping. Setelah itu, DJP juga berencana
melakukan integrasi data dengan swasta sehingga real time
connection-nya akan jadi basis data. Manfaat dari integrasi data ini
bukan hanya karena memudahkan DJP dalam memperoleh data
yang dapat digunakan untuk tujuan perpajakan, namun proses bisnis
pemberian data oleh instansi, Lembaga, asosiasi, dan pihak lainnya
pun menjadi lebih sederhana.
Keempat, tentang peningkatan penerimaan dari sektor yang
tidak terdampak pandemi Covid-19. Tidak semua sektor terdampak
oleh pandemi Covid-19. Sektor industri kelapa sawit misalnya bahkan
24 } BUSUR
M
asih ingatkah Anda kasus pertama Covid-19 di Indonesia? Ya,
dua kasus pasien positif Covid-19 di Indonesia yang diumumkan
pertama kali pada 2 Maret 2020. Yang sampai saat ini jumlahnya
terus-menerus bertambah. Sampai kapan kita semua akan berada
dalam keadaan seperti ini? Keadaan yang begitu jauh dari suasana
sebelumnya, keadaan yang begitu sulit dengan berbagai aturan,
keadaan yang tidak biasa, keadaan yang menimbulkan perubahan
pada segala aspek kehidupan. Semua terjadi saat pandemi melanda
bukan hanya Indonesia tentunya tetapi juga di dunia.
Dengan keadaan yang semakin sulit, situasi yang semakin
mencekam, ruang gerak yang semakin dibatasi untuk mencegah
penularan Covid-19, namun ada kehidupan yang harus terus dijalani,
ada keluarga yang harus dinafkahi, ada proyek yang harus terus
berlanjut, ada kantor yang harus terus beroperasi dan berbagai
macam kegiatan lainnya yang tidak mudah untuk ditunda.
Menurut WHO, Coronavirus disease that was discovere in 2019
yang artinya penyakit virus corona yang ditemukan pada 2019 atau
yang kita kenal dengan Covid-19. Virus ini telah mengubah dunia
dan melahirkan kebiasaan baru, bahkan kebijakan-kebijakan baru
yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Hal ini demi tetap berlangsungnya
pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang tetap berjalan
dengan baik untuk memenuhi kehidupan masyarakat.
PAJAK DAN PANDEMI { 27
handphone yang engajukan; dan (g) Tahun Pajak, Status, dan Nominal
SPT Tahunan Badan Terakhir yang dilaporkan.
Sedangkan, PORO untuk WP warisan belum terbagi, meliputi:
(a) NPWP; (b) nama; (c) alamat email yang terdaftar di DJP; dan (d)
nomor telepon/handphone yang terdaftar di DJP. Sementara itu, atas
WP instansi pemerintah, PORO-nya mencakup: (a) NPWP; (b) nama;
(c) lamat email yang terdaftar di DJP, (d) nomor telepon/handphone
yang terdaftar di DJP.
PORO ini sangat penting untuk memutuskan valid atau tidak
permohonan Wajib Pajak yang diajukan ke KPP terdaftar. Namun
menurut penulis petugas di KPP bisa meminta data tambahan kepada
Wajib Pajak untuk memastikan bahwa memang yang mengajukan
permohonan tersebut adalah Wajib Pajak yang bersangkutan. Hal
ini tentu bukanlah hal yang sulit untuk Wajib Pajak, justru sangat
memudahkan dalam pengajuan permohonan ke KPP.
Tentunya masih banyak lagi kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan
oleh Pemerintah untuk tetap menjaga stabilitas ekonomi dan juga
dalam memberikan pelayanan kepada pemangku kepentingan. Virus
ini merupakan bencana besar bagi segala aspek kehidupan, maka
dari itu tentunya pemerintah pun langsung bergerak cepat untuk
menangani kondisi yang cukup buruk ini, kebijakan yang dikeluarkan
pun juga tentunya dengan memperhatikan protokol kesehatan guna
memutus rantai penularan Covid-19.
Kebijakan yang sudah ditetapkan oleh pemerintah tentunya
sudah melewati proses yang panjang dan tidak mudah, tentu dengan
berbagai pro kontra dari beberapa pihak. Bukanlah hal yang mudah
untuk mengeluarkan kebijakan baru saat pandemi namun stabilitas
ekonomi dan produktivitas masyarakat yang diharapkan tetap
berjalan dengan baik demi berlangsungnya kehidupan yang layak.
Menjawab Polemik
Pajak Pulsa, Kartu Perdana,
Token, dan Voucer
Dewi Damayanti
K
eluarnya beleid tentang pengenaan Pajak Penghasilan (PPh) dan
Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sehubungan dengan penjualan
Pulsa, Kartu Perdana, Token, dan Voucer telah memicu polemik dalam
masyarakat. Mereka mengeluhkan bahwa di saat ekonomi tengah
didera krisis akibat pandemi, pemerintah malah mengenakan objek
pajak baru pada masyarakat. Benarkah demikian?
Keluarnya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 6/
PMK.03/2021 tentang Penghitungan dan Pemungutan PPN Serta PPh
atas Penyerahan/Penghasilan Sehubungan dengan Penjualan Pulsa,
Kartu Perdana, Token, dan Voucer tanggal 22 Januari 2021 adalah untuk
memberikan kepastian hukum dan menyederhanakan administrasi
dan mekanisme pemungutan PPN dan PPh bagi Wajib Pajak.
Selama ini terdapat beberapa permasalahan yang masih memicu
kontroversi yaitu: pertama banyak terjadi sengketa di lapangan terkait
pengenaan PPN dan PPh atas Pulsa, Token Listrik, dan Voucer. Kedua
permasalahan penerbitan Faktur Pajak atas transaksi pulsa dengan
(server) yang real-time. Ketiga permasalahan pengawasan PPh dan
PPN terhadap distributor pulsa tingkat pengecer. Keempat potensi
pengenaan PPN berganda atas distribusi voucer konten/aplikasi.
Permasalahan-permasalahan ini jika dibiarkan akan merugikan
masyarakat sendiri.
PAJAK DAN PANDEMI { 31
Pengenaan PPN
Pulsa, Kartu Perdana dan Paket Data termasuk Barang Kena Pajak
(BKP). Atas penyerahan BKP tersebut oleh Pengusaha Penyelenggara
Jasa Telekomunikasi (Operator Seluler) dan Penyelenggara Distribusi
dikenai PPN.
Ketika Operator menyerahkan Pulsa, Kartu Perdana, dan Paket
Data kepada Distributor Tingkat Pertama ( Authorized Distributor),
kemudian Autorized Distributor kepada Distributor Tingkat Kedua
(Server), Server menyerahkan kepada Distributor Tingkat Ketiga dan
seterusnya hingga penyerahan itu mencapai konsumen akhir, maka
merupakan penyerahan BKP.
Hanya diatur bahwa pemungutan PPN wajib dilakukan sampai
Distributor Tingkat Kedua saja. Sementara untuk Distributor selanjutnya
32 } BUSUR
Pengenaan PPh
Penjualan Pulsa dan Kartu Perdana oleh Penyelenggara
Distribusi Tingkat Kedua sebagai Pemungut PPh Pasal 22, wajib
dipungut PPh. Penyerahan tersebut dilakukan kepada Penyelenggara
distribusi di bawahnya ataupun konsumen langsung, Penetapan
Penyelenggara Distribusi Tingkat Kedua sebagai Pemungut PPh
Pasal 22 sesuai ketentuan Pasal 22 UU PPh.
Saat terutangnya PPh Pasal 22 adalah saat diterimanya
pembayaran, termasuk penerimaan deposit. Pemungut wajib
melakukan pemungutan PPh Pasal 22 sebesar 0,5% dari Nilai
yang Ditagih atau Harga Jual atas penjualan kepada pelanggan
telekomunikasi secara langsung. PPh Pasal 22 bagi yang dipungut
dapat diperhitungkan sebagai kredit pajak dalam tahun berjalan.
Pengecualian tidak dipungut PPh Pasal 22 adalah: Pertama,
batasan pembelian yang dilakukan paling banyak sebesar Rp2 juta
tidak termasuk PPN dan bukan merupakan pembayaran yang
dipecah dari suatu transaksi yang nilai sebenarnya lebih dari Rp2
juta. Kedua, Wajib Pajak Bank. Ketiga, Pengusaha Kecil yang memiliki
Surat Keterangan PP nomor 23 tahun 2018 dan telah terkonfirmasi
kebenarannya di sistem informasi Ditjen Pajak.
PAJAK DAN PANDEMI { 35
P
andemi Covid-19 yang terjadi setahun belakangan ini telah
mengganggu kesehatan perekonomian di Indonesia. Pemerintah
harus tetap semangat melanjutkan Program Pemulihan Ekonomi
Nasional (PEN) dengan berbagai langkah kebijakan yang telah disusun.
Pada akhir Februari 2021, pemerintah telah mengeluarkan
kebijakan berupa pemberian insentif perpajakan PPnBM untuk
kendaraan bermotor tertentu. Hal ini ditetapkan dalam Peraturan
Menteri Keuangan Nomor PMK-20/PMK.010/2021 tentang Pajak
Penjualan atas Barang Mewah atas Penyerahan Barang Kena Pajak
yang Tergolong Mewah berupa Kendaraan Bermotor Tertentu yang
Ditanggung Pemerintah (PPnBM DTP) Tahun Anggaran 2021.
Pemberian insentif ini diharapkan dapat meningkatkan daya
beli masyarakat pada sektor industri kendaraan bermotor, sehingga
pertumbuhan ekonomi secara nasional pun terdorong. Dalam beleid
tersebut yang dimaksud kendaraan bermotor tertentu adalah
berbentuk sedan atau station wagon dengan kapasitas silinder
sampai dengan 1.500 cc dan selain sedan atau station wagon dengan
kapasitas penumpang kurang dari 10 orang dengan sistem 1 gardan
penggerak (4x2) kapasitas silinder sampai dengan 1.500 cc, serta
memenuhi local purchase paling sedikit 70%.
Insentif PPnBM DTP ini diberikan dalam tiga skema, sebagai
berikut: untuk Masa Pajak Maret s.d. Mei 2021 PPnBM DTP adalah
sebesar 100%, untuk Masa Pajak Juni s.d. Agustus 2021 PPnBM DTP
PAJAK DAN PANDEMI { 37
adalah sebesar 50%, dan untuk Masa Pajak September s.d. Desember
2021 PPnBM DTP adalah sebesar 25%.
Dari skema di atas pemerintah berharap dengan pemberian
insentif PPnBM DTP ini dapat memberikan kontribusi pertumbuhan
ekonomi nasional sebesar 0.9% s.d. 1% dengan multiplier effect-nya.
Jika dicermati, beleid ini merupakan suatu langkah kebijakan yang
diambil pemerintah dalam penanganan dan pemulihan ekonomi. Dari
sisi demand untuk mendorong investasi, sedangkan dari dunia usaha
mendongkrak sektor industri otomotif tanah air. Jika semua dapat berjalan
secara beriringan, maka pemerintah dapat menjaga pertumbuhan
ekonomi yang diproyeksikan di level 4.5% s.d. 5% pada tahun ini.
Bagi pelaku usaha industri otomotif, dengan penerapan
insentif PPnBM DTP ini dapat memberikan angin segar dan kembali
membangkitkan kinerja industri otomotif nasional. Kebijakan dan
stimulus dirancang guna meningkatkan produksi pabrikan dalam
negeri sehingga akan mendorong percepatan Program Pemulihan
Ekonomi Nasional (PEN).
Hanya saja dengan adanya kriteria dan persyaratan tertentu
untuk penyerahan kendaraan bermotor yang dapat memperoleh
insentif PPnBM DTP ini maka tidak semua mobil dapat menikmati
aturan ini. Tentunya akan ada beberapa pelaku usaha sektor industri
otomotif tidak dapat memacu penjualannya.
Ada persyaratan tambahan yang unik yaitu local purchase
minimal 70%. Local purchase ini ternyata berbeda dengan Tingkat
Kandungan Dalam Negeri (TKDN). Berdasarkan Peraturan Menteri
Perindustrian Nomor 16/M-IND/PER/2/2011, TKDN adalah besarnya
komponen dalam negeri pada barang, jasa, dan gabungan barang
dan jasa. TKDN ini dihitung berdasarkan perbandingan antara harga
38 } BUSUR
P
andemi Covid-19 yang melanda dunia sejak akhir tahun 2020
telah melemahkan berbagai sendi kehidupan di seluruh dunia.
Berdasarkan data worldometer.info, kasus Covid-19 di dunia telah
mencetak rekor angka sebesar 109 juta kasus sampai hari ini.
Penyumbang angka terbesar adalah negara Amerika Serikat dengan
total sebanyak 28 juta kasus diikuti India dengan total 10 juta kasus.
Dua negara dengan karakteristik berbeda namun menghadapi hal
yang sama menandakan bahwa pandemi ini tak pandang bulu dalam
menyerang korbannya.
