Anda di halaman 1dari 146

MODUL 3 PPG PPKn

KONSEP DASAR KEILMUAN


KEWARGANEGARAAN

Penulis:

RAMSUL NABABAN

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN


2020

ii
KATA PENGANTAR

Tiada rangkaian kata yang terindah selain mengucapkan puji syukur


kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, yang telah melimpahkan rahmat dan lindungan-
Nya, sehingga pada kesempatan ini tim penulis modul Pendidikan Profesional
Guru (PPG) mata pelajaran PPKn telah berhasil menyelesaikan Modul 3 PPG
PPKn tahun 2020 yang berjudul : “Konsep Dasar Keilmuan Kewarganegaraan”
Sebagai salah satu tugas pokok dalam penerapan Tridarma Perguruan Tinggi.
Modul 3 PPG PPKn tahun 2020 yang berjudul : Konsep Dasar Keilmuan
Kewarganegaraan ini bertujuan agar para guru PPKn peserta PPG 2020 mampu
menguasai materi dan aplikasi materi bidang studi PPKn yang mencakup : a).
konsep, prinsip, prosedur, dan metode keilmuan serta nilai, norma, dan moral
yang menjadi muatan kurikulum dan proses pembelajaran dan/atau pembudayaan
dalam konteks pendidikan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup
bangsa dan kewarganegaraan di sekolah dan/atau masyarakat;b.) struktur,
metode, dan spirit keilmuan kewarganegaraan, hukum, politik kenegaraan, sejarah
perjuangan bangsa, dan disiplin lainnya berlandaskan Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai hukum dasar yang menjadi
landasan konstitusional kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang
ber- Bhinneka Tunggal Ika dalam keberagaman yang kohesif dan utuh, c) isu-isu
dan/ atau perkembangan terkini kewarganegaraan meliputi bidang ideologi,
politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan dan agama, dalam
konteks lokal, nasional, regional, dan global dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI), termasuk advance materials secara bermakna yang
dapat menjelaskan aspek “apa” (konten), “mengapa” (filosofis), dan “
bagaimana” (penerapan) dalam kehidupan sehari-hari; Berdasarkan tujuan
tersebut maka setiap kegiatan belajar (KB) modul 3 ini, memiliki keterkaitan dan
relevansi antara satu dengan yang lain.
KB 1 membahas tentang bagaimana Konsep Dasar, Prinsip dan Prosedur
Pembelajaran PPKn, KB 2 membahas tentang bagaimana Struktur, Metode dan
Spirit Keilmuan Kewarganegaraan, KB 3 membahas tentang Konsep Kajian

i
Keilmuan Kewarganegaraan Berlandaskan Pancasila dan UUD 1945, dan KB 4
membahas tentang Isu-isu Kewarganegaraan.
Penyelesaian Modul 3PPG PPKn tahun 2020 yang berjudul : Konsep Dasar
Keilmuan Kewarganegaraan, tidak luput dari dukungan, bantuan dan bimbingan
dari berbagai pihak, untuk itu penulis mengucapkan terima kasih yang sedalam-
dalamnya kepada semua pihak yang telah banyak membantu selama proses
pengerjaan modul ini:
1. Direktorat Jenderal Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan beserta
jajarannya.
2. Penyelia Modul PPG PPKn 2020 Prof. Dr. Sapriya, M.Ed dan Dr.
Mohammad Mona Adha, M.Pd.
3. Rektor Universitas Negeri Medan beserta jajarannya.
4. Tim Modul PPG PPKn 2020
5. Keluarga dan teman sejawat di Program Studi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan Universitas Negeri Medan.
Terlalu banyak yang telah penulis terima dari mereka semua, semoga Tuhan
Yang Maha Esa memberikan imbalan yang lebih baik dari yang telah mereka
berikan.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa modul ini masih memerlukan
masukan dan kritikan, maka dengan tangan terbuka dan hati yang lapang, penulis
sangat menerima adanya kritik dan saran konstruktif untuk meningkatkan kualitas
penulisan modul PPG PPKn ini di masa yang akan datang, dengan harapan modul
ini dapat menjadi bermanfaat bagi kita semuanya. Amiin

Medan, 2 November 2019

Penulis

ii
KEGIATAN BELAJAR 1:
KONSEP DASAR, PRINSIP DAN
PROSEDUR PEMBELAJARAN PPKn

iii
DAFTAR ISI

KEGIATAN BELAJAR 1. KONSEP DASAR, PRINSIP, DAN


PROSEDUR PEMBELAJARAN PPKn

DAFTAR ISI ......................................................................................................... iv


A. PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1. Deskripsi Singkat .................................................................................. 1
2. Relevansi ................................................................................................ 1
3. Petunjuk Belajar ................................................................................... 2

B. INTI ............................................................................................................. 3
1. Capaian Pembelajaran ......................................................................... 3
2. Uraian Materi ....................................................................................... 4
a. Konsep Dasar PPKn ........................................................................... 4
b. Prinsip Pembelajaran PPKn ............................................................. 14
c. Prosedur Proses Pembelajaran PPKn ............................................... 18

3. Contoh dan Non Contoh/Ilustrasi ..................................................... 26


4. Forum Diskusi..................................................................................... 26

C. PENUTUP ................................................................................................. 28
1. Rangkuman ......................................................................................... 28
2. Tes Formatif ........................................................................................ 29
3. Daftar Pustaka .................................................................................... 33

iv
v
A. PENDAHULUAN

1. Deskripsi Singkat
Kegiatan belajar satu secara umum akan membahas tiga kata kunci penting
yaitu konsep dasar, prinsip, dan prosedur pembelajaran PPKn yang secara
komprehensif dapat mengembangkan kompetensi utuh guru PPKn dari sudut
kemampuan saintifiknya atau pedagogis Atau dalam kata lain ketiga kata kunci ini
pada dasarnya adalah bekal awal bagi guru PPKn untuk secara baik menguasai
pembelajaran PPKn dari segi keilmuannya. Secara khusus kegiatan belajar ini
membantu guru PPKn untuk memahami dan mampu mengaplikasikan
pembelajaran PPKn secara baik dilihat dari sudut perspektif konsep, prinsip, dan
prosedur pembelajarannya.

Adapun kegiatan penting yang perlu dipahami dan dilaksanakan dalam


mempelajari kegiatan belajar 1 ini adalah (1). Kegiatan belajar satu berisikan 3
point materi penting yaitu konsep dasar, prinsip, dan prosedur pembelajaran
PPKn, (2). Kemampuan pedagogik dan profesional “dalam perspektif keilmuan”
merupakan parameter utama capaian kompetensi dalam kegiatan belajar 1 modul
3 PPKn, (3). Kegiatan belajar ini juga akan mengakomodasi kemampuan kritis
guru PPKn dalam menjawab beberapa soal yang sifatnya evaluative dan analisis.

2. Relevansi
Modul 3 yang membahas tentang konsep dasar keilmuan PPKn pada diklat
Pendidikan Profesi Guru (PPG) dalam jabatan ini sangat penting dan relevan
menjadi mata latih peserta PPG dalam jabatan. Hal tersebut dikarenakan salah
satu kompetensi mutlak yang harus dimiliki oleh seorang guru PPKn yang
profesional adalah pemahaman tentang konsep dasar keilmuan PPKn terutama
dalam kaitanya dengan mengenali konsep dasar, prinsip, dan prosedur
pembelajaran PPKn, yang memuat nilai, norma, dan moral yang menjadi muatan
kurikulum dan proses pembelajaran dan/atau pembudayaan dalam konteks
pendidikan Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan hidup bangsa dan
kewarganegaraan di sekolah dan/atau masyarakat, struktur, metode, dan spirit

1
keilmuan kewarganegaraan, hukum, politik kenegaraan, sejarah perjuangan
bangsa, dan disiplin lainnya yang berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia tahun 1945 sebagai hukum dasar dan menjadi landasan
konstitusional kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang ber-
Bhinneka Tunggal Ika dalam keberagaman yang kohesif dan utuh serta Isu-isu
dan/atau perkembangan terkini kewarganegaraan meliputi bidang ideologi, politik,
hukum, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan dan agama, dalam konteks
lokal, nasional, regional, dan global dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), termasuk advance materials. Konsepsi advance materials yang
di maksud, yaitu dengan menguasai materi ataupun bahan ajar yang akan
diajarkan dan menguasai cara untuk membelajarkannya dengan kemampuan
secara bermakna yang dapat menjelaskan aspek, “apa” (tertuju pada konten),
“mengapa” (sebagai bentuk pemikiran yang filosofis), dan “bagaimana” (wujud
dari penerapan) dalam kehidupan sehari-hari, hal ini sangat berpengaruh dalam
konstelasi kehidupan bermasyarakat dan bernegara.

3. Petunjuk Belajar
Sebelum anda mempelajari Kegiatan Belajar 1 (KB 1) ini, ada beberapa hal
yang harus anda lakukan untuk mempermudah pemahaman anda tentang isi KB 1
ini. Beberapa langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut;
1. Pahamilah terlebih dahulu mengenai berbagai kegiatan dan tahapan penting
dalam diklat mulai tahap awal sampai akhir.
2. Lakukan kajian permulaan terhadap tema cinta tanah air dan bela negara
dengan mencari beberapa referensi yang relevan.
3. Pelajari terlebih dahulu langkah dan tahapan KB 1 pada modul 1 untuk
memudahkan dalam memahami isi KB 1.
4. Keberhasilan proses pembelajaran Anda dalam mata diklat ini sangat
tergantung kepada kesungguhan Anda dalam mengerjakan latihan. Untuk
itu, berlatihlah secara mandiri atau berkelompok dengan teman sejawat,
berkaitan dengan latihan soal yang telah disediakan pada KB 1 ini.

2
5. Bila Anda menemui kesulitan, silakan berdiskusi dengan sejawat, atau
bertanya kepada instruktur atau fasilitator yang mengajar mata diklat ini.
6. Selamat belajar, semoga sukses dan berhasil

B. INTI

1. Capaian Pembelajaran
Menguasai materi dan aplikasi materi bidang studi PPKn yang mencakup:
a. Konsep, prinsip, prosedur, dan metode keilmuan serta nilai, norma, dan
moral yang menjadi muatan kurikulum dan proses pembelajaran dan/atau
pembudayaan dalam konteks pendidikan Pancasila sebagai dasar negara
dan pandangan hidup bangsa dan kewarganegaraan di sekolah dan/atau
masyarakat;
b. Struktur, metode, dan spirit keilmuan kewarganegaraan, hukum, politik
kenegaraan, sejarah perjuangan bangsa, dan disiplin lainnya yang
berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945 sebagai hukum dasar dan menjadi landasan konstitusional kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang ber-Bhinneka Tunggal Ika
dalam keberagaman yang kohesif dan utuh,
c. Isu-isu dan/ atau perkembangan terkini kewarganegaraan meliputi bidang
ideologi, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan
dan agama, dalam konteks lokal, nasional, regional, dan global dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), termasuk advance
materials. Konsepsi advance materials yang di maksud, yaitu dengan
menguasai materi ataupun bahan ajar yang akan diajarkan dan menguasai
cara untuk membelajarkannya dengan kemampuan secara bermakna yang
dapat menjelaskan aspek, “apa” (konten), “mengapa” (filosofis), dan
“bagaimana” (penerapan) dalam kehidupan sehari-hari;

3
2. Uraian Materi

A. Konsep Dasar PPKn

1. Pendidikan Budi Pekerti Sebagai Prakonsepsi PPKn Di Indonesia


Masih teringat dalam histori memori kita bahwa Indonesia pernah melahirkan
Bapak pendidikan nasional yang sangat filosofis di ranah pendidikan. Dialah
Bapak Ki Hadjar Dewantara yang mana pesan dan sumbangsihnya begitu banyak
di dunia pendidikan termasuk dalam hal morality. Melalui konsep pendidikan
Taman Nasional terlahirlah gagasan Budi Pekerti sebagai upaya membentuk
pribadi manusia atau warganegara yang berbudi pekerti sehingga terbentuklah
rasa kebangsaan yang suci, ketertiban dan kedamaian lahir batin (Winataputra,
2015). Hal inilah yang menjadi cikal bakal konsepsi awal Indonesia pernah
memiliki dan mengimplementasikan Pendidikan Kewarganegaraan dalam bingkai
Budi Pekerti sebagai prakarsa ide Bapak pendidikan kita Ki Hadjar Dewantara.

Sitasi di atas menunjukkan bahwa pendidikan budi pekerti adalah embrio


atau konsep awal pendidikan kewarganegaraan (PPKn) di Indonesia. Dengan
menggagas PPKn sebagai pendidikan morality menunjukkan bahwa Indonesia
punya konsep khusus dalam mengusung pendidikan kewarganegaraan yang
berfokus pada pengembangan aspek moral seorang warganegara.

Konsep awal tersebut berkembang seiring dengan dinamika


kewarganegaraan di Indonesia serta pengaruh histori dan terutama gejolak
ekspansi pemerintahan hindia belanda mengakibatkan konsep tersebut mulai perlu
ditegakkan secara tegas dengan nomenklatur yang lugas dan eksplisit sejak sekitar
tahun 1960-an. Nomenklaturnya berkambang dan terbentuk menjadi Civics
sebagai bentuk generasi pertama PKn di Indonesia.

Pendidikan kewarganegaraan dalam wujudnya yang sekarang yaitu mata


pelajaran PKn bertujuan terbentuknya warga negara yang cerdas, berkarakter dan
trampil sesuai yang diamanatkan Pancasila dan UUD Negara Kesatuan Republik
Indonesia 1945 yang termaktub dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional

4
Nomor 22 tahun 2006 tentang Standar Isi Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan
Menengah.

2. Civics Sebagai Bentuk Awal PKn di Indonesia


Pendidikan Kewarganegaraan (civics education) di dunia diperkenalkan pada
tahun 1790 di Amerika Serikat dalam upaya membentuk warga negara yang baik.
Civics pertama kali dikenalkan oleh Legiun Veteran Amerika yang tujuannya
adalah untuk meng-Amerika-kan bangsa Amerika yang kita ketahui beragam latar
belakang budaya, ras, dan asal negaranya (Wahab dan Sapriya, 2011).

Civics menurut Henry Randall Waite adalah “The science of citizenship, the
relation of man, the individual, to man in organized collection, the individual in
his relation to the state”. Dalam terjemahan umum, bahwa pendidikan
kewarganegaraan tersebut adalah ilmu yang membicarakan hubungan antara
manusia dengan manusia dalam perkumpulan-perkumpulan yang terorganisasi
(organisasi sosial, ekonomi, politik) dengan individu-individu dan negara.

Sejarah Pendidikan Kewarganegaraan di Indonesia dimulai pada tahun 1957


saat pemerintahan Sukarno atau yang lebih dikenal dengan istilah civics.
Penerapan Civics sebagai pelajaran di sekolah-sekolah dimulai pada tahun 1961
dan kemudian berganti menjadi Pendidikan Kewargaan Negara pada tahun 1968.

Mata pelajaran pendidikan kewarganegaraan resmi masuk dalam kurikulum


sekolah pada tahun 1968. Saat terjadi pergantian tahun ajaran yang pada awalnya
Januari-Desember dan diubah menjadi Juli-Juni pada tahun 1975, selanjutnya
nama pendidikan kewarganegaraan diubah oleh Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan Indonesia menjadi Pendidikan Moral Pancasila (PMP). Kemudian
mata pelajaran PMP diubah lagi pada tahun 1994 menjadi Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan (PPKn). Pada era Reformasi PPKn diubah menjadi PKn.

Cholisin (2016) menjelaskan bahwa akar keilmuan PKn yaitu Civics


memiliki beberapa rumpun keilmuannya yang diantaranya adalah politik, hukum,

5
dan moral. Ketiga rumpun ini menjadi fokus perhatian PKn dalam
mengembangkan akar keilmuannya. Melalui ketiga rumpun tersebut lahirlah
konsep PPKn di Indonesia sebagai wahana Pendidikan politik, pendidikan hukum,
dan pendidikan moral bagi seluruh warga Negara Indonesia termasuk peserta
didik di sekolah.

Civics sendiri dalam konsep keilmuannya memiliki kompetensi-kompetensi


inti yang hendak dikembangkan di dalam diri seorang warga Negara ataupun
peserta didik. Jika disintesa antara kompetensinya sebagaimana dalam (Setiawan,
2015) dengan ketetapan kompetensi peserta didik pada muatan PPKn di tingkat
Menengah pertama dan atas kurikulum 2013 sebagaimana dalam (Permendikbud
No. 24 Tahun 2016 tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi Dasar Pelajaran
Pada Kurikulum 2013 Pada Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah) maka
dapat diadaptasi hasilnya sebagai berikut:

Kompetensi Warganegara Relevansinya pada


(Setiawan, 2015 :19) Kompetensi Inti
(Permendikbud No.24 Tahun 2016)
Civic Knowledge KI 3
Civics Skill KI 4
Civic Disposition KI 1 & KI 2
Tabel 1. Relevansi komponen kompetensi PPKn terhadap KI Kurikulum 2013

Lebih jauh Setiawan (2015) menjelaskan secara lengkap apa saja deskripsi
dari keseluruhan kompetensi kewarganegaraan sebagai berikut:
1. Kecakapan dan kemampuan penguasaan pengetahuan Kewarganegaranan
(Civic Knowledge) yang terkait dengan materi inti Pendidikan
Kewarganegaraan (Civic Education) antara lain demokrasi, hak asasi
manusia dan masyarakat madani (Civil Society).
2. Kecakapan dan kemampuan sikap kewarganegaraan (Civic Dispositions)
antara lain pengakuan kesetaraan, toleransi, kebersamaan, pengakuan
keragaman, kepekaan terhadap masalah warga negara antara lain masalah
demokrasi dan hak asasi manusia.

6
3. Kecakapan dan kemampuan mengartikulasikan keterampilan
kewarganegaraan (Civil Skills) seperti kemampuan berpartisipasi dalam
proses pembuatan kebijakan publik, kemampuan melakukan kontrol
terhadap penyelenggara negara dan pemerintah.

Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan berkaitan erat dengan peran dan


kedudukan serta kepentingan warganegara sebagai individu, anggota keluarga,
anggota masyarakat dan sebagai warga negara Indonesia yang terdidik. PPKn
dapat sebagai upaya mengembangkan potensi individu sehingga memiliki
wawasan, sikap, dan keterampilan kewarganegaraan yang memadai dan
memungkinkan untuk berpartisipasi secara cerdas dan bertanggung jawab dalam
berbagai kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.

3. PPKn Sebagai Pendidikan Nilai dan/atau Moral


Pendidikan nasional Indonesia berlandaskan pada falsafah Pancasila yang
mendasari sistem pendidikan di sekolah dan memiliki peran besar dalam
sumbangsi pendidikan berbasis nilai atau moral. Dalam implementasinya, praktis
pembelajaran di sekolah yang tepat adalah pembelajaran berbasis nilai yang
terintegrasi kedalam PPKn, di mana kajian mated PPKn merupakan petunjuk
pemahaman internalisasi atau personalisasi nilai, serta bagaimana praktis
kehidupan menjadi manusia Indonesia seutuhnya yang sehat, baik melalui proses
kematangan mental spiritual yang utuh dan mantap, juga matang yang akan
berguna bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, maupun kehidupan berbangsa
dan bernegara yang harmoni.

Dalam jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan dengan judul: “Materi


Pembelajaran PPKn Berbasis Nilai Lokal: Identifikasi dan Implementasi”, PPKn
sebagai mata pelajaran mengemban misi atau fungsi sebagai pendidikan nilai.
Pendidikan nilai memiliki padanan makna dengan pendidikan budi pekerti,
pendidikan moral, pendidikan kesusilaan, pendidikan dan “trend” sekarang ini
dengan istilah pendidikan karakter (Winarno: 2018). Salah satu ciri dan

7
pendekatan PKn ialah sebagai pendidikan nilai moral, yang lebih khusus lagi
adalah pendidikan nilai dan moral Pancasila.

Pendidikan Kewarganegaraan memiliki keterkaitan erat dengan pendidikan


nilai. Pendidikan nilai menyatukan perbagai permasalahan yang menyangkut
preferensi personal ke dalam satu kategori yang disebut nilai-nilai, yang dibatasi
sebagai petunjuk umum untuk perilaku yang memberi batasan langsung pada
kehidupan atau “general guides to behavior which tend to give direction to life”,
menurut Raths dalam (Aryani dan Susatim, 2010). Sementara PKn membawa misi
dan berbicara tentang nilai moral dan norma (aturan/kaidah).

Pendidikan berbasis nilai mencakup keseluruhan aspek sebagai alternatif


pengajaran atau bimbingan kepada peserta didik, agar menyadari nilai kebenaran,
kebaikan, dan keindahan, melalui proses pertimbangan nilai yang tepat dan
pembiasaan bertindak yang konsisten. Mari PKn dengan model pendidikan
berbasis nilai yang sistemik, merupakan upaya alternatif yang diperlukan peserta
didik dalam rangka menghadapi tantangan globalisasi serta dinamika kehidupan
kini dan pada masa yang akan datang.

Era globalisasi yang dipenuhi dengan persaingan ilmu pengetahuan dan


teknologi, pendidikan nilai melalui materi PPKn dieprlukan guna menangkal
kesemrawutan (Chaos menurut John Briggs dan David Peat) krisis multi
dimensional. Manusia memerlukan kematangan moral dan intelektual, kecerdasan
intelektual dalam mengkritisi berbagai wacana pemikiran yang muncul
kepermukaan, kematangan emostonal untuk dapat hidup kooperatif sekaligus
kompetitif yang didasarkan atas jalinan sosial yang harmonis, dan kematangan
spiritual sebagai perwujudan ikatan transendental antara dirinya dengan sang
pencipta. Kematangan tersebut dilatih, diajar, dan dididik melalui materi PKn
dengan model pcndidikan berbasis nilai. Pendidikan nilai dalam mated PKn,
diharapkan mampu melahirkan warga negara Indonesia yang seutuhnya.

Pendekatan program diartikan sebagai cara kita di dalam mengembangkan


suatu program atau bahan materi pelajaran (Winarno: 2018). Penyusunan materi
pelajaran PPKn sebagai pendidikan nilai moral perlu berpijak kepada:

8
a. Pendekatan nilai moral Mengembangakan materi pembelajaran dengan
pendekatan nilai moral artinya menjadikan suatu nilai sebagai dasar
pengembangan. Nilai moral harus menjadi isi (entitas inti) dari setiap bahan
materi pelajaran PPKn. Sebuah nilai moral yang ditetapkan selanjutnya
dikembangkan menjadi materi pembelajaran.
b. Pendekatan multidimensional Pengembangan materi pembelajaran
diupayakan mampu membentuk keseluruhan dimensi peserta didik. Dimensi
peserta didik tersebut adalah 3 (tiga) ranah kemampuan, yang meliputi, a).
Kognitif berupa fakta, konsep, teori, dalil, dan definisi. Dalam kajian
kewarganegaraan disebut sebagai pengetahuan kewarganegaraan (civic
knowlegde), b). Affektif berupa nilai, sikap, norma, moral. Dalam kajian
kewarganegaraan disebut sebagai sikap atau kebajikan kewarganegaraan
(civic virtue) dan c). Psikomotor berupa tata cara, prosedur, aturan, dan
perilaku. Dalam kajian kewarganegaraan disebut sebagai kecakapan
kewarganegaraan (civic skill).
c. Pendekatan berpusat pada siswa (student centered) Materi pembelajaran
yang dikembangkan mampu memicu ke arah pembelajaran aktif siswa. Oleh
karena itu perlu menyusun materi yang mampu mengupayakan
pembelajaran PPKn yang siswanya aktif, sedangkan guru bertindak sebagai
fasilitator.

Disisi lain menyusun pembelajaran nilai yang mampu memancing


keterlibatan aktif siswa dalam proses pembelajaran. Materi pembelajaran beraspek
kognitif adalah materi yang berisi fakta, konsep, definisi, atau teori. Materi yang
beraspek affektif berisi nilai dan norma yang secara eksplisit mengungkapkan
keharusan dan larangan dalam bertindak. Materi bersspek psikomotor adalah
materi yang berisi cara bertindak, contoh contoh dan perilaku. Materi yang
menarik keterlibatan aktif siswa adalah materi yang berisikan hal-hal baru, hal-hal
unik, dilemma, suatu masalah, unik dan mengundang rasa ingin tahu siswa.

9
4. PPKn Sebagai Pendidikan Hukum;
Indonesia telah menetapkan sebagai negara rechstaat dan bukan machstaat,
sebagaimana tertuang dalam penjelasan umum UUD 1945 NKRI sebelum dan
sesudah perubahan. Paradigm tersebut sebagai hasil musyawarah mufakat
bersama yang melebelkan warganegara Indonesia adalah warganegara yang diikat
dan sadar akan kedudukannya sebagai warga hukum. Paradigma ini menjadi
konsep awal bagi PPKn untuk menjadi salah satu tonggak penting dalam upaya
mendidik warganegara menjadi manusia yang sadar dan taat hukum. Sebagaimana
PPKn adalah program pendidikan, maka programnya juga harus memiliki peran
penting untuk menginternalisasikan kesadaran dan taat hukum terutama kepada
generasi muda.

PPKn memiliki kecendrugan ilmu yang multifacet dengan konteks lintas


bidang keilmuwan yang disebut interdisipliner dan multidimensional. Hal ini
menjadi faktor yang memungkinkan berbagai disiplin ilmu terintegrasi kedalam
keilmuan PPKn seperti pendidikan politik, pendidikan nilai, pendidikan
demokrasi, dan termasuk adalah pendidikan hukum (Akbal, 2016).

Dalam jurnal Isep dengan judul: “Peranan pendidikan kewarganegaraan


sebagai pendidikan hukum dalam upaya menginternalisasikan hukum dikalangan
peserta didik”, (2013:15) menjelaskan bahwa: “sekolah sebagai lembaga
pendidikan memegang peranan penting dalam penginternalisasian hukum pada
anak. Sekolah merupakan tempat untuk mendapatkan ilmu pengetahuan dan
pembinaan kepribadian. Guru-guru harus mengadakan pengawasan dan bagi
yang melanggar perlu diberikan sanksi dan bagi yang menaati diberikan
semacam penghargaan. PKn sebagai wahana pendidikan hukum dalam
mengupayakan internalisasi hukum bagi generasi muda, diharapkan menjadi
salah satu solusi semakin tingginya tingkat pelanggaran aturan-aturan dan
hukum-hukum yang berlaku, baik dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa
maupun bernegara”.

Dalam konseptual keilmuan civics, PPKn memiliki tugas untuk membentuk


aspek civic awareness (kesadaran warganegara) di dalam atribut pribadi
warganegara untuk menjadi warganegara yang taat dan sadar terhadap hukum

10
(law awareness). Kesadaran hukum inilah sebagai bentuk kesadaran berkonstitusi
warganegara.

Dalam perspektif hukum, kesadaan berkonstitusi adalah bagian dari


kesadaran hukum yang bersama isi/substansi hukum (konstitusi) dan pemegang
peran (struktur) yaitu aparat negara atau penyelenggara Negara merupakan
komponen-komponen utama dalam sistem hukum. Efektif atau tidaknya hukum
(konstitusi) dalam suatu masyarakat atau negara akan sangat ditentukan oleh
ketiga komponen tersebut (Sukriono, 2016). Kesadaran dalam berkonstitusi sangat
bergantung pada kemampuan memahami isi dari konstitusi itu sendiri. Oleh
karenanya perlu upaya-upaya sosialisasi atau dan internalisassi atau pembudayaan
konstitusi kepada seluruh komponen bangsa, termasuk yang paling vital adalah
peran komponen pendidikan untuk mentransformasikan pengetahuan, ilmu, dan
budaya berkonstitusi kepada peserta didik.

Lebih jauh dalam (Suseno, 1985) bahwa: “kesadaran konstitusi mempunyai


tiga unsur pokok yaitu: 1) Perasaan wajib atau keharusan untuk melakukan
tindakan bermoral yang sesuai dengan konstitusi negara itu ada dan terjadi di
dalam setiap sanubari warga negara, siapapun, di manapun dan kapanpun; 2)
Rasional, kesadaran moral dapat dikatakan rasional karena berlaku umum, lagi
pula terbuka bagi pembenaran atau penyangkalan. Dengan demikian kesadaran
berkonstitusi merupakan hal yang bersifat rasional dan dapat dinyatakan pula
sebagai hal objektif yang dapat diuniversalkan, artinya dapat disetujui, berlaku
pada setiap waktu dan tempat bagi setiap warga negara; dan 3) Kebebasan, atas
kesadaran moralnya, warga negara bebas untuk mentaati berbagai peraturan
perundangundangan yang berlaku di negaranya termasuk ketentuan konstitusi
negara”.

Peran PPKn untuk mentransformasikan pemahaman dan kesadaran


berkonstitusi sebagai langkah pendidikan hukum bagi peserta didik menjadi
sangat vital dan urgen. Hal ini sebagai bentuk sumbangsi PPKn dalam upaya
bersama dengan segenap komponen penting yang bertugas penuh dalam
perwujudan pendidikan hukum di Indonesia.

11
5. PPKn Sebagai Pendidikan Politik.
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) merupakan program
pendidikan yang menerapkan fokus bidang kajiannya pada kajian politik
kewarganegaraan atau sebagai pendidikan demokrasi bagi warganegara. PPKn
merupakan bidang kajian ilmiah dan program pendidikan di sekolah dan secara
socio-pedagogies dijadikan sebagai wahana utama serta esensi pendidikan
demokrasi atau pendidikan politik di Indonesia yang direalisasikan melalui:
1. Civic Intellegence, yaitu kecerdasan dan daya nalar warga negara baik
dalam dimensi spiritual, rasional, emosional, maupun sosial;
2. Civic Responsibility, yaitu kesadaran akan hak dan kewajiban sebagai warga
negara yang bertanggung jawab dan;
3. Civic Participation, yaitu kemampuan berpartisipasi warga negara atas
dasar tanggungjawabnya, baik secara individual, sosial, maupun sebagai
pemimpin hari depan.

Alfian (1992), dalam bukunya Pemikiran dan Perubahan politik Indonesia


menjelaskan bahwa: “Pendidikan politik sebagai usaha yang sadar untuk
mengubah proses sosialisasi politik masyarakat sehingga mereka memahami dan
menghayati betul nilai-nilai yang terkandung dalam suatu sistem politik yang
ideal yang hendak dibangun”. Prewitt & Dawson (1977) menyatakan ada tipe
pengajaran politik yaitu PKn (civic education) dan indoktrinasi politik. James
Colleman, membedakan antara kedua tipe itu, bahwa PKn atau latihan
kewarganegaraan (civic training) merupakan bagian dari pendidikan politik yang
menekankan bagaimana seorang warga negara yang baik berpartisipasi dalam
kehidupan politik bangsanya. Indoktrinasi politik lebih memperhatikan belajar
ideologi politik tertentu yang dimaksudkan untuk merasionalisasi dan
menjastifikasi rezim tertentu.

Dengan demikian “Pendidikan Kewarganegaraan merupakan suatu proses


yg dilakukan oleh lembaga pendidikan dimana seseorang akan mempelajari

12
orientasi, sikap dan perilaku politik, sehingga yang bersangkutan memiliki
political knowledge, awareness, attitude, political efficacy dan political
participation, serta kemampuan mengambil keputusan politik secara rasional,
sehingga tidak saja menguntungkan bagi diri sendiri tetapi juga bagi
masyarakat” (Zamroni, 2007). Pendidikan politik harus menekankan pada
pengembangan keterampilan berfikir, keterampilan pribadi dan keterampilan
sosial. Keterampilan berfikir ditekankan pada pengembangan berfikir kritis
seorang peserta didik, bukannya knowledge deposit. Keterampilan pribadi
menekankan pada pengembangan aspek kepercayaan diri peserta didik dan
political self efficacy. Sedangkan pengembangan keterampilan sosial terutama
ditekankan empati dan respek kepada diri sendiri dan orang lain dalam upaya
menjadi warga Negara yang baik atau Good Citizens.

Selain itu, PPKn sebagai pendidikan politik juga merupakan strategi untuk
mewujudkan masyarakat kewargaan atau civil society. Konsep ini sebagai upaya
PPKn dalam menumbuhkan atribut aspirasi aktif dan partisipasi aktif warganegara
yang memiliki ciri karakter demokratis. Menurut Cohen dan Aroto dalam Handout
PKn oleh Cholisin (2010) bahwa civil society merupakan kelompok masyarakat
yang memiliki kemandirian yang tegas terhadap berbagai kepentingan akan
kekuasaan. Yang tidak kalah penting dalam konsep civil society adalah adanya
partisipasi aktif dari semua warga negara baik yang tergabung dalam berbagai
perkumpulan, organisasi atau kelompok lainnya sehingga akan membentuk
karakter demokratis di lembaga tersebut yang tentunya hal ini menjadi nilai lebih
pentingnya keberadaan civil society serta bagaimana upaya mengembangkan dan
membuatnya menjadi berfungsi dalam aktualisasi demokrasi Negara Indonesia.

PPKn sebagai pendidikan politik mengarahkan seluruh warganegara untuk


berperan aktif memberikan partisipasinya (civic participation) melalui atribut
knowledge, skill, dan disposition yang melekat didalam ability warganegara.
Konsep ini memungkinkan terbentuknya karakter demokratis sebagai upaya
mewujudkan wargenagara yang baik, cerdas, kritis, bermoral, dan patriotik. Lebih

13
lanjut dalam handout tersebut ditampilkan bagan PPKn sebagai pendidikan politik
sebagai berikut:

Bagan. PKn sebagai wahana Pendidikan Politik di adaptasi dari


bagan handout PPKn Cholisin.

Kontribusi besar PPKn dalam mengupayakan pendidikan yang tepat untuk


membentuk warganegara yang melek politik terbentuk dalam konsep civil society
yang berperan aktif dalam berkontribusi terhadap berbagai gejala dan kehidupan
politik sebagai perwujudan menjadi warganegara yang baik dalam kehidupan
berbangsa, bermasyarakat, dan bernegara.

