Anda di halaman 1dari 16

MEMBERI ASUHAN PADA NEONATUS DENGAN JEJAS PERSALINAN

Dosen Pengampu: MUGIATI, SKM,M.Kes

Disusun oleh :

1. Dea tiara putri (2015301052)


2. Miftahul jannah (2015301071)
3. Natasha Audrey (2015301075)
4. Shinta muthi salsabila (2015301090)

PROGRAM STUDI SARJANA TERAPAN KEBIDANAN

POLTEKKES KEMENKES TANJUNG KARANG

2021/2022
BAB I

PENDAHULUAN

1. Latar belakang
Jejas lahir merupakan istilah untuk menunjukan trauma mekanik yang dapat
dihindarin atau tidak dapat dihindari, serta trauma anoksia yang dialamin bayi selama
kelahiran dan persalinan.1 Trauma lahir adalah trauma pada bayi diterima dalam atau
karena proses kelahiran. Istilah trauma lahir digunakan untuk menunjukan trauma
mekanik dan anoksik, baik yang dapat di hindarkan maupun yang tidak dapat
dihindarkan, yang dapat di hindarkan maupun yang tidak dapat dihindarkan, yang
didapat bayi pada masa persalinan dan kelahiran. Trauma dapat terjadi sebagai akibat
ketrampilan atau perhatian medik yang tidak pantas atau yang tidak memadai sama
sekali, atau dapat terjadi meskipun telah mendapatkan perawatan kebidanan yang
terampil dan kompeten dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan tindakan atau
sikap prang tua yang acuh tak acuh. Pembatasan trauma lahir tidak meliputi trauma
akibat amniosentesis, transfuse intrauteri, pengambilan contoh darah vena kepala atau
resusitasi.

2. Rumusan masalah
1) Apa yang dimaksud Caput succsedaneum?
2) Apa yang dimaksud Cephal Hematoma?
3) Penatalaksanaan Caput succsedaneum?
4) Penatalaksanaan Cephal Hematoma?

3. Tujuan
1) Memberikan asuhan pada bayi lahir dengan caput succsedaneum dan cephal
hematoma
2) Pencegahan caput succsedaneum dan cephal hematoma
BAB II

PEMBAHASAN

A. Caput succsedaneum

Cedera kepala merupakan suatu gangguan traumatik dari fungsi otak yang di sertai atau tanpa
disertai perdarahan instertil dalam substansi otak tanpa diikuti terputusnya kontiunitas otak
(Bouma, 2003).

Cedera kepala yaitu adanya deformitas berupa penyimpangan bentuk atau penyimpangan
garis pada tulang tengkorak, percepatan dan perlambatan (accelerasidescelerasi) yang
merupakan perubahan bentuk yang di pengaruhi oleh perubahan peningkatan pada percepatan
faktor dan penurunan percepatan, serta rotasi yaitu pergerakan pada kepala di rasakan juga
oleh otak sebagai akibat perputaran pada tindakan pencegahan.

Cedera kepala pada dasarnya dikenal dua macam mekanisme trauma yang mengenai kepala
yakni benturan dan goncangan (Padila, 2012:273).

Trauma lahir adalah cedera fisik yang terjadi selama persalinan, secara teoritis sebagian besar
cidera dapat dihindari dengan pengkajian dan perencanaan yang cermat. Namun demikian
beberapa cidera tidak dapat dihindarkan meskipun dengan pengkajian dan perencanaan yang
cermat tersebut karena beberapa cidera tidak dapat di antisipasi sampai terjadi peristiwa
tertentu selama persalinan. Trauma lain dapat diobati nanti atau akan hilang dengan
sendirinya dalam 1-2 hari (Reeeder dan Martin, 2011:683)
Menurut pendapat Diane dan Margaret (2009:803) mengemukakan jika presentasi bayi
adalah kepala, kemungkinan terdapat bengkak oedema di bawah kulit kepala dan di atas
periosteum yang disebut dengan caput succedaneum. Pada posisi oksipitoanterior, mungkin
terdapat satu caput succedaneum, pada posisi ini caput dapat terbentuk tetapi kemudian jika
oksiput berotasi kearah anterior dapat terbentuk caput succedaneum kedua. Caput
succedaneum kedua juga dapat terbentuk jika selama kala dua persalinan lahirnya kepala
terlambat dan perineum berfungsi sebagai ‘lingkaran kontak’ lain. Caput succedaneum yang
dibuat juga dapat terjadi jika menggunakan mangkuk ekstraktor vacum, karena bentuknya
tersebut dikenal dengan ‘chignon’.

