MAKALAH Studi Kasus Interaksi Obat
MAKALAH Studi Kasus Interaksi Obat
INTERAKSI OBAT
Disusun oleh:
Kelompok 5
Erna Erliawati 10334036
Ade Hikmawati 11334748
Nanci Sitorus 12334718
Aditya Hadi Kencana 12334724
Anggit Dea Ramaswara 12334730
Tjatur Djoko Wibowo 12334731
Renggo Saputra Rahman 12334733
Rizky Alfiani Chasanah 12334743
Alin Nailul Muna 12334748
Dosen Pembimbing :
1
2013
2
DAFTAR ISI
halaman
DAFTAR ISI.............................................................................................. 2
A. Simpulan.................................................................................. 30
B. Saran....................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA
3
BAB I
PENDAHULUAN
Interaksi obat adalah perubahan efek suatu obat akibat pemakaian obat lain
(interaksi obat-obat) atau oleh makanan, obat tradisional dan senyawa kimia lain.
Interaksi obat yang signifikan dapat terjadi jika dua atau lebih obat digunakan
bersama-sama.
Interaksi obat dan efek samping obat perlu mendapat perhatian. Sebuah studi
di Amerika menunjukkan bahwa setiap tahun hampir 100.000 orang harus masuk
rumah sakit atau harus tinggal di rumah sakit lebih lama dari pada seharusnya, bahkan
hingga terjadi kasus kematian karena interaksi dan/atau efek samping obat. Pasien
yang dirawat di rumah sakit sering mendapat terapi dengan polifarmasi (6-10 macam
obat) karena sebagai subjek untuk lebih dari satu dokter, sehingga sangat mungkin
terjadi interaksi obat terutama yang dipengaruhi tingkat keparahan penyakit atau usia.
4
Selain itu faktor penyakit tertentu terutama gagal ginjal atau penyakit hati
yang parah dan faktor-faktor lain (dosis besar, obat ditelan bersama-sama,
pemberian kronik).
Dalam makalah ini penulis tertarik untuk menulis mengenai interaksi obat dan
makanan terhadap penderita diabetes mellitus tipe II.
5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
DIABETES MELLITUS
A. Definisi
B. Epidemiologi
Jumlah penderita diabetes diseluruh dunia, menurut data tahun 1993 adalah
100 juta, yang berarti suatu kenaikan 3 kali lipat dibandingkan tahun 1987. Di
Indonesia, angka kejadian diabetes berkisar 1-2 % berarti satu di antara 50 – 100
penduduk Indonesia menderita diabetes. Salah satu factor yang diduga meningkatkan
kejadiannya di Asia dan Afrika adalah adanya perubahan yang nyata dalam pola
makan, yaitu yang banyak nerlemak dengan kurang sayur, kegemukan, dan hidup
yang sangat santai (Hartati,2002).
6
menderita DM, 25 % jika salah satu orang tua menderita DM dan 45 % jika kedua
orang tua menderita DM (Darmono,2000).
a. Sekresi Insulin
Selain faktor genetik, patogenesis DM tipe 2 juga dihubungkan dengan
gangguan sekresi insulin. Semua penelitian menunjukkan bahwa pada fase
awal penderita dengan DM tipe 2 memiliki kadar insulin yang normal atau
meningkat, yang kemudian dihubungkan dengan terjadinya obesitas meski
obesitas tidak selalu terjadi. Peningkatkan kadar insuli ini menunjukkan
bahwa pada saat itu lebih banyak insulin harus disekresikan untuk
mempertahankan kadar glukosa darah dalam batas normal. Selanjutnya
kadar insulin menjadi normal, baik dalam proporsi proinsulin maupun
bioaktivitasnya. Meski kadar insulin normal, abnormalitas sekresi insulin
dapat diidentifikasi setelah stimulasi sel β pankreas dengan cara
memberikan glukosa intra vena. Di mana kadar insulin meningkat akan
tetapi glukosa darah tetap normal, menunjukkan adanya resistensi insulin.