B. Prinsip Pembelajaran PPKn

1. PPKn sebagai tradisi social studies


Social Studies adalah nama atau istilah yang digunakan oleh lembaga
pendidikan di negara lain terutama di negara-negara Barat. Sebagai bidang kajian
akademik di perguruan tinggi khususnya di universitas maupun bidang kajian
kurikuler untuk tingkat sekolah dasar dan menengah, Social Studies telah cukup
lama memiliki tradisi. Barr, Barth, dan Shermis (1977) mengidentifikasi "The
Three Social Studies Traditions, yaitu: (1) Social Studies as Citizenship
Transmission (Civic Education); (2) Social Studies as Social Science; (3) Social
Studies as Reflective Inquiry. Tiga tradisi ini memiliki pengertian, tujuan, isi, dan

14
metode masing-masing (Wahab dan Sapriya, 2012). Selanjutnya dijelaskan
tentang tradisi sosial dan PPKn sebagai tradisi sosial sebagai berikut:

a. Social Studies as Citizenship Transmission


Tradisi pembelajaran ini merupakan tradisi yang paling tua dan paling biasa
dipraktikkan oleh para guru. Esensinya ada pada diri guru yang menginginkan
agar para siswa memiliki pemahaman tentang konsep kewarganegaraan. Guru
menggunakan beragam teknik agar keyakinan yang dimiliki oleh guru dapat
dimiliki pula oleh siswanya. Tujuan transmisi kewarganegaraan adalah agar siswa
mem-pelajari dan meyakini konsep kewarganegaraan yang diajarkan. Guru
menyelenggarakan pembelajaran dengan cara menyajikan asumsi-asumsi,
kepercayaan-kepercayaan, dan harapan-harapan tentang masyarakatnya. Guru
biasanya telah menguasai tujuan pendidikan nasional; mengetahui bagaimana
seseorang harus menjalin hubungan dengan orang lain, apa yang harapkan oleh
orang lain, apa budaya saling menghargai, dan apa yang diperlukan untuk menjadi
warga negara yang baik.

b. Social Studies Taught as Social Science


Kedudukan ilmu sosial memiliki tradisi yang berbeda dan me-mungkinkan
mengakomodasi peristiwa, orang-orang, karya teoritis, dan pernyataan-pernyataan
pejabat tertentu yang memberi kontribusi ter-hadap tradisi. Tradisi ini awalnya
dipraktikkan oleh para sejarawan dan Asosiasi Sejarah Amerika dan sekarang
dikembangkan oleh Social Science Education Consortium. Sosial studies yang
didefinisikan sebagai social science bertujuan agar para siswa dapat memperoleh
pengetahuan, keterampilan, dan perlengkapan disiplin ilmu sosial sehingga
akhirnya mereka menjadi efektif sebagai warga negara. Dengan kata lain, tujuan
tradisi social science adalah peinerolehan keterampilan ilmuwan sosial dalam
mengumpulkan pengetahuan yang pada akhirnya meningkatkan kompetensi
kewarganegaraan. lsi dari social studies sebagai social science terkait dengan
masalah-masalah, isu-isu, dan topik-topik disiplin ilmu sosial masing-masing.

15
c. Social Studies Taught as Reflective Inquiry
Reflective Inquiry merupakan tradisi pembelajaran berdasarkan pada
kedudukan filsafat yang berakar pada masa lalu. Dengan reflective inquiry, para
peneliti dapat mengidentifikasi sejumlah teori dan praktik yang baik pada masa
lalu dan masa kini. Tradisi ini adalah istilah barn cara mengetahui dan
membelajarkan hal-hal masa lalu.

Tujuan reflective inquiry adalah kewarganegaraan yang didefinisikan


utamanya sebagai pengambilan keputusan dalam konteks sosial-politik.
Asumsinya bahwa demokrasi mengakibatkan beban yang unik, kita tidak bisa
menghindar dari tuntutan pengambilan keputusan. Keputusan terkait dengan
pembuatan undang-undang dan pemilihan anggota legislatif tentunya ini
merupakan bagian yang melekat pada pemerintahan, seperti apa arti kehidupan
dalam pemerintahan sendiri yakni masyarakat demokratis. Metode reflective
inquiry adalah proses membuat keputusan dan mendorong para siswa untuk
menganalisis tentang apa raja yang terlibat dalam suatu keputusan.

Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) merupakan bidang kajian yang bersifat


multifacet dengan konteks lintas bidang keilmuan. Secara filsafat keilmuan, PKn
memiliki obyek kajian pokok ilmu politik, khususnya konsep demokrasi politik
(political democracy) untuk hak dan kewajiban (duties and rights of citizens).
Dari obyek kajian pokok inilah berkembang konsep Civics yang secara harfiah
diambil dari bahasa Latin civicus, yang artinya warga negara pada zaman Yunani
Kuno. Secara akademis, Civics diakui sebagai embrionya Civic Education dan di
Indonesia selanjutnya diadap-tasi menjadi Pendidikan Kewarganegaraan (PKn).

Secara metodologis, PKn sebagai suatu bidang keilmuan merupakan


pengembangan salah satu dari lima tradisi Social Studies yakni transmisi
kewarganegaraan (citizenship transmision) seperti yang dikemukakan oleh Barr,
Bart, dan Shermis (1978). Saat ini tradisi itu sudah berkembang pesat menjadi
suatu struktur keilmuan yang dikenal sebagai citizenship education, yang
memiliki paradigma sistemik di dalamnya terdapat tiga domain yakni: domain
akademis, domain kurikuler, dan domain sosial kultural (Winataputra, 2001).
Domain akademis adalah berbagai pemikiran tentang PKn yang berkembang di

16
lingkungan komunitas keilmuan. Domain kurikuler adalah konsep dan praksis
PKn dalam dunia pendidikan formal dan nonformal. Domain sosial kultural
adalah konsep dan praksis PKn di lingkungan masyarakat.

Ketiga domain itu satu sama lain memiliki sating keterkaitan struktural dan
fungsional yang diikat oleh konsepsi kebajikan dan budaya kewarganegaraan
(civic virtue and civic culture) yang mencakup penalaran kewarganegaraan (civic
knowledge), sikap/watak kewarganegaraan (civic disposition), keterampilan
kewarganegaraan (civic skills), keyakinan diri kewarganegaraan (civic
confidence), komitmen kewarganegaraan (civic commitment), dan kemampuan
kewarganegaraan (civic competence), (CCE:1998).

Oleh karena itu, obyek kajian PKn saat ini sudah lebih luas daripada
embrionya, sehingga kajian keilmuan PKn, program kurikuler PKn, dan aktivitas
sosial kultural PKn benar-benar bersifat multifacet/multidimensional.

Menurut Winataputra (2001), sifat multi dimensionalitas inilah yang


membuat bidang kajian PKn dapat disikapi sebagai: pendidikan kewarganegaraan,
pendidikan politik, pendidikan nilai dan moral, pendidikan karakter kebangsaan,
pendidikan kemasyarakatan, pendidikan hukum dan hak asasi manusia, dan
pendidikan demokrasi. Hal itu tergantung dari obyek kajian mana kita berangkat,
dengan metodologi mana pengetahuan itu dibangun, dan untuk arah tujuan mana
kegiatan itu akan membawa implikasi.

2. Pancasila sebagai prinsip utama dalam pembelajaran PPKn


Pembelajaran PPKn merupakan pembelajaran yang menekankan pada konteks
transfer morality. Sebagai dasar Negara dan pandangan hidup bangsa Indnesia,
Pacasila secara emparatif berlaku sampai kapanpun dan dimanapun di Negara
kesatuan republic Indonesia dan mewakili seluruh keragaman dan kebutuhan
masyarakat Indonesia. Sehingga dengan demikian seluruh kepentingan bangsa dan
Negara Indonesia haruslah berakar atau berprinsipkan pada Pancasila. Termasuk
dalam hal ini adalah pendidikan. PPKn sebagai pendidikan moral secara utuh
mengkonsepsi pembelajaran dan keilmuannya berdasarkan pada Pancasila
sebagai item principal. Prinsip yang demikian sangat relevan untuk mendukung
17
main goal PPKn yaitu membentuk warganegara yang bermoral, smart and good
citizen serta dapat diandalkan (Desirable).

Untuk itu PPKn mengusung konsep transfer nilai-nilai Pancasila ke dalam


struktur keilmuannya yang hendak diberikan kepada peserta didik atau warga
Negara. Materi muatan Pancasila dalam bidang pendidikan kewarganegaraan
(PKn) memiliki kaitan dengan Pancasila dalam hal tujuan dari pendidikan
kewarganegaraan Indonesia. Secara umum tujuan pendidikan kewarganegaraan
adalah terbentuknya warga negara yang baik (good citizen) yang tentu saja
berbeda menurut konteks negara yang bersangkutan (Winarno, 2011). Numan
Somantri (2001: 279) menyebut warga negara yang baik di Indonesia adalah
warga negara yang patriotik, toleren, setia terhadap bangsa dan negara, beragama,
demokratis, Pancasila sejati.

Tujuan Pendidikan Kewarganegaraan menurut Keputusan Presiden RI No.


145 tahun 1965, adalah “…melahirkan warganegara sosialis, yang bertanggung
jawab atas terselenggaranya masyarakat sosialis Indonesia, adil dan makmur baik
spirituil maupun materiil dan yang berjiwa Pancasila (Winataputra, 2001).

Dengan demikian prinsip dasar orientasi Pembelajaran PPKn


mengutamakan transfer dan implementasi nilai-nilai Pancasila sebagai sumber
moril dan nilai yang penting untuk ditransfer kepada peserta didik.

C. Prosedur Proses Pembelajaran PPKn

1. Dasar Dan Arah Rekonstruksi Pembelajaran PPKn di Sekolah


Sistem pendidikan nasional sebagaimana termaktub Pasal 31 Undang-
Undang Dasar 1945 yang menjadi dasar dari pendidikan secara nasional. Hal ini
sebagai konstelasi utuh dalam sistem pendidikan nasional. Pendidikan
kewarganegaraan merujuk pada esensi yang termaktub dalam Pasal 2, Pasal 3, dan
Pasal 37 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
Nasional dan Penjelasan Pasal 37. Dinyatakan dengan tegas bahwa: “...pendidikan

18
kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia
yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air”. Untuk mengakomodasikan
perkembangan baru dan perwujudan pendidikan sebagai proses pencerdasan
kehidupan bangsa dalam arti utuh dan lugas, maka mata pelajaran Pendidikan
Kewarganegaraan yang selama ini digunakan perlu disesuaikan menjadi
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn). Secara substantif-pedagogis
PPKn bertujuan untuk membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki
rasa kebangsaan dan cinta tanah air yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila, nilai
dan norma Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
semangat Bhinneka Tunggal Ika dan komitmen kolektif ber-Negara Kesatuan
Republik Indonesia.

Pancasila sebagai dasar negara, ideologi nasional, dan pandangan hidup


bangsa dikonsepsikan, dimaknai, dan difungsikan sebagai entitas inti (core/central
values) yang menjadi sumber rujukan dan kriteria keberhasilan pencapaian tingkat
kompetensi dan pengorganisasian dari keseluruhan ruang lingkup mata pelajaran
Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan. Substansi dan jiwa Undang-Undang
Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, nilai dan semangat Bhinneka
Tunggal Ika, dan komitmen Negara Kesatuan Republik Indonesia ditempatkan
sebagai bagian integral dari Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan, yang
menjadi wahana psikologis-pedagogis pembangunan warganegara Indonesia yang
berkarakter Pancasila. Mengapa Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) dalam
Kurikulum 2006 dikembangkan menjadi Pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan (PPKn)? dari sejumlah masukan penyempurnaan pembelajaran
PKn menjadi PPKn yang mengemuka antara lain: 1) secara substansial, PKn lebih
terkesan lebih dominan bermuatan ketatanegaraan sehingga muatan nilai dan
moral Pancasila kurang mendapat aksentuasi yang proporsional; 2) secara
metodologis, ada kecenderungan pembelajaran yang mengutamakan
pengembangan ranah kognitif/pengetahuan, sehingga pengembangan ranah
afektif/sikap dan psikomotorik/keterampilan belum dikembangkan secara optimal
dan koheren/utuh.

19
Merujuk pada berbagai hasil kajian filosofis, sosiologis, yuridis, dan
pedagogis, dalam konteks konsepsi utuh pengembangan Kurikulum 2013
dilakukan strategi penguatan dan penyempurnaan secara komprehensif terhadap
mata pelajaran PPKn dalam kerangka pengembangan Kurikulum 2013 pada
jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah sebagai berikut.

1. Mengubah nama mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)


menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn);
2. Menempatkan mata pelajaran PPKn sebagai mata pelajaran yang memiliki
misi pengokohan kebangsaan dan penggerak pendidikan karakter yang
bersumberkan nilai dan moral Pancasila.
3. Mengorganisasikan pengembangan kompetensi dasar (KD) PPKn dalam
bingkai kompetensi inti (KI) yang secara psikologis-pedagogis menjadi
pengintergrasi kompetensi peserta didik secara utuh dan koheren dengan
penanaman, pengembangan, dan/atau penguatan nilai dan moral Pancasila;
nilai dan norma UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945; nilai dan
semangat bhineka tunggal ika; serta wawasan dan komitmen Negara
Kesatuan Republik Indonesia.
4. Mengembangkan dan menerapkan berbagai model pembelajaran yang
sesuai dengan karakteristik PPKn secara holistik/utuh dalam rangka
peningkatan kualitas belajar dan pembelajaran yang berorientasi pada
pengembangan karakter peserta didik sebagai warganegara yang cerdas dan
baik secara utuh dalam bingkai Kompetensi Inti (sikap, pengetahuan,
keterampilan).
5. Mengembangkan dan menerapkan berbagai model penilaian proses
pembelajaran dan hasil belajar PPKn yang mengintegrasikan sikap
kewarganegaraan, pengetahuan kewarganegaraan, dan keterampilan
kewarganegaraan dalam wadah tanggung jawab dan partisipasi
kewarganegaraan.

Sebagai wahana pendidikan mata pelajaran PPKn pada jenjang pendidikan


dasar dan menengah bertujuan mengembangkan potensi peserta didik dalam

20
seluruh dimensi kewarganegaraan (Winataputra, 2015), yakni: 1) pengetahuan
kewarganegaraan; 2) sikap kewarganegaraan; 3) keterampilan kewarganegaraan;
4) keteguhan kewarganegaraan; 5) komitmen kewarganegaraan; dan 6)
kompetensi kewarganegaraan.

Beberapa langkah prosedur pembelajaran PPKn yang terstruktur, strategis,


refresentatif perlu kiranya:
a. Mengacu pada kurikulum 2013, pembelajaran PPKn di tingkat menengah
dari dasar dan atas maka pembelajaran PPKn merupakan pembelajaran yang
berkonsepkan deep knowledge dan constructed knowledge. Dengan
pengembangan materi yang sesuai dengan amanah kompetensi kurikulum
2013 pada tingkat menengah yaitu untuk tingkat mengengah pertama,
“Menunjukkan perilaku menghargai dengan dasar moral, norma, prinsip
dan spirit kewarganegaraan” dan untuk tingkat menengah ke atas,
“Mengamalkan dengan dasar kesadaran nilai, moral, norma, prinsip, spirit
dan tanggung jawab, makna kehidupan berbangsa dan bernegara Indonesia
yang berkeadaban” (Lampiran Permendikbud Nomor 21 Tahun 2016
tentang Standar Isi Pendidikan dasar dan Menengah).
b. Kemudian pembelajaran PPKn juga harus bersendikan pesan moril bapak
pendidikan Ki Hadjar Dewantara yaitu pembelajaran yang menerapkan
nilai-nilai dengan memberi keteladanan (ing ngarso sung tulodo),
membangun kemauan (ing madyo mangun karso), dan mengembangkan
kreativitas peserta didik dalam proses pembelajaran (tut wuri handayani).
c. Pembelajaran PPKn yang berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila, dimana
seorang guru juga harus mampu menyusun perangkat pembelajaran yang
memungkinkan untuk dapat membentuk peserta didik yang cakap
kompetensinya dan menjadi lulusan ynag kompeten. Untuk itu guru PPKn
dapat merujuk pada apa saja gradian indikator kompetensi Sikap,
Keterampilan, dan Pengetahuan seperti yang tertuang pada (Lampiran
Permendikbud Nomor 22 Tahun 2016 tentang Standar Proses Pendidikan
Dasar dan Menengah) dibawah ini:

21
Tabel 2. Gradiasi indikator sikap, pengetahuan, dan keterampilan.
Sikap Pengetahuan Keterampilan
Menerima Mengingat Mengamati
Menjalankan Memahami Menanya
Menghargai Menerapkan Mencoba
Menghayati, Menganalisis Menalar
Mengamalkan Mengevaluasi Menyaji
- - Mencipta

d. Sejalan dengan dasar pendidikan nasional, mata pelajaran PPKn mengusung


misi yang sama yaitu sebagai mata pelajaran yang memiliki misi
pengokohan kebangsaan dan penggerak pendidikan karakter yang
bersumberkan nilai dan moral Pancasila. Pengukuhan nilai-nilai pancasila
menjadi focus study PPKn merupakan bagian dari perwujudan apa yang
diamanahkan oleh peraturan pemerintah kepada PPKn sebagai mata
pelajaran yang mengusung misi pengembangan kepribadian. “Merujuk pada
penjelasan Pasal 77 J ayat (1) huruf b PP. No. 32 tahun 2013 tentang
Perubahan Standar Nasional Pendidikan mengamanatkan bahwa:
“Pendidikan kewarganegaraan dimaksudkan untuk membentuk peserta
didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah
air dalam konteks nilai dan moral Pancasila, kesadaran berkonstitusi
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, nilai dan
semangat Bhinneka Tunggal Ika, serta komitmen Negara Kesatuan
Republik Indonesia”.

2. Prosedur Pembelajaran PPKn Berbasis Nilai dan Urgensi Falsafah


Pancasila di Sekolah, Masyarakat, dan Pemerintahan
Dalam kajian filosofis, sosiolofis, yuridis, dan pedagogis sebagai bagian dari
konsepsi utuh dari kurikulum 2013, penguatan dan penyempurnaan secara
komprehensif kerangka pembelajaran PPKn di sekolah, masyarakat, dan

22
pemerintah. PPKn ditempatkan sebagai mata pleajaran yang memiliki misi
mengukuhkan rasa kebangsaan dan penggerak pendidikan karakter yang
bersumberkan nilai dan moral Pancasila (Winataputra, 2015). Lebih lanjut dalam
(Daryono, 2011:29) bahwa PPKn mempunyai kedudukan yang sangat penting
sekali, khususnya dalam pembentukan keperibadian masyarakat Indonesia yang
dijiwai oleh nilai-nilai pancasila.

PPKn sebagai wahana pendidikan nilai, moral/karakter Pancasila dan


pengembangan kapasitas psikososial kewarganegaraan Idnonesia sangat koheren
dengan komitmen pengembangan watak dan peradaban bangsa yang bermartabat
dan perwujudan warga Negara yang demokratis dan bertanggungjawab.
Kausalitas dan urgensi Pancasila sebagai core-base terhadap pembelajaran PPKn
baik disekolah, dimasyarakat, dan dipemerintahan, menjadi dalil yang kuat
pancasila sebagai pandangan hidup bangsa dan sebagai dasar Negara.

Pancasila sebagai dasar Negara menunjukkan bahwa dasar negara


merupakan alas atau fundamen yang menjadi pijakan dan mampu memberikan
kekuatan kepada berdirinya sebuah negara. Negara Indonesia dibangun juga
berdasarkan pada suatu landasan atau pijakan yaitu Pancasila.

Pancasila, dalam fungsinya sebagai dasar negara, merupakan sumber kaidah


hukum yang mengatur negara Republik Indonesia, termasuk di dalamnya seluruh
unsur-unsurnya yakni pemerintah, wilayah, dan rakyat (Herdiawanto,
Wasitaatmadja, dan Hamdayama, 2018). Pancasila dalam kedudukannya seperti
inilah yang merupakan dasar pijakan penyelenggaraan negara dan seluruh
kehidupan negara Republik Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara mempunyai
arti menjadikan Pancasila sebagai dasar untuk mengatur penyelenggaraan
pemerintahan. Konsekuensinya adalah Pancasila merupakan sumber dari segala
sumber hukum. Hal ini menempatkan Pancasila sebagai dasar negara yang berarti
melaksanakan nilai-nilai Pancasila dalam semua peraturan per-undang-undangan
yang berlaku. Oleh karena itu, sudah seharusnya semua peraturan perundang-
undangan di negara Republik Indonesia bersumber pada Pancasila. Pancasila
sebagai dasar negara Republik Indonesia mempunyai implikasi bahwa Pancasila

23
terikat oleh suatu kekuatan secara hukum, terikat oleh struktur kekuasaan secara
formal, dan meliputi suasana kebatinan atau cita-cita hukum yang menguasai
dasar Negara.

Cita-cita hukum atau suasana kebatinan tersebut terangkum di dalam empat


pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 di mana keempatnya sama
hakikatnya dengan Pancasila. Empat pokok pikiran Pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 di mana keempatnya sama hakikatnya dengan Pancasila. Empat pokok
pikiran Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 tersebut lebih Ian-jut terjelma ke
dalam pasal Undang-Undang Dasar 1945. Barulah dari pasal Undang-Undang
Dasar 1945 itu diuraikan lagi ke dalam banyak peraturan perundang-undangan
lainnya, seperti misalnya Ketetaan MPR, undang-undang, peraturan pemerintah,
dan lain sebagainya.

Berbagai macam kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai titik sentral


pembahasan adalah kedudukan dan fungsi Pancasila sebagai dasar Negara
Republik Indonesia, hal ini sesuai dengan kausa finalis Pancasila yang
dirumuskan oleh pembentuk negara pada hakikatnya adalah sebagai dasar negara
Republik Indonesia. Namun hendaklah dipahami bahwa asal mula Pancasila
sebagai dasar negara Republik Indonesia, adalah digali dari unsur-unsur yang
berupa yang terdapat pada bangsa Indonesia sendiri yang berupa pandangan hidup
bangsa Indonesia. Oleh karena itu dari berbagai macam kedudukan dan fungsi
Pancasila sebenarnya dapat dikembalikan pada dua macam kedudukan dan fungsi
Pancasila yang pokok yaitu sebagai Dasar Negara Republik Indonesia dan sebagai
Pandangan Hidup Bangsa Indonesia (Kaelan: 2013).

Sementara itu Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa mengingatkan kita


bahwa Setiap manusia di dunia pasti mempunyai pandangan hidup. Pandangan
hidup adalah suatu wawasan menyeluruh terhadap kehidupan yang terdiri dari
kesatuan rangkaian nilai-nilai luhur. Pandangan hidup berfungsi sebagai alat
untuk mengatur hubungan manusia dengan Tuhannya.

Pandangan hidup yang diyakini suatu masyarakat maka akan berkembang


secara dinamis dan menghasilkan sebuah pandangan hidup bangsa. Pandangan

24
hidup bangsa adalah kristalisasi nilai-nilai yang diyakini kebenarannya maupun
manfaatnya oleh suatu bangsa sehing-ga darinya mampu menumbuhkan tekad
untuk mewujudkannya di dalam sikap hidup sehari-hari. Setiap bangsa dimanapun
pasti selalu mempunyai pedoman sikap hidup yang dijadikan acuan di dalam
hidup bermasyarakat.

Demikian juga dengan bangsa Indonesia. Bagi bangsa Indonesia, sikap


hidup yang diyakini kebenarannya tersebut bernama Pancasila. Nilai-nilai yang
terkandung di dalam sila-sila Pancasila tersebut berasal dari budaya masyarakat
bangsa Indonesia sendiri. Oleh karena itu, Pancasila sebagai inti dan nilai-nilai
budaya Indonesia maka Pancasila dapat disebut sebagai cita-cita moral bangsa
Indonesia.

Cita-cita moral inilah yang kemudian memberikan pedoman, pegangan, atau


kekuatan rohaniah kepada bangsa Indonesia di dalam hidup bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Pancasila di samping merupakan cita-cita moral bagi
bangsa Indonesia, juga sebagai perjanjian luhur bangsa Indonesia. Pancasila
sebagaimana termuat dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 adalah hasil
kesepakatan bersama bangsa Indonesia yang pada waktu itu diwakili oleh PPKI.
Oleh karena Pancasila merupakan kesepakatan bersama seluruh masyarakat
Indonesia, maka Pancasila sudah seharusnya dihormati dan dijunjung tinggi.

Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa tersebut terkandung di dalamnya


konsepsi dasar mengenai kehidupan yang dicita-citakan, terkandung dasar pikiran
terdalam dan gagasan menge-nai wujud kehidupan yang dianggap baik. Oleh
karena Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa merupakan suatu kristalisasi
dari nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat Indonesia, maka pandangan hidup
tersebut dijunjung tinggi oleh warganya karena pandangan hidup Pancasila
berakar pada budaya dan pandangan hidup masyarakat.

Dengan demikian pandangan hidup Pancasila bagi bangsa Indonesia yang


Bhinneka Tunggal Ika tersebut harus merupakan asas pemersatu bangsa sehingga
tidak boleh mematikan keanekaragaman (Kaelan, 2013). Sebagai inti sari dari
nilai budaya masyarakat Indonesia, maka Pancasila merupakan cita-cita moral

25
bangsa yang memberikan pedoman dan kekuatan rohaniah bagi bangsa untuk
berperilaku luhur dalam kehidupan sehari dalam bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara.

D. Contoh dan Non Contoh/Ilustrasi


1. Seorang guru PPKn mengajar disebuah sekolah menengah atas, pada
setiap pembelajarannya guru PPKn tersebut selalu menggunakan
berbagai pendekatan, metode, media serta sumber belajar potensial yang
manarik dan interaktif. Upaya yang ditunjukkan oleh guru PPKn tersebut
tidak hanya dilakukan untuk meningkatkan motivasi dan hasil belajar
siswa, namun juga sebagai bentuk dari tanggung jawabnya sebagai guru
professional guna mengembangkan kecerdasan, keterampilan dan sikap
siswa.
2. Asosiasi alumni PPKn yang tergabung dalam wadah AP3KNI secara
rutin mengadakan pertemuan baik secara formal maupun non formal.
Pertemuan tersebut dilakukan untuk menjalin dan mempererat
persaudaraan. Selain itu, asosiasi ini juga selalu aktif dalam berbagai
kegiatan sosial kemasyarakatan, baik yang berbentuk bakti sosial,
pendampingan masyarakat maupun penyuluhan sosial lainnya.
Organisasi ini juga sangat aktif dalam mengkaji dan membahas isu-isu
kewarganegaraan terutama hal-hal yang berkaitan dengan warga negara.
Apa yang dilakukan oleh asosiasi ini semata-mata dilakukan dalam upaya
menjadi bagian dari warga negara transformative yang bertanggung
jawab, cerdas, berfikir kritis, kreatif, partisipatif dan berkarakter.

E. Forum Diskusi
CPMK Sub-CPMK Bahan Kajian Tugas
Terstruktur
Menguasai materi Konsep, prinsip, Konsep Dasar 1. Deskripsikanlah
dan aplikasi prosedur, dan PPKn, Prinsip Konsep Dasar
materi bidang metode keilmuan PPKn, PPKn,
studi PPKn yang serta nilai, norma, Prosedur Proses 2. Jelaskan prinsip
mencakup: dan moral yang PPKn dan prosedur
a. konsep, menjadi muatan PPKn…..
prinsip, prosedur, kurikulum dan

26
dan metode proses
keilmuan serta pembelajaran
nilai, norma, dan dan/atau
moral yang pembudayaan
menjadi muatan dalam konteks
kurikulum dan Pendidikan
proses Pancasila sebagai
pembelajaran dasar negara dan
dan/atau pandangan hidup
pembudayaan bangsa dan
dalam konteks kewarganegaraan
pendidikan di sekolah dan/atau
Pancasila sebagai masyarakat;
dasar negara dan Struktur, metode, Struktur 1. Jelaskanlah
pandangan hidup dan spirit keilmuan keilmuwan struktur
bangsa dan kewarganegaraan, kewarganegaraan, keilmuan,
kewarganegaraan hukum, politik Metode ketode
di sekolah kenegaraan, keilmuwan keilmuan, dan
dan/atau sejarah perjuangan kewarganegaraan, spirit
masyarakat; bangsa, dan Spirit pengembangan
b. struktur, disiplin lainnya pengembangan keilmuan
metode, dan spirit berlandaskan keilmuwan PPKn….
keilmuan Undang-Undang kewarganegaraan, 2. Jelaskanlah
kewarganegaraan, Dasar Negara Konsep kajian: konsep kajian
hukum, politik Republik Indonesia a. Konsep dasar ilmu
kenegaraan, tahun 1945 sebagai ilmu hukum kewarganegaraa
sejarah hukum dasar yang b. Konsep dasar
perjuangan menjadi landasan Politik
bangsa, dan konstitusional Kenegaraan
disiplin lainnya kehidupan c. Konsep Sejarah
berlandaskan bermasyarakat, Perjuangan
Undang-Undang berbangsa dan bangsa dalam
Dasar Negara bernegara yang Perfektif
Republik ber-Bhinneka Pendidikan
Indonesia tahun Tunggal Ika dalam Pancasila dan
1945 sebagai keberagaman yang Kewarganegaraan
hukum dasar yang kohesif dan utuh; d. Konsep
menjadi landasan Undang-Undang
konstitusional Dasar Negara
kehidupan Republik
bermasyarakat, Indonesia Tahun
berbangsa dan 1945
bernegara yang e. Konsep
ber-Bhinneka Bhineka Tunggal
Tunggal Ika Ika
dalam Isu-isu dan/atau Konsep Isu-Isu 1. Bacalah materi

27
keberagaman perkembangan Kewarganegaraan, tentang konsep
yang kohesif dan terkini Konsep Negara kewarganegara
utuh, kewarganegaraan Kesatuan an
c. isu-isu dan/ meliputi bidang Republik 2. Berikan contoh
ideologi, politik, Indonesia (NKRI) dan
hukum, ekonomi, argumentasi
sosial, budaya, tentang konsep
pertahanan dasar Negara
keamanan dan Kesatuan
agama, dalam Republik
konteks lokal, Indonesia….
nasional,
regional, dan
global dalam
bingkai Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia
(NKRI).

C. PENUTUP

1. Rangkuman
Pada dasarnya pembelajaran PPKn jika dikaji dari segi ontologi keilmuannya
terdapat konsep dasar, prinsip, dan prosedur keilmuannya yang perlu untuk
dipahami dan dilaksanakan secara baik oleh seluruh pemangku kepentingan PPKn
dalam hal ini adalah Guru. Paradigma ini merupakan salah satu langkah bagus
dalam pembelajaran PPKn untuk mewujudkan pembelajaran yang efektif dan
memberi pengaruh yang signifikan terhadap peserta didik dalam membentuk
atribut civic knowledge, civic skill, dan civic disposition peserta didik untuk
menjadi warganegara yang baik dan cerdas serta memiliki rasa kebangsaan yang
baik dan berfilosofikan Pancasila.

PPKn sebagai suatu pendidikan bagi warganegara untuk mendidik mereka


dalam ranah politik, hukum, dan moral. Konsep awalnya yang mengusung “Budi
Pekeri” menjadikannya sebagai pendidikan yang berfokus untuk membentuk
morality warganegara. Sehingga dengan demikian pembelajaran PPKn
sesungguhnya dapat membina dan membentuk secara baik, terstruktur, dan arif

28
morality warganegara. Pembelajaran PPKn memiliki standar tradisi yang kuat
dalam ranah Ilmu Sosial dalam upaya mewujudkan urgensi citizenship
transmission yang berfokus pada karakter warganegara yang cerdas dan baik.

PPKn sebagai wahana pendidikan Politik bertujuan untuk membentuk


semangat civic participatory warganegara dan membentuk civil society. Selain itu
PPKn sebagai wahana pendidikan hukum juga memiliki peran penting untuk
meningkatkan kesadaran warganegara (civic awarnesess) dalam berkonstitusi.
Terakhir PPKn sebagai wahana pendidikan moral juga signifikan pengaruhnya
terhadap warganegara untuk membentuk perasaan moral yang baik dalam
berkehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan pancasila dan UUD 1945.

Disamping itu pancasila sebagai falsafah bangsa dan dasar Negara menjadi
dua tolak ukur utama yang perlu di integrasikan kedalam capaian kompetensi
peserta didik melalui pembelajaran PPKn. Dan selain itu juga perlu
pengembangan kompetensi peserta didik dalam pembelajaran PPKn untuk
dikorelasikan dengan standar kompetensi inti kurikulum 2013 agar secara yuridis
dan pedagogis, PPKn menjadi pembelajaran yang efektif dari segi konsep, prinsip,
dan prosedur pembelajaran bagi warganegara atau peserta didik.

2. Tes Formatif

Soal-soal:
1. PPKn merupakan program pendidikan yang berfokus pada pembentukan
kepribadian yang berasaskan pada nilai-nilai Pancasila. Sehingga PPKn
mengusung tradisi Citizenship Transmission ke dalam konsep utuh
pembelajarannya yang bersifat?
a. Value education
b. Value inculcation
c. Value competition
d. Value creation
e. Value civic

29
2. Transfer knowledge yang bersumber dari falsafah budi pekerti gagasan Ki
Hajar Dewantara, merupakan prakonsepsi keilmuan PPKn di Indonesia yang
berbasis pembentukan rasa kebangsaan yang suci, ketertiban dan kedamaian
lahir batin terhadap warga Negara. Konsepsi ini merupakan bentuk lain dari
konsep pendidikan?
a. Norma
b. Religius
c. Social
d. Multikultur
e. Morality
3. Tiga rumpun body of knowledge PPKn adalah ilmu politik, hukum, dan moral.
Ketiganya perlu diedukasi kepada seluruh warganegara termasuk adalah
peserta didik. Hal ini urgen dikarenakan?
a. Upaya mewujudkan warganegara yang terampil
b. Upaya mewujudkan warganegara yang cerdas
c. Semangat patriotik warganegara
d. Semangat edukasi warganegara
e. Semangat Kebangsaan
4. PPKn berperan sebagai program studi yang memiliki tradisi social studies.
Salah satu kajian yang sangat signifikan adalah sebagai program studi yang
mentradisikan membentuk respon yang tinggi dan cerdas oleh peserta didik
terhadap perkembangan isu politik, pemerintahan, maupun isu-isu sosial. Hal
ini dikarenakan?
a. Tradisi Reflective Inquiri PPKn
b. Tradisi Citizenship Transmission PPKn
c. Tradisi social science PPKn
d. Tradisi civil society
e. Tradisi Kultural PPKn
5. Sebagai wahana pendidikan politik, tugas pentinya PPKn adalah konstruksi
atribut Civic Intellegence, Civic Responsibility, dan Civic Participation.
Ketiga atribut itu memungkin terbentuknya?