Kepala bayi baru lahir memiliki proporsi besar dibandingkan dengan bagian tubuh lainnya,
kepala juga lunak dengan tulang tengkorak, akibatnya dapat terjadi berbagai jenis trauma
dikepala.

Sedangkan menurut Reeder dan Koniak-Griffin(2011:684) Caput succedaneum adalah


pembengkakan atau oedema pada atau dibawah kulit kepala janin. Pembengkakan edematosa
lunak pada kulit kepala ini sering terjadi pada bagian terendah janin. Tekanan dari uterus atau
jalan lahir dapat mencetuskan penumpukan serum atau darah di atas periosteum. Ekstraksi
vacum juga dapat menyebabkan caput, caput dapat bervariasi dari area yang kecil hingga
kepala menjadi sangat panjang. Pembengkakan dapat melintasi garis sutura. Tidak ada
pengobatan yang diindikasikan,caput succedaneum biasanya hilang dengan sendirinya dalam
12 jam atau 1-2 hari setelah lahir.

Menurut pendapat Prawirohardjo (2009:273) Caput succedaneum merupakan penumpukan


cairan serosanguineous, subkutan dan ekstra periostal dengan batas yang tidak jelas. Kelainan
ini biasanya pada presentasi kepala, sesuai dengan posisi bagian yang bersangkutan. Pada
bagian tersebut terjadi oedema sebagai akibat pengeluaran serum dari pembuluh darah.
Kelainan ini disebabkan oleh tekanan bagian terbawah janin saat melawan dilatasi servix.
Caput succedaneum menyebar melewati garis tengah dan sutura serta berhubungan dengan
moulding tulang kepala. Caput succedaneum biasanya tidak menimbulkan komplikasi dan
akan menghilang dalam beberapa hari setelah kelahiran.

1. Faktor Predisposisi

Menurut Prawirohardjo (2009:720) faktor predisposisi yang terjadi pada trauma lahir antara
lain :
a) Persalinan yang di akhiri dengan alat ( vacum ekstraksi dan forceps)
b) Persalinan lama
c) Kelahiran sungsang
d) Distosia
e) Macrosomia
f) Presentasi muka
g) Disproporsi sefalopelvic
h) Kelahiran dengan sectio caesaria

2. Tanda dan Gejala

Tanda dan gejala pada bayi baru lahir dengan caput succedaneum (Prawirohardjo, 2009:723)
yaitu :

a) Oedema di kepala
b) Oedema melampui tulang tengkorak
c) Terasa lembut dan lunak pada perabaan
d) Benjolan berisi serum dan kadang bercampur dengan darah
e) Batasnya tidak jelas

3. Patofisiologi

Caput succedaneum terjadi karena tekanan keras pada kepala ketika memasuki jalan lahir
sehingga terjadi bendungan sirkulasi kapiler dan limfe di sertai pengeluaran cairan tubuh ke
jaringan ekstravakuler, benjolan pada caput berisi cairan serum dan sedikit bercampur dengan
darah, benjolan tersebut dapat terjadi sebagai akibat tumpang tindihnya (molage) tulang
kepala di daerah sutura pada saat proses kelahiran sebagai upaya bayi untuk mengecilkan
lingkaran kepala agar dapat melewati jalan lahir, pada umumnya molase ini di temukan pada
sutura sagitalis dan terlihat setelah bayi lahir dan akan menghilang dengan sendirinya dalam
waktu 1-2 hari.