Pada fase kedua, resistensi insulin cenderung memburuk sehingga
meskipun konsentrasi insulin meningkat, tampak bentuk intoleransi
glukosa dalam bentuk hiperglikemia setelah makan. Bagi beberapa
penderita intoleransi glukosa ini dapat bertahan bertahun – tahun
berkembang menjadi DM, tapi bagi sebagian penderita, ini adalah fase
intermediate sebelum menjadi diabetes. Umumnya pasien tidak memiliki
keluhan, akan tetapi perubahan makroangiopati dan lesi – lesi vaskuler
telah dapat ditemukan dalam fase ini. Akhirnya pada fase ketiga, resistensi
insulin tidak berubah tetapi sekresi insulin menurun dengan akibat kadar
glukosa darah yang sangat tinggi menyebabkan hiperglikemia puasa dan
diabetes yang nyata (Sylvia,1995).
b. Resistensi Insulin
Kadar insulin plasma yang normal atau meningkat pada penderita DM tipe
2 menunjukkan resistensi insulin yang muncul sebagai akibat adanya defek
pada beberapa tehapan kerja insulin. Dalam keadaan normal, insulin
terikat pada resepto di membrane sel yang selanjutnya mentransmisikan
second messenger untuk memulai perubahan metabolism glukosa didalam
sel. Pada DM tipe 2 ddefek pertama adalah adanya penurunan jumlah
respetor insulin, sedangkan defek kedua adalah adanya defek pada
7
pengiriman sinyal/ pesan intraseluler yang diduga terkait dengan
abnormalitas metabolism karbohidrat (Sylvia,1995).
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis diabetes mellitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolic
defisiensi insulin. Pasien – pasien yang mengalami defisiensi insulin tidak dapat
mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal, atau toleransi glukosa
sesudah makan karbohidrat. Jika hiperglikemianya parah dan melebihi ambang ginjal,
maka timbul glukosuria. Dlukosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotic yang
meningkatkan diuresis osmotic yang meningkatkan pengeluaran kemih (poliuri) dan
timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama kemih, maka pasien
mengalami keseimbangan kalori negative dan berat badan berkurang. Polifagi akan
timbul sebagai akibat kehilangan kaloi. Pasien mengeluh lelah dan mengantuk. Pada
pasien NIDDM(non insulin dependent diabetes mellitus) mungkin sama sekali tidak
memperlihatkan gejala apapun, dan diagnosis hanya dibuat berdasarkan pemeriksaan
darah di laboratorium dan melakukan tes toleransi glukosa. Pertolongan medis paling
sering dicari karena gejala yang berkaitan dengan hiperglikemia, tetapi kejadian
pertama mungkin berupa dekompensasi metabolic akut yang menyebabkan koma
diabetik. Kadang – kadang penampakan awal berupa penyulit degenerative seperti
neuropati tanpa hiperglikemia bergejala (Kapita Selekta,2001).
E. Diagnosis
Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuri,
polidipsi, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya.
Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah kelemahan, kesemuten, gatal,
mata kabur, dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulvae pada pasien wanita. Jika
keluhan khas, pemeriksaan glukosa darah sewaktu ≥ 200 mg/dl sudah cukup untuk
menegakkan diagnosis DM. untuk kelompok tanpa keluhan khas DM, hasil pemeriksaan
glukosa darah yang baru satu kali saja abnormal, belum cukup kuat untuk menegakkan
8
diagnosis DM. diperlukan pemastian lebih lanjut dengan mendapat sekali lagi angka
abnormal, baik kadar glukosa darah puasa ≥ 126 mg/dl, kadar glukosa darah sewaktu ≥
200 mg/dl pada hari ini, atau dari hasil tes toleransi glukosa oral (TTOG) didapatkan
kadar glukosa darah pasca pembebanan ≥ 200 mg/dl (Perkeni,2006).
9
( berkeringat, gemetar, sakit kepala, dan palpitasi); juga akibat kekurangan glukosa
dalam otak( tingkah laku yang aneh, sensorium yang tumpul dan koma).
Komplikasi vascular jangka panjang dari diabetes melibatkan pembuluh –
pembuluh kecil mikroangiopati dan pembuluh – pembuluh sedang dan besar
makroangiopati. Mikroangiopati merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang
kapiler dan arteriola retina( retinopati diabetic), glomerulus ginjal ( nefropati diabetic)
dan saraf – saraf perifer (neuropati diabetic), otot – otot dan kulit. Dipandang dari
sudut histokimia, penebalan ini disertai oleh peningkatkan penimbunan glikoprotein.