30
a. Civil Law
b. Civil Global
c. Civil
d. Moral Society
e. Civil Society
6. Memusatkan perhatian pada perkembangan siswa dan membentuknya menjadi
pribadi yang tangguh dan baik sebagai warganegara sehingga dapat dilabelkan
sebagai warganegara yang desirable personal quality merupakan hakikat dari?
a. PPKn sebagai Pendidikan Hukum
b. PPKn sebagai Pendidikan Politik
c. PPKn sebagai Pendidikan Ilmu Sosial
d. PPKn sebagai Pendidikan Moral
e. PPKn sebagai Pendidikan Multikultural
7. Perasaan moral sebagai suatu yang wajib, ikatan rasional akan kebaikan, dan
rasa kebebasan, perlu dipedomani oleh seluruh warganegara Indonesia sebagai
upaya mewujudkan?
a. Kesadaran diri
b. Kesadaran politik
c. Kesadaran berkonstitusi
d. Kesadaran beraspirasi
e. Kesadaran hokum.
8. Patriotik, toleren, setia terhadap bangsa dan negara, beragama menjadi
karakter-karakter urgen bagi seluruh warganegara Indonesia. PPKn
kedudukannya sebagai program pendidikan memiliki dalih yang kuat dengan
mempondasikan ilmunya dan implikasi pembelajarannya berpusat pada?
a. Nilai-nilai Pancasila
b. Nilai-nilai Hukum
c. Nilai-nilai Religius
d. Nilai-nilai Kearifan Lokal
e. Nilai-nilai Sosial

31
9. Koherensi tujuan dan capaian pembelajaran PPKn memusatkan pada 3 hal
yaitu keterampilan, pengetahuan, dan karakter. Ketiganya diadaptasi di
Indonesia untuk menjadikan warganegara yang baik dan cerdas. Namun
tentunya secara pedagogis dan yuridis koherensi tersebut perlu berpusat pada
kaidah-kaidah kurikulum untuk muatan pelajaran PPKn. Pertanyaanya, apa
yang melandasi penjelasan tersebut?
a. Sebagai relevansi keilmuan
b. Perwujudan kompetensi peserta didik
c. Sebagai sinergitas PPKn dengan kurikulum
d. Sinergi antar program pendidikan
e. Adanya pendidikan moral
10. Mengambil kaidah dan urgensi makna penjewantahan pancasila kedalam
pembelajaran PPKn menjadi prospek positif pembelajaran PPKn. Bagi
peserta didik ini memungkinkan mereka dapat?
a. Memberdayakan kedudukan pancasila sebagai dasar negara
b. Meningkatkan kapabilitas diri menjadi seseorang yang berguna bagi
negara
c. Bersumbangsi aktif terhadap pembelajaran PPKn yang filosofis
d. Memberdayakan hakikat PPKn dalam memahami dan merealisasikan
filosofi pancasila di dalam kehidupan berbangsa, dan bernegara.
e. Perwujudan dalam pembangunan nasional berdasarkan norma-norma
hukum

Kunci Jawaban
1. B 6. D
2. E 7. C
3. B 8. A
4. A 9. C
5. E 10. D

32
3. Daftar Pustaka

Buku:
Alfian. (1992). Pemikiran dan Perubahan Politik Indonesia. Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama.
Daryono. 2011. Pengantar Pendidikan Pancasila Dan Kewarganegaraan.
Jakarta: Rineka Cipta.
Herdiawanto, H., Wasitaatmadja, FF. Hamdayama, J. 2018. Spiritualisme
Pancasila. Jakarta: Kencana.
Kaelan. 2013. Negara Kebangsaan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Setiawan, D. 2014. Kapita Selekta Kewarganegaraan. Medan: Cahaya Ilmu Press.
Suseno, F.V.M. 1985. Etika Umum. Yogyakarta: Kanisius.
Wahab, A.A, dan Sapriya. 2011. Teori dan Landasan Pendidikan
Kewarganegaraan. Bandung: Alfabeta.
Winataputra, U.S. 2015. Pendidikan Kewarganegaraan Refleksi Historis-
Epistimologis dan Rekonstruksi Untuk Masa Depan. Banten: Universitas
Terbuka, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Winataputra, U.S. Budimansyah, D. 2012. Pendidikan Kewarganegaraan Dalam
Perspektif Internasional. Bandung: Widya Aksara Press.
Winarno. 2013. Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan Isi, Strategi, dan
Penilaian. Jakarta: Bumi Aksara.

Jurnal:
Isep, Peranan Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Pendidikan Hukum Dalam
Mengupayakan Internalisasi Hukum Di Kalangan Peserta Didik, Jurnal
Penelitian Pendidikan LPPM UPI. Vol 13, No 1 (2013). P. ISSN 1412-565,
E. ISSN 2541-4135.
Sukriono, D., Membangun Kesadaran Berkonstitusi Terhadap Hak-hak
Konstitusional Warga Negara Sebagai Upaya Menegakkan Hukum
Konstitusi (Develop A Constitution Awareness to Citizen Constitutional
Rights as an Effort To Enforce Constitution Law), Jurnal Legislasi
Indonesia Vol. 13 N0. 03 - September 2016: 273 – 284, P. ISSN: 0216-
1338, E-ISSN: 2579-5562.
Winarno, Materi Pembelajaran PPKn Berbasis Nilai Lokal: Identifikasi dan
Implementasi, JPK: Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 3, No. 2,
Juli 2018 ISSN 2527-7057 (Online), ISSN 2545-2683 (Print).
Winarno, Muatan Pancasila Dalam Mata Pelajaran PKn Di Sekolah, JPK: Jurnal
Pancasila dan Kewarganegaraan, Jurnal Ilmiah CIVIS, Volume I, No 2, Juli
2011.

33
Perundang-undangan:
Permendikbud Nomor 021, Tahun 2016 tentang Standar Isi.

Permendikbud Nomor 022 Tahun 2016, tentang Standar Proses.

Permendikbud No. 24, Tahun 2016 tentang Kompetensi Inti dan Kompetensi
Dasar

Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 2013, tentang Standar Nasional


Pendidikan

Internet:
Cholisin, 2010, Handout Pendidikan Kewarganegaraan. Url:
http://staffnew.uny.ac.id
/upload/131474282/pendidikan/PKN+SBG+PENDIDIKAN+POLITIK,+
DEMOKRASI,+HAM,DSB.2+MARET+2010.doc

Akbal, M. 2016. Dalam seminar nasional: “Pendidikan Ilmu-Ilmu Sosial


Membentuk Karakter Bangsa Dalam Rangka Daya Saing Global”.
Kerjasama: Fakultas Ilmu Sosial Universitas Negeri Makassar dan
Himpunan Sarjana Pendidikan Ilmu-ilmu Sosial Indonesia Grand Clarion
Hotel, Makassar, 29 Oktober 2016. Url: http://ojs.unm.ac.id/PSN-
HSIS/article/download/4084/2448.

34
KEGIATAN BELAJAR 2:
STRUKTUR, METODE DAN SPIRIT
KEILMUAN KEWARGANEGARAAN

i
DAFTAR ISI

DAFTAR ISI....................................................................................................................... ii
A. PENDAHULUAN .................................................................................................. 1
1. Deskripsi Singkat ....................................................................................... 1
2. Relevansi ..................................................................................................... 1

B. INTI ........................................................................................................................ 2
1. Capaian Pembelajaran .............................................................................. 2
3. Uraian Materi ............................................................................................. 3
a. Struktur Keilmuan Kewarganegaraan ............................................... 3
1. Arah Rekonstruksi PPKn .................................................................. 10
2. Sumber Filosofis Tradisi Struktur Keilmuan PPKn ......................... 11
b. Metode Mengajar Kewarganegaraan atau PPKn ............................ 12
Metode Belajar PPKn Berbasis Portofolio ........................................... 15
c. Spirit Kewarganegaraan ..................................................................... 17
1. Historis dan Pedagogis Spirit Kewarganegaraan Indonesia ........... 18
2. Sejarah Kelahiran Pancasila Sebagai Aktualisasi Spirit
Kewarganegaraan di Indonesia ....................................................... 20
3. Hakikat UUD 1945 Sebagai Kaidah Fundamental Bagi
Warganegara Indonesia ................................................................... 24
d. Contoh dan Non Contoh/Ilustrasi........................................................... 26

C. PENUTUP ............................................................................................................ 28
1. Rangkuman .............................................................................................. 28
2. Tes Formatif ............................................................................................. 30
3. Daftar Pustaka.......................................................................................... 32

ii
A. PENDAHULUAN

1. Deskripsi Singkat
Kegiatan belajar dua secara umum akan membahas tiga kajian penting
diantaranya struktur, metode, dan spirit keilmuan kewarganegaraan yang secara
komprehensif dapat memperkaya cakrawala keilmuan seorang guru PPKn dan
dapat mengembangkan kompetensi dasar keilmuan guru PPKn dari sudut
kemampuan saintifik atau pedagogis. Struktur keilmuan yang fleksibel, metode
yang kontekstual, serta keilmuan yang mendukung spirit kewarganegaraan untuk
berkehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan amanah Pancasila, UUD
1945, esensi Bhineka Tunggal Ika, dan komitmen Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Secara rinci, adapun hal-hal utama dalam kegiatan belajar dua ini
diantaranya: (1). Kegiatan belajar 2 (dua) ini memuat 3 point materi penting yaitu
Struktur, Metode, dan Spirit Kewarganegaraan, (2). Pemahaman dan penguasaan
kemampuan pedagogik dan professional Guru PPKn dilihat dari aspek
keilmuannya, (3). Kegiatan belajar ini juga agar mengakomodasi kemampuan
kritis guru PPKn dalam menjawab beberapa soal yang sifatnya evaluative dan
analitis.

2. Relevansi
Modul 3 Kegiatan Belajar 2 yang membahas tentang Struktur, Metode dan
Spirit Keilmuan Kewarganegaraan pada diklat Pendidikan Profesi Guru (PPG)
dalam jabatan ini sangat penting dan relevan menjadi mata latih peserta PPG
dalam jabatan. Hal tersebut dikarenakan salah satu kompetensi mutlak yang harus
dimiliki oleh seorang guru PPKn yang profesional adalah pemahaman tentang
Struktur, Metode dan Spirit Keilmuan Kewarganegaraan terutama dalam kaitanya
dengan konsep karakteristik Civic melalui Civic Knowledge (pengetahuan
kewarganegaraan), Civic Skill (kecakapan kewarganegaraan) dan Civic
Disposition (watak-watak kewarganegaraan).

1
Melalui struktur, metode dan spirit keilmuan kewarganegaraan, maka PPKn
memiliki visi untuk pembangunan karakter bangsa yang berlandaskan pada
Pancasila. Pembelajarannya mengacu pada tiga fokus perhatian yaitu PPKn
sebagai pendidikan politik, PPKn sebagai pendidikan hukum, dan PPKn sebagai
pendidikan moral.

3. Petunjuk Belajar
Sebelum anda mempelajari Kegiatan Belajar 2 (KB 2) ini, ada beberapa hal
yang harus anda lakukan untuk mempermudah pemahaman anda tentang isi KB 2
ini. Beberapa langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut;
1. Pahamilah terlebih dahulu mengenai berbagai kegiatan dan tahapan penting
dalam diklat mulai tahap awal sampai akhir.
2. Lakukan kajian permulaan terhadap tema Konsep Dasar Keilmuan PPKn
melalui Struktur, Metode, dan Spirit Kewarganegaraan dengan mencari
beberapa referensi yang relevan.
3. Pelajari terlebih dahulu langkah dan tahapan KB 2 pada modul 2 untuk
memudahkan dalam memahami isi KB 2.
4. Keberhasilan proses pembelajaran Anda dalam mata diklat ini sangat
tergantung kepada kesungguhan Anda dalam mengerjakan latihan. Untuk
itu, berlatihlah secara mandiri atau berkelompok dengan teman sejawat,
berkaitan dengan latihan soal yang telah disediakan pada KB 2 ini.
5. Bila Anda menemui kesulitan, silakan berdiskusi dengan teman sejawat,
atau bertanya kepada instruktur atau fasilitator yang mengajar modul diklat
ini.
6. Selamat belajar, semoga sukses dan berhasil.

B. INTI

1. Capaian Pembelajaran
Menguasai materi dan aplikasi materi bidang studi PPKn yang mencakup:
a. Konsep, prinsip, prosedur, dan metode keilmuan serta nilai, norma, dan
moral yang menjadi muatan kurikulum dan proses pembelajaran

2
dan/atau pembudayaan dalam konteks pendidikan Pancasila sebagai
dasar negara dan pandangan hidup bangsa dan kewarganegaraan di
sekolah dan/atau masyarakat;
b. Struktur, metode, dan spirit keilmuan kewarganegaraan, hukum, politik
kenegaraan, sejarah perjuangan bangsa, dan disiplin lainnya yang
berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945 sebagai hukum dasar dan menjadi landasan konstitusional
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang ber-Bhinneka
Tunggal Ika dalam keberagaman yang kohesif dan utuh,
c. Isu-isu dan/ atau perkembangan terkini kewarganegaraan meliputi
bidang ideologi, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan
keamanan dan agama, dalam konteks lokal, nasional, regional, dan
global dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI),
termasuk advance materials. Konsepsi advance materials yang di
maksud, yaitu dengan menguasai materi ataupun bahan ajar yang akan
diajarkan dan menguasai cara untuk membelajarkannya dengan
kemampuan secara bermakna yang dapat menjelaskan aspek, “apa”
(konten), “mengapa” (filosofis), dan “bagaimana” (penerapan) dalam
kehidupan sehari-hari;

2. Uraian Materi

a. Struktur Keilmuan Kewarganegaraan


Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn) merupakan program
pendidikan yang pada dasarnya sebagai program pendidikan yang mentransfer
esensi dan urgensi keilmuan Civics (Ilmu Kewarganegaraan). Civics merupakan
ilmu yang secara historis sebagai ilmu yang membentuk warganegara menjadi
warganegara yang baik dan cerdas dan secara filosofis sebagai ilmu yang
mentransfer dan menginternalisasi nilai-nilai kebaikan kepada warganegara atau
disebut morality transmission.

3
Dalam paradigma baru PKn, civics sebagai ilmunya PKn di Indonesia
menjadi suatu ilmu yang memfasilitasi 3 rumpun ilmu lainnya sebagai bahan
materi ajar di dalam struktur keilmuan civics yang diataranya adalah politik,
hukum, dan moral. Ketiganya memiliki karakter kuat dalam membentuk morality
warganegara dikarenakan visi nation building character-nya. Sebagaimana
dijelaskan dalam (Setiawan, 2016) paradigma baru PKn antara lain memiliki
struktur keilmuan yang jelas yakni berbasis pada ilmu politik, hukum, dan filsafat
moral/filsafat pancasila dan memiliki visi yang kuat nation character building,
citizen empowerment yang mampu mengembangkan civil society yang memiliki
arti penting dalam pembaharuan. Dengan struktur keilmuan yang demikian, PPKn
di Indonesia berfokus pada pendidikan politik bagi warganegara, pendidikan
hukum bagi warganegara, dan pendidikan moral bagi warganegara.

Dengan proporsi keilmuan yang terdiri atas ilmu politik, ilmu hukum, dan
filsafat moral atau filsafat Pancasila, PPKn menjadi suatu program yang ilmunya
termasuk ke dalam tradisi ilmu sosial melalui kajian pokok ilmu politik yang
berfokus pada demokrasi politik untuk hak dan kewajiban (Wahab dan Sapriya,
2011). Dengan termasuk ke dalam tradisi social studies, PPKn mengembangkan
tradisi transmisi kewarganegaraan dan terus berkembang menjadi citizenship
education. Dan di dalam tradisi ini termuatlah keilmuan PPKn suatu paradigma
sistemik yang diantaranya terdiri atas domain akademis, domain kurikuler, dan
domain sosio kultural.

Gambar 1. Tradisi Citizenship Transmision Pembelajaran PKn, diadaptasi Dari


Konsep Sosial Studi PKn Menurut Barr, Bart, dan Shermis dalam
(Wahab dan Sapriya, 2011).

4
Pembelajaran PPKn yang salah satunya juga termasuk ke dalam salah satu
tradisi ilmu sosial yaitu citizenship transmision secara konseptual terbagi atas
beberapa komponen-komponen kemampuan yang terhimpun kedalam subjeknya
yaitu warganegara. Komponen-komponen tersebut yang diantaranya tersebar pada
3 (tiga) paradigma domain yaitu domain akademis, domain kurikuler, dan domain
sosial kultural secara struktur dan fungsional di ikat oleh kebajikan dan budaya
kewarganegaraan atau civic virtue dan civic culture. Structural dan fungsional
yang demikian mencakup beberapa komponen kompetensi yaitu civics knowledge
(pengetahuan warganegara), civics skill (keterampilan warganegaran), dan civics
disposition (watak warganegara).

Selanjutnya ketiga komponen tersebut dapat dikombinasikan masing-


masing dan menjadi terlihat pada konsep dibawah ini:

Gambar 2. Konsep Sinergi atau Kombinasi Komponen-Komponen PPKn


(Thomas Lickona)

Berdasarkan konsep komponen keilmuan diatas, PKn memiliki visi untuk


pembangunan karakter bangsa yang berlandaskan pada Pancasila.
Pembelajarannya mengacu pada tiga fokus perhatian yaitu PKn sebagai
pendidikan politik, PKn sebagai pendidikan hukum, dan PKn sebagai Pendidikan
moral.

PKn sebagai pendidikan politik berupaya untuk membangun dan


membentuk warganegara yang berperan aktif di dalam politik atau politik
kewarganegaraan. Peran warga negara baik di bidang politik, hukum, ekonomi

5
dan sosial-budaya merupakan substansi hubungan warga negara dengan negara.
Hal ini merupakan efek dimana peran warganegara atau politik warganegara
merupakan focus of interest (pusat perhatian/obyek forma PKn). Dengan kata lain
substansi materi PKn adalah demokrasi politik, demokrasi ekonomi, dan
demokrasi sosial. Peranan waraganegara yang aktif merupakan wujud dari sikap
demokratis untuk mendukung tegaknya kehidupan berbangsa dan bernegara yang
sejalan dengan amanah dari 4 konsensus Indonesia yaitu Pancasila, UUD 1945,
Bhineka Tunggal Ika, dan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Sementara itu, kedudukan ilmu hukum di dalam pembelajaran PKn


merupakan patronasi untuk keilmuan PKn dalam konteks rule of law dan law
enforcement (penegakannya). Dengan kedudukannya yang demikian, akan sangat
membantu capaian pembelajaran PKn dalam membentuk sikap demokratis
warganegara yang salah satu indikatornya adalah ketertiban hukum. Sebagaimana
dalam paradigma barunya “Ciri-ciri utama PKn adalah mengkaji hak-hak dan
tanggung jawab warganegara; pemerintah dan lembaga-lembaga negara; sejarah
dan konstitusi; identitas nasional; sistem hukum dan rule of law; ….” (Pebriyenni,
2017).

Kemudian PKn sebagai pendidikan nilai atau moral lebih mengarah kepada
konstekstualisasi penanaman nilai-nilai ideal Pancasila kepada seluruh
warganegara. Sebagaimana dalam (Winarno, 2018) bahwa: “Yang dimaksud
PPKn sebagai pendidikan nilai adalah pendidikan nilai moral. Hal ini dikarenakan
konsep tentang moral itu sendiri adalah nilai, akan tetapi, nilai tidak hanya
mencakup nilai moral. PPKn sebagai pendidikan nilai dewasa ini tetap
mendapatkan pengakuan dalam praktek pendidikan kita. Menurut Muchtar (2007)
bahwa salah satu ciri dan pendekatan PKn ialah sebagai pendidikan nilai moral,
yang lebih khusus lagi adalah pendidikan nilai dan moral Pancasila. Ruminiati
(2006) juga menyatakan bahwa pelajaran PKn SD berfungsi sebagai pendidikan
nilai, yakni bertugas mensosialisasikan dan menginternalisasikan nilai-nilai
Pancasila. PKn sebagai program pendidikan berada dalam koridor “value based
education” (Budimansyah & Suryadi, 2008). Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)
merupakan pendidikan nilai dalam hal ini adalahnilai moral. Melalui pendekatan
filsafati dikatakan bahwa Pancasila adalah suatu sistem etika, sebuah sistem nilai
(Kaelan, 2000)”. Pancasila menjadi suatu sistem etika bagi warganegara Indonesia

6
dan konsep ini difasilitasi oleh PKn sebagai wahana pendidikan moral bagi
warganegara.

Dalam khasanah pengetahuan, pendidikan kewarganegaraan (PKn)


(civic/citizenship education) merupakan bidang kajian atau studi yang bersifat
multifaset dengan konteks epistemologis lintas bidang keilmuan. Secara filsafat
keilmuan PKn memiliki ontology pokok ilmu politik khususnya konsep political
democracy untuk aspek duties and rights of citizen (Chreshore:1886 dalam Allen:
1960, dalam Winataputra: 2008). Sifat multidimensionalitas yang membuat
bidang studi PKn dapat disikapi sebagai pendidikan kewarganegaraan, pendidikan
politik, pendidikan nilai dan moral, pendidikan kebangsaan, pendidikan
kemasyarakatan, pendidikan hukum dan hak azasi manusia, serta pendidikan
demokrasi.

1. Komponen Keilmuan Civics


Civics sebagai ilmunya PKn mempunyai karakterstik dalam upaya
membentuk seseorang menjadi warga negara yang baik. Adapun karakteristik
civics menurut Branson, (1999) dalam (Setiawan dan Yunita, 2017) bahwa materi
civics harus mencakup tiga komponen, yaitu Civic Knowledge (pengetahuan
kewarganegaraan), Civic Skill (kecakapan kewarganegaraan) dan Civic
Disposition (watak-watak kewarganegaraan).

Komponen Pertama Civic Knowledge, “berkaitan dengan kandungan atau


nilai apa yang seharusnya diketahui oleh warganegara” (Branson, 1999). Aspek
ini menyangkut kemampuan akademik keilmuan yang dikembangkan dan
berbagai teori atau konsep politik, hukum dan moral. Dengan demikian, mata
pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan merupakan bidang kajian multidisipliner.

Komponen Kedua, Civic Skill meliputi keterampilan intektual (intelectual


skills) dan keterampilan berpartisipasi (participator), dalarn kehidupan berbangsa
dan bernegara. Contoh keterampilan intelektual adalah keterampilan dalam
merespon berbagai persoalan politik, misalnya merancang dialog dengan DPRD.
Dalam contoh tersebut, keterampilan berpartisipasi adalah keterampilan
menggunakan hak dan kewajiban di bidang hukum, misalnya segera melapor
kepada polisi atas terjadinya kejahatan yang diketahui.

Komponen Ketiga, civic disposition (watak-watak kewarganegaraan)


7
merupakan dimensi yang paling subtantif dan esensial dalam mata pelajaran PKn.
Dimensi watak kewarganegaraan dapat dipandang sebagai “muara” dari
pengembangan kedua dimensi sebelumnya. Dengan memperhatikan visi, misi, dan
tujuan mata pelajaran PKn, karakteristik mata pelajaran ini ditandai dengan
penekanan pada dimensi watak, karakter, sikap dan potensi lain yang bersifat
afektif.

Sementara menurut Branson dalam jurnal “Civics” (Mulyono, 2017) bahwa:


“Tujuan utama dari civic disposition adalah untuk menumbuhkan karakter warga
negara, baik karakter privat seperti; tanggungjawab moral, disiplin diri, dan
penghargaan terhadap harkat dan martabat manusia dari setiap individu, maupun
karakter publik misalnya; kepedulian sebagai warga, kesopanan, mengindahkan
aturan main (rule of law), berpikir kritis, dan kemauan untuk mendengar,
bernegosiasi dan kompromi”.

2. Materi Kajian PPKn


Substansi dalam pembelajaran PKn atau melalaui program PPKn di
Indonesia secara pedagogis dan filosofis lebih mengarah pada aspek morality
dengan fokus substansinya adalah persoalan demokrasi atau politik warganegara.
Dalam (Wahab dan Sapriya, 2011) dijelaskan bahwa, Tujuan PKn hendaknya
disesuaikan dengan tuntutan dan perkembangan zaman, artinya bukan hanya
membangun warga negara yang baik (good citizen) semata melainkan warga
negara yang cerdas (smart citizen) dalam menghadapi lingkungan kehidupannya.
Hal ini perlu mendapat perhatian mengingat tantangan kehidupan saat ini tidak
cukup dan dapat diselesaikan hanya oleh warga negara yang baik melainkan perlu
pula oleh warganegara yang memiliki kecerdasan.

Kecerdasan yang perlu dimiliki oleh seorang warga negara adalah


kecerdasan dalam berbagai aspek, yakni kecerdasan dalam intelektual, emosional,
sosial, dan bahkan spiritual. Kecerdasan yang dimiliki oleh seorang warga negara
diharapkan dapat dirnanfaatkan untuk berpikir dalam menganalisis berbagai
masalah. Dalam hal ini seorang warga negara harus memiliki sejumlah
keterampilan/kecakapan (skills), meliputi keterampilan berfikir, berkomunikasi,
berpartisipasi, bahkan keterampilan untuk memecahkan masalah-masalah yang
dihadapinya.

8
Secara konseptual, PKn memiliki objek kajian pokok ilmu politik,
demokrasi politik (political democracy) untuk aspek hak dan kewajiban (duties
and rights of citizen). Dari objek kajian pokok inilah berkembang yang secara
harfiah diambil dari bahasa latin civicus, yang artinya warga negara pada zaman
Yunani kuno. Secara praksis, fokus kajian/bidang telaah PKn adalah perilaku
warga negara. Perilaku warga negara sebagai pribadi maupun anggota masyarakat
berada dalam lingkup sebuah organisasi, sebagai pengikat dan sekaligus yang
memberi ruang untuk melakukan perbuatan.

Organisasi yang dimaksud adalah negara sebagai organisasi tertinggi.


Secara filosofis, objek kajian PKn sebagai landasan berpikir dalam konteks ke-
Indonesiaan, meliputi: Nusantara Indonesia, manusia sebagai pribadi, kekayaan
Indonesia, kesadaran manusia Indonesia atas ke-Indonesiaannya, Jati diri sebagai
bangsa Indonesia. Secara ontologis, perspektif PKn sebagai domain kurikuler
terdiri atas dua unsur, yakni curriculum content dan student behavior.

Persoalan yang dihadapi saat ini khususnya menyangkut persoalan bangsa


dan pemerintahan yang berada pada masa transisi, menunjukkan bahwa PKn di
Indonesia yang bersifat exclusive dan formal dengan pembelajaran berparadigma
education about democracy sedang mengalami perubahan menjadi paradigma
education in democracy. Ini berarti bahwa materi PKn disiapkan sebagai wahana
pendidikan demokrasi bagi warganegara untuk membentuk perilaku warga negara
yang demokratis dan bertanggungjawab.

1. Arah Rekonstruksi PPKn


Struktur keilmuan yang berorientasi pada substansi dan urgensi moralitas
pribadi manusia yang beradab sesuai dengan esensi dari aktualisasi Pancasila,
UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI, menjadikan PPKn menyumbang
peranan penting dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa yang berakhlak
mulia dan memiliki rasa cinta tanah air, berprikemanusiaan, dan
bertanggungjawab. Hal ini tidak lepas dari sumbangsihnya sebagai wahana
pendidikan nilai atau moral, sebagai wahana pendidikan politik, dan wahana
pendidikan hukum.

Selain itu jika diarahkan pada konstruksi kurikulum PPKn, sebagaimana


dalam (Winataputra, 2015) apabila merujuk pada berbagai hasil kajian filosofis,
9
sosiologis, yuridis, dan pedagogik, dalam konteks konsepsi utuh pengembangan
Kurikulum 2013 dilakukan strategi penguatan dan penyempurnaan secara
komprehensif terhadap mata pelajaran PPKn dalam kerangka pengembangan
Kurikulum 2013 pada jenjang pendidikan dasar dan pendidikan menengah sebagai
berikut:

1. Mengubah nama mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (PKn)


menjadi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan (PPKn);
2. Menempatkan mata pelajaran PPKn sebagai mata pelajaran yang memiliki
misi pengokohan kebangsaan dan penggerak pendidikan karakter yang
bersumberkan nilai dan moral Pancasila.

3. Mengorganisasikan pengembangan kompetensi dasar (KD) PPKn dalam


bingkai Kompetensi Inti (KI) yang secara psikologis-pedagogik menjadi
pengintergrasi kompetensi peserta didik secara utuh dan koheren dengan
penanaman, pengembangan, dan/atau penguatan nilai dan moral Pancasila; nilai
dan norma UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945; nilai dan semangat
Bhinneka Tunggal Ika; serta wawasan dan komitmen Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
4. Mengembangkan dan menerapkan berbagai model pembelajaran yang
sesuai dengan karakteristik PPKn secara holistik/utuh dalam rangka
peningkatan kualitas belajar dan pembelajaran yang berorientasi pada
pengembangan karakter peserta didik sebagai warganegara yang cerdas
dan balk secara utuh dalam bingkai Kompetensi Inti (sikap, pengetahuan,
keterampilan);
5. Mengembangkan dan menerapkan berbagai model penilaian proses
pembelajaran dan hasil belajar PPKn yang mengintegrasikan sikap
kewarganegaraan, pengetahuan kewarganegaraan, dan keterampilan
kewarganegaraan dalam wadah tanggung jawab dan partisipasi
kewarganegaraan.

Konsepsi kurikulum PPKn yang demikian, menandakan secara progress


PPKn tersusun secara sistematis dan eksplisit dalam upaya mengembangkan
karakter warganegara dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan
4 (empat) konsensus yaitu: Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggak Ika dan
NKRI. Namun demikian PPKn, juga tetap dengan konsep dan struktur keilmuan

10
yang secara filosofis dan pedagogis membentuk suatu ilmu yang fundamental
berdasarkan capaian kompetensi yang eksplisit orientasinya yaitu pengetahuan
warganegara, keterampilan warganegara, dan watak warganegara serta dengan
model dan capaian hasil belajar yang terukur.

2. Sumber Filosofis Tradisi Struktur Keilmuan PPKn


Mari kita hubungkan tradisi keilmuan PPKn dengan desain kurikulum PPKn
yang menjadi bagian dari Kurikulum 2013 sebagai titik tolak, dan sebagai
parameter untuk melihat kurikulum PKn/PPKn sebelumnya, dengan menggunaan
indikator sebagai berikut (Winataputra, 2015):

Tradisi Perenialisme dicirikan dengan imperatif nilai-nilai luhur


kebangsaan (Pancasila) dan kebernegaraan (UUD NRI Tahun 1945 dan konstitusi,
serta lainnya), terbaca secara implisit sebagai aspek metakognisi (semangat atau
tendensi) dalam substansi yang menjadi muatan Kompetensi Dasar (KD).

Tradisi Esensialisme dicirikan dengan kemasan sebagai mata pelajaran


yang dipayungi oleh disiplin keilmuan politik/kenegaraan tertuang dalam bentuk
rumusan logika struktural keilmuan dalam sebuah keutuhan Kompetensi Dasar
(KD).

Tradisi Progresifisme dicirikan dengan pengorganisasian pengalaman


belajar (learning experiences) yang bermuatan substansi dan proses psikologis-
pedagogis secara spiral meluas (extending communityapproaches), tercermin
dalam rumusan perilaku, baik yang bersifat afektif, konatif, maupun keterampilan
yang termuat dalam setiap KD dan antar KD dalam satu tingkat kelas.

Tradisi Rekonstruksionisme dicirikan dengan muatan dan dorongan


dan/atau fasilitasi bagi individu untuk memberikan kontribusi sesuai dengan
kemampuannya kepada orang lain, masyarakat, bangsa dan negara.
Pengorganisasian pengalaman belajar (learning experiences) yang bermuatan
substansi dan proses psikologis-pedagogis dilakukan secara spiral meluas
(extending community approaches sebagaimana hal itu tercermin dalam rumusan
dalam setiap KD dan antar KD dalam satu tingkat kelas.

Implikasi dari keempat tradisi ini, sebagai pokok landasan dalam


pengorganisasian pembelajaran PPKn yang memiliki fokus keilmuan, tujuan yang
terukur, serta materi yang fleksibel dan efektif untuk mencapai hasil belajar PPKn
11
yang baik.

b. Metode Mengajar Kewarganegaraan atau PPKn


Sebagai salah satu variabel dalam pembelajaran, metode memiliki peranan
yang penting dalam upaya mendukung tercapainya hasil belajar yang diinginkan.
Secara pedagogis metode pembelajaran terbagi atas 3 (tiga) strategi (Uno, 2014)
yaitu (1). Strategi Pengorganisasian: sebagai langkah untuk menentukan isi
bidang studi yang dipilih untuk pembelajaran seperti pemilihan isi, penataan isi,
pembuatan diagram, dan lainnya. (2). Strategi Penyampaian: sebagai langkah
untuk mendapatkan respons siswa dengan menata interaksi dengan baik. (3).
Strategi Pengelolaan: langkah untuk menyiapkan strategi mengelola kelas.
Dengan demikian maka hakikat metode pembelajaran sangan signifikan dalam
menentukan keberhasilan hasil belajar melalui strategi-straegi belajar yang efektif,
kreatif, dan relevan.

Dalam pembelajaran PKn atau Civics, dilihat dari historinya maka


konsentrasi metode belajar civics sangat berfokus pada pertumbuhan belajar
peserta didik. Sebagaimana dalam (Somantri: 1976) bahwa metode mengajar
civics harus dapat menyelaraskan unsur-unsur di dalam pendidikan seperti tujuan
belajar, teori belajar, kurikulum, sifat belajar, kebutuhan, dan mutu pengajar,
sehingga dapat memobiliser pertumbuhan belajar peserta didik.