Kelainan ini biasanya terjadi pada presentasi kepala, pada bagian tersebut terjadi oedema
sebagai akibat pengeluaran serum dari pembuluh darah, kelainan ini disebabkan oleh tekanan
bagian terbawah janin saat melawan dilatasi servix (Prawirohardjo, 2009:723)

4. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan untuk bayi baru lahir dengan caput succedaneum (Reeder dan martin,
2011:683) antara lain :

a) Pengawasan keadaan umum bayi


b) Tahan angkat, agar benjolan tidak meluas karena tekanannya meningkat dan
serebrospinalis meningkat keluar
c) Berikan ruangan yang ada ventilasinya dan mendapatkan sinar matahari yang cukup
d) Berikan ASI yang kuat
e) Pencegahan infeksi untuk menghindari adanya infeksi pada benjolan
f) Berikan konseling pada orangtua bayi tentang :
 Keadaan yang di alami oleh bayi
 Menjelaskan bahwa benjolan akan menghilang dengan sendirinya setelah 1-4
hari tanpa pengobatan
 Perawatan bayi sehari-hari
 Manfaat dan teknik pemberian ASI

B. Cephal Hematoma

Cephal hematoma adalah subperiosteal akibat kerusakan jaringan periosteum karena tarikan
atau tekanan jalan lahir, dan tidak pernah melampaui batas sutura garis tengah. Pemeriksaan
x-ray tengkorak dilakukan, bila dicurigai ada nya faktur (mendekati hampir 5% dari seluruh
cephal hematoma).

Cephal hematoma adalah pembengkakan pada kepala karena adanya penumpukan darah yang
disebabkan perdarahan sub periosteum (Indonesia, Depkes, Pusat pendidikan tenaga
kerja.1992. Asuhan Keperawatan Anak dalam Konteks Keluarga. Jakarta: Depkes)

Cephal hematoma adalah perdarahan sub periosteum, karena selalu terbatas pada satu
perukaan tulang cranium (Ilmu Kesehatan Anak Nelson)

Cephal hematoma adalah subperiosteal akibat kerusakan jaringan periosteum karena tarikan
atau tekanan jalan lahir,
dan tidak pernah melampaui batas sutura garis tengah. Pemeriksaan x-ray tengkorak
dilakukan, bila dicurigai ada nya faktur (mendekati hampir 5% dari seluruhcephal
hematoma)
Kelainan ini agak lama menghilang (1-3 bulan).Pada gangguan yang luas dapat menimbulkan
anemia dan hiperbilirubinemia.Perlu pemantauan hemoglobin, hematokrik, dan
bilirubin.Aspirasi darah dengan jarum tidak perlu di lakukan. (Sarwono Prawirohardjo,2007).

1. Etiologi / Penyebab Cephal hematoma

Cephal Hematoma dapat terjadi karena :

a) Persalinan lama Persalinan yang lama dan sukar, dapat menyebabkan adanya tekanan
tulang pelvis ibu terhadap tulang kepala bayi, yang menyebabkan robeknya pembuluh
darah.
b) Tarikan vakum atau cunam Persalinan yang dibantu dengan vacuum atau cunam yang
kuat dapat menyebabakan penumpukan darah akibat robeknya pembuluh darah yang
melintasi tulang kepala ke jaringan periosteum.
c) Kelahiran sungsang yang mengalami kesukaran melahirkan kepala bayi. ( Menurut :
Prawiraharjo, Sarwono. 2002. IlmuKebidanan )

2. Tanda dan Gejala


a) Adanya fluktuasi
b) Adanya benjolan, biasanya baru tampak jelas setelah 2 jam setelah bayi lahir
c) Adanya Cephal hematoma timbul di daerah tulang parietal Berupa benjolan
timbunan kalsium dan sisa jaringan fibrosa yang masih teraba.Sebagian benjolan
keras sampai umur 1-2 tahun.
d) Kepala tampak bengkak dan berwarna merah.
e) Tampak benjolan dengan batas yang tegas dan tidak melampaui tulang tengkorak
f) Pada perabaan terasa mula – mula keras kemudian menjadi lunak.
g) Benjolan tampak jelas lebih kurang 6 – 8 jam setelah lahir
h) Benjolan membesar pada hari kedua atau ketiga
i) Benjolan akan menghilang dalam beberapa minggu.