Lantas bagaimana dengan kondisi di Indonesia? Sampai
dengan hari ini total kasus Covid-19 di Indonesia tercatat sebanyak
1,2 juta. Angka yang tidak terlalu besar bila dibandingkan dengan
kasus di kedua negara di atas. Namun seberapa besar dampak yang
ditimbulkan bagi Indonesia?
Pemerintah Indonesia telah mengantisipasi dampak pandemi ini
dengan serangkaian kebijakan yang diambil silih berganti. Alih-alih
menerapkan fully-lockdown system, pemerintah menerapkan
kebijakan yang bernama Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).
Langkah ini diambil dengan pertimbangan untuk memutus
mata rantai penyebaran virus Covid-19 sementara di sisi lain agar
roda ekonomi tetap berputar. Kebijakan PSBB yang diambil akan
dievaluasi setiap periode untuk diputuskan apakah akan dilanjutkan
pada periode selanjutnya atau tidak.
42 } BUSUR
S
aat ini banyak negara mengeluarkan kebijakan pada sektor
ekonomi untuk pemulihan perekonomian akibat dampak
pandemi Covid-19. Di Indonesia, Pemerintah menerbitkan berbagai
kebijakan di sektor ekonomi baik dari sisi fiskal maupun moneter
sebagai stimulus perekonomian. Dari sisi fiskal, salah satu kebijakan
yang diterbitkan yaitu perpajakan terkait perdagangan melalui sistem
elektronik atau disebut dengan PMSE.
Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 80 Tahun 2019 tentang
Perdagangan Melalui Sistem Elektronik, PMSE adalah perdagangan
yang transaksinya dilakukan melalui prosedur elektronik yang
dapat dilakukan oleh pelaku usaha, konsumen, pribadi, dan instansi
penyelenggara negara. Pelaku usahanya bisa dari dalam maupun
luar negeri. Pelaku usaha PMSE dapat melakukan usaha secara
langsung atau melalui sarana pihak penyelenggara PMSE atau yang
disebut dengan PPMSE. Pemerintah dengan mengeluarkan kebijakan
perpajakan terkait perdagangan melalui sistem elektronik ini memiliki
harapan besar untuk mendapatkan tambahan penerimaan negara
karena tren transaksi perdagangan melalui sistem elektronik yang
terus meningkat.
Dalam Pasal 6 PERPU No. 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan
Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan
Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau dalam Rangka
Menghadapi Ancaman yang Membahayakan Perekonomian Nasional
PAJAK DAN PANDEMI { 47
S
inyal positif dari suar perekonomian berkedip samar dari
kejauhan. Meskipun didera ketidakpastian akibat gelombang
pandemi, setidaknya bahtera bernama “Indonesia Maju” terus melaju
menghadapi aneka tantangan menuju pelabuhan kesejahteraan.
APBN Kita Edisi Oktober 2020 menunjukkan bahwa rata-rata
Purchasing Managers Index (PMI) Manufaktur untuk kuartal ketiga
2020 berada di posisi yang lebih baik bila dibandingkan dengan
kondisi di kuartal kedua 2020. Fakta ini memberikan gambaran bahwa
aktivitas ekonomi di kuartal ketiga 2020 mengalami perbaikan. Di sisi
lain, masih diperlukan kesiapsiagaan dan peran pemerintah dalam
mengantisipasi dampak pembatasan sosial yang mengakibatkan
penurunan aktivitas produksi dan permintaan baru.
Secara fiskal, Pemerintah secara resmi menerbitkan Peraturan
Menteri Keuangan (PMK) Republik Indonesia Nomor 86/PMK.03/2020
tentang “Insentif Pajak untuk Wajib Pajak Terdampak Pandemi Corona
Virus Disease 2019” (PMK-86) yang berlaku mulai tanggal 16 Juli 2020
sekaligus mencabut PMK-44 tahun 2020. PMK-86 memperpanjang
jangka waktu pemberian insentif pajak hingga Desember 2020.
Tak hanya menyasar sektor industri manufaktur, insentif pajak
PMK-86 juga merangkul 1.189 klasifikasi lapangan usaha (KLU).
Industri agrikultur, logistik, transportasi, pendidikan, konstruksi,
telekomunikasi, jasa kesehatan, dan pertambangan menambah daftar
sektor usaha penerima insentif.
PAJAK DAN PANDEMI { 51
T
anggal 17 Maret 2020, pertama kali mengenal work from
home (WFH) atau bekerja dari rumah. Tujuannya dalam rangka
pencegahan virus Covid-19, sesuai dengan anjuran pemerintah.
Satu hal yang langsung terpikir dalam benak saya, “Apa kabar
SPT Tahunan?”
Bulan Maret dan April setiap tahunnya menjadi agenda “hajatan
besar” bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Ya, pada bulan itulah
batas waktu penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan
Pajak Penghasilan (PPh). Maret untuk wajib pajak (WP) orang pribadi
dan April untuk WP badan, terkecuali bagi WP yang melakukan
pembukuan selain periode Januari-Desember.
Penulis bekerja di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Penanaman
Modal Asing (PMA) Enam. WP yang terdaftar di KPP PMA Enam
hanyalah WP badan (perusahaan) yang notabene penyampaian
SPT Tahunannya melalui e-filing. Namun, sebagai bentuk sinergi
dan gotong royong, KPP PMA Enam juga turut membentuk satuan
tugas (satgas) dalam rangka penerimaan SPT Tahunan orang pribadi.
Saat itu hanya bisa mengaduh dalam hati. Meminjam gaya Mpok
Alpa yang sempat viral di media sosial, “Duh, layout ruangan udah
dicakep-cakepin, meja peneliti udah dirapi-rapiin, petugas jaga udah
siap senyum tiga jari, eeehh….si korona dateng. Bubar udeh.”
Namun, di sisi lain, “Bagaimana ya nasib WP?” gumamku.
Dengan adanya PSBB, otomatis beberapa jenis usaha tidak lagi dapat
56 } BUSUR
D
alam Informality Exit and Exclusion, para ahli ekonomi Bank Dunia
mengungkapkan hasil penelitian yang mereka lakukan pada
tahun 2007, bahwa meningkatnya pelaku usaha di sektor informal
telah menghambat pertumbuhan dan peningkatan kesejahteraan
sosial di Amerika Latin dan Karibia.
Tingginya pelaku usaha sektor informal tersebut dipicu oleh
beberapa faktor yaitu: pertama, terciptanya segmentasi di pasar
tenaga kerja, telah menyebabkan sulitnya pekerja meninggalkan
sektor informal guna meraih kesempatan kerja di sektor formal yang
lebih mapan karena adanya jaminan sosial dari negara.
Kedua, peraturan perizinan yang rumit menghambat perusahaan
kecil untuk meninggalkan sektor informal beralih ke sektor formal
yang lebih menjanjikan.
Ketiga, beberapa perusahaan besar ketika dihadapkan
pada masalah beban pajak yang berlebihan dan peraturan yang
menghambat, sebagian dari mereka menghadapinya dengan cara
tetap berada di sektor informal dan sebagai akibatnya, mereka
mengabaikan potensi pertumbuhan usaha dan keuntungan
skala efisiensi.
Permasalahan yang dialami oleh negara-negara berkembang
lainnya termasuk Indonesia, sebenarnya tak berbeda jauh dengan
negara-negara di Amerika Latin dan Karibia. Di Indonesia, mereka
yang berada di sektor informal sebagian besar adalah pelaku Usaha
PAJAK DAN PANDEMI { 59
Insentif Pajak
Di masa pandemi ini, insentif bagi kalangan UMKM bahkan
diatur secara khusus dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK)
Nomor 44/PMK.03/2020 Tentang Insentif Pajak untuk Wajib Pajak
Terdampak Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) berlaku
pada tanggal 27 April 2020, sebagaimana diubah dengan PMK nomor
86/PMK.03/2020 tanggal 16 Juli 2020, dan kemudian diubah terakhir
dengan PMK nomor 110/PMK.03/2020 tanggal 14 Agustus 2020.
Regulasi tersebut memberikan relaksasi kepada Wajib Pajak
yang memiliki Peredaran Bruto tertentu sesuai ketentuan yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2018 yang
seharusnya atas penghasilannya dikenakan Pajak Penghasilan (PPh)
Final sebesar 0,5% menjadi Ditanggung Pemerintah, terhitung sejak
PAJAK DAN PANDEMI { 61
M
enteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah melalui Surat
Edaran Nomor M/11/HK.04/X/2020 tentang Penetapan Upah
Minimum Tahun 2021 pada Masa Pandemi Corona Virus Disease 2019
(Covid-19) telah menetapkan bahwa tidak terdapat kenaikan upah
minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK)
pada tahun 2021. Upaya yang digalang oleh Pemerintah Pusat tersebut
dalam rangka mempertahankan keberlangsungan usaha sektor riil,
memberikan gambaran pada khalayak umum bahwa potensi sektor
riil di tahun 2021 mendatang akan cenderung statis. Namun demikian,
Menaker tetap membuka peluang kepada masing-masing pimpinan
provinsi untuk menetapkan apakah tetap ada kenaikan UMP dengan
menggunakan pertimbangan perekonomian daerah tersebut hingga
31 Oktober 2020.
Pascatenggat waktu pengumuman UMP masing-masing
provinsi telah habis, tercatat hanya 5 (lima) dari total 34 (tiga
puluh empat) provinsi di Indonesia yang memutuskan untuk tetap
menaikkan UMP pada tahun 2021 mendatang. Adapun kelima provinsi
yang memutuskan untuk tetap menaikkan UMP pada tahun 2021
mendatang adalah DKI Jakarta, Jawa Tengah, DIY, Jawa Timur, dan
Sulawesi Tengah dengan persentase kenaikan tertinggi pada provinsi
Jawa Timur yaitu 5,65%. Berdasarkan data tersebut, jelas bahwa pada
2021, tingkat UMP dapat dikatakan cenderung statis.
64 } BUSUR
momen para pelaku usaha untuk kembali berlomba pada track yang
sebelumnya tanpa arah jelas akibat pandemi. Semangat yang telah
diberikan oleh pemerintah pusat untuk mendorong perekonomian
kembali bangkit, tentunya tidak akan disia-siakan oleh para pelaku
usaha dengan meningkatkan kembali kemampuan produksinya.
Implikasi dari hal tersebut jelas, bahwa tahun 2021 dapat berpotensi
menjadi tahun yang lebih baik dari segala aspek perekonomian
dan tentunya akan secara tidak langsung mendorong peningkatan
potensi perpajakan.
Oleh karena itu, menyongsong tahun 2021 para fiskus harus
tetap dalam kondisi optimis. Menjalani tahun 2021 dengan semangat
bangkit sejatinya akan menjadi gairah nasional yang mendorong
kondisi menjadi lebih baik. Meskipun UMP statis, semangat untuk
tetap optimis akan mendorong penerimaan pajak tetap dinamis. DJP
Kuat, Indonesia Maju.
Mendulang Asa
PPN PMSE
Dewi Damayanti
A
nda pernah berlangganan streaming film atau membeli buku
elektronik dari penjual luar negeri dengan harga lebih murah
dibandingkan penjual dalam negeri? Jika pernah, kini Anda tidak
akan menemukan kesempatan itu lagi.
Mengapa? Mulai 1 Juli 2020, ketika Anda membeli barang kena
pajak tidak berwujud (BKPTB) atau jasa kena pajak (JKP) secara
digital dari penjual luar negeri tidak akan luput dari pengenaan Pajak
Pertambahan Nilai (PPN) juga.
Hal ini tertuang dalam regulasi terbaru, yaitu Peraturan Menteri
Keuangan (PMK) Nomor 48/PMK.03/2020. Di sana disebutkan
bahwa pemungutan PPN Perdagangan Melalui Sistem Elektronik
(PMSE) dapat dilakukan oleh pelaku usaha luar negeri. Sebagai
konsekuensinya, pelaku usaha luar negeri yang melakukan transaksi
BKPTB atau JKP secara digital ke Indonesia harus memungut PPN
PMSE dan menyetorkannya ke pemerintah Indonesia.
Bukan rahasia lagi, selama ini pembelian BKPTB atau JKP melalui
PMSE dari pelaku usaha luar negeri tidak dipungut PPN karena
mereka bukan sebagai pemungut PPN. Konsumen dalam negeri akan
memperoleh harga lebih murah jika melakukan pembelian BKPTB
atau JKP dari pelaku usaha luar negeri. Secara naluriah konsumen
akan lebih memilih yang lebih murah, bukan?
Yang termasuk dalam BKPTB atau JKP sendiri, antara lain:
e-Book, e-Magazine, computer software, aplikasi digital, games digital,
PAJAK DAN PANDEMI { 67
K
ementerian Keuangan telah menerbitkan peraturan pelaksanaan
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2020 tentang Bea Meterai
(UU BM). Isinya tentang pembayaran bea meterai, ciri umum dan ciri
khusus meterai tempel, meterai dalam bentuk lain, dan penentuan
keabsahan meterai, serta pemeteraian kemudian. Melalui Peraturan
Menteri Keuangan Nomor 4/PMK.03/2021 inilah, tahun ini dimulailah
babak baru pemungutan bea meterai Indonesia. Sebagai bagian dari
amanat UU BM, Kementerian Keuangan memperkenalkan wujud
baru meterai tempel. Warnanya merah muda dengan tarif tunggal
senilai Rp10.000,00. Meterai ini resmi menggantikan meterai desain
tahun 2014.