Dilihat dari sejarahnya, metode mengajar civics yang terkesan doktriner


sehingga perlu adanya pencerahan atau perbaikan yang mana civics sebagai
wahana pendidikan demokrasi, metode mengajarnya harus berorientasi pada:

1. Mendorong partisipasi pelajar yang aktif;


2. Mempunyai sifat-sifat inquiry;
3. Pendekatan pemecahan masalah (Somantri, 1976).
Metode tersebut secara tersadar, terencana, dan terukur harus digalakkan di dalam
pengajaran civics. Hal ini sebagai upaya menghindari penyakit pembelajaran
tradisionil civics seperti:
a. Ujian akhir biasanya menanyakan hafalan;
b. Buku civics isinya sangat dipengaruhi oleh essentialism-verbalism;
c. Indoktrinasi, ground covering technique, dan yang sejenisnya adalah
yang paling gampang;
12
d. Kurangnya kegiatan-kegiatan penulisan ilmiah mengenai metode,
sehingga penyebaran prinsip-prinsip metode yang tercantum dalam
rencana pendidikan, sulit untuk dijalankan.

Lantas bagaimana solusi terbaik untuk sekarang ini terutama dalam upaya
menghadapi tren disrupsi di era revolusi industri 4.0 yang dalam konsep civics
rentan akan efek dinamika ekspresi digital citizenship.

Untuk menyikapi problem yang demikian, perlu dipahami dahulu dalam


menyiapkan metode perlu didukung oleh strategi jitu yang relevan untuk
mendukung hasil belajar civics atau PKn. Untuk itu dalam (Wahab dan Sapriya,
2011) bahwa strategi pembelajaran PKn yang perlu dikembangkan sesuai dengan
pendekatan field psychology adalah strategi pembelajaran yang mengombinasikan
antara sudut ekstrim inkuiri dan sudut ekstrim ekspositori. Atau pemahaman
mudahnya adalah strategi belajar PKn dengan pendekatan inquiri dapat memicu
pembelajaran yang lebih kontekstual sesuai dengan gejala-gejala kehidupan
kewarganegaraan yang sedang hangat terjadi yang kemudian guru bersama siswa
mencari solusi atau jawaban. Sedangkan dengan pendekatan ekspositori maka
pembelajaran PKn lebih bermakna dengan penyampaian materi yang secara
optimal melalui materi-materi yang faktual.

Selain itu, strategi tersebut juga harus didukung dengan metode yang tepat
sesuai dengan kebutuhan pembelajaran PKn. Dilihat dari segi pedagogis dan
filosofisnya, maka metode yang tepat dalam pembelajaran PKn haruslah
berorientasi pada misi PKn sebagai wahana pendidikan demokrasi dan
pembangunan nilai atau karakter agar menjadi warganegara yang baik dan cerdas.

Strategi dan metode belajar inquiri dianggap paling cocok untuk


memfasilitasi keperluan strategi dan metode belajar PKn. Dalam hal menerapkan
metode inquiri, maka langkah-langkah metode inkuiri adalah sebagai berikut
(Wahab dan Spariya, 2011):

1. Perumusan masalah
2. Perumusan hipotesis
3. Konseptualisasi
4. Pengumpulan data
5. Pengujian dan analisis data

13
6. Menguji hipotesis
7. Memulai inkuiri lagi.

Untuk lebih memudahkan pemahaman tentang metode inkuiri dalam


pembelajaran PKn. Kita dapat mengacu pada penjelasan inkuiri dalam jurnal
“Harmoni Sosial” (Murdiono dan Sulianti, 2017) dimana inkuiri berasal dari kata
to inqueri (inquiry)yang berarti ikut serta atau terlibat, dalam mengajukan
pertanyaan-pertanyaan, mencari informasi, dan melakukan penyelidikan. Model
pembelajaran inkuiri adalah rangkaian kegiatan pembelajaran yang menekankan
pada proses berfikir secara kritis dan analisis untuk mencari dan menemukan
sendiri jawaban dari suatu masalah yang dipertanyakan.

Metode pembelajaran inkuiri digunakan untuk meningkatkan keterampilan


berpikir kritis dan hasil belajar. Selama ini model pembelajaran PPKn yang
digunakan cenderung monoton, sehingga kurang menarik minat peserta didik
untuk mengikuti pembelajaran PPKn. Guru dituntut untuk dapat melakukan
inovasi model pembalajaran yang menyenangkan dan menarik minat peserta didik
agar dapat meningkatkan keterampilan berpikir kritis dan hasil belajar peserta
didik.

Metode Belajar PPKn Berbasis Portofolio


Pembelajaran PPKn berbasis portofolio merupakan metode pembelajaran
untuk pembentukan warga negara demokratis, yakni cara membelajarkan anak
didik dengan mengembangkan kecerdasan warga negara (civic intelligence) dalam
dimensi spiritual, rasional, emosional dan sosial, mengembangkan tanggung
jawab warga negara (civic responsibility), dan mengembangkan anak didik
berpartisipasi sebagai warga negara (civic participation) guna menopang tumbuh
dan berkembangnya warga negara yang baik.

Untuk membentuk masyarakat demokratis diperlukan pemerintahan


demokratis, yaitu pemerintahan yang “berasal dari rakyat oleh rakyat dan untuk
rakyat”. Dalam prinsip pemerintahan demokratis terkandung hak berpartisipasi
dari setiap warga negara. Hak berpartisipasi ini membebankan tanggung jawab
tertentu kepada setiap warga negara. Di antara tanggung jawab ini adalah

14
tanggung jawab untuk memperoleh pengetahuan dan keterampilan berpartisipasi
secara cerdas, dan tanggung jawab untuk berkehendak meningkatkan
kesejahteraan sosial berdasarkan prinsip-prinsip keadilan. Agar warga negara
dapat berpartisipasi secara efektif, diperlukan bekal pengetahuan dan
keterampilan, pengalaman praktis, dan pemahaman tentang pentingnya partisipasi
warga negara. Mempersiapkan warga negara yang memiliki kualitas seperti
tersebut merupakan tugas pokok pendidikan, terutama Pendidikan Kewarga-
negaraan (PKn).

Metode pembelajaran PKn berdasarkan pada portofolio (Wahab dan


Sapriya, 2011) merupakan kumpulan informasi/data yang tersusun dengan baik
yang menggambarkan rencana kelas siswa berkenaan dengan suatu isu kebijakan
publik yang telah diputuskan untuk dikaji oleh mereka, baik dalam kelompok
kecil maupun kelas secara keseluruhan. Portofolio kelas berisi bahan-bahan
seperti pernyataan-pernyataan tertulis, peta grafik photografi, dan karya seni asli.
Bahan-bahan ini menggambarkan:

1. Hal-hal yang telah dipelajari siswa berkenaan dengan suatu masalah yang
telah mereka pilih.
2. Hal-hal yang telah dipelajari siswa berkenaan dengan alternatif-alternatif
pemecahan terhadap masalah tersebut.
3. Kebijakan publik yang telah dipilih atau dibuat oleh siswa untuk
mengatasi masalah tersebut.
4. Rencana tindakan yang telah dibuat siswa untuk digunakan dalam
mengusahakan agar pemerintah menerima kebijakan yang mereka
usulkan.

Pembelajaran dengan berbasiskan portofolio mengajak para siswa untuk


bekerjasama dengan teman-temannya di kelas dan dengan bantuan guru serta para
relawan agar tercapai tugas-tugas pembelajaran berikut.
1. Mengidentiflkasi masalah yang akan dikaji.
2. Mengumpulkan dan menilai informasi dari berbagai sumber berkenaan
dengan masalah yang dikaji.

15
3. Mengkaji pemecahan masalah.
4. Membuat kebijakan publik.
5. Membuat rencana tindakan.

Dalam usaha mencapai tugas-tugas pembelajaran ini ditempuh melalui 6


(enam) tahap kegiatan sebagai berikut.
Tahap I : Mengidentifikasi Masalah Kebijakan Publik di Masyarakat.
Tahap II : Memilih Satu Masalah Untuk Kajian Kelas
Tahap III : Mengumpulkan Informasi Tentang Masalah yang Akan
dikaji oleh Kelas.
Tahap IV : Membuat Portofolio Kelas
Tahap V : Menyajikan Portofolio
Tahap VI : Refleksi Terhadap Pengamatan Belajar dalam Pembelajaran
PKn yang Berbasis Portofolio, Kelas dibagi ke dalam Empat
Kelompok. Setiap Kelompok Bertanggung Jawab Untuk
Membuat Satu Bagian Portofolio Kelas.

c. Spirit Kewarganegaraan
Konseptualitas PPKn yang mengarah pada tradisi citizenship transmision
menjadikan PPKn dilihat dari kacamata historis sebagai suatu pendidikan yang
berkonsentrasi pada pembentukan cultural unity (kebangsaan) yang cinta akan
nilai luhur bangsanya sendiri. Hal ini dipertegas dalam (Wahab dan Sapriya,
2011) bahwa melalui tradisi sosial yang pertama yaitu “social studies taught as
citizenship transmision” dimana di setiap bangsa di dunia dihadapkan pada upaya
pembentukan cultural unity yang didasarkan pada pemahaman bahwa generasi
muda mengetahui sejarah bangsanya, disamping itu juga harus diajarkan tentang
patriotisme.

Selain itu cultural unity juga menghendaki adanya pembentukan nilai


terhadap kesadaran individu (warganegara) yang memiliki rasa kesamaan
terutama dalam segi bahasa. Hal ini sebagai bentuk spirit kewarganegaraan
Indonesia yang mengutamakan tumbuh kembangnya rasa persatuan bangsa

16
melalui bahasa. Lynch dalam (Wahab dan Sapriya, 2011) menjelaskan bahwa
“kewarganegaraan seringkali diidentikan dengan ideologi nasionalistik yang
dicangkokkan kedalam kesadaran individu dan identitas nasional dalam bentuk
superioritas nilai. Selanjutnya kewarganegaraan nasional diperkuat oleh bahasa
dan kebijakan tentang kebudayaan yang mengesahkan kebudayaan nasional
melalui satu bahasa persatuan. Kedudukan bahasa nasional sebagai pemersatu
bangsa sangat penting bagi eksistensi kewarganegaraan dan pencapaian
kesatuan identitas nasional”. Paradigma ini menunjukkan bahwa dalam
menampilkan rasa spirit atau semangat kewarganegaraan, perlu adanya
Pendidikan Kewarganegaraan bagi bangsa Indonesia untuk ditingkatkannya rasa
persatuan melalui bahasa sebagai salah satu identitas nasional.

Dengan pola aktualisasi kewarganegaraan yang demikian, bagi bangsa


Indonesia sendiri spirit kewarganegaraan dapat muncul dengan adanya perasaan
patriotisme yang tinggi dan kedudukan bahasa punya efek yang baik bagi seluruh
warganegara Indonesia yang majemuk untuk membentuk rasa persatuan
kebangsaan. Paradigma ini sebagai cikal bakal lahirnya semangat
kewarganegaraan Indonesia yang menginginkan adanya rasa patriotik dan rasa
persatuan dalam bingkai kehidupan berbangsa dan bernegara.

1. Historis dan Pedagogis Spirit Kewarganegaraan Indonesia


Indonesia mengawali pendidikan kewarganegaraan dengan konsepsi civics
sebagai generasi pertama pendidikan bagi warganegara Indonesia yang dimulai
sekitar tahun 1960-an. Dilihat dari epistimologinya, Civics di Indonesia
berstrukturkan: Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) sebagai suatu program
pendidikan yang memiliki keilmuan yang perlu distransfer kepada
warganegaranya yaitu civics (ilmu kewarganegaraan).

Perlu diperhatikan bahwa civics dilihat dari historinya di Indonesia, tersirat


pesan penting bagi seluruh warganegara Indonesia. Sejak dahulu, civics memiliki
peranan penting dalam mewujudkan kemerdekaan melalui perjuangan, rasa cinta
tanah air, patriotik, dan kesadaran dalam bernegara (seperti taat hukum,

17
beraspirasi dalam politik, memahami hak dan kewajiban, menghargai perjuangan
pahlawan nasional, dll) walaupun sifat progresnya masih indoktrinasi. Bahkan
paradigma tersebut dapat menunjukkan bahwa sejarah telah membuktikan melalui
perjuangan bangsa Indonesia, terlahirlah 4 konsensus fundamental bagi bangsa
Indonesia yaitu Pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Dan
perjuangan tersebut secara konseptual merupakan wujud dari pendidikan
kewarganegaraan yang teraktualisasi didalam kehidupan yang real (nyata) sejak
dahulu.

Dikaji dari segi substantif-pedagogis rujukan empat konsensus fundamental


Indonesia sangat signifikan dan mempunyai fakor emparatif sebagai bahan dan
landasan dalam pembelajaran PPKn di Indonesia. Sebagaimana dalam
(Winataputra, 2015) dijelaskan “secara subtantif-pedagogis PPKn bertujuan untuk
membentuk peserta didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan
cinta tanah air yang dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila, nilai dan norma UUD 1945,
semangat Bhineka Tunggal Ika, dan komitmen kolektif ber-Negara Kesatuan
Republik Indonesia”.

Dalam konteks itu pancasila sebagai dasar Negara, ideologi nasional, dan
pandangan hidup bangsa dikonsepsipkan, dimaknai, dan difungsikan sebagai
entitas inti (core/central values) yang menjadi sumber rujukan dan kriteria
keberhasilan pencapaian tingkat kompetensi dan pengorganisasian dari
keseluruhan ruang lingkup mata pelajaran pendidikan Pancasila dan
Kewarganegaraan. Substansi dan jiwa UUD Negara Republik Indonesia 1945,
nilai dan semangat Bhineka Tunggal Ika, dan komitmen Negara Kesatuan
Republik Indonesia sitempatkan sebagai bagian integral dari Pendidikan Pancasila
dan Kewarganegaraan, yang menjadi wahana psikologis-pedagogis pembangunan
warganegara Indonesia yang berkarakter Pancasila.

Kausalitas yang demikian, sebagai prakarsa pendidikan kewarganegaraan


Indonesia dalam upaya mewujudkan spirit kewarganegaraan yang berperan aktif
dalam mewujudkan rasa kebangsaan yang baik, kehidupan yang beradab, cinta
tanah air, dan menjunjung kesadaran berkonstitusi. Hal ini telah tampak sejak

18
dahulu dimasa Indonesia memperjuangkan kemerdekaan sampai pada saat ini dan
tertuang ke dalam konstruksi 4 (empat) konsensus fundamental Indonesia. Jika
diarahkan pada aspek pedagogisnya, maka upaya edukatif ke-empat konsensus
fundamental Indonesia dapat secara edukatif mencapai tujuan umum dan tujuan
khusus Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan dengan gugus muatan
substantif dan pedagogis sebagai berikut (Winataputra, 2015):

a. Substansi yang bersumber dari nilai dan moral Pancasila, sebagai dasar
negara, pandangan hidup, dan ideologi nasional Indonesia serta etika
dalam pergaulan Internasional.
b. Substansi yang bersumber dari Undang Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 sebagai hukum dasar yang menjadi landasan
konstitusional kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
c. Substansi yang bersumber dan/atau berkaitan erat dengan konsep dan
makna Bhinneka Tunggal Ika, sebagai wujud komitmen keberagaman
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang utuh dan
kohesif secara nasional dan harmonis dalam pergaulan antarbangsa.
d. Substansi yang bersumber dari konsep dan makna Negara Kesatuan
Republik Indonesia, sebagai bentuk final Negara Republik Indonesia
yang melindungi segenap bangsa dan tanah tumpah darah Indonesia.
Dengan berbasiskan keempat konsensus fundamental Indonesia, pendidikan
Pancasila dan kewarganegaraan berupaya mendidik waraganegara melalui
transmisi nilai-nilai pancasila, transmisi norma-norma UUD 1945, transmisi
komitmen bhineka tunggal ika, dan transmisi kekuatan Negara Kesatuan Republik
Indonesia untuk dapat membentuk warganegara yang baik dan cerdas atau cara ini
disebut dengan citizenship transmission.

2. Sejarah Kelahiran Pancasila Sebagai Aktualisasi Spirit


Kewarganegaraan di Indonesia
Urgensi dan esensi Pancasila tentu telah menjadi suatu kekuatan spesial bagi
bangsa Indonesia dilihat dari aspek historisnya. Kausalitasnya memberikan
semangat ekstra bagi bangsa Indonesia untuk menjadi bangsa yang beradab, ber-

19
Akhlak mulia atau bermoral. Hal ini tidak lepas dari faktor spirit bangsa Indonesia
untuk mencapai kesepakatan bersama dalam mewujudkan suatu way of life atau
pandangan hidup bangsa yang berakar dari Pancasila sebagai bukti kuat bahwa
Indonesia dalam mencapai kemerdekaannya penuh dengan rasa tekad yang kuat
dan didasari atas pribadi yang tangguh, itulah kasualitas Pancasila. Hal inilah yang
menjadi salah satu aktualisasi hakikat dari Pendidikan Kewarganegaraan sejak
awal pertama kali ada di Indonesia yang terwujud dalam bentuk aktualisasi
Pancasila sebagai hasil dari upaya perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia.

Pada abad ke-4 sampai abad ke-16, Indonesia pernah dikarunia sebuah
kelompok kerajaan yang sarat akan sejarahnya dan pengaruhnya terhadap corak
kehidupan bangsa Indonesia hingga saat ini. Sejarah nenek moyang kita mengukir
jejak yang kuat kepada kita untuk berkehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara dengan satu azas yang kuat yaitu gotong royong. Melalui kerajaan besar
seperti sriwijaya dan majapahit, lahirlah prinsip kehidupan kebersamaan dan
gotong royong. Sebagaimana dalam (Herdiawanto, Wasitaatmadja, dan
Hamdayama, 2018) dijelaskan bahwa “Dalam sejarah nenek moyang bangsa
Indonesia, pada awal men-diami wilayah Indonesia hidup berburu dan
mengumpulkan makanan (food gathering). Mereka hidup berkelompok dan
mengembara, karena belum memiliki tempat tinggal tetap. Perkembangan
selanjutnya, me-reka sudah bisa bercocok tanam dan hidup menetap (food
producing). Dalam kondisi ini, mereka hidup berdasarkan hubungan
kekeluargaan dan selalu menerapkan prinsip kebersamaan dan gotong royong
dalam melakukan pekerjaan”. Nenek moyang kita secara jelas dari zaman dahulu
telah menjalani hidup dalam tata masyarakat yang teratur, bahkan sudah dalam
bentuk kerajaan kecil kuno, seperti kerajaan Kutai yang lahir pada abad V di
Kalimantan Timur, dengan rajanya yang terkenal Mulawarman. Berikutnya adalah
kerajaan Sriwijaya dan Majapahit yang memperoleh masa kejayaan pada masanya
masing-masing.

Kemudian, sejarah juga membuktikan tidak hanya kerajaan nasional


melainkan juga seperti kerajaan Islam disekitar abad ke-7 juga memiliki pengaruh

20
besar dalam membangun fondasi ideologi bangsa Indonesia sebagai dasar bahan
lahirnya Pancasila. Kerajaan-kerajaan seperti Kerajaan Samudera Pasai, Kerajaan
Malaka, Kerajaan Acerh, Kerajaan Demak, Kerajaan Banten, Kerajaan Mataram
Islam, kerajaan Goa dan Tallo begitu kuat memberikan contoh dan bahan untuk
the founding fathers dalam menentukan sila-sila Pancasila pada saat siding
BPUPKI maupun PPKI dilaksanakan. Sebagaimana diadaptasi dari (Herdiawanto,
Wasitaatmadja, dan Hamdayama, 2018) pada intinya kerajaan-kerajaan Islam
tersebut secara garis besar memberi sumbangsi:

1. Nilai Persatuan: kerajaan Demak, Palembang, dan Aceh bersatu untuk


mengusir bangsa portugis dari Malaka.
2. Nilai Musyawarah: soerang raja selalu bermusyawarah kepada para
pejabat Nistana atau kepada penasehat raja sebelum memutuskan suatu
kebijakan.
3. Nilai Keadilan Sosial: Pada masa kerajaan Islam, kehidupan sosial
masayarakatnya dilandasai oleh ajaran-ajaran Islam seperti zakat dan
sedekah.
4. Nilai Toleransi Beragama: Pada masa kerajaan Islam, kehidupan
masyarakat pada saat itu dapat dilihat dengan status keragaman agama
namun antara pemeluk agama yang berbeda dapat hidup berdampingan.
5. Nilai Cinta Tanah Air: Pada abad ke-16 dan 17 masyarakat kerajaan
Islam di Indonesia pada masa itu sangat disibukkan dalam upaya
mempertahankan wailayah kekuasaannya dari pendudukan bangsa Eropa.
Contoh, perlawanan Sultan Agung dari Mataram terhadap Belanda.
6. Nilai Budaya: Perkembangan seni budaya pada masa kekuasaan Islam
cukup pesat. Terbukti dengan munculnya hasil karya budaya masyarakat
seperti kaligrafi, seni ukir, seni pahat dan seni bangunan.

Keenam nilai diatas merupakan bukti spirit bangsa Indonesia dalam


mengupayakan terwujudnya kehidupan berbangsa yang beradab yang telah lahir
sejak dahulu. Masa kerajaan Islam tersebut berlanjut ke masa Perjuangan Bangsa
Indonesia di era penjajahan Hindia Belanda, momen-momen perjuangan

21
bersejarah seperti munculnya Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC),
pemerintahan Kolonial Belanda, dan politik pemerintahan Belanda memicu
bangsa Indonesia pada saat itu melakukan inisiatif patriotik yaitu gerakan
kemerdekaan.

Gerakan kemerdekaan dimulai sejak abad ke-18 sampai diproklamasikan


kemerdekaan yaitu 17 Agustus 1945 menjadi bukti lain perjuangan bangsa
Indonesia untuk menunjukkan spirit yang tanggug untuk mencapai bangsa yang
beradab dan mulia. Hal ini sebagai wujud kasualitas pendidikan kewarganegaraan
di Indonesia yang teraktualisasi melalaui sejarah perjuangan bangsa Indonesia
dalam mencapai kemerdekaan. Selain itu, perjuangan tersebut juga sebagai bahan
electis incorporatif para the founding fatherskita untuk dapat menghasilkan
Pancasila. Sebagaimana dalam (Kaelan, 2013) dijelaskan bahwa Negara Indonesia
dalam mewujudkan philosophy-nya melakukan cara elektis, yaitu suatu cara
perpaduan dari berbagai elemen (dari berbagai nilai sejak dahulu yang telah lahir
di masa kerajaan maupun masa kemerdekaan) kemudian disintesiskan untuk satu
pemikiran (itulah Pancasila) atau suatu konsep baru, Notonegoro menggunakan
istilah elektis inkorporatif.

Pada akhirnya melalui terbentuknya BPUPKI dan PPKI, teknik elektis


incorporatife dipakai untuk merumuskan Pancasila oleh para the founding fathers.
Pada saat itu Indonesia mendapat keuntungan dari posisi Jepang yang tersudut
secara global usai kalah di perang pasifik sehingga menjanjikan kemerdekaan bagi
bangsa Indonesia pada saat itu. Momen inilah untuk dimanfaatkan oleh bangsa
Indonesia untuk memproklamirkan kemerdekaan serta merumuskan dasar Negara
atau filosofi negara yaitu Pancasila.

Sejarah lahirnya pancasila sesungguhnya menunjukkan semangat


perjuangan bangsa Indonesia untuk mencapai kemerdekaan yang hakiki dengan
menyertakan rumusan Pancasila sebagai dasar bahwa Indonesia adalah Negara
yang berdikari, bertekad kuat, dan Negara dengan bangsa yang beradab. Belum
lagi masa dicetuskannya sumpah pemuda pada 1928, yang menjadi poin utama
spirit bangsa Indonesia khusunya kaum pemuda untuk memproklamirkan

22
semangat kemerdekaan sehingga Indonesia dapat merumuskan staat fundamental
norm.

3. Hakikat UUD 1945 Sebagai Kaidah Fundamental Bagi Warganegara


Indonesia
UUD 1945 sebagai konstitusi Indonesia yang berperan sebagai dasar hukum
Negara yang didalamnya termuat segenap aspirasi masyarakat Indonesia dalam
membangun bangsa. Tujuan bangsa Indonesia bahkan tertuang di dalam
preambule UUD 1945. Pernyataan Indonesia yang menegaskan sebagai Negara
hukum sebagaimana termaktub di dalam Pasal 1 Ayat (3) Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia 1945. Dapat dipahami bahwa Indonesia adalah Negara
rechstaat (Negara hukum) dan bukan machstaat (kekuasaan belaka). Lebih jelas
dalam (Asshiddiqie, 2009) bahwa Prinsip ini termuat di dalam Pasal 1 ayat (3)
dikarenakan sifatnya yang sangat mendasar dan fundamental.

Dengan perumusannya dalam Pasal 1, maka di dalam pasal ini terdapat dua
prinsip yang saling berkaitan satu sama lain, yaitu prinsip kedaulatan atau
demokrasi konstitusional yang diatur dalam Pasal 1 ayat (2), dan prinsip negara
hukum yang dimuat dalam Pasal 1 ayat (3). Keterkaitan ini menunjukkan bahwa
doktrin kedaulatan rakyat dan doktrin kedaulatan hukum dipersandingkan dalam
satu rangkaian pemikiran, yaitu bahwa di satu pihak demokrasi Indonesia itu
harus berdasar atas hukum (constitutional democracy), tetapi di pihak lain
kedaulatan hukum Indonesia harus pula bersifat demokratis atau “democratische
rechtsstaat” (democratic rule of law).

Hakikat fundamental konstitusi yang demikian, tentunya makna Negara


hukum sangat menentukan apa dan bagaimana kita sebagai warganegara secara
bijak untuk menyikapinya. Untuk itu kita perlu memahami juga apa yang menjadi
ciri Indonesia sebagai Negara hukum. Ciri-ciri Negara hukum (Santoso:2013)
adalah adanya:

1. Asas pengakuan dan perlindungan hah-hakasasi manusia;


2. Asas legalitas;
3. Asas pembagian kekuasaan;

23
4. Asas peradilan yang bebas dan tidakmemihak;
5. Asas kedaulat rakyat.
6. Asas demokrasi dan
7. Asas konstitusional.

Ketujuh ciri-ciri negara hukum diatas menjadi dasar komprehenship bagi


warga Negara untuk secara sadar memahaminya dan dapat merelisasikannya
bersama dengan pemimpin negara untuk bersama-sama mewujudkan kehidupan
yang sadar konstitusi. Konsep ini sebenarnya adalah bagian dari aktualisasi
pendidikan kewarganegaraan dalam konteks kesadaran berkonstitusi atau dalam
ranah civics disebut civic awareness untuk membentuk civic disposition atau civic
virtue.

Sementara jika dikaji dari fungsinya, maka UUD 1945 atau konstitusi
Indonesia dapat dipahami sebagai pedoman dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara mempunyai dua fungsi yaitu:

1. Membagi kekuasaan dalam Negara.


2. Membatasi kekuasaan pemerintah atau penguasa dalam Negara
(Setiawan, 2015).

Lebih lanjut, Setiawan memberikan gambaran jelas akan kedudukan


pembukaan UUD 1945 yang bersifat fundamental dan melekat bagi Negara
Indonesia. Sifatnya yang fleksibel dan rigid membuatnya tidak dapat diubah dan
bermaknakan positif disetiap zaman. Kedudukan pembukaan Undang-Undang
Dasar 1945 bagi Negara Republik Indonesia diantaranya:
a. Sumber dari motivasi dan aspirasi perjuangan dan tekad bangsa
Indonesia;
b. Sumber dari cita-cita hukum dan cita-cita moral yang ingin ditegakan
dalam lingkungan intemasional dan nasional;
c. Mengandur nilai-nilai universal dan lestari universal artinya bahwa
nilai-nilai tersebut dijunjung tinggi oleh bangsa yang beradab. Lestari
artinya bahwa ia mampu menampung dinamika masyarakat.

24
Kedudukan UUD 1945 yang demikian menjadikan Indonesia sebagai
Negara hukum yang meletakkan hukum sebagai norma yang fundamental bagi
segenap warganegra Indonesia dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara.
Bahkan dilihat dari progresnya yang mengalami perubahan atau amandemen
beberapa kali, juga merupakan bagian dari kesempurnaan UUD 1945 yang
bertujuan untuk “mengembalikan UUD 1945 berderajat tinggi dan menjiwai
konstitusionalisme serta negara berdasarkan atas hukum dan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia”. Ini berarti Negara Indonesia memiliki semangat dan
filosofi yang tinggi dalam memperjuangkan kehidupan yang berlandaskan pada
norma yang fundamental dalam mewujudkan kehidupan yang adil, berderajat,
tertib, dan berkedaulatan.

Pendidikan kewarganegaraan sendiri sebagai suatu program pendidikan


memiliki peranan yang penting untuk mendukung hakikat UUD 1945 sebagai
kaidah fundamental bagi warganegara Indonesia. Substansi PPKn juga
berwujudkan suatu materi yang berorientasi pada pembentukan kehdupan
berbangsa dan bernegara yang berlandaskan konstitusi sebagai dasar hukum.
Sebagaimana dijelaskan dalam (Winataputra, 2015) bahwa “substansi PPKn yang
bersumber dari Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
sebagai hukum dasar yang menjadi landasan konstitusional kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara”.

d. Contoh dan Non Contoh/Ilustrasi


Seorang guru PPKn yang mengajar disebuah sekolah menengah atas,
memberikan pelajar tentang Pendidikan Kewarganegaraan (PKn) yang pada
dasarnya belajar mengenai ke Indonesaan, belajar untuk menjadi manusia yang
berkepribadian sebagai warga negara Indonesia dengan membangun rasa
kebangsaan, dan cinta tanah air Indonesia. Oleh karena itu guru yang profesional
sebagai yang terdidik memberikan motivasi dan hasil belajar siswa terhadap
pemahaman tentang Indonesia, memiliki kepribadian Indonesia, memiliki rasa
kebangsaan Indonesia, dan mencintai tanah air Indonesia. Dengan demikian, ia

25
menjadi warga negara yang baik dan terdidik (smart and good citizen) dalam
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang demokratis, untuk
mengembangkan spirit kewarganegaraan dalam mencerdaskan keterampilan
siswanya.

e. Forum Diskusi
CPMK Sub-CPMK Bahan Kajian Tugas
Terstruktur
Menguasai materi dan Struktur, metode, 1. Struktur 1. Deskripsikanla
aplikasi materi bidang dan spirit keilmuwan h Struktur
studi PPKn yang keilmuan kewarganegara Keilmuwan
mencakup : kewarganegaraan, an, Kewarganegara
a. konsep, prinsip, hukum, politik 2. Metode an
prosedur, dan metode kenegaraan, keilmuwan 2. Jelaskanlah
keilmuan serta nilai, sejarah kewarganegara Metode
norma, dan moral perjuangan an, Keilmuwan
yang menjadi muatan bangsa, dan 3. Spirit Kewarganegara
kurikulum dan proses disiplin lainnya pengembangan an
pembelajaran berlandaskan keilmuwan 3. Jelaskanlah
dan/atau Undang-Undang kewarganegara Spirit
pembudayaan dalam Dasar Negara an Pengembangan
konteks pendidikan Republik Keilmuwan
Pancasila sebagai Indonesia tahun Kewarganegara
dasar negara dan 1945 sebagai an
pandangan hidup hukum dasar
bangsa dan yang menjadi
kewarganegaraan di landasan
sekolah dan/atau konstitusional
masyarakat; kehidupan
b. struktur, metode, bermasyarakat,
dan spirit keilmuan berbangsa dan
kewarganegaraan, bernegara yang
hukum, politik ber-Bhinneka
kenegaraan, sejarah Tunggal Ika
perjuangan bangsa, dalam
dan disiplin lainnya keberagaman
berlandaskan yang kohesif dan
Undang-Undang utuh;
Dasar Negara
Republik Indonesia
tahun 1945 sebagai
hukum dasar yang
menjadi landasan

26
konstitusional
kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa dan
bernegara yang ber-
Bhinneka Tunggal Ika
dalam keberagaman
yang kohesif dan
utuh,
c. isu-isu dan/ atau
perkembangan terkini
kewarganegaraan
meliputi bidang
ideologi, politik,
hukum, ekonomi,
sosial, budaya,
pertahanan keamanan
dan agama, dalam
konteks lokal,
nasional, regional,
dan global dalam
bingkai Negara
Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI),
termasuk advance
materials secara
bermakna yang dapat
menjelaskan aspek
“apa” (konten),
“mengapa” (filosofis),
dan “ bagaimana”
(penerapan) dalam
kehidupan sehari-hari;

C. PENUTUP

1. Rangkuman
Pembelajaran PPKn jika dikaji dari segi ontologi keilmuannya mencakup
konsep dasar, prinsip, dan prosedur keilmuannya yang perlu untuk dipahami dan
dilaksanakan secara baik oleh seluruh pemangku kepentingan PPKn dalam hal ini
adalah Guru. Paradigma ini merupakan salah satu langkah bagus dalam
pembelajaran PPKn untuk mewujudkan pembelajaran yang efektif dan memberi
pengaruh yang signifikan terhadap peserta didik dalam membentuk atribut civic

27
knowledge, civic skill, dan civic disposition peserta didik untuk menjadi
warganegara yang baik dan cerdas serta memiliki rasa kebangsaan yang baik dan
berfilosofikan Pancasila.

PPKn sebagai suatu pendidikan bagi warganegara untuk mendidik mereka


dalam ranah politik, hukum, dan moral. Konsep awalnya yang mengusung “Budi
Pekeri” menjadikannya sebagai pendidikan yang berfokus untuk membentuk
morality warganegara. Sehingga dengan demikian pembelajaran PPKn
sesungguhnya dapat membina dan membentuk secara baik, terstruktur, dan arif
morality warganegara. Pembelajaran PPKn juga memiliki standar tradisi yang
kuat dalam ranah Ilmu Sosial dalam upaya mewujudkan urgensi citizenship
transmission yang berfokus pada karakter warganegara yang cerdas dan baik.

PPKn sebagai wahana pendidikan Politik bertujuan untuk membentuk


semangat civic participatory warganegara dan membentuk civil society. Selain itu
PPKn sebagai wahana pendidikan hukum juga memiliki peran penting untuk
meningkatkan kesadaran warganegara (civic awarnesess) dalam berkonstitusi.
Terakhir PPKn sebagai wahana pendidikan moral juga signifikan pengaruhnya
terhadap warganegara untuk membentuk perasaan moral yang baik dalam
berkehidupan berbangsa dan bernegara sesuai dengan pancasila dan UUD 1945.