3. Patofisiologi
a) Cephal hematoma terjadi akibat robeknya pembuluh darah yang melintasi tulang
kepala ke jaringan poriosteum. Robeknya pembuluh darah ini dapat terjadi pada
persalinan lama. Akibat pembuluh darah ini timbul timbunan darah di daerah sub
periosteal yang dari luar terlihat benjolan
b) Bagian kepala yang hematoma biasanya berwarna merah akibat adanya
penumpukan daerah yang perdarahan sub periosteum.
4. Komplikasi cephal hematoma
a) Icterus
b) Anemia
c) Infeksi
d) Klasifikasi mungkin bertahan selama > 1 tahun Gejala lanjut yang mungkin terjadi
yaitu anemia dan hiperbilirubinemia.Kadang-kadang disertai dengan fraktur
tulang tengkorak di bawahnya atau perdarahan intra kranial.

5. Penatalaksanaan

Cephal hematoma umumnya tidak memerlukan perawatan khusus. Biasanya akan mengalami
resolusi khusus sendiri dalam 2-8 minggu tergantung dari besar kecilnya benjolan. Namun
apabila dicurigai adanya fraktur, kelainan ini akan agak lama menghilang (1-3 bulan)
dibutuhkan penatalaksanaan khusus antara lain :

a) Menjaga kebersihan luka


b) Tidak boleh melakukan massase luka/benjolan Cephal hematom
c) Pemberian vitamin K
d) Bayi dengan Cephal hematoma tidak boleh langsung disusui oleh ibunya karena
Pergerakan dapat mengganggu pembuluh darah yang mulai pulih.

Cephal hematoma merupakan perdarahan subperiosteum. Cephal hematoma terjadi sangat


lambat, sehingga tidak nampak adanya edema dan eritema pada kulit kepala. Pada neonatus
dengan Cephal hematoma tidak diperlukan pengobatan karena benjolan akan hilang dengan
sendirinya dalam beberapa minggu atau bulan bila tidak ada komplikasi.

C. Trauma pleksus brakialis

Jejas pada pleksus brakialis dapat menyebabkan paralisis lengan atas dengan atau tanpa
paralisis lengan bawah atau tangan, atau lebih lazim paralisis dapat terjadi pada seluruh
lengan. Jejas pleksus brakialis sering terjadi pada bayi makrosomik dan pada penarikan
lateral dipaksakan pada kepala dan leher selama persalinan bahu pada presentasi verteks atau
bila lengan diekstensikan berlebihan diatas kepala pada presentasi bokong serta adanya
penarikan berlebihan pada bahu.
Trauma pleksus brakialis dapat mengakibatkan paralisis Erb-Duchenne dan paralisis
Klumpke. Bentuk paralisis tersebut tergantung pada saraf servikalis yang mengalami trauma.

Pengobatan pada trauma pleksus brakialis terdiri atas imobilisasi parsial dan penempatan
posisi secara tepat untuk mencegah perkembangan kontraktur.

1)Epidemiologi

Studi epidemiologis pada trauma pleksus brakialis sulit diketahui dengan pasti dan
epidemiologi dapat bervariasi di berbagai negara. Menurut penelitian yang dilakukan di India
Pusat tahun 2012 menyebutkan bahwa kecelakaan lalu lintas menyumbang 94% pasien dan
kecelakaan lalu lintas 90% melibatkan roda dua. Cedera pleksus brakhialis membentuk
bagian multitrauma pada 54% kelompok penelitian dan 46% telah mengisolasi cedera pleksus
brakhialis. Cedera terkait seperti patah tulang, cedera vaskular dan cedera kepala jauh lebih
kecil kemungkinannya karena kecepatan kendaraan yang lebih rendah dibandingkan dengan
dunia barat. Lima puluh tujuh persen telah bergabung kembali bekerja rata-rata 8,6 bulan.
Diperlukan waktu rata-rata 6,8 bulan untuk pasien trauma pleksus brakhial global untuk
menulis di tangan mereka yang tidak dominan.3 Kecelakaan lalu lintas adalah penyebab
trauma pleksus brakhialis pada kebanyakan kasus (80,7%). Dari kecelakaan lalu lintas, dibagi
lagi yaitu kecelakaan sepeda motor (63,2%) diikuti oleh kecelakaan mobil (23,5%),
kecelakaan sepeda (10,7%) dan tabrakan pejalan kaki (3,1%). Menurut penelitian 4 yang
dilakukan di Inggris tahun 2012, dilaporkan 450-500 kasus cedera supraklavikular tertutup
terjadi setiap tahun.4 Kejadian trauma pleksus brakhialis juga sering terjadi pada bayi
makrosomia dengan shoulder dystocia. Bayi makrosomia dengan berat badan antara 4000
gram dan 4500 gram kejadiannya 86,25% kasus dan antara 4.500 gram dan 5000 gram
kejadiannya 12,25% kasus. Semua kasus ini terjadi saat persalinan per vaginam.