Dengan sejumlah ciri umum dan khususnya, meterai tempel
terbaru mengusung tema ornamen nusantara. Ini mewakili
kebanggaan atas kekayaan yang dimiliki Indonesia dan semangat
nasionalisme. Ada beberapa ciri umum meterai tempel terbaru
dengan efek raba ini. Pertama, tampilan gambar lambang negara
Garuda Pancasila. Kedua, angka “10000” dan tulisan “SEPULUH RIBU
RUPIAH” yang menunjukkan tarif bea meterai. Ketiga, teks mikro
modulasi “INDONESIA”, blok ornamen khas Indonesia. Terakhir, tulisan
“TGL. 20 “.
Sedangkan, ciri khususnya bisa dikenali seperti ini. Meterai
tempel ini berbentuk persegi empat dengan warna dominan merah
muda berperekat di sisi belakang. Serat berwarna merah dan kuning
76 } BUSUR
T
arget penerimaan pajak dalam Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN) 2021 sebesar Rp1.229,6 triliun. Angka
ini tumbuh 2,56 persen dari target 2020 (Rp1.198,8 triliun). Sementara
itu, realisasi sementara penerimaan pajak 2020 tercatat sebesar
Rp1.070,0 triliun. Capaian ini mengalami shortfall Rp128,8 triliun atau
10,7 persen lebih rendah. Dengan kata lain, target penerimaan pajak
2021 tumbuh 14,91 persen dibandingkan realisasi sementara 2020.
Struktur target penerimaan pajak 2021 masih didominasi oleh
Pajak Penghasilan (PPh) Badan. PPh Pasal 25/29 Badan ditargetkan
sebesar Rp215,085 triliun. Sektor orang pribadi (OP), yang meliputi
PPh Pasal 21 dan PPh 25/29 OP, hanya sebesar Rp144,683 triliun.
Hal ini menimbulkan kerentanan terhadap penerimaan pajak
karena berkorelasi langsung pada sektor tertentu. Lalu, bagaimana
menjawab ketimpangan pajak itu?
Untuk menjawab pertanyaan itu, diperlukan strategi Direktorat
Jenderal (Ditjen) Pajak dalam penggalian potensi pajak pada orang
pribadi. Muaranya adalah peningkatan kepatuhan wajib pajak orang
pribadi. Ditjen Pajak mencatat rasio penyampaian SPT Tahunan PPh
pada tahun 2019 oleh wajib pajak (WP) orang pribadi (OP) karyawan
sebesar 73,23 persen, sedangkan OP non karyawan sebesar 61,66
persen. Angka ini justru turun dari tahun sebelumnya (2018), yaitu
rasio penyampaian SPT Tahunan PPh oleh WP OP karyawan sebesar
71,83%, OP non karyawan 74,28%.
80 } BUSUR
Integrasi Data
Ditjen Pajak telah menghimpun data dan/atau informasi yang
berkaitan dengan perpajakan dari instansi pemerintah, lembaga, asosiasi,
dan pihak lain (ILAP). Hal ini tertuang dalam PP Nomor 31 Tahun 2012. Data
dan informasi tersebut berkaitan dengan: kekayaan atau harta, utang,
penghasilan yang diperoleh atau diterima, biaya yang dikeluarkan dan/
atau yang menjadi beban, transaksi keuangan, dan kegiatan ekonomi.
Hal ini diatur lebih lanjut melalui PMK Nomor 228/PMK.03/2017.
Keseluruhannya sebanyak 68 ILAP yang wajib menyampaikan data dan
informasi perpajakan. Selain itu, data dan/atau informasi perpajakan dapat
berasal dari implementasi Automatic Exchange of Information (AeoI) dan
akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan. Pengaturannya
dalam peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu) Nomor
1 tahun sebagaimana telah ditetapkan menjadi UU Nomor 9 tahun 2017.
Sejalan dengan itu, integrasi data melalui Nomor Induk Kependudukan
(NIK) sebagai identitas tunggal harus segera diimplementasikan. Integrasi
data antara SPT dan LHKPN, misalnya. Usulan itu disampaikan oleh Wakil
Ketua KPK Alexander Marwata, “Mengintegrasikan LHKPN dengan SPT
sehingga data harta yang di SPT itu mengambil dari laporan LHKPN, itu
yang kita harapkan.” (Media Indonesia, 2019).
Bukan tanpa sebab, isian keduanya relatif sama. SPT berisikan
laporan penghitungan dan pembayaran pajak, penghasilan yang
termasuk objek pajak maupun bukan objek pajak, serta harta dan
kewajiban. Sedangkan LHKPN terdiri atas laporan seluruh penghasilan,
pengeluaran, harta, dan kewajiban bagi penyelenggara negara.
MENGGALI PELUANG { 81
S
ejak beberapa tahun terakhir, penggunaan transaksi non tunai
melalui uang elektronik berkembang pesat. Berdasarkan data
yang dirilis oleh Bank Indonesia, pada tahun 2019, penggunaan uang
elektronik mencapai 5,2 miliar transaksi meningkat jauh dibanding
tahun 2016, yang hanya sebanyak 683 juta.
Dalam kondisi pandemi Covid-19, jumlah uang elektronik yang
beredar di Indonesia tetap meningkat signifikan setiap bulannya.
Pada bulan Juli 2020, jumlah uang elektronik beredar mencapai 359
juta instrumen. Pada akhir tahun 2019 jumlah uang elektronik yang
beredar sebanyak 292 juta instrumen. Sedangkan, pada akhir tahun
2016 hanya sebanyak 51 juta instrumen.
Salah satu alasan peningkatan jumlah uang elektronik beredar
adalah tingkat penerimaan teknologi informasi (Neda, 2014). Di
Indonesia, inklusivitas teknologi uang elektronik ini semakin luas
seiring dengan kampanye masif dari penerbit uang elektronik.
Berbagai keuntungan seperti diskon, cashback, dan loyalty point yang
diberikan penerbit uang elektronik kepada konsumen pengguna turut
meningkatkan penggunaan uang elektronik.
Tidak hanya di Indonesia, penggunaan uang elektronik juga
populer di berbagai negara lain. Pada tahun 2019, jumlah transaksi
menggunakan uang elektronik di Cina telah mencapai 90% dari
seluruh transaksi pembayaran, merupakan yang terbanyak di dunia
(Klein, 2020). Pemerintah Jepang juga telah mendorong penggunaan
MENGGALI PELUANG { 83
P
ajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) memiliki
fungsi menegakkan prinsip pemerataan atau equality, yakni
mempersempit jarak antara si kaya dan si miskin. Sistem demokrasi
yang kita anut tidak melulu menomorsatukan para pemegang modal
karena pada dasarnya Pancasila dalam salah satu silanya masyarakat
dalam praktik berbangsa harus me-”rakyat”. Tentu, perbedaan tarif
telah diukur secara matang tergantung objek pajak. Namun, hal ini
tidak dapat dipungkuri akhirnya juga melihat siapa subjek pajaknya.
PPnBM tidak dapat dikreditkan dan hanya dikenakan satu kali,
baik pada saat impor maupun hasil dari pabrikan domestik. Hal ini
berbeda dengan PPN yang hanya memiliki satu macam tarif, yakni
10 persen. PPnBM saat ini meliputi seluruh jenis barang yang bersifat
dan berkarakter mewah. Kemewahan tidak hanya dipengaruhi oleh
harga, tetapi juga kemampuan barang tersebut menaikkan harkat
dan martabat pemiliknya. Keadaan yang mana merupakan gaya
hidup atau style, bertambahnya kepercayaan diri, dan value, turut
memengaruhi apakah suatu barang dapat dikelompokkan dalam
jenis “mewah” atau tidak.
PPnBM dikenakan sejak diberlakukannya Undang-Undang
Nomor 8 Tahun 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai. PPnBM
merupakan pengenaan pajak tambahan di samping pengenaan
PPN terhadap suatu barang tertentu yang tergolong mewah. PPnBM
dikenakan atas penyerahan suatu barang di dalam negeri sebesar
88 } BUSUR
tarif tertentu atas harga jual barang tersebut atau yang disebut dasar
pengenaan pajak.
Sebagai pelaksanaannya, dikeluarkan Peraturan Pemerintah
(PP) Nomor 22 Tahun 1985. Selanjutnya, mobil digolongkan sebagai
barang mewah yang dikenakan tarif sebesar 10% untuk jenis kombi
dan minibus, serta 20% untuk sedan, jeep, station wagon, mobil balap,
dan van. Angkutan barang atau angkutan umum dikecualikan dari
pengenaan PPnBM. Pengenaan PPnBM diberlakukan merata tanpa
membedakan harga ataupun kapasitas mesin kendaraan.
Kondisi pasar mobil sangat potensial bagi penerimaan pajak
dan varian dari produk mobil sangat beragam. Alasan inilah yang
melatarbelakangi terbitnya peraturan yang khusus mengenai
pengenaan PPnBM serta tarifnya atas produk otomotif. Melalui
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 267/KMK.01/1988, PPnBM
atas otomotif mulai menggunakan tarif tersendiri. Peraturan itu
terus-menerus disesuaikan mengikuti perkembangan industri
kendaraan.
Tercatat setidaknya sudah 11 kali peraturan pelaksanaan dari
UU PPN tersebut dalam bentuk Keputusan Menteri Keuangan (KMK)
mengalami perubahan maupun revisi. Peraturan terakhirnya yang
masih berlaku adalah KMK Nomor 355/KMK.04/2003 tentang Jenis
Kendaraan Bermotor yang Dikenakan PPnBM.
Dalam KMK tersebut, seperti saat ini, pengenaan PPnBM
dilakukan secara progresif dengan dua dasar pembedaan, yaitu
kapasitas mesin dan model/tipe. Semakin besar kapasitas mesin
suatu mobil, maka mobil tersebut dianggap semakin mewah. Lalu,
berdasarkan tipe/modelnya, sedan atau station wagon dianggap
lebih mewah dibanding tipe lainnya. Ini tercermin dari besarnya tarif
yang dikenakan.
MENGGALI PELUANG { 89
Permasalahan
Sejalan dengan berkembangnya inovasi, terutama dalam bidang
desain, saat ini mulai terjadi suatu “kebingungan” di kalangan industri
berkaitan dengan perkembangan inovasi tipe mobil. Salah satunya
disebabkan karena kekurangjelasan secara hukum mengenai definisi
dari tipe/model suatu mobil. Sampai saat ini, masih belum ada definisi
yang tegas mengenai tipe mobil station wagon. Meskipun, secara
awam hal ini bukanlah suatu hal yang sulit untuk menyebutkan bahwa
mobil ”Yaris” merupakan mobil dengan tipe “station wagon,” misalnya.
Saat ini beberapa pabrikan mengeluarkan ”sedan hatchback”
yang dipersamakan sebagai minibus seperti yang tertera di STNK.
Akan tetapi, permasalahan tersebut masih bisa ditoleransi dan
bisa diterima masyarakat industri mobil. Mereka sudah memiliki
suatu pengklasifikasian tersendiri. Secara gentlement aggreement,
di kalangan pelaku industri mobil telah ada “definisi” mengenai
sedan dan minibus. Sedan merupakan kendaraan 3 kabin (mesin,
penumpang, dan bagasi), sedangkan minibus/MPV memiliki 2 kabin
(mesin dan penumpang).
Namun, di mana definisi dari station wagon? Toyota Yaris
atau kompetitornya Honda Jazz, Suzuki Swift, dan sejenisnya
90 } BUSUR
dalam hal teknis dan uji tipe. Sehingga memerlukan koordinasi yang
memadai antar lembaga.
Namun dalam praktiknya terkesan kementerian yang
bertanggung jawab dalam penggolongan jenis kendaraan (Departemen
Perindustrian/Deperin) diketahui tidak konsisten atau terkesan
menghindari penggunaan definisi station wagon, meskipun mengakui
bahwa sedan dan station wagon memiliki ciri yang berbeda. Padahal
Ditjen Bea Cukai yang berwenang dalam hal importasi kendaraan,
tergantung dari penetapan jenis kendaraan dari Deperin tersebut.
Kemudian ditambah lagi muncul tipe minibus dalam STNK kendaraan.
Surat dari Deperin Nomor 118/IATT.2/3/2006 tanggal 10 Maret
2006 perihal Identifikasi Toyota Yaris 1.5 atas permintaan Ditjen
Bea Cukai melalui suratnya nomor S-320/BC.2/2006 tanggal 21
Februari 2006 mengenai pendapat identifikasi Toyota Yaris 1.5, sangat
menyentuh rasa keadilan, dimana ybs tidak “berani” mendefinisikan
station wagon itu apa tapi langsung menyimpulkan bahwa kendaraan
tersebut bukan sedan atau station wagon. Kemudian adanya Surat
Keputusan Direktur Jenderal Industri Logam Mesin dan Aneka Nomor
024/SK/ILMEA/XI/2003 tanggal 4 Nopember 2003 yang mengatur
jenis/tipe kendaraan, tidak menyebutkan definisi station wagon
ataupun hatchback. Setelah dicermati, surat keputusan tersebut
mengatur tentang ketentuan industri perakitan dan tingkat keteruraian
kendaraan bermotor dan komponen untuk tujuan perakitan yakni CKD
(Completely Knocked Down) dan IKD (Incompletely Knocked Down)
bukan CBU (Completely Built Up).