Disamping itu Pancasila sebagai falsafah bangsa dan dasar negara menjadi
dua tolak ukur utama yang perlu diintegrasikan ke dalam capaian kompetensi
peserta didik melalui pembelajaran PPKn. Selain itu, juga perlu pengembangan
kompetensi peserta didik dalam pembelajaran PPKn untuk dikorelasikan dengan
Standar Kompetensi Inti Kurikulum 2013 agar secara yuridis dan pedagogis,
PPKn menjadi pembelajaran yang efektif dari segi konsep, prinsip, dan prosedur
pembelajaran bagi warganegara atau peserta didik.

28
2. Tes Formatif

Soal-soal:
1. PPKn merupakan program pendidikan yang ilmunya sendiri dilandasi body of
knowledge yang beragam terdiri atas rumpun ilmu politik, hukum, dan moral.
Hal ini sebagai bentuk dari sifat struktur keilmuan PPKn yang…..
a. Multikultur
b. Multifacet
c. Multi-Methode
d. Multi-Science
e. Monodimencional
2. Termasuk kedalam tradisi social studies, sehingga secara pedagogis PPKn
berkonsepkan beberapa domain. Hal ini sebagai penyebab dari paradigma
sistemik keilmuan PPKn yang berupaya menyalurkan……
a. Tradisi Citizenship Transmission
b. Tradisi social Citizenship
c. Tradisi Inquiry
d. Tradisi Kultural-Transmission
e. Tradisi democratic
3. Sebagai muara dari pengembangan komponen knowledge dan skill,
civicdisposition berperan sangat esensial dan susbtansial dalam pengembangan
kompetensi warganegara. Hal ini dikarenakan……
a. Strukturnya ilmu civics yang hanya berkomponen civic disposition
b. Upaya mewujudkan warganegara yang cerdas
c. Hubungannya dengan program character building
d. Kesesuaiannya dengan visi, misi, dan tujuan PPKn
e. Esnsinya cocok dengan pendidikan demokrasi
4. Esensi dan urgensi dari empat konsensus bangsa Indonesia menandakan
sebagai fokus landasan arah rekonstruksi PPKn. Hal ini sebagai wujud dari….
a. Membentuk tradisi kewargaan dengan 4 konsensus bangsa Indonesia.
b. Visi membentuk warganegara yang sadar untuk berkehidupan berbangsa
dan bernegara dengan berlandaskan pada 4 konsensus bangsa Indonesia.

29
c. PPKn sebagai wahana pendidikan berkonstitusi
d. Membentuk warganegara yang sadar untuk bela Negara dengan
berlandaskan pada 4 konsensus bangsa Indonesia.
e. PPKn sebagai wahana pendidikan 4 konsensus bangsa Indonesia.
5. Sifatnya yang cendrung mentransformasikan nilai-nilai demokrasi sebagai
wujud dari PPKn sebagai wahana pendidikan politik, merupakan ?
a. Tradisi filosofi Perenialisme PPKn
b. Tradisi filosofi Progresifisme PPKn
c. Tradisi filosofi Esensialisme PPKn
d. Tradisi filosofi Rekonstruksionisme PPKn
e. Tradisi filosofi Behavior PPKn
6. Metode inkuiri menjadi suatu metode yang sangat diperlukan dalam
pembelajaran PPKn dikarenakan…..
a. Sifatnya yang mendukung pembelajaran yang aktif dan kritis
b. Cocok untuk membentuk pembelajaran yang student center
c. Inkuiri sebagai metode yang menekankan pada aspek disposition
d. Pembelajaran PPKn tidak bisa lepas dari kegiatan mengidentifikasi
masalah
e. Metode belajar PPKn lebih bersifat statis
7. Dalam upaya melaksanakan portofolio yang baik dikelas, guru PPKn harus
memperhatikan 3 (tiga) atribut komponen yang perlu dikembangkan. Yang
diantaranya…….
a. Civic awareness
b. Civic knowledge, civic, skill, dan civic disposition
c. Civic responsibility
d. Pengetahuan, keterampilan, sosial, dan spiritual
e. Civic intelligence, civic responsibility, dan civic participation

8. Berkomitmen terhadap nilai kebersamaan untuk mewujudkan rasa toleran dan


jiwa kohesif . Dalam konsep pedagogis PKn, hal ini sebagi bentuk manifesatasi
nilai……

30
a. Spirit Pancasila
b. Spirit Berkonstitusi
c. Spirit Bhineka Tunggal Ika
d. Spirit Negara Kesatuan Republik Indonesia
e. Spirit Multikultur
9. Persatuan, Musyawarah, dan Cinta Tanah Air merupakan bagian dari kausa
filosofische grondslag Inodnesia. Hal ini merupakan istilah lain dari proses ?
a. Elektis Eksklusif
b. Elektis Dependen
c. Elektis Multidisiplin
d. Elektis Inkorporatif
e. Interdependen
10. Dalam konteks substansi dan urgensi kajian UUD 1945 kedalam
pembelajaran PPKn, target yang diharapkan adalah dapat terbentuknya spirit
berkonstitsi yaitu democratische rechtsstaat. Konsepsi yang demikian
merupakan relevansi dari……
a. Indonesia sebagai Negara Machstaat
b. Indonesia beriklim hukum hindia belanda
c. Kausalitas norma-norma sosial
d. Efek dari kehidupan para leluhur di masa lalu
e. Indonesia sebagai Negara Rechstaat

Kunci Jawaban
1. B 6. A
2. A 7. E
3. D 8. C
4. B 9. D
5. C 10. E

31
3. Daftar Pustaka

Buku:

Asshiddiqie, J. 2009. Komentar Atas Undang-undang Dasar Negara Republik


Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Herdiawanto, H., Wasitaatmadja, F, F., Hamdayama, J. 2018. Spiritualisme


Pancasila. Jakarta: Kencana.

Kaelan. 2013. Negara Kebangsaan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Lickona, Thomas. 2013. Educating For Character (Mendidik Untuk Membentuk


Karakter). Jakarta: Bumi Aksara.

Somantri, N. 1976. Metode Mengajar Civics. Jakarta: Erlangga.

Setiawan, D. 2016. Pendidikan Kewarganegaraan. Medan: Madenatera.

Setiawan, D. 2015. Ilmu Kewarganegaraan. Medan: Larispa.

Setiawan, D & Yunita, S. 2017. Kapita Selekta Kewarganegaraan. Medan:


Larispa.

Uno, H.B. 2014. Perencanaan Pembelajaran. Jakarta: SInar Grafika.

Wahab, A.A, dan Sapriya. 2011. Teori dan Landasan Pendidikan


Kewarganegaraan. Bandung: Alfabeta.

Winataputra, U.S. Budimansyah, D. 2012. Pendidikan Kewarganegaraan Dalam


Perspektif Internasional. Bandung: Widya Aksara Press

Winataputra, U.S. 2015. Pendidikan Kewarganegaraan Refleksi Historis-


Epistimologis dan Rekonstruksi Untuk Masa Depan. Banten: Universitas
Terbuka, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.

Jurnal:

Mulyono, B, Reorientasi civic disposition dalam kurikulum Pendidikan


Kewarganegaraan sebagai upaya membentuk warga negara yang ideal,
Jurnal Civics Volume 14 Nomor 2, Oktober 2017, P-ISSN: 1829-5789, E-
ISSN: 2541-1918.

Murdiono, M & Sulianti, A. Pengaruh Model Pembelajaran Inkuiri


TerhadapKeterampilan Berpikir Kritis Dan Hasil Belajar Peserta
DidikDalam Pembelajaran PPKn, Harmoni Sosial: Jurnal Pendidikan
IPSVolume 4, No 2, September 2017, ISSN: 2356-1807 (print) ISSN: 2460-
7916 (online).

32
Pebriyenni, Peran Pendidikan Kewarganegaraan Dalam Memperkuat Karakter
Bangsa, Jurnal PPKn & Hukum Vol. 12 No. 2 Oktober 2017, P. ISSN
2087-8591, E.ISSN 2654-3761.

Santoso, M. A, Perkembangan Konstitusi Di Indonesia, Yustisia Vol.2 No.3


September - Desember 2013, 0852-0941 (Print), 2549-0907 (Online).

Winarno, Materi Pembelajaran PPKn Berbasis Nilai Lokal: Identifikasi dan


Implementasi, JPK: Jurnal Pancasila dan Kewarganegaraan, Vol. 3, No. 2,
Juli 2018ISSN 2527-7057 (Online), ISSN 2545-2683 (Print).

Winataputra, Udin. 2008. Pendidikan Kewarganegaraan Sebagai Suatu Sistem


Pengetahuan Terpadu Academic Positioning Dari Ruu Pendidikan
Kewarganegaraan. Bahan Diskusi dalam Seminar Terbatas RUU
Pendidikan Kewarganegaraan dalam Kebijakan Pertahanan Aspek
Perundang-undangan Tanggal 16 Oktober 2008 di Gedung Suprapto, Aula
Bela Negara, Ditjen Pothan, Dephan Jakarta.

Perundang-undangan:
Undang-Uundang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Peraturan Pemerintah Nomor19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan

33
KEGIATAN BELAJAR 3:
KONSEP KAJIAN KEILMUAN
KEWARGANEGARAAN BERLANDASKAN
PANCASILA DAN UUD 1945

i
34
DAFTAR ISI

KEGIATAN BELAJAR 3. KONSEP UUD 1945, KONSEPSI SEJARAH


PERJUANGAN BANGSA INDONESIA, DAN
KEWARGANEGARAAN YANG BER-
BHINEKA TUNGGAL IKA DALAM
PERSPEKTIF PPKn.
DAFTAR ISI ........................................................................................................... ii
A. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1. Deskripsi Singkat ..................................................................................... 1
2. Relevansi ................................................................................................... 1
3. Petunjuk Belajar ...................................................................................... 2

B. INTI ............................................................................................................... 3
1. Capaian Pembelajaran ............................................................................ 3
2. Uraian Materi .......................................................................................... 4
a. Konsep UUD 1945 Sebagai Landasan Konstitusional Dalam
Kehidupan Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara ....................... 4
b. Konsepsi Sejarah Perjuangan Bangsa Dalam Perspektif PPKn .......... 7
c. Kewarganegaraan Yang Ber-Bhineka Tunggal Ika ........................... 11
3. Contoh Dan Non Contoh/Ilustrasi ....................................................... 19
4. Forum Diskusi ........................................................................................ 20

C. PENUTUP ................................................................................................... 22
1. Rangkuman ............................................................................................ 22
2. Tes Formatif ........................................................................................... 23
3. Daftar Pustaka ....................................................................................... 27

ii
A. PENDAHULUAN

1. Deskripsi Singkat
Kegiatan belajar tiga secara umum akan membahas tiga kajian penting
diantaranya Konsep UUD 1945, Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia, dan
Kewarganegaraan yang Ber-Bhineka Tunggal Ika dalam Perspektif PPKn.
Kegiatan belajar ini dilihat dari aspek substantif dan pedagogisnya secara
komprehensif dapat memperkaya cakrawala keilmuan seorang guru PPKn dan
dapat mengembangkan kompetensi keilmuan guru PPKn (aspek pedagogis dan
professional). Secara umum substansi pada kegiatan belajar tiga akan membahas
tentang apa dan bagaimana konsep UUD 1945 sebagai landasan konstitusional
bagi bangsa Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara;
Kemudian muatan tentang apa dan bagaimana sejarah perjuangan bangsa
Indonesia yang secara khusus banyak terinspirasi dari semangat pembentukan dan
lahirnya pancasila, UUD 1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI (Negara
Kesatuan Republik Indonesia) dalam perspektif PPKn. Terakhir muatan pada
kegiatan belajar ini juga akan membahas apa dan bagaimana Kewarganegaraan
yang Ber-Bhineka Tunggal Ika.

Dengan demikian, kegiatan belajar kali ini akan sangat banyak membekali
seorang guru secara kognitif dan secara terstruktur dan terarah membantuk
mengarahkan guru PPKn mampu menerapkan (aspek pedagogis dan profesional)
keilmuan PPKn perihal konsep UUD, Sejarah perjuangan bangsa, dan
Kewarganegaraan yang ber-bhineka tunggal ika dengan secara baik dan
mendukung tujuan dan mencapai KI dan KD kurikulum 2013 PPKn.

2. Relevansi
Modul 3 Kegiatan Belajar 3 yang membahas tentang konsep dasar keilmuan
PPKn pada diklat Pendidikan Profesi Guru (PPG) dalam jabatan ini sangat
penting dan relevan menjadi bekal, panduan, dan paket belajar bagi peserta PPG
dalam jabatan. Hal tersebut dikarenakan salah satu kompetensi mutlak yang harus
dimiliki oleh seorang guru PPKn yang profesional adalah pemahaman dan

1
kemampuan implementasi perwujudan substansi Konsep UUD 1945, Sejarah
Perjuangan Bangsa Indonesia, Dan Kewarganegaraan Yang Ber-Bhineka Tunggal
Ika Dalam Perspektif PPKn. Substansi ini adalah bagian dari konsep tradisi
perenialism, esensialism, progresifism, dan konstruksionism filosofi pembelajaran
PPKn yang berupaya membentuk civic virtue peserta didik sebagai warganegara
yang mengingat sejarah bangsanya (sehingga nasionalis dan patriotik), memahami
konsep UUD 1945 sebagai semangat dan komitmen sebagai hukum dasar yang
menjadi landasan konstitusional kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara, serta memahami kewarganegaraan yang ber-bhineka tunggal ika
sebagai wujud komitment peserta didik sebagai warganegara yang kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegaranya sesuai dengan nilai harmonis.

Selain itu tentu panduan dan/atau kegiatan belajar ini dapat membentuk
spirit pedagogis peserta PPG PPKn dalam jabatan, dapat mengaktualisasikan atau
mewujudkan tujuan instruksional dalam preambule UUD 1945 yang mana bangsa
Indonesia memiliki tujuan atau cita-cita hakiki yaitu untuk “mencerdaskan
kehidupan bangsa” yang kapabel dalam aspek semangat pemahaman sejarah
perjuangan bangsa, posisi UUD 1945, dan Konsepsi Bhineka Tunggal Ika dalam
Bingkai Kewarganegaraan.

3. Petunjuk Belajar
Sebelum anda mempelajari Kegiatan Belajar 3 (KB 3) ini, ada beberapa hal
yang harus anda lakukan untuk mempermudah pemahaman anda tentang isi KB 3
ini. Beberapa langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut;
1. Pahamilah terlebih dahulu mengenai berbagai kegiatan dan tahapan penting
dalam diklat mulai tahap awal sampai akhir.
2. Lakukan kajian permulaan terhadap tema Konsep UUD 1945, Sejarah
Perjuangan Bangsa Indonesia, dan Kewarganegaraan Yang Ber-Bhineka
Tunggal Ika dalam Perspektif PPKn.
3. Pelajari terlebih dahulu langkah dan tahapan KB 3 pada modul 3 untuk
memudahkan dalam memahami isi KB 3.

2
4. Keberhasilan proses pembelajaran Anda dalam mata diklat ini sangat
tergantung kepada kesungguhan Anda dalam mengerjakan latihan. Untuk
itu, berlatihlah secara mandiri atau berkelompok dengan teman sejawat,
berkaitan dengan latihan soal yang telah disediakan pada KB 3 ini.
5. Bila Anda menemui kesulitan, silakan berdiskusi dengan sejawat, atau
bertanya kepada instruktur atau fasilitator yang mengajar mata diklat ini.
6. Selamat belajar, semoga sukses dan berhasil

B. INTI

1. Capaian Pembelajaran
Menguasai materi dan aplikasi materi bidang studi PPKn yang mencakup :
a. Konsep, prinsip, prosedur, dan metode keilmuan serta nilai, norma, dan
moral yang menjadi muatan kurikulum dan proses pembelajaran
dan/atau pembudayaan dalam konteks pendidikan Pancasila sebagai
dasar negara dan pandangan hidup bangsa dan kewarganegaraan di
sekolah dan/atau masyarakat;
b. Struktur, metode, dan spirit keilmuan kewarganegaraan, hukum, politik
kenegaraan, sejarah perjuangan bangsa, dan disiplin lainnya
berlandaskan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun
1945 sebagai hukum dasar yang menjadi landasan konstitusional
kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang ber-
Bhinneka Tunggal Ika dalam keberagaman yang kohesif dan utuh;
c. Isu-isu dan/ atau perkembangan terkini kewarganegaraan meliputi
bidang ideologi, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan
keamanan dan agama, dalam konteks lokal, nasional, regional, dan
global dalam bingkai NKRI, termasuk advance materials secara
bermakna yang dapat menjelaskan aspek “apa” (konten), “mengapa”
(filosofis), dan “ bagaimana” (penerapan) dalam kehidupan sehari-hari;

3
2. Uraian Materi

a. Konsep UUD 1945 Sebagai Landasan Konstitusional Dalam Kehidupan


Bermasyarakat, Berbangsa, dan Bernegara
Secara substansial dalam salah satu komponen civics yaitu civic knowledge,
indikator-indikator pada komponen tersebut juga teradapat satu hal penting yang
membahas tentang apa dan bagaimana pengetahuan hukum seorang warganegara
yang pada dasarnya akan menjadi tolak ukur untuk mewujudkan kesadaran hukum
seseorang. Satu hal penting dalam komponen tersebut adalah bagaimana
pemerintah yang dibentuk oleh UUD 1945 menjebatani nilai-nilai, tujuan-tujuan
dan prinsip-prinsip demokrasi Indonesia (Winarno, 2013).

Elemen civic knowledge ini menjelaskan kepada kita bahwa seorang


warganegara harus mengetahui dan memahami bahwa pemerintah pada dasarnya
kedudukannya terbatas, bahkan termasuk penyebaran dan pembagian kekuasaan
yang dilakukan juga terbatas. Disinilah sebenarnya fungsi warganegara yang
tergabung kedalam civil society, dimana civil society memiliki peran advokasi dan
social control terhadap pemerintahan. Dalam (Samsuri, 2012) dijelaskan bahwa
konstitusi Indonesia atau UUD 1945 dibentuk agar hak-hak asasi manusia dan
didalamnya hak-hak warganegara turut terjamin dan dilindungi oleh negara
terutama penyelenggaraan negara serta yang paling penting adalah dengan adanya
kesadaran konstitusi yang tinggi dari para warganegara akan memiliki kontribusi
penting bagi control terhadap jalannya kekuasaan yang sehat dan kuat.

Konsep seperti ini sesungguhnya adalah cita-cita keberadaan dari


masayarakat madani dan good government yang berupaya menyelaraskan peran
dan partisipasi antara warganegara dengan Negara dalam konteks hukum. Hal ini
pula yang menjadi wujud aktualisasi PPKn sebagai wahana pendidikan hukum.

Aktualisasi PPKn sebagai wahana pendidikan hukum sebagaimana


dijelaskan diatas, merupakan bentuk dasar dan rekonstruksi keilmuan PPKn yang
secara substantif-pedagogis dijiwai oleh norma Undang-undang Dasar 1945.
Sehingga hakikat dan konsepsi UUD 1945 sangat vital urgensinya terhadap bangsa
Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal ini

4
dipertegas dalam (Winataputra, 2015) bahwa substansi PPKn yang bersumber dari
UUD 1945 Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai hukum dasar yang
menjadi landasan konstitusional kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.

Sementara jika dikaji dalam pembelajaran PPKn itu sendiri, kurikulum 2013
secara adaptif menerapkan tradisi filosofi yang salah satunya menekankan pada
transfer imperatif norma-norma UUD 1945 sebagai suatu tradisi perenialisme
materi pembelajaran PPKn di sekolah (Winataputra, 2015). Tradisi perenialisme
materi PPKn yang bersumber dari norma-norma UUD 1945 secara implisit perlu
tercermin ke dalam kompetensi dasar pada kurikulum PPKn. Hal ini sebagai
wujud spirit kewarganegaraan yang tercermin dari norma-norma UUD 1945
sebagai landasan konstitusional dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
Secara substansial tradisi transfer muatan norma-norma UUD 1945 kedalam
pembelajaran PPKn sebagai bentuk tradisi perenialisme. Maka secara praktis
aktualisasi norma-norma UUD 1945 ke dalam pembelajaran PPKn termasuk
kedalam tradisi esensialisme. Konsep ini dicirikan dengan pembelajaran PPKn
yang dipayungi oleh materi norma-norma UUD 1945 sebagai semangat untuk
mewujudkan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Hal ini
dikarenakan norma-norma fundamental pada UUD 1945 sebagai suatu hal yang
imperatif (keharusan) untuk menjadi landasan atau payung konstitusional
warganegara.

Kemudian secara praktis, pembelajaran PPKn yang mengaktualisasikan


norma-norma UUD 1945 kedalam proses belajar mengajar PPKn terhimpun
kedalam filosofi tradisi progresifisme yang dicirikan dengan pengorganisasian
pengalaman belajar. Dimana guru harus mampu menciptakan pengalaman belajar
yang terstruktur dan terukur dalam upaya membentuk karakter peserta didik yang
sadar akan norma-norma konstitusi sebagai landasan dalam kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

5
Selanjutnya yang terakhir adalah aktualisasi norma-norma UUD 1945 dalam
pembelajaran PPKn juga merupakan bagian dari tradisi rekonstruksionisme
pembelajaran PPKn yang dicirikan dengan muatan dan dorongan bagi individu
untuk memberikan kontribusi dalam konteks perwujudan norma-norma UUD 1945
di dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Keempat tradisi diatas yaitu perenialisme, esesnisalisme progresifisme, dan


rekonstruksionisme merupakan tradisi pembelajaran PPKn yang secara substantif-
pedagogis menjembatani aktualisasi norma-norma pada UUD 1945 sebagai
landasan konstitusional dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara. Konsep ini ditujukan kepada peserta didik di tingkat sekolah menengah
pertama dan keatas. Sehingga guru PPKn perlu memahami konseptualitas UUD
1945 dalam tradisi PPKn tersebut secara baik untuk diterapkan secara terstruktur
dan terukur.

Kausalitas konsepsi norma-norma UUD 1945 dalam pembelajaran PPKn


sebagaimana dijelaskan sebelumnya merupakan bagian dari perwujudan kesaktian
prinsip Rule of Law. MPR sendiri dalam bukunya “materi sosialisasi empat pilar
MPR RI” dijelaskan di dalamnya bahwa supremasi hukum ditegaskan dengan
menyatakan bahwa Indonesia adalah negara hukum, bukan sekedar negara
berdasarkan hukum. Prinsip itu menegaskana bahwa tidak ada pihak, termasuk
pemerintah, yang tidak dapat dituntut berdasarkan hukum. Kekuasaan kehakiman
ditegaskan merupakan kekuasaan merdeka untuk menyelenggarakan peradilan
guna menegakkan hukum dan keadilan (Pimpinan MPR & Tim Kerja Sosialisasi
MPR RI 2009-2014, 2015).

Atas dasar prinsip rule of law, norma-norma pada UUD 1945 perlu untuk
disosialisasikan dan diinternalisasikan sampai pada penjewantahan norma-
normanya. Berbagai metode tentu akan sangat membantu proses tersebut dan
pendidikan adalah wadah paling tepat termasuk adalah peran guru menjadi sangat
vital. PPKn sebagai program pendidikan yang memiliki tanggungjawab besar
untuk turut memberi andil besar dalam upaya mengaktualisasikan norma-norma
UUD 1945 dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara oleh

6
peserta didik (warganegara) melalui pembelajaran yang terstruktur secara jelas,
sehingga KI dan KD kurikulum PPKn juga harus menghimpun norma-norma
fundamental UUD 1945.

b. Konsepsi Sejarah Perjuangan Bangsa Dalam Perspektif PPKn


Dilihat dari aspek keilmuannya yang juga tergabung kedalam tradisi pertama
social studies yaitu social studies taught as citizenship transmission, bahwa PPKn
diharapkan menjadi suatu program pendidikan yang mampu membentuk cultural
unity (kesatuan budaya) yang didasarkan bahwa generasi muda harus mengetahui
sejarah bangsanya (Wahab & Sapriya, 2011). Dalam hal ini pengalaman mengajar
guru harus banyak menerapkan metode value inculcation (penanaman nilai) yang
baik sebagai hasil impresi (pengaruh) dari sejarah perjuangan bangsa Indonesia
sejak dahulu mulai dari masa perdagangan sehingga datangnya berbagai bangsa
(arab, belanda, spanyol, china, dll), masa memperjuangkan kemerdekaan, masa
perjuangan cita-cita Indonesia yaitu Pancasila, simplisitas (kesatuan) ber-Bhineka
Tunggal Ika, sampai pada masa kesepakatan komitmen NKRI.

Urgensi lain pentingnya peran PPKn dalam membentuk cultural unity


warganegara yang sadar dan paham akan sejarah bangsanya dengan metode value
inculcation sejarah bangsanya, adalah pengetahuan sejarah bangsanya sendiri
mampu membentuk rasa patriotisme dan nasionalisme. Sebagaimana dijelaskan
dalam jurnal “Sage Journals” dengan judul “Historical knowledge and national
identity: Evidence from China” (Huang & Liu, 2018) bahwa We would thus expect
that what people know and perceive about their national history has a significant
influence on their nationalism and patriotism. In particular, those who
overestimate the achievements of their country’s civilization should have a
stronger sense of national identity than others. Conversely, underestimation of
national historical achievements may reduce individuals’ national identity. Huang
dan Liu menggambarkan rasa patriotisme dan nasionalisme dapat terbentuk jika
seorang warganegara mengetahui betul akan sejarah bangsanya dan jika
sebaliknya maka akan berdampak pada menurunnya tingkat patriotisme dan

7
nasionalisme yang disebut mereka dengan istilah individuals’ national identity
(identitas nasional individu).

Berdasarkan kerangka konseptual kompetensi PPKn, maka inti dari dimensi


kepribadian seorang warganegara adalah civic virtue (kebajikan warganegara).
Kebajikan kewarganegaraan sangat terkait pada dasar filsafat negara, dan ide
dasar yang diyakini, dijunjung tinggi, dan diwujudkan sebagai kepribadian, yang
tentunya berbeda dari negara satu ke negara yang lainnya, karena memang setiap
negara-bangsa memiliki sejarah, geopolitik, ideologi negara, konstitusi, dan
konteks kehidupannya masing-masing, karena itu bersifat unik/khas. Untuk
mewujudkan keutuhan pribadi warganegara diperlukan proses pendidikan yang
secara koheren dan utuh mengembangkan keenam dimensi psikologis tersebut
melalui Kompetensi Inti yang berfungsi sebagai elemen pengorganisasi
(organizing element).

Konstelasi (tatanan) psikososial kebajikan kewarganegaraan dalam konteks


kehidupan negara-bangsa Indonesia pada dasarnya bersumbu pada nilai dan moral
Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional yang dilembagakan dalam
tatanan nilai dan norma konstitusional UUD NRI Tahun 1945, didukung dengan
komitmen kolektif bernegara-kesatuan Republik Indonesia, dan diwujudkan
dengan semangat harmoni dalam keberagaman sesuai dengan kandungan manawi
seloka Bhinneka Tunggal lka. Konstelasi sumber pengembangan kebajikan
kewarganegaraan tersebut dapat digambarkan dalam diagram sebagai berikut:

Gambar 1. Paradigma Pengembangan Muatan PPKn (Winataputra, 2015)

8
Upaya mengembangkan kebajikan warganegara, dalam pembelajaran PPKn
sendiri muatan sejarah perjuangan bangsa Indonesia banyak dikaitkan dengan
upaya konstruksi 4 (empat) konsensus Indonesia yaitu Pancasila, UUD 1945,
Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Keempat konsesus ini secara substantif
merupakan tradisi perenialisme PPKn dan secara praktis merupakan wujud dari
tradisi esensialisme, progresifisme, dan konstruksionisme PPKn di sekolah.
tradisi-tradisi ini mengharuskan seorang guru untuk mampu menerapkan
pembelajaran PPKn yang dapat membentuk cultural unity peserta didik dengan
metode value inculcation yang terfokus pada urgensi sejarah perjuangan bangsa
Indonesia sebagai wujud pembentukan sikap patriotisme dan nasionalisme
warganegara.

Gambar 2. Kerangka holistik proses pengembangan civic virtue (diadaptasi dari olahan
Winataputra, 2015)

Sementara dalam perskpektif pedagogis PPKn, pengetahuan, kemampuan,


dan tanggungjawab warganegara akan sejarah perjuangan bangsa Indonesia
adalah bentuk dari pengembangan civic virtue (keadaban warganegara) yang
terwujud dalam sikap patriotisme dan nasionalisme. Bentuk civic virtue yang
patriotik dan nasionalis dapat terwujud dengan sumbangsi holistik antara civic
responsibility (skills, competence, dan participation), dengan civic confidence
9
(knowledge dan disposition). Konsep pengembangan yang demikian, lebih jauh
lagi tentu akan dapat melahirkan civic commitment (kemauan warganegara) untuk
memahami sejarah bangsanya, dan turut berpartisipasi dan bertanggungjawab
untuk melestarikan nilai baik yang didapat dari sejarah panjang perjuangan bangsa
Indonesia dahulu yang secara elektis berhasil melahirkan 4 konsensus Indonesia.

Berdasarkan konseptual-substantif, pada jenjang sekolah menengah


kebawah dan atas materi pembelajaran PPKn yang berhubungan dengan semangat
sejarah perjuangan bangsa Indonesia banya terletak pada KI (Kompetensi Inti) 2
Sikap Sosial, KI 3 Pengetahuan, dan KI 4 Keterampilan. Pada kompetensi sikap
sosial (KI 2) materi semangat perjuangan bangsa Indonesia tertuang pada KD
(Kompetensi Dasar) 1 yang menyangkut tentang semangat dan komitmen
kebangsaan. Sementara pada kompetensi pengetahuan (KI3) tertuang pada KD 1
dan 2 yang menyangkut tentang memahami sejarah dan semangat komitmen
penetapan Pancasila dan UUD 1945. Walaupun secara implisit materi semangat
NKRI dan Kebhinekaan juga termuat pada KD 5 dan 6 KI 3 Kurikulum PPKn.
Sedangkan terakhir pada kompetensi keterampilan (KI4) materi semangat sejarah
perjuangan bangsa Indonesia tertuang pada KD 1 dan 2 tentang menyajikan hasil
telaah tentang sejarah dan semangat komitment penetapan Pancasila dan UUD
1945, dan muatan semangat dan komitmen NKRI dan Bhineka Tunggal Ika
tertuang pada KD 5 dan 6 kurikulum 2013 PPKn.

Pengembangan dan aktualisasi semangat serta komitmen warganegara yang


terinspirasi dari nilai dan pesan sejarah perjuangan bangsa Indonesia yang
menghasilkan 4 konsensus fundamental sangat perlu untuk disematkan maupun
diinternalisasi kedalam muatan materi pada KI dan KD kurikulum PPKn di
sekolah. Hal ini dapat pula dikatakan sebagai langkah mencapai tujuan PPKn
yang berupaya membentuk rasa patriotisme, rasa cinta tanah air dan rasa
kebangsaan yang tinggi. Sebagaimana dalam (Winataputra, 2015) bahwa secara
holistik PPKn bertujuan agar setiap warganegara muda (young citizens) memiliki
rasa kebangsaan dan cinta tanah air dalam konteks nilai dan moral pancasila, nilai
dan norma Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, nilai
dan komitmen Bhineka Tunggal Ika, dan komitmen berdasarkan ber-Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

10
c. Kewarganegaraan Yang Ber-Bhineka Tunggal Ika
Substansi yang bersumber dan/atau berkaitan erat dengan konsep dan makna
Bhineka Tunggal Ika, sebagai wujud komitmen keberagaman kehidupan
bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang utuh dan kohesif secara nasional
dan harmonis dalam pergaulan antarbangsa (Winataputra, 2015). Substansi ini
tidak lepas dari faktor demografis, geografis, dan sistem sosial Negara Indonesia
yang multikultur sehingga PPKn merupakan program yang tepat untuk
mengembangkan komitmen warganegara Ber-Bhineka Tunggal Ika secara
harmonis.

Bhinneka Tunggal Ika sendiri adalah sebagai motto Negara, yang diangkat
dari penggalan kakawin Sutasoma karya besar MPU Tantular pada zaman
Keprabonan Majapahit (abad 14) secara harfiah diartikan sebagai bercerai berai
tetapi satu atau Although in pieces yet One (Setiawan & Yunita, 2017). Motto ini
digunakan sebagai ilustrasi dari jati diri bangsa Indonesia yang secara natural, dan
sosial-kultural dibangun di atas keanekaragaman. (etnis, bahasa, budaya dll). Jika
dikaji secara akademis, bhineka tunggal ika tersebut dapat dipahami dalam
konteks konsep generik multikulturalism atau multikulturalisme.

Dilihat secara historis kontemporer masyarakat Barat, multrikulturalisme


setidaknya menunjuk pada tiga hal. Pertama, sebagai bagian dari Pragmatism
movement pada akhir abad ke 19 di Eropa dan Amerika Serikat. Kedua, sebagai
political and cultural pluralism pada abad ke 20 yang merupakan bentuk respon
terhadap imperialisme Eropa di Afrika dan imigrasi besar-besaran orang Eropa ke
Amerika Serikat dan Amerika Latin. Ketiga, sebagai official national policy yang
dilakukan di Canada pada 1971 dan Australia tahun 1973 dan berikutnya di beberapa
Negara Eropa.

Secara konseptual tampaknya dinamika pemikiran tentang


multikulturalisme tersebut merupakan pergumulan antara pilihan menjadi
monocultural nation-state yang didasarkan pada prinsip each nation is entitled to
its own souvereign state and to engender, pro-tect and preserve its own unique
culture and history, atau menjadi multi-lingual and multi-ethnic empires yang
dianggap sangat opresif (menindas), seperti Austro-Hungarian Empire dan
Ottoman Empires.

Namun demikian dalam praksis kehidupan kenegaraaan yang berbasis


11
pemikiran monoculturalism ternyata ideology nation-state dengan prinsip unity of
disscent, unity of culture, unity of language and often unity of religion (persamaan
pendapat, persatuan budaya, persatuan bahasa dan seringkali persatuan agama)
tidak mudah diwujudkan. Oleh karena itu dalam kondisi tidak dicapainya cultural
unity, karena dalam kenyataannya justru memiliki cultural diversity (keragaman
budaya), Negara melakukan berbagai kebijakan, yang salah satu paling umum
adalah melakuan compul-sory primary education (pendidikan dasar wajib) dalam
satu bahasa. Walaupun demikian hal tersebut potensial menimbulkan konflik
budaya sebagai akibat dari pengabaian terhadap Bahasa lokal/daerah.