Selain itu, karena senyawa kimia dari membrane dasar berasal dari glukosa, maka
hiperglikemia menyebabkan bertambahnya kecepatan pembentukkan sel – sel
membrane dasar. Penggunaan glukosa dari sel – sel ini tidak membutuhkan insulin
(Perkeni,2006).
FARMAKOLOGI
A. Farmakokinetik
1. Absorpsi
Absorpsi adalah proses masuknya obat dari tempat pemberian ke
dalam darah. Bergantung dari cara pemberiannya, tempat pemberian
obat adalah saluran cerna ( mulut sampai dengan rectum), kulit, paru,
otot, dan lain – lain. Yang terpenting adalah cara pemberian obat per
oral, dengan cara ini tempat absorpsi utama adalah usus halus karena
memiliki permukaan absorpsi yang sangat luas.
Pemberia obat dibawah lidah hanya untuk obat yang larut dalam
lemak, karena luas absorpsinya kecil, sehingga obat harus melarut dan
diabsorpsi dengan sangat cepat, misalnya nitroglisin.
Absorbsi sebagian besar obat secara difusi pasif, maka sebagian barier
absorpsi adalah membrane sel epitel saluran cerna, yang seperti halnya
semua membrane sel tubuh kita, merupakan lipid bilayer. Dengan
demikian, agar dapat melintasi membrane sel tersebut, molekul obat
harus memiliki kelarutan lemak(setelah terlebih dahulu larut dalam
air). Kecepatan difusi berbanding lurus dengan derajat kelarutan lemak
molekul obat ( selain dengan perbedaan kadar obat lintas membrane,
10
yang merupakan driving force proses difusi, dan dengan luasnya area
permukaan membrane difusi).
Kebanyakan obat merupakan elektolit lemah, yakni asam lemah atau
basa lemah. Dalam air, elektolit lemah ini akan terionisasi menjadi
bentuk ionnya. Derajat ionisasi obat tergantung pada konstanta ionisasi
obat dan pH larutan di mana obat berada.
2. Distribusi
Dalam darah, obat akan diikat oleh protein plasma dengan
berbagai ikatan lemah. Ada bebrapa macam protein plasma:
Albumin : mengikat obat – obat asam dan obat – obat netral serta
bilirubin dan asam – asam lemak.
α-glikoprotein: mengikat obat – obat basa
CBG ( corticosteroid-binding globulin): khusus mengikat
kortikosteroid
SSBG ( sex steroid-binding globulin): khusus mengikat hormone
kelamin.
Obat – obat pada protein plasma akan dibawa oleh darah ke seluruh
tubuh. Komplek obat – protein terdisosiasi dengan sangat cepat. Obat
bebas akan keluar ke jaringan: ke tempat kerja obat, ke jaringan tempat
depotnya, ke hati ( dimana obat mengalami metabolism menjadi
metabolit yang dikeluarkan melalui empedu atau masuk kembali ke
darah), dan ke ginjal ( dimana obat/ metabolitnya diekskesi ke dalam
urin).
11
protein akan bermakna secara klinik jika obat yang digeser memenuhi
3 syarat berikut:
3. Metabolisme
Metabolisme obat terutama terjadi di hati, yakni di membrane
endoplasmic reticulum (mikrosom) dan di cytosol . tempat
metabolism yang lain ( ekstrahepatik) adalah: dinding usus, ginjal,
paru, darah, otak, dan kulit, juga di lumen kolon (oleh flora usus).
Tujuan metabolisme obat adalah mengubah obat yang nonpolar
(larut lemak) menjadi polar ( larut air) agar dapat diekskresi melalui
ginjal atau empedu. Dengan perubahan ini obat aktif umumnya iubah
menjadi inaktif, tapi sebagian berubah menjadi lebih aktif (jika
asalnya prodrug), kurang aktif, atau menjadi toksik.
Eaksi metabolism terdiri dari reaksi fase I dan reaksi fase II.