Kementerian Perindustrian (dulu deperindag) sendiri telah
mengakui adanya jenis kendaraan sedan dan station wagon. Namun
anehnya dalam rilisnya (website) tidak ada kendaraan bertipe station
wagon tetapi yang muncul adalah sedan dan penumpang 4x2 dan 4x4.
92 } BUSUR
P
emeriksaan pajak atas transaksi afiliasi berupa pengalihan
dan pemanfaatan harta tak berwujud antara anak perusahaan
di Indonesia dan induk perusahaan di luar negeri (LN) sering
menimbulkan perbedaan pendapat di antara pihak wajib pajak (WP)
dan fiskus. Produk hukum yang dihasilkan berupa Surat Ketetapan
Pajak Kurang Bayar dan digugat banding oleh WP sampai ke
Pengadilan Pajak tidak selalu dapat memuaskan kedua pihak karena
perbedaan pendapat bisa terjadi yang bermuara ke Peninjauan
Kembali di Mahkamah Agung.
Silang pendapat bermula dari perbedaan interpretasi dan
penentuan atas penetapan prinsip kewajaran dan kelaziman usaha
(PKKU) yang wajib diterapkan terhadap transaksi pengalihan harta
tidak berwujud yang dilakukan WP dengan pihak yang mempunyai
hubungan istimewa. Sebagai penjabaran atas ketentuan Pasal 18
ayat (3) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU PPh) yang diatur
dalam Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-40/PJ/2010
jo. PER-32/PJ/2011, para pihak selalu berbeda pendapat pada saat
pelaksanaan pemeriksaan pajak.
Pemerintah Indonesia yang masih membutuhkan dana investasi
asing baik dalam bentuk portofolio instrumen pasar modal dan
investasi langsung di perusahaan anak sebagai subsidiary companies
tentu menginginkan efek lanjut dari keuntungan perusahaan berupa
pembayaran pajak dan penyerapan tenaga kerja. Sehingga keterkaitan
MENGGALI PELUANG { 95
Solusi Alternatif
Pada umumnya basis penghitungan pembayaran royalti
didasarkan atas jumlah omzet anak perusahaan setiap tahun yang
ditetapkan prorata dalam kontrak yang ditandatangani induk dan anak
perusahaan di Indonesia. Induk atau afiliasi perusahaan di LN akan
tetap mendapatkan remunerasi berupa pembayaran royalti dari anak
perusahaan meski dalam keadaan merugi. Tentu hal ini tidak selalu
menguntungkan bagi otoritas pajak Indonesia yang seolah tidak
berdaya melakukan counter bagi penilaian kewajaran dan penilaian
manfaat ekonomis dari suatu IP yang terjadi antar pihak afiliasi.
WP berargumen bahwa penentuan tarif pembayaran royalti
sudah memenuhi kaidah yang diatur dalam Pasal 17 ayat (7) PER-32/
PJ/2011 terutama bahwa transaksi pembebanan royalti sudah
mempunyai nilai yang sama dan sebanding dengan pihak-pihak
yang tidak mempunyai hubungan istimewa. Apalagi sudah diperkuat
dengan alasan yang sahih dan valid seperti analisis kesebandingan
dan data pembanding eksternal yang disajikan di dalam dokumentasi
Master File Lokal WP yang disampaikan secara resmi dan dibuat
secara ex-ante sebagaimana diatur dalam PMK Nomor 213/
PMK.03/2016.
Alternatif untuk menentukan apakah terdapat manfaat ekonomis
yang diterima oleh anak perusahaan atas pemanfaatan harta tidak
berwujud adalah mengukur kembali dasar penghitungan beban
royalti dari basis omzet menjadi basis laba (profit based royalties).
98 } BUSUR
Hal ini sesuai pendapat dari Robert Goldscheider (1995) dan diadopsi
dalam Paragraph 6.183 of OECD Transfer Pricing Guidelines 2017.
Secara sederhana penghitungan tarif royalti dibandingkan antara
persentase laba usaha sebelum beban royalti (Operating Profit Before
Royalty) baik menurut laporan keuangan WP dan persentase menurut
standar yang wajar menurut benchmarking DJP. Kemudian selisihnya
akan menjadi koreksi atas royalti yang seharusnya bisa dibebankan
sebagai pengurang penghasilan bruto.
Biaya royalti yang dikelompkkan dalam komponen COGS
dan/atau pengurang penghasilan bruto dalam penghitungan laba
rugi komersial dikeluarkan dan dibandingkan dengan persentase
yang ditetapkan atau disetujui oleh para pihak sehingga didapat
solusi yang tidak merugikan kedua pihak. Penyelesaian seperti
ini bisa ditempuh dalam bingkai perjanjian secara resmi melalui
mekanisme pelaksanaan kesepakatan harga transfer (Advance
Pricing Agreement/APA) sebagaimana diatur dalam PMK Nomor
22/PMK.03/2020 dan/atau alternatif perjanjian Mutual Agreement
Procedure (MAP) sesuai PMK Nomor 49/PMK.03/2019.
Tentu tidak mudah mewujudkan langkah seperti ini karena harus
ada kesamaan visi dari pihak WP dan fiskus dengan satu pandangan
untuk meminimalisasi sengketa transfer pricing yang melelahkan dan
butuh waktu lama untuk penyelesaian di Pengadilan Pajak hingga
Peninjauan Kembali di Mahkamah Agung. Bagi WP dengan adanya
alternatif mengurangi potensi sengketa di tingkat pemeriksaan akan
memudahkan upaya dalam melakukan konsolidasi operasional
usaha dari grup perusahaan antar afiliasi termasuk kelompok usaha
di Indonesia.
Exploring State Revenue Potential
from the Interconnection
between Corruption and Tax Crime
Martiana Dharmawani Sipahutar
I
ndonesia Corruption Watch stated that there were 169 corruption
cases revealed in semester I of 2020 which caused losses to the
State finance for approximately IDR18.1 trillion. This number of losses
to State finance has been the highest in the last 6 years which in total
reached IDR43,2 trillion. How much taxes could be collected from
these cases? The minimum unpaid income tax at the rate of 5% and
its administrative fine would be a total of IDR4.32 trillion.
Did these corruptors pay taxes? Possibly. Did they pay taxes
in correct amounts? In terms of income tax, most probably not.
Criminals tend to disguise their acts and certainly the result of their
acts. According to Law No. 6 of 1983 (Tax Law) as lastly amended by
Law No. 11 of 2020, whomsoever deliberately or due to his negligence,
fails to file a tax return or files an incorrect or incomplete tax return,
or attached incorrect information which may cause losses to the
revenue of the State shall be punished by imprisonment and fine
accordingly. How did Indonesian Tax Authority react to this? The
answer has yet to be found.
The interconnection between corruption and income tax crime
is actually crystal clear because Indonesia adopted a broad definition
of income which covers any additional economic capability received
or obtained by taxpayer, whether originating from Indonesia and
from outside of Indonesia, which can be used for consumption or
100 } BUSUR
to add the assets of taxpayer, with any name and in any form. This
means tax is neutral, it considers no ethical issue in income source.
Regarding corruption, it is safe to say that based on Income Tax Law,
any additional economic capability received or obtained by corruptor
taxpayer as a result of criminal act of corruption is also considered
as income and therefore should be subject to tax. The question is:
how should these corruptors taxpayers be taxed?
Prior to answering the question, it is important to understand
that although criminal act of corruption is defined in the Law No. 31 of
1999 (Anti-Corruption Law) as the act of enriching oneself or another
person or a corporation by abusing the authority, opportunity or
facilities given to him/her related to his/her position which creates
losses to the State finance or State economy, in practice, the clause of
“create losses to the State finance or State economy” was interpreted
as “create losses to the State budget in the expenditure side, not in
the revenue side”.
How about the act which creates losses to the State budget in
the revenue side? Since mostly the revenue side of the State budget
is sourced from taxation, therefore, the act of enriching oneself or
another person or a corporation by abusing the authority, opportunity
or facilities given to him/her related to his/her position which creates
tax losses will most likely fall under the category of tax crime, not
the criminal act of corruption. As a result, law enforcement should
be handled only by tax investigators, not police, not prosecutor, not
even Corruption Eradication Commission (CEC) investigators.
The idea of collaboration between CEC and Directorate General
of Taxes (DGT) in enforcing tax penalties on corruptors has been
discussed in the “Workshop on Optimizing Cooperation Between Law
Enforcers and Tax Authorities in an Effort to Recover State Losses Due
MENGGALI PELUANG { 101
D
alam pengelolaan keuangan negara lingkup satuan kerja
(satker), istilah uang persediaan tentu tak asing lagi kita temui.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 170/PMK.05/2010
tentang Penyelesaian Tagihan atas Beban Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara pada Satuan Kerja, uang persediaan (UP) adalah
sejumlah uang yang disediakan untuk satker dalam melaksanakan
kegiatan operasional kantor sehari-hari. UP merupakan uang muka
kerja dengan jumlah tertentu yang bersifat daur ulang (revolving),
UP diberikan kepada bendahara pengeluaran (BP) untuk membiayai
kegiatan operasional kantor sehari-hari yang tidak dapat dilakukan
dengan pembayaran langsung (LS).
Selama ini, uang negara yang berada di kas BP sangat besar.
Dalam tahun anggaran berjalan saja, UP yang dikuasai oleh BP
Satker mencapai 7-9 triliun rupiah. Uang itu menganggur (idle cash).
Padahal, apabila berada dan dikelola oleh Bendahara Umum Negara,
uang tersebut dapat memberikan nilai tambah (advalue) melalui
penempatan-penempatan jangka pendek yang berisiko rendah.
Untuk mengurangi UP yang menganggur (idle cash) dan biaya
dana (cost of fund) dari transaksi UP, melalui Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia Nomor 196/PMK.05/2018, Menteri
Keuangan mengeluarkan kebijakan baru. Pembayaran belanja negara
bisa menggunakan kartu kredit Pemerintah. Terobosan ini mulai
berlaku sejak Juli 2019.
104 } BUSUR
A
wal tahun ini santer terdengar kabar bagaimana sebuah saham
kecil membuat “keributan” di bursa saham Amerika Serikat atau
Wall Street. Saham kecil itu milik perusahaan video game bernama
GameStop. Saham yang awalnya bernilai $5 per lembar saham
tiba-tiba melonjak menjadi $350 per lembarnya.
Seperti kita ketahui sejak pandemi Covid-19 melanda di tahun
2020 banyak perusahaan di dunia terkena dampaknya, termasuk juga
GameStop. Bahkan GameStop sempat menutup berbagai tokonya di
Amerika Serikat, sehingga mustahil dengan kondisi seperti ini dapat
menyebabkan harga saham perusahaan tersebut meroket.
Setelah diselidiki, kenaikan harga saham tersebut bukan
disebabkan oleh kinerja perusahaan GameStop. Melejitnya harga
saham tersebut ternyata sudah direncanakan oleh sekelompok orang
yang tergabung dalam sebuah forum bernama Wallstreetbets yang
terdapat di situs Reddit.
Forum tersebut merencanakan untuk membeli saham GameStop
yang salah satu tujuannya adalah membuat rugi Hedge Funds.
Pengelola investasi global (Hedge Fund) adalah kontrak investasi
kolektif privat yang dikenakan biaya imbal jasa berbasis kinerja
(performance fee) dan biasanya ditawarkan secara terbatas kepada
investor kelas atas.
Alasan Wallstreetbets “mempermainkan” harga saham GameStop
adalah karena para Hedge Funds ini suka melakukan short-selling
MENGGALI PELUANG { 107
“Musuh” bersama
Dalam kasus GameStop ini “musuh” bersama itu adalah para
Hedge Funds, orang-orang yang sering kali mengambil keuntungan
dari orang-orang biasa yang ingin berinvestasi. Sehingga ketika ada
ajakan untuk menghancurkan “musuh” ini tentu saja, orang-orang
tersebut mendukungnya.
Untuk institusi pemerintahan seperti DJP tentu tidak mudah
mencari “musuh bersama” ini. Institusi pemerintahan kok mencari
“musuh”? Tentu yang dimaksud “musuh” ini adalah suatu kiasan
misalnya para pengemplang pajak. Berita tentang para pengemplang
pajak ini seharusnya lebih sering ditampilkan. Supaya para pegawai
DJP terutama yang berada di frontline tahu bahwa tidak semua Wajib
Pajak itu baik. Bahwa ada oknum Wajib Pajak yang berusaha mencari
celah untuk mengemplang pajak.
108 } BUSUR
Motivasi Ekonomi
Hasil dari rencana GameStop tersebut adalah melonjaknya
harga saham dari $5 per lembar menjadi $350 per lembar.
