PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS GADJAH MADA
VOLUME 17, NO. 1, 2009: 11 – 16 ISSN: 0854‐7108
PENTINGNYA PSIKOLOGI SPIRITUAL UNTUK
PENGEMBANGAN KEPEMIMPINAN
BERMORAL
Bagus Riyono
Fakultas Psikologi Universitas Ghadjah Mada
E‐mail: bagus1@yahoo.com
Artikel ini menguraikan permasalahan moralitas pemimpin yang saat ini menjadi
permasalahan tidak hanya di Indonesia, tetapi juga di Amerika maupun belahan dunia yang
lain. Solusi yang ditawarkan adalah pendekatan Psikologi Spiritual.
Hasil analisis literatur menunjukkan bahwa aspek spiritual merupakan jawaban dari
benang kusut kepemimpinan ini. Namun demikian ranah spiritual ini belum menjadi fokus
pembahasan dalam disiplin psikologi. Oleh karena itu disarankan untuk mengembangkan
Psikologi Spiritual, yaitu ilmu psikologi yang mengakomodasi aspek spiritual dari manusia.
Artikel ini juga menawarkan sebuah roadmap dalam mengembangkan pemimpin
bermoral serta ilustrasi tentang teori motivasi yang mengakomodasi ranah spiritual dalam
menjelaskan fenomena perilaku manusia.
dapat dipahami bahwa masyarakat Ame‐ dalam menekankan moralitas. Oleh karena
rika sedang merindukan pemimpin yang itu moralitas bukanlah satu pilihan tetapi
bermoral tinggi. Presiden Clinton yang keharusan bagi seorang pemimpin. Ketika
hampir dilengserkan gara‐gara melanggar hal itu tidak dimiliki, maka kelompok atau
kesusilaan, dirasa telah memberi contoh bangsa yang dipimpinnya akan berada di
buruk tentang moralitas bagi bangsa ambang kehancuran.
Amerika. Dalam pencarian mereka, ternya‐ Sudah bukan rahasia lagi bahwa kua‐
ta sejarah menyodorkan seorang pemimpin litas moral para pemimpin kita patut
muslim, yang pada jamannya merupakan dipertanyakan, mulai dari masalah korupsi
musuh nomor wahid dari bangsa Barat. hingga masalah kesusilaan. Perilaku buruk
Hal ini menunjukkan bahwa moralitas para pemimpin kita itu tentunya hanyalah
sebagai kualitas kepemimpinan adalah merupakan pucuk dari “gunung es”, yaitu
sangat penting, melampaui pentingnya ma‐ cerminan dari perilaku sebagian masya‐
salah politik atau kepentingan kelompok. rakat kita yang juga diragukan morali‐
Pemimpin bermoral adalah seorang pe‐ tasnya. Kita mulai khawatir jangan‐jangan
mimpin yang kualitas keteladanannya bencana alam dan kecelakaan besar yang
tidak lekang oleh waktu dan menembus secara beruntun kita alami merupakan
batas‐batas negara, bangsa, maupun akibat dari perilaku tak bermoral tersebut.
agama. Hal ini bukanlah kekhawatiran yang
Pemimpin selalu menjadi sorotan mengada‐ada, karena secara empiris pun
karena banyak alasan. Alasan yang paling sudah diteliti. Penelitian O’Connor dan
umum adalah bahwa pemimpin dianggap kawan‐kawan (1995) menunjukkan adanya
sebagai penanggung jawab utama atas hubungan yang positif antara moralitas
keberhasilan atau kegagalan kelompoknya pemimpin dengan kesejahteraan masyara‐
atau masyarakatnya. Jika kelompok berha‐ katnya. Jika demikian, maka adalah men‐
sil maka pemimpin akan dipuji, sebaliknya jadi kewajiban kita bersama untuk meng‐
jika kelompok gagal maka pemimpin akan atasi permasalahan moralitas ini, jika kita
dihujat (Meindl dan Ehrlich, 1987). tidak ingin bangsa Indonesia mengalami
Pemimpin juga menjadi inspirator atau kehancuran.
panutan para pengikutnya, sehingga sering Pertanyaan selanjutnya adalah bagai‐
dipakai sebagai alasan atau pembenaran manakah agar kita mendapatkan pemimpin
atas perilaku pengikutnya, “pemimpinnya yang bemoral? Dapatkah moralitas para
saja seperti itu, ya wajarlah kalau pengi‐ pemimpin kita sekarang ini kita ubah?