Reaksi fase I terdiri dari oksidasi, reduksi, dan hidrolisis, yang
mengubah obat menjadi lebih polar, dengan akibat menjadi inaktif,
lebih aktif, atau kurang aktif. Sedangkan reaksi II merupakan reaksi
konjungasi dengan substrat endogen: asam glukoronat, asam sulfat,
asam asetat, atau asam amino, dan hasilnya menjadi sangat polar,
dengan demikian hampir selalu tidak aktif. Obat dapat mengalami
reaksi fase I saja, atau reaksi fase II saja, atau reaksi I yang diikuti
reaksi fase II. Pada reaksi fase I, obat dibubuhi gugus polar seperti
gugus hidroksil, gugus amino, karboksil, sulfihidril, dsb, untuk dapat
bereaksi dengan substrat endogen pada reaksi fase II. Karena itu obat
yang sudah mempunyai gugus – gugus tersebut langsung bereaksi
dengan substrat endogen (reaksi fase II). Hasil eaksi fase I dapat juga
12
sudah cukup polar untuk langsung diekskresikan lewat ginjal tanpa
harus melalui reaksi fase II lebih dulu.
Reaksi metabolism yang terpenting adalah oksidasi oleh enzim
cytochrome P450 ( CYP), yang disebut juga enzim mono –
oksigenase, atau MFO( mixed- function oxidase), dalalm endoplasmic
reticulum ( mikrosom) hati.
Interaksi dalam metabolisme obat berupa induksi atau inhibisi
enzim metabolism, terutama enzim CYP. Induksi berarti peningkatan
sintesis enzim metabolisme pada tingkat transkrispsi sehingga terjadi
peningkatan kecepatan metabolisme obat yang menjadi substrat enzim
yang bersangkutan, akibatnya diperlukan peningkatan dosis obat
tersebut, berarti terjadi toleransi farmokinetik. Karena melibatkan
sintesis enzim maka diperlukan waktu pajanan beberapa hari sebelum
dicapai efek yang maksimal. Induksi dialami oleh semua enzim
mikrosomal. Jadi enzim CYP dan UGT.
Inhibisi enzim metabolisme : hambatan terjadi secara langsung,
dengan akibat peningkatkan kadar obat yang menjadi substrat dari
enzim yang dihambat juga terjadi secara langsung. Untuk mencegah
terjadinya toksisitas, diperlukan penurunan dosis obat yang
bersangkutan atau bahkan tidak boleh ddiberikan bersama
penghambatnya.
Metabolisme obat akan terganggu pada pasien penyakit hati
seperti sirosis, hati berlemak, dan kanker hati. Pada sirosis yang
parah, metabolisme obat berkurang antara 30 – 50 %, ini dapat
meningkatkan bioavailabilitas 2-4 kali pada obat – obat yang
mengalami metabolisme lintas pertama. Enzim – enzim CYP lebih
terpengaruh dibanding reaksi – reaksi fase II seperti glukuronidasi.
Metabolisme obat juga terganggu oleh adanya penyakit yang
mengurangi perfusi hati seperti gagal jantung dan syok.
Enzim – enzim metabolisme fase I dan fase II mencapai
kematangan setelah tahun pertama kehidupan, kecuali enzim UGT
untuk bilirubin mencapai nilai dewasa pada decade kedua kehidupan.
4. Ekskresi
Organ terpenting untuk ekskresi obat adalah ginjal. Obat
diekskresi melalui ginjal dalam bentuk utuh maupun bentuk
13
metabolitnya. Ekskresi dalam bentuk utuh atau bentuk aktif merupakan
cara eliminasi obat melalui ginjal. Ekskresi melalui ginjal melibatkan 3
proses, yakni filtrasi glomerulus, sekresi aktif tubulus proksimal dan
reabsorbsi pasif di sepanjang tubulus. Fungsi ginjal mengalami
kematangan pada usia 6-12 bulan, dan setelah dewasa menurun 1% per
tahun.
Ekskresi melalui ginjal akan berkurang jika terdapat gangguan
fungsi ginjal.
Ekskresi obat yang kedua penting adalah melalui empedu ke
dalam usus dan keluar bersama feses. Obat dan metabolit yang larut
lemak dapat direabsorbsi kembali ke dalam tubuh dari lumen usus.
Metabolit dalam bentuk glukuronat dapat dipecah dulu oleh enzim
glukuronidase yang dihasilkan oleh flora usus menjadi bentuk obat
awalnya yang mudah diabsosrpsi kembali. Akan tetapi, bentuk
konjugat juga dapat langsung diabsorpsi melalui transporter membrane
OATP di dinding usus, dan baru dipecah dalam darah oleh enzim
esterase. Siklus enterohepatik ini dapat memperpangjang efek obat,
misalnya estrogen dalam kontrasepsi oral.