Menarik untuk dicermati bagaimana modus kebijakan multilkulturalisme


yang ada selama ini. Pertama, model Amerika Serikat yang memiliki kebijakan
multikulturalime yang dikenal the Melting Pot' ideal, yang pada dasamya bahwa
immigrant cultures are mixed and amalgamated without state intervention. Setiap
individu immigrant diharapkan mampu berasimilasi ke dalam kondisi masyarakat
Amerikan menurut kecepatannya dalam beradaptasi. Pemikiran tentang melting
pot ini dirancang untuk bergandengan secara harmonis dengan konsep Amerika
sebagai suatu national unity.

Kedua, model Australia dengan multikulturalisme yang dikonsepsilcan


dalam format ethnic selection, dimana masyarakat Australia yang sebelum
datangnya imigran Eropa secara besar-besaran, sesungguhnya memiliki bayak
indigenous cultures (aborigin) atau kebudayaan asli untuk diarahkan menjadi
masyarakat Australia yang mencerminkan the Britishethno-cultural identity.

Ketiga, di lain pihak Canada menggunakan kebijakan multilkulturalisme


dalam bentuk pembangunan national unity melalui konsepsi pluralistic and
particularist multiculturalism yang kemudian dikenal sebagai Canada's cultural
mosaic yang pada dasarnya memandang bahwa setiap budaya atau sub-budaya di
dalam masyarakar Canada memberikan kontribusi keunikan dan nilai luhur
terhadap keseluruhan kebudayaan dengan prinsip preserving the distinc-tions
between cultures.

Keempat, model Argentina yang menerapkan kebijakan multikulturalisme


untuk mengakomodasilcan budaya immigrant dengan prinsip multikulturalisme
sebagai cerminan dari social assortment of Argentine culture dengan menerapkan
individuals multiple citizenship (kewargaegaraan ganda individu).
12
Kelima, model Malaysia yang menerapkan kebijakan multikulturalisme
dengan prinsip coexistence between the three ethnicities (Malays, Chinese, and
Indian) dengan jaminan konstitusional that immigrant groups are granted
citizenship, and Malays' special rights are guranted, yang kemudian dikenal
dengan Bumiputera policy.

Bagaimana halnya dengan konsep dan kebijakan multikulturalisme Bhineka


Tunggal Ika Indonesia? Indonesia dikonsepsikan dan dibangun sebagai
multicultural nation-state dalam konteks Negara kebangsaan Indonesia modern,
bulcan sebagai monocultural nation-state. Hal itu dapat dicermati dari dinamika
praksis kehidupan bernegara Indonesia sejak Proklamasi Kemerdekaan Indonesia
17 Agustus 1945 sampai saat ini dengan mengacu pada konstitusi yang pernah
dan sedang berlaku, yakni UUD 1945, Konstitusi RIS 1949, dan UUDS 1950,
serta praksis kehidupan bernegara dan bermasyarakat yang menjadi dampak
langsung dan dampak pengiring dari berlakunya setiap konstitusi serta dampak
perkembangan internasional pada setiap zamannya itu. Secara historis-filosofis
bahwa multikulturalisme Bhineka Tunggal Ika Indonesia terpatri (tersemat)
kedalam nilai-nilai filosofis bangsa Indonesia yaitu Pancasila.

Konsep Bhinneka Tunggal Ika dalam Bingkai Multikultural Nilai-Nilai


Pancasila

Apakah makna pendidikan Pancasila dalam pembangunan watak dan


peradaban bangsa yang bermartabat dalam konteks multikulturalisme Indonesia?
Untuk memjawab pertanyaan ini, pendidikan Pancasila perlu dilihat dalam tiga
tataran, yaitu pendidikan Pancasila sebagai kemasan kurikuler (mata pelajaran),
sebagai proses pendidikan (praksis pembelajaran), dan sebagai upaya sistemik.

Membangun kehidupan masyarakat, bangsa, dan Negara Kesatuan Republik


Indonesia ke depan (proses nation's character building). Kemasan kurikuler
pendidikan Pancasila secara historis-kurikuler telah mengalami pasang surut.
Dalam kurikulum sekolah sudah dikenal, mulai dari Civics tahun 1962,
Pendidikan Kewargaan Negara dan Kewargaan Negara tahun 1968, Pendidikan
Moral Pancasila tahun 1975, Pendidikan Pencasila dan Kewarganegaraan tahun
1994, dan Pendidikan Kewarganegaraan tahun 2003.

Sementara itu di perguruan tinggi sudah dikenal Pancasila dan Kewiraan


13
Nasional tahun 1960-an, Pendidikan Pancasila dan Pendidikan Kewiraan tahun
1985, dan Pendidikan Kewarganegaraan tahun 2003. Berdasarkan Pasal 37
Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
(selanjutnya disebut Sisdiknas), menggariskan program kurikuler pendidikan
kewarganegaraan sebagai muatan wajib kurikulum pendidikan dasar dan
pendidikan menengah serta pendidikan tinggi. Semua proses pendidikan pada
akhirnya harus menghasilkan perubahan prilaku yang lebih matang secara
psikologis dan sosiokultural. Karena itu inti dari pendidikan, termasuk pendidikan
Pancasila adalah belajar atau learning.

Dalam konteks pendidikan formal dan nonformal, proses belajar merupakan


misi utama dari proses pembelajaran atau instruction. Secara normatif, dalam
Pasal 1 butir 20 Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan
nasional, dirumuskan bahwa: “Pembelajaran adalah proses interaksi peserta didik
dengan pendidik dan sumber belajar pada suatu lingkungan belajar”. Satuan
pendidikan (SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK, Sekolah Tinggi, Institut,
dan Universitas) merupakan suatu lingkungan belajar pendidikan formal yang
terorganisasikan mengikuti legal framework yang ada.

Oleh karenanya proses belajar dan pembelajaran harus diartikan sebagai


proses interaksi sosiokultural-edukatif dalam konteks satuan pendidikan, bukan
hanya dibatasi pada konteks klasikal mata pelajaran atau mata kuliah. Dalam
kontes itu, maka pendidikan Pancasila dalam pengertian generik, harus
diwujudkan dalam keseluruhan proses pembelajaran, bukan hanya dalam
pembelajaran mata pelajaran Pendidikan Kewarganegaraan dan Kajian Pancasila.
Karena itu konsep pembudayaan Pancasila yang menjadi tema sandingan
pendidikan Pancasila, menjadi sangat relevan dalam upaya menjadikan nilai-nilai
yang terkandung dalam Pancasila sebagai ingredient (bahan) pembangunan watak
dan peradaban Indonesia yang bermartabat dalam konteks multikulturalisme
Indonesia.

Dalam konteks tersebut, maka satuan pendidikan seyogyanya


dikembangkan sebagai satuan sosiokultural-edukatif yang mewujudkan nilai-nilai
Pancasila dalam praksis kehidupan satuan pendidikan yang membudayakan dan
mencerdaskan. Untuk itu perlu dikembangkan budaya kewarganegaraan indonesia
yang multikultural, yang berintikan "civic virtue" atau kebajikan atau akhlak
14
kewarganegaraan. Kabajikan itu sepenuhnya harus terpancar dari nilai-nilai
Pancasila yang secara substantif mencakup keterlibatan aktif warganegara,
hubungan kesejajaran/egaliter, saling percaya dan toleran, kehidupan yang
kooperatif, solidaritas, dan semangat kemasyarakatan multikultural. Semua unsur
akhlak kewarganegaraan itu diyakini akan saling memupuk dengan kehidupan
"civic community" atau "civil society" atau masyarakat madani untuk Indonesia
yang berdasarkan Pancasila.

Dengan kata lain tumbuh dan berkembangnya masyarakat madani, Pancasila


bersifat interaktif dengan tumbuh dan berkembangnya akhlak kewarganegaraan
(civic virtue) yang merupakan unsur utama dari budaya kewarganegaraan yang
ber-Pancasila (civic culture). Oleh karena itu diperlukan adanya serta peran dari
pendidikan Pancasila yang menghasilkan demokrasi konstitusional yang mampu
mengembangkan akhlak kewarganegaraan Pancasila.

Dalam waktu bersamaan proses pendidikan tersebut harus mampu memberi


kontribusi terhadap berkembangnya multikulturalime Pancasila yang menjadi inti
dari masyarakat madani Pancasila yang demokratis. Inilah tantangan konseptual
dan operasional bagi pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan untuk
membangun demokrasi konstitusional di Indonesia.

Masyarakat madani-Pancasila yang multikultural merupakan “civic


community” atau “civil society” yang ditandai oleh berkembangnya peran
organisasi kewarganegaraan di luar organisasi kenegaraan dalam mencapai
keadilan dan kesejahteraan sosial sesuai Pancasila. Hal itu perlu dipatri oleh
kualitas pribadi, “true beliefand sacrifice for God, respect for human rights,
enforcement of rule of law, extension participation of citizens in public decision
making at various levels, and implementation of the new form of civic education
to develop smart and good citizens” maksudnya adalah bahwa dalam kehidupan
masyarakat madani tersebut harus terwujudkan kualitas pribadi yang ditandai oleh
keimanan dan ketakwaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa, penghormatan
terhadap hak azasi manusia, penwujudan negara hukum, partisipasi warganegara
yang luas dalam pengambilan kebijakan publik dalam berbagai tingkatan, dan
pelaksanaan paradigma baru pendidikan kewarganegaraan untuk mengembangkan
warganegara (Indonesia) yang cerdas dan baik.

Berdasarkan hal diatas dapat dilihat bahwa tantangan bagi pendidikan


15
demokrasi konstitusional di Indonesia adalah bersistemnya pendidikan Pancasila
dengan keseluruhan upaya pengembangan kualitas warganegara dan kualitas
kehidupan multikultural yang ber-Pancasila dan berkonstitusi UUD 1945, dalam
masyarakat, bangsa dan negara Indonesia. Identitas pribadi warganegara yang
bersumber dari civic culture Indonesia yang multikulturalistik perlu
dikembangkan melalui pendidikan kewarganegaraan dalam berbagai bentuk dan
latar.

Elemen civic culture yang paling sentral dan sangat perlu dikembangkan
adalah civic virtue. Yang dimaksud dengan civic virtue adalah kemauan dari
warganegara untuk menempatkan kepentingan umum diatas kepentingan pribadi.
Civic virtue merupakan domain psikososial individu yang secara substantif
memiliki dua unsur, yaitu civic dispositions dan civic commitments. Yang mana
civic dispositions adalah sikap dan kebiasaan berpikir warganegara yang
menopang berkembangnya fungsi sosial yang sehat dan jaminan kepentingan
umum dari sistem demokrasi. Sedangkan civic committments adalah komitmen
warganegara yang bernalar dan diterima dengan sadar terhadap nilai dan prinsip
demokrasi konstitusional.

Kedua unsur dari civic virtue tersebut diyakini akan mampu menjadikan
proses politik berjalan secara efektif untuk memajukan the common good atau
kemaslahatan umum dan memberi kontribusi terhadap perwujudan ide
fundamental dari sistem politik termasuk "protection of the rights of the
individual" atau pelindungan hak-hak asasi manusia. Proses politik yang berjalan
dengan efektif untuk memajukan kepentingan umum dan memberi kontribusi
berarti terhadap perwujudan ide fundamental dari sistem politik termasuk di
dalamnya perlindungan terhadap hak-hak individu itu adalah ciri kehidupan
politik yang ditopang kuat oleh civic culture.

Secara konseptual civic dispositions meliputi sejumlah karakteristik


kepribadian, yakni civility atau keadaban (hormat pada orang lain dan partisipatif
dalam kehidupan masyarakat), individual responsibility atau tanggung jawab
individual, self discipline atau disiplin diri, civic mindednes atau kepekaan
terhadap masalah kewargaan, open mindedness (terbuka, skeptis, mengenal
ambiguitas), compromise (prinsip konflik dan batas-batas kompromi), toleration
of diversity atau toleransi atas keberagaman, patience and persis tence atau
16
kesabaran dan ketaatan, compassion atau keterharuan, generosity atau kemurahan
hati, and loyalty to the nation and its priciples atau kesetiaan pada bangsa dan segala
aturannya. (Quigley, dkk, 1991). Kesemua itu, yakni keadaban yang mencakup
penghormatan dan interaksi manusiawi, tanggungjawab individual, disiplin diri,
kepedulian terhadap masyarakat, keterbukaan pikiran yang mencakup keterbukaan,
skeptisisme, pengenalan terhadap kemenduaan, sikap kompromi yang mencakup prinsip-
prinsip konflik dan batas-batas kompromi, toleransi pada keberagaaman, kesabaran dan
keajekan, keharuan, kemurahan hati, dan kesetiaan terhadap bangsa dan segala prinsipnya
merupakan karakter intrinsik dari sikap warganegara.

Sedangkan civic commitments adalah kesediaan warga negara untuk


mengikatkan din dengan sadar kepada ide dan prinsip serta nilai fundamental
demokrasi konstitusional, dalam hal ini di Amerika, yang meliputi popular
souvereignty, constitutional government, the rule of law, separation of powers,
checks and balances, minority rights, civilian control of the military, separa-tion
of church and state, power of the purse, federalism, common good, individual
rights (life, liberty: personal, political, economic, and the pursuit ofhappiness),
justice, equality (political, legal, social, economic), diver-sity, truth, and
patriotism. (Quigley, dkk,1991).

Kesemua itu adalah kedaulatan rakyat, pemerintahan konstitusional, prinsip


negara hukum, pemisahan kekuasaan, kontrol dan penyeimbangan, hak-hak
minoritas, kontrol masyarakat terhadap meliter, pemisahan negara dan agama,
kekuasaan anggaran belanja, federalisme, kepentingan umum, hak-hak individual
yang mencakup hak hidup, hak kebebasan (pribadi, ekonomi,dan kebahagiaan),
keadilan, persamaan (dam bidang politik, hukum, sosial, ekonomi), kebhinekaan,
kebenaran, dan cinta tanah air, tentu saja tidak (semua hal tersebut berlaku untuk
Indonesia. Pengembangan dimensi civic virtue merupakan landasan bagi
pengernbangan civic participation yang memang merupakan tujuan akhir dari
civic education, atau pendidikan Pancasila untuk Indonesia.

Dimensi civic participa-tion dikembangkan dengan tujuan untuk


memberikan the knowledge and skills required to participate effectively, practical

17
experience in partici-pation designed to foster among students a sense of
competence and efficacy dan mengembangkan ... an understanding of the
importance of citizen participation (Quigley, dkk), yakni pengetahuan dan
ketrampilan yang diperlukan untuk berperan serta secara efektif dalam
masyarakat, pengalaman berperan serta yang dirancang untuk memperkuat
kesadaran berkemampuan dan berprestasi unggul dari siswa, dan mengembangkan
pengertian tentang pentingnya peran serta aktif warganegara. Untuk dapat
berperan secara aktif tersebut diperlukan A knowledge of the fundamental
concepts, history contemporary events, issues, and facts related to the matter and
the capacity to apply this knowledge to the situation; a disposition to act in
accord with the traits of civic char-acters; and a commitment to the realization of
the fundamental values and principles. (Quigley, dkk,1991).

Semua hal tersebut menunjukkan pada pengetahuan tentang konsep


fundamental, sejarah, isu dan peristiwa aktual, dan fakta yang berkaitan dengan
subsantsi dan kemampuan untuk menerapkan pengetahuan itu secara kontekstual,
dan kecenderungan untuk bertindak sesuai dengan watak dan warganegara. Dalam
konteks Indonesia secara keseluruhan harus ditempatkan dalam konteks nilai-nilai
Pancasila dan UUD 1945 yang menghargai komitment kolektif dan semangat ke-
Indonesiaan yang multikultural.

Sementara dalam konsep kewarganegaraan, komitmen berbinneka tunggal


ika tidak lepas dari keberadaan masyarakat yang beragam atau plural dalam
menyikapi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang berorientasi
pada sikap demokratis.

3. Contoh Dan Non Contoh/Ilustrasi


Pada bagian ini akan ditampilkan contoh pembelajaran yang menanamkan
nilai atau aktualisasi kehidupan yang berbhineka tunggal ika di kehidupan sehari-
hari. Berikut contohnya:
- Guru PPKn dapat menerapkan pendekatan Hermeneutik (pendekatan dengan
pemaknaan suatu teks atau materi) dengan metode pembelajaran Inkuiri sosial,

18
dimana pendekatan dan metode ini cocok untuk mengembangkan kompetensi
inti (KI) 2 kurikulum 2013 yaitu kompetensi sosial peserta didik. Pendekatan
dan metode ini dilakukan dengan menginternalisasi nilai-nilai komitmen dan
semangat kehidupan ber-Bhineka Tunggal Ika. Langkah yang dapat dilakukan
untuk melaksanakan metode inkuiri adalah sebagai berikut :
1. Merumuskan masalah yang sedang hangat terjadi;
2. Merumuskan hipotesa;
3. Mendefinisikan istilah atau mengkonseptualisasi;
4. Mengumpulkan data;
5. Menguji data dan menganalisis data;
6. Menguji hipotesa untuk mengeneralisasi hasil dan teori;
7. Memulai inkuiri lagi.
Adapun model pembelajaran yang dapat mendukung pendekatan dan metode
ini adalah dengan menggunakan model pembelajaran berbasis Portofolio. Yang
intinya adalah guru PPKn menggunakan teknik portofolio yaitu
mengidentifikasi masalah yang akan dikaji; mengumpulkan informasi;
mengkaji pemecahan masalah; membuat kebijakan; dan membuat rencana
tindakan. Tahapan-tahapan ini dapat mendukung main study PPKn yaitu
demokrasi atau perilaku demokratis.

4. Forum Diskusi
CPMK Sub-CPMK Bahan Kajian Tugas Terstruktur
Menguasai materi Struktur, metode, Konsep Kajian: 1. Baca dengan
dan aplikasi dan spirit keilmuan a. Konsep UUD cermat dan
materi bidang kewarganegaraan, 1945; pahami materi
studi PPKn yang hukum, politik b. Sejarah Konsep UUD
mencakup : kenegaraan, Perjuangan 1945, Sejarah
a. konsep, sejarah perjuangan Bangsa Perjuangan
prinsip, prosedur, bangsa, dan Indonesia; Bangsa Indonesia,
dan metode disiplin lainnya c. dan dan
keilmuan serta berlandaskan Kewarganegara Kewarganegaraan
nilai, norma, dan Undang-Undang an yang Ber- yang Ber-Bhineka
moral yang Dasar Negara Bhineka Tunggal Ika
menjadi muatan Republik Tunggal Ika dalam Perspektif
kurikulum dan Indonesia tahun dalam PPKn.
proses 1945 sebagai Perspektif 2. Cari bahan

19
pembelajaran hukum dasar yang PPKn. referensi yang
dan/atau menjadi landasan berhubungan
pembudayaan konstitusional dengan muatan
dalam konteks kehidupan atau materi
pendidikan bermasyarakat, tentang Konsep
Pancasila sebagai berbangsa dan UUD 1945,
dasar negara dan bernegara yang Sejarah
pandangan hidup ber-Bhinneka Perjuangan
bangsa dan Tunggal Ika dalam Bangsa Indonesia,
kewarganegaraan keberagaman yang dan
di sekolah kohesif dan utuh; Kewarganegaraan
dan/atau yang Ber-Bhineka
masyarakat; Tunggal Ika
b. struktur, dalam Perspektif
metode, dan spirit PPKn. .
keilmuan 3. Jelaskanlah
kewarganegaraan, konsep kajian
hukum, politik ilmu
kenegaraan, kewarganegaraan
sejarah berikut:
perjuangan b. Konsep UUD
bangsa, dan 1945,
disiplin lainnya c. Konsepsi
berlandaskan Sejarah
Undang-Undang Perjuangan
Dasar Negara Bangsa
Republik Indonesia,
Indonesia tahun d. Dan
1945 sebagai Kewarganegar
hukum dasar yang aan Yang Ber-
menjadi landasan Bhineka
konstitusional Tunggal Ika
kehidupan Dalam
bermasyarakat, Perspektif
berbangsa dan PPKn.
bernegara yang
ber- Bhinneka
Tunggal Ika
dalam
keberagaman
yang kohesif dan
utuh,
c. isu-isu dan/
atau
perkembangan
terkini

20
kewarganegaraan
meliputi bidang
ideologi, politik,
hukum, ekonomi,
sosial, budaya,
pertahanan
keamanan dan
agama, dalam
konteks lokal,
nasional, regional,
dan global dalam
bingkai Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia
(NKRI), termasuk
advance materials
secara bermakna
yang dapat
menjelaskan
aspek “apa”
(konten),
“mengapa”
(filosofis), dan “
bagaimana”
(penerapan) dalam
kehidupan sehari-
hari;

C. PENUTUP

1. Rangkuman
Pendidikan pancasila dan kewarganegaraan (PPKn) adalah program
pendidikan yang dalam implementasinya, pembelajaran lebih menekankan
pada pengambangan aspek value inculcation. Metode penanaman nilai
menjadi cara yang relevan untuk mendukung visi dan misi PPKn dalam
mengembangkan potensi peserta didik yang memiliki rasa kebangsaan, cinta
tanah air, dan demokratis dan bertanggungjawab melalui semangat dan
komitmen pada empat konsensus bangsa Indonesia yaitu Pancasila, UUD
1945, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI. Keempat konsesnsus tersebut sebagai

21
landasan bagi warganegara Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.

Pengembangan dan penerapan substansi materi pada KB ini terfokus


pada konsep UUD 1945, Sejarah Perjuangan Bangsa Indonesia, Dan
Kewarganegaraan Yang Ber-Bhineka Tunggal Ika Dalam Perspektif PPKn
yang mana materi ini dilihat dari aspek substantif dan pedagogisnya secara
komprehensif dapat memperkaya cakrawala keilmuan seorang guru PPKn dan
dapat mengembangkan kompetensi keilmuan guru PPKn (aspek pedagogis
dan professional).

Dalam hal ini, peran guru sangatlah penting. Guru PPKn secara
pedagogis dan professional haru menguasai substansi keempat konsesnsus
tersebut untuk di jabarkan atau di internalisasi kedalam kompetensi dasar
kurikulum PPKn dalam mendukung aspek kompetensi inti kurikulum PPKn di
sekolah.

Kemampuan substantif-pedagogik menjadi elemen penting bagi seorang


pengajar PPKn di sekolah. Hal ini tidak lepas dari perannya untuk
mensosialisasikan ilmu dan menginternalisasikan ilmu yang bermanfaat bagi
peserta didik dalam hal ini adalah civics (sebagai ilmunya program PPKn).

2. Tes Formatif
Pada bagian tes formatif kali ini, peserta diminta untuk menyelesaikan
kumpulan soal-soal multiple choice di bawah ini secara baik dan benar.
Selanjutnya silahkan dan selamat mengerjakan.
Soal-soal:
1. Keberadaan UUD 1945 sebagai landasan konstitusional bagi bangsa
Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Bagi warganegara, tentu harus berperan aktif untuk turut memberikan
pengaruh dalam segala kebijakan pemerintah. Hal ini merupakan
fungsi dari?
a. Patriotisme

22
b. Nasionalism
c. Multikulturalism
d. Civil Society
e. Demokratisasi

2. Muatan PPKn yang bersumber dari norma-norma Undang-undang


Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, merupakan ciri dari?
a. Substantif-pedagogik PPKn
b. Substantif-filosofis PPKn
c. Substantif-historis PPKn
d. Socio-culture PPKn
e. Politic-Culture PPKn

3. Internalisasi dan sosialisasi norma-norma UUD 1945, Sehingga dalam


hal ini PPKn memiliki peran yang sangat vital untuk mewujudkan
prinsip?
a. Pancasilais
b. Negara Kesatuan Republik Indonesia
c. Demokrasi Pancasila
d. Bhineka Tunggal Ika
e. Rule Of Law

4. Nilai-nilai yang diambil dari semangat perjuangan bangsa Indonesia


sejak dulu dalam melahirkan 4 konsensus Indonesia merupakan tugas
PPKn dalam menerapkan metode?
a. Value Normatif
b. Value Inculcation
c. Value Culture
d. Value of Pancasila
e. Value of Constitution

23
5. Rasa Patriotisme dan Nasionalisme akan terbentuk jika seorang
warganegara mengetahui dan memahami betul akan sejarah bangsanya
dan jika sebaliknya maka akan berdampak pada menurunnya tingkat
Patriotisme dan Nasionalisme, hal ini disebut sebagai?
a. Paradigma individuals’ identity
b. Paradigma individuals’ national identity
c. Paradigma Nationalism
d. Paradigma national identity
e. Paradigma Konservatif

6. Muatan materi PPKn yang bersumber dari Pancasila, UUD 1945,


Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI merupakan bentuk dari konstelasi?
a. Psiko-Sosial Muatan PPKn
b. Psiko-Pedagogis Muatan PPKn
c. Psiko-Materials Muatan PPKn
d. Psiko-Politics Muatan PPKn
e. Psiko-Cultures Muatan PPKn

7. Upaya menanamkan semangat dan komitmen sejarah perjuangan


bangsa Indonesia yang melahirkan 4 konsensus fundamental bagi
bangsa Indonesia merupakan usaha untuk mengembangkan?
a. Civic awareness
b. Civic Virtue
c. Civic Culture
d. Civic responsibility
e. Cultural Unity

8. Upaya Guru PPKn untuk menginternalisasi muatan 4 konsensus


Negara Indonesia kedalam substansi pembelajarannya yaitu tepatnya
pada KD Kurikulum PPKN merupakan langkah untuk
mengembangkan?

24
a. Spirit Pancasila Peserta didik
b. Spirit Berkonstitusi Peserta didik
c. Civic Virtue Peserta didik
d. Spirit Negara Kesatuan Republik Indonesia Peserta didik
e. Civic Culture Peserta didik

9. Komitmen warganegara untuk ber-bhineka tunggal ika adalah


komitmen yang berfokus pada?
a. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang utuh
dan kohesif secara nasional dan harmonis dalam pergaulan
antarbangsa.
b. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang
eksklusif secara nasional dan harmonis dalam pergaulan
antarbangsa.
c. Kehidupan yang berlandaskan pada konstitusi.
d. Kehidupan yang bersumber dari salah satu nilai Pancasila.
e. Kehidupan yang meletakkan fondasinya pada nilai-nilai adat

10. Sumber multikulturalisme Ke-Bhinekaan Tunggal Ika bangsa


Indonesia terletak pada?
a. Nilai-nilai budaya
b. Nilai-nilai kebangsaan
c. Etnosentrisme
d. Nilai-nilai adat istiadat
e. Nilai-nilai Pancasila

Kunci Jawaban:
1. D 6. A
2. A 7. E
3. E 8. C
4. B 9. A
5. B 10. A

25
3. Daftar Pustaka

Buku:

Pimpinan MPR & Tim Kerja Sosialisasi MPR RI 2009-2014. 2015. “Materi
Sosialisasi Empat Pilar MPR RI”. Jakarta:Sekretariat Jenderal MPR RI.
Quigley, C.N., Buchanan, Jr. J. H. & Bahmueller, C.F. (1991). Civitas: a
frame work for civic education. Calabasas: Center for Civic Education.
Samsuri. 2012. “Pendidikan Karakter Warganegara (Kritik Pembangunan
Karakter Bangsa)”. Surakarta:Pustaka Hanif.
Setiawan, D & Yunita, S. 2017. Kapita Selekta Kewarganegaraan. Medan :
Larispa.
Wahab, A.A, dan Sapriya. 2011. Teori dan Landasan Pendidikan
Kewarganegaraan. Bandung: Alfabeta.
Winataputra, U.S. 2015. Pendidikan Kewarganegaraan Refleksi Historis-
Epistimologis dan Rekonstruksi Untuk Masa Depan. Banten: Universitas
Terbuka, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi.
Winarno. 2013. “Pembelajaran Pendidikan Kewarganegaraan (isi, strategi
dan penilaian)”. Jakarta:Bumi Aksara.

Jurnal:

Huang, A., & Liu, X, Historical knowledge and national identity: Evidence
from China, Sage Journals, July-September 2018: 1–8, doi:
10.1177/2053168018794352.

26
KEGIATAN BELAJAR 4:
ISU-ISU KEWARGANEGARAAN

i 27
DAFTAR ISI

KEGIATAN BELAJAR 4. ISU-ISU KEWARGANEGARAAN


DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
A. PENDAHULUAN ......................................................................................... 1
1. Deskripsi Singkat ................................................................................... 1
2. Relevansi ................................................................................................. 1
3. Petunjuk Belajar .................................................................................... 2

B. INTI ............................................................................................................... 3
1. Capaian Pembelajaran .......................................................................... 3
2. Uraian Materi ......................................................................................... 4
A. Isu Kewarganegaraan Dalam Konteks Lokal ..................................... 4
B. Isu Kewarganegaraan Dalam Konteks Nasional .............................. 11
C. Isu Kewarganegaraan Dalam Konteks Regional.............................. 16
D. Isu Kewarganegaraan Dalam Konteks Global ................................. 18
E. Forum Diskusi .................................................................................. 21

C. PENUTUP ................................................................................................... 23
1. Rangkuman........................................................................................... 23
2. Tes Formatif ......................................................................................... 25
Soal Essay.............................................................................................. 30
3. Tes Sumatif ........................................................................................... 30
4. Daftar Pustaka ...................................................................................... 35

ii
A. PENDAHULUAN

1. Deskripsi Singkat
Kegiatan belajar empat secara umum akan membahas kajian-kajian tentang
isu-isu kewarganegaraan yang meliputi bidang ideologi, politik, hukum, ekonomi,
sosial, budaya, pertahanan keamanan dan agama, dalam konteks lokal, nasional,
regional, dan global dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Kegiatan belajar ini dilihat dari aspek substantif dan pedagogisnya secara
komprehensif dapat memperkaya cakrawala keilmuan seorang guru PPKn dan
dapat mengembangkan kompetensi keilmuan guru PPKn (aspek pedagogis dan
professional). Secara umum substansi pada kegiatan belajar empat akan
membahas tentang isu-isu kewarganegaraan pada region lokal, nasional, regional,
dan global. Yang mana isu-isu tersebut sebagai muatan yang dilihat dari fakta-
fakta yang terjadi untuk dipahami oleh guru PPKn. Oleh karena muatan tersebut
sebagai bekal knowledge bagi guru PPKn untuk terampil dan kompeten serta
professional dalam melaksanakan pembelajaran PPKn yang berbasiskan fakta
dilapangan.

Dengan demikian, kegiatan belajar kali ini akan sangat banyak membekali
seorang guru secara kognitif dan secara terstruktur dan terarah membantuk
mengarahkan guru PPKn mampu menerapkan (aspek pedagogis dan profesional)
keilmuan PPKn perihal isu-isu kewarganegaraan yang meliputi bidang ideologi,
politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan dan agama, dalam
konteks lokal, nasional, regional, dan global dalam bingkai Negara Kesatuan
Republik Indonesia (NKRI).

2. Relevansi
Modul 3 Kegiatan Belajar 4 yang membahas tentang konsep dasar keilmuan
PPKn pada diklat Pendidikan Profesi Guru (PPG) dalam jabatan ini sangat
penting dan relevan menjadi bekal, panduan, dan paket belajar bagi peserta PPG
dalam jabatan. Hal tersebut dikarenakan salah satu kompetensi mutlak yang harus
dimiliki oleh seorang guru PPKn yang profesional adalah pemahaman dan
kemampuan implementasi pembelajaran PPKn berbasiskan fakta atau learning

1
experience yang berupa pembelajaran tentang isu-isu kewarganegaraan yang
meliputi bidang ideologi, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan
keamanan dan agama, dalam konteks lokal, nasional, regional, dan global dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Substansi ini adalah bagian
dari konsep tradisi perenialism, esensialism, progresifism, dan konstruksionism
filosofi pembelajaran PPKn yang berupaya membentuk civic virtue dan civc
literacy peserta didik sebagai warganegara yang memahami serta terlibat dalam
berbagai isu-isu kewarganegaraan yang meliputi bidang ideologi, politik, hukum,
ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan dan agama, dalam konteks lokal,
nasional, regional, dan global dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia
(NKRI) sebagai wujud komitment peserta didik sebagai warganegara yang
kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegaranya sesuai dengan nilai
kemanusiaan, harmonisasi, persaudaraan, dan kesatuan warga global.

Selain itu tentu panduan dan/atau kegiatan belajar ini dapat membentuk spirit
pedagogis peserta PPG PPKn dalam jabatan, dapat mengaktualisasikan atau
mewujudkan kompetensi-kompetensi inti pada kurikulum 2013 revisi untuk mata
pelajaran PPKn.

3. Petunjuk Belajar
Sebelum anda mempelajari Kegiatan Belajar 3 (KB 4) ini, ada beberapa hal
yang harus anda lakukan untuk mempermudah pemahaman anda tentang isi KB 4
ini. Beberapa langkah yang harus dilakukan adalah sebagai berikut;
1. Pahamilah terlebih dahulu mengenai berbagai kegiatan dan tahapan penting
dalam diklat mulai tahap awal sampai akhir.
2. Lakukan kajian permulaan terhadap tema yang berkenaan dengan isu-isu
kewarganegaraan yang meliputi bidang ideologi, politik, hukum, ekonomi,
sosial, budaya, pertahanan keamanan dan agama, dalam konteks lokal,
nasional, regional, dan global dalam bingkai Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI).
3. Pelajari terlebih dahulu langkah dan tahapan KB 4 pada modul 3 untuk
memudahkan dalam memahami isi KB 4.