Sehingga banyak dari mereka yang ikut dalam rencana tersebut
mendapatkan keuntungan dari selisih harganya. Sering kali orang
tidak mau membicarakan motivasi ekonomi dalam suatu perjuangan.
Terkesan tidak ikhlas jika memasukkan unsur ekonomi atau uang
ketika berjuang.
Padahal, itu bukan hal yang memalukan. Justru ketika seseorang
ataupun organisasi mengharapkan keikhlasan dari orang-orang yang
diajaknya berjuang tanpa adanya imbalan, maka orang atau organisasi
tersebut sedang melakukan eksploitasi demi keuntungannya sendiri.
Sebagai suatu institusi yang berperan penting dalam keuangan
negara, seharusnya DJP mengetahui “How much is my value and how
much should I be rewarded?”
Aplikasi pendukung
Salah satu hal yang mungkin tidak diketahui dari kasus
GameStop ini adalah digunakannya aplikasi RobinHood untuk
melakukan pembelian saham GameStop tersebut. Fitur-fitur yang
terdapat dalam aplikasi ini lebih memudahkan dalam transaksi jual
beli saham dibandingkan aplikasi sejenis lainnya.
Sering kali dalam sebuah organisasi, alat-alat pendukung tidak
mendapat perhatian penting. Contoh mudahnya komputer. Di saat
Windows sudah meluncurkan Windows 10 dan Office 365, seberapa
sering kita lihat suatu organisasi masih menggunakan Windows Vista
atau 7 dengan Office 2007 yang ketika mengolah data tiba-tiba keluar
pesan “Not Responding”?
MENGGALI PELUANG { 109
T
here is almost no good result in the perspective of tax office
in bankruptcy case. In Oil and Gas Tax Office’s cases, the State
never had a fair share when its taxpayer was declared bankrupt
by the court. Three out of five cases have been ongoing since five
years ago while the other two had been decided that taxpayer assets
were fully used to pay the secured creditors and employees’ wages.
Same things might happen in taxpayer bankruptcy cases in other
tax offices. This phenomenon should be a concern for Directorate
General of Taxes (DGT) for there is a substantial potential tax loss
from bankruptcy case.
S
aat ini usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mengalami
berbagai permasalahan, seperti: penurunan penjualan,
permodalan, distribusi terhambat, kesulitan bahan baku, produksi
menurun, dan PHK buruh. Hal ini menjadi ancaman bagi perekonomian
nasional. UMKM sebagai penggerak ekonomi domestik dan penyerap
tenaga kerja tengah menghadapi penurunan produktivitas yang
berakibat pada penurunan profit secara signifikan.
Pemerintah yang dari tahun 2014 terus mendorong UMKM
bersaing, seperti menghadapi benturan di tahun 2020. Untuk
membangkitkan kembali kondisi ini, diperlukan solusi mitigasi dan
pemulihan. Langkah mitigasi prioritas jangka pendek adalah dengan
menciptakan stimulus pada sisi permintaan dan mendorong platform
digital (online) untuk memperluas kemitraan.
Upaya lainnya yaitu melalui kerja sama dalam pemanfaatan
inovasi dan teknologi yang dapat menunjang perbaikan mutu dan
daya saing produk, proses pengolahan produk, kemasan, dan
sistem pemasaran.
Di bidang perpajakan, pemerintah juga memberikan beberapa
fasilitas. Salah satunya yaitu Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23
Tahun 2018 tentang Pajak Penghasilan atas Penghasilan dari Usaha
yang Diterima atau Diperoleh Wajib Pajak yang Memiliki Peredaran
Bruto Tertentu. Peraturan ini diterbitkan untuk menggantikan
peraturan sebelumnya yakni PP Nomor 46 Tahun 2013 yang dinilai
114 } BUSUR
T
he only constant in life is change (Heraclitus). As more generation
of young people continue to dominate business realm globally,
information technology also rises more rapidly to the occasion. World
biggest firms such as Google, Facebook, Western Union, Twitter,
Alibaba, Amazon, etc. have information technology highly-integrated
in their businesses. They have huge influences on the world of digital
economy and often referred as Over the Top (OTT) corporations
because they simply operate over the internet across the globe with
lack of physical presence. Each of them leads on business sector of
billion-dollar value. Ironically, in spite of enormous turnovers stated
by these giant firms in their financial reports, they paid only irrelevant
amounts of taxes from time to time.
As an example, in United Kingdom, Amazon had sales of £3.35
billion in 2011, but only reported tax expense of £1.8 million. Google’s
UK unit also paid just £6 million to the UK Treasury in 2011 on its
UK turnover of £395 million. How about in Indonesia? Until 2017,
Google, Facebook, Western Union, Twitter, and Yahoo never paid
any corporate income tax in Indonesia.
Prior to 2017, the only regulation that required foreign OTT
providers to have a permanent establishment (PE) in Indonesia was
Circular Letter of the Minister of Communication and Information
Technology number 3 of 2016 concerning Application and Content
Service Provision throughout the Internet.
120 } BUSUR
the same place of business of their ROs. KPP Badora then conducted
tax audits in 2016 on the four PEs.
Tax audits got complicated because these OTTs insisted that
the businesses being carried out in Indonesia were solely marketing
or preparatory and auxiliary activities, thus they did not create PEs
in Indonesia. Consequently, they were not obliged to pay income tax
in Indonesia. They fought hard against DGT’s efforts both technically
and politically.
It was obvious that taxing these tech giants was a lot easier
said than done. As previously mentioned, this was mainly because
tax laws have not caught up with the changing businesses run by
multinational tech firms. According to current international tax law,
the existence of a PE in a source country is the only way for tax
authority to tax business income earned by nonresident taxpayer.
It is true that based on domestic law and tax treaties, a PE can
take various forms, such as fix place like a building, room, or various
thing related to business such as a computer device, networking
server, etc. However, in reality, digital corporations can run businesses
without a PE. As a result, they can earn big income from a source
country without paying income tax in that country by diverting income
to a lower tax jurisdiction. Old set of PE rules made what these digital
companies did was not a tax crime, but a legal tax avoidance.
Despite the challenges posed by these OTTs and the absence
of legal supports in both domestic tax rules and tax treaties, DGT
persistently tried to tax digital presence as a new form of PE. Things
got changed when BUT Google Asia Pacific Pte Ltd refused to be
audited by KPP Badora. It constituted a tax crime and consequently,
its tax audit was then escalated to preliminary investigation.
122 } BUSUR
B
anyak dari kita belum mengenal apa itu trust. Dan mengapa kita
sebagai aparat pajak harus mengetahuinya?
Perhatian penulis tertuju pada tajuk berita online “Perusahaan
property, PT Lippo Karawaci Tbk, pada hari ini, Selasa 15 Desember
mengumumkan bahwa mayoritas Unitholders Lippo Malls Indonesia
Retail Trust (LMIR Trust) telah memberikan dukungannya terhadap
akuisisi Lippo Mall Puri melalui transaksi yang nilainya mencapai
Rp3,5 triliun” (VOI.id, 2021).
Mengingatkan penulis saat bertugas di kantor yang lama
beberapa tahun yang lalu. Saat itu penulis melakukan penelitian
atas perusahaan yang terdaftar di BEI tersebut, PT Lippo Karawaci
Tbk (LPKR) menjual Lippo Mall Kuta ke perusahaan Dana Investasi
Real Estat (DIRE) alias real estate investment trust (REITs) yang ada di
Singapura yaitu Lippo Malls Indonesia Retail Trust (Bisnis.com, 2017).
Transaksi yang menjadi perhatian adalah sejauh mana otoritas
pajak dapat menjangkau pemasukan yang signifikan ke kas negara.
Salah satunya adalah menganalisis apakah transaksi yang dilakukan
dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana yang diatur dalam
Pasal 18 ayat (3) UU PPh. Sulit menemukan regulasi sebuah badan
usaha terkait trust, sehingga analisis kewajaran transaksi dapat
dilakukan. Karena dalam dokumen yang dirilis hanya menyebutkan
ikut “mendirikan” dan “mensponsori” trust dimaksud.
MENGGALI PELUANG { 125
1 Edilius – Sudarsono, 1994. Kamus Ekonomi Uang dan Bank, Jakarta, Rineka Cipta, hal. 248.
2 Komarudin, 1982. Ekonomi Perusahaan dan Manajemen. Jakarta, Alumni, hal. 152
126 } BUSUR
4 https://akuntanmuslim.com/trust-adalah/
128 } BUSUR
Penghindaran Pajak
Dalam bentuk skema, trust dapat digambarkan seperti di
bawah ini:
ILUSTRASI TRANSAKSI
PT. ABC
MENGGALI PELUANG { 129
K
onsep memaksimalkan laba dalam perusahaan multinasional
saat ini dipermudah oleh kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi. Pajak sebagai salah satu unsur biaya tentu menjadi salah
satu perhatian utama yang dapat ditekan dengan memanfaatkan
perbedaan tarif dan disparitas rezim pajak di negara atau yurisdiksi
perusahaan multinasional tersebut beroperasi. Transaksi afiliasi yang
jamak terjadi antara perusahaan dalam satu grup tidak jarang menjadi
salah satu upaya memaksimalkan laba tersebut.
Harga transfer (Transfer Pricing) dinyatakan sebagai salah satu
teknik penghindaran pajak yang biasa diterapkan multinational
corporations yang dapat merugikan ratusan miliar dolar Amerika
Serikat (Contractor, 2016). Praktik Transfer Pricing yang agresif menjadi
salah satu sumber terkikisnya basis pajak di berbagai negara, termasuk
Indonesia. Wardhana berpendapat bahwa penurunan pendapatan
Pajak Badan dan bukti-bukti dialihkannya laba di Indonesia ke negara
lain merupakan petunjuk kuat penerapan strategi Transfer Pricing
tersebut (Wardhana, 2019).
Penulis menyadari berbagai masalah dalam pengawasan dan
pemeriksaan atas transaksi yang berpotensi menggunakan Transfer
Pricing sebagai sarana penghindaran pajak. Pemahaman yang tidak
merata dan kepentingan yang sangat berbeda antara Wajib Pajak
134 } BUSUR
P
emberlakuan amnesti pajak menerapkan adanya uang tebusan
diperlukan sebagai pendapatan atas pajak penghasilan dalam
APBN. Semua wajib pajak bisa memanfaatkan amnesti pajak ini
kecuali wajib pajak yang sedang memiliki masalah hukum. Dalam
beberapa kasus, undang-undang yang melegalkan pengampunan
pajak memberikan hukuman yang lebih berat bagi pengampunan
pajak yang terlambat menjalankan kewajibannya.
Tindak pidana di bidang perpajakan adalah suatu perbuatan yang
melanggar peraturan perundang-undangan pajak yang menimbulkan
kerugian keuangan negara, pelakunya diancam dengan hukuman
pidana. Hal ini yang melatarbelakangi bahwa walaupun sudah mengikuti
amnesti pajak, tetapi terhadap wajib pajak yang melakukan pelanggaran
tetap akan dikenai sanksi perpajakan sebagaimana diatur dalam UU
KUP Pasal 43 ayat (1) yang menyatakan bahwa ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 39 dan Pasal 39 A, berlaku juga bagi wakil, kuasa,
pegawai dari wajib pajak, atau pihak lain yang menyuruh melakukan,
yang turut serta melakukan, yang menganjurkan, atau yang membantu
melakukan tindak pidana di bidang perpajakan.
Contoh kasus tindak pidana perpajakan yang pernah ditangani
oleh Kantor Wilayah Jakarta Khusus, bahwa diduga kuat dalam kurun
waktu sekurang-kurangnya sejak tahun pajak 2010 sampai dengan
2013 telah terjadi tindak pidana di bidang perpajakan melalui wajib
pajak PT. MPI dengan salah satu tersangkanya adalah DT.
142 } BUSUR
P
emeriksaan pajak atas pembebanan biaya jasa intra-grup
merupakan pengujian atas penerapan prinsip kewajaran dan
kelaziman usaha (PKKU) yang terjadi antar pihak-pihak entitas yang
memiliki hubungan istimewa dalam satu grup usaha terafiliasi.
Perlu dipahami jenis-jenis transaksi yang terjadi antar pihak
afiliasi. Pertama, transaksi penjualan, pembelian barang berwujud
dan tidak berwujud. Kedua, sewa, royalti atau imbalan lain akibat
penyediaan atau pemanfaatan harta berwujud dan tidak berwujud.
Ketiga, penghasilan atau pengeluaran yang berkenaan dengan
pemanfaatan atau penyerahan jasa. Keempat, alokasi biaya. Kelima,
transaksi perolehan dan penyerahan akibat instrumen keuangan.
Definisi secara luas dari hubungan istimewa yang dianut
dalam perpajakan adalah sesuai terminologi dalam Pasal 18 ayat 4
Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan
(UU PPh) dan Pasal 2 ayat 2 Undang-undang Nomor 42 Tahun 2009
(UU PPN).