Ekskresi melalui paru terutama untuk eliminasi gas anestetik
umum.
B. Farmakodinamik
Farmakodinamik ialah subdisiplin farmakologi yang
mempelajari efek biokimiawi dan fisiologi obat, serta mekanisme
kerjanya. Tujuan mempelajari mekanisme kerja obat adalah untuk meneliti
efek utama obat, mengetahui interaksi obat dengan sel, dan mengetahui
urutan peristiwa serta spectrum efek dan respons yang terjadi. Pengetahuan
yang baik mengenai hal ini merupakan dasar terapi rasional dan berguna
dalam sintesis obat baru.
INSULIN
Insulin masih merupakan obat utama untuk DM tipe I dan beberapa jenis DM
tipe II, tetapi memang masih banyak pasien DM yang enggan disuntik, kecuali dalam
keadaan terpaksa. Karenanya terapi edukasi pasien DM sangatlah penting, agar pasien
sadar akan perlunya terapi insulin meski diberikan secara suntikan. Suntikan insulin
dapat dilakukan dengan berbagai cara, antara lain: intravena, intramuskuler, dan
umumnya pada penggunaan jangka panjanglebih disukai pemberian secara subkutan.
15
optimal membutuhkan pendekatan dokter pada pasien dan keluarganya, agar ada
koordinasi antara diet, latihan fisik, dan pemberian insulin.
Efek Samping
1. Hipoglikemia
Hipoglikemia merupakan efek samping paling sering terjadi dan terjadi akibat
dosis insulin yang terlalu besar, tidak tepatnya waktu makan dengan waktu
tercapainya kadar puncak insulin, atau karena adanya factor yang dapat
meningkatkan sensitivitas terhadap insulin, misalnya insufisiensi adrenal atau
pituari, ataupun akibat kerja fisik yang berlebihan.
2. Reaksi alergi dan resistensi
Penggunaan insulin rekombinan dan insulin yang lebig murni, telah dapat
menurunkan insiden reaksi alergi dan resistensi. Meski demikian, kadang –
kadangreaksi tersebut masih dapat terjadiakibat adanya bekuan atau terjadinya
denaturasi preparat insulin, atau kontaminan, atau akibat pasien sensitive terhadap
senyawa yang ditambahkan pada proses formulasi preparat insulin. Reaksi alergi
local pada kulit yang sering terjadi akibat IgE atau resistensi akibat timbulnya
antibody IgG.
Interaksi
Beberapa hormone bersifat antagonis terhadap efek hipoglikemia insulin antara
lain, hormone pertumbuhan, kortikotropin, glukokortikoid, tiroid, esterogen,
progestin, dan glucagon. Adrenalin menghambat sekresi insulin dan merangsang
glikogenolisis. Peningkatan kadar hormone ini perlu diperhitungkan dalam terapi
insulin. Salisilat meningkatkan sekresi insulin, mungkin menyebabkan
hipoglikemia. Hipoglikemia cenderung terjadi pada pasien dengan penghambat
adrenoseptor β akibat penghambatan efek katekolamin pada glukoneogenesis dan
glikogenolisis, obat ini juga mengkaburkan takikardi akibat hipoglikemia. Potensi
efek hipoglikemia insulin terjadi dengan penghambat MAO, steroid anabolic dan
fenfluramin (FK UI,2007).
16
diberikan pada DM tipe II yang tidak dapat dikontrol hanya dengan diet dan
latihan fisik saja.
Golongan Sulfonilurea
Dikenal 2 generasi sulfonylurea, generasi 1 terdiri dari tolbutamid, asetoheksimid
dan klopropamid. Generasi II yang potensi hipoglikemik lebih besar antara lain
gliburid ( glibenklamid), glipizid, glikazid dan glimepirid.
Mekanisme kerja
Golongan obat ini disebut sebagai insulin secretagogeus, kerjanya merangsang
sekresi insulin dari granul sel – sel β Langerhans pankreas. Rangsangan melalui
interaksinya dengan ATP- sensitive K channel pada membrane sel – sel β yang
menimbulkan depolarisasi membrane dan keadaan ini akan membuka kanal Ca.