2
4. Keberhasilan proses pembelajaran Anda dalam mata diklat ini sangat
tergantung kepada kesungguhan Anda dalam mengerjakan latihan. Untuk
itu, berlatihlah secara mandiri atau berkelompok dengan teman sejawat,
berkaitan dengan latihan soal yang telah disediakan pada KB 4 ini.
5. Bila Anda menemui kesulitan, silakan berdiskusi dengan sejawat, atau
bertanya kepada instruktur atau fasilitator yang mengajar mata diklat ini.
6. Selamat belajar, semoga sukses dan berhasil

B. INTI

1. Capaian Pembelajaran
Menguasai materi dan aplikasi materi bidang studi PPKn yang mencakup :
a. Konsep, prinsip, prosedur, dan metode keilmuan serta nilai, norma, dan
moral yang menjadi muatan kurikulum dan proses pembelajaran dan/atau
pembudayaan dalam konteks pendidikan Pancasila sebagai dasar negara
dan pandangan hidup bangsa dan kewarganegaraan di sekolah dan/atau
masyarakat;
b. Struktur, metode, dan spirit keilmuan kewarganegaraan, hukum, politik
kenegaraan, sejarah perjuangan bangsa, dan disiplin lainnya berlandaskan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 sebagai
hukum dasar yang menjadi landasan konstitusional kehidupan
bermasyarakat, berbangsa dan bernegara yang ber- Bhinneka Tunggal
Ika dalam keberagaman yang kohesif dan utuh;
c. Isu-isu dan/ atau perkembangan terkini kewarganegaraan meliputi bidang
ideologi, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan
dan agama, dalam konteks lokal, nasional, regional, dan global dalam
bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), termasuk advance
materials secara bermakna yang dapat menjelaskan aspek “apa” (konten),
“mengapa” (filosofis), dan “ bagaimana” (penerapan) dalam kehidupan
sehari-hari;

3
2. Uraian Materi
Dilihat dari substansinya, dalam kurikulum 2013 standar isi pembelajaran
PPKn di sekolah tingkat menengah pertama dan keatas secara pedagogis banyak
berorientasi pada persoalan-persoalan kemasyarakatan, kebangsaan, dan
kenegaraan atau persoalan kewarganegaraan bahkan disetiap Kompetensi Dasar
pada KI-1, KI-2, KI-3, dan KI-4 terdapat muatan yang berorientasi pada persoalan
kewarganegaraan Indonesia. Sebagaimana dengan sifat pembelajaran PPKn yang
dinamis, seiring dengan perkembangan zaman bahwa PPKn sudah harus
mewadahi peserta didik untuk memhami berbagai persoalan atau isu-isu
kewarganegaraan. Sebagaimana dalam jurnal cakrawala pendidikan dengan judul
“Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Membangun Wawasan Global Warga
Negara Muda” (Murdiono. M, 2014) bahwa Pendidikan kewarganegaraan
membekali peserta didik di sekolah dengan pengetahuan tentang isu-isu global,
budaya, lembaga dan sistem internasional dan merupakan indikasi dari
pendekatan minimalis yang bisa mengambil tempat secara eksklusif di dalam
kelas.

Warganegara yang baik dan cerdas serta bertanggungjawab adalah


warganegara yang secara dinamis mengetahui dan memahami isu-isu
kewarganegaraan. sekolah adalah salah satu wadah untuk menumbuh kembangkan
pemahaman warganegara atau generasi muda terhadap berbagai isu
kewarganegaraan yang sedang hangat terjadi. Bisa berkaitan dengan isu-isu pada
bidang ideologi, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan
dan agama, dalam konteks lokal, nasional, regional, dan global dalam bingkai
Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

A. Isu Kewarganegaraan Dalam Konteks Lokal


Pada region lokal isu kewarganegaraan akan dilihat pada batasan teritori
wilayah administratif bagian dari suatu Negara yaitu provinsi atau wilayah bagian
terkecil dibawahnya. Isu kewarganegaraan sendiri secarah terminologi berasal dari
kata isu dan kewarganegaraan. Dimana isu berarti masalah yang dikedepankan

4
(https://kbbi.web.id/isu) dan kewarganegaraan berarti sesuatu yang tidak sebatas
keanggotaan seseorang dari organisasi Negara, tetapi meluas kepada hal-hal yang
terkait dengan warganegara dalam kehidupan berbangsa dan bernegara (Cholisin,
2016). Jadi, isu kewarganegaraan dapat disimpulkan sebagai suatu masalah yang
urgen atau penting terkait kehidupan warganegara dalam bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara.

Isu kewarganegaraan dalam konteks lokal berorientasi pada isu-isu


kewarganegaraan pada teritori lokal atau wilayah bagian suatu Negara seperti
provinsi atau kabupaten kota. Indonesia sendiri adalah Negara yang multikultur
dan majemuk. Keduanya menjadi identitas khas bangsa Indonesia yang dapat
memperkaya sekaligus menjadi faktor trigger (pemicu) lahirnya perpecahan.
Dilematik paradigma ini yang dapat menjadi alasan munculnya berbagai isu
kebangsaan dalam teritori lokal yang dapat melunturkan nilai kebhinekaan serta
rasa kebangsaan seperti cinta tanah air, patriotik, dan bela negara.

Status legal bangsa Indonesia adalah bangsa yang multikultur dapat berubah
makna menjadi suatu oksimoron atau majas yang menempatkan dua antonim
dalam suatu hubungan sintaksis (https://id.wikipedia.org/wiki/Oksimoron) dimana
multikulturnya bangsa Indonesia diikuti oleh rasa kecintaan dan kepercayaan
terhadap suatu adat atau suku yang berlebihan atau disebut dengan etnosentris.
Antara multikultur dan etnosentris, keduanya bersifat oksimoron. Sehingga
menjadi dua bagian yang terpisah namun dalam satu wadah yang sama, sehingga
dampaknya adalah intoleran. Realita ini menjadi paradigma negatif pendidikan
kewarganegaraan di Indonesia. Dan kontra dengan hakikat PKn sebagai
pendidikan multikultur untuk membangun kehidupan yang rukun dan harmonis.
Sebagaimana dalam (Setiawan dan Yunita, 2017) bahwa PKn diharapkan dapat
menjadikan warganegara yang selalu ikut berpartisipasi dalam pembangunan
Negara, yaitu menjaga keutuhan bangsa dan mampu hidup rukun dan harmonis
dalam masayarakat Indonesia yang ber-Bhineka Tunggal Ika.

Kontradiksi ini tidak lepas dari hakikat dari manusia itu sendiri. Apabila
merujuk dari teori freud tentang Id, Ego, dan Superego maka multikultur adalah

5
keadaan yang berangkat dari kombinasi dari Id dan Ego. Dimana Id menjadikan
manusia yang saling berinteraksi mengakibatkan saling ketergantungan, dan
ketergantungan itu yang mengakibatkan manusia itu jika ingin mendapatkan
sesuatu yang dikehendakinya maka mau tidak mau harus ber-urusan dengan orang
lain. Keadaan yang demikiaanlah yang membuat hubungan intim dan intens atas
nama satu identitas yang sama di satu wilayah.

Misalkan stereotip penduduk asli


dengan pendatang, dimana penduduk asli
lebih diutamakan dan mempunyai
kedudukan yang spesial dengan pendatang.
Kita ambil contoh tragedi sampit antara
penduduk asli suku dayak dengan
Gambar 1. Ilustrasi akibat pendatang suku Madura. Seluruh penduduk
Etnosentrisme, terjadinya perang suku
dayak dengan Madura asli di kota sampit kalimantan tengah dan
bahkan meluas sampai keseluruh provinsi yang merasa tidak nyaman dengan
keberadaan para pendatang dari suku madura yang secara agresif berkembang
untuk menguasai sektor industri komersil daerah kota sampit kalteng. Hal ini
mengakibatkan kecemburuan sosial dan ekonomi oleh kalangan suku dayak
sehingga memicu perang antar suku.

Hal ini tidak lepas dari aspek Id warga suku dayak yang merasa kebutuhan
pokoknya (seperti lahan tanah) terancam dan belum lagi dampaknya yang
mewabah dan meluas oleh karena kesamaan tempat (kota sampit provinsi
Kalimantan tengah) dan identitas kesukuan (dayak) yang membuat orang yang
awalnya tidak menginginkan perpecahan dan intoleran sampai ikut-ikutan bahu-
membahu mengusir warga Madura sebagai pendatang. Sifat mereka ini didasari
atas kehendak ego sebagai wilayah keputusan alternatif, karena jika tidak ikut
bahu membahu maka akan terkena sanksi sosial seperti diacuhkan atau lebih
buruk lagi dilecehkan atau direndahkan. Dinamika ini menjadi bukti
etnonestrisme yang lahir dengan sendirinya atas dasar letak geografis dan sejarah
sistem sosial pada suatu tempat atau provinsi di Indonesia. Hal ini tentu

6
kontradiktif dengan makna multikultur bangsa Indonesia yang ditopang oleh
semangat dan komitmen semboyan Bhineka Tunggal Ika yang berbasiskan nilai-
nilai Pancasila.
Isu etnosentrisme di Indonesia seakan menjadi cambuk spirit perlunya peran
pendidikan kewarganegaraan dalam memberikan peran edukasi untuk mencegah
dampak negatif dari etnosentrisme. Selain itu, memang etnosentrisme
sebenarnyapun juga kontradiktif dengan substansi-pedagogis PPKn yang
bersumber pada konsep dan makna bhineka tunggal ika, sebagai wujud komitmen
keberagaman kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang utuh dan
kohesif secara nasional dan harmonis dalam pergaulan antar bangsa (Winataputra,
2015). Untuk itu perlu upaya khusus untuk mengimplementasikan PPKn menjadi
wahana pendidikan multikultural di daerah-daerah sejak dini melalui institusi
sekolah. Karena permasalahan etnosentrisme tidak hanya terjadi pada suku dayak
dengan Madura saja, ada banyak isu etnosentrisme yang pernah dan bahkan
senantiasa menjadi rutin terjadi di Indonesia, Seperti kebiasaan suku pedalaman di
Papua yang tetap menggunakan koteka dalam keadaan apapun dan dilihat oleh
siapapun bahkan yang bukan orang Papua sekalipun.

Pemakaian koteka tentu tidaklah salah karena itu alah kekayaan budaya salah
satu bangsa Indonesia. Yang menjadi kekeliruannya sehingga mengakibatkan
timbulnya nilai etnosentris adalah pemakaian koteka di situasi dan kondisi yang
orang-orangnya berlatarkan multi etnis. Jadi, etnosentrisme merupakan suatu
sikap seseorang yang berlebihan kecintaannya terhadap nilai adat istiadat sukunya
sendiri dan menganggap sukunya yang terbaik. Etnosentrisme adalah penilaian
terhadap kebudayaan lain atas dasar nilai dan standar budaya sendiri. Orang-orang
etnosentris menilai kelompok lain relatif terhadap kelompok atau kebudayaannya
sendiri, khususnya bila berkaitan dengan bahasa, perilaku, kebiasaan, dan agama.
Perbedaan dan pembagian etnis ini mendefinisikan kekhasan identitas budaya
setiap suku bangsa. Etnosentrisme mungkin tampak atau tidak tampak, dan meski
dianggap sebagai kecenderungan alamiah dari psikologi manusia, etnosentrisme
memiliki konotasi negatif di dalam masyarakat (https://id.wikipedia.
org/wiki/Etnosentrisme).

7
PPKn seyogiyanya harus secara terencana, terstruktur, dan terukur dengan
baik untuk menerapkan pendidikan multikultural di institusi sekolah-sekolah.
Melalui kerjasama seluruh stakeholder PPKn, akan lebih memudahkan target
tercapainya dengan baik pendidikan multikultur disekolah-sekolah.

Gambar 2. Guru PPKn perlu merancang


materi Pendidikan Multikultural untuk salah
satu pertemuannya dalam satu semester.
Pendidikan multikulturalisme adalah pendidikan yang menitikberatkan pada 2
hal yaitu kebebasan dan toleransi. Mari kita belajar nilai kebebasan dan toleransi
dalam multikulturalisme dari tulisan Freddy K. Kalidjernih dalam bukunya
“Puspa Ragam Konsep dan Isu Kewarganegaraan” dimana Freddy menjelaskan
bahwa Ketika kita berbicara tentang multikulturalisme, ada dua konsep penting
yang sulit dilepaskan darinya, yakni kebebasan dan toleransi. Dalam pengertian
yang paling sederhana, kebebasan berarti ketiadaan dari paksaan-paksaan atau
pembatasan-pembatasan. Bagaimanapun juga, sebagian orang percaya bahwa
kebebasan haruslah mutlak, mereka mengenal perbedaan antara libertas (liberty)
dan lisensi (license) Akan tetapi, yang masih belum jelas adalah apakah libertas
menjadi lisensi ketika hak asasi disalahgunakan; ketika kejahatan dilakukan
kepada orang lain atau ketika kebebasan dibagikan secara tidak adil. Walaupun
sebuah definisi formal atau netral tentang kebebasan masih menjadi perdebatan,
konsepsi negatif dan positif tentang kebebasan telah dikembangkan. Contoh yang
sering diku tip adalah Two Conceptions of Liberty yang digagas oleh Isaiah

8
Berlin: kebebasan positif dan kebebasan negatif. Kebebasan negatif (bebas dari
sesuatu) berarti 'non-interferensi, ketiadaan dari kendala-kendala ekstemal,
biasanya dipahami untuk diartikan sebagai hukum atau semacarn kendala fisik.
Sedangkan kebebasan positif (bebas melakukan sesuatu) dipahami dengan
pelbagai cara, yakni sebagai otonomi atau penguasaan diri (self-mastery), sebagai
pengembangan diri atau sebagai bentuk moral atau kebebasan dalam diri (inner
freedom). Di samping konsep kebebasan yang dikemukakan oleh Berlin, terdapat
istilah liberasi (liberation). Liberasi yang merupakan sebuah gagasan kebebasan
yang radikal, yakni penghapusan seluruh sistem penindasan, dan menawarkan
prospek kepuasan manusia yang menyeluruh. Sebagai contoh, penindasan seksual
dan ras dan manipulasi yang pervasif. Di lain pihak, toleran sering dipahami
sebagai suatu kerelaan untuk 'membiarkan sendiri' (leave alone) dengan sedikit
refleksi pada motif-motif yang ada di balik posisi tersebut. Jadi, toleransi
mengesankan nir-tindakan atau kelambanan (inaction), suatu penolakan terhadap
campur tangan atau kerelaan untuk 'sabar terhadap' sesuatu. Hal ini didasarkan
pada penalaran moral (moral-reasoning) dan sejumlah keadaan-keadaan yang
spesifik. Toleransi harus dibedakan dari pembiaran (permissiveness), yaitu
ketidakpedulian dan pemanjaan secara suka rela. Toleransi berhubungan erat
dengan tradisi liberal sekalipun is mendapat dukungan di antara para sosialis dan
sebagian konservatif. Ia melibatkan suatu penolakan untuk bercampur-tangan
dengan, membatasi atau mengecek tingkah laku atau keyakinan dari orang lain.
Ketidaktoleranan mengacu pada suatu penolakan untuk menerima tindakan-
tindakan, pandangan-pandangan dan keyakinan-keyakinan dari orang lain. Hal ini
mengesankan suatu keberatan yang tak berasalan dan tak dibenarkan terhadap
pandangan-pandangan atau tindakan-tindakan yang lain, yang mendekatkannya
kepada kefanatikan atau purbasangka (Kalidjernih, 2009).

Jadi, pendidikan multikultural sebagaimana jika diadaptasi dari pemikiran


Freddy K. Kalidjernih, kuncinya adalah masalah kebebasan dan toleransi yang
mana kebebasan yang dimaksud adalah kehidupan tanpa ada batasan-batasan
selam itu adalah hak warganegara, dan toleransi menjadi kunci kedua dalam
multikulturalisme karena melalui toleransi warganegara akan terhindar dari sifat

9
fanatik dan purbasangka. PPKn harus dapat menginternalisasi pentingnya nilai
kebebasan dan toleransi pada tiap diri peserta didik atau warganegara.

Sementara dalam jurnal civics dengan judul “Pendidikan Multikultural Untuk


Membangun Bangsa Yang Nasionalis Religius” (Ambarudin, 2016) bahwa
Pendidikan multikultural merupakan proses pengembangan sikap dan tata laku
seseorang atau sekelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui
upaya pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan, dan cara-cara mendidik yang
menghargai pluralitas dan heterogenitas secara humanistik. Pendidikan
multikultural mengandung arti bahwa proses pendidikan yang diimplementasikan
pada kegiatan pembelajaran di satuan pendidikan selalu mengutamakan unsur
perbedaan sebagai hal yang biasa, sebagai implikasinya pendidikan multikultural
membawa peserta didik untuk terbiasa dan tidak mempermasalahkan adanya
perbedaan secara prinsip untuk bergaul dan berteman dengan siapa saja tanpa
membedakan latar belakang budaya, suku bangsa, agama, ras, maupun adat
istiadat yang ada.

Melalui pembelajaran yang terkonsep jelas di dalam perangkat pembelajaran


yang telah direncanakan dan relevan terhadap tujuan instruksional kurikulum
PPKn, dimana dalam perencanaan tersebut didalamnya harus memuat proses
pembelajaran yang bernuansa penghargaan terhadap nilai multikulturalisme bagi
peserta didik. Materi, pendekatan, model, media, dan evaluasi pembelajaran PPKn
juga harus direncanakan dalam satu atau dua pertemuan khusus bertemakan
pendidikan multikulturalisme sebagai upaya langkah alternatif menyelesaikan
berbagai isu kewarganegaraan yang berkepanjangan pada region lokal yaitu
semisalkan etnosentrisme. Sebenarnya polemic atau isu kewarganegaraan dalam
konteks lokal ada banyak dan tidak hanya sebatas isu etnosentrisme, yang paling
umum adalah isu SARA (Suku, Agama, Ras, dan Antar golongan). Karena pada
tatanan lokal biasanya isu SARA lebih rentan terjadi. Namun etnosentrisme
sebenarnya adalah bagian dari kekerasan SARA, hanya saja memang
etnosentrisme dianggap menjadi polemik kewarganegaraan yang tidak ada habis-
habisnya. Untuk itu maka PPKn memilki tanggungjawab besar untuk

10
memfasilitasi edukasi positif kepada warganegara dalam hal pendidikan
multukulturalisme.

B. Isu Kewarganegaraan Dalam Konteks Nasional


Dalam konteks nasional, isu kewarganegaraan akan di ulas lebih luas lagi.
Pada region nasional tentu akan ada banyak sekali isu kewarganegaraan yang
hangat terjadi. Karena dalam konteks ini, cakupannya berkaitan dengan seluruh
teritori bangsa Indonesia yang kompleks. Nasional sendiri dapat diartikan sesuatu
yang bersifat kebangsaan; berkenaan atau berasal dari bangsa sendiri; meliputi
suatu bangsa (https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/nasional). Sementara dalam
buku bahan ajar “Identitas Nasional” (Sulisworo, Wahyuningsih, dan Arif, 2012)
dijelaskan bahwa Dalam kamus ilmu Politik dijumpai istilah bangsa, yaitu “natie”
dan “nation”, artinya masyarakat yang bentuknya diwujudkan oleh sejarah yang
memiliki unsur sebagai berikut :
a. Satu kesatuan bahasa ;
b. Satu kesatuan daerah ;
c. Satu kesatuan ekonomi ;
d. Satu Kesatuan hubungan ekonomi ;
e. Satu kesatuan jiwa yang terlukis dalam kesatuan budaya.

Dari penjelasan diatas, maka dapat dipahami bahwa kewarganegaraan adalah


perihal kebangsaan atau berkenaan dengan bangsa sendiri yang meliputi unsur-
unsur seperti kesatuan bahasa, kesatuan daerah, kesatuan ekonomi, kesatuan
hubungan ekonomi, dan kesatuan budaya. Isu kewarganegaraan dalam konteks
nasional secara garis besar akan meliputi isu-isu yang berkaitan dengan bidang
ideologi, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan dan
agama dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

Pada bidang ideologi, isu kewarganegaraan dalam konteks nasional


merupakan salah satu isu yang paling sering banyak dibicarakan. Indonesia telah
lama dihujani isu-isu yang berdampak pada rasa kekhawatiran keberadaan dan
kausalitas ideologi kita yaitu Pancasila. Yang pada akhirnya akan memicu

11
disintegrasi bangsa. Misalkan saja isu Gerakan Pembentukan Negara Khilafah di
bumi Indonesia. Isu ini memicu disintegrasi, bahkan sampai menjadi bahan
propaganda esensi kebenaran Jihad dalam Islam. Sehingga tidak sedikit ummat
beragama islam di Indonesia yang terjebak didalamnya. Sebut saja kelompok
Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang menginginkan terbentuknya Negara
Indonesia sebagai negara khilafah.

Gambar 3. Hizbut Tahrir Indonesia sebagai organisasi yang


mengusung rencana pembentukan Negara Khilafah
dibubarkan oleh pemerintah (https://awsimages.detik
.net.id/community/media/visual/2017/05/08/04b41c45-
eaeb-48b3-8362-cf2c62099638_169.jpg?w=780&q=
90).
Dilain pihak selaku pemegang otoritas, pemerintah sejak 19 Juli lalu HTI
resmi dibubarkan. Pemerintah mengkategorikannya sebagai organisasi anti-
Pancasila. Gagasan khilafah yang mereka usung dianggap bertentangan dengan
dasar ideologi negara dan mengancam kesatuan Indonesia. Realitas ini tentu dapat
menggangu ketentraman bangsa Indonesia oleh karena orasi dan propaganda
pihak HTI yang dianggap dapat melunturkan jiwa pancasilais bangsa Indonesia.

Pendidikan Kewarganegaraan sebagai program pendidikan yang juga


berfokus pada penanaman nilai-nilai Pancasila, secara esensial juga turut
bertanggungjawab untuk membentuk karakter Pancasilais. Konsepsi ini tentu
dapat menjadi solusi alternatif menyelesaikan persoalan isu pembentukan Negara
khilafah. Hal ini didukung oleh paradigma susbtantif-pedagogis PPKn yaitu
pendidikan kewarganegaraan tidak hanya dimaksudkan untuk membentuk peserta

12
didik menjadi manusia yang memiliki rasa kebangsaan dan cinta tanah air,
melainkan juga untuk mengembangkan semua potensi peserta didik yang
menunjukkan karakter yang memancarkan nilai-nilai Pancasila (Winataputra,
2015). Disinilah peran PPKn dalam frame pendidikan, turut memberi andil secara
signifikan dalam membentuk warganegara yang cinta tanah air dan pancasilais.

Disisi lain, pada bidang pertahanan keamanan juga terdapat polemik


berkepanjangan yang secara masif mempengaruhi keutuhan Negara kesatuan
republik Indonesia. Polemik atau isu tersebut adalah separatisme. Kata
separatisme sebenarnya sudah lama dan sering kita dengar. Bahkan istilah ini
tidak asing lagi karena stereotifnya kental berhubungan dengan Aceh melalui
gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan Papua melalui Organisasi Papua Merdeka
(OPM). separatisme adalah suatu paham yang mengambil keuntungan dari
pemecah-belahan dalam suatu golongan (bangsa) Separatisme politis adalah suatu
gerakan untuk mendapatkan kedaulatan dan memisahkan suatu wilayah atau
kelompok manusia (biasanya kelompok dengan kesadaran nasional yang tajam)
dari satu sama lain atau suatu negara lain. Gerakan separatis biasanya berbasis
nasionalisme atau kekuatan religious (Hartati, 2010).

Untuk GAM, secara resmi melalui peran dan kebijakan SBY (Soesilo
Bambang Yudhoyono) Presiden Republik Indonesia ke-6. Pada tahun 2005 terjadi
kesepakatan di kota Helsinki (Finlandia), yang diikuti dengan penetapan UU No.
11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh. Dalam rangka menyelesaikan
masalah atau konflik sosial di kalangan masyarakat, Pemerintahan SBY juga
membentuk lembaga-lembaga dialog. Antara lain pembentukan Forum Kerukunan
Umat Beragama (FKUB). SBY berperan memfasilitasi proses perjanjian untuk
damai melalui dialog-dialog.

Namun untuk isu separatisme di Papua masih menjadi bara yang sewaktu-
waktu siap untuk mengeluarkan api yang besar dan berefek merugikan bagi
kedamaian Negara persatuan republik Indonesia. Intentsitas dan kompleksitas
konflik di Papua semakin menjadi-jadi tiap masanya, pada tahun 2013 terjadi
peningkatan intensitas konflik ketika aparat polisi menjadi lebih represif dalam

13
menghadapi kelompok-kelompok separatis Papua seperti national liberation army
atau Organisasi Papua Merdeka. Kekacauan nasionalisme di tanah Papua ini
sungguh menjadi PR besar bagi Indonesia dalam mentata dan mendudukkan
kembali makna Negara kesatuan republik Indonesia yang terlahir dari proses
panjang dimasa masa lalu pada saat masa perjuangan kemerdekaan.

Isu separatis seakan menjadi bara yang menyakitkan di dalam aktualisasi


kewarganegaraan di Indonesia. Hal ini tentu bertentangan dengan keutuhan dan
ketentraman Negara kesatuan republik Indonesia (NKRI). padahal jelas, seluruh
pemuda Indonesia telah berikrar secara gamblang, teguh, dan tekad yang kuat
pada 28 oktober 1928 melalui berbagai organisasi kepemudaan pada saat itu dan
Papua juga punya perwakilan yaitu Poreu Ohee. Seorang tokoh pejuang papua
yang secara real di aminin oleh anaknya Ramses Ohee bahwa ayahnya tersebut
benar hadir di acara kongres sumpah pemuda (https://www.kompasiana.
com/damianalexander/5518bf0e8133115c709de0c6/aitai-karubaba-dan-poreu-oh
ee-pemuda-papua-yang-hadir-dalam-sumpah-pemuda). Fakta ini tentu mengetuk
hati kita seluruh bangsa Indonesia dari sabang sampai merauku bahwa kita adalah
bertumpah darah satu yaitu tanah air Indonesia, berbangsa yang satu, yaitu bangsa
Indonesia, dan menjunjung bahasa persatuan yaitu bahasa Indonesia.

Untuk itu, perlu kita sadari bahwa separatis hanyalah sebuah penjegal kita
untuk menjadi Negara yang maju dan sejahtera atau merdeka secara utuh. Seluruh
warganegara Indonesia harus paham akan makna NKRI.

Pada dimensi lain, isu kewarganegaraan yang juga hangat dan kompleks
terjadi adalah isu diskriminasi dan marjinalisasi. Pada bidang politik dan budaya
tentu kedua isu tersebut sangat memiliki efek yang negative terhadap aktualisasi
kewarganegaraan Indonesia yang esensial berdasarkan nilai-nilai Pancasila dan
nilai-nilai demokratis. Diskriminasi maupun marjinalisasi bahkan juga menyentuh
persoalan ekonomi warganegara atau (economy civic). Kesenjangan antara sikaya
dengan si miskin, seakan menjadi jargon yang buruk bagi Indonesia. Tercatat,
disparitas antara si kaya dengan si miskin masih saja menjadi momok bagi
Indonesia. Hal ini dikarenakan bahwa faktanya pada maret tahun 2019 BPS

14
(Badan Pusat Statistik) melansir masih ada 25,14 juta penduduk indonesia
tergolong miskin. Survey ini pada satu sisi ada perbaikan karena jumlahnya
mengurang 810 ribu dari tahun sebelumnya (lihat
https://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20190715132823-532-412205/jumlah-
penduduk-miskin-ri-maret-2019-turun-jadi-2514-juta?). Tentu disparitas ini
masih tergolong aman jika berdasarkan hitung-hitungan rasio gini world bank.
Namun angka 25,14 juta itu bukanlah angka kecil. Oleh karenannya, berdampak
pada kelompok yang berpendapatan rendah kesulitan untuk mengakses kebutuhan
dan pelayanan dasar seperti makanan, kesehatan dan pendidikan.

Polemik marjin ekonomi warga, dalam konsep kewarganegaraan akan


memicu rendahnya egality. Yang mana egality (perasaan atas kedudukan yang
sama atau persamaan) berkaitan erat dengan civic virtue (kebajikan warganegara).
Tentu dalam kontekstual civics ini kontradiktif dan perlu adanya reaktualisasi
konsep pembelajaran economi civic yang lebih digalakkan lagi disekolah-sekolah.
Dalam konteks civic education, bahwa economic civic selain mengutamakan
unsur keterampilan warganegara untuk cerdas bersikap dalam menentukan masa
depannya dan sumbangsinya pada Negara dan bangsanya, juga harus
mepertimbangkan sisi prinsip hidup yang saling menghormati atau menghargai
(inilah sisi civic virtue-nya) atau egality, simpulan ini diadaptasi dalam penjelasan
materi perkembangan pembelajaran civics yang berorientasi pada community,
economic, dan vocational civics (Wahab dan Sapriya, 2011).

Untuk itu, guru dan segenap pemangku kepentingan ataupun agen pendidikan
kewarganegaraan di Indonesia perlu memperhatikan sisi disposition warganegara
dalam konteks aktualisasi perekonominya. Apalagi dalam dimensi pendidikan,
khususnya PPKn secara eksplisit bertanggungjawab pada pembinaan ekonomi
warganegara yang kreatif dan terkontrol. Terkontrol dalam arti kreatifitas
ekonomi yang dibangun tetap dinetralisir dengan sikap ber-ekonomi yang
humanis yaitu menjaga prinsip menghargai dan menghormati, agar jangan sampai
terjadi atau terciptanya disparitas atau marjinalitas dan diskriminasi yang
mengakibatkan kecemburuan sosial atau bahkan perseteruan.

15
C. Isu Kewarganegaraan Dalam Konteks Regional
Dalam konteks ini, isu kewarganegaraan teritori regional berfokus pada
region ASEAN. Dimana isu-isu tersebut berlatar di Negara-negara ASEAN yang
diantaranya dapat berupa bidang ideologi, politik, hukum, ekonomi, sosial,
budaya, pertahanan keamanan dan agama.

Isu krusial pada konteks ini adalah berkaitan dengan Ideologi, Agama,
Politik, dan Sosial. Yang mana isu ini sejatinya juga merupakan bagian dari isu
global. Namun dalam sekop regional yaitu ASEAN, isu ini menjadi perhatian
penting bagi Negara-negara di ASEAN karena berhubungan dengan hubungan
bilateral dan multilateral, serta harmonisasi spiritual dan sosial serta politik antar
Negara ASEAN.

Isu yang dimaksud adalah persoalan Radikalisme. Pada bulan oktober 2019,
melalui situs berbasis berita atau media informasi online (news) yaitu liputan
6.com, “Ditjen PAS dan 9 Negara ASEAN Bahas Upaya Tangkal Radikalisme di
Lapas” dimana Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjenpas) Kementerian
Hukum dan HAM (Kemenkumham) membahas isu radikalisme dan ekstremisme
dalam lapas bersama dengan sembilan negara ASEAN lainnya. Acara itu digelar
bekerja sama dengan United Nations Office on Drug and Crime (UNODC).
Direktur Jenderal Pemasyarakatan, Sri Puguh Budi Utami menyampaikan,
revitalisasi pemasyarakatan yang dikembangkan dan diimplementasikan di
seluruh lapas dan rutan di Indonesia menjadi solusi untuk menangani radikalisme
dan ekstremisme dalam lingkungan penjara.

"Inti dari konsep ini adalah penilaian perubahan perilaku. Konsep ini juga
akan menjadi metode penanganan narapidana berkategori ekstrimisme atau high
risk (berisiko tinggi). Upaya ini sebagai langkah-langkah pencegahan sistematis
untuk mengatasi kondisi mendasar yang mendorong individu melakukan aksi
radikal dan bergabung dengan kelompok ekstremis. Terutama untuk mencegah
penyebaran ekstremisme kekerasan di antara komunitas penjara, sambil
menegakkan perlindungan dan hak asasi manusia (lihat https://www.

16
liputan6.com/news/read/4085075/ditjen-pas-dan-9-negara-asean-bahas-upaya-
tangkal-radikalisme-di-lapas).

Radikalisme adalah suatu paham yang dibuatbuat oleh sekelompok orang


yang menginginkan perubahan atau pembaharuan sosial dan politik secara drastis
dengan menggunakan cara-cara kekerasan. Namun bila dilihat dari sudut pandang
keagamaan dapat diartikan sebagai paham keagamaan yang mengacu pada fondasi
agama yang sangat mendasar dengan fanatisme keagamaan yang sangat tinggi,
sehingga tidak jarang penganut dari paham/aliran tersebut menggunakan
kekerasan kepada orang yang berbeda paham/aliran untuk mengaktualisasikan
paham keagamaan yang dianut dan dipercayainya untuk diterima secara paksa
(Asrori, 2015).

Dengan defenisi yang demikian tentu ini berlawanan dengan keinginan hidup
rukun dan damai serta harmonis antar warga di lingkungan ASEAN. Tercatat isu
radikalisme, Baru-baru ini kasus Islamic State of Iraq and Syria (ISIS) di Irak-
Suriah diyakini mampu membangkitkan dan menginspirasi makar maupun aksi
teror di regional Asia Tenggara. Pihak berwenang di setiap negara ASEAN harus
mulai menyadari potensi tumbuhnya bibit-bibit radikalisme Islam di area masing-
masing. Sebab kali ini, ISIS sangat masif, kreatif, serta menarik minat pemuda
melakukan propaganda dibandingkan Jemaah Islamiyah (JI) ataupun al-Qaeda
pada satu dekade yang lalu (lihat https://asc.fisipol.ugm.ac.id/2015/08/27/648/).

Lebih lanjut disampaikan pada laman berita pada url tersebut diatas, bahwa
Di Malaysia sendiri jumlah warga negara yang direkrut ISIS sekitar 40 dan di
Filipina sekitar 200 (Hashim 2015). The New Straits Times menerbitkan laporan,
kelompok teror yang independen seperti JI, al-Qaeda dan ISIS berlangganan
ideologi serupa. Ideologi itu direproduksi ulang dan ditawarkan kembali kepada
kelompok-kelompok milisi lainnya. Seperti pendahulunya, ISIS pun mengadakan
kontak dengan militan di Filipina Selatan, Abu Sayyaf. Sementara itu, ISIS juga
terlihat gencar melakukan propaganda di media sosial. Pemimpin senior ISIS Abu
Muthanna al Yaman menyiarkan video berjudul There Is No Life Without Jihad di
youtube (thediplomat.com 2014). Dalam video tersebut, warga negara Inggris itu

17
mengklaim, ISIS telah mengumpulkan milisi-milisi muslim dari seluruh dunia.
Mulai dari Bangladesh, Irak, Kamboja, Australia, UK. Namun para pemimpin
Muslim di Kamboja menolak klaim tersebut. Meskipun demikian, diplomat
mereka mencatat bahwa ratusan siswa maupun mahasiswa dari Kamboja yang
belajar di madrasah di Timur Tengah turut bergabung.

Tentu hal ini mengkhawatirkan bagi seluruh warga di kawasan ASEAN.