Uji awal untuk menandakan adanya transaksi afiliasi, jika wajib
pajak (WP) mempunyai kepemilikan langsung atau tidak langsung
sebesar 25 % pada WP lain, WP menguasai WP lainnya atau di
bawah penguasaan yang sama baik langsung atau tidak langsung,
terdapat hubungan sedarah atau semenda dalam garis keturunan
146 } BUSUR
Memastikan
eksistensi atau Jasa tidak
realisasi dan jasa Pernah terjadi
yang diberikan TIDAK
TI Jasa tidak
DA
YA K dapat
dibebankan
Memastikan jasa Jasa tidak
yang diberikan memberikan
memberikan K
manfaat DA
manfaat ekonomi TIDAK TI
YA
Melakukan
penghitungan YA Jasa dapat
kewajaran dibebankan
pembayaran sebagian atau
jasa intra-group seluruhnya
H
ukum pajak masuk dalam ranah hukum publik, yakni hukum
yang mengatur hubungan antara Masyarakat (Wajib Pajak/
WP) dengan Negara (Direktorat Jenderal Pajak). Tujuan penerapan
hukum pajak sama dengan dengan hukum lainnya, di antaranya untuk
menimbulkan efek jera bagi si pelaku.
Penerapan hukum pajak agak berbeda dengan penerapan
hukum publik lainnya, contohnya hukum pidana. Secara umum
penerapan hukum pidana pasti berujung di pengadilan atau penjara.
Namun, tidak demikian halnya dengan hukum pidana pajak. Tujuan
utama penegakan hukum pidana pajak harus selaras dengan tujuan
pajak itu sendiri, yakni menarik uang dari masyarakat yang telah
memiliki kewajiban pajak untuk dimasukkan ke dalam anggaran
pendapatan dan belanja negara (APBN). Memenjarakan wajib pajak
bukanlah tujuan utama dari penerapan pidana pajak.
Kondisi di atas dipertegas dalam Pasal 8 ayat (3) Undang-Undang
Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), yang
menyatakan bahwa penegakan hukum pajak tidak akan dilanjutkan ke
penyidikan, sepanjang WP dengan kemauan sendiri mengungkapkan
ketidakbenaran perbuatannya, karena kealpaannya (Pasal 38 KUP).
Ada dua kondisi. Pertama, tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan
(SPT). Kedua, menyampaikan SPT yang isinya tidak benar atau tidak
lengkap, atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar.
MENGGALI PELUANG { 153
Permasalahan
Uraian di atas telah menjelaskan bahwa perbuatan tidak
menyampaikan SPT atau menyampaikan SPT yang isinya tidak benar
atau tidak lengkap dapat diakhiri melalui permohonan pengungkapan
ketidakbenaran perbuatan, sehingga kasusnya tidak naik ke tingkat
penyidikan. Namun, dalam praktiknya, terdapat perbedaan pendapat
di antara penyidik pajak dalam memahami maksud dari menyampaikan
SPT yang isinya tidak benar atau tidak lengkap sebagaimana diatur
dalam Pasal 39 ayat (1) huruf d UU KUP.
Sebagai contoh, atas tahun pajak 2019 WP melakukan dugaan
tindak pidana perpajakan. Ada dua delik yang disangkakan. Pertama,
tidak menyetorkan pajak yang telah dipotong atau dipungut (Pasal
39 ayat (1) huruf i UU KUP) sebesar Rp1 miliar. Kedua, menyampaikan
SPT Masa Pajak Pertambahan Nilai yang isinya tidak benar atau tidak
lengkap (39 ayat (1) huruf d UU KUP).
Setelah seluruh proses pemeriksaan bukti permulaan
dilaksanakan, diketahui sebagai berikut. WP tidak menyetorkan pajak
yang telah dipotong atau dipungut sebesar Rp1.000.000.000,00 (satu
154 } BUSUR
Pembahasan
Pasal 3 ayat (1) UU KUP menegaskan tentang kewajiban mengisi
SPT dengan benar, lengkap dan jelas, dalam bahasa Indonesia
MENGGALI PELUANG { 155
S
elain sebagai sumber energi utama bagi masyarakat, Minyak
dan Gas Bumi (Migas) merupakan salah satu sumber penting
dalam penerimaan negara Indonesia. Kontribusi Penerimaan Negara
Bukan Pajak (PNBP) Migas pada tahun 2019 mencapai Rp121,1
triliun sedangkan Pajak Penghasilan (PPh) Migas mencapai Rp59,2
triliun. Pada tahun 2020, dengan kondisi pandemi Covid-19, target
PNBP Migas adalah sebesar Rp53,3 triliun dan PPh Migas sebesar
Rp31,9 triliun.
Dalam menjalankan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi Migas,
pemerintah Indonesia bekerja sama dengan berbagai perusahaan
Hulu Migas di seluruh dunia. Hal ini disebabkan industri Hulu Migas
membutuhkan modal yang tidak sedikit dan teknologi yang canggih
sehingga belum dapat disediakan oleh pemerintah Indonesia
sepenuhnya. Risiko menjalankan kegiatan ini juga sangat besar,
sehingga tidak mungkin pemerintah menanggung seluruhnya
menggunakan belanja negara.
Dengan kontrak kerja sama Hulu Migas yang disepakati,
pemerintah Indonesia dan perusahaan Hulu Migas sebagai
Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) akan berbagi hasil lifting
Migas. Lifting ini sebelumnya akan dikurangkan biaya yang telah
dikeluarkan oleh KKKS. Selain itu, KKKS akan mendapatkan
pengembalian biaya yang telah dikeluarkan tersebut (cost recovery)
dalam bentuk lifting Migas.
158 } BUSUR
K
erja Sama Operasi (KSO) atau konsorsium atau sering dikenal
dengan nama Joint Operation (JO) adalah merupakan kerja sama
dua badan atau lebih yang bersifat sementara. Tugasnya hanya
melaksanakan satu pekerjaan (proyek) tertentu sampai proyek
tersebut selesai dilaksanakan.
Karena merupakan kerja sama dua badan atau lebih maka
dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan tidak dikategorikan
sebagai subjek pajak. Subjek Pajak dalam Pasal 2 ayat (1) UU Pajak
Penghasilan mengategorikan subjek pajak atas: Orang Pribadi,
Warisan yang belum terbagi sebagai kesatuan menggantikan yang
berhak, Badan, dan Bentuk Usaha Tetap.
Definisi Badan dalam penjelasan Undang-Undang PPh adalah
sekumpulan orang dan/atau modal yang merupakan kesatuan
baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha
yang meliputi perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan
lainnya, badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah
dengan nama dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi,
dana pensiun, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi
massa, organisasi sosial politik, atau organisasi lainnya, lembaga,
dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif dan
bentuk usaha tetap.
Maka, dapat dikatakan bahwa KSO bukan merupakan subjek
pajak dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan.
166 } BUSUR
Bentuk KSO
Bentuk KSO terbagi atas dua jenis yaitu: KSO bersifat administrasi
dan KSO bersifat bukan administrasi.
KSO Bersifat Administrasi apabila setiap kontrak dengan
pihak pemberi kerja (Project Owner) ditandatangani atas nama KSO
sehingga seolah-olah KSO merupakan entitas tersendiri terpisah dari
perusahaan para anggotanya.
Tanggungjawab pekerjaan terhadap pemilik proyek berada
pada entitas KSO, bukan pada masing-masing anggota KSO. Terkait
pembagian modal kerja atau pembiayaan, pengadaan peralatan,
tenaga kerja, serta pembagian hasil sehubungan dengan pelaksanaan
proyek didasarkan pada porsi pekerjaan masing-masing yang
disepakati dalam sebuah perjanjian KSO.
KSO Bersifat Bukan Administrasi, dalam praktiknya sering
disebut sebagai konsorsium, di mana kontrak dengan pemilik proyek
dibuat langsung atas nama masing-masing perusahaan anggota
sehingga KSO hanya bersifat sebagai alat koordinasi.
Tanggung jawab pekerjaan terhadap pemilik proyek berada
pada masing-masing anggota. Pendapatan dan biaya proyek
dibukukan oleh masing-masing anggota KSO. Tagihan ke pemilik
proyek diajukan sendiri oleh masing-masing anggota KSO atau dapat
juga diajukan melalui KSO namun faktur pajak dan bukti potong atas
nama perusahaan masing-masing.
Kewajiban Perpajakan
KSO bersifat administrasi tetap wajib memiliki Nomor Pokok
Wajib Pajak (NPWP). NPWP diperuntukkan dalam rangka pemenuhan
kewajiban perpajakan, yaitu: Pajak Pertambahan Nilai (PPN) apabila
melakukan penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) atau Jasa Kena Pajak
MENJAGA KINERJA { 167
B
anyaknya keputusan keberatan yang diajukan banding dengan
tingkat kemenangan pemohon banding yang relatif tinggi
merupakan penanda bagi Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk
mengevaluasi proses penelitian keberatan. Penyelesaian keberatan
yang transparan, akuntabel, dan efektif menjadi sebuah keharusan.
Digitalisasi proses penelitian keberatan menjadi salah satu jalan
untuk mencapainya.
Pandemi Coronavirus Disease 2019 (Covid-19) menjadi momentum
bagi DJP untuk berinovasi dan mempercepat upaya perubahan
pelayanan tanpa tatap muka atau secara daring. Salah satu inovasi
yang dilakukan adalah peluncuran e-objection pada tanggal 1 Agustus
2020 berdasarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER-14/
PJ/2020 tentang Tata Cara Penyampaian Surat Keberatan Secara
Elektronik. Hal ini memberikan wajib pajak dua pilihan saluran untuk
menyampaikan surat keberatan yaitu secara langsung (tatap muka)
di Kantor Pelayanan Pajak tempat wajib pajak terdaftar atau melalui
e-objection yang terdapat pada DJP Online sebagai saluran digital
yang menghubungkan wajib pajak dengan DJP.
Saat ini, e-objection pada DJP Online berfungsi sebatas saluran
dalam menyampaikan surat keberatan. Namun demikian, adanya
e-objection dapat menjadi batu pijakan untuk melakukan digitalisasi
dalam setiap tahapan proses penelitian keberatan yang diharapkan
170 } BUSUR
Dampak Digitalisasi
E-objection yang diharapkan berkembang menuju penelitian
keberatan secara digital, telah membuka jalan yang mudah dan
murah bagi wajib pajak untuk mengajukan keberatan atas surat
ketetapan pajak atau pemotongan dan pemungutan yang menurut
wajib pajak tidak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Hal
ini dapat meningkatkan kemungkinan wajib pajak mengajukan
keberatan sehingga perlu diantisipasi dengan menjaga kualitas hasil
pemeriksaan dan penanganan permohonan keberatan yang tepat.
Dengan terhubungnya tiga pihak dalam proses keberatan
secara digital diharapkan akan meningkatkan akurasi proses tersebut.
Keberatan yang diajukan secara digital oleh wajib pajak akan
secara otomatis terhubung dengan akun pemeriksa pajak, desktop
pemeriksaan, dan aplikasi ALPP yang memberi notifikasi untuk
menyediakan dokumen pemeriksaan terkait keberatan tersebut.
Dengan demikian, penelaah keberatan dapat membaca laporan
hasil pemeriksaan sebagai bahan untuk menyusun matriks sengketa
dan dapat meminta buku, catatan, dan informasi yang tepat kepada
wajib pajak.
Adanya jejak digital dalam setiap tahap penelitian keberatan juga
akan meningkatkan kehati-hatian setiap pihak dalam melaksanakan
proses penelitian keberatan. Argumentasi yang disampaikan oleh
wajib pajak pada saat mengajukan keberatan melalui e-objection akan
MENJAGA KINERJA { 173
P
embukuan merupakan hal penting yang lazim dilakukan
oleh setiap entitas. Pembukuan akan menghasilkan laporan
keuangan yang sangat berguna dalam pengambilan keputusan
suatu perusahaan. Dalam praktik perpajakan, pembukuan merupakan
sesuatu yang penting karena laporan keuangan yang merupakan
produk dari pembukuan akan menjadi dasar penghitungan pajak
yang terutang. Oleh karena itu, pembukuan perlu dilakukan dengan
benar, taat asas, dan patuh pada ketentuan yang berlaku.
Dalam ketentuan perpajakan, pada prinsipnya, pembukuan
wajib pajak (WP) harus dilakukan dalam bahasa Indonesia dan satuan
mata uang Rupiah. Namun, perkembangan bisnis memungkinkan WP
bertransaksi secara global. Untuk dapat menyesuaikan dengan praktik
internasional, ketentuan pajak Indonesia membuka kesempatan
bagi WP untuk melaksanakan pembukuan dalam bahasa dan mata
uang asing. Sampai dengan saat ini, bahasa dan mata uang yang
diperbolehkan untuk digunakan WP dalam pembukuan ialah bahasa
Inggris dan Dolar Amerika Serikat.