2) Penatalaksanaan

Terapi Konservatif Tujuan perawatan konservatif adalah mempertahankan jangkauan gerak


ekstremitas, untuk memperkuat otot fungsional, yang tersisa, untuk melindungi denervasi
dermatom, dan untuk managemen nyeri.8 Edema kronis mungkin muncul sebagai akibat dari
hipokinesia, kehilangan tonus vaskular akibat denervasi simpatik, dan luka jaringan lunak
lainnya. Menjaga ekstremitas terangkat dapat menurunkan edema.7 Manajemen nyeri
mungkin merupakan prosedur yang sulit. Rasa sakit yang signifikan diamati pada complete
palsy of the brachial terutama pada radiks avulsi. NSAIDs dan opioid dapat membantu
selama tahap pertama tapi tidak untuk membantu pasien dengan nyeri neuropatik, yang
membutuhkan penggunaan obat antiepilepsi (gabapentin dan karbamazepin) atau
antidepresan seperti amitriptilin secara hati-hati. Operasi Dorsal Root Entry Zone (DREZ)
dilakukan pada pasien dengan nyeri terus-menerus, operasi ini didasarkan pada usaha untuk
menghambat transmisi sinyal saraf dari pusat sensorik sekunder.8

D. Fraktur klavikula

Tanda dan gejala yang tampak pada bayi yang mengalami fraktur klavikula antara lain : bayi
tidak dapat menggerakkan lengan secara bebas pada sisi yang terkena, krepitasi dan
ketidakteraturan tulang, kadang-kadang disertai perubahan warna pada sisi fraktur, tidak
adanya refleks moro pada sisi yang terkena, adanya spasme otot sternokleidomastoideus yang
disertai dengan hilangnya depresi supraklavikular pada daerah fraktur.

1)Penatalaksanaan fraktur klavikula


Pada kebanyakan kasus dapat diatasi dengan tindakan nonoperatif berupa
pemasangan sling pada bahu, dengan pemberian analgesik. Namun, apabila fraktur klavikula
bersifat terbuka, maka tindakan operatif perlu untuk dilakukan.

2) Komplikasi pada fraktur klavikula


Dapat dibagi menjadi komplikasi dini dan komplikasi akibat penanganan yang terlambat.
Komplikasi dini bisa berupa cedera pada arteri subklavia atau karotis, neuropraxia dari
cabang posterior pleksus brakialis, pneumothorax bahkan hemothorax. Komplikasi pada
penanganan yang terlambat dapat berupa cedera vena subklavia, neuropati ulnaris, non-
union, malunion, dan arthritis pascatrauma.

3) Patofisiologi fraktur klavikula

Berkaitan dengan anatominya. Klavikula adalah tulang berbentuk S yang merupakan


penghubung osseus antara ekstremitas atas dan trunkus. Pada klavikula terdapat artikulasi
secara distal dengan akromion pada sendi akromioklavikular dan artikulasi secara proksimal
dengan sternum pada sendi sternoklavikula. Banyaknya artikulasi ini adalah salah satu faktor
yang menyebabkan klavikula mudah fraktur.

Fraktur klavikula bisa disebabkan oleh trauma energi tinggi atau cedera multipel. Sehingga
perlu dilakukan juga pemeriksaan terkait fraktur iga, skapula, dan tulang lain yang berkaitan
dengan bahu, serta kontusio paru, pneumothorax, dan hemothorax.
4) Etiologi

Fraktur klavikula adalah trauma baik secara langsung maupun tidak langsung. Trauma dapat
terjadi karena terjatuh atau kecelakaan lalu lintas dengan bagian samping bahu langsung
mengenai bagian yang keras. Etiologi lain yang dapat menyebabkan fraktur klavikula adalah
terjatuh dengan tangan terentang.