Dengan terbukanya kanal Ca maka ion Ca++ akan masuk sel β, merangsang
granula yang berisi insulin dan akan terjadi sekresi insulin dengan jumlah yang
ekuivalen dengan peptide C. kecuali itu, sulforilurea dapat mengurangi kliren
insulin di hepar.
Pada penggunaan jangka panjang atau dosis yang besar dapat menyebabkan
hipoglikemia.
Efek samping
Insiden efek samping generasi I sekitar 4 %, insidensnya lebih rendah lagi untuk
generasi II. Hipoglikemia, bahkan sampai koma tentu dapat timbul. Reaksi ini
sering terjadi pada pasien usia lanjut dengan gangguan fungsi hepar dan ginjal,
terutama yang menggunakan sediaan dengan masa kerja panjang.
Efek samping lain, reaksi alergi jarang sekali terjadi , mual,muntah, diare, gejala
hematologic, susunan saraf pusat, mata, dan sebagainya.
Interaksi
Obat yang dapat meningkatkan risiko hipoglikemia sewaktu penggunaan
sulfonylurea adalah insulin, alcohol, feniformin, sulfonamide, salisilat dosis besar,
fenibutazon, oksifenbutazon, probenezid, dikumarol, kloramfenikol, penghambat
MAO, guanetidin, anabolic steroid, fenfluramin dan klofibrat.
Propranolol dan penghambat adrenoreseptor β lainnya menghambat reaksi
takikardia, berkeringat dan tremor pada hipoglikemia oleh berbagai sebab
termasuk oleh ADO, sehingga keadaan hipoglikemia menjadi hebat tanpa
diketahui. Sulfonylurea terutama klorpropamid dapat menurunkan toleransi
terhadap alcohol, hal ini ditunjukkan dengan kemerahan terutama dimuka dan
leher.
17
Meglitinid
Repaglinid dan nateglinid merupakan golongan meglitinid, mekanisme kerjanya
sama dengan sulfonylurea tetapi struktur kimianya sangat berbeda. Golongan
AOD ini merangsang insulin dengan menutup kanal K yang ATP- independent di
sel β pankreas.
Pada pemberian oral absorpsinya cepat dan kadar puncaknya dicapai dalam kurun
waktu 1 jam. Masa paruhnya 1 jam, karenanya harus diberikan beberapa kali
sehari, sebelum makan. Metabolism utamaya di hepar dan metabolitnya tidak
aktif. Sekitar 10 % dimetabolisme di ginjal. Pada pasien dengan gangguan fungsi
hati atau ginjal harus diberikan secara hati – hati. Efek samping utamanya
hipoglikemia dan gangguan saluran cerna. Reaksi alergi juga pernah dilaporkan.
Biguanid
Sebenarnya dikenal 3 jenis ADO dai golongan biguanid: fenformin, buformin, dan
metformin, tetapi yang pertama telah ditarik dari peredaran karena sering
menyebabkan asidosis laktat. Sekaang yang banyak digunakan adalah metformin.
Mekanisme kerja
Biguanid sebenarnya bukan obat hipoglikemia, tetapi antihiperglikemia, tidak
menyebabkan rangsangan sekresi insulin dan umumnya tidak menyebabkan
hipoglikemia. Metformin menurunkan produksi glukosa di hepar dan
meningkatkan sensivitas jaringan otot dan adipose terhadap insulin.
Efek samping
Hampir 20% pasien dengan metformin mengalami mual, muntah, diare serta
kecap logam, tetapi dengan menurunkan dosis keluhan – keluhan tersebut dapat
hilang. Pada beberapa pasien yang mutlak bergantung pada insulin eksogen,
kadang – kadang biguanid menimbulkan ketosis yang tidak disertai hiperglikemia.
Hal ini harus dibedakan dengan ketosis karena defisiensi insulin.
Pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal atau system kardiovaskuler,
pemberian biguanid dapat menimbulkan peningkatan kadar asam laktat dalam
darah, sehingga hal ini sapat mengganggu keseimbangan elektrolit dalam cairan
tubuh.
Golongan Tiazolidinedion
Makanisme kerja dan efek metabolic
Telah diterangkan diatas, insulin merangsang pembentukan dan translokasi GLUT
ke membrane sel organ perifer. Ini terjadi karena insulin merangsang Peroxisome
proliferators-activated reseptor-γ (PPARγ) di inti sel dan mengaktivasi insulin-
responsive genes, gen yang berperan dalam metabolism karbohidrat dan lemak.