kutnya juga”. Pandangan seperti ini akan Dapatkah kita melatih para calon pemim‐
sangat berbahaya jika menyangkut masalah pin agar mereka nantinya bermoral? Lalu
moral. Moralitas pemimpin menjadi sangat bagaimanakah posisi Psikologi dalam
penting, karena hal itu akan menentukan memberikan kontribusi untuk mengem‐
moralitas para pengikutnya. Perdebatan bangkan pemimpin bermoral?
mengenai pentingnya moralitas ini banyak Berbeda dengan ketrampilan, moralitas
mewarnai literatur tentang kepemimpinan memiliki dimensi yang lebih kompleks dan
(Bass dan Steidlmeier, 1999; Price, 2003). lebih mengakar. Oleh karena itu tidaklah
Perdebatan itu bukan berkisar antara mudah untuk mengubah moralitas sese‐
apakah moralitas itu penting atau tidak, orang dalam waktu singkat, kecuali jika
tetapi masing‐masing ahli berlomba‐lomba yang bersangkutan bertaubat. Bagaimana
mengklaim bahwa teorinya lebih kuat caranya membuat orang bertaubat? Sampai
saat ini belum penulis temukan sebuah Dengan berbagai pertimbangan terse‐
studi yang menggali masalah pertaubatan but maka tulisan ini akan mencoba meru‐
ini; bagaimana prosesnya, apa saja faktor‐ muskan sebuah model yang diharapkan
faktor yang mempengaruhinya, dan dapat menjadi “roadmap” untuk mengurai
apakah bisa dilakukan “treatment” tertentu banang kusut yang melilit bangsa Indo‐
agar seseorang akhirnya betul‐betul ber‐ nesia yang tercinta ini. Dalam model inilah
taubat. Mungkin ini salah satu area yang peran Psikologi Spiritual diharapkan akan
bisa ditelaah oleh Psikologi Spiritual. sangat menentukan untuk mengembang‐
Moralitas tumbuh dan berkembang kan kepemimpinan yang bermoral. Salah
dalam diri seseorang seiring dengan perja‐ satu bentuk Psikologi Spiritual ini, yaitu
lanan hidupnya. Pendidikan, pergaulan, Psikologi yang mengakomodasi aspek
lingkungan masyarakat, lingkungan ke‐ spiritualitas manusia, adalah Psikologi
luarga, dan pola asuh orang tua adalah Islam atau Islami. Psikologi Islami yang
faktor‐faktor yang mempengaruhi dan mendasarkan aksioma‐aksioma keilmuan‐
membentuk moralitas seorang pemimpin. nya pada ajaran Islam (Nashori, 1997;
Dengan kata lain kualitas seorang pemim‐ Nashori; 1999; Riyono, 1998), memiliki
pin terkait dengan kualitas kepribadiannya kelebihan yang pokok dan mendasar, jika
(Hogan, Curphy dan Hogan, 1994). Oleh dibandingkan dengan Psikologi Barat,
karena itu, usaha untuk membentuk dalam hal pengakuannya terhadap aspek
pemimpin yang bermoral perlu dilakukan spiritualitas manusia. Moralitas yang uni‐
secara sistemik. Usaha tersebut harus versal tidak terlepas dari aspek spiritualitas
meliputi penciptaan lingkungan keluarga ini. Penelitian menunjukkan bahwa tanpa
yang bermoral, lingkungan masyarakat spiritualitas, maka moralitas akan bersifat
yang bermoral, dan sistem pendidikan relatif dan situasional (Hui dan Graen,
yang menekankan pentingnya moralitas. 1997; DiTomaso dan Hooijberg, 1996).
Moralitas seperti ini tidak akan cukup kuat
Jika kita renungkan kondisi masya‐
untuk menjamin tercapainya kesejahteraan
rakat Indonesia saat ini, nampaknya “jauh
yang hakiki.
panggang dari api”. Sistem pendidikan kita
semakin hari justru lebih mengedepankan Gambar 1. di bawah ini adalah model
prestasi daripada moralitas atau budi atau “roadmap” yang mengilustrasikan
pekerti. Bahkan lagu anak‐anak yang pada keterkaitan antara area‐area atau bidang‐
tahun 60‐an mencita‐citakan menjadi bidang garap yang akhirnya akan mem‐
“murid budiman” sekarang diubah syair‐ bawa kepada kesejahteraan bangsa.