Penyebab lainnya adalah kelainan bawaan, kelainan patologis, dan trauma lahir. Kelainan
bawaan dapat berupa osteogenesis imperfekta yaitu gangguan pembentukan kolagen akibat
kesalahan metabolisme yang ditandai dengan jumlah garam oksalat yang berlebih dalam
tubuh.

5) Kelainan patologis

Dapat berupa plasmacytoma, osteosarkoma, Ewing sarkoma, multiple myeloma, serta


berbagai kanker ganas primer (seperti Histiositosis sel Langerhans). Metastasis kanker juga
dapat menyebabkan lesi litik yang berkembang menjadi fraktur pada trauma ringan.

6) Faktor Risiko

Faktor risiko pada fraktur klavikula dewasa antara lain usia, aktivitas (misalnya berkendara
atau olahraga ekstrem), jenis kelamin, serta riwayat trauma sebelumnya. Faktor risiko pada
neonatus antara lain berat badan lahir dan jenis persalinan yang dilakukan.

Fraktur klavikula lebih sering terjadi pada dewasa muda, dan pria berisiko lebih tinggi
dibandingkan wanita. Jenis etiologi yang paling sering terjadi adalah kecelakaan lalu lintas
dengan angka kejadian mencapai 40%, diikuti oleh terjatuh sebesar 35% dan kecelakaan
kerja sebesar 25%.

Fraktur klavikula pada neonatus mayoritas disebabkan oleh distosia bahu karena berat badan
bayi saat lahir. Bayi dengan berat badan lahir diantara 2500 gram sampai 4000 gram
memiliki risiko sebesar 89% dan yang memiliki berat badan lahir > 4000 gram berisiko
sebesar 9%. Berdasarkan jenis persalinan, neonatus yang mengalami distosia bahu dari
persalinan sectio caesaria sebesar 88% dan dari persalinan normal sebesar 12%.
7) Diagnosis

Fraktur klavikula patut dicurigai pada pasien yang merasakan pada area klavikula setelah
mengalami cedera. Pada pemeriksaan fisik bisa didapatkan deformitas, krepitasi, dan nyeri
tekan. Pemeriksaan penunjang berupa rontgen klavikula dan toraks perlu dilakukan untuk
mengonfirmasi diagnosis.

8) Anamnesis
Anamnesis pada fraktur klavikula dapat dilakukan dengan menanyakan mekanisme cedera
secara singkat. Mekanisme yang paling umum adalah mekanisme tidak langsung seperti
terjatuh, kecelakaan lalu lintas, atau kecelakaan di tempat kerja.

9) Penatalaksanaan

Fraktur klavikula yang sederhana dapat dilakukan dengan manajemen nonoperatif. [4]
Mayoritas fraktur klavikula 1/3 tengah tidak memerlukan reduksi. Fraktur terbuka, fraktur
yang sangat displaced dengan risiko pada kulit, atau fraktur dengan cedera neurovaskular
umumnya memerlukan reduksi operatif dan fiksasi. [17]

E. Fraktur humerus

Pada fraktur humerus ditandai dengan tidak adanya gerakan tungkai spontan, tidak adanya
reflek moro.

Penangan pada fraktur humerus dapat optimal jika dilakukan pada 2-4 minggu dengan
imobilisasi tungkai yang mengalami fraktur.
BAB III

PENUTUP

Kesimpulan

 Caput succedaneum adalah pembengkakan atau oedema pada atau dibawah kulit
kepala janin. Pembengkakan edematosa lunak pada kulit kepala ini sering terjadi pada
bagian terendah janin. Tekanan dari uterus atau jalan lahir dapat mencetuskan
penumpukan serum atau darah di atas periosteum. Ekstraksi vacum juga dapat
menyebabkan caput, caput dapat bervariasi dari area yang kecil hingga kepala
menjadi sangat panjang. Pembengkakan dapat melintasi garis sutura. Tidak ada
pengobatan yang diindikasikan, caput succedaneum biasanya hilang dengan
sendirinya dalam 12 jam atau 1-2 hari setelah lahir.
 Cephal hematoma adalah pembengkakan pada kepala karena adanya penumpukan
darah yang disebabkan perdarahan sub periosteum.
 Perbedaan caput succedaneum dan cephal hematoma