18
PPARγ terdapat di target insulin, yakni di jaringan adipose, pankreas, hepar,
keberadaannya di otot skelet masih meragukan.
Tiazolidinedion merupakan agonist potent dan selektif PPARγ membentuk
kompleks PPARγ-RXR dan terbentuklah GLUT baru. Di jaringan adipose PPARγ
mengurangi keluarnya asam lemak ke otot, dan karenanya dapat mengurangi
resistensi insulin.
Efek samping antara lain, peningkatkan berat badan , edema, menambah volume
plasma dan memperburuk gagal jantung kongesif. Edema sering terjadi pada
penggunaannya bersama insulin. Kecuali heap, tidak dianjurkan pada gagal ginjal
kelas 3 dan 4 menurut New York Heart Association. Hipoglikemia pada
penggunaan monoterapi jarang terjadi.
19
2. buah pare/ Momordicae fructus (mengandung alkaloid momordin berefek
menurunkan kdar gula darah dan tekanan darah)
3. Daun sambiloto / Andrographii folium (mengandung andrographolide berefek
menurunkan gula darah, tekanan darah, meningkatkan stamina)
20
BAB III
HASIL
IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny Toasah
Umur : 46 tahun
Jenis Kelamin : Perempuan
Status Perkawinan : Kawin
Alamat : Suradadi - Tegal
Agama : Islam
Suku Bangsa : Jawa
Pendidikan :
Pekerjaan :
21
Diabetes Melitus tipe 2
Penatalaksaan
Farmakologi
Glibenklamid
Cara kerja meningkatkan sekresi insulin
Metformin
Cara kerja menekan produksi glukosa hati
Nonfarmakologi
Diet diatur: kurangi manis – manis dan batasi makanan yang
banyak karbohidrat.
Olahraga teratur 3 – 4 kali seminggu kurang lebih 30 menit (
jalan santai, sepeda santai, jogging, berenang)
Pemahaman tentang penyakit DM, hipoglikemia, makna dan
perlunya pengendalian dan pemantauan DM.
BAB IV
PEMBAHASAN
Interaksi farmakokinetik
22
1. Absorpsi
Obat-obat yang digunakan secara oral bisaanya diserap dari saluran cerna ke
dalam sistem sirkulasi. Ada banyak kemungkinan terjadi interaksi selama obat
melewati saluran cerna. Absorpsi obat dapat terjadi melalui transport pasif maupun
aktif, di mana sebagian besar obat diabsorpsi secara pasif. Proses ini melibatkan difusi
obat dari daerah dengan kadar tinggi ke daerah dengan kadar obat yang lebih rendah.
Pada transport aktif terjadi perpindahan obat melawan gradien konsentrasi (contohnya
ion-ion dan molekul yang larut air) dan proses ini membutuhkan energi. Absorpsi obat
secara transport aktif lebih cepat dari pada secara tansport pasif. Obat dalam bentuk
tak-terion larut lemak dan mudah berdifusi melewati membran sel, sedangkan obat
dalam bentuk terion tidak larut lemak dan tidak dapat berdifusi. Di bawah kondisi
fisiologi normal absorpsinya agak tertunda tetapi tingkat absorpsinya biasanya
sempurna.
Bila kecepatan absorpsi berubah, interaksi obat secara signifikan akan lebih
mudah terjadi, terutama obat dengan waktu paro yang pendek atau bila dibutuhkan
kadar puncak plasma yang cepat untuk mendapatkan efek. Mekanisme interaksi
akibat gangguan absorpsi antara lain :
a. Interaksi langsung
Interaksi secara fisik/kimiawi antar obat dalam lumen saluran cerna sebelum
absorpsi dapat mengganggu proses absorpsi. Interaksi ini dapat dihindarkan atau
sangat dikuangi bila obat yang berinteraksi diberikan dalam jangka waktu minimal
2 jam.