Karena ini menyangkut rasa kemanusiaan dan persaudaraan. Jelas bahwa paham
radikalisme menghendaki cara kekerasan sampai pada perilaku terorisme. Dalam
konspepsi civics hal ini tentu melanggar esensi hakikat manusia yang berhak
mendapatkan perlingungan HAM. Kedudukan manusia pada hakikatnya telah
sejak lahir melekat hak asasi yang perlu dilindungi dan dihormati antar sesame
manusia. Pendidikan bagi warga ASEAN dalam konteks kewargaan yang adil,
menghormati, tertib, dan berkemanusiaan merupakan hal-hal yang tidak
terpisahkan dalam upaya membangun kewargaan yang smart and good khususnya
di region Asia Tenggara.

D. Isu Kewarganegaraan Dalam Konteks Global


Dalam konteks global, isu kewarganegaraan diulas lebih luas lagi teritorinya.
Dan tentu akan ada banyak sekali isu-isu yang bermunculan di abad digital ini.
Pada cakupan kali ini, kita akan lebih banyak membahas isu-isu yang paling
rentan terjadi termasuk yang secara signifikan berdampak pada Negara Indonesia
yang diantaranya dapat meliputi di bidang ideologi, politik, hukum, ekonomi,
sosial, budaya, pertahanan keamanan dan agama.

Jika melirik pada hasil pengamatan PBB (lihat https://www.liputan6.com/


global/read/3650933/5-isu-krusial-yang-akan-dibahas-dalam-sidang-majelis-umu
m-pbb-2018), setidaknya pada tahun 2018 ada lima isu yang krusial di dunia dan
isu-isu tersebut tentu include dan berkorelasi dengan kajian kewarganegaraan atau
PKn. Pertama, isu krisis kemanusiaan dan hak asasi manusia di Myanmar yaitu
kelompok Rohingnya atau kelompok ummat muslim di Negara Myanmar
merupakan krisis kemanusiaan dan hak asasi manusia terburuk di dunia. Kedua,
krisis kemanusiaan dan pertempuran di Suriah yang mengakibatkan eskalasi

18
(peningkatan) pengungsi suriah di berbagai negara, dan termasuk ada 3 juta orang
melarikan diri ke Negara Turki. Ketiga, isu yang sama yaitu pengungsian oleh
warganegara Palestine. Konflik palestina dan Israel seakan tidak ada habisnya.
Bayangkan saja hampir 5 juta orang Palestine mengungsi dikarenakan agresi
militer Israel dan bahkan juga dikarenakan krisis dana operasional. Keempat,
peseteruan politik antara Iran dengan Amerika Serikat. Yang bahkan menyeret isu
keagamaan dalam skup regional yaitu kelompok garis keras atau disebut ISIS.
Kelima, isu senjata nuklir dan rudal oleh Negara Korea Utara yang mengakibatkan
terjadinya rivalitas antara korea utara dengan amerika serikat yang tentunya akan
mengkhawatirkan Negara sekitar yang bisa saja terkena dampaknya.

Kelima isu diatas, secara garis besar turut masuk pada aktualisasi
kewarganegaraan global yang sarat akan konflik kemanusiaan, hubungan bilateral
maupun multilateral, ancaman keamanan atau suasan kondusif secara global,
konflik hak asasi manusia, dan masalah pengungsian. Pendidikan Global rasanya
perlu memerhatikan peran dan posisi serta hakikat dari warga global, yang akan
berbeda makna ketika hanya menyebutnya sebagai warga Iran misalkan atau
warga Amerika Serikat atau warga Israel atau Warga Palestina. Global Citizenship
Education (Pendidikan Kewarganegaraan Global) dapat menjadi solusi baik
dalam mengatasi berbagai tantangan atau isu global. Dimana Global Citizenship
Education (GCE) harus menyelaraskan konsepnya dengan konsepsi civics (ilmu
kewarganegaraan). Karenanya hal tersebut akan berhubungan dengan upaya
menghadapi isu-isu global yang sedang krusial terjadi. Dimana civics atau IKn
(Ilmu Kewarganegaraan) sendiri sebagai disiplin ilmu yang bertujuan
mendeskripsikan peranan warga negara dalam aspek kehidupan politik, ekonomi,
dan sosial-budaya. Dengan kata lain, IKN bertujuan menghasilkan konsep, teori
maupun generalisasi tentang peranan warga negara dalam masyarakat demokratis.
Teori-teori yang dihasilkan IKN diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk
membina warga negara yang lebih baik (good citizen). Yaitu warga negara yang
aktif berpartisipasi serta memiliki tanggung jawab dalam membangun kehidupan
bernegara yang demokratis, berkemanusiaan dan berkeadilan sosial (Cholisin,
2016).

Selain isu-isu kewarganegaraan sebagaimana menurut PBB diatas, isu


kewarganegaraan yang juga krusial dalam konteks global adalah isu ideologi

19
ekstrimisme atau sering dilabelkan dengan istilah teroris karena sifat ekstrimnya
atau menggunakan kekerasan dan menghalalkan cara-cara kotor serta tidak
manusiawi. Ambil contoh yang baru-baru saja terjadi beberapa tahun belakangan
ini, peristiwa seperti yang terjadi di Charlottesville di Amerika Serikat 2017, di
Chemnitz, Jerman pada 2018 dan serangan teroris baru-baru ini di Christchurch,
Selandia Baru (lihat https://www.bbc.com/indonesia/vert-fut-48184050). Peristiwa
tersebut mengingatkan kita betapa hampir tiada berharganya lagi nilai
kemanusiaan. Seperti yang kita ketahui bahwa gerakan kaum esktrimis biasanya
tertuju pada upaya merebut kekuasaan dari pemerintahan yang syah dengan
menunggangi isu-isu agama sebagai isu ideologi gerakannya. Jika dimasa lampau
gerakan-gerakan ekstrimis klasik hanya berkutat pada tataran aqidah, maka
gerakan ekstrimis kontemporer telah mampu untuk menunjukkan eksistensi
hingga pada tataran syari’ah dengan melakukan perlawanan ekstrim hingga pada
aksi terorisme (Nugraha, 2016).

Pada dimensi lainnya, isu kewarganegaraan pada teritori global identik


dengan isu warga digital. Dimana seorang warga negara digital memiliki peran
yang vital untuk berkontribusi terhadap isu perkembangan kewarganegaraan di
lingkungan global. Informasi maupun isu perkembangan global akan mudah
diakses oleh warga negara digital, sehingga warga negara digital memiliki
kesempatan yang besar untuk terlibat dan berpartisipasi menghadapi berbagai isu
global. Digital citizenship merupakan pemahaman tentang keamanan
menggunakan internet, mengetahui cara menemukan, mengatur dan membuat
konten digital (termasuk literasi media, dan praktek skill secara teknis),
pemahaman tentang cara berperan untuk meningkatkan tanggung jawab dalam
interaksi antarbudaya (multikultur), serta pemahaman tentang hak dan kewajiban
dalam menggunakan media internet. Digital citizenship sangat penting karena
dapat membentuk dan membina civic literacy ke dunia global atau global
citizenship.

Dalam Framework for 21st Century Learning digambarkan bahwa core


dalam pendidikan di abad ini menekankan pada pembelajaran dan keterampilan
yang inovatif, pembelajaran hidup dan keterampilan berkarir, serta pemanfaatan
media informasi dengan menggunakan keterampilan memanfaatkan teknologi
(Prasetyo, 2016). Oleh karenanya lebih lanjut Prasetyo menjelaskan bahwa yang

20
terpenting dalam mewujudkan warga digital adalah adanya pengembangan literasi
media dalam menyiapkan sumber daya manusia di abad ke-21 dapat diterapkan ke
dalam semua materi pelajaran, termasuk Pendidikan Kewarganegaraan (PKn). Hal
ini dapat ditemukan apabila kita membedah muatan Kurikulum 2013 hasil revisi
tahun 2016 yang dikeluarkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia. Dalam Kurikulum 2013 hasil revisi tersebut terlihat bahwa
sudah ada upaya menjadikan para pelajar kita tidak lagi terbatasi sumber
belajarnya pada buku atau diktat pembelajaran. Bahkan dikatakan guru PPKn
harus berupaya memanfaatkan jaringan internet dalam pembelajaran dengan
mengembangkan pembelajaran berbasis jaringan (pembelajaran daring) sehingga
pembelajarn PPKn menjadi proses belajar yang terpadu/teraduk (blended
learning). Di jenjang Sekolah Dasar (SD) dan jenjang Sekolah Menengah Pertama
(SMP), siswa diminta untuk mencari informasi dari berbagai sumber belajar
(buku, video, internet, dll.). Kebutuhan akan literasi media internet semakin
terlihat di jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA) karena banyak dituliskan
tentang “membaca dari berbagai sumber (buku, media cetak maupun elektronik)”
dengan komponen literasi telah meluas menggunakan berbagai sarana dan sumber
informasi.

3. Forum Diskusi
CPMK Sub-CPMK Bahan Kajian Tugas Terstruktur
Menguasai materi Struktur, metode, Isu-isu 1. Baca dengan
dan aplikasi dan spirit keilmuan Kewarganegaraan: cermat dan
materi bidang kewarganegaraan, meliputi bidang pahami materi
studi PPKn yang hukum, politik ideologi, politik, isu-isu
mencakup : kenegaraan, hukum, ekonomi, kewarganegaraan
a. konsep, sejarah perjuangan sosial, budaya, yang meliputi
prinsip, prosedur, bangsa, dan pertahanan bidang ideologi,
dan metode disiplin lainnya keamanan dan politik, hukum,
keilmuan serta berlandaskan agama, dalam ekonomi, sosial,
nilai, norma, dan Undang-Undang konteks lokal, budaya,
moral yang Dasar Negara nasional, regional, pertahanan
menjadi muatan Republik dan global dalam keamanan dan

21
kurikulum dan Indonesia tahun bingkai Negara agama, dalam
proses 1945 sebagai Kesatuan Republik konteks lokal,
pembelajaran hukum dasar yang Indonesia (NKRI). nasional, regional,
dan/atau menjadi landasan dan global dalam
pembudayaan konstitusional bingkai Negara
dalam konteks kehidupan Kesatuan
pendidikan bermasyarakat, Republik
Pancasila sebagai berbangsa dan Indonesia (NKRI)
dasar negara dan bernegara yang 2. Cari bahan
pandangan hidup ber-Bhinneka referensi yang
bangsa dan Tunggal Ika dalam berhubungan
kewarganegaraan keberagaman yang dengan muatan
di sekolah kohesif dan utuh; atau materi
dan/atau tentang isu-isu
masyarakat; kewarganegaraan.
b. struktur, 3. Jelaskanlah secara
metode, dan spirit ringkas
keilmuan bagaimana dan
kewarganegaraan, apa saja isu
hukum, politik kewarganegaraan
kenegaraan, pada lintas:
sejarah a. Lokal,
perjuangan b. Nasional,
bangsa, dan c. Regional.
disiplin lainnya d. Dan Global
berlandaskan
Undang-Undang
Dasar Negara
Republik
Indonesia tahun
1945 sebagai
hukum dasar yang
menjadi landasan
konstitusional
kehidupan
bermasyarakat,
berbangsa dan
bernegara yang
ber- Bhinneka
Tunggal Ika
dalam
keberagaman
yang kohesif dan
utuh,
c. isu-isu dan/
atau

22
perkembangan
terkini
kewarganegaraan
meliputi bidang
ideologi, politik,
hukum, ekonomi,
sosial, budaya,
pertahanan
keamanan dan
agama, dalam
konteks lokal,
nasional, regional,
dan global dalam
bingkai Negara
Kesatuan
Republik
Indonesia
(NKRI), termasuk
advance materials
secara bermakna
yang dapat
menjelaskan
aspek “apa”
(konten),
“mengapa”
(filosofis), dan “
bagaimana”
(penerapan) dalam
kehidupan sehari-
hari;

C. PENUTUP

1. Rangkuman
Paradigma baru PPKn yang mengedepankan aspek civic literacy atau
literasi warganegara, perlu diadakan pembinaan dan edukasi secara baik
untuk memahami dan keterlibatan pada isu-isu kewarganegaraan yang
meliputi bidang ideologi, politik, hukum, ekonomi, sosial, budaya,
pertahanan keamanan dan agama, dalam konteks lokal, nasional, regional,
dan global dalam bingkai Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Pada konteks lokal, isu kewarganegaraan banyak menyangkut soal
etnosentrisme. Yang seakan menjadi cambuk spirit perlunya peran

23
pendidikan kewarganegaraan dalam memberikan peran edukasi untuk
mencegah dampak negatif dari etnosentrisme.
Pada konteks nasional, ada banyak sekali isu kewarganegaraan yang
hangat terjadi dan dapat memecah keutuhan sert harmonisasi hidup rukun
bangsa Indonesia. Sebut saja masalah ideologi separatisme, diskriminasi,
dan marjinalisasi.
Pada konteks regional, isu seputar kewarganegaraan di kawasan
ASEAN banyak membahas tentang radikalisme. Yang mana isu tersebut
berlawanan dengan keinginan hidup rukun dan damai serta harmonis antar
warga di lingkungan ASEAN.
Sedangkan dalam konteks Global, isu-isu kewarganegaraan berakar
dari masalah aktualisasi kewarganegaraan global yang sarat akan konflik
kemanusiaan, hubungan bilateral maupun multilateral, ancaman keamanan
atau suasan kondusif secara global, konflik hak asasi manusia, dan
masalah pengungsian. Selain itu, isu penting lainnya adalah persoalan
warga digital, dimana seorang warga negara digital memiliki peran yang
vital untuk berkontribusi terhadap isu perkembangan kewarganegaraan di
lingkungan global. Informasi maupun isu perkembangan global akan
mudah diakses oleh warga negara digital, sehingga warga negara digital
memiliki kesempatan yang besar untuk terlibat dan berpartisipasi
menghadapi berbagai isu global.

Pada kesimpulannnya, konsepsi kewarganegaraan yang tidak lepas dari


interconnection dan interdependensi mengakibatkan setiap warga dunia
akan menghadapi berbagai isu-isu kewarganegaraan yang perlu ada
program yang secara utuh dapat membina warga untuk bersikap dan
berperilaku sesuai dengan hakikatnya sebagai manusia sehingga terhindar
dari berbagai konflik.

Disnilah letak peran vital seorang guru, termasuk adalah guru PPKn.
Dalam dimensi pendidikan tersemat tanggungjawab besar. Untuk itu, Guru
PPKn secara pedagogis dan professional harus menguasai substansi dan

24
terampil mengaktualisasi konsep kewarganegaraan yang juga berfokus
pada pemahaman dan bertanggungjawab pada isu-isu kewarganegaraan
yang mutakhir sehingga dapat menjadi agen pembentukan warganegara
yang dapat melibatkan diri peserta didik serta sumbangsi atau
berpartisipasi aktif peserta didik untuk mampu menghadapi berbagai
tantangan isu kewarganegaraan yang meliputi bidang ideologi, politik,
hukum, ekonomi, sosial, budaya, pertahanan keamanan dan agama, dalam
konteks lokal, nasional, regional, dan global dalam bingkai Negara
Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

2. Tes Formatif
Pada bagian tes formatif kali ini, peserta diminta untuk menyelesaikan
kumpulan soal-soal multiple choice di bawah ini secara baik dan benar.
Selanjutnya silahkan dan selamat mengerjakan.
Soal-soal:
1. Pentingnya memahami dan terlibat pada isu-isu kewarganegaraan
sebagai kompetensi kewarganegaraan yang memerlukan atribut?
a. Literasi warganegara
b. Literasi masyarakat
c. Literasi budaya
d. Civic knowledge
e. Civic disposition

2. Warganegara yang terlibat langsung dalam menanggapi berbagai isu


kewarganegaraan pada konteks lokal merupakan bagian dari
perwujudan?
a. Civic skill
b. Civic participation
c. Civic engagement
d. Civic culture

25
e. Civic empowerment

3. Kekhawatiran utama dalam merespon isu etnosentrisme merupakan


proses lunturnya?
a. Rule Of Law
b. Political culture
c. Bhineka Tunggal Ika
d. Multikulturalisme
e. Simplisitas

4. Faktor utama keberadaan etnosentris tidak lain dikarenakan?


a. Lemahnya peran pemerintah
b. Lemahnya peran warganegara
c. Lunturnya nilai adat istiada
d. Kebablasan ideologi
e. Lunturnya kebhinekaan

5. Parameter penting upaya pendidikan multikultural melalui pendidikan


kewarganegaraan dapat ditempuh dengan?
a. Pembelajaran di Kelas.
b. Pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan, dan cara-cara mendidik
yang menghargai pluralitas dan heterogenitas secara humanistik.
c. Pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan, dan cara-cara mendidik
yang homogen.
d. Pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan, dan cara-cara mendidik
yang menghargai pluralitas dan homogenitas.
e. Pengajaran, pelatihan, proses pembudayaan.

6. Kesatuan bahasa, ekonomi, budaya, dan daerah menjadi parameter


solusi alternatif isu pada region?
a. Internasional

26
b. Global
c. Lokal
d. Nasional
e. Regional

7. Separatisme sangat anti terhadap konsensus bangsa Indonesia yang


mengutamakan nilai?
a. Gotong royong
b. Kebebasan
c. Kekerasan
d. Individual
e. Fundamentalis

8. Kecerdasan warganegara untuk meminimalisir marjin atau disparitas


orang kaya dengan orang miskin adalah menempuh pendidikan
kewarganegaraan yang berfokus pada?
a. Economic Democration
b. Economic civic
c. Civic Economic
d. Spirit Economic
e. Kebebasan

9. Cara-cara kekerasan pada filosofi radikalisme bertentangan dengan


kausalitas?
a. Pancasila
b. UUD 1945
c. Bhineka Tunggal Ika
d. NKRI
e. Demokrasi

10. Digital citizenship sangat dipengaruhi oleh kapabilitas?

27
a. Perangkat digital
b. Literasi rakyat
c. Civic literacy
d. Kemauan individu
e. Peran guru PPKn

Kunci Jawaban:
1. A 6. D
2. C 7. A
3. C 8. B
4. E 9. A
5. B 10. C

3. Tes Sumatif
1. Pembelajaran PPKn dilihar dari substansi dan urgensinya banyak
berorientasi pada penanaman nilai-nilai Pancasila sebagai upaya
membentuk warganegara yang Pancasilais. Hal ini sebagai wujud dari
metode?
a. Value civic
b. Value education
c. Value competition
d. Value inculcation
e. Value creation
2. Pendidikan morality (pendidikan moral) adalah basis utama pendidikan
kewarganegaraan di Indonesia. Hal ini sebagai upaya PPKn di Indonesia
untuk mendukung tujuan dan cita-cita bangsa Indonesia yaitu warganegara
yang cerdas. Untuk itu secara substantsial-pedagogis PPKn, konsepsi ini
termasuk kedalam?
a. Salah satu body of Skill PPKn
b. Salah satu body of knowledge PPKn

28
c. Salah satu body of disposition PPKn
d. Pancasila
e. UUD 1945
3. Salah satu rumpun pada body of knowledge PPKn adalah ilmu politik.
Rumpun ini secara khusus dalam basis PPKn berorientasi pada?
a. Bhineka Tunggal Ika
b. Filsafat Pancasila
c. Rule of Law
d. Warganegara Demokratis
e. Budaya Politik
4. Guru PPKn perlu mengajak seluruh peserta didik untuk sadar akan
pentingnya mengetahui dan tanggap menyikapi berbagai persoalan atau isu
politik, hukum, dan moral dikarenakan sifat Reflective Inquiri
implementasi pembelajaran PPKn. Sehingga bekal utama bagi guru dalam
hal ini harus berpijak pada?
a. Literasi Budaya
b. Literasi Politik
c. Literasi Economic
d. Literasi Social
e. Literasi Civics
5. Tonggak utama terbentuknya civil society adalah adanya partisipasi aktif
warganegara atau civic participation dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa, dan bernegara. Untuk itu setiap warganegara perlu
mengaktualisasikan perilakunya seperti?
a. Beraksi, menanggapi, dan mengikuti
b. Bertanya, menjawab, dan mengomentari
c. Berinteraksi, menanggapi, dan mempengaruhi
d. Beraksi, memantau, dan mengikuti
e. Berinteraksi, memantau, dan mempengaruhi
6. PPKn perlu mengutamakan pembelajaran yang menekankan pada
pembentukan warganegara yang baik atau bermoral sebagai wujud dari

29
eksistensinya sebagai Pendidikan Moral. Untuk itu guru perlu
memfokuskan pengembangan pribadi peserta didik sebagai warganegara
yang bermoral dengan berfokus pada aspek?
a. Tanggungjawab warganegara
b. Pemahaman warganegara
c. Keterampilan warganegara
d. Interaksi warganegara
e. Identifikasi warganegara
7. Konsekuensi Negara rule of law menekankan kepada seluruh warganegara
Indonesia sadar dan taat untuk berkonstitusi, untuk dalam dimensi
pendidikan, PPKn mengkonsepkan kesadaran berkonstitusi sebagai upaya
mewujudkan?
a. Civics
b. Demokratis
c. Multikulturalisme
d. Civil society
e. Bhineka tunggal ika
8. Nilai-nilai pancasila dilihat dari historinya berasal dari nilai kehidupan
masyarakat Indonesia sejak dahulu yang dikumpulkan dan dirumuskan
menjadi 5 sila oleh para the founding fathers bangsa Indonesia, hal ini
merupakan proses dari terbentuknya Pancasila melalui?
a. Elektis korporatif
b. Rapat dewan negara
c. Dialog
d. Pemilu
e. Demokrasi
9. Upaya mensinergikan kompetensi inti kurikulum 2013 mata pelajaran
PPKn dengan kompetensi inti civics sebagai disiplin ilmunya PPKn
merupakan bagian dari?
a. Konsepsi ilmu kewarganegaraan
b. Konsepsi substantif-pedagogis PPKn

30
c. Kompetensi PPKn
d. Psiko-sosial PPKN
e. Tujuan instruksional kurikulum PPKn
10. Penjewantahan nilai-nilai pancasila merupakan tugas utama pembelajaran
PPKn sebagai langkah?
a. Guru menyesuaikan materi dengan media pembelajaran PPKn.
b. Guru menyesuaikan materi dengan aktualisasi konsep PPKn.
c. Guru menyesuaikan materi dengan aktualisasi konsep pancasila.
d. Penjabaran tujuan kurikulum PPKn.
e. Pengembangan materi PPKn

11. Sifat keilmuannya yang multifacet, membagi ruang pengetahuan yang


terdiri dari?
a. Politik, hukum, dan moral
b. Demokrasi, rule of law, dan etika
c. Ilmus sosial, politik, dan hukum
d. Politik, Demokrasi, dan Hukum
e. Pancasila, UUD 1945, dan NKRI
12. Dalam tradisi citizenship transmision, pembelajaran PPKn perlu
memperhatikan aspek ?
a. Media pembelajaran yang mendukung
b. Muatan yang ditransfer
c. Nilai ideal yang perlu ditransmisikan
d. Metode pembelajaran
e. Gaya belajar
13. Empat konsensus Indonesia tidak lepas dari bagian substantif- pedagogis
PPKn yang ditujukan untuk?
a. Penambahan materi PKn.
b. Membentuk muatan yang berdasarkan sistem norma yang
dihasilkan bangsa indonesia.
c. Penguatan karakter warganegara

31
d. Memperkaya muatan PKn yang punya ciri khas di Negara
Indonesia.
e. Menambah pengalaman guru PPKn.
14. Metode inkuiri menjadi suatu metode yang sangat diperlukan dalam
pembelajaran PPKn dikarenakan ?
a. Sifatnya yang mendukung pembelajaran yang aktif dan kritis
b. Cocok untuk membentuk pembelajaran yang student center
c. Inkuiri sebagai metode yang menekankan pada aspek
disposition
d. Pembelajaran PPKn tidak bisa lepas dari kegiatan
mengidentifikasi masalah
e. Metode belajar PPKn lebih bersifat statis
15. Dalam konteks substansi dan urgensi kajian UUD 1945 kedalam
pembelajaran PPKn, target yang diharapkan adalah dapat terbentuknya
spirit berkonstitsi yaitu democratische rechtsstaat. Konsepsi yang
demikian merupakan relevansi dari ?
a. Indonesia sebagai Negara Rechstaat
b. Indonesia sebagai Negara Machstaat
c. Indonesia beriklim hukum hindia belanda
d. Kausalitas norma-norma sosial
e. Efek dari kehidupan para leluhur di masa lalu
16. Muatan PPKn yang bersumber dari norma-norma Undang- undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945, merupakan ciri dari?
a. Substantif-pedagogik PPKn
b. Substantif-filosofis PPKn
c. Substantif-historis PPKn
d. Socio-culture PPKn
e. Politic-Culture PPKn
17. Rasa Patriotisme dan Nasionalisme akan terbentuk jika seorang
warganegara mengetahui dan memahami betul akan sejarah

32
bangsanya dan jika sebaliknya maka akan berdampak pada
menurunnya tingkat Patriotisme dan Nasionalisme, hal ini disebut
sebagai?
a. Paradigma individuals’ identity
b. Paradigma individuals’ national identity
c. Paradigma Nationalism
d. Paradigma national identity
e. Paradigma Konservatif
18. Komitmen warganegara untuk ber-bhineka tunggal ika adalah komitmen
yang berfokus pada?
a. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang utuh
dan kohesif secara nasional dan harmonis dalam pergaulan
antarbangsa.
b. Kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang
eksklusif secara nasional dan harmonis dalam pergaulan
antarbangsa.
c. Kehidupan yang berlandaskan pada konstitusi.
d. Kehidupan yang bersumber dari salah satu nilai Pancasila.
e. Kehidupan yang meletakkan fondasinya pada nilai-nilai adat
19. Sumber multikulturalisme Ke-Bhinekaan Tunggal Ika bangsa Indonesia
terletak pada?
a. Nilai-nilai budaya
b. Nilai-nilai kebangsaan
c. Etnosentrisme
d. Nilai-nilai adat istiadat
e. Nilai-nilai Pancasila

20. Pentingnya memahami dan terlibat pada isu-isu kewarganegaraan sebagai


kompetensi kewarganegaraan yang memerlukan atribut?
a. Literasi warganegara
b. Literasi masyarakat

33
c. Literasi budaya
d. Civic knowledge
e. Civic disposition
21. Kekhawatiran utama dalam merespon isu etnosentrisme
dapat mengakibatkan proses lunturnya?
a. Rule Of Law
b. Political culture
c. Bhineka Tunggal Ika
d. Multikulturalisme
e. Simplisitas

22. Parameter penting, upaya pendidikan multikultural melalui pendidikan


kewarganegaraan dapat ditempuh dengan?
a. Pembelajaran di Kelas berbasis nilai budaya.
b. Pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan, dan cara-cara mendidik
yang menghargai pluralitas dan heterogenitas secara humanistik.
c. Pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan, dan cara-cara
mendidik yang homogen.
d. Pengajaran, pelatihan, proses, perbuatan, dan cara-cara
mendidik yang menghargai pluralitas dan homogenitas.
e. Pengajaran, pelatihan, proses pembudayaan.
23. Separatisme sangat anti terhadap konsensus bangsa Indonesia yang
mengutamakan nilai?
a. Gotong royong
b. Kebebasan
c. Kekerasan
d. Individual
e. Fundamentalis

34
24. Kecerdasan warganegara untuk meminimalisir marjin atau disparitas
orang kaya dengan orang miskin adalah menempuh pendidikan
kewarganegaraan yang berfokus pada?
a. Economic Democration
b. Economic civic
c. Civic Economic
d. Spirit Economic
e. Kebebasan
25. Digital citizenship sangat dipengaruhi oleh kapabilitas?
a. Perangkat digital
b. Literasi rakyat
c. Civic literacy
d. Kemauan individu
e. Peran guru PPKn
26. Mengutamakan nilai kemanusiaan seakan menjadi faktor imperatif dalam
aktualiatas kewarganegaraan di berbagai region. Hal ini tidak lepas dari?
a. Hakikat manusia itu sendiri yaitu makhluk individu
b. Perkembangan zaman
c. Isu kewarganegaraan yang cenderung melemahkan nilai humanisme
d. Isu-isu yang lebih mengarah pada politik
e. Perkembangan isu-isu sosial
27. Smart citizens, merupakan tantangan besar dalam mengaktualisasi
kewargaan yang cakap mengikuti perkembangan zaman. Peran terbesar
PKn dalam hal ini terletak pada?
a. Peran masyarakat untuk mendukung seluruh program PKn.
b. Sumbangsi pemerintah mendukung kegiatan pembelajaran PKn di
masyarakat.
c. Gerakan terbaru dari pembelajaran PKn.
d. Sumbangsi guru PPKn dalam menyusun perangkat pembelajaran
yang berorientasi pada soft skill dan hard skill.
b. Metode pembelajaran yang ber-status quo.
28. Isu kewarganegaraan “negatif” yang berteritori dalam skala global tentu
akan berdampak pada kondusifitas hubungan harmonis antar kewargaan
35
global. Untuk itu, perlunya pendidikan global dikarenakan?
a. Pendidikan global sebagai satu-satunya jawaban
b. Pendidikan global dapat membentuk perspektif global
c. Pendidikan global berlaku kepada siapa saja
d. Permasalahan global hanya dapat diselesaikan dengan pendidikan
global
e. Keseragaman dapat terbentuk dengan pendidikan
29. Permasalahan politik dalam organisasi negara, berfokus pada
kekuasaan. Dalam konteks keilmuan civics, korelasinya sangat
bergantung pada?
a. aktualisasi civic culture suatu bangsa
b. aktualisasi civic disposition
c. aktualiasasi politik kenegaraan
d. revitaliasasi politik kebangsaan
e. revitaliasasi good governance
30. Digital citizenship merupakan pendidikan di garda terdepan sebagai
upaya mewujudkan kewargaan digital yang berperan sebagai?
a. Melatih kemampuan menggunakan IT
b. Trigger atau pemicu terbentuknya civic virtue atau kebajikan
warganegara
c. Trigger terbentuknya civic competence atau warganegara yang
mampu.
d. Mengembangkan kemampuan IT
e. Meningkatkan keinginan untuk melek digital

Kunci Jawaban
1. D 11. A 21. B
2. C 12. C 22. B
3. D 13. D 23. B
4. E 14. A 24. C
5. C 15. D 25. B
6. A 16. E 26. C
7. D 17. A 27. D
8. A 18. B 28. B
9. B 19. D 29. A
10. B 20. A 30. C
36
4. Daftar Pustaka
Buku:
Cholisin. 2016. Ilmu Kewarganegaraan (Civics). Yogyakarta:Penerbit Ombak.

Kalidjernih, Freddy, K. 2009. Puspa Ragam Konsep dan Isu


Kewarganegaraan. Bandung:Widya Aksara Press.

Setiawan, D & Yunita, S. 2017. Kapita Selekta Kewarganegaraan. Medan :


Larispa.

Wahab, A.A, dan Sapriya. 2011. Teori dan Landasan Pendidikan


Kewarganegaraan. Bandung: Alfabeta.

Winataputra, U.S. 2015. Pendidikan Kewarganegaraan Refleksi Historis-


Epistimologis dan Rekonstruksi Untuk Masa Depan. Banten :
Universitas Terbuka, Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan
Tinggi.

Jurnal:

Ambarudin, R.I, Pendidikan Multikultural Untuk Membangun Bangsa Yang


Nasionalis Religius, Jurnal Civics Vol. 13 No. 1, Juni 2016, P-ISSN:
1829-5789, E-ISSN: 2541-1918.

Asrori, A, Radikalisme Di Indonesia: Antara Historisitas Dan Antropisitas,


Kalam: Jurnal Studi Agama dan Pemikiran Islam , Volume 9, Nomor 2,
Desember 2015, p-ISSN: 0853-9510; e-ISSN: 2540-7759.

Hartati, Anna. Y, Separatisme Dalam Konteks Global (Studi Tentang


Eksistensi Republik Maluku Selatan (RMS) Sebagai Gerakan Separatis
Indonesia). Jurnal Ilmu Politik Hubungan Internasional, Vol. 7, No. 2,
Juni 2010, P-ISSN 1829-5088, E-ISSN 2503-3883.

Nugraha, M.T, Dampak aksi Ekstrimisme dan terorisme terhadap collective


punishment pada wanita dan anak-anak, Jurnal HARKAT:Media
Komunikasi Islam tentang Gender dan Anak, Vol 12 (1) 2016, ISSN
1412-2324.

Dokumen:
Prasetyo, Wibowo. H. 2016. Darurat Literasi Media Dalam Digital
Citizenship : Satu Gagasan Menuju Warga Negara Melek Informasi.
37
Dalam Seminar Nasional, Kongres dan Deklarasi AP3KnI 2016, yang
dikutip dari url: https://www.researchgate.net/publication/309720267
_Darurat_Literasi_Media_dalam_Digital_Citizenship_Satu_Gagasan_
Menuju_Warga_Negara_Melek_Informasi.

Internet:

Alexander, D. 2015. Aitai Karubaba dan Poreu Ohee, Pemuda Papua yang
Hadir Dalam Sumpah Pemuda. Dikutip dari url : https://www.
kompasiana.com/damianalexander/5518bf0e8133115c709de0c6/aitai-
karubaba-dan-poreu-ohee-pemuda-papua-yang-hadir-dalam-sumpah-
pemuda. Diakses pada hari Jumat, 25 Oktober 2019, Pukul : 09.54 WIB.
Asean Studie Center, ASEAN Dan Penanggulangan Terorisme: Beberapa
Catatan, dikutip dari url: https://asc.fisipol.ugm.ac.id/2015/08/27/648/.
Hasan, Rizki. A. 2018. 5 Isu Krusial yang Akan Dibahas dalam Sidang
Majelis Umum PBB 2018. Dikutip dari halaman url:
https://www.liputan6.com/global/read/3650933/5-isu-krusial-yang-akan-
dibahas-dalam-sidang-majelis-umum-pbb-2018. Diakses pada hari
sabtu, 26 oktober 2019, pukul: 05.28 WIB.
Sulisworo, D., Wahyuningsih, T., & Arif, B., 2012. Identitas Nasional. Hibah
Pembelajaran Non Konvensional 2012. Dikutip dari halaman url :
http://eprints.uad.ac.id/9433/1/IDENTITAS%20NASIONAL%20Dwi.pdf.
Diakses pada hari Jumat, 25-oktober-2019, Pukul:09.29 WIB.
Kemdikbud, 2019. Pengertian Nasional, Dikutip dari halaman url :
https://kbbi. kemdikbud.go.id/entri/nasional, diakses pada hari Jumat,
25-oktober-2019, Pukul:09.24 WIB.

38

Anda mungkin juga menyukai