nya menjadi “murid berprestasi”. Nilai‐ Bidang‐bidang garap tersebut meliputi: (1)
nilai keluarga yang mulia, semakin hari Parenting, yaitu pola asuh orang tua yang
semakin luntur dengan mencuatnya gaya menanamkan moralitas sejak dini pada
hidup “selebriti” yang cenderung porak‐ anak‐anak mereka; (2) Education, yaitu sis‐
poranda dalam berkeluarga. Media masa tem pendidikan yang menekankan penting‐
menjadi promotor yang sangat gencar nya moralitas dengan mengintegrasikan
dalam pelecehan kesusilaan. Dan para ahli pendidikan moral dalam kurikulum; (3)
dan pengamat sangat lihai dalam Youth Activities, yaitu pembinaan remaja
menganalisis sebab‐sebab carut‐marutnya dan gaya hidup mereka agar tetap menjaga
bangsa ini, namun tidak cukup artikulatif moralitas; (4) Community, yaitu pengem‐
dalam merumuskan solusinya. bangan organisasi dan lingkungan masya‐
rakat yang menyadari dan menjunjung
BULETIN PSIKOLOGI 13
RIYONO
Youth Nation’s
Parenting Education Community Leadership
Activities Wealth
Gambar 1*. “Roadmap” Pengembangan Kepemimpinan Bermoral Demi Kesejahteraan Bangsa
tinggi moralitas sebagai success factor mengadopsi pemikiran ini karena keterbu‐
mereka; dan (5) Leadership, yaitu strategi kaannya terhadap aspek spiritualitas
pengembangan kepemimpinan yang ber‐ manusia.
basis pada kekuatan moral. Pada masing‐ Penerapan Teori Tense pada tiap
masing tahapan tersebut Psikologi Spiritual tahapan dari model tersebut di atas dapat
perlu merumuskan strategi untuk menja‐ dijelaskan secara ringkas sebagai berikut.
min terbentuknya moralitas secara berta‐ Pada tahap Parenting, orang tua perlu
hap dan terintegrasi. disadarkan bahwa anak‐anak tidak hanya
Peran* Psikologi Spiritual akan meli‐ bisa dimotivasi dengan ancaman atau
puti pengembangan teori‐teori perilaku hukuman. Mereka juga dapat dimotivasi
manusia yang mengintegrasikan aspek dengan harapan (Hope). Anak‐anak sudah
spiritualitas sehingga mampu membentuk memiliki kemampuan berimajinasi sehing‐
perilaku manusia secara utuh dengan pers‐ ga pada dasarnya mereka akan dapat
pektif yang meyeluruh. Sekedar contoh, menerima kehadiran Allah yang Ghaib tapi
kita bisa menelaah teori motivasi yang nyata. Jika sejak kecil pada hati mereka
sedang dirumuskan oleh Riyono (2005). sudah tertanam adanya Sang Maha Meli‐
Teori motivasi, yang juga disebut dengan hat, maka perilaku mereka akan konsisten
Teori Tense (Riyono, 2005) ini mengatakan baik di depan orang tua ataupun ketika
bahwa motivasi seseorang memiliki tiga tidak dilihat oleh orang tua mereka.
unsur, yaitu Hope, Risk dan Uncertainty. Bagaimana cara menumbuhkan kesadaran
Hope, sebagai salah satu faktor pemicu itu? Ini satu hal lagi yang menjadi PR bagi
motivasi, adalah sebuah kepercayaan akan Psikologi Spiritual.
adanya kekuatan lain di luar dirinya yang Pada tahapan Education, bisa dikem‐
akan mengatur segala sesuatu yang tidak bangkan konsep keterbukaan, yang meng‐
jelas (uncertainty) menjadi hal yang akomodasi ketidakpastian. Tidak hanya
akhirnya dapat memberi manfaat baik bagi ada satu solusi untuk suatu soal. Dua
dirinya sendiri maupun orang lain, baik jawaban yang berbeda bisa saja keduanya
untuk masa kini maupun untuk masa benar dari perspektif yang berbeda.
depan. Kepercayaan akan adanya kekuatan Dengan demikian anak didik akan terpacu
di luar dirinya ini adalah salah satu aspek kreativitasnya. Untuk bisa melakukan ini
dari spiritualitas. Hal ini diingkari oleh tentu saja harus ada hope dalam hati para
Psikologi Klasik maupun Kontemporer, gurunya. Dengan hope mereka bisa mento‐
yang melulu berdasarkan pada data‐data lerir ketidakpastian, karena siapa tahu si
yang dapat diamati dan dirasakan oleh anak didik memang memiliki ide yang unik
indera. Psikologi Spiritual mampu yang belum pernah terpikirkan bahkan
oleh gurunya. Dengan budaya pendidikan
semacam ini diharapkan akan tumbuh trust
* Catatan: bahasa Inggris digunakan sekedar untuk
alasan praktis agar kata‐kata dalam gambar tidak antara guru dan murid, sehingga penanam‐
terlalu panjang.
BULETIN PSIKOLOGI 15
RIYONO