WP diwajibkan untuk mengajukan permohonan izin kepada
Menteri Keuangan sebelum menyelenggarakan pembukuan dalam
bahasa dan mata uang asing. Sedikitnya, terdapat delapan kriteria
WP yang dapat memanfaatkan fasilitas ini. Pertama, WP penanaman
modal asing (PMA). Kedua, bentuk usaha tetap (BUT). Ketiga, WP
MENJAGA KINERJA { 175
dalam bahasa Inggris dan mata uang Dolar Amerika Serikat dapat
dilakukan menggunakan sistem aplikasi. Selain memberikan
kemudahan bagi WP, penggunaan sistem tersebut akan memudahkan
Direktorat Jenderal Pajak untuk melaksanakan pengawasan atas
penyelenggaraan pembukuan yang dilakukan oleh WP.
Selaras dengan pendapat penulis di atas, pada akhir tahun 2020,
Direktur Jenderal Pajak telah menerbitkan peraturan pelaksanaan
yang salah satunya mengatur penggunaan tanda tangan digital yang
berimplikasi pada penyampaian maupun penyelesaian tindak lanjut
permohonan dan pemberitahuan yang dilakukan secara elektronik
melalui laman Direktorat Jenderal Pajak. Kebijakan tersebut
diharapkan dapat memberikan kemudahan baik kepada WP maupun
kepada Direktorat Jenderal Pajak.
Selain itu, untuk meningkatkan pemahaman WP terutama WP
Kontrak Karya dan WP KKKS Migas, diharapkan agar Direktorat
Jenderal Pajak aktif menginformasikan kewajiban pemberitahuan
pembukuan dalam bahasa Inggris dan mata uang Dolar Amerika
Serikat. Dengan melaksanakan hal tersebut, problematika pembukuan
mata uang asing yang selama ini masih terjadi akan dapat dihilangkan.
SPT Tahunan
Kantor Perwakilan?
Taripar Doly
K
antor perwakilan atau sering disebut dengan istilah Representative
Office (RO) atau Liaison Office (LO) adalah kantor yang dipimpin oleh
satu atau lebih perorangan warga negara asing (WNA) atau warga negara
Indonesia (WNI) yang ditunjuk oleh perusahaan asing atau gabungan
perusahaan asing di luar negeri sebagai perwakilan di Indonesia.
Kantor perwakilan perusahaan asing di Indonesia terdiri dari
empat macam yaitu: Kantor Perwakilan Perusahaan Asing (KPPA),
Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing (KP3A), Kantor
Perwakilan Badan Usaha Jasa Konstruksi Asing (BUJKA), dan Kantor
Perwakilan Perusahaan Asing Minyak dan Gas Bumi (KPPA Migas).
Kantor Perwakilan Perusahaan Asing (KPPA) adalah kantor yang
didirikan oleh perusahaan asing atau gabungan perusahaan asing
di negara lain sebagai perwakilannya di Indonesia, yang bertujuan
untuk mengurus kepentingan perusahaan afiliasinya dan untuk
mempersiapkan pendirian dan pengembangan usaha perusahaan
Penanaman Modal Asing (PT PMA).
KPPA yang didirikan melakukan penelitian pasar, hingga
melakukan penilaian apakah produk perusahaannya dapat dan
cocok dipasarkan di Indonesia. Setelah yakin bahwa produknya
dapat diterima dan berkembang di Indonesia, maka perusahaan
asing terkait dapat mendirikan PT PMA tersebut.
Kantor Perwakilan Perusahaan Perdagangan Asing (KP3A)
adalah kantor yang dipimpin oleh perorangan WNI atau WNA yang
180 } BUSUR
S
alah satu manfaat Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda
(P3B) dapat berupa penurunan tarif PPh atau pembebasan
dari pengenaan PPh di yurisdiksi sumber penghasilan. Prosedur
administratif pemberian manfaat P3B di Indonesia perlu dirumuskan
kembali dengan mempertimbangkan asas proporsionalitas.
Bukan tanpa alasan, dimasukkannya asas proporsionalitas
dalam formulasi kebijakan terkait pada masa yang akan datang,
diharapkan dapat lebih memberikan kepastian hukum (certainty).
Selain itu, untuk mengedepankan prinsip keadilan (fairness) dalam
alokasi beban administratif (administrative cost) kepada administrasi
perpajakan atau Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan beban kepatuhan
(compliance cost) bagi pemotong PPh Pasal 26. Untuk memastikan
bahwa pemberian manfaat P3B hanya diberikan kepada pihak yang
berhak dan atas transaksi yang bonafide.
Pengadopsian asas proporsionalitas dalam mekanisme
penerapan P3B ini pada akhirnya juga diharapkan akan mengurangi
sengketa pajak yang hanya akan menyebabkan penggunaan sumber
daya di pihak DJP dan pemotong PPh Pasal 26 menjadi tidak efisien.
Mekanisme Pemotongan
Berbeda halnya dengan pembayar pajak dalam negeri dan SPLN
yang memiliki BUT di Indonesia, mekanisme self-assessment untuk
SPLN yang tidak memiliki BUT di Indonesia, selanjutnya disingkat
184 } BUSUR
bersumber dari suatu yurisdiksi misalnya, jika aset atau harta yang
mendatangkan suatu penghasilan terletak atau berada di yurisdiksi
dimaksud. Contoh lain, untuk jenis penghasilan berupa dividen,
bunga, dan royalti, yurisdiksi sumber pengasilan tersebut adalah
yurisdiksi pihak yang melakukan pembayaran atas jenis-jenis
penghasilan tersebut. Di Indonesia, yurisdiksi sumber penghasilan
dapat dilihat dalam Pasal 24 Undang-Undang PPh.
Di dalam ketentuan P3B sendiri, tidak terdapat pasal yang
mengatur mengenai cara yurisdiksi sumber memberikan manfaat
P3B kepada penduduk yurisdiksi residen. Namun begitu, commentary
atas Pasal 1 Model OECD memberikan petunjuk.
Dalam terjemahan bebas, paragraf commentary di atas
menjelaskan sebagai bahwa suatu P3B tidak mengatur mengenai
prosedur atau mekanisme penerapan batasan tarif atau pembebasan
dari pemajakan di yurisdiksi sumber. Dengan demikian, masing-masing
yurisdiksi dapat memilih mekanisme pemberian manfaat P3B sesuai
dengan hukum domestiknya. Meskipun begitu, secara umum,
pemberian manfaat P3B melalui penurunan tarif atau pembebasan
pada level pemotongan dianggap lebih disukai karena pemberian
manfaat P3B ini dapat dilakukan secara lebih cepat. (OECD, 2017)
Asas Proporsionalitas
Selain aspek keadilan dan kepastian hukum yang selalu dijadikan
pertimbangan dalam pembuatan suatu kebijakan perpajakan, terdapat
asas proporsionalitas yang tidak kalah pentingnya. Terlebih lagi ketika
negara melalui peraturan perundang-undangan memberikan beban
tambahan kepada pihak yang dituju oleh kebijakan tersebut.
Asas proporsionalitas merupakan salah satu asas utama dalam
hukum publik modern. Meskipun belum banyak disinggung dalam
literatur hukum perpajakan, relevansi untuk memasukkan asas
proporsionalitas ini ke dalam pembuatan kebijakan atau regulasi di
bidang perpajakan semakin mendapatkan tempat.
Adam Zalasiński (2014) berpendapat asas proporsionalitas
dalam bidang perpajakan berperan untuk menentukan besarnya
kewenangan negara untuk memungut pajak dan menentukan
ruang lingkup atau batasan-batasannya. Hal ini diperlukan karena
kewenangan untuk memungut pajak tersebut dapat berakibat pada
berkurangnya hak konstitusional pembayar pajak, khususnya hak
kebendaan (property rights).
Selain itu, asas proporsionalitas ini berperan untuk menjaga
keseimbangan kewenangan negara untuk memungut pajak dalam
rangka pembiayaan pengeluaran publik. Di sisi lain, asas ini
diperlukan untuk mencegah timbulnya kesewenang-wenangan
yang dapat merugikan hak konstitusional pembayar pajak secara
tidak proporsional.
Asas proporsionalitas juga semakin relevan dalam pembuatan
kebijakan sebagai akibat semakin berkembangnya kesadaran
188 } BUSUR
Pembahasan
Dalam ketentuan P3B, pengaturan utama mengenai pihak yang
mendapatkan manfaat P3B diatur dalam beberapa pasal (articles).
Article 1 – Persons Covered mengatur bahwa hanya orang atau badan
(persons) yang merupakan penduduk dari yurisdiksi yang terikat
dalam P3B yang dapat memanfaatkan P3B dimaksud. Dengan
demikian, penduduk di luar yurisdiksi yang terikat dalam P3B tidak
dapat mengklaim P3B tersebut dengan beberapa pengecualian
misalnya terkait Article 24 – Non-Discrimination.
Selanjutnya, Article 2 – Taxes Covered mengatur bahwa orang
atau badan hanya dapat memanfaatkan P3B untuk jenis pajak yang
diatur dalam ruang lingkup (scope) suatu P3B yang umumnya hanya
mencakup pajak atas penghasilan. Hal ini berarti, untuk jenis pajak
MENJAGA KINERJA { 189
Part V butir 7 – The entity has its own management to conduct the
business and such management has an independent discretion.
Penulis sangsi jika ada WPLN penerima penghasilan yang akan
menjawab negatif (tidak) ada atas pertanyaan ini. Contoh lain, terkait
pertanyaan (pernyataan) pada Part V butir 9 – The entity has sufficient
and qualified personel to conduct the business. Bagi WPLN yang hanya
memiliki satu pegawai pun sepertinya akan tetap menjawab afirmatif
atas pertanyaan ini.
Dengan demikian, yang terjadi adalah penelitian yang dilakukan
pemotong PPh Pasal 26 atas Form DGT yang diterima maksimal hanya
merupakan penelitian formal atas kesesuaian pengisiannya saja.
Sebagai perbandingan, IRS Amerika Serikat tidak mengenakan sanksi
kepada pihak pembayar penghasilan yang ditunjuk sebagai pemotong
pajak jika terdapat kesalahan (dengan kesengajaan) dalam pengisian
formulir klaim manfaat P3B, bukti, atau pernyataan yang dilakukan
oleh penerima penghasilan sepanjang pihak pembayar penghasilan
tidak memiliki pengetahuan atau alasan untuk mengetahui terjadinya
kesalahan tersebut.
Berdasarkan PER-28/PJ/2018 dan Peraturan Direktur Jenderal
Pajak sebelumnya yang substansi pengaturannya kurang lebih sama,
kesalahan pemotongan PPh Pasal 26 sepenuhnya menjadi beban
yang harus ditanggung oleh pemotong PPh Pasal 26 itu sendiri.
Meskipun penulis tidak memiliki data pastinya, diperkirakan
kesalahan pemotongan PPh Pasal 26 (dari perspektif DJP) diperkirakan
cukup banyak dan dengan nilai yang cukup signifikan. Hal ini bisa
dilihat dari banyaknya sengketa banding di Pengadilan Pajak dan
peninjauan kembali PPh Pasal 26 di Mahkamah Agung.
Meskipun pihak-pihak yang ditetapkan sebagai pemotong
PPh Pasal 26 sudah ditetapkan oleh Undang-Undang PPh, namun
MENJAGA KINERJA { 195
Simpulan
Penulis mengusulkan agar pemberian manfaat P3B di tingkat
pemotongan sebagaimana diatur dalam PER-28/PJ/2018 untuk dapat
ditinjau ulang dengan mempertimbangkan aspek beban administrasi
dan beban kepatuhan dan aspek pengamanan penerimaan dengan
memastikan bahwa manfaat P3B hanya diberikan untuk SPLN
yang berhak dan atas transaksi yang bonafide. Selain itu, asas
proporsionalitas pemberian beban untuk melakukan pemotongan
pajak kepada pemotong PPh Pasal 26 di dalam negeri perlu
mendapatkan perhatian khusus.
Agar prosedur pemberian manfaat P3B ini tetap dapat dilakukan
sesuai dengan pengaturan yang ada dalam Undang-Undang PPh
dan tetap sejalan dengan rekomendasi sebagaimana terdapat dalam
Commentary Model OECD yang penulis kutip di bagian sebelumnya,
penulis mengusulkan agar pemberian manfaat P3B di tingkat
pemotongan ini dilakukan berdasarkan besaran risiko untuk tiap-tiap
transaksi pembayaran atau pemberian penghasilan kepada SPLN
(risk-based relief ).
Untuk transaksi yang tidak terlalu berisiko, pemberian
manfaat P3B dapat dilakukan langsung di tingkat pemotongan oleh
pemotong PPh Pasal 26 meskipun tetap didahului dengan prosedur
penelitian yang tidak terlalu dalam. Sementara untuk transaksi yang
yang dianggap berisiko tinggi, pemberian manfaat P3B ini dapat
dilakukan melalui mekanisme pengembalian pajak yang seharusnya
tidak terutang.
196 } BUSUR
D
alam sistem administrasi perpajakan nasional, ada wajib pajak
(WP) terregistrasi sebagai industri minyak goreng kelapa
sawit (10432), yakni yang mencakup usaha pengolahan lebih
lanjut (pemurnian, pemucatan, dan penghilangan bau yang tidak
dikehendaki) dari minyak mentah kelapa sawit atau crude palm oil
(CPO) menjadi minyak goreng kelapa sawit.