Cairan saluran cerna yang alkalis, misalnya akibat adanya antasid, akan
meningkatkan kelarutan obat yang bersifat asam yang sukar larut dalam saluran
cerna, misalnya aspirin. Dengan demikian dipercepatnya disolusi aspirin oleh basa
akan mempercepat absorpsinya. Akan tetapi, suasana alkalis di saluran cerna akan
mengurangi kelarutan beberapa obat yang bersifat basa (misalnya tetrasiklin)
dalam cairan saluran cerna, sehingga mengurangi absorpsinya. Berkurangnya
23
keasaman lambung oleh antasida akan mengurangi pengrusakan obat yang tidak
tahan asam sehingga meningkatkan bioavailabilitasnya.
d. obat menjadi terikat pada sekuestran asam empedu (BAS : bile acid sequestrant)
Kolestiramin dan kolestipol dapat berikatan dengan asam empedu dan mencegah
reabsorpsinya, akibatnya dapat terjadi ikatan dengan obat-obat lain terutama yang
bersifat asam (misalnya warfarin). Sebaiknya interval pemakaian kolestiramin
atau kolestipol dengan obat lain selama mungkin (minimal 4 jam).
24
Analisis kasus
Penderita makan teratur dengan mengurangi makanan yang manis – manis sesuai
petunjuk dokter untuk menjaga kadar gula darahnya. Untuk gula, penderita biasa
menggunakan gula rendah kalori.
Metformin
25
Gliblenklamid
Obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk melepaskan
insulin yang tersimpan.
26
sehingga kadar glukosa darah puasa dapat turun. Selanjutnya kadar glukosa darah
siang hari diatur dengan pemberian sulfonylurea seperti biasanya.
Kombinasi sufonilurea dan insulin ternyata lebih baik daripada insulin sendiri
dan dosis insulin yang diperlukan ternyata lebih rendah. Dan cara kombinasi ini lebih
dapat diterima pasien daripada penggunaan insulin multiple.
BAB V
PENUTUP
A. Simpulan
Diabetes Mellitus adalah kelainan yang bersifat kronik yang ditandai oleh
gangguan metabolism karbohidrat, protein, dan lemak yang diikuti oleh komplikasi
mikrovaskuler maupun makrovaskuler, dan telah diketahui berkaitan dengan faaktor
genetik dengan gejala klinik yang paling utama adalah intoleransi glukosa
(Wilson,2000).
Diabetes Mellitus tipe 2 terdiri dari berbagai macam kelainan dengan
karakteristik yang sama yaitu insufisiensi kerja insulin untuk mempertahankan kadar
glukosa darah dalam batas normal. Insufisiensi kerja insulin merupakan kombinasi
dari resistensi insulin dan sekresi insulin yang abnormal (Darmono,2000).
Interaksi diklasifikasikan berdasarkan keterlibatan dalam proses
farmakokinetik maupun farmakodinamik. Interaksi farmakokinetik ditandai dengan
perubahan kadar plasma obat, area di bawah kurva (AUC), onset aksi, waktu paro
dsb. Interaksi farmakokinetik diakibatkan oleh perubahan laju atau tingkat absorpsi,
distribusi, metabolisme dan ekskresi. Interaksi farmakodinamik biasanya
27
dihubungkan dengan kemampuan suatu obat untuk mengubah efek obat lain tanpa
mengubah sifat-sifat farmakokinetiknya
Kombinasi glibenklamid dan metformin saat ini merupakan kombinasi yang
rasional karena mempunyai cara kerja sinergis sehingga kombinasi ini dapat
menurunkan glukosa darah lebih banyak daripada pengobatan tunggal masing –
masing, baik pada dosis maksimal keduanya maupun pada dosis rendah. Kombinasi
dengan dosis maksimal dapat menurunkan glukosa darah yang lebih banyak.
Terjadi interaksi sinergis antara obat diabetes oral yaitu glibleklamid dan
metformin.
B. Saran
1. Penderita selalu rutin untuk kontrol gula darah.
2. Penderita mengkonsumsi obat anti diabetik oral sesuai anjuran dokter
sehingga dapat terjadi interaksi yang sinergis antar obat anti diabetik oral
sehingga tidak terjadi hipoglikemia.
3. Penderita menjaga pola makan sehingga didapatkan efek interaksi obat
dan makanan yang saling sinergis sehingga tidak terjadi terjadi
hipoglikemia.
28
DAFTAR PUSTAKA
Darmono.1991.Seri Kuliah endokrinologi-metabolik.FK UNDIP.
29
30