Anda di halaman 1dari 2

Sejarah Tari Pho.

Suatu Ketika di Blang Pidie, Aceh Selatan.

Si Malelang punya adik sepupu perempuan yang ibu dan ayahnya telah


meninggal. Gadis itu dijodohkan dengan si Malelang. Untuk persiapan perayaan
perkawinan buah hatinya, sejaka si Malelang kecil, sang ibu sudah menanam
pinang, sirih, dan inai.

Namun, saat tumbuh dewasa, adik sepupu si Malelang berwajah cantik sehingga
ada seorang pemuda di sana yang amat sangat suka padanya.

Ketika hari perkawinan yang direncanakan mendekat, ibu si Malelang ingin


mengundang tetangga, kerabat, pembesar kampung dan warganya. Sebagai
mana adat di bagian Barat dan Selatan Aceh, mengundang orang untuk
menghadiri kenduri harus dengan sirih yang tersusun rapi berserta kapur dan
pinang di dalam puan.

Ibu minta si Malelang panjang pinang, setiap dipetik dijatuhkannya. Si adik


sepupu datang mencari calon suaminya. Begitu ia tahu Malelang di kebun
pinang, maka ia mencari ke kebun yang dimaksud. Namun, dalam perjalanan, di
tebing terjal, gadais itu terjatuh dan terkena duri di pangkal pahanya sampai
berdarah.

Saat itu, anak muda yang amat sangat suka pada dia, melihat kejadian itu, lalu si
pemuda berlarian ke kampung dan menyampaikan fitnah kepada hulu balang
kampung dan rakyat, bahwa si Malelang telah memperkosa si gadis, dengan
bukti ada darah di pahanya.

Walhasil, si Malelang dan tunangannya dijatuhi hukum pancung oleh hulu


balang. Saat hendak dihukum, datanglah ibu si Malelang, ia meratap sehingga
mirip sebuah nyanyian yang bersajak. Si ibu minta kepada hulu balang supaya
mengizinkan keduanya menikah dan mengadakan pesta tujuh hari tujuh malam
sebagaimana direncanakan lagi pula ia sudah mengundang orang-orang. Hulu
balang memenuhi permintaan tersebut.

Si Malelang minta ibunya membuat sambal daun encek gondok yang dalam
bahasa di sana disebut bungong crot atau bungong yoh.

Beginilah ratapan ibu si Malelang yang malang:


"O bineuk sinyak dong di rot
kapot bungong crot pasoe lam ija
juloh juloh ie mon blang pidie
tujoh pucok jok keu taloe tima
O bineuk lon balek laen
puteh licen seuot beurata
Halo halo hai di kutidi
hai kumbang dodi oi kumbang dodi"

Ibu si Malelang ini meratap seraya menari-nari, para ibu lain yang melihatnya
pun ikut hanyut dalam maha duka temannya, mereka ikut meratap dengan syair
tersebut dan ikut menari bersama ibu si Malelang. Lama kelamaan gerakan
mereka teratur mirip sebuah tarian.

Setelah si Malelang dan sepupunya menikah dan mengadakan pesta 7 hari tujuh
malam, mereka dihukum. Setelahnya, ratapan dan gerakan ibu si Malelang
bersama para ibu-ibu yang lain diulangi ketika mereka ingat kemalangan yang
menimpa si Malelang dan kekasihnya. Lambat laun, syair dan gerakan itu
menjadi tarian.

Anda mungkin juga menyukai