Namun, pada kenyataannya WP tersebut seharusnya berkode
lapangan usaha (KLU) 10431 atau industri minyak makan kelapan sawit
(crude palm oil). Proses transformasi tandan buah segar (TBS) kelapa
sawit menjadi CPO sangat berbeda dengan proses penyulingan CPO
menjadi minyak goreng. Mesin dan peralatannya pun berbeda. WP
seperti ini banyak terdaftar di kantor pelayanan pajak yang mengurusi
perusahaan modal asing (PMA).
KLU yang ada sepertinya belum dapat mendefinisikan secara
jelas jenis usaha WP. Hal ini bisa mengakibatkan hilangnya potensi
pajak yang cukup besar, khususnya berkaitan dengan penyusutan
aktiva tetap, terutama pengelompokan mesin yang digunakan dalam
industri yang bersangkutan.
Mengapa hal ini bisa terjadi? Kondisi ini erat kaitannya dengan
penggunaan mesin. Dalam tulisan ini, Penulis akan membahasnya
dihubungkan dalam industri makanan atau kimia. Peraturan perpajakan
terkaitnya, Peraturan Menteri Keuangan Nomor 96/PMK.03/2009
198 } BUSUR
M
enteri Keuangan telah mengeluarkan peraturan baru terkait
penagihan pajak melalui Peraturan Menteri Keuangan Nomor
189/PMK.03/2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Penagihan Pajak
atas Jumlah Pajak Yang Masih Harus Dibayar (PMK-189). Berbeda
dengan peraturan sebelumnya, PMK-189 ini mengatur tentang
penagihan pajak secara lebih detail, di mana semua jenis penagihan
pajak dijelaskan secara rinci, mulai dari proses Surat Teguran sampai
dengan Penyanderaan. Tentu kita tidak akan membahas semua jenis
penagihan pajak tersebut karena alurnya sangat panjang. Fokus kita
pada tindakan pemblokiran dan Penyitaan.
Undang-Undang Penagihan Pajak dengan Surat Paksa (UU
PPSP) menyebutkan bahwa Penyitaan adalah tindakan Juru Sita Pajak
untuk menguasai barang Penanggung Pajak, guna dijadikan jaminan
untuk melunasi utang pajak menurut peraturan perundang-undangan.
Barang apa yang boleh disita juga dijelaskan dalam UU PPSP, salah
satunya adalah saham. Saham terbagi menjadi dua, yaitu saham yang
diperdagangkan di bursa efek dan yang tidak diperdagangkan di
bursa efek. Tulisan ini lebih berfokus pada pemblokiran dan penyitaan
saham yang diperdagangkan di bursa efek.
Bagaimana proses pemblokiran dan penyitaan saham yang
dimiliki oleh Wajib Pajak maupun Penanggung Pajak? Hal ini akhirnya
dijelaskan dalam PMK-189, bahwa Juru Sita melaksanakan penyitaan
terhadap surat berharga yang diperdagangkan di Lembaga Jasa
MENJAGA KINERJA { 205
S
istem perpajakan di Indonesia menganut sistem self assessment,
yaitu wajib pajak menghitung, memperhitungkan, menyetorkan
dan melaporkan pajak yang terutang. Sementara Direktorat Jenderal
Pajak (DJP) hanyalah mengawasi melalui serangkaian tindakan
pengawasan maupun penegakan hukum (pemeriksaan dan
penyidikan pajak).
Untuk memenuhi kewajiban perpajakan tersebut, sangat
diperlukan pengetahuan perpajakan dari wajib pajak. Meskipun tidak
ada data pasti tentang tingkat pengetahuan masyarakat mengenai
perpajakan, namun kita sering mendengar pandangan masyarakat
bahwa pajak adalah sesuatu yang rumit dan tidak mudah.
Walaupun tidak ada bukti empiris, namun masih adanya
kesalahan pengisian maupun keterlambatan penyampaian Surat
Pemberitahuan (SPT) Tahunan maupun SPT Masa menjadi gambaran
bahwa masyarakat kita masih kurang menguasai ilmu perpajakan.
Hal ini berpotensi mengakibatkan dikenakannya sanksi administrasi
ataupun denda kepada Wajib Pajak.
Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan
(UU KUP) telah memberikan ruang untuk mengatur ketentuan
pengurangan sanksi administrasi yaitu dalam Pasal 36 UU KUP, yaitu:
Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak karena jabatan atau permohonan Wajib
Pajak dapat mengurangkan atau menghapuskan sanksi administrasi
berupa bunga, denda, dan kenaikan yang terutang sesuai dengan
MENJAGA KINERJA { 209
transaksi bisnis wajib pajak. Namun sayangnya, hal ini tidak termasuk
dalam pengertian yang diatur dalam UU perpajakan.
Regulasi lebih lanjut mengenai ketentuan Pasal 36 UU
KUP ada dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Terdapat
beberapa PMK mengenai Pengurangan atau Penghapusan Sanksi
Administrasi antara lain: PMK Nomor 8/PMK.03/2013 tentang Tata
Cara Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi dan
Pengurangan atau Pembatalan Surat Ketetapan Pajak atau Surat
Tagihan Pajak, PMK Nomor 29/PMK.03/2015 tentang Penghapusan
Sanksi Administrasi Bunga, serta PMK Nomor 91/PMK.03/2015
tentang Pengurangan atau Penghapusan Sanksi Administrasi atas
Keterlambatan Penyampaian Surat Pemberitahuan, Pembetulan Surat
Pemberitahuan, dan Keterlambatan Pembayaran atau Penyetoran
Pajak. Peraturan Menteri Keuangan tersebut merupakan ketentuan
pelaksanaan Pasal 36 ayat (1) huruf a yang merupakan wewenang
atributif dari Menteri Keuangan.
Dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut terdapat
pengaturan tentang batasan unsur khilaf atau kesalahan wajib
pajak yang dapat dilakukan pengurangan atau penghapusan ada
yang tidak.
Dalam PMK Nomor 91/PMK.03/2015 mengatur bahwa yang
termasuk dalam unsur khilaf atau bukan kesalahan wajib pajak
terbatas atas: pertama, keterlambatan penyampaian SPT Tahunan
Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya dan/
atau SPT Masa untuk Masa Pajak Desember 2014 dan sebelumnya.
Kedua, keterlambatan pembayaran atau penyetoran atas
kekurangan pembayaran pajak yang terutang berdasarkan SPT
Tahunan Pajak Penghasilan untuk Tahun Pajak 2014 dan sebelumnya.
MENJAGA KINERJA { 211
H
ubungan fiskus dengan wajib pajak (WP) di Indonesia kerap kali
disebut mirip hubungan Tom and Jerry. Keduanya senantiasa
bertengkar dan tidak pernah akur. Fiskus menganggap WP tidak jujur
dan berusaha untuk mengecilkan kewajiban pajaknya. Sementara,
WP merasa sudah jujur pun masih dikejar-kejar oleh fiskus.
Hal ini yang barangkali dirasakan oleh WP. Fiskus saat ini
menganut pendekatan penegakan hukum yang mana otoritas
pajak memaksa WP mematuhi ketentuan perpajakan dengan cara
melakukan pemeriksaan dan mengenakan sanksi. Tentu, hubungan
seperti itu tidak sehat dan hal ini disadari oleh berbagai pihak yang
berkecimpung di bidang perpajakan.
Selain itu, bertambahnya beban untuk meningkatkan kepatuhan
pajak di tengah keterbatasan sumber daya yang dimiliki otoritas pajak
memaksa otoritas pajak untuk memperkenalkan pola baru dalam
hubungan antara fiskus dengan WP. Pola baru hubungan otoritas pajak
dengan wajib pajaknya itu disebut cooperative compliance. Di beberapa
negara Eropa sendiri sudah mulai mengenalnya sejak tahun 2008.
Cooperative compliance model awalnya muncul pada pertemuan
Forum on Tax Administration (FTA) OECD pada tahun 2008. Saat itu
muncul desakan agar otoritas pajak menghadirkan pola baru dalam
hubungannya dengan WP besar berdasarkan rasa saling percaya
(trust) dan kerjasama (cooperation). Saat itu model ini diberi nama
“enhanced relationship”.
214 } BUSUR
masalah perpajakan dengan otoritas pajak secara regular. Hal ini bisa
mengurangi secara signifikan kemungkinan terjadi sengketa pajak.
Kedua, manajemen risiko yang lebih terukur dan mudah.
Masalah perpajakan telah terintegrasi dalam proses perpajakan WP
dan didukung oleh kontrol dari otoritas pajak sehingga risiko relatif
lebih terkontrol.
Ketiga, mengurangi biaya kepatuhan. Berkurangnya kemungkinan
sengketa juga membuat biaya kepatuhan menjadi lebih kecil.
WP bisa menghindari kemungkinan terkena denda administrasi,
bisa menyampaikan SPT secara lebih cepat, bisa mengurangi
ketergantungan kepada konsultan pajak, dan turunnya sengketa
pajak otomatis juga menurunkan biaya sanksi berupa denda akibat
sengketa pajak.
Keempat, dialog yang lebih baik. Audit pajak apabila diperlukan,
akan dilakukan secara lebih fokus dan dilakukan lebih nyaman. Dialog
dengan otoritas pajak juga akan meningkat secara subtansial.
Kelima, reputasi terjaga. WP bisa memperoleh manfaat reputasi
yang baik atau bahkan meningkat. Pemangku kepentingan akan
menilai perusahaan sebagai partner terpercaya dan warga negara
yang baik. Pemegang saham dan investor akan memperoleh
keyakinan yang lebih baik tentang investasinya.
Keenam, iklim investasi yang lebih baik. Meningkatnya
hubungan baik antara WP dan otoritas pajak akan mendorong
investasi karena investor merasa mendapatkan kepastian perpajakan
terhadap investasinya.
Otoritas pajak juga bisa mendapatkan berbagai manfaat dari
hubungan ini. Di antaranya sebagai berikut. Pertama, meningkatkan
kepatuhan pajak. Cooperative compliance memberikan sebuah negara
dengan keunggulan kompetitif. Peningkatan kepatuhan dilakukan
216 } BUSUR
B
elum lama ini, publik kembali dikejutkan oleh berita kasus suap
pajak yang ditengarai melibatkan pegawai pajak berinisial APA
dan DR. Meski belum sepenuhnya terungkap, kasus ini menambah
panjang kasus fraud di Direktorat Jenderal Pajak (DJP). Sebelumnya,
beberapa kasus suap pajak juga terjadi dan melibatkan pegawai yang
memiliki akses langsung terhadap hasil pemeriksaan pajak..
Risiko terjadinya fraud atau kecurangan dalam organisasi hampir
selalu menjadi risiko utama yang harus menjadi prioritas mitigasi
karena akan berdampak pada rusaknya reputasi organisasi. Kasus
penyuapan pegawai pajak juga telah merusak reputasi DJP. Rusaknya
reputasi ini akan berdampak pada ketidakpercayaan masyarakat untuk
patuh membayar pajak. Ujung-ujungnya, penerimaan pajak menjadi
rendah dan kebutuhan negara untuk membiayai pembangunan tidak
dapat disokong lagi oleh pajak, sehingga negara harus mencari
sumber-sumber pembiayaan di luar pajak.
Mengapa fraud masih terus terjadi, padahal berbagai perangkat
pengendalian internal telah diterapkan di Kementerian Keuangan
(Kemenkeu), baik itu perbaikan proses bisnis, penerapan manajemen
risiko, pengawasan oleh Unit Kepatuhan Internal, maupun penerapan
kode etik serta kode perilaku? Bahkan untuk memitigasi risiko fraud
akibat tingginya tekanan kebutuhan ekonomi, kepada pegawai
Kemenkeu sudah diberikan penghasilan yang cukup tinggi dalam
bentuk tunjangan kinerja.
MENJAGA KINERJA { 219
PRESSURE
OPPORTUNITY RATIONALIZATION
Buku yang memuat kumpulan tulisan opini pegawai ini, merupakan bagian dari
dua buku karya “Jakarta Khusus Menulis”, yang berisi ide, gagasan, dan pendapat
terkait kebijakan, peraturan, dan proses bisnis yang dilaksanakan oleh Direktorat
Jenderal Pajak. Kumpulan tulisan yang dihasilkan pada saat Indonesia terdampak
serangan virus Covid-19 ini, banyak dipengaruhi oleh persoalan sekitar kebijakan
dan sikap penulis terhadap dampak pandemi.
Busur, yang merupakan alat yang untuk melesatkan anak panah menuju sasaran
yang ditetapkan, dirasa tepat untuk merepresentasikan isi buku. Bagi Direktorat
Jenderal Pajak, kebijakan, peraturan, dan proses bisnis yang tepat dan sesuai
untuk dijalankan, adalah kelengkapan atau alat yang berfungsi sebagai
pendorong untuk mencapai kinerja terbaiknya, layaknya sebuah busur.
ISBN 978-623-97203-0-8
DIREKTORAT JENDERAL PAJAK
Jalan Gatot Subroto, Kav. 40-42,
Jakarta 12190
Indonesia
Telp: (+62) 21 - 525 0208 9 7 8 6 2 3 9 7 2 0 3 0 8