No Caput succedaeum Cephal hematoma


1 Muncul ketika lahir dan akan Ada waktu lahir atau sesudah lahir dan akan
mengecil setelah lahir membesar setelah lahir
2 Lunak dan tidak berfluktuasi Teraba fluktuasi
3 Melewati batas sutura dan teraba Batas tidak melewati sutura
moulase
4 Bisa hilang dalam beberapa jam atau Hilang dalam waktu yang lama (beberapa
hari minggu/bulan)
5 Berisi cairan getah bening Berisi darah

Saran
Tentunya terhadap penulis menyadari jika makalah ini banyak sekali memiliki

Kekurangan yang jauh dari kata sempurna. Tentunya, penulis akan terus

Memperbaiki makalah dengan mengacu kepada sumber yang bisa

Dipertanggungjawabkan nantinya.Oleh sebab itu, penulis sangat mengharapkan

Adanya kritik serta saran yang bisa membangun dari pembaca mengenai

Pembahasan makalah di atas.

Daftar Pustaka

1) Behrman, Kliegman, Arvin.2000.Ilmu Kesehatan Anak


Nelson.Jakarta.EGCIndonesia,Depkes, Pusat pendidikan tenaga kerja.1992. Asuhan
Keperawatan ......Anak dalam Konteks
Keluarga.Jakarta:Depkeshttp://nersferdinanskeperawatan.wordpress.com/2010/05/19/cephal-.
.....Hematoma

2) Sandi Putra N, Penatalaksanaan Fisioterapi Pada Plexus Brachialis

Injury Di Rs Orthopedi Prof Dr Soeharso 2015;52

3) Leffert, Robert. The Anatomy of the Brachial Plexus. Brachial Plexus

Injuries. New York, NY: Churchill Livingstone; 1985.

4) Sabapathy S, Jain D, Bhardwaj P, Venkataramani H. An epidemiological

study of traumatic brachial plexus injury patients treated at an Indian

centre. Indian Journal of Plastic Surgery. 2012;45(3):498.

5) Kaiser R, Waldauf P, Haninec P. Types and severity of operated

supraclavicular brachial plexus injuries caused by traffic accidents. Acta

Neurochirurgica. 2012;154(7):1293-1297.

6) Kehila M, Derouich S, Touhami O, Belqhith S, Abouda HS, Cheour M,


Chanoufi MB. Macrosomia, shoulder dystocia and elongation of the

brachial plexus: what is the role of caesarean section?. The Pan African

medical journal. 2016.

7) Khadilkar S, Khade S. Brachial plexopathy. Annals of Indian Academy of

Neurology. 2013;16(1):12.

8) Sakellariou VI, Badilas NK, Mazis GA, Stavropoulos NA, Kotoulas HK,

Kyriakopoulos S, et al. Brachial Plexus Injuries in Adults : Evaluation and

Diagnostic Approach. Hindawi Publishing Corporation; 2014;2014.

9) Sakellariou VI, Badilas NK, Stavropoulos NA, Mazis G, Kotoulas HK,

Kyriakopoulos S, et al. Treatment Options for Brachial Plexus Injuries.

Hindawi Publishing Corporation; 2014;2014.

10) Thatte MR, Babhulkar S, Hiremath A. Brachial plexus injury in adults :

Diagnosis and surgical treatment strategies. 2013;16(1):26–33

C. Cephal hematoma adalah


pembengkaan pada kepala
karena adanya penumpukan
darah yang
D. disebabkan perdarahan sub
periosteum
( Indonesia,Depkes, Pusat
pendidikan tenaga
E. kerja.1992. Asuhan
Keperawatan Anak dalam
Konteks
Keluarga.Jakarta:Depkes
F. Cephal hematoma adalah
pembengkaan pada kepala
karena adanya penumpukan
darah yang
G. disebabkan perdarahan sub
periosteum
( Indonesia,Depkes, Pusat
pendidikan tenaga
kerja.1992. Asuhan
H.

Keperawatan Anak dalam


Konteks Keluarga.Jakarta:Dep

Anda mungkin juga menyukai